HIBAH DALAM KELUARGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBAGIAN WARIS ( Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. Suruh Kab. Semarang )
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Oleh: R. FAJAR HIDAYATULLAH NIM: 211-11-025
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiawa: Nama
: R. Fajar Hidayatullah
NIM
: 21111025
Judul
: HIBAH DALAM KELUARGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBAGIAN WARIS (Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. Suruh Kab. Semarang).
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang Munaqasyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salatiga, 11 September 2015 Pembimbing
Drs. Machfudz. M. Ag NIP.196102101987031006
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp. (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722 Website : www.iainsalatiga.ac.id Email :
[email protected]
PENGESAHAN Skripsi Berjudul: HIBAH DALAM KELUARGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBAGIAN WARIS (Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. Suruh Kab. Semarang) Oleh: R. Fajar Hidayatullah NIM : 21111025 Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Kamis tanggal 17 September 2015 dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam. Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Sidang
:
Dra. Siti Zumrotun, M. Ag ....................................
Sekretaris Sidang
:
Drs. Mhfudz, M. Ag
Penguji I
:
Sukron Ma‟mun, S.HI.,M.Si.....................................
Penguji II
:
Drs, H. Mubasirun, M. Si ......................................
......................................
Salatiga, 22 September 2015 Dekan Fakultas Syari
Dra, Siti Zumrotun, M.Ag. NIP: 196701151998032002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawahini:
Nama
: R. Fajar Hidayatullah
NIM
: 21111025
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhshiyyah
Fakultas
: Syari‟ah
JudulSkripsi : HIBAH DALAM KELUARGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBAGIAN WARIS(Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. SuruhKab. Semarang).
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulisan orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga 22 September 2015 Yang menyatakan
R. Fajar Hidayatullah 21111025
iv
Motto
“ Dan Tolong-Menolonglah Kamu Dalam (Mengerjakan) Kebajikan Dan Takwa, Dan Jangan Tolong-Menolong Dalam Berbuat Dosa Dan Pelanggaran” (QS. Al-Maaidah : 2)
v
PERSEMBAHAN
Dalamskripsiinipenulispersembahkankepadapihak-pihak yang penulisanggapmempunyaiperanpenting: 1. TerimakasihpenulisucapkankepadaIbundaElla BudiAsihsertaBapaksafrowi
yang
sabarmembinadanmengarahkanFajaruntukselalus mangat.
Kepada
Mas
Ali
trimakasihatasdorongandanmotifasinya, serta Mas Den besertaKeluargaterimakasihatasdoanya. 2. Terimakasihbuatsahabat-sahabatku..Romi, Jibrun, Ari,
Madon,
Utami,Jek,
Aji,
Udin,
Weni..sertayanglainya
Eko, yang
selalumengingatkanku. 3. Terimakasihjugabuatsemuaanggota
STAR-C
serta
HSFCI Salatiga BTB Boyolalidan yang lainya. 4. TerimakasihuntukBp
Drs.
Mahfuzd.
telahmemberikanbimbinganya.
vi
M.Ag
yang
KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah swt dan hanya kepada-Nya-lah kita semua mempersembahkan segala bentuk pujian. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw. Karena dari beliaulah kita semua dapat mengetahui hukum-hukum Allah sehingga kita dapat membedakan mana perkara yang diperintahkan oleh Allah dan mana yang dilarang-Nnya. Alhamdulillah, skripsi dengan judul “Hibah Dalam Keluarga dan Dampaknya
Terhadap
Pembagian
Waris
Masyarakat
Bonomerto”
yang
merupakan “Study kasus di Desa Bonomerto Kecamatan Suruh Kabupaten Semartang” ini dapat kami selesaikan dengan baik. Ini semua tidak terlepas adanya bantuan, dorongan serta bimbingan dari pihak-pihak tertentu yang terkait. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah. 3. Bapak Drs.Machfudz, M.Ag. selaku Pembimbing Skripsi dengan sabar selalu memberikan bimbingan dan pengarahan. 4. Bapak dan ibu Dosen IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan bekal keilmuan. 5. Kedua orang tua tercinta beserta seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik materiil maupun moril. 6. Teman-teman mahasiswa seangkatan. 7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
vii
Mudah-mudahan semua amal baik mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dan diridhoi oleh Allah swt. Penulis sadar, penulisan skripsi ini pasti masih banyak kekurangan. Karenanya penulis mengaharapkan tegur sapa, kritik dan saran yang membangun, sehingga bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Salatiga 11 September 2015. Penulis,
R. Fajar Hidayatullah NIM: 211-11-025
viii
Abstrak Fajar Hidayatullah, R. 2015. Hibah Dalam Keluarga dan Dampaknya terhadap Pembagian Waris Masyrakat Bonomerto. (Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. Suruh Kab. Semarang). Dosen Pembimbing Drs. Mahfudz. M. A.g. Kata Kunci :Hibahberdampakterhadapwaris Hibah dan waris adalah dua hal yang berbeda, tetapi sebagian masyarakat Bonomerto belum memahaminya, sehingga di dalam pembiaran hibah dan pembagian waris terjadi banyak penyimpagan dan menimbulkan permasalahan serta perselisihan keluarga, bahkan tidak jarang hubungan kekeluargaan menjadi rengang atau putus. Praktek hibah orang tua kepada salah seorang atau beberapa orang dari anaknya, yang tidak merata dan tidak adil. Hibah orang tua kepada salah seorang anak kesayanganya saja, atau ada juga hibah sistem bagi tara tapa membedakan jenis kelamin antara laki-laki atau perempuan banyak terjadi di masyarakat Bonomerto. Model-model pemberian hibah tersebut hampir semuanya menimbulkan berbagai masalah keluarga. Misalnya pemberian hibah kepada salah seorang atau beberapa orang dari anaknya, bagi anak yang tidak diberi merasa kecewa dan merasa dianak tirikan yang akhirnya timbul kebencian kepada orang tua dan kepada saudaranya yang diberi hibah. Demikian pula pemberian hibah sama rata tanpa membedakan jenis kelamin antara anak laki-laki dan perempun, bagi anak laki-laki merasa diperlakukantidakadil berdasarkan hukum agama Islam yang menetapkan bahwa bagianlak-lakidanperempuanadalah 2/1. Dengan praktek pemberian hibah orang tua kepada anaknya sebagaimana tersebut di atas disamping menimbulkan banyak permasalahan, hukum waris pun tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Pembagian akhirnya tidak sesuai hukum dimana anak-anak yang sudah menerima hibah tidak lagi mendapat harta warisan, dan anak-anak yang tidak menerima hibah umumnya juga tidak setuju kalau yang sudah menerima hibah ikut mendapat bagian warisan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN.......................................................iii HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................iv HALAMAN MOTO……………………….............................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN………….............................................................vi KATA PENGANTAR…………………...............................................................vii HALAMAN ABSTARAK...................................................................................viii DAFTAR ISI...........................................................................................................ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1 B. Rumusan Masalah……………………………………….…………….3 C. Tujuan Penelitian……………………………………..……………….3 D. Kegunanan Penelitian………………………………………………….4 E. Penegasan Istilah…………………………………...………………….4 F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.......................................................5
x
2. Kehadiran Peneliti……………………………..………………….6 3. Lokasi Penelitian………………………………….……………….6 4. Sumber Data.....................................................................................6 5. Prosedur Pengumpulan Data…….…………………….…………..6 6.
Analisis Data...................................................................................7
7. Pengecekan Keabsahan Data............................................................8 8. Tahap-tahap Penelitian……………………...……………………..8 G. Sistematika Penulisan...........................................................................10 BAB II
KETENTUAN HIBAH DAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Hibah dan Waris Menurut Hukum Islam…………………….….11 B. Dasar Hukum Hibah……………………………………………...12 C. Mencabut Pemberian……………………………….…………….16 D. Larangan Mengistimewakan Sebagian Anak dalam Hibah….…..17 E. Syarat-syarat Pemberian Hibah…………………………………..20 F. Penarikan Kembali Hibah Seorang Ayah Kepada Anaknya…….23 G. Sikap Ulama‟ Setempat Terhadap Pemberian Hibah Orang Tua Kepada Anaknya Terkait Pembagaian Warisan……………...…..24 H. Permasalahan Hibah dan Dampaknya Terhadap Pembagian Warisan…………………………………………………………..25 I. Pengertian Waris…………………………………………………27 J. Harta Waris………………………………………………………28 K. Sebab-sebab Waris……………………………………………….29 L. Ahli Waris…………..……………………………………………38 xi
BAB III
PROSES HIBAH DAN WARIS DI DESA BONOMERTO A. Keadaan Geografis, Sosial-Budaya dan Ekonomi DesaBonomerto....................................................................................39 B. Kondisi Hibah dan Waris di Desa Bonomerto....................................................................................43 C. Sebab-Sebab Terjadinya Hibah Yang Menimbulkan Masalah Keluarga Di Desa Bonomerto....................................................46
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS HIBAH DAN PEMBAGIAN WARIS DI DESA BONOERTO A. Pemberian Hibah dan Pembagian Waris Ditinjau DariHukum Islam.................................................................................49 B. Antara Adat dan Hukum Islam ....................................................52 C. Dampak Hibah Orang Tua Kepada Anaknya TerhadapPembagian Waris di Desa Bonomerto ........................................54
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................................57 B. Saran............................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................61
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf (g) menjelaskan, hibah adalah pemberian suka rela tanpa inbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum dari 1/3 harta yang dimilikinya (pasal 210 ayat 1 KHI). Prof. Dr. H. Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqih Muamalah menjelaskan, hibah yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan) (Suhendi. 2010: 210). Dalam hukum adat di Jawa banyak dilakukan orang bahwa apabila seorang anak sudah berumah tangga dan akan mendirikan kehidupan rumah tangga sendiri, terpisah dari orang tuanya, kepadanya diberikan barang-barang untuk modal hidupnya. Kelak barang-barang pemberian itu diperhitungkan sebagai warisan sepeninggal orang tua, anak yang pernah menerima pemberian itu tidak berhak menerima warisan lagi (Saifullah & Arifin 2005: 228). Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai masalah ini?. Sementara hibah berbeda dengan warisan. Hibah tidak dapat dipandang sebagai warisan.
