Pengaruh Masalah Keagenan dan Tata Kelola Perusahaan Terhadap Asimetris Biaya. Studi di Perusahaan Publik Indonesia Mutiara Isma Damayanti, Nurul Husnah Program Studi Ekstensi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini memperlihatkan perilaku asimetris biaya pada biaya penjualan, administrasi dan umum PA&U yang terjadi pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008-2012. Anderson (2003) mengemukakan bahwa perilaku asimetris biaya atau lebih dikenal dengan istilah sticky cost adalah suatu perilaku biaya dalam menanggapi penyesuaian penjualan bersih. Tingkat kenaikan biaya lebih besar ketika terjadi kenaikan penjualan bersih dibandingkan tingkat penurunan biaya yang relatif lebih kecil saat terjadinya penurunan penjualan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku asimetris biaya adalah masalah keagenan. Masalah keagenan yang muncul dapat dikurangi dengan adanya tata kelola perusahaan yang baik. Penelitian ini memperlihatkan masalah keagenan yang muncul tidak dapat dikurangi dengan tata kelola perusahaan dalam pengaruhnya terhadap perilaku asimetris pada biaya PA&U Abstract This focus of this research is to examine asymetrical cost behavior on selling, general and administrative cost (SG&A) which is occured in manufacturing companies listed in Jakarta StockExchange period 2008-2012. Anderson (2003) suggest that assymetrical cost behavior, stickycost, is a cost behavior in responding to adjustment net sales. Asymetrical cost behavior occurs when degree of increasing cost is greater as increasing net sales, in contrast with degree of decreasing cost which is less as decreasing sales. One of the factors which influences the asymetrical costbehavior is agency problem. Moreover, the agency problem could be reduced with good corporate governance. This research shows which influens the agency problem cannot reduce by corporate governence in assymetrical cost behaviour in SG&A.
Pendahuluan Dalam menjalankan usahanya, suatu perusahaan dituntut untuk efisien dan ekonomis. Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi suatu perusahaan salah satunya yaitu biaya dari kegiatan perusahaan. Menurut Mulyadi (2012) definisi biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Dalam menentukan sebuah keputusan atas estimasi biaya di masa yang akan datang dan evaluasi terhadap pelaksanaan tindakan memerlukan pengetahuan bagaimana suatu biaya akan berubah. Agar pengelolaan biaya menjadi efektif perusahaan perlu memahami pola dari perilaku biaya (cost behaviour).
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Penggolongan perilaku biaya berdasarkan hubungannya dengan perubahan volume kegiatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa biaya memiliki hubungan yang simetris dengan volume atau aktivitas sebuah perusahaan. Dikatakan simetris apabila biaya yang dikeluarkan berbanding lurus dengan aktivitas atau kegiatan suatu perusahaan. Saat aktivitas atau kegiatan perusahaan mengalami kenaikan, biaya yang dikeluarkan perusahaan akan menyesuaikan dengan tingkat kenaikannya, begitu juga dengan sebaliknya. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Malcom (1991) menunjukan bahwa banyak biaya yang muncul cenderung tidak proposional terhadap aktivitas. Hal tersebut yang mendasari terjadinya indikasi perilaku asimetris biaya atau dikenal dengan istilah sticky cost (Cooper and Kaplan, 1998). Biaya dikatakan berperilaku asimetris jika mengalami kenaikan sangat cepat pada saat penjualan bersih mengalami kenaikan dibandingkan dengan penurunan biaya saat terjadi penurunan penjualan (Anderson et al., 2003). Terdapat dugaan bahwa peningkatan biaya lebih tinggi pada saat volume aktifitas meningkat dibandingkan terjadi penurunan biaya saat volume aktivitas menurun. Chen et al. (2011) Chen et al. (2011) melakukan penelitian mengenai perilaku biaya asimetris atas biaya penjualan, administrasi, dan umum (PAU) yang dipengaruhi oleh masalah keagenan. Perusahaan yang memiliki tata kelola perusahaan (corporate governance) yang kuat atau baik dapat mengurangi masalah keagenan (agency problem) dan mengendalikan intensif manajer demi kepentingan sendiri yang kemudian dibebankan kepada shareholder (Shleifer dan Vinshny, 1997). Chen et al. (2011) menemukan bukti kuat perilaku biaya asimetris pada biaya PAU. Penelitian juga menunjukkan bahwa mekanisme tata kelola perusahaan (corporate governance) berperan penting dalam mengurangi efek dari masalah keagenan (agency problem). Berdasarkan penjelasan diatas, penulis ingin melakukan penelitian ulang (replicate research) atas penelitian yang dilakukan oleh Chen et al (2011) menggunakan data perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perilaku Asimetris Biaya Menurut Hansen dan Mowen (2007) biaya adalah nilai setara kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau di masa depan bagi organisasi. Biaya (cost) adalah sumber daya yang dikorbankan atau dikeluarkan untuk memperoleh tujuan tertentu, dan biasanya diukur dalam satuan mata uang, dapat berupa cash atau cash equivalent. (Horngren et al., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Malcom (1991) menunjukan bahwa banyak biaya yang muncul cenderung tidak proposional terhadap
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
aktivitas. Hal tersebut yang mendasari terjadinya indikasi perilaku asimetris biaya atau dikenal dengan istilah sticky cost (Cooper and Kaplan, 1998). Biaya dikatakan berperilaku asimetris jika mengalami kenaikan sangat cepat pada saat penjualan bersih mengalami kenaikan dibandingkan dengan penurunan biaya saat terjadi penurunan penjualan (Anderson et al., 2003). Terdapat dugaan bahwa peningkatan biaya lebih tinggi pada saat volume aktifitas meningkat dibandingkan terjadi penurunan biaya saat volume aktivitas menurun. Berikut ini penyebab perilaku asimetris biaya, antara lain : 1. Biaya penyesuaian Biaya penyesuaian sendiri timbul apabila suatu perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan penyesuaian atas sumber daya terhadap penuruan permintaan. Biaya penyesuaian antara lain biaya yang muncul akibat penjualan aset, biaya pesangon atas pemutusan kerja, dan pinalti lanjutan dari pelanggaran kontrak. Manajer yang mempunyai ekspetasi bahwa penurunan permintaan bersifat sementara akan cenderung menahan sumber daya yang ada sehingga biaya yang timbul saat terjadi penurunan permintaan cenderung besar sehingga terlihat seperti adanya perilaku asimetris biaya. 2. Pertimbangan kepentingan pribadi Penelitian yang dilakukan oleh Jensen and Meckling (1976) menyebutkan bahwa kepentingan pribadi manajer mendorong untuk memaksimalkan utilitas pribadi yang menghasilkan keputusan yang mengesampingkan kepentingan pemegang saham perusahaan. Kepentingan pribadi ini yang memicu timbulnya biaya keagenan saat kepentingan pribadi manajer mengabaikan pengurangan kebutuhan sumber daya. Sedangkan karakteristik perilaku asimetris biaya, antara lain : 1. Karakteristik umum Perilaku asimetris biaya ditentukan dari komponen biaya seperti biaya penjualan, administrasi dan umum (PAU), biaya harga pokok produksi (HPP), total biaya opreasional, biaya pemasaran, biaya pengembangan dan penelitian, dan lain-lain. Tiap komponen biaya yang disebutkan memiliki perilaku asimetris biaya yang berbedabeda. Kemudian penilaian manajemen dalam melihat penurunan aktivitas cenderung akan menahan sumber daya yang ada dibandingkan dengan langsung mengurangi sumber daya dalam rangka melakukan penyesuaian. Selain itu horizon waktu dari perilaku asimetris biaya dimana ketika permintaan mengalami penurunan secara berturut-turut maka kecenderunganan menahan sumber daya yang ada akan semakin berkurang atau terlihat lebih melakukan penyesuaian biaya. Terakhir, karakteristik
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
pertumbuhan ekonomi dimana ketika terjadi pertumbuhan ekonomi makan perlaku asimetris biaya yang terjadi semakin kuat. 2. Karakteristik spesifik perusahaan Karakteristik spesifik perusahaan dibagi menjadi dua yang diasumsikan berpengaruh pada level perusahaan dari penyesuaian biaya, yaitu intensitas aset dan intensitas pekerja. Intensitas aset berpengaruh dengan asumsi ketika terjadinya penurunan ukuran perusahaan yang disebabkan dari penghapusan aset tetap. Sedangkan untuk intensitas pekerja diasumsikan mempengaruhi biaya penyesuaian. 3. Karakteristik spesifik industri Afiliasi industri perusahaan merupakan pengaruh yang penting dalam faktor terjadinya dan tingkat asimetris biaya. Penentuan asimetris biaya seperti intensitas pekerja dan intensitas aset secara rata-rata bermacam-macam melihat dari jenis industrinya 4. Karakteristik spesifik negara perbedaan tingkat optimis atau pesimis terhadap pertumbuhan ekonomi pada suatu negara dan perbedaan tingkat insentif yang diterima oleh manajer yang mempengaruhi keputusan penyesuaian, dan perbedaan lainnya dimana setiap negara memiliki sistem hukum dan peraturan yang berbeda. Di negara yang menganut common law contries, perusahaan lebih mengutamakan memaksimalkan nilai shareholder sehingga menekankan laporan data akuntansi yang berkala. Sedangkan di negara yang menganut code law contries perusahaan lebih bertujuan untuk merekonsiliasi kepentingan berbagai kelompok dari stakeholder, seperti banks, serikat kerja dan pekerja. Perbedaan ini yang menghasilkan tingkat berbeda dan pemicu biaya penyesuaian menentukan karakteristik negara secara spesifik. Masalah Keagenan Perusahaan sering disebut juga sebagai organisasi, dimana dalam perkembangannya terdapat pemisahaan antara manajemen yang bertindak sebagai agen yang didelegasikan oleh pemilik (principal) untuk mengontrol sumber daya. Pemisahan tugas tersebut dikenal dengan teori keagenan (agency theory) yang menimbulkan hubungan principal-agents. Hubungan principal-agents yang timbul seringkali terjadi ketidakselarasan keinginan dan kepentingan masing-masing pihak. Konsep yang dikembangkan oleh Jensen and Meckling (1976) mengenai masalah keagenan yang dapat diartikan sebagai konflik yang timbul antara pemegang saham (principal) dan manajemen selaku pengendali yang bertanggungjawab atas kegiatan perusahaan.