hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh Buletin Informasi Kesehatan Hewan hhhhhhhhh Volume 16 Nomor 88 Tahun 2014 hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
ISSN No. 1412 - 7091
Balai Veteriner Bukittinggi Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
2014 Balai Veteriner Bukittinggi 2014
h t t p : // b v e t b u k i t t i n g g i . d i t j e n n a k . p e r t a n i a n . g o . i d
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Susunan Dewan Redaksi
: Kepala B-VET Bukittinggi
Penanggung Jawab
Drh. Azfirman Redaktur Anggota
: Drh. Rina Hartini : Drh. Rudi Harso Nugroho Drh. Yuli Miswati, M.Si Drh. Eliyus Putra Drh. Yulfitria Drh. Ibnu Rahmadani Drh. Cut Irzamiati Drh. I Gde Eka Budhiyatnya Drh. Budi Santosa Drh. Dwi Inarsih Drh. Katamtama A Drh. Lylian Devanita
Penyunting/Editor
: Daniel Faizal
Desain Grafis
: Erdi
Sekretariat
: Erizal
Alamat Redaksi
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
:
Balai Veteriner Bukittinggi Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km. 14 PO. Box 35 Bukittinggi Telp. (0752) 28300 Fax (0752) 28290 Email :
[email protected] Website :
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kata Pengantar
Para Pembaca yang Berbahagia Puji dan syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya Buletin Informasi Kesehatan Hewan Volume. 15 No. 86 tahun 2013 ini dapat diterbitkan. Buletin ini memberikan informasi tentang hasil kegiatan Balai veteriner Bukittinggi di BPTUHPT Padang Mangatas berupa
Deteksi
Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) dan Modifikasi Metode autovaksin dan tingkat keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma. Dalam buletin edisi ini dipaparkan juga penyakit Newcastle Disease pada unggas dan gambaran kasus rabies dan korban gigitan hewan penular rabies di wilayah kerja. Kasus obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Limapuluh Kota dalam bulletin ini juga menggambarkan salah satu penyebab kematian pada pedet. Semoga tulisan yang ditampilkan pada buletin ini dapat menjadi sumber informasi dan sebagai bahan acuan bagi dinas ataupun instansi terkait dalam menjalankan tugas dan lebih mengefektifkan tugas dan fungsinya. Masukan dan saran dalam rangka peningkatan kualitas bulletin ini masih sangat kami harapkan. Redaksi memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan masih terjadi kekurangan dan diharapkan para pembaca dapat memaklumi. Selamat membaca dan semoga bermanfaat
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
i
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Daftar Isi
Hal
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) pada ternak sapi di BPTUHPt Padang Mangatas
1
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi tahun 2009-2013
6
Modifikasi metode autovaksin dan tingkat keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
13
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja Bvet Bukittinggi Tahun 2013
24
Kasus Kematian pedet akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Limapuluh Kota
31
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
ii
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) Pada Ternak Sapi di BPTUHPT Padang Mangatas Yuli M, I Gde Eka B, Martheliza, Nirma C, Kiki S, Yade EP, Azfirman
Abstrak Berdasarkan hasil surveilans serologis (ELISA) pada ternak sapi di Balai Perbibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU HPT) Padang Mangatas tahun 2014 menunjukkan 61,65% positif antibodi BHV-1. Pengujian paired sera telah dilakukan, 94,89% positif antibodi BHV-1 dan 23 sampel diantaranya menunjukkan kenaikan nilai 2-4 kali. Mengingat di peternakan tersebut tidak dilakukan vaksinasi IBR, maka perlu dilakukan pengujian adanya virus tersebut di area peternakan. Koleksi spesimen dilakukan sebanyak 13 sampel usap mukosa nasal dari ternak yang sakit dan 7 sampel dari ternak yang diberi perlakuan stres buatan selama 5 hari. Pengujian dilakukan dengan metode nPCR. Hasil diagnosa menunjukkan 1 dari 13 sampel ternak sapi sakit positif virus BHV-1 dan 5 dari 7 sampel ternak sapi yang diberi perlakuan stres buatan positif virus BHV-1. Hal ini menunjukkan bahwa virus BHV-1 terdapat pada ternak sapi di BPTU HPT Pandang Mangatas. Kata Kunci : Virus BHV-1, IBR, Sapi, Stres buatan, nested PCR Afiliasi Penulis : Bvet Bukittinggi Korespondensi :
[email protected],
[email protected] Telp : 085363028168
Pendahuluan Bovine herpesvirus type 1 (BHV-1) merupakan penyakit virus yang patogen baik bagi ruminansia dan secara ekonomi sangat signifikan merugikan bagi industri peternakan di berbagi negara. Bovine herpesvirus type 1 (BHV-1) termasuk kedalam famili herpesviridae. Berdasarkan sifat antigenik dan genomiknya, BHV-1 dibedakan menjadi subtipe 1 (BHV1.1) dan subtipe 2 (BHV-1.2). Kedua subtipe tersebut dapat menimbulkan penyakit dengan gejala klinis yang berbeda pada ternak sapi. BHV-1.1 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan yang lebih dikenal sebagai Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). BHV-1.2 seringkali berhubungan dengan penyakit penyebab gangguan genital yang biasa dikenal sebagai Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV) pada sapi betina dan Infectious Pustular Balanopositis (IPB) pada sapi
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
jantan. Selanjutnya varian BHV-1.2 dapat dibedakan menjadi BHV-1.2.a dan BHV-1.2.b dimana BHV-1.2.a seringkali berhubungan dengan penyakit penyebab keguguran pada sapi (Miller et al., 1991). Ternak sapi semua umur dan ras peka terhadap infeksi BHV-1.Virus biasanya mengintroduksi pada populasi ternak sapi melalui infeksi ternak secara akut. Sheding virus dalam jumlah besar melalui sekresi nasal dan ocular dan dapat menginfeksi individual yang peka. Semen dari pejantan yang terinfeksi BHV-1 dapat menularkan ke ternak lain melalui kawin alam atau inseminasi buatan. Seperti halnya herpes virus lainnya, virus ini dapat menginfeksi secara latent. Setelah infeksi, BHV-1 akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem syaraf melalui sel syaraf tepi mencapai ganglia trigeminal dan menetap dalam keadaan laten. Sifat laten ini membuat virus akan menetap dan akan terus dibawa dan dapat
1
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) pada Ternak Sapi di BPTUHPT Padang Mangatas
Yuli M, I Gde Eka B, Martheliza, Nirma C, Kiki S, Yade EP, Azfirman
diinfeksikan kepada sapi lain. Selain sistem syaraf,
(2005) bahwa dengan teknik PCR, sapi yang sehat dan
limfoglandula dan mukosa hidung juga dinyatakan
yang memiliki sero negatif trehadap BHV-1 dapat
sebagai tempat virus laten. Hewan yang terinfeksi
terdeteksi positif agen virus penyebab IBR.
secara laten bertindak sebagai pembawa virus (carrier)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
dan merupakan sumber penyebaran penyakit (Rola et
mendeteksi keberadaan materi genetik virus BHV-1
al., 2003). Reaktivasi virus akan terjadi pada saat
pada ternak sapi yang memiliki titer antibodi BHV-1
transportasi, cuaca yang dingin, populasi ternak yang
tinggi pada dua kali pengujian serologik dengan
padat, pemberian obat corticosteroid, infeksi sekunder
menggunakan metode nested PCR.
oleh mikroorganisme yang patogen atau ternak dalam keadaan stress. Reaktivasi virus menyebabkan virus shedding, dengan interval yang tidak beraturan tetapi kondisi ternak tetap tidak menunjukkan gijala klinis.Virus disekresikan melalui sekreta hidung dan mata, cairan plasenta ternak sapi yang keguguran serta semen (Rolla et al., 2005). Tanggap kebal lokal terlampau lemah untuk mencegah virus sheeding secara menyeluruh, tergantung pada waktu infeksi dan reaktivasi. Oleh karena itu, dalam kondisi ini mungkin diperlukan vaksinasi terhadap hewan untuk mencegah terjadinya transmisi virus. Peranan infeksi laten sangat penting terutama bagi sapi pejantan bibit, karena sapi tersebut dapat mengeluarkan virus yang bereplikasi pada mukosa hidung, mata dan alat genital baik jantan maupun betina. Semen pada umumnya lebih sering terkontaminasi oleh virus yang berasal dari mukosa penis, atau preputium pada saat ejakulasi, dikembangkan dengan virus yang diproduksi pada testis, epidimis atau glandula asesoris genital lainnya. Dengan menggunakan semen yang berasal dari sapi pejantan yang terinfeksi BHV-1 untuk inseminasi buatan atau untuk kawin alam, maka akan beresiko terjadinya penularan BHV-1 kepada sapi betina. Berdasarkan OIE (2010), untuk mendeteksi BHV-1 digunakan metode isolasi virus menggunakan kultur jaringan lestari Madin Darby Bovine Kidney (MDBK) sebagai gold standard pengujian. Menurut Deka, et al
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
Materi dan Metode Koleksi dan Perlakuan Sampel Spesimen yang digunakan adalah 7 usap mukosa nasal dari ternak sapi dengan hasil seropositif tinggi (paired sera) dengan kenaikan nilai titer 2-4 kali lipat dan telah diberi perlakuan pemberian preparat dexametazone dengan dosis 40mg/kg BB 5 hari berturut-turut. Spesimen usap mukosa nasal diambil menggunakan kapas bertangkai (cooton swab) steril dan dimasukkan ke dalam transport media viral. Pengamatan terhadap sapi yang diberi perlakuan dilakukan setiap hari terhadap adanya perubahan gejala klinis serta dilakukan pengukuran suhu rektal. Sebanyak 13 spesimen diambil dari kelompok ternak yang menunjukkah gejala sakit dan ada ternak yang telah mengalaami keguguran 1 bulan sebelumnya. Semua spesimen disimpan pada suhu 4oC sebelum sampai di laborataorium. Di labortorium, spesimen usap mukosa nasal dikocok dengan vortek dan dibiarkan pada suhu ruang selama 30 menit. Kapas bertangkai dibuang, kemudian sampel disentrifugasi 1.500xg selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan endapannya dibuat suspensi 10% dengan penambahan media transpor. Suspensi tersebut siap diekstraksi DNA untuk pengujian PCR atau disimpan pada suhu -20oC sebelum dilakukan pengujian
2
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) pada Ternak Sapi di BPTUHPT Padang Mangatas
Yuli M, I Gde Eka B, Martheliza, Nirma C, Kiki S, Yade EP, Azfirman
Ekstraksi DNA Darah dalam EDTA dilakukan sentrifugasi dan pencucian untuk memperoleh pheripheral blood mononuclear cell (PBMC) dengan metode Ficoll. Isolasi DNA dengan menggunakan metode QIAm DNA Mini Kit (Qiagen Cat. No.51304).
Uji PCR Uji PCR dilakukan dengan menggunakan Kit PCR Vivanatis System with Taq DNA Polymerase. Primer yang digunakan adalah dua pasang primer glikoprotein D(gD) yang memiliki proses amplifikasi DNA yang berbedan untuk masing-masing primer, yaitu primer eksternal dan internal gD BHV-1. Penggunaan primer ini berdaarkan prosedur Rola et al, 2005. Primer gD BHV-1
menit), annealing 60oC (1 menit), elongasi 72oC (1 menit), total siklus 35 kali dan diakhiri dengan elongasi akhir 72oC (10 menit).
Analisa produk PCR Produk PCR dianalisa dengan 1,5% gel agaraose (Invitrogen) yang mengandung Sybersave (1%). Elektroforesis dilakukan pada voltase konstan 100 volt dlam TBE buffer (Invitrogen) selama 45 menint. Hasil PCR dilihat dangan UV transiluminator dan didokumentasikan dengan Gel Doc untuk melihat adanya pota DNA. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer gD yang menghasilkan fragmen 468bp (primer eksternal) dan 325bp (primer internal).
eksternal gD1 (lokasi 351-368) : 5'-GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3', dan gD2 (lokasi 817-796) :5'- GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC-3'. Primer internal gDN1 (lokasi 394422) : 5'-ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC GAG AGC G-3' dan primer gDN2 (lokasi 716-696) 5'- CCA AAG GTG TAC CCG CGA GCC-3'. Primer eksternal dan internal gen gD BHV-1 menghasilkan fragmen 468bp dan 325 bp. Pembuatan komposisi 1 reaksi PCR (master mix) pada PCR pertama dengan volume 25 µl sebagai berikut adalah 2,5 µl 10x DNA polymerase buffer (Vivantis), 2,5 µl 10 mM campuran dNTP(ABI), 0,5 µl masing-masing primer (Sigma), 0,25 µl Taq DNA Polymerase dan 5 1 µl DNA template, RNAse Free Water 13,75 µl, template DNA 5 µl.