1
Agama Islam mengajarkan bahwa apabila orang tua akan memberikan sesuatu kepada anak-anaknya harus dilakukan secara adil, jangan nampak ada kecendrungan pilih kasih. Faktanya dalam kehidupan masyarakat masih belum memahami bagimana cara memberikan hibah yang sesuai dengan aturan, dalam kitab Undang-uandang dan Kompilasi Hukum Islam, masyarakat lebih cenderung membagi hibah dengan ego dan kemauanya sendiri tidak memperhatikan faktor keadilan. Berdasarkan fakta yang kami lihat, adanya orang-orang tua yang menghibahkan hartanya kepada salah seorang atau beberapa orang dari anakanaknya sementra ada seorang anak atau beberapa orang anak yang lain tidak diberi. Ada juga orang tua yang menghibahkan hartanya kepada seorang anak perempuan atau seseorang anak laki-laki yang sangat di cintainya, sedangkan anak-anak yang lain tidak diberi. Tetapi ada juga orang tua yang berusaha bijak dan berbuat adil (menurutnya) dengan menghibahkan hartanya kepada semua putra putrinya dengan cara bagi rata tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan diberi sama. Adanya model berbagai hibah tersebut kelak di dalam pembagian harta warisan sering tidak dapat dilaksanakan sesuai hukum agama Islam. Sering terjadi perdebatan, permusuhan bahkan tidak jarang hubungan keluarga diantara mereka mereka putus. Peristiwa seperti itu sudah terjadi begitu lama, turun temurun dan seakan menjadi tradisi, efek negatif yang sering mereka saksikan belum dijadikan pembelajaran bagi orang tua. Bahkan orang tua
2
belum menyadari atas kekeliruannya, para alim Ulama‟ dan pemuka agama setempat juga kurang peka terhadap masalah tersebut, dengan bukti pembiyaran selama ini. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti hibah yang dikaitkan dengan waris dengan judul “ Hibah Dalam Keluarga dan Dampaknya Terhadap Pembagian Waris”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pelaksanaa Hibah menurut masyarakat Bonomerto Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ? 2. Apakah Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian Hibah masyarakat Bonomerto ? 3. Bagaimanakah Pandanagan hukum Islam tentang pemberian hibah dan pembagian waris yang ada di masyarakat Bonomerto ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian yang akan dilaksanakan penulis bertujuan sebagi berikut: 1.
Untuk mengetahui maksud dan tujuan para orang tua memberikan hibah kepadasebagian anak-anaknya yang lebih dicintainya.
2.
Untuk mengetahaui akibat adanya hibah yang dilakukan secara tidak adil.
3
3.
Untuk mengetahui bagaimana cara membagi waris terkait adanya hibah.
D. kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain sebagi berikut: 1. Bagi masyarakat. a. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui dengan jelas tentang hibah dan warisan. b. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat bisa menerapkan pelaksanaan hibah dan waris secara benar menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 2. Bagi Akademik. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan refrensi permasalah yang ada di masyarakat.
E. Penegasan Istilah Supaya tidak ada perbedaan penafsiran kata dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang terkait dengan judul, yakni sebagai berikut: 1. Waris adalah Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata waritsa-yaritsu-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain; atau dari satu kaum kepada kaum yan lain(Ali, 1995: 33).
4
2.
Hibah secara etimologis, hibah berasal dari kata hubub ar-rih, artinya aku memberikan sesuatu kepandanya. Adapun hibah secara terminologi adalah memberikan harta dari orang yang boleh melakukan tasharruf (membelanjakan) saat ia masih hidup tanpa ada imbalan(Ath-Thayyar & Al-Mutlaq, 2014: 467).
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian yaitu mengunakan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh data yang akurat dan tepat dari dokumen yang tertulis maupun lisan, maka metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah: a.
Penelitian Deskriptif, yakni sebuah penelitian untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendiskripsikan sejumlah fariabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Metode Diskriptif, dapat diartikan sebagai prosudur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki (seseorang, masyarakat, lemabaga, dan lain-lain) sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang aktual saat sekaranag (Nawawi, 1992: 67).
b.
Studi Kasus, yakni sebuah penelitian yang penelaahanya kepada satu kasus
dilakukan
secara
intensif,
5
mendalam,
mendetail,
dan
komprehensif. Studi kasus ini dilakukan terhadap individu maupun kelompok. Dimana permasalahanya ditelaah secara komperhensif, mendetail, dan mendalam (Faisal, 1992: 22). 2. Kehadiran Peneliti Kehadiran peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai Instrument sekaligus sebagai pengumpul data. Kehadiran peneliti juga diketahui sebagai peneliti di desan Bonomerto kec. Suruh Kab. Semarang dengan melakukan perizinan terlebih dahulu terhadap masyarakat setempat, sehingga kehadiran peneliti diakui oleh masyarakat setempat. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian fokus dilakukan di Desa Bonomerto Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. 4. Sumber Data Sumber data berasal dari perorangan dan keluaraga-keluarga yang terlibat, peneliti mewawancarai responden-responden yang menjadi sumber data penelitian (menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya), atau mengobservasi suatu keadaan, suasana, peristiwa dan akibat (menggunakan panduan obsevasi yang telah disusun sebelumnya). 5. Prosedur Pengumpulan Data a.
wawancara Penulis melakukan wawancara yakni suatu bentuk komunikasi antara
peneliti kepada pihak-pihak yang berkompeten memberikan informasi
6
untuk penelitian ini. Tehnik yang di pakai dalam pengambilan data dalam penelitian ini adalah: b.
Observasi cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan pada objek penelitian pada saat peristiwa atau keadaan atau suatu situasi sedang berlangsung. mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilaksanakan setelah peristiwa atau situasi atau keadaannya terjadi.
6.
Analisa Data Setelah
data
terkumpul
penulis
menganalisa
data
dengan
menggunakan analisis kualitatif baik terhadap individu atau kelompok. Dengan
cara
ini
diharapkan
berlangsung
intensif,
mendalam,
komprehensif, rinci dan tuntas, dari sini peneliti setiap harinya bisa mendapatkan demikian banyak data, apakah dari hasil wawancara, dari hasil observasi, ataukah dari sejumlah dokumen. Data yang terekam dalam catatan-catatan lapangan tersebut tentunya pelu dirangkum, diikhtisarkan, atau diseleksi masing-masingnya bisa dimasukan kedalam katagori tema yang mana, fokus yang mana atau permasalahan yang mana, ini termasuk dalam katagori pekerjan analisis yang disebut “Reduksi data” (Faisal, 1992: 271)
.
7
7. Pengecekan Keabsahaan Data Pengecekan keabsahan data di dalam penelitian kualitatif adalah penelitian itu sendiri, sehingga dapat dimungkinkan terjadinya penelitian yang tidak obyektif.Untuk menghindari hal itu maka data yang diperoleh perlu diuji kredibilitasnya (drajat kepercayaan).Dalam penelitian ini, pengujian terhadap kredibilitas dengan triagulasi. Triagualasi sumber data dilakukan dengan cara membandingkandengan mengecek balik drajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari informan satu dengan informan lain. 8.
Tahapan-tahapan Penelitian Setelah penulis menemukan tema yang akan diteliti, selanjutnya penulis melakukan penelitian kepada nara sumber dengan melakukan wawancara kepada beberapa responden. Melakukan pengumpulan data dan menganalisis data yang sudah didapat.
8
G. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, bahwasanya ketentuan hibah dan waris telah diajarkan sejak zaman Rasulullah saw tercantum dalam ayat-ayat suci Al-Qur‟an dan hadits-hadits Rasulullah saw dan diperkuat pula oleh para imam-imam besar Islam, akan tetapi terdapat kekeliruan dalam praktek hibah dan waris yang terjadi di Desa Bonomerto.
BAB II : Kajian Pustaka Pada bagian ini penulis mengemukakan tentang ketentuan-ketentuan hibah dan waris secara hukum Islam, serta sikap Ulama‟ setempat mengenai hibah terkait pembagian warisan. BAB III : Kajian Lapangan Bab ini berisi data-data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan praktek terjadinya hibah dan waris di Desa Bonomerto, dari proses terjadinya hibah dan waris, serta sebab dan dampak dari kekeliruan praktek tersebut, melalaui wawancara maupun observasi.
9
BAB IV : Analisis Berisi tentang kronologi terjadinya hibah dan waris di Desa Bonomerto serta perbandingan antara praktek nyata dilapangan dengan hukum Islam. BAB V : Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
10
BAB II KETENTUAN HIBAH DAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Hibah dan Waris Menurut Hukum Islam Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam. Pemberian dalam bahasa Arab disebut al-hibah, secara bahasa dari hubub al-rih, yaitu perlewatanya untuk melewatkanya dari tangan kepada yang lain. Adapun hibah secara terminologis adalah memberikan harta dari orang yang boleh melakukan tasharruf (membelanjakan) saat ia masih hidup tanpa ada imbalan (Ath-Thayyar& Al-Mutlaq, 2013: 326). Jadi hibah adalah pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan). Karena pada hakikatnya pemberian (hibah) dilakukan dengan tidak mengharapkan balasan dari manusia, tetapi hanya ingin memperoleh ridho dan ganjaran dari Allah swt. Hal ini sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur‟an maupun al-Hadits yang memerintahkan kepada umat Islam didalam beribadah (termasuk dalam pemberian hibah) harus dilaksanakan dengan iklhas tanpa mengharap balasan apapun dari manusia, melainkan hanya mengharap ridho Allah swt, sebagaimana tersirat didalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. Dan didalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ibn Majah
11
bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Allah „Azza wa Jalla berfirman, Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu. Oleh karena itu, siapa yang mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diriKu maka Aku berlepas diri darinya dan ia milik sekutu yang disertakanya itu” (Muhammad, 2014 : 402).
