i
HUBUNGAN KETEGANGAN SUAMI ISTERI DENGAN KONFLIK PADA KELUARGA BERCERAI
Christian, M. S. Simamora
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBER DAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ii
RINGKASAN CHRISTIAN MANGAMPIN SAMUEL SIMAMORA. Hubungan Ketegangan Suami Isteri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai. Di bawah bimbingan EMMY S. KARSIN. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ketegangan suami isteri dengan konflik pada keluarga bercera i. Adapun tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik suami isteri dan isteri (contoh) , pengambilan keputusan, ketegangan suami isteri, konflik dan pasca perceraian (2) Menganalisis hubungan karakteristik suami isteri dengan pengambilan keputusan delapan fungsi keluarga, karakteristik suami isteri dengan pengambilan keputusan dan ketegangan serta pengambilan keputusan delapan fungsi keluarga dengan konflik dan pasca perceraian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten dan Kotamadya Bogor, dilakukan mulai bulan November 2004-Februari 2005. Contoh penelitian adalah janda bercerai minimal dua tahun, tidak menikah lagi (remarried) dan mempunyai anak. Penelitian ini menggunakan Snowball Method dengan target jumlah contoh yang diminta yaitu 35 orang. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer (1) karakteristik suami isteri (usia contoh, jumlah anak, tingkat pendidikan, alasan pernikahan, riwayat pernikahan orangtua), (2) karakteristik isteri (pekerjaan, pendapatan perkapita ), (3) pengambilan keputusan delapan fungsi-fungsi keluarga, (4) ketegangan suami isteri, (5) konflik, dan (6) pasca perceraian. Data sekunder diperoleh dari Pengadilan Negeri Bogor. Karakteristik contoh yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar adalah dewasa awal 20-40 tahun (54,29%), menikah pertama kali pada usia remaja 15-19 tahun (51,43%), jumlah anak satu orang (40%), mayoritas tidak memiliki anak bawaan dari pihak suami (85,71%) dan memiliki tingkat pendidikan SMU (42,86%). Semua contoh dalam penelitian ini menjawab ‘ingin bahagia’ sebagai alasan pernikahan mereka , diikuti oleh keinginan untuk memiliki pasangan yang berbeda dari segi intelegensi (37%) dan karena mengalami tekanan saat pernikahan (34%). Berdasarkan sejarah perceraian orangtua, ma yoritas contoh (88,57%) maupun suami (91,43%) bukan berasal dari keluarga yang bercerai. Contoh berprofesi sebagai pengusaha/wiraswasta (25,71%) atau memilih menjadi ibu rumah tangga (37,14%) dan pendapatan perkapitanya mayoritas kurang dari Rp 467.880,- (82,9%). Persentase terbesar (65,71%) contoh dan suaminya mengambil keputusan delapan fungsi keluarga secara bersama. Dari delapan fungsi keluarga, fungsi ekonomi memiliki kecenderungan dominan diputuskan oleh satu pihak, sedangkan fungsi reproduksi memiliki kecenderungan untuk dilakukan secara bersama -sama. Ketegangan suami iste ri (85,72%) berada pada kategori rendah. Yang paling sering dirasakan contoh adalah sikap pasangan yang ingin menang sendiri. Konflik dalam keluarga contoh (85,71%) pada umumnya rendah. Memendam kekesalan adalah yang paling sering dirasakan contoh saat konflik berlangsung.
iii
Pasca perceraian (48,6%) berada pada rentang sedang. Yang paling sering terjadi adalah sikap pasangan yang menafkahi keluarga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat antara umur pertama kali menikah dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi cinta kasih (0,387*) dan fungsi melindungi (0,472**). Jumlah anak, orangtua contoh yang pernah bercerai dan pendapatan per kapita contoh mempunyai hubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,374*; -0,349*; dan -0,368*). Jumlah anak bawaan suami berhubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi ekonomi (-0,352*) dan pendapatan perkapita contoh mempunyai hubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi pembinaan lingkungan (-0,375*). Terdapat hubungan antara umur contoh sekarang dan umur contoh saat pertama kali menikah dengan penolakan dan pengkhianatan (sebagai salah satu bentuk ketegangan suami isteri) yaitu sebesar -0,472** dan -0,409*. Sedangkan pengambilan keputusan di bidang fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi mempunyai hubungan dengan ketegangan dalam bentuk berkurangnya kepercayaan (-0,371* dan 0,351*). Pengambilan keputusan untuk fungsi reproduksi juga mempunyai hubungan dengan ketegangan dalam bentuk pasangan ingin menang sendiri ( -0,364*). Pengambilan keputusan di bidang fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, serta fungsi pembinaan lingkungan mempunyai hubungan dengan konflik (-0,358*; 0,399* dan 0,386*). Pengambilan keputusan di bidang fungsi melindungi, fungsi sosialisasi dan pendidikan dan fungsi pembinaan lingkungan mempunyai hubungan dengan pasca perceraian (0,405*; 0,467** dan 0,372*).
iv
HUBUNGAN KETEGANGAN SUAMI ISTERI DENGAN KONFLIK PADA KELUARGA BERCERAI
Christian, M. S. Simamora
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBER DAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
v
Judul Skripsi Nama NRP
:HUBUNGAN KETEGANGAN SUAMI ISTERI DENGAN KONFLIK PADA KELUARGA BERCERAI :Christian mangampin Samuel Simamora :A05400031
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Ir. Emmy Sulasmi Karsin, M.S. NIP. 130 256 332
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 9 Juni 1983. Penulis adalah ana k pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Krisman Simamora dan Ibu Tonggo Sitorus. Penulis menempuh pendidikan SD dari tahun 1988 sampai tahun 1994 di SD Negeri 060847 Medan Barat. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan sekolah ke SLTP St. Maria Tarutung dan lulus pada tahun 1997. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMU Bintang Timur Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2000. Penulis diterima di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga melalui Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2000.
vii
PRAKATA Penulis mengucapkan puji syukur pada Yesus Kristus karena atas rahmat dan cinta kasih-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih pada keluar ga tercinta—Mama, Papa dan Grace—yang selalu memotivasi, menyemangati dan mendorong penulis selama masa penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis pun ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam segala hal, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga karya ini bisa selesai pada waktunya: 1. Ir. Emmy Sulasmi Karsin M.S. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Diah K. Pranadji M.S. sebagai dosen pemandu seminar. 3. Ir. Dwi Hastuti atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 4. Seluruh Staf Pengajar GMSK yang telah memberikan bekal dan pendidikan wawasan kepada penulis. 5. Mas Rena dan Pak Ugan atas keramahan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis setiap kali mengurus hal- hal yang berbau akademik. 6. Teman-temanku: Ica, Dewi, Rani, Isti, Wiwi dan Jemi, terima kasih atas dukungan moril berupa semangat dan perhatian yang tak henti-hentinya kalian curahkan pada penulis. Semoga bisa terus bersahabat. 7. GMSK angkatan 37 lainnya yang telah memberi dukungan pada penulis : Putri, Melissa, Nicka dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Juga adik -adik angkatan 38 dan 39 yang telah membuat hidup penulis semakin berwarna-warni. 8. Penghuni Pondok Serena, baik yang mantan maupun yang masih tinggal sampai saat ini: Anggi, Mona, Dewi, Delia, Adit, Dolly, Endras, Winda, Nona, Sherly, She-she, Lenny dll atas segala kebersamaan dan kekompakan yang tak terlupakan selama ini. Semoga kenangan-kenangan tersebut bisa dikenang terus selamanya. 9. Mahesa Computer, terutama Mas Wisnu dan Kak Melda yang tidak hanya memberikan pelayanan kepada penulis namun juga perasaan nyaman dan keakraban. Terima kasih banyak!
viii
10. Teman-teman baruku di Jakarta School: Lisa dan Ria. Terima kasih atas dukungan dan SMS-SMS penuh semangat selama penyelesaian skripsi. Semoga penulis bisa jadi bagian dari kalian: ‘novelis yang tamat kuliah’. 11. Semua pihak yang tidak disebut namanya namun telah banyak memberikan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Hanya Tuhan yang dapat membalas semua kebaikan kalian... Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan mereka yang memerlukan.
Bogor, September 2005
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang.............................................................................. Perumusan Masalah...................................................................... Tujuan Penelitian.......................................................................... Kegunaan Penelitian.....................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga........................................................................................ Alasan Perkawinan............................................................ Perkawinan........................................................................ Pengambilan Keputusan................................................................ Fungsi Keluarga................................................................ ............ Ketegangan Suami Isteri............................................................... Konflik........................................................................................... Perceraian......................................................................................
4 4 7 8 9 12 19 24
KERANGKA PEMIKIRAN.....................................................................
30
METODE Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... Cara pengambilan Contoh............................................................ Jenis Data dan Cara Pengumpulan................................................ Pengolahan dan Analisis Data........................................................ Definisi Operasional.....................................................................
32 32 32 32 36
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Suami Isteri............................................................... Umur Contoh..................................................................... Jumlah Anak..................................................................... Tingkat Pendidikan Contoh.............................................. Alasan Pernikahan............................................................. Riwayat Pernikahan Orangtua........................................... Karakteristik Isteri Pekerjaan........................................................................... Pendapatan Perkapita........................................................ Pengambilan Keputusan dalam Fungsi-fungsi Keluarga.............. Ketegangan Suami Isteri................................................................. Konflik........................................................................................... Pasca Perceraian............................................................................. Hubungan Antar Variabel dengan Interaksi Suami isteri, Pengambilan Keputusan, Konflik dan Interaksi Suami Isteri Pasca Perceraian.........................................................................................
37 37 38 38 39 40 40 41 41 46 48 49
50
x
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...................................................................................... 53 Saran................................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA…...........................................................................
56
LAMPIRAN..............................................................................................
59
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Nilai alpha cronbach variabel penelitian…………………………
2
Sebaran contoh berdasarkan umur……………………………….. 37
3
Sebaran contoh berdasarkan umur waktu pertama kali menikah...
4
Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak dari pernikahan sekarang………………………………………………………….. 38
5
Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak bawaan suami dari pernikahan sebelumnya……………………………………... 39
6
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan…………………………. 39
7
Sebaran contoh berdasarkan alasan pernikahan………………….. 39
8
Sebaran contoh berdasarkan riwayat pernikahan orangtua (pernah bercerai atau tidak)……………………………………… 40
9
Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan…………………………... 41
10
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita………………. 41
11 12
Sebaran contoh berdasarkan pengambilan keputusan dalam keluarga…….. ……………………………………………………. 46 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi agama…………………... 42
13
Sebaran contoh berdasarkan fungsi sosial budaya….…………….. 42
14
Sebaran contoh berdasarkan fungsi reproduksi…….……………... 43
15
Sebaran contoh berdasarkan fungsi cinta kasih…….……………... 43
16
Sebaran contoh berdasarkan fungsi melindungi…….……………... 44
17
Sebaran contoh berdasarkan fungsi ekonomi…….……………...
44
18
Sebaran contoh berdasarkan fungsi sosialisasi dan pendidikan…….…………….........................................................
45
Sebaran contoh berdasarkan fungsi pembinaan lingkungan…….……………......................................
45
19
33 37
20
Sebaran contoh berdasarkan ketegangan suami isteri…................. 47
21
Sebaran contoh berdasarkan penolakan dan pengkhianatan…….…………….............................................. 46
22
Sebaran contoh berdasarkan berkurangnya kepercayaan................ 47
23
Sebaran contoh berdasarkan pasangan ingin menang sendiri......... 47
24
Sebaran contoh berdasarkan konflik dalam keluarga……..……… 49
25
Sebaran contoh berdasarkan jawaban
xii
untuk pertanyaan konflik…………………………………………. 48 26 27
Sebaran contoh berdasarkan hubungan suami isteri pasca perceraian…………………………………………………. 50 Data sebaran contoh menurut frekuensi lima aspek dalam keadaan keluarga pasca perceraian…….………………………… 49
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Jenis dan pengolahan data..............................................................
58
2
Data contoh berdasarkan umur (umur sekarang dan waktu menikah), lama pernikahan, jumlah anak, pendidikan terakhir dan pekerjaan……………………………….. 61
3
Sebaran berdasarkan alasan pernikahan…………………………
62
4
Sebaran contoh berdasarkan jawaban tidak pernah (skor 0)/ jarang (skor 1)/sering (skor 2) dan pertanyaan mengenai pengambilan keputusan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga……………………………………………
63
5
Sebaran skor dan status pengambilan keputusan berdasarkan fungsi-fungsi keluarga……………………………………………. 66
6
Sebaran contoh berdasarkan skor penolakan dan pengkhianatan…………………………………………………….. 67
7
Sebaran berdasarkan skor berkurangnya kepercayaan…………...
68
8
Sebaran berdasarkan skor pasangan ingin menang sendiri………
69
9
Sebaran dan status interaksi suami isteri contoh ………………...
70
10
Data contoh berdasarkan skor dan status konflik dalam keluarga…..………………………………………………………
71
11
Data contoh berda sarkan skor dan status keadaan pasca perceraian…………………………………………………… 72
12
Korelasi Spearman………………………………………………... 73
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai entitas terkecil dalam masyarakat, tak pelak keluarga menjadi salah satu kunci pembentukan generasi yang unggul. Namun untuk menjalin hubungan pernikahan yang harmonis tidaklah semudah yang diucapkan. Brennen (1999b) dalam seminar Handling Marital Conflict mengatakan bahwa besarnya cinta terhadap pasangan ternyata tidak dapat menjadi acuan dalam memprediksi usia pernikahan, melainkan bagaimana suami dan isteri mampu mengatasi konflik dan perbedaan, serta kesadaran sikap sebagai relasi dalam hidup berumah tangga. Barber (1999) menyatakan bahwa efektifitas memanajemen konflik akibat perbedaan antara suami dan isteri mempengaruhi kelangsungan pernikahan. Untuk itu Brennen menganjurkan bagi masing-masing pihak, dalam hal ini suami dan isteri, untuk memupuk kesadaran dalam menangani masalah-masalah akibat perbedaan diantara keduanya. Tentu saja teknik manajemen konflik ini akan berbeda pada tiap-tiap rumah tangga. Abineno (1982) mengatakan, “Tidak ada model dalam hidup suami-isteri yang dapat berlaku untuk segala waktu dan di segala tempat.” Karena alasan yang sama pula, di sekitar kita banyak terjadi kasus perceraian sebagai refleksi kegagalan suatu pernikahan. Ketidakmampuan suami dan isteri dalam memanajemen konflik dalam rumah tangga mereka melahirkan keputusan cerai yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Di Bogor sendiri, sejak tahun 2000 jumlah kasus perceraian di pengadilan agama Kota Bogor terus meningkat (Anonim, 2003). Pada tahun 2000, tercatat permohonan perceraian yang diterima sebanyak 510 kasus. Diantaranya cerai gugat (gugatan cerai yang diadukan isteri) sejumlah 293 perkara, sementara pada tahun 2002 terjadi peningkatan tajam, yaitu sebanyak 518 perkara. Sampai artikel tersebut diturunkan, jumlah perkara perceraian yang tercatat pada Januari 2003-Juni 2003 sebanyak 277 perkara. Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian, dengan meneliti keadaan rumah tangga sebelum memutuskan perceraian. Selain itu peneliti ingin mengetahui bagaimana suami dan isteri
2
merespons konflik dan faktor -faktor yang menyebabkan kegagalan dalam rumah tangga mereka. Perumusan Masalah Kemajuan pesat dalam peradaban manusia melahirkan revolusi dalam segi pemikiran juga. Hal ini juga terkait pada cara pandang masyarakat pada umumnya terhadap perceraian. Dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini dengan pemikiran yang lebih liberal mengenai pernikahan sehingga pasangan-pasangan yang merasa tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis Fenomena ini bahkan seperti mendapat propaganda gratis dari gaya hidup selebritis yang sering muncul di infotainment, yang seolah-olah menjelaskan bahwa wanita berhak untuk mendapat kebebasan jika pernikahan tidak lagi menjadi jawaban bagi kebahagiaan lahir batin. Keberhasilan dalam suatu perkawinan dapat dilihat dari kematangan masingmasing pasangan. Kematangan dapat diasosiasikan dengan usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa usia muda dapat menjadi batu sandungan dalam perkawinan dan memiliki kemungkinan besar gagal atau bercerai. Hull dan Hull 1976, diacu dalam Ariani 1983 meneliti bahwa di Serpong, Jawa Barat, usia wanita pertama kali menikah rata-rata 15, 6 tahun. Lewis dan Spanier 1979, diacu dalam Steinberg 1997 meneliti tentang pernikahan di usia remaja dan menemukan fenomena bahwa tingkat perceraian pria yang menikah di usia remaja tiga kali lipat daripada tingkat perceraian pria yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Sedangkan pada wanita yang menikah di usia belasan tahun, tingkat perceraiannya empat kali lipat daripada tingkat perceraian wanita yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Wahlroos (1988) menyorot lebih banyak pada komunikasi yang tidak sehat sebagai latar belakang ketidakharmonisan rumah tangga. Wahlroos (1988) menyatakan bahwa faktor-faktor bawah sadar dapat mempengaruhi kelakuan. Teori ini mendorong Wahlroos yang kemudian menganalisis komunikasi keluarga yang destruktif terjadi akibat ketidakpekaan tiap-tiap elemen keluarga akan perasaan satu sama lain.
