MASALAH DAN BIAYA KEAGENAN NICKEN DESTRIANA STIE TRISAKTI
[email protected]
PENDAHULUAN
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal, serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya agency problem tetap ada karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan kepemilikan perusahaan, khususnya di perusahaan-perusahaan publik. Agency problem akan mempengaruhi kinerja perusahaan dalam kegiatan usahanya dan dapat merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah hal tersebut adalah dengan melakukan pengawasan. Sistem pengawasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah keagenan antara pihak manajer yang menjalankan operasional perusahaan dengan pemegang saham yang merupakan pemilik perusahaan. Sistem pengawasan ini merupakan sistem yang sangat penting untuk digunakan dalam perusahaan. Hal ini dikarenakan fungsinya yang telah terbukti untuk mencegah terjadinya agency problem. Sistem pengawasan ini dikenal dengan nama corporate governance. Mekanisme dalam penerapan corporate governance merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik agensi yang terjadi di dalam perusahaan (Prasetyo 2009). Salah satu mekanisme ini yaitu meka-
mengelola suatu perusahaan telah D alam lama dikenal suatu istilah yang disebut
agency theory. Agency theory (teori keagenan) seperti yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa, pemisahan antara pemilik (prinsipal) dan pengelola (agen) suatu perusahaan dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Agency problem yang dimaksud antara lain adalah terjadinya informasi yang asimetri (tidak sama) antara yang dimiliki oleh pemilik dan pengelola. Dengan adanya kepemilikan informasi yang tidak setara itu maka manajemen (agen) perusahaan cenderung melakukan moral hazard dan adverse selection. Manajer memang mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham. Namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan. Memburuknya kondisi dari agency problem juga disebabkan, walaupun manajer mendapatkan kompensasi dari pekerjaannya, namun pada kenyataannya perubahan kemakmuran manajer jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perubahan kemakmuran pemegang saham atau pemilik (Jensen dan Meckling 1976). Konflik kepentingan yang dikarenakan kemungkinan bahwa agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Biaya keagenan (agency cost) dikeluarkan untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan.
8
2011
nisme Intern. Mekanisme intern merupakan mekanisme yang digunakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan konflik agensi dengan memanfaatkan pengendalian yang berasal dari intern perusahaan. Jenis pengendalian intern tersebut dapat berasal dari dewan direksi, dewan komisaris, komite audit, pengungkapan keuangan (financial disclosure), struktur kepemilikan dan kompensasi eksekutif. Pengendalian dari dalam perusahaan seperti dewan komisaris dan dewan direksi yang baik terbukti telah memberi pengaruh positif terhadap penciptaan good corporate governance. AGENCY PROBLEM (MASALAH KEAGENAN) Agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ’agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Teori keagenan dalam perkembangannya terbagi menjadi dua aliran (Eisenhardt 1989) yaitu positivist teori dan principal-agent research. Positivist memfokuskan pada identifikasi situasi ketika prinsipal dan agen mengalami konflik dan mekanisme governance yang membatasi self-serving dari agen. Principal-agent research memfokuskan pada kontrak optimal, antara perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan prinsipal dan agen. Principal-agent research merupakan perluasan teori dari keagenan karena sudah merambah konflik antara rekan kerja, bawahan, dan atasan (manajemen puncak). Menurut Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih prinsipal (pemilik) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang untuk membuat keputusan kepada agen. Pemisahan kepemilikan dan pengendalian menyebabkan manajemen (agen) bertindak tidak sesuai dengan keinginan prinsipal (pemilik). Dalam melaksanakan tugas manajerial, mana-
Nicken Destriana
