Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
ISSN No. 1412 - 7091 Balai Veteriner
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Pertanian
Balai Veteriner
Bukittinggi
Buletin
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Informasi Kesehatan Hewan Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Bukittinggi
Balai Veteriner Kementerian negatif Kementerian Hasil RFFIT Bukittinggi Pertanian Pertanian
Balai Veteriner Kementerian Hasil positif RFFIT Bukittinggi Pertanian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Balai Veteriner Bukittinggi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Ta h u n 2 0 1 5 http://bvetbukittinggi.ditjennak.pertanian.go.id Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
Susunan Dewan Redaksi Penanggung Jawab
: Kepala B-VET Bukittinggi Drh. Azfirman
Redaktur Anggota
: Drh. Rina Hartini : Drh. Rudi Harso Nugroho, M. BioMed Drh. Yuli Miswati, M.Si Drh. Eliyus Putra Drh. Yulfitria Drh. Ibenu Rahmadhani, M.Si Drh. Cut Irzamiati Drh. I Gde Eka, MP Drh. Budi Santosa Drh. Dwi Inarsih Drh. Katamtama A Drh. Lylian Devanita Drh. Martdeliza, M.Sc drh. Tri Susanti
Penyunting/Editor
: Daniel Faizal
Desain Grafis
: Erdi
Sekretariat
: Erizal
Alamat Redaksi
: Balai Veteriner Bukittinggi Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km. 14 PO. Box 35 Bukittinggi Telp. (0752) 28300 Fax (0752) 28290 Email :
[email protected] Website :
http://bvetbukittinggi.ditjennak.pertanian.go.id
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
i
Kata Pengantar Puji dan syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya Buletin Informasi Kesehatan Hewan Volume. 17 No. 90 tahun 2015 ini dapat diterbitkan. Buletin ini memberikan informasi tentang hasil kegiatan surveillans, monitoring investigasi dan investigasi penyakit di wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Dalam buletin edisi ini dipaparkan bahwa sebagai laboratorium rujukan rabies nasional, Balai Veteriner telah melakukan pengembangan metode pengujian Rabies yaitu Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Disamping itu juga telah dikembangkn pengujian Rabies dengan Metode Rapid Flourescent Focus Inhibition Test (RFFIT) untuk mendeteksi antibody Rabies. Semoga tulisan yang ditampilkan pada buletin ini dapat menjadi sumber informasi dan sebagai bahan acuan bagi dinas ataupun instansi terkait dalam menjalankan tugas dan lebih mengefektifkan tugas dan fungsinya. Masukan dan saran dalam rangka peningkatan kualitas Buletin ini masih sangat kami harapkan dan Redaksi menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan masih terjadi kekurangan dan diharapkan para pembaca dapat memaklumi. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
ii
Daftar Isi i
Susunan Dewan Redaksi
ii
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
1
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang Diduga Terinfeksi Virus Rabies
9
Deteksi Antibodi Rabies Dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) Di Balai Veteriner Bukittinggi
15
Kasus Kematian Pedet di BPTU HPT Padang Mangatas periode Februari s/d April 2014
20
Surveillans Hog Cholera Di Propinsi Riau, Jambi Dan Kepulauan Riau Dalam Rangka Pemberantasan Tahun 2014
24
Deteksi Penyakit Enzootik Bovine Leukosis - EBL Di BPTU HPT Padang Mengatas
27
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
iii
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD)
pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies Rudi Harso Nugroho , Ibnu Rahmadani , Herman , Sri Wilyani 1)
2)
2)
2)
Manager Teknis Bvet Bukittinggi 1), Medik di Laboratorium Patologi 2), Paramedik di Laboratorium Patologi 3)
Abstrak Rabies adalah penyakit zoonosis yang mematikan bagi hewan maupun manusia yang disebabkan oleh virus neurotropik. Virus bereplikasi di sel saraf otak dan mengalami pergerakan sentrifugal ke sel asiner kelenjar saliva dan organ lain. Metode direct Fluoresens antibodi test (dFAT) pada sampel otak merupakan baku emas pengujian rabies menurut Office International des Epizooties ( OIE), namun metode ini mahal dan sulit dalam pengambilan sampelnya. Metode Rabies indirect antigen detection (RIAD) pada kelenjar saliva submandibula merupakan alternatif dalam pengujian rabies. Penelitian ini bertujuan untuk uji diagnostik pengujian rabies dengan metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula. Penelitian merupakan cross sectional study, dilakukan di Balai Veteriner Bukittinggi, sampel dipilih dengan teknik konsekutif. Pengujian rabies dengan besar sampel 45 dilakukan dengan metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula sebagai data primer dibandingkan dengan hasil dFAT pada hipokampus otak sebagai baku emas. Komponen uji diagnostik meliputi reliabilitas dan validitas dengan variabel penelitian berupa sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif. Pada hasil uji rabies dengan dFAT dari 45 sampel terdapat 32 sampel (71,11%) yang menunjukkan positif dan sebanyak 13 sampel (28,89%) menunjukkan hasil negatif. Hasil pengujian RIAD terdapat 30 sampel (66,67%) yang menunjukkan positif benar, 11 sampel (24,44%) menunjukkan hasil negatif benar, dan masing masing 2 sampel (4,44%) yang menunjukan positif palsu dan negatif palsu. Hasil RIAD dibandingkan dengan hasil dFAT didapatkan sensitivitas relatif RIAD pada dFAT adalah 93,75%, spesifisitas relatif 84,61%, Nilai prediktif positif 93,75% dan nilai prediktif negatif 84,61%. Reliabilitas dengan nilai Kappa 0.82 (sangat baik).Dapat disimpulkan bahwa Metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula memiliki validitas (sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif) yang hampir sama dengan baku emas dFAT, sehingga dapat digunakan sebagai metode diagnosis rabies alternatif yang potensial dan disarankan penggunaannya. Kata Kunci : Rabies, Deteksi antigen, Uji diagnostik, Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD), dFAT.
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Rudi Harso Nugroho,
[email protected] 081363457254
Pendahuluan Angka kematian manusia akibat rabies dari tahun ke tahun terlihat semakin meningkat. Di India kasus kematian mencapai 20.000-30.000 kematian per tahun, di Vietnam 9.000 kematian per tahun, di China rata-rata 2.500 kematian per tahun, di Filipina 200 - 300 kematian per tahun, sedangkan di Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143 kematian per tahun. Kasus lyssa (rabies pada manusia) di Indonesia endemis di 24 propinsi, yang tertinggi adalah Provinsi Bali, diikuti Sumatera Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, sedangkan 9 provinsi lainnya masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu Provinsi Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.1 Penyebaran rabies di Indonesia semakin lama semakin meluas. Saat ini, dari 33 propinsi di Indonesia hanya 9 propinsi yang masih dinyatakan bebas yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Nusa Tengggara Barat.2 Di propinsi Sumatera Barat rata-rata terdapat 2.500-3.000 kasus gigitan oleh hewan penular rabies (HPR) pertahun sehingga Sumatera Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus gigitan kedua tertinggi setelah propinsi Sulawesi Utara. Jenis HPR tertinggi adalah anjing (95%), dan sisanya adalah
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
1
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
kucing, musang, tikus, kera dan lainnya. Berdasarkan data yang ada pada Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, setiap tahunnya terdapat rata-rata 10-11 kasus kematian manusia akibat rabies. Tahun 2012 terjadi 3.412 kasus gigitan oleh hewan penular rabies (HPR) dengan 14 kasus kematian akibat rabies, sedangkan pada tahun 2013 (data sampai bulan September 2013) terjadi 1.940 kasus gigitan dengan 9 kasus kematian akibat rabies. Insidensi rata-rata kasus rabies pertahun pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia yang telah digigit anjing/kucing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat mengancam kepariwisataan.3 Masa inkubasi penyakit rabies berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan, tergantung dari virulensi, lokasi gigitan dan jumlah gigitan.4 Tingginya kasus gigitan tersebut tidak sebanding dengan jumlah sampel yang diperiksa di Balai Veteriner Bukittinggi sebagai laboratorium rujukan pengujian rabies pada hewan yang hanya tercatat 151 sampel pada tahun 2012 dan 122 sampel pada tahun 2013 dengan proporsi kasus rabies positif rata-rata 87%.5,6 Idealnya setiap kasus penggigitan yang diiringi penyuntikan antilyssa sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis rabies. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan ketidakseimbangan antara kasus penggigitan dengan jumlah sampel yang diuji, salah satunya adalah sulit dan mahalnya pengujian rabies dengan metode direct fluorescent antibodi technique /dFAT sehingga tidak semua laboratorium kesehatan hewan di daerah dapat melakukan uji rabies.7 Metode direct fluorescent antibodi technique /dFAT pada sampel hipokampus otak adalah baku emas pengujian rabies menurut Office International des Epizooties .8 Metode ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi mencapai 99,78%, namun metode ini memiliki kelemahan yang menjadi kendala bagi laboratorium laboratorium penguji rabies di daerah yakni mahalnya harga peralatan mikroskop fluoresens yang digunakan untuk mendiagnosis dan membaca hasil uji serta mahalnya harga bahan konjugat yang digunakan. Pengambilan sampel hipokampus otak sebagai bahan untuk uji rabies dengan dFAT juga menjadi kesulitan tersendiri bagi petugas kesehatan hewan di lapangan dikarenakan ukuran hipokampus otak yang kecil serta letaknya di bawah serebrum. Pengujian dFAT sangat sulit untuk diterapkan di laboratorium daerah (Laboratorium tipe B dan C), maka sebagai alternatif uji yang relatif terjangkau oleh laboratorium di daerah adalah pengujian rabies dengan metode Sellers yangmenggunakan peralatan mikroskop cahaya dalam pembacaan hasil uji, meski metode ini memiliki tingkat sensitivitas pengujian hanya 65%.7 Tingginya kasus gigitan oleh HPR yang tidak sebanding dengan jumlah sampel
yang diuji di laboratorium menjadi suatu tantangan yang semakin lama harus dapat diatasi oleh laboratorium penguji rabies di wilayah ini.
Berbagai metode dalam mendiagnosis rabies telah mengalami berbagai pengembangan diantaranya metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) dan Direct Rapid Immuno-histochemistry Test (dRIT) pada sampel hipokampus otak yang menggunakan prinsip imunohistokimia. Hasil uji dengan metode RIAD pada sampel otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik yakni 95,5% .7 sedangkan metode dRIT memiliki sensitivitas 97,50% dan spesifisitas 100%.9 Sensitivitas yang relatif sama dengan baku emas, serta peralatan yang dibutuhkan hanya dengan mikroskop cahaya dalam pembacaan hasil maka metode ini dapat dipakai sebagai alternatif uji dFAT yang lebih baik dari metode Sellers. Pengujian rabies dengan metode RIAD pada otak sebagai alternatif dari baku emas dFAT sudah memenuhi prinsip dasar uji diagnostik yakni dengan nilai diagnostik yang baik metode ini memiliki kelebihan yakni lebih mudah, lebih sederhana dan lebih aman dalam pengambilan sampel dan dalam pengujian.10 Beberapa penelitian telah membuktikan eksistensi virus rabies selain ditemukan pada sel saraf juga ditemukan pada non sel saraf yaitu pada kelenjar saliva. Jumlah konsentrasi virus yang tertinggi pada kelenjar saliva secara berturut turut a d a l a h k e l e n j a r s a l i v a s u b m a n d i b u l a , p a ro t i s , d a n submaksilaris .11 . Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dimungkinkan pengembangan metode pemeriksaan rabies dengan menggunakan metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula. Dalam penelitian ini penting untuk melihat potensi diagnostik pengujian RIAD pada kelenjar saliva submandibula berupa sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif serta reliabilitas atau kestabilan uji diagnostik ini.
Metode Penelitian merupakan suatu penelitian observasionaldengan desain cross sectional study.Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Veteriner Bukittinggi, Jalan Bukittinggi-Payakumbuh KM 14 Baso Kabupaten Agam dan dilakukan selama 6 bulan. Populasi penelitian adalah kelenjar saliva submandibula dan hipokampus otak dari kadaver hewan penular rabies (HPR) yang dikirim ke laboratorium penguji Balai Veteriner Bukittinggi untuk dilakukan pemeriksaan rabies.Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi kelenjar saliva submandibula berasal dari HPR dengan dugaan rabies, kelenjar saliva dalam keadaan masih segar atau sudah
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
2
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
dibekukan. Sedangkan kriteria eksklusi adalah sampel yang tidak ada atau belum ada hasil pengujian dFAT. Pemilihan sampel berdasarkan teknik consecutive sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi .10 Untuk uji diagnostik dengan data nominal dikotomi maka besar sampel minimal dihitung dari rumus sebagai berikut : Zα2.P.Q 1,962 x 0,87 x 0.13 n = ------------ = ----------------------------- = 44 0,12 d2
positif benar (a) sensitivitas = ----------------------------------------------------- x 100% Positif benar + negatif palsu (a+c) Negatif benar (d) spesifisitas = ---------------------------------------------------- x 100% positif palsu + negatif benar (b+d)
Keterangan : n = besar sampel; Zα = nilai kurva normal pada confidence interval 95% (α= 0,05, Zα = 1,96); P = Proporsi penyakit/keadaan yang dicari (87%); Q = 1 - P; d = Tingkat ketepatan absolut yag dikehendaki (0,1) / derajat presisi. Berdasarkan rumus diatas, maka besar sampel minimal yang diperlukan adalah 44 sampel kelenjar saliva. Variabel dalam penelitian uji diagnostik adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif. Penentuan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif Tabel 1. Tabel kontingensi 2x2 pengukuran sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif suatu metode uji dibandingkan dengan baku emas BAKU EMAS
UJI
ujinya negatif. Nilai prediktif negatif menjawab pertanyaan berapa besarkah kemungkinan bahwa subyek tersebut tidak menderita penyakit bila hasil suatu uji diagnostik negatif. Keempat variabel tersebut dapat diketahui dengan perhitungan :
Positif
Negatif
Jumlah
Positif
Positif benar (a)
Positif palsu (b)
a+b
Negatif
Negatif palsu (c)
Negatif benar (d)
c+d
Jumlah
a+c
b +d
a+b+c+d
Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang terkena penyakit sedang spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar persentase mereka yang tidak terkena penyakit (negatif benar) dan terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditunjukan melalui suatu uji. Nilai prediktif positif (NPP) adalah persentase positif benar diantara individu yang hasil ujinya positif. nilai prediktif positif ini menjawab pertanyaan berapa besarnya kemungkinan suatu subyek tersebut menderita penyakit bila hasil suatu uji diagnostik positif Nilai prediktif negatif (NPN) adalah persentase orang yang tidak sakit diantara mereka yang hasil
positif benar (a) NPP = ----------------------------------------------------- x 100% positif benar + positif palsu (a + b) negatif benar (d) NPN = -----------------------------------------------------x 100% negatif benar + negatif palsu (c + d)
Metode direct Fluorescent Antibodi Technique (dFAT): Merupakan metode uji rabies dengan prinsip kerja jaringan otak diwarnai dengan antibodi yang dilabel dengan fluorescein isothiocyanate (FITC) untuk mendeteksi adanya antigen rabies.12 Metode Rabies Indirect Antigen Detection ( RIAD ) merupakan uji diagnosis rabies secara imunohistokimia dalam sediaan apusan jaringan. Prinsip kerjanya adalah reaksi ikatan antara antigen dan antibodi ditandai pengikatan substrat, sehingga penanda antigen rabies untuk dibaca dengan mikroskop cahaya.7
Metode imunohistokimia RIAD 1. Pembuatan preparat smear kelenjar saliva. § Kelenjar saliva digerus kasar dalam mortar (untuk
mengeluarkan dan melepaskan virus dari jaringan/sel) kemudian diulas pada kaca objek sehingga terbentuk ulas tipis pada kaca objek dan kemudian dikeringkan. § Fiksasi preparat pada kaca objek dalam aseton pada suhu
ruang selama 20 menit kemudian dikeringkan.
2. Pewarnaan dengan teknik imunohistokimia RIAD § Kaca objek direndam dan dibilas dengan larutan TBS
sebanyak 3x dengan masing masing selama 2 menit. Setelah proses selesai kaca objek dilap dengan kertas tisu dan kaca objek disusun pada wadah yang lembab pada suhu ruangan. § Kaca objek ditetesi dengan dengan 300µl H2O2 (hidrogen
peroksida) 3% selama 10 menit untuk blocking, setelah itu wadah ditutup agar tetap lembab/basah.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
3
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
§ Kaca objek direndam dan dibilas dengan larutan TBS
sebanyak 3x dengan masing masing selama 2 menit. setelah proses kaca objek dilap dengan tisu. § Sementara itu dibuat larutan antibodi primer dengan
melarutkan serum poliklonal rabies (Rabbit #662) dalam larutan pengencer antibodi dengan pengenceran 1 : 1000. § Antibodi primer 1o diteteskan pada kaca objek sebanyak
300µl lalu kaca objek diinkubasikan selama 45 menit. § Kaca objek direndam dan dibilas dengan larutan TBS
sebanyak 3x dengan masing masing selama 2 menit. setelah proses kaca objek dilap dengan tisu. § Larutan antibodi Jackson diteteskan sebanyak 300 µl pada
setiap kaca objek kemudian diinkubasikan menit.
selama 45
§ Kaca objek direndam dan dibilas dengan larutan TBS
sebanyak 3x dengan masing masing selama 2 menit. Setelah proses kaca objek dilap dengan tisu. Substrat AEC yang telah diaktivasi diteteskan sebanyak 300 µl pada setiap kaca objek dan diamkan selama 45 menit. Pada tahap ini dimonitor perubahan warna. § Setelah 10 menit substrat AEC kembali ditambahkan
sebanyak 200 µl. § Kaca objek dicuci dengan aquades pH 7.0 (untuk
menghentikan reaksi). § Dilakukan pewarnaan dengan meneteskan larutan lilly
meyers haematoxilin selama 60 detik sebagai counterstain. § Kemudian kaca objek dibilas dengan aquades dan direndam
dengan aquades. § Lalu kaca objek dicelupkan kedalam Scott's Tap Water
selama 60 detik sampai berubah menjadi warna biru.
dengan memasukkan hasil pengujian ke dalam tabel 2 x 2 untuk dinilai dan dihitung sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif. Untuk menguji reliabilitas dan mengukur derajat reliabilitas uji RIAD maka digunakan analisis kesepakatan Kappa Cohen.1111313.Untuk menghitung nilai kappa, menurut Widhiarso (2013) dalam Dhamayanti (2014)9 diperlukan tabel kontingensi 2 x 2 yang menunjukkan jumlah atau proporsi persetujuan antar rater (menggunakan tabel kontingensi yang digunakan dalam menghitung validitas). Nilai kappa (κ) didapatkan melalui rumus: (A+D) Pa = -----------------(A+B+C+D) (A+B)+(A+C)+(C+D)+(B+D) Pc = -----------------------------------------(A+B+C+D) 2 K
Pa – Pc = --------------1 - Pc
Dimana : Pa - Pc menunjukkan derajat persetujuan yang diharapkan; 1 - Pc menunjukkan derajat persetujuan yang sesungguhnya Tingkat reliabilitas uji RIAD ditunjukkan dengan nilai kappa yang ditentukan berdasarkan kriteria Altman (1991) dalam Bhismamurti (2011)13 dengan mengklasifikasi tingkat reliabilitas antar rater sebagai berikut : Tabel 2. Klasifikasi reliabilitas uji menurut kriteria Altman (1991).
§ Kaca objek dibilas dan didiamkan dalam aquades sampai
proses pemasangan kaca penutup (cover glass) dengan aqueous mounting medium.
3. Pengamatan imunohistokimia Hasil pewarnaan imunohistokimia RIAD pada kelenjar saliva diamati dibawah mikroskop cahaya pada lima lapang p a n d a n g d e n g a n p e m b e s a ra n 4 0 0 x . R e a k s i p o s i t i f ditemukannya antigen virus rabies ditandai dengan bentukan berwarna merah bata dalam dan sekitar sel kelenjar sedangkan reaksi negatif jika tidak ditemukan bentukan warna merah bata dan lapang pandang berwarna biru.
Nilai kappa
≤ 0,20
0,21- 0,40
0,41 - 0,60
0,61 - 0,80
0,81-1,00
Kriteria
Buruk
Kurang dari sedang
Sedang
Baik
Sangat Baik
Hasil Penelitian
Analisis Data
Sampel penelitian merupakan sampel yang diterima di Balai Veteriner Bukittinggi, dengan besar sampel penelitian adalah 45. Sebagian besar sampel tersebut berasal dari HPR yang sebelumnya sudah melakukan penggigitan pada manusia dan sudah menunjukkan gejala klinis rabies, yang selanjutnya hewan tersebut mati sendiri atau dimatikan dan kemudian sampel kadavernya (bagian kepala) dikirim ke laboratorium.
Pada hasil penelitian dilakukan pengambilan data sekunder berupa hasil pengujian dFAT pada spesimen otak (sebagai baku emas) dan pengambilan data primer hasil pengujian immunohistokimia RIAD kemudian dilakukan uji diagnostik
Kadaver (bagian kepala) kemudian diambil hipokampus otaknya dan kelenjar saliva submandibula. Sebagai preservasi, bagian hipokampus disimpan dalam gliserin 50% (untuk dilakukan uji dFAT) sedangkan kelenjar saliva submandibula
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
4
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
disimpan dalam keadaan segar untuk langsung dilakukan pengujian atau disimpan di dalam freezer -800C jika pengujian dilakukan pada hari lainnya. Hasil positif dari pengujian dFAT ditandai warna hijau fluoresens (FITC) pada ikatan kompleks antigen-antibodi seperti dalam Gambar 2.5., sedangkan hasil positif kompleks ikatan antigen-antibodi dengan pewarnaan RIAD ditandai adanya granul warna merah bata seperti contoh dalam Gambar 5b dibawah ini (Hasil pewarnaan metode RIAD selengkapnya terdapat pada lampiran 2) :
Berdasarkan hasil rekapitulasi pengujian laboratorium (pada lampiran 1), yang merupakan data hasil pengujian metode dFAT pada hipokampus otak dan hasil pengujian metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula keduanya dibandingkan, dengan pengujian rabies metode dFAT sebagai baku emas kemudian dimasukkan dalam tabel kontingensi 2x2 dan didapatkan hasil seperti dalam tabel berikut : Tabel 2. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif hasil pengujian RIAD dibandingkan dengan metode dFAT (baku emas) dFAT
Metode Uji Rabies
A
UJI RIAD
B
Gambar 1. A. Gambaran hasil negatif pada metode RIAD ekskresi sel dan sel asiner kelenjar saliva berwarna biru (lilly meyers haematoxillin) B. Gambaran hasil positif ditunjukkan dengan warna merah bata (arah panah) pada sekitar dan permukaan sel kelenjar asiner (IHC-RIAD: 400x)
Dari hasil penelitian didapatkan dari hasil pengujian dFAT sebanyak 32 sampel yang positif rabies (71,11%) dan 13 sampel yang negatif rabies (28,89%) sedangkan dari pengujian RIAD didapatkan 30 sampel yang positif benar (66,67%), 11 sampel yang negatif benar (24,44%) serta masing masing terdapat 2 sampel negatif palsu (4,44%) dan 2 sampel positif palsu (4,44%).
NEGATIF
13
28,89 % POSITIF
32
71,11 %
Gambar 5.2. Komposisi hasil pengujian rabies berdasarkan metode dFAT
NEGATIF BENAR
11
24,44 %
NEGATIF PALSU
2
2
Negatif
Jumlah
Positif
30 (a)
2 (b)
32 (a+b)
Negatif
2 (c)
11 (d)
13 (c+d)
Jumlah
32 (a+c)
13 (b+d)
45 (a+b+c+d)
Sensitivitas
: (a/a+c) x 100% = 30/32 = 93,75 %
Spesifisitas
: (d/b+d) x 100% = 11/13 = 84,61 %
NPP
: (a/a+b) x100% = 30/32 = 93,75 %
NPN
: (d/c+d) x 100% = 11/13 = 84,61 %
Dari hasil pada tabel 5.1 maka uji diagnostik metode RIAD dapat diperhitungkannilai sensitivitasnya dengan rumus a/(a+c)yang mencerminkan hasil positif rabies pada kelompok hewan yang sakit adalah 93,75%, nilai spesifisitas dengan rumus d/(b+d) yang mencerminkan hasil negatif pada kelompok hewan yang sehat sebesar 84,61%. Sedangkan probabilitas hasil positif pada hewan penderita rabies ditunjukkan dengan nilai prediktif positif dengan rumus a/(a+b) adalah 93,75% selain itu probabilitas hewan yang tidak terkena rabies pada hasil uji negatif ditunjukkan dengan nilai prediktif negatif dengan rumus d/(c+d) adalah 84,61%. Tingkat reliabilitas atau keandalan dari suatu metode uji yang berskala nominal adalah dengan penentuan nilai kappa (k). Kappa merupakan suatu statistik yang mengukur kesesuaian antara veriabel berskala nominal dikotomi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus, maka nilai kappa dari metode RIAD adalah 0,82. Nilai tersebut menunjukkan bahwa uji RIAD dapat dikategorikan sangat baik (kriteria Altman), karena nilai kappa berada dalam kisaran 0,81-1,00.13
4,44 %
Pembahasan
POSITIF PALSU 4,44 %
Positif
POSITIF BENAR
30
66,67 %
Gambar 5.3. Komposisi hasil pengujian rabies berdasarkan metode RIAD
Penelitian uji diagnostikmetode RIAD pada hewan penular rabies ini ber tujuan untuk mengetahui nilaivaliditas (kesahihan) dan reliabilitas (keandalan) yang merupakan dua karakteristik pengukuran suatu uji yang amat penting. Menurut Mether (1991) dalam Bhismamurti (2011), validitas dan reliabilitas merupakan ukuran kredibilitas pengukuran, suatu
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
5
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
alat ukur (atau pengujian) akan memiliki validitas yang tinggi jika menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (Bhismamurti, 2011)13. Komponen validitas uji meliputi validitas sewaktu (nilai sensitivitas, spesifisitas) dan validitas prediktif (nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif) sedangkan penilaian reliabilitas menggunakan koefisien kesepakatan kappa (k). Metode uji rabies dengan metode dFAT maupun metode RIAD memberikan hasil nominal dikotomi karena hasil diagnosis rabies dinyatakan dengan hasil negatif dan positif. Hasil pemeriksaan dengan RIAD divalidasi dan dibandingkan dengan baku emas untuk diagnosis rabies yaitu dFAT dengan sensitivitas dan spesifisitas untuk dFAT masing masing dianggap bernilai 100%. Pada hasil penelitian ini, didapatkan dari pengujian dFAT pada sampel hipokampus otak sebanyak 32 sampel yang positif rabies (71,11%) dan 13 sampel yang negatif rabies (28,89%) sedangkan dari pengujian RIAD pada kelenjar saliva submandibula didapatkan 30 sampel yang positif benar (66,67%), 11 sampel yang negatif benar (24,44%) serta masing masing terdapat 2 sampel negatif palsu (4,44%) dan 2 sampel positif palsu (4,44%). Hasil uji diagnostik metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula memiliki sensitivitas 93,75%, spesifisitas 84,61%, nilai prediktif positif 93,75% dan nilai prediktif negatif 84,61%. Tingkat validitas metode RIAD ini terlihat relatif sama dengan baku emas dFAT. Dalam mendiagnosis rabies, metode RIAD menggunakan mikroskop cahaya biasa serta menggunakan antibodi poliklonal. Penggunaan alat dan bahan ini lebih mudah dan murah dan ini merupakan kelebihan dari metode RIAD dibandingkan metode dFAT yang menggunakan mikroskop fluoresens serta penggunaan antibodi monoklonal yang harganya relatif mahal dan selama ini telah menjadi kendala bagi laboratorium didaerah untuk dapat melakukan pengujian rabies. Beberapa penelitian lain yang berhubungan dengan sensitivitas uji rabies diantaranya yakni Ibnu et al.,(2013)7 yang menemukan bahwa metode RIAD pada sampel hipokampus otak memiliki sensitivitas 95,50% dan spesifisitas 77,40%. Tingkat sensitivitas metode RIAD yang tinggi pada penelitian tersebut disebabkan karena jenis sampel yang digunakan merupakan sampel hipokampus otak yang merupakan target organ dari virus rabies dan tempat virus bereplikasi dan memperbanyak diri sebelum menuju organ lainnya sehingga sampel ini direkomendasikan oleh OIE. Di dalam otak, virus tersebar diseluruh bagian otak dengan jumlah terbesar virusnya adalah pada bagian hipokampus (Jackson AC, 2007)14 namun dalam penelitian tersebut
spesifisitasnya lebih rendah karena memberikan hasil falsepositive (positif palsu) yang lebih besar. Lebih tingginya jumlah positif palsu dikarenakan sampel yang digunakan merupakan sampel yang sudah tersimpan dalam pengawet dengan waktu yang cukup lama. Hasil validitas yang tinggi juga didapatkan Dhamayanti R. et al., (2013)9) yang melakukan pengujian rabies dengan metode direct Rapid Immunohistochemistry Test (dRIT) pada preparat ulas hipokampus otak dan menemukan bahwa sensitivitas relatif dRIT terhadap dFAT adalah 97,50% dengan spesifisitas 100%. Perbedaan dari metode dRIT dan metode RIAD adalah pada jenis antibodi yang digunakan dan jenis sampel yang diuji. Metode dRIT menggunakan antibodi monoklonal seperti juga halnya dFAT, sedangkan RIAD menggunakan antibodi poliklonal pada sampel kelenjar saliva submandibula. Perbedaan jenis sampel, seper ti yang telah dibahas sebelumnya, juga berpengaruh terhadap tingginya hasil sensitivitas maupun spesifisitas uji dari dRIT pada sampel hipokampus otak dibandingkan RIAD pada kelenjar saliva submandibula. Kang B.K. et al.,(2007)15 dalam penelitiannya menggunakan Rapid Immunodiagnostic Test (RIDT) yang prinsip dasarnya menggunakan teknik imunokromatografi telah melakukan pengujian pada sampel otak dan memberikan hasil sensitivitas uji 91,70% dan spesifisitasnya 100%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode RIAD pada kelenjar saliva ternyata memberikan hasil validitas yang lebih baik daripada pengujian rabies dengan metode tersebut. Sensitivitas uji RIDT yang lebih rendah dari metode RIAD maupun dRIT disebabkan oleh teknik imunokromatografi memerlukan jumlah titer virus yang lebih tinggi diatas limit deteksi uji. Berdasarkan jenis sampel yang dapat digunakan sebagai sampel pengujian, metode RIDT ini sangat aplikatif karena dapat menggunakan air liur/saliva dan dapat segera memberikan hasil, namun kelemahan metode ini jika akan diaplikasikan di lapangan dengan menggunakan saliva atau air liur, besar kemungkinan mendapatkan hasil negatif palsu karena diperlukan titer yang cukup (melebihi limit deteksi) untuk memberikan hasil positif disamping itu kontak dengan air liur/saliva hewan penderita rabies sangat rentan terjadinya infeksi bagi petugas yang mengambil sampel. Hasil negatif palsu ini juga akan sangat membahayakan dan mengancam jiwa orang yang menjadi korban gigitan, karena meskipun jumlah titer virus yang sangat rendah yang masuk tubuh melalui gigitan (yang tidak terdeteksi karena keterbatasan limit deteksi) virus akan bereplikasi didalam tubuh dan menginfeksi saraf untuk bereplikasi lebih lanjut didalam otak sehingga menyebabkan kematian.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
6
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
Metode RIAD, dRIT maupun dFAT mampu mendeteksi
hipokampus otak yang lebih rumit serta memiliki resiko infeksi
adanya antigen virus rabies meski dalam jumlah yang sangat
yang cukup tinggi, sehingga para petugas di lapangan akan
rendah. Adanya antigen akan terikat dengan antibodi yang
lebih mudah dan aman dalam pengambilan sampel untuk
reaksi ikatannya diketahui dari adanya pengikatan warna dari
pengujian rabies.
substrat yang dipakai (FITC, DAB atau AEC) sehingga metode ini sangat baik untuk diterapkan dalam pengujian rabies karena hasil dari pengujian rabies adalah menyangkut nyawa manusia yang digigit HPR maka diperlukan hasil yang absolut positif ataupun negatif.
Kekurangan yang terdapat pada pengujian dengan metode RIAD pada kelenjar saliva adalah karena kelenjar saliva termasuk jaringan padat maka dimungkinkan bahan sampel yang diuji tidak terlalu lekat juga virus dapat tidak terdeteksi pada bagian jaringan yang diuji baik oleh karena jumlah virus
Pada penelitian ini, terdapat 4 sampel yang memiliki hasil
yang sedikit atau virus hanya terdapat pada bagian lain
yang berbeda dengan hasil dFAT yakni 2 sampel memiliki hasil
kelenjar saliva yang tidak dilakukan pengujian sehingga kasus
negatif palsu dan 2 sampel memiliki hasil positif palsu. Hasil
dapat didiagnosis negatif atau negatif palsu (padahal hewan
positif palsu dapat disebabkan smear (ulas) yang terlalu tebal
positif rabies) disamping itu faktor patogenesis dan waktu
sehingga sel menumpuk dan mengikat warna dari substrat,
inkubasi untuk virus untuk sampai pada kelenjar saliva.
hasil positif palsu juga dapat disebabkan oleh blocking
Kekurangan tersebut dapat diatasi dengan melakukan
endogenous peroxidase
konfirmasi lebih lanjut ke laboratorium rujukan yaitu Balai
(dengan H2O2) serta
blocking
protein (dengan skim milk) yang kurang sempurna sehingga
Veteriner Bukittinggi untuk dilakukan peneguhan uji /
menyebabkan eritrosit ataupun bakteri dapat bereaksi dengan
konfirmasi dengan metode dFAT jika hasil pengujian metode
antibodi dan mengikat substrat AEC sehingga terdapat granul
RIAD didiagnosis negatif.
warna merah bata dan didiagnosis positif. Sedangkan hasil diagnosis negatif palsu dapat disebabkan karena kelenjar saliva merupakan jaringan padat tidak seperti otak maka dimungkinkan bahwa kelenjar saliva yang diuji memang tidak mengandung virus atau lokasi virus berada dibagian lain kelenjar saliva tersebut, disamping itu karena kelenjar saliva merupakan organ padat maka pada perlakuan smear atau ulas
Hasil dari uji diagnostik metode RIAD pada kelenjar saliva submandibula menunjukkan hasil
dengan validitas dan
reliabilitas yang baik. Metode ini juga lebih murah dan mudah untuk dapat diterapkan/diaplikasikan di laboratorium di daerah maka metode ini dapat dipertimbangkan sebagai alternatif dari pengujian dFAT (Baku emas).
menyebabkan virus atau sel kelenjar saliva lebih sulit menempel pada kaca preparat sehingga meskipun kaca preparat sudah di-coating dengan silane (atau dengan poly Llysine), pada proses pewarnaan dan pencucian ada kemungkinan sel atau virus terlepas dari kaca preparat saat pencucian sehingga memberikan hasil negatif. Faktor lain yang mungkin terjadi adalah waktu inkubasi yang terlalu cepat pada saat pemberian substrat sehingga tidak ada ikatan antigen antibodi atau ikatan yang terlalu lemah sehingga tidak mampu mengikat warna substrat, disamping itu hasil negatif palsu disebabkan oleh perjalanan virus dari otak yang belum sampai pada kelenjar saliva submandibula, dari penelitian Fekadu (1982)16 diketahui bahwa hanya 60,00%-70,00% virus yang sampai di kelenjar saliva setelah bereplikasi di dalam sel saraf otak. Keempat uji alternatif tersebut (RIAD pada kelenjar saliva, RIAD pada hipokampus otak, dRIT pada hipokampus otak dan RIDT pada otak) memiliki sensitivitas yang relatif sama tingginya namun dalam hal ini metode RIAD pada kelenjar
Kesimpulan 1. Uji rabies metode RIAD dengan menggunakan sampel jaringan kelenjar saliva submandibula memiliki sensitivitas yang relatif sama dengan metode dFAT pada sampel otak HPR 2. Uji rabies metode RIAD dengan menggunakan sampel jaringan kelenjar saliva submandibula memiliki spesifisitas yang relatif sama dengan Metode dFAT pada sampel otak HPR. 3. Uji rabies metode RIAD dengan menggunakan sampel jaringan kelenjar saliva submandibula memiliki nilai prediktif positif yang relatif sama dengan metode dFAT pada sampel otak HPR. 4. Uji rabies metode RIAD dengan menggunakan sampel jaringan kelenjar saliva submandibula memiliki nilai prediktif negatif yang relatif sama dengan metode dFAT pada sampel otak HPR.
saliva memiliki kelebihan dalam hal jenis sampel yang dipakai, kelenjar saliva akan lebih mudah dalam pengambilan serta resiko infeksi yang lebih rendah dibandingkan pengambilan
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
7
Uji Diagnostik Metode Rabies Indirect Antigen Detection (RIAD) pada Kelenjar Saliva Submandibula Hewan Penular Rabies yang diduga terinfeksi Virus Rabies
Daftar Pustaka [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kemenkes RI. Soegiarto. 2010. Epidemiology of Rabies in Indonesia. Di dalam : New strategies For the control and prevention of zoonotic diseases. Prosiding SeminarInternasional, Surabaya, 22-23 Juni Surabaya. Fakultas Kedokteran HewanUniversitas Airlangga. Dinas Kesehatan Prop. Sumbar, Laporan Pelaksanaan kegiatan, 2012. Padang Rositter JP, Jackson AC. 2007. Pathology. In: Jackson AC and WH Wunner,Editor Rabies. Second Edition. Oxford. Academic Pr. B a l a i P e n y i d i k a n d a n P e n g u j i a n V e t e r i n e r, L a p o ra n Pelaksanaan Penyidikan Penyakit Rabies, Bukittinggi; 2012 B a l a i P e n y i d i k a n d a n P e n g u j i a n V e t e r i n e r, L a p o ra n Pelaksanaan Penyidikan Penyakit Rabies, Bukittinggi ; 2013 bnu., et al . 2014. Aplikasi Metode Rabies Indirect Antigen Detection ( RIAD) untuk mendeteksi antigen Virus Rabies pada Jaringan Otak, Prosiding Dit jenakeswan Kementrian Pertanian , 32-36
[OIE] Office International Des Epizooties. 2000. Manual Standards forDiagnosticTests and Vaccines. Rabies. http://www.oie.int. (11 Agustus 2009). Damayanti R, Alfinus, Rahmadani I, Faizal. 2009. Deteksi antigen virus Rabies pada jaringan otak dengan metode imunohistokimia. Prosiding SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Bogor. Sastroasmoro S, 2011. Dasar dasar metodologi penelitian klinis. Sagung Seto. Jakarta. Charlton KM, Casey GA, Campbell JB. 1984. Experimental Rabies in skunks:mechanisms of infection of the salivary glands. Can J Comp Med 47: 363-369. Dean DJ, Abelseth MK, Atanasiu P. 1996. The Fluorescence Antibodi Test. In ;Laboratory Techniques in Rabies. Geneva. Fourth Edition. hlm 88-95. Bhisma Murti, 2011 Validitas Dan Reliabilitas Pengukuran, M a t r i k u l a s i P ro g ra m S t u d i D o k to ra l , Fa k u l t a s Kedokteran, UNS Kang, BK et al., 2007. Evaluation of a rapid immunodiagnostic test kit for rabiesvirus. Elsevier Science diet. Journal of virologic methods . 145 : 30-36. Fekadu, Makonen. 1982. Pathogenesis of rabies virus infection in dogs : Do dog recover from clinical rabies?, 122-131. Atlanta , Georgia.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
8
Deteksi Antibodi Rabies Dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT)
di Balai Veteriner Bukittinggi
Yul Fitria 1), Rahmi Eka Putri 2), Martdeliza 1), Niko Febrianto 1) Medik LAboratorium Virologi 1), Paramedik LAboratorium Virologi 2)
Abstrak Telah dapat dilakukan pengujian RFFIT (Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test) virus di Balai Veteriner Bukittinggi. Merupakan gold standard pengujian titer antibody rabies dan sebagai alat ukur yang direkomendasikan OIE dan WHO. Prinsip pengujian ini merupakan virus netralisasi sebagai pengukur titer antibodi rabies pasca vaksinasi. Pengujian ini dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi rabies manusia, dan hewan pembawa rabies seperti anjing, kucing, kera, kerbau, sapi dan hewan pecobaan lainnya seperti kelinci. Pengujian dilakukan dengan sampel serum manusia 25 sampel, anjing 17 sampel, kelinci 9 sampel, sapi 12 sampel. Dari sampel yang dilakukan pengujian 55 sampel besar 0,5IU (protektif) dan 16 sampel kecil dari 0,5 IU (non protektif). Beberapa hasil pengujian RFFIT dibandingkan dengan kit ELISA rabies BIORAD dan PUSVETMA. Kata kunci : RFFIT, virus netralisasi
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Yul Fitria, yulfi
[email protected] 081363228468
1. Pendahuluan
I.2. Tinjauan Pustaka
1.1. Latar Belakang
WHO merekomendasikan pelaksanaan vaksinasi terhadap anjing dalam populasinya sebanyak 70% sehingga bisa mengontrol penyebaran penyakit rabies. Setelah pelaksanaan vaksinasi yang baik harus dilakukan evaluasi keberhasilan vaksinasi setelah 2 bulan pelaksanaan sehingga diketahui titer antibodi terhadap rabies. Pengujian titer antibodi rabies dilakukan dengan metode ELISA, RFFIT, FAVN, dan lain-lain sesuai fungsi. Gold standard pengujian titer antibodi rabies adalah dengan RFFIT (Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test). Pengujian ini direkomendasikan WHO untuk mentitrasi antibodi rabies pada manusia yang pernah divaksin rabies karena berbagai sebab.(Braas DA,2009).
Indonesia merupakan negara dengan angka tinggi kasus rabies. banyak hal yang menyebabkan rabies tidak bisa dimusnahkan dari Indonesia. Tapi tindakan yang konkrit yang tercantum dalam langkah-langkah penanggulangan rabies, belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik. Diantaranya vaksinasi pada hewan pembawa rabies. Lalu lintas hewan pembawa rabies belum optimal dilakukan. Vaksinasi yang dilakukan dengan baik harus dimonitoring titer antibodi dan kemampuan dalam menetralisasi virus rabies. RFFIT merupakan uji netralisasi invitro terhadap virus rabies dari serum atau antibody yang dihasilkan pasca vaksinasi. Balai Veteriner Bukittinggi sesuai dengan SK Mentri Pertanian tentang penunjukkan sebagai Laboratorium Referens Rabies Nasional, mengharuskan diri untuk mengadopsi berbagai pengujian yang mendukung dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan rabies nasional. Kerjasama pemerintah Australia-Indonesia memasukkan penguatan laboratorium Virologi Balai Veteriner Bukittinggi khususnya dalam mendiagnosa rabies. Selain pengukuran titer antibody rabies sebelum ini telah diluncurkan RIAD (Rabies Immuno-peroxidase Antigen Detection).
RFFIT merupakan uji yang menunjukkan konsentrasi antibody netralisasi terhadap rabies dalam darah sampel. Hal ini menggambarkan keadaan sistim imun zmerespon vaksin yang disuntikkan. Unit konsentrasi antibodi adalah International Unit (IU), dan konsentrasi netralisasi antibodi rabies adalah dalam satuan International Units per milliliter (IU/mL). prinsip pengujian ini adalah memberikan kesempatan serum dan virus rabies berinteraksi terlebih dahulu, dalam kasus ini proses netralisasi tergantung kemampuan antibodi masing-masing sampel. Kemudian ditambahkan sel yang menumbuhkan virus rabies seperti BHK-21 dan mouse neuroblastoma. Virus yang tidak ternetralisasi akan menginfeksi sel.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
9
Deteksi Antibodi Rabies dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) di Balai Veteriner Bukittinggi
Sel diwarnai dan dihitung banyak virus dalam 20 kali bidang pandang dengan mikroskop fluorescent.(Braas DA,2009). Membanding antara RFFIT dan ELISA sangat tidak sebanding, ahli tidak merekomendasikan untuk memvalidasi RFFIT dengan ELISA.karena hasilnya sangat berbeda. ELISA bukan virus netralisasi. Memvalidasi ELISA dengan RFFIT hal ini sangat bisa diterima. Ahli tidak merekomendasikan ELISA untuk pengujian pasca vaksinasi pada manusia yang digunakan adalah RFFIT. RFFIT digunakan untuk investigasi infeksi rabies akut dengan menguji serum, pemantauan respons antibodi serum pasca vaksinasi pada manusia dan sebagai basis untuk sertifikasi vaksinasi pada anjing dan kucing. (AAHL CSIRO). Sementara RFFIT dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi bereaksi silang pada rabies berhubungan dengan lyssaviruses seperti Lyssavirus pada kelelawar Australia karena perbedaan antigenik antara virusvirus dapat mempengaruhi sensitivitas.(Braas DA.2009) Untuk laboratorium hewan RFFIT sangat berguna karena fungsinya adalah memantau kondisi antibodi tenaga dokter hewan dan para staf di laboratorium yang secara langsung berhadapan dengan virus rabies. Pemantauan titer antibodi diwajibkan dilakukan sekali dalam enam bulan. Dalam pelaksanaan RFFIT harus dipersiapkan virus CVS 11 50FFD50/0.1ml, sel BHK (vaksin) yang mengandung 0.5 X106 sel/ml. Estimasi back titration terhadap FFD50 harusnya menunjukkan angka antara 30 sampai 90 FFD50. Hasil titer netralisasi dari serum Standar Internasional diestimasikan melalui perhitungan jumlah foci fluoresens pada setiap pengenceran dan kemudian menggunakan angka-angka tersebut dalam rumus REED dan MEUNCH (1938) untuk mengkalkulasi suatu titik akhir 50%, dengan prediksi pengenceran standar ini yang akan menghasilkan 10 bidang fluoresens. Internasional Standard OIE adalah 0,5 IU/ml. Angka stabilitasnya adalah antara 18-33.(AAHL,2008).
1.3. Tujuan Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran pengerjaan RFFIT di Balai Veteriner Bukittinggi.
2. Materi Dan Metode 2.1. Materi Pengujian ini menggunakan serum manusia, serum sapi, serum kelinci dan serum anjing yang divaksin dan terinfeksi rabies.
2.2. Metode Metode pengujian menggunakan metode RFFIT dan mengambil data sebelumnya dari hasil pengujian ELISA rabies Pusvetma dan Biorad.
Prosedur kerja RFFIT 1. PERALATAN § Slide Lab-Tek 8 Well Chamber, Permanox, cat # 177445. § Water bath (GA01033 di lab 3L3114) disetel pada suhu 56 °C § Stoples Coplin § Tempat pembuangan Burn bin § Pipet § Inkubator 2. REAGEN 3. BAHAN-BAHAN YANG DIBUTUHKAN 3.1 Bahan Kimia 3.1.1 Deterjen Pyroneg 3.1.2 Aidal Plus (21g/L glutaraldehyde) untuk dekontaminasi umum. 3.1.3 Aseton (Store Item) dalam stoples Coplin pada suhu – 20 °C. 3.1.4 Aseton 80% dalam PBS ABC pada suhu ruangan 3.1.5 Glycerol 3.1.6 Sigma Trizma® kristal yang sudah dipersiapkan pH 9.0 cat # T1444-10PA 3.2 Bahan biologis 3.2.1 Serum kontrol Serum kucing Normal Serum referensi OIE 3L3 128, -80°C (diencerkan hingga 0.5 IU/mL) 3.2.2 Virus Virus rabies CVS 11 - GAF0273 form –80°C sebagai 50µl stok kerja per tabung. 3.2.3 Media Kultur Basal Medium Eagle ( GIBCO cat # 21010-046) BME + 5% TPB Media pertumbuhan sel BHK 3.2.4 Sel-Sel BHK21 BTV Sel Galur Vaksin (Vaccine Strain Cells): disuspensi pada 0.75 X 106 per ml. 3.2.5 Bahan peyimpanan 1% w/v DEAE Dextran (10,000 ug/ml) dalam DD H2O PBS A PBS ABC PBSA + 10% BSA Air Steril TC 3.2.6 Pewarna sel 0.5% Evans Blue dalam DD H20 Centocor Anti-Rabies Monoclonal FITC Conjugate . Conjugate diluent Buffered Glycerol Mounting Medium pH 8.5 Cover Slips Glycerol
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
10
Deteksi Antibodi Rabies dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) di Balai Veteriner Bukittinggi
4. PERSIAPAN 4.1 Persiapan sampel 4.1.1 Penerimaan. Sampel yang diterima dapat berupa manusia, kucing, anjing, kelelawar dan terkadang sera dari hewan lainnya. Cairan Spinal Otak/Cerebrospinal fluid (CSF) dapat juga diterima dalam investigasi rabies manusia akut. Wadah yang disegel mengandung sampel-sampel untuk investigasi penyakit harus dibuka didalam biological safety cabinet. Wadah-wadah sekunder (tas plastic, kaleng, dsb.) yang mengandung sampelsampel serum untuk RFFIT dapat dibuka dengan sangat hati-hati di atas meja laboratorium. Periksa kondisi sampel dan catat pada SAN/dokumen bila terdapat kebocoran sampel, kualitas buruk, atau kondisi yang mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan antara sampel yang diterima dengan bahan yang teridentifikasi di dokumen yang menyertainya. Laporkan perbedaan apapun kepada penanggung jawab laboratorium. 4.1.2 Kriteria Penerimaan/Penolakan. Sampel diuji atas persetujuan dari penanggung jawab laboratorium untuk memastikan kualitas sampel, contohnya, serum tidak dalam kondisi haemolysis. Penerima sampel harus memastikan bahwa bahan yang diberikan telah diidentifikasi secara tepat, berupa serum atau CSF dan dalam kondisi baik untuk pengujian. Darah utuh (whole blood) dapat diuji setelah pemisahan serum, asalkan tidak ada haemolysis. 4.1.3 Penyimpanan. Sampel yang diterima adalah serum dan harus disimpan pada suhu +4oC guna menunggu pengujian. 4.1.4 Untuk memisahkan gumpalan darah dengan sentrifugasi, putar tabung kecil pada suhu ( t ) 2000 0K selama 15 menit. 4.1.5 Semua sampel serum harus diinaktivasi dengan panas pada suhu 56°C selama 30 menit sebelum dilakukan pengujian. 4.2 Persiapan sumber daya manusia (SDM) 4.2.1 Staf yang bekerja dengan virus hidup harus sudah mendapatkan vaksin rabies denfan titer antibodi minimal 0.5 IU/ml, cek kondisi titernya secara berkala setiap enam bulan. 5. PROSEDUR 5.1 Tahap Netralisasi Virus 5.1.1 Mulai dengan uji lembar awal VNT . Satu slide akan memerlukan titrasi pada standar internasional dan satu slide untuk back titration. 5.1.2 Serum di inaktivasi dengan cara memanaskan sampel
pada suhu 56°C selama 30 di dalam mesin penghangat air / waterbath. 5.1.4 Identifikasi ruang-ruang pada slide yang diperlukan dengan memberikan nomer dengan pinsil menurut lembar pencatatan sampel dan hasil. 5.1.5 Setiap uji serum biasanya discreen pada pengenceran 1:20 dan 1:200. Untuk titik akhir titrasi serangkaian dua-kali lipat pengenceran bisa digunakan (cth. dari 1:20 hingga 1:2560). Serum control internasional unit OIE 0.5 IU/ml diuji pada pengenceran 1:8 hingga 1:64. Pengenceran serum dikalkulasi pada konsentrasi serum akhir setelah penambahan virus dan dapat disiapkan di dalam chamber slide atau, jika sejumlah besar sera diperlukan untuk diuji, di dalam plat microtitre dan ditransfer ke dalam chamber slide. 5.1.6 Untuk screening sera pada pengenceran 1:20 dan 1:200, tambahkan 100µl BME dengan 5% TPB untuk setiap dua sumur. Tambahkan 11µl serum dari sumur pertama dan berikan pengenceran1:10. Campur dengan baik sebeleum mentransfer 11µl dari sumur pertama kedalam sumur kedua. Campur dan buang 11µl pada akhir. 5.1.7 Untuk pengenceran standar internasional OIE, tambahkan 300µl BME dengan 5% TPB ke dalam sumur paling atas kiri dan 100µl ke dalam enam sumur dasar chamber slide . 5.1.9 Untuk slide back titration virus, tamabahkan 100µl BME dengan 5% TPB kedalam 6 sumur pertama dari chamber slide, dan 200µl kepada 2 sumur terakhir untuk kontrol sel. 5.1.10 PADA TAHAP KERJA INI, PEKERJAAN DITRANSFER KE LABORATORIUM RABIES. Ambil slide dan BME +5% TPB untuk mengencerkan virus dan lakukan back-titration (1ml per slide + ~ 2ml). 5.1.11 Di dalam laboratorium rabies, lepaskan satu ampul Standar Internasional dan satu ampul bervolume 50µl untuk virus rabies CVS dari–80° C freezer dan biarkan mencair dalam cabinet. 5.1.12 Semua pekerjaan dilaksanakan di dalam BSC 2 5.1.13 Lengkapi rangkaian pengenceran standard internasional dengan menambahkan 100µl dari 0.5 IU/ml serum standar internasional OIE kepada 300µl medium di sumur pertama untuk memberikan pengenceran 1:4. Pindahkan 100µl kepada sumur atas kanan dan 100µl ke pada masing-masing sumur yang persis dibawahnya. Lanjutkan untuk melipat pengenceran dari slide-ke slide untuk memberikan duplikasi dari empat pengenceran. Pengenceran terkahir, diikuti dengan tambahan virus 100µl, dengan 1:8, 1:16, 1:32, 1:64.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
11
Deteksi Antibodi Rabies dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) di Balai Veteriner Bukittinggi
5.1.14 Virus rabies CVS 11 (0112-03-1701) diencerkan dalam BME dengan 5% TPB agar mengandung 50 ? 50% Dosis Fokus Flouresens (y.i. 50FFD50/0.1ml). Tambahkan 100µl virus yang telah diencerkan kepada semua sumur yang berisi serum dan kepada 2 sumur dari slide back titration. Gunakan pipet multi-stepper dengan dua ujung. Hati-hati agar tidak terkena percikan virus dari sumur. 5.1.15 Buatlah 2, pengenceran berlipat 10 virus dengan keenceran kerja (cth. 25µL pengencer kerja + 225µL BME/5% TPB, untuk 5 FFD50/0.1mL, kemudian 25µL dari pengencer ini + 225µL BME/5% TPB, untuk 0.5 FFD50/0.1mL) dan tambahkan 100µl dari setiap enceran kepada 2 sumur dari slide back titration. 5.1.16 Lakukan inkubasi terhadap slide-slide pada ruang tersebut pada suhu 35 °C dalam 5% CO2 selama 90 (± 15) menit. 5.1.18 Selama masa inkubasi, lakukan persiapkan suspensi sel BHK. 5.1.19 Gunakan untuk sel BHK yang sehat yang diperiksa dua hari sebelumnya, siapkan suspense sel BHK (vaksin) yang mengandung 0.5 X106 sel/ml dalam media pertumbuhan BHK, dan isikan 2 ml untuk setiap ruang slide. Simpan suspensi sel pada suhu +4°C hingga diperlukan. 5.1.20 Setelah virus/serum selesai inkubasi, berikan suspensi sel dengan cara menambahkan setiap ml sel masing-masing, 1µl of 1% DEAE dextran (konsentrasi final 10µg/ml). Campurkan dengan rata sebelum menambahkan 200µl sel yang telah diberikan treatment kepada setiap sumur (gunakan pipet multistepper dengan dua ujung). Perhatikan agar tidak membuat virus terpercik ke luar dari sumur. 5.1.21 Inkubasi pada suhu 35°C dalam 5 % CO2 untuk 22 sampai maksimal 24 jam. 5.2 Tahap Fiksasi Sel 5.2.1 Di dalam laboratorium rabies, bekerja dalam class 2 cabinet: 5.2.2 Lepaskan semua penutup dari chamber slide ruang dan buang. 5.2.3 Perlahan tuang medium dari kultur slide ruang ke dalam tempat pembuangan dengan larutan Pyroneg. 5.2.4 Pipet 200 hingga 400µl PBS ABC ke dalam setiap sumur. 5.2.5 Perlahan tuang PBS dari chamber slide ke dalam tempat pembuangan dengan larutan Pyroneg. 5.2.6 Pipet 200 hingga 400µl 80 % aseton ke dalam setiap sumur dan biarkan slide selama 2 menit. 5.2.7 Tuangkan 80 % aseton ke dalam pipet yang dibuang dengan sekitar 200 – 300 ml Virkon, tutup.
5.2.8 Lepaskan plastik dengan forcep dan buang ke dalam larutan Pyroneg atau kedalam tempat sampah burn bin. Biasanya gasket akan lepas tanpa housing. Jika ini tidak terjadi, lepaskan dengan forcep dan buang. 5.2.9 Taruh slides pada tempat rak slide. 5.2.10 Transfer tempat rak slide ke dalam aseton pada suhu – 20 °C dengan memindahkan stoples Coplin berisi aseton dari kabinet bersuhu – 20 °C, meletakkan rak stoples, dan memasukkan rak ke dalam stoples, dan mengembalikan suhu ke– 20 °C. 5.2.11 Sel difiksasi pada – 20 °C selama setidaknya 30 menit. 5.2.12 Ambil Stoples Coplin yang berisi slide ke kabinet dan keluarkan rak slide. Kembalikan stoples pada suhu– 20 °C dan biarkan slides kering udara di dalam cabinet. 5.3 Pewarnaan Sel. 5.3.1 Di dalam lab rabies, keluarkan 0.5ml aliquot dari bentuk conjugate – 80°C dan biarkan mencair. 5.3.2 Encerkan conjugate 1:20 dengan cara 10 ml conjugate diluent untuk memberikan conjugate dilution final 1:100. Filter menggunakan filter 0.45µm sebelum penggunaan. 5.3.3 Letakkan slide di baki untuk slide. Tambahkan conjugate di atas setiap kotak dengan sel tetap, kemudian sebar di atas area pewarnaan dengan ujung kuning terbalik. Tambahkan warna bila diperlukan, tetapi jaga agar tidak melebihi kapasitas slide, karena pewarna akan terbuang. (diperlukan 1 ml pewarna untuk setiap slide). 5.3.4 Inkubasi baki slide pada suhu 35 C dalam 5% CO2 selama 30 menit. 5.3.5 Ambil conjugate dari slide dan buang, kemudian bilas slides dengan mencelupkan 5 kali di dalam larutan PBS. 5.3.6 Keringkan slide di udara, tambahkan 2 tetes cairan mounting (lihat ) kepada slide and tutup dengan cover glass 5.3.7 Tambahkan 2 tetes cairan glycerol immersion di atas setiap penutup/cover slip sebelum pembacaan. 6. HASIL. 6.1 Pembacaan 6.1.1 Nyalakan mikroskop fluorescent 6.1.2 Periksa semua slide dibawah 20x glycerol immersion lens oleh epifluoresens. 6.1.3 Amati 20 bidang pandang pada setiap ruang dan hitung bidang yang mengandung sel fuoresens. 6.1.4 Catat hasil di dalam lembar pencatatan . 6.1.5 Catat bilamana ada sumur yang menunjukan sel yang jelek, yakni karena efek toksik serum.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
12
Deteksi Antibodi Rabies dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) di Balai Veteriner Bukittinggi
6.2 Syarat Hasil Pengujian diterima 6.2.1 Baca slide kontrol. 6.2.2 Sel kontrol harusnya tidak ada yang dengan berfluoresens. 6.2.3 Sumur dengan 50 FFD50/0.1ml harusnya memiliki 18 20 bidang positif, sumur 5 FFD50/0.1ml harusnya memiliki 10 - 20 bidang positif dan pada 0.5 FFD50/0.1ml seharusnya cukup karena dibawah 10 bidang positif. (Estimasi back titration terhadap FFD50 harusnya menunjukkan angka antara 30 sampai 90 FFD50). 6.2.4 Hasil titer netralisasi dari serum Standar Internasional diestimasikan melalui perhitungan jumlah foci fluoresens pada setiap pengenceran dan kemudian menggunakan angka-angka tersebut dalam rumus REED dan MEUNCH (1938) untuk mengkalkulasi suatu titik akhir 50%, dengan prediksi pengenceran standar ini yang akan menghasilkan 10 bidang fluoresens. Untuk standar OIE, 50% end point pengenceran harus berada di antara 6.5 unit internasional. 6.2.5 Jika kondisi ini tidak terpenuhi, laporkan masalah penerimaan kepada penanggung jawab laboratorium
yang akan menentukan jika semua atau sebagian dari uji tersebut harus diulang. 6.2.6 Kegagalan terus menerus uji tersebut dalam mzelewati standar pengendali, atau indikasi bahwa hasil akan tertunda oleh cara lain harus dengan segera dilaporkan kepada penanggung jawab laboratorium yang berwenang. 6.3 Interpretasi hasil 6.3.1 Hasil uji serum diekspresikan dalam unit internasional per ml oleh rasio uji tes serum dengan Serum Standar Internasional dikalikan dengan 0.5 untuk mengkonversi hasil menjadi IU/ml, maka é test serum 50 % titre é Test Serum ( IU / ml ) = ê ê X 0.5 ë Int.std serum 50 % titre ë
6.3.2 Tingkat netralisasi lebih dari 0.5 IU/ml dianggap signifikan. 6.3.3. Sampel-sampel dimana pengujian mengindikasikan tingkat antibody yang rendah dari 0.5 IU/ml harus dinilai ulang untuk memastikan validitas hasil awal. 7. KETAHANAN SPESIMEN Serum disimpan pada suhu –20 °C dan tinjau ulang setelah 6 bulan.
3. Hasil Pengujian dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2015 s/d 12 September 2015. Hasil dipaparkan dalam tabel berikut : Tabel 1. Hasil pengujian RFFIT dengan ELISA rabies Biorad dan Pusvetma RFFIT No
Jenis Sampel
1
ELISA PUSVETMA
ELISA BIORAD
Jumlah
>0,5
<0,5
>0,5
<0,5
>0,5
<0,5
Agenda
Keterangan
Manusia
25
25
0
-
-
-
-
2
Anjing, kucing, kera
6
3
3
-
-
-
-
233/2014
3
Sapi dan Anjing
7
3
4
1
6
-
-
03/2015
4
Sapi
9
2
7
-
-
0
9
160/2015
Digigit
5
Anjing
7
6
1
5
2
5
2
64/2015
Uji banding BBUS
6
Anjing
8
7
1
-
-
7
1
476/2015
7
Kelinci
9
9
0
-
-
-
-
penelitian
Gambaran sel BHK yang telah diwarnai kemerahan dan CVS 11 terwarnai hijau di dalam sel BHK. GAMBAR A
GAMBAR B Gambar 1 GAMBAR A Hasil negatif RFFIT. GAMBAR B Hasil positif RFFIT. Perbesaran 10x20
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
13
Deteksi Antibodi Rabies dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) di Balai Veteriner Bukittinggi
4. Pembahasan
5. Saran
Dari hasil pengujian semua serum dapat dilakukan pada pengujian ini, seperti disebutkan dalam tinjauan pustaka, serum manusia yang kita lakukan pengujian berasal dari staf Balai Veteriner Bukittinggi yang dilakukan vaksinasi setiap tahun. Hal ini sangat bermanfaat bagi monitoring titer antibodi para staf sehingga tidak perlu dilakukan vaksinasi rabies setiap tahun, hanya dengan melakukan monitoring titer setiap 6 bulan. Apabila hasil masih menunjukkan >0,5 vaksinasi belum dilakukan.
Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan validasi pengujian dengan laboratorium yang telah terakreditasi melakukan pengujian RFFIT atau dengan pengujian banding dengan FAVN yang merupakan gold standard pengujian titer antibodi rabies pada hewan dengan AAHL.
Pada pengujian sapi dengan kit ELISA Biorad, tidak kita rekomendasikan karena ELISA Biorad tidak dapat mendeteksi untuk sapi, hal ini tidak saya temukan di leaflet. Pada uji banding yang dilakukan BBUS yang mendatangi Balai, dan melakukan pengujian dengan ELISA PUSVETMA dan Biorad, terjadi kesesuaian uji antara kedua kit ELISA, tapi ada satu perbedaan pada RFFIT, hal ini karena pada uji netralisasi, kandungan apapun pada serum yang mengandung proteksi pada virus akan terbaca. Sampel serum anjing pada agenda 476/2015 terlihat persamaan, sebenarnya ada perbedaan, positif pada sampel yang berbeda, hal ini bisa terjadi karena perbedaan sensitifitas pada masing-masing pengujian. Pada sampel kelinci merupakan penelitian pada pembuatan poliklonal kelinci pada empat vaksin yang berbeda, dan memberikan hasil yang sangat memuaskan pada vaksin yang berbeda. Kesulitan dalam RFFIT adalah saat penerimaan sampel, sampel yang bisa kita lakukan pengujian adalah sampel yang tidak lysis, karena akan sangat mempengaruhi hasil titer. Serum hemolisa dan busuk akan merusak sel BHK atau sel lainnya sehingga virus tidak bisa tumbuh. Hal ini menjadi pertimbangan dalam pembacaan hasil, apabila sel rusak akan dilakukan pengulangan, dan bila tidak berhasil akan dilakukan pengguguran hasil.
Ucapan Terimakasih Atas terselenggaranya pengujian ini, kami mengucapkan terimakasih pada program kerjasama AIPEID, expert AAHL Dr. Andrea Certoma dan pak Jhon Allen. Pak M.Syibli dan Syafrison. Kemudian Kepala Balai dan teman-teman Virologi di Balai Veteriner Bukittinggi, atas kerjasama dan kerjakeras.
Daftar Pustaka AAHL CSIRO. 2008. Rabies Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) For the Measurement of Serum Neutralising Antibody to Rabies Virus (Serotype 1 Lyssavirus) Brass.DA. 2009. Rabies Serology and RFFIT : Determination of a Rabies Titer and What it really means. PRS Issue 109 Winter 2009.
Pada prosedur pengujian RFFIT diatas telah disebutkan, sebelumnya dilakukan inaktifasi serum, berfungsi untuk menjaga toksifikasi sel. Kemudian pengujian dilakukan dalam standar baku jumlah virus dan International Standard yang dihasilkan. Apabila hasil diluar standard akan dilakukan pengulangan uji. Uji sebelumnya gagal.
4. Kesimpulan Sesuai dengan tujuan penulisan ini menggambarkan kegiatan RFFIT di Balai Veteriner Bukittinggi telah mulai berjalan dengan baik dan dapat dilakukan secara rutin.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
14
Kasus Kematian Pedet Di BPTU HPT Padang Mangatas
periode Februari s/d April 2014 Dwi Inarsih 1), Katamtama Anindita 2), Azfirman 3)
Medik Laboratorium Bakteriologi 1), Medik Laboratorium Patologi 2), Kepala BVet Bukittinggi 3)
Abstrak Pada tanggal 22 April 2014 dilakukan investigasi oleh team Balai Veteriner Bukittinggi ke BPTU Padang Mangatas. Dari hasil pengamatan dan pemeriksaan lapangan diketahui pedet mengalami dehidrasi, bulu kusam, terdapat tahi mata berwarna kuning, feces menguning seperti pasta berwarna kuning serta tercium bau busuk di sekitar ternak. Metode yang dilakukan alah dengan pengumpulan informasi dan wawancara, serta pengambilan spesimen diambil berupa feses, air, rumput, serta organ. Hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan petugas diketahui bahwa telah terjadi kematian pedet secara sporadis di peternakan, dengan gejala klinis nafsu makan turun, bulu kusam, feses berwarna putih-kuning, nafas frekwen dan diikuti dengan kematian. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan bakteri patogen berupa Eschericia Coli, kadar nitrat hijauan yang cukup tinggi yaitu 2500 ppm, hal ini juga bisa menjadi pendukung terjadinya kelemahan umum pada pedet. Keracunan nitrat pada ternak terjadi sangat akut, ditandai dengan sesak nafas, tremor dan akhirnya mati dalam kurun waktu 30 menit sampai 6 jam. Nitrat pada hijauan yang termakan sapi, akan diubah menjadi nitrit oleh bakteri rumen. Nitrit dengan cepat terserap dalam tubuh ternak dan nitrit inilah yang sebenarnya menyebabkan keracunan pada ternak. Kata kunci : Colibasilosis, BPTU Padang Mangatas
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Dwi Inarsih,
[email protected] 085374177230
Pendahuluan Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Padang Mangatas yang berlokasi di lereng gunung Sago, Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian Per tanian, yang mempunyai visi menjadi pusat penghasil sapi potong unggul nasional. Sementara itu, BPTU mempunyai misi: 1. Meningkatkan populasi sapi potong. 2. Meningkatkan produksi dan Reproduksi Bibit sapi potong 3. Menyediakan bibit sapi potong unggul yang bersertifikat 4. Melakukan distribusi bibit sapi potong unggul 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparatur dan pelaku usaha sapi potong 6.Melaksanakan pelayanan teknis dan jasa bidang sapi potong 7. Menerapkan inovasi teknologi sapi potong Sebagai BPTU yang mempunyai misi menyediakan bibit sapi potong unggul bersertifikat, BPTU pernah menghadapi
kasus kematian pedet yang cukup merisaukan. Dimana sapi yang digembalakan di padang penggembalaan bersama anaknya, diketahui anaknya tiba-tiba sakit (demam, nafas frekwen, tinja putih/kuning) dan akhirnya mati. Sejak pebruari – April 2014 (3 bulan) terjadi kematian beruntun pada pedet di BPTU Padang mangatas. Diantaranya ada 9 cadaver yang dikirimkan di Balai Veteriner Bukittinggi untuk dilakukan nekropsi, dan menurut informasi dari BPTU, sebagian yang lain dilakukan nekropsi di lapangan. Hasil nekropsi di Balai Veteriner Bukittinggi, kebanyakan pedet mengalami perubahan pada paru – paru yaitu pembengkaan dan pengkejuan, trakhea berbusa, kerusakan pada organ pencernaan seperti vili usus rapuh, dan usus terisi gas yang cukup banyak. Beberapa pedet ditemukan infeksi pada kulit bahkan sudah ada yang mulai terinfestasi larva (belatung). Pada tanggal 22 April 2014 dilakukan investigasi oleh team Balai Veteriner Bukittinggi ke BPTU Padang Mangatas. Dari hasil pengamatan dan pemeriksaan lapangan diketahui pedet mengalami dehidrasi, bulu kusam, terdapat tahi mata berwarna kuning, feces menguning seperti pasta berwarna kuning serta tercium bau busuk di sekitar ternak.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
15
Kasus Kematian Pedet Di BPTU HPT Padang Mangatas Periode Februari s/d April 2014
dilakukan diagnosa secara PA. Organ yang mengalami perubahan PA dilakukan pemeriksaanHistopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Materi Dan Metode Materi 1. Pengumpulan informasi dan wawancara Tim investigasi melakukan pengamatan ternak sapi dan pedet di lokasi peternakan yaitu di BPTU – HMT Padang Mangatas Sumatera Barat. Wawancara dilakukan terhadap dokter hewan penanggung jawab ternak dan petugas pemeliharaan untuk mengetahui kronologis kejadian wabah penyakit hewan yang sedang berjangkit. Pengambilan spesimen juga dilakukan untuk pengujian di laboratorium 2. Pengambilan spesimen dan pengujian laboratorium Spesimen diambil berupa feses, air, rumput, serta organ ketika dilakukan bedah bangkai di Balai Veteriner Bukittinggi.
Metode a. Pengamatan lapangan Dilakukan pengamatan di BPTU Padangmangatas diantaranya mengamati gejala klinis, perubahan patologi anatomi. b. Nekropsi dan Pengamatan Histopatologi Dilakukan pengamatan dan pencatatan terhadap perubahan Patologi Anatomi(PA) pada saat nekropsi, kemudian
c. Kultur bakteri dan pengujian lainnya Dilakukan kultur bakteri dengan media selektif agar untuk menemukan agen patogen dan dilakukan pengujian toksikologi untuk sampel hijauan dan air. Tahapan dari isolasi adalah sebagai berikut, kultur / Inokulasi. Pada memeriksaan isolasi dan identifikasi sampel yang masuk ke laboratorium bakteriologi dilakukan dulu pengayaan pada media broth dan di inkubasi selama 18 - 24 jam di dalam incubator dengan suhu 37oC, kemudian di inokulasikan pada media agar yaitu media Mac Conkay sebagai media selektifnya. Di inkubasi selama 18-24 jam di dalam incubator dengan suhu 37oC kembali, lalu dilkukan makroskopis, pembuatan preparat dan pewarnaan gram, untuk selanjutnya mikroskopis untuk menentukan gram negative, kemudian lakukan Uji biokimia dengan menginokulasi koloni yang sudah dilakukan macros dan mikroskopis dan dinyatakan murni, kemudian lakukan Inkubasi lagi dalam incubator dengan suhu 37o C selama 18 – 24 jam, kemudian lakukan penambahan pereaksi dan yang terakhir lakukan identifikasi pada bakteri tersebut.
Hasil A
B Gambar b. Terlihat sisa feses yang masih menempel pada gluteus terlihat seperti pasta dan berwarna kuning (ditunjukkan anak panah)
Gambar a. Pada pengamatan di kandang pedet terlihat lesu, mengumpul di bawah lampu dan bulu tampak berdiri C
D Gambar d. Terlihat feses pedet yang sudah jatuh ke lantai kandang berwarna kuning seperti pasta (ditunjuk anak panah)
Gambar c. Terlihat tahi mata berwarna kuning E
F Gambar e. Pada saat nekropsi ditemukan feses masih menempel pada bulu ekor dan sekitar anus berwarna kuning (objek dilingkaran merah)
Gambar f. Diketahui lesi paru – paru dengan distribusi lesi fokal kranioventral atau bronchopneumonia.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
16
Kasus Kematian Pedet Di BPTU HPT Padang Mangatas Periode Februari s/d April 2014
G
H
Gambar h. terdapat fibrin pada alveoli, disertai dengan infiltrasi sel radang polimorfonuklear (neutrofil), pneumonia fibrinosa.
Gambar g. paru – paru mengalami pembengkaan (oedema)
Temuan lain saat nekropsi antara lain terdapat gumpalan seperti bentukan susu yang beraroma sangat asam pada rumen, omasum dan abomasum. Usus membengkak dan berisi gas yang berbau sangat busuk. Beberapa pedet yang dinekropsi terjadi pembengkaan paru – paru yang sangat ekstrem bahkan lengket pada dinding torak disertai adanya pus. Tabel 1. Hasil Pemeriksaan laboratorium sampel dari Lapangan Hasil Pemeriksaan laboratorium Investigasi Penyakit Hewan BPTU Padang Mangatas No
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Toksi Nitrat / Nitrit Amonia Chlor
Sampel
Kultur Bakteri
1
Feses
Escherichia Coli
2
Air
Jumlah koloni > 10 juta/ml
3
Feses
Jumlah koloni 17 juta/ml
Air
Alcaligenes Sp
4
Feses
Proteus Spp
5
Feses
Escherichia Coli
6
Feses
Proteus Spp
7
Rumput kering
(-)
100 ppm
(-)
8
Rumput segar
2500 ppm
50 ppm
(-)
9
DA
Parasit
PCRBVD
Ascaris Sp (-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(+)
Alcaligenes Sp
Ascaris Sp
sampel tidak memenuhi E. Coli (2)
Jumlah
1
Alcaligenes (2)
2
2
2
Tabel 2 Hasil pemeriksaan Laboratorium Bakteriologi sampel Nekropsi di Bvet Bukittinggi dari BPTU No
Agenda
Organ
Hasil Kultur Bakteri
1
63
Hati, Jantung, Paru, Limpa, Ginjal
Alcaligenes spp, Enterobacter sp, Proteus Vulgaris
2
84
Hati, Jantung, Paru, Limpa, Ginjal
Escherichia colli, Bacillus sp
3
175
Hati, Jantung, Paru, Limpa, Ginjal, usus.
Micrococcus, Escherichia colli, Enterobacter sp
4
218
Cairan perut dan feses
Escherichia colli
5
227
Organ
Micrococcus sp
6
279
Organ
Enterococcus aerogenes,
Pembahasan Hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan petugas diketahui bahwa telah terjadi kematian pedet secara sporadis di peternakan, dengan gejala klinis nafsu makan turun, bulu kusam, feses berwarna putih-kuning, nafas frekwen dan diikuti dengan kematian. Dalam tiga bulan terakhir lebih
dari 9 ekor pedet yang mati dikirim ke Balai Veteriner Bukittinggi untuk dilakukan nekropsi dan pemeriksaan laboratorium. Sementara masih banyak pedet yang mati di BPTU kemudian dilakukan nekropsi di lapangan. Dari anamnesa dan gejala klinis, diperkirakan pedet terinveksi penyakit menular.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
17
Kasus Kematian Pedet Di BPTU HPT Padang Mangatas Periode Februari s/d April 2014
Distribusi Lesio Paru
Kranioventral : Bronkhopneumonia
Difusa, gagal mengempis, oedema atau konsolidasi : Interstisial : Septisemia, Kerusakan Viral atau Toksin
Fibrinosa, nekrotika, supuratif, hemoragika : Bakterial atau Aspirasi
Multifokal &/ atau acak : Embolik
Abses : Bakteremia
Peneguhan diagnosa dilakukan dengan menemukan penyebab penyakit yaitu dilakukan kultur bakteri. Pada memeriksaan isolasi dan identifikasi sampel didapatkan hasil bakteri berbentuk batang / bacil bersifat gran negative, bersifat motil / non motil, catalase positif, oksidase negative, dapat memfermentasi gula, tidak tumbuh pada medium KCN, citrate negative, gas dubius, H2S negative, MR positif, VP negative, Indol positif, lisin dekarbocilase positif. Hal tersebut sebagai karakteristik dari bakteri Escherichia colli menurut Cowan. Kultur bakteri dilakukan pada sampel yang didapat dari kegiatan investigasi lapangan maupun sampel dari hasil nekropsi di Balai Veteriner Bukittinggi dari hewan yang mati di BPTU Padang mangatas yang diantarkan ke balai veteriner Bukittinggi dari sapi, ditemukan bakteri Eschericia Coli. Patogenesis dari kolibasilosis adalah sebagai berikut, di d a l a m s a l u ra n p e n c e r n a a n k u m a n E s c h e r i c i a C o l i menghasilkan enterotoksin (endotoksin), yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus untuk menutupi kekurangan , cairan dan elektrolit dari jaringan lain akan ditarik dan dimobilisasi kedalam usus. Akibat hal tersebut, jaringan diluar usus akan kekurangan cairan dan elektrolit, hingga mengalami dehidrasi dan goncangan keseimbangan elektrolit. Pada pedet yang mengalami kolibasilosis dikenal dengan tiga bentuk klinis yaitu bentuk enteric-toxaemic colibasilosis, septisemic kolibasilosis dan bentuk enterik colibasilosis. Bentuk toksemia ditandai dengan kelemahan umum yang sangat, suhu tubuh yang sub normal, pulsus lemah dan tidak disertai dengan diare. Kelemahan umum yang sangat mungkin segera diikuti dengan koma. Penderita dapat terjadi kematian
Lesio massa : neoplasia atau granuloma
dalam waktu yang singkat, 2 – 6 jam setelah tanda kelemahan umum yang sangat. Septisemic colibasilosis sering dijumpai pada pedet berumur kurang 4 hari, penyakit ini bersifat akut dan kematian dapat terjadi antara 24 – 96 jam tanpa gejala klinis yang jelas. Bila terdapat tanda – tanda klinis, hewan akan lemah dan depresi, tidak nafsu makan, suhu tubuh dan denyut nadi yang semula naik, kemudian turun drastis mencapai sub normal berbarengan dengan adanya diare. Gejala lain yang mungkin terlihat antara lain adalah lumpuh, sendi bengkak dan sakit, meningitis diikuti dengan panophthalmitis. Pada kolibasilosis bentuk enteric colibasilosis, tanda – tanda yang menyolok yaitu diare profus, tinja berbentuk pasta atau sangat berair, warna tinja putih atau kuning dengan bau yang sangat menusuk (gbr b, d dan e). Nafsu minum penderita segera hilang karena terjadi toksemia dan kelemahan umum (gbr. a). Penderita kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi, shock dan akhirnya terjadi kematian. Selain ditemukan bakteri patogen berupa Eschericia Coli pada pemeriksaan laboratorium juga ditemukan kadar nitrat hijauan yang cukup tinggi yaitu 2500 ppm sebagaiman tabel 1, hal ini juga bisa menjadi pendukung terjadinya kelemahan umum pada pedet. Keracunan nitrat pada ternak terjadi sangat akut, ditandai dengan sesak nafas, tremor dan akhirnya mati dalam kurun waktu 30 menit sampai 6 jam. Nitrat pada hijauan yang termakan sapi, akan diubah menjadi nitrit oleh bakteri rumen. Nitrit dengan cepat terserap dalam tubuh ternak dan nitrit inilah yang sebenarnya menyebabkan keracunan pada ternak.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
18
Kasus Kematian Pedet Di BPTU HPT Padang Mangatas Periode Februari s/d April 2014
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pemberian cairan faali dan elektrolit dipandang sangat penting dilakukan dalam praktek. Tergantung dengan derajat dehidrasi yang dialami oleh penderita. Bermacam – macam antibiotik dikenal cukup baik dalam mengatasi masalah pada kejadian kolibasilosis, antara lain tetrasiklin, neomisin dan streptomisin. Pemberian antibiotik pada pedet bisa berakibat pada resistensi. Pemberian antibiotik sekurang – kurangnya 7 hari sebelum dipotong.
Saran Hindari kandang yang terlalu padat, lantai kandang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, disinfektan dilakukan pada saat setiap pergantian ternak, tempat pakan dan minum diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mudah tercemar oleh feses. Anak sapi seharusnya mendapat kolustrum yang lengkap. Tempat pakan dan minum di desinfektan setiap sehabis digunakan. Pemberian pakan dan minum pada pedet dilakukan dari luar kandang untuk mencegah penularan
melalui sepatu, pakaian atau peralatan yang lain. Ternak baru dilakukan karantina dan disertai pengobatan profilaktik. Bagi peternakan yang sering terjadi kasus kolibasilosis, menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukan vaksinasi 2 – 4 minggu menjelang partus,
Daftar Pustaka Carter. G.R. and John R. Cole, Jr. 1990. Diagnostic Procedurs in Veterinary Bacteriological and Mycology. Fifth edition. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanoich, Publisher. San Diego. Cowan. S.T. 1975. Manual for the Identification of Medical Bacteria. Second edition. Cambridge University Press. Cambridge. London. Garry M. 2015. Patologi Kardiopulmonal. Lokakarya Pelatihan Pengambilan Spesimen dan Diagnostik Penyakit, Bogor. Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada Press. Jogjakarta.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
19
Surveillans Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dalam rangka Pemberantasan Tahun 2014 Rina Hartini , Martdeliza , Niko Febrianto , Wilna Sri , Rahmi Eka , Rio Nurwan , Desmira , Azfirman 1)
2)
2)
3)
3)
Kepala Seksi Informasi Veteriner 1), Medik Laboratorium Virologi 2), Paranedik Laboratorium Virologi
3)
3),
3)
4)
Kepala BAlai Veteriner Bukittinggi 4)
Abstrak Penyakit Hog Cholera merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis di dalam daftar Penyakit Hewan Strategis Nasional yang tercantum dalam Kepdirjen No:59/Kpts/PD.610/05/2007 9 Mei 2007, mendapat prioritas dalam usaha pencegahan, pengendaliandan pemberantasan. Untuk itu dilakukan surveillan di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dalam Megetehui prevalensi Hog Cholera. Jumlah sampel (sample size) dihitung dengan formula Sampling for Prevalence Studies dengan populasi target sebanyak 65.888 ekor, tingkat konfidensi 95%, perkiraan aras infeksi Hog Cholera 7 % dan galat (random error) sebesar 5%. Jumlah total sampel yang diperlukansebanyak 505 serum. Pemeriksaan antibodi CSF dilakukan secara Elisa Kompetitif. Reagen yang digunakan berupa Kit ELISA antibodi CSF VDPro ® CSFV Antibody C-ELISA Kit. Rev. 05, sedangkan Darah Antikoagulan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode PCR. Hasil pemeriksaan diperoleh hasil seopositif di Propinsi Riau 13.4%, Propinsi Jambi 26.5 % dan Kepulaun Riau 72.59 %. Tahun 2014 teridentifikasi antigen CSF tanpa gejala klinis di Prop. Riau di Kab.Indragiri Hulu dan Kab.Kampar. Hasil ini perlu menjadi perhatian Dinas agar dalam rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera. Kata kunci : Hog Cholera, Regional II, 2014
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Rina Hartini,
[email protected] 085274152218
Pendahuluan
Sejarah Hog Cholera di Regional II Bukittinggi
Penyakit Hog Cholera merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis di dalam daftar Penyakit Hewan Strategis Nasional yang tercantum dalam Kepdirjen No:59/Kpts/PD.610/05/2007 9 Mei 2007, mendapat prioritas dalam usaha pencegahan, pengendaliandan pemberantasan. P r i o r i t a s t e r s e b u t d i s e b a b k a n k a r e n a H o g C h o l e ra menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar dan berpengaruh dalam perdagangan.
Bulan Agustus 1995 yang berasal dari peternakan babi di Muara Kasang, Kota Padang. Dipeternakan tersebut terjadi wabah penyakit menular mengakibatkan kematian 619 ekor dari total populasi 3.300 ekor dan pada Bulan Agustus 1996 terjadi kematian 150 ekor dari total populasi 700 ekor yang berasal dari daerah Pekanbaru, Propinsi Riau. Dan pada Bulan April 1998 terjadi kematian babi di Kota Jambi, Propinsi Jambi. Dan semua sampel tersebut diperiksa di Balitvet dan diperoleh hasil positif Hog Cholera. Dengan demikian mulai tahun 1995 telah menyerang Wilayah reginal II Bukittinngi. Sehingga sejak tahun 1998 sampai sekarang BPPV telah melakukan Surveillans rutin diwilayah kerja yaitu Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau.
Babi merupakan salah satu komunitas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena mampunyai sifat-sifat menguntungkan diantaranya : laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran (litter size) yang tinggi, efesien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memeiliki adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha penegmbangan ternak babi dari aspek managemen adalah faktor kesehatan dan kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka terhdap penyakit salah satunya Hog Cholera.
Tujuan surveillans ini adalah Megetehui prevalensi Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau sehingga dapat ditindaklanjuti oleh Dinas peternakan atau Dinas yang membidangi kesehatan hewan dalam upaya Pemberantasan Hog Cholera.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
20
Surveillans Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dalam rangka Pemberantasan Tahun 2014
manual). Hal ini terdapat pada peternak besar (sebagai usaha pokok).
Materi dan Metode Materi Surveilans dilakukan dengan mengambil sampel berupa serum darah babi dan darah antikoagulan sebanyak 1 ml yang diambil secara acak untuk babi yang diambil serumnya, berasal dari beberapa petenakan babi rakyat yang dipelihara secara tradisional maupun peternakan babi yang dipelihara secara modern di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Tahapan strategi sampling yang digunakan adalah dengan total populasi babi Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dengan menggunakan Estimasi prevalensi. Jumlah sampel (sample size) dihitung dengan formula Sampling for Prevalence Studies dengan populasi target sebanyak 65.888 ekor, tingkat konfidensi 95%, perkiraan aras infeksi Hog Cholera 7 % dan galat (random error) sebesar 5% maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 101 ekor. Menurut Martin dkk, untuk mengukuhi bobot estimasi aras infeksi dengan persisi baik maka jumlah sampel yang terhitung sekurang-kurangnya dilipatgandakan 5 (lima) kali sehingga jumlah total sampel yang diperlukansebanyak 505 serum.
Pada kedua sistem pemeliharaan ini kandang bersih, sehat dan teratur. Pakan yang mereka berikan, berupa sisa rumah makan, dan sisa pasar dan dicampur dengan pakan pabrik ala kadarnya, sebagai penambah cita rasa. Secara umum babi cukup gemuk dan berisi. Sekitar umur 6 bulan babi dijual untuk dipotong.
Pengambilan Sampel di Lapangan Pengambilan sampel untuk monitoring Hog Cholera Propinsi yaitu Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Jumlah sampel yang diperoleh dari lapangan dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1. Jumlah pengambilan sampel babi tahun 2014 Provinsi
Kab / Kota
Hewan
Target
SD
DA
Riau
Kota Pekanbaru Rokan Hulu
Babi Babi
114 27
106 35
-
Dumai Kampar
Babi Babi
52 27
56 40
32 32
Pelelawan Rokan Hilir
Babi Babi
13 70
26 70
0
Siak Indra Giri Hulu
Babi Babi
27 12
30 15
30 15
Kepri
Meranti Kota Batam
Babi Babi
10 82
16 110
9 -
Jambi
Bintan Muaro Jambi
Babi Babi
12 42
25 55
38
Kota Jambi Batanghari
Babi Babi
7 10
17 7
0 6
Metode Pemeriksaan antibodi Hog Cholera dilakukan secara Elisa Kompetitif. Reagen yang digunakan berupa Kit ELISA antibodi Hog Cholera VDPro ® CSFV Antibody C-ELISA Kit. Rev. 05. Untuk sampel darah antikoagulan diperiksakan dengan metode PCR terhadap sampel yang serum diperiksakan secara Elisa diperoleh hasil seropositif Hog Cholera.
Hasil dan Pembahasan Hasil
Hasil Pemeriksaan Laboratorium dengan Metode Elisa
Pengamatan di Lapangan
Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel yang diperiksa diperoleh dari kegiatan Monitoring dan Surveillans Hog Cholera, diketahui hasil sebagai berikut :
Dari pengamatan dilapangan terhadap ternak babi yang dipelihara di Regional II, kondisi ternak sangat bervariasi. Ternak babi umumnya dipelihara oleh Etnis Tionghoa. Babi yang dipelihara sebagai pemenuhan kebutuhan untuk masyarakat non muslim yang membutuhkan daging babi. Umumnya babi dipelihara secara tradisional, dimana dibuat kandang petak-petak disekitar rumah mereka berupa kandang panggung. Kandang indukan dipisahkan dengan kandang anakan, terutama anak-anak yang sudah disapih. Namun demikian beberapa peternak telah memelihara babi dengan sistem modern memberikan pakan dan minum serba otomatis, kandang dari kawat baja/stainless dan semi modern (kandang dari beton, pemberian pakan dan minum masih
Tabel 2. Hasil pemeriksaan Elisa dan PCR HC di tahun 2014 Provinsi
ELISA HC
PCR HC
Jumlah
Sero
Sero
Jumlah
RIAU
394
53
341
35
4
31
JAMBI KEPRI
79 135
21 98
58 37
2 25
-
2 25
JUMLAH
606
172
436
62
4
58
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
21
Surveillans Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dalam rangka Pemberantasan Tahun 2014
Tabel 3. Hasil pemeriksaan Elisa dan PCR HC di Prop. Riau tahun 2014 ELISA HC
Lokasi
Jml
Dumai Dumai Timur Indra Giri Hulu Pesisir Penyu Kampar Siak Hulu Kep. Meranti Tebing Tinggi Pekanbaru Rumbai
PCR HC
Sero Sero Jml
Bukit Batrem
56
-
56
-
-
-
Tanah Merah
15
3
12
3
3
-
Baru
40
2
38
1
1
-
Alah air
16
2
14
1
-
1
Muaro Fajar Palas
84 22
26 2
58 20
20 5
-
20 5
Pgln Kuras Timur
26
1
25
-
-
-
70
16
54
-
-
-
35
-
35
-
-
-
14 5 11 394
1 53
14 5 10 341
3 1 1 35
4
3 1 1 31
Pelelawan Pkln. kerinci
Rokan Hilir Bagan sinembah Bagan batu Rokan Hulu Tambusai Batas Siak Dayun Dayun Kandis Kandis Kota Minas Minas Timur JUMLAH
Tabel 4. Hasil pemeriksaan Elisa dan PCR HC di Prop. Jambi tahun 2014 ELISA HC
Lokasi
Jml
PCR HC
Sero Sero Jml
Batang Hari Muara Tembesi
Kampung baru
7
-
7
-
-
-
Kota baru
17
-
17
-
-
-
Jambi Luar Kota Muaro Pijoan
44
17
27
-
-
-
Kumpeh Hulu
11
4
7
2
-
2
79
21
58
2
-
2
Jambi Jelatung Muaro Jambi Kasang lpk. Alai
JUMLAH
Tabel 5. Hasil pemeriksaan Elisa dan PCR HC di Prop. Kepri tahun 2014 Lokasi
Jml
ELISA HC Sero Sero
PCR HC Jml
Batam Bulang
Pulau Bulan
110
97
13
-
-
-
Bintan Timur
Batu Licin
10
1
9
10
-
10
Toapaya
Toapaya
15
-
15
15
-
15
135
98
37
25
-
25
Bintan
JUMLAH
Pembahasan Ada 3 pendekatan yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Hewan dalam melakukan kebijakan pemberantasan dan pengendalian menghadapi Hog Cholera yaitu : target pembebasan, Tindakan Pemberantasan dan Pengendalian serta Monitoring dan Evaluasi. Target pembebasan Hog Cholera dilakukan berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Balai Veteriner Bukittinggi pada masing-masing daerah. BVET Bukittinggi direncanakan bebas Hog Chorela yang dilakukan dengan pembebasan propinsi per propinsi. Tindakan Pemberantasan dan Pengendalian dilakukan dengan penutupan wialayah merupakan tindakan pencegahan yang baik untuk mengurangi penyebaran penyakit. Namun demikian tindakan ini memerlukan pertimbangan yang matang terutama menyangkut status wilayah terhadap kasus Hog Cholera. Kriteria dimaksud adalah tentang wilayah bebas atau daerah bebas, daerah tersangka dan daerah tertular. P a d a D a e ra h B e b a s k r i t e r i a n y a a d a l a h d i l a ra n g memasukkan ternak babi, bahan hasil ternak dan hasil ikutannya dari daerah tertular dan dari daerah tersangka, dilarang membawa atau memasukkan vaksin Hog Cholera dan melakukan vaksinasi. Selain itu dilakukan Penyidikan serologis untuk memberikan keyakinan bahwa daerah tersebut tetap bebas terhadap Hog Cholera, penyidikan dilakukan secara sampling pada lokasi yang dianggap rawan sesuai yang diperlukan serta pemantauan/monitoring dilakukan terhadap kasus-kasus yang dicurigai. Daerah Tersangka perlakuannya sama dengan daerah bebas. Penyidikan dan monitoring/pemantauan lebih intensif bila dibandingkan dengan daerah bebas dan perlu kepastian status daerah ini terhadap Hog Cholera (status tertular atau bebas) melalui penyidikan dan penelitian. Sedangkan, pada Daerah Tertular dilakukan Pengawasan Lalu Lintas. Ternak, hasil ternak dan bahan ikutannya yang masuk ke daerah tertular melalui tindak karantina/penolakan sesuai peraturan yang berlaku, diantaranya harus mempunyai Surat Keterangan Kesehatan Hewan dari Dokter Hewan yang berwenang dari daerah asal ternak. Ternak (babi) yang berasal dari daerah tertular harus sudah divaksinasi Hog Cholera di daerah asal dan Ternak babi yang berasal dari daerah bebas, tersangka harus divaksinasi di karantina hewan tujuan. Pencegahan penyakit dilakukan dengan vaksinasi setiap tahun pada semua populasi ternak terancam. Kriterianya adalah vaksin yang boleh digunakan adalah vaksin yang telah mendapat rekomendasi dari pemerintah, pada peternakan skala komersil (usaha peternakan) pengadaan vaksin dilakukan secara swadaya dan pelaksanaan vaksinasi
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
22
Surveillans Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dalam rangka Pemberantasan Tahun 2014
dilakukan oleh Dokter Hewan. Sedangkan, pada peternakan rakyat, untuk membudayakan pelayanan dilakukan pembinaan kelompok oleh Poskeswan/Dinas Peternakan. Petenakan rakyat yang belum berswasembada diberikan subsidi vaksin Hog Cholera dengan biaya operasional ditanggung oleh pemerintah. Kegiatan monitoring dilakukan oleh pusat/daerah dan Bvet selama pelaksanaan lapangan masih berlangsung baik pada peternakan raknyat atau pada perusahaan atau peternakan komersil. Evaluasi dilakukan oleh pusat dan daerah dengan materi yang dievaluasi antara lain distribusi sarana (vaksin, obatan dan peralatan), realisasi pelaksanaan operasional (vaksinasi, pengobatan, diagnosa serta situasi penyakit (sakit, mati, kasus terkhir). Di Propinsi Riau ditargetkan sampel sebanyak 409 sampel, dari kegiatan diperoleh sampel sebanyak 394 sampel (96%). Sampel yang diperiksa tahun 2014 diperoleh hasil diperoleh hasil bahwa sebanyak 53 sampel dari 394 sampel (13,5%) HC seropositif dan 341 sampel (86,5%) HC seronegatif. Hal ini menunujukkan penurunan kejadian seropositif dibandingkan tahun 2013 sebanyak 88 sampel dari 475 sampel (22.7%) HC seropositif. Sebanyak 35 sampel darah antikoagulan yang serumnya seropositif diperiksakan dengan metode PCR diperoleh hasil sebanyak 4 sampel positif Hog Cholera. Hasil positif ini berasal dari Kabupaten Indragiri Hulu, Kecamatan Pesisir Penyu, Desa Tanah Merah sebanyak 3 sampel darah antikoagulan yang diperiksakan berasal dari serum yang seropositif, sedangkan satu sampelnya lagi berasal dari Kabupaten Kampar, Kecamatan Siak, Desa Baru sebanyak 1 sampel. Hasil ini menunjjukan bahwa di daerah ini ada agen virus hog cholera tetapi tidak menunjukkan gejala klinis seperti terlihat pada tabel 3. Di Propinsi Jambi ditargetkan sampel sebanyak 59 sampel, dari kegiatan diperoleh sampel sebanyak 79 sampel (133%). Di Propinsi Jambi, dari total sampel yang diperiksa diperoleh hasil bahwa sebanyak 21 sampel dari 79 sampel (26%) seropositif dan 58 sampel (974,40.8%) seronegatif hal ini peningkatan prevalensi dari pada tahun 2013 dari total sampel yang diperiksa diperoleh hasil bahwa sebanyak 7 sampel dari 76 sampel (9.82%) seropositif dan 69 sampel (90.8%) seronegatif. Sebanyak 2 sampel yang diperiksakan PCR diperoleh hasil negatif Hog Cholera seperti terlihat pada tabel 4. Di Kota Jambi, Kecamatan Kota Baru 100% seronegatif Hog Cholera. Di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi Luar Kota 38,6% HC seropositif (17/44), di Kecamatan Kumpeh Hulu 36,4% seropositif Hog Cholera (4/11) sistem pemeliharaan di Kabupaten Muaro Jambi ini secara tradisional dan modern. Sedangkan terhadap 2 sampel darah antikoagulan yang
diperiksakan PCR menunjukkan hasil negatif Hog Cholera seperti terlihat pada tabel 4. Di Propinsi Kepulauan Riau ditargetkan sampel sebanyak 37 sampel, dari kegiatan diperoleh sampel sebanyak 135 sampel. Total sampel yang diperiksa diperoleh hasil bahwa sebanyak 98 sampel dari 135 sampel (72,6%) seropositif dan 37 sampel (27,4%) seronegatif. Sampel dari Kota Batam sebanyak 110 sampel dan diperoleh 97 sampel seropositif dan hal ini berasal dari babi yang divaksinasi. Kabupaten Bintan diperoleh sampel sebanyak 25 sampel, diperoleh 1 sampel seropositif Hog Cholera. Hal ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 sebanyak 20 sampel dari 206 sampel (9,7%) seropositif dan 186 sampel (90,3%) seronegatif. Sedangkan terhadap 25 sampel darah antikoagulan yang diperiksakan PCR menunjukkan hasil negatif Hog Cholera seperti terlihat pada tabel 4.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Surveillans dan monitoring Hog Cholera di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dari tahun 2014 tidak dilaporkan adanya kasus yang menunjukkan adanya gejala Klinis Hog Choler tetapi teridentifikasi antigen Hog Cholera tanpa gejala klinis di Prop. Riau di Kab.Indragiri Hulu dan Kab.Kampar perlu menjadi perhatian Dinas.
Saran 1. Perlu dilakukan Surveillans terstruktur dalam upaya mengetahui prevalensi untuk propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. 2. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap keluar masuknya babi.
Daftar Pustaka Anonimus, Office International des Epizooties, World Organisation for Animal Health, “Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines, Fourth Edition, 2000. Anonimus, Manual Penyakit Hewan Mamalia, Dirkeswan, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Depar temen Pertanian, 2001 Nasution, S. S., 2008, Dugaan infeksi porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS), Makalah pada Pertemuan Patologi 2008 di Bukittinggi. Nelson, E. A., ChristopherHennings, J., Benfield, D. A., 1994, Serum immune response to the proteins of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) virus, J. Vet. Diagn. Invest. 6: 410-415.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
23
Deteksi Penyakit Enzootik Bovine Leukosis - EBL di BPTU HPT Padang Mengatas Martdeliza 1), Nico Febrianto 1) , Rahmi Eka Putri 1), Desmirai 1), Wilna Srii 1), Rio Nurwani 1), Azfirman 2) Medik dan Paramedik Laboratorium Virologi Balai Veteriner Bukittinggi 1), Kepala Balai Veteriner Bukittinggi 2)
Abstrak Enzootik Bovine leukosis (EBL) adalah penyakit lymphoproliferative pada sapi yang disebabkan oleh bovine leukemia virus (BLV), famili Retroviridae. Penyakit ini menyerang sapi semua umur, termasuk tahap embrio. Serangan berakibat lebih fatal pada sapi dewasa. Adanya kebijakan pemerintah tentang ternak bibit, dimana setiap ternak bibit yang masuk dari luar wilayah (dalam negeri/luar negeri) kedalam suatu pembibitan harus bebas dari penyakit menular sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia, salah satu penyakit tersebut adalah penyakit EBL. Tulisan ini bertujuan untuk deteksi EBL pada sapi bibit di BPTU Sapi Potong Padang Mengatas. Dilakukan pemeriksaan secara serologis terhadap 866 ekor sapi yang ada di BPTU Padang Mengatas. Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode uji ELISA menggunakan kit komersial. Dari 866 sampel yang diuji, 842 serum seronegatif, 3 serum suspect dan 14 serum menunjukkan hasil seropositif terhadap BLV. Secara klinis sapi-sapi yang diambil sampelnya sehat dan adanya hasil uji seropositif kemungkinan karena sebagian besar sapi-sapi yang ada di BPTU Padang Mengatas berasal dari Australia jadi ada kemungkinan sapi-sapi tersebut pernah divaksin/terinfeksi didaerah asalnya. Untuk mengetahuinya perlu dilakukan uji lanjutan untuk identifikasi virus EBL melalui PCR atau isolasi pada selaput korio alantois telur ayam berembrio. Kata Kunci : Enzootik Bovine Leukosis, BPTU HPT Padang Mangatas
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Martadeliza,
[email protected] 081236810270
Pendahuluan Enzootik Bovine leukosis (EBL) adalah penyakit lymphoproliferative pada sapi yang disebabkan oleh bovine leukemia virus (BLV), famili Retroviridae. Penyakit ini menyerang sapi semua umur, termasuk tahap embrio. Sebagian besar infeksi bersifat subklinis, Serangan BLV pada sapi yang berumur diatas 3 tahun, 30 – 70% % menyebabkan lymphocystosis persisten, dan sebagian kecil (0,1% - 10%) menyebabkan lymphosarcomas (tumor) di berbagai organ. Infeksi alami dapat juga terjadi pada kerbau. Gejala klinis tergantung pada organ yang diserang (pernapasan, sirkulasi, reproduksi, pencernaan, urinary dan sistem saraf) seperti gangguan pencernaan, inappetance, penurunan berat badan, kelemahan umum dan lain-lain. Kelenjar getah bening superficial dapat jelas terlihat membesar dan dapat teraba di bawah kulit. Pada nekropsi, di kelenjar getah bening dan berbagai jaringan terlihat infiltrasi sel-sel neoplastik. Organ yang paling sering terinfeksi adalah abomasum, jantung, limpa, usus, hati, ginjal, omasum, paru-paru, dan uterus. Terjadinya lymphocytosis persisten atau lymposarcoma dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada sapi perah penyakit EBL menyebabkan penurunan produksi susu. Selain itu, tingkat
konsepsi 7% lebih rendah pada sapi positif EBL dibandingkan dengan sapi negatif EBL. Sapi yang menderita EBL lebih rentan terhadap penyakit infeksi lainnya, seperti mastitis, diare dan pneumonia.Sapi yang menderita lymphosarcoma hampir selalu mati mendadak, atau mati beberapa minggu atau beberapa bulan setelah gejala klinis muncul Bovine leukemia virus adalah exogenous retrovirus dari genus Deltaretrovirus sub family Orthoretrovirinae dan family Retroviridae. Secara struktural dan fungsi berhubungan dengan virus primate T-lymphotropic 1, 2, dan 3 (STLV-1,-2,-3) dan virus human T-lymphotropic 1 dan 2 (HTLV-1 dan -2). Target sel yang utama dari BLV adalah lymphocytes B. Partikel Virus BLV terdiri dari RNA untai tunggal, nukleoprotein p12, capsid protein p24, transmembrane glycoprotein gp30, envelope glycoprotein gp51 dan beberapa enzim termasuk reverse trascriptase. Penyebaran virus terutama secara horizontal. Sapi terinfeksi jika terpapar limfosit yang terinfeksi virus dalam darah, sekresi dan ekskresi. Transmisi dapat terjadi melalui penggunaanjarum suntik yang terkontaminasi darah hewan positif EBL, instrumen untuk tatoatau dehorningdan palpasi rektal menggunakansarung tangan terkontaminasi serta susu dari sapi yang terinfeksi.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
24
Deteksi Penyakit Enzootik Bovine Leukosis - EBL di BPTU HPT Padang Mengatas
Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini, pengujian dan menghapus hewan positif dari kawanan merupakan salah satu metode kontrol. Penyakit ini belum pernah dilaporkan terjadi diwilayah kerja BVet Bukittinggi. Selama ini BVet Bukittinggi juga belum pernah melakukan diagnosa untuk mendeteksi penyakit EBL. Tetapi dengan adanya kebijakan tentang ternak bibit dimana setiap ternak bibit yang masuk dari luar wilayah (dalam negeri/luar negeri) kedalam suatu pembibitan harus bebas dari penyakit menular sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. Ternak Bibit harus bebas dari penyakit berikut : a. Anthrax b. Brucellosis c. Bovine Genital Campylobacteriosis (BGC) d. Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) e. Enzootic Bovine Leucosis ( EBL) f. Trichomonosis g. Bovine Viral Diarrhea (BVD) h. Leptospirosis i. Anaplasmosis j. Babesiosis k. Theilleriosis l. Septichaemia Epizotica (SE) m.Tuberculosis (TBC) n. Surra o. Johne's disease (Para Tuberculosis) p. Parasit cacing
Materi Dan Metode Sampel berupa serum sapi yang diambil dari BPTU Sapi Potong Padang Mengatas. Metode uji serogi yang dilakukan adalah metode ELISA dengan menggunakan Enzootic Bovine Leukosis Virus (BLV) antibody Test Kit. IDEXX
Prosedur uji ELISA Enzootic Bovine Leukosis Virus (BLV) antibody Test Kit. IDEXX Semua reagen dikeluarkan dan suhunya 18 - 26 °C sebelum digunakan. Semua sumuran mikroplate diisi dengan 190 ul dilution buffer N2 kemudian sumuran A1 dan B1 diisi dengan 10 ul kontrol positif, sumuran C1 dan D1 diisikan 10 ul kontrol negatif, selanjutnya sumuran lainnya diisikan sampel masingmasing sebanyak 10 ul, pengujian terhadap sampel dilakukan secara simplo. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl konjugat yang telah diencerkan pada semua sumuran. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 30 menit pada suhu 37°C. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl TMB substrat pada semua sumuran, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 20 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl stop solution pada semua sumuran. Setelah 20 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450 nm Penghitungan dilakukan dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam manual KIT. Sampel dikatakan seropositif jika nilai S/P lebih besar atau sama dengan 115 %. Sampel seronegatif jika nilai S/P kecil atau sama dengan 85%. Suspect jika nilai S/P diantara 85 % dengan 115 %
q. Parasit darah BPTU Sapi Potong Padang Mengatas merupakan Unit Pelaksana Teknis Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berperan dalam menghasilkan bibit ternak sapi potong unggul, yang berlokasi di Padang Mengatas. Lokasi BPTU Padang Mengatas ini termasuk wilayah kerja dari Balai Veteriner Bukittingi sehingga BVet Bukittinggi ikut bertanggungjawab untuk memonitoring penyakit hewan di BPTU Padang Mengatas. Dari daftar penyakit diatas, EBL termasuk penyakit yang harus bebas dari ternak bibit. Sebelumnya BVet Bukittinggi belum pernah melakukan pengujian untuk mendeteksi BLV, pada tahun 2015 BVet Bukittinggi melakukan pengujian terhadap EBL menggunakan metode ELISA, memakai kit komersial. Tulisan ini bertujuan untuk deteksi EBLpada sapi bibit di BPTU Sapi Potong Padang Mengatas
Hasil dan Pembahasan Sampel berasal dari BPTU Sapi Potong Padang Mengatas. Pengambilan sampel dilakukan oleh tim dari BVet Bukittinggi dibantu oleh tim dari BPTU Padang Mengatas. Pengambilan sampel dilakukan 2 tahap. Tahap pertama diambil sebanyak 459 sampel serum dan tahap 2 sebanyak 407 sampel serum. Sampel serum tahap 1 dan sampel serum tahap 2 berasal dari sapi yang berbeda. Tabel 1: Hasil serologis EBL pada sapi BPTU Padang mengatas No
Jumlah Sampel
Jenis Hewan
Negatif EBL
1
459
Sapi
456
2
407
Sapi
385
Total
866
841
Suspect EBL Positif EBL
3 14 3
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
14
25
Deteksi Penyakit Enzootik Bovine Leukosis - EBL di BPTU HPT Padang Mengatas
Dari 866 sampel yang diuji, 842 serum seronegatif, 3 serum suspect dan 14 serum menunjukkan hasil seropositif terhadap BLV (Tabel 1). Secara klinis sapi-sapi yang diambil sampelnya sehat dan adanya hasil uji seropositif kemungkinan karena sebagian besar sapi-sapi yang ada di BPTU Padang Mengatas berasal dari Australia jadi ada kemungkinan sapi-sapi tersebut pernah divaksin/terinfeksi didaerah asalnya. Untuk mengetahuinya perlu dilakukan uji lanjutan untuk identifikasi virus EBL melalui PCR atau isolasi pada selaput korio alantois telur ayam berembrio. EBL pertama kali dilaporkan pada Tahun 1878 di Jerman. Penyakit iniditemukan di Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, SwediaAustralia, New Zealand, Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruhdunia dengan angka kejadian bervariasi dari 4 sampai 24,3%. Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensifmemiliki angka kejadian ter tinggi, seper ti Amerika Serikat, Kanada, Eropa,Australia dan Jepang. Di Indonesia, secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya,Cilacap dan Sukabumi. Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan dibeberapa organ dan kelenjar limfe (manual penyakit hewan mamalia,2014). Belum ada pengobatan untuk penyakit EBL Sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahaninfeksi EBL. Satu-satunya cara pencegahan yang terpenting adalah test andslaughter. Pengendalian didasarkan pada penyingkiran hewan seropositifdan mempertahankan sistem kompartementalisasi dengan mengimpor sapidari daerah bebas EBL (manual penyakit hewan mamalia,2014).
Kesimpulan Dan Saran Dari 866 sampel serum sapi BPTU Padang Mengatas yang diuji, 842 serum seronegatif, 3 serum suspect dan 14 serum menunjukkan hasil seropositif terhadap BLV. Karena sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahaninfeksi EBL. Satu-satunya cara pencegahan yang terpenting adalah test andslaughter. Pengendalian didasarkan pada penyingkiran hewan seropositifdan mempertahankan sistem kompartementalisasi dengan mengimpor sapi dari daerah bebas EBL
Daftar Pustaka Anonimus, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.Direktorat Kesehatan Hewan.Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.Kementerian Pertanian Indonesia http://digilib.bppt.go.id/sampul/001181.pdf Kondisi Kesehatan Hewan di Indonesia Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor : 105/Kpts/Ot.130/F/07.2007 Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan Dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan PD Kirkland dan BJ Rodwell. 2005. Enzootic Bovine Leukosis. Australia and New Zealand Standard Diagnostic Procedures. May 2005
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
26
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014 Rina Hartini , Budi Santoso , Kurnia Adesa , Azfirman 1)
2)
3)
4)
Kepala Seksi Informasi Veteriner 1), Medik laboratorium Parasitologi 2), Paramedik LAboratorium Parasitologi 3), Kepala BAlai Veteriner Bukittinggi 4)
Abstrak Distomatosis umumnya menyerang hewan ruminansia dan merupakan salah satu penyakit parasiter yang penting, terutama pada sapi dan kerbau. Kejadian distomatosis pada temak ruminansia tersebut berkaitan erat dengan pencemaran metaserkaria, yang merupakan larva infektif cacing trematoda genus Fasciola spp., seperti Fasciola gigantica dan F. hepatica, dalam hijauan pakan dan air minum ternak. Kerugian ekonomi akibat penyakit ini tidak kurang dari Rp. 313,6 milyar setiap tahunnya dan kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, hilangnya karkas/hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20% dan biaya pengobatan. Kasus distomatosis pada teknak ruminansia di wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi hampir ditemukan pada semua Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dari Tahun 2011 s/d 201. Dari pemeriksaan feses di Laboratotium Bvet Bukittinggi dapat dilihat bahwa di wilayah regional II pada tahun tahun 2011 sebanyak 1.350 sampel yang diperiksa, 384 sampel (28.4%) terinfestasi Fasciola sp., tahun 2012 sebanyak 1.407 sampel, 296 sampel (21%), tahun 2013 sebanyak 94 sampel (8.6%) dari 1.097 sampel, dan tahun 2014 sebanyak 242 sampel (30.8%) dari 786 sampel. Keberhasilan dari upaya pencegahan, pemberantasan dan pengendalian sangat ditentukan oleh kerjasama yang baik dan terpadu antara petani, peternak, penyuluh pertanian, laboratorium dan para pengambil kebijakan. Kata Kunci : Distomatosis, Giemsa, Regional II Bukittinggi
Afiliasi Penulis
Korespondensi
Balai Veteriner Bukittinggi
Rina Hartini,
[email protected] 085274152218
Pendahuluan Distomatosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. Pada umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Siput yang bertindak sebagai induk semang perantara bagi cacing fasciola yang ada di Indonesia adalah Lymnea rubiginosa. Boray (1978), menerangkan bahwa L. rubiginosa merupakan siput yang resisten terhadap infeksi mirasidium F hepatica. Gejala yang menonjol adalah oederna dibawah rahang bawah pada ruminansia yang menderita distomatosis kronis. Indonesia merupakan negara beriklim tropis basah, sehingga sangat cocok untuk perkembangan cacing hati. Distomatosis di Indonesia merupakan penyakit yang cukup penting dan kerugian yang ditimbulkan cukup tinggi. Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi ruminansia besar mencapai 60% dan pada domba 20%.
Telur fasciola masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja hospes definitif. Di luar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke tubuh siput muda, yang biasanya genus Lymnaea rubiginosa. Di dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang. Pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista. Berat ringannya penyakit distomatosis tergantung pada jumiah metaserkaria yang tertelan dan infektifitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Disamping itu juga tergantung pada stadium infeksi yaitu migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu. Infeksi Fasciola sp. dapat bersifat akut maupun kronis.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
27
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola hepatica (Christensen, 2005) Pa d a S a p i p e n d e r i t a a k a n m e n g a l a m i g a n g g u a n pencernaan berupa konstipasi atau sulit defekasi dengan tinja yang kering. Pada keadaan infeksi yang berat sering kali terjadi mencret, ternak terhambat pertumbuhannya dan terjadi penurunan produktivitas. Pada Domba dan kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan kematian mendadak dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada infeksi yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak malas, tidak gesit, napsu makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang bawah yang disebut “bottle jaw”, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa sakit serta ternak kurus dan lemah. Hewan yang rentan adalah sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah, kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia. Pada hospes yang tidak biasa seperti manusia dan kuda cacing Fasciola dapat ditemukan dalam paru-paru, dibawah kulit atau organ lain (Boray, 1982). Hewan muda lain lebih rentan dari pada hewan dewasa. Selama cacing muda migrasi dalam parenkin hati dapat menyebabkan kematian disebabkan karena kegagalan fungsi hati dan terjadinya perdarahan. F. gigantica menyebabkan penyakit yang lebih berat dan lebih infektif pada kambing dari pada domba.
Kerugian ekonomi akibat penyakit ini tidak kurang dari Rp. 313,6 milyar setiap tahunnya dan kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, hilangnya karkas/hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi susu 1020% dan biaya pengobatan. Kasus distomatosis pada teknak ruminansia di wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi hampir ditemukan pada semua Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dari Tahun 2011 s/d 2014. Diharapkan hasil diagnosa parasit cacing ini dijadikan acuan dalam melakukan tindakan pemberantasan, pencegahan dan pengendalian penyakit ini.
Materi Dan Metode Materi Materi yang digunakan adalah data hasil pemeriksaan sampel feses yang diperiksa di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Bukittinggi dari Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau dari Surveillans aktif dan pasif dari tahun 2011 s/d 2014.
Metode Diagnosa laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing dengan metoda sedimentasi terhadap Fasciola sp.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
28
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
Hasil dan Pembahasan Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan sampel feses yang diterima di Bvet Bukittinggi selama 4 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1.Dari pemeriksaan feses di Laboratotium B-Vet Bukittinggi dapat dilihat bahwa di wilayah regional II pada tahun 2011 sebanyak 1.350 sampel yang diperiksa, 384 sampel (28.4%) terinfestasi Fasciola sp., tahun 2012 sebanyak 1.407 sampel, 296 sampel (21%), tahun 2013 sebanyak 94 sampel (8.6%) dari 1.097 sampel, dan tahun 2014 sebanyak 242 sampel (30.8%) dari 786 sampel dan dan perbandingan samper per tahunya dapat dilihat pada grafik 1. Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Wilayah Kerja Bvet Bukittinggi 2011
Provinsi
2012
2013
2014
sebanyak 36.8% (151/410) pada 16 Kabupaten / Kota dan kasus terbanyak ditemukan di Kab.Sijunjung seperti yang tergambar di Tabel 2 dan perbandingan samper per tahunya dapat dilihat pada grafik 2. Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Prov. Sumatera Barat Kabupaten / Kota
2011 Jml
2012
Jml
2013
Jml
2014
Jml
Kota Pariaman
14
9
14
7
-
-
2
0
Kota Payakumbuh
110
11
59
14
43
0
80
11
Kota Bukittinggi
23
6
31
6
23
0
1
1
Padang Panjang
18
12
22
2
27
0
68
15
Kota Sawahlunto
28
15
45
12
1
1
21
15
Kota Solok
185
73
23
5
11
0
10
8
Kota Padang
17
9
12
1
36
0
13
7
Pasaman Barat
14
5
15
6
24
3
3
0
Dharmasraya
9
5
25
5
5
0
17
10
Solok Selatan
16
8
21
7
7
3
33
17
-
10
8
1
1
410
151
-
768
94
4
1109
219
13
912
285
Pasaman
Sumbar
Lima Puluh Koto
314
72
707
95
333
12
61
10
Riau
134
19
113
25
120
0
144
37
Agam
40
25
20
8
34
12
14
3
Padang Pariaman
5
0
74
36
36
8
33
13
Tanah Datar
24
4
-
-
-
-
-
-
Sijunjung
24
4
4
0
101
8
27
22
Solok
14
4
10
6
65
35
22
14
Pesisir Selatan
44
19
27
9
12
4
4
4
Jumlah
912
768
94
410
Jml
Jml
Jml
Jml
Jambi
237
76
101
39
135
0
202
51
Kepulauan Riau
67
4
84
13
74
0
30
3
1350
384
1407
296
1097
94
786
242
Jumlah %
28.4
21.0
8.6
30.8
%
285 31.3
1109 219 19.7
12.2
151
36.8
Jumlah Fasciola sp Jumlah Fasciola sp
Grafik 1. Jumlah Sampel Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Wilayah Kerja B-Vet Bukittinggi
Hasil pemeriksaaan dari Propinsi Sumatera Barat diperoleh hasil pada tahun 2011 persentase sampel yang menderita fasiolosis 31.1% (285/912), dan menyebar di 17 Kabupaten / Kota dari 19 Kabupaten / Kota di Propinsi Sumatera Barat dan kasus terbanyak ditemukan di Kota Solok. Tahun 2012 sebanyak 19.7% (219/1.109) pada 15 Kabupaten / Kota dan dan kasus terbanyak ditemukan di Kab. Limapuluh Koto. Tahun 2013 sebanyak 12.2% (94/768) pada 10 Kabupaten/Kota dan dan kasus terbanyak ditemukan di Kab. Solok. Tahun 2014
Grafik 2. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Provinsi Sumatera Barat Hasil pemeriksaaan dari Propinsi Riau diperoleh hasil pada tahun 2011 persentase sampel yang menderita fasiolosis 14.2% (19/134), dan menyebar di 9 Kabupaten/Kota dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Riaudan Kasus yang banyak ditemukan di Kab. Kuantan Sengingi. Tahun 2012 sebanyak 22.1% (25/113) pada 10 Kabupaten/Kota dan kasus
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
29
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
yang paling banyak ditemukan di Kab. Kampar. Tahun 2013 sebanyak 0% (0/120) pada 9 Kabupaten/Kota. Tahun 2014 sebanyak 25.7% (37/144) pada 9 Kabupaten/Kota dan kasus terbanyak ditemukan di Kab. Rokan Hulu seperti terlihat pada tabel 3 dan yang digambarkan perbandingan per tahunya pada grafik 3. Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Propinsi Riau Kabupaten / Kota
2011
2012
Jml
Kota Dumai
23
Kota Pekanbaru
8
Rokan Hilir Bengkalis
2013
2014
Jml
Jml
Jml
3
8
1
17
0
5
4
1
50
0
6
0
9
8
21
3
1
1
18
0
19
1
5
1
4
4
5
0
12
3
Rokan Hulu
8
0
9
1
-
-
8
7
Kampar
13
2
6
5
14
0
15
0
Kepulauan Meranti
6
1
4
1
-
-
6
0
Siak
14
0
3
3
3
0
20
1
9
4
16
0
17
0
Pelalawan Indragiri Hilir
14
3
7
1
9
0
14
4
Indragiri Hulu
7
1
7
4
3
0
12
6
Kuantan Singingi
15
4
5
0
29
0
7
3
Jumlah
134
19
113
25
120
0
144
37
%
14.2
22.1
Jumlah
0.0
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Propinsi Jambi Kabupaten / Kota
2011
2012
2013
2014
Jml
Jml
Jml
Jml
Kota Jambi Bungo
20 0
1 0
2 7
0 2
16 26
0 0
12 33
10 7
Tebo Tj. Jabung Barat
19 4
4 0
11
1
5 13
0 0
2 28
2 1
Tj. Jabung Timur Muaro Jambi
4 13
4 9
11 9
4 5
14 20
0 0
16 12
1 7
Batanghari Sarolangun
25 28
4 9
7 20
2 11
15 6
0 0
20 10
5 4
Kota Sungai Penuh
Merangin
11 63
7 17
10
2
18
0
14 13
0 12
Kerinci Anambas
31 19
18 3
24
12
2
0
33 9
2 0
Jumlah %
237
76
101 39 38.6
32.1
135 0 0.0
202 51 25.2
Jumlah Fasciola sp
25.7
Fasciola sp
Grafik 4. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Propinsi Jambi Hasil pemeriksaaan dari Propinsi Kepulauan Riau diperoleh hasil pada tahun 2011 persentase sampel yang menderita fasiolosis 6% (4/67), dan menyebar di 3 Kabupaten dari 7 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Kepulauan Riau, tahun 2012 sebanyak 15.5% (13/84) pada 4 Kabupaten/Kota, tahun 2013 sebanyak 0% (0/74) dan pada tahun 2014 sebanyak 10% (3/30) pada 1 Kota seperti terlihat pada tabel 5 dan yang digambarkan perbandingan per tahunya pada grafik 5.
Grafik 3. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Propinsi Riau Hasil pemeriksaaan dari Propinsi Jambi diperoleh hasil pada tahun 2011 persentase sampel yang menderita fasiolosis 32.`% (76/237), dan menyebar di 10 Kabupaten/Kota dari 11 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Jambi dan kasus yang paling banyak ditemukan di Kab. Kerinci. Tahun 2012 sebanyak 38.6% (39/101) pada 8 Kabupaten/Kota dan kasus yang paling banyak ditemukan di Kab. Kerinci. Tahun 2013 sebanyak 9% (0/135). Tahun 2014 sebanyak 25.2% (51/202) pada 10 Kabupaten/Kota seperti terlihat pada tabel 4 dan yang digambarkan perbandingan per tahunya pada grafik 4.
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Prov. Kepulauan Riau Kabupaten / Kota
2011
2012
2013
2014
Jml
Jml
Jml
Jml
Kota Tnjung Pinang
17
0
35
3
21
0
6
0
Kota Batam
3
0
9
1
2
0
3
3
Lingga
6
0
5
0
20
0
6
0
Natuna
6
1
4
4
19
0
4
0
Bintan
7
2
29
5
6
0
5
0
Karimun
28
1
2
0
6
0
6
0
Jumlah
67
4
84
13
74
0
30
3
%
6.0
15.5
0.0
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
10.0
30
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
Jumlah Fasciola sp
Grafik 5. Hasil Pemeriksaan Fasciola sp. di Propinsi Kepulauan Riau
Di antara penyakit parasiter, distomatosis adalah penyebab kerugian ekonomi yang kedua setelah Surra pada ternak sapi dan kerbau. Dari Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, dilaporkan kerugian ekonomi akibat infeksi cacing hati antara tahun 1986-1990 tidak kurang dari Rp 516 miliar setiap tahunnya. Tinjauan yang dilakukan oleh Spithill et al . (1999) menunjukkan bahwa prevalensi F. gigantica pada ternak di Indonesia berkisar antara 25-90%, dan diperkirakan kerugiannya mencapai US $107 juta setiap tahun. Kerugian ekonomi akibat distomatosis antara lain terjadinya penurunan bobot badan, kerusakan hati, penurunan tenaga kerja, penurunan fungsi reproduksi dan kematian . Mengingat tingginya prevalensi penyakit ini pada ternak di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat mencapai 90% (Suhardono, 1997) dan Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90% (Estuninggsih et al., 2004b). Pengendalian distomatosis pada ternak ruminansia pada prinsipnya memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi pengendalian distomatosis didasarkan pada musim (penghujan/basah dan kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi, pada saat itu pula petani sibuk mempersiapkan lahan dalam musim tanam . Untuk itu, diperlukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi dan atau menekan serendah mungkin terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara, (1) Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu, sehingga telur Fasciola sudah mati; (2) Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongan sedikit di atas tinggi galengan atau 1-1,5 jengkal dari tanah; (3) Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut di bawah sinar matahari dan dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan; (4) Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pencemaran metaserkaria; (5) Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair
atau yang tercemar oleh metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau dekat pemukiman; (6) Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis); (7) Gabungan dari cara-cara tersebut di atas. Pengobatan pada ternak secara masal sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pemberian flukisida disesuaikan dengan bahan aktif yang digunakan. Untuk obat cacing yang dapat membasmi segala stadium perkembangan cacing hati cukup dilakukan sekali saja sekitar 6-8 minggu dari panen padi terakhir. Apabila menggunakan obat cacing yang hanya mampu membunuh cacing dewasa saja sebaiknya dilakukan dua kali setahun yaitu Pengobatan I dilakukan pada akhir musim hujan yang bertujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa sehingga selama musim kering ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan terutama kolam-kolam air selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh larva cacing. Pengobatan II dilakukan pada akhir musim kemarau yang bertujuan untuk mengeliminasi cacing-cacing muda yang bermigrasi kedalam parenkhim hati. Untuk itu dalam pengobatan tahap kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda. Waktu pengobatan ini ditetapkan dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan. Pertibangan harus harus diperhatikan adalah pada musim kemarau, sebagian besar siput mati karena habitatnya kering, sehingga sisa-sisa telur cacing dalam feses ternak tidak akan menemukan siput lagi bila menetas , Metaserkaria yang masih tertinggal di lahan yang tercemar akan mati kekeringan sehingga tidak ada infeksi ulang distomatosis pada ternak, serta dalam waktu bersamaan ternak dan lingkungan akan terbebas dari parasit Fasciola spp.
Kesimpulan Dan Saran Kasus Fassciola sp di Wilayah Kerja B-Vet Bukittinggi berdasarkan smpel yang diperiksakan di laboratorium parasitologi masih tinggi dan kasus yang ditemukan sebahagian besar Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Keberhasilan dari upaya pencegahan, pemberantasan dan pengendalian sangat ditentukan oleh kerjasama yang baik dan terpadu antara petani, peternak, penyuluh pertanian, laboratorium dan para pengambil kebijakan.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
31
Situasi Penyakit Distomatosis Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2011 s/d 2014
Daftar Pustaka Anonimus, 2001. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Anonimus, 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Boray, J.C . 1966 . Studies on the relatives susceptible of some lymnaeids to infection with F. hepatica and F. gigantica on the adaptation of Fasciola spp. Am. J . Trop . Med . Parasitol . 60(1) : 114-124. Martindah Eny, et al., 2005 Meningkatkan Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Distomatosis sebagai Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa 15.3. Hartini Rina, dkk.
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
32
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Bukittinggi
http://bvetbukittinggi.ditjennak.pertanian.go.id
Kementerian
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Balai Veteriner
Kementerian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Bukittinggi
Pertanian
Kementerian Pertanian
Balai Veteriner Bukittinggi Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km.14 Baso Kab. Agam Sumbar PO.Box 35 Bukittinggi 26101
0752 - 28300 0752 - 28290
[email protected]
[email protected] http://bvetbukittinggi.ditjennak.pertanian.go.id
Buletin Informasi Kesehatan Hewan - Volume 17 Nomor 90 Tahun 2015
33