Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Hubungan antara Sibling Relationship dan Motivasi Berprestasi Pada Remaja yang Kedua Orangtuanya Bekerja Fenesha Flourencia Effraim Mirah dan Patricia Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sibling relationship dengan motivasi berprestasi pada remaja yang kedua orangtua bekerja. Variabel sibling relationship diukur dengan menggunakan kuesioner Lifespan Sibling Relationship Scale (LSRS) dan motivasi berprestasi diukur dengan Skala Motivasi Berprestasi. Responden pada penelitian ini adalah 147 remaja yang kedua orangtuanya bekerja. Dengan menggunakan Pearson Correlation Test, hasil korelasi menunjukkan bahwa semakin tinggi sibling relationship, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi yang dimiliki pada remaja dengan kedua orangtua yang bekerja (r(146) = 0,46, p < 0,01, 2-tailed).
The Relationship between Sibling Relationship and Achievement Motivation in Adolescents with Working Parents Abstract This quantitative research aim for the relationship between sibling relationship and achievement motivation among adolescents whose both parents are workers. Using questionnaire as a instrument, Lifespan Sibling Relationship Scale (LSRS) was use to measure sibling relationship, and Skala Motivasi Berprestasi was use to measure achievement motivation. 147 adolescents were asked to complete the questionnaires. This research shows significance result between both variables, which means the higher sibling relationship correlates with the higher achievement motivation score (r(146) = 0,46, p < 0,01, 2-tailed). Keywords: sibling relationship, achievement motivation, parent involvement, employment parent
Pendahuluan Keluarga merupakan unit yang penting dan dapat memberikan pengaruhnya tersendiri bagi perkembangan seseorang. Keluarga inti yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak merupakan sistem lingkungan yang paling dasar dan memberikan lebih banyak pengaruh terhadap perkembangan seseorang dibandingkan sistem keluarga yang lebih luas (Brofenbrenner, 1979). Di dalam keluarga inti pun, setiap anggota keluarga mempunyai peran yang berbeda antar satu sama lain. Selain itu, setiap anggota keluarga dapat memiliki pengaruh yang berbeda terhadap anggota keluarga yang lainnya. Banyaknya penelitian saat ini meneliti mengenai betapa besarnya pengaruh yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh Fan & William (2010) bahwa keterlibatan
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
orangtua yang tinggi dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan akademis anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran orangtua penting bagi anak. Pentingnya peran orangtua bagi anak, tidak menutup kemungkinan bahwa peran anggota keluarga yang lain menjadi tidaklah penting. Menurut Cicirelli (1995), peran anggota keluarga lainnya yaitu melalui hubungan antar saudara juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan individu. Hal tersebut juga diperkuat oleh Yeh (2004) yang menyatakan bahwa selain peran orangtua-anak, adanya subsistem keluarga yang lain yakni hubungan antar saudara juga dapat mempengaruhi perkembangan anak. Yeh (2001) menambahkan bahwa seseorang dapat meningkatkan perkembangan mereka melalui interaksi dengan orang lain (Brofenbrenner, 1979) sehingga Yeh mengasumsikan bahwa saudara kandung memiliki peran untuk berkontribusi dalam mengembangkan perkembangan anak. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kelahiran pada wanita meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2012, wanita di Indonesia rata-rata melahirkan hampir tiga anak selama hidupnya. Hal tersebut menyatakan bahwa kebanyakan keluarga di Indonesia memiliki lebih dari satu orang anak dalam keluarganya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar anak dalam keluarga di Indonesia memiliki hubungan antar saudara dalam keluarganya. Hubungan antar saudara atau sibling relationship merupakan keseluruhan interaksi (fisik, verbal, dan komunikasi nonverbal) yang terjadi di antara dua atau lebih individu yang saling berbagi pengetahuan, pandangan, sikap, kepercayaan dan perasaan terhadap satu sama lain, dimulai pada saat seorang saudara menjadi peka terhadap kehadiran yang lainnya (Cicirelli, 1995). Melalui adanya kualitas sibling relationship yang positif antar keduanya, maka Cicirelli (1995) dan Yeh (2004), hubungan tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan satu sama lain. Sibling relationship dapat terjadi melalui adanya interaksi, dimana seorang saudara tidak hanya belajar mengenai peran masing-masing, akan tetapi dapat melengkapi satu sama lain. Dengan mengajari adiknya, seorang kakak dapat mengembangkan kemampuan penalaran dan kognitif serta mampu mengekspresikan dan mengorganisasikan pemikirannya. Seorang adik juga dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya melalui pembelajaran yang didapatkan melalui seseorang yang dianggap memiliki kemampuan kognitif yang lebih matang (Vygotsky, 1962 dalam Yeh & Lempers, 2004). Yeh dan Lempers (2004) juga menambahkan bahwa anak dapat memodifikasi serta mengelaborasi cara kerja mereka melalui setiap pengalaman baru yang mereka dapati lewat interaksi dengan saudaranya. Berdasarkan observasi terhadap bayi berusia 8 dan 14 bulan
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
yang dilakukan oleh Dunn dan Kendrick (1982) dalam Zukow (1989), ditemukan hasil bahwa semenjak usia dini, interaksi antar saudara yang terjadi dapat menimbulkan perkembangan pada inteligensi dan lingustik anak. Interaksi yang terjadi meliputi komunikasi verbal dan nonverbal yang ditampilkan saudaranya yang lebih tua dan saudara yang lebih muda melakukan imitasi terhadap perilaku kakaknya. Hal tersebut diperkuat oleh Lamb (dalam Zukow, 1989) bahwa semenjak kecil, bayi dapat melakukan observasi, imitasi, dan berpartisipasi dalam bermain alat permainan dengan kakaknya. Ketika beranjak remaja, seseorang akan cenderung memasuki beragam transisi perkembangan, tugas, serta masalahmasalah yang akan dihadapi pada masa tersebut. Akan tetapi melalui adanya hubungan dengan saudaranya, maka seseorang dapat merasakan pentingnya dukungan sosial lewat saudaranya dalam menghadapi transisi perkembangan tersebut. Keluarga juga dianggap sebagai sumber dukungan sosial remaja yang dapat membantunya menghadapi stres yang dialami (Yeh, 2001). Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan antar saudara. Zukow (1989) mengungkapkan bahwa jarak usia antar saudara dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hubungan antar saudara. Zukow mengungkapkan bahwa semakin besar jarak usia antar saudara, maka semakin besar kesempatan seorang adik untuk mengembangkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresi, menerima input komunikatif dalam hal vokal, verbal, dan gesture, serta perilaku sosial yang semakin terarah dengan baik. Selain itu, seorang adik yang memiliki saudara yang jarak usianya besar lebih mampu untuk dapat memecahkan masalah dan mengembangkan kemampuan berpikir concrete reasoning dibandingkan dengan saudara dengan jarak usia yang kecil. Akan tetapi, menurut Buhrmester & Furman (1990), jarak usia di atas 4 tahun cenderung menghasilkan lebih banyak konflik dibandingkan dengan jarak usia di bawah 4 tahun. Selain jarak usia, urutan kelahiran juga dapat mempengaruhi kualitas hubungan antar saudara. Beberapa penelitian mengatakan bahwa seorang saudara yang lebih tua cenderung memiliki kematangan dalam hal fisik, kognitif, dan perkembangan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan adiknya (Buhrmester, 1992, dalam Yeh & Lempers, 2004). Saudara yang lebih tua biasanya dipandang sebagai seorang model serta pengasuh bagi adiknya dalam hal kognitif dan perkembangan sosial, dimana sang adik akan berperan sebagai seorang pembelajar yang bertugas mengamati, mengimitasi, dan mencari bantuan dari sang kakak. Oleh sebab itu, saudara yang lebih muda biasanya lebih dapat terpengaruh oleh sang kakak dibandingkan mempengaruhi sang kakak tersebut (Yeh & Lempers, 2004).