jemen memiliki tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan prinsipal (pemilik) didalam memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan disebut konflik keagenan (agency conflict). Menurut Gitman (2009) agency problem adalah masalah yang timbul akibat tindakan manajer yang lebih mengutamakan pemenuhan tujuan pribadinya bila disbandingkan dengan tujuan perusahaan. Masalah agensi dapat diatasi atau diminimalisasi dengan 2 cara yaitu: (1). Market Forces. Market forces merupakan pemegang saham yang memiliki saham mayoritas, seperti investor institusional. Investor institusional mempunyai hak suara mayoritas, diyakini akan dapat mengatasi masalah agensi. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberi tekanan kepada manajer untuk bekerja dengan lebih baik atau mengganti manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham atau pemilik perusahaan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengancam dengan mengatakan perusahaan lain akan melakukan takeover yang dapat merestrukturisasi manajemen. Tujuannya adalah untuk memotivasi manajemen agar bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. (2). Agency Cost. Agency cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi agency problem sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan para pemegang saham. Biaya yang dikeluarkan antara lain, berasal dari biaya insentif yang akan diberikan kepada manajer untuk memaksimalkan harga saham. Selain itu, biaya keagenan juga timbul karena adanya pengawasan terhadap setiap tindakan manajer, dimana sistem pengawasan tersebut dikenal dengan corporate governance. Berdasarkan studi-studi yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa corporate governance memiliki peran untuk mengatasi masalah keagenan. Hal ini terbukti dari literature-literatur yang menyatakan bahwa dengan menggunakan sistem pengawasan (CG) akan dapat mencegah terjadinya masalah keagenan.
9
Media Bisnis
AGENCY COST (BIAYA KEAGENAN) Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen mendasari adanya biaya keagenan. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa manajemen (agen) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang saham (prinsipal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan Weston 1992). Konflik menciptakan masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha mengurangi agency cost ini. Selain terdapat konflik eksternal ada pula konflik internal di dalam diri agen maupun prinsipal sendiri (orang cenderung tidak konsisten). Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan ada tiga jenis biaya keagenan. Prinsipal dapat membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan dengan mengeluarkan biaya monitoring (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan oleh agen. Dalam beberapa situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelanjakan sumber daya perusahaan (bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun demikian, masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen. Nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal juga merupakan biaya yang timbul dari hubungan keagenan. Biaya sejenis ini disebut kerugian residual (residual loss). Jadi bisa disimpulkan bahwa terdapat tiga biaya keagenan yaitu (1) Monitoring expenditure by the principal adalah kos pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik; (2) The bonding cost adalah kos yang harus dikeluarkan akibat pemonitoran yang harus dikeluarkan prinsipal (pemilik) kepada agen; dan (3) The residual cost adalah pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal (pemilik)
10
Maret
karena perbedaan keputusan antara prinsipal (pemilik) dan agen. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) salah satu keuntungan yang akan diperoleh perusahaan jika dapat menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik (GCG), yaitu meminimalkan biaya keagensian (agency cost). Biaya yang ditimbulkan dari pendelegasian wewenang kepada manajemen dari para pemegang saham dapat menimbulkan kerugian. Hal ini dikarenakan manajemen menggunakan kekayaan perusahaan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, adanya pengawasan yang dilakukan akan mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pemegang saham sehingga biaya ataupun kerugian akibat dari manajemen dapat berkurang DEWAN DIREKSI DAN KOMISARIS Dewan komisaris merupakan sekelompok individual yang dipilih dengan tanggung jawab utama bertindak atas kepentingan pemilik dengan secara formal memonitor dan mengendalikan eksekutif puncak perusahaan. Direksi bertanggung jawab penuh atas perusahaan. Direksi yang independen dapat mengurangi perbedaan tujuan antara manajemen dengan pemegang saham. Midiastuty dan Machfoed (2003) mengemukakan bahwa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan jumlah dewan komisaris mampu mengurangi konflik kepentingan yang timbul dari hubungan keagenan antara manajemen dan pemegang saham. Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 dewan komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi yang sesuai dengan pedoman umum dari tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia. Tugas dari dewan komisaris ini adalah memastikan good corporate governance telah
