HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN AUTHORITARIAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF PADA ANGGOTA KEPOLISIAN
Ricky Ferdiansyah Retno Kumolohadi, S.Psi. Msi
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepribadian authoritarian dengan kecenderungan berperilaku agresif pada anggota kepolisian. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah; semakin tinggi kepribadian authoritarian seseorang, maka semakin tinggi kecenderungan berperilaku agresifnya. Subjek penelitian ini adalah para anggota kepolisian yang bertugas di Polres Sleman dan di kesatuan SAMAPTA. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala perilaku agresif yang dimodifikasi dari Ika Yuliana (2004) dan skala kepribadian authoritarian yang disusun oleh Widyaningsih (2001)). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS 12.00 for windows untuk menguji apakah ada hubungan antara kepribadian authoritarian dengan kecenderungan berperilaku agresif pada anggota kepolisian. Korelasi Product moment dari Pearson menunjukkan korelasi r = - 0,473 yang artinya ada hubungan negative yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan menjelang batas akhir masa studi. Jadi hipotesis penelitian ini diterima. Kata Kunci : kepribadian authioritarian, Perilaku agresif.
Pengantar
Dewasa ini di Indonesia, masih banyak terjadinya pelanggaran kedisiplinan oleh pihak aparat keamanan yang terjadi karena adanya kesalah pahaman ataupun tidak adanya kontrol emosi pada individu-individu anggota aparat keamanan. Hal ini dapat terjadi dimana saja, baik di ruang interogasi, kerusuhan, ataupun dalam aksi unjuk rasa. Aksi unjuk rasa dapat terjadi baik di kota besar maupun kota kecil telah banyak melibatkan masyarakat ataupun mahasiswa. Mereka melakukan demonstrasi karena menuntut hak-hak mereka yang tidak dapat terpenuhi, ataupun karena adanya perbedaan pendapat antara kedua belah pihak. Apabila demonstrasi yang dilakukan tidak dapat terkendali dapat mengakibatkan kerusuhan ataupun bentrokan fisik antara pelaku demonstrasi dan aparat keamanan yang bertugas. Dalam situasi seperti inilah peranan pihak kepolisian sangat diperlukan untuk dapat mencegah maupun meredam massa yang melakukan tindakan anarkis. Pada saat melakukan aksi untuk dapat meredakan massa yang melakukan tindakan yang bersifat anarkis pihak kepolisian di harapkan juga dapat mengandalikan emosi agar tidak terpancing emosinya. Namun tidak dapat dipungkiri terkadang beberapa anggota polisi juga dapat terpancing emosinya, sehingga dapat melakukan tindakan yang cenderung bersifat agresif terhadap para demonstran. Anggota polisi yang melakukan tindakan yang cenderung agresif tersebut dapat dikenakan pelanggaran disiplin oleh kesatuannya. Salah satu contohnya adalah melakukan perkelahian dalam tempat hiburan ataupun berkelahi dengan teman satu kesatuan.