3
Beberapa alasan yang menyebabkan perceraian (Augustine, 2004c) adalah: (1) prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan, (2) ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan, (3) pasangan meninggalkan keluarga, (4) perzinahan, (5) perlakuan kejam (kekerasan dalam rumah tangga), (6) pasangan dipenjara, (7) pasangan ingin menikah lagi (bigami/poligami), (8) penghinaan pasangan, (9) lain-lain atau perceraian tanpa alasan. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian in i bertujuan untuk melihat hubungan antara ketegangan suami isetri dengan konflik pada keluarga bercerai. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik suami isteri dan isteri (contoh) 2. Mengidentifikasi pengambilan keputusan dalam fungsi-fungsi keluarga 3. Mengidentifikasi ketegangan suami isteri dan konflik dalam keluarga 4. Mengidentifikasi keluarga contoh pasca perceraian 5. Menganalisis hubungan karakteristik suami isteri dengan pengambilan keputusan dalam fungsi- fungsi keluarga 6. Menganalisis hubungan karakteristik suami isteri dengan pengambilan keputusan dalam fungsi-fungsi keluarga dan ketegangan 7. Menganalisis hubungan pengambilan keputusan dalam fungsi-fungsi keluarga dengan konflik dan pasca perceraian Kegunaan Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu-ilmu keluarga. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam perbaikan hubungan suami isteri supaya mampu memanajemen konflik yang terjadi dalam keluarga mereka, dengan demikian perceraian dapat dihindarkan.
4
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Alasan Perkawinan Turner dan Helms (1986) menyebutkan lima alasan mengapa seseorang mau menikah, yaitu: 1. Komitmen Banyak orang mendambakan bahwa suatu hari seseorang yang dirasa tepat mau mendedikasikan dirinya hidup berdua selamanya tanpa syarat. Dalam hal ini perkawinan merupakan bentuk ekspresi dedikasi sepenuhnya dan upacara perkawinan itu sendiri merupakan simbol penting yang menunjukkan komitmen yang akan dijalani. 2. One to One Relationship Banyak individu yang mendambakan keadaan dimana mereka akan hidup bersama dengan orang yang sudi berbagi dukungan emosional, baik berupa kasih sayang, penghormatan, kepercayaan dan keintiman. Belajar bagaimana caranya mengikat diri dengan satu orang saja dalam waktu yang lama dapat merupakan suatu pekerjaan berat bagi pasangan muda (Conger 1981, diacu dalam Turner dan Helms 1986). 3. Hubungan Suami Isteri dan Keterbukaan Perkawinan merupakan usaha dalam menghindari kesendirian dan isolasi sosial. Perkawinan menawarkan sebuah hubungan dan keterbukaan eksklusif antara dua jiwa yang sendirian. Sebuah penelitian menyatakan bahwa keterbukaan antara suami isteri merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan perkawinan. Ketika kebutuhan jasmani maupun rohani terpenuhi dan saling terbuka, pasangan merasa perkawinannya mengalami peningkatan kualitas dengan perasaan puas yang bertambah pula (Ammons dan Stinnet, 1980, diacu dalam Turner dan Helms 1986). 4. Cinta Perkawinan menawarkan pemenuhan kebutuhan dasar akan cinta. Suatu kehidupan dirasa lebih bermakna ketika kehidupan tersebut memberikan manfaat besar bagi orang lain. Banyak orang yang mendambakan bertemu
5
dengan seseorang dengan cinta tanpa syarat dan berbagi perasaan cinta dengannya. 5. Kebaha giaan Banyak orang yang menyimpulkan bahwa perkawinan merupakan sumber kebahagiaan dan pencapaian tertinggi kehidupan. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya kebahagiaan dalam perkawinan tergantung dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (dalam hal ini suami dan isteri) dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dalam sebuah ikatan yang permanen. Pernikahan adalah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia. Karena itulah, tidak seharusnya seseorang memutuskan untuk menikah dalam kegelisahan atau ketidaktenangan batin. Namun pada kenyataannya, banyak kasus perceraian yang dilatari keresahan akibat hidup sendiri (single). Keresahan seperti inilah yang justru menarik mereka pada alasan-alasan pernikahan yang salah. Angelis 2005, diacu dalam Brennen 2005a menjabarkan alasan-alasan pernikahan yang salah: 1. Tekanan (pressure) Biasanya tekanan ini dipengaruhi oleh teman-teman, keluarga atau bahkan diri sendiri, yang memberi pesan bahwa dia harus terlibat dalam sebuah hubungan atau ada sesuatu yang sala h dalam dirinya. Pesan yang negatif ini biasanya muncul pada saat: a) dia satu-satunya yang belum menikah diantara teman-temannya, b) umur menginjak 30 tahun namun masih berstatus single , c) desakan dari keluarga, d) baru saja bercerai. 2. Kesepian dan putus asa (Loneliness and Desperation) Angelis banyak menemukan banyak individu yang menikah karena kesepian dan putus asa. Orang-orang yang merasa sepi dan putus asa seperti ini akan mengalami perasaan yang sama pula setelah menikah. Beberapa ada yang mengalami kekosongan emosional sehingga benarbenar putus asa, berharap siapapun akan menikahinya. Namun pada akhirnya orang-orang tersebut berakhir pada perceraian juga. 3. Keinginan seksual yang tinggi (sexual hunger) Pernikahan di Indonesia melegalkan persetubuhan, sehingga mereka merasa harus menikah dahulu sebelum memenuhi kebutuhan seksualnya.
6
Ironisnya orang-orang seperti ini hanya merasakan indahnya hidup menikah—dan hubungan seksual— pada awal-awal pernikahan. Mereka tidak menyadari ada komitmen dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, dan hal inilah yang menjerumuskan orang-orang seperti ini. 4. Kekacauan hidup (distraction from your own life) Angelis menemukan kasus dimana seseorang menikah bukan karena telah menemukan pasangan yang tepat, tetapi karena ingin membebaskan diri dari kehidupannya sendiri. Kebosanan dan ketidakpuasan terhadap kehidupannya sendiri membawa dirinya pada keingintahuan, apakah dia akan merasakan yang sama jika terlibat dalam hubungan cinta? Perasaan seperti ini mendorong individu tersebut mencoba untuk menikah dan membuktikannya sendiri. 5. Menolak untuk dewasa (to avoid growing up ) Di Amerika Serikat—dan mungkin juga di Indonesia—fenomena seperti ini banyak sekali dijumpai. Banyak orang-orang yang menikah karena ingin ‘dilindungi dan diperhatikan’. Orang-orang ini biasanya sangat bergantung pada pasangan mereka. Ciri-cirinya: a) selisih usia yang berbeda jauh dengan pasangan, b) perbedaan yang kontras dari segi finansial dan kesuksesan, c) perbedaan dari segi pengalaman hidup dengan pasangan. 6. Rasa bersalah (guilt) Individu tersebut menerima pinangan dari pasangannya karena merasa bersalah tidak bisa mencintainya sebesar cinta pasangannya. Selain rasa bersalah, orang-orang seperti ini juga dilingkupi perasaan tidak tega jika membayangkan apa yang kira -kira yang akan terjadi jika mereka memutuskan hubungan dengan pasangannya itu. Namun yang tidak mereka sadari adalah, keputusan untuk tidak putus karena kasihan dan rasa bersalah tidak menghasilkan konklusi apapun. Sebaliknya, mereka merusak masa depan mereka sendiri.
7
7. Mengisi kekosongan emosional dan kekosongan spiritual (filling up emotional and spiritual emptiness) Angelis dengan tegas menyatakan bahwa jika kekosongan emosional dan kekosongan spiritual dijadikan alasan untuk menikah, kemungkinan besar mereka tidak bahagia bahkan setelah menikah nanti. Perkawinan Hill, Pepland dan Ruben 1976, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan bahwa persamaan tingkat pendidikan, usia—paling tidak rentang usianya tidak berbeda jauh, penampilan fisik (attractiveness) dan segi intelegensi mempengaruhi daya tahan perkawinan tersebut. Meskipun masing-masing pihak, baik suami maupun isteri, tidak mengharapkan pasangannya identik sama dengan dirinya, namun justru kesamaan-kesamaan kecil itulah yang akan membuat pernikahan menjadi langgeng dan harmonis. Selain itu kesadaran masing-masing untuk menghabiskan banyak waktu bersama pasangan, berbagi tugas (dalam hal ini pekerjaan rumah) dan pengambilan keputusan bersama memiliki peluang awet daripada pasangan yang tidak melakukannya (Berscheid, Snyder dan Omotu 1989, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Saling dukung dari pasangan mendapat bagian penting dalam kelanggengan rumah tangga. Kepuasan dalam hubungan suami isteri—pasangan adalah pendengar yang baik, simpatik dan peduli—menciptakan pengaruh yang positif terhadap pernikahan (Davis dan Oathout 1987, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Perkawinan adalah ikatan yang menyatukan dua orang yang memiliki perbedaan pandangan, prinsip bahkan tingkah laku. Jadi dapat juga dikatakan bahwa perbedaan tidak dapat terhindarkan dalam perkawinan. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah perbedaan ini dibiarkan saja dan kemudian berkembang menjadi alasan untuk bercerai? Bradburry dan Fincham 1990, diacu dalam Bird da n Melville 1994 menyebutkan bahwa sudah selayaknya masing-masing, baik suami maupun isteri, menyadari perbedaan tersebut di dalam diri keduanya. Dan karena itu sepatutnya masing-masing menghargai perbedaan prinsip pasangannya. Berpikir positif dan
8
tidak me naruh kecurigaan terhadap pasangan dapat meningkatkan kualitas hidup pernikahan. Shavar
dan
Hazar
1998,
diacu
dalam
Bird
dan
Melville
1994
mengklasifikasikan pernikahan berdasarkan ikatan antara suami dan isteri, yaitu: 1. Secure (aman) dengan ciri-ciri: mudah dekat dengan pasangan, nyaman bergantung
dengan
pasangan,
dan
tidak
khawatir
akan
tersisih
(abandoned). 2. Avoidant (penghindaran) dengan ciri-ciri: tidak nyaman dengan pasangan, susah dipercaya maupun mempercayai, khawatir jika pasangan terlalu dekat dengan orang lain, menuntut pasangannya supaya lebih dekat dan intens lebih dari kemampuannya. 3. Anxious/Ambivalent (pencemas) dengan ciri-ciri: jengah atau segan untuk terlalu dekat dengan pasangan, khawatir jika pasangan tidak mencintai dan mau bersama dengannya namun takut terhadap komitmen. Pengambilan Keputusan Blood dan Wolfe, diacu dalam Sajogyo 1983, diacu dalam Agustiani 1988 menyatakan bahwa selain faktor kebudayaan, faktor sumber daya pribadi juga sangat menentukan alokasi kekuasaan yang tercermin dalam keputusan yang diambil dalam keluarga. Turner dan Helms (1986) membagi jenis hubungan dalam perkawinan berdasarkan alokasi kekuasaan dalam rumah tangga, yaitu: 1. Patriarkal, dimana suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Meskipun isteri memiliki otoritas dalam bidang tertentu, seperti dalam hal pengasuhan anak, namun secara umum suamilah yang memegang kuasa dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Perkawinan patriarkal ini banyak dijumpai dalam berbagai budaya Timur khususnya di indonesia. 2. Matriar kal, dengan peran utama pengambil keputusan didominasi wanita. Selain merupakan bagian dari budaya, misalnya pada suku Minangkabau, Turner dan Helms (1986) menyatakan bahwa budaya matriarkal dapat ditemukan pada golongan ekonomi kelas rendah. Dalam rumah tangga ini peran suami dinyatakan hampir tidak ada, kemungkinan karena suami tidak ada atau meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama.
9
3. Egalitarian merupakan jenis yang kontemporer karena menghendaki kesamaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Isteri dan suami secara bersama-sama mengatur keuangan, menentukan jenjang pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya. Keputusan tentang siapa yang berkuasa dalam rumah tangga pada umumnya didasarkan pada siapa yang mencari nafkah atau penghasilan siapa yang lebih tinggi. Blumstein dan Schwartz 1983, diacu dalam Saxton 1993 menemukan bahwa dalam rumah tangga berlaku semacam pemahaman tidak tertulis bahwa semakin banyak uang yang dihas ilkan akan semakin dihargai, status naik dan memiliki kekuatan lebih dalam mengontrol pasangan. Pada rumah tangga dengan isteri tidak bekerja, kekuatan mengontrol terpusat pada suami. Isteri tidak bekerja pasrah suaminya berwewenang penuh dalam kebutuhannya. Isteri bekerja dianggap mempunyai kecenderungan tidak begitu menghormati suami, bahkan ada kecenderungan meremehkan. Tidak heran dalam beberapa kasus, suami tidak menginginkan isterinya bekerja. Mereka tidak mau kehilangan wibawa dan kekuatan mengontrol sebagai kepala rumah tangga. Meskipun demikian ditemukan keadaan bahwa suami tidak kekurangan wibawa dan isteri tetap tunduk pada suami meskipun dari segi pendapatan isteri sama atau lebih besar daripada pendapatan suami. Ada juga yang menunjukkan bahwa suami yang mempunyai kekuatan daripada isteri cenderung lebih bersemangat menambah pendapatan. Hal yang senada diungkapkan Tjok Isteri 1986, diacu dalam Agustiani 1988 bahwa besarnya peranan wanita di dalam dan di luar rumah tangga tidak selalu sejalan dengan besarnya kekuasaan wanita di dalam maupun di luar rumah tangga. Fungsi Keluarga Delapan fungsi keluarga (BKKBN, 1998) menurut PP Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan Keluarga Sejahtera yaitu: 1. Fungsi Keagamaan Fungsi keagamaan dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wadah persemaian nilai-
10
nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada tuhan Yang Maha Esa. 2. Fungsi Sosial budaya Fungsi sosial budaya memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. 3. Fungsi Cinta Kasih Fungsi cinta kasih dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dan anak, suami dengan isteri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir batin. 4. Fungsi Melindungi Fungsi melindungi dimaks udkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan. 5. Fungsi Reproduksi Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa. 6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Fungsi sosialisasi dan pendidikan memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaisan dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. 7. Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. 8. Fungsi Pembinaan Lingkungan Fungsi pembinaan lingkungan memberikan kepada setiap keluarga untuk mampu menempatkan diri secara serasi selaras, seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
11
Mac Iver dan Page 1952, diacu dalam Khairuddin 1985 mengatakan bahwa fungsi-fungsi dasar keluarga modern adalah: 1. Prokreasi dan memperhatikan seta membesarkan anak 2. Kepuasan yang lebih stabil dari kebutuhan seks masing-masing pasangan 3. Bagian dari rumah tangga, dengan gabungan materialnya. 4. Kebudayaan 5. Kasih sayang Mac Iver dan Page 1952, diacu dalam Khairuddin 1985 juga menyatakan bahwa kemunduran dalam fungsi dapat diukur melalui perbandingan meratanya aktivitas di luar kota dengan meratanya aktivitas di kota, dimana praktek-praktek tradisional berubah lebih lambat di luar kota daripada di kota. Perubahanperubahan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Perubahan pada fungsi ekonomi Sebelum revolusi industri, pembuatan barang-barang dan produksi serta konsumsi makanan dilakukan semuanya di dalam keluarga. Namun sekarang pabrik-pabrik telah mengambil alih segala produksi barangbarang. Bukan itu saja, berdasarkan data 1939-1950 (Khairuddin 1985) di Amerika Serikat keluarga -keluarga dan individu telah berkurang makan di rumah dan lebih banyak makan di restoran. Diperkirakan fenomena ini masih akan terus berlanjut sampai saat ini. Selain itu, teknologi telah memberikan pengaruh besar terhadap kebiasankebiasaan dalam rumah tangga. Alat-alat elektronik, seperti oven, kulkas, penghisap debu, seterika listrik dan sebagainya, bermunculan untuk meringankan pekerjaan rumah tangga. 2. Perubahan pada fungsi proteksi Dewasa ini fungsi proteksi dalam keluarga mulai diambil alih oleh pemerintah dan lembaga-lembaga. Orang-orang muda menyerahkan anggota keluarganya yang sudah tua ke panti jompo, dan orangtua telah menyerahkan tanggung jawab jaminan bagi anak-anak mereka di tangan lembaga dan pemerintahan. Tanggung jawab ini dapat berupa dana pensiun, asuransi jiwa dan ganti rugi kecelakaan.