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan Buhrmester dan Furman (1990), didapatkan bahwa semakin seorang anak beranjak dewasa, maka intensitas hubungan dengan saudara kandungnya akan semakin berkurang. Kedekatan antar keduanya juga akan semakin berkurang. Baik kakak maupun adik akan sama-sama semakin bersifat individual dan mandiri. Secara khusus pada adik, akan merasa semakin tidak membutuhkan dan tidak mau menerima arahan dari kakak. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Yeh dan Lempers (2004) yang mengatakan bahwa ketika memasuki remaja, maka hubungan antar saudara mengalami penurunan dalam interaksi, kedekatan, dan kasih sayang. Kedekatan hubungan ketika anak-anak tidak dapat menjadi penentu kedekatan di masa remaja. Meski demikian, hubungan antar saudara masih dianggap penting oleh para remaja. Dalam penelitiannya, Yeh dan Lempers (2004) mendapatkan hasil bahwa para remaja cenderung memilih hubungan dengan saudaranya dibandingkan hubungan dengan orangtua. Berdasarkan penjelasan mengenai bagaimana sibling relationship dapat memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan saudaranya, Alfaro dan Umana (2010) menyatakan bahwa sibling relationship berkorelasi positif dengan motivasi berprestasi dan prestasi belajar seorang adik. Adanya pengaruh kehadiran saudara, atau dalam hal ini seorang kakak, dipandang sebagai sumber dukungan yang penting terhadap pendidikan adik. Hal tersebut disebabkan seorang kakak cenderung dianggap sebagai seseorang yang lebih mengetahui sistem pendidikan yang terjadi pada saat ini dibandingkan orangtua karena adanya faktor jarak usia. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Tucker, McHale, dan Crouter (2001) yang mengatakan bahwa seorang kakak cenderung memberikan dukungan akademis yang relevan terhadap adiknya dibandingkan seorang adik terhadap kakaknya. Hasil lain yang ditemukan ialah remaja yang cenderung mendapatkan dukungan sosial dari saudaranya menghasilkan perilaku positif di sekolah. Alfaro dan Umana (2010) juga mendapatkan hasil bahwa semakin positif kualitas sibling relationship yang terjadi, maka semakin tinggi tingkat motivasi berprestasi, prestasi akademis, dan dukungan emosional yang dihasilkan. Kualitas sibling relationship diukur melalui seberapa besar dorongan dan nasihat-nasihat yang diberikan oleh seorang saudara kepada saudaranya lainnya, serta dari seberapa sering mereka membicarakan mengenai rencana hidup dan masalah pribadi. Motivasi berprestasi merupakan upaya untuk dapat menguasai dan memperoleh sesuatu hal dengan lebih baik dan melampaui standar keunggulan yang telah ada (McClelland, Atkinson, Clark & Lowell 1953). Singh (2011) menambahkan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu konstruk yang bersifat subyektif, internal, memiliki drive secara psikologis, yang menyebabkan tiap individu berjuang untuk dapat mencapai tujuannya
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
tertentu. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi cenderung menghasilkan gaya hidup yang baik dan dapat menikmati hidupnya dengan tidak lepas kontrol. Mereka seringkali menetapkan suatu target yang terlihat susah namun sebenarnya dapat dicapai. Mereka cenderung termotivasi untuk mengerjakan segala sesuatu untuk prestasi dibandingkan untuk mendapatkan reward (Singh, 2011). Singh (2011) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi penting bagi siswa untuk dapat mencapai kemampuan berprestasi dalam bidang akademis. Baron dan Schunk (dalam Slavin, 1994) turut mengatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan komponen yang penting dalam belajar karena dapat mengaktifkan, menuntun, dan mempertahankan tingkah laku individu dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa motivasi berpestasi merupakan hal penting bagi siswa terkait dengan keberhasilannya di bidang akademis. Banyak hal yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi. Santrock (2011) menyatakan bahwa hubungan seorang anak dengan peer group, guru, serta orangtua dan lingkungan rumah dapat mempengaruhi motivasi berprestasinya. Seorang anak yang diterima dengan baik dalam peer group dan memiliki teman yang berorientasi akademis cenderung akan memiliki motivasi dalam berprestasi yang tinggi. Guru juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi lewat dukungan positif dan perhatian yang diberikan pada murid. Meski demikian, jika dibandingkan peer group dan guru, Santrock (2011) menyatakan bahwa peran orangtua cenderung lebih besar untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi pada anak. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan belajar di rumah yang positif dengan cara menyediakan beragam aktivitas dan sumber materi yang mempengaruhi minat belajar anak. Selain itu, motivasi berprestasi anak juga dapat meningkat ketika orangtua banyak menghabiskan waktu dan tenaga mereka kepada anak dibandingkan pada hal lain, seperti pada pekerjaan Sebaliknya, motivasi berprestasi anak dapat menurun apabila orangtua lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga mereka ke hal-hal lain selain dari anak mereka sendiri. Hal tersebut cenderung dialami oleh orangtua yang bekerja, orangtua tunggal, serta keluarga dengan jumlah anggota yang banyak (Eccles, Lord, & Buchanan, 1996, dalam Bouchey, Shoulberg, Jodi & Eccles, 2010). Berdasarkan hasil yang didapatkan dari Bouchey, dkk. (2010) tersebut, dapat dikatakan bahwa peran orangtua penting bagi motivasi berprestasi anak. Akan tetapi, cenderung dapat menurun apabila orangtua jarang terlibat dalam pendidikan anak, sebagaimana yang sering dialami oleh salah satunya keluarga dengan kedua orangtua yang bekerja. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
oleh para orangtua, salah satunya adalah biaya hidup yang semakin tinggi. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik pada 84 kota di Indonesia, biaya hidup warga di kota Jakarta pada tahun 2014 mencapai 7,5 juta rupiah per bulan dengan rata-rata nasional sekitar 5,5 juta rupiah. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa biaya hidup di kota besar seperti Jakarta berada di atas rata-rata atau termasuk tinggi. Total biaya hidup tersebut terdiri dari berbagai macam kebutuhan warga, termasuk diantaranya ialah kebutuhan untuk membiayai pendidikan anak. Berdasarkan hasil riset salah satu lembaga perencana keuangan QM Financial, sebagaimana yang terdapat dalam websitenya, kenaikan biaya pangkal SD hingga SMA swasta di Jakarta per tahun dapat mencapai 20% dan untuk biaya perguruan tinggi program S1 mencapai kenaikan sebesar 15% per tahun (www.qmfinancial.com). Tingginya tuntutan hidup yang harus dipenuhi menjadikan bekerja sebagai salah satu upaya untuk dapat memenuhi biaya hidup tersebut. Dengan semakin tingginya biaya hidup yang harus dipenuhi, maka pembagian tugas pekerjaan antara seorang suami dan istri menjadi tidak lagi absolut. Seorang suami tidak lagi identik sebagai pencari nafkah dan seorang istri tidak lagi identik bertugas di dalam rumah dan mengurusi keluarga (Smolensky & Gootman, 2003). Tidak jarang ditemukan istri yang bekerja sedangkan suamilah yang mengurusi rumah tangga. Tidak jarang pula ditemukan kedua pasangan tersebut, baik suami maupun istri yang bekerja. Dari hasil elisitasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap 6 pasangan yang baru menikah dan memutuskan untuk sama-sama bekerja, diketahui bahwa sebanyak 5 pasangan memutuskan untuk bekerja dengan alasan ingin membiayai kebutuhan anak, sedangkan 1 pasangan lain karena ingin tetap mempertahankan karir yang telah ditempuh sebelum menikah. Kelima pasangan beranggapan bahwa biaya untuk membesarkan anak di jaman saat ini sangat besar, khususnya untuk biaya pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Edelman (2002) bahwa alasan membiayai kebutuhan anak termasuk kedalam alasan pasangan memutuskan bekerja setelah menikah. Menurut sebuah artikel yang didapat dari Hoffman (1998), keputusan untuk bekerja agar dapat membiayai kebutuhan anak dianggap sebagai suatu keuntungan. Dengan kedua orangtua bekerja maka akan terdapat lebih banyak pemasukan dalam keuangan keluarga sehingga kesejahteraan hidup anak akan lebih baik. Secara khusus, orangtua dapat mengarahkan pada pendidikan anak yang terjamin dan dapat mencapai pendidikan yang lebih tinggi (Scheve, 2010). Dari sisi anak, mereka akan cenderung belajar untuk beradaptasi dan menghargai sosok orang dewasa yang menjaga mereka sehingga mampu mengembangkan sosialisasi anak. Pada anak yang dititipkan pada tempat penitipan anak (daycare), anak juga
