KAJIAN
STRATEGI PENINGKATAN KINERJA PELAKSANAAN PINJAMAN/HIBAH LUAR NEGERI
RINGKASAN
DIREKTORAT PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENDANAAN PEMBANGUNAN BAPPENAS 2004
RINGKASAN KAJIAN* STRATEGI PENINGKATAN KINERJA PELAKSANAAN PINJAMAN/HIBAH LUAR NEGERI Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menyusun strategi peningkatan kinerja pelaksanaan pinjaman/hibah luar negeri untuk mengurangi beban tambahan terhadap APBN serta tekanan pada neraca pembayaran luar negeri Kinerja pelaksanaan proyek pinjaman luar negeri didefinisikan sebagai tahap setelah disepakatinya perjanjian pinjaman/hibah (loan/grant agreement), yang dilanjutkan dengan proses pengadaan barang/jasa, dan pencairan dana. Kajian ini secara khusus akan menganalisis siklus proyek, efektifitas proyek serta manajemen keuangan dan aliran dana proyek. Efektifitas pelaksanaan proyek dilakukan untuk mendapatkan gambaran atas kinerja proyek khususnya persepsi masyarakat atas manfaat proyek. Manajemen keuangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran diagnostik atas postur manajemen keuangan dan prosedur aliran dana proyek. Sampel kajian ini dipilih dengan kriteria utama adalah angka progress varian. Progress varian positif menunjukkan penyerapan dana lebih cepat dari target waktu yang dijadwalkan. Sedangkan pogress varian negatif menandakan bahwa penyerapan dana lebih lambat dari waktu yang dijadwalkan. Kajian mendapatkan temuan bahwa secara umum, tidak terdapat permasalahan yang dapat menggagalkan pelaksanaan proyek. Berbagai hambatan yang ada disebabkan oleh adanya keterlambatan proses pelaksanaan, ketersediaan input khususnya lahan, kondisi alam yang tidak bersahabat, penolakan dari masyarakat serta konsepsi proyek yang belum dipahami. Dalam aspek manajemen keuangan, terdapat masalah baik yang paradigmatik, teknis ataupun transitional. Dalam aspek paradigmatik, adanya proses paralel dalam pengusulan dan penganggaran pinjaman/hibah. Dalam aspek transitional ditemukan hambatan berupa masalah dinamika desentralisasi yang menciptakan format baru hubungan antar lembaga di daerah. Kajian juga menghasilkan beberapa rekomendasi. Di antaranya adalah pengintegrasian peran perencanaan proyek yang akan didanai dengan pinjaman/hibah luar negeri antara Bappenas dan Depkeu. Dengan mekanisme tersebut maka sistem penganggaran menjadi terintegrasi dan tidak terdapat dual track budgeting. Selain itu juga perlu dikembangkan sistem untuk menjejak pemenuhan kebutuhan dana pendamping dan skema jaminan dana pendamping yang akan mencadangkan sejumlah dana tertentu untuk dana pendamping. Eksekusi, transfer dan pengakuan akuntansinya baru dimulai ketika perjanjian pinjaman sudah ditandatangani. Rekomendasi lainnya adalah dalam proses negosiasi, metode pencairan pinjaman juga harus dinegosiasikan. Metode yang disarankan adalah kredit L/C dan direct payment dengan metode clearance langsung dari lender. Selain itu koordinasi khusus dengan pemerintah daerah harus diupayakan di luar jalur koordinasi yang ada.
1. Latar Belakang Peran pinjaman luar negeri dalam perekonomian Indonesia sejatinya telah mulai terasa sejak masa Orde Lama. Akan tetapi peran itu tampak mulai menonjol setelah terjadinya transisi politik krusial pada tahun 1965, yang melahirkan Orde Baru. Implikasi
buruk kehidupan sosial ekonomi dari proses transisi tersebut dan orientasi ekonomipolitik pemerintah Orde Baru yang lebih terbuka tampaknya menjadi sebab mengapa pinjaman luar negeri kian terasa perannya. Dalam perkembangannya, pinjaman luar negeri tidak saja digunakan untuk pembangunan prasarana, akan tetapi juga untuk pengembangan industri barang-barang ekspor. Dalam kaitan dengan adanya dua pola penggunaan bantuan luar negeri tersebut, Kharas (1981), Obstfeld (1982), Dornbusch (1983) dan Glick (1983) memperkirakan kemungkinan terjadinya trade off dalam alokasi dana pinjaman di antara keduanya. Akan tetapi, dengan melihat perkembangan kegiatan ekonomi dan ekspor barang-barang nonmigas, dapat dikatakan bahwa trade off tersebut tidak terjadi di Indonesia. 1 Hingga Desember 2004, jumlah proyek pinjaman luar negeri yang sedang berjalan mencapai US$ 16,958.31 juta dengan total jumlah proyek dan program sebanyak 296 buah. Dari jumlah itu US$ 15,808.31 juta (93.2%) merupakan pinjaman proyek dengan 292 proyek, dan sisanya yakni US$ 1,150.00 juta (6.7%) merupakan pinjaman program dengan 4 program. Ditilik dari sumbernya, jumlah pinjaman luar negeri tersebut 19.19% berasal dari IBRD, 25.96% dari ADB, 41.95% dari JBIC, 2.95% dari pinjaman multilateral lain, 3.54% dari pinjaman bilateral lain, dan 6.41% merupakan Kredit Ekspor. Sedangkan kinerja atas pelaksanaan pinjaman luar negeri dari 2000-2004 dapat dilihat dalam Tabel 1. Di posisi waktu yang sama, tingkat penyerapan kumulatif pinjaman luar negeri itu tercatat baru mencapai 43.1%. Mencermati rendahnya tingkat penyerapan kumulatif pinjaman luar negeri tersebut secara hipotetis dapat dikatakan bahwa kinerja proyek pinjaman luar negeri selama ini belumlah optimal. Dengan kata lain dalam hal penyerapan dana pinjaman, rata-rata pelaksana proyek belum pernah merealisasikan apa yang mereka targetkan. Tabel 1 Kinerja Proyek Pinjaman Luar Negeri 2000-2004 (US$ jutaan) Tahun
Jumlah Loan
Jumlah Proyek
Penyerapan Kumulatif
%
Penyerapan Tahun Anggaran Target
%
Realisasi
2000
28,240.80
356
14,932.32
49.5
3,404.45
1,940.02
57.0
2001
23,316.80
324
13,351.27
59.4
3,661.91
2,372.27
69.4
2002
20,010.56
303
11,317.87
56.6
2,974.83
2,062.00
69.3
2003
15,378.05
286
7,871.63
51.2
2,764.18
1,744.37
63.1
2004
16,958.31
296
7,304.09
43.1
2,868.24
1,884.95
65.7
Sumber: Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman LN, Dit PEPP (berbagai edisi)
Kendatipun patut dipahami bahwa disbursement bukanlah satu-satunya parameter untuk mengukur kinerja keberhasilan pelaksanaan proyek, namun demikian angka
1
Secara teoritis, trade off terjadi karena adanya tenggang waktu (lag) dalam kemampuan perekonomian untuk memperoleh devisa jika hutang luar negeri digunakan untuk membiayai pengembangan barang-barang non traded (misalnya prasarana publik) sebagai alternatif pengembangan sektor produksi barang ekspor. Sumbangan tidak langsung dari pengembangan prasarana dan produksi beras kelihatan sangat mendukung usaha-usaha untuk memperoleh devisa dan menambah tabungan devisa di dalam negeri.