Hasil dan Pembahasan Pengamatan gejala klinis Gejala klinis diamati selama 5 hari pada 7 ekor sapi dengan perlakuan stress buatan dengan pemberian dexametazone, termasuk pengukuran temperatur rektal. Secara keseluruhan gejala klinis yang timbul tidak terlihat jelas, sapi terlihat agak lesu, nafsu makan agak berkurang, tempertaur rektal 3839oC.
Hasil pengujian PCR Pengujian dengan metode nested PCR
Pembuatan komposisi 1 reaksi PCR (master
menunjukkan bahwa dari 1 dari 13 sampel sapi yang
mix) pada PCR kedua (nested) sama dengan pada PCR
sakit positif DNA virus BHV-1, dan dari kelompok sapi
pertama, kecuali penambahan template DNA hasil PCR
yang diberi perlakuan stres buatan terdapat 5 dari 7
pertama 1 µl dan penambahan RNAse Free Water 17,75
sampel menunjukkan positif DNA virus BHV-1
µl.
(Gambar 1) Program PCR sesuai dengan prosedur Rola et
al.(2005) dilakukan dalam themocycler (Verity), yaitu pre denaturasi 92oC (4 menit), denaturasi 95oC (1
iii Balai Veteriner Bukittinggi 2014
3
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) pada Ternak Sapi di BPTUHPT Padang Mangatas
Yuli M, I Gde Eka B, Martheliza, Nirma C, Kiki S, Yade EP, Azfirman
Gambar 1. Hasil nested PCR BHV-1 (IBR) pada sampel usap mukosa hidung
K+
(A) M K+ 1
2
3
4
5
K-
(B) 6
7 K- M
(C)
M K+
5 6 3 2 1 4 K-
(D)
Keterangan : (A) 13 sampel ternak sakit (1-13), sampel no 5 positif; (B) sampel nomor 5 hewan sakit; (C) & (D) Sampel ternak yang mendapat perlakuan stres buatan., M = marker skala 100bp
Dari kelompok sapi yang sakit (dalam kandang
yang menonjol pada kejadian infeksi buatan berupa
isolasi) terdapat 1 sampel yang positif DNA BHV-1, dan
kenaikan suhu badan. Pada penelitan yang dilakukan
sapi ini telah mengalami keguguran satu bulan
kenaikan suhu badan terjadi mencapai 38-39 o C,
sebelumnya pada umur kebuntingan 7 bulan. Pada
anoreksia, ternak lesu, terjadi reaktivasi virus dan
kelompok sapi yang diberi perlakuan stres buatan
tersekresikan melalui sekreta hidung serta dapat
menunjukkan 5 dari 7 sampel positif DNA virus BHV-1.
terdeteksi positif dengan PCR (Smiths et al, (2000).
Hal ini sesuai dengan pendapat Hage et al.(1996) yang
Pada pengujian sebelum diberikan perlakuan stres
menyatakan bahwa stres buatan yang dilakukan
buatan, adanya virus tidak terdeteksi dengan PCR, hal
dengan menyuntikkan preparat Cortison
ini disebabkan infeksi laten dan virus menetap di
(bethamethasone, dihydrocortisone, dll). Gejala klinis
trigeminal ganglia (Muylkens et al. (2007).
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
4
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Deteksi Bovine Herves Virus -1 (BHV-1) pada Ternak Sapi di BPTUHPT Padang Mangatas
Yuli M, I Gde Eka B, Martheliza, Nirma C, Kiki S, Yade EP, Azfirman
Pada pengujian secara serologis (paired sera)
M u y l k e n s , B . , J . T h i r y, P. K i r t e n , S . S c h y n t s a n d
yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan
E.Thiry.2007. Bovine Herpesvirus 1 infection and
adanya titer antibodi BHV-1 (IBR). Menurut Rola et al,
infetious bovine rhinotracheitis.Vet.Res. 38:181-
(2005) tidak ada korelasi antara status antibodi dengan
209
sekresi virus dan telah dibuktikan pada wabah penyakit IBR di Pulawy, Polandia. Dari 24 sampel sera dan 24 sampel usap mukosa hidung asal sapi perah yang sama diperoleh 24 sampel positif antibodi, 1 positif isolasi virus dan 11 positif terdeteksi DNA virus.
Kesimpulan Dan Saran Virus BHV-1 sebagai agen penyebab penyakit
OIE,. 2010. Infectious bovine rhinotracheitisin Manual of Deagnostic Test and Vaccine for terestrial animals. Chapter 2.4.3.1 Rola,J., M.P. Polak and J.F. Zmudzinski. 2003. Amplification of DNA of BHV-1 isolated from semen of naturally infected bulls. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 47:71-75
IBR sudah dapat dideteksi dengan metode nPCR pada
Rola,J., Larska, M and Polak, MP.. 2005. Detection or
t e r n a k s a p i d i B P T U H P T Pa d a n g M a n g a t a s .
Bovine Herpesvirus 1 from an outbreak of
Selanjutnya perlu dilakukan isolasi dan karakterisasi
infectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst.
Bovine Herpes Virus (BHV-1) penyebab IBR pada ternak
Pulawy. 49:267-271
sapi di BPTU HPT Padang Mangatas.
Saepulloh, M., R.M. Abdul Adjid, I.W.T. Wibawan and
Perlu segera dilakukan peninjauan ulang
Darminto. 2008.Pengembangan nested PCR
terhadap peraturan/kebijakan tentang Upersyaratan
untuk deteksi ovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada
kesehatan hewan (penyakit yang harus bebas) di Balai
sediaan usap mukosa hidung dan semen asal
Perbibitan lingkup Dirjen Peternakan dan Kesehatan
sapi. J.IT vet. 13:155-164
Hewan. Kerjasama antar UPT dan pendampingan masalah kesehatan hewan oleh BV di Balai Perbibitan terbukti dapat membantu permasalahan dan meningkatakan kinerja kedua UPT yang bersangkutan.
Daftar Pustaka Miller, J.M., C.A. Whetstone and M.J Van der Maaten. 1 9 9 1 . A b o r t i f a c i e n t p ro p e r t y o f v o v i n e herpesvirus tyhpe 1 isolates that represent three subtypes detrmined by restriction endonuclease
Smith,C.B., C. Van Maanen, R.D. Glas, A.L.W. De Gee, T. Dijkstrab, J. T. Van Oirschot and F.A.M. Rijsewijk. 2000. Comparison of three polymerase chain reaction methods for routine detection of bovine herpesvirus 1 DNA in fresh bull semen. J. Virol. Methods. 85:65-67. Thiry, E., J. Saliki, M. Bublot and P.P. Pastoret. 1987. Reaactivation of infectious bovine rhinotracheitis virus by transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis. 10:59-63
analysis of viral DNA. Am. J. Vet Res. 52: 458-461
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
5
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disesase di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013
Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
Abstrak Sumber protein hewani yang banyak dikembangkan oleh masyarakat adalah ternak ayam karena cara pemeliharaannya yang relatif mudah. Di samping itu hasilnya dapat diperoleh dalam kurun waktu yang relatif singkat baik berupa telur maupun daging. Sehingga dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan protein dan menambah penghasilan keluarga tetapi sering terkendala beberapa penyakit unggas salah satunya ND. Di Indonesia, penyakit ND bersifat endemis, yang ditandai dengan kejadian penyakit yang ditemukan sepanjang tahun. Tulisan ini memberi gambaran tentang penyakit ND di wilayah kerja BVet Bukittinggi dari Tahun 2009 sampai Tahun 2013 berdasarkan data hasil pengujian terhadap 11.830 serum dan 6.518 swab cloaka/trakhea unggas. Hasil uji serologis dan identifikasi virus ND pada sampel-sampel tersebut menunjukkan dalam kurun 5 tahun di Propinsi Jambi, Propinsi Kepulauan Riau, Propinsi Riau dan Propinsi Sumatera Barat penyakit ND masih bersifat endemis. Masih perlu penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manajemen beternak ayam, pencegahan penyakit ayam dan analisa usaha beternak ayam
Kata Kunci: ND, Ayam, endemis Afiliasi Penulis : Bvet Bukittinggi Korespondensi :
[email protected],
[email protected] Telp : 085363028168
Pendahuluan
Pengelompokkan tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio, yakni: lentogenik adalah strain
Penyakit ND disebabkan oleh Avian
virus yang kurang ganas ditandai dengan kematian
Paramyxovirus type-1 (APMV-1), genus Avulavirus,
embrio lebih dari 90 jam, mesogenik antara 60-90 jam,
familia Paramyxoviridae. Avian Paramyxovirus terdiri
sedangkan velogenik kurang dari 60 jam. Gejala
dari sembilan serotype yakni APMV-1 sampai APMV-10
penyakit yang ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik
(OIE, 2012). Virus ND termasuk kelompok virus RNA
pada ternak ayam bersifat ringan atau tanpa gejala
dengan genom berserat tunggal (single stranded/ss)
klinis. Virus ND tipe mesogenik dengan virulensi
dan berpolaritas negatif, berbentuk bulat dengan
moderat (sedang) menimbulkan gejala yang dari ringan
diameter 100-500 nm, beberapa di antaranya
sampai sedang. Sementara itu, virus ND velogenik
berbentuk filament, dan beramplop (Fenner et al, 1995).
adalah tipe yang sangat ganas ditandai dengan
Virus ND dikelompokkan menjadi tiga pathotype yaitu:
penyakit yang bersifat akut dan kematian yang tinggi
lentogenik, mesogenik dan velogenik.
sampai 100%. Berdasarkan atas predileksinya dan gejala klinis yang ditimbulkan, virus ND velogenik
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
6
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan
Indonesia, penyakit ND bersifat endemis, yang ditandai
gejala gangguan syaraf, pneumotrofik dengan kelainan
dengan kejadian penyakit yang ditemukan sepanjang
pada sistim pernafasan, dan viscerotrofik dengan
tahun.
kelainan pada sistima pencernaan (Aldous and
Sejak di Indonesia terjadi kasus AI kejadian ND
Alexander, 2001). Sementara virus ND lentogenik
jarang dilaporkan tetapi bukan berarti tidak terjadi
umumnya menimbulkan gejala klinis yang ringan atau
dilapangan. Tulisan ini dimaksutkan untuk memberikan
tanpa gejala klinis sehingga banyak yang dipakai untuk
gambaran tentang penyakit ND di Wilayah kerja Balai
vaksin.
Veteriner Bukittinggi sejak Tahun 2009 – 2013.
Penyakit ND bersifat akut sampai kronis ditandai dengan angka sakit (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) yang sangat tinggi. Pada kelompok ayam yang peka kejadian penyakit berlansung cepat ditandai dengan mortalitas maupun
Materi Dan Metode Materi
morbiditasnya tinggi, dapat mencapai 100% terutama
Materi yang diperiksa adalah serum dan swab
akibat infeksi NDV strain velogenik, dan 30-50% pada
cloaka/trakhea unggas yang diperoleh dari kegiatan
strain mesogenik (Tabbu, 2000). Penularan ND
monitoring AI dari Tahun 2009 - 2013.
umumnya terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit dan ayam sehat, atau kontak tidak langsung
Metode
melalui pakan, air minum, udara, maupun melalui
Pengujian serum dilakukan untuk menentukan
pekerja dan peralatan kandang yang telah tercemar
titer antibodi terhadap ND dengan teknik pengujian
virus. Beberapa faktor yang mempengaruhi
HA/HI. Sedangkan swab cloaka/trakhea digunakan
patogenisitas virus ND adalah galur virus, rute infeksi,
untuk identifikasi virus ND dengan menggunakan
umur ayam, lingkungan serta status kebal ayam saat
metode inokulasi virus pada telur embro tertunas.
terinfeksi virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus
Prosedur uji berdasarkan IKP (Intruksi Kerja personel)
dengan konsentrasi yang tinggi melalui feses maupun
Balai Veteriner Bukittinggi
lendir dari mukosa mata maupun mukosa hidung yang merupakan sumber penularan Salah satu sumber protein hewani yang banyak
Hasil dan Pembahasan
dikembangkan oleh masyarakat luas adalah ternak ayam karena cara pemeliharaannya yang relatif mudah.
