ISSN: 1979-6013 TERAKREDITASI No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 3, Desember Tahun 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research, Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 3, Desember Tahun 2015
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 818/E/2015. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Kehutanan. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. Sampai dengan Volume 11 Nomor 4, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan terbit dengan frekuensi empat kali setahun (Maret, Juni, September, Desember). Pada Volume 12 tahun 2015, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan terbit dengan frekuensi tiga kali setahun (Maret, Juni, Desember), dan selanjutnya mulai Volume 13 tahun 2016 akan terbit pada bulan April, Agustus, dan Desember. Forestry Journal Socio and Economic Research is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 818/E/2015. This journal publishes result research in Forest Socio-Economics and Environment. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. The Journal published four times annually (March, June, September, December). In Volume 12 2015 published three times annually (March, June, December), and then since Volume 13 2016 will be published on April, August, and December. Penanggung Jawab (Editor in Chief) Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
Redaksi Pelaksana (Managing Editor) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Sekretariat (secretariat)
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim : Dr.Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) : 1. Dr.Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 2. Prof. Dr.Ir. Irsal Las, M.S. (Agroklimatologi dan Lingkungan, Kementan) 3. Prof.Dr.Ir. Didik Suhardjito, M.S. (Sosiologi Kehutanan & Kehutanan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor) 4. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI) 5. Dr. Ir. Erwidodo, M.S. (Ekonomi Pertanian, Kementan) 6. Drs. Edi Basuno, M.Phil., Ph.D. (Sosial Ekonomi Pertanian, Kementan) 7. Dr.Ir. Triyono Puspitojati, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 8. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 9. Ir. Subarudi, M.Wood Sc. (Sosiologi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) :
1. Prof.Dr. Dudung Darusman (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor) 2. Prof.Dr.Ir. Djaban Tinambunan, M.S. (Keteknikan Hutan; Kelompok Kerja Kebijakan, Badan Litbang dan Inovasi) 3. Prof. Mustofa Agung Sardjono (Perhutanan Sosial, Universitas Mulawarman) 4. Dr.Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S. (Konservasi Tanah dan Air; Kelompok Kerja Kebijakan, Badan Litbang dan Inovasi) 5. Dr.Ir. Boen M. Purnama (Ekonomi dan Sumberdaya Hutan, IPDN) 6. Prof.Dr.Ir. Kurniatun Hairiah (Perhitungan Emisi Karbon dan Upaya Pengendalian Perubahan Iklim, Universitas Brawijaya))
: Gatot Ristanto, SH, MM. : 1. Ir. Tigor Butarbutar, Msc. 2. Dra. Wahyuning Hanurawati 3. Drh. Faustina Ida Harjanti, Msc. 4. Dewi Ratna Kurnia Sari, SHut, Msi. 5. Agus Purwanto, A.Md. : 1. Ratna Widyaningsih, S.Kom. 2. Yanto Supriadi
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change) Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Forestry Research, Development and Innovation Agency) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry) Alamat (Address): Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone): 62-251-8633944 Fax. (Fax.): 62-251-8634924 e-mail:
[email protected];
[email protected]
ISSN: 1979-6013 TERAKREDITASI No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 3, Desember Tahun 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research, Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA
ISSN: 1979-6013 TERAKREDITASI No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 3, Desember Tahun 2015 DAFTAR ISI ANALISIS SPASIAL TEKANAN PENDUDUK TERHADAP L AHAN PERTANIAN DI SUB DAS KEDUANG, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH (Spatial Analysis of Population Pressure on Agricultural Land in Keduang SubWatershed, Wonogiri District, Central Java) Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti ...............................................................................
149 - 162
KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA, PROVINSI MALUKU UTARA (Local Wisdom in the Utilization of Medicine Plants by Community Around Aketajawe Lolobata National Park, North Maluku Province) Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit .......................................................
163 - 175
PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN SUMBER DAYA AIR TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI DAS AESESA, PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR (Vulnerability Assessment of Water Resources to Climate Variability in Aesesa Watershed, Flores Island, Nusa Tenggara Timur) Eko Pujiono & Retno Setyowati ..................................................................................................
177 - 195
PERANAN DAN KEBUTUHAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM TATA KELOLA PARIWISATA DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN, SULAWESI UTARA (The Role and Requirement of Stakeholders in Tourism Governance in Bunaken National Park, North Sulawesi) Heri Santoso, E.K.S. Harini Muntasib, Hariadi Kartodihardjo & Rinekso Soekmadi ...........
197 - 211
KONFLIK AGRARIA DAN PELEPASAN TANAH ULAYAT (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT SUKU MELAYU DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN DHARMASRAYA, SUMATERA BARAT) (Agrarian Conflict and Communal Land Release: A Case Study of Melayu Tribe in Forest Management Unit Dharmasraya, West Sumatra) Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono ...................................................................
213 - 225
POTENSI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI LIMBAH KAYU PEMANENAN DI HUTAN ALAM DAN HUTAN TANAMAN (Potential Non-Tax State Revenue of Wood Waste from Harvesting in Natural and Plantation Production Forests) Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom ..............................................................................
227 - 243
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN ISSN: 1979 - 6013
Terbit : Desember 2015
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC(OSDCF) 630*908.1 Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti
UDC(OSDCF) 630*116 Eko Pujiono & Retno Setyowati
Analisis Spasial Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian di Sub DAS Keduang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air Terhadap Variabilitas Iklim di DAS Aesesa, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 149-162. Tujuan penelitian adalah menghitung dan menentukan tingkat Tekanan Penduduk (TP) pada lahan pertanian pada sub DAS dan masing-masing kecamatan pada sub DAS Keduang Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Klasifikasi TP didasarkan pada SK Ditjen RLPS P.04/V-SET/2009. Hasil penelitian menunjukkan TP di Sub DAS Keduang dikategorikan jelek dengan nilai TP = 28.978,16. Nilai TP dalam kategori sedang terdapat di Kecamatan Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono dan Sidoharjo. Kecamatan Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo dan Tirtomoyo memiliki nilai TP > 2 dikategorikan jelek. Kata kunci: Tekanan Penduduk pada lahan (TP), Sub DAS Keduang dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 177-195. Kajian bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumberdaya air terhadap variabilitas iklim di DAS Aesesa Provinsi NTT. Penaksiran kerentanan menggunakan konsep IPCC, dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif. Hasil menunjukkan bahwa telah terjadi variabilitas iklim dimana suhu udara menunjukkan trend kenaikan dan curah hujan menunjukkan tren menurun di hilir DAS. Terkait kondisi air, sungai utama di DAS Aesesa mempunyai debit dan kualitas air yang relatif sama selama beberapa tahun terakhir. Peta kerentanan menunjukkan bahwa sekitar 54% wilayah DAS memiliki tingkat kerentanan tinggi, 13% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 33% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Kata kunci: Penilaian kerentanan, sumber daya air, variabilitas iklim, DAS
UDC(OSDCF) 630*892.52 Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara
UDC(OSDCF) 630*907.11 Heri Santoso, E.K.S. Harini Muntasib, Hariadi Kartodihardjo & Rinekso Soekmadi Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 163-175.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 197-211.
Penelitian dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan tumbuhan obat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal pada zona tradisional Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Metode yang digunakan adalah wawancara secara mendalam (kuesioner), survei lapangan, dan analisis fitokimia. 78 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai obat, mayoritas Fabaceae, habitus pohon (42%), bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan adalah daun (40%). Tumbuhan untuk pengobatan luar seperti alergi dan luka ringan (29 jenis); peningkat stamina tubuh (17 jenis); penyakit dalam dan kronis (32 jenis). Ekstrak kulit Alstonia scholaris, batang Homalium grandiflorum, daun Crotalaria retusa, batang Arcangelsia flava, dan batang tali togutil mengandung senyawa triterpenoid. Ekstrak kulit Sterculia obongifolia mengandung tanin.
Pengelolaan pariwisata telah dikembangkan di TNB namun belum memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Analisis data yang digunakan adalah analisis pemangku kepentingan dan analisis kebutuhan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 17 pemangku kepentingan, terbanyak berperan sebagai key players (kepentingan dan pengaruh yang tinggi). Kebutuhan pemangku kepentingan yaitu: pemahaman pemangku kepentingan tentang pengelolaan TNB, koordinasi dan komunikasi ditingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang tata kelola pariwisata, implementasi dan sinkronisasi kegiatan dan program pengembangan pariwisata.
Kata kunci: Tumbuhan obat, masyarakat, kearifan lokal, Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Kata kunci: Pemangku kepentingan, tata kelola pariwisata, Taman Nasional Bunaken
UDC(OSDCF) 630*116.26 Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono
UDC(OSDCF) 630*331 Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus pada Masyarakat Suku Melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat)
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu Pemanenan di Hutan Alam dan Hutan Tanaman
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 213-225.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3, hal. 227-243.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan konflik kepemilikan hutan dan proses pelepasan tanah ulayat Suku Melayu di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Dharmasraya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik agraria di KPHP antara masyarakat adat pemegang izin HTI dikarenakan adanya pluralisme hukum dalam pengakuan hutan, dan 2) Proses pelepasan tanah ulayat terjadi melalui jual beli yang dikendalikan oleh Datuk penguasa ulayat. Bukti kegiatan jual beli adalah dikeluarkannya “alas hak” oleh pihak Nagari. Diperlukan strategi untuk mempertahankan kawasan hutan tanpa mengabaikan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari hutan.
Merosotnya produksi kayu bulat hutan alam menekan perolehan PNBP sektor kehutanan. Namun, di sisi lain, terdapat potensi PNBP dari limbah kayu pemanenan di hutan alam dan hutan tanaman yang belum dimanfaatkan secara optimal. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji: (1) potensi pemanfaatan limbah kayu dari pemanenan hutan alam dan hutan tanaman, dan (2) potensi PNBP dari pemanfaatan limbah kayu. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengukuran. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah kayu yang berasal dari pemanenan hutan alam dan hutan tanaman akan menaikkan PNBP kehutanan Rp 49,6 miliar/tahun. Untuk mewujudkannya perlu kebijakan penerapan metode tree length logging.
Kata kunci: Konflik agraria, pluralisme hukum, alas hak, tanah ulayat, KPHP
Kata kunci: Hutan alam, hutan tanaman, limbah kayu, pemanenan, penerimaan negara bukan pajak
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL ISSN: 1979 - 6013
Date of issue : December 2015
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC(OSDCF) 630*908.1
UDC(OSDCF) 630*116
Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti
Eko Pujiono & Retno Setyowati
Spatial Analysis of Population Pressure on Agricultural Land in Keduang Sub Watershed, Wonogiri District, Central Java
Vulnerability Assessment of Water Resources to Climate Variability in Aesesa Watershed, Flores Island, Nusa Tenggara Timur
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 149162.
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 177195.
The purpose of research is to calculate and determine the level of population pressure on agricultural land in each district in Keduang sub-watershed, Wonogiri District by using Geographic Information System. The classification of population pressure on agricultural land is based on the Decree of the DG of Land Rehabilitation and Social Forestry No. P.04/V-SET/2009. The results showed, population pressure in Keduang sub-watershed is categorized as “bad” with the value of 28.978,16. Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono and Sidoharjo districts are categorized as “medium”, while Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo and Tirtomoyo districts are “bad” with the value more than 2.
This study aimed to assess the vulnerability of water resources on the climate variability in Aesesa Watershed, NTT Province. Vulnerability assessment using IPCC concept, where the vulnerability as a function of exposure, sensitivity and adaptive capacity. The results showed that climate variability have been occured, indicated by an increasing trend on annual temperature and declining trend on precipitation in downstream area . The Aesesa River's stream flows and water quality are relatively stable in the last several years. It is found that the Aesesa Watershed area was classified into highly vulnerable (54%), moderately vulnerable (13%) and lowly vulnerable (33%).
Keywords: Vulnerability assessment, water resources, climate variability, Keywords: Population pressure, Keduang Sub-Watershed and Geographic Information System (GIS).
watershed
UDC(OSDCF) 630*892.52
UDC(OSDCF) 630*907.11
Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit
Heri Santoso, E.K.S. Harini Muntasib, Hariadi Kartodihardjo & Rinekso Soekmadi
Local Wisdom in the Utilization of Medicine Plants by Community Around Aketajawe Lolobata National Park, North Maluku Province
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 163175. Research was conducted to examine the utilization of medicinal plants as one of local wisdom in the Aketajawe Lolobata National Park traditional zone. The methods used were in-depth interview (questionnaire), field surveys, and phytochemical analysis. Seventy eight species of plant species are identified, the majority is Fabaceae, habitus trees (42%), and leaves (40%). Plants used for treatment of allergies and minor injuries (29 species); increase stamina (17 species); internal and chronic diseases (32 species). Extracts of Alstonia scholaris bark, Homalium grandiflorum stem, Crotalaria retusa leaves, Arcangelsia flava stem, and togutil stem contain triterpenoid. Extracts of Sterculia obongifolia bark contain tannin.
Keywords: medicinal plants, community, local wisdom, Aketajawe Lolobata National Park.
The Role and Requirement of Stakeholders in Tourism Governance in Bunaken National Park, North Sulawesi
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 197211. The tourism management in BNP has not shown satisfactory results. The research aims to identify and describe the roles and needs of stakeholders in the tourism governance in BNP. The data was analysze by using stakeholder analysis and requirements analysis. The results showed that there are 17 stakeholders, most act as key players (high interest and influence). The requirements of stakeholders are: understanding of stakeholders on the BNP management, coordination and communication at the regional level to unify the perception of tourism governance, implementation and synchronization from the activities and programs of tourism development.
Keywords: Stakeholders, tourism governance, Bunaken National Park.
UDC(OSDCF) 630*116.26
UDC(OSDCF) 630*331
Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono
Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom
Agrarian Conflict and Communal Land Release: A Case Study of Melayu Tribe in Forest Management Unit Dharmasraya, West Sumatra
Potential Non-Tax State Revenue of Wood Waste from Harvesting in Natural and Plantation Production Forests
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 213225.
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 3, p. 227243.
This study aims to describe the conflicts of forest ownership and the process of communal land release in Dharmasraya Production Forest Management Unit. The Results showed that 1) Agrarian conflict among local community and the concessionaire holder occured due to the recognition of legal pluralism in the forest, 2) the release process of communal land occured through the process of buying and selling which are controlled by Datuak costumary authorities. Proof of trading activities are with the issuance of "alas hak" by Nagari. Some strategy are required to maintain the forests without neglecting the local communities who depend on forests.
Decline of log production from forests suppress the acquisition of non-tax state revenue (PNBP) of forestry sector. Oppositely, there is potential PNBP of waste timber harvesting from natural and plantation forests which have not been used optimally. This study aims to find out: (1) potential utilization of wood waste from harvesting in forests, and (2) potential non-tax state revenues from wood waste utilization. Data were collected through interview and measurement. The results showed that the utilization of wood wastes would raise PNBP of IDR49,6 billion per year.A policy implementation method of tree length logging is recommended.
Keywords: Agrarian conflicts, legal pluralism, alas hak, communal land,
Keywords: Natural forests, plantation forests, wood waste, harvesting, non-
PFMU
tax state revenue
ANALISIS SPASIAL TEKANAN PENDUDUK TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI SUB DAS KEDUANG, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH (Spatial Analysis of Population Pressure on Agricultural Land in Keduang SubWatershed, Wonogiri District, Central Java) Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Jl.A.Yani, Pabelan PO.BOX 295 Kartasura-Surakarta, Indonesia e-mail:
[email protected] dan
[email protected] Diterima 11 Desember 2014, direvisi 5 Agustus 2015, disetujui 24 Agustus 2015
ABSTRACT Population pressure on agricultural land is one of the important parameters to determine the level of watershed environment quality. High population pressure on agricultural land in a watershed can lead to land degradation and watershed ecosystems damage. The purpose of research is to calculate and determine the level of population pressure on agricultural land in the sub watershed and in each district in the sub watershed by using Geographic Information System (GIS). Population pressure on agricultural land is calculated by using Soemarwoto's formula (1985). The classification of population pressure on agricultural land is based on the Decree of the Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry (RLPS,) Ministry of Forestry of Indonesia No. P.04/VSET/2009. The research was conducted in Keduang sub-watershed which is part of water chatchment area of Gajah Mungkur Reservoir in Wonogiri District, Central Java. The results showed that population pressure on agricultural land in Keduang Sub-watershed is categorized as “bad” with the value of 28.978,16. Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono and Sidoharjo districts are categorized as “medium”, while Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo and Tirtomoyo districts are categorized as “bad” with the value more than 2. Keywords: Population pressure, Keduang Sub-Watershed and Geographic Information System (GIS). ABSTRAK Tekanan Penduduk (TP) pada lahan pertanian adalah salah satu parameter penting untuk menentukan tingkat kualitas lingkungan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Tingginya TP pada lahan pertanian pada suatu DAS dapat mengakibatkan penurunan sumber daya lahan dan kerusakan ekosistem DAS. Tujuan penelitian adalah untuk menghitung dan menentukan tingkat TP pada lahan pertanian pada sub DAS dan masing–masing kecamatan pada sub DAS dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Untuk menghitung TP digunakan rumus Soemarwoto (1985). Klasifikasi TP didasarkan pada SK Ditjen RLPS P.04/V-SET/2009. Penelitian dilaksanakan di Sub DAS Keduang yang merupakan bagian dari Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan Tekanan Penduduk (TP) di Sub DAS Keduang dikategorikan jelek dengan nilai TP = 28.978,16. Wilayah kecamatan di dalam sub DAS Keduang yang tekanan penduduknya dalam kategori sedang adalah Kecamatan Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono dan Sidoharjo. Wilayah Kecamatan Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo dan Tirtomoyo memiliki nilai TP > 2 dikategorikan jelek. Kata kunci: Tekanan Penduduk pada lahan (TP), Sub DAS Keduang dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
I. PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Keduang merupakan salah satu Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil penelitian dari JICA (2007), Sub DAS tersebut juga sebagai penyumbang sedimentasi terbesar, yaitu 1.218.580 m3 atau sekitar
38,33% dari total sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur. Sedimentasi yang besar sebagai akibat tingginya erosi pada lahan di wilayah Sub DAS Keduang tersebut disebabkan oleh pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan akibat dari peningkatan kebutuhan. Peningkatan jumlah penduduk terkait erat
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
149
dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan yang dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian sehingga berdampak pada perubahan ekologis yang mengarah ke degradasi lingkungan (Sartohadi, 2008). Disamping itu, Suputra (2012) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk mengakibatkan permasalahan pemanfaatan lahan menjadi lebih kompleks dan sangat kompetitif. Alih guna lahan yang tidak terencana dengan baik (tidak mempertimbangkan kemampuan dan daya dukung lahan) dapat menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti erosi, kurangnya daerah resapan air, banjir, pendangkalan sungai, penurunanan kesuburan dan produktivitas lahan dan lain-lain (Harianto dan Katharina, 2002). Menurut Worosuprojo (2007), berbagai tantangan yang dihadapi dalam konteks pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lahan, semakin kompleks antara lain: (1) tekanan penduduk terhadap lahan, (2) konservasi lahan dan alih fungsi lahan, (3) degradasi hutan dan kerusakan lahan, (4) kerusakan lingkungan serta bencana alam. Oleh karena itu, kedepan konsep pengelolaan sumber daya lahan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kelestarian sumber daya dan lingkungan serta berbagai tantangan tersebut perlu dirumuskan pada skala nasional, regional, dan lokal harus menjadi acuan utama. Tekanan penduduk terhadap lahan disebabkan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan tidak seimbang dengan ketersediaan lahan potensial untuk pertanian atau peruntukan lain mendorong penduduk untuk meningkatkan intensitas dan aktivitas pada lahan eksisting dan membuka lahan baru atau urbanisasi pergi ke kota (Soemarwoto, 1999). Tingginya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian pada suatu DAS dapat memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (kawasan terbangun) dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya sehingga menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya lahan dan menyebabkan kesehatan DAS (watershed health) terganggu yang tercermin dari kerusakan ekosistem pada suatu DAS. Kesehatan DAS sebagai ukuran seberapa baik kegiatan pengelolaan sumber daya mampu menyeimbangkan antara kebutuhan antropogenik dan fungsi ekologis dan terintegrasi dalam DAS (Jones et al., 2002). Indikasi kerusakan ekosistem pada suatu DAS tercermin dari terjadinya
berbagai bencana lingkungan seperti banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor (Paimin et al., 2006). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, tekanan penduduk terhadap lahan merupakan salah satu parameter penting untuk menyusun klasifikasi DAS, yaitu DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan. Penelitian tekanan penduduk terhadap lahan dengan memanfaatkan teknologi SIG telah dilakukan oleh Oktama (2013) di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul dan oleh Krisnohadi (2011) di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Unit analisis yang digunakan untuk menghitung tekanan penduduk (TP) terhadap lahan adalah batas administratif. Penelitian tekanan penduduk terhadap lahan yang menggunakan unit analisis batas ekosistem, dalam hal ini sub DAS berbasis SIG (Sistem Informasi Geografis) masih jarang dilakukan. Sistem Informasi Geografis atau sering disebut Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem yang berbasis komputer yang dapat digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan memanggil kembali data dengan cepat dan mudah (Aronoff, 1989). Teknologi ini berkembang sangat pesat dan menjadi alat utama yang efektif untuk digunakan di dalam analisis keruangan. Menurut Prahasta (2009), beberapa kelebihan analisis dengan menggunakan SIG yaitu: (1) efektif didalam membantu proses-proses pembentukan, pengembangan, atau perbaikan peta mental (mental map), (2) dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tools maupun bahan tutorials) utama yang interaktif, menarik, dan menantang dalam usahausaha untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran, dan pendidikan mengenai konsep-konsep lokasi, ruang (spatial), kependudukan dan unsure-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi berikut data atributnya, (3) menggunakan baik data spasial dan atribut (non spasial) secara terintegrasi, (4) memiliki kemampuan untuk menguraikan unsur-unsur di permukaan bumi menjadi beberapa layers atau coverage data spasial, serta (5) memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan data spasial berikut dengan atributnya. Tujuan penelitian adalah untuk menghitung dan menentukan tingkat tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di Sub DAS Keduang dan di masing-masing kecamatan di Sub DAS Keduang.