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
akan mampu mengembangkan kemampuan sosial lewat kontak yang dilakukan dengan anak lainnya (Scheve, 2010). Selain itu, kedua orangtua bekerja juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap pandangan bekerja pada anak (American Academy of Pediactrics, 2009). Anak akan belajar mengenai lingkungan kerja orangtuanya. Secara khusus pada anak perempuan, dengan memiliki ibu yang bekerja maka anak tersebut akan memandang bahwa terdapat banyak pilihan bagi perempuan untuk dapat bekerja. Meski demikian, keputusan kedua orangtua untuk bekerja dapat pula menimbulkan kerugian-kerugian tertentu yang dapat dialami oleh anak. Hoffman (1998) memaparkan bahwa terdapat dua kerugian yang dapat dialami oleh anak dengan kedua orangtua yang bekerja. Kerugian pertama ialah akan terjadi komunikasi yang minim antara anak dan orangtua. Anak dapat tumbuh dengan kurangnya perhatian dari orangtua yang dapat menyebabkan masalah ketika anak beranjak dewasa nantinya. Kedua, kurangnya bimbingan moral yang diberikan pada anak yang mengakibatkan anak cenderung tidak dapat membedakan mana yang benar dan tidak. Hal ini nantinya mengarahkan terhadap perilaku menyimpang. Lebih lanjut, dalam penelitiannya terhadap perbandingan kedua orangtua yang bekerja dan yang tidak bekerja, Hoffman (1998) memaparkan bahwa anak dengan kedua orangtua bekerja cenderung menunjukkan rendahnya performa di sekolah, skor IQ, dan penyesuaian sosial dibandingkan anak dengan salah satu orangtua yang bekerja. Sebaliknya, Fan dan William (2010) menyatakan bahwa pengaruh keterlibatan orangtua yang tinggi menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap self-efficacy akademis anak serta motivasi berprestasi. Berkurangnya intensitas serta kedekatan antar saudara kandung pada saat remaja dapat menjadi perhatian tersendiri pada keluarga dengan kedua orangtua yang bekerja. Apabila kedua orangtua bekerja, maka terdapat kemungkinan masing-masing saudara akan lebih banyak menghabiskan waktu secara bersama. Secara khusus bagi seorang kakak yang diberikan tanggungjawab untuk menjaga dan mengurusi kebutuhan adik, baik kebutuhan pribadi maupun akademis. Pentingnya peran kakak dalam sibling relationship terhadap perkembangan adik, menjadi perhatian tersendiri apakah tingginya atau rendahnya sibling relationship dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi berprestasi adiknya. Dari adanya fenomena-fenomena yang sebelumnya telah dijabarkan, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana hubungan antara sibling relationship dengan motivasi berprestasi. Secara khusus, peneliti ingin melihat keterkaitan antara keduanya apabila berada pada konteks remaja dengan kedua orangtua yang bekerja. Penelitian yang terkait dengan sibling relationship serta motivasi berprestasi sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan. Akan
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
tetapi, tidak terlalu banyak penelitian yang meneliti mengenai hubungan antara keduanya. Di Indonesia sendiri, peneliti hanya menemukan satu penelitian yang meneliti tentang hubungan sibling relationship dan motivasi berprestasi pada remaja putri yang dilakukan oleh Resti Ekayanti (2009). Disamping itu, tidak terdapat penelitian yang melibatkan faktor kedua orangtua yang bekerja. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa penelitian mengenai sibling relationship dan motivasi berprestasi ini penting untuk dilakukan. Tinjauan Teoritis Sibling Relationship Menurut Cicirelli (1995) terdapat beragam tipe saudara (sibling), yaitu full siblings, half-siblings, stepsibling, adoptive siblings dan fictive siblings. Full siblings merupakan dua individu yang mempunyai orangtua biologis yang sama. Half siblings merupakan dua individu yang hanya memiliki salah satu orangtua biologis yang sama. Stepsiblings merupakan dua individu yang keduanya tidak mempunyai orangtua biologis yang sama, akan tetapi hubungan antar keduanya disatukan oleh hubungan pernikahan salah satu orangtua mereka. Adoptive siblings merupakan dua individu yang salah satu diantaranya secara legal di adopsi oleh keluarga tersebut. Untuk fictive sibling, individu bukan merupakan anggota keluarga, akan tetapi telah diterima dan dianggap sebagai anggota keluarga tersebut berdasarkan keinginan tertentu. Selain memberikan definisi pada saudara (sibling) dan tipe sibling, Cicirelli memberikan definisi terhadap hubungan (relationship). Hubungan diartikan sebagai ketergantungan antar dua individu yang ditunjukkan oleh interaksi (perilaku, verbal, dan komunikasi nonverbal) yang terjadi antar keduanya yang mempengaruhi kepercayaan, pengetahuan, sikap dan perasaan satu sama lainnya (Duck, 1992 dalam Cicirelli, 1995). Jadi, menurut Cicirelli, hubungan antar saudara atau sibling relationship merupakan keseluruhan interaksi (fisik, verbal, dan komunikasi nonverbal) yang terjadi di antara dua atau lebih individu yang saling berbagi pengetahuan, pandangan, sikap, kepercayaan dan perasaan terhadap satu sama lain, dimulai pada saat seorang saudara menjadi peka terhadap kehadiran yang lainnya (Cicirelli, 1995). Hubungan yang terjadi antar saudara meliputi perilaku yang terlihat (overt) dan interaksi yang tertutup (covert) yaitu aspek kognitif dan afektif. Hubungan antar saudara juga tetap dapat terjadi meskipun antar saudara oleh jarak dan waktu yang menyebabkan tidak terjadi hubungan tatap muka secara langsung (Cicirelli, 1995). Menurut Riggio (2000), seberapa positif kualitas dari sibling relationship harus meliputi adanya perasaan, interaksi, dan belief yang terdapat pada seorang saudara terhadap
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
saudara lainnya. Untuk itu, dengan menggunakan teori sibling relationship menurut Cicirelli (1995) sebagai landasan, Riggio membagi dimensi yang terdapat dalam sibling relationship menjadi tiga, yaitu afektif, perilaku, dan kognitif. Dimensi afektif merupakan dimensi yang mengukur emosi atau perasaan yang dihasilkan oleh seorang saudara terhadap saudaranya dan hubungan yang terjadi antara keduanya. Dimensi perilaku merupakan dimensi yang mengukur derajat interaksi yang terjadi antar saudara ketika mereka melakukan beragam aktivitas serta melihat positivitas dari interaksi tersebut. Dimensi terakhir ialah kognitif yang diukur dengan melihat beliefs yang ia miliki terhadap saudara dan hubungan dengan saudaranya. Motivasi Berprestasi Teori mengenai motivasi berprestasi telah banyak dikembangkan oleh beberapa tokoh. Henry Murray dalam Petri & Govern (2004) dianggap sebagai tokoh yang pertama kali memberikan perhatian terhadap motivasi berprestasi yang diartikan sebagai keinginan untuk dapat menguasai sesuatu hal yang dianggap sulit. Murray juga mengembangkan alat ukur untuk mengetahui motivasi berprestasi seseorang yang dinamakan Thematic Apperception Test (TAT). Alat ukur ini selanjutnya dikembangkan oleh McClelland (1951). McClelland