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Tata Kelola Perusahaan Menurut FCGI (2003) tata kelola perusahaan (corporate governanve) adalah sebagai susunan aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan stakeholder lain sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Dua teori dasar yang terkait dengan tata kelola perusahaan adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun berdasarkan asumsi filosofis mengenai sifat manusia yaitu bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain, stewardship theory memandang manajemen dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder (Daniri, 2005). Sementara itu, agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory digunakan sebagai tumpuan perkembangan tata kelola perusahaan. Watts (2003) menyatakan bahwa salah satu cara yang digunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku oportunistik manajemen adalah tata kelola perusahaan. Mekanisme tata kelola perusahaan bervariasi antara perusahaan dan dirancang berdasarkan pada kebutuhan dan kompleksitas masing-masing perusahaan. Masalah Keagenan dan Peran Tata Kelola Perusahaan di Indonesia Menurut Hernawan (2013) struktur kepemilikan concentration of ownership atau family ownership merupakan kebalikan dari widespread owrnership. Tipe masalah keagenan mengacu kepada perbedaan kepentingan antara controlling shareholder dan minority shareholder dalam sebuah perusahaan. Dalam perusahaan terbuka atau perusahaan publik, controlling shareholder biasanya family atau founder dari perusahaan, sedangkan masyarakat atau publik biasanya sebagai minority shareholder. Keberadaan controlling shareholder yang secara dominan mengendalikan jalannya perusahaan bisa mengurang masalah keagenan yang muncul akibat kepemilkan yang menyebar (widespread ownership) dikarenakan manajemen juga dikuasi oleh controlling shareholder, sehingga perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen menjadi berkurang. Namun keberadaan masalah keagenan yang muncul akibat kepemilikan concentration of ownership berefek negatif kepada minority shareholder yang kebanyakan adalah masyarakat umum.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan et al. (2002) menunjukkan bahwa 67,3% perusahaan publik di Indonesia adalah perusahaan yang dikontrol oleh keluarga dan hanya 6,6% yang benar-benar dimiliki oleh publik. Manajemen selaku agen yang memiliki pengetahuan informasi yang lebih banyak mengenai informasi yang didelegasikan oleh pemilik (principal) untuk mengontrol sumber daya organisasi tidak bertindak adil dalam memperlakukan antara pemegang saham minoritas dan mayoritas. Kesimpulan masalah keagenan yang muncul di perusahaan Indonesia yaitu yang disebabkan oleh controlling shareholder yang secara dominan mengendalikan jalannya perusahaan. Konsentrasi kepemilikan yang tinggi dari perusahaan meningkatkan resiko perampasan hak-hak minoritas. Struktur kepemilikan terkonsentrasi di Indonesia menimbulkan entrenchment effect, yaitu ketika seseorang memiliki kontrol yang efektif pada sebuah perusahaan tidak hanya memungkinkan pemilik untuk menentukan bagaimana perusahaan beroperasi, tapi juga bagaimana profit akan dibagikan kepada tiap-tiap pemegang saham. Efek yang ditimbulkan dari masalah keagenan dapat dikurangi dengan adanya tata kelola perusahaan yang baik, sebagaimana dijelaskan bahwa salah satu fungsi tata kelola perusahaan adalah untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik. Keputusan yang baik adalah keputusan yang tidak mementingkan salah satu pihak namun pemerataan yang adil dan hak terpenuhi. Sedangkan model tata kelola perusahaan yang digunakan adalah adjusted two tiered board yang mana dewan komisaris dan dewan direksi menduduki posisi yang sama pentingnya dan dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Tata kelola perusahaan diterapkan di Indonesia bermula dari krisis keuangan yang melanda di tahun 1998. Sebuah survai yang dilakukan oleh McKinsey pada tahun 2001 menghasilkan bahwa tata kelola perusahaan di Indonesia ternyata masih berada di indeks terendah yaitu 1 (skala 1 sampai 5). Peristiwa krisis keuangan yang melanda di tahun 1998 merupakan latar belakang munculnya tata kelola perusahaan di Indonesia yang ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF). Pemerintah kemudian mendirikan sebuah lembaga khusus bernama Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang memiliki tugas merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai tata kelola perusahaan yang baik, serta memprakarsai dan memantau perbaikan tata kelola perusahaan di Indonesia. KNKCG berganti nama menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Pengembangan Hipotesis Chen et al (2011) membangun sebuah hipotesis untuk mengukur secara spesifik tentang asimetris biaya hubungannya dengan masalah keagenan yang dipengaruhi oleh tata kelola perusahaan. Berdasarkan dari literatur akuntansi dan tata kelola keuangan, pengukuran yang digunakan masalah keagenan dalam penelitian ini adalah Free Cash flow (FCF), masa jabatan CEO, dan masa pergantian CEO. Dalam hal struktur perusahaan Indonesia adalah struktur dewan two-tier, CEO yang dimaksud dalam penelitian ini adalah direktur utama atau presiden direktur. Gul dan Tsui (1998) dalam Pulungan (2008) mendefinisikan Free Cash flow sebagai the cash flow in excess of that required to fund positive-net present-value projects that is not paid out ini dividens (kelebihan arus kas, dari yang dibutuhkan untuk mendanai proyekproyek yang memiliki NPV yang positif, dan tidak dibayarkan dalam bentuk dividen). Literatur terdahulu yang telah dikemukakan memiliki kesimpulan bahwa FCF memiliki hubungan dengan masalah keagenan. Kemudian Chen et al (2011) menggunakan penelitian terdahulu untuk menggambarkan keputusan manajer dalam menentukan perilaku biaya PAU. Prediksi yang diperoleh yaitu saat FCF suatu perusahaan tinggi, manajer akan memiliki kesempatan lebih besar untuk menginvestasikan secara berlebihan dalam biaya operasional yaitu dengan cara menaikan bonus dan tunjangan bagi mereka. Tunjangan dan bonus yang manajer peroleh termasuk dalam biaya PAU. Ketika terjadi kenaikan permintaan output diiringi dengan kenaikan penjualan bersih berdampak free cash flow yang dihasilkan menjadi tinggi, sehingga manajer cenderung menginvestasikan dalam biaya PAU. Sedangkan saat permintaan output mengalami penurunan, manajer akan merasa enggan untuk melakukan pemangkasan biaya PAU. Penjelasan tersebut melatar belakangi hipotesis pertama penelitian ini : H1a : Semakin tinggi nilai FCF (free cash flow) semakin besar tingkat asimetris pada biaya PAU Lama menjabat seorang direktur utama dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan kecenderungan membangun sebuah “empire”. Dalam hal ini “empire” yang dimaksud adalah apabila direktur utama menjabat dalam sebuah perusahaan memungkinkan untuk membangun kekuatan dalam perusahaan seperti membangun kerajaan dengan kekuasaan penuh. Kecenderungan yang dilakukan oleh direktur utama membangun kekuatan dengan cara memiliki kontrol atas dewan dan internal mekanisme lainnya. Selain itu mereka cenderung ingin mengejar kepentingan pribadi dibandingkan mengutamakan kepentingan pemegang saham. Direktur utama dengan masa jabatan yang lebih lama seharusnya memiliki insentif
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