penyerapan (disbursement) bisa memberikan sinyal awal adanya persoalan dalam kinerja proyek. Hampir dapat dipastikan bahwa adanya permasalahan kinerja proyek tersebut membawa dampak yang merugikan. Beberapa hal seperti pembayaran beban tambahan, perpanjangan masa laku loan, keterlambatan dalam pemanfaatan proyek dan sebagainya, diduga kuat akan muncul sebagai implikasi dari permasalahan tersebut. Dalam Sidang CGI 10 Desember 2003, masalah terlambatnya penyerapan ini juga telah menjadi isu utama dalam diskusi di hari pertama. Perketatan pemantauan dan evaluasi atas proyek-proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri mulai banyak dibicarakan di kalangan kreditor, khususnya terkait dengan efektivitas pemanfaatan dana pinjaman luar negeri. Sebelumnya, berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri, Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas telah menekankan agar keterlambatan yang berdampak pada timbulnya kerugian-kerugian dikurangi secara drastis dan dikuantitaskan dan hasilnya diharapkan dapat dilaporkan kepada Presiden dalam sidang kabinet.
Kinerja Pelaksanaan Pinjaman Luar Negeri 30,000
US$ million
25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
2000
2001
Jumlah Loan
2002
T arget
2003
2004
Realisasi
Sumber: Diolah dari Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman LN, Dit PEPP (berbagai edisi)
Bertolak dari masalah tersebut di atas, maka yang dibutuhkan sekarang adalah suatu strategi yang jitu untuk mengatasinya. Strategi tersebut terutama harus difokuskan kepada bagaimana meningkatkan kinerja pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman/hibah luar negeri. Dalam konteks strategi tersebut hal yang tak boleh diabaikan adalah adanya suatu sistem pemantauan dan evaluasi yang komprehensif, sehingga didapatkan data dan informasi yang akurat serta up to date, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja pelaksanaan proyek pinjaman dan hibah luar negeri.
2. Tujuan Tujuan studi adalah untuk menyusun strategi peningkatan kinerja pelaksanaan pinjaman/hibah luar negeri untuk mengurangi beban tambahan terhadap APBN serta tekanan pada neraca pembayaran luar negeri. Dalam bentuknya sebagai sebuah strategi hasil studi ini diharapkan bersifat operasional.
3. Metodologi 3.1 Kerangka Analisis Fokus dari kajian ini adalah kinerja pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman/hibah luar negeri. Kajian ini tidak akan membahas fase-fase sebelumnya dari tahap pelaksanaan seperti proses pengusulan dan pencairan. Akan tetapi harus dipahami bahwa antara tahap pengusulan, pencairan, dan pelaksanaan sesungguhnya adalah fase-fase yang tidak dapat dipisahkan dalam tema besar perencanaan pinjaman luar negeri. Pemahaman ini bertolak dari hipotesis bahwa bisa jadi masalah-masalah yang muncul pada fase pelaksanaan proyek merupakan akibat dari adanya persoalan pada tahap pengusulan dan pencairan. Sebagai konsekuensinya beberapa pembahasan tentang kinerja pelaksanaan nantinya akan dikaitkan pula dengan tahap pengusulan dan pencairan pinjaman luar negeri, tanpa mengurangi konsentrasi pada analisis tentang kinerja pelaksanaan. Kinerja pelaksanaan proyek pinjaman luar negeri dalam konteks studi ini didefinisikan sebagai tahap setelah disepakatinya loan and/or grant agreement, yang dilanjutkan dengan proses pengadaan barang/jasa, pencairan dana dan implementasi. Karena fokus studi ini adalah pada tahap pelaksanaan proyek maka secara hipotetis dapat pula dikemukakan bahwa kinerja pelaksanaan proyek dikatakan buruk bila muncul beberapa permasalahan seperti keterlambatan penyaerapan dana pinjaman (disbursement), pengadaan barang dan jasa, dan adanya kerugian finansial di pihak Pemerintah Indonesia 3.2 Metode Palaksanaan Kajian Bertolak dari hipotesis permasalahan kinerja pelaksanaan proyek pinjaman luar negeri yang dikemukakan di atas maka akan digunakan 2 (dua) kelompok metode analisis yaitu: (1) analisis siklus dan efektivitas Proyek, (2) analisis manajemen keuangan dan aliran dana proyek 3.2.1. Analisis Siklus dan Efektivitas Proyek Siklus proyek adalah tahap-tahap yang harus dilalui oleh proyek semenjak diindentifikasikan atau dipilih sampai seluruh proses pembangunannya dinyatakan selesai (completed). Siklus proyek dapat merupakan siklus makro dan siklus mikro. Yang disebut sebagai siklus makro adalah perencanaan, persiapan, penilaian dan pelaksanaan serta pengendalian pembangunan nasional/proyek. Siklus mikro adalah siklus mulai tahap identifikasi atau memilih proyek investasi, persiapan atau formulasi proyek, penilaian, pelaksanaan, manajemen atau pengendalian dan evaluasi kinerja proyek. Dalam kajian ini, tahapan-tahapan dalam siklus proyek didasarkan pada keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 185/KMK.03/1996 dan Kep. 031/Ket/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam Rangka Pelaksanaan APBN. Keputusan tersebut kemudian diubah menjadi Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No. 459/KMK.03/1999 dan Kep. 264/Ket/09/1999. Keputusan lainnya yang juga digunakan dalam kajian ini adalah Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas Kep-102/MK.2/2002 dan Kep-292/M.PPN/09/2002 Pemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Proyek Pembangunan.