B. Dasar Hukum Hibah Ayat-ayat Al-Qur‟an maupun Al-Hadist banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong dan salah satu bentuk tolong –menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkanya, Allah berfirman:
ْ ٢ْ:ْْاٌّبئذة.َٜٛ اٌتَّمْٚ َ ِّْاٌبِشٍَْٝاْ َعُٛٔٚب َ تَ َعَٚ Artinya:...dan tolong –menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.......(QS- Al-Maidah: 2)
ُِكتِب َعلَْي ُكم إ أ ر ض ح ا ذ َ ُت إِ ْن تََرَك َخْي ًرا الْ َو ِصيَّة َ ُ َح َد ُك ُم الْ َم ْو َ َ َ ْ َ ِ ِ ِ ِ ٨١.: البقرة. ي َ ي بِالْ َم ْعُروف َح ًّقا َعلَى الْ ُمتَّق َ ِلْل َوال َديْ ِن َو ْاْلَقْ َرب Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatanya secara ma‟ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS-Al- Baqarah: 180). Dalam salah satu hadist yng diriwayatakan Imam Bukhari dan Abu Daud dari „Aisyah ra berkata :
12
َبٙ١ٍَبُ ْ َع١ُِٕ٠َٚ ََّْت٠َْ ِذًٌْٙا ُْ ََمْْب٠ْْ.َْْصِْْْٝإٌَّب َ َ وب “Pernah Nabi SAW menerima hadiah dan balasanya hadiah itu “
ُ ١ ُد ِعٌَْٛ:ْي ْ ِر َساعَٚاعْا َْ َ صَْلْبٟ ِّْ ِ َشةَْ َع ِْٓإٌَّب٠ُْ٘ َشَِٟعْٓاَب ٍ ْ ُو َشٍَٟتْ َع ُ ٍَعٌَْمَب ُ ْجب ٌ ْ ِر َساٟ ٞاْٖاٌبخبسْٚس.ْت َ اُ٘ ِذٌَْٛٚ َ َََل َّ ٌَِْاٞ َ ت Artinya :Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti akan saya kabulkan undangan tersebut, begitu juga kalau sepotong kaki binatang dihadiahkan kepada saya, tentu akan saya terima”. HR. Bukhari C. Mencabut Pemberian Pada dasarnya pemberian haram untuk diminta kembali baik hibah, shadaqah, washiat maupun hadiah. Oleh karena itu para ulama menganggap permintaan barang sudah dihadiahkan dianggap sebagai perbuatan yang buruk sekali, kecuali pemberian bapak kepada anakanya, tidak berhalangan dicabut atau dimintanya kembali. Rasulullah saw bersabda:
َ َْْْصِٟسْلب َ َيْإٌَّب ْ ٍُْ ٍَِ ِحٍٍِ َشج ًٍُْ ُِس٠َْل. َ ْ ُع َّ َشََٟعْٓاَب ٍ اب ِْٓ َعبَّبْٚ
ْ .ٌَُْٖ َذَْٚ ُٟع ِط٠ْ َّب١ِاٌِ ُذْفَٛ ٌَبْاِ ََّلْاٙ١َِش ِجعُْف٠َُّْ َُّتَْح١ْاٌ َع ِطَٟ ُع ِط٠َْْْا ْابْٓحببْٚٞصححْٗاٌتشِزْٚاْٖاحّذٚس Artinya :Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Nabi saw telah bersabda:”Tidak halal bagi seorang laki-laki muslim bila ia memberikan sesuatu kemudian dicabut kembali, kecuali pemberian bapak kepada anaknya”. HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh Thirmidzi dan Ibnu Hibban. Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra dari Nabi saw bersabda:
13
ْ اٌِ َْذَٛ ٌَبْاِ ََّلْاٙ١َِش ِجعُْف٠َُّْ َُّتَْح١ْاٌ َع ِطَٟ ُع ِط٠ََْْ ِحًٌِْ َشج ًٍُْ ُِسٍِ ٍُْا٠ََل
.ٌَُْٖ َذَْٚ ُٟع ِط٠ْ َّب١ِف Artinya :“Haram bagi seorang muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pembayaran ayah kepada anaknya”.
D. Larangan Mengistimewakan Sebagaian Anak Dalam Hibah Orang tua dituntut untuk bertanggung jawab, bijak dan adil. Orang tua harus selalu berbuat seadil dan sebaik-baiknya untuk semua putra putrinya. Sering terjadi dalam masyarakat, dimana orang tua pada masa hidupnya memberikan harta (hibah) kepada salah seorang atau beberapa orang dari anak-anakanya. Penghibahan semacam ini memang seringkali menimbulkan perselisihan (permasalahan) diantara ahli waris nantinya, apabila hukum kewarisan terbuka dengan meninggalnya salah satu orang tuanya. Dimana biasanya pihak ahli waris yang menerima hibah menganggap harta yang telah diberikan (dihibahkan) berbeda dengan harta warisan. Mereka merasa tetap berhak sebagai ahli waris dan mendapatkan bagaian dari harta warisan, walaupun sudah mendapatkan hibah dari orang tauanya. Namun di pihak lain, ahli waris yang tidak memperoleh hibah beranggapan bahwa harta peninggalan (harta warisan) almarhum hanya untuk ahli waris yang tidak memperoleh hibah. Menanggapi permasalahan semacam ini, Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa
“ Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
14
diperhitungkan sebagai warisan”, sebagaimana tersirat dalam pasal 211 KHI. Adapun hibah yang dapat diperhitungkan sebagai warisan adalah hibah berupa harta benda diluar kewajiban orang tua dalam rangka pemeliharaan
anak,
seperti
menghibahkan
tanah
atau
rumah,
menghibahkan perusahaan, dan lain sebagainaya (Saifullah& Arifin, 2005: 229). Persoalan hibah orang tua kepada salah seoarang atau beberapa orang dari anak-anaknya yang menjadi persoalan pelik, dimana ada anak perempuan diberi hibah begitu banyak, sementara ada beberapa anak lakilaki dan perempuan yang tidak diberi hibah. Sedangakan harta warisan yang ditinggalkan lebih sedikit dibandingkan harta hibah yang diberikan kepada seorang anak perempuannya. Dan ada juga kejadian dimana orang tua meng”hibah”kan dan ber”wasiat” kepada keluarga dengan cara bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Semua disamakan dan mendapat bagaian sama, tetapi kemudian diantara anak laki-laki itu ada yang tidak terima, karena berdasarkan hukum Islam bagaian anak laki-laki dengan perempuan adalah 2:1, sebagaiman firman Allah surat An-Nisaa‟ ayat 11:
َّ ٌُِْ ََل ِد ُوَْٚأَِّْٟللاُْف َّ ُُ ُى١صُٛ ١١:ْْإٌسبء.ٓ ِْ ١َ١َُْحظِّْاْلُٔخ َ ًٍز َو ِشْ ِِخ ِ ٠ Artinya :“ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”
15
Sebagai orang beriman berkewajiban berlaku adil dalam segala hal termasuk perihal hibah orang tua kepada anak-anakanya, sebagaiana firman Allah swt surat An-Nisaa‟ ayat 135:
َّ ِ َ َذا َءْٙٓبِبٌمِس ِطْ ُش١ ُْْأَٔفُ ِس ُىٍَْٝ َعٌَْٛٚ َ ِِ اَّٛ َْاْلُْْٛٔٛاْ ُوَُِٕٛ َْٓآ٠ َ َبْاٌَّ ِزٙ٠ََبْأ٠ َ ِّْلِل ١٣١ْ:ْْإٌسبء.ْٓ١ َْ ِاْلَل َشبَٚ ِْٓ ٠اٌِ َذَٛ ٌْاِْٚ َأ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak kamu dan kaum kerabatmu”.
١٥ْ:ْإٌسبء
.اْبِبٌ َعذ ِْيُّٛ بسْأَْْتَح ُى َ إِ َرَٚ ِ ٌَّٕ َْٓا١َاْح َىّتُُْب
Artinya :“Dan (menyuruh kamu) apabila menetepkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapakan dengan adil”. QS. AnNisaa‟: 58. Khusus pemberian (hibah) orang tua kepada anak-anakanya, Rasulullah saw dengan tegas menyatakan dalam sabdanya:
ُ ١َْاَعطِِّْٟٔا:ْْفَمَبَي.ََّْْللاِص ْ ِٟٕتْاب ْ ُْيُْٛسسٟ ِْ َبْْاب ِْْٓب َ َ ٍشاَت١ش ِ َّ إٌَْع ْي َْ َُٛب َسس٠ْن َ َذِٙ ْاَْْاُشَِّٟٕ ْتَفَب َ َِ َشْت١احتًْ َع ِط َ َٚ ْس َ ت ِ ِْٕ ِِْٓ َعّ َشةَْب َ ١َْْاَعط:ْْْلب َ َي،َِّللا ْ ْ:ْْْلب َ َي،َْل:ْ ْ َ بي ْ ْ َ ٌَ ِذْٚ َ َنْ ِِخ ًََْ٘ َزا؟ْل َ ِ تْ َسب َ ئش ْ .ََُّٗت١ْفَ َش َج َعْفَ َش َّدْ َع ِط:ْبي َ ََلَ ِد ُوُْْلَٚ َْٓا١َاْبٌُٛاَع ِذْٚ َ َاَّللاُٛفَبْتَّم ٍُِسْٚٞاْٖاٌبخبسٚس SSArtinya :Nu‟man bin Basyir datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata: “Aku memberi anakku ini suatu pemberian dari „Amrah binti Ruwahah, kemudian „Amrah meyuruhku untuk mempersaksikannya kepadamu, wahai Rasulullah”, Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau memberi semua anakmu seperti ini?” . Ayah An-Nu‟man berkata : “Tidak”. Rasulullah saw bersabda:” Bertakwalah kepada Allah dan
16
berbuat adillah diantara anak-anakmu “. An-Nu‟man berkata, maka ia (ayahnya) kembali lalu mengambil kembali pemberianya. HR. Bukhari Muslim.
ْ اٌُٛ َْٓاَبَٕبْئِ ُىُْاِع ِذ١َاْبٌُْٛاِع ِذ.َْْيَُّْللاِْصُْٛسس َ بْْلَب َي ِ َّ َع ِْٓإٌع إٌسبئْٚدٚداٛابْٚاْٖاحّذْٚس.ُْ َْٓاَبَٕبْئِ ُى١َْاْبٌُٛ َْٓاَبَٕبْئِ ُىُْاِع ِذ١َْب Artinya: Dari Nu‟man, Rasulullah saw bersabda: ” Hendaklah kamu adil antara beberapa anakmu (perkataan ini beliau ulangi sampai tiga kali) “. HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa‟i.
E. Syarat-syarat Pemberian Hibah Imam An-Nawai Rahimahullah menyatakan bahwa rukun hibah ada empat, yaitu: 1. Orang yang memberi hibah sangat jelas. 2. Orang yang menerima hibah juga jelas. 3. Sighah (akad), dan 4. Barang yang dihibahkan (Ath-Tayyar & Al-Mutlaq, 2014: 469, 472). Adapun pokok permasalahan hibah dalam penelitian ini antara lain yaitu: 1. Hibah orang tua kepada salah seorang atau beberapa orang dari anak-anaknya dengan tidak merata (ada yang diberi, ada yang tidak). 2. Hibah orang tua kepada semua anaknya dengan cara bagi rata, tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan permpuan, semua disamakan dan mendapat bagian sama.