Dalam pengamatan sampai saat ini masih banyak terjadinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan. Jenisnya mulai dari pelanggaran ringan sampai pada pelanggaran yang berat. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, karena tidak hanya warga sipil, tetapi banyak aparat yang melakukan.seperti kejadian yang pernah terjadi di Yogyakarta pada tahun 1998, yaitu kerusuhan yang terjadi di Gejayan yang mengakibatkan tewasnya Moses Gatot Kaca oleh oknum aparat (Kedaulatan Rakyat, tahun LIV no. 47/12 November 1998). Agresifitas fisik anggota kepolisian terhadap warga sipil banyak terjadi, salah satu contoh kasusnya adalah pada tahun 2006 terjadi konflik tentang pertambangan Freeport yang memperebutkan tempat pertambangan emas antara PT. Freeport dengan para penambang emas lokal, yang mana dalam kejadian tersebut banyak warga sipil yang terluka sebanyak 143 orang dan yang meninggal dunia 3 orang dan Komnas HAM wilayah Papua telah melaporkan agresifitas fisik kepolisian tersebut kepada Komnas HAM Pusat. Sedangkan pada tahun 2004, kasus TPST Bojong juga terjadi tindakan penangkapan semena-mena dan pemukulan terhadap warga Bojong, dan kejadian ini juga telah dilaporkan kepada Komnas HAM, hal ini dikarenakan warga di wilayah tersebut melakukan aksi damai tentang penolakan TPST Bojong yang telah direncanakan dan akan diresmikan dan pihak polisi melakukan tindakan represif yang mengakibatkan 7 orang luka-luka terkena tembakan peluru tajam aparat keamanan. Tindakan agresif yang dilakukan oleh beberapa anggota kepolisian tidak hanya terjadi ketika mereka sedang melakukan tugas pengamanan demonstrasi,
tetapi juga bisa terjadi di dalam kantor polisi itu sendiri. Seperti di dalam sel tahanan ataupun ruang interogasi. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap bekas narapidana yang berinisial OV, dia mengatakan bahwa sewaktu dulu dia baru tertangkap dan dibawa ke kantor polisi, setelah sampai disana dia langsung di interogasi oleh beberapa anggota polisi. Apabila dia diberi pertanyaan dan tidak mau mengakuinya maka ada salah satu anggota polisi tersebut mengancam
akan
melakukan
pemukulan
dan
tidak
segan-segan
akan
memukulnya. Berdasarkan insiden yang pernah terjadi dapat diambil suatu gambaran bahwa menjadi seorang aparat negara tugasnya sangatlah berat, karena harus dapat mengontrol diri sendiri dalam melaksanakan tugas dan dituntut untuk dapat mengayomi dan melindungi rakyat yang heterogen dan sangat komplek. Bila tidak hati-hati dalam melaksanakan tugas akan sangat fatal akibatnya, baik bagi diri sendiri, kesatuannya, maupun lingkungan sekitarnya. Suasana dilematis dan emosi yang dirasakan oleh anggota polisi saat melakukan tugasnya dapat dikarenakan oleh faktor perintah dari komandan untuk dapat menindak secara tegas para pelanggar peraturan maupun para pengunjuk rasa yang melakukan tindakan yang anarkis. Dalam hal ini kepatuhan kepada Komandan atau atasan yang lebih berwenang dalam memberikan perintah harus di nomor satukan walaupun ada dilema dalam diri kita. Kepatuhan yang di ajarkan kepada para anggota polisi dimulai saat mereka pertama kali mengikuti Akademi Kepolisian dan mereka dituntut untuk dapat mematuhi perintah perintah dan peraturan yang ada, apabila mereka tidak mampu akan mendapatkan hukuman.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi anggota polisi untuk mematuhi perintah dari atasan karena adanya faktor kepribadian autoritarian, yang mana menurut Altameyer diartikan sebagai kepatuhan pada penguasa yag berlebihan, terjadinya tingkat konformitas yang ekstrem terhadap standar perilaku konvensional dan sikap permusuhan dan penghukuman terhadap orang-orang yang berbeda dan minoritas. Sedangkan kepribadian autoritarian yang diperkenalkan oleh Adorno (dalam Bartol, 1994)) merupakan teori prasangka yang bersifat individualis. Menurutnya prasangka berkaitan dengan karakteristik individu. Orang yang memilki kepribadian ini sangat segan dengan terhadap figur otoritas dan menunjukkan permusuhan terbuka dengan anggota out group. Kepribadian autoritarian secara umum menunjukkan kesetiaan atau loyalitas yang tinggi terhadap figur otoritas atau dalam hal ini komandan. Selain itu juga kepribadian autoritarian juga mempunyai kedisiplinan yang tinggi, hal ini terbentuk karena adanya hukuman yang diberikan dari pihak autoritarian terhadap individu yang melanggar peraturan. Menurut Adorno (dalam Bartol, 1994) kepribadian autoritarian juga mempunyai pola pikir yang kaku dan hanya bisa menunjukkan yang benar dan salah tanpa harus mendengarkan alasan apapun. Salah satu faktor yang menentukan terjadinya perilaku agresif adalah adanya kekuasaan dan kepatuhan seorang kepada figure otoritas. Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuasaan itu cenderung disalah gunakan menjadi kekuatan memaksa, dan ini memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. Weber ( dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuatan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang
mampu merealisasikan segenap keinginannya. Salah satu aspek penunjang kekuasaan adalah pengabdian atau kepatuhan. Kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresif sekarang. Selain faktor yang dapat menyebabakan munculnya perilaku agresif pada anggota polisi adalah mereka mempunyai pola pikir yang kaku, hanya bisa melihat yang salah atau benar tanpa mau menerima alasan apapun. Salah satu contoh adalah ketika anggota polisi menindak tegas pelaku pelanggaran lalu-lintas yang tidak membawa SIM, mereka akan tetap memberikan tilang walaupun sang pelanggar mengatakan berbagai alasan supaya tidak ditilang. Selain itu mereka juga sangat loyal terhadap atasannya. Apabila suatu hal terjadi dan di luar kemauan mereka, maka mereka tidak akan segan menindak secara tegas dan dapat memunculkan perilaku agresif tersebut. Salah satu contoh kasus terjadi pada tanggal 17 Maret 2007, saat salah satu anggota polisi yang bernama Bripka. Hance menyandera dan menembak mati atasannya karena tidak mau di pindah tugaskan di wilayah lainnya. Pada kejadian tersebut Bripka Hance terpaksa ditembak mati oleh para anggota Brimob dari Polwil Semarang. Dalam kejadian itu dapat digambarkan bahwa terjadi loyalitas pada perintah atasan yang dilakukan oleh anggota Brimob agar dapat menembak mati Bripka Hance walaupun mereka adalah teman sendiri dalam kesatuan Polwil Semarang. Berdasarkan asumsi dan beberapa contoh kasus di atas dalam kesempatan ini penulis ingin membuktikan ada tidaknya hubungan antara kepribadian autoritarian dengan kecenderungan perilaku agresif pada anggota kepolisian.
Kepribadian Authoritarian Ada beberapa definisi atau pengertian tentang agresifitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Sehingga apabila ingin mempelajari masalah agresifitas seolah-olah memasuki suatu urutan semantic dan berbagai macam definisi akan muncul. Menurut Baron dan Byrne (1984) perilaku agresi adalah suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai ataupun mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan perilaku tersebut. Berkowitz (1995) tingkah laku agresif dipandang sebagai suatu respon yang terbuka,dilakukan dengan menyampaikan stiumulus yang berbahaya kepada orang lain. Tingkah laku agresif adalah tingkah yang sifatnya cenderung kearah perkelahian atau kearah serangan. Menurut Moore dan Fine (Koeswara,1988) memberikan pengertian agresif yang dilihat dari sudut pandang bentuk perilakunya. Agresi adalah perilaku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap seseorang atau objek-objek. Dapat dikatakan bahwa sasaran perillaku tidak terbatas hanya pada manusia, tapi juga benda. Dari sudut pandang Baron (dalam Berkowitz, 1995) memahami agresif sebagai perilaku sebagai perilaku yang secara sengaja menyakiti orang lain dengan melukainya. Perilaku tersebut ditunjukan secara verbal atau fisik dengan maksud untuk melukai orang lain (Myers,1999). Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif
adalah suatu perilaku yang mempunyai tujuan untuk merugikan orang lain dan bentuk dari peilaku agresif ini dapat berupa fisik ataupun verbal. Demikian dapat
dikatakan kecenderungan perilaku agresif adalah suatu posisi untuk menunjukkan sikap permusuhan ataupun melukai orang lain.
Perilaku Agresif Kepribadian authoritarian adalah salah satu bentuk kepribadian individu yang ditunjukkan dengan karakteristik kepatuhan yang berlebihan kepada penguasa. Menurut Altameyer (Taylor, Peplau, dan Sears, 1994) mendefinisikan kepribadian authiritarian sebagai kepatuhan pada penguasa yang berlabihan, tingkat konformitas yang ekstrim terhadap standar perilaki konvensional, hidup permusuhan dan penghukuman terhadap orang-orang yang berbeda dan minoritas. Sedangkan menurut pendapat Adorno (Bartol, 1994) bahwa kepribadian autoritarian merupakan teori prasangka yang bersifat individualis. Prasangka berkaitan dengan karakteristik individu, orang yang memiliki kepribadian ini sangat segan dan memilki kesetiaan yang tinggi terhadap figur otoritas, selain itu kepribadian otoritas juga memilki disiplin yang tinggi, mempunyai pola pikir yang kaku dan hanya melihat mana yang benar atau yang salah tanpa mau menerima alasan apapun.