Total serum yang diuji serologis terhadap ND
Di samping itu hasilnya dapat diperoleh dalam kurun
sebanyak 11.830 serum terdiri dari 2350 serum dari
waktu yang relatif singkat baik berupa telur maupun
Propinsi Jambi, 1557 serum dari Propinsi Kepulauan
daging. Sehingga dapat membantu masyarakat dalam
Riau, 3045 serum dari Propinsi Riau dan 4878 serum
memenuhi kebutuhan protein dan menambah
dari Propinsi Sumatera Barat (Tabel 1).
penghasilan keluarga tetapi sering terkendala beberapa penyakit unggas salah satunya ND. Di
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
7
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
Tabel 1a. Jumlah serum yang diuji di Propinsi Jambi TAHUN
DAERAH
2009
2010
2011
2012
2013
60 0
Batanghari
21
143
8
1
Bungo
64
131
15
0
Kerinci
89
27
18
9
0
0
37
12
8
95
Kota Jambi Kota Sungai Penuh
0
0
9
11
159
Merangin
90
222
7
0
0
Muaro Jambi
28
15
7
9
150
0
27
13
18
116
Sarolangun Tanjung Jabbar
114
20
2
0
113
Tanjung Jabtim
0
100
3
0
111
177
7
7
0
77
583
729
101
56
881
2009
2010
2012
2013
Batam
0
0
4
0
227
Bintan
0
85
6
12
107
Karimun
0
0
0
19
83
Kota Batam
31
97
42
14
0
Kota Tj.pinang
31
20
18
15
205
Lingga
242
5
15
7
206
Natuna
35
0
5
0
0
365
207
90
67
828
2009
2010
2011
2012
2013
Tebo Jumlah
Tabel 1b. Jumlah serum yang diuji di Propinsi Kepri TAHUN
DAERAH
Jumlah
2011
Tabel 1c. Jumlah serum yang diuji di Propins Riau TAHUN
DAERAH Bengkalis
50
195
7
0
0
Indragiri Hilir
70
85
19
0
159
Indragiri Hulu
102
74
6
12
0
Kampar
103
162
10
11
54
Kota Dumai
8
91
10
8
77
Kota Pekanbaru
43
126
6
1
89
Kuantan Singingi
50
32
3
5
0
Pelalawan
70
288
12
0
0
Rokan Hilir
96
7
14
0
0
61
102
9
8
157
159
44
8
10
159
Rokan Hulu Siak Kepulauan Meranti Jumlah
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
0
0
9
8
156
812
1206
113
63
851
8
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
Tabel 1d. Jumlah serum yang diuji di Propinsi Sumbar TAHUN
DAERAH
2009
2010
2011
2012
2013
Agam
107
30
25
6
138
Dharmasraya
161
51
8
0
0
Kota Bukittinggi Kota Padang
3
10
9
4
0
40
165
41
0
148
Kota Pd. Panjang
53
25
14
0
78
Kota Pariaman
57
0
15
0
0
Kota Payakumbuh
26
33
26
4
156
Kota Sawah Lunto
122
63
4
6
77
Kota Solok
238
23
19
14
0
Lima Puluh Koto
22
116
44
12
164
Padang Pariaman
217
66
5
0
95
Pasaman
95
69
14
18
0
Pasaman Barat
48
0
5
12
141
Pesisir Selatan
84
131
9
9
158
Sijunjung
12
0
0
0
0
Solok
62
80
10
0
159
Solok Selatan
47
167
18
21
149
Tanah Datar
63
160
27
14
94
Kepulauan Mentawai Jumlah
99
0
3
1
0
1457
1288
296
121
1716
Tabel 2. Hasil seropositif ND TAHUN
PROVINSI JAMBI
KEPULAUAN RIAU
PROVINSI RIAU
SUMATERA BARAT
2009
90
32
186
459
2010
113
177
201
228
2011
45
47
45
134
2012
26
37
28
54
2013
433
491
257
571
Gambar 1. Seroprevalensi ND di Regional II Tahun 2009 - 2013
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
9
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
Berdasarkan keterangan dari peternak yang
Propinsi Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dari
didapat waktu pengambilan sampel serum, unggas-
3 propinsi lainnya. Pada Propinsi Jambi, Propinsi Riau
ungas yang diambil serumnya tersebut tidak divaksin
dan Propinsi Sumbar berfluktuasi dari tahun ke tahun,
ND. Hasil seropositif ND dari sampel-sampel tersebut
tapi tetap masih terjadi infeksi virus ND. Pada Tahun
dapat dilihat pada Tabel 2, hal ini menunjukkan dalam
2013, dapat dilihat dari Gambar 1 dimana
kurun 5 tahun di Propinsi Jambi, Propinsi Kepulauan
seroprevalensi ND di Propinsi Riau sebesar 30 %,
Riau, Propinsi Riau dan Propinsi Sumatera Barat
seroprevalensi ND di Propinsi Sumatera Barat 33 %,
penyakit ND masih bersifat endemis.
Propinsi Jambi dengan seroprevalensi 49 % dan
Prosentasi hasil seroposif ND (hasil seropositif
Propinsi Kepulauan Riau dengan seroprevalensi 59 %.
ND dibandingkan dengan jumlah sampel serum yang
Hasil pemeriksaan secara serologis ini diperkuat
diuji dapat dilihat pada Gambar 1, Terlihat presentasi
dengan identifikasi virus dari sampel swab unggas yang
seropositif ND dari Tahun 2009 – Tahun 2013 di
diambil dari 4 propinsi diatas.
Tabel 3. Jumlah sampel swab unggas yang diidentifikasi terhadap virus ND TAHUN
PROVINSI JAMBI
KEPULAUAN RIAU
PROVINSI RIAU
SUMATERA BARAT
2009
282
361
431
926
2010
599
353
521
784
2011
63
33
89
192
2012
26
35
42
77
2013
358
301
316
729
Total
1328
1083
1399
2708
Total jumlah sampel yang diuji untuk identifikasi
1399 swab, sedangkan dari Propinsi Sumatera diuji
virus ND dari Tahun 2009 – Tahun 2013 dari Propinsi
sebanyak 2708 swab. Hasil identifikasi dapat dilihat
Jambi sebanyak 1328 swab, dari Propinsi Kepulauan
pada Tabel 4.
Riau sebanyak 1083 swab, dari Propinsi Riau sebanyak Tabel 4. Hasil positif virus ND TAHUN
PROVINSI JAMBI
KEPULAUAN RIAU
PROVINSI RIAU
SUMATERA BARAT
2009
0
0
4
41
2010
20
20
1
0
2011
2
0
0
7
2012
1
0
2
6
2013
0
1
0
14
Berdasarkan pengujian yang dilakukan di BVet
Propinsi Kepulauan Riau pada Tahun yang sama juga
Bukittinggi pada Tahun 2010, prevalensi virus ND di
tinggi. Prevalensi virus ND di ke empat propinsi tersebut
Propinsi Kepulauan Riau 20 % dapat dilihat adanya
berfluktuasi setiap tahunnya (Gambar 2). Pada Tabel 4
korelasi yang significan dengan seroprevalensi ND di
dapat dilihat adanya hasil nol, ini bukan berarti tidak
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
10
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
ada virus ND di daerah tersebut pada tahun tersebut,
unggas terpapar virus ND dan telah terbentuk antibodi
karena pada pemeriksaan serum ditemukan titernya,
yang cukup untuk melawan virus tersebut sehingga
dan diketahui unggasnya tidak di vaksin, kemungkinan
ketika diisolasi virusnya sudah tidak ada.
Gambar 2. Prevalensi virus ND di Regional II Tahun 2009 - 2013
Beternak ayam bisa menambah penghasilan
dapat diberantas secara tuntas di Indonesia.
keluarga, karena pemeliharaan yang tidak begitu sulit,
Timbulnya kasus ND pada kelompok ternak ayam yang
waktu produksi yang cepat, mudah dipasarkan. Selain
telah divaksinasi dapat disebabkan oleh beberapa hal
menambah penghasilan juga bisa memenuhi
seperti karena faktor genetik, akibat kualitas vaksin
kebutuhan protein keluarga yang akhirnya bisa
yang kurang baik, atau akibat kesalahan vaksinatornya.
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tetapi hal ini
Kualitas vaksin dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
terkendala dengan masih endemisnya penyakit ND.
kandungan virus vaksin, cara penyimpanan vaksin di
Pencegahan terhadap penyakit ND dapat dilakukan dengan cara vaksinasi. Bermacam-macam
poultry shop, atau rantai pendingin vaksin (cold chain) saat transportasi dari poutry shop ke konsumen.
vaksin telah beredar di pasar, baik vaksin aktif, vaksin
Beberapa hasil penelitian ini usaha
inaktif maupun vaksin rekombinan (Alexander, 2001;
penanggulangan ND yang sudah cukup berhasil di
Morgan, 2007). Vaksinasi dapat dilakukan melalui
Indonesia adalah dengan melakukan program
berbagai cara sesuai dengan anjuran dari produsen
vaksinasi secara ketat lalu didukung oleh praktek
vaksin, seperti dengan cara tetes mata, tetes hidung,
manajemen yang optimal.
disuntikkan pada urat daging, dicampurkan dengan
Tindakan pencegahan selain vaksinasi adalah
pakan, air minum, maupun dengan cara disemprotkan
sanitasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain (1)
(spraying). Walapun program vaksinasi telah
sebelum kandang dipakai, kandang dibersihkan
dijalankan dengan baik namun penyakit ND belum
kemudian dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
11
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Penyakit Newcastle Disease di Regional II Bukittinggi Tahun 2009 - 2013 Martdeliza, Yulfitria, Nico F, Wilna S, Erina O, Rahmi EP, Rio N, Rina H, Azfirman
2%. Desinfeksi kandang dilakukan secara fumigasi
3. Dari data pengujian terhadap ND di BVet Bukittinggi
dengan menggunakan fumigant berupa formalin 1 – 2%
selama kurun waktu 5 tahun (Tahun 2009– 2013), di
dan KMnO4, dengan perbandingan 1 : 5000 (2) liter
Propinsi Jambi, Propinsi Kepulauan Riau, Propinsi
diupayakan tetap kering, bersih dengan ventilasi yang
Riau dan Propinsi Sumatera Barat penyakit ND
baik. Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang
masih bersifat endemis.
bisa memindahkan virus ND. Kandang diusahakan
4. Perlu penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan
mendapat cukup sinar matahari (3) hindari
masyarakat tentang manajemen beternak ayam,
penggunaan karung bekas (4) DOC harus berasal dari
pencegahan penyakit ayam dan analisa usaha
perusahaan pembibit yang bebas dari ND (5) di
beternak ayam
pintupintu masuk disediakan tempat penghapus hamaan, baik untuk alat transportasi maupun orang. (6) memberikan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas. Selain itu masih diperlukan penyuluhan pada masyarakat tentang manajemen ternak ayam, pencegahan penyakit serta analisa usaha. Supaya hasil beternak ayam yang didapat lebih memuaskan.
Daftar Pustaka Aldous, E.W. & Alexander, D.J. (2001). Detection and differentiation of Newcastle disease virus (avian paramyxoviruses type 1). Avian Pathology 30, 117 – 128 Alexander, D.J. 2001. Newcastle Disease. The Gordon
Kesimpulan Dan Saran 1. Total serum yang diuji serologis terhadap ND sebanyak 11.830 serum terdiri dari 2350 serum dari Propinsi Jambi, 1557 serum dari Propinsi Kepulauan Riau, 3045 serum dari Propinsi Riau dan 4878 serum dari Propinsi Sumatera Barat 2. Pada Tahun 2013 seroprevalensi ND di Propinsi Riau sebesar 30 %, seroprevalensi ND di Propinsi
Memorial Lecture. Br. Poult, Sci, 42,5 - 12 Anonim, 2012. OIE Terrestrial Manual. Newcastle Disease Chapter 2.3.14 pg 1- 19 Fenner,F..J.,Gibbs,E.P.J.,Murphy,F.A.,Root,R.,Studdert, M . J d a n W h i t e , D. O. 1 9 9 5 Ve t e r i n a r y VirologyMorgan R.,W. 2007. Proceeding of th 42 nd. National Meeting. Poultry Health and Processing 62 -72
Sumatera Barat 33 %, Propinsi Jambi dengan
Tabbu, 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya
seroprevalensi 49 % dan Propinsi Kepulauan Riau
1, Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. 232 -244.
dengan seroprevalensi 59 %.