17
3. Hibah orang tua kepada salah satu anak perempauanya dengan hibah yang begitu banyak, sementara harta warisan yang ditinggalkanya untuk beberapa anak laki-laki dan perempuanya (yang tidak diberi hibah) lebih sedikit dibandingkan hibah yang diberikan kepada seorang anak perempuannya. Dari ketiga model hibah yang penulis temukan di atas, akhirnya menimbulkan permasalahan (perselisihan) di antara para ahli waris, yakni: 1. Anak yang sudah menerima hibah menganggap bahwa harta yang telah dihibahkan berbeda dengan harta warisan. Mereka merasa tetap berhak sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian dari harta warisan. Namun dipihak lain, ahli waris yang tidak memperoleh hibah beranggapan bahwa harta peninggalan (warisan) almarhum hanya untuk ahli waris yang tidak menerima hibah. 2. Hibah model bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menurut orang tua di pandang sebagai perbuatan bijak dan adil, teryata dikemudian hari diantara anak laki-laki itu tidak terima dan meminta agar harta itu di bagi lagi sesuai ketentuan hukum Islam yang ada, yaitu anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sedang anak perempuan yang sudah menerima hibah dari orang tauanya tidak terima kalau hibah tersebut di minta kembali.
18
3. Hibah model ketiga ini menimbulkan permasalahan yang begitu rumit karena pada umumnya si penerima hibah tidak mau tahu tentang pembagaian harta waris yang tersisa, harta hibah yang sudah diterima pun tidak mau diganggu gugat lagi. Berbagai praktek hibah yang tidak memenuhi syarat rukunnya, baik pemberi hibah, penerima hibah, maupun status harta yang dihibahkan. Dan praktek hibah orang tua kepada salah seorang atau beberapa orang dari anak-anaknya dengan tidak merata (ada yang diberi, ada yang tidak), akhirnya melahirkan keturunan (anak) yang tidak harmonis dan tidak rukun, bahkan terjadi banyak perselisihan dan permusuhan diantara sesama saudara (kakak beradik). Hibah merupakan perbuatan yang sangat mulia karena dengan rela memberikan harta bendanya kepada orang lain. Ayat-ayat Al-Qur‟an maupun Al-Hadits banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong dan salah satu bentuk tolongmenolong adalah memberikan harta kepada orang lain (hibah). Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, shadaqah maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Banyak hikmah atau manfaat atas disyariatkannya hibah, diantaranya adalah: a. Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. 19
Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurirah ra Nabi saw bersabda: “Beri-memberilah kamu karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati (dengki)”. b. Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi. Abu Ya‟la telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
“Saling
memberi hadiahlah kamu, niscaya kamu akan saling mencintai”. c. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadits dari Anas ra Rasulullah saw bersabda: “Saling memberi hadiahlah kamu, karena sesungguhnya hadiah itu dapat mencabut rasa dendam” (Suhendi, 2010: 218). Menurut hukum Islam hibah dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat hibah ada yang berhubungan dengan Ijab dan Qabul,
ada
yang
berhubungan
dengan
Wahib
(orang
yang
menghibahkan), dan ada yang berhubungan dengan Mauhub (harta yang dihibahkan). 1. Syarat-syarat yang berlaku pada Ijab dan Qabul Malikiyyah dan Syafi‟iyyah berpendapat bahwa qabul diperlukan dalam hibah, sedangkan sebagian Ahnaf (ulama‟ Hanafiyyah) berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup. Hanabilah berpendapat
20
bahwa hibah menjadi sah dengan adanya saling memberi dan menerima. 2. Syarat-syarat yang belaku pada Wahib (orang yang menghibahkan), yaitu: a. Wahib berstatus merdeka, jadi tidak sah hibah dari budak. b. Wahib berakal sehat. c. Wahib telah baligh. d. Wahib memiliki Mauhub (harta yang dihibahkan). 3. Syarat-syarat yang belaku pada Mauhub (harta yang dihibahkan), yaitu: a. Mauhub ada pada saat dihibahkan. b. Mauhub diterima. c. Mauhub bukan milik kolektif (bersama) yang dapat dibagi. d. Mauhub dimiliki oleh Wahib (Ath-Thayyar, 2014: 47). Islam membatasi bahwa harta yang boleh dihibahkan paling banyak adalah 1/3 dari total harta yang di miliki, hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 210 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan pasal tersebut sesuai dengan aturan hukum Islam. Diriwayatkan dalam hadist Nabi saw:
ُ ص َّذ ْق ْ ُْيٛس ُْ َب َس٠:بي ٍْ لَّبْٟٚ َ َْاَفَبَت.ََّْللاِص َ َص–ل َ َِعْٓ َسع ِذْب ِْٓاَب ُ ٍُْاٌش:ْحُ َُّْلَب َي,َْل: ُ ٍُْفَم,َل:ْ َ بي َ بي ْ,ج َ َْبِبٌ َّشط ِش؟ْفَم:ْت َ َ؟ْلٍَِِٟ ْٟبِ ُشٍُ َش َ َب َء١ِٕهْاَغ ُُْ٘شٌْ ِِْٓاَْْتَ َز َس١ْخ َ َهْاَْْتَ َز َسحَت َ ِٔا- ٌْش١ْ َو ِشَْٚا- ٌْش١ِاٌشٍُشُ ْ َوبَٚ ٍُِسْٚٞاْٖاٌبخبسْٚس.بس َْ ٌَّْْٕاٛ َ َُتَ َىفَّف٠ًَْعبٌَت 21
Artinya :Dari Sa‟ad bin Abi Waqqash, ia berkata, wahai Rasulullah saw,”apakah aku sedekahkan saja dua pertiga hartaku?‟ Rasulullah saw berkata, „Tidak‟ lalu aku berkata, „setengahnya?‟ Beliau berkata, „Tidak.‟ Kemudian Beliau berkata, „Sepertiga saja, dan sepertiga itu sudah besar –atau banyak-. Engkau meninggalkan ahli waris mu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin menintaminta kepda orang-orang.” H.R. Bukhari Muslim. bahwa pernah suatu saat ada seorang sahabat yang ingin menghibahkan seluruh hartanya kepada agama Allah. Oleh Nabi saw hal itu tidak diperbolehkan dan beliau hanya memperbolehkan hibah paling banyak 1/3 dari harta kekayaan yang dimiliki. Kata Nabi saw pada saat itu, “ Sepertiga, sepertiga sudah cukup banyak, sesungguhnya kamu mininggalkan ahli waris dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan melarat dan menjadi beban orang lain” (Syaifullah& Arifin, 2005: 222). F. Penarikan kembali Hibah Seorang Ayah Kepada Anaknya Jika seorang ayah menghibahkan sesuatu kepada anaknya, apakah ia boleh menarik kembali apa yang telah di hibahakanya itu?. Dalam kasus seperti ini ada dua pendapat fuqoha‟ yaitu: 1. Madzhab Imam Maliki, Imam As-Syafi‟i, Imam Ahmad menyatakan bahwa seorang ayah boleh menarik kembali apa yang dihibahkan kepada anaknya. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu‟man Ibnu Basyir: Dari An-Nu‟man Ibnu Basyir, ia berkata, “Ayahku membawaku menghadap Rasulullah saw, lalu berkata, sesungguhnya saya memberi anakku ini seorang hamba sahaya laki-laki”. Beliau
22
bertanya, “Apakah semua anak-anakmu kamu beri?”. Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda: “Tarik kembali pemberian itu “. HR. Bukhari Muslim. 2. Hanafiah berpendapat bahwa tidak boleh menarik kembali sesuatu yang telah dihibahkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang memakan kembali muntahannya”. HR. Bukhari Muslim. Terhadap hadits ini Syaikh Muhammad Ibnu Al-„Utsaimin Rahimahullah berpendapat bahwa seorang ayah boleh memiliki harta anaknya sesuai kehendaknya, maka menarik kembali apa yang telah ia berikan kepada anaknya tentu lebih boleh (Ath-Thayyar, 2004: 480). Dalam KHI diatur dalam pasal 210 s/d 214 diantaranya adalah hibah dilakukan tanpa adanya paksaan dan hibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta yang dimilikinya. Demikian pula pada hibah tidak dapat di tarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya (Saifullah& Arifin, 2005: 214). Hibah dari orang tua kepada anakanya, dapat diperhitungkan sebagai warisan, sebagaimana tersirat dalam pasal 211 KHI. Rumusan pasal ini tanpaknya ditujukan sebagai jalan keluar (solusi) dari kemungkinan adanya perselisihan diantara ahliwaris. Dalam hal bagi rata, jika terdapat salah satu ahli waris yang tidak setuju, dan kemudian harta warisan dibagi berdasarkan waris
23
Islam yakni, dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, maka boleh dan tidak berdosa (Saifullah& Arifin, 2005: 219)
G. Sikap Ulama’ Setempat Terhadap Pemberian Hibah Orang Tua Kepada Anaknya Terkait Pembagaian Warisan Ulama menjadi sandaran umat dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan ulama‟ disetiap tempat betul-betul dirasakan banyak manfaatnya berbagai urusan dan permasalahan terutama yang berhubungan dengan ibadah, baik ibadah mahdloh (hubungan makhluk dengan Sang Khalik) maupun ibadah ghairu mahdloh (hubungan antar sesama dan alam sekitarnya). Semuanya dimintakan fatwa kepadanya, umat betul-betul bergantung padanya. Adapun adanya pemberian hibah orang tua kepada sebagian atau beberapa orang anaknya, dan pemberian hibah sama rata terkait pembagian warisan yang jelas menimbulkan banyak masalah yang terjadi di Desa Bonomerto, ulama setempat rupaya kurang peka dengan apa yang terjadi. Pembiayaran berlangsung sampai saat ini, terbukti belum adanya kajian-kajian atau pengajian-pengajian khusus yang membahas masalah tersebut. Adanya pembiyaran semacam itu umat semakin buta dan tidak tahu kalau apa yang mereka lakukan bertentangan dengan hukum Islam. Ulama‟ setempat kelihatanya belum menyadari berbagai dampak negatif
24
yang timbul dari adanya praktek pemberian hibah dan pembagian warisan yang bertentangan dengan hukum. Oleh sebab itu, kerukunan persaudaraan dan persatuan umat sebagai pondasi pembangunan disegala bidang menjadi rapuh.