tentang
Sistem
3.2.2. Analisis Manajemen Keuangan dan Aliran Dana Proyek Manajemen keuangan akan dianalisis pada dua wilayah. Pertama, manajemen keuangan di tingkat nasional khususnya yang berhubungan langsung dengan konteks proyek pinjaman luar negeri. Setiap pinjaman luar negeri dikelola dengan prosedur manajemen keuangan pemerintahan yang berlaku nasional. Dengan demikian kehandalan manajemen keuangan di tingkat nasional akan punya pengaruh langsung pada efektivitas manajemen keuangan di tingkat proyek/mikro serta aliran dana proyek. Wilayah kedua yang dikaji adalah aspek mikro proyeknya. Manajemen keuangan di tingkat proyek mengikuti dua prosedur keuangan, yaitu dari pemerintah pusat dan dari pemberi pinjaman. Aspek-aspek ini mempengaruhi efektivitas manajemen keuangan dan aliran dana proyek sehingga kajian atas hal ini mutlak diperlukan. Analisis manajemen keuangan dan aliran dana proyek dilakukan atas dasar dua issue kerangka teoritiknya. Pertama, bahwa postur manajemen keuangan menentukan efektiftas aliran dana proyek. Postur manajemen keuangan memiliki dilematika yang mempengaruhi aspek efektiftas aliran dana proyek. Issue kerangka teoritik berikutnya adalah bahwa kelancaran aliran dana proyek akan mempengaruhi efektivitas sebuah proyek. Sebuah proyek tersusun atas aktifitas-aktifitas tertentu yang membutuhkan sumberdaya tertentu pula. Alur aktifitas pada dasarnya juga merupakan alur “pembelian” sumberdaya. Karenanya kelancaran dana proyek akan mempengaruhi kelancaran pembelian sumberdaya untuk menyelesaikan sebuah proyek. Analisis pada aspek manajemen keuangan dan aliran dana proyek akan dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Kajian akan dimulai dari kasus atau sampel yang akan digali mendalam secara eksplanatif-kualitatif. Kajian deskriptif atas berbagai konteks makro dan prosedur standarnya akan digali merujuk pada konteks setiap kasus atau sampel. Dengan demikian kajian akan mendapatkan hasil analisis yang mendalam dan spesifik. 3.3 Data Data yang dipergunakan adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer diambil melalui survey ke lapangan terhadap sampel yang ditetapkan. Survey akan dilakukan di beberapa provinsi/kabupaten sesuai dengan lokasi sampel. Berdasarkan wilayah sampel kajian ini terbagi di wilayah Sumatera Utara 6 (enam) proyek, Sulawesi Selatan 6 (enam) proyek dan Nusa Tenggara Barat 3 (tiga) proyek. Bila dipilah berdasarkan sumber pinjaman maka terbagi atas 3 (tiga) proyek dari IBRD, 2 (dua) proyek dari ADB, 4 (empat) proyek dari JBIC, 4 (empat) proyek dari pinjaman bilateral dan 2 (dua) proyek dari pinjaman multilateral. Kriteria utama dalam menetapkan suatu proyek sebagai sampel studi ini adalah dengan menggunakan angka progress varian. Angka progress varian merupakan selisih persentase waktu terpakai (elapsed time) dengan persentase penyerapan kumulatif (cummulative disbursement). Secara matematis progress varian diformulasikan sebagai berikut: Progress Varian = Penyerapan Kumulatif (%) – Waktu Terpakai (%)
Dengan demikian jika angka progress varian positif menunjukkan penyerapan dana lebih cepat dari target waktu yang dijadwalkan. Dalam pengertian lain bisa dikatakan bahwa kinerja pelaksanaan proyek yang bersangkutan relatif baik. Sebaliknya jika angka itu negatif menandakan bahwa penyerapan dana lebih lambat dari waktu yang dijadwalkan. Dalam arti bahwa kinerja pelaksanaan proyek yang bersangkutan relatif buruk. Dalam kaitan dengan kriteria tersebut, pemilihan sampel untuk studi ini diarahkan kepada kedua karakteristik kinerja tersebut. Artinya beberapa sampel proyek dipilih yang mempunyai progress varian positif, dan beberapa lainnya yang mempunyai progress varian negatif. Sampel proyek yang mempunyai progress varian positif dipilih dengan maksud untuk menelusuri aspek-aspek keberhasilan pelaksanaan proyek sehingga mempunyai kinerja yang relatif baik. Pengetahuan perihal aspek-aspek keberhasilan ini penting sebagai bahan pelajaran bagi proyek-proyek lain yang berkinerja relatif buruk. Sebaliknya pemilihan proyek-proyek yang memiliki progress varian negatif sebagai sampel studi ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek-aspek kekurangan dalam pelaksanaan proyek. Pemahaman tentang hal tersebut amat bermanfaat terutama bagi upaya merumuskan strategi peningkatan kinerja pelaksanaan proyek bantuan luar negeri.
4. Hasil Kajian dan Analisis Dari hasil kajian di lapangan atas berbagai proyek sampel terpilih, ditemukan berbagai masalah yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok. Pertama, adalah masalah paradigmatik, yaitu masalah-masalah yang bersifat mendasar dan strategis yang memberikan landasan bagi munculnya persoalan-persoalan yang bersifat sistemik dan teknis. Kedua, adalah masalah sistemik/teknis, yaitu masalah-masalah yang menyangkut sistem pengelolaan keuangan. Umumnya masalah sistemik ini bersifat teknis. Ketiga, adalah masalah transisional, yaitu masalah-masalah yang bersumber dari adanya proses transisi dalam lingkungan sistem ini di Indonesia. Secara skematik berbagai masalah tersebut terpetakan pada bagan 1. Seperti sudah disampaikan dalam metodologi, pendekatan analisis masalah dalam manajemen keuangan adalah pendekatan diagnostik. Ini berarti setiap sampel akan digali secara mendalam untuk mendapatkan data kualitatif mengenai masalah yang dihadapi. Dari berbagai masalah diagnostik setiap sampel yang ada kemudian dilakukan analisis untuk merumuskan pola masalah yang ada. Hasil analisis tersebut diuraikan di bawah ini. Diawali dengan masalah paradigmatik dilanjutkan dengan masalah sistemik/teknis dan diakhiri dengan masalah transisional.