2011
dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan pedoman serta aturan yang berlaku. Berdasarkan FCGI, struktur dewan di Indonesia ada dua yaitu dewan pengawas atau dewan komisaris (Board of Commissioners) dan dewan direksi (Board of Directors). Pembentukan struktur dewan ini mengacu pada system hukum Indonesia yang berasal dari Belanda, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dewan Indonesia mengacu pada sistem two-tier. Sedangkan sistem one-tier adalah sistem yang hanya memiliki satu dewan (Board of Directors) yang terdiri dari dua organ yaitu Chief Executive Officer (CEO) yang bertanggung jawab untuk mengelola perusahaan dan Chairman yang merupakan direksi noneksekutif yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan perusahaan. Undang – Undang (UU) Nomor 40 tahun 2007 dikatakan bahwa perusahaan merupakan entitas hukum yang terpisah dari direksi dan komisaris yang merepresentasikan perusahaan. Dewan direksi dan komisaris akan diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menjadikan baik direksi ataupun komisaris bertanggung jawab langsung kepada RUPS tersebut. Para pemegang saham, dewan direksi, dan dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang mempunyai peran penting terhadap penciptaan tata kelola perusahaan yang baik jika kewajibannya dapat dilakukan secara efektif dan benar. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007, RUPS atau para pemegang saham mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada dewan direksi dan komisaris dalam batas yang ditentukan (Prasetyo 2009). RUPS merupakan wadah yang dapat digunakan oleh para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang – undangan. Sedangkan dewan direksi dapat menentukan kebijakan – kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan baik untuk
Nicken Destriana
jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam menentukan strategi serta pengambilan keputusan tersebut direksi tidak boleh memiliki conflict of interest. Selain itu, dalam menentukan kebijakan dewan direksi juga harus memperhatikan kepentingan perusahaan dengan pemegang saham secara seimbang. Pembentukan dewan komisaris berfungsi untuk mengawasi dan memonitor pihak manajemen agar bekerja sesuai dengan aturannya. Dewan komisaris merupakan pihak yang mewakili para pemegang saham dalam mengawasi dewan direksi dalam bekerja. Dewan direksi merupakan bagian dari corporate governance yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional perusahaan dengan melakukan tindakan - tindakan yang tidak akan merugikan pemegang saham. Berdasarkan IICG (2004) peran dari dewan komisaris dalam penciptaan tata kelola perusahaan yang baik adalah sebagai organ yang menjalankan fungsi supervisi terhadap direksi dalam perusahaan yang tercermin dari sIstem rekruitmen dan seleksi, pemantauan kinerja, dan balas jasa. Sedangkan peran dewan direksi adalah sebagai organ yang menjalankan fungsi pengelolaan perusahaan dengan tujuan menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham dan pihak – pihak lain yang berkepentingan. Disamping itu fungsi dari dewan komisaris adalah bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan dan sasaran perusahaan, melakukan pengembangan kebijakan secara luas dan memilih orang–orang tingkat atas untuk melaksanakan sasaran serta kebijakan tersebut dan mengawasi kinerja manajemen untuk memastikan bahwa perusahaan dioperasikan dengan baik. Fungsi dari dewan komisaris ini lebih di fokuskan kepada pengawasan terhadap kerja direksi dan manajemen perusahaan sehingga dapat memenuhi kepentingan para pemegang saham (Prasetyo 2009). Fama (1980) menyatakan bahwa dewan direksi merupakan mekanisme internal utama yang memonitor manajer. Tiga karakteristik yang mempengaruhi monitoring adalah ukuran dewan
11
Media Bisnis