H. Permasalahan Hibah dan Dampaknya Terhadap Pembagian Warisan Allah swt mensyari‟atkan hibah karena hibah dapat menyatukan hati dan mengokohkan ikatan cinta antara sesama manusia. Ayat-ayat Al-Qur‟an maupun Al-Hadits banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong dan salah satu bentuk tolong-menolong adalah memberikan (hibah) harta kepada orang lain (Suhendi, 2010: 212). Pada hakikatnya pemberian (hibah) dilakukan dengan tidak mengharapkan balasan dari manusia, tetapi hanya ingin memperoleh ridho dan ganjaran dari Allah swt. Untuk sampainya tujuan dimaksud hibah haruslah memenuhi syarat dan rukun-rukunya. Syarat-syarat
yang
berlaku
bagi
Wahib
menghibahkan), yaitu: a. Berstatus merdeka, jadi tidak sah hibah dari budak. b. Berakal sehat. c. Telah baligh. d. Memiliki harta yang dihibahkan.
25
(orang
yang
Adapun syarat yang berlaku pada Mauhub (orang yang menerima hibah), yaitu : a.
Harta yang dihibakan ada pada saat dihibahkan.
b.
Harat yang dihibahkan diterima.
c.
Harta yang dihibahkan bukan milik kolektif (harta bersama) yang dapat dibagi.
d.
Harta yang dihibahkan dimiliki Wahib (orang yang menghibahkan).
I. Pengertian Waris Waris adalah ketetapan hukum Islam berkenaan harta yang ditinggalkan untuk dibagikan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris. Sebelum harta peninggalan menjadi hak para ahli waris lebih dahulu harus diperhatikan hal-hal yang menyangkut harta peninggalan itu, sebab mayit pada waktu hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar,
mening-galkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta
peninggalan. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan menurut KHI pasal 175 ayat 1 sebagai berikut, yaitu: 1.
Hak-hak yang menyangkut kepentingan mayit sendiri, yaitu biaya-biaya peyelengaraan jenazahnya sejak dimandikan sampai dimakamkan.
26
2. Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur ( melunasi hutang). 3. Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat. 4.
Hak-hak ahli waris (Saifullah, 2005: 218).
J. Harta Warisa. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan wasiat pewaris. Harta warisan atau harta peninggalan disebut oleh Al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 7 dengan istilah Tarakah
atau harta yang akan
ditinggalakan (Al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 180 ) beralih kepada yang berhak menerimanya (ahli waris). Tarakah yang disebutkan oleh Al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 11 dan 12 yang kemudian diterjemahkan sebagai harta peninggalan terdiri atas benda dan hak-hak yang pembagiannya dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesudah ditunaikan pembayaran utang dan wasiat pewaris. Sisa harta sesudah ditunaikanya berbagai kewajiban tersebut, itulah yang oleh para ahli waris sebagai harta warisan (Ali , 2008: 46).
27
Didalam Al-Qur‟an dan Hadits telah diatur cara pembagian harta warisan dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaidah, sebagaimana firman Allah swt:
١٥٥ْ:ْاٌبمشة.ًْ ِ ََٕ ُىُْبِبٌب١َاٌَ ُىُْبَٛ َِاْأٍُٛ ََلْتَأ ُوَٚ ِ بط Artinya :“ Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil”. QS. Al- Baqarah: 188.
ْ ٌْب١ص َ اْلَل َشبَٚ ْْا َ بٌ ْ ِِ َّّبْتَ َش١ص َ ٌِ ِ ٌٍَِِّْٕٔ َسب ِءْٚ ِ َْٔبي َ ُْٛ ِ ٍشِّج ِ اٌِ َذَٛ ٌنْا ْ ْ.ضًبُٚبًبْ َِفش١ص َ اْلَل َشبْٚ َ ْ ِِ َّّبْتَ َش ِ َْْٔ َوخُ َشَْْٚ ِِ َّّبْلًََّْ ُِِْٕٗأُٛ َ ِْ اٌِ َذاَٛ ٌنْا ْ7ْ:ْإٌسبء
Artinya :“ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatanya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatanya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapakan”. QS. An-Nisaa‟ : 7.
K. Sebab-Sebab Waris Dalam agama Islam sebab-sebab waris-mewarisi ada empat: 1. Kekeluargaan, keteranganya yaitu firman Allah dalam surat An-Nissa‟ ayat 7 dan sabda Rasulullah saw:
ٗ١ٍِْتفكْع.ْش َ ِفشائ َ ٌااُٛاٌَ ِحم ٍ ٌَئْ َسج ًٍُْ َر َوَٚ َِْلَٛ َُْٙفَٟ َِبْفَ َّبْبَمٍَِٙ٘ضْبِب Artinya“ Berikan harta warisan itu kepada ahlinya menurut ketentuan satu persatunya, kalau masih sisa, maka untuk keluarga lakilaki yang terdekat”. HR. Bukhari Muslim.
28
2. Perkawinan, keteranganya yaitu firman Allah dalam surat An-Nisaa‟ ayat 12. 3. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan, Rasulullah saw bersabda:
ُ ُبَب٠ب ََْل ّت٠اْٖابْٓخزْٚس.ْ َُ٘بُٛ٠ََْلَٚ ْع ِ ََلٌُُْٖح َّتٌْ َوٍُح َّ ٍتْإٌَّ َسَٛ ٌَا ْابْٓحببُْٚاٌحبوْٚ Aarinya :“ Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba itu seperti hubungan keturunan dengan keturunan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan (diberikan)” .HR. Ibnu Khuzaimah,Hakim dan Ibnu Hibban. 4. Hubungan Islam, orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan kebaitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka (Rasjid, 2013: 349). Rasulullah saw bersabda :
ٌ اس َ اس دٚداٛابْٚاْٖاحّذْٚس.ٌَُْْٗث َ ثْ َِٓ ََْل َ ََٔا ِ ْٚ ِ ْٚب Artinya:“ Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris”. HR. Ahmad dan Abu Daud.
L. Ahli Waris Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungn perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Ali, 2008: 47).
29
Pengelompokan ahli waris dianalisis dalam Al-Qur‟an surat AnNisaa‟ ayat 11, 12, 33 dan 176, hadits Rasulullah saw, dan Kompilasi Hukum Islam, maka penegelompokan itu terdiri atas: 1.
Hubungan darah yang meliputi golongn laki-laki yang terdiri atas: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek; dan golongan perempuan terdiri atas: ibu, saudara perempuan, tante dan nenek.
2.
Hubungn perkawinan terdiri atas duda atau janda. Bila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat harta warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda (Zainuddin, 2008: 59). Sebab apabila ada ahli waris yang lebih dekat pertalianya kepada si mayit dari pada mereka , karena itu mereka terhalang (tidak mendapat bagian waris), sebagai contoh: a)
Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada nenek.
b) Saudara se ibu, tidak mendapat waris karena ada: 1) anak baik laki-laki maupun perempuan, 2)anak dari anak laki-laki, baik lakilaki maupun perempuan, 3)bapak dari kakek, karena tigaorang tersebut lebih dekat dan lebih kuat pertaliannya kepada si mayit dari pada saudara seibu. c)
Saudara sebapak tidak mendapat warisan dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut, yaitu: bapak, anak laki-laki,
30
anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu), dan saudara laki-laki seibu sebapak. Apabila ada salah seorang dari keempat orang tersebut, saudara sebapak tidak mendapat warisan karena mereka yang empat itu lebih dekat dan lebih kuat pertaliannya kepada si mayit daripada saudara yang sebapak saja. d) Saudara se ibu se bapak tidak mendapat warisan dengan adanya salah satu dari ketiga orang berikut, yaitu: anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki), dan bapak. Misalanya si A meninggal dunia, ia meninggalkan empat orang ahli waris, yaitu: saudara laki-laki se ibu se bapak, anak laki-laki, bapak dan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki dari pihak anak laki-laki). Pembagian harta waris si A tersebut adalah sebagai berikut: saudara laki-laki se ibu se bapak tidak mendapat waris karena terhalang oleh anak laki-laki dan bapak. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) juga tidak mendapat warisan karena terhalang oleh anak laki-laki. Jadi dari ke empat orang tadi yang mendapat warisan hanya anak laki-laki dan bapak (Rasjid, 2013: 363). Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
31
Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang meninggal dimaksud. Dasar hukum waris Islam adalah Al-Qur‟an dan hadist Rasulullah saw, peraturan Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam, pendapat para sahabat Rasulullah saw dan pendapat ahli hukum Islam. Kalau dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut Al-Qur‟an, hadist Rasulullah saw dan Kompilasi Hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu: a. Hubungan kekerabatan (nasab), dan b. Hubungan perkawinan. Adapun syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan Islam, yaitu: a.
Kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta.
b.
Kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.
c.
Di ketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris. Sedangkan unsur-unsur hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan masyarakat muslim yang mendiami negara Republik Indonesia terdiri atas tiga unsur, yaitu: a. Pewaris, yakni orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup.
32
b. Harta warisan, yakni harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, baiya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. c. Ahli waris, yakni orang yang berhak mewarisi karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawianan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun sebab-sebab yang menggugurkan hak kewarisan atau hak untuk mendapatkan harta warisan ada dua, yaitu: 1. Perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris. Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah saw dari Usamah bin Zaid, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majah disebutkan:
ُ َ ِش٠ََْل اْٖاٌجّبعتْْْٚس.َُْ ٍَِلَْاٌ َىبْفِشُاٌ ُّسْٚ َ ْثْاٌ ُّسٍِ ُُْاٌ َىبْفِ َش Artinya:“Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima dari seorang muslim” 2. Pembunuhan (ahli waris membunuh pewaris). Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadits Rasulullah
33
saw dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai‟ bahwa:
ُ َ ِش٠ََْل ْئ َْ ٌُِْْٛثْاٌمَبْتًُِْ ِِ َْٓاٌ َّمت َ ْاْٖاأسبْْٚس.ئًب١ش Artinya:"seorang yang membunuh pewarisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu"(Rasjid, 2013: 351).