Bagan 1 Masalah Utama dalam Pencairan Pinjaman Luar Negeri Lingkungan Pengendalian yang Lemah
Kepercayaan DONOR Rendah
Prosedur yang Berlapis: •Clearance berlapis Otorisasi rumit
Problem Paradigmatik: • Dual track budgeting Project seeking
Problem sistem keuangan:DIP terlambat SDM: • Pergantian Pimpro Pemahaman kurang
Kelambatan dalam Pencairan
Problem transisional OTDA: • Koordinasi kebijakan Problem dana Administrasi APBD
4.1. Masalah Paradigmatik 4.1.1. Lingkungan Pengendalian yang Buruk Kehandalan sistem pengendalian keuangan ditentukan oleh lingkungan pengendalian serta oleh prosedur/sistem akuntansinya. Lingkungan pengendalian dimaknai sebagai berbagai hal dari aspek budaya organisasi, penegakan hukum, sumberdaya manusia serta berbagai aspek nonteknis yang melingkupi sebuah sistem pengendalian. Sekalipun secara teknis tidak berhubungan langsung namun lingkungan pengendalian memberikan pengaruh yang besar atas kehandalan sistem. Penjelasan utama dari hal ini karena aspek teknis pengendalian akan direspon oleh khususnya para pemakai bergantung pada berbagai aspek nonteknis tersebut. Sebagai contoh, budaya organisasi yang kondusif bagi penyelewengan akan melemahkan sistem pengendalian betapapun handalnya sistem ini secara teknis. Aspek prosedur dan sistem akuntansi mempengaruhi kehandalan sistem secara teknis. Berbagai aspek dasar seperti otorisasi keuangan, pemisahan kewenangan, dokumentasi yang rapi dan independent checks menentukan kehandalan sistem tersebut. Sistem yang berlaku di Indonesia praktis dapat disebut memiliki lingkungan pengendalian keuangan yang buruk. Berbagai indikator yang ada baik dari laporan lembaga internasional seperti Transperancy Internasional ataupun lembaga lokal seperti ICW dan MTI menggambarkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masihlah amat tinggi. Dari perspektif negara pemberi pinjaman maka persepsi di atas pastilah dipahami dengan sesungguhnya. Informasi dari sumber laporan tersebut dan berbagai wacana di media massa praktis semakin menegaskan persepsi tersebut. Dalam batas tertentu, patut diduga mereka juga mengirimkan tim survei untuk menyusun laporan khusus mengenai hal ini. Pemahaman tersebut menjelaskan mengapa prosedur pencairan pinjaman di Indonesia amatlah rumit dan berlapis. Berbagai mekanisme clearance diterapkan, dokumen keuangan cukup banyak, prosedur pengadaan rumit, otorisasi berlapis, dsb. didesain dan diterapkan di Indonesia untuk menutup kelemahan dalam aspek lingkungan pengendalian. Secara teoritis bila lingkungan pengendaliannya buruk maka cara untuk meningkatkan kehandalan sistem pengendalian adalah dengan mempertinggi kualitas teknis prosedur dan sistem akuntansinya. Jadi bila lingkungan pengendalian keuangan di
Indonesia buruk maka dapat dipahami bahwa para pemberi pinjaman akan meminta prosedur keuangan yang lebih handal. Kehandalan prosedur keuangan dalam pandangan awam identik dengan kerumitan. Karena prosedur memang didisain untuk menjadi kompleks, terkait dan saling terikat untuk mengantisipasi pelanggaran dan kesalahan. Kerangka ini yang menjelaskan mengapa prosedur pencairan pinjaman di Indonesia cenderung rumit dan berlapis. Kerangka ini pula menjelaskan bagaimana prosedur tersebut didisain untuk Indonesia. Dalam sudut pandang negara donor, satusatunya pilihan bila tetap memutuskan memberikan pinjaman kepada Indonesia dalam lingkungan pengendalian yang buruk adalah dengan memperkuat prosedur pengendaliannya. 4.1.2. Dual Track Budgeting Process Dalam SKB Menkeu dan Menneg PPN/Ketua Bappenas nomer 185/KMK.03/1995 atau KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam Rangka Pelaksanaan APBN yang mengatur tentang tata cara pengusulan dan pengelolaan pinjaman luar negeri secara tegas disebut bahwa setiap departemen dan LPND yang berencana untuk mengajukan proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri diwajibkan untuk menyampaikan usulannya kepada Bappenas. Bila proposal tersebut dianggap layak maka akan dimasukkan dalam bluebook dan selanjutnya diproses untuk mendapatkan pinjaman. Kelemahan utama mekanisme ini adalah bahwa sejak awal departemen/LPND memang mengajukan proyek untuk dibiayai pinjaman luar negeri. Tidak dibuka kemungkinan bahwa proyek tersebut dapat dibiayai oleh sumber-sumber lainnya. Padahal seharusnya secara teoritik semua usulan proyek ditampung dan dinilai dulu oleh otoritas perencana dan penyusun program pembangunan, dalam hal ini Bappenas. Bila dianggap layak dan patut dimasukkan dalam rencana pembangunan maka baru dipikirkan sumber pembiayaannya. Dalam konteks pembiayaan ini perencanaannya dilakukan oleh otoritas anggaran, dalam hal ini Ditjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan.