Kanisius Yogyakarta
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
12
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma Pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas) I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
Abstrak Cutaneous papilomatosis atau kutil merupakan tumor kulit yang berbentuk seperti bunga kol disebabkan oleh Bovine papilomavirus (BPV) type BPV-1, BPV-2, dan BPV-5 yang termasuk dalam famili Papovaviridae. Ditemukan sembilan ekor sapi terinfeksi BPV di BPTUHPT Padang Mangatas. Oleh karena pola penyebaran yang berbeda, maka sembilan ekor sapi yang terinfeksi dilakukan skoring. Dua ekor Simental dan satu ekor Limousin tingkat keparahan ringan, tiga ekor Simental tingkat keparahan sedang, dan tiga ekor Simental tingkat keparahan berat. Kutil merupakan penyakit yang tidak mematikan, namun menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena penampilan fisik yang tidak bagus, sehingga harga jual rendah. Telah dilakukan pengobatan imunoterapi dengan autovaksin inaktifasi beta-propiolactone 10%. Autovaksin diberikan sebanyak 1ml/20KgBB secara subkutan dua minggu setelah pemberian anti infeksi sekunder. Pengulangan pemberian autovaksin pada empat minggu kemudian. Autovaksin memberikan hasil 67% sembuh total dan 33% respon parsial pada sapi terinfeksi ringan dan sedang. 100% tidak sembuh pada sapi terinfeksi berat. Hasil tersebut menunjukkan autovaksin dengan inaktifasi virus menggunakan beta-propiolactone 10% efektif dalam penyembuhan Cutaneous papilomatosis bergantung pada tingkat keparahan penyakit
Kata Kunci: Cutaneous papilomatosis, BPV, Imunoterapi, Autovaksin, ß -propiolactone 10% Afiliasi Penulis : Bvet Bukittinggi Korespondensi :
[email protected],
[email protected] Telp: 085237045847
Pendahuluan A. Latar Belakang Cutaneous papilomatosis atau kutil merupakan tumor kulit yang berbentuk seperti bunga kol, disebabkan oleh Bovine Papilomavirus (BPV) type BPV1, BPV-2, dan BPV-5 yang termasuk dalam famili Papovaviridae. Kutil hampir ditemui pada semua ternak terutama sapi, kuda, domba, kambing, babi, anjing, dan kucing. Pada ternak sapi umur muda, kutil ditemui pada sekitar leher. Penularan kutil ini dapat melalui kontak
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
langsung, makanan, penggunaan jarum suntik yang berulang dan peralatan kandang lainnya yang terkontaminasi ternak penderita (Meuten, 2002). Ke r u g i a n e k o n o m i s a k i b a t k u t i l a d a l a h performans ternak sapi terlihat tidak baik karena pertumbuhan kutil yang meluas dipermukaan tubuh. Hal ini secara tidak langsung menurunkan nilai jual ternak sapi tersebut. Nilai jual ternak sapi muda yang seharusnya dengan nilai jual sapi bakalan, namun karena adanya kutil yang tumbuh secara meluas, maka ternak sapi tersebut hanya dinilai dengan harga daging
13
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
perkilonya. Selain kerugian karena performans infeksi
propiolactone 78,6 % dan formalin 20,7%.
sekunder oleh gigitan caplak yang menimbulkan luka,
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dilakukan
m e n j a d i p i n t u m a s u k b a k t e r i . Lu k a t e r s e b u t
pembuatan autovaksin “Modifikasi Metode Autovaksin
mengundang datang lalat (Musca domestica) yang
dan Tingkat Keberhasilannya Sebagai Imunoterapi
dapat memperparah penyakit dengan berkembangnya
Cutaneous Papilomatosis pada Sapi (Studi Kasus di
bakteri Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiela, dan
BPTUHPT Padang Mangatas)
Pseudomonas. Selanjutnya terdapat ektoparasit dan infeksi bakteri akan menurunkan daya tahan tubuh ternak, yang apabila ternak tidak segera diobati akan menimbulkan kematian.
Perumusan Masalah Kurang efektif autovaksin sebagai imunoterapi Cutaneous papilomatosis yang dibuat oleh petugas
Infeksi kutil dapat merusak kulit ternak hampir
kesehatan hewan, dikarenakan kurangnya
pada seluruh permukaan kulit. Sampai saat ini belum
pengetahuan dan peralatan yang tersedia jauh dari
ada obat khusus untuk pengobatan penyakit kutil.
standar. Dari segi pengetahuan adanya satu tahapan
Biasanya pengobatan kutil di lapangan dilakukan
yang tidak dilakukan yaitu pada tahap proses inaktivasi,
dengan teknik pembedahan. Keberhasilan metode
setelah penambahan zat inaktivasi tidak dilakukan
pembedahan dengan penyayatan bergantung pada
homogenisasi dan inkubasi pada suhu 4OC selama 24
luas permukaan tubuh yang terinfeksi kutil. Apabila
jam yang dapat mengurangi proses inaktivasi secara
kutil telah tumbuh dibeberapa tempat maka tingkat
menyeluruh dan menghilangkan efek negative zat
keberhasilan untuk sembuh kecil. Kurang berhasilnya
inaktivasi terhadap tubuh ternak.
teknik pembedahan ini maka petugas kesehatan hewan yang bertugas dilapangan melakukan pengobatan tanpa pembedahan secara imunoterapi yaitu dengan teknik merangsang imunitas selular melalui memasukkan antigen yang diperoleh dari tubuh ternak penderita. Pada imunoterapi, antigen diperoleh dengan cara membuat suspensi dari kutil, kemudian ditambahkan antibiotik dan zat inaktivasi virus. Suspensi yang telah siap diinjeksikan secara subcutan ini dikenal dengan nama autovaksin. Pembuatan autovaksin yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan hewan dengan menginaktivasi virus
Tujuan Penelitian Melihat tingkat keberhasilan penggunaan autovaksin dengan bahan inaktifasi -propiolactone 10% terhadap Cutaneous papilomatosis pada sapi di BPTUHPT Padang Mangatas.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode pembuatan autovaksin Cutaneous papilomatosis pada ternak sapi dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Hipotesis
menggunakan formalin belum memberikan hasil yang
Pembuatan autovaksin sebagai imunoterapi
optimal dalam penyembuhan kutil. Menurut Jiang, Pye,
berpengaruh menyembuhkan ternak sapi dari
dan Cox (1986)
Cutaneous papilomatosis.
-propiolactone 10% lebih baik dari
formalin dalam inaktivasi Poliovirus. Tingkat kesembuhan terhadap Poliovirus menggunakan -
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
14
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
II. Tinjauan Pustaka Cutaneous Papilomatosis Definisi penyakit
memperbanyak diri (bereplikasi) pada basal sel epitel. Replikasi virus menyebabkan pertumbuhan epitel berlebihan, merupakan karakteristik tumor jinak seperti kutil. (Hagan dan Bruner, 1988). Cutaneous papilomatosis dapat dijumpai pada
Cutaneous papilomatosis adalah tumor tidak
semua hewan terutama sapi, kuda anjing, kucing,
ganas pada kulit yang dapat menyerang berbagai jenis
domba, kambing dan babi. Pada sapi lesi ditemukan di
hewan. Lokasi dapat dimana saja, bisa soliter atau
kepala dan leher. Pada kuda ditemukan disekitar hidung
mengumpul/menyatu. Permukaan tumor ini agak
dan mulut, pada domba ditemukan di bagian kepala dan
kasar, seperti bunga kol, dan tidak menimbulkan rasa
telinga, dan pada anjing ditemukan di kepala dan bagian
nyeri (Soeharsono, Tati dan Tri, 2010).
tubuh lainnya. (Meuten, 2002).
Etiologi
Gejala klinis
Cutaneous papilomatosis disebabkan oleh
Papilomavirus pada tipe fibropapiloma atau
Papilomavirus termasuk dalam Family Papovaviridae
cutaneous papuilomatosis yaitu BPV-1, BPV-2 dan BPV-
yang diketahui sebagai penyebab tumor alami yang
5, gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah jelas dengan
timbul dari dirinya sendiri (Jawetz, Joseph dan Edward,
adanya kutil pada permukaan kulit dari ternak yang
1978).
terserang (Meuten, 2002). Permukaan tumor ini agak Berdasarkan struktur protein virus, pada sapi
terdapat enam tipe Bovine papilomavirus (BPV) yang telah teridentifikasi yaitu (BPV-1 sampai BPV-6) dan di klasifikasikan dalam dua subgroup, A dan B. Subgroup A
kasar, seperti bunga kol, dan tidak menimbulkan rasa nyeri (Soeharsono dkk., 2010).
Penularan
terdiri dari (BPV-1, BPV-2, BPV-5) akan membentuk
Cutaneous Papilomatosis dapat menular
fibropapilloma dengan melibatkan dermal fibroblas dan
melalui kontak langsung dengan hewan penderita.
keratinosit, dan subgroup B terdiri dari (BPV-3 dan BPV-
Selain itu dapat juga ditularkan melalui kontaminasi
6) akan menyebabkan papiloma epitel dengan hanya
makanan, peralatan yang digunakan untuk kastrasi dan
melibatkan keratinosit, sedangkan BPV-4 menginfeksi
penggunaan jarum suntik yang berulang saat
epitel mukosa dari saluran pencernaan bagian atas
melakukan pengobatan (Ozsoy, Zafer dan Murat, 2011).
(Meuten, 2002).
Patogenesis
Kontrol Penyakit Penyebaran penyakit dapat dikurangi dengan
Cutaneous papilomatosis timbul akibat infeksi
isolasi ternak penderita. Kutil dapat di angkat melalui
virus masuk melalui lesi atau abrasi kulit. Lesi kulit
pembedahan atau melalui diikat dengan benang jahit
dapat terjadi akibat tatto sekitar telinga untuk ear tag,
dibagian dasarnya, tergantung dari jumlah, tipe, ukuran
sekitar hidung akibat luka pemasangan bull leads (tali
dan lokasinya (Champness dan Hamilton, 2007).
hidung), dan lesi akibat terkena kawat berduri. Virus
Selain dengan pembedahan dan pengikatan,
masuk ke dalam jaringan epidermis kemudian
kutil dapat disembuhkan dengan pembuatan autovaksin yang diinjeksikan secara subkutaneous
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
15
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
didaerah dekat dengan kutil. Regresi atau berkurangnya kutil terjadi kira-kira tiga minggu setelah vaksinasi dan dalam enam minggu kutil secara spontan hilang dengan menunjukkan total kesembuhan. Setelah pengobatan, kutil pada sapi ini tidak tumbuh
Materi dan Metode Materi Penelitian Bahan
lagi (Sreeparvathy, Harish dan Anuraj, 2011)
Penelitian ini menggunakan sampel sapi bangsa Bos Taurus jenis Simental dan Limousin
Imunonetrapi Secara klasik, imunoterapi yang berkembang dengan imunisasi pasif, yaitu penggunaan serum atau gamaglobulin pada pengobatan atau pencegahan
milik Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Padang Mangatas yang terinfeksi Cutaneous papilomatosis. Jumlah sampel
penyakit infeksi dengan memindahkan pada satu
penelitian yang digunakan sebanyak 9 (sembilan)
hospes antibodi yang dihasilkan secara aktif dalam
ekor sapi yang terserang kutil, 8 (delapan) ekor sapi
hospes yang lain (Bellanti, 1993).
Simental dan 1 (satu) ekor sapi Limousin. Bahan
Pada pengobatan kutil, dilakukan imunoterapi
yang digunakan untuk histopatologi Hematoksilin-
dengan autovaksin yang dibatasi oleh potensi
Eosin (HE) dan untuk autovaksin -propiolactone
onkogenik virus. Imunoterapi ini aman, efektif dan
10%.
sederhana dengan memanfaatkan kutil. Terapi ini mengarah pada imunitas seluler melalui produksi Th1
Alat
dan
Peralatan yaang digunakan untuk pembuatan
natural killer sel yang akan mengeradikasi infeksi kutil
histopatologi antara lain tissue prosessor dan teaching
(Chandrashekar, 2011).
microskop dilengkapi kamera, untuk pembuatan
sitokin yang mengaktifkan sel T sitotoksik
Autovaksin
autovaksin menggunakan Biosafety cabinet (BSC), timbangan analitik, vortex dan sentrifius dingin.
Autovaksin adalah vaksin yang disiapkan dari jaringan/kutil pada hewan yang sama (Inayat dkk., 1999). Autovaksin diketahui memberikan hasil yang baik sebagai pengobatan pada kasus klinis. Komersial vaksin telah di coba dengan hasil yang baik pada sapi.
Metode Penelitian Penentuan Tingkat Keparahan (Skoring)
Vaksin komersial yang tersedia hanya mengandung
Penyebaran, ukuran Cutaneous papilomatosis
tipe BPV-1 sehingga hasil yang dicobakan pada kuda
pada sapi yang terinfeksi berbeda-beda, maka
zebra tidak direspon karena kemungkinan kuda zebra
ditentukan tingkatan keparahan dari penyakit dengan
tersebut telah terinfeksi tipe BPV-2 dan vaksin tersebut
metode skoring. Menurut Budhiyadnya dkk. (2008), sapi
tidak memiliki kekebalan silang dengan tipe BPV-1.
yang terinfeksi kutil pada daerah leher, mulut, paha dan
Dengan kata lain autovaksin lebih efektif dalam
scrotom, berbentuk bulat mengelompok seperti bunga
pengobatan Papilomavirus karena mengandung virus
k o l t e r m a s u k t i n g k a t ke p a r a h a n b e r a t , m a k a
yang heterogen (Pangty dkk., 2010)
dilanjutkan penentuan skoring berdasarkan besarnya
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
16
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
kutil dan kerapatan jarak pertumbuhannya pada kulit
3. Berat :
sapi tersebut dengan penilaian :
- Besar kutil lebih besar 5 cm
1. Ringan :
- Jarak kutil satu dengan lainnya kecil atau sama 1,5 cm
- Besar kutil kecil atau sama 2,5 cm - Jarak kutil satu dengan lainnya lebih besar 2,5 cm
banyak.
