HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETERNAK MITRA DENGAN KEBERHASILAN USAHA PENGGEMUKAN SAPI PETERNAK MITRA (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara)
SKRIPSI
BAYU KRISTIANTO H 34050592
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN BAYU KRISTIANTO. Hubungan Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara). Skripsi. Departeman Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA). Peternakan sapi potong merupakan salah satu sektor usaha yang permintaannya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Salah satu wilayah kecamatan yang memiliki jumlah ternak sapi cukup banyak dan memiliki potensi alam untuk pengembangan peternakan sapi potong adalah Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Wanayasa pada tahun 2008 juga ditetapkan sebagai salah satu kecamatan yang masuk dalam pengembangan daerah agropolitan Kabupaten Banjarnegara. Selain itu, Kecamatan Wanayasa juga merupakan sentra sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dan merupakan target pengembangan peternakan sapi potong Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2009. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam, (2) menganalisis keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total, (3) menganalisis karakteristik peternak mitra yang mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam dan karakteristik umum peternak mitra yang berhasil berdasarkan indikator rasio RC total. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Responden dalam penelitian ini adalah pihak UD Rahmat Alam dan 22 orang peternak mitra sapi potong UD Rahmat alam yang tersebar di lima desa di Kecamatan Wanayasa, yaitu di Desa Wanayasa, Desa Wanaraja, Desa Jatilawang, Desa Kasimpar, dan Desa Legoksayem. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei hingga Juni 2009. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, analisis pendapatan usaha ternak, analisis tabel, dan analisis korelasi peringkat Spearman. Jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra pada bulan Mei 2009 adalah 89 ekor yang dipelihara oleh 60 peternak mitra. Pola kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam tergolong sebagai pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) yang menempatkan perusahaan sebagai pemodal dan pemasar sementara peternak mitra berperan sebagai pihak pemelihara dan menyediakan sarana. Kewajiban perusahaan dalam kemitraan adalah menyediakan sapi bakalan, bertanggung jawab terhadap kegiatan transportasi, menanggung risiko kematian sapi, melakukan pembinaan, dan memberikan catatan tertulis hasil penjualan atau pemotongan sapi. Hak perusahaan adalah mendapatkan bagian 40 persen atau 45 persen dari keuntungan penjualan dan menentukan waktu penjualan atau pemotongan sapi. Kewajiban peternak mitra adalah menyediakan kandang, menyediakan sarana pemeliharaan, menyediakan rumput yang cukup, menjaga keamanan sapi, dan melakukan proses budidaya dengan baik sesuai dengan petunjuk perusahaan. Hak peternak mitra adalah mendapatkan bagian keuntungan penjualan sebesar 60 persen atau 55 persen, mendapatkan pembinaan dari perusahaan, mendapatkan sapi bakalan yang
2
berkualitas, dan mendapatkan catatan tertulis berupa nota penjualan atau pemotongan sapi. Peternak mitra yang berhasil berdasarkan indikator rasio RC total berjumlah 13 orang atau 59 persen. Karakteristik peternak mitra yang berpengaruh signifikan secara positif terhadap keberhasilan berdasarkan indikator rasio RC total adalah kepemilikan sapi, jumlah kunjungan ke perusahaan, pekerjaan utama, motivasi berternak. Karakteristik umum peternak mitra yang berhasil adalah memiliki minimal satu ekor sapi selain sapi dari perusahaan; memiliki kedekatan dengan perusahaan mitra yaitu dengan mengunjungi perusahaan mitra minimal lima kali dalam satu bulan; bekerja pada usaha penggemukan sapi, buruh ternak, atau karyawan perusahaan; memiliki motivasi menjadi peternak sapi yang mandiri; memiliki pengalaman berternak sapi selama enam tahun atau lebih; telah tergabung dengan kemitraan dalam selama enam tahun atau lebih; menanam rumput gajah sebagai sumber pakan hijauan sapi sebanyak 2.000 tanaman per ekor sapi; dan memiliki jumlah tenaga kerja keluarga minimal tiga orang sehingga tidak perlu menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan perusahaan sebagai dasar pembinaan peternak mitra dan dapat dijasikan rujukan untuk pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Wanayasa.
3
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETERNAK MITRA DENGAN KEBERHASILAN USAHA PENGGEMUKAN SAPI PETERNAK MITRA (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara)
BAYU KRISTIANTO H 34050592
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
4
Judul Skripsi
: Hubungan Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara)
Nama
: Bayu Kristianto
NRP
: H34050592
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina, M.Si. NIP. 19650115 199003 2 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
Bayu Kristianto H34050592
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 31 Agustus 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Agus Ristianto dan Ibu Ita Kristanti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 3 Jatilawang pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 1 Banjarnegara. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Purwokerto diselesaikan pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005, dan diterima Mayor Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai panitia dalam beberapa kegiatan dan mengikuti beberapa pelatihan, diantaranya: 1.
Kepanitiaan dalam Program Pembinaan dan Pelatihan Gapoktan Se-Jawa Barat pada tahun 2007.
2.
Kepanitiaan Hari Pelepasan Wisuda Manajemen Agribisnis pada tahun 2007.
3.
Pelatihan Bio-Ethanol untuk Bisnis yang diselenggarakan oleh SBRC LPPMIPB pada tahun 2008.
4.
Kepanitian pelatihan kewirausahaan mahasiswa USMI IPB angkatan 46 pada tahun 2009.
5.
Pelatihan Minyak Atsiri yang diselenggarakan oleh PT Pavettia Atsiri di Bandung dan Subang pada tahun 2009.
6.
Pelatihan kewirausahaan di beberapa acara di IPB.
7
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra (Studi Kasus Peternak Mitra Sapi Potong UD Rahmat Alam Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara)”. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam, manganalisis keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total, dan menganalisis karakteristik peternak mitra yang berhubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam dan karakteristik umum peternak mitra yang berhasil berdasarkan indikator rasio RC total. Skripsi ini merupakan hasil optimal yang dapat diusahakan, semoga bermanfaat untuk semua pihak, khususnya yang tertarik dengan bidang agribisnis peternakan sapi potong.
Bogor, Agustus 2009 Bayu Kristianto
8
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, diantaranya: 1. Bapak dan Ibuku tercinta, adik-adikku Wisnu dan Bima untuk setiap dukungan, cinta, dan doa yang telah diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 2. Dra. Yusalina, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Ir. Juniar Atmakusumah, MS. selaku dosen penguji utama dan Yeka Hendra Fatika, SP. selaku dosen penguji akademik. Terimakasih atas saran dan masukan yang Bapak/Ibu berikan. 4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku pembimbing akademik, para dosen, dan staf Departemen Agribisnis yang telah banyak membantu dalam proses skripsi ini. 5. Pihak UD Rahmat Alam, Mas Supratin, Kang Surip, dan Kang Hendri atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan. 6. Septi Budhi Lestari selaku pembahas seminar, terima kasih atas saran dan masukan yang diberikan. 7. Sahabat-sahabat Pondok Iwan atas persahabatan, diskusi, masukan, dukungan, dan doa selama penyusunan skripsi ini. 8. Teman dan sahabat satu perjuangan Agribisnis 42 atas semangat, diskusi, masukan, dan inspirasi selama penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Agustus 2009 Bayu Kristianto
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................... ...... DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... I PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ........................................................ 1.3. Tujuan ............................................................................. 1.4. Manfaat ........................................................................... 1.5. Ruang Lingkup ..................................................
iv v vi 1 1 6 7 8 8
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu .......................................... 2.1.1. Kemitraan ............................................................ 2.1.2. Sapi Potong .......................................................... 2.1.3. Usahatani sapi potong ......................................... 2.1.4. Analisis Faktor dan Efisiensi Usahatani .............. 2.2. Kesimpulan Penelitian Terdahulu ................................... 2.3. Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ........
9 9 9 10 11 12 14 15
III
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis …………………… ........... 3.1.1. Definisi Ilmu Usahatani ...................................... 3.1.2. Usaha Peternakan ................................................ 3.1.3. Konsep Pendapatan Usahatani ............................. 3.1.4. Faktor-Faktor Usahatani ...................................... 3.1.5. Kemitraan ............................................................ 3.1.6. Latar Belakang Kemitraan ................................... 3.1.7. Maksud dan Tujuan Kemitraan ............................ 3.1.8. Pola-Pola Kemitraan …………………………..... 3.1.9. Kewajiban Dalam Kemitraan ……………… ...... 3.1.10. Indikator-Indikator Keberhasilan Kemitraan …… 3.1.11. Arti Ekonomi Sapi Potong ................................ 3.1.12. Jenis-Jenis Sapi Potong ...................................... 3.1.13. Jalur Penyediaan Daging Sapi ........................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional . ...................................
16 16 16 16 17 19 21 22 23 27 26 27 31 32 33 34
IV
METODE PENELITIAN .......................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................... 4.3. Metode Penarikan Sampel .............................................. 4.4. Metode Analisis Data ...................................................... 4.5. Analisis Pendapatan Usaha Ternak ................................. 4.6. Analisis Rasio RC Total Usaha Ternak ........................... 4.7. Analisis Keberhasilan Peternak Mitra ............................. 4.8. Analisis Hubungan Karakteristik dan Keberhasilan
37 37 37 38 39 39 40 41
10
Peternak Mitra ................................................................. 4.8.1. Konsep Analisis Korelasi Peringkat Spearman .... 4.8.2. Analisis Korelasi Peringkat Spearman ................ Definisi Opersional ..........................................................
41 42 43 44
GAMBARAN UMUM .............................................................. 5.1. Gambaran Umum Kecamatan Wanayasa ........................ 5.1.1. Kondisi Wilayah .................................................. 5.1.2. Kondisi Penduduk ............................................... 5.1.3. Komoditas Pertanian ........................................... 5.1.4. Komoditas Peternakan ........................................ 5.2. Gambaran Umum UD Rahmat Alam .............................. 5.2.1. Gambaran Umum dan Sejarah UD Rahmat Alam 5.2.2. Gambaran Umum Usaha Penggemukan Sapi UD Rahmat Alam ....................................................... 5.3. Gambaran Umum Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra ................................................................................ 5.3.1. Jenis, Umur, Bobot, Harga, dan Penilaian sapi ... 5.3.2. Perkandangan dan Pola Penggemukan ................ 5.3.3. Peralatan .............................................................. 5.3.4. Pakan ................................................................... 5.3.5. Perawatan ............................................................ 5.3.6. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit .............. 5.4. Karakteristik Responden ................................................. 5.4.1. Lama Beternak Sapi ............................................. 5.4.2. Lama Bermitra ..................................................... 5.4.3. Jumlah Rumpun Rumput ..................................... 5.4.4. Usia Peternak ....................................................... 5.4.5. Pendidikan Formal .............................................. 5.4.6. Pekerjaan Utama .................................................. 5.4.7. Kondisi Keluarga ................................................. 5.4.8. Tenaga Kerja Usaha Penggemukan Sapi ............. 5.4.9. Domisili ................................................................ 5.4.10. Penggunaan Pakan Penguat ................................. 5.4.11. Jumlah Sapi yang Dipelihara ............................... 5.4.12. Kandang ...............................................................
48 48 48 50 51 52 53 53
SISTEM KEMITRAAN UD RAHMAT ALAM .................... 6.1. Gambaran Umum Kemitraan UD Rahmat Alam ............ 6.2. Latar Belakang Pelaksanaan Kemitraan .......................... 6.2.1. Latar Belakang Perusahaan .................................. 6.2.2. Latar Belakang Peternak Mitra ............................. 6.3. Tujuan Kemitraan ............................................................ 6.3.1. Tujuan Perusahaan ............................................... 6.3.2. Tujuan Peternak Mitra .......................................... 6.4. Pola Kemitraan ................................................................ 6.5. Ketentuan Umum Kemitraan ........................................... 6.5.1. Persyaratan Peternak Mitra .................................. 6.5.2. Mekanisme Kemitraan UD Rahmat Alam ...........
73 73 73 73 74 76 76 77 78 79 79 79
4.9. V
VI
55 57 57 59 60 61 62 63 64 64 65 66 67 68 68 68 69 70 71 71 72
11
6.5.3. Aturan dalam Kemitraan ...................................... VII
82
ANALISIS KEBERHASILAN DAN HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN KEBERHASILAN PETERNAK MITRA .............................. 7.1. Analisis Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra ................................................................. 7.1.1. Analisis Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra ...................... 7.1.2. Hubungan Penerimaan dan Biaya dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra ...................................................... 7.2. Analisis Hubungan Karakteristik dan Keberhasilan Peternak Mitra ................................................................. 7.2.1. Pengalaman Berternak Sapi ................................. 7.2.2. Pengalaman Bermitra .......................................... 7.2.3. Penanaman Rumput ............................................. 7.2.4. Usia Peternak Mitra ............................................. 7.2.5. Pendidikan Formal .............................................. 7.2.6. Jenis Pekerjaan Utama ......................................... 7.2.7. Kondisi Keluarga ................................................. 7.2.8. Motivasi Berternak .............................................. 7.2.9. Latar Belakang Bermitra ..................................... 7.2.10. Domisili Peternak Mitra ...................................... 7.2.11. Jumlah Sapi yang Dipelihara ............................... 7.2.12. Jumlah Kunjungan ke Perusahaan ....................... 7.2.13. Penggunaan Pakan Penguat ................................. 7.2.14. Kepatuhan Waktu Pemeliharaan ......................... 7.2.15. Kepemilikan Sapi ................................................ 7.2.16. Jenis Kandang ...................................................... 7.3. Karakteristik Umum Peternak Mitra yang Berhasil ............................................................................
114
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 8.1. Kesimpulan ...................................................................... 8.2. Saran ................................................................................
119 119 120
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
122
LAMPIRAN ..........................................................................................
125
VIII
83 83 86
90 93 93 94 96 98 99 100 102 104 105 106 107 110 111 112 113 114
12
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halaman Proyeksi Kebutuhan Daging Nasional Tahun 2010 dan 2010 ... Kondisi Peternakan Sapi Potong Kabupaten Banjarnegara Tahun 2007 ...............................................................................
1
Penghitungan Pendapatan Usahatani Peternakan ..................... Jenis dan Sumber Data .............................................................. Penghitungan Pendapatan Bersih Usaha Ternak …………….... Penggunaan Lahan di Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 ..….. Data Kependudukan Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 ...….. Jumlah Penduduk Kecamatan Wanayasa Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2007 ......………………………………………………...
18 38 40 49 50
2
51
9.
Komoditas, Luas Panen, dan Produksi Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 ................................................................................
52
10. 11. 12. 13. 14. 15.
Komoditas Peternakan Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 .….. Jenis dan Karakteristik Sapi ………………………………….... Kondisi Gigi dan Umur Sapi ………………………………...... Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak ...….... Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Bermitra ...….... Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Tanaman Rumput Gajah ………...………………………………………………....
53 58 59 65 66
Sebaran Responden Berdasarkan Usia …...…………………… Sebaran Responden Berdasarkan Lama Pendidikan Formal ..... Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama …………... Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga .... Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Usaha Ternak ………...………………………………………………..
67 68 68 69
16. 17. 18. 19. 20.
66
70
21. 22. 23. 24. 25.
Sebaran Responden Berdasarkan Domisili ……………….…... Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sapi yang dipelihara . Daftar Nilai Rasio RC Total dan Keberhasilan Peternak Mitra . Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasar Rasio RC Total Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Pengalaman Berternak Sapi ………………………………………………....
70 71 85 85 93
26.
Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Pengalaman Bermitra ………...……………………………………………...
95
27.
Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Penanaman Rumput ………………………………………………………...
96
Sebaran Peternak Mitra Berdasarkan Usia ……………….…… Sebaran Peternak Mitra Berdasarkan Pendidikan Formal .…… Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Pekerjaan
98 100 101
28. 29. 30.
13
Utama …..……………………………………………………… 31.
Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ……………………………………………..
102
32. 33. 34.
Sebaran Keberhasilan Peterrnak Mitra Berdasarkan Motivasi .. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Domisili .... Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra Berdasarkan Jumlah Sapi yang Dipelihara …………………………………………..........
104 106
35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Perbandingan Umur Sapi ............................................................. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Kunjungan Perusahaan ….. Sebaran Keberhasilan Berdasarkan Penggunaan Bahan Penguat Sebaran Keberhasilan Berdasarkan Kepatuhan Waktu Pemeliharaan ………………………………………………...... Sebaran Keberhasilan Berdasarkan Kepemilikan Sapi ……..... Sebaran Keberhasilan Berdasarkan Bangunan Kandang …….. Urutan Korelasi Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan …………………………………………………...
108 109 110 111 113 114 115 116
14
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2.
Halaman Skema Jalur Penyediaan Daging Sapi .................................... .... Kerangka Pemikiran Operasional .......................................... ....
34 36
15
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5.
Halaman Kuesioner Perusahaan ............................................................... Kuesioner Peternak Mitra ........................................................... Analisis Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra . Peta Kecamatan Wanayasa .......................................................... Dokumentasi ...............................................................................
126 128 132 133 134
16
I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sektor peternakan memiliki peranan terhadap konsumsi masyarakat
sebagai penyedia daging. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2007, jumlah konsumsi daging masyarakat di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Rata-rata peningkatan konsumsi per tahun antara tahun 2002 dan tahun 2007 mencapai 3,06 persen1. Kondisi ini terutama disebabkan adanya peningkatan jumlah penduduk di Indonesia dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia (Putro, 2008). Sumber konsumsi daging di Indonesia salah satunya berasal dari sektor peternakan sapi potong. Daging sapi menyumbang sekitar 8,8 persen kebutuhan daging nasional dan menempati peringkat kedua setelah daging ayam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia), jumlah konsumsi daging sapi di masa depan akan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan asumsi bahwa kondisi pada tahun 2000 jumlah penduduk sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun, populasi sapi potong 11,6 juta ekor dengan pertumbuhan 14 persen per tahun, konsumsi daging sapi 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun, dan produksi daging sapi tahun 2000 sebesar 350,7 ribu ton, Apfindo memproyeksikan jumlah kebutuhan daging pada tahun 2010 dan tahun 2020. Proyeksi kebutuhan daging nasional tahun 2010 dan 2020 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Proyeksi Kebutuhan Daging Nasional Tahun 2010 dan 20202 No 1 2 3 4
Tahun Jumlah penduduk (juta orang) Kosumsi daging (kg/kapita/tahun) Produksi daging (ribu ton/tahun) Pemotongan sapi (juta ekor)
2010 242,4 2,72 654,4 3,3
2020 281 3,72 1040 5,2
Sumber : Apfindo, 2002
1 2
www.bps.go.id, Konsumsi Daging di Indonesia, 2008, 2009/06/02. www.kaitokid724.multiply.com, Bisnis Sapi Potong Tetap Menguntungkan, 2008,
2009/06/02.
17
Berdasarkan jumlah populasi sapi potong yang ada pada tahun 2008, menurut Apfindo pada tahun 2009 populasi sapi potong di Indonesia hanya mampu mencukupi sekitar 80 persen total kebutuhan daging sapi dalam negeri3. Apabila tidak dilakukan pengembangan sektor ini secara maksimal, Indonesia akan tergantung dari pasokan impor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging nasional. Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong. Jumlah sapi potong di Kabupaten Banjarnegara hanya sekitar 1,55 persen dari jumlah sapi potong di Jawa Tengah, namun volume perdagangan sapi potong yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara cukup tinggi. Jumlah sapi potong yang masuk dan keluar Banjarnegara mencapai 6,95 persen dan 3,16 persen dari total sapi potong yang masuk dan keluar Jawa Tengah4. Tingginya volume perdagangan ini salah satunya disebabkan jumlah produksi daging dan jumlah pemotongan sapi Kabupaten Banjarnegara yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Kondisi peternakan sapi potong Kabupaten Banjarnegara tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Peternakan Sapi Potong Kabupaten Banjarnegara Tahun 20075 No
Uraian
1 2 3 4 5 6
Populasi (ekor) Pemotongan sapi (ekor) Jumlah sapi keluar (ekor) Jumlah sapi masuk (ekor) Produksi daging (kg) Jumlah rumah potong hewan (unit)
Jumlah 21.596 6.728 5.166 4.118 1.642.689 4
Persentase dari Jumlah Total Provinsi Jawa Tengah (%) 1,55 2,85 3,16 6,95 3,26 3,45
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Jawa Tengah, 2006
Tingginya volume perdagangan sapi potong di Banjarnegara juga didukung adanya pasar hewan yang cukup besar. Pasar hewan yang beroperasi setiap hari Senin ini dapat menampung sapi hingga 900 ekor. Pedagang sapi, pengusaha peternakan sapi potong, petani, dan pengusaha pemotongan sapi dari 3
Ibid. www.jateng.bps.go.id, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah, 2006, 2009/06/02. 5 Ibid. 4
2 18
berbagai daerah melakukan transaksi jual beli sapi di pasar ini. Pedagang dan pengusaha pemotongan sapi berasal dari beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Garut. Sapi-sapi yang diperdagangkan sebagian besar berasal dari desa-desa di Kabupaten Banjarnegara terutama untuk sapi siap potong dan sapi rombeng6. Sapi pedet7 yang diperdagangkan di pasar hewan ini biasanya berasal dari daerah Boyolali, Lembang, Blora, Malang, dan Pasuruan. Aliran perdagangan yang terjadi di Pasar Hewan Kabupaten Banjarnegara dari bulan Agustus sampai Desember tahun 2008 rata-rata mencapai 770 ekor per minggu. Jumlah ini diperkirakan sekitar 40 persen adalah sapi siap potong dan 60 persen adalah sapi pedet dan bakalan8. Transaksi jual beli sapi di Pasar Hewan Banjarnegara diperkirakan hanya mencakup 60 persen dari transaksi jual beli sapi potong di Kabupaten Banjarnegara secara keseluruhan. Sekitar 30 persen transaksi terjadi di Pasar Hewan Kabupaten Wonosobo dan 10 persen transaksi terjadi secara langsung tanpa melalui pasar hewan9. Jadi, jumlah transaksi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dalam satu minggu mencapai 1283 ekor10. Hal ini merupakan kondisi yang dapat mendukung pengembangan sektor peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara karena kemudahan dalam pemasaran sapi potong. Ditinjau dari potensi wilayah, Kabupaten Banjarnegara juga berpotensi untuk pengembangan peternakan sapi potong. Sekitar 48.660 hektar lahan di Kabupaten Banjarnegara atau sekitar 45 persen dari luas Kabupaten Banjarnegara merupakan tegalan11. Sebagian besar tegalan tersebut digunakan untuk pertanian sayuran dan sumber bahan pangan. Selain menghasilkan bahan pangan, lahan tersebut juga menghasilkan bahan pakan untuk sapi potong berupa rumput gulma dan limbah pertanian. Secara umum, dua hektar lahan pertanian bisa 6
Istilah di Banjarnegara untuk sapi berumur antara pedet dan sapi siap potong yang sedang berada pada tahap pertumbuhan puncak, beratnya sekitar 300 sampai 400 kg. 7 Anak sapi. 8 Diolah dari data sapi masuk dan keluar Pasar Hewan Kabupaten Banjarnegara. 9 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa peternak skala besar di Pasar Hewan Banjarnegara. 10 Diolah dari wawancara dengan beberapa peternak skala besar di Banjarnegara dan data sapi masuk dan keluar Pasar Hewan Banjarnegara. 11 BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007, Kabupaten Banjarnegara dalam Angka 2007.
19 3
menghasilkan pakan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan satu ekor sapi potong12. Jadi, paling tidak jumlah sapi yang bisa dipelihara sekitar 24.000 ekor. Jumlah ini belum termasuk lahan yang dikhususkan untuk tanaman rumput gajah dimana dalam satu hektar bisa mencukupi kebutuhan pakan 10 ekor sapi (Abidin, 2002). Jadi, apabila dilakukan alokasi lahan melalui rotasi tanaman untuk penanaman rumput gajah sekitar 5.000 hektar per tahun, jumlah sapi yang bisa dipelihara mencapai 50.000 ekor13. Selain dari tegalan, sumber pakan sapi juga bisa didapat dari lahan yang digunakan untuk menanam padi. Limbah tanaman padi berupa jerami merupakan bahan yang dapat digunakan untuk pakan sapi. Pengolahan secara sederhana terhadap jerami padi dapat meningkatkan kualitas jerami sebagai bahan pakan sapi potong. Satu hektar lahan padi dapat memenuhi kebutuhan pakan satu ekor sapi14. Melalui luas penanaman padi sekitar 14.568 hektar15, paling tidak 14.000 ekor sapi potong dapat dipenuhi kebutuhan pakannya. Jadi, total jumlah sapi potong yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Banjarnegara berdasarkan luas lahan pertaniannya adalah 38.000 ekor. Potensi ini belum bisa dimaksimalkan karena jumlah sapi potong yang ada di Kabupaten Banjarnegara hanya sekitar 21.597 ekor16. Pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara juga didukung adanya kepedulian pemerintah terhadap pengembangan sektor peternakan. Pada tahun 2007, anggaran pengembangan sektor peternakan Kabupaten Banjarnegara mencapai dua milyar rupiah17. Anggaran ini digunakan untuk pengembangan kelompok peternak dan membangun program percontohan peternakan. Salah satu program percontohan yaitu percontohan peternakan sapi perah di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara yang sudah berjalan dari tahun 2007. Kecamatan Wanayasa merupakan kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang memiliki populasi ternak sapi potong terbesar. Jumlah sapi potong di 12
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang peternak sapi skala besar di Kabupaten Banjarnegara. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007, Kabupaten Banjarnegara dalam Angka 2007. 16 www.jateng.bps.go.id, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah, 2006, 2009/06/02. 17 Hasil wawancara dengan penanggung jawab Pasar Hewan Banjarnegara.
20 4 2
Kecamatan Wanayasa sekitar 8.207 ekor atau 20,85 persen dari total populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara18. Kondisi ini dapat terjadi karena kesesuaian kondisi wilayah Kecamatan Wanayasa untuk budidaya sapi potong. Ketinggian rata-rata wilayah Kecamatan Wanayasa adalah 1.135 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 15 sampai 20 derajat celcius. Ketinggian tempat dan suhu ini merupakan kondisi yang sangat sesuai untuk budidaya sapi potong terutama sapi potong keturunan Eropa seperti silangan Brahman dengan Simmental, silangan Simmental dengan Fries Holstein, silangan Brahman dengan Fries Holstein, dan sapi potong keturunan Eropa lainnya (Abidin, 2002). Kondisi ini juga menyebabkan hampir seluruh sapi potong yang tersebar di Kecamatan Wanayasa merupakan sapi potong keturunan Eropa. Kesesuaian kondisi wilayah ini juga didukung dengan luas lahan yang dapat digunakan sebagai sumber pakan sapi. Luas tegalan atau kebun yang ada di Kecamatan Wanayasa sekitar 4.324,34 hektar19. Alokasi lahan untuk penanaman rumput gajah sekitar 1.000 hektar per tahun akan dapat memenuhi kebutuhan sapi potong sekitar 10.000 ekor. Selain itu, limbah pertanian terutama limbah sayuran yang melimpah di Kecamatan Wanayasa juga dapat digunakan sebagai sumber pakan sapi. Sumber pakan juga bisa didapatkan oleh peternak sapi potong yang bertempat tinggal di kaki gunung. Luas hutan alam dan perkebunan di Kecamatan Wanayasa mencapai 3.050,65 hektar20. Lahan ini dapat digunakan oleh peternak yang tidak memiliki lahan sebagai sumber rumput untuk pakan sapinya. Kecamatan Wanayasa pada tahun 2008 ditetapkan menjadi salah satu kecamatan yang tergabung dalam Program Pengembangan Daerah Agropolitan Kabupaten Banjarnegara. Selain itu, Kecamatan Wanayasa pada tahun 2009 juga akan dijadikan target pengembangan sektor peternakan sapi potong Kabupaten Banjarnegara. Salah satu konsep yang diusulkan adalah program pengembangan sistem kemitraan. Konsep ini sesuai dengan kondisi sebagian besar masyarakat Kecamatan Wanayasa yang bekerja di bidang pertanian. Jumlah penduduk Kecamatan Wanayasa yang bekerja di bidang pertanian baik sebagai petani atau buruh tani sekitar 15.121 orang atau sekitar 41 persen dari jumlah penduduk yang 18
BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007, Kabupaten Banjarnegara dalam Angka 2007. Ibid. 20 Ibid. 19
521
bekerja21. Konsep ini melibatkan masyarakat secara langsung terutama masyarakat yang bekerja di bidang pertanian. Petani dapat berperan sebagai mitra ternak dalam sistem kemitraan sapi potong. 1.2.
Perumusan Masalah Salah satu perusahaan peternakan sapi potong di Kecamatan Wanayasa
yang menerapkan sistem kemitraan dengan petani adalah UD Rahmat Alam. Perusahaan ini berlokasi di Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa. Jumlah sapi potong yang dipelihara sendiri oleh unit peternakan UD Rahmat Alam sekitar 28 ekor. Sebagian besar sapi yang dimiliki oleh UD Rahmat Alam diserahkan pemeliharaannya kepada peternak mitra. Sekitar 89 ekor sapi potong yang dimiliki UD Rahmat Alam diserahkan pemeliharaanya kepada 60 orang peternak mitra22. Peternak mitra UD Rahmat Alam tersebar di beberapa desa di Kecamatan Wanayasa, diantaranya Desa Jatilawang, Desa Kasimpar, Desa Wanayasa, Desa Baniara, Desa Pagondangan, dan Desa Legoksayem. UD Rahmat Alam hingga saat ini belum bisa memenuhi semua permintaan petani yang ingin menjadi mitra. Jumlah tambahan sapi yang harus disediakan oleh perusahaan untuk memenuhi permintaan petani semakin besar dari tahun ke tahun. Perusahaan belum bisa memenuhi semua pemintaan calon peternak mitra karena pertimbangan ketersediaan modal dan kehati-hatian agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Permasalahan lain yang dihadapi oleh perusahaan adalah sebagian peternak mitra tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan perusahaan. Masalah yang biasanya menyebabkan kondisi ini adalah kurangnya kemampuan peternak dalam menyediakan pakan yang berkualitas dan menyediakan jumlah pakan yang cukup. Selain itu, ada sebagian peternak yang terpaksa menjual sapinya sebelum waktu yang telah ditentukan karena membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya atau karena kondisi kandang yang telah rusak. Kondisi ini menjadikan keuntungan yang didapat baik dari pihak perusahaan maupun pihak peternak mitra kurang maksimal.
21 22
BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007, Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007. Data sapi perusahaan UD Rahmat Alam bulan Mei 2009.
22 6
Keberhasilan kemitraan untuk mengembangkan sektor peternakan dan meningkatkan kesejahteraan petani salah satunya ditentukan oleh keberhasilan peternak mitra. Apabila ditinjau dari keberhasilan peternak mitra UD Rahmat Alam, tingkat keberhasilan kemitraan masih belum maksimal. Sebagian peternak mitra berhasil meningkatkan jumlah sapi yang dipeliharanya, memperluas kandang sapinya, dan memiliki sapi selain sapi dari perusahaan kemitraan. Namun, ada beberapa peternak mitra yang kondisinya tidak berkembang sejak awal mengikuti kemitraan hingga saat ini. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan peternak mitra adalah rasio pendapatan dan biaya total atau rasio RC total. Indikator ini dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan potensi pengembangan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Rasio RC total akan menggambarkan kondisi usaha penggemukan sapi peternak mitra secara keseluruhan, baik tunai maupun tidak tunai. Peternak mitra yang memiliki nilai rasio RC total tinggi memiliki potensi pengembangan usaha penggemukan sapinya menjadi lebih besar. Keberhasilan peternak mitra umumnya memiliki hubungan dengan karakteristik peternak mitra. Karakteristik peternak mitra yang berhasil dapat berbeda dengan karakteristik peternak mitra yang tidak berhasil. Tingkat kekuatan hubungan antara setiap karakteristik dengan keberhasilan peternak mitra juga berbeda. Karakteristik yang berhubungan kuat akan memiliki pengaruh lebih besar terhadap keberhasilan peternak mitra. Berdasarkan
uraian
sebelumnya,
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam? 2) Bagaimanakah keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total? 3) Karakteristik-karakteristik apa yang berhubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut: 23 7
1) Mengidentifikasi sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam. 2) Menganalisis keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total. 3) Menganalisis karakteristik-karakteristik peternak mitra yang berhubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra UD Rahmat Alam berdasarkan indikator rasio RC total dan merumuskan karakteristik umum peternak mitra yang berhasil. 1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
masukan bagi perusahaan UD Rahmat Alam untuk perbaikan sistem kemitraannya. Perusahaan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk merumuskan pembinaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan peternak mitra. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pihak Pemerintah Kecamatan Wanayasa dan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara sebagai salah satu alternatif pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Wanayasa dan Kabupaten Banjarnegara. Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pelaksanaan program pengembangan peternakan sapi potong terutama untuk memilih petani mitra yang potensial berdasarkan karakteristiknya. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi pihak akademisi untuk penelitian lebih lanjut. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada kajian keberhasilan peternak mitra UD Rahmat
Alam berdasarkan indikator rasio RC total. Penelitian ini tidak mengkaji keberhasilan peternak mitra terhadap indikator keberhasilan lain selain rasio RC total. Responden dari peternak mitra juga dibatasi, yaitu peternak mitra yang telah melakukan kemitraan lebih dari atau sama dengan tiga tahun. Hal ini dilakukan karena masa produksi sapi potong yang cukup lama, yaitu rata-rata satu tahun. Diharapkan bisa didapatkan data yang cukup mengenai pembelian dan penjualan sapi
dari
peternak
mitra
yang
telah
bermitra
selama
tiga
tahun.