Bappenas Negosiasi Usulan Departemen
Dari awal direncana kan untuk utang
Tim Penilai Persiapan Blue Book
Loan Agreement
Registrasi
Loan Effective
DIP
Proses Paralel Penganggaran Pemerintah Sistem Penganggaran Pemerintah Usulan Departemen
DIP Departemen
Bappenas DIK Departemen Keuangan
Bagan 2 Dual Track Budgeting Process
Pencairan
Executing Agency
Hal yang sebenarnya terjadi adalah adanya proses penyusunan program (programming) dan penyusunan anggaran (budgeting) yang terpisah antara program (atau proyek) yang dibiayai pinjaman luar negeri dan program yang dibiayai oleh sumber lain khususnya APBN. Proyek pinjaman luar negeri diusulkan, dibahas dan diproses melalui mekanisme yang diatur oleh SKB tersebut sedangkan proyek atau program pembangunan yang lain diproses lewat mekanisme penganggaran biasa. Mekanisme ini memberikan beberapa konsekuensi, diantaranya adalah: 1. Penyusunan program (programming) tidak dilakukan dalam proses yang sama di antara program pembangunan yang dibiayai pinjaman luar negeri dan sumber pembiayaan lainnya. Program tidak disusun dan dikompilasi dalam daftar yang sama dan selanjutnya dipilah dengan kriteria kesesuaian dengan dokumen-dokumen perencanaan yang lebih tinggi. Dengan demikian terbuka kemungkinan pengendalian arah pembangunan tidak efektif karena kompilasi dalam sebuah daftar yang sama tidak terjadi. 2. Manajemen utang dan manajemen pembiayaan menjadi sulit untuk dilakukan. Dikarenakan pengusulan program dan pembiayaannya sudah dilakukan terpisah maka manajemen utang dan pembiayaan pembangunan sulit dilakukan. Program yang diusulkan untuk dibiayai pinjaman luar negeri sulit untuk diubah pembiayaannya menjadi APBN murni misalnya dan demikian pula sebaliknya. 3. Dana pendamping proyek pinjaman luar negeri diusulkan dan diproses secara terpisah sehingga seringkali menjadikan dana pendamping terhambat proses perencanaannya. Konsekuensi lanjutannya proyek pinjaman tersebut terhambat untuk dilaksanakan dan juga untuk dicairkan pinjamannya karena disbursementnya umumnya harus dilakukan proporsional terhadap pencairan dana pendamping. 4.1.3. Motivasi Project Seeking Activities: Lender maupun Pemerintah Masalah yang juga menjadi pola di banyak proyek adalah adanya motivasi mencari proyek (project seeking) yang menghinggapi baik aparatur pemerintahan maupun para pejabat lender khususnya yang bekerja di Indonesia. Patut diduga kegiatan project seeking ini juga berhimpit menjadi kegiatan rent seeking yang lebih berbahaya. Project seeking merupakan batasan yang masih legal untuk menggambarkan aktifitas untuk mendapatkan dan menggolkan proyek pinjaman luar negeri. Studi ini tidak menggali lebih jauh mengenai apakah ada motivasi mendapatkan benefit illegal dari proses ini. Tapi bahkan sekedar project seeking yang legal pun sudah cukup mengganggu bagi keseluruhan sistem manajemen keuangan pinjaman luar negeri. Motivasi ini dilakukan untuk mendapatkan benefit yang berbeda bagi aparatur pemerintah maupun bagi pejabat lender di Indonesia. Bagi para pejabat Indonesia, disetujuinya sebuah pinjaman luar negeri bermanfaat bagi adanya sumber pembiayaan bagi aktifitas pembangunan di departemennya. Dalam keterbatasan anggaran sekarang ini, untuk tetap mencapai target kinerja departemen yang diharapkan serta khususnya bagi upaya untuk memelihara kegiatan overhead kantornya maka kegiatan pembangunan harus tetap dilakukan. Karenanya para pejabat departemen praktis berlomba untuk mendapatkan pinjaman luar negeri. Motivasi berikutnya adalah untuk mendapatkan dana pendamping rupiah yang lebih besar. Seperti diketahui, proporsi dana pendamping tertentu harus disediakan apabila sebuah proyek pinjaman luar negeri disetujui. Dengan demikian, departemen
teknis dapat menurunkan anggaran rupiah murni juga dengan cara ini yang umumnya dirasakan lebih mudah daripada lewat proses penganggaran biasa yang sulit diandalkan untuk mendapatkan persetujuan anggaran. Mekanisme cerdik untuk menarik dana pendamping ini kemudian juga mendorong para pejabat pemerintahan untuk memperbesar nilai pinjaman luar negeri mereka. Karena semakin besar pinjaman luar negeri yang didapatkan akan semakin besar pula dana pendamping yang harus dialokasikan untuk departemen tersebut. Alhasil yang terjadi adalah upaya untuk terus mengusulkan proyek pinjaman luar negeri dan bahkan memperbesar nilainya. Sedangkan dari sudut para pejabat lender di Indonesia, upaya untuk selalu menggolkan proyek pembangunan yang dibayai pinjaman dari negara yang diwakilinya dilandasi dua motivasi dasar. Yang pertama adalah soal indikator kinerja. Pinjaman praktis dapat diidentikkan sebagai kredit dari sebuah bank komersial dan mereka merupakan account officer- (atau sales officer)nya. Kinerja mereka ditentukan dari seberapa besar kredit yang dapat disalurkan ke pasar. Motivasi kedua adalah motivasi finansial. Para pejabat lender ini mendapatkan gaji nda fasilitas yang amat layak. Gaji dan fasilitas tersebut dialokasikan sebagai overhead yang besarannya proporsional terhadap pinjaman yang dikelola di sebuah negara. Semakin besar pinjaman semakin besar pula overhead yang dikelola. Dan ini juga berarti semakin aman bagi mereka khususnya dalam perspektif job security. Bila dapat kasus pengucuran kredit di lembaga komersial terjadi berbagai kegiatan menarik fee khusus dari transaksi kredit yang disetujui maka patut diduga hal ini juga terjadi dalam kasus pinjaman luar negeri. Apalagi mengingat lingkungan pengendalian yang buruk di Indonesia. Berbagai motivasi di ataslah yang mendorong berbagai pihak untuk tetap mengusulkan proyek pinjaman luar negeri. Semakin besar pinjaman akan semakin besar pula manfaat yang didapatkan mereka. Dan aspek ini memberi sumbangan signifikan atas rumitnya masalah pencairan pinjaman di Indonesia. 4.2. Masalah Transisional 4.2.1. Otonomi Daerah Reformasi tata pemerintahan di daerah yang terjadi sejak tahun 1999 telah memberikan perubahan luar biasa dalam pengelolaan pembangunan di Indonesia. Perubahan tersebut sampai saat ini masih belum menemukan bentuk bakunya terbukti bahwa baru saja UU 22/1999 telah direvisi dengan UU pemerintahan daerah yang baru. Bahkan inipun masih menyisakan dinamika karena judicial review atas UU 32/2004 ini juga masih berlangsung. Dinamika ini memberikan sumbangan pada buruknya pencairan pinjaman luar negeri di Indonesia. Dalam kondisi nontransisional, Masalah paradigmatik dan sistemik di atas saja sudah menghambat apalagi ditambah konteks transisi otonomi daerah yang bergerak cepat yang membuat penyesuaian selalu harus dilakukan. Berbagai penyesuaian tersebut baik dalam sudut koordinasi antarlembaga, struktur kelembagaan khususnya di daerah serta aspek sumberdaya manusia berkontribusi dalam masalah ini. Sebagai contoh adalah masalah koordinasi pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten khususnya dalam penyediaan dana pendamping, penentuan lokasi proyek, antisipasi dampak lingkungan, dsb.