direksi, komposisi dewan direksi dan struktur kepemimpinan direksi (Jensen 1983). Menurut Yenmack (1996) ukuran dewan direksi yang besar akan mengganggu kepentingan pemegang saham. Dewan direksi yang besar akan mengurangi efisiensi pemanfaatan aktiva. Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Jakarta (BEI) no.1-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000. Menurut Alijoyo dan Zaini (2004), untuk memantapkan efektivitas komisaris independen maka komposisi komisaris independen paling sedikit sebesar 30% dari jumlah seluruh komisaris atau paling sedikit 1 (satu) orang. Beberapa kriteria formal yang harus dipenuhi oleh komisaris independen antara lain mampu melakukan perbuatan hokum, tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang bersalah menyebabkan perusahaan keuangan Negara, tidak pernah dipidana karena merugikan keuangan negara, tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan, tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan, tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan, tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir, tidak menjadi partner atau prinsipal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan dan perusahaan lainnya yang terafiliasi, tidak menjadi pemasok atau pelanggan signifikan pada perusahaan atau menduduki jabatan eksekutif dan dewan komisaris pemasok dan pelanggan signifikan dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan lainnya yang terafiliasi, bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinter-
12
Maret
pretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan, dan memahami peraturan perundang-undangan PT, perundang-undangan pasar modal, dan undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang terkait. Beberapa studi/ penelitian mempunyai argumen yang berbeda, jumlah dewan direksi yang besar kurang efektif dalam memonitor manajemen. Yenmack (1996) dan Eisenberg et al. (1998) yang menyatakan bahwa jumlah dewan direksi yang kecil meningkatkan kinerja perusahaan. Komposisi dewan direksi telah sering digunakan untuk mengkarakteristikkan keberadaan kolusi dan dominasi dari direksi. Lalu menurut Hermalin dan Weisbach (1988) menyatakan bahwa outsider director selain lebih efektif dalam memonitor manajemen juga merupakan sarana untuk mendisiplinkan para manajer. Ukuran dan komposisi dewan direksi dapat mempengaruhi efektif tidaknya aktivitas monitoring. Ukuran dan komposisi dewan direksi juga mempengaruhi hubungan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap kinerja perusahaan. Sehingga peningkatan ukuran dan diversitas dari dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin ketersediaan sumberdaya. Yenmack (1996) menyatakan bahwa ukuran dewan direksi yang kecil secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan aktiva namun tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan biaya keagenan yang diukur dengan beban operasi. Semakin besar ukuran dewan direksi semakin besar beban diskresi manajerial yang terjadi. Dengan demikian ukuran dewan direksi tidak menunjukkan pengurangan biaya keagenan. Menurut Midiastuty dan Machfoed (2003) yang menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris mampu mengurangi konflik kepentingan yang timbul dari hubungan antara ma-
2011
najemen dan pemegang saham. Komisaris independen bertanggung jawab dan mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilakukan direksi dan memberikan nasihat bilamana diperlukan. Dewan komisaris independen dapat mengurangi perbedaan tujuan antara manajemen dengan pemegang saham dalam hal memaksimalkan nilai perusahaan dengan mengawasi keputusan-keputusan manajerial yang utama. Meskipun bukti empiris masih menunjukkan hasil yang masih berbeda tentang ukuran dan komposisi dewan direksi terhadap kinerja perusahaan, namun yang perlu ditekankan bahwa outsider director dapat memberikan kontribusi terhadap nilai perusahaan melalui aktivitas evaluasi dan keputusan strategik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ukuran dan komposisi dewan direksi secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja dengan adanya penurunan biaya keagenan. KEPEMILIKAN MANAJERIAL DAN INSTITUSIONAL Besar kecil jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faisal 2005). Dengan adanya kepemilikan saham manajerial yang besar dalam perusahaan, maka akan mendorong manajemen untuk ikut merasa memiliki perusahaan sehingga setiap keputusan yang mereka ambil sehubungan dengan perusahaan akan berdampak langsung pada mereka. Kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. (Jensen, 1983). Kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh yang berbeda pada perusahaan kecil dengan perusahaan besar. Dengan demikian penting untuk menentukan apakah kepemilikan manajerial mempengaruhi biaya keagenan pada berbagai ukuran perusahaan.