membangun “empire” lebih besar karena mereka menikmati kompensasi yang lebih besar saat ukuran perusahaan membesar. Hill dan Phan (1991) menemukan bahwa terdapat hubungan antara ukuran perusahaan dengan jumlah pembayaran yang diterima direktur utama berdasarkan masa jabatannya, usulan tersebut memperlihatkan bahwa semakin lama masa menjabat direktur utama maka akan semakin kuat pengaruhnya atas struktur kompensasi untuk meningkatkan kepentingan pribadi. Penelitian Chen et al (2011) memprediksi semakin lama direktur utama menjabat dalam sebuah perusahaan, maka “empire” yang dibangun akan semakin besar bersamaan dengan meningkatnya gaji dan kompensasi yang diterima. Sehingga ketika terjadinya penurunan penjualan bersih direktur utama yang membangun “empire” akan cenderung mementingkan kepentingan pribadi dengan cara keengganan mengurangi kompensasi yang diterima. Hal tersebut yang diprediksi akan mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU. Maka hipotesis yang dapat dibangun berdsarkan latar belakang yang telah dijelaskan adalah sebagai berikut : H1b : Terdapat pengaruh positif lama masa menjabat direktur utama terhadap tingkat asimetris biaya PAU Empire-building incentives manajerial seharusnya memiliki kaitan dengan pergantian jabatan karena mereka mengharapkan keuntungan kumulatif seperti prestise dan peningkatan insentif. Sedangkan untuk direktur utama yang dalam masa jabatannya mendekati masa pengunduran diri atau mengharapkan meninggalkan suatu perusahaan dalam jangka waktu yang singkat, berekspetasi bahwa keuntungan yang didapat dari empire-building nantinya akan bertambah untuk penerusnya bukan untuk mereka, sehingga mereka akan cenderung memperkecil insentif empire-building. Oleh karena itu yang diharapkan dari direktur utama yang berada dalam tahun akhir pelayanannya akan memperkecil dalam empire-building managerial dan lebih menyukai untuk memotong biaya PAU jika diperlukan yang nantinya akan mempengaruhi tingkat penurunan dari perilaku biaya asimetris. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut : H1c : Terdapat pengaruh negatif masa pergantian jabatan direktur utama terhadap tingkat asimetris biaya PAU suatu perusahaan Masalah keagenan yang timbul memunculkan biaya keagenan (agency cost) yang secara mekanisme dapat dikontrol dengan diterapkannya tata kelola perusahaan yang baik. Bernhart dan Rosenteins (1998), menyatakan beberapa mekanisme untuk tata kelola perusahaan yang baik yaitu seperti mekanisme internal, struktur dewan direksi dan dewan komisaris, mekanisme eksternal seperti pasar untuk kontrol perusahaan diharapkan dapat mengatasi masalah keagenan tersebut. Selain itu, Shleifer dan Vinshy (1997) menemukan bahwa tata
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
kelola perusahaan dapat mengurangi masalah keagenan (agency problem) dan dapat mengendalikan insentif manajer yang mendorong kepentingan mereka untuk dibebankan ke pemegang saham. Secara umum bukti empiris mendukung mekanisme keefektifan tata kelola perusahaan dalam mengurangi masalah keagenan (agency problem) yang ditunjukkan oleh perilaku manajerial empire-building. Selain itu Dallas (2004) mengemukakan bahwa tata kelola perusahaan merupakan suatu mekanisme yang digunakan pemegang saham dan kreditor perusahaan untuk mengendalikan tindakan manajer. Berangkat dari teori yang mengemukakan bahwa tata kelola perusahaan dapat mengurangi masalah keagenan yang dikemukakan oleh Vinshy (1997) dan Dallas (2004), maka masalah keagenan yang muncul dari pengukuran FCF diharapkan dapat dikurangi. Semakin tinggi FCF maka kecenderungan masalah keagenan yang muncul semakin besar (Jensen, 1986). Dengan adanya tata kelola perusahaan yang baik, tingginya FCF yang dihasilkan oleh perusahaan diharapkan akan mengurangi masalah keagenan yang muncul. Hipotesis yang dibangun adalah sebagai berikut : H2a : Tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi pengaruh positif FCF terhadap perilaku asimetris biaya PAU Sama halnya maslah keagenan yang ditimbulkan FCF, lama masa jabatan seorang direktur dalam sebuah perusahaan juga menimbulkan masalah keagenan. Semakin lama direktur utama menjabat, kecenderungan membangun “empire” akan semakin besar yang menimbulkan masalah keagenan. Dalam pengaturan tata kelola perusahaan terdapat poin yang menyebutkan batasan lama masa menjabat direktur utama, sehingga dapat mengurangi permasalahan keagenan yang muncul. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai tata kelola perusahaan dalam kaitannya dengan masalah keagenan, disimpulkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik dapat membatasi potensi terjadinya perilaku manajer yang tidak optimal dan meminimalisasi biaya keagenan. Maka prediksi yang dibuat dalam penelitian ini adalah dengan adanya tata kelola perusahaan akan mengurangi masalah keagenan yang mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU. Hipotesis yang dapat dibangun adalah sebagai berikut : H2b : Tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi pengaruh positif lamanya masa jabatan direktur utama terhadap perilaku asimetris biaya PAU Untuk masa pergantian jabatan direktur utama memiliki pengaruh negatif pada perilaku asimetris pada biaya PAU seperti prediksi yang dibuat pada hipotesis pertama. Dengan adanya tata kelola perusahaan yang mampu mengurangi masalah keagenan yang muncul,
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
maka diharapkan juga dapat memperkuat pengaruh negatif akan terjadinya perilaku asimetris pada biaya PAU. Hipotesis yang dibangun adlaah sebagai berikut : H2c : Tata kelola perusahaan yang baik dapat memperkuat pengaruh negative terjadinya pergantian direktur utama terhadap perilaku asimetris biaya PAU Data Populasi Sampel Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Laporan Tahunan yang diterbitkan (published annual report) dan laporan keuangan (financial statement). Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan go public yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama kurun waktu 2008-2012. Kriteria pemilihan sampel data perusahan dalam penelitian ini adalah: 1. Perusahaan termasuk dalam kelompok secondary sector (industry and manufacturing) berdasarkan klasifikasi Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA), yang terdiri dari basic industry and chemical, miscellaneous industry, dan consumer goods. 2. Perusahaan berada dalam kelompok industry yang sama dari tahun 2008 hingga 2012. 3. Menerbitkan laporan keuangan (financial statement) dan laporan tahunan (annual report) pada tahun 2008-2012. 4. Perusahaan menerbitkan informasi keuangan yang dinyatakan dalam Rupiah. 5. Perusahaan memiliki biaya penjualan, administrasi, dan umum yang tidak melebihi penjualan bersih perusahaan. 6. Perusahaan yang ketika penjualan bersih mengalami kenaikan diiringi dengan kenaikan biaya PAU dan ketika penjualan bersih mengalami penurunan diiringi penurunan biaya PAU. Model Penelitian !
!"# = !! + !! !"#$! + !! !"#$%" +
!
!! !"#$%". !"#$! + !!!
!"#$! !!!
+ ! (!)
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
!
!"# = !! + !! !"#$! + !! !"#$%" +
!! !"#$%". !"#$! !!! !"
!
+
!! !"#$%". !"#$! +
!"
!"#$! + !!!
!!!
!"#$! !!!!
+ ! (!) !
!"# = !! + !! !"#$! + !! !"#$%" +
!! !"#$%". !"#$! !!!
!
+
!"
!! !"#$%". !"#$. !"! + !!!
!"
!! !"#$%". !"#$! + !!!
!"#$! !!!!
!"
+ !"! +
!"#$! !!!"
+ ! (!) Keterangan : SGA
= Logaritma rasio biaya penjualan, administrasi & umum perusahaan i pada periode t terhadap biaya penjualan, administrasi & umum perusahaan i pada periode t-1.
SALES
= Logaritma rasio penjualan bersih perusahaan i pada periode t terhadap Penjualan bersih perusahaan i pada periode t-1.
DSALES
= Logaritma rasio penjualan bersih i pada periode t terhadap Penjualan bersih i pada periode t-1 yang diinteraksikan dengan variabel dummy dan bernilai 0 untuk penjualan bersiht-1 lebih kecil dari penjualan bersiht dan bernilai 1 untuk penjualan bersiht-1 lebih besar dari penjualan bersiht.
ECON
= Variabel kontrol yang terdiri dari total aset (ASSET) dan intensitas pekerja (EMP)
AGEN
= Variabel keagenan yang merupakan variabel independen, yang terdiri dari free cash flow (FCF), lama masa menjabat direktur utama (TENURE) dan masa pergantian jabatan direktur utama (HORIZON).
CGSCORE
= Nilai skoring tata kelola perusahaan.
ε
= Residual Penelitan ini terdiri dari tiga model, yaitu model pertama yang merupakan model
dasar yang digunkan untuk memembuktikan keterjadian perilaku asimetris biaya PAU pada suatu perusahaan yang dikembangkan oleh Anderson et al. (2003). Model kedua yang
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
merupakan model utama penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah model hasil modifikasi oleh Chen et al. (2011) yang digunakan untuk membuktikan apakah terdapat pengaruh masalah keagenan terhadap perilau asimetris biaya PAU. Model kedua penelitian merupakan model dasar yang diinteraksikan dengan variabel keagenan, digunakan untuk pengujian hipotesis H1a hingga H1c. Pengujian hipotesis kedua menggunakan model ketiga yaitu dengan melakukan penambahan variabel tata kelola perusahaan yang merupakan variabel moderasi. Pengukuran tata kelola perusahaan ini untuk memperoleh bukti apakah tata kelola perusahaan dapat mengurangi masalah keagenan yang dapat mempengaruhi perilaku asimetris biaya PAU. Model ketiag merupakan modifikasi model kedua yang ditambah dengan interaksi variabel tata kelola perusahaan. Pengukuran tata kelola perusahaan menggunakan skoring atas efektivitas dewan komisaris dan efektivitas dewan komite yang dikembangkan oleh Hermawan (2009). Masalah keagenan (agency problem) dalam penelitian ini dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel, free cash flow (FCF), masa jabatan direktur utama (TENURE), pergantian masa jabatan direktur utama (HORIZON) dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Free cash flow digunakan sebagai pengukuran masalah keagenan yang pertama akan
dijelaskan. Pengukuran free cash flow dihasilkan dari arus kas dari aktifitas operasi dikurangi dengan dividen saham biasa dan dividen saham preferen (Lang et al., 1991). Menurut Jensen (1986), Masulis et al. (2007), Richardson (2006), Stulz (1990), dan Sheleifer dan Vishny (1997) free cash flow bisanya digunakan sebagai proksi untuk mengukur masalah keagenan dan hasil dari “empire building insentive”. Rumus untuk pengukuran proksi ini adalah sebagai berikut : !"! =
!!"ℎ !"#$ !"#$%&'!( !"#$%$#& − !"#"!$%! !"#$%&' !"# !"#$!