Dalam hal koordinasi antar kabupaten, terdapat postur yang tidak sebangun antara struktur organisasi proyek pinjaman luar negeri dengan postur pemerintahan di daerah. Beberapa proyek pengendaliannya dilakukan di tingkat propinsi sementara instansi mitranya, yaitu pemerintah propinsi dan kabupaten, tidak memiliki hubungan instruktif. Koordinasi menjadi rumit karena bertumpu pada respons dan hubungan baik antara pemerintah propinsi dan kabupaten dan tidak bersandar pada hubungan kewenangan yang instruktif. Dalam banyak kasus, dinamika ini memberikan kegamangan juga dalam aspek penyelesaian konflik antar lembaga. Dalam kondisi yang stabil, pasti tersedia mekanisme penyelesaian konflik antar lembaga dan setiap pihak bersedia untuk mengikuti mekanisme yang tersedia. Namun dalam kondisi dinamis ini, setiap pihak merasa ragu untuk mengambil tindakan penyelesaian sehingga yang terjadi malah memperlambat proses pencairan pinjaman. Perubahan ini semakin rumit karena juga menyangkut manajemen keuangan di daerah. Seperti diketahui, sistem keuangan di daerah mengalami perubahan dramatis dalam beberapa tahun terakhir ini. Daerah mulai mengenal sistem anggaran berbasis kinerja serta sistem akuntansi keuangan daerah. Perubahan ini memberikan dampak dalam penyesuaian sistem karena administrasi khususnya dana pendamping APBD menggunakan sistem ini. 4.2.2. Perubahan Sistem Keuangan Seperti juga perubahan sistem keuangan yang dilaksanakan di daerah, perubahan yang sama dramatisnya juga terjadi di tingkat nasional. Telah lahir tiga UU di bidang keuangan negara, yaitu UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan Keuangan Negara, yang memberikan mandat bagi reformasi keuangan khususnya di tingkat nasional. Selain itu hal ini juga diikuti perubahan di tingkat organisasi Departemen Keuangan. Reorganisasi ini memberikan penegasan atas pemisahan fungsi penganggaran dan fungsi pencatatan akuntansi yang juga praktis memberikan konsekuensi atas pengelolaan pinjaman luar negeri. Masalah yang muncul sesungguhnya malah berlangsung sampai sebelum berbagai peraturan perundangan di atas dikeluarkan. Tarik menarik kewenangan antara Departemen Keuangan dan Bappenas dalam fungsi perencanaan program dan keuangan pembangunan adalah salah satu yang paling berpengaruh. Karena dinamika ini, pengendalian pinjaman luar negeri tidak dapat dilaksanakan optimal. Transisi politik yang terjadi di tingkat nasional praktis menyita fokus pengendalian pembangunan. Yang terjadi adalah pengusulan proyek pinjaman luar negeri dari departemen/LPND tetap berjalan namun proses pengendalian yang labih fokus tidak terjadi. Sampai batas tertentu, hal ini menjelaskan mengapa ketika tingkat disbursement rendah dan commitment charge terus berkembang namun upaya untuk mengurangi secara signifikan pinjaman luar negeri tidak dapat dilakukan. Seharusnya ketika tingkat disbursement rendah, Depkeu dan Bappenas dapat melakukan koordinasi untuk mengurangi komitmen atau setidaknya mempertinggi quality at entry sehingga proyek pinjaman dapat disaring dengan lebih selektif lagi. Diharapkan setelah mulai terbaca arah peraturan perundangan yang ada maka penyesuaian yang lebih fokus akan dapat diwujudkan. Apalagi juga dengan disahkannya
UU perencanaan yang juga menjadi landasan bagi desain mekanisme perencanaan proyek pinjaman luar negeri. Pengembangan IT based governance diharapkan juga dapat memperbaiki hal ini khususnya dalam pemrosesan dokumen, otorisasi dan komunikasi antar unit. Dengan demikian keterlambatan pengiriman SPM misalnya, tidak perlu terjadi. Namun seiring dengan pengembangan IT ini, pengembangan anggaran berbasis kinerja serta perubahan sistem akuntansi pemerintahan diperkirakan akan tetap menghambat perbaikan sistem pengelolaan pinjaman luar negeri. Implementasi dan penyesuaian yang lama praktis akan memperlambat juga penyesuaian dan perbaikan sistem karena sistem pinjaman merupakan bagian integral dari sistem keuangan nasional. 4.2.3. Eforia Reformasi: Tuntutan Masyarakat Sipil yang Berlebihan Pasca mundurnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, kehidupan politik berkembang dengan amat dinamis. Masyarakat terdorong untuk mengorganisir dirinya dan mengekspresikan tuntutannya kepada pemerintah. Bahkan seringkali berlebihan dan tidak relevan. Hal ini juga berpengaruh terhadap proses pelaksanaan proyek pinjaman luar negeri. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa ekspresi berlebihan masyarakat sipil tersebut sampai juga bersinggungan dengan berbagai proyek pinjaman luar negeri. Isu yang terkait umumnya adalah soal pembebasan lahan. Bahkan di beberapa kasus sebenarnya pembebasan lahannya sudah dilakukan jauh sebelum tahun 1998. Namun seiring euforia reformasi mereka kemudian mengajukan tuntutan lebih lanjut. Dalih yang digunakan umumnya adalah soal tanah adat, ancaman lingkungan, dsb. Di sisi lain dalam kondisi transisi politik yang dinamis pada saat itu kewibawaan institusi pemerintah sedang dalam keadaan menurun. Pemerintah dan juga bahkan aparatur hukum tidak cukup percaya diri dalam melakukan negosiasi dengan masyarakat sekalipun memiliki posisi hukum yang kuat. Kondisi seperti ini secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses pelaksanaan proyek pinjaman luar negeri. Di beberapa kasus, masalah tuntutan ganti rugi tambahan difasilitasi pemerintah untuk ditalangi. Di kasus yang lain akhirnya hanya mengakibatkan penundaan yang tidak kunjung final statusnya. Kesemuanya mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan proyek. 4.2.4. Hubungan dengan DPR Seiring dengan perubahan politik di Indonesia, posisi dan peran DPR juga semakin menguat. DPR sekarang praktis memiliki penuh kewenangan dalam hal legislasi, budget dan pengawasan. Transisi yang ada membuat DPR juga harus mengembangkan sistem dan kelembagaan internal agar mampu bekerja optimal memenuhi fungsinya. Di titik ini terdapat hambatan karena perbaikan kelembagaan DPR sedang dalam proses. Padahal dalam mekanisme pencairan pinjaman luar negeri dibutuhkan pembahasan dan pengesahan yang dilakukan oleh DPR karena administrasi proyek ini juga tercantum dalam RAPBN. Karena hambatan kelembagaan internal ini maka seringkali pembahasan DIP juga terlambat di DPR. Masalah kelembagaan internal tersebut masih diperparah oleh tampilnya anggota legislatif yang baru. Mereka belum memiliki ketrampilan dan pengetahuan khususnya