Hubungan Antara
Kepribadian Autoritarian Dengan
Kecenderungan Berperilaku Agresif Pada Anggota Kepolisian Menjadi penegak hukum biasa adalah tidak mudah karena selalu dituntut untuk melayani masyarakat sekaligus menindak masyarakat yang mau memecah belah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kewajiban dan
tanggung jawab sebagai polisi. Itulah gambaran polisi, suatu birokrasi yang penuh dengan ambivalensi. Di satu pihak dituntut untuk bertindak tegas kepada orang yang melanggar peraturan yang ada, dan di pihak lain dituntut untuk berlaku simpatik. Pekerjaan polisi bila dilihat dari tujuan dan tugasnya sungguh sangat berat, karena dalam pelaksanaanya sungguh sangat rumit dan kompleks, yaitu harus dapat menciptakan keamanan nasional. Dalam pekerjaan yang sangat kompleks itu, polisi dituntut untuk dapat berperan sesuai dengan situasi yang ada. Tidak jarang peran itu menuntut ditampilkan secara bersamaan. Pendapat tersebut diatas dapat ditarik suatu gambaran bahwa tugas polisi penuh dengan resiko. Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi tujuan tugas polisi belum dapat sepenuhnya tercapai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya pelanggaran yang terjadi mulai dari yang ringan sampai yang berat. Belum tercapainya tujuan tersebut oleh karena banyaknya masyarakat yang belum sadar akan pentingnya hukum, adanya ancaman bahaya yang mengarah pada tindakan atau gerakan-gerakan separatis dan sebagainya. Individu memiliki dorongan-dorongan aspek kepada yang mungkin dapat menghasilkan perilaku dominan pada suatu situasi, hal ini ditunjukkan oleh kepribadian Authoritarian. Orang yang berkepribadian authoritarian merupakan orang yang merasa dirinya kurang penting, kurang kuasa, dan tunduk pada orang yang berkuasa (Argyle,1994). Orang–orang tersebut dapat menemukan figure yang berkuasa dengan menjadi anggota suatu kelompok. Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuasaan itu cenderung disalah gunakan menjadi
kekuatan memaksa, dan ini memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agressi. Weber ( dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuatan
memungkinkan
seseorang
atau
sekelompok
orang
mampu
merealisasikan segenap keinginannya. Salah satu aspek penunjang kekuasaan adalah pengabdian atau kepatuhan. Kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresif sekarang. Altameyer (dalam Taylor, Peplau,Sears, 1994) mengidentifikasikan tipe kepribadian authoritarian dengan beberapa karakteristik, yaitu kepatuhan pada penguasa secara berlebihan, terjadinya tingkat konformoitas yang ekstrem terhadap perilaku konfensional dan sikap permusuhan dan penghukuman terhadap orang-orang yang berbeda dan minoritas. Berdasar penjelasan-penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa orang dengan
tipe kepribadian authoritarian mempunyai kecenderungan untuk
berperilaku agresif dan patuh terhadap figure otoritas. Adorno (dalam Bartol, 1994) menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian authoritarian sangat segan terhadap figur otoritas. Mereka memiliki kesetiaan dan loyalitas terhadap figure otoritas, serta taat pada kedisiplinan yang tinggi. Mereka akan patuh terhadap perintah dari figure otoritas tersebut, bahkan akan melakukan perintah paling agresif sekalipun. Ia akan takut untuk tidak melakukan seperti yang diperintahkan. Ia akan mencari cara agar selamat, salah satunya adalah dengan jalan kekerasan Dijelaskan pula, bahwa orang-orang yang mempunyai kepribadian authoritarian mempunyai standar perilaku konvensional. Mereka cenderung
bermusuhan terhadap orang yang mempunyai standar perilaku yang berbeda dengan dari mereka, sehingga ia akan memaksakan kehendaknya pada orang lain, jika tidak mau maka ia akan menggunakan cara-cara yang membuat orang takut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan jalan kekerasan, baik verbal maupun secara fisik. Sikap permusuhan tersebut dapat memicu perilaku agresif pada individu dengan kepribadian tersebut. Mereka berkeinginan untuk memberikan hukuman kepada orang yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai ideal yang dianutnya. Kepribadian authoritarian, sebagaimana dinyatakan oleh Adorno(dalam Bartol, 1994) terbentuk melalui pemberian hukuman oleh pribadi otoritas, kepada orang-orang yang melanggar peraturan. Keteraturan dan kedisiplinan dibengun melalui proses yang bersifat agresif. Individu-individu tersebut pada akhirnya mengalami suatu proses belajar (social learning). Hingga pada akhirnya berkesimpulan bahwa keteraturan dan kedisiplinan harus dibangun melalui proses yang melibatkan kekerasan dan agresif. Pada akhirnya mereka juga menerapkan cara-cara tersebut untuk menciptakan keteraturan, kedisiplinan, serta kepatuhan pada orang lain diluar kelompok mereka. Melalui penjelasan-penjelasan oleh Adorno(dalam Bartol, 1994) dapatlah diketahui secara teoritis tipe kepribadian authoritarian merupakan salah satu factor predisposes sisi dari terjadinya perilaku agresif pada diri seseorang.