juga termasuk salah satu tokoh yang memberikan sumbangan terhadap penelitian terkait dengan motivasi berprestasi. Melalui theory of needs miliknya, McClelland menekankan komponen afektif yang terlibat dalam proses motivasi. Menurut McClelland, terdapat 3 macam kebutuhan yang terdapat dalam manusia yaitu need for achievement, need for power, dan need for affiliation. Need for achievement selanjutnya dianggap sebagai motivasi berprestasi yang diartikan sebagai upaya untuk dapat menguasai dan memperoleh sesuatu hal dengan lebih baik dan melampaui standar keunggulan yang telah ada (McClelland, 1951). McClelland menambahkan motivasi berprestasi melibatkan adanya rasa kompetisi untuk mendapatkan kesuksesan yang mengarahkan pada perasaan positif, atau jika mendapatkan kegagalan maka akan mengarahkan pada perasaan negatif. Selain itu, motivasi berprestasi dalam pada seorang anak, maka seorang anak harus dapat mengerjakan sesuatu tugas dengan baik karena kemampuannya sendiri, bukan dibantu oleh orang lain, khususnya orangtua. Pendapat lain mengenai motivasi berprestasi disampaikan oleh Atkinson (1964) bahwa motivasi berprestasi merupakan dorongan untuk mencapai keberhasilan dengan membandingkannya dengan kemampuan orang lain serta terhadap suatu standar kegiatan tertentu. Saat seseorang mencapai kesuksesan pada sesuatu hal, orang tersebut cenderung akan merasakan bangga. Sebaliknya, ketika ia merasakan kegagalan maka orang tersebut akan merasakan emosi malu. Oleh sebab itu, motivasi berprestasi dianggap oleh Atkinson sebagai
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
hasil dari suatu konflik terhadap kecenderungan untuk menghindar dari kegagalan atau untuk mencapai kesuksesan terhadap sesuatu hal (Atkinson,1964). Remaja dengan Kedua Orangtua Bekerja Menurut Smolensky & Gootman (2003), orangtua menjadi sumber dukungan bagi remaja dan hubungan remaja dengan orang dewasa lainnya selain orangtua menjadi semakin penting. Ketika kedua orangtua bekerja, maka seorang remaja dituntut untuk mengurusi dirinya sendiri. Dalam Smolensky & Gootman (2003), kemampuan remaja untuk mengatur dirinya sendiri ketika tidak adanya kehadiran orangtua atau orang dewasa lainnya dinamakan self-care. Self-care pada remaja cenderung akan meningkat secara signifikan. Peningkatan tersebut juga akan semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Rodman (1985) dalam Smolensky & Gootman (2003) menyatakan bahwa anak-anak dan remaja yang harus melakukan self-care karena ditinggal orangtua bekerja dinamakan latch-key children. Kondisi demikian memicu remaja untuk mengalami perasaan kesendirian dan bosan, serta timbulnya perilaku menyimpang seperti merokok, diet yang tidak sehat, aktivitas seksual, serta pemakaian obat-obatan (Smolensky & Gootman, 2003). Metode Penelitian Masalah Penelitian Masalah konseptual pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara sibling relationship dan motivasi berprestasi pada remaja dengan kedua orangtua yang bekerja?. Sedangkan untuk masalah operasional pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara tinggi atau rendahnya sibling relationship dan tinggi atau rendahnya motivasi berprestasi pada remaja dengan kedua orangtua yang bekerja?. Hipotesis Penelitian Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sibling relationship dan motivasi berprestasi pada remaja yang kedua orangtuanya bekerja. Sedangkan hipotesis null (Ho) adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sibling relationship dan motivasi berprestasi pada remaja yang kedua orangtuanya bekerja. Variabel Penelitian
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Variabel pertama dalam penelitian ini adalah sibling relationship dengan definisi konseptual adalah keseluruhan interaksi (fisik, verbal, dan komunikasi nonverbal) yang terjadi di antara dua atau lebih individu yang saling berbagi pengetahuan, pandangan, sikap, kepercayaan dan perasaan terhadap satu sama lain, dimulai pada saat seorang saudara menjadi peka terhadap kehadiran yang lainnya. Sedangkan definisi operasional adalah skor total yang didapatkan dari hasil penjumlahan dari 3 dimensi yang terdapat di dalam alat ukur The Lifespan Sibling Relationship Scale (LSRS), yaitu dimensi affect, behavior, dan cognition. Variabel kedua dalam penelitian ini adalah motivasi berprestasi dengan definisi konseptual adalah dorongan untuk mencapai keberhasilan dengan membandingkannya dengan kemampuan orang lain serta terhadap suatu standar kegiatan tertentu. Sedangkan untuk definisi operasional adalah perolehan skor total dari skala motivasi berprestasi yang meliputi 9 indikator seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi yaitu ketakutan akan kegagalan, kepuasan dalam mengerjakan tugas, prestasi yang ingin diraih, penambahan usaha-usaha tertentu, pengambilan tanggung jawab, ketangguhan dalam mengerjakan tugas, kebutuhan akan umpan balik, pemilihan tugas, serta kreatif dan inovatif. Tipe dan Desain Penelitian Tipe penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif karena variabel yang digunakan pada penelitian ini akan dihitung dan dianalisia secara statistik hingga didapatkan kesimpulan dan interpretasi sesuai dengan hasil yang didapat. Desain penelitian dalam penelitian ini ialah penelitian korelasional. Alasan peneliti menggunakan desain ini karena tujuan peneliti untuk melihat hubungan antara variabel 1, yaitu sibling relationship dengan variabel 2 yaitu motivasi berprestasi melalui skor yang didapat dari individu yang sama. Peneliti juga tidak melakukan penjelasan untuk menjelaskan mengapa hubungan tersebut dapat terjadi serta tidak melakukan manipulasi terhadap salah satu atau kedua variabel (Gravetter & Forzano, 2009). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuesioner. Terdapat dua kuesioner yang digunakan, yaitu kuesioner untuk mengukur sibling relationship dan kuesioner untuk mengukur motivasi berprestasi. Peneliti menggunakan kuesioner karena melalui kuesioner, peneliti dapat mengetahui pendapat serta karakteristik individu secara langsung, tanpa harus melakukan observasi terlebih dahulu. Selain itu, melalui kuesioner, peneliti dapat mengambil data kepada responden dengan jumlah yang banyak serta dalam waktu yang singkat (Gravetter & Forzano, 2009). Responden Penelitian
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Responden yang dilibatkan di dalam penelitian ini merupakan para remaja berusia 10 sampai 22 tahun, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, mempunyai setidaknya satu orang kakak dengan jarak usia minimal di atas 4 tahun, serta memiliki kedua orangtua yang bekerja di luar rumah. Metode pengambilan sampel yang dilakukan peneliti ialah dengan menggunakan tipe non-probability sampling dan desain accidental sampling. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 147 orang. Alat Ukur Sibling Relationship Pengukuran sibling relationship dalam penelitian ini menggunakan alat ukur The Lifespan Sibling Relationship Scale (LSRS) yang disusun oleh Heidi Riggio (2000). Alat ukur ini dibuat untuk mengukur kecenderungan sikap yang dimiliki oleh individu tertentu terhadap hubungannya dengan saudaranya saat ini serta terhadap hubungannya pada saat dewasa nanti. Alat ukur LSRS ini terdiri 3 dimensi, yaitu afek, perilaku, dan kognisi, beserta 6 subskala yaitu Child Affect (CA) dan Adult Affect (AA) yang mengukur emosi terhadap saudaranya dan hubungan dengan saudaranya saat masih anak-anak serta saat telah dewasa, Child Cognitions (CC) dan Adult Cognitions (AC) yang mengukur kepercayaan terhadap hubungannya dengan saudaranya dan hubungan dengan saudaranya saat masih anak-anak serta saat telah dewasa, serta Child Behavior (CB) dan Adult Behavior (AB) yang mengukur interaksi perilaku dengan saudaranya dan hubungan dengan saudaranya saat masih anak-anak serta saat saat telah dewasa. Meskipun alat ukur LSRS menilai hubungan yang terjadi ketika anak-anak dan dewasa, alat ukur ini tetap dapat diadaptasi pada usia remaja. Menurut Riggio (komunikasi personal, 13 April 2014) alat ukur LSRS merupakan alat ukur yang melibatkan sibling relationship yang terjadi sepanjang hidupnya. Selain itu, dalam LSRS terdapat item yang terkait dengan retrospective childhood karena sibling relationship bermula dari saat anakanak dan akan terus berlangsung sepanjang hidupnya. Untuk itu, meskipun seseorang belum sampai usia dewasa, dalam hal ini masih merupakan remaja, akan tetapi ia dianggap telah memiliki kenangan retrospective childhood. Oleh karena itu, alat ukur LSRS dapat diadaptasi unutk digunakan pada responden usia remaja. Terkait dengan pemberian respon terhadap item yang terdapat dalam LSRS, respon positif menunjukkan bahwa terdapat hubungan dengan saudaranya yang terus menerus berlangsung dan sering terdapat interaksi perilaku antara keduanya (misal, melalui saling berkomunikasi, saling berkunjung, dan saling berbagi rahasia masing-masing). Respon positif juga menunjukkan adanya kepercayaan yang positif terhadap saudaranya (misal, melalui
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
kepercayaan terhadap pentingnya hubungan dan kedekatan antar saudara) serta menunjukkan adanya emosi positif terhadap saudaranya. Dalam melengkapi item-item yang terdapat dalam LSRS, responden diharuskan untuk hanya membayangkan satu orang saudara yang ia miliki. Responden juga memilih jawaban menggunakan 4 pilihan jawaban yang menggunakan skala Likert yang menunjukkan derajat sesuai atau pun tidak sesuai. Pada alat ukur asli, terdapat 5 pilihan jawaban yaitu “sangat sesuai”, “sesuai”, “netral”, “tidak sesuai”, dan “sangat tidak sesuai”. Akan tetapi, peneliti melakukan adaptasi menjadi 4 pilihan jawaban menjadi “sangat sesuai”, “sesuai”, “tidak sesuai”, dan “sangat tidak sesuai”. Berdasarkan jangkauan skor yang dapat didapat oleh responden, maka skor minimal yang dicapai oleh responden adalah 48 dan skor maksimal adalah 192. Skor median dalam jangkauan skor ini ialah 72. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skor 48 sampai dengan 72 tergolong skor sibling relationship yang rendah yang menunjukkan bahwa terjadi sibling relationship yang rendah dalam diri responden terhadap saudaranya. Skor 73 sampai dengan 192 menandakan skor sibling relationship yang tinggi yang menunjukkan bahwa terjadi sibling relationship yang tinggi dalam diri responden terhadap saudaranya. Alat Ukur Motivasi Berprestasi Pengukuran alat ukur motivasi berprestasi dalam penelitian ini menggunakan alat ukur Skala Motivasi Berprestasi yang sebelumnya telah disusun oleh Dhani Irmawan (2009). Alat ukur motivasi berprestasi tersebut disusun dengan menggunakan landasan teori motivasi berprestasi milik McClelland (1951) serta disusun berdasarkan kriteria seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Skor motivasi berprestasi didapatkan berdasarkan skor dari 9 indikator yang kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan satu skor tunggal motivasi berprestasi. Indikator yang terdapat dalam motivasi berprestasi ialah pemilihan tugas, kebutuhan akan umpan balik, ketangguhan dalam mengerjakan tugas, pengambilan tanggung jawab, penambahan usaha-usaha tertentu, prestasi yang diraih, kepuasan dalam mengerjakan tugas, kreatif dan inovatif, dan ketakutan dalam kegagalan. Alat ukur motivasi berprestasi ini terdiri dari 65 item yang masing-masing memiliki 4 pilihan jawaban dengan menggunakan skala Likert. Dari 65 item tersebut, terdapat 20 item yang merupakan item reverse-scored. Sama halnya dengan alat ukur LSRS, dalam alat ukur ini terdapat dua tipe item yaitu item favorable dan item unfavorable. Skor nilai dan pilihan jawaban yang terdapat dalam alat ukur ini juga sama dengan yang terdapat pada LSRS. Berdasarkan keempat pilihan jawaban dalam alat ukur motivasi berprestasi ini, maka skor
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
minimal yang dapat dicapai oleh responden adalah 48 dan skor maksimal adalah 192. Untuk skor median ialah 72. Oleh karena itu, skor 48 sampai dengan 72 tergolong skor motivasi berprestasi yang rendah yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki motivasi untuk berprestasi yang rendah dalam dirinya. Sebaliknya, skor 73 sampai dengan 192 tergolong skor motivasi berprestasi yang tinggi yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi dalam dirinya. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penghitungan dari skor sibling relationship dan skor motivasi berprestasi didapatkan hasil bahwa sibling relationship memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan motivasi berprestasi, r(146) = 0,46, p < 0,01, 2-tailed. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa semakin tinggi sibling relationship seseorang, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasinya, walaupun di penelitian ini, korelasi sibling relationship menunjukkan tidak terlalu tinggi. Dengan demikian, H0 ditolak. Effect size dalam analisis ini adalah r2 = 0,22. Hal tersebut berarti, sebanyak 22% variasi skor dalam motivasi berprestasi, dipengaruhi oleh variasi skor pada sibling relationship. Menurut Gravetter & Walnau (2009), hasil tersebut dapat dikatakan mendekati large effect (r = 0,25), yang berarti sebanyak 25% efek disumbang oleh perolehan skor varians. Selain itu, hasil penghitungan terhadap skor dimensi-dimensi dalam sibling relationship dan skor motivasi berprestasi, baik dimensi affect, behavior, maupun cognition memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan motivasi berprestasi. Pada dimensi affect didapatkan hasil r(146) = 0,48, p < 0,01, 2-tailed. Untuk dimensi behavior didapatkan hasil r(146) = 0,43, p < 0,01, 2-tailed. Terakhir untuk dimensi cognition didapatkan hasil r(146) = 0,48 p < 0,01, 2-tailed. Adanya korelasi yang positif pada masing-masing dimensi sibling relationship dan motivasi berprestasi menunjukkan bahwa semakin tinggi dimensi baik affect, behavior, maupun cognition seseorang terhadap sibling relationship, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasinya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji korelasi antara jenis kelamin dengan sibling relationship. Uji korelasi pada hubungan ini dilakukan dengan cara membandingkan skor rata-rata dari dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok dengan jenis kelamin laki-laki dan kelompok dengan jenis kelamin perempuan. Hasil yang diperoleh adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok berjenis kelamin laki-laki dan kelompok berjenis kelamin perempuan terhadap sibling relationship, t(145) = -2,356, p<.05, two-tailed. Effect size yang dihasilkan oleh kedua kelompok tersebut sebesar r=0,19. Hal tersebut berarti
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