150 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan melakukan 1) identifikasi luas masing-masing kecamatan yang berada di wilayah Sub DAS Keduang; 2) analisis penutupan/penggunaan lahan, dan 3) analisis kependudukan yang meliputi jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk pada masing-masing kecamatan di wilayah sub DAS Keduang. II. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan informasi yang terdiri dari: 1. Data kependudukan yang meliputi jumlah penduduk pada tahun 2007-2011 yang diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonogiri dan BPS Kabupaten Karanganyar 2. Data jumlah petani di masing-masing kecamatan dan desa diperoleh dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Wonogiri dan
Kabupaten Karanganyar 3. Peta-peta dasar, seperti peta jaringan jalan, peta kontur, peta jaringan sungai dan peta administratif yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dalam format digital 4. Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi perangkat keras (hardware) berupa komputer, perangkat lunak (software) untuk analisis spasial yaitu ArcGIS 9.1 dan ArcView 3.3 serta Microsoft Office Excel 2007. B. Metode Pengumpulan data dan Tahapan Penelitian Data yang diperlukan untuk menghitung TP adalah jumlah penduduk, jumlah petani, dan luas lahan pertanian pada masing-masing kecamatan di wilayah Sub DAS Keduang. Prosedur penelitian disajikan pada Gambar 1.
Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Gambar 1. Diagram alir penelitian. Figure 1. Flowchart of the research.
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
151
Jumlah penduduk di masing-masing kecamatan di wilayah Sub DAS Keduang diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri dan Karang Anyar dalam kurun waktu lima tahun (2007-2011). Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan penduduk tahunan. Data jumlah petani dan buruh tani diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan tahun 2012. Sedangkan luas lahan pertanian dianalisis dari peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005.
Pt = Jumlah penduduk pada tahun t Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar t = Jangka waktu Nilai Tekanan Penduduk (TP) terhadap lahan selanjutnya diklasifikasi menjadi tiga berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P.04/V-SET/2009 yaitu baik (TP < 1), sedang (1 < TP < 2) dan jelek (TP > 2). III. HASIL DAN PEMBAHASAN
C. Metode Analisis Data Tekanan penduduk terhadap lahan dihitung dengan menggunakan formula dari Soemarwoto (1985) : ................................................ (1) Keterangan: TP = Tekanan Penduduk, Z = rata-rata luas lahan yang diperlukan per orang untuk hidup yang dianggap layak, f = fraksi penduduk yang hidup sebagai petani, Po = jumlah penduduk waktu acuan to, r = laju pertumbuhan penduduk tahunan, t = periode waktu perhitungan, L = luas lahan pertanian Nilai Z dihitung dengan menggunakan rumus: .. (2) LSI2 = luas lahan sawah irigasi panen > 2 kali setahun, LSI1 = luas lahan sawah irigasi panen 1 kali setahun, LST = luas sawah tadah hujan, LLK = luas lahan kering ........ (3) Jumlah petani dan buruh tani diperoleh dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Wonogiri tahun 2012. Sedangkan jumlah penduduk diperoleh dari data Kecamatan Dalam Angka (KDA) dan Kabupaten Dalam Angka (KDA) selama lima tahun (2007-2011). Laju pertumbuhan penduduk (r) tahunan dihitung dengan menggunakan rumus: ........................................................... (4)
A. Gambaran umum Sub DAS Keduang Sub DAS Keduang terletak pada koordinat 110,96o BT-111,19o BT dan 7,71o LS-7,86o LS dan secara administratif meliputi satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar, yaitu Kecamatan Jatiyoso dan dua belas kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu Bulukerto, Girimarto, Jatipurno, Jatiroto Jatisrono, Jatiyoso (Kabupaten K a ran g a ny ar ) , Kis man t or o, N g a dir oj o, N gu nt or o nadi , P ur want o ro, S i doh ar j o, Slogohimo, dan Tirtomoyo. Lokasi kajian dapat dilihat pada Gambar 2 dan luasan masing-masing kecamatan terdapat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, tidak semua luasan kecamatan berada di dalam wilayah sub DAS Keduang, sebagai contoh Kecamatan Bulukerto yang memiliki luas 8.848,47 ha, namun demikian hanya 0,04 ha yang berada di dalam wilayah Sub DAS Keduang. Beberapa kecamatan yang menempati areal yang sempit di Sub DAS Keduang adalah Kecamatan Jatiyoso, Kismantoro, Nguntoronadi, Purwantoro dan Tirtomoyo. Namun demikian luasan tersebut tidak dapat diabaikan dari suatu ekosistem utuh sub DAS Keduang. Menurut Purwanto (2012), DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah, air dan seluruh makhluk hidup) yang memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lain. Asdak (2012), dalam suatu ekosistem gangguan terhadap satu komponen akan memengaruhi komponen-komponen lainnya sehingga memengaruhi sistem secara keseluruhan. Kecamatan-kecamatan yang menempati areal cukup luas (> 50 %) di wilayah sub DAS Keduang adalah Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono, Sidohar jo dan Slogohimo. Hal tersebut
152 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
Sumber (Source): Analisis Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 (Analysis of Indonesia Topographic Map (RBI) Scale of 1:25.000)
Gambar 2. Lokasi penelitian Figure 2. Research location
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
153
Tabel 1. Luas masing-masing kecamatan di Sub DAS Keduang Table 1. Area of each sub district in the Keduang Sub Watershed
No.
Kecamatan Sub district
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bulukerto Girimarto Jatipurno Jatiroto Jatisrono Jatiyoso Kismantoro Ngadirojo Nguntoronadi Purwantoro Sidoharjo Slogohimo Tirtomoyo Sub DAS Sub watershed
Persentase (%) luas Persen (%) luas kecamatan kecamatan di dalam di dalam sub DAS terhadap Sub DAS luas kecamatan Percentage (%) Area of Percentage (%) Area of subdistrict in the sub subdistrict in the sub watershed watershed against total area of sub district
Luas kecamatan (ha) Area of subdistrict (ha)
Luas kecamatan (ha) di dalam Sub DAS Area of subdistrict (ha) in the sub watershed
8.848,47 6.233,08 5.712,24 7.823,26 5.420,72 7.267,94 7.987,92 9.085,28 7.316,76 6.577,08 5.601,53 7.347,58 8.210,58
0,04 4.343,00 5.712,24 7.277,03 5.420,72 605,53 62,64 1.493,76 526,60 3,18 5.062,86 6.231,81 6,48
0,00 11,82 15,55 19,80 14,75 1,65 0,17 4,07 1,43 0,01 13,78 16,96 0,02
36.745,88
100,00
0,00 69,68 100,00 93,02 100,00 8,33 0,78 16,44 7,20 0,05 90,38 84,81 0,08
Sumber (Source): Analisis Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dalam format digital (Indonesia Topographic (RBI) Map 1:25.000 in digital format)
menunjukkan ketidak paduan antara batas administratif (dalam hal ini batas kecamatan) dengan batas sub DAS. B. Analisis penutupan/penggunaan Lahan Sub DAS Keduang dengan SIG Berdasarkan peta penutupan/penggunaan lahan, jenis penutupan/penggunaan lahan diklasifikasi menjadi sepuluh kelas yaitu perkebunan/kebun, air tawar sungai, bangunan/ gedung, hutan, padang rumput, pemukiman, sawah (sawah irigasi), sawah tadah hujan, semak belukar dan tegalan/ladang. Je n i s p e n u t u p a n / p e n g g u n a a n l a h a n perkebunan/kebun, pemukiman, sawah dan tegalan/ladang menempati areal lebih dari 1.000 ha, sedangkan sawah (sawah irigasi) menempati areal paling luas yaitu 11.492,97 ha atau sekitar 31,28% dari total luas Sub DAS Keduang. Kecamatan Jatisrono menempati areal seluas 5.420,72 ha, didominasi oleh jenis penutupan/penggunaan lahan sawah (2.284,46 ha) dan pemukiman
(2.273,97 ha), sedangkan Kecamatan Bulukerto, Kismantoro, Purwantoro dan Tirtomoyo tidak memiliki jenis penutupan/penggunaan lahan sawah (sawah irigasi) dan pemukiman, hal tersebut disebabkan karena kecilnya luas kecamatan tersebut yang berada di dalam wilayah Sub DAS Keduang. Luasan penutupan/penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 2, sedangkan distribusi spasialnya pada Gambar 3. Berdasarkan pada Tabel 2, total luas hutan di Sub DAS Keduang 350,55 ha yang terdapat di Kecamatan Girimarto (51,08 ha), Kecamatan Jatipurno (123,32 ha) dan Kecamatan Slogohimo (176,15 ha). Hutan di Sub DAS Keduang didominasi oleh tanaman monokultur yaitu pinus (Pinus merkusii) dan jati (Tectona grandis) yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sedangkan penutupan/penggunaan lahan perkebunan/kebun menempati lahan seluas 3.781,64 ha. Jenis tanaman pada lahan perkebunan/kebun adalah tanaman keras yaitu jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), sengon (Albisia sp) dan akasia mangium
154 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
Sumber (Source) : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dalam format digital dan Peta Penggunaan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 (Indonesia Topographic (RBI) Map 1:25.000 in digital format and Land use/land cover map the year of 2005)
Gambar 3. Peta Penutupan/penggunaan lahan Sub DAS Keduang. Figure 3. Landuse/landcover map of Keduang Sub Watershed.
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
155
156 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
(Acacia mangium) yang ditanam mengelompok pada lahan milik masyarakat. Oleh karena itu setiap kecamatan memiliki jenis penutupan/penggunaan lahan perkebunan/kebun dengan luasan yang bervariasi. Luas total tanaman keras di wilayah Sub DAS Keduang adalah 4.132,19 ha (11,24% dari total luas Sub DAS). Perbandingan antara luasan tanaman keras (hutan dan perkebunan/kebun) dengan tanaman semusim (sawah, sawah tadah hujan dan tegalan) adalah 1:6. Berdasarkan UndangUndang (UU) No.41 tahun 1999, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (yaitu sebesar 30%) untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Alih fungsi lahan hutan di bagian hulu DAS menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, jasa, dan perkebunan telah mengakibatkan menurunnya kemampuan lahan untuk menahan air, sehingga air hujan akan langsung dialirkan ke hilir DAS (Utomo dan Supriharjo, 2012). Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan erosi pada lahan yang selanjutnya terendapkan (sedimentasi) pada saluran irigasi, sungai dan danau sehingga mengakibatkan
pendangkalan yang berujung pada penurunan kapasitas daya tampung air. Secara umum terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (terutama intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah, dan tataguna lahan. Peranan hutan dalam menurunkan besaran banjir adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari gempuran tenaga kinetis air hujan (erosi), disamping itu serasah organik lantai hutan dapat berfungsi untuk menghambat aliran permukaan. Lapisan permukaan tanah hutan umumnya mempunyai pori-pori tanah besar (karena aktivitas mikroorganisme dan akar vegetasi hutan) akan memperbesar infiltrasi (Asdak, 1995). C. Analisis tekanan penduduk terhadap lahan Jumlah penduduk merupakan parameter penting di dalam penghitungan nilai TP. Laju pertumbuhan penduduk tahunan (r) dihitung dengan menggunakan formula (4). Hasil analisis jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya disajikan pada Tabel 3, sedangkan grafik jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan disajikan pada Gambar 4.
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk pada masing-masing kecamatan di Sub DAS Keduang Table 3. Population and population growth rate on each sub districts in Keduang Sub Watershed No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan (Sub district) Bulukerto Girimarto Jatipurno Jatiroto Jatisrono Jatiyoso Kismantoro Ngadirojo Nguntoronadi Purwantoro Sidoharjo Slogohimo Tirtomoyo Sub DAS (Sub Watershed)
2007 37.139 52.177 43.483 45.391 70.489 40.318 42.842 64.918 28.832 60.748 49.265 58.288 62.013 657.910
Jumlah Penduduk (population) 2008 2009 2010 37.816 38.870 39.369 53.371 54.583 55.294 44.755 45.773 46.281 46.546 47.192 47.711 72.842 74.100 75.073 40.422 40.536 40.709 44.058 44.964 45.645 67.539 68.997 69.856 29.049 29.538 29.854 62.683 63.826 64.550 50.380 51.285 51.719 59.492 60.611 61.280 63.283 64.083 64.542 674.244
686.367
693.893
r
%r
2011 39.753 55.624 46.677 48.141 75.955 40.709 46.153 70.255 29.984 65.294 51.986 61.763 64.932
0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
1,36 1,28 1,42 1,18 1,49 0,19 1,49 1,58 0,78 1,44 1,08 1,16 0,92
699.237
0,01
1,2
Sumber (source): Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonogiri (Statistics Indonesia (BPS) of Wonogiri District) r adalah laju pertumbuhan penduduk (r is population growth rate) % r adalah persentase pertumbuhan penduduk (% r is percentage of population growth rate)
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
157
Sumber (Source) : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonogiri (Statistics Indonesia (BPS) of Wonogiri District)
Gambar 4: Grafik jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan di Sub DAS Keduang. Figure 4: Graph of Population of each sub district in the Keduang Sub Watershed. Berdasarkan Tabel 3, jumlah penduduk di lokasi penelitian mengalami kenaikan yang tercermin dari nilai r > 0. Persentase laju pertumbuhan penduduk paling kecil terjadi di Kecamatan Jatiyoso yaitu sebesar 0,19%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk paling tinggi terjadi di Kecamatan Ngadirojo yaitu 1,58%. Jumlah penduduk paling banyak berada di Kecamatan Jatisrono. Pertumbuhan penduduk, perluasan lahan pertanian, dan pengembangan industri telah menyebabkan kebutuhan air meningkat, yang selanjutnya menyebabkan meningkatnya persaingan dan konflik antar sektor pengguna air (Ty Van et al., 2011). Selain itu, pertumbuhan penduduk telah mengakibatkan kebutuhan akan lahan meningkat sehingga terjadi alih fungsi lahan pertanian. Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan tingkat pertambahan penduduk dan pola penyebaran yang kurang seimbang dengan jumlah dan pola penyebaran sumber daya alam serta daya dukung lingkungan yang ada (Soerjani, 1987). Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian berdampak negatif terhadap ketahanan dan swasembada pangan. Menurut Irawan dan Friyatno (2002), areal sawah produktif yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap produksi pangan justru telah mengalami penyusutan akibat
alih fungsi lahan ke penggunaan non pertanian. Sumber daya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian juga dapat mengakibatkan pemadatan tanah. Pemadatan tanah berakibat langsung pada meningkatnya kerapatan isi tanah dan tekanan-tekanan terhadap tanah akan mengurangi kadar air tanah, porositas tanah dan mengganggu sistem tanah (Yunus, 2004). Santosa et al. (2011), menyampaikan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pertanian dari tahun 1982 sampai tahun 1985 dan dari tahun 1998 sampai tahun 1999 diperkirakan terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 246.000 ha. Konversi ini diperuntukkan untuk perumahan 30%, industri 7%, lahan kering 20%, perkebunan 25%, kolam 3% dan penggunaan lainnya 15%. Tekanan penduduk terhadap lahan dihitung dengan menggunakan formula (1) dan disajikan pada Tabel 4. Nilai TP mencerminkan rasio antara parameter kependudukan (jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk) dengan luas lahan pertanian. Nilai TP > 2 (dikategorikan jelek) merupakan suatu indikasi bahwa di wilayah Kecamatan Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo dan Tirtomoyo yang berada di dalam Sub DAS
158 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
Tabel 4. Tekanan Penduduk (TP) terhadap lahan pada masing-masing kecamatan di Sub DAS Keduang Table 4. Population pressure (TP) on land in each sub districts in the Keduang Sub watershed No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan (Sub District) Bulukerto Girimarto Jatipurno Jatiroto Jatisrono Jatiyoso Kismantoro Ngadirojo Nguntoronadi Purwantoro Sidoharjo Slogohimo Tirtomoyo Sub DAS Sub watershed
Tekanan Penduduk (TP) (Population Pressure)
Klasifikasi (Classification)
1,91 1,23 1,21 1,88 5,15 386,95 8,46 12,25 3.719,80 1,26 2,37 2.002,86
Sedang Sedang Sedang Sedang Jelek Jelek Jelek Jelek Jelek Sedang Jelek Jelek
28.978,16
Jelek
Sumber (Source): Analisis data primer (primary data analysis)
Keduang, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian tinggi. Hal tersebut mencerminkan ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya dengan ketersediaan lahan pertanian. Wilayah Kecamatan Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono dan Sidoharjon, nilai TP kategori sedang (1
2 (kategori jelek). Tingginya nilai TP di Sub DAS Keduang mencerminkan terjadinya degradasi lahan yang diindikasikan oleh besarnya erosi. Sub DAS Keduang sebagai penyumbang sedimentasi terbesar, yaitu 1.218.580 m3 atau sekitar 38,33% dari total sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur (JICA, 2007). Nilai TP untuk wilayah Kecamatan Bulukerto tidak dapat dihitung/diketahui karena tidak adanya jenis penutupan/penggunaan lahan sawah (sawah irigasi), sawah tadah hujan dan tegalan/ladang di wilayah Kecamatan Bulukerto yang berada di dalam Sub DAS Keduang, sehingga luas ketiga jenis penutupan/penggunaan lahan tersebut nol. Selain itu luas wilayah Kecamatan Bulukerto yang berada
di dalam Sub DAS Keduang juga sangat kecil yaitu 0,04 ha (Tabel.1). Nilai TP pada masing-masing kecamatan di wilayah Sub DAS Keduang dikategorikan sedang sampai jelek. Nilai TP yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono dan Sidoharjo. Hal tersebut disebabkan lahan pertanian (sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang) menempati areal lebih dari 50% luas wilayah kecamatan-kecamatan tersebut dan sebagian besar (lebih dari 50%) luas wilayah kecamatan-kecamatan tersebut berada di dalam sub DAS Keduang (Tabel 1). Nilai TP untuk Kecamatan Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro dan Tirtomoyo masuk dalam kategori jelek (TP > 2). Hal ini disebabkan lahan pertanian (sawah, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang) pada wilayah tersebut kecil (Tabel 2) karena luas wilayah kecamatan (yang berada di dalam Sub DAS Keduang) juga sangat kecil (Tabel 1), padahal parameter kependudukan (jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk) yang digunakan dalam formula penghitungan TP, dihitung dari data kependudukan masing-masing kecamatan tersebut (Tabel 3).
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
159
Sumber (source): Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 (Indonesia Topographic (RBI) Map 1:25.000 in digital format
Gambar 5. Distribusi spasial tekanan penduduk terhadap lahan di wilayah Sub DAS Keduang. Figure 5. Spatial distribution of Population Pressure on land in the Keduang Sub Watershed. Distribusi spasial tekanan penduduk terhadap lahan di Sub DAS Keduang disajikan pada Gambar 5. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Keduang memiliki nilai TP sedang (warna kuning). Tetapi berdasarkan penghitungan formula TP yang terinci dalam Rumus 1, 2, 3 dan 4 nilai TP di Sub DAS Keduang adalah 28.978,16 dan masuk dalam kategori jelek. Besarnya nilai tersebut disebabkan banyaknya wilayah kecamatan yang tidak 100% masuk ke dalam wilayah Sub Das Keduang (Tabel 1). Hal ini berakibat pada penghitungan akhir formula TP, karena parameter kependudukan yang digunakan berasal dari data perkecamatan dan belum ada data kependudukan berdasarkan batas DAS atau Sub DAS.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Luas Sub DAS Keduang yaitu 36.745,88 ha yang meliputi tiga belas kecamatan, dua belas kecamatan di Kabupaten Wonogiri dan satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Sawah (sawah irigasi) menempati areal paling luas yaitu 11.492,97 ha atau sekitar 31,28% dari total luas Sub DAS Keduang. Kecamatan Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono dan Sidoharjo memiliki nilai TP dalam kategori sedang, yang berarti bahwa pada kecamatan tersebut telah terjadi tekanan penduduk
160 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
terhadap lahan pertanian dalam kategori sedang. Perbandingan antara jumlah petani, jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk dengan luas lahan pertanian seimbang. Sedangkan Wilayah Kecamatan Jatiyoso, K ism ant or o, N g ad i roj o, N gun to ro nadi , Purwantoro, Slogohimo dan Tirtomoyo memiliki nilai TP > 2 yang dikategorikan jelek. Hal tersebut mengindikasikan ketidakseimbangan antara luas lahan pertanian dengan jumlah petani, jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya. Tingginya nilai TP di Sub DAS Keduang yaitu sebesar 28.978,16 apabila hal ini dibiarkan jumlah petani pada wilayah tersebut tidak seimbang dengan ketersediaan luas lahan pertanian. Hal ini dapat memicu terjadinya degradasi lahan di Sub DAS Keduang akan semakin serius B. Saran Berbag ai upaya konser vasi dan atau pengurangan tekanan pendudk (TP) pada Sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri perlu lebih difokuskan pada tujuh wilayah kecamatan, yaitu Jatiyoso, Kismantoro, Ngadirojo, Nguntoronadi, Purwantoro, Slogohimo dan Tirtomoyo yang tingkat keseimbangan luas lahan dan penduduk dengan nilai TP > 2. Untuk mendapatkan nilai TP yang lebih akurat di sub DAS Keduang, maka disarankan pendataan jumlah penduduk dan petani tidak hanya dilakukan pada wilayah administratif tetapi juga pada wilayah sub DAS. Hal ini dapat dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) bekerjasama dengan penyuluh kehutanan dan pertanian di masing-masing kecamatan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Bambang Sugiarto, MP. sebagai Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian ini pada tahun 2014 serta kepada pihak Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan data dan informasi petani di wilayah penelitian. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof.DR.Ir. Irsal Las, MS dan Drs. Edi Basuno, M.Phill.Ph.D yang telah memberikan koreksi dan saran untuk kebaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. (2012). Wonogiri dalam angka. Wonogiri: Badan Pusat Statistik. Aronoff, S. (2012). Geographical information system. A Management perspective. Ottawa Canada: WDL Publication. Asdak, C. (1995). Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Asdak, C. (2012). Kajian lingkungan hidup strategis : jalan menuju pembangunan berkelanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Harianto, K. (2002). Biaya lingkungan yang terabaikan dalam kebijakan ketahanan pangan. Prosiding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Bogor, 1 Mei 2002. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pusat Penelitian Institut Pertanian Bogor. Irawan, B. F. (2002). Dampak konversi lahan sawah di Jawa terhadap produksi beras dan kebijakan pengendaliannya. Jurnal SosialEkonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA : 2(2), 79-95. Japan International Cooperation. (2007). Studi penanganan sedimentasi waduk serbaguna Wonogiri Republik Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Jones C., P. M. (2002). Watershed health monitoring. Emerging technologies. Washington D.C: Lewis Publiser. Krisnohadi, A. (2011). Tekanan penduduk dan trend per ubahan penggunaan lahan potensial untuk pertanian di Kota Singkawang Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Bengkulu, 7 Juli 2011. Bengkulu: Universitas Negeri Bengkulu. Oktama, R. D. (2013). Aplikasi SIG dalam analisis tekanan penduduk terhadap lahan pertanian
Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian ..... (Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti)
161
di Kec am at an S em anu K abu pat e n Gunungkidul. Prosiding Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospasial Untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013. Surakarta, 20 Juni 2013. Surakarta: Muhamadiyah University Press. Paimin, S. P. (2006). Sidik cepat degradasi sub daerah aliran sungai. Bogor: Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan dan Konservasi alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial nomor P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Tanggal 05 Maret 2009. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Prahasta, E. (2009). Sistem informasi geografis. Konsepkonsep dasar (perspektif geodesi dan geomatika). Bandung: Informatiks. Purwanto, E. (2012). Prinsip perlindungan dan rehabilitasi daerah tangkapan air (PR-DTA) (Seri Manual Perlindungan dan Rehabiitasi Daerah Tangkapan Air (PR-DTA) (ed.). Baubau: Operation Wallacea Trust (OWT). Santosa, A. D. (2011). Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan beras. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Bengkulu, 7 Juli 2011. Sartohadi J, P. F. (2008). Evaluasi potensi degradasi lahan dengan meng gunakan analisa kemampuan lahan dan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di Kecamatan
Kokap Kabupaten Kulon Progo. Forum Geografi , 1-12. Soemarwoto, O. (1985). A Quantitative Model of Population Pressure and Its Potential Use in Development Planning. Majalah Demografi Indonesia, Vo.12. No. 24. Soemarwoto, O. (1999). Analisis mengenai dampak lingkungan. Yogyakarata: Gadjah Mada University Press. Soerjani. (1987). Lingkungan: sumber daya alam, pependudukan dalam pembangunan. Jakarta: Universitas indonesia Press. Suputra, D. A. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan studi kasus di Subak Daksina, Desa Tibuneneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. E-journal Agribisnis dan Pariwisata 1 (1), 61-68. Ty Van, T. S. (2011). A spatial impact assessment of human-induced intervention highlands of Vietnam. Int. Journal River Basin Management, 103-116. Undang-undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Utomo, B.B. dan Supriharjo, D.R. (2012). Pemintakatan risiko bencana banjir bandang di kawasan sepanjang kali Sampean, Kabupaten Bondowoso. Jurnal Teknik ITS 1 (1). Worosuprojo. (2007). Pengelolaan sumber daya berbasis spasial dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Yuswar, Y. (2004). Tanah dan pengolahan. Bandung: CV. Alfabeta.