12
3. Perubahan pada fungsi pendidikan Terdapat perkembangan bahwa lembaga pendidikan dapat membantu keluarga dalam memperbaiki perkembangan fisik, mental dan emosional anak. Tidak heran jika playgroup dan taman kanak-kanak semakin menjamur. Tingginya permintaan terhadap lembaga -lembaga pendidikan seperti ini menunjukkan bahwa tanggung jawab keluarga sekarang dalam pendidikan dan pendidikan moral tidaklah sebesar tanggung jawab keluarga di masa lalu, dimana pendidikan pertama anak haruslah berasal dari orangtua. 4. Perubahan pada fungsi rekreasi Sebelumnya rekreasi keluarga lebih dipusatkan di dalam rumah, namun seturut perubahan jaman sebagian besar berkembang di luar rumah. Berbagai sarana rekreasi—spa, pusat kebugaran, salon, kolam renang, lapangan olah raga , taman hiburan, tempat rekreasi—dibangun untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan
tersebut.
Selain
itu
muncul
pula
kecenderungan bahwa rekreasi dilakukan secara individu, tidak lagi bersama -sama dengan keluarga. Anak-anak biasanya pergi dengan temanteman sebayanya, sedangkan orangtua dengan rekan-rekan sekantornya. Satu lagi fenomena rekreasi yang tidak bisa dihiraukan adalah televisi. Keluarga yang memilih diam di rumah bukan berarti komunikasi diantara mereka terjalin dengan baik. Keberadaan televisi yang memberi informasi secara satu arah justru mengurangi peluang berkomunikasi antar anggota keluarga. 5. Perubahan pada fungsi agama Tingkah laku religius masyarakat modern lebih bervariasi jenisnya dan tidak lagi berpusat pada tempat-tempat ibadah agama. Ketenangan spiritual bisa ditemukan melalui aktivitas yoga dan perkumpulan spiritual. Belum lagi isu terapi dengan batu-batuan dan aromaterapi yang perlahanlahan menggantikan kegiatan yang bersifat agama.
13
Rogers (1960) menjelaskan perubahan fungsi keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud: 1. Pergeseran fungsi keluarga: fungsi produksi, melindungi, mendidik dan fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi di luar keluarga . Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut. 2. Perubahan otoritas dalam rumah tangga : otoritas ayah sebagai pengambil keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentasi jumlah wanita bekerja. 3. Perubahan dalam pencarian pasangan: dewasa ini romantisme menjadi inti dalam pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan bertemu sekali saja sebelum pernikahan. 4. Perubahan sikap terhadap perceraian: dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-pasangan yang merasa tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis Tidak dapat dipungkiri pula remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat. 5. Perlakuan terhadap kaum tua : kaum tua atau yang sudah jompo kurang dihormati lagi. Kecenderungan keluarga muda saat ini memilih jauh dari tempat tinggal orangtua dan mertuanya. 6. Perubahan jumlah dan ukuran keluarga : rata-rata ukuran keluarga sejak 1800
menurun
akibat
peningkatan
metode
pengaturan
kelahiran,
pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan. 7. Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan orangtua. Dewasa ini individualisme justru yang diprioritaskan ketimbang familisme.
14
Lebih lanjut lagi Rogers menyebutkan empat alasan perubahan keluarga yaitu: (1) industrialisasi, (2) urbanisasi, (3) anak tidak lagi menjadi aset keluarga, (4) alat-alat rumah tangga modern. Ketegangan Suami Isteri Saxton (1990) menyebutkan beberapa bentuk ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami isteri yang mengarah pada konflik: (1) Frustrasi Frustrasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi atau perasaan puas yang terpasung. Frustrasi dalam hidup berpasangan terutama dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut. Contoh yang diberikan Saxton adalah kasus dimana suami menginginkan hubungan seks sedangkan isteri menolak. Sebenarnya si isteri tidak menginginkan seks didasari oleh kelelahan fisik atau preferensi kegiatan lain,
menonton
televisi
misalnya.
Namun
sang
suami
malah
menanggapinya sebagai penolakan terhadap kebutuhan biologisnya. Jika suami tidak mengubah persepsinya mengenai alasan isteri menolak berhubungan seks, suami kemungkinan besar akan mengalami frustrasi dan kesalahan menanggapi maksud isterinya. Tak jarang penolakan berhubungan seks disalahartikan sebagai ‘tidak cinta lagi’. Saxton melihat hal ini sebagai lubang-lubang kecil menuju perceraian. (2) Penolakan dan Pengkhianatan Sering ditemui pada keluarga muda yang beranjak pada tahun-tahun berat pernikahan. Romantisme masa-masa berpacaran pelan-pelan tergantikan oleh kesibukan dan konsentrasi pada urusan mencari nafkah keluarga dan anak. Tidak heran ada perasaan tersisihkan dan dilupakan oleh pasangannya. Orang yang merasa dirinya ditolak oleh pasangannya biasanya melancarkan balasan, bisa berupa sikap maupun kata-kata. Demikian pula halnya pada perasaan dikhianati pasangannya. Kekosongan dan berkurangnya komunikasi memicu pertengkaran suami dan isteri. Tak jarang ada yang memutuskan meninggalkan pasangannya (minggat) sebagai bentuk serangan atas ketersisihan yang dirasakannya.
15
(3) Berkurangnya Kepercayaan Saat seseorang dalam hidup berpasangan kepercayaannya berkurang terhadap pasangannya umumnya merambat pada kebinasaan hubungan. Hal ini cukup beralasan sebab kepercayaan menyangkut kesadaran membina keharmonisan dengan pasangan dalam bentuk peningkatan keintiman satu sama lain. Menurunnya kepercayaan (lowered self -esteem) dapat ditanggulangi dengan komunikasi yang jujur dan terbuka antara kedua belah pihak. (4) Displacement Saxton menemukan kasus bahwa respondennya pernah bertengkar dengan pasangannya dan tidak bertegur sapa selama dua hari tanpa alasan yang jelas. Saxton menyebutnya sebagai displacement, diperkirakan lahir dari perasaan yang terpendam sejak lama yang mendadak meledak sebagai klimaks. Menurutnya, masalah yang menjadi alasan pertengkaran cenderung sepele bahkan ada yang melenceng dari persoalan semula. (5) Psychological Games Psychological games didefinisikan sebagai interaksi dimana seseorang menyerang orang lain dalam perdebatan demi sebuah kemenangan terselubung. Berne 1967, diacu dalam Saxton 1990 berpendapat bahwa perasaan menang itu didapat saat pasangannya mengaku tunduk atas argumen
yang
dikeluarkannya.
Dalam
membuat
keputusan
pola
psychological games ini sangat berbahaya, sebab keputusan yang diambil cenderung tidak melihat pada masalah yang sedang diala mi, melainkan sejauh mana lawan berdebat baru mengaku kalah. Bird dan Melville (1994) menyebutkan tiga tanda-tanda berbahaya dalam perkawinan: 1. Komunikasi dengan pasangan berkurang a) Waktu bersama dengan pasangan sangat sedikit. b) Lebih memilih untuk menghabiskan waktu luang dengan teman-teman daripada dengan pasangan. 2. Keinginan untuk mengontrol pasangan a) Mencoba untuk menjadi dominan dalam pengambilan keputusan.
16
b) Pasangan gagal untuk berkomunikasi secara efektif mengenai masalah kontrol dalam hubungan mereka dan masalah ketergantungan dengan pasangan karena salah satu pihak—dalam hal ini yang dikontrol oleh pasangannya—memilih untuk menutup diri dan pesimis dengan rumah tangga yang mereka jalani (Holmes dan Rempel 1989, diacu dalam Bird dan Melville 1994). 3. Cembur u Parrot dan Smith 1987, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menyatakan bahwa ketika individu bereaksi dengan keraguan, ketidakpercayaan dan kecurigaan karena ketakutan pasangan akan meninggalkannya, perasaan kesepian, dikhianati dan ketidakpercayaan akan hadir bersama -sama dengan perasaan cemburu. Bird dan Melville (1994) sendiri tidak menyalahkan perasaan cemburu tersebut. Sebaliknya, untuk memperjelas sejauh mana cemburu tersebut dapat mengarah pada konflik rumah tangga, mereka mengklasifikasikan kecemburuan tersebut menjadi dua jenis yaitu: 1. Normal jealousy (cemburu yang normal), adalah saat individu merasa kecewa dengan salah satu isu dalam hubungan mereka. Biasanya reaksi atas kecemburuan ini adalah dengan membicarakannya langsung dengan pasangan dan mencoba mencari jalan keluarnya bersama-sama. 2. Pathological jealousy (cemburu yang berbahaya), adalah kekecewaan terhadap pasangan yang dilatari oleh masalah yang tidak memiliki bukti atau malah masalah yang tidak ada sama sekali. Beberapa kasus membuktikan ba hwa terkadang kecemburuan itu sendiri muncul dari individu itu sendiri, yang merasa bahwa pasangan bersalah namun tanpa bukti atau argumen yang tidak berdasar. Kecemburuan jenis inilah yang membawa hubungan suami isteri ke arah pertengkaran bahkan perceraian. Brandon 1980, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan sebuah teori menarik mengenai alasan dasar ketidakharmonisan rumah tangga yang sering tidak disadari oleh pihak suami maupun isteri, yaitu kepercayaan diri. Individu yang memiliki kepercaya an diri tinggi mempunyai kemungkinan untuk menjalin hubungan yang intim dengan pasangannya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan
17
individu tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi kasih sayang dua arah dan juga mampu untuk menjadi pendukung pasangannya. Berbeda sekali dengan individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, dimana dia cenderung untuk bergantung dengan pasangannya karena memiliki kebutuhan akan kasih sayang dan ingin diperhatikan oleh pasangannya (Dion dan Dion 1988, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Hal senada juga diungkapkan oleh Crawford dan Unger (2000) bahwa perasaan tersisih dan cemburu kerap dirasakan terhadap pasangan karena dirinya tidak memiliki cukup kepercayaan diri yang membuat dirinya layak merasa layak dicintai dan dipertahankan oleh pasangan. Pengkhianatan terhadap pasangan ternyata tidak sesederhana yang dikira selama ini. Dalam sebuah survei majalah Cosmopolitan Australia terhadap 1000 orang responden, ditemukan beberapa kesimpulan mengenai pengkhianatan. 47% dari total responden menganggap bahwa berpegangan tangan sudah termasuk pengkhianatan; 58% dari total responden menyatakan bahwa cyber-sex 1 adalah jenis pengkhianatan yang sama buruknya dengan hubungan seks dengan orang lain; 69% dari total responden memilih untuk tetap setia meskipun situasi memungkinkan untuk berkhianat tanpa ketahuan pasangan; dan 58% memilih untuk balas berselingkuh jika pasangan berkhianat. Meskipun survei di atas tidak bisa dijadikan patokan mengenai gambaran kehidupan berpasangan yang sebenarnya, namun bisa dikatakan bahwa pengkhianatan adalah isu yang tidak bisa diremehkan. Christensen 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001 membedakan alasan perselingkuhan berdasarkan gender: 1. Pria a) Menurut hasil penelitian The Wellcome Trust (UK) ditemukan bahwa pria yang kecanduan alkohol memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa berselingkuh adalah hal yang lumrah. b) Pria yang berstatus hidup mapan dan sukses biasanya memiliki keberanian lebih, yang mendorong ketertarikan untuk hal-hal beresiko tinggi seperti perselingkuhan. 1
cyber -sex : individu bertemu dengan seseorang di chatroom dan bertukar cerita erotis yang dimaksud untuk memancing gairah seksualnya satu sama lain.
18
c) Pria yang tinggal di daerah perkotaan (urban) memiliki kemungkinan untuk berselingkuh yang lebih tinggi daripada pria yang tinggal di daerah pedesaan (rural). Teori ini didasarkan oleh hasil penelitian University of Chicago 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001. d) Pria yang memiliki jam kerja sampai tengah malam punya alasan yang kuat
untuk
merahasiakan
keberadaannya.
Hal
ini
memperbesar
kesempatan untuk berselingkuh (McKechnie 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001). 2. Wanita a) Wanita memiliki kebutuhan emosional yang lebih tinggi daripada pria, karena itu kondisi kesepian mendorongnya untuk berselingkuh di belakang pasangannya (Block 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001). b) Wanita yang memiliki sifat narsistik—cinta pada diri sendiri— berselingkuh karena kebutuhannya untuk dipuja dan dikagumi. c) Wanita yang terobsesi dengan kekuatan untuk mengontol keadaan (mempunyai keinginan mendominasi yang besar) sangat memungkinkan untuk berselingkuh. d) Seperti halnya pria, beberapa wanita memiliki karakter yang senang bermain -main dengan resiko dan bahaya menganggap perselingkuhan sebagai tantangan tersendiri (Christensen 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001) Lalu bagaimana cara untuk mendeteksi pasangan yang berselingkuh? Berikut adalah ciri-ciri seseorang yang berselingkuh berdasarkan artikel dalam Keyishian dan Goins (2001) dan Colon (2004): 1. Mulai mengacuhkan pasangan. Dari hari ke hari muncul jarak yang nyata antara dirinya dan pasangan. Jarak ini bisa saja dengan membiasakan diri dengan kegiatan baru yang tidak ada hubungannya dengan pasangan. Dengan begitu dia dapat dengan mudah berselingkuh tanpa harus takut ketahuan oleh pasangan. 2. Membuat janji-janji kosong terhadap pasangannya, yang bisa saja berupa upaya meyakinkan pasanga n supaya lain kali pulang tepat waktu dan sebagainya, dan ternyata di kemudian hari janji ini tidak terlaksana.