Keterangan : FCF
=
free cash flow atau arus kas bersih
Cash from operation activity =
kas yang dihasilkan dari kegiatan operasi
Dividen payment
=
dividen yang dibayarkan
Net sales
=
penjualan bersih
Rumus pengukuran FCF digunakan untuk memperlihatkan seberapa besar kas bersih yang dihasilkan perusahaan terhadap penjualan bersih. Kas bersih yang dihasilkan oleh perusahaan berasal dari kas yang dihasilkan dari kegiatan operasi yang dikurangi
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
untuk pembayaran dividen. Informasi yang dihasilkan untuk FCF didapat dari financial statemen (laporan keuangan) perusahaan. 2. Pengukuran masalah keagenan yang kedua adalah lama masa menjabat seorang direktur utama. Hill dan Plan (1991) menemukan hubungan antara ukuran perusahaan dan besarnya insentif yang dibayarkan ketika lama masa menjabat seorang CEO meningkat. Simbol masa jabatan direktur utama dalam penelitian ini adalah TENURE. Informasi lama masa menjabat seorang direktur utama diperoleh oleh dari annual report (laporan tahunan) perusahaan. 3. Pengukuran masalah keagenan yang terakhir adalah pergantian masa jabatan direktur utama. Penelitian yang dilakukan oleh Dechow dan Sloan (1991) menemukan bahwa CEO menghabiskan lebih sedikit pengeluaran penelitian dan pengembangan di tahun akhir masa jabatannya. Pergantian masa jabatan direktur utama dalam penelitian ini dinyatakan sebagai HORIZON. Nilai dari HORIZON merupakan variabel dummy, dimana bernilai 1 apabila pada tahun terjadinya pergantian jabtan direktur utama, sedangkan bernilai 0 apabila tidak terjadi pergantian jabatan direktur utama. Informasi pergantian masa jabatan direktur utama didapat dari annual report (laporan keuangan) perusahaan dengan melihat profil dari direktur utama. Pengukuran tata kelola perusahaan dalam penelitian ini menggunakan governance score (skor tata kelola) dalam mengukur tata kelola perusahaan (Hermawan, 2009). Seluruh aspek tata kelola perusahaan diperhitungkan dan diantaranya adalah aspek dewan komisaris dan komite audit. Pengukuran yang dilakukan oleh Hermawan (2009) mengunakan skor efektifitas peran dewan komisaris berdasarkan karakteristik yang dianggap mempengaruhi keefektifan pengawasan dewan komisaris. Karakteristik yang diukur dalam perhitungan skor dewan komisaris mencakup : independensi, aktivitas, jumlah anggota, serta kompetensi. Dengan skor yang khusus dibuat untuk dewan komisaris, diharapkan akan dapat lebih menggambarkan kekuatan tata kelola perusahaan dari segi pengawasan dewan komisaris. Sedangkan untuk perhitungan skor komite audit mencakup : aktivitas, jumlah anggota, serta kompetensi. Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2009), pengungkapan mengenai tata kelola perusahaan akan menjadi dasar perhitungan skor untuk struktur tata kelola perusahan. Daftar pertanyaan yang digunakan untuk pengukuran disusun mengacu pada daftar pertanyaan yang dibuat oleh Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD). Penilaian untuk setiap pertanyaan terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu Good, Fair, dan Poor, atau dua kemungkinan Good dan Poor. Setiap nila Good akan diberi nilai 3, Fair akan diberi nilai 2, dan Poor akan diberi nilai 1. Total skor dari seluruh penilaian kemudian dibagi
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
dengan 84 yang merupakan total skor penilaian apabila dari setiap pertanyaan bernilai Good. Daftar pertanyaan untuk pengujian skor efektifitas Dewan Komisaris dan Komite Audit terlampir pada lampiran 2. Informasi mengenai tata kelola perusahaan dapat dilihat pada annual report (laporan tahunan) sebuah perusahaan. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel kontrol, yaitu intensitas pekerja (employee intensity) dan intensitas aset (asset intensity) dengan penjelasan masing-masing sebagai berikut : 1. Intensitas aset Dalam penelitian Chen et al. (2011) menduga bahwa ketika terjadi penuruan aktivitas perusahaan yang disebabkan penjualan bersih mengalami penurunan, manajer perusahaan akan berusahan melakukan penyesuaian biaya dengan cara menurunkan skala pembelian bahan maupun input yang digunakan. Perusahaan akan lebih mudah mengurangi bahan dan input yang pembeliannya dilakukan dari pihak lain. Sedangkan untuk input yang diperoleh dari dalam perusahaan, seperti aset perusahaan, saat penjualan bersih mengalami penurunan apabila perusahaan ingin menjual aset tersebut diperlukan biaya yang mahal. Perusahaan harus membayar beban penjulaan dan kehilangan investasi perusahaan yang spesifik. Pengukuran seberapa produktif perusahaan dalam menanggapi penyesuaian penjualan bersih yang terjadi terhadap aset yang dimiliki perusahaan maka digunakanlah rasio intensitas aset atau dinyatakan sebagai ASET yang dapat dituliskan sebagai berikut : !""#$ !"#$"%' =
!"#$% !""#$ !"# !"#
%$Keterangan : Asset intensity
=
intensitas aset
Total asset
=
total aset
Net sales
=
penjualan bersih
2. Intensitas pekerja Sama hal dengan asset intensity, menurut Chen et al. (2011) penyesuaian biaya erat hubungannya dengan sumber daya misalnya perusahaan membutuhkan lebih banyak pekerja untuk mendukung atas peningkatan volume penjualan. Pemutusan hubungan kerja pegawai yang disebabkan penurunan penjualan bersih lebih memakan biaya karena perusahaan harus membayar biaya pesangon kepada pegawai tersebut.Tuntutan restrukturisasi juga biasanya mengandung biaya pesangon dalam jumlah yang besar.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Selain itu, pemberi kerja juga kehilangan investasi seperti pelatihan yang telah diberikan oleh perusahaan jika dilakukannya pemutusan hubungan kerja saat terjadinya penurunan permintaan. Ketika permintaan mengalami kenaikan maka perusahaan akan memperkerjakan pegawai baru dan membutuhkan biaya lagi untuk melakukan pelatihan atas pekerja yang baru (Anderson, et al, 2003). Selain itu, moral pekerja dan loyalitas pekerja akan mengalami penurunan ketika terdapat turnover tinggi. Ketika penjualan bersih mengalami penurunan, perusahaan yang memiliki intensitas pekerja tinggi, biaya PAU mengalami penurunan yang lebih kecil. Kebalikan dengan hal tersebut, apabila perusahaan memiliki intensitas pekerja tinggi, maka stickness biaya PAU akan semakin besar. Intensitas pekerja dituliskan sebagai EMP dan diukur sebagai berikut :
!"#$%&'' !"#$"%' =
!"#$% !"#$%& !"#$%&!! !"# !"#
%$Keterangan : Employee intensity
=
intensitas pekerja
Total number employee =
jumlah total pekerja
Net sales
penjualan bersih
=