162 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 149-162
KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA, PROVINSI MALUKU UTARA (Local Wisdom in the Utilization of Medicine Plants by Community Around Aketajawe Lolobata National Park, North Maluku Province) Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Kota Manado, Indonesia e-mail :[email protected] Diterima 2 Juli 2015, direvisi 22 September 2015, disetujui 29 September 2015
ABSTRACT Utilization of forest plants in traditional medicine by community around the Aketajawe Lolobata National Park (ALNP) is one of local wisdom that must be maintained. The aim of this research is to enrich the bioecology data so it can be used as a reference in forest management based on community welfare and environmental sustainability. This research was conducted to assess the utilization of medicinal plants by the community in the traditional zones of ALNP. The method used were in-depth interview (questionnaire), field surveys, and phytochemical analysis. Results showed that as many as 78 species plants identified mostly are Fabaceae family. Habitus majority of the plants are in the form of trees (42%) and part of the plant most widely used are leaves as much as 40%. Plants used for treatment of allergies and minor injuries (29 species); increase stamina (17 species); and internal and chronic diseases (32 species). Phytochemical analysis showed that extracts of Alstonia scholaris bark, Homalium grandiflorum stem, Crotalaria retusa leaves, Arcangelsia flava stem, and togutil rope stem contain triterpenoid compound (malaria repellent). Extract of toyom bark (Sterculia obongifolia) contains tannin which has the function to stop bleeding and healing of burns infections. Keywords: medicinal plants, community, local wisdom, Aketajawe Lolobata National Park ABSTRAK Pemanfaatan tumbuhan hutan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat disekitar kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang harus dipertahankan. Informasi ini guna memperkaya data bioekologi sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan oleh masyarakat pada zona tradisional TNAL. Metode yang digunakan adalah wawancara secara mendalam, survei lapangan, dan teknik kuesioner. Analisis fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa aktif tumbuhan. Teridentifikasi sebanyak 78 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional dimana sebagian besar merupakan famili Fabaceae. Habitus tumbuhan mayoritas berupa pohon (42%) dan bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan yaitu daun sebanyak 40%. Umumnya tumbuhan digunakan untuk pengobatan luar seperti alergi dan luka ringan (29 jenis); peningkat stamina tubuh (17 jenis); serta penyakit dalam dan kronis (32 jenis). Analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit Alstonia scholaris, batang Homalium grandiflorum, daun Crotalaria retusa, batang Arcangelsia flava, dan batang tali togutil mengandung senyawa triterpenoid (anti malaria). Ekstrak kulit Toyom (Sterculia obongifolia) mengandung tanin, yang berfungsi menghentikan pendarahan dan menyembuhkan infeksi luka bakar. Kata kunci: tumbuhan obat, masyarakat, kearifan lokal, Taman Nasional Aketajawe Lolobata.
I. PENDAHULUAN Kawasan hutan Indonesia merupakan sumber penghasil berbagai jenis plasma nutfah berkualitas dunia dikarenakan banyaknya jenis-jenis endemik, langka dan unik yang ditemukan di wilayah ini. Potensi tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat
yang bermukim di sekitar hutan pada berbagai bidang seperti pertanian, ketahanan pangan, kehutanan dan kedokteran. Plasma nutfah sangat potensial untuk dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat, salah satunya sebagai bahan herbal. Diperkirakan hutan Indonesia menyimpan potensi tumbuhan obat sebanyak 30.000 jenis dari total
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
163
40.000 jenis tumbuhan dunia. Sebanyak 940 jenis diantaranya telah dinyatakan berkhasiat sebagai obat, atau sekitar 90% dari seluruh tumbuhan obat yang ada di Benua Asia. Dari sekian banyak jenis tumbuhan obat, baru 20-22% yang dibudidayakan, sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan langsung dari hutan (Nugroho, 2010). Pemanfaatan tumbuhan obat telah dipraktekkan sejak lama oleh para leluhur yang kemudian berkembang dan menghasilkan sebuah kearifan lokal. Kearifan tersebut muncul dalam bentuk budaya pemanfaatan nilai dan khasiat dari tumbuhan obat, dimana tradisi ini dapat dijumpai dibeberapa negara antara lain Cina dan Korea. Masyarakat Cina dan Korea sangat gemar mengkomsumsi bahan herbal seperti ginseng sebagai obat dan minuman tradisional. Di Indonesia kebiasaan mengkonsumsi obat tradisional telah lama dikembangkan dalam bentuk jamu-jamuan, tradisi ini dipopulerkan oleh masyarakat Jawa. Kondisi yang sama juga ditemukan di ujung timur Indonesia, dimana masyarakat Papua terbiasa mengkonsumsi buah merah yang terbukti sebagai obat yang sangat mujarab. Pemanfaatan dan pengelolaan plasma nutfah oleh masyarakat tradisional pada umumnya didasarkan pada akumulasi pengetahuan lokal dan kebijakan yang telah dipatuhi sebagai tradisi dan hukum adat yang diwariskan secara turun temurun (Sutrisno & Silitonga 2004). Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan salah satu kawasan konservasi dari total 11% hutan konservasi yang dimiliki Provinsi Maluku Utara,dimana luas kawasan secara keseluruhan ± 2.519.623,91 ha (Dishut Malut, 2012). Kawasan TNAL memiliki kondisi alam cukup baik dengan berbagai rangkaian habitat dan spesies asli dari biogeografi kelompok Halmahera. Kawasan ini diyakini menyimpan potensi tumbuhan obat yang sangat tinggi. Hal ini didasarkan pada tradisi masyarakat lokal yang masih memanfaatkan tumbuhan sebagai obat. Kawasan TNAL khususnya wilayah Lolobata merupakan tempat Suku Togutil menggantungkan hidupnya pada berbagai sumber plasma nutfah. Terdapat 149 jenis yang terdiri dari 100 sumber plasma nutfah pertanian (71 spesies) yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan 49 jenis tumbuhan obat (45 spesies) dimanfaatkan sebagai bahan obat (Karim et al, 2006).
Mengingat tekanan dan ancaman pada kawasan konservasi dan masih minimnya informasi ilmiah mengenai potensi tumbuhan obat, maka diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan tumbuhan alam berkhasiat obat. Informasi tersebut dapat digunakan untuk memperkuat sistem data base bioekologi dan menjadi acuan bagi pengelolaan kawasan berbasis kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kehidupan. Tulisan ini merupakan uraian mengenai kebiasaan masyarakat Maluku Utara dalam memanfaatkan tumbuhan alam sebagai bahan obat tradisional. Berdasarkan kajian tersebut kemudian beberapa jenis yang potensial dilakukan pembuktian ilmiah dengan identifikasi kandungan bahan/senyawa aktif (uji fitokimia). Hasil ini diharapkan menjadi data base untuk lebih mengkaji potensi kemudian menjadi dasar pertimbangan dalam pengembangannya untuk dibudidayakan di sekitar kawasan TNAL sehing ga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada zona tradisional TNAL yang keselurahan arealnya merupakan wilayah blokAketajawe di Provinsi Maluku Utara. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan di Desa Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) III Subaim. Dua sampel lainnya yaitu Desa Gosale di Kecamatan Oba Utara dan Dusun Tayawi di Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah SPTN I Weda. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan dimulai dengan kegiatan survei pada bulan April, pelaksanaan pada Bulan Juni dan Oktober, identifikasi jenis serta analisis laboratorium hingga bulan Desember 2013. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan TNAL, alkohol, aquadest, sampel bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat.Alat yang digunakan antara lain parang, pisau, gunting stek, rol meter, GPS, tally
164 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
sheet, kamera, kuesioner, papan data, tali rapia, karung, koran, plastik clip ukuran 10 x 10 cm, plastik clip ukuran 100 cm x 58 cm, baterai A2, baterai A3, spidol permanen, alat tulis menulis, dan perlengkapan kemah. C. Rancangan Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu kombinasi teknik survei lapangan (observasi), teknik wawancara secara mendalam (in depth interview), dan teknik kuesioner. Responden merupakan tokoh kunci dan pemanfaat tumbuhan obat sebanyak 28 orangyang berasal dari 3 desa di sekitar TNAL. Data yang dikumpulkan antara lain : 1. Data potensi meliputi : jenis, khasiat dan cara meramu. 2. Data sosial budaya meliputi kearifan lokal. Uji fitokimia dilakukan terhadap beberapa sampel tumbuhan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia aktif, seperti : kandungan alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidroquinon. Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data sekunder yang mendukung dan memperkuat data primer dari sumber-sumber yang valid dan ilmiah. Dokumentasi data dilakukan dengan menggunakan tally sheet dan kamera untuk mengarahkan proses kerja di lapangan serta memudahkan pengendalian data. D. Analisis Data Identifikasi herbarium untuk jenis-jenis yang belum diketahui di Laboratorium Botani Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor. Ekstraksi sampel tumbuhan di Laboratorium Flora
dan Fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Dan analisis fitokimia di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor. Data potensi, jenis, manfaat tumbuhan obat berikut hasil analisis laboratorium ditabulasi dan interaksi masyarakat dianalisis secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi Tumbuhan Obat dan Kearifal Lokal Masyarakat Masyarakat yang bermukim di sekitar TNAL pada umumnya telah mengetahui dan memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk kebutuhan dalam kehidupan keseharian mereka. Salah satu pemanfaatan yang hingga kini masih dapat ditemukan dan terus lestari khususnya pada wilayah pedesaan yaitu penggunaan tumbuhan sebagairamuan obat tradisional. Jenis penyakit yang diobati cukup bervariasi dari alergi dan luka ringan, penyakit dalam kronis hingga penyakit akibat kekuatan mistik. Karakteristik tumbuhan obat dan cara pemanfaatannya pun khas pada masingmasing lokasi penelitian, sesuai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki serta kearifan lokal setempat. Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 78 jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional pada Desa Gosale, Desa Akejawi dan Dusun Tayawi. Umumnya masyarakat memanfaatkan jenis pohon dan menggunakan daun sebagai bahan ramuan dalam pengobatan penyakit (Gambar 1).
Primary
Sumber : Analisis data primer (Primary data analysis) 2013
Gambar 1. Habitus dan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan ramuan obat Figure 1. Habitusandplant partsused as ingredientsa medicinal herb
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
165
Pohon merupakan habitus tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan sebesar 41,98%,diikuti oleh herba 29,63% dan liana 18,52%. Bagian tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai ramuan adalah daun yaitu39,76%, batang 26,51% dan kulit 18,07%. Hanya sebagian kecil yang menggunakan seluruh bagian tumbuhan (2,41%), umumnya kategori ini merupakan jenis-jenis herba. FamiliFabaceae merupakan kelompok spesiesyang terbanyak digunakan yaitu sebesar 11,11% dari total spesies tumbuhan obat. Pernyataan ini didukung oleh Zuhud dan Hikmat (2009) bahwa Fabaceae merupakan kelompok famili dengan spesies terbanyak yang dimanfaatkan sebagai obat (110 spesies). Famili terbanyak lainnya adalah Anacardiaceae, Apocynaceae, Arecaceae, Piperaceae, dan Myrtaceae dengan persentase masing-masing sebesar 3,70%. Kearifan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan obat terdiri atas tiga kategori yaitu (i) cara mengambil bahan ramuan, (ii) cara meramu, dan (iii) waktu mengkonsumsi ramuan. Salah satu kearifan lokal dalam cara mengambil ramuan yaitu dari bagian tertentu tumbuhan (daun, batang, akar, kulit), dan pengambilan bahan memiliki ukuran/ketentuan tertentu misalnya jumlah helai daun harus ganjil, daun yang mengarah ke atas, ukuran bahan yang diseduh/rebus 1 genggam/ 1 ikat dan warna kulit batang (terang/gelap), dan pengambilan bahan sebaiknya di pagi hari sehingga masih segar. Kearifan lokal cara meramu yang sering diterapkan diantaranya adalah ramuan direbus hingga air rebusannya menjadi setengah gelas atau campuran ramuan harus menggunakan m i n y a k k e l a p a mu r n i , a d a j u g a y a n g mengkombinasikan beberapa jenis bagian tumbuhan serta perlakuan sebelum diramu. Masyarakat juga meyakini bahwa kesembuhan dipengaruhi oleh waktu meminum ramuan yang tepat misalnya diminum setiap saat ataupun tiap pagi dan sore saja namun pada penyakit tertentu hanya diminum pagi saja atau sore saja. Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi dan tumbuh menjadi identitas penentu dalam pembangunan peradaban komunitas masyarakat. Kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah laku tetapi juga mengandung unsur kecerdasan, kreativitas dan pengetahuan lokal. Disamping itu,
kearifan lokal juga menjadi norma yang berlaku serta diyakini kebenarannya oleh masyarakat (Ridwan, 2007). Pemanfaatan tumbuhan obat pada Desa Akejawi dan Desa Gosale hanya dilakukan oleh individu-individu tertentu (dukun kampung/basou) yang telah memanfaatkannya sejak dulu. Identifikasi terhadap garis keturunan sangat penting untuk mengetahui dan menggali potensi tumbuhan obat yang dimanfaatkan pada wilayah in i. M asya raka t y an g t ahu d an masih mempertahankan kebiasaan menggunakan obat tradisional adalah mereka yang telah merasakan khasiat dari tumbuhan tersebut. Dusun Tayawi merupakan tempat masyarakat Togutil hidup yang dengan sepenuhnya bergantung pada hasil hutan dengan cara berburu dan bercocok tanam secara subsisten. Tumbuhan yang berada dihutan merupakan sumber penghidupan mereka dalam memenuhi pangan, sandang dan papan termasuk juga ramuan obat dalam penyembuhan penyakit.Togutil merupakan sebutan untuk sekelompok masyarakat yang mendiami hutan Halmahera. Togutil sendiri berasal dari bahasa Tobelo kuno yang berarti “Orang Yang Hidup Dalam Hutan” sehingga orangorang Togutil sering kali disebut sebagai suku Tobelo dalam. Rumah tradisional suku Togutil hanya terdiri dari ranting kayu beratapkan daun Woka (Livistona rotundifolia). Keprimitifan mereka juga tergambar dari pernikahan sedarah yang mereka jalani selama ini, yaitu ayah menikahi anak perempuannya dan anak laki-laki bisa menikahi ibunya ataupun menikah dengan sesama saudara (Nurrani & Tabba, 2011). Sistem kepercayaan atau keyakinan asli orang Togutil terpusat pada ruh-ruh leluhur yang menempati seluruh alam lingkungan. Orang Togutil percaya akan adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta atau biasanya disebut juga ogikiri-moi yaitu jiwa atau nyawa (Martodirdjo, 1991). Masyarakat berpandangan bahwa setiap tumbuhan memiliki jiwa, karena itu dalam pemanfaatannya harus diperlakukan dengan baik dan dengan bimbingan dari tetuah kampung yang didahului dengan ritual pengucapan niat dan permintaan kesembuhan kepada leluhur. Suku Togutil menyakini bahwa jika tumbuhan diperlakukan tidak baik, maka akan menyulitkan sumber kehidupan dan keturunan mereka.
166 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
B. Tumbuhan Obat Untuk Pengobatan Luar Pengobatan luar yang dimaksud adalah pengobatan pada penyakit yang dapat diobati secara langsung dengan cara dioles, ditempel, digosok, ditetes atau air ramuannya digunakan untuk berkumur. Pengobatan pada jenis penyakit ini tidak membutuhkan banyak campuran tapi cukup
menggunakan bagian tertentu dari satu jenis tumbuhan saja. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah sariawan, sakit gigi, bisul, badan pegal-pegal, sakit kepala, alergi gatal, bau badan dan obat mengatasi iritasi ringan pada mata. Jenisjenis tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan luar berikut kegunaan dan cara meramu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tumbuhan Untuk Pengobatan Alergi dan Luka Ringan Table 1. Plants Species for Treatment of Allergiesand Lightly Wound Nama Ilmiah/Famili (Scientificname/ Family) Alpinia sp/Zingiberaceae Homalium grandiflorum Bent/Flacourtiaceae
Nama Lokal (Local name) Galoba
Cerbera floribunda K Schum/Apocynaceae Merremia peltata (L.) Merr./Convolvulaceae Artocarpus communis Forst. /Moraceae Bassela rubra Linn./ Basellaceae Erithrina variegata L./ Leguminosae *
Ridingi
Phrynium pubinerve Blume /Maranthaceae Imperata cylindrica (L.) Beauv. /Poaceae Stachystarpheta dichotoma Wall./ Verbenaceae Heliconia sp/ Heliconiaceae Blumea chinensis Dc./ Asteraceae
Loleba
Ervatamia spaerocarfa Hassk/ Apocynaceae
Bereberete
Liana (Liana)
Dangota
Pohon (Tree)
16.
Milletia sp /Leguminoceae Phanera finlaysoniana Benth./Fabaceae
17.
Sterculia obongifolia R.Br /Sterculiaceae
Toyom
18.
Freycinetia sp/Pandanaceae
Dingodingoto
Palma (Palm)
Ngauku
Herba (Herb)
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14. 15.
19. 20. 21. 22.