Nicken Destriana
Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan biaya keagenan yang rendah pula. Konflik keagenan yang rendah dapat direfleksikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap penjualan. Biaya keagenan diukur dengan tingkat perputaran aktiva yang mengukur kemampuan manajer untuk menggunakan aktiva secara efisien. Tingkat perputaran aktiva yang tinggi menunjukkan jumlah penjualan dan kas yang dihasilkan dari penggunaan aktiva tersebut tinggi. Sebaliknya, tingkat perputaran aktiva yang rendah mengindikasikan bahwa manajer lebih banyak menggunakan aktiva tersebut untuk aktivitas yang tidak menghasilkan aliran kas. Tingkat perputaran yang tinggi merupakan indikasi bahwa manajer melakukan praktek yang efisien dalam manajemen aktiva dengan demikian akan meningkatkan nilai perusahaan. Rasio beban operasi terhadap penjualan rendah menunjukkan bahwa manajer lebih banyak menggunakan aktiva untuk kegiatan yang tidak produktif (Faisal 2005). Kepemilikan manajerial mempengaruhi masalah keagenan dimana menurut Rozeff (1982) menyatakan bahwa kepemilikan dan kebijakan deviden digunakan sebagai substitusi untuk mengurangi masalah keagenan. Kepemilikan manajerial yang tinggi menyebabkan deviden yang dibayarkan ke pemegang saham rendah. Penetapan deviden yang rendah disebabkan manajer memiliki harapan-harapan investasi di masa mendatang yang dibiayai dari sumber internal. Sehingga apabila sebagian pemegang saham menyukai dividen tinggi maka menimbulkan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer. Lalu menurut Bathala et al. (1994) menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki manajer akan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan mengkon-
13
Media Bisnis
sumsi perquisites yang berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Morck et al. (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan (Tobin’s Q) pada level antara 0% - 5%, dan berhubungan negatif pada level 5% - 25%. Ia mengatakan bahwa pemusatan kepentingan akan terus terjadi ketika level kepemilikan manajerial lebih kecil dari 5% dan lebih besar dari 25%. Pada saat level kepemilikan manajerial lebih besar dari 5% - 25% manfaat privat yang diperoleh manajer (agen) melebihi kos yang dikeluarkan akibat kerugian dari keputusankeputusan yang tidak memaksimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional dalam perusahaan bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Sehingga kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yan dilakukan oleh manajemen (Faisal 2005). Persentase kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan mendorong manajer untuk memfokuskan pada tujuan jangka panjang daripada jangka pendek, sehingga pada akhirnya akan dapat mengurangi konflik antara prinsipal dan agen (mengurangi masalah keagenan). Fungsi kepemilikan institusional mempunyai peran yang sama dengan dewan direksi. Semakin besar kepemilikan saham institusional dan dewan direksi mengindikasikan semakin besar insentif dan kapabilitas mereka untuk memonitor manajemen dari tindakan pemborosan. Berdasarkan uraian diatas maka diekspektasikan hubungan antara ukuran dewan direksi dengan efisiensi pemanfaatan aktiva adalah positif dan berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diproksikan dengan beban operasi (selling and general administrative) (Faisal, 2005). Beberapa penelitian memberikan bukti empiris bahwa terdapat peningkatan turnover
14
Maret
manajemen dan gains akibat pembelian saham oleh pihak luar dan menyatakan bahwa kinerja keuangan perusahaan mengikuti pembelian saham oleh outside block ownership. Cai et.al. (2001) menemukan hubungan yang berlawanan antara kinerja saham dengan kepemilikan saham institusional. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Faisal 2005). DEBT TO EQUITY RATIO Rasio utang atau debt ratio adalah rasio keuangan yang ingin mengetahui proporsi dari total aset yang dibiayai oleh para kreditor (Gitman 2009). Dari rasio utang ini maka dapat diketahui seberapa besar jumlah uang atau modal dari kreditor yang digunakan untuk memperoleh keuntungan atau profit perusahaan. Semakin besar nilai dari rasio ini maka penggunaan atas utang semakin tinggi. Pengelolaan rasio utang yang baik akan memberikan manfaat kepada perusahaan. Besarnya penggunakan utang belum mengindikasikan hal tersebut tidak baik bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan tujuan dari penggunaan utang adalah untuk investasi. Jika investasi yang dilakukan berhasil maka dapat dikatakan pengelolaan atas utang telah baik karena memberikan dampak yang positif bagi perusahaan. Ketika salah satu investasi yang dilakukan oleh perusahaan adalah untuk biaya pengawasan maka akan dapat menghasilkan corporate governance perusahaan yang baik. Dari pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa rasio utang memiliki pengaruh positif terhadap CG perusahaan. Jensen (1986) menyatakan hutang perusahaan merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham. Hutang memberikan
2011
sinyal tentang status kondisi keuangan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Hasil dari penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa leverage berhubungan negatif dengan biaya keagenan namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan leverage yang tinggi dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan aktiva. Hasil tersebut Fuad (2006) yang telah membuktikan bahwa hutang dapat menurunkan biaya keagenan. Hutang memberikan sinyal tentang status kondisi keuangan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Menurut Jensen (1986), hutang perusahaan merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham. Hasil dari penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa leverage berhubungan negatif dengan biaya keagenan namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan leverage yang tinggi dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan aktiva.
Nicken Destriana
PENUTUP Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan dan masing-masing pihak akan berusaha mengurangi biaya tersebut. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dan direksi akan mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pemegang saham sehingga biaya/ kerugian akibat dari manajemen dapat berkurang. Selain itu kepemilikan manajerial dan hutang dapat berfungsi sebagai penyatu kepentingan antara pemegang saham dengan manajer. Serta kepemilikan institusional akan mengindikasikan insentif dan kapabilitas mereka untuk memonitor manajemen dari tindakan pemborosan.
REFERENSI Alijoyo, Antonius dan Subarto Zaini. 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan. Penerbit PT Indeks. Jakarta. Bathala, C.T. Moon, K.P. dan Rao. 1994. Managerial Ownership, Debt Policy, and The Impact of Institutional Holdings: An Agency Perspective Financial Management, Vol 23, No 3, P38-50. Copeland T.E dan J.F Weston. 1992. Financial Theory and Corporate Policy. Third Edition. Wesley Publishing Company Eisenhardt, K.M. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review. Vol. 14, no. 1, pp. 57-74. Eisenberg, T.; S. Sundgren; and M. Wells. 1998. Larger Board Size and Decreasing Firm Value in Small Firms. Journal of Financial Economics 48: 35–54. Faisal. 2005. Analisis Agency Cost, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Jakarta. pp. 175-190. Fama, E. 1980. Agency Problem and the Theory of the Firm. Journal of Political Economy 88: 288-308 Fuad. 2006. Simultanitas dan Trade off Pengambilan Keputusan Finansial dalam Mengurangi Konflik Agensi: Pe`ran dari Corporate Ownership. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9 No 3 September. pp. 327 – 345. Gitman L.J. 2009. Principles of Managerial Finance. 12th edition. Prentice Hall. Hermalin, B. and M. S. Weisbach. 1988. The Determinants of Board Composition. Rand Journal of Economics 19, pp.589-606. Jensen, M. dan W. Meckling, 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Jensen, MC. 1983.Organization Theory and Methodology’. Accounting Review. vol. 58, no. 2, pp. 319-39. Jensen, M.C. 1986. Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers. American Economics Review, Vol 76, no 2.
15
Media Bisnis
Maret
Mahadwartha, P.A. 2003. Proporsi Teori Keagenan dan Teori Equity pada kebijakan Kompensasi. Manajemen Usahawan Indonesia, Vol 32 no 11. Midiastuty, P. Puspa dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI. pp. 176 – 186, Surabaya. Morck, R., A. Shleifer, and R. Vishny. 1988. Management ownership and market valuation. Journal of Financial Economics, 20, 293-315. Prasetyo, Arief. 2009. Corporate Governance, Kebijakan Dividen dan Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti. Rozeff, M.S. 1982. Growth, beta and agency costs as determinants of dividend-payout ratios.Journal of Financial Research, 249-259 Yermack, D. 1996. Higher market valuation of companies with a small board of directors. Journal of Financial Economics 40(3): 185-211.
16