19
3. Peduli terhadap penampilan. Tanda-tandanya bisa berupa frekuensi membeli pakaian baru dalam sebulan atau tampil lebih wangi dan rapi. 4. Sering me ngkritik pasangannya. Sikapnya jadi lebih menjengkelkan daripada yang biasanya, sebab ini gejala-gejala untuk menutupi rasa bersalahnya atas perselingkuhan yang dijalani. 5. Menuduh pasangannya berselingkuh. Gejala overprotektif yang mendadak ini dikarenakan oleh perang batin yang dia rasakan selama berselingkuh sehingga dia seakan-akan melihat ketidakjujuran yang sama pada diri pasangannya. 6. Gelagat menerima telepon dari orang yang tidak dikenal saat bersama dengan pasangan. Dia mengawasi pasangan saat menerima telepon, atau bisa juga dengan cara menghindar dan pergi ke tempat yang lebih aman dengan alasan privasi. 7. Pengeluaran yang tidak sewajarnya. Beberapa kali alokasi uang untuk jumlah yang cukup besar tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan pasangannya. Karena itu pasangan perlu sesekali mengecek pengeluaran suami, baik kontan maupun dari tagihan kartu kredit yang dibebankan setiap bulannya. 8. Menghujani pasangan dengan banyak hadiah. Ini adalah salah satu upaya untuk mengurangi rasa bersalah dalam dirinya. 9. Menjauhkan pasangan dari kegiatan-kegiatan di luar jam kerja, seperti pesta kantor dan sejenisnya, dengan berbagai alasan yang kadang-kadang tidak rasional. Gelagat ini umumnya ditemui pada kasus perselingkuhan dengan rekan kerja. 10. Sering berbohong. Hal ini tak dapat dihindari sebab hanya dengan berbohonglah rahasia perselingkuhan tidak dapat dibongkar. Konflik Skolnick dan Skolnick (1983) menjabarkan lima jenis pernikahan berdasarkan sikap terhadap pasangan dan cara menghadapi konflik: 1. Conflict-habituated (terbiasa dengan konflik) a) Banyak konflik dan ketegangan di dalam pernikahan jenis ini walaupun secara umum bisa dikontrol.
20
b) Pertengkaran bersifat pribadi—antara suami dan isteri saja, mengomel dan mengungkit-ungkit masa lalu. c) Pertengkaran sebisa mungkin diketahui oleh anak-anak dan keluarga dekat, meskipun yang terjadi adalah sebaliknya. d) Ada semacam pengertian diantara suami dan isteri yang menganggap bahwa ketidakcocokan, konflik dan ketegangan adalah bumbubumbu pernikahan yang sewajarnya ada dalam rumah tangga. Malah beberapa menganggap bahwa konflik adalah pernyataan dari kepedulian dari pasangan. 2. Devitalized (rasa cinta yang perlahan-lahan mati) a) Awal-awal tahun pernikahan, pasangan tergila-gila satu sama lain, saling mencintai, menikmati kehidupan seks yang baik dan memiliki keintiman dengan pasangan. b) Seiring perjalanan pernikahan mereka, waktu untuk bersama pun berkurang, frekuensi berhubungan seks pun menurun. c) Kebersamaan dianggap sebagai keterpaksaan (duty time). d) Jenis pernikahan ini umumnya mengalami konflik yang sedikit, namun sampai pernikahan berakhir baik suami maupun isteri bersikap apatis dan masa bodoh. e) Kebiasaan lain pernikahan jenis devitalized ini adalah suka membanding-bandingkan kehidupan rumah tangganya dengan pasangan lain. 3. Passive-Congenial (pasif tapi cocok) a) Memiliki banyak kesamaan dengan pasangan. b) Memiliki kesamaan kesukaan dan aktivitas yang diminati dengan pasangan. c) Konflik minim. d) Hanya sedikit perhatian yang bisa mereka curahkan dengan pasangannya
sebab
gaya
hubungan
passive-congenial
ini
mengarahkan keduanya untuk lebih intens menyibukkan diri dengan kegiatan untuk masyarakat di luar rumah.
21
4. The vital (cinta yang membara) a) Pasangan melakukan kegiatan hampir secara bersama-sama. b) Antara pasangan saling mengisi dan menjadi sama-sama siap terlibat menjadi bagian yang penting bagi kehidupan pasangannya. c) Kelemahan the vital adalah konflik yang dialami pasangan biasanya seputar hal-hal penting bagi mereka berdua. 5. The total (cinta yang sepenuhnya buat pasangan) a) Ciri pasangan the total adalah rasa nyaman terhadap keintiman dengan pasangannya. b) Hubungan pasangan the total lebih awet dibandingkan jenis pernikahan yang dijelaskan sebelumnya. c) Isteri dan suami berperan sebagai pendamping sekaligus sahabat. d) Model pernikahan seperti ini jarang sekali ditemukan, namun bukan berarti tidak ada dalam kehidupan nyata. Brennen (1999a) menemukan ada lima halangan yang sering dihadapi pasangan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga: 1. Salah satu pihak merasa bahwa pada akhirnya harus ada yang disalahkan dalam setiap pertengkaran. 2. Salah satu pihak enggan untuk bertentangan dengan pasangannya. 3. Perbedaan diantara keduanya seakan-akan tidak bisa diselesaikan. 4. Masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda dalam memecahkan masalah sehingga terkadang muncul salah paham. 5. Pertengkaran serius untuk masalah yang tidak penting (remeh). Selanjutnya, Brennen (1999a) menyatakan bahwa dalam konflik ada empat tipe interaksi yang tidak sehat: 1. Escalation. Tipe ini dicirikan sebagai sikap yang memberi penjelasan secara berbelit-belit sehingga memperburuk keadaan. 2. Invalidation. Tipe ini dicirikan dengan sikap yang merendahkan atau menjelek-jelekkan atau memojokkan pasangan dengan harapan dirinya bisa lepas dari tuduhan sebagai ‘penyebab masalah’. 3. Withdrawal and Avoidance. Tipe ini berusaha menghindari konflik dan enggan membicarakan masalah-masalah dengan pasangan
22
4. Negative Interpretation. Tipe ini bisa juga dikarenakan salah paham, menganggap bahwa membicarakan konflik akan berakhir dengan dirinya sebagai orang yang bersalah. Kecur igaan yang tidak beralasan berperan penting dalam tipe ini. Berdasarkan karakter yang terlibat dalam konflik, Brennen (1999a) menemukan lima jenis kecenderungan sikap dalam memecahkan masalah rumah tangga: 1. Pursuers. Pasangan yang memilih resolusi tipe pursuers menganggap masalah-masalah
yang
terjadi
adalah
karena
hubungan
dinilai
merenggang. Pemikiran tersebut dilahirkan dari pendapat bahwa bersikap menjauh dari pasangan berarti pasangan ingin berpisah. Karena itu resolusi jenis pursuers ditandai dengan sikap memperbaiki keintiman dan kedekatan dengan pasangan. 2. Distancers. Penganut resolusi gaya distancers memilih menjauhkan diri sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik, sebab mereka memiliki kesulitan dalam menyatakan perasaan mereka. Mereka menyalurkan e mosi dengan bekerja dan mengesampingkan interaksi dengan pasangan jika konflik semakin buruk. 3. Underfunctioners. Penganut resolusi gaya underfuncioners melihat konflik sebagai penyebab kekacauan dalam hidup mereka. Masalah membuat hidup mereka berubah, karena itu underfunctioners melihat masalah secara serius dan berusaha untuk menyelesaikannya sesegera mungkin. 4. Overfunctioners. Penganut resolusi gaya overfunctioners memberikan saran dan nasehat jika pasangan terlibat masalah. Namun kadang-kadang penganut overfunctioners sukar untuk berempati, sehingga hanya menanggapi masalah dari pandangan dirinya saja—bukan dari pihak yang mempunyai masalah. 5. Blamers. Resolusi gaya blamers muncul dari keinginan untuk tampil ‘bersih’ di depan lawan konfliknya, dicirikan dengan sikap menyalahkan pasangannya. Wahlroos (1988) yang lebih banyak menyorot pada komunikasi yang tidak sehat sebagai latar belakang ketidakharmonisan rumah tangga, menganalisis
23
komunikasi keluarga yang destruktif terjadi akibat ketidakpekaan tiap-tiap elemen keluarga akan perasaan satu sama lain. Ada beberapa peraturan komunikasi yang menurut Wahlross penting dilakukan dalam hubungan suami-isteri: (1) Berkomunikasi secara positif, jelas, spesifik dan tidak menggunakan teknik pertengkaran kotor (mengejek, menyalahkan). (2) Mengakui bahwa setiap kejadian dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. (3) Mengakui bahwa pasangan benar-benar mengenal pribadi anda dan perilaku anda. (4) Bersikap terbuka dan jujur mengenai perasaan anda. (5) Belajar menghormati dan memahami perasaan pasangan. (6) Belajar tidak menyetujui tanpa perdebatan yang destruktif. (7) Jangan mengomel, berteriak dan menggerutu. (8) Pendekatan dengan pasangan yang berbeda pendapat tanpa bersikap menggurui atau mengkotbahi. (9) Belajar mendengarkan. (10)belajar memahami keadaan, kapan harus bergurau kapan serius. Paries (2001a, 2001b) merumuskan tiga langkah yang sebaiknya dilakukan dalam berkomunikasi dengan pasangan: 1. Tentukan konteks Pada tahap ini diperlukan persiapan yang matang sebelum melontarkan masalah yang akan dibicarakan dengan pasangan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah: a) masalah yang hendak dibicarakan; b) hubungannya dengan kehidupan rumah tangga; c) tujuan yang ingin dicapai; d) meyakinkan bahwa masalah tersebut sangat mengganggu dan sebaiknya cepat diselesaikan; e) keuntungan dari memecahkan masalah tersebut 2. Hindari komunikasi yang tidak sehat Mencari siapa yang salah hanya akan melahirkan sakit hati bagi suami dan isteri. Jadi, sebaiknya pembicaraan dilakukan tanpa ledakan emosi yang tidak perlu. 3. Berinteraksi dengan pasangan Dalam percakapan perlu sekali diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
24
a) Berkomunikasi secara jujur dan terbuka. b) Mengatakan semua yang perlu dikatakan. Jangan menyisakan masalah untuk kemudian hari. c) Berilah penjelasan yang lengkap dan jelas. Bertele -tele hanya akan membuat pasangan menjadi bingung dan salah paham. d) Menjelaskan hasil yang ingin diperoleh dari pembicaraan tersebut. e) Untuk menghindari kesalahpahaman, sesekali tanyakan pada pasangan tentang bagian penjelasan mana yang kurang jelas. f) Meminta pasangan untuk mengulangi kembali penjelasan yang baru saja diberikan untuk memastikan pasangan mengerti maksud pembicaraan g) Menanyakan pada pasangan, apakah pasangan menghargai permintaan penyelesaian tersebut. h) Bernegoisasi i) Berkomunikasi secara lembut namun tegas. Menghindari gerutu, omelan atau pembicaraan dengan nada tinggi (emosi). j) Jika perlu, pembicaraan bisa ditunda dan dilanjutkan lain waktu. Hal ini juga dilakukan untuk memberi waktu kepada pasangan untuk berpikir. k) Berkomunikasi lagi dan mencari pemecahannya secara bersama. Perceraian Pada tahun 1900 tidak wajar bagi wanita bekerja di luar rumah. Wanita tidak diberi pilihan kecuali menikah dan tinggal di rumah. Suami dan isteri biasanya ‘dipaksa’ tetap bersama suka maupun tidak. Fenomena ini dilatari karena perceraian dianggap dosa dan kesan negatif terhadap wanita yang bercerai di masa itu. Setelah perang dunia, tingkat perceraian di Amerika meningkat dua kali lipat setiap 20 sampai 25 tahun. Fenomena ini dijelaskan karena perubahan opini publik mengenai liberalisasi perceraian dalam berbagai studi. Tren ini diikuti oleh tren baru yang datangnya dari Timur yaitu Asia. Orang-orang Timur memilih bercerai ke Barat karena di Asia perceraian tidak terlalu banyak kasusnya dan
25
kesan negatif tentang perceraian yang melekat dalam budaya ketimuran yang menjunjung nilai- nilai pernikahan (Oakley 1974). Perceraian di Indonesia hanya mungkin dengan salah satu alasan seperti yang di sebutkan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan (Saleh 1980), yang diulang kembali sama bunyinya dalam pasal 19 Peraturan Pelaksanaan, sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-uturt tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mela kukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Augustine (2004c) disebutkan beberapa alasan pasangan memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya: 1. Prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan 2. Ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan 3. Pasangan meninggalkan keluarga 4. Perzinahan 5. Perlakuan kejam (kekerasan dalam rumah tangga) 6. Pasangan dipenjara 7. Pasangan ingin menikah lagi (bigami/poligami) 8. Penghinaan pasangan 9. Lain-lain atau tanpa alasan (jenis perceraian tanpa alasan disebut juga dengan istilah no-fault divorce)
26
No-fault divorce (perceraian tanpa alasan) sendiri baru muncul pada tahun 1970 di California (Alan dan Crow 1989). No fault divorce didefinisikan sebagai perbedaan yang tak dapat dijelaskan yang menyebabkan gangguan yang tak terselesaikan yang mendorong ke arah kehancuran rumah tangga. Adapun no-fault divorce ini mengubah empat elemen dasar dari proses perceraian tradisional: 1. No-fault divorce menghapus alasan-alasan yang mendasari perceraian. Sekarang perceraian dapat dimulai dengan permohonan netral tanpa tindakan khusus atau pembahasan latar belakang bercerai sebagai dasar pertimbangan putusan. 2. Hukum yang baru menghapuskan proses konseling (biasanya mencoba untuk merujukkan kembali kedua pasangan) yang biasanya dilakukan sebelum keputusan bercerai dinyatakan final. 3. Aspek pembagian harta atau yang bersifat finansial lebih didasari oleh hak kekayaan, persamaan dan kebutuhan ekonomi daripada besarnya kesalahan (berdasarkan aasan bercerai) dan keputusan berbasis gender (bahwa suami wajib menyantuni isterinya setelah bercerai). 4. No-fault divorce memberi pemahaman baru tentang tanggung jawab suami dan isteri dengan mengadopsi norma baru persamaan hak gender dalam rumah tangga. Goode 1956, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan teori bahwa alasan bercerai disebabkan oleh ketidakpuasan dan konflik dengan pasangan dan kurangnya peran suami dalam rumah tangga. Sedangkan Thompson 1984, diacu dalam Bird dan Melville 1994 berpendapat bahwa perceraian bisa terjadi dikarenakan oleh peran serta dalam rumah tangga yang berbasis gender— laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah dan perempuan (isteri) merawat anak dan mengurus rumah, kualitas hubungan seksual, komunikasi pasangan dan perubahan sikap pasangan. Keberhasilan dalam suatu perkawinan dapat dilihat dari kematangan masingmasing pasangan. Kematangan dapat diasosiasikan dengan usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa usia muda dapat menjadi batu sandungan dalam perkawinan dan memiliki kemungkinan besar gagal atau bercerai. Di Jawa Barat wanita kebanyakan menikah pada usia belia. Hull dan Hull 1976, diacu dalam
27
Ariani 1983 meneliti bahwa di Serpong, Jawa Barat, usia wanita pertama kali menikah rata -rata 15, 6 tahun. Lewis dan Spanier 1979, diacu dalam Steinberg 1997 meneliti tentang pernikahan di usia remaja dan menemukan fenomena bahwa tingkat perceraian pria yang menikah di usia remaja tiga kali lipat daripada tingkat perceraian pria yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Sedangkan pada wanita yang menikah di usia belasan tahun, tingkat perceraiannya empat kali lipat daripada tingkat perceraian wanita yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Teti, Lamb dan Elsten 1987 diacu dalam Hendricks dan Hendricks 1993 menyatakan bahwa pernikahan di usia remaja memiliki konflik tinggi yang cenderung membawa pernikahan tersebut ke akhir berupa perceraian. Hal ini senada dengan pernyataan Heitler 1991, diacu dalam Perron 1991 bahwa individu pada usia remaja memiliki keterbatasan pengalaman dan pandangan untuk memilih pasangan yang tepat dengan dirinya—lebih dikuasai emosional daripada rasionalitas—dan mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membina rumah tangga. Berdasarkan pasal 7 (1) Kitab Undang-undang Perkawinan (Saleh 1980) usia yang diizinkan untuk melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun untuk mempelai pria dan 16 tahun untuk mempelai wanita. Pasal 6 (2) mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari orangtua atau dari Pengadilan Agama berdasarkan permintaan orang yang bersangkutan. Bohannan 1970, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menyebutkan ada enam tahap perceraian yang dialami oleh pasangan, yaitu: 1. Emotional divorce, proses pertentangan pribadi karena ketidakpuasan terhadap pernikahan, perubaha n sikap, konfrontasi langsung dengan pasangan, bertengkar dan yakin untuk mengakhiri pernikahan. 2. Legal divorce, pasangan berpisah dan menyerahkan proses perceraian yang legal ke lembaga hukum perkawinan yang berwenang 3. Economic divorce , menyelesaikan pembagian keuangan dan harta keluarga 4. Coparented divorce , menyelesaikan masalah hak asuh anak dan tanggung jawab membesarkan anak
28
5. Community divorce, masing-masing pasangan secara tersendiri merasakan perubahan dalam jaringan persaudaraan dan relasi. Dalam tahap ini juga, masing-masing mulai mencari minat dan kegiatan baru 6. Physcic divorce, mulai membebaskan diri dari perasaan ketergantungan dan rasa aman yang diperoleh saat masih bersama dulu. Berdasarkan
ketentuan
tentang
perceraian
dalam
Undang-undang
Perkawinan (pasal 39 sampai dengan pasal 41) dan tentang Tata Cara Perceraian dalam Peraturan Pelaksanaan (pasal 14 sampai dengan pasal 36) ada dua macam perceraian yaitu: 1. Cerai Talak, yaitu jika seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 14 Peraturan Pelaksanaan dalam Undang-undang Perkawinan). Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa cerai talak hanya khusus bagi yang beragama Islam. 2. Cerai gugat, adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dengan suatu putusan Pengadilan. Isu anak sangat kental dengan perceraian. Khairuddin (1985) menyatakan bahwa banyak pasangan suami isteri yang tidak harmonis segan untuk bercerai demi kesejahteraan anaknya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh situs divorce.co.uk, yang menyatakan bahwa anak-anak dalam keluarga yang bercerai memiliki kemungkinan-kemungkinan psikologi seperti: 1. Hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. 2. Miskin ketika beranjak dewasa. 3. Bermasala h dalam hal perilaku. 4. Prestasi di sekolah menurun. 5. Membutuhkan pengobatan atau terapi kesehatan. 6. Meninggalkan sekolah/rumah semasa muda. 7. Menjadi aktif secara seksual, hamil atau menjadi orangtua di usia muda.