Hipotesis Ada hubungan positif antara kepribadian authoritarian dengan kecenderungan perilaku agresif. Semakin authoritarian kepribadian seseorang, maka semakin cenderung berperilaku agresif. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kepribadian autoritariannya, semakin rendah pula tingkat kecenderungan berperilaku agresif.
Identifikasi Variable Penelitian Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: 1. Variabel Tergantung
: Perilaku Agresif
2. Variabel Bebas
: Kepribadian Authoritarian
Subyek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah para anggota kepolisian yang masih bertugas di Polres Sleman khususnya pada kesatuan SAMAPTA.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala, yang terdiri dari dua alat ukur, yaitu skala perilaku agresif dan skala kepribadian autoritarian. Bentuk skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala questionare tertutup. Dengan bentuk skala semacam ini, subyek telah diberi beberapa alternatif jawaban, dan subyek diminta untuk memilih salah satunya.
Berikut ini adalah penjelasan dari skala-skala tersebut: 1.
Skala Perilaku Agresif Skala perilaku agresif yang digunakan untuk penelitian ini disusun oleh
peneliti sendiri, merupakan modifikasi dari skala perilaku agresif yang digunakan oleh Ika Yuliana (2004) yang disusun berdasarkan aspek-aspek perilaku agresif.yaitu: 1. Perilaku agresif fisik aktif secara langsung. 2. Perilaku agresif fisik aktif secara tidak langsung. 3. Perilaku agresif fisik pasif secara langsung. 4. Perilaku agresif fisik pasif secara tidak langsung. 5. Perilaku agresif verbal aktif secara langsung. 6. Perilaku agresif verbal aktif secara tidak langsung. 7. Perilaku agresif verbal pasif secara langsung. 8. Perilaku agresif verbal pasif secara tidak langsung. Pada skala perilaku agresif memiliki empat(4) alternatif jawaban, yaitu pilihan jawaban A,B,C dan D. Pernyataan jawaban untuk angka genap a diberi skor 4, jawaban b diberi skor 3, jawaban c diberi skor 2, jawaban d diberi skor 1. dan untuk angka ganjil a diberi skor 1, jawaban b diberi skor 2, jawaban c diberi skor 3, jawaban d diberi skor 4.
2. Skala Kepribadian Authoritarian Skala kepribadian autoritarian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert modifikasi dari Skala Kepribadian Authoritarian yang disusun oleh Widyaningsih (2001). Skala ini disusun berdasarkan tiga aspek yaitu: kepatuhan authoritarian, konvensionalisme, dan agresi authoritarian.
Pada skala kepribadian autoritarian memiliki empat (4) alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, sangat tidak sesuai, hal ini untuk menghindari sentralisasi yaitu kemungkinan subjek menjawab ragu-ragu. Pernyataan favorable, jawaban Sangat Sesuai(SS) diberi skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 1. pernyataan yang unfavorable, Sangat Sesuai (SS) diberi skor 1, Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3 dan Tidak Sesuai (STS) diberi skor 4. Metode Analisis Data Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan tehnik korelasi product moment dengan program SPSS for Windows versi 12.0.
Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara variabel kepribadian autoritarian dengan perilaku agresif. Angka koefisien korelasi sebesar rxy = 0,631 dengan p= 0,00 (p<0,01) menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti, artinya semakin tinggi kepribadian autoritarian yang dimiliki individu, maka semakin tinggi perilaku agresifitasnya. Sebaliknya, semakin rendah kepribadian autoritarian
yang dimiliki individu,
maka semakin rendah pula perilaku agresifnya. Menjadi penegak hukum biasa adalah tidak mudah karena selalu dituntut untuk melayani masyarakat sekaligus menindak masyarakat yang mau memecah belah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kewajiban dan
tanggung jawab sebagai polisi. Itulah gambaran polisi, suatu birokrasi yang penuh dengan ambivalensi. Di satu pihak dituntut untuk bertindak tegas kepada orang yang melanggar peraturan yang ada, dan di pihak lain dituntut untuk berlaku simpatik dan adil. Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi tujuan tugas polisi belum dapat sepenuhnya tercapai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya pelanggaran yang terjadi mulai dari yang ringan sampai yang berat. Belum tercapainya tujuan tersebut oleh karena banyaknya masyarakat yang belum sadar akan pentingnya hukum, adanya ancaman bahaya yang mengarah pada tindakan atau gerakan-gerakan separatis dan sebagainya. Individu memiliki dorongan-dorongan aspek kepada yang mungkin dapat menghasilkan perilaku dominan pada suatu situasi, hal ini ditunjukkan oleh kepribadian Authoritarian. Orang yang berkepribadian authoritarian merupakan orang yang merasa dirinya kurang penting, kurang kuasa, dan tunduk pada orang yang berkuasa. Orang–orang tersebut dapat menemukan figure yang berkuasa dengan menjadi anggota suatu kelompok. Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuasaan itu cenderung disalah gunakan menjadi kekuatan memaksa, dan ini memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. Weber ( dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuatan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mampu merealisasikan segenap keinginannya. Salah satu aspek penunjang kekuasaan adalah pengabdian atau kepatuhan. Kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresif sekarang.
Altameyer (dalam Taylor, Peplau,Sears, 1994) mengidentifikasikan tipe kepribadian authoritarian dengan beberapa karakteristik, yaitu kepatuhan pada penguasa secara berlebihan, terjadinya tingkat konformoitas yang ekstrem terhadap perilaku konvensional dan sikap permusuhan serta penghukuman terhadap orang-orang yang berbeda dan minoritas. Dan ini merupakan salah satu penyebeb terjadinya kecenderungan berperilaku agresif pada anggota kepolisian, karena dalam kepolisian adalah suatu kewajiban melaksanakan perintah dari atasan tanpa boleh menentangnya. Selain itu dalam kehidupan seorang polisi memang telah terbentuk kepribadian authoritarian yang didasari pada waktu pendidikan sebelum kepolisian itu dan hal ini telah tertanam pada diri seorang polisi. Adorno (dalam Bartol, 1994) menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian authoritarian sangat segan terhadap figur otoritas. Mereka memiliki kesetiaan dan loyalitas terhadap figure otoritas, serta taat pada kedisiplinan yang tinggi. Mereka akan patuh terhadap perintah dari figure otoritas tersebut, bahkan akan melakukan perintah paling agresif sekalipun. Ia akan takut untuk tidak melakukan seperti yang diperintahkan. Ia akan mencari cara agar selamat, salah satunya adalah dengan jalan kekerasan Kepribadian authoritarian, sebagaimana dinyatakan oleh Adorno(dalam Bartol, 1994) terbentuk melalui pemberian hukuman oleh pribadi otoritas, kepada orang-orang yang melanggar peraturan. Keteraturan dan kedisiplinan dibengun melalui proses yang bersifat agresif. Individu-individu tersebut pada akhirnya mengalami suatu proses belajar (social learning).