2. Sedang :
4. Sehat :
- Besar kutil antara 2,5 - 5 cm - Jarat kutil satu dengan lainnya antara 1,5 - 2,5 cm
NO UJI
- Besar kutil kecil 5 cm jumlah sebaran sangat
SISI KIRI DEPAN
- Tidak ditemukannya kutil
SISI KANAN DEPAN
DATA TERNAK
1
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0065 : 1,5th/ Jantan : 215kg/LD136cm : 38o C :Ringan
2
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0043 : 1,5 th /Betina : 249kg/LD146cm : 38o C : Ringan
3
Jenis sapi : Simental No.Telinga : 0994 Umur / Sex 1: 2,5 th/Betina Berat : 276kg/LD 151cm Suhu : 38o C Status Px : Ringan
4
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0076 : 1,5 th/Betina : 202kg/LD 133cm : 37,8o C : Sedang
5
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0063 : 1,5 th/Betina : 230kg/LD139 : 38o C : Sedang
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
17
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
NO UJI
SISI KIRI DEPAN
SISI KANAN DEPAN
DATA TERNAK
6
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0040 : 1,5 th/Betina : 285kg/LD 149cm : 39,1o C : Sedang
7
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0048 : 1,5 th/Jantan : 272 Kg/LD 150cm : 37,8o C : Berat
8
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0074 : 1,5 th/Betina : 190 Kg/LD 130cm : 38,6o C :Berat
9
Jenis sapi No.Telinga Umur / Sex Berat Suhu Status Px
: Simental : 0989 : 2,5 th / Betina : 325kg/LD 159cm : 39,4o C : Berat
Gambar 1. Derajat keparahan sapi terinfeksi Cutaneous papilomatosis dalam tiga kelompok yaitu Tingkat keparahan ringan pada no.1, 2, dan 3, Tingkat keparahan sedang pada no.4, 5, dan 6, Tingkat keparahan berat pada no.7, 8, dan 9. LD (Lingkar Dada), Px (Penyakit).
Koleksi Kutil Kutil diambil dari hewan terinfeksi. Sebelum kutil diambil terlebih dahulu dilakukan anastesi lokal dengan lidocain pada lokasi kutil yang akan disayat. Penyayatan dilakukan dengan menggunakan pisau bedah. Setelah kutil diambil dilakukan pembuatan
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
autovaksin dengan metode Budhiyadnya dkk. (2008) dan pembuatan preparat histopatologi dengan metode Mikel (1994).
Pembuatan Autovaksin Pembuatan autovaksin ilakukan melalui tiga langkah yaitu :
18
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
Koleksi virus (Vallat, 2004)
dengan volume yang sama, interval empat minggu
1. Kutil terkumpul, ditimbang sebanyak 1gr, masukkan
setelah dilakukan injeksi pertama. Selanjutnya
ke l u m p a n g ke m u d i a n d i g e r u s s e l a n j u t n y a
dilakukan pengamatan selama enam minggu. Booster
ditambahkan PBS Isotonik PH 7 – 7,2 sterill dengan
interval empat minggu dilakukan mendasar pada
perbandingan 1 : 1 {1 gr sayatan kutil + 1 ml PBS
respon imunitas dan penelitian yang dilakukan
Isotonik PH 7 – 7,2
Budhiyadnya dkk (2008). Pengamatan enam minggu
2. Gerusan yang telah tercampur
PBS Isotonik
dimasukkan kedalam test tube lalu di sentrifuge 3000 rpm selama 15 menit 3. Koleksi supernatan kemudian masukkan dalam test tube yang baru ditambah antibiotik {Procaine Penicillin-G (0,1gr/ml) dan Stretomycin Sulfat
Budhiyadnya dkk. (2008), dan Panggty dkk. (2010), yaitu autovaksin mampu meregresi kutil antara empat sampai enam minggu.
Peubah Yang Diamati Regresi kutil
(0,02gr/ml)} 4. Perbandingan penambahan antibiotik dengan supernatan adalah
mendasar pada penelitian Inayat dkk. (1999),
1:10 (1 bagian antibiotik + 9
bagian supernatan)
Inaktivasi virus 10 ml Supernatan yang diperoleh ditambahkan propiolactone 10% sebanyak 0,025 % dari volume supernatant (10 ml)
Formulasi autovaksin 1. Virus yang telah di inaktifasi pada suhu 4°C selama 48 jam ditambah Thimerosal 10 % 2. Selanjutnya tambahkan Al (OH)3 2 % sebanyak 0,25 % dari volume supernatan (10ml)
Penilaian tingkat kesembuhan berdasarkan; sembuh total dengan tidak ditemukannya kutil, respon parsial dengan ditemukannya kutil berkurang dari kondisi awal, tidak sembuh dengan ditemukannya kutil tidak berkurang dari kondisi awal.
Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi gambar secara individual penurunan Cutaneous papilomatosais dan histopatologi sebelum dan sesudah terapi, kemudian dilakukan persentase tingkat kesembuhan berdasarkan : 1. Sembuh total dengan tidak ditemukannya kutil dan gambaran histopatologi tidak ditemukannya
3. Divortek setiap 2 jam dalam suhu 4°C selama 24 jam
hiperkaratosis, papilomatosis, akantosis, koilosit
4. Setelah 24 jam hentikan vortek, selanjutnya berikan
dan hiperproliferasi sel.
Al (OH)3 2%, inkubasi selama 24 jam dalam suhu 4°C 5. Setelah inkubasi buang supernatan sampai batas endapan Al(OH) 3 2%.
Imunoterapi Dengan Autovaksin
2. Respon parsial dengan ditemukannya kutil berkurang dari kondisi awal dan gambaran h i s to p a to l o g i b e r k u r a n n ya h i p e r k a r a to s i s , papilomatosis, akantosis, koilosit dan hiperproliferasi sel.
Imunoterapi dilakukan dengan cara injeksi
3. Tidak sembuh dengan ditemukannya kutil tidak
autovaksin secara sub kutan (s.c) sebanyak 1ml/20kg
berkurang dari kondisi awal dan gambaran
berat badan dan pengulangan (booster) satu kali
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
19
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
histopatologi masih ditemukannya hiperkaratosis,
diperuntukkan sebagai pengobatan ternak sapi yang
papilomatosis, akantosis, koilosit dan
sakit. Sedangkan dalam proses pembuatan autovaksin
hiperproliferasi sel sama dengan sebelum terapi.
menggunakan Laboratorium Bakteriologi.
Waktu dan Tempat Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan tanggal 07 Oktober 2013
Regresi Kutil
sampai tanggal 20 Januari 2014. Pelaksanaan
Hasil pengamatan selama enam minggu
penelitian dilakukan di Balai Pembibitan Ternak Unggul
pemberian imunoterapi dengan autovaksin
dan Hijauan Pakan Ternak Padang Mangatas
menunjukkan adanya regresi kutil dengan tingkat
(BPTUHPT Padang Mangatas) dan Balai Veteriner
kesembuhan yang berbeda-beda. Gambar 2
Bukittinggi (B.Vet Bukittinggi). Dalam proses terapi
memperlihatkan persentase kesembuhan penyakit
kutil pelaksanaannya di BPTUHPT Padang Mangatas,
yang terinfeksi ringan, sedang dan berat.
% Kesembuhan
menggunakan tempat pada kandang isolasi yang
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gambar 2 Persentase kesembuhan masing-masing tingkat
Sembuh Total Respon Parsial Tidak Sembuh
R
S
B
keparahan penyakit : Ringan (R), Sedang (S), Berat (B).
Tingkat Keparahan Penyakit
Persentase kesembuhan menunjukkan sapi
sapi tingkat keparahan ringan (sapi uji 1, 2) memerlukan
dengan tingkat keparahan ringan dan sedang masing-
waktu empat minggu. Pada sapi tingkat keparahan
masing 67% sembuh total dan 33% respon parsial.
sedang, sapi uji 4 memerlukan waktu 4 minggu dan sapi
Tingkat keparahan berat 100% tidak sembuh.
uji 5 memerlukan waktu 5 minggu. Sedangkan
Terdapat perbedaan lama waktu penyembuhan (regresi kutil) setelah pemberian autovaksin. Dua ekor
sapi–sapi yang belum sembuh total diamati sampai minggu ke enam (Gambar 12). Sembuh Total Respon Parsial Tidak Sembuh
Waktu / Minggu
6 5 4
Gambar 2
3
Persentase kesembuhan
2
masing masing tingkat
1
keparahan penyakit,
0
1
2
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
3
4
5
6
7
8
9
Ringan (R), Sedang (S), SAPI UJI
Berat (B).
20
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
Perbedaan waktu kesembuhan dipengaruhi oleh
ada 3 tipe Bovine papilomavirus yang berperan dalam
faktor internal dan external. Pengaruh faktor internal
terbentuknya kutil yaitu BPV-1, BPV-2 dan BPV-5.
dikarenakan adanya perbedaan imunitas tubuh sapi per
Selain itu didukung oleh pendapat Hatama (2011),
individu merespon autovaksin dalam meregresi kutil.
bahwa BPV-1 dan BPV-2 menimbulkan kutil pada
Dalam imunoterapi fagositosis makrofage dipengaruhi
daerah kepala, leher, bahu perut, dibagaian bawah dan
oleh sel T pada imunitas seluler yang dapat membunuh
permukaan alat kelamin dan puting susu. Sedangkan
sel tumor secara langsung ataupun merangsang
BPV-5 menginfeksi pada puting susu, lidah dan tidak
kekebalan tubuh untuk melawan tumor. Hal ini
menutup kemungkinan didaerah lain. Konsentrasi atau
ditunjang oleh pendapat Chandrashekar (2011),
jumlah per ml virus berpengaruh terhadap mekanisme
pemberian imunoterapi akan meningkatkan sitokin T
kerja autovaksin dalam meregresi kutil. Konsentrasi
helper 1 (Th1) mengaktifkan sel T sitotoksik dan natural
virus berperan dalam mekanisme kerja imunitas,
killer sel meregresi kutil. Pendapat lain yang menunjang
sehingga perlu dilakukan uji potensi virus. Hal ini
adalah Pangty dkk. (2010) menyampaikan bahwa perlu
ditunjang oleh pendapat Pastoret, Blancou, Vannier,
dilakukan observasi CD4 dan CD8 diawal pelaksaan
Verschueren (1999), bahwa dalam pembuatan vaksin
autovaksin guna efektifnya regresi kutil. Andrea, Sergio,
untuk mengetahui efektifitas terbentuknya imunitas
Giampiero, Giuseppe (2005) juga berpendapat, pada
terhadap suatu penyakit perlu dilakukan uji potensi
permukaan limfosit T terdapat TCR (T cell receptor)
virus. Uji potensi virus dapat dilakukan secara in vivo
yang berfungsi untuk mengikat antigen dan terdapat
dengan hewan coba dan secara invitro dengan cultur
adanya molekul antigen penanda permukaan sel yang
sel. Baik in vivo maupun invitro keduanya
dinamai dengan CD (Cluster of Differentiation). Sel
menggunakan metode titrasi antigen 10-1 – 10-10.
limfosit T terdiri dari sel T helper (helper T cell/Th) dan
Pada titrasi dengan hewan coba bila infeksi berakhir
sel T sitotoksik (cytotoxic T cell/Tc). Sel T helper (helper
dengan kematian memakai istilah LD50 (Lethal Dose
T cell/Th) merupakan sel regulator dan mengaktivasi
50) dan TCID50 (Tissue Culture Infective Dose 50) bila
sel imunokompeten yang dikenal dengan CD4
titrasi pada perbenihan jaringan, infeksi yang positif
sedangkan sel T sitotoksik (cytotoxic T cell/Tc)
berupa adanya efek sitopatik pada sel-selnya. Hewan
merupakan sel efektor yang dapat membunuh sel
coba yang digunakan pada in vivo adalah marmut atau
terinfeksi virus dan tumor, dikenal dengan CD8.
tikus. Sedangkan kultur jaringan yang digunakan pada
Selain perbedaan imunitas, foktor internal lainnya yang berpengaruh dikarenakan adanya jenis
in vitro adalah ekstraksi kelenjar getah bening/ lymphonodus atau sel limpa.
dan konsentrasi virus yang berbeda. Misalnya dari jenis
Faktor external yang mempengaruhi tingkat
virus, sapi dengan tingkat keparahan ringan (sapi uji
kesembuhan adalah timbulnya kembali luka traumatik
1,2) dan sedang (sapi uji 4,5) hanya di sebabkan oleh
(luka garuk dan luka gesekan dengan dinding kandang)
BPV-1. Pada sapi tingkat keparahan ringan (sapi uji 3)
sehingga mengundang datangnya Musca domestica
dan sedang (sapi uji 6) diinfeksi oleh dua tipe virus (BPV-
yang memperparah penyakit dengan berkembangnya
1 dan BPV-2). Sedangkan pada tingkat keparahan berat
bakteri sehingga menurunkan imunitas ternak.
disebabkan oleh tiga tipe virus (BPV-1, BPV-2 dan BPV-
Dengan membandingkan metode pembuatan
5). Pendapat ini didukung oleh Meuten (2002), bahwa
autovaksin pada bahan inaktivasi -propiolactone,
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
21
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
formalin dan binari ethylimine (BEI) sama-sama berpengaruh dalam penyembuhan kutil. Sedangkan apabila dilihat dari metode booster dapat disimpulkan
3. Tingkat keparahan berat 100% (3 ekor) tidak sembuh.
Saran
bahwa dengan booster yang diuji cobakan sebanyak
Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan
satu kali dapat menyembuhkan kutil bergantung pada
mempertimbangkan faktor internal dan external yaitu
tingkat keparahan penyakit. Pendapat ini ditunjang
1. Faktor internal:
oleh dua penelitian sebelumnya yang melakukan imunoterapi dengan autovaksin, bahan inaktivasi dan metode booster berbeda beda. Inayat dkk. (1999), berpendapat bahwa bahan inaktivasi formalin dengan booster satu kali interval 1 minggu pada dua ekor sapi terinfeksi kutil tingkat keparahan berat mampu menyembuhkan sapi dalam waktu empat dan enam minggu. Pangty dkk. (2010), berpendapat bahwa bahan inaktivasi binary ethylenimine (BEI) menggunakan dua ekor sapi dengan tingkat keparahan sedang, metode booster tiga kali, interval dua hari dengan penambahan
Pengukuran secara kwantitatif level CD4 dan CD8 Identifikasi
virus dengan uji PCR (Polymerase
Chain Reaction) Penentuan jumlah partikel virus dengan uji potensi
virus 2. Faktor external: Segera obati luka sebelum menimbulkan infeksi. Kontrol lalat agar tidak menginfeksi luka lebih
parah.
dosis 1 ml setiap boosternya, menunjukkan hasil dua
Daftar Pustaka
ekor sapi tersebut sembuh dari kutil dalam empat
Bellanti, J.A., 1993. Imunologi III. Gadjah Mada
minggu . Selain itu didukung oleh pendapat Budhiyadnya dkk. (2008), bahwa melalui uji coba autovaksin metode inaktivasi menggunakan propiolactone dengan booster satu kali, interval empat minggu, pada tingkat keparahan berat dalam waktu empat minggu mampu meregresi kutil hingga sembuh total.
University Press. Budhiyadnya, I G.E., Safitri, K., Wahyuni, L., Sopian dan Syibli, M. 2008. Efektifitas Autovaksin Untuk Pengobatan Papilomavirus Pada Sapi di BPPV Regional II Bukittinggi. Buletin Informasi Kesehatan Hewan BPPV Regional II Bukittinggi ISSN No.1412 - 7091 Vol.10. No.77.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Autovaksin dengan inaktifasi virus
Champness, D., Hamilton. 2007 Warts on Cattle See http://www.dpi.vic.au. Depatment of Enviroment and Primary, Victoria, Australia at: Sun, 23 Sept 2013 14:00:00
menggunakan -propiolactone 10% berpengaruh dalam
Chandrashekar, L. 2011. Intralesional Immunotherapy
penyembuhan Cutaneous papilomatosis bergantung
For The Management Of Warts. Indian Journal
pada tingkat keparahan penyakit yaitu:
Dermatol Venerreol Leprol Vol.77, page : 261-263
1. Tingkat keparahan ringan 67% (2 ekor) sembuh total dan 33% (1 ekor) respon parsial. 2. Tingkat keparahan sedang 67% (2 ekor) sembuh total dan 33% (1 ekor) respon parsial.
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
Finlay, M., Yuan, Z.Q., Morgan, I.M., Campo, M.S. and Nasir, L. 2012.
Equine sarcoids: Bovine
Papillomavirus Type 1 Transformed Fibroblasts are Sensitive to Cisplatin and UVB Induced
22
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Modifikasi Metode Autovaksin dan Tingkat Keberhasilannya sebagai Imunoterapi Cutaneous Papiloma pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT Padang Mangatas)
I Gde Eka Budhiyadnya 1), Endang Purwati2), Yulia Yellita3), Azfirman 1)
Apoptosis and Show Aberrant Expression of p53,
Meuten, D.J. 2002. Tumor in Domestic Animals. 4th
Finlay et al.
Edition. A Blackwell Publishing Commpany. Iowa
http://www.veterinaryresearch.org/content/43/
State Press.
1/81
Veterinary Research 2012; 43-81
Hagan, W.A., Bruner, D.W. 1988. Microbiology and Infectious Diseases of Domestic Animal. Eighth Editon, Cornell University Press, United States of America Hatama, S. 2011. Cutaneous Papillomatosis in Cattle. Dairy Hygiene Research Division, Hokkaido
Mikel, U.V. 1994. Advanced Laboratory Methods in Histology. Institute of Pathology Washington. DC 20306-6000. ISBN: 1-881041-13-1 Ozsoy,S.Y.,
Ozyildiz, Z., Guzel, M. 2011. Clinical,
Pathological and Immunohistochemical Findings of Bovine Cutaneous Papillomatosis. Ankara Üniv Vet Fak Derg, 58, 161-165.
Research Station, National Institute of Animal
Pangty, K., Singh, S., Pandey, A.B and Somvansh, R.
Health 4 Hitsujigaoka, Toyohira, Sapporo,
2010. Preliminary Binary Ethylenimine (BEI)
Hokkaido 062-0045, JapanJournal of Disaster
Inactivated Bovine Papillomavirus (BPV)
ResearchVol.7 No.3, 2012; 319-320
Vaccine Trial Against Cutaneous Warts in Bull
Inayat, A., Muhammed, G., Asi, M.N., Saqib, M. and Athar,
Calves. Braz J Vet Pathol, 3(2), 105-110.
M. 1999. Use of Autogenous Vaccine For The
Pastoret, P.P., Blancou, J., Vannier, P., Verschueren, C.
Treatment of Generalized Papilomatosis in
1 9 9 9 . Ve t e r i n a r y Va c c i n o l o g y, S e c o n d
Cattle. Pakistan Vet.J. 19(2);102-103.
Impression, Elsevier Science, Netherland.
Jawetz, E., Melnick, J.L. and Adelberg, E.A. 1978.
Soeharsono, Syafriati, T. dan Naipospos, T.S.P. 2010.
Medical Microbiology. 13th Edition. Los Altos,
Atlas Penyakit Hewan di Indonesia. Udayana
California.
University Press
Jiang, S.D., Pye, D., Cox, J.C., 1986. Inactivation of
Sreeparvathy, M., Harish, C., and Anuraj, K.S. 2011.
Poliovirus With Beta Propiolactone. US National
Autogenous Vaccination as Treatment Method
J.Biol. 14(2);103-109
for Bovine Papillomatosis. India Journal of Livestock Science 2:38-40
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
23
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
Abstrak Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh Virus Rabies yang bersifat zoonosis. Peneguhan diagnosa kasus rabies dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil pemeriksaan sampel otak di BVET Bukittinggi diperoleh hasil bahwa 75% menunjukkan positif Rabies. Hewan Penular Rabies (HPR) yang paling sering adalah anjing. Dari data yang dikumpulkan di Seksi Informasi Veteriner dengan Program Infolab dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Program Excell diketahui bahwa korban gigitan HPR terbanyak terjadi pada kelompok umur 0-9 tahun dan sitergigit terbanyak berjenis kelamin lakilaki. Lokasi gigitan yang paling banyak digigit adalah pada daerah tangan dan kaki atau tubuh bagian bawah. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing. Dan diperlukan komitmen pemerintah dalam pengendalian dan pemberantasan rabies dan kewaspadaan masyarakat terhadap gigitan anjing rabies. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kasus pada tahun 2012. Perlu komitmen pemerintah dalam pemberantasan dan pengendalian rabies dalam rangka menekan kejadian kasus rabies. Kewaspadaan dalam pencegahan rabies perlu digerakkan dalam rangka mengurangi kasus gigitan, terutama gigitan yang terjadi pada kelompok umur anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.
Kata Kunci: Rabies, Sitergigit, HPR, Regional II Bukittinggi Afiliasi Penulis : Bvet Bukittinggi Korespondensi :
[email protected],
[email protected] Telp: 085274152218
Pendahuluan Rabies adalah penyakit infeksi akut pada
Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya (Anonimus, 1988).
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus
Virus Rabies ditularkan ke manusia melalui
Rabies. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.
gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun,
Penyakit ini bersifat zoonosis yang membahayakan
dan kelelawar. Sumber penularan penyakit rabies
kesehatan masyarakat karena jika menyerang manusia
kepada manusia adalah anjing, dan hewan penular
dan tidak mendapatkan penanganan akan dapat
lainnya seperti kucing dan kera dapat tertular dari
menimbulkan kematian. Kasus rabies pada hewan
anjing. Hewan yang menderita rabies akan menjadi
maupun manusia berakhir dengan kematian dengan
ganas, cenderung menyerang obyek yang bergerak
gejala klinis yang sangat mengerikan. Oleh karena itu
yang dijumpainya atau bahkan akan menyerang
penyakit ini merupakan salah satu penyakit strategis di
manusia.
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
24
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
Penularan penyakit rabies yang paling umum
Wilayah Kerja Bvet Bukittinggi yang meliputi
adalah melalui air liur hewan yang terinfeksi dan
propinsi sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan
ditularkan melalui gigitan, cakaran hewan yang
Riau. Propinsi Sumatera Barat merupakan propinsi
terserang. Namun penyakit rabiespun bisa ditularkan
dengan tingkat kejadian Rabies termasuk tinggi di
lewat non gigitan seperti goresan selaput lendir atau
Indonesia, dimana sebagian besar para penduduk
luka terbuka yang telah terkontaminasi air lir yang
memiliki anjing yang dipelihara dengan harapan anjing
mengandung virus rabies. Setelah terinfeksi, masa
yang dipelihara sejak kecil itu bisa digunakan untuk
inkubasi terjadi bisa bervariasi sampai gejala timbul.
keperluan berburu.
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan
Tulisan berikut akan menggambarkan kejadian
sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi dan korban
penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2
gigitan anjing rabies berdasarkan kelompok umur, jenis
minggu (10-14 hari) sedangkan pada manusia antara 2
kelamin dan lokasi gigitan.
Minggu sampai 1 tahun. Beberapa faktor yang m e m p e n g a r u h i l a m a n ya i n k u b a s i a n t a r a l a i n tergantung dari dalamnya gigitan, lokasi gigitan, jumlah luka gigitan dan jumlah virus yang masuk melalui gigitan.
Materi Dan Metode Materi
Lokasi gigitan akan mempengaruhi cepat atau
Sampel Otak yang diperiksakan berasal dari
lambatnya kejadian penyakit Rabies ini. Diantara faktor
kegiatan aktif maupun pasif Balai Veteriner Bukittinggi
yang mempengaruhi adalah jauh atau dekatnya tempat
yang dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Virologi
gigitan tersebut dengan susunan syaraf pusat (CNS)
dan analisa data menggunakan sumber data sekunder
dan lebih banyaknya jumlah syaraf perifer yang ada di
dari Seksi Informasi Veteriner yang didasarkan atas
bagian-bagian tersebut sehingga memudahkan
pengumpulan data penerimaan sampel rabies selama
penyebaran virus karena sifat neurotropik dari virus
tahun 2013.
Rabies. Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari
Metode
tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar
Metode yang digunakan adalah mengumpulkan
atau dalam, dan luka yang banyak. Sedangkan luka
data penerimaan spesimen di Seksi Informasi Veteriner
dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang
dengan Program Infolab dan pengolahan data
luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar
dilakukan menggunakan Program Excell. Sedangkan
tangan, badan, dan kaki.
untuk pemeriksaan sampel otak di Laboratorium
Sampai saat ini Gold Standand pemeriksaan laboratorium terhadap adanya virus rabies adalah
Virologi dengan metode (Fluorescent Antibody Test/FAT) rabies.
dengan Metode antibodi fluoresensi langsung (Fluorescent Antibody Test/FAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi.
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
25
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
Hasil dan Pembahasan
Kabupaten/Kota yang letaknya jauh dari lokasi Bvet sangat sedikit. Salah satu faktor penyebabnya adalah
Berdasarkan jumlah sampel yang diterima BVET
akses dari rumah korban gigitan anjing ke laboratorium
Bukittinggi tahun 2013 terdapat sebanyak 157 sampel
yang cukup jauh. lokasi wilayah kerja Bvet yang paling
otak yang diperiksakan rabies, diperoleh hasil bahwa
jauh bisa ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 12
sebanyak 118 sampel positif rabies (75,2%) dan 39
jam.
sampel negatif rabies (24,8%). Kejadian kasus di tahun
Kasus Rabies yang terjadi di propinsi Riau dan
2013 ini tidak jauh berbeda dengan kasus rabies tahun
Jambi di periksakan di Laboratorium Type B masing-
2012 yang terdapat sebanyak 183 sampel otak yang
masing propinsi. Di Propinsi Riau diperiksakan
diperiksakan rabies, diperoleh hasil bahwa sebanyak
laboratorium Type B yaitu Balai Laboratorium Veteriner
137 sampel positif rabies (75%).
dan Klinik Hewan dan di Propinsi Jambi di UPTD Balai
Sampel rabies yang diterima sebagian besar asal
Laboratorium Keswan dan kesmavet.
sampel ini berasal dari Kabupaten/Kota yang
Dari data penerimaan sampel Rabies yang
berdekatan atau berbatasan langsung dengan Bvet
dikumpulkan oleh bagian Seksi Informasi Veteriner
Bukittinggi yaitu dari Propinsi Sumatera barat
selama tahun 2013 seperti yang digambarkan pada
diantaranya Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kota
gambar 1 dapat digambarkan bahwa sampel otak
S o l o k , K a b u p a t e n L i m a p u l u h Ko t a d a n Ko t a
Hewan Penular Rabies yang diterima sebanyak 157
Payakumbuh.
sampel, jumlah positif rabies sebanyak 118 sampel.
Diketahui bahwa tidak semua Hewan Penular Rabies (HPR)
yang menggigit diperiksakan ke
laboratorium. Sedang sampel yang diterima dari
Tabel 1. Jumlah sampel rabies berdasarkan jenis hewan penular rabies tahun 2013 HASIL FAT RABIES
JENIS HEWAN
JUMLAH
(+)
106
90
16
2
0
2
39
23
16
4
1
3
(-)
1
Anjing
2
Kera
3
Kucing
4
Sapi
5
Kambing
1
1
0
6
Musang
4
3
1
7
Pukang
1
0
1
157
118
39
Jumlah
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
26
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
Tabel 2. Jumlah sampel rabies berdasarkan lokasi rabies tahun 2013 HASIL FAT RABIES
KABUPATEN / KOTA
JUMLAH
(+)
(-)
45
37
8
5
2
Propinsi Sumatera Barat 1
Agam
2
Bukittinggi
7
3
Kota Solok
18
12
6
4
Lima Puluh Kota
33
22
11
5
Padang
3
2
1
6
Kota Padang Panjang
2
1
1
7
Padang Pariaman
1
1
0
8
Kota Pariaman
3
1
2
9
Pasaman Barat
10
Kota Payakumbuh
1
1
0
17
15
2
11
Pesisir Selatan
9
8
1
12
Kota Sawahlunto
3
3
0
13
Kota Solok
1
1
0
14
Tanah Datar
11
6
5
Propinsi Jambi 1
Sungai Penuh
Jumlah
3
3
0
157
118
39
Gambar 1. Peta situasi dan distribusi kasus rabies tahun 2013
Pasaman Barat 1 Kasus
Lima Puluh Koto 25 Kasus Bukit Tinggi 4 Kasus Agam 30 Kasus
Payakumbuh 8 Kasus Tanah Datar 6 Kasus
Pariaman 1 Kasus
Sawah Lunto 1 Kasus
Padang Panjang 1 Kasus Padang 2 Kasus
Kota Solok 11 Kasus
Solok 1 Kasus Tanjab Timur 1 Kasus Pesisir Selatan 5 Kasus Sungai Penuh 1 Kasus
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
27
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
17
20
0 RIAU 16 12
0 KEP. RIAU
10
10
9
8
10
8
7
8
3
4
6
5
5 96
SUMBAR JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AUG SEP OKT NOV DES
2
JAMBI
Gambar 2. Peta situasi dan distribusi kasus rabies tahun 2013 Tabel 5. Sitergigit HPR berdasarkan kelompok umur
Tabel 3. Jumlah HPR positif rabies tahun 2013 NO
JENIS HEWAN
JUMLAH
NO
UMUR
JUMLAH
51
1
Anjing
90
1
0-9 th
2
Kucing
23
2
10-19 th
23
20-39 th
35
3
Musang
3
3
4
Kambing
1
4
40-59 th
30
5
Sapi
2
5
> 60 th
14
118
6
TD
65
Jumlah
Gambar 3. Persentase HPR positif rabies tahun 2013
Gambar 5. Persentase sitergigit HPR berdasarkan kelompok umur
Tabel 4. Distribusi sebaran kasus gigitan berdasarkan letak luka NO
BADAN TERGIGIT
JUMLAH
1
Badan
2
Kaki
69
3
Tangan
74
4
Wajah
5
TD Jumlah
9
8 5 65
Gambar 4. Persentase distribusi sebaran kasus gigitan berdasarkan letak luka
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
28
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
Tabel 6.
kematian hampir semua menunjukkan hubungan
Sitergigit berdasarkan jenis kelamin
epidemiologi (Notoatmojo, 2007). Dengan demikian
NO
KELAMIN
JUMLAH
sitergigit rabies dapat dikelompokkan berdasarkan umur. Pada gambar 3 dapat dilihat gambaran
1
Pria
91
2
Wanita
62
3
TD
5
Jumlah
158
Persentase sitergigit HPR berdasarkan kelompok umur bahwa kasus rabies berdasarkan kelompok umur sitergigit menunjukkan hasil bahwa sitergigit pada kelompok umur 0-9 tahun 32%, kelompok umur 10-19 tahun 15%, kelompok umur 20-39 tahun 22%, kelompok umur 40-59 tahun 19%, kelompok umur > 60 tahun 9% dan tidak ada data 3%. Data yang diperoleh tahun 2013 ini tidak jauh berbeda dengan data yang diperoleh pada tahun 2012 yaitu kelompok umur 0-9 tahun 34%, kelompok umur 10-19 tahun 20%, kelompok umur 20-39
Gambar 6. Persentase Sitergigit berdasarkan jenis kelamin Kepekaan species hewan penular rabies adalah suatu kenyataan bahwa satu species akan lebih tahan terhadap Rabies daripada species lainnya. Faktor yang mempengaruhi kepekaan hewan terhadap infeksi Rabies adalah umur hewan, cara infeksi dan sifat virus. Lokasi gigitan akan mempengaruhi cepat atau lambatnya kejadian penyakit Rabies ini. Masa inkubasi virus rabies akan tergantung dengan lokasi gigitan dan jarak lokasi gigitan atau luka dengan sistem syaraf pusat. Semakin dekat letak gigitan maka semakin singkat masa inkubasinya. Menurut sumber yang lain menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah jauh atau dekatnya tempat gigitan tersebut dengan susunan syaraf pusat (CNS) dan lebih banyaknya jumlah syaraf perifer yang ada di bagian-bagian tersebut sehingga memudahkan penyebaran virus karena sifat neurotropik dari virus Rabies. Variabel yang selalu diperhatikan dalam epidemiologi adalah umur. Angka kesakitan maupun
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
tahun 19%, kelompok umur 40-59 tahun 18%, kelompok umur > 60 tahun 5% dan Tidak ada data 4%. Dari data yang diperoleh menggambarkan sebagian besar kasus gigitan anjing rabies lebih sering terjadi pada kelompok umur 0-9 tahun. Hal ini berarti bahwa kelompok umur 09 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena gigitan anjing rabies dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Berdasarkan data dari Menurut World Health Organization (WHO) 2005, menyebutkan bahwa anakanak memiliki resiko yang tinggi pada rabies. 60-70% korban rabies adalah anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh anak-anak lebih sering menghabiskan waktu diluar rumah, kecendrungan anak bermain diluar rumah menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gigitan anjing. Selain itu usia 0-9 tahun merupakan usia dimana anak mulai mengalami perkembangan aktif untuk bergerak. Anak-anak lebih cenderung lebih senang untuk bermain dan berintekrasi dengan hewan peliharaan seperti anjing sehingga sangat rentan untuk mendapat gigitan anjing baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Hasil diatas sejalan dengan penelitian yang
29
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Gambaran Kasus Rabies dan Korban Gigitan Hewan Penular Rabies di Wilayah Kerja BVET Bukittinggi Tahun 2013 Rina Hartini, Martheliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman
dilakukan oleh febrianty dkk tahun 2011 di Kabupaten Tana Toraja yang menyebutkan bahwa kasus tertinggi gigitan anjing rabies pada kelompok umur 0-9 tahun. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iffandi dkk, 2011 menggambarkan bahwa korban gigitan hewan pembawa rabies (anjing) yang paling banyak berumur 41-50 tahun. Umur 81-90 tahun merupakan umur yang paling sedikit tergigit oleh hewan pembawa rabies (anjing). Pada Tabel 6 dan gambar 6 persentase Sitergigit berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat gambaran hasil bahwa laki-laki yang tergigit oleh Hewan penular rabies sebanyak 58%, wanita 39 % dan tidak ada data 3 %. Hasil yang hampir sama juga kita peroleh tahun 2012 menunjukkan hasil bahwa laki-laki yang tergigit oleh Hewan penular rabies sebanyak 59%, wanita 35 % dan tidak ada data 7 %. Hal ini bebarti bahwa laki-laki memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena gigitan anjing rabies dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh laki-laki lebih sering mengurus anjing dari pada wanita. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing.
Kesimpulan Sampel otak yang diperiksakan rabies di BVET Bukittinggi lebih dari 50% positif dengan HPR yang paling sering adalah anjing. Korban gigitan anjing
Saran Perlu komitmen pemerintah dalam pemberantasan dan pengendalian rabies dalam rangka menekan kejadian kasus rabies. Kewaspadaan dalam pencegahan rabies perlu digerakkan dalam rangka mengurangi kasus gigitan, terutama gigitan yang terjadi pada kelompok umur anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.
Daftar Pustaka ANONIMOUS, 1988. Pedoman teknis pelaksanaan pembebasan rabies terpadu di Indonesia. Tim Koordinasi Pemberantasan Rabies Tingkat P u s a t , D i re k to r a t J e n d e r a l Pe t e r n a k a n , Departemen Pertanian. BPPV Bukittinggi. Peta Penyakit Hewan Regional II Propinsi Sumaterta Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau Tahun 2013 No.409/2013, BPPV Regional II Bukittinggi. 2013. Departemen Kesehatan R.I. 2008. Petunjuk Pemberantasan Rabies di Indonesia. Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan. Hartini R, dkk. 2012. Kejadian Rabies dan Gigitan Rabies di Wilayah Kerja Balai veteriner Bukittinggi tahun 2012. Buletin Kesehatan Hewan. Bukittinggi. 2012 Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. Rieneka Cipta.
rabies tinggi adalah kelompok umur 0-9 tahun dan
Martdeliza. 2013. Laporan Kegiatan Penyidikan
sitergigit terbanyak berjenis kelamin laki-laki. Lokasi
Penyakit Rabies dalam Rangka pemberantasan
gigitan pada daerah kaki atau tubuh bagian
Penyakit Rabies Tahun 2013. Bukittinggi. 2013
bawahmerupakan lokasi gigitan yang paling banyak
Pebrianty, dkk. 2011. Pemetaan Korban Gigitan Anjing
terjadi. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit
Rabies di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009-
anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering
2011. Maksasar. 2011.
kontak atau interaksi dengan anjing.
WHO. (2005). Who Expert Consultation On Rabies. Switzerland. Geneva.
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
30
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kasus Kematian Pedet Akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Lima Puluh Kota Katamtama, Dwi Inarsih, Herman, Azfirman
Abstrak Telah terjadi kematian pedet milik BPTU “X” di Kabupaten Lima Puluh Kota. Pedet yang mati dikirim ke Balai Veteriner Bukittinggi pada 16 Mei 2014. Setelah dilakukan bedah bangkai diketahui perubahannya terjadi pembengkaan hati, ginjal, jantung serta paru–paru. Selain terjadi pembekaan pada organ paru-paru juga disertai pendarahan. Temuan lain yang menarik adalah terdapat material keras yang menyumbat retikulum, pada usus terjadi timbunan gas dan terlihat pucat pada otot. Kematian pada ternak kebanyakan disebabkan oleh penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun yang tidak infeksius, dan kematian pada hewan dapat terjadi secara mendadak (akut) atau di dahului dengan menderita sakit yang berkepanjangan (kronis). Pada kasus ini diduga terjadi obstruksi oleh “Hair Ball” pada saluran pencernakan yang menjadi penyebab kematian pedet tersebut. Selain diagnosa Patologi Anatomi, dilakukan pula kultur bakteri dan pemeriksaan Histopatologi. Kasus “Hair Ball” ini penting untuk diketahui karena sering menjadi masalah di peternakan dan hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa ternak tersebut mengalami kekurangan zat tertentu dalam makanan atau ransumnya.
Kata Kunci: Hair Ball, Obstruksi.
Afiliasi Penulis : Bvet Bukittinggi Korespondensi :
[email protected],
[email protected] Telp: 085274152218
Pendahuluan
kering biasanya berupa jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, dan lain sebagainya dan pakan ini
Salah satu jenis pakan dapat berupa pakan
yang biasa dipersiapkan untuk musim kemarau.
hijaun. Menurut keadaannya, jenis hijauan dibagi
Hijauan ini tergolong jenis pakan yang banyak
menjadi 3 katagori, yaitu hijauan segar, hijauan kering,
mengandung serat kasar.
dan silase. Pakan hijauan segar biasanya diperoleh dari
Selainkan dikeringkan hijauan segar dapat
ladang, persawahan atau tempat lain yang ditumbuhi
diawetkan menjadi silase. Secara singkat pembuatan
hijauan. Contoh hijauan segar antara lain rumput-
silase ini dapat dijelaskan sebagai berikut: hijauan
rumputan, kacang-kacangan (leguminosa) dan
dimasukkan dalam wadah yang ditutup rapat, hingga
tanaman hijau lainnya. Rumput yang baik untuk pakan
terjadi proses fermentasi dalam wadah tersebut. Hasil
sapi adalah rumput gajah, rumput raja (king grass),
dari proses inilah yang disebut silase. Contoh-contoh
daun turi dan daun lamtoro.
silase yang telah memasyarakat antara lain silase
Sedangkan hijauan kering berasal dari hijauan segar yang sengaja dikeringkan dengan tujuan agar
jagung, silase rumput, silase jerami padi dan lain sebagainya.
tahan disimpan lebih lama. Termasuk dalam hijauan
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
31
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kasus Kematian Pedet Akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Lima Puluh Kota Katamtama, Dwi Inarsih, Herman, Azfirman
Sedangkan pakan tambahan yang diberikan
pada saluran pencernaan tersebut, dan hal ini bisa
pada ternak dapat berupa dedak halus (bekatul),
menjadikan masalah serius dalam suatu peternakan.
b u n g k i l ke l a p a , g a p l e k , a m p a s t a h u d a n l a i n
Kejadian tersebut dapat terjadi pada semua umur dan
sebagainya. Pakan tambahan tersebut diberikan
spesies ternak.
dengan cara dicampurkan dengan pakan hijauan di dalam tempat pakan yang telah disediakan.
Pada pedet sering ditemukan bola–bola rambut yang disebut piliconcretion atau Hair Ball di dalam
Dalam dunia peternakan, pakan ternak yang
lambung. Hal ini disebabkan karena hewan tersebut
dibuat dalam bentuk campuran dengan jumlah dan
sering menjilat – jilat bulunya sendiri, sehingga
perbandingan tertentu dikenal dengan istilah ransum.
sebagian rambut masuk ke dalam lambung dan
Dan pada ransum pakan ternak dapat ditambah dengan
terakumulasi didalamnya. Keadaan semacam ini dapat
mineral sebagai penguat. Mineral tersebut berupa
menyumbat saluran yang menuju duodenum. Kasus
garam dapur atau kapus. Setiap hari sapi memerlukan
Hair Ball ini pernah menjadi penyebab utama kematian
pakan hijauan kira-kira sebanyak 10% dari berat
pedet di suatu peternakan. Penelitian yang dilakukan di
badannya dan pakan tambahan sebanyak 1 - 2 % dari
sabah Malaysia diketahui penyebab kematian hairball
berat badan.
(21,71%), lethargy (17,43%), cachexia (13,16%), bloat
Dalam dunia sapi potong, dikenal beberapa cara Pemberian pakan, yaitu penggembalaan (Pasture
(9,87%), diarrhea (9,21%), dehydration (8,22%) and pneumonia (7,90%).
Fattening), Kereman (Dr y Lot Fattening) dan
Selain bola-bola rambut di dalam lambung dapat
menggabungkan kedua cara tersebut. Cara
juga bola-bola tersebut terdiri dari serabut-serabut
penggembalaan merupakan pemberian pakan pada
kasar tanaman yang tidak dapat dicerna (fito atau
sapi potong yang paling sederhana. Metode ini
zoobezoar). Benda-benda lain mungkin dapat berupa
dilakukan dengan cara melepas sapi-sapi di padang
bola plastik, karet atau tutup botol.
rumput, biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai
Adanya benda-benda asing dalam lambung,
tempat penggembalaan cukup luas, dan memerlukan
seperti hair ball biasanya terjadi karena pedet punya
waktu sekitar 5-7 jam per hari. Dengan cara ini, ternak
kebiasaan yang cukup rakus dalam pola makannya.
tidak lagi memerlukan pakan tambahan sebagai
Dalam sebuah tulisan dinyatakan hal ini mungkin dapat
penguat karena sapi telah memakan bermacam-
sebagai petunjuk keadaan hewan tersebut mungkin
macam jenis rumput. Sedangkan pada metode
kekurangan sesuatu zat tertentu di dalam makanan /
kereman yaitu dengan memberikan ransum pakan pada
ransumnya. Sedangkan pada anjing keadaan tersebut
ternak dengan cara dijatah atau disuguhkan pada sapi
karena kemungkinan anjing tersebut menderita rabies.
potong dikandangkan. Dan metode pemberian pakan
Adanya benda asing di saluran pencernaan tidak hanya
sapi potong yang baik adalah dengan
ditemukan pada pedet. Pada kuda sering juga terbentuk
mengkombinasikan antara metode penggembalaan
benda asing yang akhirnya mengeras (enterolitiasis)
dan keraman.
juga akan menyumbat, biasanya di colon kuda. Kasus
Adanya benda asing yang tidak biasa dimakan
hair ball juga sering terjadi pada kucing
oleh ternak tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan, sehingga menyebabkan terjadi sumbatan
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
32
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kasus Kematian Pedet Akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Lima Puluh Kota Katamtama, Dwi Inarsih, Herman, Azfirman
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Setelah dilakukan bedah bangkai diketahui perubahannya terjadi pembengkaan hati, ginjal, jantung dan paru – paru yang disertai pendarahan pada paru – paru tersebut. Temuan lain yang menarik adalah terdapat material keras yang menyumbat retikulum, pada usus terjadi timbunan gas dan terlihat pucat pada otot. B e r i k u t i n i d i t a m p i l k a n f o to – f o to h a s i l
Gambar 3. Usus
pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi
Zona nekrosa terlihat pada lambung ganda pedet
Gambar 1. Organ Jantung dan Paru-paru
Gambar 4. Usus
Terjadi pembengkakan pada organ jantung dan
Pada usus pedet terdapat timbunan gas yang cukup
paru–paru, yang disertai pendarahan pada paru–paru.
banyak, dan usus terlihat lebih pucat
Gambar 2. Abdomen
Gambar 5. Organ Hati
Terlihat hidroperitonium pada bagian abdomen pedet
Perdarahan dan hiperemi pada hati
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
33
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kasus Kematian Pedet Akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Lima Puluh Kota Katamtama, Dwi Inarsih, Herman, Azfirman
Pembahasan Pemeriksaan Patologi Anatomi Jaringan pada umumnya nampak kurang cairan, bagian usus yang mengalami obstruksi berwarna pucat kebiruan. Sedang pada bagian usus yang tergencet dijumpai kongesti, busung atau nekrose. Tidak jarang akibat pembesaran yang sangat tersebut menyebabkan terjadi ruptur dinding usus, sehingga Gambar 6. Organ Ginjal Ginjal membengkak dan berwarna hitam kebiruan (kongesti)
ingesta dan darah ditemukan di dalam rongga perut. Penentuan diagnosa didasarkan atas riwayat terjadinya penyakit serta pemeriksaan fisik. Terhentinya pasase tinja dan ditemukannya bagian
Berikut ini ditampilkan foto – foto hasil
usus yang penuh dengan makanan waktu palpasi rektal
pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi yaitu
merupakan tanda yang penting pada kejadian ini. Pada
berupa Ditemukan Hair Ball pada peritoneum pedet :
umumnya obstruksi usus berakhir dengan kematian. Kesulitan penanganan di lapangan, baik dengan atau tanpa operasi, juga memperberat prognosa obstruksi usus
Patogenesis Variasi akibat dari kejadian suatu sumbatan (obstruksi) tergantung pada bagian usus yang mengalami penyumbatan dan macam bahan penyumbatnya, kecuali apabila obstruksi tersebut disebabkan oleh perubahan letak anatomis usus. Gambar hair ball pada reticulum
Proses obstruksi pada sapi biasanya terakumulasi dan berlangsung sedikit demi sedikit. Dan secara bertahap rasa sakit akan bertambah berat. Proses yang terjadi pada perut bagian muka akan lebih cepat memberikan gambaran sakit daripada apabila sumbatan terdapat pada bagian belakang. Karena terjadinya obstruksi maka cairan akan banyak tertimbun di depan bagian yang tersumbat, sehingga bagian tersebut mengalami distensi usus dan
Gambar hair ball pada reticulum
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
akan mengakibatkan rasa sakit karena teregangnya jaringan tersebut. Kondisi tersebut juga menyebabkan
34
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kasus Kematian Pedet Akibat Obstruksi “Hair Ball” di Kabupaten Lima Puluh Kota Katamtama, Dwi Inarsih, Herman, Azfirman
terjadinya akumulasi kuman-kuman dari ingesta di
obstruksi terjadi pada usus bagian belakang (misal
tempat yang mengalami distensi yang akan
akibat enterolitiasis padsa kuda), pemberian pelicin
menghasilkan gas sebagai salah satu hasil metabolis
dalam jumlah banyak dapat dicobakan.
s e k u n d e r d a r i k u m a n ya n g s e l a n j u t n ya a k a n
Pada peternakan yang banyak terjadi kasus hair
memperberat derajat distensinya. Selanjutnya pada
ball mungkin bisa dicegah dengan memperbaiki
tempat yang distensi akan mengalami kenaikan
manajemen perkandangan dan ransum pakan.
tekanan osmose. Karena berkurangnya pemasukan air
Kandang koloni untuk pedet, memungkinkan terjadi
kedalam saluran pencernakan maka secara otomatis
kondisi pedet saling menyusu. Hal ini tentu akan
cairan akan berkurang masuk ke jaringan lain, hal ini
meningkatkan terjadinya kasus hair ball.
menyebabkan terjadilah dehidrasi. Akibat distensi usus maka sirkulasi darah lokal akan mengalami gangguan dan gencetan tersebut selanjutnya akan mengganggu sirkulasi darah perifer.
Daftar Pustaka
Akibat sumbatan yang mengandung bahan-bahan
Kaliwon, Nurul Aini Fitria Binti, Penyebab Kematian
toksik seperti amina akan mengakibatkann auto
Pedet Serta Dampak terhadap Perkembangan
intoksikasi. Pada sumbatan yang parah akan
Populasi Sapi Sabah Sahiwal Frisian (Study
menyebabkan kurangnya darah yang mengalir, hingga
Kasus Di Stasiun Pembibitan ternakan JPHP
pada keadaan lanjut akan menyebabkan nekrobiose,
Sebrang Keningau Sabah Malaysia);
yang memudahkan terjadinya obstruksi usus. Usus
http://repository.ipb.ac
yang rapuh akan mudah robek, hingga dapat
M. Donald Mc Gavin and James F. Zachary, Pathologic
mengakibatkan kematian penderita secara mendadak
Basic of Veterinary Disease, fourth Edition,
karena pendarahan di dalam.
Mosby Elsevier
Pada kuda gas-gas biasanya berkumpul di dalam usus buntu dan kolon yang menyebabkan kolik berat. Hewan mati karena keracunan CO2 (anoksemi karena gangguan pernapasan). Pembentukan gas- gas juga dapat menyebabkan terjadinya ruptur pada vili-vili
Resang Prof. Dr A. A. DVM, MD, Patologi Khusus Veteriner, NV, Percetakan Bali Subronto,1995, Ilmu Penyakit Ternak, Gadjah Mada University Press
usus. Rasa sakit yang sangat akan terajdi dalam waktu beberapa hari dan ini akan menyebabkan shock. Pada umumnya kematian penderita obstruksi usus terjadi karena shock dan kolapnya peredaran darah.
Terapi Pertolongan dengan jalan operasi adalah cara terbaik, meskipun tingkat kesembuhannya cukup rendah. Pemberian obat-obatan pelicin pada kasus hair ball tidak memberikan hasil yang memuaskan. Jika
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
35
hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh hhhhhhhhh Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 Tahun 2014
Kementerian Pertanian
Balai Veteriner Bukittinggi Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km.14 Baso Kab. Agam Sumbar PO.Box 35 Bukittinggi 26101
Balai Veteriner Bukittinggi 2014
0752 - 28300 0752 - 28290
[email protected] [email protected] http://bvetbukittinggi.ditjennak.deptan.go.id
36