Pemberian hibah dan pembagian warisan sebetulnya sudah ada didalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang, atau untuk kepentingan suatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli waris. Intinya adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang tanpa mengaharapkan imbalan. Dasar hukumnya terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 177, surat Ali Imran ayat 38, beberapa hadits Rasulullah saw, dan pasal 210 sampai 214 Kompilasi Hukum Islam. Hibah dalam pengertian diatas, merupakan pemberian biasa dan tidak dapat dikategorikan sebagai harta warisan. Pengkategorian itu tampak bahwa hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika ia masih hidup, sedangkan warisan baru dapat terlaksana bila calon pewaris telah meninggal dunia. Oleh karena itu, meninggalnya seseorang menjadi syarat atas pelaksanaan pengalihan hak dalam bentuk kewarisan. Selain perbedaan
34
itu, juga unsur-unsur kewarisan berbeda dari unsur-unsur hibah (biasa juga disebut rukun hibah). Yang disebutkan terakhir ini mempunyai beberapa rukun tertentu baik pemberi hibah, penerima hibah, maupun status harta yang dihibahkan (Ali, 2008: 75). Begitu tingginya kedudukan dan peranaan hibah dalam menjalin tali persaudaraan dikalangan umat, maka dalam hukum, ia mendapatkan perhatian dan mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu. Namun dalam prakteknya, hibah tidak jarang pula membawa kepada saling sengketa diatara keluarga. Dengan demikian yang terjadi adalah sebaliknya, tali persaudaraan yang tadinya akrab dan erat, kemudian menjadi renggang dan tidak jarang pula menjadi putus sama sekali. Untuk menekan dampak negatif dalam pembagian warisan berkaitan adanya hibah, sebaiknya perlu diadakan musyawarah keluarga, guna membahas penyelesaian harta warisan secara baik-baik dan perlu dijelaskan bahwa: 1. Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 210 s/d 214 diantaranya hibah dilakukan tanpa adanya paksaan dan hibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta yang dimilikinya. Demikian pula pada hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya. 2. Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “Hibah dari orang tua kepada
anaknya,
dapat
diperhitungkan
sebagai
warisan”,
sebagaimana tersirat dalam pasal 211 Kompilasi Hukum Islam.
35
Dan perlu diketahui adanya “Asas-asas Hukum Waris Islam” yang terdiri atas: 1. Ijbari, 2. Bilateral, 3. Individual, 4. Keadaan berimbang, dan 5. Akibat kematian, dengan penjelasan singkat sebagai berikut: a. Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Sebagimana dijelaskan Allah dalam Al-Qu‟an surat An-Nisaa‟ ayat 7 bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan dan harta peninggalan ibu ayah dan keluarga dekatnya. b. Asas Bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas bilateralan itu mempunyai dua dimensi saling mewarisi sebagaimana dijelaskan Al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 7, 11, 12 dan 176, yaitu: 1. Antara anak dengan orang tuanya. 2. Antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua.
36
c. Asas Individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secra perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaanya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masingmasing. d. Asas Keadilan Berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Sebagai contoh, lakilaki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. e. Asas Akibat Kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia (Ali, 2008: 53).
37
BAB III PROSES HIBAH DAN WARIS DI DESA BONOMERTO A. Keadaan Geografis, Sosial-Budaya dan Ekonomi Desa Bonomerto Desa Bonomerto merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, Bonomerto berada disebelah timur Kecamatan Suruh yang terdiri dari enam Dukuh, yaitu dukuh Gajahan, Gedong, Krajan, Mesu, Nglembu dan Karang Dawung. Kasus yang penulis angkat berada di desa Bonomerto Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang tersebut. Desa Bonomerto disebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Gede, disebelah barat berbatasan dengan Desa Gumul, disebelah utara berbatasan dengan desa Kedung Ringin, dan disebelah selatan berbatasan dengan Desa Muncar. Penduduk Desa Bonomerto berjumlah 3.796 jiwa yang terdiri dari 994 Kepala Keluarga. Masyarakat Bonomerto mayoritas sebagai petani, tetapi banyak juga yang berprofesi sebagai PNS, buruh pabrik dan pedagang. Sebagai masyarakat pedesaan tentunya model pergaulannya sangat akrab atau bersifat kekeluargaan, jadi antara masyarakat satu dengan yang lainya saling mengenal, kegiatan kemasyarakatannya juga masih berjalan sesuai adat Jawa. Misalanya jika ada salah satu masyarakat mengalami musibah atau kesusahan, maka masyarakat lain tanpa dimintai bantuan mereka
38
sudah bergerak hatinya untuk membantunya. Hal ini membuktikan bahwa sistem gotong-royong dalam adat masyarakat tersebut masih berjalan. Selain kegiatan kemasyaratakatannya yang kental dengan adat Jawa yaitu gotong-royongnya, kegiatan keagamaanya juga berjalan dengan baik dibuktikan dengan penagajian anak-anak, pengajian remaja, pengajian bapak-bapak dan pengajian ibu-ibu baik bertempat di masjidmasjid, di musholla-musholla maupun di rumah-rumah, ada pengajian harian (pengajian anak-anak/ TPA), ada pengajian mingguan dan ada pula pengajian selapanan. Pengajian-pengajian tersebut selalu dihadiri sebagian besar masyarakat, kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak dulu yaitu turun temurun sejak orang tua terdahulu sampai sekarang masih dilestarikan. Di Desa Bonomerto ada dua organisasi besar Islam yaitu NU dan Muhammadiyah, ada juga Jamaah Tabligh dan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA). Dari dua organisasi besar yang ada meyebabkan hubungan keagamaan atau kemasyarakatan mereka kurang harmonis, mereka masing-masing sangat fanatik terhadap golongannya, sehingga dibeberapa dukuh ada dua masjid yaitu masjid NU dan Muhammadiyah, masingmasing masjid tersebut dimakmurkan oleh jamaah dari golonganya masing-masing, yang ikut NU maka jamaahnya ke masjid NU, kemudian yang Muhammadiyah jamaahnya ke masjid Muhammadiyah. Begitu juga dengan kegiatan keagamaannya yang terpisah menjadi dua kelompok, masing-masing golongan mengadakan kegiatan keagamaan dengan
39
masing-masing jamaahnya, NU dengan jamaahnya sendiri dan begitu juga dengan Muhammadiyah, demikian juga kegitan Jamaah Tabligh dan MTA. Di Desa Bonomerto tersebut yang mengadakan kegiatan keagamaan secara rutin adalah golongan NU yaitu masjid-masjid NU disetiap dukuh mengadakan pengajian rutin pada malam kamis untuk laki-laki, kemudian utuk perempuan pada hari Jumat sore dan Minggu sore serta pengajian selapanan untuk laki-laki dan perempuan yang dilaksanakan pada setiap hari Jumat Legi. Pengajian tersebut selalu dihadiri oleh hampir sebagian besar warga NU. Selain mengadakan kegiatan keagamaan rutin warga NU juga mengadakan kegiatan keagamaan yang bersifat temporal, yaitu Maulid Nabi, Isro‟ Mi‟roj dan hari-hari besar Islam lainya. Kemudian untuk golongan Muhammadiyah juga ada kegitan-kegitan keagamaan seperti pengajian rutin mingguan dan selapanan serta pengajian-pengajian hari-hari besar Islam, tetapi tidak segencar kegiatan keagamaan yang dilakukan kelompok NU. Kemudian dimasing-masing masjid tersebut juga digunakan sebagai tempat minimba ilmu yaitu setiap malam hari setelah sholat Maghrib digunkan anak-anak untuk mengaji Al-Qur‟an, disamping kegiatan TPA ba‟da Dzuhur setiap hari. Sama halnya orang tua mereka atau masyarakat sebelumnya dimana yang mengaku golongan NU maka anak-anak tersebut diarahkan orang tuanya untuk mengaji kemasjid NU/TPA NU, kemudian untuk yang
40
Muhammadiyah anak-anak mereka juga diarahkan untuk mengaji kemasjid-masjid Muhammadiyah. Jadi bukan hanya orang tua mereka yang terpecah menjadi dua kelompok besar, tetapi anak-anak mereka juga disetting untuk terpecah menjadi dua golongan. Menurut para tokoh agama dan masyarakat diantaranya KH. Syahid, Drs. Munarjito, Basyuri, Muhtadi, Muh Kasoni, dan lain-lain bahwa warga Desa Bonomerto tidak bisa disatukan dalam hal keagamaan karena masing-masing mempunyai prinsip dan idiologi yang kuat. Buktinya dalam hal apapun mereka selalu membawa-bawa aliranya. Warga Desa Bonomerto memiliki profesi yang beraneka ragam yaitu,
petani,
pedagang/wiraswasta,
karyawan
swasta,
pegawai
Pemerintah, Guru dan serabutan. Kebanyakan dari mereka yang berprofesi sebagai petani adalah orang-orang tua yang masih bisa berkerja. Warga Desa Bonomerto yang saat ini berusia dibawah 40 tahun ratarata perpendidikan SLA sederajat dan S1, sedangkan yang berusia 40-50 tahun kebanyakan lulusan SMP sederajat, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun kebanyakan lulusan SD atau tamatan SR bahkan sebagian tidak lulus SD.
41
B. Kondisi Hibah dan Waris di Desa Bonomerto Subyek penelitian ini adalah berkenaan adanya hibah terkait pembagian warisan yang banyak terjadi di Desa Bonomerto.Sering terjadi di masyarakat, dimana orang tua pada masa hidupnya memberikan harta (hibah) kepada salah seorang atau beberapa orang dari anak-anaknya, tidak merata dan juga tidak adil. Tetapi ada juga orang tua yang menghibahkan dan berwasiat kepada keluarga dengan cara bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan semua disamakan dan mendapat bagian sama. Dan yang lebih parah lagi ada orang tua yang memberikan hibah kepada seorang putrinya dengan hibah harta yang begitu banyak, sementara harta waris yang tersisa tinggal sedikit dibandingkan dengan harta yang sudah dihibahkan kepada seorang putrinya. Dari beberapa kasus di atas, subyek penelitian dalam penelitian ini disamarkan, sebut saja dengan hibah yang dilakukan Bapak Ahmad, Bapak Kasan dan Bapak Heru kepada anak-anak mereka. 1. Bapak Ahmad warga Desa Bonomerto pekerjaannya sebagai petani mempunyai lima orang anak, tiga laki-laki dua perempuan. Satu anak perempuan dan satu anak laki-lakinya masing-masing diberi hibah berupa tanah pekarangan dengan rumah serta satu bidang sawah yang cukup luas. Sementara dua anak laki-lakinya dan satu anak perempuannya tidak diberi hibah.