24 8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kemitraan Penelitian tentang kemitraan yang dilakukan oleh Putro (2008) dengan
judul Kajian Kemitraan Peternak Sukabumi dengan Perusahaan Kampoeng Ternak terhadap Pendapatan Peternak. Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan metode sensus terhadap 24 peternak mitra. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh Kampoeng Ternak memiliki beberapa ketentuan, yaitu: pembagian keuntungan antara pihak Kampoeng Ternak dengan peternak mitra adalah 40:60; penjaringan peternak mitra dilakukan berdasarkan survei wilayah dan survei peternak; peternak mitra harus mengikuti pelatihan dan pendampingan terus dilakukan oleh pihak Kampoeng Ternak; dan inisiatif penjualan ternak bisa berasal dari pihak peternak mitra atau pihak Kampoeng Ternak dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani, kemitraan belum mampu meningkatkan pendapatan peternak mitra. Besarnya rasio RC atas biaya total rasio kurang dari satu, yaitu 0,63 yang menunjukkan bahwa usaha peternak mitra tidak efisien. Pendapatan peternak mitra dari usaha peternakan domba adalah 616.445,83 rupiah dalam empat bulan. Pendapatan ini berasal dari bagi hasil dan penjualan kotoran yang tidak termasuk dalam sistem bagi hasil. Pendapatan peternak dalam analisis pendapatan dapat dikatakan tidak efisien. Namun, peternak masih melakukan usaha peternakan domba karena peternak menganggap bahwa mereka memiliki aset berupa ternak domba yang dapat dijual sewaktuwaktu. Penelitian lain yang dilakukan untuk melihat tingkat pendapatan dan kepuasan peternak mitra adalah penelitian yang dilakukan oleh Firwiyanto (2008). Penelitian ini dilakukan pada Rudi Jaya PS yang berlokasi di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan mengklasifikasikan peternak mitra berdasarkan usia, tingkat pendidikan, lama berternak, dan status usaha. Kemudian membandingkan 20 orang peternak mitra dengan peternak mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh peternak mitra lebih kecil daripada tingkat pendapatan peternak mandiri. Namun, oleh peneliti hal tersebut dinilai sepadan dengan kondisi peternak yang tidak memiliki modal.
Kemitraan masih menjadi solusi untuk mengatasi masalah modal, sehingga peternak masih bisa berusaha dan memperoleh pendapatan walaupun tidak memiliki modal. Berdasarkan hasil Consumer Satisfaction Index (CSI), diketahui bahwa nilai CSI adalah 0,74 atau 74 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan peternak merasa puas dengan kinerja atribut kemitraan yang dilaksanakan oleh perusahaan inti. 2.2.
Sapi Potong Fauziyah (2007) melakukan penelitian tentang prospek pengembangan
peternakan sapi potong di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal yang merupakan kekuatan internal adalah metode perkawinan dengan Inseminasi Buatan (IB), tersedianya petugas kesehatan hewan, pengalaman berternak, ketersediaan pakan rumput, dan ketersediaan lahan untuk usaha ternak sapi potong. Kelemahan internal terdiri dari tingkat pendidikan yang rendah, harga konsentrat yang relatif mahal, informasi dan penyuluhan peternakan kurang, dan posisi tawar peternak yang rendah. Faktor eksternal yang merupakan peluang terdiri dari pangsa pasar yang terbuka, pemanfaatan dan pengembangan hasil ikutan pertanian, potensi daya tampung wilayah, dan pengembangan teknologi pakan jerami padi. Ancaman eksternal meliputi penyakit, penjualan sapi potong yang kurang terkontrol, dan banyaknya pesaing dari daerah lain. Dekayanti (2008) melakukan penelitian tentang potensi pengembangan usaha peternakan sapi potong di Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya peternakan yang mendukung pengembangan peternakan sapi potong adalah
sumberdaya
peternakan,
sumberdaya
manusia
(peternak),
dan
kelembagaan. Indikator umum sumberdaya alam yang dapat dijadikan ukuran bagi kondisi perkembangan peternakan adalah populasi ternak sapi potong, lingkungan agroekologis, dan lahan. Indikator sumberdaya manusia yang digunakan sebagai ukuran potensi pengembangan adalah karakteristik peternak yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan, lama berternak, jumlah anggota keluarga, mata pencaharian, dan motivasi berternak. Selain itu, indikator lain yang digunakan adalah penguasaan teknologi yang terdiri dari penggunaan sistem pemeliharaan intensif karena 10
keterbatasan lahan, bangunan kandang, pengolahan kotoran, dan komposisi serta jenis pakan yang diberikan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengembangan peternakan adalah modal, yang dibagi menjadi modal sendiri, bantuan pemerintah, dan peternak bagi hasil. Indikator kelembagaan yang menunjang pengembangan usaha sapi potong di Tangerang adalah kelompok tani ternak sapi potong dan lembaga pelayanan berupa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan Tempat Potong Hewan (TPH). 2.3.
Usahatani Sapi Potong Rohaeni (2005) melakukan penelitian tentang kontribusi usaha ternak sapi
potong terhadap usahatani. Penelitian ini dilakukan di Desa Sumber Mulia Kecamatan Pelaihari Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Studi dilakukan dengan cara survei menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Responden yang diwawancarai adalah petani yang merupakan warga desa dan anggota kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden diketahui usahatani yang dilakukan petani sebagian besar adalah jagung, padi, dan ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha pemeliharaan ternak sapi dilakukan sebagai usaha sampingan, usaha utama yang dilakukan petani adalah bertanam jagung, cabang usaha yang dilakukan petani layak untuk diusahakan karena nilai rasio RC yang dihasilkan lebih besar dari satu. Nilai rasio RC dari usahatani tanam jagung pertama 1,49 dan tanam jagung kedua 2,00 sedang nilai rasio RC untuk usahatani padi dan ternak sapi masing-masing 1,69 dan 1,1. Kontribusi pendapatan yang dihasilkan dari usaha pemeliharaan ternak sapi dengan skala empat ekor sebesar 18,44 persen. Rohaeni (2006) juga melakukan penelitian tentang model integrasi usahatani jagung dengan ternak sapi. Sistem integrasi yang diintroduksikan yaitu dari segi budidaya jagung, fermentasi kotoran sapi, dan teknologi budidaya ternak sapi. Budidaya jagung yang diintroduksikan yaitu penggunaan pupuk dasar fine compost, teknologi fermentasi kotoran sapi menjadi fine compost menggunakan probiotik dan budidaya ternak sapi yaitu pemanfaatan janggel jagung fermentasi sebagai pakan lengkap. Materi penelitian yang digunakan yaitu ternak sapi dan luasan tanaman jagung sebanyak tiga hektar. Petani yang terlibat dibedakan atas 11
dua kelompok yaitu kelompok kooperator (sistem integrasi) dan kontrol (non integrasi). Jumlah ternak sapi yang digunakan sebanyak 20 ekor untuk masingmasing kelompok responden. Parameter yang diamati yaitu produksi jagung, produksi limbah jagung (daun, batang dan janggel), pertambahan berat badan harian ternak (PBBH), produksi kotoran, analisis biaya dan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi usahatani tanaman jagung dan ternak sapi di lahan kering dapat memberikan nilai tambah berupa penggunaan kotoran sapi sebagai fine compost sehingga dapat mengurangi biaya untuk pembelian kotoran ayam yang harus didatangkan dari luar desa/kota sebesar 7,55 persen. Limbah jagung yang dapat dimanfaatkan terutama untuk pakan alternatif pada musim kemarau yaitu daun, batang dan janggel. Produksi daun dan batang jagung sebesar 12,19 ton tiap hektar, janggel satu ton tiap hektar, dan kotoran ternak lima kilogram per ekor per hari. Pendapatan yang dihasilkan dari usahatani jagung (tiga hektar) dan sapi (20 ekor) dengan cara integrasi masingmasing sebesar 9.763.200 rupiah dan 9.747.800 rupiah per musim. Nilai rasio RC yang dihasilkan dari usahatani jagung dan sapi dengan sistem integrasi sebesar 1,32 sedang dari non integrasi 1,18. Sistem integrasi dengan skala jagung seluas tiga hektar dan jumlah sapi 20 ekor dapat meningkatkan pendapatan sebesar 78,16 persen per musim dibanding sistem petani (non integrasi). 2.4.
Analisis Faktor Usahatani Purwoko (2007) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
menentukan tingkat adopsi teknologi pemeliharaan sapi dalam program SISS (Systematic Cow Cattle Integration in Oil Palm Plantation). Penelitian ini dilakukan di PT Agrinal, Kabupaten Bengkulu Utara. Responden penelitian berjumlah 83 orang dengan metode proporsional simple random sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil analisis, lebih dari 50 persen responden memiliki tingkat adopsi teknologi pemeliharaan yang tinggi. Faktor-faktor yang dimasukkan dalam model regresi linear antara lain pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan bersih SISS, pengalaman berternak sapi responden, frekuensi mengikuti penyuluhan berternak sapi, motivasi kerja responden, dan persepsi tentang program SISS. 12
Hasil analisis regresi linear yang dilakukan, pendapatan bersih SISS, pengalaman berternak responden, motivasi kerja responden, dan persepasi responden tentang SISS merupakan faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi pemeliharaan sapi. Untuk meningkatkan keberhasilan kemitraan, perusahaan harus mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan peternak mitra untuk mempertahankan motivasi kerja dan persepsi peternak mitra tentang SISS. Kondisi ini akan dapat meningkatkan produktifitas peternak mitra sehingga keuntungan perusahaan dan peternak mitra dapat maksimal. Selain itu, perusahaan juga perlu membuat perjanjian tertulis untuk peternak mitra untuk menjamin kenyamanan peternak mitra dalam bekerja. Hendayana (2006) melakukan penelitian tentang analisis faktor dengan menggunakan model regresi logistik. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survai di Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Responden yang diteliti berjumlah 64 orang petani atau peternak yang dipilih secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik kuantitatif menggunakan pendekatan fungsi logistik, dengan memasukkan delapan peubah bebas, yaitu agroekosistem, umur, mata pencaharian dan tingkat pendidikan suami dan istri, serta penguasaan lahan. Hasil analisis menunjukkan: (a) model logistik yang digunakan menunjukkan model yang baik (α = 0,004); (b) dari delapan peubah bebas dalam model, terdapat tiga peubah yang berpengaruh sangat nyata yaitu kondisi agroekosistem (α = 0,013), mata pencaharian (α = 0,099), luas lahan garapan (α = 0,089), dan satu peubah berpengaruh kurang nyata yaitu tingkat pendidikan istri (α = 0,161); (c) dari sisi hubungan antara peubah bebas, diketahui bahwa kondisi agroekosistem berhubungan erat dengan mata pencaharian. Hasil studi ini menjadi masukan bagi aparat pemerintah setempat bahwa kebijakan pengembangan usaha ternak ruminansia harus mempertimbangkan kondisi agroekosistem, mata pencaharian penduduk, dan luas lahan garapannya. Untuk mendukung pengembangan usaha ternak di wilayah ini diperlukan langkah-langkah operasional selain mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia, melakukan konsolidasi usaha dan diversifikasi usaha (horizontal maupun vertikal), juga diperlukan peningkatan dukungan faktor teknis antara lain perbaikan per
13
peningkatan sarana transportasi dan bimbingan yang lebih intensif kepada para peternak. 2.5.
Kesimpulan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu tentang kemitraan selalu membahas sistem kemitraan
di perusahaan yang diteliti. Pembahasan sistem kemitraan yang dilakukan terdiri dari latar belakang dan tujuan kemitraan, pola kemitraan, dan ketentuan-ketentuan dalam kemitraan. Pembahasan lain yang umumnya dilakukan adalah pembahasan tentang analisis pendapatan usahatani peternak mitra dan kepuasan pelaksanaan kemitraan. Hasil analisis pendapatan biasanya dibandingkan dengan dengan hasil analisis pendapatan petani atau peternak yang tidak bergabung dengan kemitraan. Penelitian terdahulu tentang sapi potong yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berkaitan dengan prospek pengembangan sapi potong. Hasil penelitian tentang prospek pengembangan sapi potong biasanya berkaitan dengan faktor-faktor internal dan eksternal peternak serta kondisi wilayah yang dapat mendukung pengembangan sapi potong. Faktor-faktor tersebut dapat digunakan dalam penelitian ini untuk merumuskan karakteristik peternak mitra yang diduga berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra. Penelitian tentang usahatani sapi potong umumnya menganalisis pendapatan usaha sapi potong dan menghitung besarnya kontribusi usaha sapi potong terhadap total pendapatan. Kesimpulan penelitian terdahulu tentang usahatani sapi potong diantaranya usaha sapi potong merupakan usaha sampingan dimana kegiatan usaha utamanya adalah bertani, usaha sapi potong memiliki nilai rasio pendapatan dan biaya yang lebih kecil daripada bidang usaha pertanian, dan usaha sapi potong mendukung bidang usaha pertanian terutama sebagai penyedia pupuk. Penelitian terdahulu yang dilakukan juga mengkaji pendapatan sistem integrasi usaha sapi potong dan usahatani jagung kemudian hasilnya dibandingkan dengan sistem non integrasi. Kesimpulannya sistem usaha yang terintegrasi memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada sistem usaha yang tidak terintegrasi. Penelitian terdahulu tentang analisis faktor adalah penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam usaha sapi potong dan faktor-faktor
yang
perlu
diperhatikan
dalam
melakukan
pengembangan 14
peternakan sapi potong. Hasil analisis faktor yang dilakukan sebagian digunakan dalam penelitian ini untuk merumuskan karakteristik peternak mitra yang diduga berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra sapi potong. Hasil penelitianpenelitian terdahulu tentang analisis faktor berupa model regresi yang aplikatif karena didukung dengan jumlah data yang cukup banyak. Variabel-variabel
yang
berhubungan
dengan
keberhasilan
usaha
penggemukan sapi peternak mitra yang dirumuskan berdasarkan penelitian terdahulu antara lain pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berternak sapi responden, frekuensi mengikuti penyuluhan berternak sapi, motivasi kerja responden, umur, mata pencaharian, dan ketersediaan pakan rumput. Berdasarkan variabel-variabel tersebut dapat dirumuskan beberapa variabel baru, yaitu lama bermitra dan kedekatan dengan perusahaan. Berdasarkan penelitian tentang kemitraan variabel tambahan yang dapat dirumuskan adalah latar belakang bermitra. Variabel-variabel lain dirumuskan berdasarkan bukubuku tentang budidaya sapi potong dan buku-buku tentang usahatani. 2.6.
Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang paling utama
adalah tempat penelitian dan waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan di UD Rahmat Alam, Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara selama bulan Mei hingga Juni 2009. Penelitian ini membahas sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam dan analisis pendapatan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis keberhasilan dan analisis karakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan. Analisis lanjutan inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian kemitraan yang lainnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian analisis faktor yang lain adalah penggunaan alat analisis korelasi peringkat Spearman untuk melihat kekuatan hubungan karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan secara kuantitatif. Penggunaan alat analisis ini terutama dikarenakan terbatasnya jumlah responden sehingga alat analisis kuantitatif yang sesuai terbatas.
15
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Definisi Ilmu Usahatani Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah, 2006). Suratiyah (2006) juga menyebutkan beberapa definisi tentang usahatani dari beberapa pakar, diantaranya: 1) Menurut Daniel, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi seperti lahan, tenaga, dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih jenis dan besarnya cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga memberikan hasil maksimal dan kontinyu. 2) Menurut Efferson, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari caracara mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu. 3) Menurut Prawirokusumo (1990), ilmu usahatani merupakan ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan, atau perikanan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimanan membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian, peteranakan, atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati oleh petani atau peternak tersebut. 3.1.2. Usaha Peternakan Menurut Mubyarto (1989) dalam Firwiyanto (2008), berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia, peternakan diklasifikasikan menjadi tiga 16
kelompok, yaitu peternak rakyat, peternak semi komersil, dan peternak komersil. Peternakan rakyat memelihara ternaknya secara tradisional. Pemeliharaan dilakukan setiap hari oleh anggota keluarga peternak. Keterampilan peternak masih sederhana dan menggunakan bibit lokal dengan mutu dan jumlah terbatas. Tujuan utama pemeliharaan sebagai hewan kerja, yaitu sebagai pembajak sawah dan tegalan. Peternakan semi komersil adalah memelihara ternak dengan ketrampilan cukup. Peternakan ini mulai menggunakan bibit berkualitas, obat-obatan, dan pakan penguat. Tujuan utama pemeliharaan adalah untuk menambah pendapatan keluarga dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga. Peternakan komersil adalah peternak yang mengusahakan usaha peternakannya dengan modal besar, sarana produksi yang modern, dan memanfaatkan teknologi dalam pengoperasian usahanya. Pembayaran tenaga kerja dilakukan secara profesional. Pakan ternak berasal dari pihak luar perusahaan dan dibeli dalam jumlah besar untuk mendukung proses budidaya. 3.1.3. Konsep Pendapatan Usahatani Ukuran pendapatan merupakan salah satu penampilan usahatani yang digunakan dalam penilaian kinerja usahatani. Ukuran pendapatan memiliki cakupan yang luas, yaitu mencakup uang tunai dan uang non tunai. Ukuran pendapatan juga mencakup nilai transaksi barang dan perubahan nilai inventaris atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu (Soekartawi, 1986). Jadi ukuran pendapatan juga bisa digunakan untuk mengukur besarnya aset usahatani dan pertumbuhan aset usahatani. Penghitungan aset usahatani dan ukuran non tunai lainnya dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap harga pasar produk tersebut. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income), menurut Soekartawi (1986) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya satu tahun dan mencakup semua produk yang: 1) Dijual. 2) Dikonsumsi rumah tangga petani. 3) Digunakan dalam usahatani untuk bibit dan pakan ternak. 17
4) Digunakan untuk pembayaran. 5) Disimpan di gudang pada akhir tahun. Dalam menaksir pendapatan kotor, semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar. Perhitungan pendapatan kotor harus mencakup semua perubahan nilai di lapangan antara permulaan dan akhir tahun pembukuan. Untuk kasus produk ternak, umumnya nilai ini dihilangkan. Pembelian ternak dikurangkan dari pendapatan kotor karena dianggap sebagai produk usahatani yang belum selesai. Penghitungan pendapatan kotor usahatani peternakan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penghitungan Pendapatan Usahatani Peternakan Sifat Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Positif
Uraian Penjualan ternak Nilai ternak yang dikonsumsi rumah tangga, pembayaran, dan hadiah Nilai ternak pada akhir tahun pembukuan Pembelian ternak Nilai ternak yang diperoleh sebagai upah dan hadiah Nilai ternak di awal tahun pembukuan Nilai hasil ternak seperti susu dan telur
Sumber: Soekartawi, 1986
Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani (Soekartawi, 1986). Perhitungan pengeluaran total usahatani dapat dilakukan dengan cara memisahkan pengeluaran total usahatani menjadi pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable cost). Pengeluaran tidak tetap adalah pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak tertentu dan jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut. Pengeluaran tetap adalah pengeluaran usahatani atau ternak yang tidak bergantung kepada besarnya produksi (Soekartawi, 1986). Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan non tunai. Nilai barang atau jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar menggunakan benda atau berdasarkan kredit harus dimasukkan sebagai pengeluaran. Apabila dalam usahatani digunakan mesin-mesin pertanian, maka harus dihitung penyusutannya 18
dan dianggap sebagai pengeluaran. Penyusutan merupakan penurunan nilai inventaris yang disebabkan oleh pemakaian selama masa pembukuan (Soekartawi, 1986). Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (net farm income) (Soekartawi, 1986). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi, pengelolaan, dan modal. Pendapatan bersih usahatani juga bisa disebut sebagai keuntungan sehingga dapat digunakan sebagai perbandingan beberapa usahatani. Dalam pendapatan bersih usahatani, bunga dari hutang belum diperhitungkan. Penampilan usahatani yang telah menghitung faktor bunga hutang adalah penghasilan bersih usahatani (net farm earning). Selain diukur dengan nilai mutlak, pendapatan juga dapat diukur nilai efisiensinya. Salah satu alat untuk mengukur efisiensi pendapatan adalah penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau imbangan penerimaan dengan biaya (rasio RC). Perbandingan ini menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan. Semakin tinggi nilai rasio RC menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan oleh peteni semakin efisien. Rasio RC dalam usahatani dibagi menjadi dua jenis, yaitu rasio RC total dan rasio RC tunai. Rasio RC total menggambarkan penerimaan dan pengeluaran usahatani secara keseluruhan, mencakup penerimaan dan pengeluaran tunai serta tidak tunai. Rasio RC tunai menggambarkan penerimaan dan pengeluaran usahatani yang benar-benar dikeluarkan oleh petani atau penerimaan dan pengeluaran tunai. 3.1.4. Faktor-Faktor Usahatani Menurut Ellis (1988), ada beberapa faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap usahatani, yaitu: 1) Aktifitas Ekonomi Dominan Aktifitas ekonomi dominan dari seorang petani akan menentukan kondisi usahatani. Sebagian besar aktifitas ekonomi utama seorang petani berkaitan dengan lahan. Umumnya, aktifitas ekonomi utama seorang petani adalah bercocok tanam dengan usaha sampingan memelihara ternak. Namun ada 19
sebagian petani yang mengusahakan lahannya untuk menanam komoditas pakan ternak dengan usaha utamanya melakukan budidaya komoditas peternakan. Petani yang tidak memiliki lahan, buruh tani, dan penggembala nomaden tidak dimasukkan dalam aktitas usahatani. 2) Tanah Tanah merupakan faktor utama dalam usaha tani selain pekerja keluarga. Petani dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki akses terhadap pengelolaan lahan untuk melakukan budidaya tanaman dan ternak. Di beberapa negara, aturan tentang tanah, kepemilikan tanah, dan pengusahaan tanah diatur dengan hukum-hukum dan ketentuan tradisional. Hukum-hukum dan ketentuan tradisional ini berlaku dalam masyarakat secara kuat dan mengakar. Dalam masyarakat petani, tanah merupakan faktor usahatani yang berbeda dengan faktor-faktor usahatani yang lainnya. Perbedaan ini terutama berkaitan dengan harga yang rata-rata meningkat berdasarkan waktu, berkaitan dengan status sosial petani di desa atau suatu komunitas, dan dalam jangka panjang akan berbenturan dengan kebutuhan hidup manusia. 3) Pekerja Pekerja keluarga merupakan karakteristik utama usahatani yang berkaitan dengan tenaga kerja. Tenaga kerja keluarga dalam usahatani merupakan faktor yang penting untuk kelangsungan usahatani. Pengertian pekerja keluarga berbeda dengan pekerja dalam suatu peusahaan terutama dalam permasalahan gaji, tanggung jawab, dan kepemilikan terhadap usaha. Selain pekerja keluarga, dalam usahatani juga terdapat pekerja di luar keluarga yang mendapatkan upah baik berupa uang tunai ataupun produk non tunai. Walaupun sistem pekerja keluarga dapat dikatakan kurang profesional, kualitas pekerja keluarga dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja di suatu komunitas usahatani. Selain itu, kualitas pekerja keluarga ternyata dapat mempengaruhi besarnya permintaan dan penawaran upah dalam pasar tenaga kerja yang lebih luas. 4) Modal Sumber modal merupakan salah satu aspek modal yang berpengaruh terhadap usahatani terutama permasalahan pendapatan. Modal usahatani bisa berasal 20
dari pinjaman, modal sendiri, atau modal yang berasal dari sistem bagi hasil. Jenis sumber modal akan menentukan besarnya pendapatan yang diterima oleh usahatani. Pendapatan juga mempengaruhi besarnya modal melalui akumulasi modal atau penyisihan sebagian pendapatan untuk penambahan modal usaha. Semakin besar pendapatan yang disisihkan akan menjadikan jumlah modal semakin besar. Namun, besarnya pendapatan yang bisa disisihkan untuk tambahan modal juga dipengaruhi faktor lain, seperti konsumsi rumah tangga. 5) Konsumsi Kondisi usahatani yang membedakan dengan jenis usaha lainnya adalah hal yang berkaitan dengan konsumsi rumah tangga terutama pada usahatani yang bersifat subsisten. Subsisten adalah bagian dari produk usahatani yang diguanakan untuk konsumsi rumah tangga dan tidak dijual. Hal inilah yang menjadikan integrasi usahatani terhadap ekonomi pasar hanya sebagian, tidak secara keseluruhan namun tetap memegang peranan dalam pasar. Tingkat konsumsi ini besarnya tergantung pada jumlah anggota keluarga usahatani dan tingkat ketergantungan konsumsi rumah tangga terhadap produk usahatani. Menurut Suratiyah (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi biaya dan pendapatan usahatani dapat dibedakan menjadi: 1) Faktor internal, yang terdiri dari umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan, dan modal usahatani. 2) Faktor eksternal, yang terdiri dari ketersediaan input, harga input, permintaan output, dan harga output. 3) Faktor manajemen, yaitu tentang keputusan dengan pertimbangan ekonomis oleh petani, pengorganisasian faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien, dan meramalkan perubahan faktor eksternal. 3.1.5. Kemitraan Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prisip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah, 2000 dalam Iftaudin, 2005). Menurut Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 21
1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha besar atau usaha menengah disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling memiliki. Menurut Salam (2000) dalam Iftaudin (2005), pola kemitaran merupakan suatu bentuk kerja sama antara pengusaha dengan peternak dari segi pengelolaan usaha peternakan. Dalam kemitraan pihak pengusaha dan peternak harus mempunyai posisi yang sejajar agar tujuan kemitraan dapat tercapai dimana dalam hal perhitungan tentang biaya produksi diatur sepenuhnya oleh perusahaan yang disepakati bersama oleh peternak. Pada hakekatnya kemitraan adalah sebuah kerja sama bisnis untuk tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus mempunyai kepentingan dan posisi yang sejajar. 3.1.6. Latar Belakang Kemitraan Latar belakang timbulnya kemitraan antara perusahaan besar dengan petani antara lain adalah (Soetardjo, 1994 dalam Putro, 2008): 1) Latar belakang perusahaan bermitra dengan petani: a) Adanya himbauan pemerintah tentang kemitraan perusahaan besar dengan petani yang direalisasikan melalui Undang-Undang Perindustrian Nomor 5 Tahun 1981 dan SK Mentri Keuangan Nomor 136. b)
Adanya hubungan bisnis atau ekonomi antara perusahaan besar dengan petani sehingga keuntungan perusahaan besar akan lebih besar daripada mengerjakan sendiri.
c)
Tanggung jawab sosial, yaitu kepedulian dari perusahaan besar untuk memajukan dan mengembangkan masyarakat sekitar.
2) Latar belakang petani bermitra dengan perusahaan besar: a) Adanya jaminan pasar yang pasti. b) Mangharapkan bantuan dalam hal pembinaan, permodalan, dan pemasaran. c) Kewajiban untuk bermitra dengan perusahaan besar, contoh kasus ini adalah kasus Perkebunan Inti Rakyat (PIR). d) Kerjasama dengan perusahaan besar akan lebih menguntungkan apabila ditinjau dari segi harga, jumlah, kepastian, dan promosi. 22
3.1.7. Maksud dan Tujuan Kemitraan Keputusan Menteri Pertanian Bab I Pasal 2 Ayat 1 tentang pedoman Kemitraan Usaha Pertanian menyebutkan bahwa tujuan usaha kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Kemitraan ditujukan untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan, dan meningkatkan peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya dalam mewujudkan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan mandiri, yang mampu menjadi tulang punggung dan memperkokoh struktur perekonomian nasional. Sedangkan tujuan kemitraan dibedakan menurut pendekatan struktural dan kultural (Supeno, 1996 dalam Iftaudin). Berdasarkan pendekatan struktural, kemitraan bertujuan untuk: 1) Saling mendukung, saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. 2) Menciptakan nilai tambah efisiensi dan produktivitas usaha bagi kedua belah pihak yang akan memperkuat ekonomi dan industri nasional sehingga menjadi tulang punggung pembangunan dan tatanan dunia usaha. 3) Menciptakan dan meningkatkan alih pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan teknologi sehingga menjadi bekal masyarakat untuk bisa turut berperan sebagai pemain yang dominan di pasar global. 4) Mengatasi kesenjangan sosial. Berdasarkan pendekatan kultural, kemitraan bertujuan agar mitra usaha dapat menerima dan mengadaptasi nilai-nilai baru dalam berusaha seperti perluasan wawasan, prakarsa dan kreatifitas, berani mengambil risiko, etos kerja, kemampuan aspek-aspek manajerial, bekerja atas dasar perencanaan, dan berwawasan ke depan. 3.1.8. Pola-Pola Kemitraan Berdasarkan Keputusan Mentri Pertanian Nomor 940 Tahun 1997, kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola berikut ini: 23
1) Pola Kemitraan Inti Plasma Pola inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu contoh pola inti plasma adalah pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Perusahaan inti menyediakan input produksi, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengelola, dan memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra memenuhi kebutuhan perusahaan dengan menjual hasil produksi kepada perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati dan mematuhi aturan atau petunjuk yang diberikan oleh perusahaan inti. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 3, perusahaan inti berkewajiban untuk membina dan mengembangkan plasmanya dalam hal: a) penyediaan dan penyiapan lahan; b) penyediaan sarana produksi dan pembiayaan; c) pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi; d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; dan e) pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. 2) Pola Kemitraan Sub Kontrak Pola sub kontrak merupakan bentuk kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Bentuk kemitraan ini ditandai dengan adanya kesepakatan kontrak bersama yang diantaranya mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Pola kemitraan ini sangat bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, ketrampilan dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk dari kelompok mitra. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 4, perusahaan besar memberikan bantuan kepada perusahaan mitranya berupa: a) kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen; b) kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; 24
c) bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen; d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e) pembiayaan. 3) Pola Kemitraan Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan bentuk hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok usaha pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Beberapa petani atau kelompok tani bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya bermitra dengan perusahaan pemasar untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Peranan kelompok mitra adalah memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra dan perusahaan mitra memasarkan produk dari kelompok mitra tersebut ke konsumen atau industri. 4) Pola Kemitraan Keagenan Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan dimana perusahaan mitra berskala menengah atau besar memberikan hak khusus kepada perusahaan kecil atau kelompok mitranya untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan mitra. Perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk, sedangkan kelompok mitra berkewajiban memasarkan produk tersebut. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang targettarget yang harus dicapai dan besarnya komisi. 5) Pola Kemitraan Lainnya Contoh pola kemitraan ini adalah kerjasama operasional agribisnis (KOA). Pola kemitraan KOA merupakan hubungan bisnis antara kelompok mitra sebagai penyedia lahan, sarana, dan tenaga dengan perusahaan mitra sebagai penyedia biaya, modal, manajemen, dan pengadaaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas tertentu. Perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk atau pengolah produk tersebut yang kemudian dikemas untuk dipasarkan. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang pembagian hasil dan risiko usaha.
25
3.1.9. Kewajiban dalam Kemitraan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 14, usaha besar atau usaha menengah yang melakukan kemitraan berkewajiban untuk: 1) memberikan informasi peluang kemitraan; 2) memberikan
informasi
kepada
pemerintah
mengenai
perkembangan
pelaksanaan kemitraan; 3) menunjuk penanggung jawab kemitraan; 4) mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kemitraan; dan 5) melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam hal: a) Pemasaran, dengan cara membantu akses pasar, memberikan bantuan informasi pasar, memberikan bantuan promosi, mengembangkan jaringan usaha, membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen, dan membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan. b) Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, melalui pendidikan dan pelatihan, magang, studi banding, dan konsultasi. c) Permodalan, dengan cara pemberian informasi sumber-sumber kredit, tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga penjaminan, mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan, informasi dan tata cara penyertaan modal, dan membantu akses permodalan. d) Manajemen, dengan cara membantu penyusunan studi kelayakan, membantu mengembangkan sistem dan prosedur organisasi, dan menyediakan tenaga konsultan dan advisor. e) Teknologi, dengan cara membantu perbaikan, inovasi, dan alih teknologi, membantu pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan, membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas, membantu pengembangan desain dan rekayasa produk, dan membantu meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku. Sedangkan kewajiban usaha mitra berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 15 adalah:
26
1) meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan usaha besar atau usaha menengah; dan 2) memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar atau usaha menengah. 3.1.10. Indikator-Indikator Keberhasilan Kemitraan Indikator-indikator keberhasilan kemitraan berkaitan erat dengan pola kemitraan yang diterapkan perusahaan. Pola kemitraan mendasari latar belakang kemitraan, tujuan kemitraan, dan ketentuan-ketentuan dalam kemitraan. Indikatorindikator keberhasilan suatu kemitraan disesuaikan dengan pola kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan. Namun, ada beberapa indikator yang berlaku secara umum dan digunakan untuk menentukan keberhasilan suatu kemitraan, diataranya: 1) Menurut penelitian Putro (2008), Aryani (2008), dan Iftaudin (2005), pendapatan peternak mitra merupakan indikator keberhasilan peternak mitra. Ukuran pendapatan digunakan karena memiliki cakupan yang luas, yaitu mencakup ukuran tunai dan ukuran-ukuran non tunai. Penilaian keberhasilan kemitraan berdasarkan pendapatan dilakukan dengan melihat pendapatan kotor usaha ternak, pendapatan bersih usaha ternak, dan RC rasio (Soekartawi, 1986). RC rasio biasanya digunakan oleh peneliti untuk melihat perbandingan peternak mitra dengan peternak lain yang tidak tergabung dengan kemitraan. 2) Pertumbuhan aset usaha ternak mengindikasikan keberhasilan peternak mitra dalam meningkatkan skala usahanya. Pertumbuhan aset erat kaitannya dengan akumulasi kapital, yaitu besarnya pendapatan yang disisihkan untuk menambah modal usaha (Soekartawi, 1986). Pertumbuhan aset yang tinggi menunjukkan perkembangan usaha ternak dimana secara tidak langsung akan mempengaruhi kemandirian peternak mitra dan pertumbuhan sektor peternakan di suatu daerah. 3) Transparansi antara perusahaan dengan peternak mitra (Putro, 2008). Transparansi dapat meminimalisir kecurangan baik dari pihak perusahaan ataupun pihak peternak mitra. Transparansi yang sangat penting dalam 27
kemitraan sapi potong biasanya berkaitan dengan penjualan atau pemotongan ternak. Pihak perusahaan harus memberikan catatan yang lengkap agar peternak mitra mengetahui seberapa besar hak yang diterimanya sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Peternak mitra juga harus bisa menjelaskan aktifitas budidaya yang dilakukan, kondisi sumberdaya, pemberian pakan, dan bisa menjelaskan dengan jelas apabila terget perusahaan tidak tercapai atau adanya kematian sapi. Dalam jangka panjang transparansi dapat menimbulkan rasa percaya sehingga sistem kemitraan akan semakin kuat. 4) Kepatuhan peternak mitra terhadap kontrak (Putro, 2008). Dalam kemitraan sapi potong maro, perusahaan menetapkan ukuran minimal sapi yang siap potong, yaitu dengan ukuran sekitar 400 hingga 600 kilogram. Perusahaan juga menentukan lamanya waktu pemeliharaan, yaitu sekitar 6 bulan – 12 bulan. Ukuran dan waktu pemeliharaan ini tergantung ukuran dan umur sapi di awal pemeliharaan. Namun, beberapa peternak mitra menjual atau memotong sapi perusahaan yang dipeliharanya sebelum bobot atau waktu pemeliharaan tercapai. Hal ini menjadikan keuntungan peternak mitra dan perusahaan kurang maksimal. Selain itu, kepercayaan perusahaan juga akan menurun apabila peternak mitra tidak mematuhi ketentuan perusahaan. 5) Berdasarkan latar belakang dilakukan kemitraan yang dikemukakan oleh Soetardjo
(1994),
beberapa
indikator
keberhasilan
kemitraan
dapat
dirumuskan, diantaranya: 1)
Keuntungan perusahaan lebih besar apabila menerapkan sistem kemitraan daripada mengerjakan sendiri. Dalam kemitraan sapi potong, perusahaan melakukan kemitraan karena memiliki keterbatasan lahan sehingga memiliki keterbatasan dalam menyediakan pakan hijauan (rumput
gajah).
Kemitraan
membantu
perusahaan
dalam
memproduktifkan sumber daya modal yang dimilikinya sehingga keuntungan perusahaan dapat bertambah. Namun, perlu ada kajian yang lebih dalam mengenai perbandingan tambahan keuntungan melalui kemitraan dengan keuntungan perusahaan apabila memelihara sendiri dengan menyewa lahan untuk menanam rumput gajah. 28
2) Adanya kepastian pasar, jumlah, dan harga bagi peternak mitra. Peternak mitra sapi potong dapat menjual atau memotong sapi yang dipeliharanya melalui perusahaan dengan harga yang telah ditentukan dengan pasar yang telah tersedia. Dalam kasus sitem kemitraan maro, harga pembelian mengikuti harga pasar karena harga dalam usaha sapi potong cukup stabil dan cenderung meningkat. 3) Peningkatan sumber daya manusia terutama berkaitan dengan teknis budidaya sapi potong dan manajeman usaha ternak sapi potong. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membantu mengembangkan usaha ternak peternak mitra. Adanya peningkatan SDM dapat dilihat dari keberhasilan mencapai target pertumbuhan, kesadaran akan kesehatan ternak, dan usaha ternak yang berkembang. 4) Memiliki kemudahan dalam akses modal apabila peternak mitra ingin mengembangkan usaha ternaknya. Perusahaan dapat berperan sebagai penyedia modal atau sebagai fasilitator peternak mitra dengan pihak lain yang memiliki modal, misalnya membantu akses modal kepada bank. 6) Peningkatan jumlah peternak mitra dan peningkatan jumlah aset perusahaan yang dikelola melalui sistem kemitraan (Putro, 2008). Semakin besar peningkatan yang terjadi, maka sistem kemitraan dapat dikatakan semakin berhasil. Kondisi ini menunjukkan adanya perkembangan sistem kemitraan yang dijalankan. 7) Tingkat efisiensi usaha ternak yang dilakukan peternak mitra. Peternak mitra berupaya agar usaha ternak yang dikelolanya dapat mencapai skala ekonomi. Kondisi ini berkaitan erat dengan program pembimbingan yang dilakukan oleh pihak perusahaan untuk meningkatkan SDM peternak mitra. Putro (2007) dan Iftaudin (2005) melakukan penelitian tentang efisisensi produksi usaha ternak dengan menggunakan analalisis regresi dan analisis fungsi produksi. 8) Produk yang dihasilkan peternak mitra dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan perusahaan mitra atau produk sejenis lain yang ada di pasar. Dalam kasus kemitraan sapi maro, produk yang dihasilkan adalah sapi potong 29
yang berkualitas, yaitu sehat dan bebas penyakit, bobot tinggi, daging padat, karkas yang dihasilkan tinggi, dan daging yang dihasilkan aman dikonsumsi (Abidin, 2002). 9) Loyalitas peternak mitra untuk setia bergabung dengan kemitraan perusahaan. Peternak mitra tidak tertarik untuk bergabung dengan kemitraan perusahaan lain. Kondisi ini ditunjukkan dengan jangka waktu peternak mitra mengikuti kemitraan perusahaan. 10) Tingkat bergabung dan keluar peternak mitra dari kemitraan. Indikator ini berkaitan erat dengan tingkat loyalitas peternak mitra. Semakin tinggi angka keluar masuk peternak mitra menunjukkan tingkat loyalitas yang rendah sehingga keberhasilan kemitraan semakin rendah. 11) Kurniawan (2007) melakukan penelitian tentang besarnya kontribusi usaha ternak terhadap penghasilan rumah tangga. Apabila dihubungkan dengan kemitraan usaha ternak, kita dapat melihat besarnya kontribusi pendapatan dari kemitraan terhadap penghasilan total rumah tangga usahatani. Semakin besar kontribusi menunjukkan semakin besar tingkat keberhasilan kemitraan. 12) Kepuasan peternak mitra terhadap kemitraan (Firwiyanto, 2008). Indikator ini berkaitan dengan manfaat dan keuntungan yang diterima oleh peternak mitra dibandingkan dengan kompensasi yang harus dikeluarkan, pelaksanaan kesepakatan oleh perusahaan, dan transparansi dari pihak perusahaan. 13) Kemampuan perusahaan untuk memenuhi permintaan dengan melakukan manajemen kemitraan yang baik dan didukung dengan kepatuhan peternak mitra dalam memenuhi ketentuan-ketentuan kemitraan (Iftaudin, 2005). Kemitraan dilakukan agar perusahaan terbantu dalam memenuhi permintaan produknya. Apabila permintaan perusahaan dapat terpenuhi baik secara kuantitas dan kualitas karena adanya kemitraan, maka sistem kemitraan yang dilakukan perusahaan dapat dikatakan berhasil. Indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator RC total usaha penggemukan sapi peternak mitra. Pemilihan indikator ini dikarenakan indikator ini menggambarkan kondisi usaha penggemukan sapi peternak mitra secara keseluruhan. Indikator ini juga menggambarkan potensi pengembangan usaha penggemkan sapi peternak mitra yang bersangkutan. 30
Berdasarkan uraian tentang indikator keberhasilan kemitraan, variabel-variabel yang dapat diturunkan antara lain kesesuaian masa pemeliharaan, lama bermitra, dan pekerjaan utama peternak mitra. 3.1.11. Arti Ekonomi Sapi Potong Menurut Abidin (2002), sapi potong memiliki beberapa arti ekonomis, diantaranya: 1) Tenaga kerja Di beberapa daerah di Indonesia, penggunaan sapi untuk pekerja masih banyak dijumpai. Sapi-sapi tersebut digunakan untuk membajak sawah atau menarik pedati. 2) Penghasil pupuk kandang Pupuk kandang merupakan hasil sampingan dari usaha pemeliharaan sapi. Rata-rata satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 7,5 ton kotoran per tahun atau sebanding dengan 5 ton pupuk kandang siap pakai. 3) Penentu status sosial Di beberapa daerah, sapi yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan status sosial dalam masyarakatnya. Kondisi ini dapat terjadi karena harga jual sapi yang cukup tinggi. Daerah yang masih menganut kebiasaan ini contohnya adalah Madura dan Nusa Tenggara. 4) Penghasil bahan baku industri Kulit, tanduk, tulang, dan darah sapi dari hasil pemotongan merupakan sumber bahan baku industri yang menghasilkan nilai tambah cukup tinggi. Kulit sapi bisa diolah menjadi tas, sepatu, ikat pinggang, dan jaket yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Tanduk sapi bisa diolah menjadi berbagai macam barang kerajinan dan bahan baku pembuatan lem. Tulang dan darah dapat diolah menjadi tepung tulang dan tepung darah yang dapat digunakan untuk pakan ikan. 5) Atraksi pariwisata Lomba Karapan Sapi di Madura merupakan salah satu atraksi wisata yang melibatkan sapi sebagai objeknya. Selain itu, di beberapa daerah sentra peternakan sapi seperti Lembang, Jawa Barat dan Malang, Jawa Timur wisata edukasi peternakan sapi juga mulai berkembang. Kedua jenis wisata ini dapat 31
memberikan nilai tambah baru untuk komoditas sapi sehingga peternak bisa mendapatkan tambahan pendapatan. 6) Ternak potong Di atas semua nilai ekonomis sapi, pada akhirnya sapi akan menjadi penghasil daging. Sapi-sapi yang dipekerjakan sebagai pembajak sawah yang tidak produktif lagi biasanya akan menjadi ternak potong. Umumnya, daging dari sapi jenis ini kurang berkualitas. Meskipun demikian, ada beberapa jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristik yang dimilikinya, seperti tingkat pertumbuhan yang cepat dan kualitas daging yang baik. Sapi-sapi inilah yang umumnya digunakan sebagai sapi bakalan yang dipelihara secara intensif selama beberapa bulan sehingga diperoleh berat badan sapi yang ideal untuk dipotong. 3.1.12. Jenis-Jenis Sapi Potong Menurut Abidin (2002), beberapa jenis sapi potong yang biasa digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah sebagai berikut: 1) Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi lokal dengan produktifitas pertambahan bobot badan yang cukup tinggi. Melalui manajemen pemeliharaan yang baik, peningkatkan berat badan hariannya dapat mencapai 0,7 kilogram. Keunggulan lainnya adalah kemampuan menyesuaikan diri pada lingkungan baru sehingga sering disebut sebagai ternak perintis. Hingga saat ini, kemurnian dan kualitas genetis sapi Bali masih terjaga karena adanya undang-undang yang mengatur pembatasan masuknya jenis sapi lain ke Bali dan adanya perbaikan manajemen pemeliharaan. Populasi sapi bali pada tahun 1999 mencapai 27 persen dari seluruh sapi potong yang ada di Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Pulau Bali. 2) Sapi Ongole Sapi Ongole merupakan keturunan sapi Zebu dari India. Sapi Ongole mulai masuk ke Indonesia pada abad 19 oleh pemerintah kolonial Belanda. Keturunan sapi ini adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi ini merupakan hasil persilangan sapi Ongole dengan sapi Madura dan menghasilkan sapi 32
dengan kualitas produksi lebih rendah daripada sapi Ongole. Sapi ini mudah beradaptasi sehingga persebarannya hampir merata ke seluruh wilayah Indonesia, terutama di Jawa dan di Pulau Sumba. 3) Sapi Fries Holstein (FH) Sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu ini berasal dari Belanda dengan ciri khas berwarna hitam dan putih, tidak berpunuk, dan terdapat tanda segitiga putih di dahi. Sapi jantan FH memiliki pertumbuhan yang tinggi, yaitu mencapai 1,1 kilogram per hari sehingga jantan FH banyak digunakan untuk digemukkan. Persebaran sapi ini hampir merata di pulau Jawa, misalnya di Pondok Rangon (Jakarta), Lembang dan Pengalengan (Jawa Barat), Purwokerto dan Boyolali (Jawa Tengah), dan Grati (Jawa Timur). 4) Brahman Sapi ini berasal dari India dan merupakan keturunan sapi zebu (Bos indicus). Sapi ini biasanya disilangkan dengan sapi keturunan Eropa yang memiliki produktifitas tinggi untuk menghasilkan sapi yang memiliki produktifitas dan kemampuan adaptasi tinggi. Di Amerika Serikat dan Australia, persilangan banyak dilakukan dengan pencatatan yang baik sehingga konsumen bisa tahu darah brahman dari sapi yang dibelinya. Sapi-sapi silangan brahman yang berada di Indonesia sebagian besar berasal dari Australia yang disebut sebagai Australian Brahman Cross (ABC). 5) Sapi Madura Sapi Madura dikenal sebagai sapi asli Jawa dengan ciri khas tubuh berwarna kuning hingga merah bata. Populasi sapi ini mencapai 12 persen dari populasi sapi potong di Indonesia namun persebarannya tidak semerata sapi bali. Berbeda dengan sapi bali, sapi madura telah mengalami erosi genetis sehingga produktifitas pertambahan berat badan per harinya menurun. Penyebab terjadinya hal ini adalah banyak terjadi perkawinan sedarah. 3.1.13. Jalur Penyediaan Daging Sapi Menurut Weisburd dalam Santosa (2007), sumber daging sapi dapat berasal dari sapi perah maupun sapi pedaging. Sumber yang berasal dari sapi perah dapat dilakukan melalui pemeliharaan pedet sebagai pengganti bibit dalam 33
usaha produksi veal23 atau melalui feedlot24 dari pedet-pedet jantan. Selain untuk pengganti, sumber dari sapi pedaging dapat beradal dari pedet sapihan. Pedet sapihan juga dapat diusahakan terlebih dahulu melalui background. Background merupakan pemeliharaan sementara secara khusus untuk memulihkan kondisi pedet sampai mencapai bobot badan tertentu sebelum pemeliharaan selanjutnya. Sapi hasi background dapat dipelihara untuk feedlot atau pemeliharaan lainnya seperti untuk produksi veal dan baby beef25. Skema jalur penyediaan daging sapi dapat dilihat pada Gambar 1. Sapi Pedaging
Perah
Afkir
Pengganti
Afkir
veal
Pengganti
Pedet untuk digemukkan
Pedet sapihan 200-300 kg
Background 200-325 kg
Feedlot 200-550 kg
Baby beff 350-400 kg
Penggemukan lain
Penggemukan di pastura
Pedet yang dipotong
Sapi yang dipotong
Gambar 1. Skema Jalur Penyediaan Daging Sapi26 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional UD Rahmat Alam merupakan salah satu perusahaan peternakan sapi
potong di Desa Jatilawang Kecamatan Wanayasa yang menerapkan sistem kemitraan dalam menjalankan usahanya. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh UD Rahmat Alam masih menghadapi beberapa kendala, yaitu belum terpenuhinya 23
Daging sapi muda yang berasal dari pemotongan anak sapi. Usaha penggemukan sapi. 25 Penggemukan pedet hingga umur satu tahun dengan bobot sekitar 350-400 kilogram. 26 Weisburd, 1980 dalam Santosa, Prospek Agribisnis Pengemukan Pedet, 2002 24
34
permintaan petani yang ingin tergabung dalam kemitraan karena keterbatasan modal dan keberhasilan peternak
mitra dalam mengembangkan
usaha
peternakannya belum maksimal. Untuk menilai keberhasilan peternak mitra, perlu dilakukan penelitian terhadap indikator-indikator keberhasilan peternak mitra. Kemudian
dilakukan
penelitian
tentang
karakteristik-karakteristik
yang
mempengaruhi keberhasilan peternak mitra untuk mendukung pengembangan sistem kemitraan sapi potong baik di Desa Jatilawang ataupun di Kecamatan Wanayasa. Analisis keberhasilan peternak mitra dilakukan dengan menganalisis indikator-indikator keberhasilan peternak mitra, yaitu indikator rasio pendapatan dan biaya total atau rasio RC total. Analisis yang digunakan untuk menghitung rasio RC adalah analisis pendapatan usahatani. Nilai rasio RC setiap peternak mitra dibandingkan dengan nilai rata-rata rasio RC seluruh peternak mitra yang menjadi responden. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang memiliki nilai rasio RC lebih besar dari nilai rata-rata rasio RC seluruh peternak mitra yang menjasi responden. Analisis karakteristik-karakteristik peternak mitra yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra dilakukan secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis tabel secara deskriptif. Analisis karakteristik-karakteristik peternak mitra secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi peringkat Spearman. Diagram alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
35
Permintaan sapi potong belum terpenuhi
Program pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Wanayasa
Pengembangan peternakan melalui sistem kemitraan
Sistem kemitraan UD Rahmat Alam
Permasalahan: keberhasilan peternak mitra belum maksimal
Indikator rasio RC total
Analisis keberhasilan peternak mitra
Identifikasi karakteristikkarakteristi peternak mitra
Analisis karakteristikkarakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra
Karakteristik-karakteristik umum peternak mitra yang berhasil
Keterangan : : ruang lingkup penelitian Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
36
IV METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap peternak mitra sapi potong UD Rahmat
Alam di empat desa di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena adanya program kebijakan pengembangan peternakan sapi potong Kabupetan Banjarnegara di Kecamatan Wanayasa. Selain itu, Kecamatan Wanayasa juga merupakan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Pengambilan data dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei 2009 hingga bulan Juni 2009. Pemilihan UD Rahmat Alam sebagai tempat penelitan disebabkan UD Rahmat Alam memiliki catatan yang rapi dan lengkap tentang peternak mitra serta tentang data penjualan dan pembelian sapi peternak mitra. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan
sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung melalui observasi dan wawancara dengan pemilik UD Rahmat Alam, pekerja UD Rahmat Alam, peternak mitra sapi potong UD Rahmat Alam, pihak pengelola Pasar Hewan Kabupaten Banjarnegara, pihak Pemerintah Desa Jatilawang, dan pihak Pemerintah Kecamatan Wanayasa. Data yang diambil berupa data aset peternakan sapi potong yang dimiliki, data kondisi keluarga, serta data input dan output usaha ternak sapi potong. Data sekunder berasal dari arsip pembukuan UD Rahmat Alam, buku tentang sapi potong, buku tentang usahatani, hasil penelitian tentang usahatani, kemitraan, dan analisis faktor, data dari Badan Pusat Statistik, data Kabupaten Banjarnegara, data Kecamatan Wanayasa, dan data Desa Jatilawang. Tabel 4 menunjukkan jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian.
37
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data No. Jenis Data 1 Primer (peternak mitra) Aset peternakan sapi potong yang dimiliki, data kondisi keluarga, serta data input dan output usaha ternak sapi potong. Primer (UD Rahmat Alam) Sistem Kemitraan UD Rahmat Alam dengan peternak mitra, gambaran umum UD Rahmat Alam, dan data peternak mitra UD Rahmat Alam. Primer (pengelola pasar hewan Kabupaten Banjarnegara dan beberapa peternak sapi potong di pasar hewan) Data volume perdagangan sapi, teknis pemeliharaan, dan kondisi perdagangan sapi di Banjarnegara. 2 Sekunder Data peternak mitra UD Rahmat Alam serta data pembelian dan penjualan sapi peternak mitra. Sekunder Data jumlah sapi potong Kecamatan Wanayasa dan Kabupaten Banjarnegara, data kondisi peternakan sapi potong Kecamatan Wanayasa dan Kabupaten Banjarnegara, data kondisi wilayah Kecamatan Wanayasa dan Kabupaten Banjarnegara, dan permintaan daging dan kebutuhan daging nasional. 4.3.
Sumber Data Diperoleh melalui kuesioner dan wawancara dengan peternak mitra sapi potong UD Rahmat Alam. Wawancara dengan pihak UD Rahmat Alam, yaitu dengan pemilik dan karyawan perusahaan. Wawancara dengan pihak pengelola pasar hewan Kabupaten Banjarnegara dan beberapa orang peternak sapi potong yang ditemui di pasar hewan. Catatan pembukuan usaha bagi hasil UD Rahmat Alam.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banjarnegara, BPS Provinsi Jawa Tengah, dan BPS online.
Metode Penarikan Sampel Penarikan sampel responden dilakukan menggunakan metode penarikan
sampel secara sengaja (purposive sampling). Peneliti membatasi peternak mitra yang dijadikan responden hanya peternak mitra yang telah mengikuti kemitraan tiga tahun atau lebih. Hal ini dilakukan agar terdapat data yang cukup banyak tentang pembelian dan penjualan sapi peternak mitra untuk penghitungan pendapatan usaha ternak peternak mitra. Kondisi ini dikarenakan masa pemeliharaan atau produksi sapi potong yang cukup lama, yaitu sekitar 12 bulan. Pengambilan sampel ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi peternak mitra lain di luar sampel setelah tiga tahun bergabung dengan 38
kemitraan. Berdasarkan data peternak mitra UD Rahmat Alam yang masih aktif hingga awal tahun 2009, jumlah peternak mitra yang telah bermitra lebih dari tiga tahun adalah 22 orang dari 52 peternak mitra. 4.4.
Metode Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel 2007 dan Statistics Program for Socials Sciences (SPSS) 11.5. Perangkat lunak Microsoft Excel 2007 digunakan untuk penghitungan indikator keberhasilan peternak mitra, penentuan keberhasilan peternak mitra, dan analisis tabulasi deskriptif tentang karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra. Penggunaan Microsoft Excel 2007 juga dilakukan untuk membantu dalam melakukan penghitungan data dan membantu mengambil kesimpulan secara deskriptif. Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 11.5. Analisis yang dilakukan adalah analisis karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra berdasarkan analisis peringkat korelasi Spearman. Hasil analisis ini adalah karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra dan tingkat kepentingan karakteristik-karakteristik tersebut berdasarkan analisis statistik. 4.5.
Analisis Pendapatan Usaha Ternak Pendapatan usaha ternak dihitung dari pengurangan semua penerimaan
(revenue) dengan biaya-biaya (cost) yang dikeluarkan selama periode usaha ternak. Analisis pendapatan yang digunakan adalah pendapatan bersih usaha ternak. Analisi pendapatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu penerimaan, biaya variabel, dan biaya tetap. Penerimaan terdiri dari penjualan ternak, nilai ternak yang tersisa, dan penjualan kotoran ternak. Biaya dikelompokkan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel terdiri dari pakan ternak (hijauan dan konsentrat), biaya obat-obatan, perlengkapan, dan tenaga kerja keluarga. Sedangkan biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan ternak, biaya penyusutan peralatan, dan biaya penyusutan kandang. Perhitungan analisis pendapatan usaha ternak secara umum dapat dilihat pada Tabel 5.
39
Tabel 5. Penghitungan Pendapatan Bersih Usaha Ternak Uraian Penerimaan: Penjualan ternak Nilai ternak yang tersisa Kotoran ternak Total penerimaan (A) Biaya variabel: Pakan hijauan Pakan konsentrat Obat-obatan Perlengkapan Tenaga kerja keluarga Total biaya variabel (B) Biaya tetap: Penyusutan ternak Penyusutan peralatan Penyusutan kandang Total biaya tetap (C) Pendapatan (A-B-C)
Tunai
Tidak tunai
Inventaris Total
√ √ √
√ √
-
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
-
√ √ √ √ √ √
√
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
Nilai ternak sapi yang tersisa dihitung berdasarkan jangka waktu pemeliharaan dikalikan pertumbuhan rata-rata per hari dari sapi yang telah dijual. Nilai ini dikurangkan dengan biaya pembelian dan bagian keuntungan perusahaan sehingga didapatkan nilai yang diterima peternak mitra. Biaya penyusutan peralatan dan kandang dihitung dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsir dibagi usia ekonominya. Secara matematis dapat ditulis: Biaya penyusutan = Nilai pembelian (Rp) – Nilai sisa (Rp) Umur ekonomi (tahun) 4.6.
Analisis Rasio RC Total Usaha Ternak Rasio RC total menggambarkan seluruh penerimaan dan pengeluaran
dalam usaha ternak baik tunai maupun tidak tunai. Rumus rasio RC total adalah: Rasio RC total = Jumlah penerimaan total (Rp) 40
Jumlah biaya total (Rp) 4.7.
Analisis Keberhasilan Peternak Mitra Penilaian keberhasilan peternak mitra dilakukan berdasarkan indikator
rasio RC total. Pemilihan indikator ini dikarenakan indikator rasio RC total menggambarkan kondisi usaha penggemukan sapi peternak mitra secara keseluruhan. Indikator ini juga menggambarkan potensi pengembangan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena rasio RC total juga merupakan efisiensi pendapatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Keberhasilan peternak mitra diukur dengan melihat nilai rasio RC peternak mitra kemudian membandingkannya dengan nilai rata-rata rasio RC seluruh peternak mitra. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang memiliki nilai rasio RC lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata rasio pendapatan peternak mitra. Berdasarkan prosedur ini didapatkan dua kelompok keberhasilan peternak mitra, yaitu peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil kemudian dipetakan berdasarkan karakteristiknya. Hasil pemetaan ini akan digunakan untuk analisis selanjutnya, yaitu analisis karakteristik yang mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 4.8.
Analisis Hubungan Karakteristik dan Keberhasilan Peternak Mitra Analisis hubungan karakteristik dan keberhasilan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Karakteristik yang dilihat adalah pengalaman berternak, lama bermitra, penanaman rumput, usia peternak mitra, lama pendidikan formal, jenis pekerjaan utama, kondisi keluarga, latar belakang bermitra, tujuan dan motivasi bermitra, domisili, jumlah sapi yang dipelihara, kepemilikan sapi, kedekatan dengan perusahaan, kepatuhan masa pemeliharaan, penggunaan pakan penguat, dan jenis kandang yang digunakan. Karakteristik-karakteristik ini dipilih berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan dikumpulkan dari beberapa buku tentang usahatani. Analisis kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis tabel secara deskriptif. Tabel yang digunakan adalah tabel yang dihasilkan dari pemetaan keberhasilan peternak mitra berdasarkan karakteristiknya. Setiap karakteristik peternak mitra diidentifikasi perbedaan kondisinya antara peternak 41
mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Karakteristik yang memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil merupakan karakteristik yang berhubungan kuat dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Hasil analisis kualitatif akan diperkuat dengan menggunakan analisis kuantitatif, yaitu analisis korelasi peringkat Spearman. Analisis ini digunakan untuk menilai seberapa besar hubungan antara karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan peternak mitra. Nilai ini kemudian diuji dengan nilai kritik tabel Spearman, apabila nilainya lebih besar dari nilai tabel maka karakteristik tersebut signifikan. 4.8.1. Konsep Analisis Korelasi Peringkat Spearman Analisis korelasi adalah alat statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linear antara satu variabel dengan variabel yang lain. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada satu variabel akan diikuti oleh perubahan variabel lain, baik dengan arah yang sama atau arah yang berbeda (Suliyanto, 2005). Menurut Suliyanto (2005), hubungan antarvariabel dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis hubungan, yaitu: 1) Korelasi positif, yaitu apabila perubahan pada satu variabel diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang sama. Artinya peningkatan pada variabel yang satu akan diikuti dengan peningkatan variabel yang lain. 2) Korelasi negatif, yaitu apabila perubahan pada satu variabel diikuti perubahan pada variabel lain dengan arah yang berlawanan. Artinya apabila terjadi peningkatan pada variabel yang satu akan menyebabkan penurunan pada variabel yang lain. 3) Korelasi nihil, yaitu apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang tidak teratur. Artinya apabila satu variabel meningkat terkadang diikuti peningkatan variabel lain namun terkadang tidak diikuti perubahan variabel yang lain. Bersarnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dinyatakan dengan koefisien korelasi. Besarnya koefisien korelasi akan berkisar antara negatif 1 hingga positif 1 (-1 sampai +1). Angka negatif 1 menunjukkan korelasi negatif, angka 0 menunjukkan tidak adanya korelasi, dan angka positif 1 42
menunjukkan korelasi positif. Apabila koefisien korelasi mendekati positif 1 atau negatif 1 berarti korelasi antar variabel tersebut semakin kuat. Sebaliknya, apabila nilai koefisien korelasi mendekati 0, berarti hubungan antar variabel tersebut semakin lemah (Walpole, 1988). Salah satu jenis analisis korelasi adalah analisis korelasi peringkat Spearman. Analisis ini digunakan untuk menganalisis data nonparametrik sehingga analisis korelasi dengan Spearman biasa disebut analisis statistik nonparametrik. Analisis ini digunakan untuk menentukan korelasi antara variabelvariabel berdasarkan peringkat sehingga analisis ini disebut sebagai analisis koefisien korelasi peringkat Spearman. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis data yang kurang dari 30 data, data menyebar dengan tidak normal, dan dapat digunakan untuk data ordinal. Data menyebar tidak normal adalah data yang apabila dipetakan dalam grafik tidak dapat ditarik garis lurus. Data ordinal adalah pembagian jenis data dimana data berbentuk peringkat dan tidak memiliki nilai nol. Data dalam penelitian ini memenuhi dua kriteria untuk menggunakan analisis korelasi peringkat Spearman, yaitu data termasuk ordinal dan kurang dari 30 data. 4.8.2. Analisis Korelasi Peringkat Spearman Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai koefisien korelasi Spearman adalah: rs = 1 -
6 ∑ di 2 n (n2 - 1)
dimana di adalah selisih antara peringkat bagi xi dan yi serta n adalah banyaknya pasangan data. Penghitungan ini dipermudah dengan menggunakan alat SPSS 11.5 sehingga peneliti tinggal membandingkan output yang dihasilkan dengan nilai kritik tabel Spearman. Hipotesis yang digunakan adalah hipotesis dengan arah pengujian satu arah atau one tailed. Pengujian ini sesuai dengan taraf signifikansi yang ditetapkan. Misalkan taraf signifikansi yang digunakan 0,05 maka daerah penolakannya sebesar lima persen dari seluruh daerah yang tercantum dalam 43
kurva distribusi statistiknya baik satu sisi kiri atapun kanan, seperti yang tergambarkan berikut:
Daerah penolakan H0 Daerah penerimaan H0 Nilai tabel Nilai hitung Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : tidak terdapat hubungan positif antara karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. H1 : terdapat hubungan positif antara karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 4.9.
Definisi Operasional
1) Keberhasilan peternak mitra adalah keberhasilan peternak mitra untuk memenuhi indikator keberhasilan peternak mitra. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah rasio RC total. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang memiliki nilai rasio RC total lebih besar dari nilai rata-rata rasio RC total seluruh peternak mitra yang menjadi responden. 2) Analisis faktor dalam penelitian ini merupakan analisis karakteristik yang berhubungan dengan keberhasilan peternak mitra. Karakteristik yang dilihat dalam penelitian ini adalah lama berternak, lama bermitra, penanaman rumput, usia peternak mitra, lama pendidikan formal, jenis pekerjaan utama, kondisi keluarga, latar belakang bermitra, tujuan dan motivasi bermitra, domisili, jumlah sapi, kepemilikan sapi, kedekatan dengan perusahaan, ketepatan waktu pemeliharaan, penggunaan pakan penguat, dan jenis kandang. 44
3) Lama berternak adalah lamanya peternak mitra melakukan budidaya sapi potong. Lama berternak mitra ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun, dan >10 tahun. Pembagian ini berdasarkan hasil konsultasi dengan pihak perusahaan. 4) Lama bermitra adalah jangka waktu peternak mitra tergabung dalam kemitraan yang dihitung dari tahun awal peternak mitra bergabung dengan kemitraan hingga waktu dilakukan penelitian. Pembagian lama bermitra sama dengan pembagian lama berternak sapi peternak mitra. 5) Penanaman rumput dalam penelitian ini berhubungan dengan dua variabel, yaitu apakah peternak mitra menanam rumput dan jumlah tanaman rumput yang ditanam. Pembagian kelompok jumlah tanaman rumput peternak mitra didasarkan pada jumlah kebutuhan lahan rumput per ekor sapi, yaitu kelipatan 2.000 tanaman atau 1.000 meter persegi. Apabila dikonfersikan menjadi satuan kilogram, setiap 1.000 meter persegi lahan peternak mitra akan menghasilkan enam ton rumput gajah setiap tiga bulan. 6) Usia peternak mitra adalah usia peternak mitra pada saat penelitian dilakukan dan dibulatkan angkanya. Pembagian kelompok usia peternak mitra dilakukan berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh BPS dalam menampilkan data usia. 7) Tingkat pendidikan formal dihitung berdasarkan lamanya waktu peternak mitra mengenyam pendidikan formal. Tingkat pendidikan formal dibagi menjadi empat kelompok, yaitu nol tahun, 1-6 tahun, 7-9 tahun, dan 10-12 tahun. 8) Jenis pekerjaan utama adalah pekerjaan utama yang dilakukan peternak mitra. Pembagian pekerjaan utama didasarkan pada kedekatan jenis pekerjaan dengan usaha penggemukan sapi. Kelompok pekerjaan peternak mitra adalah kelompok peternak dan buruh ternak, karyawan perusahaan, petani dan buruh tani, dan pemerintah desa. 9) Kondisi keluarga meliputi jumlah anggota keluarga dan jumlah tenaga kerja keluarga. Jumlah tenaga kerja keluarga berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja dalam usaha penggemukan sapi peternak mitra yang berasal dari luar 45
keluarga. Kondisi keluarga peternak mitra akan mempengaruhi besarnya biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan dan jumlah tanggungan keluarga. Oleh karena itu, dalam bagian ini dibahas tiga variabel, yaitu jumlah anggota keluarga, jumlah tenga kerja keluarga, dan jumlah tenaga kerja luar keluarga. 10) Latar belakang bermitra adalah kondisi yang menyebabkan peternak mitra bergabung dengan kemitraan. Latar belakang bermitra peternak mitra umumnya adalah karena keterbatasan modal. 11) Tujuan dan motivasi bermitra berkaitan dengan tujuan bermitra dalam jangka pendek dan motivasi bermitra dalam jangka panjang. Pembagian motivasi bermitra adalah menjadi peternak mandiri dan sebagai tambahan pendapatan. Identifikasi motivasi peternak mitra berdasarkan jumlah jam kerja yang efisien dalam melakukan pemeliharaan dan hasil wawancara dengan peternak mitra. 12) Domisili adalah tempat tinggal peternak mitra dan tempat usaha penggemukan sapi peternak mitra. Domisili peternak mitra dalam penelitian ini dibagi menjadi tujuh dusun dan diurutkan berdasarkan kedekatan dengan ibu kota Kecamatan Wanayasa. 13) Jumlah dan perbandingan umur sapi yang dipelihara adalah banyaknya sapi yang dipelihara peternak mitra dan perbandingan jumlah sapi bakalan dengan sapi pedet yang dipelihara peternak mitra. Jumlah sapi peternak mitra dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu peternak mitra yang memiliki sapi satu ekor hingga lebih dari enam ekor. Umur sapi dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok peternak mitra yang jumlah sapi bakalannya lebih sedikit dari jumlah sapi pedet, jumlah sapi bakalannya sama dengan jumlah sapi pedet, dan jumlah sapi bakalan lebih banyak daripada jumlah sapi pedet. 14) Kepemilikan sapi adalah pembagian peternak mitra berdasarkan kepemilikan sapi. Peternak mitra yang memiliki sapi selain sapi dari perusahaan dikelompokkan menjadi satu kelompok, peternak mitra yang hanya memelihara sapi dari perusahaan dikelompokkan menjadi satu kelompok. 15) Kedekatan dengan perusahaan dalam penelitian ini dilihat dari jumlah kunjungan peternak mitra ke perusahaan dalam satu bulan. Pemilihan 46
indikator jumlah kunjungan ke prusahaan karena indikator kedekatan ini yang dapat diamati dengan mudah dan memiliki standar yang pasti. Jumlah kunjungan ini juga menggambarkan kedekatan dengan perusahaan karena peternak mitra yang sering mengunjungi perusahaan akan menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan. 16) Ketepatan waktu pemeliharaan berkaitan dengan kapatuhaan peternak mitra untuk memelihara sapi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan perusahaan. Peternak mitra yang selalu menepati waktu pemeliharaan dikelompokkan menjadi satu kelompok, sementara peternak mitra yang terkadang tidak menepati waktu pemeliharaan dikelompokkan menjadi satu kelompok. 17) Penggunaan pakan penguat adalah keputusan peternak mitra untuk menggunakan
pakan
penguat
secara
penuh,
setengah,
atau
tidak
menggunakan pakan penguat. Penggunaan pakan penguat secara penuh adalah peternak mitra yang menggunakan singkong dan campuran dedak selama masa pemeliharaan. Penggunaan pakan penguat setengah adalah peternak mitra yang hanya menggunakan campuran dedak atau menggunakan singkong dan campuran dedak namun hanya 3-4 bulan sebelum sapi dijual. 18) Jenis kandang adalah jenis bangunan kandang yang digunakan oleh peternak mitra, yaitu kandang permanen dan kandang semi permanen. Kandang permanen
adalah
kandang
peternak
mitra
yang
dibangun
dengan
menggunakan bahan beton, sementara kandang semi permanen adalah kendang peternak mitra yang dibangun dengan menggunakan bahan kayu dan bambu.
47
V GAMBARAN UMUM 5.1.
Gambaran Umum Kecamatan Wanayasa
5.1.1. Kondisi Wilayah Kecamatan Wanayasa memiliki luas wilayah sekitar 8.201 hektar atau sekitar 7,67 persen dari total luas wilayah Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Kecamatan Wanayasa termasuk dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata wilayahnya adalah 1.135 di atas permukaan laut. Wilayah Kecamatan Wanayasa berbentuk memanjang dari utara ke selatan dan terdiri dari 17 desa yang terbagi menjadi 58 dusun27. Kecamatan Wanayasa di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Petungpriyono, Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Batur dan Kecamatan Pejawaran, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Karangkobar dan Kecamatan Pagentan, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kalibening28. Secara umum wilayah Kecamatan Wanayasa terdiri dari dua wilayah besar, yaitu Kecamatan Wanayasa bagian utara dan Kecamatan Wanayasa bagian selatan. Pembagian ini berdasarkan pemusatan aktifitas ekonomi dan ketinggian wilayah. Kecamatan Wanayasa bagian utara memiliki ketinggian rata-rata di atas 1000 meter di atas permukaan laut, sementara Kecamatan Wanayasa bagian selatan memiliki ketinggian rata-rata di bawah 1000 meter di atas permukaan laut. Aktifitas ekonomi terutama perdagangan penduduk Kecamatan Wanayasa bagian utara terpusat di Desa Jatilawang, sementara penduduk Kecamatan Wanayasa bagian selatan terpusat di Desa Karangkobar, Kecamatan Karangkobar. Kecamatan Wanayasa bagian utara terdiri dari Desa Penanggungan, Kasimpar, Legoksayem, Jatilawang, Wanaraja, Tempuran, Balun, Pesantren, dan Wanayasa. Kecamatan Wanayasa bagian selatan terdiri dari Desa Susukan, Dawuhan, Kubang, Pagergunung, Bantar, Pandansari, Suwidak, dan Karangtengah. 27 28
Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007 Ibid
48
Sebagian besar wilayah Kecamatan Wanayasa digunakan sebagai lahan pertanian. Pertanian padi atau lahan persawahan tersebar di wilayah kecamatan Wanayasa bagian selatan. Lahan pertanian kering atau tegalan tersebar di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian tengah dan utara. Kondisi ini dapat terjadi karena wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara lebih tinggi dibandingkan wilayah Kecamatan Wanayasa bagian selatan. Wilayah Kecamatan Wanayasa bagian selatan rata-rata memiliki ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut, sementara wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara rata-rata memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Secara umum, topografi wilayah Kecamatan Wanayasa berupa dataran tinggi yang berbukit-bukit, terutama di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara. Kondisi ini dikarenakan wilayah Kecamatan Wanayasa termasuk rantai pegunungan dataran tinggi Dieng. Daerah pegunungan dan hutan persebarannya terpusat di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan pegunungan dan hutan adalah Desa Balun, Desa Tempuran, Desa Wanaraja, Desa Jatilawang, Desa Kasimpar, dan Desa Penanggungan. Tipe pemukiman desa-desa di Kecamatan Wanayasa relatif sama, yaitu memusat di sepanjang jalan dan dikelilingi lahan pertanian. Kondisi wilayah Kecamatan Wanayasa berdasarkan penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Penggunaan Lahan di Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan lahan Sawah irigasi sederhana Sawah tadah hujan Tanah pekarangan Tegalan/kebun Kolam Hutan produksi
Luas (hektar) 100,73 271,82 237,84 4.324,34 39,96 2.222,82
Proporsi dari luas Kecamatan Wanayasa (%) 1,23 3,31 2,90 52,73 0,49 27,10
Sumber: Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007
Berdasarkan Tabel 6, penggunaan lahan paling luas adalah untuk tegalan atau kebun, yaitu sebesar 4.324,34 hektar atau sekitar 52,73 persen. Tegalan atau kebun sebagian besar digunakan untuk menanam jagung, sayuran, dan rumput 49
gajah yang merupakan komoditas utama Kecamatan Wanayasa. Penggunaan lahan terluas selanjutnya adalah untuk hutan produksi yaitu sebesar 2.222,82 hektar atau sekitar 27,10 persen yang ditanami pohon pinus dan pohon sengon. 5.1.2. Kondisi Penduduk Kecamatan Wanayasa memiliki jumlah penduduk 43.891 orang yang terbagi menjadi 10.726 rumah tangga. Kepadatan penduduk Kecamatan Wanayasa berdasarkan sensus penduduk tahun 2007 adalah 535 per kilometer persegi. Secara umum, rumah tangga penduduk Kecamatan Wanayasa merupakan keluarga kecil dengan jumlah rata-rata anggota keluarganya 4,1 orang per rumah tangga29. Data kependudukan Kecamatan Wanayasa secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Data Kependudukan Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan Jumlah laki-laki Jumlah perempuan Sex rasio Jumlah usia dewasa laki-laki Jumlah usia dewasa perempuan Jumlah anak-anak laki-laki Jumlah anak-anak perempuan Jumlah kelahiran Jumlah kematian
Ukuran 21.913 orang 21.978 orang 99,7 L/P 15.245 orang 15.760 orang 6.553 orang 6.333 orang 775 orang 211 orang
Persentase dari kabupaten (%) 4,82 4,83 4,82 4,83 4,82 4,83 6,56 5,11
Sumber: Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007
Jumlah penduduk usia dewasa sangat mendukung pengembangan usaha peternakan di Kecamatan Wanayasa. Sebagian besar penduduk usia dewasa di Kecamatan Wanayasa bekerja dibidang pertanian, yaitu pertanian tanaman pangan dan peternak. Besarnya jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian baik sebagai petani atau buruh tani disebabkan besarnya potensi lahan pertanian yang mencapai 57 persen dari luas wilayah Kecamatan Wanayasa. Besarnya jumlah penduduk berdasarkan pekerjaannya dapat dilihat pada Tabel 8.
29
Ibid
50
Tabel 8. Penduduk Kecamatan Wanayasa berdasarkan Pekerjaan Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis pekerjaan Petani Buruh tani Buruh industry Buruh bangunan Pedagang Usaha angkutan PNS TNI/POLRI Pensiunan
Jumlah 10.824 4.297 234 190 1.929 264 373 9 71
Persentase dari jumlah penduduk dewasa 34,91 13,86 0,75 0,61 6,22 0,85 1,20 0,03 0,23
Sumber: Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007
5.1.3. Komoditas Pertanian Komoditas pertanian utama yang diusahakan di Kecamatan Wanayasa adalah jagung. Budidaya jagung dilakukan petani dengan tujuan memenuhi permintaan pakan ternak. Selain itu, budidaya jagung juga dilakukan karena sebagian besar masyarakat Kecamatan Wanayasa terutama penduduk Kecamatan Wanayasa bagian utara menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Persebaran tanaman jagung di Kecamatan Wanayasa cukup merata di seluruh wilayah Kecamatan Wanayasa. Komoditas lain yang diusahakan secara luas di Kecamatan Wanayasa adalah kubis, padi, kentang, dan bawang daun. Komoditas padi diusahakan di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian selatan, sementara kubis, kentang, dan bawang daun persebarannya terpusat di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara. Komoditas sayuran lainnya tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Wanayasa terutama di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara. Selain itu, sebagian penduduk Kecamatan Wanayasa terutama penduduk Kecamatan Wanayasa bagian utara menanam rumput gajah yang digunakan sebagai pakan ternak. Jenis komoditas pertanian yang diusahakan di Kecamatan Wanayasa, luas panen, dan jumlah produksinya dapat dilihat pada Tabel 9.
51
Tabel 9. Komoditas, Luas Panen, dan Produksi Pertanian Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 Komoditas Padi sawah Jagung Ubi kayu Ubi jalar Bawang daun Tomat Cabe besar Cabe rawit Kentang Kol/Kubis
Luas panen Kec. Kab. (hektar) 392 24.603 5.634 25.788 50 11.616 74 238 184 715 40 84 89 300 64 300 261 6.361 531 3.217
Produksi Kec.
Kab. (ton) 1.937,4 138.079,4 17.684,8 86.842,4 1.439,7 250.797,92 1.047,8 3.117,1 14.195 54.247 4.052 8.435 4.923 11.193,92 2.588 7.826 51.062 964.677 123.514 635.758
Sumber: Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007
Berdasarkan Tabel 9, jumlah komoditi terbesar yang dihasilkan di Kecamatan Wanayasa adalah kol/kubis yaitu sebesar 123.514 ton, jagung sebesar 17.684, dan bawang daun sebesar 14.195 ton. Hasil samping komoditas tersebut baik berupa gulma atau limbah pertanian pascapanen dapat mendukung usaha peternakan yang dijalankan oleh penduduk Kecamatan Wanayasa, yaitu sebagai pakan ternak. 5.1.4. Komoditas Peternakan Kecamatan Wanayasa merupakan kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang memiliki populasi sapi potong terbesar. Populasi sapi potong di Kecamatan Wanayasa sebanyak 8.207 ekor atau sekitar 21 persen dari keseluruhan populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara30. Selain itu, Kecamatan Wanayasa juga menempati urutan kedua setelah Kecamatan Banjarnegara dalam jumlah produksi daging sapi per tahunnya. Produksi daging sapi Kecamatan Wanayasa pada tahun 2007 mencapai 228.696 kilogram atau sekitar 20 persen dari total produksi daging sapi Kabupaten Banjarnegara31. Kondisi ini menjadikan Kecamatan Wanayasa dapat disebut sebagai sentra sapi potong Kabupaten Banjarnegara.
30 31
Banjarnegara dalam angka 2007, Jumlah Ternak Besar, BPS Banjarnegara 2007 Ibid
52
Selain sapi potong, jenis komoditas peternakan yang banyak diusahakan di Kecamatan Wanayasa adalah kambing dan domba. Usaha budidaya kambing dan domba di Kecamatan Wanayasa umumnya merupakan usaha sambilan yang dilakukan oleh petani atau buruh tani. Selain itu, kelinci dan ayam merupakan komoditas peternakan lain yang banyak dipelihara penduduk Kecamatan Wanayasa. Jenis dan jumlah komoditas peternakan yang dipelihara oleh penduduk Kecamatan Wanayasa dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Komoditas Peternakan Kecamatan Wanayasa Tahun 2007 Jumlah No 1 2 3 4 5 6
Jenis Komoditas Ternak Sapi potong Kerbau Kuda Kambing Domba Kelinci
Kecamatan Wanayasa 8.207 21 6 23.004 19.985 12.195
Kabupaten Banjarnegara 38.501 2.084 242 149.066 93.250 30.336
Sumber: Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Banjarnegara, 2007
5.2.
Gambaran Umum UD Rahmat Alam
5.2.1. Gambaran Umum dan Sejarah UD Rahmat Alam UD Rahmat Alam merupakan perusahaan perorangan dengan aktifitas utama di bidang pertanian dan peternakan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1985 oleh Bapak Agus Ristianto dengan bentuk perusahaan dagang. Perusahaan ini berlokasi di Desa Jatilawang, RT 3 RW 2, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Aktifitas usaha UD Rahmat Alam saat ini adalah penggemukan dan jual beli sapi potong, budidaya sayuran, serta perdagangan faktor-faktor produksi pertanian dan peternakan, seperti pakan sapi, obat sapi, pupuk, dan obat-obatan pertanian. Aktifitas usaha perdagangan faktor produksi pertanian dan peternakan selain untuk menambah keuntungan juga dilakukan perusahaan untuk mendukung aktifitas usaha yang lain, yaitu penyedia faktor produksi untuk budidaya sayuran dan penggemukan sapi potong. Modal perusahaan berasal dari pemilik usaha dan keluarga besar pemilik usaha. Modal tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu uang dan 53
lahan pertanian. Modal uang yang yang berasal dari anggota keluarga pemilik perusahaan secara keseluruhan dialokasikan untuk usaha penggemukan sapi potong. Modal lahan yang berasal dari pemilik perusahaan dan keluarga besar pemilik perusahaan digunakan untuk melakukan budidaya sayuran dan digunakan untuk menanam rumput gajah sebagai sumber pakan utama ternak sapi. Pada tahun 2009, luas lahan yang dikelola oleh perusahaan mencapai lima hektar dengan komposisi rata-rata per tahun tiga hektar untuk penanaman rumput gajah dan dua hektar untuk penanaman sayuran. Pada awal berdiri, aktifitas dominan perusahaan ini adalah di bidang pertanian sayuran. Hal ini dilakukan oleh perusahaan karena pada kisaran tahun 1980-1990 bidang pertanian sayuran dapat memberikan keuntungan yang tinggi. Komoditas pertanian yang diusahakan pada saat itu antara lain kol, cabe keriting, kentang, dan tomat. Komoditas yang dipilih adalah komoditas sayuran yang jumlah permintaannya besar. Kondisi ini dilatarbelakangi lokasi Desa Jatilawang yang cukup jauh dari daerah pemasaran. Daerah pemasaran utama komoditas sayuran UD Rahmat Alam adalah pasar-pasar induk di Jakarta dan pasar-pasar di Kabupaten Pekalongan. Pemilihan komoditas sayuran tersebut akan dapat menghemat biaya pengangkutan sayuran ke daerah pemasaran. Aktifitas budidaya peternakan juga telah dilakukan pada awal perusahaan berdiri. Budidaya peternakan yang dilakukan adalah penggemukan sapi potong. Namun, aktifitas ini masih berupa aktifitas sampingan karena jumlah permintaan daging yang masih rendah serta akses pasar perusahaan masih kurang. Pada tahun 1988-1993 perusahaan berhenti melakukan budidaya sapi potong. Hal ini dilakukan karena usaha budidaya sapi potong kurang menguntungkan. Pada saat itu, perusahaan fokus pada aktifitas budidaya komoditas sayuran. Usaha perdagangan atau toko faktor produksi pertanian dan peternakan dimulai pada tahun 1990. Usaha ini dikelola oleh istri dari pemilik UD Rahmat Alam, yaitu Ibu Ita Kristanti. Usaha ini dapat dikatakan kurang berkembang namun tetap dipertahankan karena usaha ini dibentuk untuk mendukung bidang usaha UD Rahmat Alam yang lain. Usaha penggemukan sapi potong dimulai kembali pada tahun 1994. Usaha ini diawali dengan menggemukkan dua ekor sapi. Usaha ini terus berkembang dan 54
usaha ini akhirnya menjadi aktifitas usaha yang dominan. Perkembangan usaha penggemukan sapi potong menjadi aktifitas usaha yang dominan dikarenakan usaha ini memberikan keuntungan yang lebih pasti dibandingkan usaha pertanian. Risiko harga merupakan kelebihan usaha penggemukan sapi daripada usaha pertanian sayuran. Fluktuasi harga daging sapi tidak setinggi fluktuasi harga sayuran. Kondisi inilah yang menjadikan perusahaan mengubah prioritas usahanya dari usaha pertanian sayuran menjadi usaha penggemukan sapi potong. Kondisi usaha UD Rahmat Alam pada tahun 2008 dan 2009 masih didominasi bidang usaha penggemukan sapi potong. Kontribusi usaha penggemukan sapi terhadap keuntungan total perusahaan lebih dari 90 persen. Keuntungan ini juga berbanding lurus dengan alokasi modal perusahaan. Sekitar 80 persen modal perusahaan yang berupa aset bergerak dialokasikan untuk bidang penggemukan sapi potong. Jumlah orang yang bekerja di dalam UD Rahmat Alam adalah 13 orang. Pemilik perusahaan yaitu Bapak Agus Ristianto berperan sebagai koordinator usaha penggemukan sapi dan pertanian. Istri beliau yaitu Ibu Ita Kristanti berperan sebagai koordinator usaha perdagangan faktor produksi pertanian dan peternakan. Tenaga kerja yang bekerja di UD Rahmat Alam pada tahun 2009 adalah 11 orang, dengan rincian enam orang di bidang pertanian sayuran, tiga orang di bidang penggemukan sapi, satu orang pada usaha perdagangan, serta satu orang supir mobil pengangkut pakan dan sapi. 5.2.2. Gambaran Umum Usaha Penggemukan Sapi UD Rahmat Alam Usaha penggemukan sapi potong UD Rahmat Alam merupakan bidang usaha dominan dalam aktifitas usaha UD Rahmat Alam. Secara umum, bidang usaha ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar usaha, yaitu usaha jual beli sapi bakalan dan sapi potong, usaha penggemukan sapi potong oleh perusahaan, serta penggemukan sapi potong oleh peternak mitra. Usaha jual beli sapi bakalan dilakukan perusahaan untuk memenuhi permintaan petani di luar mitra yang ingin memelihara sapi potong. Usaha ini juga dilakukan untuk memasok kebutuhan sapi potong bakalan dari peternak mitra. Sebagian besar bakalan sapi potong diperoleh perusahaan dari pasar hewan di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Rata-rata perputaran sapi bakalan per mingu mencapai lima hingga 55
tujuh ekor. Sapi-sapi bakalan ini umumnya digunakan untuk menggantikan sapi perusahaan, sapi petani, atau sapi peternak mitra yang telah dijual ke pemotongan hewan melalui perusahaan. Usaha penggemukan sapi potong yang dilakukan oleh perusahaan dilakukan untuk memenuhi permintaan sapi potong dari perusahaan pemotongan hewan. Selain itu, usaha ini juga bermanfaat untuk memberikan rangsangan dan contoh bagi peternak mitra dalam melakukan penggemukan sapi potong yang baik. Jumlah sapi yang dipelihara oleh perusahaan rata-rata 30 ekor dengan jumlah pekerja tiga orang. Umumnya sapi yang dipelihara perusahaan adalah sapi bakalan yang telah berukuran cukup besar sehingga waktu pemeliharaan dapat dipersingkat. Waktu pemeliharaan sapi-sapi perusahaan berkisar antara 6-12 bulan. Sapi-sapi tersebut membutuhkan pakan terutama hijauan yang cukup banyak sehingga perlu disediakan lahan untuk penanaman rumput gajah. Lahan yang digunakan oleh perusahaan untuk menanam rumput gajah rata-rata tiga hektar per tahun. Selain itu, peeusahaan perlu memperhatikan persediaan pakan penguat yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan sapi potong. Pakan penguat tersebut terdiri dari ketela pohon, dedak jagung, dedak padi, dan mineral. Usaha penggemukan sapi perusahaan yang dilakukan oleh peternak mitra merupakan proporsi terbesar dari jumlah sapi yang dimiliki perusahaan. Jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra pada awal tahun 2009 mencapai 74 ekor yang dipelihara oleh 52 peternak mitra. Pada bulan Mei 2009, jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra mencapai 89 ekor. Jumlah ini bukan merupakan jumlah maksimal karena ada beberapa peternak mitra yang telah menjual sapinya pada tahun 2008 dan belum melakukan pemeliharaan lagi. Selain itu, jumlah pemeliharaan oleh peternak mitra berkurang karena beberapa peternak mitra menggunakan lahannya untuk menanam sayuran. Hal ini dilakukan oleh beberapa peternak mitra untuk memelihara kesuburan tanah melalui rotasi tanaman dan dikarenakan harga komoditas sayuran terutama kentang dan kubis pada awal tahun 2009 cukup tinggi. Menurut pihak perusahaan, jumlah maksimal sapi yang dipelihara peternak mitra bisa mencapai 100 ekor dengan jumlah peternak mitra sekitar 70 orang. Peternak mitra UD Rahmat Alam tersebar di beberapa desa di Kecamatan Wanayasa, diataranya Desa Jatilawang, 56
Desa Kasimpar, Desa Grogol, Desa Legoksayem, Desa Wanaraja, Desa Pagondangan, dan Desa Wanayasa. 5.3.
Gambaran Umum Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra
5.3.1. Jenis, Umur, Bobot, Harga, dan Penilaian Sapi Jenis sapi yang dipelihara oleh peternak mitra UD Rahmat Alam adalah sapi-sapi keturunan Eropa, baik yang memiliki jalur murni atau hasil silangan dengan sapi lokal. Jenis sapi yang dipelihara diantaranya sapi keturunan Fries Holstein (FH), Simmental, Limousin, Aberdeen Angus, dan sapi hasil silangan sapi-sapi tersebut dengan sapi lokal. Jenis-jenis sapi ini dipilih perusahaan karena memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada sapi lokal sehingga lebih ekonomis untuk dibudidayakan. Sapi yang digunakan sebagai sapi bakalan adalah sapi rombeng dan sapi pedet. Sapi rombeng adalah sapi bakalan yang berusia antara 1,5-2 tahun dengan bobot 250 kilogram hingga 350 kilogram. Sapi rombeng digunakan sebagai sapi bakalan agar masa pemeliharaan bisa lebih singkat, yaitu kurang dari satu tahun. Selain sapi rombeng, peternak mitra juga memelihara sapi pedet. Sapi pedet biasanya dipelihara oleh peternak mitra yang tidak memiliki lahan rumput gajah dan menggunakan kandang yang bersifat semi permanen. Masa pemeliharaan sapi pedet lebih lama dibandingkan sapi rombeng, yaitu lebih dari satu tahun. Harga sapi rombeng pada bulan Mei 2009 berkisar antara 6.500.000 hingga 8.000.000 rupiah, sementara harga sapi pedet berkisar antara 4.500.000 hingga 6.000.000 rupiah. Harga ini disesuaikan dengan bobot sapi pada sapi rombeng, umur sapi, kondisi sapi, dan jenis sapi. Penilaian terhadap sapi biasanya meliputi jenis, umur, kondisi sapi, harga, dan bobot sapi terutama pada sapi rombeng. Penilaian dan pemilihan dilakukan oleh perusahaan pada saat akan membeli sapi di pasar hewan. Pihak peternak mitra mempercayakan pemilihan dan pembelian sapi yang akan dipeliharanya kepada pihak perusahaan. Jenis sapi secara umum telah dikenal secara luas baik oleh pihak perusahaan atau oleh peternak mitra. Setiap jenis sapi memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan jenis sapi lain. Karakteristik jenis sapi yang dipelihara oleh peternak mitra dapat dilihat pada Tabel 11. 57
Tabel 11. Jenis dan Karakteristik Sapi No
Jenis sapi
Karakteristik
Persentase (%) 40
1
Fries Holstein (FH)
Badan belang-belang hitam putih dan terdapat segitiga putih pada dahi Kaki dan ekor bagian bawah berwarna putih Pertumbuhan cukup bagus, namun di bawah jenis lain Harga bakalan cukup murah
2
Simmental
Badan berwarna coklat kemerahan dan kepala berwarna putih dengan rambut keriting Tubuh tegap dan lebar Pertumbuhan sangat bagus, bobot maksimal mencapai 900 kilogram Harga bakalan lebih tinggi dari jenis lain
25
3
Aberdeen Angus
Seluruh badan berwarna hitam dan tanpa tanduk Pertumbuhan, bobot maksimal, dan harga di bawah simmental, namun di atas FH Tubuh tegap dan lebar
10
4
Sapi silangan
Menggabungkan karakteristik induknya, hasil silangan yang digunakan adalah sapi yang menggabungkan sifat baik induknya
25
Sumber: Pengamatan dan wawancara dengan pihak perusahaan, 2009
Berdasarkan Tabel 11, jumlah sapi terbanyak yang dimiliki oleh perusahan adalah jenis FH. Jenis ini banyak dimiliki perusahaan karena ketersediaannya yang melimpah di pasar hewan dibandingkan dengan jenis sapi yang lain. Jenis ini banyak terdapat di pasar karena induk sapi ini lebih banyak dipelihara oleh peternak di sentra sapi perah. Kondisi tersebut menjadikan pedet dan sapi bakalan yang dihasilkan sebagian besar berjenis FH. Hal tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan sapi di Kabupaten Banjarnegara karena pasokan sapi pedet dan bakalan di Kabupaten Banjarnegara berasal dari daerah sentra sapi perah. Daerahdaerah tersebut antara lain Boyolali, Malang, Pasuruan, dan Lembang. Jenis ini banyak dipelihara juga dikarenakan harganya yang lebih murah dibandingkan sapi keturunan Eropa yang lain. Penilaian umur sapi dilakukan dengan melihat susunan empat pasang gigi seri sapi yang terdiri dari gigi seri susu dan gigi seri tetap. Berurutan dari depan ke 58
belakang adalah gigi seri dalam, gigi seri tengah dalam, gigi seri tengah luar, dan gigi seri luar (Abidin, 2002). Namun, peternak biasanya melakukan penilaian dengan mengamati penampilan fisik sapi dan memperkirakan umur sapi tersebut. Penilaian umur sapi berdasarkan susunan gigi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Kondisi Gigi dan Umur Sapi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kondisi gigi Gigi seri sudah tumbuh kecuali gigi seri luar Gigi seri sudah tumbuh semuanya Gigi seri susu dalam terasah sebagaian Gigi seri susu dalam terasah seluruhnya Gigi seri susu luar terasah seluruhnya Gigi seri susu dalam berganti gigi tetap Gigi seri susu tengah dalam berganti gigi tetap Gigi seri susu tengah luar berganti gigi tetap Gigi seri susu luar berganti gigi tetap
Umur (bulan) 0,5 1 6 10-12 16-18 18-24 30 36 42
Sumber: Abidin, 2002
Penilaian kondisi sapi dilakukan dengan melihat kaki belakang sapi. Sapi yang baik adalah sapi yang memiliki kaki belakang tegap, tidak bengkok, berbentuk persegi, dan memiliki kuku yang rapi. Penilaian juga dilakukan dengan melihat kelenturan kulit dan lebar badan. Penilaian ini dilakukan untuk menilai kemungkinan pertumbuhan dan bobot maksimal sapi. Sapi yang bagus adalah sapi yang kulitnya lentur dan berbadan lebar. Penilaian juga dilakukan dengan melihat kondisi kesehatan sapi melalui pengamatan kulit, moncong, dan sinar mata. Pada sapi rombeng, perlu dilihat bobot badannya dengan menggunakan timbangan sapi di pasar hewan atau dengan memperkirakan melalui pengukuran lingkar dada sapi. 5.3.2. Perkandangan dan Pola Penggemukan Kandang yang digunakan oleh peternak mitra adalah kandang individu dengan ukuran 3x1,5 meter. Kandang seperti ini diharapkan mampu memacu pertumbuhan sapi potong. Hal ini disebabkan sapi memiliki ruang gerak yang terbatas sehingga hampir semua nutrisi yang dikonsumsi akan digunakan untuk pembentukan otot. Di kandang individu biasanya sapi menjadi lebih tenang dan tidak mudah stres. 59
Pemilihan jenis kandang berkaitan dengan pola penggemukan yang dilakukan. Pola penggemukan yang sesuai dengan jenis kandang individu adalah pola penggemukan kereman. Pola kereman adalah pola penggemukan dengan membatasi ruang gerak sapi dan pengaturan dalam pemberian pakan. Setiap sapi mendapatkan pakan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan tidak bersaing dengan sapi lain. Kandang-kandang milik peternak mitra biasanya berada di dalam bangunan yang tergabung dengan bangunan rumah. Pemilihan lokasi ini disebabkan keterbatasan lahan dan dana untuk membangun kandang baru. Pagar bangunan kandang dibuat di seluruh tepian kandang utuk menjaga kondisi kandang tetap hangat. Hal ini disebabkan suhu lingkungan di Kecamatan Wanayasa yang cukup dingin. 5.3.3. Peralatan Peralatan yang biasanya digunakan dalam usaha penggemukan sapi potong adalah: 1) Tali kekang, berfungsi untuk mengikat sapi sehingga dapat mencegah sapi kabur dan dapat mempermudah pelaksanaan perawatan. Umumnya tali kekang yang digunakan dua buah, yaitu tali kekang biasa dan tali keluhan32. Harga tali kekang berkisar antara 3.000 rupiah sampai 5.000 rupiah, tergantung ukuran tali. Umumnya peternak mitra mengganti tali pengikat setiap enam bulan sekali. 2) Tali rumput, berfungsi untuk mengikat rumput gajah untuk pakan sapi. Tali yang digunakan adalah tali tambang ukuran kecil dengan harga 3.000 rupiah per tiga meter dan biasanya memiliki umur pakai satu tahun. 3) Sabit, digunakan untuk memotong rumput. Umur pemakaaian biasanya satu tahun dengan harga antara 22.500 rupiah hingga 30.000 rupiah. 4) Keranjang rumput, digunakan untuk menampung rumput dari lahan ke kandang. Fungsi keranjang rumput sama dengan fungsi tali rumput. Harga keranjang rumput berkisar antara 25.000 rupiah hingga 40.000 rupiah,
32
Tali yang diikatkan pada hidung sapi, berfungsi untuk mengurangi sifat liar sapi sehingga mempermudah perawatan.
60
tergantung ukuran dan kualitas. Umur pakai keranjang rumput umunya tiga bulan. 5) Golok, digunakan untuk mencacah singkong yang digunakan untuk pakan penguat sapi. Harga golok umumnya 30.000 rupiah dengan umur pakai sepuluh tahun. 6) Sarung tangan, berfungsi untuk melindungi tangan peternak mitra pada saat mengambil rumput, terutama rumput gajah. Harga sarung tangan adalah 2.500 rupiah dengan umur pemakaian dua bulan. 7) Sepatu boot, berfungsi untuk melindungi kaki peternak mitra pada saat mengambil rumpu. Umur pamakaian sepatu boot adalah satu tahun dengan harga antara 35.000 hingga 55.000, tergantung tahun pembelian. 8) Selang atau ember kecil, digunakan untuk mengalirkan air pada saat melakukan pembersihan kandang dan mengalirkan air ke pakan penguat sapi dan memberi minum sapi. Harga per meter selang berkisar antara 5.000 rupiah hingga 10.000 rupiah dengan masa pemakaian tujuh tahun. Ember kecil biasanya memiliki umur pemakaian sekitar sepuluh tahun dengan harga 5.000 hingga 10.000 rupiah, tergantung kualitas dan daya tahan ember. 9) Ember pakan penguat, berfungsi sebagai wadah pakan penguat yang akan diberikan kepada sapi. Ember ini biasanya digunakan peternak mitra yang menggunakan pakan penguat dan peternak mitra yang menggunakan kandang semi permanen untuk wadah air minum. Ember yang digunakan biasanya ember tahan pecah. Harga ember berkisar antara 12.000 hingga 25.000 rupiah, tergantung waktu pembelian dan kualitas ember. 10) Sekop dan sapu, digunakan untuk membersihkan kotoran sapi dan membersihkan tempat pakan sapi. Umur pemakaian sekop umumnya sepuluh tahun dengan harga 30.000 rupiah. Harga sapu berkisar antara 1.000 rupiah hingga 2.000 rupiah, tergantung waktu pembelian. 5.3.4. Pakan Jenis pakan yang diberikan untuk penggemukan sapi potong adalah pakan hijauan dan pakan penguat. Pakan hijauan yang biasanya digunakan petani adalah rumput gajah, rumput-rumput liar, gulma sayuran, dan limbah sayuran. Limbah sayuran yang basanya digunakan untuk pakan sapi adalah limbah sayuran bangsa 61
kubis-kubisan. Jumlah pakan hijauan yang diberikan adalah sepuluh persen dari bobot badan sapi. Peternak mitra umumnya menanam pakan hijauan, yaitu tanaman rumput gajah. Penanaman ini dilakukan untuk menghemat waktu pengambilan rumput. Lahan seluas 1.000 meter atau sekitar 2.000 tanaman dapat mencukupi kebutuhan pakan hijauan sapi. Namun, sebagian peternak mitra tidak melakukan penanaman pakan hijauan, terutama peternak mitra yang tidak memiliki lahan pertanian dan peternak mitra yang bertempat tinggal di kaki gunung. Peternak mitra tersebut biasanya mencari rumput di lahan pertanian yang telah dipanen dan di hutan produksi di kaki gunung. Sebagian peternak mitra juga menggunakan pakan penguat untuk meningkatkan pertumbuhan sapi potongnya. Pakan penguat yang digunakan diantaranya dedak padi (bekatul), dedak jagung, atau campuran keduanya yang dicampur dengan ketela pohon. Penggunaan pakan penguat akan mengurangi jumlah pakan hijauan yang diberikan. Pakan penguat diberikan dengan jumlah 22,5 persen dari bobot badan sapi. Pemberian pakan hijauan dilakukan oleh peternak mitra dua sampai tiga kali per hari. Pemberian pakan hijauan dilakukan pada pagi hari, siang hari, dan sore hari atau pada pagi hari dan sore hari. Pemberian pakan penguat dilakukan satu kali per hari, yaitu pada waktu siang hari sebelum pemberian pakan hijauan. Pemebrian pakan biasanya dilakukan bersama dengan pemberian air minum. Pemberian air minum dilakukan setiap satu hari sekali dalam jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan sapi. 5.3.5. Perawatan Perawatan yang dilakukan oleh peternak mitra diantaranya pembersihan kandang, memandikan sapi, dan penggantian tali kekang. Pembersihan kandang dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Sapi juga dimandikan satu kali setiap hari, biasanya dilakukan pada siang hari. Hal tersebut dilalakukan untuk menjaga kenyamanan sapi dan mencegah sapi terkena penyakit kulit. Sapi juga perlu diganti tali kekangnya setiap enam bulan sekali. Penggantian tali kekang bertujuan untuk mengurangi risiko tali kekang putus yang dapat menyebabkan sapi lepas. 62
5.3.6. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Penyakit yang biasanya menyerang sapi potong adalah penyakit cacingan. Penyakit cacingan ini mencakup penyakit cacingan yang tidak berbahaya seperti cacing usus dan penyakit cacingan yang berbahaya seperti cacing hati. Pencegahan penyakit cacingan dilakukan dengan memberikan obat cacing pada saat sapi baru datang dari pasar hewan dan setiap empat bulan sekali. Dosis pemberian obat cacing disesuaikan dengan bobot dan umur sapi serta berdasarkan rekomendasi pihak perusahaan. Obat cacing yang digunakan adalah obat cacing tablet dengan merek verm-o atau obat cacing cair dengan merek flukichit. Satu tablet verm-o atau satu botol kecil flukichit dapat digunakan untuk sapi berbobot 200 kilogram. Dosis ini dapat disesuaikan untuk setiap kelipatan bobot badan. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan badan sapi untuk meminimalisir tempat tumbuhnya cacing. Penyakit lain yang biasanya menyerang sapi potong adalah penyakit kulit, seperti penyakit kutil, kutu, dan gudig atau korengan. Salah satu penyebab penyakit-penyakit
ini
adalah
kurangnya
kebersihan
kandang
sehingga
mikroorganisme dan lalat yang menimbulkan penyakiti-penyakit ini dapat tumbuh dengan baik. Pencegahan penyakit-penyakit ini melalui penjagaan kebersihan kandang dan kebersihan badan sapi. Pengobatan terhadap penyakit-penyakit ini dengan menggunakan salep atau bedak yang dijual di toko-toko pertanian dan peternakan. Penyakit lain yang umumnya menyerang sapi potong adalah penyakit kembung. Penyakit kembung disebabkan proses pencernaan yang kurang baik sehingga gas di dalam perut tidak dapat dikeluarkan. Menurut Abidin (2002), penyakit kembung diduga disebabkan konsumsi hijauan pada pagi hari yang masih mengandung embun atau air hujan. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik. Upaya pengobatan yang dapat dilakukan adalah meminumkan campuran minyak kelapa dengan air hangat dan memberikan antibiotik serta vitamin untuk meningkatkan daya tahan sapi. Masuk angin adalah penyakit lain yang terkadang menyerang sapi. Penyakit ini biasanya menyerang sapi yang terkena hujan terutama pada saat 63
pengangkutan sapi. Sapi yang terserang masuk angin biasanya akan kehilangan nafsu makan sehingga sapi akan lemas. Penanganan yang lambat dapat menyebabkan kematian pada sapi. Penanganan yang dapat dilakukan adalah memberikan gula merah atau tetes tebu yang dicampur dengan air hangat dan jamu anti masuk angin. Penanganan ini dapat meningkatkan nafsu makan sapi dan menambah kekuatan sapi. Perusahaan juga melakukan pencegahan dengan memberikan penyuntikan antibiotik dan vitamin untuk sapi yang baru datang dari pasar hewan. Penyuntikan juga dilakukan oleh perusahaan untuk sapi yang menunjukkan tanda-tanda penyakit untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Perusahaan juga bertanggung jawab memberikan pengobatan yang layak untuk sapi peternak mitra yang terserang penyakit. 5.4.
Karakteristik Responden
5.4.1. Lama Berternak Sapi Lama berternak sapi responden salah satunya dipengaruhi oleh domisili responden. Domisili responden akan mempengaruhi budaya pemeliharaan sapi. Responden yang berdomisili di Dusun Jiwan umumnya telah berternak sapi dalam jangka waktu yang lama, yaitu lebih dari sepuluh tahun. Kondisi ini disebabkan masyarakat Dusun Jiwan merupakan masyarakat yang menjadikan usaha berternak sapi sebagai usaha utamanya. Kondisi ini berbeda dengan keumuman masyarakat dusun lain yang menjadikan usaha pertanian sebagai usaha utamanya dan usaha penggemukan sapi sebagai usaha sampingan. Rata-rata lama berternak peternak mitra yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 9,95 tahun. Dalam penelitian ini, lama berternak responden dibagi menjadi tiga kelas, yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun, dan >10 tahun. Pembagian ini dilakukan berdasarkan pendapat dari pihak perusahaan kemitraan dan beberapa orang responden tentang pembagian lama berternak berdasarkan jangka waktu berternak. Berdasarkan pembagian tersebut, kondisi jangka waktu berternak responden dapat dilihat pada Tabel 13.
64
Tabel 13. Sebaran Responden berdasarkan Lama Berternak No 1 2 3
Lama berternak (tahun) 1-5 6-10 >10 Jumlah
Jumlah (orang) 3 9 10 22
Persentase (%) 13,64 40,91 45,45 100,00
Berdasarkan Tabel 13, responden kelompok tiga memiliki jumlah paling banyak, diikuti dengan kelompok responden kedua, dan yang paling sedikit adalah kelompok responden pertama. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya pembatasan peternak mitra yang menjadi responden, yaitu peternak mitra yang telah mengikuti kemitraan lebih dari tiga tahun. Hal ini menyebabkan jumlah responden pada kelompok satu lebih sedikit dibandingkan responden kelompok dusa dan kelompok tiga. 5.4.2. Lama Bermitra Lama bermitra salah satunya dipengaruhi oleh lama berternak sapi. Semakin lama waktu berternak sapi responden biasanya akan menyebabkan samakin lama responden dalam mengikuti kemitraan. Jangka waktu bermitra responden juga dipengaruhi oleh kedekatan responden dengan pihak perusahaan. Responden yang dekat dengan perusahaan dan telah mengenal pihak perusahaan terutama pemilik perusahaan dalam waktu yang lama umumnya telah bergabung dengan kemitraan dalam waktu yang lama. Beberapa responden bahkan telah bergabung dengan kemitraan sejak perusahaan memulai unit usaha penggemukan sapi. Rata-rata lama berternak peternak mitra yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 8,05 tahun. Dalam penelitian ini, lama bermitra responden dibagi menjadi tiga kelas, yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun, dan >10 tahun. Pembagian ini dilakukan berdasarkan pendapat dari pihak perusahaan kemitraan tentang pembagian lama bermitra berdasarkan jangka waktu bermitra. Berdasarkan pembagian tersebut, kondisi lama bermitra responden dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, responden yang bergabung dengan kemitraan dalam kelompok kedua memiliki jumlah paling banyak, diikuti dengan kelompok responden pertama, dan yang paling sedikit adalah kelompok responden ketiga. 65
Tabel 14. Sebaran Responden berdasarkan Lama Bermitra No 1 2 3
Pengalaman berternak (tahun) 1-5 6-10 >10 Jumlah
Jumlah (orang) 6 11 5 22
Persentase (%) 27,27 50,00 22,73 100,00
5.4.3. Jumlah Rumpun Rumput Jumlah rumpun rumput yang ditanam responden berkaitan dengan sumber penyediaan pakan hijauan atau rumput gajah untuk sapi yang dipelihara. Penanaman rumput akan mempengaruhi waktu penyediaan rumput responden yang akan mempengaruhi besarnya biaya tidak tidak tunai responden. Selain itu, penanaman rumput juga mempengaruhi besarnya pajak dan sumbangan desa yang harus dikeluarkan responden. Jumlah rumpun rumput responden dipengaruhi oleh kepemilikan lahan. Responden yang memiliki lahan cukup luas umumnya menanam rumput gajah dalam jumlah yang cukup untuk pakan sapinya. Jumlah responden yang menanam rumput gajah adalah 18 orang atau sekitar 81,82 persen jumlah responden. Sebaran responden berdasarkan jumlah rumpun rumputnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Rumpun Rumput Gajah No Jumlah rumpun (rumpun) 1 0-1999 2 2000-3999 3 4000-5999 4 6000-7999 5 8000-9999 6 10000-11999 7 12000-13999 8 >14000 Jumlah responden yang menanam rumput
Jumlah responden (orang) 2 4 5 2 0 2 1 2 18
Berdasarkan Tabel 15, jumlah rumpun tersebut dapat dikonversikan menjadi kilogram. Setiap satu rumpun rumput gajah dapat menghasilkan tiga kilogram rumput gajah atau dalam satu meter persegi akan menghasilkan enam kilogram rumput gajah. 66
Selain jumlah responden yang menanam rumput, hal lain yang diperhatikan adalah jumlah rumpun per ekor sapi. Jumlah rumpun rumput untuk satu ekor sapi adalah 2.000 rumpun atau lahan rumput gajah dengan luas 1.000 meter persegi (Abidin, 2002). Rata-rata jumlah rumpun per ekor sapi responden adalah 2.229 rumpun. Jumlah ini melebihi standar jumlah rumpun per ekor sapi sehingga penggunaan lahan rumput responden belum optimal. Jumlah responden yang menanam rumput sesuai standar jumlah rumput per ekor adalah lima orang atau 27,78 persen, responden yang menanam rumput kurang dari standar sejumlah tujuh orang atau 38,89 persen, sementara responden yang menanam rumput melebihi standar sejumlah enam orang atau 33,33 persen. 5.4.4. Usia Peternak Responden dalam penelitian ini memiliki rata-rata umur 43,90 tahun. Usia responden termuda adalah 21 tahun, sementara usia responden yang paling tua adalah 70 tahun. Usia responden secara umum dapat dikelompokkan menjadi sebelas kelompok. Pembagian berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik Indonesia yang mengelompokkan usia responden setiap lima tahun. Jumlah responden terbanyak adalah responden dengan usia antara 30 sampai 34 tahun, kemudian responden dengan usia antara 40 sampai 44 tahun. Jumlah dari kedua kelompok usia tersebut mencapai 50 persen dari jumlah total responden. Sebaran responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Responden berdasarkan Usia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelompok usia (tahun) 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 Jumlah
Jumlah (orang) 1 0 6 1 5 3 1 2 1 0 2 22
Persentase (%) 4,55 0,00 27,27 4,55 22,73 13,64 4,55 9,09 4,55 0,00 9,09 100,00 67
5.4.5. Pendidikan Formal Jumlah peternak mitra yang mengikuti pendidikan formal adalah 17 orang atau sekitar 77,27 persen dari seluruh responden. Sebanyak lima orang responden atau sekitar 22,73 persen responden tidak mengikuti pendidikan formal, namun hanya dua orang responden yang tidak dapat membaca, yaitu responden yang berusia lebih dari 70 tahun. Sebaran responden berdasarkan lama pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Sebaran Responden berdasarkan Lama Pendidikan Formal No 1 2 3 4
Lama pendidikan formal (tahun) 0 1-6 7-9 10-12 Jumlah
Jumlah (orang) 5 14 1 2 22
Persentase (%) 22,73 63,64 4,54 9,09 100,00
5.4.6. Pekerjaan Utama Sebagian besar responden hanya menjadikan usaha ternak sebagai usaha sampingan. Hanya empat orang dari 22 responden yang pekerjaan utamanya di bidang penggemukan sapi potong. Sebagian besar responden bekerja di bidang pertanian baik sebagai petani maupun sebagai buruh tani. Sebaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan utamanya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Sebaran Responden berdasarkan Pekerjaan Utama No 1 2 3 4 5 6
Pekerjaan utama Petani Buruh tani Peternak Buruh ternak Karyawan Pemerintah desa Jumlah
Jumlah (orang) 6 7 4 2 2 1 22
Persentase (%) 27,27 31,82 18,18 9,09 9,09 4,55 100,00
5.4.7. Kondisi Keluarga Rata-rata jumlah anggota keluarga responden terdiri dari lima orang anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga responden paling sedikit adalah tiga 68
orang, sementara jumlah anggota keluarga responden terbanyak adalah sepuluh orang. Secara umum keluarga responden merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang. Responden yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang adalah 10 orang atau sekitar 45 persen. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19.Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah anggota keluarga (orang) 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah
Jumlah (keluarga)
Persentase (%)
4 6 2 3 2 4 0 1 22
18,18 27,27 9,09 13,64 9,09 18,18 0,00 4,55 100,00
Jumlah anggota keluarga responden akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja keluarga yang akan mempengaruhi penampilan biaya tunai dan biaya tidak tunai usaha ternak. Rata-rata tenaga kerja keluarga yang dimiliki oleh responden adalah 63 persen dari jumlah anggota keluarga. Jumlah persentase tenaga kerja keluarga terhadap jumlah anggota keluarga responden berkisar antara 40 persen hingga 100 persen. Jumlah keluarga responden yang memiliki tenaga kerja keluarga mencapai 100 persen adalah lima keluarga. Jumlah keluarga responden yang jumlah tenaga kerja keluarganya kurang dari atau sama dengan 50 persen adalah sebelas keluarga. Jumlah ini juga menunjukkan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden. Semakin tinggi persentase jumlah tenaga kerja keluarga terhadap jumlah anggota keluarga menunjukkan semakin rendah jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden. 5.4.8. Tenaga Kerja Usaha Penggemukan Sapi Secara umum tenaga kerja usaha penggemukan sapi responden adalah tenaga kerja keluarga. Hanya satu orang responden yang mempekerjakan tenaga kerja luar keluarga dalam usaha penggemukan sapinya. Jumlah tenaga kerja 69
dalam usaha penggemukan sapi berkisar antara satu hingga lima orang pekerja. Jumlah pekerja ini tergantung jumlah sapi yang dipelihara dan sumber rumput untuk pakan sapinya. Semakin banyak jumlah sapi yang dipelihara semakin banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan. Sumber pakan hijauan yang berasal dari alam atau tidak menanam meyebabkan waktu penyediaan rumput menjadi lebih lama sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan akan lebih banyak. Sebaran jumlah pekerja usaha penggemukan sapi responden dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20.Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Usaha Ternak No 1 2 3 4 5
Jumlah tenaga kerja (orang) 1 2 3 4 5 Jumlah
Jumlah responden (orang)
Persentase (%) 6 11 3 1 1 22
27,27 50,00 13,64 4,55 4,55 100,00
5.4.9. Domisili Pembagian responden berdasarkan domisili dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu tujuh dusun yang terdapat di empat desa di Kecamatan Wanayasa. Dusun tersebut adalah Dusun Wanayasa, Dusun Jatilawang, Dusun Krandegan, Dusun Kasimpar, Dusun Jiwan, Dusun Silewok, dan Dusun Wanaraja. Letak dusun-dusun ini menentukan akses terhadap lahan rumput liar yang berada di hutan produksi di sekitar domisili responden. Responden terbanyak berdomisili di Desa Jatilawang dan Desa Kasimpar, yaitu 18 orang atau sekitar 81,82 persen. Sebaran responden berdasarkan domisilinya dapat dilihat pada Tabel 21.
70
Tabel 21. Sebaran Responden berdasarkan Domisili No 1 2 3 4 5 6 7
Domisili Dusun Wanayasa Wanaraja Jatilawang Krandegan Jiwan Kasimpar Silewok Jumlah
Desa Wanayasa Wanaraja Jatilawang Kasimpar Pagondangan
Jumlah (orang) 1 2 8 1 3 6 1 22
Persentase (%) 4,55 9,09 36,36 4,55 13,64 27,27 4,54 100,00
5.4.10. Penggunaan Pakan Penguat Penggunaan pakan penguat menentukan besarnya biaya tunai yang harus dikeluarkan responden. Penggunaan pakan penguat dapat memacu pertumbuhan sapi dan menghasilkan karkas sapi yang lebih banyak dan lebih berkualitas. Pembagian responden berdasarkan penggunaan pakan penguat adalah responden yang menggunakan pekan penguat secara penuh, responden yang menggunakan pakan pengaut setengah, dan responden yang tidak menggunakan pakan penguat. Penggunaan pakan penguat secara penuh adalah pakan penguat yang terdiri dari singkong dan dedak selama masa pemeliharaan. Sementara penggunaan pakan penguat setengah adalah pekan penguat yang diberikan hanya dedak atau hanya beberapa bulan sebelum dijual. Jumlah responden yang menggunakan pakan penguat secara penuh adalah delapan orang atau sekitar 36 persen responden. Responden yang menggunakan pakan penguat setengah dan tidak menggunakan pakan penguat secara berturut-turut adalah tiga orang atau 13,64 persen dan sebelas orang atau 50 persen. 5.4.11. Jumlah Sapi yang Dipelihara Jumlah sapi yang dipelihara oleh responden per periode pemeliharaan berkisar antara 1-12 ekor. Jumlah sapi menentukan besarnya pendapatan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam usaha penggemukan sapi. Sapi yang dipelihara terdiri dari sapi milik perusahaan dan sapi milik responden. Responden yang memiliki sapi sendiri selain sapi perusahaan adalah responden yang memelihara sapi per tahun lebih dari lima ekor. Responden yang memiliki sapi 71
sendiri selain sapi perusahaan sebanyak lima responden atau sekitar 22,73 persen. Sebaran responden berdasarkan jumlah sapi dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Sapi yang Dipelihara No 1 2 3 4 5 6
Jumlah sapi yang dipelihara (ekor) 1 ekor 2 ekor 3 ekor 4 ekor 5 ekor > 5 ekor Jumlah
Jumlah responden (orang)
Persentase (%) 8 5 4 1 1 3 22
36,36 22,73 18,18 4,55 4,55 13,64 100,00
5.4.12. Kandang Jenis kandang yang digunakan dalam usaha penggemukan sapi responden ada dua, yaitu kandang permanen dan kandang semi permanen. Kandang permanen adalah kandang yang dibangun dengan bahan baku beton, sementara kandang semi permanen adalah kandang yang dibangun dengan bahan baku kayu atau bambu. Jumlah responden yang menggunakan kandang permanen dalam usaha penggemukan sapinya adalah 13 orang atau sekitar 59,09 persen. Responden yang menggunakan kandang semi permenen untuk usaha pengemukan sapinya sebanyak sembilan orang atau sekitar 40,91 persen dari total responden.
72
VI SISTEM KEMITRAAN UD RAHMAT ALAM 6.1.
Gambaran Umum Kemitraan UD Rahmat Alam Usaha penggemukan sapi perusahaan yang dilakukan oleh peternak mitra
merupakan proporsi terbesar dari jumlah sapi yang dimiliki perusahaan. Perusahaan mulai menjalankan sistem kemitraan sejak perusahaan memfokuskan aktifitas usahanya di bidang penggemukan sapi potong, yaitu pada tahun 1994. Pada awal tahun 2009, jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra mencapai 74 ekor yang dipelihara oleh 52 peternak mitra. Pada bulan Mei 2009, jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra meningkat menjadi 89 ekor. Jumlah tersebut bukan merupakan jumlah maksimal karena ada beberapa peternak mitra yang telah menjual sapinya dan belum melakukan pemeliharaan lagi. Selain itu, jumlah pemeliharaan oleh peternak mitra berkurang karena beberapa peternak mitra menggunakan lahannya untuk menanam sayuran. Hal ini dilakukan oleh beberapa peternak mitra untuk memelihara kesuburan tanah melalui rotasi tanaman. Harga komoditas sayuran terutama kentang dan kubis yang cukup tinggi pada awal tahun 2009 juga menyebabkan beberapa orang peternak mitra menggunakan lahannya untuk menanam sayuran. Menurut pihak perusahaan, jumlah maksimal sapi yang dipelihara peternak mitra bisa mencapai 100 ekor dengan jumlah peternak mitra sekitar 70 orang. Peternak mitra UD Rahmat Alam tersebar di beberapa desa di Kecamatan Wanayasa, diataranya Desa Jatilawang, Desa Kasimpar, Desa Grogol, Desa Legoksayem, Desa Wanaraja, Desa Pagondangan, dan Desa Wanayasa. 6.2.
Latar Belakang Pelaksanaan Kemitraan
6.2.1. Latar Belakang Perusahaan Perusahaan UD Rahmat Alam menerapkan sistem kemitraan disebabkan oleh keterbatasan sumber daya lahan untuk sumber pakan hijauan sapi. Kapasitas sapi yang dimiliki oleh perusahaan per tahun mencapai 120 ekor. Sementara itu, jumlah lahan yang dimiliki dan dikelola oleh perusahaan hanya sekitar lima hektar dan proporsi yang digunakan untuk budidaya pakan hijauan atau rumput gajah 73
hanya sekitar tiga hektar. Bardasarkan jumlah lahan yang digunakan untuk budidaya pakan hijauan, jumlah sapi maksimal yang dapat dipelihara oleh perusahaan hanya sekitar 30 ekor. Hal ini berdasarkan asumsi satu hektar lahan untuk 10 ekor sapi (Abidin, 2006). Alasan lain yang melatarbelakangi perusahaan menerapkan sistem kemitraan adalah keterbatasan jumlah kandang. Kapasitas maksimal kandang yang dimiliki oleh perusahaan hanya 41 ekor sapi. Pembangunan kandang baru untuk menambah kapasitas pemeliharaan akan membutuhkan modal yang cukup banyak. Hal ini dapat menyebabkan jumlah modal perusahaan dengan jangka waktu pengembalian panjang bertambah banyak atau dapat dikatakan modal yang kurang produktif bertambah. Sistem kemitraan dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi oleh perusahaan. Petani yang bermitra dapat mengurangi beban perusahaan untuk menyewa lahan atau membangun kandang sehingga jumlah modal yang dapat dialokasikan untuk pembelian sapi bisa lebih besar. Hal ini perlu dilakukan agar perusahaan dapat memenuhi permintaan perusahaan pemotongan sapi terutama dalam menjaga kontinuitas pasokan sapi potong. Latar belakang perusahaan menerapkan sistem kemitraan apabila ditinjau dari sisi sosial adalah sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan. Indikator yang menunjukkan hal ini adalah prosedur kemitraan yang cukup mudah dan cukup menguntungkan pihak peternak mitra. Sasaran utama sistem kemitraan adalah kalangan petani dan buruh tani. Hal ini dikarenakan sebagian besar pekerjaan masyarakat di sekitar perusahaan adalah petani dan buruh tani. Selain itu, teknis budidaya yang sederhana menjadikan petani atau buruh tani dapat melakukan budidaya sapi potong di sela-sela melakukan pekerjaan utama. 6.2.2. Latar Belakang Peternak Mitra Latar belakang peternak mitra mengikuti kemitraan dengan UD Rahmat Alam secara umum berkaitan dengan permasalahan modal. Berdasarkan wawancara dengan 22 responden, seluruh responden menyatakan bahwa permasalahan modal merupakan salah satu latar belakang bergabung dengan kemitraan. Permasalahan modal yang dihadapi oleh peternak mitra adalah 74
keterbatasan modal untuk memulai usaha penggemukan sapi dan keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha penggemukan sapinya. Harga sapi bakalan yang cukup tinggi menjadikan petani terutama buruh tani merasa kesulitan untuk membeli sapi bakalan sendiri. Melalui kemitraan, petani atau buruh tani bisa melakukan penggemukan sapi tanpa harus mengeluarkan modal yang besar. Modal utama yang harus dikeluarkan petani atau buruh tani apabila ingin bergabung dengan kemitraan adalah kandang. Kandang dapat dibuat sesederhana mungkin sehingga modal yang dikeluarkan petani atau buruh tani yang ingin bermitra tidak terlalu besar. Kendala modal juga dialami oleh peternak mitra atau peternak bukan mitra yang ingin mengembangkan usaha penggemukan sapinya. Sebanyak delapan orang peternak mitra telah memiliki usaha penggemukan sapi sebelum bergabung dengan kemitraan perusahaan. Peternak mitra dengan karakteristik seperti ini mengalami kekurangan modal terutama setelah memperbesar usahanya melalui pembangunan kandang baru dengan kapasitas lebih besar. Selain itu, ada satu orang peternak mitra yang mengembangkan usahanya dengan cara membeli tanah untuk lahan kandang dan lahan rumput. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan modal yang dimiliki berkurang dalam jumlah besar. Melalui kemitraan yang dilakukan perusahaan peternak dapat mengembangkan usahanya tanpa harus meminjam modal dari bank atau lembaga keuangan lain yang terdapat di Kecamatan Wanayasa. Seluruh responden juga menyatakan bahwa latar belakang bergabung dengan kemitraan adalah karena adanya kepastian pasar dan harga. Pihak perusahaan akan menyalurkan sapi peternak mitra ke perusahaan pemotongan di Kabupaten Wonosobo dan Kota Purwokerto. Selain sapi milik perusahaan, sapi yang dimiliki oleh peternak mitra juga dapat dijual melalui perusahaan. Kepastian harga juga didapatkan oleh peternak mitra karena penghitungan pembayaran sapi yang dijual berdasarkan bobot karkas33. Perusahaan dengan peternak mitra telah memiliki kesepakatan harga per kilogram karkas. Harga per kilogram karkas yang disepakati oleh perusahaan dengan peternak mitra antara bulan Januari sampai
33
Istilah untuk sapi yang telah dipotong dan ditimbang tanpa kepala, tanpa kulit, tanpa kaki bagian bawah, dan tanpa jeroan
75
Mei 2009 adalah 46.000 rupiah. Adanya kepastian ini menjadikan peternak mitra dapat berkonsentrasi melakukan penggemukan dengan maksimal. 6.3.
Tujuan Kemitraan
6.3.1. Tujuan Perusahaan Tujuan perusahaan menerapkan sistem kemitraan adalah untuk memenuhi permintaan perusahaan. Permintaan sapi perusahaan rata-rata mencapai empat ekor per minggu. Jadi, jumlah sapi minimal yang harus dimiliki perusahaan 128 ekor dengan asumsi masa pemeliharaan per ekor sapi adalah 8 bulan. Namun, kandang dan lahan rumput yang dimiliki perusahaan hanya mampu digunakan untuk memelihara 30 ekor sapi. Kondisi ini menjadikan perusahaan menerapkan sistem kemitraan agar jumlah sapi yang dipelihara mencukupi untuk memenuhi permintaan sapi potong perusahaan. Terpenuhinya permintaan sapi potong perusahaan secara tidak langsung dapat memperkuat posisi perusahaan. Perusahaan dapat menjaga kontinuitas dan kuantitas sapi yang disalurkan ke perusahaan pemotongan sapi di Kabupaten Wonosobo
dan
Kota Purwokerto.
Kondisi
ini
menjadikan
perusahaan
mendapatkan kepercayaan dari perusahaan pemotongan sapi dan memiliki posisi tawar apabila ingin memperluas jaringan pemasarannya. Perluasan jaringan pemasaran perusahaan dapat diimbangi dengan penambahan jumlah sapi yang dipelihara melalui sistem kemitraan. Tujuan perusahaan menerapkan sistem kemitraan apabila ditinjau dari sisi sosial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kemandirian petani atau peternak kecil di sekitar perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan kemudahan persyaratan untuk petani atau peternak kecil yang ingin bergabung dengan kemitraan perusahaan. Seluruh responden menyatakan bahwa persyaratan kemitraan perusahaan cukup mudah dipenuhi, yaitu kepemilikan kandang baik berupa kandang permanen atau kandang semi permanen. Perusahaan juga terbuka terhadap peternak mitra yang ingin mempelajari cara penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan juga melakukan pembinaan terhadap peternak mitranya. Pembinaan dilakukan secara tidak langsung oleh perusahaan melalui kunjungan pemilik perusahaan untuk 76
melihat sapi yang dipelihara peternak mitra. Selain itu, pembinaan juga dilakukan melalui pertemuan informal pada saat peternak mitra mengunjungi perusahaan. Pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan secara umum berkaitan dengan teknis budidaya dan manajemen alokasi keuntungan agar peternak mitra dapat memiliki sapi. Indikator lainnya adalah perusahaan memberikan kebebasan kepada peternak mitra yang ingin memelihara sapi secara mandiri dan perusahaan tetap bersedia membantu terutama dalam pembelian bakalan. 6.3.2. Tujuan Peternak Mitra Sebagian besar alasan peternak mitra bergabung dalam kemitraan adalah untuk memberikan tambahan pendapatan. Hal ini dibuktikan dengan pendapat beberapa orang peternak mitra yang menjadikan usaha penggemukan sapi hanya untuk usaha sampingan sehingga usaha ternak mereka tidak berkembang. Namun, ada sebagian peternak mitra yang mengikuti kemitraan agar dapat menjadi peternak sapi potong yang mandiri. Kondisi ini dibuktikan dengan adanya beberapa orang peternak mitra yang mengalokasikan pendapatan usaha ternaknya untuk membeli sapi sendiri. Jumlah peternak mitra yang memiliki tujuan memiliki usaha peternakan sendiri adalah lima orang dari total 22 responden. Sementara 17 orang responden menjadikan kemitraan sabagai sarana untuk menabung dan menambah penghasilan. Peternak mitra juga mendapatkan kemudahan dari perusahaan untuk memperoleh pinjaman tanpa bunga. Pinjaman atau hutang dapat berupa uang atau barang. Pinjaman yang berupa uang biasanya dilakukan peternak mitra untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pembayaran pinjaman dilakukan setelah sapi yang dipelihara oleh peternak mitra tersebut dijual. Pinjaman lain yang dapat dilakukan peternak mitra adalah pinjaman berupa obat-obatan sapi, pakan penguat sapi, pupuk, dan obat-obatan pertanian. Pembayaran pinjaman dilakukan melalui pemotongan keuntungan penjualan sapi yang diterima peternak mitra. Seluruh responden menyatakan bahwa tujuan ini merupakan salah satu tujuan mereka mengikuti kemitraan perusahaan. Sebagian peternak mitra bergabung dengan kemitraan juga untuk mempelajari teknik pengemukan sapi yang dilakukan perusahaan. Teknik penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan dapat merangsang 77
pertumbuhan
sapi
dengan
maksimal.
Kondisi
ini
ditunjukkan
dengan
pertumbuhan rata-rata sapi perusahaan yang mencapai lebih dari satu kilogram per hari. Hal-hal yang dapat dipelajari oleh peternak mitra antara lain manajemen pakan hijauan dan pakan penguat, perkandangan, cara judging34 sapi, serta manajemen pembelian dan penjualan sapi. Jumlah peternak mitra yang memiliki tujuan ini merupakan peternak mitra yang berkeinginan berternak sapi potong secara mandiri. 6.4.
Pola Kemitraan Sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam dapat digolongkan
sebagai pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Pola kemitraan KOA menempatkan perusahaan sebagai pemodal, penyedia sarana produksi, dan penjamin pasar, sementara pihak mitra berperan sebagai penyedia lahan, sarana, dan tenaga. Dalam sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam, perusahaan berperan sebagai penyedia modal utama dalam usaha penggemukan sapi, yaitu sapi bakalan atau sapi pedet. Perusahaan berperan untuk mencari, menyeleksi, membeli, dan menyalurkan sapi bakalan atau sapi pedet kepada peternak mitra. Modal untuk pembelian sapi dan biaya transportasi ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan. Perusahaan juga membeli atau menyalurkan sapi hasil pemeliharaan peternak mitra untuk dipotong di perusahaan pemotongan sapi atau dijual ke pasar hewan. Jadi, peternak mitra tidak perlu mencari pasar dan menjual sendiri sapi yang dipeliharanya. Peternak mitra yang tergabung dalam sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam bertugas untuk menggemukkan sapi perusahaan hingga mencapai bobot tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Peternak mitra harus menyediakan kandang, pakan yang cukup dan berkualitas, serta peralatan pemeliharaan seperti sabit, keranjang rumput, sekop, dan tali tambang. Peternak mitra juga harus secara rutin memberikan obat, terutama obat cacing dan antibiotik. Peternak mitra diberi kebebasan dalam teknik penggemukan sapinya, terutama dalam penggunaan pakan penguat. Namun perusahaan juga melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap proses penggemukan yang dilakukan
34
Penilaian kualitas sapi melalui ciri-ciri fisik yang dapat diamati secara eksternal
78
peternak mitra agar hasil yang dicapai bisa maksimal. Sapi yang telah siap potong atau telah melewati jangka waktu pemeliharaan diambil kembali oleh perusahaan untuk disalurkan untuk dipotong di perusahaan pemotongan hewan atau dijual di pasar hewan. 6.5.
Ketentuan Umum Kemitraan
6.5.1. Persyaratan Peternak Mitra Petani, buruh tani, atau peternak kecil yang ingin bergabung dengan kemitraan harus memiliki kandang sapi. Kandang yang lebih disukai oleh pihak perusahaan adalah kandang permanen yang dibangun dengan menggunakan semen. Kandang permanen lebih kuat, lebih mudah dibersihkan, dan dapat digunakan untuk memelihara sapi sampai ukuran maksimal. Kandang semi permanen yang terbuat dari kayu juga digunakan beberapa orang peternak mitra. Pemilihan jenis kandang ini dikarenakan biaya pembangunannya tidak sebesar pembangunan kandang permanen. Namun, kandang jenis ini lebih cepat rusak dan tidak dapat digunakan untuk memelihara sapi hingga ukuran maksimal. Hal ini menjadikan keuntungan yang didapat baik untuk pihak perusahaan dan pihak peternak mitra tidak maksimal. Persyaratan lain yang diminta perusahaan adalah kesanggupan untuk menyediakan rumput dalam jumlah cukup. Persyaratan ini dilihat perusahaan melalui luas lahan yang digunakan untuk menanam rumput gajah. Selain itu tempat tinggal calon peternak mitra juga dilihat sebagai indikator akses terhadap lahan rumput liar terutama untuk calon peternak mitra yang tidak memiliki lahan rumput. Perusahaan tidak mensyaratkan lahan rumput secara mutlak karena sebagian peternak mitra dengan latar belakang buruh tani tidak memiliki lahan yang dapat digunakan untuk menanam rumput. 6.5.2. Mekanisme Kemitraan UD Rahmat Alam Calon peternak mitra yang ingin mengikuti kemitraan UD Rahmat Alam dapat langsung menghubungi pemilik UD Rahmat Alam, yaitu Bapak Agus Ristianto. Calon peternak mitra akan diwawancarai oleh pemilik perusahaan secara informal. Hasil wawancara memberikan informasi kepada pemilik 79
perusahaan tentang karakter calon peternak mitra. Calon peternak mitra yang memenuhi syarat, bersedia mengikuti aturan kemitraan, dan karakternya dinilai cocok oleh pemilik perusahaan dapat langsung bergabung dengan kemitraan. Peternak mitra baru atau peternak mitra yang sapinya telah dijual dapat menghubungi perusahaan untuk memesan sapi yang ingin dipeliharanya. Pemesanan ini berkaitan dengan kemampuan peternak mitra seperti kekuatan kandang dan persediaan rumput yang berkaitan dengan bobot, harga, dan umur sapi. Setelah itu, pihak perusahaan akan membeli sapi di pasar hewan Kabupaten Banjarnegara atau pasar hewan Kabupaten Wonosobo. Jangka waktu pemesanan dengan datangnya sapi biasanya berkisar antara dua sampai lima hari. Setelah
perusahaan
melakukan
pembelian,
peternak
mitra
dapat
melakukan negosiasi harga pokok sapi yang akan dipeliharanya. Harga pokok ini nantinya akan dikurangkan pada hasil penjualan untuk menghitung keuntungan. Apabila telah tercapai kesepakatan, sapi akan segera dikirimkan oleh pihak perusahaan ke kandang peternak mitra. Biaya transportasi dari pasar hewan ke kandang perusahaan dan dari kandang perusahaan ke kandang peternak mitra ditanggung sepenuhnya oleh pihak perusahaan. Peternak mitra kemudian melakukan proses penggemukan sapi dalam jangka waktu antara 8-12 bulan. Jangka waktu pemeliharaan ini tergantung bobot dan umur sapi pada waktu sapi masuk ke kandang peternak mitra. Peternak mitra yang ingin menjual atau memotong sapi yang dipeliharanya dapat menghubungi pihak perusahaan. Kemudian pemilik perusahaan akan mengunjungi kandang peternak mitra untuk menilai kelayakan sapi untuk dijual atau dipotong. Pemilik perusahaan biasanya akan memberikan saran kepada peternak mitra yang sapinya belum layak untuk dijual atau dipotong. Namun, keputusan akhir bisanya diserahkan perusahaan kepada peternak mitra. Hal ini dilakukan karena biasanya peternak mitra yang ingin menjual sapinya sebelum mencapai bobot maksimal dikarenakan membutuhkan uang, kerusakan kandang, atau rumput sebagai pakan sapi telah habis. Perusahaan biasanya akan mengambil sapi yang akan dijual atau dipotong dari peternak mitra pada hari Senin atau pada hari Legi35. Hari-hari tersebut 35
Hari ke tiga dari lima hari dalam penaggalan Jawa
80
adalah hari pasaran36 pasar hewan di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Perusahaan juga mengambil sapi dari peternak mitra selain hari-hari tersebut apabila perusahaan pemotongan sapi melakukan pemesanan sapi secara mendadak. Seluruh biaya transportasi dari kandang peternak mitra sampai pasar hewan ditanggung oleh pihak perusahaan. Sapi yang telah sampai di pasar hewan kemudian diserahkan kepada pihak perusahaan pemotongan sapi. Pengiriman ke Kota Purwokerto pada hari pasaran dilakukan perusahaan hanya sampai di pasar hewan. Namun, pengiriman selain pada hari pasaran dilakukan perusahaan hingga kandang sementara perusahaan pemotongan di Kota Purwokerto. Sementara pengiriman ke perusahaan pemotongan
hewan
dilakukan
perusahaan
hingga
kandang
perusahaan
pemotongan baik dilakukan pada hari pasaran atau pada hari biasa. Informasi tentang bobot karkas sapi yang dipotong biasanya dikirimkan oleh perusahaan pemotongan sapi setelah dua sampai lima hari. Pembayaran akan dilakukan secara langsung oleh perusahaan pemotongan sapi kepada perusahaan pada pengiriman sapi berikutnya. Setelah dilakukan pembayaran, perusahaan akan membagi keuntungan hasil pengurangan harga jual dengan harga pokok sesuai dengan perjanjian. Peternak mitra yang menggunakan pakan penguat secara penuh akan mendapatkan bagian 60 persen dari keuntungan, sementara peternak mitra yang tidak menggunakan pakan penguat secara penuh mendapatkan bagian 55 persen. Peternak mitra biasanya akan mendatangi perusahaan setelah dua sampai lima hari sapi yang dipeliharanya dibawa perusahaan. Keseluruhan transaksi yang dilakukan dari proses awal hingga akhir berlandaskan kepercayaan antar pihak yang bersangkutan. Tidak ada peraturan tertulis
tentang
ketentuan-ketentuan
dalam
kemitraan.
Perusahaan
mempercayakan sapinya untuk dipelihara oleh peternak mitra. Peternak mitra mempercayakan perusahaan untuk menjual dan menerima pembayaran dari perusahaan pemotongan sapi atas sapi yang dipeliharanya. Perusahaan mempercayakan sapinya untuk dipotong dan ditimbang oleh perusahaan
36
Istilah dalam Bahasa Jawa yang artinya hari di mana kondisi suatu pasar paling ramai di banding hari-hari selainnya
81
pemotongan sapi. Bukti transaksi yang ada hanya berupa nota sederhana yang ditandatangani setiap pihak untuk transaksi pembayaran. 6.5.3. Aturan dalam Kemitraan Peraturan-peraturan yang berlaku walaupun tidak tertulis dalam sistem kemitraan adalah: 1) Perusahaan berkewajiban menyediakan modal untuk pembelian sapi bakalan atau pedet yang akan dipelihara oleh peternak mitra. Perusahaan harus berusaha mendapatkan sapi bakalan yang berkualitas agar hasil penggemukan
sapi peternak mitra maksimal. Peternak mitra berkewajiban menyediakan kandang, pakan, lahan rumput, dan sarana pemeliharaan. 2) Perusahaan mendapatkan bagian keuntungan penjualan atau pemotongan sapi sebesar 40 atau 45 persen, sementara peternak mitra mendapatkan bagian keuntungan 60 atau 55 persen. Besarnya bagian keuntungan ini tergantung penggunaan pakan penguat. Peternak mitra yang menggunakan pakan penguat mendapatkan bagian keuntungan 60 persen, sementara peternak mitra yang tidak menggunakan pakan penguat hanya mendapatkan bagian keuntungan 55 persen. 3) Biaya transportasi baik dari pasar hewan hingga ke kandang peternak mitra atau dari kandang peternak mitra hingga ke perusahaan pemotongan hewan ditanggung seluruhnya oleh pihak perusahaan. 4) Kerugian karena kematian sapi yang dipelihara peternak mitra ditanggung seluruhnya oleh pihak perusahaan. Akan tetapi, perusahaan memberi kebebasan pada peternak mitra yang ingin membantu menanggung kerugian karena kematian sapi. Kondisi ini disebabkan sebagian peternak mitra bukan merupakan rumah tangga yang mampu sehingga umumnya tidak memiliki cukup uang untuk mengganti kerugian akibat kematian sapi. 5) Peternak mitra diperbolehkan mengajukan sapi yang dipelihara untuk dipotong, namun harus dengan persetujuan pihak perusahaan. Pihak perusahaan biasanya menganjurkan peternak mitra untuk melanjutkan pemeliharaan apabila sapi yang dipeliharanya belum maksimal. Akan tetapi, biasanya perusahaan memberikan keputusan akhir kepada pihak peternak mitra. 82
6) Catatan tertulis hasil pemotongan sapi atau nota akan diserahkan oleh pihak perusahaan kepada peternak mitra setelah sapi yang dipelihara peternak mitra dipotong. Peternak mitra juga boleh meminta nota ini apabila pihak perusahaan tidak memberikan nota hasil pemotongan. 7) Peternak mitra berkewajiban melakukan proses budidaya dengan baik, menanggung biaya obat cacing setiap empat bulan sekali, dan menjaga kemanan sapi. 8) Pihak perusahaan bertanggung jawab untuk menggung seluruh biaya pengobatan sapi apabila sapi yang dipelihara peternak mitra sakit. 9) Peternak mitra diperbolehkan bertanya kepada pihak perusahaan tentang manajemen budidaya perusahaan, sementara pihak perusahaan biasanya akan memberikan pebinaan secara informal setiap melakukan kunjungan ke peternak mitra atau pada saat peternak mitra mengunjungi perusahaan. 10) Peninjauan biasanya dilakukan pihak perusahaan setiap enam bulan sekali dan pada saat sapi yang dipelihara peternak mitra akan dipotong atau dijual.
83
VII ANALISIS KEBERHASILAN DAN HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN KEBERHASILAN PETERNAK MITRA Karakteristik peternak mitra diduga berhubungan dengan keberhasilan usaha ternak peternak mitra. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan keberhasilan peternak mitra serta perbedaan karakteristik peternak mitra antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Analisis yang dapat dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik peternak mitra terhadap keberhasilan usaha ternak adalah analisis deskriptif terhadap tabel sebaran keberhasilan (Soekartawi, 1995). Analisis ini dilakukan dengan membandingkan karakteristik peternak mitra yang berhasil dengan yang tidak berhasil. Karakteristik peternak mitra yang diduga berhubungan kuat terhadap keberhasilan usaha ternak adalah karakteristik yang memiliki perbedaan antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Penilaian hubungan keraktersitik peternak mitra dengan keberhasilan peternak mitra juga dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Spearman. Penghitungan nilai koefisien korelasi Spearman dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan peternak mitra secara kuantitatif. Analisis ini dapat melengkapi analisis deskriptif yang dilakukan karena dapat diketahui kekuatan hubungan dan sifat hubungan yang terjadi. Hipotesis yang digunakan adalah: H0
: tidak terdapat hubungan positif antara karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra.
H1
: terdapat hubungan positif antara karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra.
Kriteria uji yang digunakan adalah signifikansi alpha 0,05 dan nilai kritik korelasi peringkat Spearman df=0,05; 20 (df=α; n-2), yaitu 0,377. 7.1.
Analisis Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra Penilaian keberhasilan peternak mitra berdasarkan nilai rasio RC total
dilakukan dengan menghitung nilai rasio RC total dalam analisis usaha ternak. Penghitungan rasio RC total mencakup seluruh penerimaan serta biaya, baik tunai maupun non tunai. Nilai rasio RC total peternak mitra dibandingkan dengan nilai 84
rata-rata rasio RC total seluruh peternak mitra. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang memiliki nilai rasio RC total lebih tinggi dari pada nilai rata-rata rasio RC total peternak mitra. Penggunaan nilai rata-rata rasio RC total sebagai standar keberhasilan dikarenakan belum adanya penetapan standar keberhasilan bagi peternak mitra. Daftar peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil berdasarkan nilai rasio RC total dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Daftar Nilai rasio RC Total dan Keberhasilan Peternak Mitra No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Peternak Mitra Supratin Senen Wardi Surip Wahono Misroi Miswandi Warjono Ruslani Santo Suhendri Kamto Astro Kaswandi Miskam Purwanto, Kasimpar Wahyo Hedi M. Prato Purwanto, Wanaraja Sanom Kowo
R/C total 1,370 1,092 1,005 1,065 0,771 1,056 1,029 1,094 1,065 0,974 1,272 1,238 1,092 1,075 0,997 0,814 0,828 0,740 1,022 0,853 0,848 1,034
Rata-Rata 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015 1,015
Keberhasilan berhasil berhasil tidak berhasil berhasil tidak berhasil berhasil berhasil berhasil berhasil tidak berhasil berhasil berhasil berhasil berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil berhasil tidak berhasil tidak berhasil berhasil
Berdasarkan nilai rasio RC total, jumlah peternak mitra yang berhasil adalah 13 orang dari 22 peternak mitra atau sekitar 59 persen. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan rasio RC total dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Rasio RC Total No 1
Keberhasilan peternak mitra Berhasil
Jumlah 13
Persentase (%) 59 85
2
Tidak berhasil 9 41 Jumlah 22 100 Besarnya rasio RC total usaha penggemukan sapi peternak mitra
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok penerimaan dan kelompok biaya. Kelompok penerimaan merupakan kelompok faktor yang berkaitan dan mempengaruhi besarnya penerimaan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Kelompok biaya adalah kelompok faktor yang berkaitan dan mempengaruhi besarnya pengeluaran usaha penggemukan sapi peternak mitra. Beberapa faktor-faktor tersebut memiliki perbedaan antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Perbedaan pada faktor-faktor tersebut menyebabkan adanya perbedaan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 7.1.1. Analisis Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra Penerimaan peternak mitra terdiri dari penerimaan penjualan sapi, nilai kotoran, dan nilai sapi yang belum dijual pada akhir tahun 2008. Penerimaan penjualan sapi peternak mitra merupakan bagian keuntungan penjualan sapi yang dipelihara peternak mitra. Bagian keuntungan penjualan peternak mitra adalah 60 persen atau 55 persen tergantung penggunaan pakan penguat. Peternak mitra yang menggunakan pakan penguat akan mendapatkan 60 persen keuntungan penjualan, sementara peternak mitra yang tidak menggunakan pakan penguat hanya mendapatkan 55 persen. Besarnya keuntungan yang didapatkan peternak mitra tergantung pertumbuhan dan bobot maksimal sapi. Pertumbuhan dan bobot maksimal sapi yang tinggi akan memberikan keuntungan yang besar pada peternak mitra. Tingginya pertumbuhan dan bobot maksimal sapi ditentukan oleh manajeman budidaya yang dilakukan oleh peternak mitra. Nilai kotoran sapi peternak mitra merupakan nilai kotoran yang dihasilkan oleh sapi setiap tahun. Nilai kotoran sapi peternak mitra termasuk komponen penerimaan tidak tunai peternak mitra. Kotoran tersebut umumnya digunakan peternak mitra untuk memupuk lahan rumput gajah yang dimiliki. Nilai kotoran sapi ditentukan berdasarkan pengalaman peternak mitra yang pernah melakukan penjualan kotoran sapi. Kotoran satu ekor sapi dalam satu tahun bernilai 150.000 rupiah. Nilai ini umumnya sama untuk setiap peternak mitra. Akan tetapi, nilai ini 86
menjadi lebih kecil pada sebagian peternak mitra yang membuang kotoran sapinya. Peternak mitra membuang kotoran sapi dengan mengalirkannya pada saat melakukan pembersihan kandang. Jumlah kotoran sapi yang tersisa diperkirakan nilainya hanya setengah dari nilai kotoran peternak mitra yang tidak membuang kotoran sapinya. Nilai sapi akhir tahun sebagai bagian penerimaan tidak langsung usaha penggemukan sapi peternak mitra dihitung berdasarkan lama pemeliharaan dikalikan dengan pertumbuhan rata-rata harian sapi. Perumusan pertumbuhan rata-rata harian sapi dihitung berdasarkan catatan penjualan sapi peternak mitra yang bersangkutan. Hasil penjualan setiap sapi peternak mitra dibagi dengan lama pemeliharaan. Hasil ini kemudian dirata-ratakan untuk setiap penjualan sapi sehingga didapatkan nilai pertumbuhan rata-rata harian sapi peternak mitra. Nilai pertumbuhan rata-rata harian ini kemudian dikalikan dengan lama pemeliharaan yang telah dilakukan oleh peternak mitra. Biaya dalam usaha penggemukan sapi peternak mitra terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel terdiri dari biaya pembelian sapi, biaya pengambilan rumput, penanaman rumput, pemberian pakan dan kebersihan, pembelian dedak, pembelian singkong, obat-obatan, starbio, dan pemupukan rumput. Biaya tetap terdiri dari biaya pembelian peralatan, nilai penyusutan kandang, perbaikan kandang, sewa lahan, pajak tanah serta sumbangan desa, dan listrik. Biaya pembelian sapi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak mitra apabila ingin memiliki sapi selain sapi dari perusahaan. Biaya ini khusus dikeluarkan oleh peternak mitra yang memiliki sapi selain sapi dari perusahaan antara tahun 2006 sampai 2008. Besarnya biaya pembelian sapi yang harus dikeluarkan tergantung ukuran, umur, dan jenis sapi. Biaya pembelian sapi berbeda dengan kompoen biaya yang lain karena biaya ini memiliki peluang yang besar untuk kembali. Kondisi ini berbeda dengan biaya yang lain dimana pengeluaran biaya yang lain akan tertutupi dengan pembagian keuntungan yang didapatkan. Biaya pengambilan rumput merupakan biaya tidak langsung yang diperhitungkan untuk aktifitas peternak mitra mengambil rumput. Pengambilan 87
rumput peternak mitra secara umum dibagi menjadi dua, yaitu peternak mitra yang memiliki lahan dan tidak memiliki lahan rumput gajah. Peternak mitra yang memiliki lahan biaya pengambilan rumputnya lebih rendah dari pada peternak mitra yang tidak memiliki lahan. Penghitungan biaya pengambilan rumput dilakukan dengan menghitung waktu pengambilan rumput sehingga didapatkan HOK (Hari Orang Kerja) untuk pengambilan rumput. Perhitungan satu HOK di Desa Jatilawang adalah setengah hari kerja atau empat jam kerja dengan biaya per HOK 7.000 rupiah. Cara penghitungan yang sama juga dilakukan untuk biaya penanaman rumput, pemberian pakan, dan pembersihan kandang sapi. Biaya pakan penguat berupa pembelian dedak jagung, dedak padi, konsentrat, dan singkong khusus dikeluarkan oleh peternak mitra yang menggunakan pakan penguat. Biaya ini termasuk biaya tunai dimana biaya ini harus dikeluarkan oleh peternak mitra selama proses budidaya. Rata-rata pengeluaran peternak mitra untuk pakan penguat penuh per hari adalah 4.500 rupiah. Pakan penguat ini terdiri dari satu kilogram campuran dedak dengan harga per kilogram 1.000 rupiah dan lima kilogram singkong dengan harga per kilogram 700 rupiah. Biaya rata-rata pakan penguat peternak mitra yang hanya menggunakan campuran dedak per hari adalah 3.000 rupiah atau tiga kilogram campuran dedak. Sebagian peternak mitra menggunakan starbio dan meineral untuk tambahan pakan penguatnya. Penggunaan starbio dan mineral ini akan menambah biaya pakan penguat sebesar 500 rupiah per hari. Biaya obat-obatan merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak mitra setiap empat bulan sekali. Obat-obatan ini biasanya terdiri dari obat cacing dan antibiotik. Biaya obat-obatan ini adalah 11.000 per ekor sapi dengan bobot 200 kilogram. Biaya ini bertambah apabila bobot sapi lebih besar dari 200 kilogram. Biaya pemupukan rumput merupakan komponen biaya tidak tunai karena pupuk yang digunakan berasal dari kotoran sapi yang dipelihara. Besarnya biaya pemupukan rumput sama dengan besarnya penerimaan tidak tunai dari nilai kotoran sapi yang dihasilkan. Biaya tenaga kerja untuk mengangkut kotoran ke lahan tidak diperhitungkan karena umumnya peternak mitra membawa kotoran sapinya bersamaan dengan waktu pengambilan rumput. 88
Biaya pembelian peralatan merupakan biaya pembelian peralatan yang memiliki umur pemakaian kurang dari tiga tahun. Rata-rata biaya pembelian peralatan yang harus dikeluarkan oleh peternak mitra selama satu tahun per ekor sapi adalah 185.917 rupiah. Nilai penyusutan peralatan merupakan biaya diperhitungkan untuk peralatan yang memiliki umur pemakaian lebih dari tiga tahun. Rata-rata nilai penyusutan peralatan usaha penggemukan sapi peternak mitra per tahun per ekor sapi adalah 9.333 rupiah. Daftar peralatan yang digunakan dalam teknis budidaya telah diuraikan secara lengkap pada bagian gambaran umum usaha penggemukan sapi. Biaya kandang yang diperhitungkan dalam analisis pendapatan adalah penyusutan kandang, biaya pemeliharaan kandang, dan sewa lahan kandang. Nilai penyusutan kandang tergantung dengan perkiraan umur pemakaian kandang. Kandang permanen memiliki umur pemakaian 12 tahun, sementara kandang semi permanen umur pemakaiannya hanya sekitar tujuh tahun. Keuntungan lain penggunaan kandang permanen adalah tidak adanya biaya perawatan untuk perbaikan setiap selesai masa pemeliharaan. Peternak mitra yang menggunakan kandang semi permanen setiap selesai pemeliharaan harus mengeluarkan biaya perbaikan yang besarnya antara 50.000 hingga 100.000 rupiah. Akan tetapi, pembangunan kandang permanen membutuhkan biaya yang lebih besar daripada biaya pembangunan kandang semi permanen. Besarnya nilai penyusutan per tahun antara kandang permanen dan kandang semi permanen relatif sama, yaitu sekitar 279.000 per tahun. Sewa lahan merupakan biaya lahan tidak tunai yang diperhitungkan. Sewa lahan merupakan oportunity cost karena peternak mitra menggunakan lahannya untuk menanam rumput gajah dan tidak menyewakannya. Rata-rata biaya sewa lahan di daerah penelitian adalah 300 hingga 400 rupiah per meter persegi. Peternak mitra juga harus mengeluarkan pajak tanah dan sumbangan desa setiap tahun. Besarnya pajak tanah per meter persegi dihitung sebesar 0,1 persen dari harga jual tanah per metar persegi. Harga jual tanah per meter persegi di daerah penelitian adalah 14.000 rupiah. Besarnya sumbangan untuk desa yang harus dikeluarkan peternak mitra adalah 10 persen dari besarnya pajak. Penghitungan
89
analisis pendapatan usaha penggemukan sapi peternak mitra dapat dilihat pada Lampiran 3. 7.1.2. Hubungan Penerimaan dan Biaya dengan Keberhasilan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra Penerimaan usaha penggemukan sapi peternak mitra terdiri dari penerimaan penjualan sapi, nilai sapi akhir tahun 2008, dan nilai kotoran. Penerimaan rata-rata peternak mitra yang berhasil per ekor sapi adalah 3.108.428 rupiah, sementara penerimaan per ekor sapi peternak mitra yang tidak berhasil adalah 1.898.600 rupiah. Besarnya penerimaan setiap peternak mitra dipengaruhi oleh hasil penjualan sapi yang dipelihara oleh peternak mitra. Besarnya hasil penjualan sapi ini dipengaruhi oleh hasil penggemukan sapi yang dilakukan peternak mitra. Hasil penggemukan sapi peternak mitra ini berupa bobot dan kualitas karkas karena sistem pembayaran dari perusahaan pemotongan sapi berdasarkan bobot karkas yang dihasilkan. Bobot dan kualitas karkas yang dihasilkan oleh sapi peternak mitra dipengaruhi oleh teknis budidaya yang dilakukan oleh peternak mitra. Teknis budidaya yang dilakukan oleh peternak mitra berhubungan dengan karakteristik peternak mitra dan karakteristik usaha penggemukan sapi peternak mitra. Rata-rata pertumbuhan harian sapi peternak mitra yang berhasil adalah 0,68 kilogram atau 20 kilogram per bulan. Rata-rata pertumbuhan harian sapi peternak mitra yang tidak berhasil adalah 0,54 atau 16 kilogram per bulan. Perbedaan pertumbuhan harian sapi antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil menjadikan penerimaan yang didapatkan oleh peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil berbeda. Selisih penerimaan peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil dalam satu bulan mencapai 50.417 rupiah per ekor sapi. Selisih ini dihitung berdasarkan asumsi harga per kilogram hidup 23.000 rupiah dan pembagian keuntungan untuk peternak mitra sebesar 55 persen. Oleh karena itu, dalam satu tahun perbedaan penerimaan antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil mencapai 605.000 rupiah per ekor sapi. Penerimaan dari nilai kotoran sapi peternak mitra merupakan komponen penerimaan tidak tunai usaha penggemukan sapi peternak mitra. Kotoran sapi digunakan oleh peternak mitra untuk memupuk rumpun rumput gajah. Kotoran 90
sapi biasanya dibawa oleh peternak mitra ke lahan rumput gajah setiap satu minggu sekali. Nilai kotoran per ekor sapi setiap peternak mitra secara umum tidak berbeda antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Kesimpulannya nilai kotoran sapi tidak mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena nilainya yang secara umum tidak berbeda antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Biaya dalam usaha penggemukan sapi peternak mitra terdiri dari biya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap usaha penggemukan sapi peternak mitra terdiri dari pembelian peralatan, penyusutan peralatan, penyusutan kandang, sewa kandang, sewa lahan rumput, pajak tanah dan sumbangan desa, serta biaya listrik. Biaya variabel usaha penggemukan sapi peternak mitra terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya pakan, dan biaya pembelian sapi untuk peternak mitra yang memelihara sapi selain sapi dari perusahaan. Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya penanaman rumput, pengambilan rumput, pemberian pakan, dan pembersihan kandang. Biaya pakan terdiri dari pembelian dedak, singkong, dan obat-obatan. Komponen biaya yang memiliki pengaruh cukup besar adalah komponen pakan dan tenaga kerja. Kontribusi biaya pakan penguat terhadap total biaya pada peternak mitra yang menggunakan pakan penguat secara penuh mencapai 50 persen, sementara peternak mitra yang menggunakan pakan penguat setengah hanya sekitar 29 persen. Proporsi biaya tenaga kerja terhadap total biaya pada peternak mitra yang menanam rumput gajah mencapai 27 persen, sementara peternak mitra yang tidak menanam rumput gajah lebih tinggi, yaitu 80 persen. Besarnya biaya tenaga kerja terutama tenaga penyediaan pakan rumput antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil berbeda. Rata-rata biaya penyediaan rumput peternak mitra yang berhasil per tahun per ekor sapi adalah 904.394 rupiah. Rata-rata biaya penyediaan rumput peternak mitra yang tidak berhasil per tahun per ekor sapi adalah 1.123.209 rupiah. Kesimpulannya terdapat selisih pengeluaran untuk penyediaan pakan rumput 218.815 rupiah per tahun per ekor sapi. Selisih ini semakin besar karena penggunaan pakan penguat oleh peternak mitra yang tidak berhasil lebih tidak efisien. Rata-rata biaya penggunaan pakan penguat peternak mitra yang tidak berhasil per tahun per ekor sapi adalah 1.192.892 rupiah. Rata-rata biaya penggunaan pakan penguat per tahun per ekor 91
sapi pada peternak mitra yang berhasil hanya 947.256 rupiah atau terdapat selisih 247.637 rupiah. Besarnya selisih biaya antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil dalam satu tahun mencapai 466.451 rupiah. Komponen-komponen biaya yang lain selain biaya tenaga kerja dan pakan memiliki proporsi yang kecil terhadap total biaya usaha penggemukan sapi. Komponen-komponen biaya ini juga umumnya memiliki nilai yang sama antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Oleh karena itu, komponen-komponen biaya selain biaya tenaga kerja dan pakan tidak mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Berdasarkan analisis terhadap penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi peternak mitra, selisih pendapatan antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil mencapai 1.071.451 rupiah per tahun per ekor sapi. Perbedaan pada penerimaan peternak mitra berhubungan dengan manajemen budidaya yang dilakukan. Manajemen budidaya ini berkaitan dengan karakteristik peternak mitra. Peternak mitra diduga akan memiliki kemampuan budidaya lebih baik apabila telah berternak sapi dalam jangka waktu yang lama, telah bermitra dalam waktu yang lama, memiliki motivasi menjadi mandiri, dekat dengan pihak perusahaan, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dan memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan usaha penggemukan sapi. Besarnya biaya juga berkaitan dengan karakteristik peternak mitra. Biaya pengambilan rumput pada peternak mitra yang menanam rumput akan lebih kecil daripada peternak mitra yang tidak menanam rumput. Penggunaan pakan penguat juga akan mempengaruhi besarnya biaya usaha penggemukan sapi peternak mitra. Penggunaan pakan penguat sebagai salah satu komponen biaya yang besar harus diimbangi dengan peningkatan penerimaan yang signifikan. Peningkatan penerimaan yang signifikan akan menyeimbangkan peningkatan pengeluaran peternak mitra untuk biaya pakan penguat. Kondisi-kondisi tersebut juga berhubungan dengan manajemen budidaya yang dilakukan oleh peternak mitra. Hal tersebut juga memiliki kaitan dengan karakteristik peternak mitra sehingga penelitian tentang hubungan karakteristik peternak mitra perlu dilakukan.
92
7.2.
Analisis Hubungan Karakteristik dan Keberhasilan Peternak Mitra
7.2.1. Jangka Waktu Berternak Sapi Jangka waktu berternak sapi potong peternak mitra berpengaruh terhadap kemampuan peternak mitra dalam melakukan usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang telah berternak dalam waktu yang lama akan memiliki kemampuan pemeliharaan sapi yang lebih baik. Hal tersebut menyebabkan usaha penggemukan sapi yang dilakukan oleh peternak mitra yang berpengalaman akan lebih efisien, efektif, dan memberikan hasil yang lebih optimal. Usaha penggemukan sapi yang lebih efisien, efektif, dan menghasilkan output yang optimal akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Kesimpulannya lama berternak sapi akan berhubungan positif dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Berdasarkan Tabel 25, terdapat perbedaan lama berternak sapi antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil. Peternak mitra yang berhasil berdasarkan lama berternaknya tersebar pada kelompok dua atau 6-10 tahun dan pada kelompok tiga atau >10 tahun. Peternak mitra yang tidak berhasil tersebar secara merata pada ketiga kelompok lama berternak sapi potong. Perbedaan yang cukup signifikan adalah pada kelompok pertama atau kelompok lama berternak 1-5 tahun dimana tidak terdapat peternak mitra yang berhasil masuk dalam kelompok ini. Perbedaan juga terdapat pada kelompok lama berternak yang lain, namun perbedaaan tersebut tidak terlalu besar. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan karakteristik lama berternak sapi dapat dilhat pada Tabel 25. Tabel 25. Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Lama Berternak Sapi No 1 2 3
Pengalaman berternak (tahun) 1-5 6-10 >10 Jumlah
Berhasil Persentase Jumlah (%) 0 0 6 46,15 7 53,85 13 100
Tidak berhasil Persentase Jumlah (%) 3 33,33 3 33,33 3 33,33 9 100
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan Tabel 25 adalah lama berternak sapi berhubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan 93
peternak mitra. Hubungan lama berternak sapi dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra relatif kuat. Kondisi ini dikarenakan adanya perbedaan karakteristik peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra tidak berhasil yang signifikan. Berdasarkan hasil analisis korelasi Spearman, nilai korelasi antara keberhasilan usaha penggemukan sapi dengan lama berternak adalah 0,355. Kesimpulannya lama berternak sapi mempunyai korelasi positif dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternakan mitra, namun korelasi ini tidak signifikan karena nilai tes lebih kecil dari nilai tabel korelasi Spearman. Korelasi lama berternak sapi dengan keberhasilan peternak mitra tidak signifikan, namun nilainya mendekati nilai kritik tabel Spearman. Lama berternak sapi peternak mitra memiliki korelasi terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena kemampuan budidaya sapi peternak mitra sangat dipengaruhi oleh lama berternak. Tidak adanya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah menjadikan peternak mitra harus mempelajari teknis budidaya sapi secara otodidak. Oleh karena itu, semakin lama peternak mitra menekuni usaha penggemukan sapi akan menyebabkan kemampuan budidaya sapi peternak mitra semakin baik. 7.2.2. Lama Bermitra Lama bermitra dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peternak mitra tentang sistem kemitraan usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang bergabung dengan kemitraan dalam jangka waktu cukup lama akan dapat memanajemen usaha penggemukan sapinya agar sesuai dengan sistem kemitraan. Lama bermitra juga menjadikan peternak mitra dapat memaksimalkan keuntungan dengan cara memacu pertumbuhan karkas melalui manajemen pemberian pakan. Keuntungan dapat maksimal karena penghitungan hasil penjualan dilakukan dengan menghitung bobot karkas yang dihasilkan sapi. Kesimpulannya lama bermitra berhubungan positif terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Berdasarkan Tabel 26, sebaran peternak mitra yang berhasil berada pada seluruh kelompok lama bermitra. Sebaran peternak mitra berhasil terbesar terdapat pada kelompok dua atau 6-10 tahun, sementara sebaran terendah terdapat pada kelompok satu atau 1-5 tahun. Peternak mitra tidak berhasil tersebar pada 94
seluruh kelompok dengan jumlah terbesar berada pada kelompok pertama atau 1-5 tahun dan kelompok kedua atau 6-10 tahun. Pada kelompok pertama dan ketiga terdapat perbedaan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil. Sementara, pada kelompok kedua tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan lama bermitra dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Lama bermitra No Lama bermitra (tahun) 1 2 3
1-5 6-10 >10 Jumlah
Berhasil Persentase Jumlah (%) 2 15,38 7 53,85 4 30,77 13 100
Tidak berhasil Presentase Jumlah (%) 4 44,44 4 44,44 1 11,11 9 100
Berdasarkan penjelasan terhadap Tabel 26, lama bermitra berhubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Hubungan lama bermitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra cukup kuat karena terdapat perbedaan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil. Berdasarkan perhitungan nilai korelasi Spearman, nilai koefisien korelasi hubungan antara keberhasilan peternak mitra dengan lama bermitra adalah 0,341. Nilai tersebut lebih kecil dari nilai kritik tabel Spearman sehingga korelasi positif antara lama bermitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra menjadi tidak signifikan. Namun, nilai korelasi ini mendekati nilai kritik tabel Spearman, yaitu mendekati 0,377. Lama bermitra memiliki korelasi dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra memiliki kaitan dengan manajemen budidaya peternak mitra. Peternak mitra yang telah bermitra dalam waktu yang lebih lama akan memiliki kemampuan teknis budidaya yang lebih baik dan sesuai dengan sistem kemitraan. Kondisi ini dikarenakan tidak ada pembinaan secara formal dari perusahaan tentang teknis budidaya dan sistem kemitraan perusahaan. Tidak adanya pembinaan yang formal menjadikan peternak mitra harus aktif menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan. Peternak mitra yang telah bermitra lebih 95
lama akan memiliki hubungan komunikasi yang lebih baik dengan pihak perusahaan. Kondisi ini akan mendukung pemahaman peternak mitra tentang teknis budidaya dan sistem kemitraan perusahaan. 7.2.3. Penanaman Rumput Gajah Penanaman rumput gajah sebagai sumber pakan hijauan untuk sapi akan mempengaruhi waktu penyediaan rumput sehingga akan mempengaruhi nilai HOK peternak mitra. Penanaman rumput juga memberikan pengaruh terhadap biaya tetap usaha penggemukan sapi karena harus mengeluarkan biaya untuk menanam rumput, sewa lahan, dan biaya perawatan rumput. Penanaman rumput gajah juga harus efisien, yaitu 2.000 rumpun per ekor sapi. Kekurangan atau kelebihan jumlah rumput yang ditanam akan mempengaruhi besarnya pengaruh penanaman rumput terhadap struktur biaya dan keberhasilan usaha penggemukan sapi potong peternak mitra. Penanaman rumput gajah akan mempengaruhi nilai rasio RC total secara positif dan negatif. Pengaruh positif berupa penurunan biaya tenaga kerja untuk menyediakan rumput dan berpengaruh negatif berupa peningkatan pengeluaran untuk sewa lahan, penanaman rumput, dan perawatan rumput. Kondisi ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap keberhasilan peternak mitra. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan penanaman rumput gajah dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Penanaman Rumput No
1 2
Keberhasilan peternak mitra Berhasil Tidak berhasil
Menggunakan lahan Jumlah rataJumlah rumput rata tanaman per tanaman ekor Jumlah Persentase (%) 12 orang 92,31 5888,92 2136,58 6 orang 66,67 7083,33 2416,67
Berdasarkan Tabel 27, terdapat perbedaan antara peternak mitra yang berhasil dan tidak berhasil dalam hal penanaman rumput gajah. Hampir seluruh peternak mitra yang berhasil menanam rumput gajah, sementara lebih dari setengah peternak mitra yang tidak berhasil menanam rumput gajah. Perbedaan keberhasilan juga dikarenakan jumlah tanaman rumput yang kurang optimal pada peternak mitra yang tidak berhasil. Rata-rata jumlah rumpun rumput responden 96
yang tidak berhasil lebih besar dari 2.000 rumpun, sementara pada peternak mitra yang berhasil jumlah rumpun rumput yang ditanam mendekati 2.000 rumpun. Penanaman rumput gajah untuk sumber pakan hijauan memiliki hubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil. Kondisi ini juga dikuatkan dengan hasil penghitungan korelasi Spearman hubungan penanaman rumput dengan keberhasilan, yaitu 0,327 atau memiliki korelasi positif yang tidak signifikan. Hal ini disebabkan nilai korelasi Spearman yang dihasilkan lebih rendah dari nilai kritik tabel Spearman. Jumlah rumpun rumput juga memiliki hubungan dengan keberhasilan peternak mitra. Jumlah rumpun rumput harus sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Berdasarkan penghitungan nilai korelasi Spearman, jumlah tanaman rumput memiliki hubungan positif yang tidak signifikan, yaitu 0,119. Kesimpulannya peternak mitra yang menanam rumput akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar dibandingkan peternak mitra yang tidak menanam rumput namun pengaruhnya tidak signifikan. Penanaman rumput berkorelasi dengan keberhasilan peternak mitra karena besarnya tambahan biaya karena menanam rumput gajah lebih kecil daripada pengurangan biaya pengambilan rumput. Waktu pengambilan rumput peternak mitra akan lebih singkat sehingga pengeluaran untuk biaya tenaga kerja juga menjadi lebih sedikit. Kondisi ini sangat mempegaruhi struktur pendapatan karena biaya tenaga kerja merupakan salah satu komponen biaya yang paling besar. Kesimpulannya pengaruh positif penanaman rumput berupa pengurangan biaya tenaga kerja penyediaan rumput lebih besar daripada pengaruh negatif berupa tambahan biaya sewa lahan dan penanaman rumput. Hal tersebut menjadikan penanaman rumput memiliki korelasi terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Jumlah tanaman rumput memiliki korelasi yang lebih kecil daripada penanaman rumput karena umumnya jumlah rumpun rumput peternak mitra per ekor sapi hampir sama. Selain itu, tambahan biaya karena menanam rumput lebih banyak daripada kebutuhan per ekor sapi tidak terlalu besar, yaitu hanya mempengaruhi biaya penanaman dan besarnya pajak yang harus dibayarkan. 97
Proporsi komponen biaya penanaman rumput dan pajak terhadap total biaya sangat kecil apabila dibandingkan dengan perubahan komponen biaya tenaga kerja usaha penggemukan sapi peternak mitra. 7.2.4. Usia Peternak Mitra Usia peternak mitra mempengaruhi pengalaman peternak mitra dalam melakukan usaha penggemukan sapi. Semakin tinggi usia peternak mitra maka semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh peternak mitra. Usia peternak mitra juga berpengaruh terhadap kekuatan fisik peternak mitra yang akan mempengaruhi
kinerja
peternak
mitra.
Tingginya
usia
peternak
mitra
menyebabkan keterbatasan peternak mitra secara fisik sehingga menurunkan kinerja peternak mitra. Oleh karena itu, usia peternak mitra akan mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh positif berupa peningkatan pengalaman dan pengaruh negatif berupa menurunnya kinerja dan motivasi berternak. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Usia Peternak Mitra No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelompok usia 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74
Berhasil
Tidak berhasil 0 0 4 1 3 1 0 1 1 0 2
Jumlah 1 0 2 0 2 2 1 1 0 0 0
1 0 6 1 5 3 1 2 1 0 2
Berdasarkan Tabel 28, jumlah peternak mitra berhasil terbesar berada pada kelompok usia antara 30 hingga 34 tahun. Namun, sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan kelompok usia sangat acak sehingga tidak terdapat pola baik secara positif atau negatif. Berdasarkan analisis terhadap Tabel 28, tidak terdapat hubungan usia peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi 98
peternak mitra. Kesimpulan ini didukung dengan nilai analisis korelasi Spearman yang tidak signifikan, yaitu 0,089. Kesimpulannya adalah terdapat hubungan korelasi positif yang tidak signifikan antara usia peternak mitra dengan keberhasilan peternak mitra. Korelasi usia dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi sangat lemah dikarenakan usia peternak mitra tidak menentukan pengalaman berternak sapi. Sebagian peternak mitra ada yang memulain usaha penggemukan sapi sejak usia 20 tahun, sementara ada beberapa peternak mitra yang berternak sapi setelah usia 30 tahun. Kondisi ini menjadikan pengaruh usia terhadap peningkatan kemampuan budidaya tidak signifikan. Selain itu, peningkatan kemampuan karena pertambahan usia juga diimbangi dengan penurunan kemampuan secara fisik sehingga pengaruh tersebut saling meniadakan. 7.2.5. Pendidikan Formal Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan menyebabkan semakin maju cara pandang seseorang terhadap sesuatu, termasuk dalam usaha penggemukan sapi potong. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan membuat peternak mitra mampu memahami prosedur penggemukan sapi dan memahami arahan yang diberikan perusahaan dengan lebih baik. Namun, kasus penggemukan sapi pada sistem kemitraan UD Rahmat Alam hanya menggunakan teknis budidaya sederhana. Kondisi ini menjadikan tidak terdapat perbedaan pemahaman yang signifikan tentang prosedur penggemukan dan arahan perusahaan pada peternak mitra. Karakteristik-karakteristik yang lain diduga akan memberikan pengaruh lebih besar terhadap keberhasilan dibandingkan pengaruh pendidikan formal peternak mitra. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihar pada Tabel 29. Berdasarkan Tabel 29, tidak terdapat perbedaan kondisi pendidikan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Sebaran peternak mitra yang berhasil dan yang tidak berhasil cukup merata pada setiap kelompok pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pendidikan peternak mitra dengan keberhasilan peternak mitra lemah. Berdasarkan hasil penghitungan nilai korelasi Spearman, hubungan 99
antara tingkat pendidikan dengan keberhasilan peternak mitra tidak signifikan, yaitu negatif 0,111. Berdasarkan nilai korelasi Spearman semakin tinggi tingkat pendidikan formal peternak mitra menyebabkan semakin rendahnya keberhasilan peternak mitra walaupun korelasi tersebut tidak signifikan. Tabel 29. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Pendidikan Formal No 1 2 3 4
Lama pendidikan formal 0 tahun 1-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun Jumlah
Berhasil Jumlah Persentase (%) 3 23,08 9 69,23 0 0 1 7,69 13 100
Tidak berhasil Jumlah Persentase (%) 2 22,22 5 55,56 1 11,11 1 11,11 9 100
Pendidikan formal peternak mitra berhubungan negatif dan lemah karena kemampuan budidaya peternak mitra tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan peternak mitra. Faktor lama berternak dan pengalaman memiliki kaitan yang lebih kuat terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Kondisi ini juga dikarenakan teknis penggemukan sapi yang sederhana sehingga tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk memahami teknis dan manajeman usaha penggemukan sapi yang baik. 7.2.6. Jenis Pekerjaan Utama Pekerjaan utama peternak mitra mempengaruhi waktu yang dimiliki oleh peternak mitra dalam melakukan usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang menjadikan
usaha
penggemukan
sapi
sebagai
pekerjaan
utama
akan
mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk usaha penggemukan sapi. Pekerjaan utama juga menentukan kemampuan peternak mitra dalam melakukan usaha penggemukan sapi. Semakin dekat jenis pekerjaan utama dengan usaha penggemukan sapi akan menjadikan peternak mitra lebih menguasai teknis budidaya dan manajemen usaha. Kesimpulannya pekerjaan utama akan berpengaruh positif terhadap keberhasilan, yaitu semakin dekat pekerjaan utama dengan usaha penggemukan sapi akan menyebabkan peningkatan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan pekerjaan utamanya dapat dilihat pada Tabel 30. 100
Tabel 30. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Pekerjaan Utama No 1 2 3 4
Pekerjaan utama peternak mitra Buruh ternak atau peternak Karyawan perusahaan Buruh tani atau petani Pemerintah desa Jumlah
Berhasil Persentase Jumlah (%) 5 38,46 2 15,38 6 46,15 0 0 13 100
Tidak berhasil Persentase Jumlah (%) 1 11,11 0 0 7 77,78 1 11,11 9 100
Berdasarkan Tabel 30, peternak mitra yang pekerjaan utamanya berhubungan dengan budidaya sapi atau berhubungan dengan UD Rahmat Alam secara umum berhasil. Peternak mitra yang bekerja sebagai buruh ternak, peternak sapi, dan karyawan perusahaan sebagian besar berhasil, hanya 1 orang yang tidak berhasil. Peternak mitra yang bekerja di bidang pertanian sebaran keberhasilannya cukup merata dengan jumlah yang hampir sama. Sementara peternak mitra yang bekerja dibidang pemerintahan desa
yang hubungannya dengan usaha
penggemukan sapi sangat kecil tidak berhasil. Berdasarkan
penjelasan
terhadap
Tabel
30,
terdapat
perbedaan
karakteristik pekerjaan utama yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil. Kesimpulannya terdapat hubungan antara pekerjaan utama dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Berdasarkan penghitungan nilai korelasi Spearman, terdapat korelasi positif yang signifikan antara jenis pekerjaan utama dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Nilai koefisien korelasi yang didapatkan adalah 0,447 atau lebih besar daripada nilai tabel kritik korelasi Spearman. Nilai ini didapatkan dengan menganalogikan jenis pekerjaan dengan angka. Semakin dekat pekerjaan utama dengan usaha penggemukan sapi akan memiliki angka yang semakin besar. Peternak mitra yang bekerja sebagai pemerintah desa dianalogikan dengan angka 1, petani dan buruh tani dengan angka 2, karyawan perusahaan dengan angka 3, serta peternak dan buruh ternak dengan angka 4. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa semakin dekat pekerjaan utama dengan usaha penggemukan sapi tingkat keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra akan semakin besar. 101
Jenis
pekerjaan
utama
berkorelasi
dengan
keberhasilan
usaha
penggemukan sapi karena jenis pekerjaan utama memiliki pengaruh terhadap waktu, konsenrasi, kinerja, dan kemampuan budidaya peternak mitra. Peternak mitra yang pekerjaan utamanya di bidang usaha penggemukan sapi akan lebih berkonsentrasi dan memiliki kinerja yang lebih baik sehingga usaha penggemukan sapinya juga akan lebih baik. Peternak mitra yang bekerja di bidang usaha penggemukan sapi atau pekerjaan yang memiliki kedekatan dengan usaha penggemukan sapi seperti buruh ternak dan karyawan perusahaan akan memiliki kemampuan budidaya yang lebih baik. 7.2.7. Kondisi Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja keluarga dalam usaha penggemukan sapi. Penggunaan tenaga kerja keluarga akan mempengaruhi besarnya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan dalam usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang menggunakan tenaga kerja keluarga akan lebih menghemat pengeluaran tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pembayaran tenaga kerja luar keluarga yang cukup besar, yaitu 25 persen keuntungan yang diterima peternak mitra. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi kebutuhan harian rumah tangga. Peternak mitra yang memiliki jumlah anggota keluarga dan jumlah tanggungan keluarga cukup banyak jumlah kebutuhan harian rumah tangganya akan lebih besar. Hal ini menjadikan beberapa orang peternak mitra harus menjual sapi yang dipelihara sebelum waktunya karena butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Penjualan sapi sebelum waktunya akan menyebabkan keuntungan yang didapatkan lebih kecil sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan kondisi keluarganya dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Sebaran Keberhasilan Peternak berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga No 1 2
Rata-rata Jumlah anggota keluarga Jumlah TK keluarga
Keberhasilan Berhasil Tidak berhasil 5,22 4,90 3,11 3,04
102
Berdasarkan Tabel 31, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kondisi keluarga antara peternak mitra yang berhasil dengan peternak mitra yang tidak berhasil. Rata-rata jumlah anggota keluarga dan tenaga kerja keluarga hampir sama. Kondisi menunjukkan bahwa hubungan antara kondisi keluarga dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra lemah. Berdasarkan penghitungan korelasi Spearman, nilai koefisien korelasi antara jumlah anggota keluarga dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi adalah 0,059. Nilai tersebut termasuk dalam korelasi yang tidak signifikan dengan sifat hubungan positif. Nilai korelasi jumlah tenaga kerja keluarga dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi adalah 0,153 atau termasuk korelasi positif yang tidak signifikan. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan jumlah tenaga kerja keluarga dengan keberhasilan lebih kuat dibandingkan hubungan jumlah anggota keluarga dengan keberhasilan. Kesimpulan ini didukung dengan nilai korelasi penggunaan tenaga kerja luar keluarga dengan keberhasilan, yaitu negatif 0,262. Peternak mitra yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga dalam penelitian ini hanya satu orang. Akan tetapi, kondisi tersebut telah menggambarkan bahwa penggunaan tenaga kerja luar keluarga memiliki hubungan negatif dengan keberhasilan peternak mitra. Jumlah anggota keluarga korelasinya sangat lemah terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan dan biaya usaha penggemukan sapi. Jumlah anggota keluarga menentukan jumlah tanggungan keluarga. Sebagian kecil peternak mitra meminta pihak perusahaan memotong sapinya sebelum mencapai bobot maksimal karena adanya kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi, permasalahan ini telah teratasi dengan adanya pinjaman dari pihak perusahaan. Jumlah tenaga kerja keluarga menentukan kebutuhan peternak mitra terhadap tenaga kerja luar keluarga. Tenaga luar keluarga memiliki korelasi negatif dengan keberhasilan karena penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan menimbulkan biaya yang cukup besar, yaitu 25 persen penerimaan peternak mitra. Kesimpulannya jumlah anggota keluarga dan jumlah tenaga kerja keluarga mempengaruhi keberhasilan karena berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja luar keluarga. 103
7.2.8. Motivasi Berternak Motivasi berternak peternak mitra berhubungan dengan tujuan jangka panjang usaha penggemukan sapi peternak mitra. Hal ini akan mempengaruhi semangat dan kinerja peternak mitra dalam melakukan usaha penggemukan sapinya. Peternak mitra yang memiliki motivasi memiliki usaha penggemukan sapi mempunyai semangat dan kinerja yang lebih baik dibandingkan peternak mitra yang hanya menjadikan usaha penggemukan sapi sebagai tabungan. Kinerja peternak mitra akan mempengaruhi efisiensi sumber daya terutama tenaga kerja dan besarnya keuntungan usaha penggemukan sapi. Penentuan motivasi peternak mitra dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan wawancara dengan pihak peternak mitra dan pihak perusahaan serta dengan melakukan penilaian terhadap kondisi usaha penggemukan sapi peternak mitra yang bersangkutan. Peternak mitra dengan motivasi menjadi mandiri memiliki kandang yang permanen, memiliki sapi selain sapi perusahaan dan usaha penggemukan sapinya berkembang. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan motivasi berternak dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Motivasi Berternak No 1 2
Keberhasilan peternak mitra Berhasil Tidak berhasil Jumlah
Motivasi berternak Tabungan Memiliki usaha sendiri Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 9 52,94 4 80 8 47,06 1 20 17 100 5 100
Berdasarkan Tabel 32, terdapat perbedaan keberhasilan yang signifikan pada peternak mitra yang memiliki motivasi memiliki usaha sendiri. Jumlah peternak mitra berhasil yang memiliki motivasi memiliki usaha sendiri adalah empat orang, atau 80 persen dari seluruh peternak mitra yang memiliki motivasi memiliki usaha sendiri. Peternak mitra yang menjadikan usaha penggemukan sapi sebagai tabungan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Kesimpulannya motivasi berternak memiliki hubungan yang kuat dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 104
Berdasarkan nilai koefisien korelasi Spearman, terdapat hubungan korelasi yang signifikan dan positif antara motivasi berternak dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Hubungan ini signifikan karena nilai korelasinya lebih besar dari nilai tabel kritik korelasi Spearman, yaitu 0,392. Penghitungan ini dilakukan dengan menganalogikan motivasi berternak dengan angka, yaitu motivasi untuk tabungan dengan angka 1 dan motivasi memiliki usaha sendiri dengan angka 2. Kesimpulannya adalah motivasi memiliki usaha sendiri menjadikan keberhasilan usaha penggemukan peternak mitra semakin tinggi. Motivasi berternak memiliki hubungan yang kuat terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena peternak mitra yang memiliki motivasi menjadi mandiri akan memiliki kinerja lebih baik. Kinerja ini berkaitan dengan pelaksanaan teknis penggemukan sapi yang lebih efisien dan kemauan untuk belajar dengan pihak perusahaan. Kondisi ini juga akan meningkatkan kemampuan budidaya sapi peternak mitra. Peternak mitra yang memiliki motivasi menjadi mandiri juga biasanya menyisihkan keuntungannya sehingga bisa memiliki sapi selain sapi perusahaan. Hal tersebut akan dapat meningkatkan penerimaan peternak mitra sehingga dapat meningkatkan keberhasilan peternak mitra. Peternak mitra yang memiliki motivasi berternak sebagai tabungan dan tambahan pendapatan tidak menyisihkan keuntungan yang diperolehnya untuk bisa memiliki sapi sendiri. Kondisi ini menjadikan selisih penerimaan antara peternak mitra yang ingin mandiri dan peternak mitra yang menjadikan usaha penggemukan sapi sebagai tabungan semakin besar. 7.2.9. Latar Belakang Bermitra Seluruh peternak mitra yang menjadi resonden menyatakan bahwa latar belakang mengikuti kemitraan adalah karena keterbatasan modal. Kekurangan modal ini dialami oleh peternak mitra yang ingin mengembangkan usaha penggemukan sapinya dan peternak mitra yang ingin memulai usaha penggemukan sapi. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan antara latar belakang bermitra antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Kesimpulannya tidak terdapat hubungan antara latar belakang bermitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 105
7.2.10. Domisili Peternak Mitra Domisili peternak mitra mempengaruhi akses terhadap sumber pakan hijauan dari alam, terutama untuk peternak mitra yang tidak memiliki lahan yang cukup untuk menanam rumput gajah. Peternak mitra yang berdomisili di kaki gunung atau dekat dengan hutan dapat menghemat pengeluaran untuk sewa lahan dan pajak lahan. Namun, pengeluaran tenaga kerja peternak mitra yang mengandalkan sumber pakan hijauan dari alam menjadi lebih besar dibandingkan peternak mitra yang menanam rumput. Kondisi tersebut menjadikan hubungan domisili dengan keberhasilan peternak mitra menjadi tidak signifikan karena saling menetralkan. Domisili juga mempengaruhi akses peternak mitra ke perusahaan. Peternak mitra yang berdomisili di Desa Jatilawang memiliki akses yang lebih mudah untuk berkunjung ke perusahaan. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan domisilinya dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Domisili No 1 2 3 4 5 6 7
Domisili Dusun Desa Wanayasa Wanayasa Wanaraja Wanaraja Jatilawang Jatilawang Krandegan Kasimpar Kasimpar Jiwan Silewok Pagondangan
Keberhasilan Berhasil Tidak berhasil 1 0 0 2 6 2 0 1 2 4 3 0 1 0
Jumlah 1 2 8 1 6 3 1
Berdasarkan Tabel 33, peternak mitra yang berhasil tersebar di Dusun Wanayasa, Dusun Jatilawang, Dusun Jiwan, dan Dusun Silewok. Kurangnya jumlah responden menyebabkan pengamatan hanya dapat dilakukan pada responden dari Desa Jatilawang dan Desa Kasimpar. Peternak mitra di Dusun Jatilawang dan Dusun Jiwan sebagian besar berhasil, sementara peternak mitra yang berasal dari Dusun Kasimpar sebagian besar tidak berhasil. Kondisi ini disebabkan peternak mitra yang berasal dari Dusun Kasimpar umumnya mengandalkan panyediaan pakan hijauan dari alam sehingga biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan lebih besar. Penghitungan nilai koefisien korelasi spearman dengan menganalogikan domisili dengan angka berdasarkan kedekatan dengan ibu kota kecamatan, yaitu 106
Dusun Wanayasa dengan angka 1, Dusun Wanaraja dengan angka 2, Dusun Jatilawang dengan angka 3, Dusun Krandegan dengan angka 4, Dusun Jiwan dengan angka 5, Dusun Kasimpar dengan angka 6, dan Dusun Silewok dengan angka 7. Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan adalah negatif 0,038 atau termasuk korelasi yang tidak signifikan dengan hubungan negatif. Semakin jauh domisili peternak mitra dari ibu kota kecamatan menyebabkan tingkat keberhasilan peternak mitra semakin kecil, namun korelasi tersebut tidak signifikan. Peternak mitra yang berdomisili di dusun yang dekat kaki gunung memiliki akses terhadap rumput di sekitar hutan sehingga tidak perlu menanam rumput gajah. Akan tetapi, pengambilan rumput di hutan menjadikan waktu dan biaya pengambilan rumput tetap tidak efisien. Hal tersebut dikarenakan lokasi lahan rumput yang jauh dan jumlah rumput yang tidak semelimpah lahan rumput gajah. Kepemilikan terhadap kendaraan bermotor juga menyebabkan domisili peternak mitra tidak berkorelasi dengan keberhasilan. Peternak mitra yang tempat tinggalnya jauh dari perusahan dapat dengan mudah mengunjungi perusahaan dengan menggunakan sepeda motor. Kunjungan peternak mitra ke perusahaan menentukan kemampuan budidaya peternak mitra dan pemahaman tentang sistem kemitraan. Kesamaan akses peternak mitra ke perusahaan menjadikan faktorfaktor lain selain domisili yang akan memiliki hubungan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 7.2.11. Jumlah dan Perbandingan Umur Sapi yang Dipelihara Jumlah
sapi
yang
dipelihara
akan
menentukan
efisiensi
usaha
penggemukan sapi. Semakin banyak jumlah sapi yang dipelihara menjadikan usaha penggemukan sapi yang dilakukan akan semakin efisien. Pengaruh efisiensi ini berlaku pada pengeluaran tenaga kerja dan pengeluaran biaya peralatan. Besarnya efisiensi usaha penggemukan sapi tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya. Kondisi ini dikarenakan penghitungan biaya tenaga kerja dengan cara per jam melakukan aktifitas pemeliharaan. Waktu pemeliharaan peternak mitra umumnya sama untuk setiap ekor sapi sehingga pertambahan jumlah sapi juga akan diikuti dengan pertambahan jam kerja. Waktu penggunaan peralatan hampir sama untuk setiap peternak mitra. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah sapi 107
yang dipelihara menjadikan penggunaan peralatan semakin efisien. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan jumlah sapi yang dipelihara dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Jumlah Sapi yang Dipelihara No 1 2 3 4 5 6
Jumlah sapi 1 ekor 2 ekor 3 ekor 4 ekor 5 ekor >5 ekor
Berhasil Jumlah Persentase (%) 4 30,77 3 23,08 3 23,08 0 0 0 0 3 23,08
Tidak berhasil Jumlah Persentase (%) 4 44,44 2 22,22 1 11,11 1 11,11 1 11,11 0 0
Berdasarkan Tabel 34, tidak terdapat perbedaan signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Jumlah peternak mitra yang berhasil turun seiring pertambahan jumlah sapi yang dipelihara kemudian naik pada kelompok lebih dari 5 ekor. Kondisi yang sama terjadi pada peternak mitra yang tidak berhasil dimana terjadi penurunan jumlah tanpa adanya kenaikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara jumlah sapi yang dipelihara dengan keberhasilan usaha pengemukan sapi peternak mitra adalah hubungan yang tidak kuat. Kesimpulan ini diperkuat dengan nilai korelasi Spearman yang kurang dari nilai kritik tabel Spearman, yaitu 0,181. Oleh karena itu, hubungan antara jumlah sapi yang dipelihara dengan keberhasilan peternak mitra merupakan korelasi positif yang tidak signifikan. Semakin banyak sapi yang dipelihara, tingkat keberhasilan peternak mitra akan semakin besar namun hal tersebut tidak signifikan. Kondisi ini dikarenakan kecilnya pengaruh jumlah sapi yang dipelihara terhadap perubahan biaya dan rasio RC total karena adanya efisiensi. Perbandingan umur sapi membandingkan jumlah sapi bakalan dan sapi pedet yang dipelihara peternak mitra. Variabel ini perlu dilihat karena perbedaan umur sapi
diduga akan
mempengaruhi
pertumbuhan
sapi
yang
akan
mempengaruhi besarnya penerimaan peternak mitra. Pengelompokkan peternak mitra dilakukan dengan membagi peternak mitra menjadi tiga kelompok, yaitu 108
peternak mitra dengan jumlah sapi bakalan lebih sedikit dari jumlah sapi pedet, jumlah sapi bakalan sama dengan jumlah sapi pedet, dan jumlah sapi bakalan lebih banyak dari jumlah sapi pedet. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan perbandingan umur sapinya dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Sebaran Keberhasilan Peternak Mitra berdasarkan Perbandingan Umur Sapi Perbandingan sapi No bakalan dengan sapi pedet Jumlah bakalan lebih 1 sedikit 2 Jumlah bakalan sama Jumlah bakalan lebih 3 banyak Jumlah
Berhasil Persentase Jumlah (%)
Tidak berhasil Persentase Jumlah (%)
11
84,62
6
66,67
0
0,00
1
11,11
2
15,38
2
22,22
13
100,00
9
100,00
Berdasarkan Tabel 35, tidak terdapat perbedaan keberhasilan yang signifikan antara peternak mitra yang berhasil dan peternak mitra yang tidak berhasil. Hampir seluruh peternak mitra memelihara sapi pedet lebih banyak daripada sapi bakalan. Kesimpulannya tidak terdapat korelasi antara keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra dengan umur sapi yang dipelihara. Kesimpulan ini diperkuat dengan hasil analisis korelasi Spearman yang kurang dari nilai kritik tabel Spearman, yaitu negatif 0,190. Umur sapi peternak mitra tidak memiliki hubungan yang kuat dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi karena hampir seluruh peternak mitra memelihara sapi pedet lebih banyak daripada sapi bakalan. Kondisi ini dikarenakan jumlah rumput peternak mitra yang tersedia terbatas sehingga hanya mencukupi untuk sapi pedet. Peternak mitra yang memelihara sapi bakalan lebih banyak harus mampu menyediakan rumput dalam jumlah lebih banyak. Sapi bakalan yang tidak mendapatkan rumput dalam jumlah yang cukup akan membuat pertumbuhannya tidak optimal sehingga akan merugikan peternak mitra. Kondisi inilah yang menyebabkan sebgaian besar peternak mitra memilih memelihara sapi pedet daripada sapi bakalan.
109
7.2.12. Jumlah Kunjungan ke Perusahaan Kedekatan peternak mitra dengan perusahaan dalam penelitian ini diwakilkan dengan jumlah kunjungan peternak mitra ke perusahaan dalam 30 hari. Semakin sering seorang peternak mitra mengunjungi perusahaan maka semakin tinggi tingkat kedekatan peternak mitra tersebut dengan perusahaan. Kedekatan dengan perusahaan akan mempengaruhi informasi tentang teknis budidaya perusahaan, tentang informasi harga pakan dan harga daging, tentang hasil penjualan, dan tentang masuknya sapi baru. Jumlah kunjungan ke perusahaan juga dapat meningkatkan pemahaman terhadap teknis penggemukan sapi perusahaan dan memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pembinaan dari perusahaan. Pemahaman dan pembinaan ini akan mempengaruhi penerapan teknis penggemukan sapi perusahaan yang disesuaikan dengan kondisi usaha penggemukan sapi peternak mitra. Penerapan teknis penggemukan sapi secara tepat dapat memaksimalkan pertumbuhan dan hasil penjualan atau pemotongan sapi. Kesimpulannya, semakin dekat atau semakin sering peternak mitra mengunjungi perusahaan akan menjadikan peternak mitra tersebut semakin berhasil. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan jumlah kunjungan ke perusahaan dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Kunjungan ke Perusahaan No 1 2 3 4 5
Kunjungan ke perusahaan 0 kali 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali > 6 kali Jumlah
Jumlah 1 1 4 3 4 13
Berhasil Persentase (%) 7,69 7,69 30,77 23,08 30,77 100
Tidak berhasil Jumlah Persentase (%) 4 44,44 1 11,11 1 11,11 2 22,22 1 11,11 9 100
Berdasarkan Tabel 36, pola yang muncul adalah peningkatan jumlah peternak mitra berhasil dan penurunan jumlah peternak mitra berhasil seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan peternak mitra. Presentase terbesar peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang mengunjungi perusahaan 110
lebih dari enam kali. Presentase terbesar peternak mitra yang tidak berhasil adalah peternak mitra yang tidak mengunjungi perusahaan dalam waktu 30 hari. Berdasarkan pola tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin sering peternak mitra mengunjungi perusahaan semakin tinggi tingkat keberhasilannya. Kesimpulan tersebut didukung dengan hasil penghitungan nilai koefisien korelasi Spearman. Nilai koefisien korelasi Spearman hubungan antara kunjungan ke perusahaan dengan keberhasilan peternak mitra adalah 0,448. Nilai tersebut tergolong dalam korelasi yang signifikan dengan sifat hubungan positif. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang kuat antara jumlah kunjungan ke perusahaan dalam satu bulan dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 7.2.13. Penggunaan Pakan Penguat Penggunaan pakan penguat dapat meningkatkan pertumbuhan sapi sehingga penggunaan pakan penguat dapat meningkatkan keuntungan peternak mitra. Penggunaan pakan penguat juga menyebabkan peningkatan biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh peternak mitra sehingga akan mengurangi keuntungan yang didapatkan peternak mitra. Penggunaan pakan penguat akan berpengaruh secara positif dan negatif terhadap besarnya keuntungan dan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Oleh karena itu, peningkatan keuntungan karena meningkatnya pertumbuhan sapi harus lebih besar daripada peningkatan biaya agar peternak mitra mendapatkan keuntungan. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan penggunaan pakan penguat dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Penggunaan Pakan Penguat No
Keberhasilan peternak mitra
1 2
Berhasil Tidak berhasil Jumlah
Penggunaan pakan penguat Pakai Setengah Tidak pakai Jumlah % Jumlah % Jumlah % 4 50 3 100 6 54,55 4 50 0 0 5 45,45 8 100,00 3 100 11 100,00
Berdasarkan Tabel 37, jumlah peternak mitra yang menggunakan pakan penguat tersebar pada setiap kelompok keberhasilan. Perbedaan kelompok keberhasilan yang cukup signifikan terjadi pada peternak mitra yang 111
menggunakan pakan penguat setengah. Keberhasilan peternak mitra yang tidak menggunakan pakan penguat juga tidak berbeda signifikan, namun kelompok ini memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar daripada kelompok peternak mitra yang menggunakan pakan penguat secara penuh. Pola hubungan yang acak menjadikan hubungan antara penggunaan pakan penguat dengan keberhasilan peternak mitra lemah. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan hasil penghitungan nilai koefisien korelasi Spearman hubungan penggunaan pakan penguat dengan keberhasilan. Nilai
koefisien
korelasi
hubungan
penggunaan
pakan
penguat
dengan
keberhasilan adalah negatif 0,008 atau termasuk hubungan yang tidak signifikan dan bersifat negatif. Penghitungan nilai koefisien korelasi dilakukan dengan menganalogikan peternak mitra yang tidak menggunakan pakan penguat dengan angka satu, peternak mitra yang menggunakan pakan penguat setengah dengan angka dua, dan peternak mitra yang menggunakan pakan penguat dengan angka tiga. Peternak mitra yang menggunakan pakan penguat secara penuh setengahnya tidak berhasil karena penerapan penggunaan pakan penguat dalam teknis penggemukan yang tidak disesuaikan dengan kondisi usaha penggemukan sapi. Kesesuaian ini biasanya berkaitan dengan dukungan ketersediaan rumput, kualitas bakalan sapi, umur sapi, dan bobot sapi. Peternak mitra yang dapat menyediakan rumput dalam jumlah yang cukup tidak diharuskan menggunakan pakan penguat. Pemberian pakan penguat juga harus disesuaikan dengan kualitas bakalan sapi. Hal tersebut dikarenakan sapi yang kualitasnya kurang baik peningkatan pertumbuhan karena penggunaan pakan penguat tidak maksimal sehingga akan merugikan. Umur dan bobot sapi menentukan jumlah pakan penguat yang diberikan. Pemberian pakan penguat dalam jumlah yang tepat dan tidak
berlebihan
dapat
memaksimalkan
pertumbuhan
sapi
dan
dapat
mengefisienkan biaya penggunaan pakan penguat. 7.2.14. Kesesuaian Waktu Pemeliharaan Kesesuaian
waktu
pemeliharaan
akan
mengoptimalkan
potensi
pertumbuhan sapi hingga maksimal. Hal tersebut akan meningkatkan penerimaan peternak mitra karena sapi yang dihasilkan memiliki bobot yang maksimal. 112
Kesesuaian waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan biaya pemeliharaan sehingga dapat mengurangi keuntungan peternak mitra. Kesesuaian waktu pemeliharaan peternak mitra akan berpengaruh secara positif terhadap keberhasilan apabila tambahan penerimaan penjualan sapi lebih besar daripada tambahan biaya yang dikeluarkan peternak mitra karena bertambahnya waktu pemeliharaan. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan kesesuaian waktu pemeliharaannya dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Kesesuaian Waktu Pemeliharaan No 1 2
Keberhasilan peternak mitra Berhasil Tidak berhasil Jumlah
Jumlah 10 8 18
Kesesuaian waktu pemeliharaan Patuh Tidak patuh Presentase (%) Jumlah Presentase (%) 55,56 3 75,00 44,44 1 25,00 100,00 4 100,00
Berdasarkan Tabel 38, hampir seluruh peternak mitra yang tidak mematuhi waktu pemeliharaan berhasil. Sementara itu, peternak mitra yang mematuhi waktu pemeliharaan hanya setengahnya yang berhasil. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya hubungan yang negatif, dimana semakin mematuhi waktu pemeliharaan keberhasilan peternak mitra akan menurun. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil penghitungan niali koefisien korelasi Spearman. Berdasarkan nilai korelasi Spearman, hubungan kesesuaian dengan keberhasilan peternak mitra tidak signifikan dengan sifat hubungan negatif, yaitu negatif 0,153. Kondisi tersebut dikarenakan tambahan penerimaan yang diperoleh lebih kecil daripada tambahan biaya yang dikeluarkan karena penambahan waktu peeliharaan. 7.2.15. Kepemilikan Sapi Kepemilikan sapi memungkinkan kebebasan seorang peternak mitra dalam melakukan usaha pengemukan sapi. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dalam teknis budidaya, waktu pemeliharaan, dan waktu penjualan. Kebebasan tersebut menjadikan peternak mitra memiliki peluang untuk memaksimalkan keuntungan dengan manajemen usaha yang sesuai dengan keinginan peternak mitra. Peternak mitra yang memiliki sapi sendiri juga akan mendapatkan keutungan lebih besar dibandingkan peternak mitra yang tidak memiliki sapi. 113
Kondisi tersebut dikarenakan keuntungan yang didapatkan tidak dibagi dengan perusahaan. Kesimpulannya kepemilikan sapi akan berpengaruh positif terhadap keuntungan dan nilai rasio RC sehingga dapat meningkatkan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan kepemilikan sapi dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Kepemilikan Sapi No 1 2
Keberhasilan peternak mitra Berhasil Tidak berhasil Jumlah
Jumlah 5 0 5
Kepemilikan sapi sendiri Punya Tidak punya Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 100,00 8 47,06 0,00 9 52,94 100,00 17 100,00
Berdasarkan Tabel 38, terdapat perbedaan keberhasilan yang signifikan pada peternak mitra yang memiliki sapi sendiri. Seluruh peternak mitra yang memiliki sapi, usaha penggemukan sapinya berhasil. Jumlah peternak mitra berhasil yang tidak memiliki sapi sendiri hampir sama dengan jumlah peternak mitra yang tidak berhasil. Berdasarkan analisis tabel dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kepemilikan sapi dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. Peternak mitra yang memiliki sapi selain sapi perusahaan akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Berdasarkan penghitungan nilai koefisien korelasi Spearman, hubungan antara kepemilikan sapi dengan keberhasilan peternak mitra merupakan hubungan yang signifikan dan bersifat positif. Nilai koefisien korelasi yang didapatkan adalah 0,451 atau lebih besar dari nilai tabel Spearman. Penghitungan dilakukan dengan menganalogikan peternak mitra yang memiliki sapi dengan angka 2 dan peternak mitra yang tidak memiliki sapi dengan angka satu. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa kepemilikan sapi akan meningkatkan tingkat keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 7.2.16. Jenis Bangunan Kandang Bangunan kandang peternak mitra mempengaruhi besarnya biaya tetap yang dikeluarkan peternak mitra. Peternak mitra yang menggunakan kandang permanen akan memiliki biaya kandang yang lebih kecil karena tidak perlu 114
mengeluarkan biaya perawatan kandang. Bangunan kandang peternak mitra juga mempengaruhi kemampuan kandang dalam memaksimalkan pertumbuhan sapi. Kandang permanen dapat digunakan untuk memelihara sapi hingga ukuran maksimal, sementara kandang semi permanen tidak dapat digunakan untuk memelihara sapi hingga maksimal. Hal ini dikarenakan kandang semi permanen tidak kuat untuk menahan sapi dengan ukurannya yang sangat besar. Pertambahan keuntungan karena pertambahan waktu pemeliharaan juga akan menyebabkan pertambahan biaya pemeliharaan. Agar dapat meningkatkan keuntungan, pertambahan keuntungan harus lebih besar daripada pertambahan biaya yang dikeluarkan. Sebaran keberhasilan peternak mitra berdasarkan jenis bangunan kandang dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Sebaran Keberhasilan berdasarkan Bangunan Kandang No 1 2
Keberhasilan peternak mitra Berhasil Tidak berhasil Jumlah
Kandang Jumlah 8 5 13
Permanen Persentase (%) 61,54 38,46 100,00
Semi permanen Jumlah Persentase (%) 5 55,56 4 44,44 9 100,00
Berdasarkan Tabel 40, jumlah peternak mitra yang berhasil lebih besar pada setiap pengelompokan peternak mitra berdasarkan bangunan kandang. Hal tersebut menjadikan tidak terdapat perbedaan keberhasilan yang signifikan berdasarkan jenis bangunan kandang peternak mitra. Berdasarkan nilai koefisien korelasi Spearman, hubungan antara jenis bangunan kandang dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra tidak signifikan dengan sifat hubungan positif. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,06 didapatkan dengan menganalogikan kandang permanen dengan angka dua dan semi permanen dengan angka satu. 7.3.
Karakteristik Umum Peternak Mitra yang Berhasil Berdasarkan analisis deskriptif dan nilai koefisien korelasi Spearman yang
didapatkan, hubungan karakteristik dengan keberhasilan dapat diurutkan dari yang paling berhubungan hingga paling tidak berhubungan. Pengurutan ini dapat digunakan perusahaan untuk meramalkan keberhasilan peternak mitra dan mengenali karakteristik umum peternak mitra yang berhasil. Urutan hubungan 115
karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Urutan Korelasi Karakteristik Peternak Mitra dengan Keberhasilan No
Karakteristik peternak mitra
1 2
Kepemilikan sapi Jumlah kunjungan ke perusahaan Pekerjaan utama Motivasi Pengalaman berternak Lama bermitra Penanaman rumput Tenaga kerja luar keluarga Jumlah sapi yang dipelihara Kesesuaian masa pemeliharaan Jumlah tenaga kerja keluarga Jumlah tanaman rumput Lama pendidikan formal Usia peternak mitra Jenis kandang Jumlah anggota keluarga Domisili Penggunaan pakan penguat Latar belakang bermitra
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nilai Sifat korelasi hubungan 0,451 positif 0,448 positif 0,447 0,392 0,355 0,341 0,327 0,262 0,181 0,153 0,135 0,119 0,111 0,089 0,060 0,059 0,038 0,008 0
positif positif positif positif positif negatif positif negatif positif positif negatif positif positif positif negatif negatif positif
Signifikansi Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak berkorelasi
Berdasarkan Tabel 41, karakteristik paling berhubungan dengan keberhasilan adalah kepemilikan sapi sendiri, sementara yang paling tidak berhubungan adalah latar belakang bermitra. Nilai koefisien korelasi Spearman hubungan karakteristik peternak mitra yang lebih dari 0,200 dipilih untuk merumuskan karakteristik umum peternak mitra yang berhasil (Nugroho, 2005). Berdasarkan analisis hubungan karakteristik peternak mitra dengan keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra, karakteristik umum peternak mitra yang berhasil adalah: 1) Memiliki sapi selain sapi dari perusahaan, minimal telah memiliki sebanyak satu ekor. Kepemilikan sapi dapat meningkatkan penerimaan usaha penggemukan sapi peternak mitra karena keuntungan penjualan atau 116
pemotongan diterima penuh oleh peternak mitra. Kepemilikan sapi juga akan meningkatkan kinerja peternak mitra sehingga akan berdampak positif terhadap usaha penggemukan sapi. Sistem kemitraan dapat membantu memperbesar usaha penggemukan sapi peternak mitra yang kekurangan modal dan mendukung peternak mitra menjadi mandiri. 2) Memiliki kedekatan dengan perusahaan dimana di dalam penelitian ini dinilai dengan jumlah kunjungan ke perusahaan. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang mengunjungi perusahaan lima kali atau lebih dalam satu bulan. Peternak mitra yang sering mengunjungi perusahaan akan lebih cepat mendapatkan informasi tentang harga sapi, harga daging, pembelian sapi perusahaan, pemahaman terhadap teknis penggemukan perusahaan, dan mendapat kesempatan mendapatkan pembinaan lebih banyak dari perusahaan. 3) Bekerja pada usaha penggemukan sapi atau pekerjaan yang memiliki kedekatan dengan bidang usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang pekerjaan utamanya usaha penggemukan sapi, buruh ternak di perusahaan penggemukan sapi, dan karyawan perusahaan penggemukan sapi. Kedekatan pekerjaan utama dengan usaha penggemukan sapi akan meningkatkan kinerja dan pemahaman dalam teknis penggemukan sapi atau manajemen usaha penggemukan sapi. 4) Memiliki motivasi menjadi peternak sapi yang mandiri. Penentuan motivasi peternak mitra dilakukan dengan mewawancarai peternak mitra serta pihak UD Rahmat Alam dan melakukan penilaian terhadap kondisi usaha penggemukan sapi. Penilaian yang dilakukan adalah dengan melihat kinerja peternak mitra dan kondisi kandang peternak mitra. 5) Memiliki pengalaman berternak sapi yang cukup lama. Peternak mitra yang berhasil
merupakan
peternak
mitra
yang
telah
melakukan
usaha
penggemukan sapi selama enam tahun atau lebih. Pengalaman berternak akan mempengaruhi kemampuan serta pemahaman tentang teknis penggemukan sapi dan manajemen usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang berpengalaman akan memiliki kemampuan dan pemahaman yang lebih baiktentang teknis dan manajemen penggemukan sapi dibandingkan peternak mitra yang kurang berpengalaman. 117
6) Telah tergabung dengan kemitraan dalam jangka waktu yang cukup lama. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang telah bermitra dengan perusahaan penggemukan sapi selama enam tahun atau lebih. Lama bermitra akan menentukan pemahaman tentang sistem kemitraan, teknis penggemukan sapi perusahaan, dan manajemen usaha penggemukan sapi. Peternak mitra yang bermitra lebih lama akan memiliki pemahaman yang lebih baik dibandingkan peternak mitra yang jangka waktu bermitranya lebih sebentar. 7) Menanam rumput gajah sebagai sumber pakan hijauan sapi. Peternak mitra yang berhasil menanam rumput gajah sejumlah 2.000 tanaman per ekor sapi atau lahan rumput gajah seluas 1.000 meter persegi. Penanaman rumput gajah akan mengurangi pengeluaran tenaga kerja peternak mitra terutama biaya tenaga kerja untuk penyediaan rumput. Penanaman rumput gajah juga dapat memenuhi kebutuhan pakan hijauan sapi sehingga peternak mitra tidak diharuskan untuk menggunakan pakan penguat secara penuh. Hal tersebut akan mengurangi pengeluaran untuk pembelian pakan penguat sehingga keuntungan yang didapatkan akan lebih besar. 8) Memiliki jumlah tenaga kerja keluarga yang cukup sehingga peternak mitra tidak perlu menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Peternak mitra yang berhasil adalah peternak mitra yang memiliki tenaga kerja keluarga tiga orang atau lebih. Penggunaan tenaga kerja keluarga akan menghemat pengeluaran tenaga kerja karena peternak mitra yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga harus menyisihkan 25 persen dari keuntungannya untuk membayar tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja keluarga juga akan memberikan keuntungan secara tunai yang lebih besar karena tenaga kerja keluarga termasuk komponen biaya tidak tunai.
118
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1.
Kesimpulan Jumlah sapi perusahaan yang dipelihara oleh peternak mitra pada bulan
Mei 2009 adalah 89 ekor yang dipelihara oleh 60 peternak mitra. Pola kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam tergolong sebagai pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Latar belakang perusahaan menerapkan kemitraan adalah karena keterbatasan lahan dan jumlah kandang, sementara peternak mitra karena keterbatasan modal untuk membeli sapi. Tujuan perusahaan menerapkan kemitraan adalah untuk memenuhi permintaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sementara peternak mitra bertujuan untuk mendapatkan tambahan penerimaan dan perantara menjadi peternak mandiri. Ketentuan umum sistem kemitraan sapi potong UD Rahmat Alam adalah perusahaan berperan menyediakan sapi bakalan, menanggung kegiatan transportasi, menanggung risiko kematian sapi, memberikan nota pemotongan sapi, dan mendapatkan 40 atau 45 persen keuntungan. Peternak mitra berperan menyediakan kandang, menyediakan rumput dan sarana pemeliharaan, mendapatkan keuntungan penjualan sebesar 60 atau 55 persen, dan mendapatkan nota penjualan atau pemotongan sapi. Peternak mitra yang berhasil berdasarkan indikator rasio pendapatan dan biaya total atau rasio RC total berjumlah 13 orang dari 22 responden peternak mitra atau sekitar 59 persen. Karakteristik peternak mitra yang berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha penggemukan sapi peternak mitra adalah kepemilikan sapi, jumlah kunjungan ke perusahaan, pekerjaan utama, dan motivasi berternak. Semua
karakteristik
tersebut
berhubungan
positif
dengan
keberhasilan.
Karakteristik umum peternak mitra yang berhasil berdasarkan indikator rasio RC total adalah memiliki minimal satu sapi selain sapi dari perusahaan; dekat dengan perusahaan mitra yaitu dengan mengunjungi perusahaan mitra minimal lima kali dalam satu bulan; bekerja pada bidang usaha penggemukan sapi, buruh ternak, atau karyawan perusahaan; memiliki motivasi menjadi peternak mandiri; memiliki pengalaman berternak sapi selama enam tahun atau lebih; telah bergabung dengan
119
kemitraan selama enam tahun atau lebih; menanam rumput gajah sebagai sumber pakan hijauan sapi, dan jumlah tenaga kerja keluarga minimal tiga orang. 8.2.
Saran
1) Perusahaan sebaiknya lebih mengenali karakteristik peternak mitra terutama karakteristik yang mempengaruhi keberhasilan peternak mitra. Pengenalan ini dilakukan melalui wawancara dan identifikasi kondisi peternak mitra pada saat pihak perusahaan melakukan peninjauan usaha penggemukan sapi peternak mitra. 2) Perusahaan sebaiknya meningkatkan pembianaan kepada peternak mitra, yaitu melalui pembinaan yang lebih intensif pada saat melakukan peninjauan. Peternak mitra juga harus aktif untuk mendapatkan pembinaan, yaitu melalui kunjungan ke perusahaan, mengamati aktifitas usaha penggemukan sapi perusahaan, dan diskusi dengan pihak perusahaan. 3) Peternak mitra sebaiknya menyesuaikan kondisi usaha penggemukan sapinya dengan teknis budidaya yang dilakukan agar dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. 4) Peternak mitra sebaiknya tidak menggunakan jumlah tanaman dan luas lahan yang berlebihan agar lahan yang digunakan lebih efisien, yaitu 2.000 tanaman atau 1.000 meter per ekor sapi. 5) Peternak mitra sebaiknya tidak menggunakan pakan penguat dalam teknis budidayanya terutama untuk sapi milik perusaaan. Kondisi ini disebabkan tambahan penerimaan dari penggunaan pakan penguat lebih kecil daripada tambahan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan pakan penguat. 6) Ketentuan dan perjanjian dalam kemitraan sebaiknya dituangkan secara tertulis agar hubungan bisnis perusahaan dan peternak mitra lebih mengikat, bersifat profesional, dan sejalan dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin maju. Akan tetapi, penerapan hal tersebut harus secara bertahap dan tidak menghapuskan sistem kepercayaan yang telah terjalin antara perusahaan dengan peternak mitra. 7) Pemerintah Kecamatan Wanayasa dan tokoh masyarakat Kecamatan Wanayasa sebaiknya mempelajari sistem kemitraan perusahaan-perusahaan 120
penggemukan sapi di Kecamatan Wanayasa sebelum pelaksanaan program pengembangan peternakan sapi potong melalui sistem kemitraan. 8) Penelitian lain yang dapat dilakukan dengan menggunakan dasar penelitian ini antara lain menguji penelitian ini dengan jumlah responden yang lebih banyak, penelitian analisis faktor dengan alat analisis yang berbeda seperti dengan menggunakan analisis regresi, penelitian tentang manfaat kemitraan bagi perusahaan dan bagi peternak mitra, penelitian tentang efisiensi usaha penggemukan sapi, dan penelitian tentang strategi pengembangan kemitraan perusahaan.
121
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta. Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2008. Provinsi Jawa Tengah dalam Angka 2007. Semarang. BPS Jawa Tengah. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. 2007. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka 2007. Banjarnegara. BPS Kabupaten Banjarnegara. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. 2007. Kabupaten Wanayasa dalam Angka 2007. Banjarnegara. BPS Kabupaten Banjarnegara. Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Depok : AgroMedia Pustaka. Adiwilaga, A. 1974. Ilmu Usahatani. Bandung : Penerbit Alumni. Anonimous. 2008. Bisnis Ternak Sapi Potong Tetap Menguntungkan. http://www.kitakoid724.com. [11 Februari 2009]. Aryani, L. 2008. Analisis Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Kacang Tanah (Kasus Kemitraan PT. Garuda Food dengan Petani Mitra di Desa Palagan, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur) [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dekayanti. 2008. Analisis Potensi Pengembangan Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kota Tangerang [skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ellis,F .1988. Peasant Ekonomics. Cambridge: Cambridge University Press. Fauziyah, O. 2007. Propek Pengembangan Usaha Pternakan Sapi Potong di Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara [skripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Firwiyanto, M. 2008. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kepuasan Peternak terhadap Pelaksanaan Kemitraan Ayam Broiler [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga. Hafsah, MJ. 2000. Kemitraan Usaha : Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Pusaka Sinar Harapan.
122
Hendayana, R. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Pengembangan Usaha Ternak Ruminansia di Maluku Utara (Studi Kasus Usaha Ternak di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur). [jurnal]. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Iftaudin. 2005. Kajian Kemitraan dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Penggunaan Input [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Lains, A. 2003. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi. Jilid I. Jakarta : LP3ES. Priyono BS, Nufus N, Dessy K. 2004. Performa Pelaksanaan Kemitraan PT. Primatama Karya Persada dengan Peternak Ayam Ras Pedaging di Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6 (2): 111-115. Purwoko A, Sumantri B. 2007. Faktor-Faktor Penentu Tingkat Adopsi Teknologi Pemeliharaan Sapi di PT. Agricinal Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Edisi Khusus (1) : 78-85. Putro, FS. 2008. Kajian Kemitraan Peternak Sukabumi dengan Perusahaan Kampung Ternak terhadap Pendapatan Peternak [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rohaeni ES, Amali N. 2005. Profil Usaha dan Kontribusi Ternak Sapi dalam Sistem Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Kering (Studi Kasus di Desa Sumber Mulia Kecamatan Pelaihari Tanah Laut). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 9 (2) (Juli): 129-139. Rohaeni ES. 2006. Pengkajian Integrasi Usahatani Jagung dan Ternak Sapi Di Lahan Kering Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 9 (2) (Juli): 129-139. Santosa, U. 1997. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta : Penebar Swadaya. Saptana. 2005. Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha di Sentra-Sentra Produksi Sayuran (Suatu Kajian Atas Kasus Kelembagaan Kemitraan Usaha di Bali, Sumatra Utara, dan Jawa Barat) .[jurnal]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Saptana. 2006. Keunggulan Komparatif-Kompetitif dan Strategi Kemitraan. [jurnal]. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian RI. Sartono, B. 2007. Menduga dan Menguji Koefisien Regresi Logistik Biner Menggunakan Solver di MS Excel. [artikel]. Soekartawi. 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: UI-Press. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press. 123
Suciaty, T. 2004. Efisiensi Faktor-Faktor Produksi dalam Usahatani Bawang Merah. [skripsi]. Cirebon. Fakultas Pertanian, Unswagati. Sukiyono, K. 2005. Faktor Penentu Tingkat Efisiensi Teknik Usahatani Cabai Merah di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 23 (2) Oktober: 176-190. Suliyanto. 2005. Analisis Data dalam Aplikasi Pemasaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Supriyatna Y, Wahyuni S, Rusastra, IW. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging : Studi Kasus di Provinsi Bali.Seminar Nasional Teknologi Pertanian dan Verteiner. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Walpole, RE. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
124
Lampiran 1. Kuesioner Perusahaan 1.
Profil Perusahaan
1) Nama perusahaan 2) Tahun berdiri 3) Nama pemilik/pendiri perusahaan 4) Skala usaha perusahaan 5) Deskripsi jenis usaha perusahaan 6) Produk perusahaan (mencakup jenis sapi) 7) Daerah pemasaran perusahaan 8) Sejarah perusahaan (dari awal berdiri hingga sekarang, terutama peristiwaperistiwa penting yang berpengaruh terhadap perusahaan) 9) Profil industri yang dihadapi oleh perusahaan 10) Sejarah dan perkembangan industri yang dihadapi perusahaan 11) Strategi perusahaan untuk bertahan di industri sapi potong 2.
Sistem Kemitraan Perusahaan
1) Jumlah peternak mitra No Domisili peternak mitra
Jumlah peternak
Jumlah sapi
Jumlah 2) Komposisi sapi perusahaan (per 31 Desember 2008) No
Jenis sapi
Yang dipelihara sendiri
Yang dipelihara peternak mitra
Jumlah
Jumlah 3) Tahun perusahaan menerapkan sistem kemitraan 4) Latar belakang perusahaan menerapkan sistem kemitraan 125
5) Sejarah dan perkembangan sistem kemitraan perusahaan 6) Sistem kemitraan perusahaan a.
Hak dan kewajiban Hak Perusahaan
b.
Peternak mitra
Kewajiban Perusahaan Peternak mitra
Syarat-syarat peternak mitra • Lahan rumput • Kandang
c.
Ketentuan-ketentuan kemitraan • Pemilihan sapi yang akan dimitrakan • Ketentuan penyerahan sapi • Target perusahaan (lama pemeliharaan dan bobot sapi akhir) • Ketentuan pemeliharaan peternak mitra Kandang Pakan Pelayanan kesehatan sapi dan obat Kebersihan Ketentuan-ketentuan lain • Ketentuan dalam penjualan/pemotongan sapi • Ketentuan penghitungan dan pembagian keuntungan/kerugian • Sanksi pelanggaran peraturan kemitraan
3.
Data Sapi Masuk dan Penjualan Sapi Peternak Mitra (Microsoft Exel) Jenis
Harga beli
Tanggal pembelian
Harga jual
Tanggal penjualan
126
Lampiran 2. Kuesioner Peternak Mitra (tanggal wawancara: I.
)
Identitas Peternak Mitra
1. Nama
:
2. Alamat lengkap
:
3. Pekerjaan utama
:
4. Pendapatan pekerjaan utama
:
5. Pendidikan formal terakhir
:
6. Lama beternak sapi
:
7. Tahun ikut kemitraan
:
II.
Keadaan Keluarga Peternak Mitra (Halaman Belakang)
III.
Usaha Ternak Sapi Potong Peternak Mitra (Januari 2007 – Desember 2008)
1. Sapi di bulan Januari 2007 Jenis
Umur
Bobot
Milik
Maro
Harga beli
Lama pemeliharaan
Milik
Maro
Harga beli
Lama pemeliharaan
2. Sapi di bulan Desember 2008 Jenis
Umur
Bobot
127
3. Ternak masuk Tanggal masuk
Jenis
Umur
Bobot
Milik
Maro
Harga beli
Umur
Bobot
Milik
Maro
Harga jual
Nilai total
Tanggal pembelian
4. Penjualan ternak Tanggal keluar
Jenis
5. Perkiraan jumlah kotoran ternak dalam satu tahun
:
6. Presentase sumber pakan hijauan (tanam : cari)
:
7. Luas lahan penanaman pakan hijauan
:
8. Lama bekerja •
Mencari rumput
:
•
Membersihkan kandang dan memberi makan
:
9. Pengeluaran/Pembelian •
Konsentrat (jumlah/harga)
:
•
Dedak (jumlah/harga)
:
•
Singkong (jumlah/harga)
:
•
Obat-obatan
:
10. Peralatan Historis Pembelian Peralatan No
Jenis
Jumlah
Harga satuan
128
Kondisi peralatan Jenis
Jumlah (Januari 2007)
Nilai (Januari 2007)
Pembelian Jumlah Harga Tanggal satuan beli
Jumlah Nilai (Desember (Desember 2008) 2008)
11. Kandang •
Nilai awal tahun
:
•
Nilai perbaikan dan pembangunan
:
•
Nilai akhir tahun
:
•
Umur kandang
:
•
Luas kandang
:
•
Luas lahan kandang
:
•
Kapasitas
:
•
Biaya pembangunan
:
•
Biaya perbaikan
:
•
Nilai kandang
:
12. Lahan rumput gajah (luas dan jumlah tanaman) :
129
Profil Keluarga (Point II) No
Anggota keluarga
Jenis kelamin
Usia
Pendidikan terakhir
Pekerjaan Jenis Pendapatan
Status dalam keluarga
Status tanggungan
Keterlibatan dalam usaha ternak
HOK Tenaga Kerja Keluarga No
Aktivitas pemeliharaan
Jumlah jam
Jumlah hari
Total jam aktivitas pemeliharaan
HOK
Upah HOK
9
Lampiran 3. Analisis Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Peternak Mitra Nama Peternak Mitra Uraian Penerimaan Penjualan sapi Sisa sapi Nilai kotoran Total penerimaan
Biaya variabel Tenaga Kerja Pembelian sapi 2005 Pembelian sapi 2006-2008 Pengambilan rumput Penanaman rumput Pemberian pakan dan kebersihan Pakan Katul dan dedak jagung Singkong Starbio dan mineral Obat-obatan Pupuk Rumput Total biaya variabel
Biaya tetap
Tunai
Tidak tunai
InvenTotal tarisasi
Biaya peralatan Nilai penyusutan peralatan Penyusutan kandang dalam Penyusutan kandang luar Perbaikan kandang Sewa lahan kandang Sewa lahan rumput Pajak tanah dan sumbangan Listrik Total biaya tetap
Total biaya Pendapatan R/C
Lampiran 4. Peta Kecamatan Wanayasa
17
Lampiran 5. Dokumentasi 18
Kandang utama UD Rahmat Alam
Tempat pakan rumput UD Rahmat Alam
Kandang sapi pedet dan bakalan UD Rahmat Alam
Bagian dalam kandang permanen peternak mitra
Bagian luar kandang permanen peternak mitra
Bagian dalam kandang semi permanen peternak mitra
Tempat penampungan kotoran kandang semi permanen
Tempat penampungan kotoran kandang permanen
19
Gambar beberapa orang peternak mitra UD Rahmat Alam
Sapi Simmental
Sapi Fries Holstein
Sapi Aberdeen Angus 20