sebanyak 19% variasi skor dalam sibling relationship dipengaruhi oleh variasi skor variabel jenis kelamin responden. Selain melakukan penghitungan antara jenis kelamin dengan sibling relationship, peneliti juga melakukan uji korelasi antara jenis kelamin dengan motivasi berprestasi. Sama halnya dengan pengujian terhadap sibling relationship, uji korelasi pada hubungan ini dilakukan dengan cara membandingkan skor rata-rata dari dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok dengan jenis kelamin laki-laki dan kelompok dengan jenis kelamin perempuan. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok berjenis kelamin laki-laki dan kelompok berjenis kelamin perempuan terhadap motivasi berprestasi t(145) = -1,235, p<.05, two-tailed. Peneliti juga melakukan uji korelasi pada hubungan status perkawinan orangtua dan sibling relationship. Uji korelasi tersebut dilakukan dengan cara membandingkan skor ratarata dari dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok dengan status perkawinan orang tua menikah dan kelompok dengan status perkawinan orang tua bercerai. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan status perkawinan orang tua bercerai dan kelompok dengan status perkawinan orang tua menikah terhadap sibling relationship, t(145) = -0,198, p<.05, two-tailed. Selain itu, peneliti juga melakukan uji korelasi pada hubungan sibling dyads dan sibling relationship yang dilakukan dengan cara membandingkan skor rata-rata dari dua kelompok sibling dyads yang berbeda yaitu kelompok dengan sibling dyads yang sama yaitu baik kakak maupun adik memiliki jenis kelamin yang sama, serta dengan kelompok sibling dyads sibling dyads yang berbeda yaitu baik kakak maupun adik memiliki jenis kelamin yang berbeda. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan sibling dyads yang berbeda maupun sama, t(145) = 0,391, p<.05, twotailed. Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan antara sibling relationship dengan motivasi berprestasi pada remaja dengan kedua orangtua bekerja. Berdasarkan hasil dari analisis utama, ditemukan hasil bahwa sibling relationship mempunyai hasil yang signifikan dan positif terhadap motivasi berprestasi (r = 0,46 p<0,01, two-tailed). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Yeh (2004) yang menyatakan bahwa hubungan antar saudara dapat berkontribusi terhadap perkembangan remaja melalui pengaruhnya terhadap performa akademik, dalam hal ini adalah motivasi berprestasi remaja tersebut.
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Hubungan antara kedua variabel tersebut dimediasi oleh adanya interaksi yang terjadi antar saudara. Hal yang serupa diperkuat oleh Bronfenbrenner (1979) yang mengemukakan bahwa seseorang dapat meningkatkan perkembangannya melalui interaksi dengan orang lain yang mempunyai peran dan tingkat kemampuan kognitif yang berbeda dengannya, dalam hal ini peran saudara dapat dikatakan berkontribusi terhadap performa akademik seseorang. Hasil dalam penelitian ini juga serupa dengan hasil dari penelitian Alfaro dan Umana (2010) bahwa hubungan antar saudara memang berkorelasi positif terhadap motivasi belajar adik pada saat ia remaja. Hal tersebut disebabkan seorang kakak dianggap sebagai sumber dukungan yang penting karena lebih memahami tentang sistem pendidikan yang terjadi pada saat ini dibandingkan orangtua karena adanya faktor jarak usia. Semakin positif kualitas hubungan yang dihasilkan antar saudara, maka semakin tinggi tingkat motivasi berpretasi, prestasi akademis, dan dukungan emosionalnya. Pernyataan Alfaro dan Umana juga telah diutarakan sebelumnya oleh Yeh dan Lempers (2002) bahwa adanya kualitas yang positif yang terjadi antar saudara menyebabkan masing-masing saudara lebih sering melakukan interaksi dan lebih memungkinkan untuk melakukan observasi dan belajar dari interaksi yang dihasilkan dengan saudaranya. Dalam penelitian ini, interaksi yang dihasilkan antara kedua saudara dapat tetap terjadi meskipun mereka tidak tinggal secara bersama-sama. Hal tersebut terlihat dari hasil korelasi antara hubungan sibling relationship dengan saudara yang tinggal bersama dan tidak. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan dengan adanya interaksi yang semakin sering terjadi, akan turut menghasilkan sibling relationship yang tinggi pula pada kedua saudara yang tinggal maupun tidak tinggal bersama. Selain mengatakan bahwa interaksi merupakan hal penting dalam hubungan sibling relationship dan motivasi berprestasi, McDade (2010) juga menyebutkan bahwa adanya dukungan emosional dan bimbingan akademis yang diberikan oleh sang kakak kepada adik dapat meningkatkan motivasi berprestasi adik hanya jika adik mempersepsikan bahwa sang kakak merupakan seseorang yang berhasil dalam bidang akademisnya. Dalam penelitian yang dilakukan ini, terdapat beberapa item dalam alat ukur LSRS yang mengukur seberapa besar adik merasa bangga serta sejauh mana sang kakak dapat dianggap sebagai role model dalam dirinya. Contoh item dalam LSRS tersebut adalah “saya bangga dengan kakak saya” atau ‘”saya kagum dengan kakak saya”. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti dapat mengetahui sejauh mana adik menganggap sang kakak berhasil dalam bidang akademis. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
diungkapkan oleh McDade (2010). Peneliti berasumsi bahwa ketika seorang adik memiliki persepsi bahwa kakaknya merupakan seseorang yang berhasil, maka terdapat kemungkinan bahwa adik ingin menyamakan atau melebihi kemampuan kakaknya tersebut. Selain terdapat dukungan emosional yang penting, peran kakak dalam memberikan bimbingan akademis terhadap adik juga turut memberikan kontribusi dalam meningkatkan motivasi berprestasi adik. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Brody (1998) bahwa seorang kakak yang sering berperan sebagai guru bagi adiknya dapat meningkatkan performa akademis adiknya. Hal tersebut disebabkan seorang kakak dapat lebih kritis dan peka dalam mengetahui kelebihan dan kelemahan adik dibandingkan orangtua yang bekerja serta guru. Cicirelli (1995) menyatakan bahwa adanya bimbingan akademis yang diberikan oleh saudara, dapat lebih memberikan penjelasan, deskripsi, serta definisi konsep yang luas dibandingkan peer tutor, orangtua, maupun guru. Menurut peneliti, jika dibandingkan dengan peer tutor, hal tersebut dapat disebabkan jarak usia kakak yang lebih tua sehingga kakak memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada, serta kemungkinan sang kakak yang telah mengerti terlebih dahulu mengenai konsep pembelajaran yang akan diajarkan kepada adik. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan yang diberikan Alfaro dan Umana bahwa seorang kakak dianggap lebih mengetahui sistem pendidikan yang terjadi saat ini. Selain itu, faktor usia kakak yang lebih tua, dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kemampuan kognitifnya (Zukow, 1989). Selain itu, peran kakak yang dapat lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan adik dibandingkan orangtua dan guru dapat disebabkan peran orangtua bekerja yang jarang menghabiskan waktu dengan anaknya, sehingga sangat besar kemungkinan kakak yang lebih mengetahui perilaku adik sehari-hari. Jika dibandingkan dengan peran guru, menurut peneliti, hal tersebut dapat disebabkan oleh peran seorang guru yang harus melakukan pendekatan personal kepada lebih dari satu murid di kelas untuk dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan muridnya dengan lebih detail menyebabkan guru memiliki kesulitan untuk lebih peka terhadap murid-muridnya. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Santrock (2011) bahwa guru yang dapat meningkatkan motivasi berprestasi muridnya harus secara konsisten memberikan perhatian dan dukungan kepada muridnya secara personal. Penelitian ini melibatkan responden remaja yang memiliki kedua orangtua bekerja dengan asumsi bahwa ketika orangtua bekerja, maka adik akan cenderung menghabiskan waktunya dengan kakak sehingga melalui kedekatan yang dihasilkan oleh keduanya, maka akan terjadi perubahan pada motivasi berprestasi adik. McDade (2010) menyebutkan bahwa ketika seorang remaja tidak mendapatkan kedekatan dengan orangtua, maka remaja akan
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