Hingga pada akhirnya berkesimpulan bahwa keteraturan dan kedisiplinan harus dibangun melalui proses yang melibatkan kekerasan dan agresif. Pada akhirnya mereka juga menerapkan cara-cara tersebut untuk menciptakan keteraturan, kedisiplinan, serta kepatuhan pada orang lain diluar kelompok mereka. Melalui penjelasan-penjelasan oleh Adorno(dalam Bartol, 1994) dapatlah diketahui secara teoritis tipe kepribadian authoritarian merupakan salah satu factor predisposes sisi dari terjadinya perilaku agresif pada diri seseorang. Karena semakin tinggi tingkat kepribadian authoritarian maka kecenderungan perilaku agresif akan semakin tinggi pula, hal ini di karenakan seseorang yang berkepribadian authoritarian tidak akan berani melawan atasannya dan dia akan cenderung mencari objek lain untuk melampiaskan kekesalannya, dan biasanya adalah orang yang cenderung setara atau berada di bawahnya. Terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, yaitu terjadinya kesulitan dalam mencari subyek dengan karakteristik yang diharapkan. Hal ini disebabkan kebanyakan dari para anggota Kepolisian banyak yang berpindah tugas, khususnya di Kesatuan Samapta. Kelemahan lain adalah terdapat beberapa aitem dalam angket yang sulit dipahami oleh subyek. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa subyek yang menyatakan kurang memahami aitem-aitem dalam angket tersebut.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara kepribadian authoritarian dengan kecenderungan bererilaku agresif pada anggota kepolisian resort Sleman diterima. Ada hubungan positif antara dukungan kepribadian authoritarian dengan kecenderungan berperilaku agresif pada anggota kepolisian resort Sleman, artinya,
semakin
tinggi kepribadian authoritarian, semakin tinggi kecenderunagn berperilaku agresifnya. Sebaliknya, semakin rendah kepribadian authoritarian, semakin rendah juga kecenderunagn berperilaku agresif pada anggota kepolisian
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN AUTHORITARIAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF PADA ANGGOTA KEPOLISIAN
Oleh : Ricky Ferdiansyah Retno Kumolohadi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, T.W., Frenkel-Brunswik,E., Levinson. D.J, and Sanford, R.N. 1950. The Authoritarian Personality, New York, Harper and Brothers.
Argyle. M. 1994. The Psychology of Interpersonal Behavior 5th Edition. New York: Penguin Books USA Inc.
Baron, R.A and Byrne, D. 1984. Social Psychology: Understanding Human Interaction 4th edition. Boston: Allyn and Bacon. Inc.
Bartol, Curt. 1994. Psychology And Law: Research And Application. 2nd ed.
Berkowitz. L. 1993. Aggression Its Causes, Consequence And Control. University Of Winconsin. Madison.
Brigham. J. C. 1991. Social Psychology (2nd) New York. Harper Collins Publisher Inc.
Faturochman. 1993. Prasangka Dan Permusuhan Antar Kelompok. Laporan Penelitian. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi. UGM.
Yuliana, I. 2004. Perbedaan Kecenderungan Kenakalan Remaja Yang Mengalami Pola Asuh Otoriter Ditinjau Dari Status Ekonomi. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UII.
Kaplan, H.I, Saddock, B.J, Grebb, F.A. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis (jilid C), Jakarta, Binarupa Aksara
Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia, Bandung. PT Eresco.
Myers, D. 1995. Social Psychology. The McGraw-Hill Companies,.Inc. USA
Mulyani, 1999. Hubungan Stres Kerja Dan Perilaku Agresi Pada Anggota ABRI. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Rialida, H. 2005. Hubungan Antara Sikap Demokratis Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Pada Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UII.
Santhoso, 1994. Hubungan Antara Minat Terhadap Film Kekerasan Di Televisi Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja Di Kodya Yogyakarta. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Sears, D. D. Freedman, J. L, Peplau, L. A. 1991. Psikologi Sosial (Jilid 2). (Terjemaah Adryanto). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soekanto,. S. 1993. Kamus Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Taylor, S.E, Peplau, L.A, and Sears, D. 1994. Social Psychology 8nd edition. New Jersey: Prentice Hall
Trihono. L. 1994. Stres Kerja Dan Perilaku Agresif Pada Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Skripsi..(Tidak Diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Widyaningsih, 2001. Pengaruh Keaktifan Dalam Unit Kerohanian Mahasiswa Dan Kepribadian Otoriter Pada Prasangka Terhadap Pemeluk Agama Lain. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM