HUBUNGAN DAN MASALAH KEAGENAN DI PEMERINTAH DAERAH: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi1 Oleh: Abdul Halim*) dan Syukriy Abdullah**) Abstraksi Diakui atau tidak di Pemerintahan Daerah terdapat hubungan dan masalah keagenan, khususnya hubungan eksekutif dan legislatif yang pada gilirannya dengan teori keagenan. Teori keagenan merupakan salah satu dasar dalam ilmu anggaran dan akuntansi. Analisis hubungan dan masalah keagenan di Pemerintahan Daerah tidak pelak lagi merupakan sebuah peluang penelitian masalah anggaran dan akuntansi. Ide-ide penelitian di bidang ini dapat mencakup dari keakurasian anggaran hingga pada analisis angkaangka laporan keuangan Pemerintah Daerah. Kata Kunci: Keagenan, Eksekutif, Legislatif, Anggaran Daerah. A. Pendahuluan Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomer 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 2001, peluang penelitian dengan menggunakan perspektif keagenan (agency theory) terbuka lebar. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Berdasarkan UU 22/1999 legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut prinsipal) dan yang menerima kewenangan (disebut agen). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai agen). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan.
1
Sumber: Jurnal Akuntansi Pemerintahan Volume 2, Nomor 1, Hal.: 53-64, 2006.
Hubungan eksekutif-legislatif seperti disebutkan di atas menjadi lebih menarik untuk diteliti dengan diamandemennya UU 22/1999 menjadi UU Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU terbaru tersebut terjadi perubahan posisi “luasnya kekuasaan” atau kesejajaran antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen. Tulisan ini menganalisis pengaplikasian teori keagenan, yang menjadi mainstream dalam ilmu ekonomi (termasuk ilmu akuntansi) dan ilmu politik, di pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah di Indonesia. Pada bagian akhir diberikan rekomendasi untuk penelitian empiris dan regulasi untuk mengurangi kecenderungan perilaku moral hazard agen, baik eksekutif maupun legislatif. B. Pengertian Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan prinsipal-agen sangat universal. Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak. Menurut Lane (2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection. Petrie (2002) mendefinisikan moral hazard dan adverse selection sebagai berikut: Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is entered into, to shirk or otherwise not fully seek to promote the principal’s interests. Adverse selection refers to the inability of a principal to determine, before the contract is entered into, which among several possible agents is most likely to promote the principal’s interests; and, given this imperfect information, the tendency for candidates with less than average motivation or qualifications to apply.
Selanjutnya Gilardi (2001) menyatakan, bahwa: Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden information) occurs whenever the principal cannot be sure that he is selecting the agent that has the most appropriate skills or preferences and moral hazard (or ex-post opportunism, or hidden action) occurs whenever the agent’s actions cannot be perfectly monitored by the principal. Sementara itu menurut Lane (2003b): Adverse selection meaning opportunism before the making of the contract between principal and agent, moral hazard meaning opportunism after the making of the contract between principal and agent Menurut Carr & Brower (2000), model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak: (1) behavior-based, yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yakni adanya insentif untuk memotivasi agen untuk mencapai kepentingan prinsipal. Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents behave opportunistically toward principals. Oportunisme bermakna bahwa ketika terjalin kerjasama antara prinsipal dan agen, kerugian prinsipal karena agen mengutamakan kepentingannya (agent self-interest) kemungkinan besar akan terjadi. Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Lebih jauh, Christensen (1992) menyatakan teori prinsipal-agen dapat menjadi alat analitis untuk penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik. Sejalan dengan pendapat Christensen (1992), Smith & Bertozzi (1998) berpandangan bahwa “Because implicit and explicit contractual relationship pervade the entire budget making process, principal-agent theory can make a major contribution toward developing more inclusive and accurate models of most stages of public budgeting… The application of principalagent models by practitioners offers a more powerful analytic tool for both preparing and implementing public budget.” Menurut Moe (1984), di pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan-kesepakatan principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislaturpemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabatpemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000), yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di parlemen, dari parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah sebagai satu kesatuan kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada birokrasi. Hubungan tersebut tidaklah selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa hubungan pendelegasian, seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001):
“Principal-agent models are sometimes constructed for situations where the P-A relationship is not established within a given hierarchy, but where A may be a head of one and P represents another that in some sense has a superior role. For example, a parliament is often considered as the principal of the public bureaucracy, and the voters the principal of the parliament, and so on.” Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certainly problematic and entails danger (Lupia & McCubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya terdapat empat ciri pendelegasian (Lupia & McCubbins, 2000), yakni: (1) adanya prinsipal dan agen, (2) kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya asimetri informasi, dan (4) prinsipal kemungkinan dapat mengurangi masalah keagenan. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agents dan untuk menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002). Asumsi-asumsi keperilakuan (beha-vioural assumptions) dalam teori public choice menyatakan bahwa politisi terutama berkepentingan dengan memaksimalkan prospek untuk dipilih kembali dan birokrat terutama berkepentingan dengan memaksimalkan kenikmatan (enjoyment), yang berasal dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja (misalnya prestise dan pengaruh) (Von Hagen, 2002). C. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Moe, 1984). Seperti dikemukakan sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat diartikan sebagai fenomena yang disebut agency problems. Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen, yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.