Begonia holosericea Teijsm. & Binn./ Begoniaceae Calamus sp/ Arecaceae Pometia pinnata Forster./Sapindaceae Villebrunea rubescens BL. /Urticaceae
Tali sogili
Meremia Amo hutan Binahong Galala Gine-ginene
Alang-alang Rumput ternate Pisang raja Ngoku
Gomoanga
Rotan Matoa Sasoro
Habitus (Habitus) Herba (Herb) Liana (Liana) Pohon (Tree) Liana (Liana) Pohon (Tree) Herba (Herb) Pohon (Tree) Liana (Liana) Herba (Herb) Herba (Herb) Herba (Herb) Herba (Herb) Liana (Liana)
Liana (Liana) Pohon (tree)
Palma (Palm) Pohon (Tree) Herba (Herb)
Kegunaan dan Cara Meramu (Utility andway ofmix) Obat luka : kerat batang lunak lalu tempelkan pada luka(wound drug: the soft stems ar sliced and then put it on the wound) Obat luka : bakar batang dan campurkan dengan minyak kelapa asli kemudian oleskan pada luka hingga sembuh (wound drug: the stems are burned and mixedwith original coconut oil then apply on the wound until healed). Obat luka : kerat permukaan batang dan tempelkan pada luka (wound drug : the surface stems are sliced and put on the wound) Obat luka : kerat batang dan tempelkan langsung pada luka (wound drug: the stems are sliced and put on the wound). Obat luka : Oleskan getah pada lu ka 2 x sehari. (wound drug : the saps are pplied on the wound 2 times a day) Obat luka : Remas d aun dan tempelkan pada luka. (wound drug : the leaves are squeezed and put on the wound) Obat luka : Kunyah pucuk daun sampai halus lalu tempelkan pada luka. (wound drug : the young leaves are chewed until smooththen put on the wound) Obat luka : B akar batang hingga gosong lalu tempelkan pada luka . (wound drug : the stems are burned until scorched then put on the wound) Obat luka : Kerat bagian dalam batang lalu tempelkan pada luka.(wound drug : the inside of stems are sliced and put on wound). Obat luka : remas batang alang-alang dengan air lalu tempelkan pada luka. (wound drug : the stems are squeezed with water and put on the wounds.) Obat luka : campur daun dengan kapur sirih, remas dan oleskan pada luka (wound drug : the leaves are mixed with whiting, and then squeeze edit and applied on the wound) Obat luka : tempelkan hati batang pisang yang membusuk pada luka 2 x sehari (wound drug : the liver stem of banana wich has decomposed is placedon wound 2 times a day) Obat luka : Campur daun dengan kapur sirih, panasi dan remas hingga keluar cairan lalu oleskan pada bagian yang luka /melepuh 3 x sehari (wound drug : the leaves are mixed with whiting, was heated and squeezed until fluid out then applied on the wound 3 times a day). Obat luka bengkak : bakar batang hingga gosong, haluskan dan oleskan pada luka pagi dan sore hari. (swollenwound drug : the stem are burned until scorched, mashed and applied on the wound every morning and afternoon). Obat luka bengkak : Tumbuk akar hingga halus dan tempelkan pada luka (swollen wound drug : the roots are mashed and put on the wound). Obat luka : b akar batang sampai gosong, haluskan dan oleskan pada luka pagi dan sore hari (Wound drug : the stems are burneduntil scorched, mashed and applied on the woundevery morning and afternoon) Obat luka infeksi : bakar kulit hingga gosong, haluskan dengan minyak kelapa murni dan gosok pada luka. (wound infeksi drug : the stems are burned until scorched mixed with original coconut oil then applied on wound) Obat sakit kepala : tumbuk pucuk daun muda dan tempelkan pada kepalapagi dan sore hari (Headaches drug : young leaves are m ashed and put on the head every morning and afternoon) Obat sakit kepala : tumbuk daun sampai halus, tempelkan pada kepala selama 1 jam. gunakan 3 x sehari. (headache drug : the leaves are mashed, put on head for 1 hour. Used 3 times a day) Obat sakit gigi : tumbuk akar, rebus kemudian gunakan berkumur pagi dan sore hari. (toothachedrug: the roots are mashed, boiledand thenused togargleevery morning and afternoon). Obat sakit gigi : Rebus kulit dan gunakan buat kumur-kumur tiap pagi (toothache drug : thebarks are boiledandusedformouthwashevery morning) Badan pegal-pegal : gosokkan bawah daun pada badan dan gunakan untuk sekali saja. (body aches : the underside of leavesare rubbed on bodyandusedfor once).
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
167
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued No 23. 24. 25. 26. 27.
27. 28. 29.
Nama Ilmiah/Famili (Scientificname/ Family) *
Nama Lokal (Local name) Rereisu
Urena lobata L./ Malvaceae Semecarpus arborescens Kurz /Anacardiaceae
Tapalao
*
Sayeu
Syzigium samarengense (Blume) Merrill & Perry /Myrtaceae Syzigium samarengense (Blume) Merrill & Perry /Myrtaceae Punica granatum L./ Lythraceae Crotalaria retusa L./ Leguminoceae
Sesen
Habitus (Habitus) Herba (Herb) Herba (Herb) Pohon (Tree)
Jambu air
Herba (Herb) Pohon (tree)
Jambu air
Pohon (tree)
Delima
Perdu (shrubs)
Rumput bonci
Herba (herba)
Kegunaan dan Cara Meramu (Utility andway ofmix) Obat mata : Remas daun lalu teteskan airnya pada mata (eyesdrug: the leaves are squeezed and the water dripped on the eyes) Obat bisul : Potong bunga hingga halus lalu tempelkan pada bisul. (boils drug: the flowers are sliced until smooththen put on theboils). Obat gatal : bakar daun kering lalu campur dengan minyak kelapa dalam tempurung kelapa. Oleskan hingga sembuh namun tidak boleh terkena air (itchingdrug: the dry leavesare burned and then mixed with coconut oil in acoconut shell. Applied on the wound until healed butshould not beexposedwater) Obat bau badan : Remas daun dan gosokkan pada badan terutama ketiak (deodorant: the leaves are squeezed and scrub onbody, especially the armpits) Obat herpes : kunyah daun hingga halus, semburkan pada herpes, lakukan terus setiap hari hingga sembuh (herpesdrug: leaves are chewed, sprayed on herpes, do continue every day until healed) Obat herpes : kunyah daun hingga halus, semburkan pada herpes, lakukan terus setiap hari hingga sembuh (herpesdrug: leaves are chewed, sprayed on herpes, do continue every day until healed) Obat herpes : kunyah daun muda hingga halus dan oleskan pada herpes (herpesdrug: young leavesare chewed and applied onherpes) Obat beri-beri : campur daun dan beras lalu tumbuk hingga halus, oleskan dan ulangi hingga sembuh (beriberi drug : leaves mixed withricethen mashed until smooth , applied and repeatuntilhealed)
Keterangan (Remarks): *) = belum teridentifikasi (unidentified) Sumber (Source) : Analisis data primer (Primary data analysis) 2013
Pada pengobatan alergi gatal selain menggunakan tempurung kelapa sebagai media mencampur ramuan, juga harus menggunakan minyak kelapa murni dan tidak boleh terkena air.Cara pengolahan ramuan sederhana merupakan ciri khusus Masyarakat Suku Togutil, umumnya tumbuhan digunakan secara langsung. Ciri khas lain dari masyarakat suku ini adalah penggunaan jenis-jenis herba dan liana sebagai obat yang dominan digunakan (tali togutil dan tali sogili). Toyom (Sterculia obongifolia) merupakan tumbuhan obat yang memiliki efek sangat baik untuk infeksi luka bakar, jenis ini digunakan masyarakat Desa Akejawi untuk pengobatan luka infeksi berat. Berdasarkan informasi masyarakat diketahui bahwa toyom digunakan untuk mengobati luka infeksi berat akibat terkena tembakan yang telah divonis amputasi oleh dokter. Kulit kayu toyom dibakar hingga menjadi arang kemudian dipadukan dengan minyak kelapa murni (Cocos nucifera), dioleskan pada luka infeksi. Setelah pengobatan secara kontinyu selama dua minggu, berangsur-angsur membaik. Bahkan dalam kurun waktu tersebut pasien dapat berjalan dengan normal setelah sebelumnya untuk menggerakkan kaki saja sangat kesulitan. Masyarakat Akejawi memanfaatkan daun Erithrina variegata sebagai obat luka. Berdasarkan uji yang dilakukan oleh Herlina et al. (2006) ekstrak metanol dari daun E. variegata menunjukkan
aktivitas antimalaria dengan IC50 0,243 µg/ml terhadap pertumbuhan P. Falciparum dan antifertilitas terhadap spermatozoa R. norvegicus secara invitro pada dosis 0,25 x 10-3 µg/µl. C. Peningkat Stamina Tubuh Kondisi lelah setelah bekerja, pemulihan tubuh pasca sakitmaupun pemulihan kondisi tubuh bagi para wanita setelah persalinan memerlukan perawatan khusus agar tubuh kembali sehat beraktifitas. Masyarakat sekitar TNAL memiliki kearifan lokal untuk meningkatkan stamina tubuhnya agar tetap fit dan sehat dalam bekerja dan menjalani aktivitas sehari-hari. Ramuan untuk penyakit gangguan pada kewanitaan, perawatan pasca persalinan dan peningkatan kesuburan pada wanita merupakan ramuan yang umum ditemukan di Desa Gosale. Tumbuhan yang digunakan untuk meningkatkan stamina tubuh berikut kegunaan dan cara meramunya dapat dilihat pada Tabel 2. Paul Heinike pada abad 20 mengungkapkan bahwa senyawa metabolit sekunder yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh/ stamina diantaranya adalah enzim proxeronase dan alkaloid proxeronase (Dinkes Kab. Bandung, 2007). Kedua zat ini akan membentuk zat aktif bernama xeronine di dalam tubuh yang akan terbawa aliran darah menuju sel-sel tubuh sehingga menghasilkan sel-sel yang lebih aktif, dan sehat.
168 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
Tabel 2. Tumbuhan untuk peningkatan stamina tubuh (plants for increasing body stamina) Table 2. Plants for increasing body stamina
Keterangan (Remarks): *) = belum teridentifikasi (unidentified) Sumber : Analisis data primer (Primary data analysis) 2013
Sel-sel tersebut akan memperbaiki struktur dan fungsinya dalam tubuh sehingga kondisi tubuh lebih fit dan sehat. Tumbuhan lain yang telah banyak dimanfaatkan masyarakat Indonesia karena khasiatnya yang luar biasa adalah meniran (Phyllanthus niruri). Secara klinis, ekstrak meniran telah terbukti bersifat immunostimulan atau mampu merangsang daya tahan tubuh seseorang, sehingga kebal terhadap serangan penyakit. Meniran mengandung beberapa kandungan kimia diantaranya flavonoid yang
mampu merangsang sistem imun (kekebalan) tubuh manusia agar bekerja lebih baik (Kardinan dan Kusuma, 2004). D. Ramuan Penyakit Dalam dan Penyakit Kronis Pengertian penyakit dalam dan penyakit kronis pada penelitian ini adalah penyakit dari dalam atau infeksi organ dalam tubuh. Jika tidak segera ditangani secara serius akan mengakibatkan sakit
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
169
berkepanjangan bahkan dapat berimplikasi kematian dan pengobatannya harus dilakukan didalam tubuh. Pembuatan ramuan untuk penyakit ini menggunakan kearifan lokal berupa teknik meramu obat, cara pengambilan bahan ramuan dan tata cara meminumnya. Masyarakat meyakini kebiasaan tersebut sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Masyarakat umumnya
menggunakan beberapa bagian tertentu tumbuhan dari jenis yang berbeda untuk membuat ramuan yang kemudian dibutuhkan proses lebih lanjut (dengan direbus hingga mendidih).Tumbuhan untuk pengobatan penyakit dalam dan kronis berikut kegunaan dan cara meramunya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel2. Tumbuhan untuk peningkatan stamina tubuh Table 2. Plants for increasing body stamina
170 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
Tabel2. Lanjutan Table 2. Continued
Keterangan (Remark) : * = belum teridentifikasi/unidentified Sumber (Source) : Analisis data primer (Primary data analysis) 2013
A. dammara merupakan jenis pohon dominan pada hutan Bukit Durian dan hutan Tayawi. Selain sebagai obat, pohon ini menjadi sumber mata pencaharian Masyarakat Desa Gosale untuk hutan Bukit Durian dan Suku Togutil untuk hutan Tayawi. Masyarakat pada kedua wilayah tersebut rutin menyadap getah damar dimana pendapatannya berkontribusi sebesar 58%-86% dari total pendapatan Masyarakat Gosale dan 12%-30% pada Masyarakat Tayawi (Tabba dan Nurrani, 2014).
Sarang semut adalah plasma nutfah potensial yang umum dijumpai di wilayah hutan Bukit Durian.Terdapat dua jenis sarang semut yaitu berbentuk bulat dan berbentuk lonjong. Sarang berbentuk bulat adalah sarang milik semut berukuran besar dan berwarna hitam sedangkan yang berbentuk lonjong milik semut kecil berwarna merah. Dari kedua jenis tersebut masyarakat cenderung menggunakan sarang berbentuk lonjong untuk pengobatan penyakit ginjal, paru-
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
171
paru dan penggumpalan darah karena kemampuan me nye mbuh kanny a le bih baik. Hal ini dimungkinkan oleh kandungan senyawa aktif pada sarang semut lonjong lebih banyak. Ekstrak etanol sarang semut memiliki efek sitotoksik dengan kategori cukup aktif terhadap sel kanker serviks HeLa (Fatmawati et al., 2011). F. Kandungan Fitokimia Kandungan bahan aktif kimia pada tumbuhan merupakan senyawa metabolik sekunder yang bermanfaat sebagai obat dan secara luas telah digunakan dalam bidang ilmu pengobatan dan kedokteran. Kandungan bahan aktif 17 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional dapat dilihat pada Tabel 4. Pakar farmakologi dan ilmu kedokteran mengemukakan bahwa alkaloid merupakan senyawa penting tumbuhan yang berperan sebagai obat, sehingga senyawa ini secara luas digunakan dalam bidang pengobatan. Manfaat alkaloid antara lain memacu sistem saraf, menaikkan atau menurunkan tekanan darah dan melawan infeksi
mikrobia (Carey, 2006). Dari 17 jenis tumbuhan yang diuji, ekstrak yang positif terhadap alkaloid dan telah digunakan sebagai anti mikroba yaitu A. scholaris dan A. flava sebagai obat malaria. Sedangkan F. Septica dan M. peltata untuk pengobatan terhadap penderita batuk dan mencegah infeksi pada luka. Menurut Simbala (2009) selain saponin senyawa alkaloid juga berfungsi sebagai anti pendarahan. Steroid secara kualitatif dengan konsentrasi tinggi berpotensi sebagai bahan pengobatan untuk menghilangkan keletihan kronis (Kissinger et al., 2013). Fungsi tanin adalah menghentikan pendarahan dan mengobati infeksi luka bakar, mampu membuat lapisan pelindung luka dan ginjal. Tanin juga digunakan sejak lama sebagai pengobatan cepat pada penderita disentri, diare dan mereduksi ukuran tumor (Saifudin et al., 2011). Steroid dan tanin memiliki persamaan fungsi sebag ai penyembuhan luka bakar yang mengakibatkan keletihan kronis, fungsi tersebut ditemukan pada S.obongifolia, dimana jenis ini telah dimanfaatkan untuk pengobatan pada infeksi luka
Tabel 4. Kandungan bahan aktif ekstrak herbal dari bagian tertentu beberapa jenis Tumbuhan Table 4. Active ingredient of herbal extract from particular portion of several plant species
Sumber (source): analisis data primer (Primary data analysis) 2013
172 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
bakar akibat tertembak. Ekstrak tumbuhan lainnya yang mengandung steroid dan tanin serta digunakan sebagai obat luka yaitu M. peltata, H. grandiflorum, E. variegata dan Mellitia sp. Jenis lain dengan fungsi sama yaitu A. catechu dan Guroko masing-masing dimanfaatkan sebagai obat batuk dan suplemen peningkatan stamina tubuh. Flavonoid memiliki efek antihipertensi dan mencegah pendarahan pada kulit (Robinson 1995). Ekstrak tumbuhan yang positif flavonoid sebanyak sebelas jenis dimana tujuh diantaranya digunakan sebagai obat luka dan bisul yaitu B. chinensis, M. peltata, H. grandiflorum, E. variegata, Milletia sp, U. lobata dan S. obongifolia. Dua jenis lainnya digunakan sebagai obat batuk dan peningkat stamina tubuh yaitu F. septica dan Tali togutil sedangkan Guroko dan C. Asiaticum dimanfaatkan untuk pengobatan racun galafea. Galafea merupakan istilah yang digunakan penduduk lokal tobelo sebagai penyakit yang disebabkan pengaruh mistis (guna-guna/santet). Kandungan flavonoid pada daun binahong (Anredera cordifolia) memiliki kapasitas sebagai antioksidan atau penghambat radikal bebas yang merupakan suatu senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh dan merusak sistem imunitas tubuh (Selawa et al., 2013). Selain sebagai anti luka, jika flavonoid ditemukan bersama-sama dengan saponin dalam tumbuhan, kombinasi keduanya bermanfaat sebagai antihiperglikemia atau penurun kadar gula darah (Studiawan & Santosa, 2005). Menurut Koswara (2012) saponin dapat digunakan sebagai antiseptik dan antibiotik alami dimana kandungan saponin dalam tanaman lidah buaya mempunyai kemampuan membunuh kuman, menghilangkan rasa sakit dan antibiotik, zat ini juga mampu merangsang terbentuknya sel baru pada kulit. Secara umum ekstrak tumbuhan mengandung senyawa saponin dan hanya beberapa yang negatif yaitu A. scholaris, M. peltata, C. striata, C. retusa, A. flava, dan I. Cylindrica dimana jenis tersebut untuk obat luka dalam. Tumbuhan yang telah dimanfaatkan masyarakat dalam pengobatan penyakit malaria adalah kulit A. scholaris dan batang A. flava yang positif terhadap senyawa triterpenoid. Triterpenoid merupakan senyawa yang memiliki efek pengobatan terhadap penyakit malaria (Sangi et al., 2008). Ekstrak tumbuhan lain yang positif terhadap triterpenoid adalah H. grandiflorum yang digunakan sebagai obat luka, Crotalaria retusa sebagai obat beri-beri dan Tali
Togutil untuk peningkat stamina tubuh. Senyawa golongan triterpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi yang signifikan, seperti antiviral, antibakteri, antiinflamasi, sebagai inhibisi terhadap sintesis kolesterol dan antikanker (Nassar et al., 2010). Hidroquinon termasuk golongan senyawa kimia yang memiliki sifat antibakterial dengan konsentrasi daya hambat minimum dan bersifat immunostimulan (Arifuddin et al., 2004). Ekstrak t u m b u ha n y an g m e n g a n du n g s e n y awa hidroquinon adalah H. grandiflorum, tali togutil dan guroko. Homalium grandiflorum dimanfaatkan sebagai obat luka dan perut bengkak, tali togutil digunakan sebagai suplemen penambah darah dan meningkatkan stamina/vitalitas sedangkan guroko digunakan sebagai obat batuk, sesak napas dan sakit pinggang. Secara klinis hidroquinon telah diaplikasikan kedalam sediaan topikal untuk pengobatan hipermelanosis (Wester et al., 1999). Hasil analisis fitokimia dari ekstrak tumbuhan obat menunjukkan bahwa ekstrak H. grandiflorum satu-satunya jenis yang mengandung enam dari tujuh senyawa kimia aktif yaitu steroid, flavonoid, triterpenoid, saponin, tannin dan hidroquinon (Tabel 4). Senyawa tersebut merupakan indikasi awal bahwa ekstrak tumbuhan berpotensi sebagai bahan baku biofarmaka yang potensial untuk dikembangkan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Masyarakat Maluku Utara telah memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan dalam mengobati berbagai macam penyakit mulai dari pengobatan luar hingga penyakit dalam dan kronis. Namun pemanfaatannya masih terbatas untuk konsumsi pribadi dan keluarga serta bahan baku herbalnya masih tergantung pada ketersediannya di alam. Berdasarkan kandungan fitokimia yang dimiliki, beberapa tumbuhan potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan hingga menjadi produk bahan obat oleh masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan ini dapat diwujudkan melalui kolaborasi bersama dengan Balai TNAL melalui pemberdayaan masyarakat di zona penyangga kawasan, dengan harapan sumberdaya alam tetap lestari masyarakatpun sejahtera.
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
173
B. Saran Tumbuhan yang memiliki kandungan fitokimia potensial sebagai obat perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui ketoksikan dan keamanannya sebagai bahan obat. Perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan budidaya beberapa jenis tumbuhan yang potensial sebagai obat terhadap masyarakat sekitar kawasan oleh Balai TNAL bersama pemerintah daerah setempat. Materi pelatihan harus mencakup hulu sampai hilir (pengolahan pasca panen dan pemasaran) sehingga masyarakat dapat merasakan secara langsung manfaat peningkatan pendapatan dari tumbuhan berkhasiat obat. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (Atiti Kotango dan Ahmad David Kurnia Putra, A.Md) yang rela meluangkan waktunya mendampingi tim peneliti pada pengambilan data dilapangan. Penghargaan juga kami sampaikan kepada Agustinus Baba, Yoram dan Suku Togutil Tayawi selaku masyarakat pengguna HHBK, yang setia membantu dalam memudahkan pekerjaan ketika pengambilan data. Salam hormat dan penghargaan turut kami sampaikan kepada Yermias Kafiar, Syamsir Shabri dan Rinna Mamonto yang ikut membantu pelaksanaan (Arifuddin, 2004) penelitian HHBK ini.
Carey, F.A. (2006). Organic Chemistry(6th ed). New York : Mc Graw Hill. Fatmawati, D., Puspitasari, P.K. & Yusuf, I. (2011). Efek sitotoksik ekstrak etanol sarang semut (Myrmecodia pendens) pada sel line kanker serviks hela uji eksperimental secara in vitro. Jurnal Sains Medika, 3(2), 112-120. Herlina, T., Julaeha, E., Muis A., Supratman, U., Subarnas, A., Sutradjo, S., &Hayashi, H.(2006). Senyawa antimalaria dan antifertilitas dari daun Erithrina variegata (Leguminosae). Jurnal Kimia Indonesia, 1(2), 67-70. Kardinan, A &Kusuma, F.R. (2004). Meniran penambah daya tahan tubuh alami. Jakarta: Agromedia. Karim, K.A., Thohari, M.&Sumardjo. (2006). Pemanfaatan keanekaragaman genetik tumbuhan oleh masyarakat Togutil di sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Media Konservasi, XI(3), 1-12. Kissinger., Zuhud, E.A.M., Darusman, L.K. &Iskandar. (2013 ). Penapisan senyawa fitokimia dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18. Koswara, S. (2012). Khasiat apotek hidup lidah buaya. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. (2012). Profil kehutanan Provinsi Maluku Utara. Sofifi: Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara.
Martodirdjo, H.S. (1991 ). Orang Togutil di Halmahera. (Disertasi Pascasarjana ). Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung.
Anonimous. (2007). Aneka ramuan pencegah SARS. Bandung: Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung.
Nassar, Z., Abdalrahim, &Amin, M.S. (2010). The pharmacological properties of terpenoid from Sandoricum koetjape. Journal Medcentral, 2010(1), 1-11.