42
Harta berupa tanah kebun dan sawah yang ditinggalkan almarhum tinggal sedikit dibandingkan dengan harta yang sudah dihibahkan selisihnya begitu banyak. Konon melihat kondisi itu, sewaktu Bapak Ahmad masih hidup ketiga anaknya yang tidak diberi hibah berinisiatif mengajak kumpul keluarga membahas masalah tersebut, tetapi Bapak Ahmad tetap pada pendiriannya bahwa apa yang sudah diberikan kepada kedua anaknya tidak bisa diganggu gugat lagi, dan sisa harta yang ada itulah untuk ketiga anaknya yang tidak diberi hibah dan itupun pesanya supaya dibagi rata. Sementara kedua anaknya yang sudah menerima hibah pun juga tidak mau kalau kebun, rumah dan sawah yang sudah diberikan diotak-atik lagi. Dari kejadian tersebut, akhirnya hubungan diantara anak-anaknya (lima besaudara) itu kurang harmonis dan yang memprihatinkan seakan tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan itu. Dan para tetanggapun tidak berani ikut campur dalam masalah ini. 2. Bapak Kasan warga Desa Bonomerto pekerjaannya sebagai petani dan peternak ayam mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan sebagai anak ragil. Bapak Kasan sangat menyayangi anak perempuannya, ia begitu dimanja, apalagi setelah anak laki-lakinya menginjak dewasa jarang dirumah dan bergaul dengan teman-temanya kesana kemari tanpa tujuan dan tidak inggat waktu bahkan sulit dinasehati. Anak laki-lakinya merasa kurang diperhatikan dan
43
disayangi, timbul ketidak senangannya kepada orang tua dan adik perempuannya, yang puncaknya anak-anak laki-lakinya memprotes atas apa
yang
dilakukan
menghibahkan
orang
sebagian
besar
tua
kepadanya
harta
terutama
bendanya
kepada
perihal adik
perempuanya. Sementara orang tua berdalih bahwa hal itu dilakukan karena anak perempuannya itu yang kelak bisa diharapkan merawat dirinya dihari tuanya nanti. Benih kebencian dan perselisihan diantara kakak beradik itu justru dimulai dari perlakuan orang tua itu sendiri. Setelah orang tuanya tiada permasalahan hibah dan pemabagian warisan menjadi semakin rumit dan hubungan persaudaraan kakak beradik itu berantakan. 3. Bapak Heru warga Desa Bonomerto pekerjaannya sebagai pedagang dan petani mempunyai enam orang anak, empat laki-laki dua perempuan. Pak Heru termasuk pedagang sukses dan cukup kaya, kebun dan sawahnya banyak tersebar dimana-mana. Beliau sebagai orang tua yang cukup bijaksana, penuh perhatian dan kasih sayang kepada putra putrinya. Perlakuan, perhatian dan kasih sayang yang dicurahkan bagi keenam anaknya hampir sama dan tidak pilih kasih. Ia selalu berusaha berbuat seadil dan sebaik-baiknya untuk semua putra putrinya. Termasuk didalam membagi harta kekayaannya untuk anakanaknya, agar kelak tidak terjadi perselisihan dan permusuhan diantara mereka.
44
Harta kekayaan yang dimilikinya dibagi rata kepada anak-anaknya, semua disamakan dan mendapatkan bagian sama tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempauan. Tetapi ternyata setelah Pak Heru meninggal, diantara seorang anak laki-lakinya meminta kepada saudara-saudaranya untuk membagi harta warisan itu sesuai hukum Islam.
C. Sebab-Sebab Terjadinya Hibah Yang Menimbulkan Masalah Keluarga di Desa Bonomerto Banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya pemberian hibah orang tua kepada anak-anaknya yang terjadi di Desa Bonomerto, yaitu: 1. Diantara orang tua itu ada yang berusaha berbuat bijak dan adil kepada semua anak-anaknya denga cara menghibahkan dan berwasiat kepada keluarga (anak-anaknya) dengan cara bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan, semua disamakan dan mendapat bagian sama. 2. Ada pula diantara orang tua yang melakukan hibah kepada anaknya berdasarkan ego dan kesenangan semata tanpa memperhatikan dampak negatif yang di timbulkan bagi anak-anaknya kelak. Anak yang sangat disayangi diberi hibah, sementara anak-anak yang kurang disenangi tidak diberi. 3. Karena faktor pengetahuan dan pemahaman agama yang kurang.
45
Memang kegiatan pengajian cukup bagus, gencar dan aktif, tetapi didalam pengajian itu yang sering dibahas urusan sholat, puasa, zakat, shadaqah, dan lain-lain sebagainya, sebagai kewajiban seorang muslim yang paling sering diamalkan, sementara soal hibah dan waris jarang dikaji mungkin karena jarang dialami dan bila itupun terjadi umumnya setiap orang hanya mengalami satu atau dua kali seumur hidup. 4. Masyarakat sangat jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan secara nyata pendidikan (penagjian) mengenai sistem hukum hibah dan hukum kewarisan Islam, sehingga aturan hukum itu awam bagi sebagian besar masyarakat.
Pemberian (hibah) orang tua kepada salah seorang atau beberapa orang dari anak-anaknya yang tidak adil, dan hibah bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki dan perempuan semua disamakan dan mendapat bagaian sama, serta pembagian warisan setelah adanya hibah seperti tersebut mempunyai akibat hukum dan akibat bagi kerukunan dan keharmonisan pergaulan persaudaraan keluarga, antara lain yaitu: 1. Umunya keluarga yang mengalami peristiwa seperti itu menjadi retak dan tidak rukun, terutama anak-anak yang merasa diperlakukan secara tidak adil atau di dlolimi timbul ketidak senangan dan kebencian
yang
mendalam
kepada
saudara-saudaranya
mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tuanya.
46
yang
2. Pembagaian warisan dengan adanya hibah semacam itu semakin sulit dan rumit, karena anak yang sudah menerima hibah merasa masih sebagai ahli waris yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan, sementara ahli waris yang tidak memperoleh hibah beranggapan bahwa harta warisan almarhum hanya untuk ahli waris yang tidak memperoleh hibah. Biasanya masing-masing pihak bersikukuh mempertahankan hak dan pendiriannya. Kejadian-kejadian seperti ini hampir tidak ditemukan adanya penyelesaian yang melibatkan masyarakat, tokoh Agama, aparat Desa apalagi Pengadilan. Sehingga seakan tidak ada lagi jalan keluarnya. Akhirnya perselisihan dan perseteruan diantara mereka semakin menjadi. 3. Karena sebagain besar masyarakat Desa Bonomerto kurang faham dan ada yang memang belum mengerti tentang tata cara dan aturan pelaksanaan pemberian hibah dan pembagian warisan yang sasuai dengan ajaran agama Islam dan Undang-Undang yang berlaku, sehingga kebiasaan orang tua terdahulu di jadikan acuan sebagai adat peninggalan nenek moyang.
47
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS HIBAH DAN PEMBAGIAN WARIS DI DESA BONOMERTO A. Pemberian antara Hibah dan Pembagian Waris Ditinjau Dari Hukum Islam 1. Pemberian Hibah Pemberian hibah terbagi menjadi 2 macam yaitu: a.
Pemberian hibah bersifat umum Ayat-ayat
Al-Qur‟an
dan
Hadist
banyak
yang
menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolongmenolong dan salah satu bentuk tolong menolong adalah memberikan harta kepada orang lain, baik berbentuk hibah, sadaqah maupun hadiah, diantara dasar perintah itu tercantum didalam AlQur‟an surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi “dan tolong menolonglah kamu (menganjurkan) kebaikan dan taqwa”, dan sebuah hadist yang diriwayatakan Imam Bukhari dan Daud dari Aisyah ra berkata”pernah Nabi menerima hadiah dan balasanya hadiah itu”. b. Pemberian hibah bersifat khusus Yang dimaksud pemberian hibah bersifat khusus disini adalah pemebrian hibah orang tua kepada anaknya, khususnya yang terjadi di desa Bonomerto. Maksud para oranag tua memberikan hibah
48
kepada anaknya dirasa baik dan benar, hanya saja didalam prakteknya ternyata terjadi banyak penyimpangan dan menimbulkan perselisihan diantara mereka, misalnya diantara lain: 1) Orang tua memberikan hibah kepada salah seorang atau beberapa orang dari anaknya, sementara ada salah seorang atau beberapa orang diantaranya yang tidak diberi, yang tidak diberi merasa dianak tirikan, marah, kecewa, dan lain-lain. Dari penghibahan semacam ini, apabiala hukum pewarisan terbuka dengan meninggalnya salah satu dari orang tuanya, permasalahan pembagian waris mualai terbuka dimana biasanya pihak ahli waris yang menerima hibah menganggap harta yang telah diberikan (dihibahkan) berbeda dengan harta warisan. Mereka merasa tetap berhak sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian dari harta warisanya. Namun dipihak lain, ahli waris yang tidak memperoleh hibah berangapan bahwa harta peninggalan (waris) almarhum hanya untuk ahli waris yang tidak diberi hibah. Sehubungan dengan masalah seperti ini, Al-Qur‟an surat AnNisa‟ 135 dengan jelas memerintahkan kita untuk berbuat adil. Begitu juga salah satu hadist riwayat Imam Bukhari Muslim dan hadist riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasa‟i, Rasulullah saw memerintahkan kepada orang tua untuk berbuat adil kepada anaknya.
49
2) Ada orang tua yang memberikan hibah kepada salah seorang anak permpuan begitu banyak sementara ada beberpa anak laki-laki atau perempuan yang tidak diberi hibah. Sedangkan harta warisan yang ditinggalkan lebih sedikit dibandingkan harta hibah yang diberikan kepada seorang anak perempuan. Praktek hibah tersebut pernah dimusyawarahkan dalam keluarga atas inisiatif anaknya yang tidak diberi hibah diwaktu orang tuanya masih hidup, tetapi sebagian orang tetap bersikukuh bahwa harta yang telah diberikan kepada salah seorang anak perempuan tidak akan dicabut dan tidak boleh diganggu gugat.setelah orang tua meninggal seorang anak perempuan yang menerima hibah tersebut tetap bersikukuh tentang hibah yang telah diterimanya dan tidak mau tahu tentang pembagian harta warisan yang tersisa. Menanggapi permasalahan semacam ini kompilasi hokum Islam (KHI) menegaskan bahwa “hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Sebagaimna tersurat dalam pasal 211 KHI dan didalam Al-Qur‟an surat AnNisa‟ ayat 11 dengan jelas Allah menegaskan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
50
2. Pembagian waris Cara pembagian waris khusunya yang terkait adanya pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang terjadi di desa Bonomerto. Dapat kami jelaskan diantaranya adalah: a. Umunya anak-anak yang sudah menerima hibah tidak mendapatkan harta warisan. b. Harta warisan dibagi sama rata dengan tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. c. Harta warisan hanya dibagikan kepada keluarga yang tempat tinggalnya dekat sementra bagi anak (keluarga) yang merantau jauh dan tidak pernah pulang tidak diberi. d. Harta warisan banyak dikuasai anak yang merasa lebih kuat. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan hampir semua proses pembagian hanya dilakukan oleh ahli waris bersangkutan tanpa melibatkan aparat pemerintah dan ulama setempat.