Hasil Penelitian Analisis statistik deskriptif variabel digunakan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik sampel berdasarkan variabel-variabel penelitian. Tabel 1 menunjukkan statistik deskriptif atas seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian. Jumlah data secara keseluruhan yang valid diproses (N) adalah 120. Rata-rata penjualan bersih sampel perusahaan adalah sebesar Rp3.977.000.000.000. Nilai standar deviasi dari penjualan bersih adalah Rp5.931.000.000.000. Nilai maksimum dari penjualan bersih sebesar Rp27.303.000.000.000. Sedangkan untuk nilai minimum dari penjualan bersih sebesar Rp124.500.000.000. Biaya penjualan, administrasi, dan umum (PAU) memiliki rata-rata sebesar Rp 585.000.000.000,- dengan standar deviasi sebesar Rp1.144.000.000. Biaya PAU paling besar bernilai Rp7.434.000.000 dengan nilai biaya PAU paling kecil sebesar Rp591.000.000.000. Nilai maksimum untuk penjualan bersih dan biaya PAU dimiliki oleh PT Unilever Indonesia yang merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang industri barang konsumsi dengan sektor kostemik dan rumah tangga.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Sedangkan nilai terendah dari penjualan bersih dan biaya PAU dimiliki oleh PT Lionmesh Prima yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri dasar dan kimia. Dalam penelitian ini FCF mencerminkan besarnya kas yang dihasilkan dari aktivitas operasi yang telah dikurangi dengan pembayaran dividen terhadap jumlah aset sampel perusahaan. Rata-rata free cash flow (FCF) bernilai 0.084. Standar deviasi untuk FCF sebesar 0.13. Nilai maksimum sebesar 0.966 dan nilai minimum sebesar -0.028 yang menunjukkan bahwa FCF perusahaan bernilai negative menunjukkan bahwa kas yang dihasilkan dari aktivitas operasi bernilai negatif. Sedangkan rata-rata lama masa menjabat seorang direktur utama (TENUR) dalam sebuah perusahaan paling lama adalah 7.43 tahun. Direktur utama yang paling lama menjabat dalam sebuah perusahaan selama 29 tahun yaitu PT Lion Metal Works yang merupakan industri dasar dan kimia. Sedangkan masa jabatan paling minimum dipegang oleh perusahaan PT Argo Pantes dengan lama menjabat 0.333 tahun atau 4 bulan. Nilai minimum dari lama masa menjabat seorang direktur utama hanya 4 bulan disebabkan dalam satu tahun terdapat pergantian masa jabatan direktur utama. Rata-rata
jumlah
aset
sampel
perusahaan
(TOTAL
ASET)
sebesar
Rp2.696.000.000.000 dengan standar deviasi sebesar Rp3.756.000.000.000. Sedangkan jumlah aset paling tinggi dimiliki oleh PT Semen Gresik dengan nilai Rp19.661.000.000.000,dan nilai jumlah paling rendah sebesar Rp26.570.000.000 dimiliki oleh PT Lionmesh Prima. Intensitas aset memiliki rata-rata sebesar 0.96 yang menunjukkan bahwa rata-rata jumlah aset yang terkandung dalam penjualan bersih suatu perusahaan. Standar deviasi dari intensitas aset adalah sebesar 0.76. Nilai maksimal intensitas aset dimiliki oleh PT Pan Brothers sebesar 6.19 dan nilai terendah sebesar 0.001 yang dimiliki oleh PT Semen Gresik. Jumlah pekerja pada sampel perusahaan memiliki nilai rata-rata sebesar 2.696 orang dengan standard deviasi sebesar 2.829 orang. Jumlah pekerja paling banyak dimiliki oleh PT Pan Brothers 16.099 orang dan jumlah pekerja paling sedikit sebesar 49 orang dimiliki oleh PT Eterindo Wihanatama. Intensitas pekerja (EMP) berguna untuk melihat jumlah pekerja yang dimiliki perusahaan untuk mendukung aset yang dimiliki tiap penjualan bersih perusahaan. Rata-rata sampel perusahaan menggunakan 0.00000000015 pekerja. Nilai tertinggi dari intensitas pekerja sebesar 0.00000000078 dimiliki oleh perusahaan PT Pan Brother. Sedangkan nilai terendah dari intensitas pekerja sebesar 0.000000000068 dimiliki oleh PT Eterindo Wihanatama.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Tabel 1 - Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Variabel
Standar Deviasi
Maximum
Minimum
3.97
5,931
27,303
124.8
585
1,144
7,434
5.91
0.084
0.13
0.966
-0.028
N
Mean
PB (miliar rupiah)
120
PAU (miliar rupiah)
120
FCF (miliar rupiah)
120
TENURE (tahun)
120
7.43
8.08
29
0.33
TOTAL ASSET (miliar rupiah)
120
2,696
3,756
19,661
26.57
ASET
120
0.96
0.76
6.19
0.001
TOTAL EMPLOYEE (orang)
120
2916
2829
16099
49
EMP
120
1.52E-09
1.53E-09
7.82E-09
6.85E-11
CG 120 0.736 0.095 0.882 0.547 Ket erangan : P B = penjualan bersih, P A&U = biaya P enjualan Administ rasi &Umum, FCF = sisa kas akt ivit as operasi dikurangi pembayaran dividen kemudian dibagi dengan t ot al aset , T ENURE = lama masa jabat an direkt ur ut ama dalam menjabat , T OT AL ASSET = jumlah aset sampel perusahaan, ASSET = asset int ensit y, rasio t ot al aset perusahaan dibandingkan dengan penjualan bersih, T OT AL EMP LOYEE = jumlah pekerja sampel perusahaan, EMP = employee int ensit y, rasio jumlah pekerja dibandingkan dengan penjualan bersih, CG = skor t at a kelola perusahaan sampel perusahaan.
Untuk variabel dummy yaitu variabel pergantian masa jabatan direktur utama (HORIZON) statistik deskriptif yang dapat dilihat adalah modus atau nilai yang sering muncul. Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif untuk variable HORIZON. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari tahun observasi penelitian hanya 18 perusahaan sampel mengalami pergantian direktur utama, sedangkan sisanya sebesar 102 sampel perusahaan tidak mengalami pergantian direktur utama. Dapat disimpulkan bahwa di tahun 2008-2012 hanya sedikit yang mengalami pergantian direktur utama. Tabel 2 - Statistik Deskriptif Variabel HORIZON Jumlah sampel = 120 Modus Tahun HO RIZO N
Terdapat pergantian direktur utama
Tidak terdapat pergantian direktur utama
2008
2009
2010
2011
2012
2008
2009
2010
2011
2012
4
3
5
6
0
20
21
19
18
24
Dalam melakukan uji hipotesis pada penelitian ini, dilakukan analisis regresi untuk model penelitian dengan uji F, Adjusted R Squared, dan uji t. Penelitian ini hanya menggunakan satu model regresi untuk mengukur perilaku asimetris biaya pada biaya PAU. Model dasar yang digunakan penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat apakah terdapat perilaku asimetris biaya pada biaya PAU. Sedangkan model utama penelitian ini mengiinteraksikan model dasar dengan variabel keagenan yang merupakan variabel tidak terikat untuk melihat pengaruh variabel keagenan terhadap perilaku asimetris biaya. Tabel 4.3 merupakan hasil regresi model dasar yang digunakan untuk memperlihatkan apakah tedapat fenomena perilaku asimetris pada biaya PAU. Nilai uji F untuk model dasar penelitian ini adalah 0.000 yang menunjukkan nilai signifikansi model lebih rendah dari α = 1% yang berarti tolak H0. Kesimpulan yang didapat
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
dari penolakan H0 adalah secara keseluruhan model penelitian memiliki tingkat keyakinan sebesar 99% dalam pengaruh variabel bebas dengan variabel terikat sehingaa kesimpulan yang didapat bahwa model ini secara statistik diterima.sedangkan untuk nilai R2 dari model dasar penelitian sebesar 32% menunjukkan bagaimana variabel terikat, yaitu SGA dapat dijelaskan oleh variabel keagenan dan variabel kontrol, yaitu SALES, DSALES, DEMP, dan DASSET. Nilai sisa dari persentase R2 menunjukkan bahwa 68% dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak teridentifikasi dalam model penelitian ini. Selanjutnya pengujian t dilakukan untuk mengukur perilaku asimetris biaya PAU. Tabel 3 - Hasil Regresi Model 1 Model 1 :
Variable
Predict S ign
LOGS GA Coefficient
Prob.
0.026
0.020
S ALES
+
0.574
0.000***
DS ALES
-
-0.357
0.017**
DAS S ET
-
0.100
0.314
DEMP
-
1.91E+08
0.043**
C
AS S ET
n.a
0.010
0.220
EMP
n.a
-8.50E+06
0.056
Adjusted R-squared
0.320
Prob (F-statistic)
0.000
Note : *** signifikansi pada level 1%, ** signifikansi pada level 5%, * signifikansi pada level 10% SGA = logarit ma rasio biaya P A&Ut -1 dengan biaya P A&Ut -, SALES = Logarit ma dari rasio penjualan bersiht dibagi dengan penjualan bersih--t -1, DSALES = merupakan variabel int eraksi ant ara SALES dengan variabel dummy, 0 unt uk penjualan bersiht -1- lebih kecil dari penjualan bersiht , 1 unt uk penjualan bersiht -1 lebih besar dari penjualan bersih ECON = variabel kont rol yang t erdiri dari t ot al aset (ASSET ) dan int ensit as pekerja (EMP ), DASSET = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan ASSET , DEMP = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan EMP , ASSET = int ensit as aset , rasio t ot al aset dan penjualan bersih, EMP = int ensit as pekerja, rasio jumlah pekerja dan penjualan bersih.