Arifuddin., Sukenda &Dana, D. (2004). Manfaat bahan aktif hidrokuinon dari buah Sonneratia caseolarisuntuk mengendalikan infeksi buatan Vibrio harveyipada udang windu, Penaeus monodon fab. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(1), 29-35.
Nugroho, I.A. (2010). Lokakarya Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.Asian Pacific Forest Genetic Resources Programme Ke r j a s a m a P u s a t Pe n e l i t i a n d a n Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. APFORGEN News Letter, 2(2), 1-2.
174 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 163-175
Nurrani, L. &Tabba, S.(2011). Kearifan suku Togutil dalam konservasi Taman Nasional Aketajawe di wilayah hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil PenelitianBalai Penelitian KehutananManado (pp. 227-244).Manado : Balai Penelitian Kehutanan Manado. Ridwan, N.A. (2007). Landasan keilmuan kearifan lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya, 5(1), 27-38. Robinson, T. (1995). Kandungan organik tumbuhan tinggi. Terjemahan Prof. Dr. Kosasih Padmawinata. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press. Saifudin, A., Rahayu, V.&Teruna, H.Y. (2011). Standarisasi bahan obat alam. (Edisi Pertama). Yogyakarta : Graha Ilmu. Sangi, M., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I., &Makang, V.M.A. (2008). Analisis fitokimia tumbuhan obat di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Chem. Prog, 1(1), 47-53. Selawa, W., Runtuwene, M.R.J. &Citraningtyas, G. (2013). Kandungan flavonoid dan kapasitas antioksidan total ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis.). Jurnal Ilmiah Farmasi Universitas Sam Ratulangi (PHARMACON), 2(1), 18-22. Simbala, H.E.I. (2009). Analisis senyawa alkaloid beberapa jenis tumbuhan obat sebagai bahan aktif fitofarmaka. Pacific Journal, 1(4), 17-27.
Studiawan, H &Santosa, M.H. (2005). Uji aktivitas penurun kadar glukosa darah ekstrak daunEugenia polyantha pada mencit yang diinduksi aloksan. Media Kedokteran Hewan, 21(2), 62-65. Sutrisno &Silitonga, T.S. (2004). Pengelolaan plasma nutfah nabati dan jasa renik (tumbuhan dan tanaman) sebagai aset dalam pemenuhan ke b u t u h a n m a n u s i a . Pa p u a : B a d a n Perencanaan dan Pengendalian Daerah. Tabba, S&Nurrani, L. (2014). Daya dukung pemanfaatan getah Agathis dammara (Lambert) l. Rich bagi masyarakat dan kelestarian kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata(pp.317-326). Prosiding Seminar Nasional Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KOMHINDO). Makassar: Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Wester, RC., Hui, X., Landry, T. &Maibach, H.I. (1999). In vivo skin decontamination of methylene bisphenil isocyanate (MD): Soap and water ineffective compared to polypropylene glycol, polyglycol-based clenser and corn oli. Toxicological Sciences, 48(1), 1-4. Zuhud, E.A.M dan A. Hikmat. (2009). Hutan tropika indonesia sebagai gudang obat bahan alam bagi kesehatan mandiri bangsa. Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia(pp.17-27). Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit)
175
PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN SUMBER DAYA AIR TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI DAS AESESA, PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR (Vulnerability Assessment of Water Resources to Climate Variability in Aesesa Watershed, Flores Island, Nusa Tenggara Timur) Eko Pujiono & Retno Setyowati Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jln. Untung Suropati No. 7 (Belakang) P.O BOX 69 Kupang 85115 NTT, Indonesia e-mail: [email protected] Diterima 18 Desember 2014, direvisi 15 Juli 2015, disetujui 13 Agustus 2015
ABSTRACT This study aimed to assess the level of vulnerability of water resources on the climate variability of Aesesa Watershed, NTT Province. Vulnerability assessments using IPCC concept, where the vulnerability as a function of exposure, sensitivity and adaptive capacity. Criteria and indicators of those function were obtained from previous studies, then given a score and weighting in accordance with the degree of importance, spatially display and overlay, to produce vulnerability map. The results showed that the trend of annual temperature in the upper watershed in recent years is decreased, while in the middle and lower areas are increased. The annual precipitation showed an increasing trend in the upper area, while in the middle and lower areas showed a declining trend. Related to water resources, the river's stream flows are relatively stable in the last five years. Water quality assessment in the river is categorized as lightly polluted in the upstream and moderately polluted in the downstream. Based on vulnerability map, the watershed is classified into highly vulnerable (54%), moderately vulnerable (13%) and lowly vulnerable (33%). Such results could be useful for the Watershed Authority and other stakeholders to establish strategies, plans and actions for addressing problems on vulnerability of water resource. Keywords: Vulnerability assessment, water resources, climate variability, watershed ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim di DAS Aesesa Provinsi NTT. Penaksiran kerentanan menggunakan konsep IPCC, dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif. Kriteria dan indikator keterpaparan, sensitivitasdan kapasitas adaptif didapatkan dari kajian terdahulu. Kriteria dan indikator kemudian diberikan skor dan bobot sesuai derajat kepentingannya dan disajikan secara spasial serta dilakukan overlay untuk mendapatkan peta kerentanan. Hasil menunjukkan bahwa tren suhu tahunan di hulu DAS dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, sedangkan di bagian hilir mengalami kenaikan. Sementara indikator curah hujan tahunan, di daerah hulu DAS menunjukkan tren kenaikan, sedangkan di daerah tengah dan hilir tren menurun.Terkait dengan kuantitas air, Sungai Aesesa, sungai utama di DAS Aesesa mempunyai debit yang relatif sama selama lima tahun terakhir. Kualitas air di Sungai Aesesa dikategorikan cemar ringan di hulu dan cemar sedang di hilir dalam beberapa tahun terakhir . Peta kerentanan menunjukkan bahwa sekitar 54% wilayah DAS memiliki tingkat kerentanan tinggi, 13% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 33% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Hasil kajian ini bisa bermanfaat bagi pengelola DAS, atau pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun strategi, rencana dan aksi dalam menanggulangi masalah kerentanan sumber daya air. Kata kunci: penilaian kerentanan, sumber daya air, variabilitas iklim, DAS.
I. PENDAHULUAN Kajian yang dilakukan oleh Faqih (2011) menyatakan bahwa berdasarkan analisis data suhu udara selama sekitar 40 tahun terakhir, suhu udara tahunan rata-rata di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cenderung naik sebesar 0,200C. Skenario
variabilitas iklim memperkirakan bahwa temperatur akan terus meningkat antara 1,30oC sampai dengan 4,60oC pada tahun 2100 dengan tren sebesar 0,10oC –0,40oC per tahun (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC, 2007). Peningkatan suhu ini akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi dan memberikan efek langsung terhadap keseimbangan
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
177
siklus hidrologi dan ketersediaan air (Gain et al., 2012; Swandayani, 2010; The Energy and Resources InstituteTERI, 2009). Meningkatnya suhu global akan menyebabkan intensifikasi siklus hidrologi, sehingga musim kering menjadi semakin kering dan musim hujan menjadi semakin basah, yang kemudian meningkatkan risiko terjadinya banjir dan kekeringan (Water aid, 2007). Secara umum wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semiarid, dimana periode hujan hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode kering 8-9 bulan (Badan Perencanaan Pembangunan DaerahBappeda NTT, 2009). Potensi hidrologi di wilayah propinsi NTT, terutama air permukaan, tergolong kecil. Disisi lain, laju pertumbuhan penduduk NTT se b es ar 2 % ( pa d a p e ri od e 20 00 -2 010 ) mengindikasikan bahwa permintaan akan air akan semakin meningkat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam laporannya menyebutkan bahwa bahwa neraca keseimbangan air di region Nusa Tenggara diklasifikasikan pada tingkat kritis (Bappenas, 2010). Dokumen Roadmap Perubahan Iklim (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap-ICCSR) sektor sumber daya air yang disusun oleh Bappenas menyatakan bahwa terdapat beberapa risiko/ bahaya pada sektor sumber daya air yang disebabkan oleh variabilitas iklim, yaitu: penurunan ketersediaan air (PKA), banjir, kekeringan, tanah longsor dan kenaikan permukaan laut (Bappenas, 2010). Dokumen Bappenas ini sejalan dengan fakta yang terjadi di NTT, dimana pada tahun 2012, Badan Ketahanan Pangan NTT menyatakan bahwa, sebanyak 403 desa yang tersebar di 136 kecamatan di 11 kabupaten di NTT dilanda kekeringan sehingga terancam rawan pangan (Tempo, 2012; Kompas, 2012). Bencana lainnya adalah banjir bandang di Bena Kabupaten Belu pada tahun 2000, tanah longsor di pulau Flores pada tahun 2006 (Sakeng, 2008; Putro, 2007) dan terendamnya beberapa desa di Kabupaten Malaka pada tahun 2013 sebagai akibat dari intensitas hujan yang tinggi di bulan Juni yang harusnya sudah memasuki musim kemarau (Tempo, 2013; Kompas, 2013). Dalam rangka menambah dan melengkapi informasi terkait dampak dan risiko bencana yang disebabkan oleh perubahan/variabilitas iklim dan cuaca ekstrem, perlu dilakukan kajian kerentanan terhadap variabilitas iklim. Penilaian kerentanan
dapat dimanfaatkan sebagai: (1) alat untuk memahami masalah dan faktor penyebab kerentanan: (2) alat perencanaan sebagai dasar penetapan prioritas kegiatan; (3) alat untuk pengukuran risiko; (4) alat untuk pemberdayaan dan mobilisasi kelompok masyarakat yang rentan (Benson et.al., 2007). Penilaian kerentanan sebenarnya sudah banyak dipublikasikan oleh beberapa peneliti dengan variasi metode dan lokasi kajian. Swandayani (2010), melakukan penelitian tentang kerentanan masyarakat terhadap variabilitas iklim di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dengan menggunakan kriteria paparan indeks penggunaan air. Selanjutnya Rositasari et al. (2011) melakukan penelitian kerentanan terhadap variabilitas iklim di pesisir Cirebon dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Sementara Effendi (2012), melakukan penelitian berbasis DAS tentang kajian tingkat kerentanan masyarakat terhadap variabilitas iklim di DAS Garang, Jawa Tengah dengan pendekatan sistem informasi geografis (SIG). Untuk lingkup NTT, ada beberapa kajian tentang variabilitas iklim (Faqih, 2011; Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina - BPDAS BN, 2011; Bappeda NTT, 2010), namun yang menyangkut kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim belum pernah dilakukan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim. Secara rinci kajian akan difokuskan kepada (1) gambaran mengenai fenomena perubahan/ variabilitas iklim dari analisis data klimatologis (suhu dan curah hujan); (2) gambaran mengenai kondisi sumber daya air; (3) gambaran mengenai tingkat kerentanan sumber daya air akibat perubahan/variabilitas iklim. II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Teori, Konsep dan Pendekatan Kerangka teori yang mendasari penelitian ini adalah hasil kajian para peneliti IPCC yang memperkirakan bahwa perubahan/variabilitas iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu akan memberikan efek langsung siklus hidrologi dan ketersediaan air. Perubahan ini pada gilirannya akan menciptakan dampak/efek lain dengan tingkat yang lebih tinggi yang ditunjukkan pada Gambar 1.
178 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Sumber (Source) : Gain et al.(2012)
Gambar 1. Efek bertingkat/berurutan variabilitas iklim terhadap sumber daya air Figure 1. Different stage/order climate variability effect on water resources. Untuk mengetahui sampai sejauh mana risiko/bahaya dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air perlu dilakukan penilaian kerentanan. Adger (2006) menyatakan bahwa konsep kerentanan, adaptasi dan resiliensi diawali dengan pemikiran tentang bahaya yang diakibatkan oleh alam (natural hazard) dan penyelidikan berbagai interaksi antara manusia-lingkungan (human/ political ecology). Sementara Bryant dan Bailey (1997) menyatakan bahwa kerentanan merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam ekologi politik, dimana kerentanan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk pendekatan berdasarkan konsep (Gambar 2). Lebih lanjut, IPCC (2007),
mendefinisikan kerentanan sebagai kondisi dimana alam dan sistem sosial rawan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh perubahan/variabilitas iklim. Penilaian kerentanan dalam penelitian ini menggunakan konsep kerentanan dari IPCC dengan alasan fokus kajian lebih kepada kerentanan yang disebabkan oleh perubahan/ variabilitas iklim. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kerentanan, sebagaimana diformulasikan pada persamaan 1, merupakan fungsi dari tiga aspek: keterpaparan/exposure, sensitivitas/sensitivity dan kapasitas adaptif/adaptive capacity (IPCC, 2001). Keterpaparan dimaksudkan sebagai derajat suatu
Sumber (Source) : Bryant dan Bailey (1997)
Gambar 2. Beberapa pendekatan dalam ekologi politik Figure 2. Different approaches to political ecology
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
179
sistem secara alamiah rentan terhadap variabilitas iklim. Sensitivitas dimaksudkan sebagai derajat atau tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen variabilitas iklim. Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari variabilitas iklim atau menyesuaikan diri pada variabilitas iklim, mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari kondisi yang disediakan iklim yang berubah tersebut. Vulnerability = f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity) .......................................(1) Sampai sejauh ini, konsep IPCC inilah yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dalam penilaian kerentanan, baik untuk publikasi ilmiah ataupun laporan kegiatan lembaga (Hamouda, 2006; Swandayani, 2010; Bappenas, 2010; Rositasari et al.,2010; Effendi, 2012; Gain et al., 2012). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang meluncurkan Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) pada Juli 2014, pada dasarnya juga menggunakan konsep dan pendekatan IPCC untuk mendapatkan indeks kerentanan di suatu wilayah administrasi (KLH, 2014). Terkait dengan penilaian kerentanan sumber daya air, pendekatan yang dilakukan adalah gabungan dari pendekatan secara kualitatif,
kuantitatif dan spasial. Masing-masing komponen yang memengaruhi kerentanan, yaitu exposure, sensitivity dan adaptive capacity kemudian secara diterjemahkan dalam beberapa variabel dan indikator kerentanan sumber daya air yang didapatkan secara kualitatif dari observasi di lapangan, pendapat para ahli dan hasil kajian terdahulu. Kriteria dan indikator ini kemudian dikuantifikasikan dalam bentuk bobot dan skor untuk dihitung indeks kerentanannya. Indeks kerentanan pada masing-masing komponen kemudian di-overlay (pendekatan spasial) untuk menghasilkan peta kerentanan. Pendekatan penelitian secara rinci disajikan dalam prosedur/ tahap penelitian. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini dilakukan di DAS Aesesa, Pulau Flores (Gambar 3). Beberapa alasan yang mendasari pemilihan lokasi: (1) DAS Aesesa merupakan salah satu DAS Prioritas I yang ada di Provinsi NTT, selain DAS Noelmina dan DAS Kambaneru, (2) Di daerah hulu, terdapat kawasan Cagar Alam Watu Ata dan hutan bambu yang merupakan water catchment area utama di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Nopember 2013.
Sumber: Peta DAS - BPDAS Benain Noelmina (2012) dan Peta Batas Administrasi - Bappeda NTT (2010) Sources: Watershed Map - BPDAS Benain Noelmina (2012) and Administration Map - Bappeda NTT (2010)
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (DAS Aesesa). Figure 3. Map of study area (Aesesa Watershed). 180 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
C. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan DAS sebagai unit analisis. Alasan digunakannya DAS sebagai unit analisis: (a) Pendekatan DAS lebih holistik dan dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan sosial ekonomi lebih cepat dan lebih mudah, (b) DAS mempunyai batas alam yang jelas di lapangan, (c) DAS mempunyai keterkaitan biogeofisik yang sangat kuat antara hulu dan hilir sehingga mampu menggambarkan perilaku air akibat perubahan karakteristik lanskap, (d) adanya suatu outlet dimana air akan terakumulasi, sehingga aliran air dapat ditelusuri. Wilayah unit analisis DAS dibagi menjadi tiga region yakni hulu, tengah, dan hilir yang dibedakan berdasarkan tingkat kelerengan, fungsi kawasan dan kerapatan drainase (Asdak, 1997). Pada setiap region dipilih sampel penelitian berbasis desa untuk mengambil data yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan sumber daya air dan variabilitas iklim. Distribusi desa sampel didasarkan pada 2 karakteristik, yaitu: kedekatan dengan garis sungai dan kedekatan dengan fungsi hutan. Jumlah responden pada setiap desa berjumlah sekitar 10 orang informan kunci yang meliputi tokoh masyarakat dan petani yang mewakili mata pencaharian mayoritas di desa tersebut. Informan tersebut teridentifikasi sebagai local knowledge expert menurut Davis dan Wagner (2003). D. Prosedur Penelitian 1. Pengamatan kecenderungan (trend) perubahan suhu udara dan curah hujan Perubahan pola maupun trend suhu dan curah hujan akan dijadikan indikator untuk menilai terjadinya kejadian perubahan/variabilitas iklim di lokasi kajian. Data yang dikumpulkan adalah data numerik time series, berupa data suhu dan curah hujan selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Data ini dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTT (terkait suhu udara ) dan Dinas Pertanian Kabupaten (terkait data curah hujan) serta beberapa stasiun pengamat cuaca atau curah hujan yang terdekat dengan lokasi kajian. Trend perubahan suhu udara dan curah hujan rata-rata di analisis dengan analisis statistik (regresi) dengan mengacu kepada data time series. Sebagai alat verifikasi/
validasi hasil analisis trend suhu dan curah hujan, dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner terhadap masyarakat pada masing-masing region DAS terkait kecenderungan perubahan suhu dan curah hujan pada beberapa tahun terakhir. 2. Pengamatan kondisi sumber daya air di DAS Aesesa Terkait dengan kondisi sumber daya air, dilakukan pengamatan dan pengumpulan data kuantitas dan kualitas sumber daya air secara time series. Data kuantitas (debit) dan kualitas air dikumpulkan dari pihak-pihak yang terkait, seperti: Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU), Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). Data tentang kualitas dan kuantitas air secara time series in i akan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan sampai sejauh mana dampak variabilitas/variabilitas iklim terhadap sumber daya air. Sebagai alat verifikasi/validasi hasil analisis kondisi sumber daya air, dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner terhadap masyarakat pada masing-masing region DAS terkait ketersedian dan kebutuhan sumber daya air pada beberapa tahun terakhir. 3. Penaksiran tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim Tingkat kerentanan akan diukur dengan pendekatan berbasis spasial, dimana kriteria dan indikator variabilitas iklim disusun dalam bentuk spasial dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendapatkan peta kerentanan. Tahap-tahap penyusunan peta kerentanan adalah sebagai berikut: a. Penentuan kriteria dan indikator Kriteria dan indikator paparan diperoleh dari beberapa referensi, terutama dari Bappenas (2010) tentang Road map variabilitas iklim Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dan Effendi (2012) tentang kajian kerentanan masyarakat terhadap variabilitas iklim berbasis DAS di Jawa Tengah. Kriteria dan indikator yang digunakan dalam pendekatan spasial disajikan pada Tabel 1. Hasil akhir pada tahap ini adalah beberapa kriteria dan indikator yang semuanya dirubah dalam bentuk data spasial (peta). Dalam kajian ini data peta dirubah dalam bentuk raster data (rasterbased analysis).
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
181
b. Pembobotan dan Skoring Pemberian bobot dan skor (weighting and scoring) pada kriteria dan indikator yang telah ditetapkan dilakukan berdasarkan studi literatur/kajian terdahulu, pendapat para ahli dan wawancara dengan masyarakat. Bobot dan skor diberikan berdasarkan derajat kepentingan kriteria dan indikator tersebut
terhadap kerentanan sumber daya air. Sebagai contoh untuk variabel keterpaparan dengan indikator kekritisan lahan, skor tertinggi diberikan untuk lahan yang sangat kritis, dan yang terendah diberikan untuk lahan yang tidak kritis. Hasil akhir pada tahap ini adalah skor pada masing-masing variabel, kriteria dan indikator lainnya (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria dan indikator penaksiran tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim Table 1. Criteria and indicator used in vunerability assessment water resources to climate variability
182 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued
Sumber (Source) : Bappenas (2010), KLH (2010), Effendi (2012), Gain et al.(2012)
c. Penentuan indeks dan peta kerentanan Penentuan indeks kerentanan dilakukan sesuai persamaan 2, yaitu dengan mengurangi indeks paparan dan kepekaan dengan indeks kemampuan adaptasi (Swandayani, 2010; Gain et al., 2012). Tahap ini dibantu dengan bantuan fitur raster calculator pada software ArcGIS 9.3. Hasil akhir ditampilkan dalam bentuk peta paparan, kepekaan, kapasitas adaptif, dan kerentanan. .. (2)
keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif. Dari hasil penjelasan tingkat kerentanan pada setiap region maka akan didapatkan gambaran tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim pada lingkup DAS. ............................................................. (2) Dimana : i = skala interval R = selisih skor maksimum dan minimum n = banyaknya kelas penilaian yang dibentuk
Dimana: K = indeks kerentanan Wie = bobot indikator ke-i pada variabel keterpaparan Xie = skor indikator ke-i pada variabel keterpaparan Wis = bobot indikator ke-i pada variabel sensitivitas Xies = skor indikator ke-i pada variabel sensitivitas Wiac = bobot indikator ke-i pada variabel kapasitas adaptif Xiac = skor indikator ke-i pada variabel kapasitas adaptif
Untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat akurasi/kebenaran peta kerentanan terhadap variabilitas iklim, dilakukan penilaian akurasi (accuracy assessment) dengan meng-overlay peta kerentanan dengan peta kejadian bencana. Asumsi yang dibangun, jika suatu daerah memiliki tingkat kerentanan yang tinggi berarti daerah tersebut sering dilanda bencana.
Nilai indeks kerentanan kemudian diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) tingkat/kelas kerentanan, yaitu: tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah dan rendah (Swandayani, 2010). Penentuan skala interval untuk kelas kerentanan dihitung dengan persamaan 3. Tingkat kerentanan akan dianalisis secara deskriptif per-region, berdasarkan variabel
A. Gambaran Umum Kondisi DAS Aesesa
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Biofisik DAS Aesesa DAS Aesesa merupakan salah satu DAS Prioritas I yang ada di Provinsi NTT, selain DAS Benain, Noelmina dan Kambaniru. Prioritas DAS disusun berdasarkan sistem skoring seperti luasnya lahan kritis, tingginya erosi sedimentasi, tekanan
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
183
penduduk yang besar, pengamanan bendungan vital, daerah miskin dan desa tertinggal (IDT), rawan banjir, daerah tangkapan air (DTA) bawah tanah, pengamanan hutan lindung. DAS Aesesa memiliki luas 122.995,85 ha yang terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Ngada seluas 46.915,53 ha dan Kabupaten Nagekeo seluas 76.080,32 ha (Gambar 2). Berdasarkan bentuknya, DAS Aesesa memiliki bentuk membulat. Bentuk DAS yang membulat ini menyebabkan bagian hujan yang menjadi limpasan akan terkumpul secara cepat dan mencapai outlet dalam waktu yang cepat juga. Lebih lanjut dikatakan bahwa bentuk DAS membulat ini akan memberikan debit puncak yang tinggi dan mengakibatkan meningkatnya sedimen yang terbawa aliran tersebut (BPDAS Benain Noelmina, 2013). DAS Aesesa memiliki kondisi topografi yang bervariasi, mulai dari datar sampai terjal. Sebagian besar wilayah DAS didominasi oleh kemiringan curam (32%) dan terjal (41%). Dengan dominasi topografi terjal, maka wilayah DAS Aesesa menjadi peka terhadap erosi dan hanya sedikit lahan yang bisa digunakan sebagai lahan pertanian semusim. Untuk bisa memanfaatkan lahan-lahan tersebut diperlukan upaya-upaya konservasi tanah dan air yang tepat (BPDAS Benain Noelmina, 2013). Berdasarkan peta tanah, sebaran jenis tanah di DAS Aesesa terdiri dari tanah Alluvial, Andosol, Kambisol, Podsolik dan Regosol. Jenis tanah yang mendominasi adalah tanah Kambisol Distrik (63%), jenis tanah yang terbentuk dari lereng-lereng vulkanik bagian tengah dan bagian bawah yang mudah lapuk. Jenis tanah ini mempunyai tekstur berkisar dari lempung remah sampai geluh berlempung. Kambisol mempunyai potensi untuk pertanian dan dapat dipakai untuk penanaman palawija tadah hujan, tanaman keras dan juga untuk budidaya tanaman padi (BPDAS Benain Noelmina, 2013). BPDAS Benain Noelmina (2013) dalam laporannya menyebutkan bahwa, berdasarkan data time series curah hujan 1985-2012 dan klasifikasi iklim Scmidt - Fergusson, DAS Aesesa memiliki tipe iklim sedang (tipe D) di daerah hulu (Kec. Bajawa dan sekitarnya) dengan lama musim hujan rata-rata sekitar 6 bulan (November-April), agak kering (tipe E) di bagian tengah (kec.Boawae dan sekitarnya) dengan lama musim hujan rata-rata sekitar 5 bulan (November-Maret) dan iklim kering (tipe F) di bagian hilir (Kec.Aesesa dan sekitarnya) dengan lama musim hujan tercatat sekitar 4 bulan
(Desember-Maret). Laporan BPDAS Benain Noelmina (2012) menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah DAS Aesesa (sekitar 80%) didominasi oleh fungsi kawasan Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan kawasan hutan, sisanya sekitar 20%, terdiri atas cagar alam, hutan lindung dan hutan produksi. Sementara untuk penutupan lahan, wilayah DAS Aesesa didominasi oleh savana/padang rumput (41%) dan sebagian lainnya berupa hutan primer (5%), hutan sekunder (21%), semak belukar (12%), pertanian lahan kering (19%), sawah (1%), hutan mangrove (1%) dan tanah terbuka (kurang dari 1%). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, wilayah DAS dikategorikan agak kritis (42% dari total wilayah DAS), kritis (45%) dan sangat kritis (13%). 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Aesesa Pada tahun 2011, jumlah penduduk di DAS Aesesa tercatat 157.302 jiwa, yang terdiri dari lakilaki 77.589 jiwa dan perempuan 79.713 jiwa, dengan kepadatan penduduk 92 jiwa/km2 dan jumlah kepala keluarga sebanyak 22.652 KK. Salah satu permasalahan kependudukan di DAS Aesesa adalah tekanan penduduk terhadap sumber daya alam. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kebutuhan akan sumber daya sehingga tekanan terhadap sumber daya alam juga meningkat. Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat di DAS Aesesa adalah pada tingkat Sekolah Dasar (sekitar 68% dari masyarakat di DAS Aesesa). Kondisi ini berakibat pada lemahnya atau lambatnya adopsi teknologi dan pengetahuan dalam pengelolaan DAS. Berkaitan dengan mata pencaharian, sekitar 50% dari jumlah penduduk di DAS Aesesa bermatapencaharian utama sebagai petani. Terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat, sekitar 50% dari jumlah penduduk di DAS Aesesa memiliki tingkat pendapatan rata-rata sekitar Rp. 300.000/ bulan (BPDAS Benain Noelmina, 2013). B. Kecenderungan (Trend) Perubahan Suhu Udara dan Curah Hujan Pengamatan kecenderungan perubahan suhu udara di DAS Aesesa terhambat oleh tidak adanya stasiun meteorologi yang melakukan pengukuran terhadap suhu udara di sekitar Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Kendala lainnya, data atau peta tentang isotherm sulit untuk didapatkan. Sebagai antisipasinya, digunakan data pengamatan suhu
184 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
udara di Ruteng, Kabupaten Manggarai sebagai representasi dari suhu udara rata-rata di Bajawa, Kabupaten Ngada (Hulu DAS Aesesa) dan data pengamatan suhu udara di Maumere, Kabupaten Sikka sebagai representasi dari Mbay, Kabupaten Nagekeo (Hilir DAS Aesesa). Antisipasi dan pendekatan yang dilakukan ini didasarkan atas pertimbangan kemiripan dalam hal: (a) ketinggian dari permukaan laut, (b) tipe bentang lahan (landscape). Hulu DAS Aesesa, Bajawa mempunyai ketinggian rata-rata sekitar 1.547 m dan Ruteng memiliki ketinggian rata-rata sekitar 1.177 m dan (BPS Provinsi NTT, 2012). Kedua wilayah ini memiliki tipe landscape berbukit-bukit bahkan bergunung-gunung dengan dicirikan topografi yang terjal/curam. Sedangkan Hilir DAS Aesesa, Mbay memiliki ketinggian rata-rata sekitar 55 m, hampir sama dengan ketinggian kota Maumere yaitu sekitar 35 m (BPS Provinsi NTT, 2012). Kedua daerah ini merupakan tipe kota pantai dengan topografi datar sampai landai. Berdasarkan data suhu selama periode 19962012 di Stasiun Meteorologi Ruteng, yang merepresentasikan hulu DAS Aesesa, didapatkan suhu rata-rata bulanan sekitar 19,990C dengan suhu
minimum 17,300C dan suhu maksimum 22,100C. S ed angk an d i bagia n h ilir DAS, y ang direpresentasikan oleh data suhu di Maumere pada tahun 1983-2011, didapatkan suhu bulanan ratarata sekitar 27,440C dengan suhu minimum 25,000C dan suhu maksimum 30,400C. Pola suhu bulanan rata-rata baik di Ruteng maupun di Maumere hampir sama pada setiap tahunnya, dimana suhu maksimum terjadi pada musim hujan (awal musim hujan, Oktober-November) dan suhu minimum terjadi pada musim kemarau (puncak musim kemarau, Juli-Agustus). Suhu rata-rata tahunan di Ruteng (representasi Hulu DAS Aesesa) selama periode 1996-2012 cenderung menurun sekitar 0,45OC, sebaliknya hasil analisa suhu tahunan ratarata di Maumere (representasi Hilir DAS Aesesa) selama 1983-2011 menunjukkan kecenderungan kenaikan sekitar 0,12 OC (Gambar 4a). Terkait dengan suhu, sebanyak 94% responden di daerah hulu menyatakan bahwa suhu udara dalam 5 atau 10 tahun terakhir cenderung lebih dingin, sementara 70% responden di daerah hilir menyatakan bahwa suhu udara cenderung lebih panas. Jadi persepsi masyarakat tentang perubahan suhu ini sesuai dengan hasil analisis data suhu udara.
Sumber: Data Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi Ruteng 1996-2012 dan Data Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi Maumere 1983-2011 Sources: Temperature Data in Meteorological Station of Ruteng during 1996-2012 and Temperature Data in Meteorological Station of Maumere during 1983-2011
Gambar 4.(a) Tren suhu tahunan rata-rata(b) Tren curah hujan tahunan di DAS Aesesa. Figure 4.(a)Trend of mean annual temperature and (b) trend of annual precipitation in Aesesa Watershed.
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
185
Bagaimana dengan kecenderungan perubahan curah hujan? Pengamatan kecender ungan perubahan curah hujan dilakukan pada tiga stasiun pengamat curah hujan yang mewakili tiga region DAS, yaitu di: Bajawa (hulu DAS), Boawae (tengah DAS) dan Danga (hilir DAS). Curah hujan tahunan rata-rata di sekitar Bajawa tercatat sebesar 2.530 mm/tahun, sedangkan di Boawae dan Danga masing-masing sebesar 1.362 mm/tahun dan 541 mm/tahun. Seperti suhu udara, curah hujan bulanan dari tahun ke tahun juga menunjukkan pola yang hampir sama. Pola curah hujan dapat diklasifikasikan menjadi 3 pola, yaitu: monsunal (monsoon), ekuatorial (equator) dan lokal (Tjasyono, 2004; Aldrian dan Susanto, 2003; Sipayung et al., 2010). Pola curah hujan di DAS Aesesa dapat diklasifikasikan sebagai pola hujan monsoon, karena memiliki grafik berbentuk huruf “V”, dimana terjadi perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau yang ditandai dengan hujan minimum terjadi pada saat bulan Juni, Juli dan Agustus atau pada saat terjadinya angin monsoon timur, yaitu pada saat matahari berada di garis balik utara. Sebaliknya pada saat terjadinya angin monsoon barat (NovemberJanuari), terjadi hujan yang berlimpah (Sipayung et al., 2010). Hasil analisa tren curah hujan tahunan menunjukkan kenaikan pada region hulu dan penurunan pada region tengah dan hilir (Gambar 4b). Pada region hulu terjadi kecenderungan kenaikan curah hujan tahunan sebesar 938 mm selama periode 1973-2010 (37 tahun), sebaliknya di region tengah terjadi kecenderungan penurunan curah hujan tahunan sebesar 175 mm selama 19762004 (28 tahun). Serupa dengan region tengah, di region hilir juga terjadi kecenderungan penurunan curah hujan tahunan sebesar 359 mm selama 19722002 (30 tahun). Terkait dengan perubahan curah hujan, hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa berdasarkan indikator lama periode musim hujan, 64% responden di bagian tengah dan 67% responden di bagian hilir menyatakan bahwa periode musim hujan dalam beberapa tahun terakhir semakin pendek, hal ini sesuai dengan hasil analisis data curah hujan yang menyebutkan bahwa pada region hilir dan tengah terjadi kecenderungan penurunan curah hujan. Analisis regresi suhu tahunan rata-rata dan curah hujan tahunan rata-rata pada Gambar 4 menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang
relatif kecil. Sebagai contoh nilai R2= 0,24 (koefisien determinasi suhu udara di daerah hulu Gambar 4a), mengindikasikan bahwa sekitar 24% variasi peubah suhu rata-rata dapat dijelaskan oleh variasi peubah tahun, sedangkan 76% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Persamaan regresi dengan nilai R2yang relatif rendah ini masih dapat digunakan karena hanya sebagai alat untuk menjelaskan, bukan untuk memprediksi (Maletta, 2009 dalam Adiyoga et al., 2012). C. Kondisi Sumber Daya Air Indikator yang biasanya digunakan untuk menggambarkan kondisi sumber daya air adalah kuantitas (debit air) dan kualitas air. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nagekeo yang mengelola Bendungan Sutami-bendungan sungai Aesesa (sungai utama di DAS Aesesa), menyatakan bahwa debit air rata-rata di Sungai Aesesa adalah 7,5 m3/detik pada musim hujan dan 4,5 m3/detik pada musim kemarau pada tahun 2013. Lebih lanjut Dinas PU menyatakan bahwa debit air dalam lima tahun terakhir relatif sama dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Data lain yang dikeluarkan oleh Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2010 menyebutkan bahwa Sungai Aesesa memiliki debit minimum 0,6 m3/detik dan debit maksimum 62,3 m3/detik. BP DAS Benain Noelmina (2012) menyatakan bahwa salah satu indikator untuk menilai debit air sungai adalah nilai parameter Koefisien Regim Sungai (KRS). KRS merupakan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum, semakin besar nilainya, debit air sungai diklasifikasikan jelek. Nilai KRS DAS Aesesa yang didapatkan sekitar 103, yang diklasifikasikan sedang (klasifikasi nilai KRS: < 50 baik, 50-120 sedang, >120 jelek). Meski dikategorikan sedang, namun nilai KRS ini mendekati ambang batas kelas jelek (120), artinya jika tidak dilakukan upaya-upaya untuk menjaga daerah resapan air, maka pada musim kemarau daerah di sekitar DAS akan mengalami kekurangan air. Selain KRS, indikator lain yang digunakan untuk menilai kondisi sumber daya air adalah Indeks Penggunaan Air (IPA). IPA dapat dihitung dengan membandingkan antara kebutuhan air dengan persediaan air di DAS. BP DAS Benain Noelmina (2012) menyatakan bahwa kebutuhan air rata-rata
186 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 2. Hasil pemantauan kualitas air di DAS Aesesa tahun 2010-2012 Table 2. Water quality assessments in Aesesa Watershed 2010-2012
Keterangan(Remarks): - MH : Musim Hujan(Rainy season) - MK : Musim Kemarau (Dry season) - Kelas mutu air (Water Quality Class): A (memenuhi baku mutu/ meets standard quality), B (cemar ringan/ lightly polutted), C (cemar sedang/ moderately polluted) Sumber (Sources): - Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Ngada 2009-2012 (Water Quality Assessment Report BLHD Ngada 2009-2012) - Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Nagekeo 2011-2012 (Water Quality Assessment Report BLHD Nagekeo 2011-2012)
di DAS Aesesa untuk hutan, pertanian dan non pertanian adalah sebesar 3.057 mm/tahun, sedangkan ketersediaan air yang diestimasi dari curah hujan rata-rata adalah sebesar 1.195 mm/ tahun. Perbandingan kebutuhan dan ketersediaan air ini menghasilkan nilai IPA sebesar 3, yang diinterpretasikan buruk (klasifikasi nilai IPA: < 0,5 baik, 0,6-0,9 sedang, >1 buruk). Dari indikator kuantitas atau debit air di DAS Aesesa, dikatakan bahwa secara umum kuantitas air tidak mengalami perubahan yang berarti dalam lima tahun terakhir. Namun begitu, nilai KRS yang mendekati ambang batas jelek dan nilai IPA yang masuk kategori buruk menunjukkan bahwa kondisi sumber daya air di DAS Aesesa dalam keadaan kritis. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Bappenas (2010) yang menyatakan bahwa neraca air di Region Nusa Tenggara dikaterikan kritis. Sementara hasil wawancara dengan masyarakat menyebutkan bahwa sekitar 48% responden menyatakan mereka merasa kekurangan air dan 43% responden menyatakan air yang tersedia masih bisa mencukupi untuk kebutuhan mereka. Terkait dengan kualitas air di DAS Aesesa, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Ngada dan Nagekeo melaporkan bahwa kondisi mutu air sungai di DAS Aesesa bervariasi, mulai dari kelas A (memenuhi baku mutu), kelas B (cemar
ringan) dan kelas C (cemar sedang). Penentuan status mutu air menggunakan metode Storet dan parameter yang digunakan adalah: suhu air, pH, daya hantar listrik, salinitas, turbiditas dan total padatan terlarut (BLHD Ngada, 2012; BLHD Nagekeo, 2012). Parameter-parameter ini kemudian diskoring dan dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas I (sesuai Peraturan Pemerintah - PP 82 tahun 2001), sehingga dapat diketahui parameter yang memenuhi baku mutu air. Selanjutnya ditetapkan kelas mutu air sebagai hasil akhirnya. Hasil pemantauan terakhir tahun 2012 menyebutkan bahwa, sungai sampel di hulu DAS Aesesa masuk dalam kategori cemar ringan, sementara sungai sampel di hilir DAS masuk kategori cemar sedang (Tabel 2). Persepsi masyarakat terhadap kualitas air, 61% total responden di semua region, 63% reponden di hulu DAS dan 50% responden di hilir DAS menyatakan bahwa kualitas air tidak berubah. D. Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Perubahan/Variabilitas Iklim emetaan variabel keterpaparan sumber daya air merupakan hasil tumpang tindih (overlay) peta curah hujan, peta penutupan lahan dan peta tingkat kekritisan lahan di wilayah DAS Aesesa. Dari hasil kajian spasial, didapatkan bahwa region hulu
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
187
memiliki tingkat keterpaparan paling tinggi dibandingkan daerah tengah tengah dan hilir (Gambar 5a). Tingginya curah hujan di region hulu, terbatasnya penutupan lahan berupa hutan dan banyaknya lahan kritis menjadikan region ini memiliki indeks exposure tertinggi. Pemetaan kepekaan (sensitivitas) sumber daya air terhadap variabilitas iklim dipengaruhi oleh tingkat permintaan air (direpresentasikan secara spasial dengan tingkat kepadatan penduduk dan akses terhadap air bersih) dan ketergantungan masyarakat terhadap lahan (proporsi masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian). Tingginya kepadatan penduduk di daerah hulu dan banyaknya masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian menjadikan region ini memiliki indek sensitivitas lebih tinggi daripada daerah tengah dan hilir (Gambar 5b).
Kemampuan adaptif pada sektor sumber daya air dikaji dengan kriteria dan indikator: kualitas SDM (indeks pendidikan, perilaku konservasi); sosial ekonomi masyarakat (tingkat kesejahteraan masyarakat, konflik dan dukungan pemerintah), fasilitas kesehatan dan daerah resapan air. Daerah hilir memiliki indeks tertinggi, diikuti daerah tengah dan hulu (Gambar 5c). Sebagaimana diuraikan di metodologi penelitian bahwa, tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi pada masyarakat di daerah hilir jika dibanding dengan daerah hulu dan tengah menjadikan region hilir memiliki indeks kemampuan adaptif tertinggi, diikuti region tengah dan hulu. Setelah melewati tahap pemberian bobot, skoring dan overlay, kombinasi dari ketiga variabel, yaitu keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif, menghasilkan peta kerentanan (Gambar 5d). Indeks kerentanan
Sumber: Pengolahan data primer, 2013 Sources: Primary data analysis, 2013
Gambar 5. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan tingkat kerentanan (d) di DAS Aesesa. Figure 5. Map of exposure (a), sensitivity (b), adaptive capacity (c) and vulnerability in Aesesa Watershed. 188 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Tabel 3. Distribusi tingkat kerentanan pada masing-masing region Table 3. Distribution of vulnerability area by watershed region
Sumber: Pengolahan data primer, 2013 Sources: Primary data analysis, 2013
daerah di region hulu DAS relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir (Gambar 5d; Tabel 3). Dari hasil analisis didapatkan bahwa sekitar 60% wilayah region hulu masuk dalam tingkat kerentanan agak tinggi sampai tinggi, sedangkan untuk wilayah region tengah, 50% wilayahnya diklasifikasikan ke tingkat kerentanan agak tinggi. Sementara pada region hilir, tingkat kerentanan sumber daya air sebagian besar (sekitar 80%) dikategorikan rendah. Sampai sejauh mana tingkat kebenaran atau validasi peta kerentanan di atas? Pada kajian ini, penilaian tingkat kebenaran/validasi peta kerentanan dilakukan dengan meng-overlay peta kerentanan dengan peta bencana. Terkait dengan kejadian bencana, data bencana yang dikumpulkan dari berbagai sumber (Badan Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD Kabupaten Ngada dan Nagekeo tahun 2011-2013 serta data kebencanaan BPDAS Benain Noelmina tahun 2008-2010) menyebutkan bahwa telah terjadi kurang lebih 50 bencana yang terdistribusi di seluruh Region DAS dari hulu sampai hilir (Gambar 6). Jenis bencana alam yang paling sering terjadi adalah banjir (52% terhadap total bencana), angin (34%), longsor (12) dan abrasi (2%). Berdasarkan region atau wilayah DAS yang terdampak, region tengah merupakan region yang paling banyak bencana (42%) diikuti region hulu (30%) dan region hilir (28%). Jika peta bencana ini dikaitkan dengan peta kerentanan terdapat kesesuaian dimana pada daerah dengan tingkat kerentanan lebih tinggi (region hulu dan tengah) memiliki jumlah kejadian bencana lebih banyak daripada daerah dengan tingkat kerentanan rendah (region hilir).
Salah satu kelemahan peta kerentanan adalah sumber data yang dipakai, dimana kebanyakan data spasial berasal dari data sekunder. Berdasarkan review terhadap 45 publikasi ilmiah yang terbit di jurnal terkait dengan peta kerentanan, Preston et al. (2012), menyatakan bahwa hanya sekitar 9% dari publikasi tersebut yang menggunakan data primer, sehingga tingkat kepercayaannya masih diragukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelebihan pemetaan kerentanan adalah dalam hal mampu menampilkannya informasi spasial (Preston et al., 2012). Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan tersebut, pemetaan kerentanan tetap merupakan cost-effective tools (Harter dan Walker, 2001) bagi lembaga terkait untuk keperluan perencanaan tata ruang atau penyusunan rencana adaptasi terhadap variabilitas iklim. Hasil penilaian kerentanan ini juga bisa dijadikan dasar dalam penyusunan strategi penanganan kerentanan. Alternatif strategi yang diusulkan : (1) Penghijauan/reboisasi pada daerah hulu DAS, terutama di sekitar Cagar Alam Watuata, yang terancam oleh perambahan masyarakat untuk perkebunan kopi; (2) manajemen tata guna lahan pada region tengah, terutama terkait banyaknya alih fungsi lahan dimana savana yang mendominasi tutupan lahan di region tengah (sekitar 70% dari total region tengah) terancam oleh ekspansi lahan pertanian oleh masyarakat; (3) perlindungan terhadap bencana di semua region DAS, terutama untuk daerah-daerah dengan tingkat kerentanan tinggi dan selama ini menjadi daerah langganan bencana. Strategi-strategi ini dapat dijadikan alternatif usulan kegiatan/program oleh para pemangku kepenting an/lembaga terkait
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
189
Sumber: Laporan Kejadian Bencana di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo 2011-2013 (BPBD Kab. Ngada dan Kab, Nagekeo, 2013) dan Data Kebencanaan 2008-2010 (BPDAS Benain Noelmina, 2012) Sources : Report of Disaster Events in Ngada & Nagekeo District during 2011-2013 (BPBD Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo, 2013) and Disaster Events during 2008-2010 (BPDAS Benain Noelmina, 2012)
Gambar 6. Peta persebaran bencana berdasarkan jenis bencana dan tahun terjadinya bencana di DAS Aesesa. Figure 6. Map of disaster distribution by types and times in Aesesa Watershed. pengelolaan sumber daya air dan antisipasi dampak variabilitas iklim. E. Kelembagaan terkait Dampak Perubahan/ Variabilitas Iklim pada Sektor Sumber Daya Air Pemerintah, melalui presiden Joko Widodo menyatakan bahwa masalah utama di Provinsi NTT adalah air (Kompas, 2015), untuk itu dalam periode waktu lima tahun kedepan (2014–2019), Provinsi NTT mendapat kucuran dana sebesar Rp. 5,6 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun enam bendungan raksasa(Pemerintah Provinsi NTT, 2015). Enam bendungan raksasa tersebut adalah yaitu Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang, Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Bendungan Noktilot di Kabupaten Belu, Bendungan Napung–Gete di Kabupaten Sikka, Bendungan Kolhua, dan Bendungan Lambo (Mbay) di Kabupaten Nagekeo (Pemerintah Provinsi NTT, 2015; Kompas, 2015; Pos Kupang,
2015). Bendungan Lambo inilah yang berada di sekitar lokasi kajian, DAS Aesesa. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II, menyatakan bahwa kebutuhan air bagi masyarakat NTT adalah 1,3 miliar m3/tahun. Sementara potensi air di NTT yang belum dimaksimalkan dan terbuang adalah 16,7 miliar m3 (Pemerintah Provinsi NTT, 2015). Potensi air yang terbuang inilah yang akan dimaksimalkan melalui pembangunan bendungan-bendungan. BWS Nusa Tenggara II menyatakan bahwa pemanfaatan bendungan-bendungan ini adalah untuk persediaan air baku, irigasi pertanian, tenaga listrik dan pariwisata (Pos Kupang, 2015). Beberapa rencana strategi yang terkait dengan sumber daya air adalah adanya upaya konservasi dan rehabilitasi mata air, khususnya di daerah hulu (dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan setempat) dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya air (Kementerian PU, Kementerian Pertanian). BMKG Provinsi NTT, selaku perwakilan dari pemerintah yang berurusan
190 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
dengan iklim dan cuaca, sudah menganalisis data iklim dan cuaca serta memberikan informasi tentang perkiraan datangnya musim hujan dan musim kemarau untuk mengantisipasi bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Pertanian NTT bekerjasama dengan Universitas Nusa Cendana Kupang sudah melakukan kajian dan penelitian tentang varietas tanaman yang tahan kekeringan, sebagai antisipasi kemarau panjang dan minimnya curah hujan di NTT. Selain pemerintah, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga berkontribusi dalam upaya penanganan dampak variabilitas iklim pada sektor sumber daya air. Beberapa LSM di wilayah DAS Aesesa yang teridentifikasi memiliki program terkait konservasi dan optimalisasi sumber daya air adalah Plan International dan Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM). Plan International memiliki program penyediaan sarana dan prasarana air bersih, sedangkan YMTM dengan program konservasi mata air. Beberapa badan usaha yang bergerak dalam usaha yang terkait sumber daya air juga sudah dilibatkan dalam upaya kelestarian sumber daya air. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bajawa (Kabupaten Ngada) dan Mbay (Kabupaten Nagekeo) yang merupakan badan usaha milik daerah yang memberikan jasa penyediaan air bersih di perkotaan memiliki program pelestarian sumber air baku dan perbaikan instalasi perpipaan demi menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Perusahaan PT Kharisma di Bajawa, produsen air mineral kemasan, bekerjasama dengan BLHD dan Dinas Kehutanan juga terlibat dalam kegiatan konservasi dan optimalisasi pemanfaatan sumber mata air. Dari paparan sebelumnya dapat dinyatakan bahwa para pemangku kepentingan di sekitar DAS Aesesa sudah melakukan beberapa upaya untuk meminimalisir terjadinya bencana/cuaca ekstrem dan menanggulangi kekritisan sumber daya air sebagai dampak dari variabilitas iklim. BP DAS Benain Noelmina tahun 2011 melakukan monitoring dan evaluasi sampai sejauh mana tingkat koordinasi dan sinergitas lembaga-lembaga terkait. Hasilnya menyatakan bahwa tingkat konflik antar lembaga pengelola DAS Aesesa tergolong sedang. Persoalan yang masih dijumpai adalah belum adanya keterpaduan kegiatan, terjadi overlapping program dan pendekatan keproyekan
dalam pelaksanaan program. Selain itu dasar pelaksanaan proyek yang menggunakan unit wilayah administrasi terkadang menjadi permasalahan tersendiri pada pengelolaan DAS Aesesa yang terletak di dua wilayah administrasi (kabupaten). Permasalahan-permasalahan diatas diharapkan bisa teratasi dengan terbentuknya Forum DAS NTT dan tersusunnya Rencana Pengelolaan DAS (RPDAS) Terpadu pada beberapa DAS Prioritas di NTT, termasuk DAS Aesesa. Forum DAS NTT, yang merupakan forum gabungan antara pemerintah, LSM dan masyarakat, diharapkan bisa mengakomodir semua kepentingan (lintas sektoral). Sementara RP DAS Terpadu yang disusun pada tahun 2012, yang didalamnya berisi tentang pembagian peran para pemangku kepentingan dalam mengelola DAS dan sumber daya air diharapkan bisa memadukan kegiatan dan meminimalisir overlapping program terkait pengelolaan sumber daya air. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan data-data klimatologis selama beberapa puluh tahun terakhir, di DAS Aesesa telah terjadi fenomena variabilitas iklim, dimana terjadi kecenderungan kenaikan suhu udara ratarata tahunan di bagian hilir DAS dan kecenderungan penurunan curah hujan pada bagian tengah dan hilir DAS pada sekitar 30 tahun terakhir. Hasil observasi dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa variabilitas iklim belum berdampak nyata terhadap kuantitas dan kualitas air. Meski demikian, beberapa indikator berupa KRS, IPA dan neraca air menunjukkan bahwa kondisi sumber daya air di DAS Aesesa dalam keadaan kritis/rentan. Perpaduan antara konsep kerentanan IPCC dan pendekatan spasial yang digunakan untuk menilai sampai sejauh mana kerentanan sumber daya air menghasilkan peta kerentanan sumber daya air, dimana sekitar 54% dari total wilayah DAS Aesesa teridentifikasi memiliki tingkat kerentanan tinggi, 13% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 33% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Berdasarkan region DAS, urutan tingkat kerentanan berturut-turut dari yang tertinggi ke
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
191
yang terendah adalah region hulu, tengah dan hilir. Disamping kelebihannya dalam menampilkan informasi kerentanan secara spasial, peta kerentanan juga memiliki kekurangan yaitu dalam penyusunannya banyak menggunakan data sekunder yang masih diragukan kebenarannya. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan tersebut, peta kerentanan tetap merupakan alat yang efektif dan berbiaya rendah yang bermanfaat bagi lembaga terkait untuk menyusun strategi, rencana dan aksi dalam menanggulangi masalah dampak variabilitas iklim terhadap sumber daya air. B. Saran Rekomendasi yang ditawarkan terkait hasil kajian meliputi rekomendasi pada aspek teknis dan aspek kelembagaan/kebijakan. Berdasarkan peta kerentanan dan terkait dengan aspek teknis, beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu: optimalisasi kegiatan reboisasi di region hulu, optimalisasi tata guna lahan di region tengah dan optimalisasi manajemen bencana di semua region DAS. Pelaku utama dalam optimalisasi kegiatan reboisasi di region hulu yaitu: Kementerian Kehutanan, melalui Balai Besar KSDA NTT Seksi Wilayah Flores, selaku pemangku utama di wilayah hulu DAS serta BPDAS Benain Noelmina yang memiliki kegiatan reboisasi sebagai tupoksinya. Kegiatan ini diharapkan juga didukung oleh pihak terkait lainnya yaitu pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan BLHD Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo); PDAM melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan pemerintah desa atau masyarakat di sekitar hulu DAS. Untuk kegiatan optimalisasi tata guna lahan di region tengah, pelaku utamanya adalah Bappeda Provinsi NTT/Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo melalui kegiatan monitoring dan review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten yang memastikan bahwa tata guna lahan sesuai dengan perencanaan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Sementara itu, untuk kegiatan optimalisasi manajemen bencana di semua region DAS, pelaku utamanya adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui penyusunan database daerah rawan bencana, perencanaan daerah evakuasi bencana, pengembangan early warning system (peringatan dini) serta mendorong masyarakat untuk membentuk kelompok masyarakat tanggap bencana. Sementara itu terkait aspek kelembagaan,
beberapa hal yang direkomendasikan adalah p e r c e pa t a n d a n m o n i t o r i n g k e b i j ak a n pembangunan be nd ung an di NTT d an implementasi kebijakan pengelolaan DAS yang berkelanjutan - RPDAS terpadu yang telah tersusun. Pelaku utama percepatan dan monitoring kebijakan pembangunan bendungan adalah Kementerian PU yang tujuan utamanya adalah memastikan bahwa pembangunan bendungan sesuai rencana dan spesifikasi teknis yang ditetapkan. Sementara itu, Forum DAS NTT selaku koordinator stakeholder terkait pengelolaan DAS, diharapkan menjadi pelaku utama dalam mengawal RPDAS Aesesa yang telah tersusun agar tepat sasaran. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo serta warga masyarakat pada desa-desa sampel di DAS Aesesa atas segala kontribusinya, baik berupa dana/ anggaran, ijin, sharing data/ informasi dan bantuan teknis selama kegiatan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Adge r, W.N. ( 2006). Vulnerability. Gl obal Environmental Change, 16, 268-281. Adiyoga, W., Basuki, R.S., Djuariah, D., dan Safaruddin. (2012). Persepsi Petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim: Studi kasus sayuran dataran tinggi dan rendah di Sulawesi Selatan. Laporan Akh ir Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Kementerian Riset dan Teknologi. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Aldrian, E. dan Susanto, R.D. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to seasurface temperature. Int. J. Climatol, 23:1435–1452. Asdak, C. (1997). Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
192 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
Bappeda NTT. (2009). Rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi NTT tahun 2009-2013. Kupang: Bappeda NTT.
BPS Kabupaten Nagakeo. (2011). Kabupaten Nagekeo dalam angka 2011. Mbay: BPS Kabupaten Nagekeo.
Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. (2010). Indonesia climate change sectoral roadmap ICCSR: Sektor sumber daya air. Jakarta: Bappenas.
BPS Kabupaten Nagakeo. (2012). Kabupaten Nagekeo dalam angka 2012. Mbay: BPS Kabupaten Nagekeo.
Benson, C., Twigg, J., and Rosetto, T. (2007). Tools for mainstreaming disaster risk (Guidance Notes for De vel opme nt Or gani sati ons) . Ge ne va, Switzerland: Provention Consortium Secretariat. BLHD [Badan Lingkungan Hidup Daerah] Kabupaten Nagekeo. ( 2012 ) . Laporan pemantauan kualitas air tahun 2011-2012. Mbay: BLHD Kabupaten Nagekeo. BLHD Kabupaten Ngada.(2012). Laporan pemantauan kualitas air tahun 2009-2012. Bajawa: BLHD Kabupaten Ngada. BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] Kabupaten Ngada. (2013). Laporan kejadian bencana 2011-2 013. Bajawa : BPBD Kabupaten Ngada. BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] Kabupaten Nagekeo. (2013). Laporan kejadian bencana 2011-2013. Mbay: BPBD Kabupaten Nagekeo. BPDAS [Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai] Benain Noelmina. (2011). Buku II data lapangan: Optimalisasi pengelolaan DAS dalam rangka pemberdayaan masyarakat DAS Kambaniru. Kupang: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. BPDAS Benain Noelmina. (2012). Laporan akhir karakteristik DAS Aesesa. Kupang: BPDAS Benain Noelmina. BPDAS Benain Noelmina. (2013). Rencana pengelolaan DAS terpadu DAS Aesesa provinsi NTT. Kupang: BPDAS Benain Noelmina. BPS [Badan Pusat Statistik] Provinsi NTT. (2012). NTT dalam angka tahun 2012. Kupang: BPS Provinsi NTT.
BPS Kabupaten Ngada. (2011).Kabupaten Nagekeo dalam angka 2011. Bajawa: BPS Kabupaten Ngada. BPS Kabupaten Ngada. (2012).Kabupaten Nagekeo dalam angka 2012. Bajawa: BPS Kabupaten Ngada. Bryant, R. L. and Bailey, S. (1997). Third world political ecology. London: Routledge. Davis, A. and Wagner. J. (2003). Who knows? On the importance of identifying 'experts' when researching local ecological knowledge. Human Ecology 31(3):463-489. Effendi, M. (2012). Kajian tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan strategi adaptasi berbasis DAS (Studi kasus: Sub Das Garang Hulu). (Tesis Program Studi Ilmu Lingkungan), Semarang: Universitas Dipnegoro. Faqih, A. (2011). Kajian ilmiah perubahan iklim dan hubungannya dengan kejadian iklim ekstrim di Indonesia. Simposium Penelitian Perubahan Iklim dan launching IPCC Indonesia. Bogor: IPB International Convention Center. Gain, A.K., Giupponi, C., and Renaud, F.G. (2012). Climate change adapta tion a nd vulnerability assessment of water resources systems in developing countries: a generalized framework and a feasibility study in Bangladesh. Water 2012, 4(2), 345366; doi:10.3390/w4020345. Hamouda, M.A.A. (2006). Vulnerability assessment of water resources systems in the eastern Nile Basin to environmental factors. (Thesis, Department of Natural Resources, Institute of African Research and Studies). Cairo: Cairo University.
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
193
Harter, T., and Walker.F.G. (2001). Assessing vulnerability of ground water. Davis: University of Carolina & Caroline Department of Health Science. IPCC [Intergovernmental Panel on Climate Change]. (2001): Impacts, a daptation vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva: UNEP/WMO. IPCC. (2007). Summary for policy makers: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assesment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change. In Parry, M.L. Canziani, O.F., Palukof, J.P., van der Linden, P.J., and Ha nson, C. E. ( Eds). Camb ridg e : Cambridge University. KLH [Kementerian Lingkungan Hidup] RI. (2010). Kajian resiko dan adaptasi terhadap variabilitas iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian - Kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kerjasama antara RI dengan Republik Federal Jerman, GTZ, WWF dan Pemda NTB. Mataram: NTB. KLH RI. (2014).Peluncuran sistem inventarisasi data indeks kerentanan (SIDIK) perubahan iklim. D i u n d u h d a r i http://adaptasi.menlh.go.id/?p=1008. (20 januari 2015) Kompas. (2012). NTT rawan pangan. Diunduh dari http://cetak.kompas.com/read/2012/08/ 15/05004499/ntt.rawan.pangan. (10 Mei 2013) Kompas. (2013). 7 desa di NTT terendam banjir. D i u n d u h d a r i http://regional.kompas.com/read/2013/ 06/09/23014635/7.Desa.di.NTT.Terenda m.Banjir. (15 Juni 2013) Kompas. (2015). Pemerintah akan bangun 7 waduk & 100 Embung di NTT . Diunduh dari http://nasional.kontan.co.id/news/pemer intah-akan-bangun-7-waduk-100-embungdi-ntt/. (20 Agustus 2015) Pemerintah Provinsi NTT. (2015). NTT dapat 6 b endungan r aksasa. Diunduh dari http://nttprov.go.id/ntt/ntt-dapat-6bendungan-raksasa/. (20 Agustus 2015)
Pos Kupang. (2015). NTT dapat enam bendungan raksasa tahun 2014-2019. Diunduh dari http://kupang.tribunnews.com/2015/06 /21/ntt-dapat-enam-bendungan-raksasatahun-2014-2019. (20 Agustus 2015) Preston, B.L., Yuen, E.J. and Westaway, R.M. (2011). Putting vulnerability to climate change on the map: a review of approaches, benefits and risks. Sustainability Science. Springer. DOI 10.1007/s11625011-0129-1 Putro, Dwi. (2007). Fenomena Alam Tidak Bisa Ditebak. Diunduh dari h t t p : / / w w w. s u a r a k a r y a online.com/news.html?id=176970. (23 Mei 2008) Rositasari, R., Wahyu, B., Indarto, H.S., Hasanuddin dan Bayu, P., (2011). Kajian dan prediksi kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim: Studi kasus di pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.3, No.2, Hal. 52-64. Sakeng, K. (2008). NTT Rentan Bencana. Diunduh dari http://www.beritabumi.or.id diakses.( 23 Mei 2008) Sipayung, B.S., Avia, L.Q.,dan Dasanto B.D. (2010). Analisis pola curah hujan indonesia berbasis luaran model sirkulasi global (GCM). Jurnal Sains & Digantara 4 (2). Swandayani, T.H. (2010). Pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan adaptasi berbasis ekosistem hutan (studi kasus DAS Ciliwung). (Tesis) Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Tempo. (2013). Banjir genangi ratusan rumah di NTT. D i u n d u h d a r i http://www.tempo.co/read/news/2013/ 06/09/058486851/Banjir-GenangiRatusan-Rumah-di-NTT. (15 Juni 2013). Tempo. (2012). 403 Desa di NTT Terancam Rawan Pa n ga n . D i u n d u h d a r i http://www.tempo.co/read/news/2012/ 08/10/173422590/403-Desa-di-NTTTerancam-Rawan-Pangan. (10 Mei 2013). TERI [The Energy and Resources Institute]. (2009). Climate change and water vulnerability: strategies and practices for emerging water management and governance challenges - executive summary. The Energy and Resources Institute
194 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 177-195
TERI in collaboration with Yale University to be released during the15th Conference of Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC, 7–18 December 2009, Copenhagen, Denmark.
Tjasyono, B. (2004). Klimatologi (Cetakan Ke-2). Bogor: IPB Press. Water Aid. (2007). Climate Change and Water Resources. London: Water Aid..
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
195
PERANAN DAN KEBUTUHAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM TATA KELOLA PARIWISATA DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN, SULAWESI UTARA (The Role and Requirement of Stakeholders in Tourism Governance in Bunaken National Park, North Sulawesi) 1
1
2
3
2
Heri Santoso , E.K.S. Harini Muntasib , Hariadi Kartodihardjo & Rinekso Soekmadi Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata; Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected] 2 Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected], [email protected] 3 Departemen Manajemen Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected] Diterima 3 Juni 2015, direvisi 18 Agustus 2015, disetujui 6 Oktober 2015
ABSTRACT Tourism management has been developed in Bunaken National Park (BNP) but has not shown satisfactory results. This research aim to identify and describe the roles and the needs of stakeholders in the governance of tourism in BNP. Data was collected through interviews, observation and document study, and then analyze by using the stakeholder analysis and requirements analysis. The results showed that there are 17 stakeholders, mostly serves as key players who have high interest and influence. Relationships among stakeholders are in the form of coordination, cooperation, and potential for conflict. The necessary requirements of the stakeholders, namely (1) the understanding of stakeholders on the BNP and its management, as well as the laws and regulations on governing the development of tourism in the conservation area, (2) coordination and communication at the regional level to unify the perception on the development of governance of tourism in BNP, and (3) implementation and synchronization of activities and programs of tourism development in BNP by stakeholders. Active roles and needs of the stakeholders can be met through more intensive coordination in supporting the management of BNP. The impact of the research is to provide input to the better tourism governance in BNP. Keywords: Stakeholders, tourism governance, Bunaken National Park. ABSTRAK Pengelolaan pariwisata telah dikembangkan di Taman Nasional Bunaken (TNB), namun belum memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, studi dokumen dan observasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis pemangku kepentingan dan analisis kebutuhan. Hasil penelitian menunjukkan adanya 17 pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB dan sebagian besar berperan sebagai key player yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi. Hubungan antara pemangku kepentingan berupa koordinasi, kerja sama, dan potensi konflik. Kebutuhan yang diperlukan pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB, yaitu: (1) pemahaman pemangku kepentingan tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi; (2) koordinasi dan komunikasi di tingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang tata kelola pariwisata di TNB dan (3) implementasi dan sinkronisasi dari kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan. Peranan yang aktif dan kebutuhan para pemangku kepentingan dapat dipenuhi melalui koordinasi yang lebih intensif dalam menunjang pengelolaan TNB. Dampak dari penelitian memberikan masukan bagi tata kelola pariwisata di TNB yang lebih baik. Kata kunci: Pemangku kepentingan, tata kelola pariwisata, Taman Nasional Bunaken.