cenderung mendekatkan diri kepada saudaranya selain dengan kelompok bermainnya. Peneliti berasumsi bahwa ketika kedua orangtua bekerja, maka seorang adik, yang dalam konteks ini dalam tahap usia remaja, akan cenderung melakukan kompensasi terhadap kurangnya kehadiran orangtua tersebut dengan melakukan pendekatan dengan pihak lain. Selain kelompok bermain yang memang menjadi salah satu pihak yang paling penting dalam karakteristik seorang remaja, peran saudara dalam keluarganya juga dapat memiliki pengaruh penting. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bouchey, dkk. (2010) bahwa ketika keterlibatan orangtua minim dalam kehidupan remaja, maka sosok orang lain yang lebih dewasa dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan remaja, salah satunya ialah saudara. Hasil lainnya yang didapatkan dalam penelitian ini ialah terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan sibling relationship. Meskipun masih terdapat banyak perdebatan mengenai hubungan jenis kelamin dan sibling relationship, akan tetapi dalam penelitian ini hasil yang didapatkan ialah terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Riggio (2000) bahwa perempuan seringkali lebih memiliki kedekatan dan kepuasan dengan saudaranya yang lebih tinggi, dibandingkan laki-laki yang cenderung merasakan kedekatan dan kepuasan dengan saudaranya yang lebih rendah. Riggio juga menambahkan bahwa sibling dyads juga dapat memiliki perbedaan terhadap sibling relationship. Akan tetapi, hasil yang didapatkan dalam penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Riggio tersebut. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sibling dyads, yaitu pasangan saudara yang beda jenis kelamin dan pasangan saudara yang sama jenis kelaminnya, dengan sibling relationship. Selain melakukan uji korelasi antara jenis kelamin dengan sibling relationship, peneliti juga melakukan uji korelasi dengan motivasi berprestasi. Hasil yang didapatkan ialah tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok berjenis kelamin perempuan dan laki-laki terhadap motivasi berprestasi. Hasil tersebut tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Santrock (2011) bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi motivasi berprestasi. Hasil lainnya yang didapatkan dalam penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan status perkawinan orangtua. Hasil tersebut tidak sesuai dengan yang ditemukan oleh Esmaeili, dkk. (2011) bahwa efek perceraian dari orangtua menghasilkan buruknya hubungan antara orangtua dengan anak remajanya. Lebih lanjut, Esmaeili, dkk. (2011) menyatakan bahwa salah satu akibat perceraian adalah tidak stabilnya ekonomi yang dimiliki oleh orang tua. Ketidakstabilan tersebut dapat berdampak
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
pada minimnya kemampuan untuk menyediakan kebutuhan pendidikan anak yang dapat meningkatkan proses pembelajarannya. Selama melakukan penelitian ini, peneliti menyadari adanya beberapa kelemahan yang terjadi selama proses penelitian. Pertama, jumlah item yang cukup banyak, yaitu sebanyak 42 item untuk alat ukur LSRS dan 54 item dalam alat ukur motivasi berprestasi dapat memungkinkan munculnya boredom effect pada responden. Menurut Field (2009), boredom effect dapat mengakibatkan responden tidak memunculkan perilaku yang sebenarnya, hal ini disebabkan kurangnya konsentrasi atau faktor kelelahan dalam mengerjakan pertanyaan yang banyak. Kedua, pemilihan variabel sekunder yang dipilih untuk dikonrol dalam penelitian belum mencakup keseluruhan faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antar variabel. Ketiga, untuk dapat lebih memperdalam mengenai hasil yang didapatkan dari responden, sebaiknya alat ukur yang digunakan tidak hanya kuesioner. Kesimpulan Berdasarkan metode dan analisis penelitian yang telah dilakukan, maka ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara sibling relationship terhadap motivasi berprestasi pada remaja dengan kedua orang tua yang bekerja. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi sibling relationship seorang remaja, maka semakin tinggi motivasi berprestasinya. Saran Terdapat beberapa saran metodologis yang dapat dipelajari dari penelitian ini, pertama, peneliti hanya mengontrol beberapa variabel sekunder yang terdapat dalam konstelasi keluarga yang sebenarnya dapat pula mempengaruhi sibling relationship. Peneliti hanya mengontrol jarak usia dan urutan kelahiran responden. Untuk penelitian selanjutnya, akan lebih baik apabila variabel yang dikontrol lebih banyak, seperti melibatkan pula jenis kelamin responden. Kedua, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan instrumen kuesioner. Untuk penelitian selanjutnya, dapat pula dilakukan penelitian dengan menggunakan alat ukur lainnya seperti observasi dan wawancara untuk melihat kualitas hubungan sibling relationship. Ketiga, terkait dengan penggunaan responden, peneliti mengambil sampel dari adik dan kakak yang memiliki jarak usia diatas 4 tahun. Penelitian selanjutnya terkait dengan sibling relationship dapat menggunakan responden yang berjarak usia dibawah 4 tahun untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut.
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Selanjutnya, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi perhatian khusus bagi para orangtua, khususnya bagi kedua orangtua yang bekerja, agar mendapatkan gambaran terkait dengan hubungan antara sibling relationship dengan motivasi berprestasi sehingga. Adanya gambaran tersebut diharapakan dapat digunakan orangtua untuk memotivasi anak dalam memiliki hubungan yang positif dengan saudaranya guna meningkatkan motivasi berprestasinya. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat digunakan oleh institusi yang terkait dengan perkembangan dan pendidikan anak guna memberikan gambaran berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Abramovitch, R., Corter, C. & Pepler, D. J. (1980). Observations of mixed-sex sibling dyads. Child Development, 51, 1268-1271. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/1129570 Alfaro, E. C. & Umana, A. J. (2010). Latino adolescent’s academic motivation: The role of sibling. Hispanic Journal of Behavioral Sciences, 32(4), 549- 570. doi: 10.1177/0739986310383165 Alschuler, A. S. (1973). Developing Achievement Motivation in Adolescents. New Jersey: Educational Technology Publications, Inc. American Academy of Pediatrics. (2010, Februari). How do the kids fare when both parents work? Diakses dari http://www.healthychildren.org/English/family-life/work-play/pages Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing. New Jersey: Prentice–Hall Inc. Atkinson, J. W. (1964). An Introduction to Motivation. Oxford: Van Nostrand Company, Inc. Badan Pusat Statistik. (2014, Januari). Hasil Survei Biaya Hidup. Diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/sbh_02jan14.pdf Bouchey, H. A., Shoulberg, E. K., Jodi, K.A. & Eccles, J.S. (2010). Longitudinal links between older sibling features and younger siblings’ academic adjustment during early adolescence. Journal of Educational Psychology, 102, 197-211. doi:10.1037/a0017487 Buhrmester, D. & Furman, W. (1990). Perceptions of sibling relationship during middle childhood and adolescence. Child Development, 61, 1387-1398. doi: 009-392O/9O/6105-O026$01.00 Brody, G. H. (1998). Sibling relationship quality: Its causes and consequences. Annual Review of Psychology, 49, 1-24. doi: 0066-4308/98/0201-0001 Brofenbrenner, U. (1979). The ecology of human development. Cambridge, MA: Harvard University Press. Chabra, S. & Kumari, l. (2011). Effect of Parental Encouragement on achievement motivation of adolescents. International Journal of Education and Allied Sciences, 3, 73-78. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1039640996/3F1C77C95FAF4CAFP Cicirelli, V. G. (1995). Sibling Relationship Across the Life Span. New York: Plenum Press. DeVellis, R. F. (2003). Scale Development. London: SAGE Publications. Dunn, J. & Kendrick, C. (1982). Siblings: Love, envy, and understanding. UK: Harvard University Press.