Hasil uji regresi model 1 besarnya β1 menunjukkan besarnya persentase kenaikan biaya PAU menanggapi kenaikan penjualan bersih sebesar 10%. Sedangkan untuk hasil β1 + β2 digunakan untuk mengukur persentase kenaikan biaya PAU menanggapi penurunan penjuala n bersih sebesar 10%. Anderson et al. (2003) mengemukakan bahwa terjadinya perliaku asimetris pada biaya PAU apabila koefisien β1 bernilai positif dan β2 yang merupakan variabel interaksi bernilai koefisien negatif. Hasil pengolahan model 1 pengukuran perilaku asimetris biaya PAU koefisien β1 bernilai positif sebesar 0.57, menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan penjualan bersih sebesar 10%, maka biaya PAU meningkat sebesar 57% dengan tingkat signifikan 10%. Sedangkan untuk nilai β2 bernilai negatif sebesar -0.35 dengan tingkat
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
signifikansi 5%. Nilai gabungan dari β1+β2 = 0.22 menunjukkan ketika terjadi penurunan penjualan bersih, biaya PAU hanya turun sebesar 22%. Namun persentase penurunan biaya PAU yang lebih kecil menanggapi penurunan penjualan bersih dibandingkan persentase kenaikan biaya PAU yg lebih besar saat penjualan bersih mengalami kenaikan menggambarkan bahwa terdapat perilaku asimetris pada biaya PAU. Saat penjualan bersih naik sebesar 10% biaya PAU juga mengalami kenaikan sebesar 57%, sedangkan saat penjualan bersih turun sebesar 10%, biaya PAU hanya turun sebesar 22%. Variabel pengendali yang diinterakasikan untuk memperlihatkan adanya perilaku asimetris pada biaya PAU adalah DASSET dan DEMP. Variabel DEMP memiliki tingkat signifikansi sebesar 5% dengan koefisien positif menunjukkan tidak adanya pengaruh positif perilaku asimetris pada biaya PAU. Sedangkan DASSET
memiliki tingkat signifikan dengan koefisien positif
menunjukkan tidak adanya pengaruh terhada perilaku asimetris pada biaya PAU. Selanjutnya penelitian ini akan menguji model 2 yang digunakan untuk pengujian hipotesis pertama penelitian. Model 2 digunakan untuk pengujian masalah keagenan yang memiliki pengaruh terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Tabel 4.7 merupakan hasil pengujian atas model 2 penelitian ini. Sebelum dilakukan analisis mengenai hasil regresi, terlebih dahulu melihat nilai Prob signifikansi model. Berdasarkan nilai signifikan model utama memiliki tingkat kepercayaan sebesar 99%, dimana nilai Prob signifikan sebesar 0,0000 dengan tingkat kepercayaan α = 1%. Sedangkan nilai Adjusted R- Squared dari model utama penelitian sebesar 29% menunjukkan bagaimana variabel terikat, yaitu SGA dapat dijelaskan oleh variabel keagenan dan variabel kontrol, yaitu LOGSALES, DSALES, INTFCF, INTNTENURE, INTNHORIZON, DEMP, dan DASSET. Hasil pengujian regresi model 2 disajikan dalam tabel 4. Sebaliknya nilai sisa R2 sebesar 71% dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak teridentifikasi dalam model penelitian ini. Nilai koefisien β1 besarnya 0,58 menunjukkan bahwa ketika penjualan bersih mengalami kenaikan sebesar 10%, biaya PAU naik sebesar 58%. Nilai β1 + β2 = 21% dengan tingkat signifikansi sebesar 5%. Model utama digunakan untuk menguji H1a – H1c dalam penelitian ini. Hasil pengujian hipotesis pertama adalah sebagai berikut : H1a
: Semakin tinggi nilai FCF (free cash flow), semakin besar tingkat asimetris pada biaya PAU.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Tabel 4 - Hasil Regresi Model 2 Mode l :
Vari abe l
Pre di ct S i gn
C
S GA C oe ffi ci e n t
Prob.
0.321
0.052
S ALES
+
0.578
0.000***
DS ALES
-
-0.360
0.030**
INTFC F
-
0.140
0.459
INTTENURE
-
-0.002
0.432
INTHO RIZO N
+
0.421
0.177
DAS S ET
-
0.100
0.318
DEMP
-
1.77E+08
0.066*
FC F
n .a
-0.022
0.354
TENURE
n .a
-0.0004
0.332
HO RIZO N
n .a
-0.008
0.3245
AS S ET
n .a
0.010
0.223
EMP
n .a
-9.21E+06
0.051*
R-squared
0.291
Prob (F-st at ist ic)
0.000
Note : *** signifikansi pada level 1%, ** signifikansi pada level 5%, * signifikansi pada level 10% SGA = logarit ma rasio biaya P AUt -1 dengan biaya P AUt -, SALES = Logarit ma dari rasio penjualan bersiht dibagi dengan penjualan bersi t -1, DSALES = merupakan variabel int eraksi ant ara SALES dengan variabel dummy. 0 unt uk penjualan bersih t -1 lebih kecil dari penjualan bersih t , 1 unt uk penjualan bersih t -1 lebih besar dari penjualan bersiht , AGEN = variabel t ak t erikat yang t erdiri dari FCF, T ENURE, HORIZON. ECON = variabel kont rol yang t erdiri dari FCF, T ENURE, dan HORIZON. INT FCF = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan variabel FCF, INT T ENUR = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel T ENURE, INT HORIZON = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel HORIZON. DASSET = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan ASSET , DEMP = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan EMP , FCF = rasi sisa kas dari akt ivit as operasi dikurangi pembayaran dividen dibagi dengan t ot al aset , T ENURE = lama masa menjabat direkt ur ut ama, HORIZON = merupakan variabel dummy, bernilai "1" apabila t ahun t erjadinya at au akan t erjadinya masa pergant ian direkt ur ut ama perusahaan, "0" apabila t ahun t idka t erjadinya pergant ian direkt ur ut ama, ASSET = int ensit as aset , rasio t ot al aset dan penjualan bersih, EMP = int ensit as pekerja, rasio jumlah pekerja dan penjualan bersih.
Model H1a dalam penelitian menggunakan model 2 dengan variabel keagenan yang merupakan variabel tidak terikat yaitu free cash flow (FCF). Nilai β1 digunakan untuk mengukur tingkat kenaikan biaya PAU menanggapi kenaikan 10% pada penjualan bersih. Sedangkan hasil dari variabel interaksi FCF melihat perilaku asimetris biaya, nilai koefisien variabel interaksi harus bernilai negatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa interaksi dengan variabel FCF menghasilkan koefien positif sebesar 0.14. Koefisien positif ini tidak memenuhi syarat bahwa terdapat pengaruh perilaku asimetris pada biaya PAU dan nilai dari interaksi variabel FCF pun tidak signifikan. Kesimpulan dari hasil uji hipotesis menyatakan bahwa hipotesis H1a ditolak. H1b
: Terdapat pengaruh positif lama masa menjabat direktur utama terhadap tingkat asimetris biaya PAU
Pengujian hipotesis selanjutnya menggunakan variabel bebas lama masa menjabat seorang direktur utama (TENURE). Sama halnya dengan pengujian hipotesis sebelumnya yang
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
melihat koefisien dari hasil interaksi variabel keagenan. Hasil dari pengujian variabel interaksi lama masa menjabat (INTTENURE) yaitu bernilai koefisien negatif sebesar -0.002. Hasil pengujian INTTENURE bernilai negatif dengan tidak adanya tingkat signifikansi yang menunjukkan bahwa
lama masa menjabat direktur utama
tidak berpengaruh terhadap
perilaku asimetris pada biaya PAU. Kesimpulan dari hasi pengujian hipotesis ini adalah ditolak. H1c : Pengaruh negatif pergantian jabatan direktur utama terhadap tingkat asimetris biaya PAU suatu perusahaan Pengujian hipotesis mengunakan variabel tidak terikat yang terakhir yaitu masa pergantian jabatan direktur utama (HORIZON) dengan melakukan interaksi dengan model dasar penelitian. Interaksi variabel keagenan dalam hipotesis ini adalah INTHORIZON. Hasil pengujian INTHORIZON menghasilkan koefisien positif yang bernilai sebesar 0.421 yang menunjukan bahwa adanya pengaruh HORIZON terhadap perilaku asimetris biaya PAU. Namun hal tersebut tidak dapat disimpulkan mengingat tidak adanya tingkat signifikansi, sehingga dapat disimpulkan bahwa H1c ditolak. Setelah dilakukan pengujian atas hipotesis pertama yang menggunakan model 2, selanjutnya penelitian ini menguji hipotesi kedua menggunakan model 3. Pengujian hipotesis kedua ini ingin memperlihatkan apakah terdapat pengaruh dengan adanya tata kelola perusahaan. Hasil dari pengujian untuk hipotesis kedua dapat dilihat pada tabel 5. H2a
: Tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi pengaruh positif FCF terhadap perilaku asimetris biaya PAU
Hasil pengujian hipotesis H2a menunjukkan bahwa koefisien positif sebesar 0.0147. Menunjukkan bahwa pengukuran tata kelola perusahaan dapat mengurangi pengaruh positif FCF ddengan tidak adanya tingkat signifikansi. Hasil pengujian disimpulkan bahwa hipotesis H2a. H2b
: Tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi pengaruh positif lama masa terhadap perilaku asimetris biaya PAU
Hasil pengujian H2b yang menunjukkan bahwa koefisien negatif memperlihatkan terdapatnya pengaruh tata kelola perusahaan yang baik dapat mengurangi pengaruh positif lama jabatan terhadap perilaku asimetris biaya PAU. Namun tidak adanya tingkat signifikansi menyimpulkan bahwa H2b ditolak.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
H2c
: Tata kelola perusahaan yang buruk dapat mengurangi pengaruh positif FCF terhadap perilaku asimetris biaya PAU
Nilai dari INTHORIZONCG yang menunjukkan tidak ada tingkat signifikansi walaupun koefisien negatif menunjukan adanya perilaku asimetris pada biaya PAU yang dipengaruhi oleh maslah keagenan dan dpaat dikurangi dengan tata kelola perusahaan. Namun tidak terdapatnya tingkat signifikansi dalam hasil pengujian menyimpulkan bahwa H2c ditolak. Tabel 5 - Hasil Pengujian Model 3 Mode l :
Vari abl e
Pre di ct S i gn
C
LO GS A C oe ffi ci e n t
Prob.