B. Antara Adat dan Hukum Islam Masyarakat
muslim
Desa
Bonomerto
tinggkat
pengetahuan,
pemahaman dan kesadaran hukum hibah dan waris masih sangat rendah. Umumnya yang mereka fahami, pemberian hibah dan pembagian warisan yang berlaku selama ini sudah sesuai hukum Islam dan adat setempat, sehingga mereka belum menyadari bahwa yang mereka yakini dan mereka lakukan selama ini bertentangan dengan hukum Islam dan
51
perundang-undangan yang berlaku serta menimbulkan permasalahan dan perselisihan diantara anak-anak mereka. Hibah dalam bahasan ini, khusus hibah orang tua kepada anakanaknyayang banyak terjadi di Desa Bonomerto. Karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang pemberian hibah, sehingga pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan. Beberapa responden yang diwawancarai, sebagian besar mereka menyatakan bahwa model pemberian hibah kepada salah seorang atau beberapa orang diantara anak-anaknya itu sudah biasa berlaku sejak nenek moyang mereka terdahulu sampai sekarang dan itu dianggapnya baik dan benar, tidak bertentangan dengan hukum dan adat, serta tidak merasa bersalah dan berdosa. Mereka belum menyadari atas kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan selama ini, Walaupun dampak negatif yang timbul karenanya cukup banyak dan jelas. Dimana adanya pelaksanaan hibah modal tersebut,
dalam
pelaksanaan
pembagian
warisan
juga
timbul
permasalahan diantara ahli waris yang sudah menerima hibah dengan ahli waris yang tidak diberi hibah. Masalah ini semakin sulit diselesaikan dengan sulitnya mereka duduk bersama menyelesaikan dan memusyawarahkan persoalan yang mereka hadapi. Masalahnya karena mereka bersikukuh dengan hak dan pendapat masing-masing.
52
Kebiasaan pemberian hibah tersebut diatas, yang ahkirnya terkait pembagian warisan dikemudian hari yang menimbulkan masalah terutama bagi keutuhan dan keharmonisan keluarga, betul-betul tidak sejalan dengan pelaksanaan amanat dalam surat An-Nissa‟ ayat 9:
ُِْٙ ١ٍَاْ َعُْٛض َعبفًبْ َخبف َ شْاٌَّ ِز َ َخ١ٌَٚ ِ ًَّت٠ُْ ُر ِّسِٙ ِاْ ِِْٓ َخٍفْٛتَ َش ُوٌَْٛٓ٠ َّ َُتَّم١ٍَف ذًا٠َلْ َس ِذَٛاْلٌَُُٛٛم١ٌْٚ َ َاَّْللاٛ Artinya:“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang baik”.
C. Dampak Hibah Orang Tua Kepada Anaknya Terhadap Pembagian Waris di Desa Bonomerto Karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang hukum pemberian hibah dan pembagian warisan, umat Islam banyak yang memberikan hibah, dan apalagi pembagian warisan terkait adanya hibah terjadi banyak penyimpangan. Pemberian hibah kepada salah seorang atau beberapa orang diantara anaknya sering dilakukan berdasar ego semata, tidak adil dan tidak merata. Mereka umumnya belum menyadari atas kekeliruan yang diperbuat serta dampak negatif yang timbul karenanya. Beberapa responden yang penulis wawancarai mengatakan bahwa pemberian hibah orang tua kepada anaknya diberikan karena :
53
1. Anaknya sudah berumah tangga, tetapi belum mempunyai tempat tinggal, kebun dan sawah, dengan tujuan agar anaknya latihan mandiri dalam membangun rumah tangganya. 2. Karena adanya sebagian anak yang merantau, sudah berumah tangga memiliki rumah dan tanah. Anak dimaksud dianggap sudah tidak akan kembali lagi, maka hartanya diberikan (dihibahkan) kepada anakanaknya yang tinggal sekampung bersamanya, sementara anak yang merantau tidak diberi. 3. Ada juga hibah yang diberikan atas dasar ego dan kecintaan kepada salah seorang anaknya. 4. Yang lebih mengagetkan ada seorang anak tidak diberi hibah dengan alasan karena dia sudah disekolahkan tinggi, maka hibah hanya diberikan kepada anaknya yang bersekolah rendah. Adapun proses pemberian hibah dilakukan dengan cara : 1. Hanya lewat lisan dengan mengatakan bahwa rumah, tanah dan sawah itu aku berikan kepadamu, dan tidak diberitahukan kepada anakanaknya yang lain. 2. Setelah memberikan hibah kepada salah seorang anaknya, baru anakanak yang lain diberi tahu. 3. Anak-anaknya dikumpulkan dan diberi tahu bahwa diantara anaknya sudah diberi rumah dan tanah.
54
4. Sebagian sebelum memberikan hibah kepada anaknya, terlebih dahulu sudah dibuatkan Surat Keterangan Tanah (SKT) di Desa, diatas namakan salah seorang anaknya. Sedang proses pembagian warisan terkait adanya hibah orang tua kepada anak-anaknya, baik hibah sama rata, hibah pilih kasih dan hibah lebih sepertiga dari harta yang dimiliki yang terjadi di Desa Bonomerto menimbulkan permasalahan cukup rumit. Penyelesaiaan pembagian warisan sepakat mufakat sesuai hukum dan perundang-undangan yang belaku sulit terwujud, disamping kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah tersebut, juga jarang melibatkan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Aparat terkait. Sehingga proses pembagian warisan dilakukan asal-asalan, bahkan tidak jarang terjadi pertengkaran dan menang-menangan.
55
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemberian hibah dalam keluarga dan dampaknya terhadap pembagian waris di Desa Bonomerto yang terjadi secara turun-temurun dan sudah menjadi adat peninggalan nenek moyang sehingga pembagian hibah orang tua pada salah seorang atau beberapa orang dari anaknya, tidak merata dan tidak adil, atau dengan cara bagi rata tanpa memandang jenis kelamin laki-laki atau perempun semua disamakan dan mendapat bagian yang sama, yang berdampak negatif karenanya dan terhadap pembagian waris itu dianggap biasa, mereka tidak merasa berasalah dan tidak merasa berdosa padahal keluarga-keluarga yang mengalami peristiwa seperti itu umunya menjdi retak dan tidak rukun, perselisihan dan perseteruan diantara mereka semakin meruncing, bahkan tidak jarang persaudaraan diantara mereka putus. Faktor terjadinya hal tersebut karena sebagian besar masyarakat Desa Bonomerto kurang faham dan ada yang belum mengerti tentang tata cara dan aturan pelaksanaan pemberian hibah keluarga (hibah orang tua kepada anaknya), dan pembagian warisan yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan undang-undang yang berlaku. Kementerian Agama (Kantor urusan Agama) sebagai Lembaga Pemerintah terbawah yang mempunyai hak kontrol dan bertanggung jawab terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Agama 56
termasuk pemberian hibah orang tua kepada anaknya terkait pembagian waris, MUI, Lembaga dakwah-dakwah, para Ulama (khususnya Ulama setempat) kurang peka dengan apa yang terjadi dan membiarkan berlangsung samapai saat ini, terbukti belum adanya
kajian-kajian atau pengajian-pengajian khusus yang
mebahas masalah tersebut (terutama di Desa Bonomerto) sehingga masyarakat Bonomerto semakin buta dan tidak tahu apa yang mereka lakukan bertentangan dengan hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Ulama setempat khususnya, belum menyadari berbagai dampak negatif yang timbul dari adanya praktek pemberian hibah keluarga dan dampaknya terhadap pembagian waris. B. Saran 1. Bagi Masyarakat Seharusnya masyarakat belajar dari kejadian-kejadian adanya pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang dilakukan secara pilih kasih dan tidak adil, serta termasuk hibah sama rata antara anak laki-laki dan perempuan, yang terkait pembagian harta warisan yang semuanya berdampak negatif bagi keutuhan, kekompakan dan keharmonisan hubungan persaudaraan. 2. Bagi Ulama‟ Keberadaan dan peran ulama‟ setempat betul-betul mewarnai kehidupan masyarakat terutama dalam pengamalan agama dan berbagai aspek kehidupan.
57
Soal pemeberian hibah dan pembagian warisan tidak kalah pentingnya dengan ajaran-ajaran agama lainya, seperti sholat, zakat, puasa dan lainlain. Untuk itu, para ulama‟ setempat khusunya yang sering menyampaikan tausyiah kepada umatnya, hendaknya sering memberikan pemahaman mengenai hibah dan waris, agar kekeliruan-kekeliruan yang sering dan banyak terjadi itu segera berakhir. 3. Bagi Kementrian Agama Sebagai Lembaga Pemerintah yang mempunyai hak kontrol dalam kehidupan beragama masyarakat, Kementrian Agama mempunyai tanggung jawab terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam masalah pemberian hibah orang tua kepada anak-anaknya terkait pembagian warisan. 4. Bagi IAIN IAIN yang notabene adalah Lebaga Pendidikan Tinggi yang erat dengan masalah-masalah agama Islam harusnya juga punya kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Seharusnya IAIN Salatiga dapat memberikan penyuluhan dalam masalah agama kepada masyarakat disekitarnya.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fu‟ad. 2010. Kumpulan Hadits Shahih BukhariMuslim. Solo : Insan Kamil. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad, Muhammad bin Ibrahim. 2014. Ensiklopedi FiqihMuamalah Dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif. Ali, Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Ali, Muhammad Ash-Shabuni.1995. Pembagian Waris Menutut Islam.Jakarta :Gema Isnani Press. Basyir, Ahmad Azhar. 1985. Hukum Waris Islam. Yogyakarta : Perail. Faisal, Sanapiah. 1992. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : CV Rajawali. Nawawi, Hadari. Hadiri, Martini. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa. Yogyakarta: CV. Orbittrust Corp.
59
Muhammad, Sami. 2014. Fadhailul A‟mal Kumpulan Hadits Keutamaan Thaharah, Shalat, Jum‟at, Zakat, Puasa, Haji, Jenazah, Jihad, AlQur‟an, Dzikir dan Do‟a, Ilmu. Solo : Tinta Medina. Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Saifullah, Muhammad, Arifin, Mohammad, Izzuddin, Ahmmad. 2005. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga. Yogyakarta : UII Press. Soenarjo, R.H.A. 1971. AL-QUR‟AN DAN TERJEMAHNYA. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur‟an. Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2009. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan). Bandung : CV. Nuansa Aulia.
60