dalam berbagai pembahasan anggaran. Bahkan sekalipun sudah memiliki pengalaman praktis terhambat oleh kondisi lingkungan kedewanan yang sedang berkembang. Dengan demikian secara tidak langsung kondisi hubungan pemerintah dengan DPR dalam pembahasan anggaran ikut mempengaruhi proses pencairan proyek pinjaman luar negeri. Karena pembahasan terhambat maka proses pengesahan DIP juga terlambat. 4.3. Masalah Sistemik/Teknis 4.3.1. Masalah Teknis Generik Dari kajian ini ditemukan masalah sistemik/teknis yang secara umum ada di berbagai proyek pinjaman luar negeri. Masalah inilah yang dimaksud sebagai masalah teknis generik. Ada dua kategori dalam masalah ini, yaitu masalah tanah/lahan dan masalah DIP. Dalam kaitan dengan tanah/lahan ada berbagai bentuk masalah yang muncul. Ada yang disebabkan oleh kurangnya dana rupiah pendamping untuk pembebasan lahan. Seperti diketahui umumnya proyek pinjaman luar negeri yang membutuhkan pembebasan tanah/lahan haruslah didanai oleh rupiah murni untuk pembelian tanah/lahan tersebut. Hal ini seringkali disebabkan oleh DIP yang terlambat sehingga ketika dana akan dibayarkan pada saat DIP turun harga tanah sudah naik. Di sisi lain tuntutan kompensasi tanah adat juga menghambat pelaksanaan proyek. Tuntutan ini seringkali muncul bahkan setelah tanah telah dibebaskan dan status hukum sebenarnya sudah final. Masalah generik kedua adalah DIP. Praktis di semua proyek, DIP diterima terlambat. Keterlambatannya bervariasi dari bulan Maret sampai bulan Juni. DIP yang terlambat ini berakibat tidak dapat dilaksanakannya pencairan pinjaman karena ada syarat bahwa dana pendampingnya juga harus turun. Pencairan pinjaman umumnya proporsional terhadap pencairan dana pendamping. Untuk dana pendamping, umumnya turun antara bulan Maret sampai dengan Juli. Pencairan pinjaman juga demikian. Bila proyek dikerjakan oleh kontraktor yang memiliki cadangan cashflow yang kuat maka pelaksanaan proyek tidak terhambat. Tidak demikian halnya bila proyek dikerjakan kontraktor yang tidak kuat cashflownya. Praktis pelaksanaan jadi terhenti. Masalah yang lain adalah pemahaman yang kurang dalam pengajuan ABT. Umumnya hal ini terjadi pada proyek yang dikelola bukan departemen teknis/LPND yang terbiasa menggunakan mekanisme ABT, misalnya BUMN yang mendapatkan penerusan pinjaman. Secara lengkap, masalah generik ini tergambar dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Masalah Teknis Generik No 1
2
Isu Tanah/lahan
DIP
• • • • •
Bentuk Masalah Dana rupiah kurang DIP terlambat dan harga sudah naik Masalah transisi: tuntutan kompensasi adat, dsb. Terlambat di semua proyek. Pengetahuan kurang dalam soal ABT
4.3.2. Masalah Teknis Pencairan Seperti telah diulas sebelumnya, ada 4 mekanisme pencairan pinjaman (secara skematis model-model mekanisme pencairan ini dapat dicermati pada bagian lampiran laporan ini). Yaitu rekening khusus (R/K), direct payment (pembayaran langsung), L/C (letter of credit) dan prefinancing (pembiayaan pendahuluan). Dalam kajian ini ternyata hanya ada 3 mekanisme yang dipakai yaitu rekening khusus, direct payment dan L/C. Sekalipun demikian patut diduga bahwa mekanisme prefinancing relatif tidak menyumbang signifikan dalam keterlambatan pelaksanaan proyek. Resiko terbesar mungkin adalah tidak digantinya pembiayaan itu oleh pihak lender. Setiap mekanisme tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam menghambat pelaksanaan proyek pinjaman/hibah luar negeri. Secara umum dapat disebut bahwa mekanisme rekening khusus memiliki faktor penghambat yang paling banyak Sedangkan 2 mekanisme yang lain, yaitu L/C dan direct payment relatif tidak cukup menghambat. Direct payment cukup lancar khususnya setelah mekanisme clearance dengan NOL yang mirip dengan mekanisme dalam rekening khusus dihapuskan. Tabel 4.2. Masalah Teknis Pencairan No 1
Mekanisme Pencairan R/K
2
Direct Payment
3
L/C
Deskripsi • Hambatan dalam kelengkapan dokumen • Waktu verifikasi lapangan • Kompilasi dari berbagai proyek yang tersebar • Clearance yang berlapis-lapis Lancar. Mekanisme clearance dilakukan dengan QA dari lender. Umumnya lancar. Kerumitan dokumen diselesaikan oleh kontraktor
Mekanisme rekening khusus memiliki hambatan utama karena adanya clearance yang berlapis-lapis. Clearance ini (disebut NOL, No Objection Letter) menghambat selain karena rumit juga karena diperlukan beberapa kali dalam satu kali penarikan. 4.3.3. Masalah SDM Masalah ini merupakan masalah sistemik yang sering dihadapi proyek. Umumnya pimpro proyek di daerah provinsi/kabupaten/kota berganti-ganti terus setiap tahun. Dengan demikian diperlukan waktu dan upaya khusus untuk belajar menyesuaikan dengan prosedur yang ada. Kenyataan ini masih diperparah dengan masalah bahwa tidak semua pimpro baru memiliki kemampuan yang cukup untuk cepat belajar. Dalam beberapa kasus bahkan pimpro baru harus mengumpulkan data dari awal karena dokumentasi data, memori jabatan serta serah terimanya amatlah buruk. 4.3.4. Derajat Resiko Kegagalan Dari kajian ini, dapat dirumuskan derajat risiko kegagalan dalam pencairan pinjaman luar negeri. Prinsip-prinsipnya tergambar dalam uraian berikut ini:
1. Semakin banyak tingkatan pemerintahan yang terlibat semakin besar resiko kegagalan. Proyek pinjaman luar negeri umumnya merupakan proyek yang peka terhadap waktu, kelengkapan dokumen, kerjasama pendanaan dan prasyarat lingkungan yang kesemuanya membutuhkan koordinasi yang responsif. Bila tingkatan pemerintahan yang terlibat semakin banyak meningkatkan kesulitan dalam pemenuhan berbagai prosedur pencairan pinjaman. 2. Semakin banyak melibatkan sumber dana pendamping semakin besar resiko kegagalan. Identik dengan poin pertama, semakin banyak sumber dana pendamping dari sebuah proyek semakin sulit dalam pencairan pinjaman. Koordinasi pencairan dana pendamping dalam konteks otonomi daerah yang dinamis serta hambatan sistemik keterlambatan DIP akan membuat resiko kegagalan semakin besar apabila melibatkan semakin banyak sumber dana pendamping. 3. Menggunakan mekanisme rekening khusus semakin tinggi resiko kegagalannya dibanding mekanisme L/C dan direct payment. Uraian mengenai ini dapat dilihat dalam analisis di atas. 4. Khusus mengenai masalah ineligible dalam mekanisme R/K maka harus dipahami bahwa hal ini merupakan resiko dari clearance yang dilakukan lewat dokumen dan diketahui ineligible di belakang hari. Untuk menghilangkan Masalah ini hanya dapat dilakukan dengan mengubah clearance pada saat pekerjaan masih berjalan dan melalui metode yang cepat, misalnya lewat direct assesment. 4.3.5. Beda Jadwal Penganggaran Masalah sistemik lainnya adalah perbedaan jadwal penganggaran antara siklus anggaran di pemerintahan dan siklus proyek pinjaman luar negeri. Ini membuat administrasi proyek pinjaman yang sudah efektif harus menunggu jadwal penganggaran tahun berikutnya. Dengan demikian praktis membuat keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. Sebagai contoh adalah proyek SEQIP Phase 2. Sekalipun proyek ini adalah proyek hibah dan menggunakan prosedur direct payment namun juga mengalami keterlambatan. Ini terjadi karena harus menunggu administrasi DIP yang baru keluar pada April 2004 dari jadwal yang seharusnya Desember 2003.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan Kesimpulan secara singkat dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut. Masalah sistemik masih merupakan persoalan dominan yang menghambat pelaksanaan pelaksanaan pinjaman/ hibah luar negeri. Ketidakoptimalan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman/hibah luar negeri juga ditambah dengan timbulnya permasalahan spesifik yang jika tidak ditangani secara benar akan mengarah menjadi masalah sistemik. Diterbitkannya beberapa peraturan perundangan telah menjadi isu tersendiri yang berpengaruh terhadap pelaksanaan proyek. Meskipun argumen yang ditangkap sangat positif yaitu penyempurnaan di bidang manajemen pembangunan, namun dalam masa transisi menimbulkan efek memperlambat kinerja. Upaya-upaya strategis yang dapat segera direalisasikan adalah penetapan skema jaminan dana pendamping, penetapan daftar preferensi dan koordinasi secara intensif dengan pemerintah daerah.
5.2 Rekomendasi Dari kajian yang telah dilakukan maka dihasilkan beberapa rekomendasi. Di antaranya adalah pengintegrasian peran perencanaan proyek yang akan didanai dengan pinjaman/hibah luar negeri antara Bappenas dan Depkeu. Dengan perubahan ini maka sistem penganggaran menjadi terintegrasi dan tidak terdapat dual track budgeting. Kajian juga mengusulkan dikembangkannya suatu sistem untuk menjejak pemenuhan kebutuhan dana pendamping (tracking system on release of counterpart fund). Selain itu juga perlu dikembangkan skema jaminan dana pendamping yang akan mencadangkan sejumlah dana tertentu untuk dana pendamping dan ditempatkan dalam suatu rekening khusus. Eksekusi, transfer dan pengakuan akuntansinya baru dimulai ketika perjanjian pinjaman sudah ditandatangani. Rekomendasi lainnya adalah dalam proses negosiasi, metode pencairan pinjaman juga harus dinegosiasikan. Metode yang disarankan adalah kredit L/C dan direct payment dengan metode clearance langsung dari lender. Selain itu koordinasi khusus dengan pemerintah daerah harus diupayakan di luar jalur koordinasi yang ada.
Daftar Pustaka Bappenas (2003), “Studi Evaluasi Efektivitas Penggunaan Dana Pinjaman Luar Negeri”, Laporan Akhir, Desember, Jakarta. Beynon, J. (2001), “Policy Implications for Aid Allocations of Recent Research on Aid Effectiveness and Selecticity”, makalah dalam the Joint Development Centre/DAC Experts Seminar on “Aid Effectiveness, Selectivity and Poor Performers”, Januari, Paris: OECD. Boone, P. (1994), The Impact of Foreign Aid on Savings and Growth, London: London School of Economics. Boone, P. (1996), “Politics and Effectiveness of Foreign Aid”, European Economic Review, 40(2). Burnside, C. dan Dollar, D. (1997), “Aid, Policies and Growth”, Policy Research Working Paper 1777, Washington, D.C.: World Bank. CIDA (2001), Strengthening Aid Effectiveness: New Approaches to Canada’s International Assistance Program, Ottawa: Canadian International Development Agency. Chowdhury, Anis, and Iman Sugema (2002), “Foreign Aid to Indonesia: Historic Significance and Post-Crisis Issues”, Jakarta: UNDP. Hamid, Edy Suandi (2004), Sistem Ekonomi Utang Luar Negeri dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia, Yogyakarta: UII Press. Hanmer L. dan Naschold, F. (1999), “Are International Targets Attainable”, London: Overseas Development Institute. Hansen, H. dan Tarp, F. (2000), “Aid Effectiveness Disputed”, dalam Tarp, F. (ed.), Foreign Aid and Development: Lessons Learnt and Directions for the Future, London: Routledge. Harian Kompas, sejumlah edisi. Harinowo, Cyrillus (2002), Utang Pemerintah. Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mosley, P., Harrigan, J., dan Toye, J. (ed.)(1991), Aid and Power: The World Bank & Policy-based Lending, London: Routledge. Newlyn, W.T. (1973), “The Effects of Aid and Other Resource Transfers on Savings and Growth in Less Developed Countries: A Comment”, Journal of Political Economy, 83(331). Papanek, G. (1972), “The Effect of Aid and Other Resource Transfers on Savings and Growth in Less Developed Countries”, Journal of Political Economy, 82(327). Sudjana, B. (2002), “Aid, Stabilisation, and Development: A Historical Perspective on the Indonesian Case”, Jakarta: UNSFIR. Thoebecke, E. (2000), “The Evolution of the Development Doctrine and the Role of Foreign Aid, 1950-2000”, dalam Tarp, F. (ed.), Foreign Aid and Development: Lessons Learnt and Directions for the Future, London: Routledge. World Bank (1995), Strengthening the Effectiveness of Aid: Lessons for Donors, Washington, D.C.
World Bank (1998a), Assessing Aid: What Works, What Doesn’t, and Why, Washington, D.C. World Bank (1998b), “Partnership for Development: Proposed Actions for the World Bank”, Discussion Paper, Washington, D.C. World Bank (2002), The Role and Effectiveness of Development Assistance: Lessons from the World Bank Experience , Washington, D.C.