Hubungan keagenan eksekutif-legislatif juga dikemukakan oleh Andvig et al. (2001) dan Lupia & McCubbins (2000). Sebagai Prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral hazard atau dalam merealisasikan self-interest-nya (Elgie & Jones, 2001) seperti berlaku korup (corrupt principals) (Andvig et al., 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power di salah satu pihak akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, seperti terjadinya perilaku rent-seeking dan korupsi. Dalam konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998). Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agencynya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sementara Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi selfinterestnya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang pergunakan untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif. D. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Lane, 2000:13; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: citizens are principals who elect representatives to serve as their agents in parliament, sementara Andvig et al. (2001) menyatakan the voters are the principal of the parliament. Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipalagen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik, seperti dinyatakan oleh Groehendijk (1997) berikut ini: Without doubt, the relationship between voters and politicians in a representative democracy can be considered to be a principal-agent relationship. Voters want politicians to look after their interests, and in exchange provide these politicians with their votes and thus with positions. Of course, politicians have their own interests, which may diverge from the voters’ interests. Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan legislatif-publik. Mereka menyebutnya abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi di mana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak perduli atau tidak berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih. Di sisi lain, legislatur dicirikan sebagai pihak yang tidak memiliki waktu, inklinasi (inclination), dan pengetahuan untuk
mengetahui seluruh kebutuhan publik. Stereotypes inilah yang menyebabkan terjadinya abdikasi, yakni keterwakilan yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemilih (prinsipal) atau pihak yang diwakili. Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah. Menurut Von Hagen (2003), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforeseen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilih (voters) dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996). E. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari teori keagenan adalah: 1. UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang di antaranya mengatur bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang dipilih dan diberhentikan oleh legislatif (UU 22/1999) atau diusulkan untuk diberhentikan (UU32/2004) merupakan bentuk pengimplementasian prinsip-prinsip hubungan keagenan di pemerintahan. Eksekutif akan membuat pertanggungjawaban kepada legislatif pada setiap tahun atas anggaran yang dilaksanakannya dan setiap lima tahun ketika masa jabatan kepala daerah berakhir. 2. PP 109/2000 menjelaskan tentang penghasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3. PP 110/2000, PP 24/2004, dan PP 37/2005 mengatur mengenai kedudukan keuangan anggota legislatif. 4. UU 17/2003, UU 1/2004, dan UU 15/2004 merupakan aturan yang secara tegas mengatur bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan pemeriksaan keuangan publik (negara dan daerah) dilaksanakan oleh pemerintah. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan
anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. F. Masalah Keagenan di Eksekutif Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Proses penyusunan anggaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersamasama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program , dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disamapaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda). Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini di antaranya adalah:
Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas. Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan. Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.
G. Masalah Keagenan di Legislatif Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. Sebagai agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan pengahasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung di daerah merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami kecenderungan ini. H. Simpulan Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus). Hal ini jelas sebuah peluang penelitian di bidang anggaran dan akuntansi. I. Rekomendasi untuk Penelitian Empiris Kenyataan bahwa teori keagenan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran daerah membuka peluang luas untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Studi empiris diperlukan untuk mengungkap lebih jauh berbagai persoalan terkait dengan efektifitas anggaran sebagai alat pengawasan dan penilaian
kinerja pelayanan publik pemerintah daerah. Beberapa ide penelitian yang doable diuraikan berikut ini. 1. Penelitian tentang keakurasian estimasi anggaran anggaran. Halim (2002) menemukan bahwa terdapat perbedaan optimisme dalam penentuan angka-angka di anggaran antara daerah kaya dan miskin. Artinya, varians antara anggaran dan realisasi dalam perhitungan APBD berbeda antara daerah di pulau Jawa dan Bali dengan daerah lain di luar Jawa dan Bali. Untuk itu, perlu dilakukan studi lanjutan untuk melihat faktor-faktor penyebab perbedaan ini. Misalnya: kaitannya dengan kualitas pemeriksaan, internal control, kelengkapan dan keakurasian data di daerah, pengukuran kinerja, perbedaannya dengan kondisi setelah anggaran berbasis kinerja diterapkan (penelitian Halim, 2002 menggunakan data APBD dengan pendekatan berimbang dan dinamis). 2. Faktor karakteristik anggota legislatif. Pengetahuan atas fungsi dan peraturan perundangundangan, pengalaman sebagai anggota legislatif, nilai-nilai (values) yang dianut oleh anggota legislatif, partai politik asal, dan janji pada saat kampanye merupakan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dalam mengkaji lebih jauh determinan yang mempengaruhi outcome dari peran legislatif dalam penyusunan APBD. 3. Keterkaitan antara AKU/SP dengan pengalokasian anggaran. APBD merupakan kumpulan dari berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam satuan uang. Perbedaan kepentingan menimbulkan konflik yang sangat kompleks. AKU/SP kemungkinan tidak bermanfaat banyak ketika sebagian besar penentuan alokasi kegiatan (proyek) diatur berdasarkan kepentingan politik. Wildavsky (1991) dan Rubin (1993) menjelaskan bagaimana kepentingan politik sangat menentukan dalam pembuatan keputusan pengalokasian. 4. Analisis atas alokasi berdasarkan sektor. Karakteristik daerah (misalnya jumlah dan komposisi jenis kelamin penduduk, PDRB dan pertumbuhan ekonomi, agraris/perdagangan dan jasa, kapasistas fiskal, kualitas pendidikan dan kesehatan, ketersediaan infrastruktur) dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi pengalokasian anggaran. Kondisi ril di daerah sangat menentukan bagaimana pola pengalokasian anggaran sehingga suatu daerah tidak dapat meniru sepenuhnya kebijakan dan alokasi anggaran daerah lain. 5. Perilaku oportunistik di satuan kerja (agency). APBD sebagai kumpulan dari anggaran banyak satuan kerja (dinas, badan, kantor, sekretariat) sangat tergantung pada kebutuhan di setiap satuan kerja. Suatu satuan kerja bisa saja mengusulkan anggaran yang tidak wajar (seperti dinaikkan atau mark-up), tidak penting (tidak sesuai dengan prioritas), dan pengulangan dari anggaran tahun sebelumnya. 6. Analisis atas hubungan dan pengaruh di antara angka-angka dalam Laporan Keuangan Pemerintah daerah yang mencakup Laporan Realisasi APBD, Neraca daerah, Laporan Arus Kas. Misalnya, belanja modal merupakan belanja yang menghasilkan aset tetap sehingga memiliki konsekuensi adanya biaya pemeliharaan atas aset tersebut pada masa yang akan datang. Selain itu, ada pemahaman bahwa proyek fisik (belanja modal) memilihi hubungan proporsional dengan proyek non fisik (belanja operasi dan pemeliharaan). Contoh lain adalah hubungan penyertaan modal dengan pendapatan daerah.
Referensi Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan principal-agent theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004. Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Søreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7. Web: http//www.cmi.no. Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled opportunism: Evidence from the organizational middle. Public Administration Quarterly (Spring): 109-138. Christensen, Jorgen Gronnegard. 1992. Hierarchical and contractual approaches to budgetary reform. Journal of Theoretical Politics 4(1): 67-91. Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di Torino & ICER, working paper. Douglas, P.C. & B. Wei. 2000. Integrating ethical dimension into a model of budgeting slack creation. Journal of Business Ethics 28: 267-278. Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, principals and the study of institutions: Constructing a principal-centered account of delegation. Working documents in the Study of European Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG). Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147. Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11 September.http://www.transparency.org/iacc/8th_iacc/papers/garamfalvi/garamfalvi.html. Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001. Groehendijk, Nico. 1997. A principal-agent model of corruption. Crime, Law & Social Change 27: 207-229. Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli daerah dalam laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi tidak Dipublikasikan.
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe. Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank. Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts, Models and Approaches. London: SAGE Publications. _________. 2003a. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper. _________. 2003b. Relevance of the principal-agent framework to public policy and implementation. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper. Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who controls? Information and the structure of legislative decision making. Legislative Studies Quarterly 19(3):361-384. Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307. Mauro, Paolo. 1998. Corruption: Causes, consequences, and agenda for further research. Finance & Development (March): 11-14. Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777. Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on Budgeting 2: 117-153. Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s problem. American Economic Review 63(2): 134-139. Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc. Seabright, Paul. 1996. Accountability and decentralisation in government: An incomplete contracts models. European Economic Review 40: 61-89. Smith, Robert W. 2003. Ethical norms in public budgeting: Evolution or devolution? Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management 5(2): 205-227. Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.
Strom, K. 2000. Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37: 261-289. Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social Review 33(3): 263-284. Von Hagen, Jurgen. 2003. Budgeting institutions and public spending, in Shah, Anwar (ed.). 2003. Handbook on Public Sector Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability When There Is No Bottom Line. Washington, D.C.: The World Bank. Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc.
Sumber: http://kelembagaandas.wordpress.com/teori-agensi-principal-agent-theory/abdul-halimdan-syukriy-abdullah/