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Edelman, R. (2002). Should both parents work?. Diakses dari http://homeparents.about.com/cs/familyfinances/a/bothwork.htm Edwards, R., Hadfield, L., Lucey, H. & Mauthner, M. (2006). Sibling Identity and Relationship. New York: Routledge. Ekayanti, R. (2009). Hubungan antara sibling relationship dengan motivasi berprestasi pada remaja putri. Skripsi. Universitas Indonesia. Esmaeili, N. S., Yaacob, N. S., Juhari, R. & Mansor, M. (2011). Post-divorce parental conflict, economic hardship and academic achievement among adolescents of divorced families. Canadian Center of Science and Education, 7, 119-124. doi: 10.5539/ass.v7n12p119 Fan, W. & Williams, C.M. (2010). The effects of parental involvement on students’ academic self-efficacy, engagement and intrinsic motivation. Educational Psychology, 30, 53-74. doi: 10.1080/01443410903353302 Feld, S., Ruhland, D. & Gold, M. (1979). Developmental changes in achievement motivation. Merrill-Palmer Quarterly of Behavior and Development, 25(1), 43-60. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/23084576 Field, A. (2009). Discovering Statistics using SPSS. London: SAGE Publications. Guntoro, V. P. (2012). Hubungan antara pola asuh permisif dan motivasi berprestasi pada siswa SMP Susteran Purwokerto. Tugas Akhir. Universitas Kristen Satya Wacana. Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences. Canada: Wadsworth. Guilford, J. P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York: McGraw-Hill. Hoffman, L. W. (1998). The effects of the mother's employment on the family and the child. Diakses dari http://parenthood.library.wisc.edu/Hoffman/Hoffman.html Hudley, C. & Gotfried, A. E. (2008). Academic Motivation and the Culture of School in Childhood and Adolescence. New York: Oxford University Press, Inc. Irmawan, D. (2009). Hubungan antara dimensi-dimensi school well-being dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas X di SMA unggulan. Skripsi. Universitas Indonesia. Iswanti, Y. W. (2001). Pengaruh motivasi berprestasi dan peran orang tua dengan prestasi belajar siswa SMA Tarakanita 1 (Laporan Penelitian). Diakses dari http://www.stikstarakanita.ac.id/files/Jurnal%20Vol.%202%20No.%202/176.%20Pengaruh%20Motivasi%20Berprestas i%20_Sr.pdf Kim J. Y., McHale S. M., Crouter A. C. & Osgood D. W. (2007). Longitudinal linkages between sibling relationships and adjustment from middle childhood through adolescence. Developmental Psychology, 43, 960-973. doi: 0.1037/0012-1649.43.4.960 Kumar, R. (1999). Research Methodology. London: SAGE Publications. McClelland, D.C. (1951). Personality. New York: William Sloane Associates. McClelland, D. C., Atkinson, J. W., Clark, R. A. & Lowell, E. L. (1953). The Achievement Motive. New York: Appleton-Century-Crolts, Inc. McDade, M. M. (2010). Measuring adolescents’ perceptions of sibling social support:The relationship between sibling social support with support from others and with academic and internalizing outcomes (Master’s thesis). Diakses dari ProQuest Dissertations and Theses Database. (UMI No. 1480727).
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014
Nunnally, J. C. & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric Theory. New York: McGraw-Hill. Pajoluk, D. N. (2013). Sibling relationship predictors of academic achievement in adolescents Disertasi. Diakses dari http://escholarship.org/uc/item/8db6b27b Patrikakou, E. N. (2008). The Power of Parent Involvement: Evidence, Ideas, and Tools for Student Success. New York: Academic Development Institute Petri, H. L. & Govern, J. M. (2004). Motivation. Belmont: Wadsworth. Pressley, M. & McCormick, C. B. (2007). Child and Adolescent Development for Educators. New York: The Guilford Press. Rice, F. P. & Kim, G. D. (2008). The Adolescent: Development, Relationship, and Culture. Boston: Pearson. Riggio, H. R. (2000). Measuring attitudes toward adult sibling relationship: The lifespan sibling relationship scale. Journal of Social and Personal Relationships, 17, 707-728. doi: 10.1177/0265407500176001 Santrock , J.W. (2011). Educational Psychology. Boston: McGraw-Hill. Scheve, T. (2010). What are the advantages of both parents working? Diakses dari http://lifestyle.howstuffworks.com/family/parenting/working-parents/advantages-both-parents working.html Schunk, D. H., Pintrich, P. R. & Meece, J. L. (2010). Motivation in Education. Boston: Pearson, Inc. Singh, K. (2011). Study of achievement motivation in relation to academic achievement of students. International Journal of Educational Planning & Administration, 1, 161-171. Diakses dari http://www.ripublication.com/ijepa/ijepav1n2_8.pdf Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology: Theory and practice. Massachusetts: Allyn and Bacon. Smolensky, E. & Gootman, J.A. (2003). Working Families and Growing Kids. New York: The National Academic Press. Steinberg. L. (2002). Adolescence . Boston: McGraw-Hil. Tsang, A. (2009). The effects of working mothers on sibling rivalry. Undergraduate Research Community. Diakses dari http://www.kon.org/urc/v8/tsang.html Tucker, C. J., McHale, S. M. & Crouter, A. C. (2001). Conditions of sibling support in adolescence. Journal of Family Psychology, 15, 254-271. doi: 10.1037//O893-32OO. 15.2.254 Volling, B. L. & Blandon, A. Y. (2003). Positive indicators of sibling relationship quality: Psychometric analyses of the sibling inventory of behavior. In Moore, K.A. & Lippman, L.H. (Eds.). What do children need to flourish (p. 203-219). US: Springer. Wigfield, A. & Eccles, J. S. (2002). The Development of Achievement Motivation. New York: Academic Press, Inc. Yeh, H. (2001). The influences of sibling relationship in adolescence. (Doctoral dissertation). Diakses dari ProQuest Dissertations and Theses Database. (UMI No. 3003283) Yeh, H & Lempers, J. D. (2004). Perceived sibling relationships and adolescent development. Journal of Youth and Adolescent, 33, 133-147. doi: 0047-2891/04/0400-0133/0 Zukow, P. G. (1989). Sibling Interaction Across Culture. New York: Spriger-Verlag. (2012, 09). Apakah Saya Butuh Asuransi Pendidikan. Diakses dari http://qmfinancial.com/apakah-saya-butuhasuransi-pendidikan/
Hubungan antara…, Fenesha Flourencia Effraim Mirah, FPsi UI, 2014