-0.051
0.257
0.608
0.000*** 0.035**
S ALES
+
DS ALES
-
-0.44
INTFC F
-
-0.309
0.397
INTTENURE
+
0.005
0.343
INTHO RIZO N
+
0.504
0.123
INTFC FC G
+
0.014
0.379
INTTENUREC G
-
-9.03E+07
0.117
INTHO RIZO NC G
-
-0.0003
0.487
DAS S ET
+
0.171
0.228
DEMP
+
1.51E+08
0.141
AS S ET
n .a
-0.009
0.411
EMP
n .a
5.94E+07
0.147
FC F
n .a
-0.014
0.390
TENURE
n .a
-0.0003
0.184
HO RIZO N
n .a
-0.006
0.368
C GS C O RE
n .a
0.117
0.118
R-squared
0.398
Prob (F-st at ist ic)
0.000
Note : *** signifikansi pada level 1%, ** signifikansi pada level 5%, * signifikansi pada level 10% SGA = logarit ma rasio biaya P AU t -1 dengan biaya P AU t , SALES = Logarit ma dari rasio penjualan bersiht dibagi dengan penjualan bersi t -1, DSALES = merupakan variabel int eraksi ant ara SALES dengan variabel dummy. 0 unt uk penjualan bersih t -1 lebih kecil dari penjualan bersih t , 1 unt uk penjualan bersih t -1 lebih besar dari penjualan bersih t , AGEN = variabel t ak t erikat yang t erdiri dari FCF, T ENURE, HORIZON. ECON = variabel kont rol yang t erdiri dari FCF, T ENURE, DAN HORIZON. INT FCF = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan variabel FCF, INT T ENURE = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel T ENURE, INT HOROZON = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel HORIZON. INT FCFCG = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel FCF dan CG, INT T ENURECG = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel T ENURE dan CG, INT HORIZONCG = merupakan variabel int eraksi ant ara variabel DSALES dengan variabel HORIZON dan CG, DASSET = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan ASSET , DEMP = merupakan variabel int eraksi ant ara DSALES dengan EMP , FCF = rasio sisa kas dari akt ivit as operasi dikurangi pembayaran dividen dibagi dengan t ot al aset , T ENURE = lama masa menjabat direkt ur ut ama, HORIZON = merupakan variabel dummy, bernilai " 1" apabila t ahun t erjadinya at au akan t erjadinya masa pergant ian jabat an direkt ur ut ama perusahaan, " 0" apabila t ahun t idka t erjadinya pergant ian jabat an direkt ur ut ama, CG = skoring t at a kelola perusahaan, ASSET = int ensit as aset , rasio t ot al aset dan penjualan bersih, EMP = int ensit as pekerja, rasio jumlah pekerja dan penjualan bersih.
Nilai dari β1 yang merupakan pengukuran untuk melihat apabila terjadi kenaikan penjualan bersih sebesar 10%, biaya penjualan, administrasi dan umum mengalami kenaikan sebesar 57%. Sedangkan untuk nilai dari β1+ β2 yang merupakan pengukuran untuk melihat ketika terjadinya penurunan penjualan bersih, berapa besar biaya penjualan, administrasi dan umum yang akan turun. Hasil menunjukkan bahwa ketika terjadi penurunan penjualan bersih sebesar 10%, biaya penjualan, admnistrasi dan umum akan mengakami penurunan sebesar
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
16%. Hasil dari interaksi variabel keagenan yang diduga dapat mempengaruhi perilaku asimetris biaya menunjukkan bahwa nilai dari pengukuran masalah keagenan tersebut tidak satupun yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pengujian berdasarkan tata kelola perusahaan menunjukkan bahwa ketika dikaitkan dengan tata kelola perusahaan ternyata tidak mampu mengurangi perilaku asimetris pada biaya PAU. Kesimpulan Hasil Penelitian Kesimpulan dari hasil pengujian, pada biaya PAU menunjukkan bahwa sampel perusahaan yang digunakan untuk penelitian menunjukkan perilaku asimetris. Penelitian yang mendukung adanya perilaku asimetris pada biaya PAU di Indonesia adalah penelitian dilakukan oleh Windyastuti dan Biyanto (2005), Novianti dan Setiono (2008), dan Hidayatullah (2009). Perilaku asimetris biaya lebih melihat dari sisi ketika penjualan bersih mengalami penurunan. Anderson et al. (2003) menjelaskan bahwa fenomena perilaku asimetris biaya PAU atau yang lebih dikenal dengan sebutan sticky cost merupakan hubungan perilaku manajemen terhadap perilaku biaya yang menyebabkan asimetris biaya. Variabel pengendali berupa intensitas aset dan intensitas pekerja dalam hasil pengujian tidak mampu memperlihatkan pengaruhnya terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Perusahaan yang lebih banyak mempergunakan aset dalam menjalankan kegiatan usahanya biaya PAU akan lebih sticky saat terjadinya penurunan penjualan (Widyastuti dan Biyanto, 2005). Terdapat kemungkinan bahwa sampel pada penelitian ini lebih memilih menahan aset yang dimiliki daripada menjual ketika penjualan bersih mengalami penurunan karena akan menimbulkan biaya penyesuaian. Sedangkan untuk jumlah pekerja tidak mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU karena kondisi ini berkaitan dengan kondisi pasar tenaga kerja Indonesia yang bercirikan pasokan kerja berlebih (labour surplus). Faktor labor surplus membuat perusahaan relatif mudah untuk menyesuaikan jumlah pekerja dengan skala operasi perusahaan terutama untuk pekerja produksi. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al. (2003) dan Chen et al. (2011) yang menyebutkan penyebab asimetris biaya adalah intensitas pekerja. Pengaruh intensitas pekerja dalam penelitian Anderson et al. (2003) yang menganggap bahwa penyesuiaan jumlah pekerja terhadap penyesuaian penjualan bersih ketika mengalami penurunan akan menimbulkan biaya penyesuaian sehingga manajer cenderung menahan jumlah pekerja yang menyebbakan terjadinya perilaku asimetris pada biaya PAU. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
perbedaan karakteristik spesifik negara seperti yang mempengaruhi karakteristik perilaku asimetris biaya. Selanjutnya dilakukan pengujian untuk melihat apakah masalah keagenan dapat mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU. Hasil pengujian membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh masalah keagenan terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Masalah keagenan yang timbul dalam suatu perusahaan akan mempengaruhi kualitas keputusan manajemen dan dapat mengesampingkan kesejahteraan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Sedangkan masalah keagenan yang terjadi di Indonesia tidak semertamerta persoalan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen. Masalah keagenan yang muncul di Indonesia cenderung disebabkan oleh controlling shareholder yang secara dominan mengendalikan jalannya perusahaan, dimana meningkatkan resiko perampasan hak-hak pemegang saham minoritas. Di Indonesia sekitar 90% perusahaan yang sahamnya dimiliki dan dikendalikan oleh satu keluarga, kondisi ini tidak berbeda jauh dengan negara berkembang lainnya seperti Spanyol (La Porta, 1999). Arifin (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang sahamnya sebagaian dimiliki oleh keluarga dapat mengurangi masalah keagenan dibanding dengan perusahaan publik yang tidak memiliki pengendali utama. Kelebihan bagi perusahaan yang memiliki dan dikendalikan oleh keluarga adanya kecenderungan untuk memiliki manajemen yang merupakan anggota dari keluarga, sehingga hal ini akan mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dengan manajemen. Perusahaan dengan kepemilikan keluarga akan cenderung tidak melakukan penghamburan biaya yang dikeluarkan perusahaan supaya mendapatkan keuntungan yang besar untuk perusahaan. Dengan keuntungan besar yang dihasilkan oleh perusahaan, maka controlling shareholder juga dapat menikmati hasil tersebut. Chen et al (2011) menyebutkan bahwa free cash flow yang tinggi memberikan kesempatan manajer untuk menginvestasikan secara berlebihan dalam biaya operasional. Sedangkan untuk perusahaan di Indonesia free cash flow yang dihasilkan memungkinkan penggunannya tidak menginvestasikan dalam biaya operasional, melainkan untuk membantu perusahaan terafiliasi mengingat masalah keagenan yang timbul adalah controlling shareholder dengan pemegang saham minoritas. Melihat karakteristik perusahaan Indonesia merupakan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga dan masalah keagenan yang muncul disebabkan perbedaan perlakuan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Salah satu contoh kegiatan perusahaan dalam membantu perusahaan afiliasi dari free cash flow adalah memberikan pinjaman kepada perusahaan afiliasi dengan syarat dan ketentuan istimewa, penjualan produk perusahaan di bawah harga pasar kepada perusahaan
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
afiliasi yang dikuasai oleh controlling shareholder. Contoh yang telah disebutkan memperlihatkan bahwa masalah keagenan yang muncul dari free cash flow tidak mempengaruhi biaya penjualan, administrasi dan umum. Sama halnya dengan efek yang ditimbulkan dari tidak adanya pengaruh masalah keagenan yang dilihat dari sisi FCF perusahaan, masalah keagenan yang muncul yang diukur dengan lama masa jabatan seorang direktur utama juga tidak mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Hal ini disebabkan direktur utama yang diangkat dalam sebuah perusahaan di Indonesia memiliki kecenderungan merupakan penerus keluarga atau masih memiliki relasi dengan controlling shareholder. Dengan diangkatnya direktur utama yang merupakan keluarga atau pihak yang berelasi pasti tidak ingin menghamburkan biaya yang akan dikeluarkan, karena akan berdampak dengan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan akan menjadi lebih kecil. Oleh karena itu lama tidaknya diektur utama menjabat di sebuah perusahaan tidak mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU. Kemudian hasil pengujian memperlihatkan pergantian jabatan direktur utama yang tidak mempengaruhi perilaku asimetris pada biaya PAU. Terdapat kecenderungan bahwa pola kepemimpinan yang dibuat oleh direktur utama tidak jauh berbeda dengan direktur sebelumnya karena pengangkatan direktur utama masih memiliki hubungan keluarga atau hubungan antara controlling shareholder. Pengukuran masalah keagenan dalam penelitan ini secara keseluruhan tdak dapat membuktikan pengaruhnya terhadap perilaku asimetris pada biaya PAU. Masalah keagenan yang muncul dalam sebuah perushaaan dapat dikurangi dengan cara mengimplementasikan tata kelola perusahaan. Dengan adanya tata kelola perusahaan yang baik dapat meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan kepuasan pemegang saham dilihat dari kinerja perusahaan (FCGI, 2003). Banyak penelitian terdahulu yang memfokuskan pada pengaruh dari struktur tata kelola perusahaan berupa board of director dan komite audit, serta struktur kepemilikan perusahaan, dalam mengatasi masalah agensi antara manajemen dengan pemilik (misalnya DeFond dan Jiambalvo, 1991; Beasley, 1996; Petra, 2007). Namun, dengan adanya tata kelola perusahaan yang disinyalir dapat mengurangi masalah keagenan tidak dapat terbukti dalam penelitian ini. Menurut direktur utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Warsito dalam Qorib (2014) dalam acara peluncuran “Roadmap GCG” tata kelola perusahaan yang diterapkan di Indonesia masih tergolong lemah. Warsito (2014) menuturkan bahwa Indonesia memiliki peringkat paling rendah mengenai tata kelola perusahaan diantara 11 (sebelas) negara ASEAN
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
lainnya. Bukti lemahnya tata kelola perusahaan di Indonesia yaitu tata kelola perusahaan yang lemah yang menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global yang pernah terjadi pada tahun 1998. Perlunya regulasi sebagai dasar hukum dari tata kelola perusahaan di Indonesia agar perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dapat sejajar dengan perusahaan-perusahaan di kawasan ASEAN. Perkembangan terkini dari tata kelola perusahan di Indonesia adalah adanya inisiatif yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membangun roadmap dan manual GCG untuk menjadi pedoman seluruh emiten dan perusahaan publik di Indonesia dengan memepersiapkan 33 (tiga puluh tiga) aturan pelaksanaan yang wajib diikuti oleh perusahaan publik dan emiten. Hal tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan implementasi tata kelola perusahaan supaya lebih baik dari sebelumnya.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Mark C; Banker, Rajiv D; Janakiraman, Surya. (2003). Are Selling, General, and Administrative Costs "Sticky"? Journal of Accounting Research. Arifin , Z. (2005). Hubungan antara Corporate Governance and Variabel Pengurang Masalah Agensi. Jurnal Siasat Bisnis, 1(10), 39-55. Barnhart, & Rosentein. (1998). Board Composation Managerial Ownership and Firm Performance An Emperical Analysys. Journal of Accounting Research, 77(2), 453474. Beasley, M. S. (1996). An Empirical Analyss of the Relation between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud. The Accounting Review, 71(4), 443-465. Chen, C. X., Lu, H., & Sougiannis, T. (2012). The Agency Problem, Corporate Governance, and the Asymmetrical Behaviour of Selling, General and Administrative Costs. Contemporary Accounting Research. Cooper, R; Kaplan, R;. (1998). The Design of Cost Management System : Text, Cases, and Readings. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. Dallas, G. (2004). Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors, Managers, Directors and Stakeholders. New York: McGraw Hill. Daniri, M. A. (2005). Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Ray Indonesia. Dechow, P. M., & Sweeney, A. P. (1996). Causes and Consequences of Earnings Manipulations : An Analysis of Firm Subject to Enforcement Action by the SEC. Contemporary Accounting Research, 1-36. DeFond, M. L., & Jiambalvo, J. (1991). Incidence and Circumstances of Accounting Errors. The Accounting Reviews, 66(3), 634-656. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). (2005).www.fcgi.or.id/ Gul, F. A., & Judy, S. T. (1998). A test of the Free Cash Flow and Debt Monitoring Hypoteses. Journall of Accounting and Economics, 24, 219-237. Hansen, Don R; Mowen, Maryanne M;. (2007). Managerial Accounting (8th ed.). Singapore: Cengage Learning. Hermawan, A. (2009). Pengaruh Efektivitas Dewan Komisaris dan Komite Audit, Kepemilikan oleh Keluarga, dan Peran Monitoring Bank terhadap Kandungan Informasi Laba. Disertasi Program Ilmu Akuntansi Universitas Indonesia.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Hernawan, B. (2013, Agustus 31). www.kompasiana.com. Retrieved Juli 05, 2014, from http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/08/31/corporate-governancesekilas-tentang-tunneling-type-2-agency-problem-588530.html Hidayatullah, I. J., Utami, W., & Herliansyah, Y. (2009). Perilaku Sticky Cost dan Pengaruhnya terhadap Proyeksi Laba menggunakan Model Cost Variability dan Cost Stickiness (CVCS) pada Emiten di BEI untuk Industri Manufaktur. Jakarta: Universitas Mercu Buana. Hill, C., & Phan, P. (1991). CEO Tenure as a Determinant of Pay. Academy of Management Journal. Horngreng, Charles T; Datar, Srikant M; Madhav, Rajan V;. (2012). Cost Accounting (14th ed.). England: Pearson Education Limited. Indonesia, F. f. (2005). Tata Kelola Perusahaan . Jakarta: PricewaterhouseCopers and FCGI. Jensen, M. C. (1986). The Takeover Controversy: Analysis amd Evidence. Midland Corporate Finance, 4, 6-32. Jensen, M. C., & Meckling, W. (1976). Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs, and Capital Structure. Journal of Financial Economics. Kurniawan, Dudi, M., & Indriantoro, M. (2000). Corporate Governance in Indonesia. The Second Asian Roundtable on Corporate Governance. La Porta, R., Lopez-de-Silances, F., & Shleifer, A. (1999). Corporate Ownership Around the World. Journal of Finnace, 471-517. Lang, L., S, R., & R, W. (1991). A test of the free cash flow hypotesis : The case of bidder returns. Journal of Financial Economics, 29, 315-355. Malcom, R. E. (1991). Overhead Control Implications of Activity Costing. Accounting Horizon, 5(4), 69-78. Masulis, R. W., C, W., & F, X. (2007). Corporate Governance and Acquirer Returns. Journal of Finance, 62(4), 1851-889. Mulyadi. (2012). Akuntansi Biaya (4 ed.). Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan. Novianti, A., & Setyono, P. (2008). Analysis of Selling, General, and Administrative Cost Stickiness on Net Sales at Different Economic Condition. Pontianak: Simposium Nasional Akuntansi XI. Petra, S. (2007). The effect of Corporate Governance on the Informativeness of Eranings. Economics and Governance, 8, 129-152.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014
Qorib, F. (2014, Februari 04). Retrieved Juli 05, 2014, from www.hukumonline.com: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f1096b2e645/ojk-siapkan-33-aturanigood-corporate-governance-i Richardson, S. (2006). Over-investment of Free Cash Flow. Review of Accounting Studies, 11(2), 159-89. Shleifer, A., & Vishny, W. R. (1997). A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, 52(02), 737-783. Stulz, R. (1990). Managerial Discretion and Optimal Financing Policies. Journal of Financing Economics, 26(1), 3-27. Watts, R. L. (1977). Corporate Financial Statements, A Product of The Market and Political Processes. Australian Journal of Management, 4. Windyastuti, & Biyanto, F. (2005). Analisis Perilaku Kos : Stickiness Kos Pemasaran, Administrasi & Umum pada Penjualan Bersih. Simposium Nasional Akuntansi VIII.
Pengaruh masalah…, Mutiara Isma Damayanti, FE UI, 2014