29
8. Gejala-gejala depresi, pecandu rokok dan minuma n keras, ketergantungan pada obat-obatan pada usia remaja atau dewasa. Meskipun demikian, kedua teori di atas mendapat sanggahan dari Nye 1957, diacu dalam Khairuddin 1985 menyatakan bahwa kehidupan anak akan jauh lebih baik jika orangtuanya bercerai daripada tinggal seatap bersama orangtua yang utuh tetapi selalu bertengkar. Emery, diacu dalam Agustine 2005 juga setuju dengan Nye, dan menyatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai dapat mengalami hidup yang bahagia jika orangtuanya mempertimbangkan keputusan (bercerainya) dengan sebaik-baiknya dan memilih cara yang tepat untuk berinteraksi dengan anaknya. Interaksi ini dapat dengan cara komunikasi terbuka orangtua-anak mengenai alasan kenapa keputusan bercerai dianggap sebagai solusi yang tepat untuk masalah rumah tangga mereka, mendengarkan perasaan dan pendapat mereka dan bersama-sama mencari jalan keluar. Berakhirnya pernikahan bagi seseorang yang masih berusia di awal dua puluhan jauh lebih menyakitkan daripada yang dirasakan seorang wanita yang berusia lebih dewasa. Perceraian adalah kekecewaan yang besar dalam hidup dan tidak semua orang bisa melewatinya dengan mudah. Meskipun demikian, karena remaja memiliki sifat emosional yang masih labil dan keterbatasan cara pandang menyebabkan coping strategy-nya tidak sematang wanita dewasa. Berkov dan Sklar 1976, diacu dalam Becker 1981 menyatakan bahwa janda (wanita yang bercerai) lebih lama mengalami remarried—pernikahan untuk kedua kalinya—ketimbang duda (pria yang bercerai) walaupun mereka bercerai pada usia muda. Janda pada umumnya mendapat hak asuh anak dan hal inilah yang menghambat pernikahan kembali tersebut. Hal senada diungkapkan oleh Weitzman dan Dixon 1979, diacu dalam Becker 1981 bahwa anak yang masih kecil menaikkan biaya dalam mencari pasanga n baru dan secara signifikan mengurangi sumber daya —dalam hal ini uang—janda tersebut.
30
KERANGKA PEMIKIRAN Kegagalan pernikahan bukan akhir dari konflik yang tidak terselesaikan dalam keluarga . Masalah-masalah pernikahan tersebut ternyata justru dimulai sebelum pernikahan terjadi. Hal ini berkaitan dengan karakteristik sebagai latar belakang suami isteri, seperti usia (usia sekarang dan usia saat menikah), jumlah anak (bawaan dari pernikahan sebelumnya dan anak dari pernikahan terakhir), tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan riwayat pernikahan orangtua. Karakter suami dan isteri—entah salah satu yang dominan ataupun mempunyai sikap kesetaraan dalam hidup berumah tangga —ditunjukkan dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan fungsi-fungsi keluarga, yang terdiri dari: fungsi agama, reproduksi, cinta kasih, melindungi, ekonomi, sosial budaya, sosialisasi dan pendidikan dan pembinaan lingkungan. Bradburry dan Fincham 1990, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menyebutkan bahwa sudah selayaknya masing-masing, baik suami maupun isteri, menyadari perbedaan tersebut di dalam diri keduanya. Tetapi yang terjadi dalam keluarga adalah perbedaan karakter suami dan isteri menimbulkan ketidakserasian yang menimbulkan ketegangan ( tension). Ketegangan akan mendorong rumah tangga menuju ketidakharmonisan yang ditunjukkan dengan munculnya konflik —kekecewaan, kesal, tertekan, keinginan untuk bercerai, meninggalkan rumah, atau berupa pertengkaran kotor seperti memaki, berteriak dan menyakiti perasaan pasangan. Perceraian akan memberikan dampak bagi kedua pihak, termasuk anak. Kehidupan pasca perceraian ternyata ditentukan oleh bagaimana keduanya mengakhiri pernikahan tersebut. Jika perceraian terjadi dibawah ketegangan dan rasa benci, hubungan dengan mantan pasangan akan menjadi buruk atau putus sama sekali. Secara skematis kerangka pemikiran dijelaskan pada Gambar 1.
31
KARAKTERISTIK SUAMI ISTERI: - usia - jumlah anak - tingkat pendidikan - alasan pernikahan - riwayat pernikahan orangtua
PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERDASARKAN FUNGSI-FUNGSI KELUARGA: - agama - sosial budaya - reproduksi - cinta kasih - ekonomi - melindungi - melindungi - sosialisasi dan pendidikan - pembinaan lingkungan
KETEGANGAN SUAMI ISTERI: - penolakan dan pengkhianatan - berkurangnya kepercayaan - pasangan ingin menang sendiri
KARAKTERISTIK ISTERI: - pekerjaan - pendapatan perkapita
KONFLIK: - kecewa - kesal - tertekan - keinginan untuk bercerai - meninggalkan rumah - berteriak pada pasangan - memaki pasangan
PERCERAIAN
PASCA PERCERAIAN
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Ketegangan Suami Isteri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai
32
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten dan Kotamadya Bogor, dilakukan mulai bulan November 2004-Februari 2005. Penelitian dimulai dari daerah Cibanteng, Babakan Raya, Babakan Doneng, Ciampea, dan pada acara Single Parents Day di Gereja Kristen Indonesia (GKI) pada bulan Februari 2005. Cara Pengambilan Contoh Contoh penelitian adalah janda yang telah bercerai minimal dua tahun, tidak menikah lagi (remarried) dan sudah mempunyai anak. Penelitian ini menggunakan Snowball Method , yaitu dengan mencari satu individu contoh dengan karakteristik yang dicari di dalam suatu wilayah tertentu, kemudian ditanyai dengan pertanyaan dari kuesioner yang telah disiapkan. Setelah selesai, enumerator menanyakan siapa calon contoh yang potensial. Hal ini dilakukan sampai tercapai target yang diminta yaitu 35 orang contoh. Jenis Data dan Cara Pengumpulan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan melalui wawancara meliputi : 1. Karakteristik suami isteri, yang meliputi: usia, jumlah anak, tingkat pendidikan, alasan pernikahan dan riwayat pernikahan orangtua. 2. Karakteristik isteri, yang meliputi: pekerjaan dan tingkat pendidikan. 3. Pengambilan keputusan dalam fungsi keluarga yang meliputi penerapan delapan fungsi keluarga dalam kehidupan berumah tangga sehari- hari yang meliputi fungsi keagamaan, fungsi reproduksi, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi ekonomi, sosialisasi dan pendidikan, dan fungsi pembinaan lingkungan. 4. Ketegangan suami isteri yang meliputi penolakan dan pengkhianatan, berkurangnya kepercayaan dan pasangan mau menang sendiri. 5. Konflik, yang antara lain meliputi: perasaan kesal, kecewa, tertekan, keinginan untuk bercerai, meninggalkan rumah sebagai reaksi atas perasaan ter tekan, berteriak di tengah-tengah pertengkaran dan memaki pasangan di tengah-tengah pertengkaran.
33
6. Pasca perceraian, yang meliputi frekuensi kontak suami dan isteri setelah bercerai, pasangan kontak dengan anak, menafkahi sesuai dengan ketentuan yang diteta pkan, bertemu berua secara sengaja dan kontak melalui surat dan sebagainya. Data sekunder meliputi banyaknya kasus perceraian yang terjadi di kota Bogor, yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Bogor. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang dikumpulkan meliputi data kuantitatif dan kualitatif. Datadata tersebut kemudian akan diskoring dan ditabulasi sesuai jenis datanya. Setelah itu dilakukan juga uji reliabilitas kuesioner dengan metode alpha cronbach, yang diperlihatkan pada Tabel 1. Statistik descriptive dengan menggunakan frekuensi distribusi akan dilakukan untuk mendeskripsikan hasil penelitian. Statistik inferensial berupa analisis statistik non-parametrik, yaitu korelasi Spearman akan digunakan untuk menguji hubungan antar variabel. Guna menjamin kualitas data akan dilakukan editing data terhadap data pada kuesioner, selanjutnya dilakukan coding data kemudian melakukan data entry dengan menggunakan software MS Excel, sedangkan data cleaning akan dilakukan dengan menggunakan software SPSS 10.00 for Windows dan analisis data. Tabel 1 Nilai alpha cronbach variabel penelitian Variabel PengambilanKeputusan Berdasarkan Fungsi Keluarga Ketegangan Suami Isteri -Penolakan dan Pengkhianatan -Berkurangnya Kepercayaan -Pasangan Ingin Menang sendiri Konflik Pasca Perceraian
Alpha Cronbach 0,8917 0,9116 0,8024 0,8958 0,882 0,7927
Data pendidikan yang pernah ditempuh orang tua digolongkan 1=tidak tamat SD, 2=tamat SD, 3= tidak tamat SMP, 4= tamat SMP, 5= tidak tamat SMA, 6= tamat SMA, 7= tidak tamat kuliah, 8= tamat kuliah, 9= >S1. Data alasan pernikahan diperoleh dari kuesioner sebanyak 9 pertanyaan dengan dua alternatif jawaban, ya dan tidak. Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari total pendapatan ibu, santunan mantan suami dan anggota keluarga lain dibagi dengan jumlah anggota
34
keluarga. Menurut BPS (2003) rata-rata pendapatan per kapita per bulan untuk keluarga bukan pertanian golongan rendah kota sebesar Rp 467.880 sedangkan untuk keluarga bukan pertanian golongan atas kota sebesar Rp 931.680. Menurut Khomsan (2000), skoring dalam kuesioner dapat dikelompokkan menjadi (1) kategori buruk (> 80% dari skor max); (2) kategori sedang (60%-80% dari skor max); dan (3) baik (<60% dari skor max). Berdasarkan teori tersebut maka data pengambilan keputusan, ketegangan suami isteri, konflik dan pasca perceraian dikategorikan sebagai berikut: Data pengambilan keputusan diperoleh dari kuesioner sebanyak 55 pertanyaan dengan skor 0-2, total skor 0-110. Kemudian skor yang didapat diklasifikasikan menjadi: satu pihak (suami atau isteri saja) yang memutuskan sendiri, dengan total skor >89 (total skor >80%); pengambilan keputusan secara bersama tetapi suami/isteri ada yang bersikap dominan, dengan total skor 66-88 (total skor 60% -80%); dan suami isteri mengambil keputusan secara bersama, dengan total skor <65 (total skor <60%). Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 1. Data ketegangan suami isteri diperoleh dari kuesioner terdiri atas tiga bagian yakni penolakan dan pengkhianatan, berkurangnya kepercayaan dan pasangan yang ingin menang sendiri. Adapun ketiga aspek tersebut diskor dengan ketentuan sebagai berikut: penolakan dan pengkhianatan saat pernikahan sebanyak 3 pertanyaan dengan skor 0-1 (total skor 0-3), berkurangnya kepercaya an sebanyak 4 pertanyaan dengan skor 0-2 (total skor 0-8), pasangan ingin menang sendiri sebanyak 5 pertanyaan dengan skor 0-2 (total skor 10). Total skor untuk data ketegangan suami isteri adalah 0-21. Kemudian skor yang didapat diklasifikasikan menjadi: ketegangan suami isteri tinggi dengan total skor >16,9 (total skor >80%); sedang dengan total skor 12,6-16,8 (total skor 60% -80%); dan rendah dengan total skor <12,5 (total skor <60%). Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 1. Data konflik diperoleh da ri kuesioner sebanyak 7 pertanyaan dengan skor 02, total skor 0-14. Kemudian skor yang didapat diklasifikasikan menjadi: konflik tinggi, dengan total skor 11,3 (total skor >80%); konflik sedang, dengan total skor 8,4-11,2 (total skor 60%-80%); konflik rendah, dengan total skor <8,3 (total skor <60%). Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 1.
35
Data pasca perceraian diperoleh dari kuesioner sebanyak 5 pertanyaan dengan skor 0-2, total skor 0-10. Kemudian skor dapat diklasifikasikan menjadi: pasca perceraia n buruk, dengan total skor >9 (total skor >80%); sedang dengan total skor 6-8 (total skor 60% -80%); dan baik dengan total skor <5 (total skor <60%). Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 1.
36
Definisi Operasional Ketegangan suami-isteri ketidakharmonisan suami isteri dalam rangka menuju perceraian
yang
digambarkan
dalam
ada
tidaknya
pengkhianatan,
berkurangnya kepercayaan dan pasangan yang ingin menang sendiri. Konflik adalah perbedaan persepsi dan cara pandang yang menyebabkan perselisihan akibat kekecewaan, perasaan tertekan, penghinaan sampai keinginan untuk meninggalkan pasangan. Bentuk Konflik adalah bagaimana sikap kedua belah pihak yang sedang terlibat konflik menangani perbedaan persepsi diantara mereka. Pertengkaran yang sehat adalah pertengkaran yang dilakukan tanpa mengejek, saling menyalahkan dan sebisa mungkin tidak melibatkan ledakan emosi. Pertengkaran yang sehat ini memfokuskan diri pada satu tujuan saja yakni pemecahan masalah yang menyebabkan konflik tersebut terjadi. Fungsi Keluarga adalah pengaturan sistem dalam keluarga berdasarkan pembagian tugas dan tanggung jawab akan kebutuhan keluarga secara fisik dan psikis. Perceraian adalah puncak kegagalan sebuah keluarga yang tidak mampu mengatasi konflik dan menimbulkan perpisahan secara fisik.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Suami Isteri Umur Contoh Pada Tabel 2 dapat dilihat sebaran contoh menurut umur, dengan rentang berada antara 18 sampai 69 tahun. Teori Papalia dan Olds (1981) membagi kategori umur manusia dewasa menjadi tiga, yaitu dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun) dan dewasa lanjut (>65 tahun). Sedangkan usia remaja diperkirakan dalam rentang usia 15-19 tahun. Sebaran umur memiliki ratarata 41,31 tahun, dengan mayoritas usia ibu menyebar pada rentang dewasa awal, sebanyak 54,29%. Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur (Tahun) Remaja Dewasa Awal Dewasa Madya Dewasa Lanjut Total Rata-Rata
Jumlah n 1 19 12 3 35
% 2,88 54,29 34,29 8,58 100
41,31
Kecenderungan pernikahan di usia muda terlihat dalam Tabel 3. Usia contoh waktu pertama kali menikah berada pada rentang 15-32 tahun. Dengan jelas diperlihatkan bahwa sebagian besar contoh menikah pada usia muda, yang menurut teori Papalia dan Olds dikategorikan sebagai usia remaja, yakni sebesar 54,29%. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur waktu pertama kali menikah Umur (Tahun) Remaja Dewasa Awal Total Rata-Rata
Jumlah n 18 17 35
% 51,43 48,57 100
20,54
Fenomena ini dapat diterjemahkan bahwa para ibu yang berusia muda tersebut masih memiliki kemungkinan besar untuk memiliki anak lagi sebab masih berada pada usia subur. Selain itu, perbandingan usia yang jauh antara contoh dan suaminya mengindikasikan kemungkinan untuk konflik lebih besar sebab masing-masing memiliki kemampuan mengontrol emosi yang berbeda.
38
Jumlah Anak Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa rentang jumlah anak pada pernikahan sekarang adalah antara 1 sampai 8 orang anak. Sebaran contoh mayoritas memiliki 1 orang anak dari pernikahan terakhir dengan persentase 40%. Untuk ringkasnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak dari pernikahan sekarang Jumlah Anak (Pernikahan Sekarang) 1 2 3 4 5 6 8 Total Rata-Rata
Jumlah n 14 9 4 4 1 2 1 35
% 40 25,71 11,43 11,43 2,86 5,71 2,86 100
2,54
Pada Tabel 5 mayoritas suami contoh tidak mempunyai anak dari pernikahan
sebelumnya
(85,71%).
Sebanyak
14,29%
pasangan
contoh
mempunyai anak bawaan dari pernikahan sebelumnya (lihat Lampiran 2). Dapat dilihat juga bahwa sua mi yang pernah menikah mayoritas membawa 1 orang anak dari pernikahan sebelumnya, yaitu sebanyak 8,59%. Adapun alasan contoh memilih untuk menikah dengan pria yang sudah pernah menikah adalah karena pertimbangan ekonomi (memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai keluarga) dan karena kematangan emosi maupun mental. Isteri atau contoh dalam penelitian ini sebesar 100% tidak pernah menikah sebelumnya. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak bawaan suami dari pernikahan sebelumnya Jumlah Anak Bawaan Suami Dari Pernikahan Sebelumnya 0 1 3 4 Total Rata-Rata
Jumlah n 30 3 1 1 35
% 85,71 8,59 2,86 2,86 100
0,28
Tingkat Pendidikan Contoh Tingkat pendidikan contoh dalam penelitian ini bervariasi, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai denga n Strata 1 (S1). Tabel 6 menjelaskan bahwa
39
kebanyakan contoh memiliki latar belakang tamat SMU, yakni sebesar 42,86%. Penjelasan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan Pendidikan Contoh Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Tidak Tamat Kuliah Tamat Kuliah S1 Total
Jumlah n 4 5 15 1 5 5 35
% 11,43 14,28 42,86 2,86 14,28 14,28 100
Alasan Pernikahan Menurut Brennen (1999), kegagalan pernikahan bisa saja dipengaruhi oleh frustrasi dari salah satu pihak yang menyebabkan perasaan insekuritas mereka yang merujuk pada ketidakpercayaan pada kelanggengan pernikahan. Namun pada penelitian ini, berdasarkan pengisian kuesioner yang diisi contoh, ditemukan bahwa alasan pernikahan mereka memiliki kemungkinan negatif me mpengaruhi keputusan untuk bercerai. Alasan pernikahan yang paling banyak adalah harapa n untuk menjadi bahagia (100%) Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan alasan pernikahan Alasan Pernikahan 1. Mengalami tekanan saat menikah 2. Menikah dengan orang yang berbeda keyakinan 3. Karena kesepian dan frustrasi 4. Demi pemenuhan kebutuhan seksual 5. Demi mengisi kekosongan spiritual anda 6. Menikah dengan orang yang sudah berpengalaman dalam hubungan seksual 7. Harapan menjadi orang yang bahagia 8. Menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak dari pernikahan terdahulu 9. Menikah dengan orang yang anda rasa berbeda dari segi intelegensi
n 12 1 5 6 12
% 34 2 14 17 34
5
14
35
100
10
28
13
37
Keinginan untuk memiliki pasangan yang berbeda dari segi intelegensi— dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki— menduduki posisi alasan terbanyak kedua (37%). Hal ini dapat diterjemahkan sebagai keinginan contoh yang menginginkan suami yang berpendidikan lebih tinggi daripada dirinya supaya bisa mendapat pekerjaan dan pendapatan yang baik pula. Dari Tabel 7 dapat dilihat juga bahwa tekanan saat menikah dan menikah demi mengisi
40
kekosongan spiritual menduduki alasan terbanyak ketiga (34%). Selengkapnya bisa dilihat pada Lampiran 3. Angelis, diacu dalam Brennen (2005a) menyatakan bahwa ada yang mengalami kekosongan emosional sehingga benar-benar putus asa, berharap siapapun akan menikahinya. Namun pada akhirnya orang-orang tersebut berakhir pada perceraian juga. Riwayat Pernikahan Orangtua Tabel 8 memperlihatkan riwayat pernikahan dari orangtua suami dan isteri. Anonim (2004) menyebutkan teori bahwa anak yang berasal dari pasangan suami isteri yang bercerai kemungkinan besar akan mengalami riwayat pernikahan yang bermasalah seperti orangtua mereka. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pernikahan orangtua (pernah bercerai atau tidak) Orangtua Bercerai Ya Tidak
Contoh n 4 31
% 11,43 88,57
Suami n 3 32
% 8,57 91,43
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebanyak 88,57% contoh menjawab bahwa mereka tidak berasal dari keluarga broken home (bercerai). Hal ini juga ditemukan pada suami contoh, malah dengan persentase yang lebih besar yakni 91, 43% tidak berasal dari keluarga yang memiliki riwayat perceraian. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Karakteristik Isteri Yang dimaksud dengan karakter isteri adalah karakteristik contoh setelah perceraian, terdiri dari pekerjaan dan pendapatan. Pekerjaan Pada Tabel 9 disebutkan bahwa sebaran contoh yang memutuskan untuk bekerja adalah sebesar 62,86% (bandingkan dengan yang memilih untuk tidak bekerja/sebagai ibu rumah tangga, sebesar 37,14%). Sebesar 25,71 % contoh memilih pekerjaan sebagai pengusaha/wiraswasta. Selain jam kerja yang fleksibel, bekerja sebagai pengusaha atau wiraswasta juga memungkinkan contoh untuk menengok anaknya sewaktu-waktu. Gambaran selengkapnya mengenai pekerjaan contoh dapat dilihat dalam Lampiran 2. Contoh yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga
41
memperoleh nafkah dari santunan suami, pendapatan anak-anaknya atau bergantung pada orangtua nya. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Contoh Pedagang/Pemilik Toko Pengusaha/Wiraswasta Pegawai Swasta Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga Pembantu RT Buruh Pabrik
Jumlah n 3 9 4 4 13 1 1
% 8,57 25,71 11,43 11,43 37,14 2,85 2,86
Pendapatan Perkapita Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari total pendapatan ibu, santunan mantan suami dan anggota keluarga lain dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Dalam penelitian ini total pendapatan per kapita tiap bulan berkisar antara Rp 31.108 hingga Rp 634.419. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita Pendapatan perkapita Kecil (< Rp 467.880) Sedang (Rp 467.880 - Rp 931.680) Rata-rata
Jumlah n 29 6
% 82.9 17.1 Rp 311.224
Menurut BPS (2003) rata-rata pendapatan per kapita per bulan untuk rumah tangga bukan pertanian golongan rendah kota sebesar Rp 467.880 sedangkan untuk rumah tangga bukan pertanian golongan atas kota sebesar Rp 931.680. Pendapatan perkapita terbanyak pada penelitian ini adalah
42
kontemporer karena menghendaki kesamaan hak dan kewajiban dalam mengambil keputusan menyangkut kepentingan rumah tangga. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pengambilan keputusan dalam keluarga Pengambilan Keputusan
Jumlah n 23 11 1
Bersama Dominan Sepihak
% 65,7 31,4 2,86
Rata-rata skor untuk fungsi agama adalah sebesar 0,43 (Lampiran 4), yang artinya kecenderungan pengambilan keputusan dalam fungsi agama dilakukan secara bersama-sama . Berdasarkan Tabel 12, diperoleh bahwa persentase contoh terbesar (54,3%) untuk yang menjawab bersama adalah pelaksanaan ibadah agama. Persentase terbesar contoh untuk yang dilakukan secara dominan (31,4%) adalah perayaan hari besar agama. Untuk pengambilan keputusan secara sepihak, persentase terbesar contoh adalah pada aktivitas memberi pemahaman mengenai perbedaan agama. Berdasarkan total skor, mengajarkan anak mengenai agama yang dianut memiliki total skor tertinggi, sedangkan yang tere ndah diperoleh perayaan ibadah agama dan perayaan hari besar agama. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi agama Fungsi Agama Mengajarkan anak mengenai agama yang dianut Memberi pemahaman mengenai perbedaan agama Pelaksanaan ibadah agama Perayaan hari besar agama
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
Sepihak (skor 2)
n
%
n
%
n
%
12
34,3
8
22,9
5
14,3
17
48,6
4
11,4
14
31,4
19 17
54,3 48,6
7 11
20 31,4
9 7
25,7 20
Rata-rata skor untuk fungsi sosial budaya adalah 0,52 (Lampiran 4), yang artinya pengambilan keputusan untuk fungsi ini kecenderungannya menga rah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 13 diperoleh bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab bersama (45,8%) adalah aktivitas terkait dengan pergaulan anak. Persentase terbesar untuk yang menjawab dominan (42,9%) adalah aktivitas menyangkut disiplin, sedangkan yang persentase terbesar contoh yang menjawab sepihak adalah aktivitas menyangkut disiplin dan tata krama.
43
Berdasarkan total skor , total skor terbesar adalah mengajarkan anak mengenai disiplin, sedangkan yang terendah adalah mengenai pergaulan anak. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi sosial budaya Fungsi Sosial Budaya Disiplin Tata krama Kejujuran Tolong-menolong Pergaulan anak
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
n 5 8 12 15 16
% 14,3 22,9 34,3 42,8 45,8
n 15 12 10 9 9
% 42,9 34,3 28,6 25,7 25,7
Sepihak (skor 2)
n 15 15 13 11 10
% 42,8 42,8 37,1 31,4 28,6
Diantara delapan fungsi keluarga, fungsi reproduksi memiliki rata-rata total skor terendah, yakni sebesar 0,32 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan dilakukan secara bersama. Berdasarkan hasil yang diperlihatkan Tabel 14, dengan jelas terlihat bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab bersama adalah pada aktivitas penentuan waktu untuk mempunyai anak. Ada dua aktivitas yang mendapat persentase terbesar untuk kategori contoh yang menjawab dominan, yaitu persiapan menkelang kelahiran anak dan waktu ber-KB. Sedangkan persentase terbesar untuk yang menjawab sepihak adalah menyangkut jenis KB yang dipergunakan. Berdasarkan Lampiran 4, dapat dilihat bahwa persiapan menjelang kelahiran anak memiliki total skor terbesar, sedangkan yang terendah adalah aktivitas menentukan jumlah anak. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan skor fungsi reproduksi Fungsi Reproduksi Waktu mempunyai anak Jumlah anak Persiapan menjelang kelahiran anak Waktu ber-KB Jenis KB Frekuensi berhubungan seks Mengatasi ketegangan akibat ketiadaan anak
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
Sepihak (skor 2)
n 28 29 12 14 14 25
% 80 82,8 34,3 40 40 71,4
n 6 6 11 11 8 3
% 17,1 17,1 31,4 31,4 22,8 8,6
n 1 0 12 10 13 7
% 2,8 0 34,3 28,6 37,1 20
21
60
4
11,4
10
28,6
Fungsi cinta kasih mempunyai rata-rata skor sebesar 0,52 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 15, ditemukan bahwa menjaga keharmonisan suami isteri (54,3%) adalah aktivitas yang memiliki persentase sebaran contoh
44
terbesar yang melakukannya secara bersama, metode mengasuh anak (34,3%) sebagai aktivitas yang memiliki persentase sebaran contoh terbesar yang dominan dan merawat anak-anak untuk yang sepihak (54,3%). Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa merawat anak-anak mempunyai total skor terbesar dan menjaga keharmonisan suami isteri adalah yang terendah. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan fungsi cinta kasih Fungsi Cinta Kasih Merawat anak-anak Menjaga keharmonisan suami isteri Hubungan keluarga dengan kerabat dan handai taulan Hubungan dengan tetangga Metode mengasuh anak Kesepakatan tentang baby sitter
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
Sepihak (skor 2)
n 8 19
% 22,8 54,3
n 8 3
% 22,8 8,6
n 19 13
% 54,3 37,1
16
45,7
4
11,4
15
42,8
16 10 11
45,7 28,6 31,4
5 12 9
14,3 34,3 25,7
14 13 15
40 37,1 42,8
Rata-rata skor untuk fungsi melindungi adalah 0,58 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa terdapat tiga jenis aktivitas yang mempunyai persentase terbesar sebaran contoh yang menjawab bersama: mengawasi kegiatan anak di luar rumah, memantau kegiatan anak di sekolah, dan tempat berobat. Sedangkan persentase terbesar sebaran contoh yang menjawab dominan adalah keamanan di luar rumah, dan yang persentase terbesar untuk yang sepihak adalah membawa anak imunisasi. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan fungsi melindungi Fungsi Melindungi Keamanan dalam rumah Keamanan di luar rumah Mengawasi kegiatan anak di luar rumah Memantau anak di sekolah Menjelaskan tentang pentingnya proteksi orangtua Perawatan gigi Imunisasi/Posyandu Tempat berobat Cara pengobatan
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
n 6 7
% 17,1 20
n 13 14
% 37,1 40
Sepihak (skor 2) n % 16 45,7 14 40
13
37,1
8
22,8
14
40
13
37,1
8
22,8
14
40
6
17,1
11
31,4
18
51,4
10 7 13 10
28,6 20 37,1 28,6
8 9 9 12
22,8 25,7 25,7 34,3
17 19 13 13
48,6 54,3 37,1 37,1
45
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa total skor tertinggi diperoleh aktivitas menjelaskan tentang pentingnya proteksi orangtua, sedangkan yang terendah adalah mengenai preferensi tempat berobat. Fungsi ekonomi memiliki rata-rata skor tertinggi diantara delapan fungsi keluarga, yaitu sebesar 0,67 (Lampiran 4), artinya fungsi ekonomi memiliki kecenderungan dominan diputuskan oleh satu pihak. Sebaran contoh terbesar untuk yang menjawab bersama adalah sumber nafkah (31,4%), sedangkan sebaran contoh terbesar yang menjawab dominan adalah aktivitas mengalokasi keuangan. Contoh paling banyak memilih penataan perabotan rumah tangga (65,7%) sebagai aktivitas yang sebaiknya dilakukan oleh satu orang saja. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan fungsi ekonomi Fungsi Ekonomi Sumber nafkah Pemegang uang Pengeluaran uang Alokasi keuangan Waktu pembelian perabot rumah tangga Model perabot rumah tangga Penataan perabot rumah tangga Pengeluaran makanan Menentukan menu Distribusi makanan dalam keluarga Makan di luar Pembelian/penjualan/penyewaan rumah Perbaikan rumah Pakaian suami Pakaian isteri Pakaian anak
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
n 11 5 6 5 7 3 3 5 5 5 6 7 8 3 3 7
% 31,4 14,3 17,1 14,3 20 8,6 8,6 14,3 14,3 14,3 17,1 20 22,8 8,6 8,6 20
n 11 8 16 17 11 10 9 9 9 10 11 10 10 16 14 16
n 31,4 22,8 45,7 48,6 31,4 28,6 25,7 25,7 25,7 28,6 31,4 28,6 28,6 45,7 40 45,7
Sepihak (skor 2) % n 13 37,1 22 62,8 13 37,1 13 37,1 17 48,6 22 62,8 23 65,7 21 60 21 60 20 57,1 18 51,4 18 51,4 17 48,6 16 45,7 18 51,4 12 34,3
Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa penataan perabotan rumah tangga memiliki total skor tertinggi, sedangkan sumber nafkah memiliki total skor terendah. Rata-rata skor fungsi sosialisasi dan pendidikan adalah 0,52 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan hasil pada Tabel 18, dapat dilihat bahwa persentase sebaran contoh paling banyak memilih menentukan tempat sekolah (31,4%) sebagai aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama. Aktivitas dominan yang paling banyak dipilih adalah menentukan pilihan sekolah anak (57,1%),
46
sedangkan aktivitas yang paling banyak dipilih sebagai aktivitas yang sebaiknya dilakukan oleh satu pihak saja adalah menentukan tempat sekolah (34,3%). Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa pilihan sekolah dan tempat sekolah memiliki skor tertinggi, sedangkan skor terendah diperoleh jenis sekolah. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan fungsi sosialisasi dan pendidikan Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
n 8 7 11
Jenis sekolah Pilihan sekolah Tempat sekolah
% 22,8 20 31,4
n 16 20 12
n 45,7 57,1 34,3
Sepihak (skor 2) % n 11 31,4 8 22,8 12 34,3
Rata-rata skor fungsi pembinaan lingkungan adalah 0,58 (Lampiran 4), artinya pengambilan keputusan fungsi ini kecenderungan mengarah ke dominan salah satu pihak. Berdasarkan Tabel 19, ditemukan bahwa biaya rekreasi adalah aktivitas yang oleh contoh paling banyak dipilih sebagai aktivitas yang dilakukan secara bersama (34,3%) maupun dengan salah satu pihak yang dominan (42,8%). Sedangkan persentase terbesar sebaran contoh yang memilih aktivitas sepihak adalah menjaga kebersihan dalam rumah. Berdasarkan Lampiran 4, ditemukan bahwa total skor tertinggi didapat aktivitas penentuan biaya rekreasi, sedangkan total skor terendah adalah tanggung jawab kebersihan di dalam rumah. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan fungsi pembinaan lingkungan Fungsi Pembinaan Lingkungan Kebersihan dalam rumah Kebersihan luar rumah Jenis rekreasi Waktu rekreasi Biaya rekreasi
Bersama
Dominan
(skor 0)
(skor 1)
n 3 6 9 11 12
% 8,6 17,1 25,7 31,4 34,3
n 13 12 12 13 15
n 37,1 34,3 34,3 37,1 42,8
Sepihak (skor 2) % n 19 54,3 17 48,6 14 40 13 37,1 8 22,8
Ketegangan Suami Isteri Tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar (85,72%) ketegangan suami isteri adalah rendah (Lampiran 9). Hal ini dapat dijelaskan sebagai keadaan rumah tangga yang mampu menetralisir perasaan-perasaan negatif yang dapat memicu konflik.
47
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan ketegangan suami isteri Ketegangan Suami Isteri Sedang Rendah
Jumlah n 5 30
% 14,28 85,72
Rata-rata skor untuk penolakan dan pengkhianatan adalah 0,52 (Lampiran 6), artinya dalam perkawinan contoh terjadi kecenderungan adanya penolakan dan pengkhianatan. Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh (62,9%) mengalami perasaan tersisih akibat kesibukan suami. Selain itu, dapat dilihat bahwa dari 54,3% contoh yang mengaku merasa dikhianati, sebesar 40% contoh membuktikan bahwa suaminya berkhianat. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan penolakan dan pengkhianatan Penolakan dan Pengkhianatan Pasangan mempunyai kesibukan yang tinggi sehingga contoh merasa tersisih Contoh merasa dikhianati pasangan Pasangan terbukti berkhianat
Ya
Tidak
(skor 0)
(skor 1)
n
%
n
%
22
62,9
13
37,1
19 14
54,3 40
16 21
45,7 60
Rata-rata skor untuk berkurangnya kepercayaan adalah 0,22 (Lampiran 7), artinya dalam perkawinan contoh berkurangnya kepercayaan cenderung tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan oleh Tabel 22, persentase contoh yang paling banyak menjawab tidak pernah adalah untuk pernyataan apakah contoh merasa pasangan tidak jujur atau menyeleweng. Persentase terbesar contoh yang menjawab jarang adalah pernyataan mengenai perasaan cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain. Persentase contoh yang paling banyak menjawab sering adalah untuk pernyataan bahwa contoh merasa pasangan tidak jujur atau menyeleweng. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan berkurangnya kepercayaan Berkurangnya Kepercayaan Curiga jika pasangan pulang larut Merasa tersaingi dengan rekan dekat berbeda jenis dengan pasangan Cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain Merasa pasangan tidak jujur/menyeleweng
Tidak Pernah (skor 0)
Jarang
Sering
(skor 1)
(skor 2)
n 22
% 62,9
n 9
% 25,7
n 4
% 11,4
24
68,6
10
28,6
1
2,9
16 25
45,7 71,4
18 5
51,4 14,3
1 5
2,9 14,3
48
Berdasarkan hasil yang diperlihatkan pada Lampiran 7, ditemukan bahwa perasaan cemburu jika pasangan dekat dengan orang lain mendapat total skor tertinggi, yakni sebesar 0,57, sedangkan total skor terendah diperoleh pada pernyataan menyangkut perasaan tersaingi dengan rekan yang berbeda jenis dengan pasangan. Branden 1980, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari karakter contoh yang memiliki kepercayaan diri rendah sehingga menyebabkan mereka menuntut kebutuhan intimacy yang lebih besar, bahkan melebihi kemampuan pasangannya. Rata-rata skor pasangan ingin menang sendiri adalah 0,31 (Lampiran 8), artinya dalam perkawinan contoh pasangan yang ingin menang sendiri cenderung tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil pada Tabel 23, ditemukan bahwa persentase terbesar contoh yang menjawab tidak pernah adalah pernyataan bahwa pasangan mengungkit-ungkit masa lalu (65,7%). Sedangkan persentase terbesar contoh yang menjawab jarang adalah pernyataan mengenai pasangan yang melontarkan tuduhan balasan (31,4%) dan persentase terbesar untuk yang menjawab sering adalah pasangan bersikeras mempertahankan pendapat (34,3%). Berdasarkan hasil yang diperlihatkan pada Lampiran 8, terlihat bahwa ratarata skor tertinggi (0,86) didapat pada pernyataan pasangan bersikeras mempertahankan pendapatnya, sedangkan rata -rata skor terendah (0,54) didapat pada pernyataan pasangan melontarkan tuduhan balasan dan pasangan membesarbesarkan masalah. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan pasangan ingin menang sendiri Pasangan Ingin Menang Sendiri Pasangan bersikeras mempertahankan pendapat Pasangan melontarkan tuduhan balasan Pasangan membesar-besarkan masalah Pasangan mengungkit-ungkit masa lalu Pasangan menyela perkataan anda
Tidak Pernah (skor 0)
n 17 20 22 23 20
% 48,6 57,1 62,9 65,7 57,1
Jarang
Sering
(skor 1)
(skor 2)
n 6 11 7 4 9
n 17,1 31,4 20 11,4 25,7
% 12 4 6 8 6
n 34,3 11,4 17,1 22,9 17,1
Crouter 1982, diacu dalam Turner dan Helms 1986 menyarankan agar pertengkaran sebaiknya tetap dalam konteks yang sesuai dengan topik yang
49
didiskusikan. Sikap tidak mau kalah tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya malah akan membawa pertengkaran ke arah yang destruktif. Konflik Tabel 24 di bawah menunjukkan bahwa persentase tertinggi (85,71%) contoh memiliki tingkat konflik yang rendah. Baik suami maupun isteri sepertinya sudah mengerti cara bertengkar yang sehat dan tidak saling menyakiti. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan konflik dalam keluarga Konflik Konflik Sedang Konflik Rendah
Jumlah n 5 30
% 14,28 85,71
Kasus yang kebanyakan ditemukan dalam penelitian ini dikenal dengan istilah perceraian tanpa masalah (no-fault divorce). Pertama kali diperkenalkan di California tahun 1970 yang didefinisikan sebagai ‘perbedaan yang tak dapat dijelaskan yang menyebabkan gangguan yang tak terselesaikan yang mendorong ke arah kehancuran rumah tangga’. Rata-rata skor konflik contoh adalah 0,32 (Lampiran 10), artinya dalam keluarga contoh cenderung tidak pernah terjadi konflik. Berdasarkan hasil pada Tabel 25, didapat bahwa sebaran contoh terbanyak menjawab tidak pernah adalah pernyataan tentang minggat dari rumah (71,4%). Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan jawaban untuk pertanyaan konflik Konflik Memendam kekesalan terhadap pasangan Memendam kekecewaan terhadap pasangan Tertekan dengan perilaku pasangan Terpikir untuk bercerai dan meninggalkan pasangan Meninggalkan rumah (mingga t) Berteriak di tengah pertengkaran Memaki pasangan
Tidak Pernah (skor 0)
Jarang
Sering
(skor 1)
(skor 2)
n 11 17 14
% 31,4 48,5 40
n 15 11 11
n 42,8 31,4 31,4
% 9 7 10
n 25,7 20 13,9
19
54,3
9
25,7
7
20
25 21 20
71,4 60 57,1
6 9 11
17,14 25,7 31,4
4 5 4
11,4 14,3 11,4
Untuk jawaban jarang, sebaran contoh terbanyak adalah mengenai perasaan kesal terhadap pasangan (42,8%), sedangkan sebaran contoh yang menjawab sering adalah mengenai perasaan tertekan terhadap perilaku pasangan (13,9%).
50
Berdasarkan Lampiran 10, ditemukan bahwa memendam kekesalan memiliki total skor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah meninggalkan rumah demi menghilangkan perasaan tertekan. Pasca Perceraian Dari Tabel 26, dapat dilihat bahwa hubungan pasca perceraian berada pada rentang sedang, dengan persentase sebesar 48,6%—selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa, ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh contoh dan pasangan ternyata mempengaruhi hubungan mereka sehingga menjadi agak renggang. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan hubungan suami isteri pasca perceraian Pasca Perceraian Hub. Pasca Perceraian Buruk Hub.Pasca Perceraian Sedang Hub.Pasca Perceraian Baik
Jumlah n 9 17 9
% 25,7 48,6 25,7
Rata-rata skor pasca perceraian contoh adalah 1,4 (lampiran 11), artinya aspek-aspek pasca perceraian cenderung jarang dilakukan. Dapat dilihat pada Tabel 27, bahwa sebaran contoh terbanyak untuk yang menjawab sering adalah suami menafkahi keluarga sesuai dengan ketentuan (31,4%). Aktivitas bertemu berdua secara sengaja ternyata yang paling jarang (40%) dan yang paling tidak pernah dilakukan pasca perceraian—bersama -sama dengan aktivitas menghubungi lewat surat, telepon dan email yang sama-sama memiliki persentase 60%. Tabel 27 Data sebaran contoh berdasarkan lima aspek dalam keadaan keluarga pasca perceraian Pasca Perceraian Suami berkunjung ke rumah Suami kontak dengan anak Suami menafkahi keluarga sesuai dengan ketentuan Bertemu berdua saja dengan sengaja Menghubungi lewat surat, telepon, email dsb.
Sering
Jarang
(skor 0)
(skor 1)
Tidak Pernah (skor 2)
n 5 8
% 14,3 22,8
n 11 9
% 31,4 25,7
n 19 18
% 54,3 51,4
11
31,4
6
17,1
18
51,4
0 7
0 20
14 7
40 20
21 21
60 60
51
Hubungan Karakteristik Suami Isteri dan Isteri (contoh) dengan Pengambilan Keputusan berdasarkan Fungsi-fungsi Keluarga, Ketegangan Suami Isteri, Konflik dan Pasca Perceraian Umur pertama kali menikah (Lampiran 12) memiliki hubungan positif dengan fungsi cinta kasih (0,387*) dan fungsi melindungi (0,472**). Pandangan masyarakat mengenai konsep ‘perawan tua’—wanita matang yang belum menikah sama dengan tidak laku—mendesak para wanita untuk cepat-cepat menikah. Semakin mendekati usia kepala tiga, desakan ini semakin besar membuat putus asa. Angelis 2005, diacu dalam Brennen 2005a menyatakan bahwa pernikahan yang dilatari sikap putus asa akan terus mengalami perasaan yang sama bahkan setelah menikah nanti. Sikap putus asa yang biasanya dibarengi dengan rasa rendah diri, akan membawa isteri dalam sikap pasrah dan meletakkan suami sebagai sentral pengambilan keputusan dalam keluarga. Posisi suami yang mutlak terlihat jelas pada saat keluarga menjalan fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi. Suami merasa lebih berhak untuk memegang tanggung jawab proteksi keluarga, sedangkan isteri difungsikan sebagai pendukung suami dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Jumlah anak (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,374*) . Dengan jumlah anak yang sedikit, isteri cenderung untuk mengambil keputusan mengenai pendidikan anak secara sepihak. Sebaliknya, semakin banyak anak mengindikasikan semakin banyaknya waktu yang diperlukan isteri untuk mengurusi masalah domestik rumah tangga. Karena itu isteri membutuhkan peran suami sebagai partner dalam memecahkan masalah terkait pendidikan anak-anaknya. Jumlah anak bawaan suami (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi ekonomi (-0,352*). Karena pengalaman menjadi orangtua tunggal untuk sementara waktu bagi anak-anaknya, baik sadar maupun tidak suami mempunyai pengalaman dalam mengambil alih peran isteri dalam keluarga. Karena itu saat pernikahan kembali (remarried), suami terkadang mengambil beberapa tanggung jawab ekonomi yang biasanya ditangani oleh isteri—misalnya, pengolaan keuangan rumah tangga. Namun semakin banyak anak bawaan suami dari pernikahan sebelumnya, saat remarried suami merasa memerlukan peran
52
serta isteri, karena itu pengambilan keputusannya pun cenderung dilakukan secara bersama. Orangtua isteri bercerai (Lampiran 12) memiliki hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,349*). Pengalaman pahit isteri yang orangtuanya berpisah, memberi pelajaran mengenai berkompromi dengan pasangan yang diaplikasikan pada pernikahannya sendiri. Memutuskan bersama dengan pasangan mengenai pendidikan anak adalah salah satunya. Pendapatan perkapita (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,368*) dan dengan fungsi pembinaan lingkungan (-0,375*) . Semakin besar pendapatan perkapita maka alokasi pengeluaran untuk kebutuhan sekunder—dalam hal ini pendidikan anak dan kebutuhan untuk rekreasi—bisa diperbesar. Dengan budget yang cukup besar, pilihan juga akan lebih banyak sehingga membutuhkan pasangan sebagai pemberi masukan usulan. Namun sebaliknya, dengan budget terbatas, isteri yang pada umumnya sebagai pemegang uang, memilih untuk memutuskan sendiri setelah disesuaikan dengan kemampuan finansial yang dipunyai keluarganya. Umur isteri (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan penolakan dan pengkhianatan (-0,472**). Begitu juga dengan umur isteri waktu pertama kali menikah,
yang
mempunyai
hubungan
negatif
dengan
penolakan
dan
pengkhianatan (-0,409*). Contoh yang relatif menikah ketika usianya masih muda pada umumnya labil, cenderung untuk memiliki sifat ketergantungan yang tinggi dengan pasangan, sehingga saat contoh dihadapkan pada kenyataan bahwa suami tidak bisa selalu ada di rumah akibat kesibukan profesi dan sebagainya, perasaan ini mendorong contoh ke arah kecurigaan dan kecemburuan yang tidak sehat. Fungsi reproduksi (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan berkurangnya kepercayaan (-0,371*) dan dengan pasangan ingin menang sendiri (-0,364*) . Pengambilan keputusan secara bersama memang terbukti baik adanya, namun ada beberapa hal yang sebaiknya diserahkan kepada satu pihak saja. Dalam hal fungsi reproduksi, misalnya pemilihan jenis kontrasepsi, lebih baik isteri saja yang memilih sesuai dengan kenyamanan dirinya. Jika suami terlalu ikut campur pada pengambilan keputusan semacam itu, pertengkaran tidak dapat terhindarkan.
53
Fungsi ekonomi (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan berkurangnya
kepercayaan
(0,351*).
Jika
pasangan
memutusan
untuk
menjalankan fungsi ekonomi secara sepihak, maka saat ditemukan kecurangan atau sikap yang yang tidak memuaskan terkait dengan pendapatan dan pengalokasiannya, maka akan muncul rasa curiga dan tidak percaya. Fungsi reproduksi (Lampiran 12) mempunyai hubungan negatif dengan konflik (-0,358*) . Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terlalu banyak campur tangan suami dalam fungsi reproduksi ternyata mendorong terjadinya konflik. Konflik (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan fungsi sosialisasi dan pendidikan (0,399*) dan fungsi pembinaan lingkungan (0,386*). Masa depan anak adalah tanggung jawab bersama, jadi sudah sepantasnya suami dan isteri memutuskannya secara bersama-sama. Selain bersikap adil dengan pasangan, pengambilan keputusan bersama dalam hal ini ternyata memperkecil kemungkinan konflik. Demikian juga dengan tanggung jawab menjaga kebersihan dan perencanaan rekreasi keluarga, sebaiknya dilakukan secara bersama-sama. Pasca perceraian (Lampiran 12) mempunyai hubungan positif dengan fungsi melindungi (0,405*) , fungsi sosialisasi dan pendidikan (0,467**) dan fungsi pembinaan lingkungan (0,372*). Jika fungsi- fungsi tersebut dijalankan tanpa memedulikan pendapat pasangan, maka akan muncul perasaan benci dan kesal karena diabaikan. Jika berlanjut dengan perceraian, kebencian akan berubah menjadi rasa tidak peduli dan memperkecil kemungkinan akan menjalin hubungan yang baik dengan mantan.
54
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakteristik contoh ibu yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar adalah dewasa awal 20-40 tahun (54,29%), menikah pertama kali pada usia remaja 15-19 tahun (51,43%), jumlah anak 1 orang (40%), mayoritas tidak memiliki anak bawaan dari pihak suami (85,71%) dan memiliki tingkat pendidikan tamat SMU (42,86% ). Semua contoh dalam penelitian ini menjawab ‘ingin bahagia’ sebagai alasan pernikahan mereka. Berdasarkan sejarah perceraian orangtua, mayoritas contoh maupun suami bukan berasal dari keluarga yang bercerai. Contoh berprofesi sebagai pengusaha/wiraswasta (25,71%) atau memilih menjadi ibu rumah tangga (37,14%) dan pendapatan perkapitanya mayoritas kecil (82,9%). 2. Dari delapan fungsi keluarga, fungsi ekonomi memiliki total skor tertinggi dan fungsi reproduksi memiliki total skor terendah. Sebagian besar contoh (65,71%) dalam menjalankan kedelapan fungsi keluarga mengambil keputusan secara bersama -sama. 3. Contoh pada umumnya memiliki ketegangan suami isteri yang rendah (85,72%). Total skor tertinggi didapat penolakan dan pengkhianatan, dengan persentase sebesar 40% contoh membuktikan bahwa suaminya berkhianat. 4. Persentase tertinggi adalah sebaran contoh yang memiliki tingkat konflik yang rendah (85,71%) dengan kecenderungan tidak pernah terjadi dalam perkawinan contoh. 5. Pasca perceraian berada pada rentang sedang, dengan persentase sebesar 48,6%, dengan kecenderungan tidak pernah melakukan aspek-aspek dalam pasca perceraian. 6. Terdapat antara umur pertama kali menikah dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi cinta kasih (0,387*) dan fungsi melindungi (0,472**). Jumlah anak, orangtua contoh yang pernah bercerai dan pendapatan per kapita contoh mempunyai hubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi sosialisasi dan pendidikan (-0,374*; -0,349*; dan -0,368*). Jumlah anak bawaan suami berhubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi
55
ekonomi (- 0,352*) dan pendapatan perkapita contoh mempunyai hubungan dengan pengambilan keputusan di bidang fungsi pembinaan lingkungan (-0,375*). 7. Terdapat hubungan antara umur contoh sekarang dan umur contoh saat pertama kali menikah dengan penolakan dan pengkhianatan (sebagai salah satu bentuk ketegangan suami isteri) yaitu sebesar -0,472** dan -0,409*. Sedangkan pengambilan keputusan di bidang fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi
mempunyai
hubungan
dengan
ketegangan
dalam
bentuk
berkurangnya kepercayaan (-0,371* dan 0,351*). Pengambilan keputusan untuk fungsi reproduksi juga mempunyai hubungan dengan ketegangan dalam bentuk pasangan ingin menang sendiri (-0,364*). 8. Pengambilan keputusan di bidang fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, serta fungsi pembinaan lingkungan mempunyai hubungan dengan konflik (-0,358*; 0,399* dan 0,386*). 9. Pengambilan keputusan di bidang fungsi melindungi, fungsi sosialisasi dan pendidikan dan fungsi pembinaan lingkungan mempunyai hubungan dengan pasca perceraian (0,405*; 0,467** dan 0,372*).
56
Saran 1. Disarankan agar isteri tidak menikah muda. Isteri berusia muda memiliki rasa kebutuhan akan perhatian suami yang berlebihan, sehingga seringkali merasa tersisih dan diabaikan (jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi). 2. Bersikap egaliter dengan pasangan. Mengambil keputusan secara bersamasama efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga dan memperkecil kemungkinan konflik. 3. Suami hendaknya tetap bertanggung jawab pada keluarga meskipun sudah bercerai. Suami diharapkan memberi nafkah keluarga sesuai yang ditetapkan dan memantau perkembangan anak-anak. Karena itu komunikasi dengan mantan isteri mutlak dilakukan. 4. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai keadaan psikologis isteri pasca perceraian, yang menyangkut pada trauma dengan pernikahan dan coping stategy isteri setelah berpisah dengan suami.
57
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2003. Kesulitan Ekonomi, Perceraian di Bogor Meningkat. [terhubung berkala]. http://www.kompas.com [22 Juli 2005] [Anonim]. 1999. Children in Divorce, Research Update Rowntree Foundation. [terhubung berkala]. http://www.divorce.co.uk [22 Juli 2005] [Anonim]. 1987. Handbook of Marriage & The Family . New York: Plenum Press. [BKKBN]. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2002. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Abineno JL. 1982. Manusia, Suami dan Isteri, Perkawinan dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Allan, Crow. 1989. Home&Family. London: Macmillan Press. Agustiani IAPN. 1988. Peranan Ibu rumah Tangga Pencari Nafkah Sebagai Penenun dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali. [skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ariani M. 1983. Hubungan pendidikan Formal Ibu dan Pendapatan Ke luarga dengan Paritas serta Akibatnya terhadap Status Gizi Anak Balita di Kelurahan Taman, Kecamatan Madiun Kota, Kotamadya Daerah Tingkat Dua Madiun, Propinsi Jawa Timur. [skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 1985. Hubungan antara Peranan Ayah dalam Mengasuh Anak dengan Prestasi Belajar Anak di Taman Kanak-Kanak Teladan Negeri Mexindo Kecamatan Bogor Timur, Kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. [skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Augustine K. 2005. Divorce and Children:Things To Consider When You’re Staying. [terhubung berkala]. http://www.deciding-on-divorce/children-anddivorce.htm [22 Juli 2005] Augustine K. 2004a. Divorce Decision: Things To Consider When Making A Decision About Divorce. [terhubung berkala]. http://www.deciding-ondivorce.com/divorcedecision.htm [22 Juli 2005] Augustine K. 2004b. Extramarital Affair: Should You Get Divorce Just Because One of You Had An Extramarital Affair? [terhubung berkala]. http://www.deciding-on-divorce.com/extramarital-affair.htm [22 Juli 2005] Augustine K. 2004c. Reason For Divorce: What Constitutes Viable Reason For Thinking About or Wanting A Divorce? [terhubung berkala]. http://www.deciding-on-divorce.com/divorce-reasons.htm [22 Juli 2005]
58
Barber KE. 1999. Marital Conflict Management. http://www.penpages.psu.edu. [22 Juli 2005]
[terhubung
berkala].
Barlow BA. 2003. Getting To Know You Better. [terhubung berkala]. http://www.familydynamics.net/gettingtoknowhusbandorwifebetter.htm [22 Juli 2005] Becker GS.1981. A Treatise on The Family . Harvard University Press, USA. Bird G, Melville K. 1994. Families and Intimate Relationship. USA: McGrawHill. Brennen BH. 2005a. Getting Married For Wrong Reasons. [terhubung berkala]. http://www.soencouragement.org [22 Juli 2005] Brennen BH. 2005b. Guidelines for Fighting With Your Spouse. [terhubung berkala]. http://www.soencouragement.org [22 Juli 2005] Brennen BH. 1999a. Handling Marital Conflict. Makalah disajikan dalam seminar Handling Marital Conflict. http://www.soencouragement.org [22 Juli 2005] Brennen BH. 1999b. How To Handle Conflicts. [terhubung berkala]. http://www.soencouragement.org [22 Juli 2005] Brennen BH. 1999c. Infidelity: Game Or Sin? Part Two. [terhubung berkala]. http://www.soencouragement.org [22 Juli 2005] Brunkhorst S. 2004. 7 Power Skills That Build Strong Relationships. [terhubung berkala]. http://www.achieveezine.com [22 Juli 2005] Bustaman Z et al.1994. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Casto ML. 2003. Choose A Life Mate, Don’t Wait For A Soul Mate. http://www.getsmartseries.com [22 Juli 2005] Chilman CS, Nunnally EW. 1990. Variant Family Forms. USA: Sage Publication. Colon J. 2004. 10 Signs of Cheating Husband. [terhubung berkala]. http://www.alumbo.com [22 Juli 2005] Crawford, Unger. 2000. Woman and Gender: A Feminist Psychology. USA: McGraw-Hill. Gray J. 1997. Mars dan Venus Bersatu Selamanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Heller. 2005a. Destructing Scripts In A Marriage. [terhubung berkala]. http://www.drheller.com/pm.html [22 Juli 2005] Heller. 2005b. Impacts Divorce on Children. http://www.drheller.com/pm.html [22 Juli 2005]
[terhubung
berkala].
Heller. 2005c. Marital Conflict: Learning To Listen. [terhubung berkala]. http://www.drheller.com/pm.html [22 Juli 2005] Hendricks, Hendricks. 1993. Centering And The Art of Intimacy Book . New Psychology of Close Relationship. New York: Fireside.
59
Kenichi A, Takeru A. 2000. Human Mate Choice and Prehistoric Marital Networks. Japan: Tanaka. Keyishian A, Goins L. 2001. Temptation Island: What Makes Him Cheat? [Ulasan] Majalah Cosmopolitan Australia Juli, hlm.151-153. Khairuddin H. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nurcahaya. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan. Diklat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. LeMasters EE. 1970. Parents in Modern America. USA: Dorsey. Locke HJ. 1951. Predicting adjustment in Marriage: A Comparison of a Divorced and a Happily Married Group. New York: Henry Colt and Company. Miller GA. 1973. Psychology and Communication. New Jersey: VOA Forum Series. Nunnally W, Chilman CS, Cox FM. 1990. Troubled Relationship . California: Sage. Nye IF. 1982. Family Relationships: Rewards and Costs. California: Sage. Oakley A. 1974. Housewife. New York: Penguin Books. Paries R. 2001a. Communication Skills: Part One. [terhubung berkala]. http://www.alumbo.com/cgi-bin/article/7412/ [22 Juli 2005] Paries R. 2001b. Communication Skills: Part Two. [terhubung berkala]. http://www.alumbo.com/cgi-bin/article/7412/ [22 Juli 2005] Perron C. 1991. I Was Divorced By 25. When The Honeymoon Is Over. [Ulasan] Majalah Cosmopolitan Australia Juli, hlm. 94-97. Rogers EM. 1960. Social Change in Rural Society. NewYork: Appleton-CenturyCrofts. Saleh KW. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia . Jakarta: Ghalia Indonesia. Saxton L. 1990. The Individual, Marriage & The Family . California: Wadsworth. Skolnick, Skolnick. 1983. Family In Transition. Canada: Little Brown & Co. Steinberg. 1997. Adolescence. USA:McGraww-Hill. Turner JS, Helms DB. 1986. Contemporary Adulthood. New York: CBS College Publishing. Voydanoff P. 1987. Work and Family Life. California: Sage. Wahlroos S. 1988. Komunikasi Keluarga: Panduan Menuju Kesehatan emosional dan Hubungan Antar Pribadi yang Lebih Harmonis. Jakarta: Gunung Mulia. Whitfield. 1993. Boundaries&Relationship. Knowing and Enjoying The Self. USA: Health Communication. Wilson L. 2003. Marriage: It’s Not A Dating Anymore. [terhubung berkala]. http://www.familydynamics.net/marriage_its_not_dating_anymore.htm [22 Juli 2005]
60
61
Lampiran 1 Jenis dan pengolahan data Peubah Umur
Jumlah Pertanyaan 2
Kriteria
15-19 tahun 20-40 tahun 41-65 tahun >65 tahun Pernikahan Ke2 pernikahan pertama pernikahan kedua pernikahan ketiga, dst Pendidikan Terakhir 1 1= tidak tamat SD 2= tamat SD 3= tidak tamat SMP 4= tamat SMP 5= tidak tamat SMU 6= tamat SMU 7= tidak lulus PT 8= lulus PT (D3) 9= S1 Pekerjaan 1 1= pedagang/pemilik toko 2= pengusaha/wiraswasta 3= pegawai swasta 4= pegawai negeri 5= ibu rumah tangga 6= pelajar 7= pembantu rumah tangga 8= buruh pabrik atau industri 9= ABRI Jumlah Anak 2 0 1 2, dst 2 tidak bercerai Orangtua Suami/Isteri Bercerai bercerai Masa Kecil Suami/Isteri 2 masa kecil suami/isteri bahagia masa kecil suami/isteri tidak bahagia Pendapatan Perkapita 3