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
197
I. PENDAHULUAN Salah satu kawasan konservasi yang telah mengembangkan wisata alam adalah Taman Nasional Bunaken (TNB) di Provinsi Sulawesi Utara. Sebagai kawasan konservasi yang memiliki tingkat aksesibilitas yang relatif dekat dengan ibu kota provinsi dan didukung keunikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maka TNB memiliki potensi besar dalam pengembangan pariwisata. TNB merupakan kawasan ekowisata dan destinasi unggulan serta menjadi kekuatan pariwisata Kota Manado. Pertumbuhan usaha industri pariwisata memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Manado tahun 2012, yaitu sebesar Rp 4.375.528.650.000 atau 28% dari total PDRB Kota Manado (Rp 15.621.876.980.000) (Badan Pusat Statistik Kota Manado, 2013). Kegiatan wisata alam di TNB sebenarnya sudah ada sebelum penunjukan kawasan ini sebagai taman nasional dan saat ini kegiatan wisata alam telah berkembang melalui pengusahaan wisata alam antara lain cottage, jasa penyelaman, hotel, rumah sewa dan rumah makan. Terdapat sekitar 29 pengusaha wisata alam yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNB (Balai Taman Nasional Bunaken, 2008). Jumlah pengunjung kawasan TNB lima tahun terakhir (2009-2013) bervariasi setiap tahunnya. Data dari Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB), pada tahun 2009 pengunjung TNB sebanyak 40.979 orang, tahun 2010 sebanyak 28.231 orang, tahun 2011 sebanyak 27.741 orang, tahun 2012 sebanyak 42.758 orang, dan tahun 2013 sebanyak 39.179 orang. Pengembangan wisata alam di kawasan konservasi tidak terlepas dari peran para pemangku kepentingan, diantaranya pemerintah sebagai pembuat dan penyusun kebijakan, swasta sebagai pelaku usaha wisata, akademisi, masyarakat, maupun pihak lainnya. Peranan para pemangku kepentingan dalam pengembangan wisata alam di kawasan konservasi menghadirkan konsepsi pengembangan wisata yang tidak bisa dilakukan secara sendirian dan menuntut kebersamaan arah tindak dan keseimbangan para pemangku kepentingan. Konsepsi ini mengarah pada pemahaman tata kelola. Pemahaman tata kelola disampaikan oleh Muntasib (2009) yang merupakan mekanisme pengelolaan sumber daya, ekonomi dan
sosial yang melibatkan pengaruh sektor pemerintah dan sekton non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Adapun tata kelola pariwisata merupakan bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata dengan sumber daya wisata, konsumen, pemerintah, pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumber daya wisata yang sama. Bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata, pemerintah dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumber daya wisata di TNB telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat melalui Balai TNB, pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan pihak swasta. Namun masing-masing pihak masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masingmasing, sebagai contoh pelaku usaha wisata swasta yang sudah melakukan kegiatan wisata dalam kawasan TNB masih belum memenuhi persyaratan perijinan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam yang menggantikan PP 18 tahun 1998. Pada pengenaan tarif masuk TNB masih terjadi tarik ulur dalam kewenangannya, antara pihak BTNB dengan berdasar pada PP Nomor 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan yang menggantikan PP 59 tahun 1998 dan pihak DPTNB dengan berdasar pada Peraturan Daerah (Perda) Sulawesi Utara Nomor 14 tahun 2000 tentang Pungutan Masuk pada kawasan TNB dan perubahannya Perda Nomor 9 tahun 2012. Beberapa kali pula wacana dimunculkan untuk pengelolaan sebagian wilayah TNB berada dibawah kewenangan pemerintah daerah setempat. Beberapa hal tersebut menunjukkan adanya kondisi yang diharapkan pemangku kepentingan yang belum terpenuhi saat ini, dan mengarah pada kebutuhan pemangku kepentingan. Adanya situasi yang terjadi di TNB dan kondisi yang diharapkan para pemangku kepentingan menunjukkan pelaksanaan tata kelola pariwisata belum memberikan hasil yang cukup memuaskan. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk mengetahui peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB.
198 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB, (b) menguraikan peranan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB, dan © menguraikan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB.
Hutan dan Konservasi Alam Nomor 69/IV/SetH0/2006, (3) pengelolaan TNB sejak tahun 2000 menghadirkan pengelolaan kolaboratif dalam bentuk institusi Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang melibatkan para pemangku kepentingan termasuk didalamnya para pelaku wisata, dan (4) pada tahun 2011 TNB juga menjadi salah satu lokasi strategis pengembangan destinasi pariwisata (kawasan strategis pariwisata nasional) dalam bentuk DMO (Destination Management Organization) dari 15 DMO di seluruh Indonesia.
II. METODE PENELITIAN B. Pengumpuan Data A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan konservasi laut yaitu Taman Nasional Bunaken (Gambar 1) dan dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2014. Pemahaman taman nasional menurut UndangUndang (UU) Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi. KPA mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Kajian pengembangan pariwisata di TNB menjadi menarik karena: (1) TNB merupakan salah satu kawasan konservasi dengan upaya pengembangan wisata baharinya yang cukup berkembang, bahkan sebelum penunjukannya sebagai kawasan konservasi, (2) status kawasan TNB yang ditunjuk melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober 1991, merupakan taman nasional laut yang tertua di Indonesia dan telah ditunjuk pula sebagai taman nasional model berdasarkan SK Direktur Jenderal Perlindungan
Data dan informasi penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari tugas pokok dan kewenangan, hubungan dan kebutuhan para pemangku kepentingan. Pengumpulan data primer melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dan berpedoman pada daftar topik yang telah disusun sebelumnya. Penentuan para pemangku kepentingan (responden) dilakukan melalui metode purposive sampling dan snowball sampling. Responden dipilih dengan pertimbangan yang bersangkutan memiliki pengalaman dan pengetahuan sesuai dengan fokus penelitian. Selanjutnya berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya, peneliti dapat menetapkan responden lainnya yang dipertimbangkan dapat memberikan data lebih lengkap. Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah observasi. Observasi dimaksudkan untuk mengetahui dan mempelajari secara mendalam dan sekaligus memverifikasi atau cek silang tentang isuisu atau permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya data sekunder yang merupakan pendukung dalam bahasan penelitian. Data ini dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh para pemangku kepentingan yang terkait dengan tata kelola pariwisata di TNB.
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
199
Sumber (source): Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (1996)
Gambar 1. Lokasi Taman Nasional Bunaken. Figure 1. Bunaken National Park location. C. Analisis Data Pemahaman pemangku kepentingan (stakeholders) yang juga menjadi teori dasar mengacu pada pendapat Reed et al. (2009) yaitu pihak yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh capaian dari sasaran organisasi. Pemangku kepentingan merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan (Fletcher et al., 2003) yang diidentifikasi dengan pertimbangan posisi penting dan pengaruh yang dimiliki. Analisis yang digunakan adalah analisis pemangku kepentingan yang diterapkan untuk mengungkapkan kepentingan dan pengaruh (peranan) para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB (Reed et al., 2009; Roslinda et al., 2012; Muntasib,
2014). Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan cara: (1) mengidentifikasi para pemangku ke penting an, (2) mengelompokkan dan mengategorikan para pemangku kepentingan, dan (3) menggambarkan hubungan antara para pemangku kepentingan. Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan. Penyusunan matriks berdasarkan deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam skoring dan didasarkan atas pertanyaan yang digunakan dalam mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan. Hasilnya berupa matriks yang terdiri dari empat kuadran, sebagai subjects, key players, crowd, dan context
200 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
setters. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Key player merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tapi sedikit kepentingan sehingga dapat menjadi risiko signifikan untuk d i pa nt a u. Cr owd m e r u p ak an p e ma ng ku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diiinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya analisis yang digunakan adalah analisis kebutuhan yang merupakan sebuah proses atau cara yang sistematis untuk mengeksplorasi dan mengidentifkasi gap antara kondisi saat ini dan kondisi yang seharusnya atau kondisi yang diharapkan (Grayson, 2002). Tujuan dan manfaat dari analisis kebutuhan dalam penelitian ini diantaranya untuk mengetahui karakteristik kesenjangan antara kondisi aktual dan kondisi yang diharapkan. Tahap analisis kebutuhan dalam penelitian ini yaitu: (1) identifikasi para pihak yang terkait, melalui analisis para pemangku kepentingan sebelumnya; (2) tahap eksplorasi dengan mengidentifikasi kondisi aktual saat ini dan kondisi yang diinginkan; (3) identifikasi kondisi yang dibutuhkan para pihak untuk mengurangi gap; (4) menentukan prioritas dan tingkat kepentingan berdasarkan efektivitas biaya, peluang pelaksanaannya dari segi hukum, penerimaan dari para pemangku kepentingan, keterlibatan dari para pemangku kepentingan, dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan keseluruhan dan (5) identifikasi sumber permasalahan berdasarkan prioritas yang telah disusun. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peranan Pemangku Kepentingan 1. Identifikasi pemangku kepentingan Hasil penelitian mengidentifikasikan pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengembangan tata kelola pariwisata TNB sebanyak 17 pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan tersebut terbagi menjadi: kelompok pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
kelompok swasta, kelompok akademisi, kelompok masyarakat dan kelompok lainnya. Tabel 1 menyajikan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Kelompok pemerintah pusat yaitu BTNB yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berada pada kelompok pemerintah pusat. Para pemangku kepentingan dari kelompok pemerintah daerah yaitu satuan kerja perangkat daerah (SKPD) baik yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara yaitu DKSU dan BSDA maupun dari Kota Manado yaitu DPBM dan Kabupaten Minahasa Selatan yaitu DBPMS. Para SKPD tersebut umumnya melaksanakan tugas pokoknya membantu gubernur, walikota dan bupati dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidangnya masing-masing. Pada kelompok pemerintah daerah terdapat pula DPPSU yang menangani masalah keamanan dan ketertiban di wilayah perairan Sulawesi Utara. Kelompok swasta adalah para pelaku usaha pariwisata di TNB terdiri dari NSWA, HPWLB, PALMB, HPISU, ASITASU, dan PHRISU. NSWA adalah forum resmi operator wisata bahari yang tujuan utamanya adalah promosi Sulawesi Utara sebagai tujuan wisata bahari kelas dunia melalui pengembangan standar layanan yang tinggi dan keamanan dan terutama dengan mempromosikan kegiatan olahraga air yang lebih ramah lingkungan. NSWA beranggotakan 20 pengusaha wisata selam dan beroperasi di TNB, Selat Lembeh dan seluruh wilayah laut provinsi Sulawesi Utara (NSWA, 2014). HPWLB merupakan himpunan pengelola wisata lokal Bunaken yang memiliki visi terlaksananya suasana yang kondusif dalam berusaha dan terciptanya iklim pariwisata yang aman tertib dan lancar; dimana HPWLB baik secara kelembagaan maupun secara tidak langsung akan mempunyai aksesibilitas dalam pengambilan keputusan, kebijakan dan atau peraturan pariwisata Bunaken yang akan dikeluarkan atau diberlakukan oleh pihak manapun. HPWLB memiliki keanggotaan semua pedagang kecil/asongan/ tenda di Kelurahan Bunaken, usaha akomodasi, diving centre, usaha perahu/kapal/katamaran milik pengusaha lokal/pribumi (HPWLB, 2001). PALMB merupakan perhimpunan angkutan laut Manado Bunaken yang bertujuan untuk kerja sama, pengaturan dan pemerataan kesejahteraan
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
201
Tabel 1. Pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB Table 1. Stakeholders of tourism governance in BNP Kelompok (Groups) Pemerintah pusat (Central government)
Pemerintah daerah (Local government)
Swasta (Private sector)
Instansi (Institutions) Balai Taman Nasional Bunaken (BTNB), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Manado (DPBM), Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Minahasa Selatan (DBPMS), Biro Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara (BSDASU), Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (DKSU), Direktorat Polisi Perairan Sulawesi Utara (DPPSU) North Sulawesi Watersport Association (NSWA), Himpunan Pengelola Wisata Lokal Bunaken (HPWLB), Perhimpunan Angkutan Laut Manado Bunaken (PALMB), Himpunan Pramuwisata Indonesia Sulawesi Utara (HPISU), Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia Sulawesi Utara (ASITASU), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sulawesi Utara (PHRISU)
Kepentingan Menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Membantu gubernur, walikota dan bupati dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidangnya masing-masing
Memanfaatkan kunjungan wisatawan ke TNB
Universitas Sam Ratulangi Manado (USRM), Politeknik Negeri Manado (PNM) Forum Masyarakat Peduli TNB (FMPTNB) Akademisi (Academicians)
Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB), Destination Management Organization Bunaken (DMOB)
Pendidikan dan pembelajaran Memanfaatkan kunjungan wisatawan ke TNB
Masyarakat (Local people)
Memanfaatkan kunjungan wisatawan ke TNB
Kelompok lainnya (Other groups) Sumber : Data Primer, 2014 Source : Primary Data, 2014
bagi para anggota sesama pemilik angkutan laut (BTNB, 2010). HPI merupakan wadah tunggal pribadi-pribadi yang memiliki profesi sebagai pramuwisata, yang bertujuan menghimpun, mempersatukan, meningkatkan, dan membina persatuan Pramuwisata Indonesia agar lebih berdaya dan berhasil guna bagi kesejahteraan dan kehidupan yang diabdikan bagi kelestarian Pariwisata Indonesia (HPI 2006). ASITA merupakan organisasi yang mewadahi peran dan atau aspirasi anggota (yaitu perusahaan perjalanan
wisata) dalam meningkatkan profesionalisme, membangun kapasitas anggota, berdaya saing global dan mampu melayani dan atau melindungi anggota secara proposional serta dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah, melalui organisasi yang dikelola berdasarkan prinsip profesionalisme, transparasi, demokratis, jujur, adil dan akuntabilitas (ASITA, 2011). PHRI merupakan organisasi yang berorientasikan kepada pembangunan dan peningkatan pariwisata dalam rangka ikut serta
202 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
melaksanakan pembangunan nasional serta merupakan wadah pemersatu dalam memperjuangkan dan menciptakan iklim usaha yang menyangkut harkat dan martabat pengusaha yang bergerak dalam jasa pariwisata perhotelan dan jasa makanan dan minuman serta lembaga pendidikan pariwisata (PHRI, 2010). Provinsi Sulawesi Utara memiliki cabang organisasi HPI, ASITA dan PHRI. Kelompok akademisi atau perguruan tinggi yaitu USM dan PNM merupakan lembaga yang terlibat dalam beberapa kegiatan di TNB. Kelompok masyarakat diwakili oleh FMPTNB yang merupakan wadah koordinasi dan komunikasi diantara masyarakat di 22 Desa/Kelurahan dalam kawasan TNB. Di dalam kawasan TNB saat ini bermukim lebih dari 40.000 penduduk yang tersebar pada 30 perkampungan (FMPTNB, 2011). Keberadaan masyarakat di dalam kawasan TNB telah dimulai minimal tiga generasi yang terdiri dari tujuh kelompok suku, yaitu Sangir, Bugis, Bajo, Gorontalo, Ternate, Minahasa, dan Bantik (SBKSDA, 1996). Keberadaan masyarakat ini jauh lebih dulu dibanding penunjukan kawasan sebagai TNB pada tahun 1991. Proses adaptasi telah melahirkan perilaku yang arif terhadap pemanfaatan potensi sumber daya alam laut, dengan masih dijumpainya keanekaragaman sumber daya alam laut yang tinggi di kawasan TNB yaitu berbagai spesies ikan dan terumbu karang serta berbagai jenis pohon bakau. Masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan, petani, pegawai, pedagang dan lainnya serta sebagian lagi memanfaatkan pengembangan pariwisata di TNB sebagai pelaku usaha swasta seperti usaha cendera mata, rumah makan, penginapan, pemandu wisata, dan usaha dive operator. Beberapa program pemerintah yang pernah dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat berupa bimbingan teknis produk kuliner dari kawasan Bunaken, diversifikasi produk rumput laut dan ikan yang dilaksanakan oleh DMOB pada tahun 2013, Diklat Kewirausahaan Usaha Jasa Pariwisata yang dilaksanakan oleh Balai Diklat Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2013. Beberapa kelompok tersebut tergabung dalam dalam dua institusi yang berperan sebagai wadah atau forum koordinasi yaitu DPTNB dan DMOB. DPTNB merupakan wadah bersama para pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan secara langsung maupun tidak langsung bekerja sama memperkuat pengelolaan TNB sehingga dapat memberikan manfaat secara berlanjut.
DPTNB dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 233 tahun 2000 dan diketuai oleh Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara. Prinsip-prinsip DPTNB: (1) mendukung fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada dan berkembang di tengah masyarakat, (2) mendukung dana pengelolaan yang sudah ada, (3) terbuka/transparan, (4) menekankan pola kemitraan dan partisipasi, (5) pertanggungjawaban publik (pengelolaan dan keuangan), (6) memperkuat dan mengakomodasi kepedulian dan kerja sama antar pemangku kepentingan, (7) bersifat fleksibel dan dinamis, serta (8) kesetaraan antar pemangku kepentingan. Keanggotaan DPTNB pada saat dibentuk terdiri dari 15 anggota, yaitu : Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Ketua Asosiasi Wisata Bahari Sulawesi Utara (Sulut), Ketua FMPTNB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulut, Kepala Dinas Pariwisata Sulut, Kepala Dinas Perikanan Sulut, Kepala Balai TNB, Kepala Bappedalda Kabupaten Minahasa, Kepala Bagian Lingkungan Hidup Kota Manado, FMPTNB rayon selatan, FMPTNB rayon utara, FMPTNB rayon pulau, FMPTNB, dan Direktur Eksekutif Walhi Sulut (Dominggus et al., 2001). Dalam perkembangannya keanggotaan DPTNB mengalami perubahan-perubahan, sampai dengan yang terakhir saat Rapat Umum Anggota DPTNB tahun 2012 keanggotaan DPTNB berjumlah 19 kursi, yaitu dengan masuknya: DKSU, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Sulut, serta BSDASU. Perwakilan masyarakat melalui FMPTNB bertambah satu kursi menjadi enam kursi. BTNB telah mengajukan pengunduran diri sebagai anggota DPTNB. DMO merupakan program pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan mulai dilaksanakan di Bunaken pada tahun 2011. DMO adalah tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan, proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal (DJPDP,
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
203
2012). Fasilitator DMOB berasal dari unsur akademisi (USRM) demikian pula untuk fasilitator lokal (UNIMA). Sekretariat DMOB terdiri dari unsur akademisi (USRM), pemerintah (BTNB) dan media didalamnya. 2. Pengkategorian para pemangku kepentingan Hasil penelitian yang mengidentifikasikan 17 pemangku kepentingan setelah dilakukan wawancara dapat diperoleh kepentingan dan pengar uh dari masing-masing pemangku kepentingan. Gambar 2 menyajikan matriks kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan. Posisi pada kuadran 1 (subjects) menunjukkan pemangku kepentingan yang berada didalamnya (PALMB, HPISU, ASITASU dan PHRISU) memiliki kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang rendah dalam tata kelola pariwisata di TNB. Pemangku kepentingan yang dominan dalam kuadran ini terdiri dari PALMB, HPISU dan ASITASU. Ketiga pemangku kepentingan ini memiliki kepentingan yang tinggi dengan memperoleh manfaat dari pengembangan pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara umumnya dan pariwisata di TNB khususnya sebagai destinasi unggulan. Ketiga pemangku kepentingan ini juga terlibat dalam program DMOB dari Kementerian Pariwisata. PALMB memperoleh manfaat dari kunjungan wisatawan ke TNB dengan melayani angkutan laut pengunjung dari Manado ke Bunaken atau sebaliknya. Tugas PALMB adalah menyukseskan program pemerintah dibidang pariwisata. Jumlah anggota PALMB sekitar 40 pengusaha sarana angkutan laut. PALMB memiliki sarana angkutan laut berupa speed boat dan angkutan dalam bentuk katamaran, yaitu perahu dengan dasar kaca untuk melihat pemandangan bawah laut. HPISU memperoleh manfaat dari kunjungan wisatawan ke TNB dengan berperan sebagai pramuwisata untuk melayani pengunjung TNB. Tugas HPISU adalah secara aktif menggalakkan dan melaksanakan pembangunan pariwisata secara teratur, tertib, dan berkesinambungan serta menciptakan kerja sama dengan pemerintah maupun komponen usaha jasa pariwisata demi terciptanya lapangan kerja yang layak dan merata bagi anggota. ASITASU memperoleh manfaat dari kunjungan wisatawan ke TNB dengan menyediakan paket-paket wisata ke TNB. Jumlah anggota ASITASU yang aktif sebanyak 28 anggota dan diantaranya yaitu Mapanget Mega Wisata Tour and Travel menyediakan paket-
paket wisata ke TNB, seperti paket I Love Bunaken Everyday Diving, I Love Bunaken + Tangkoko, I Love Bunaken + Minahasa, dan Bunaken Daily Tour. PALMB beroperasi lebih banyak melayani angkutan laut Manado Bunaken, sedang kedua pemangku kepentingan lainnya beroperasi di seluruh wilayah Sulawesi Utara, sehingga posisi PALMB memiliki kepentingan yang lebih tinggi dibanding ASITASU dan HPISU. Pengaruh dari ketiga pemangku kepentingan ini lebih melihat TNB sebagai obyek dari kunjungan sehingga pengaruhnya rendah terhadap pengembangan pariwisata alam di TNB. Para pemangku kepentingan dalam kuadran ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Kondisi yang berbeda pada hasil penelitian Roslinda et al. (2012) pada pengelolaan TN Danau Sentarum, Herawati et al. (2010) pada kegiatan di hutan tanaman rakyat, Kusumedi dan Rizal (2010) pada kesatuan pengelolaan hutan di Maros; dimana semuanya menempatkan masyarakat d i dalam/sekitar kawasan dimaksud berada pada kuadran 1 (subjects). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kawasan berupa ketergantungan pada sumber daya alam di kawasan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, namun memiliki pengaruh yang kurang yang disebabkan oleh kekurangmampuan atau tidak dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan kawasan sehingga masyarakat setempat seringkali diposisikan sebagai objek. Situasi di TNB berbeda dengan penelitian tersebut karena masyarakat pada penelitian ini berada pada kuadran 2 (key players). Masyarakat setempat dengan beberapa kelompok etnis didalamnya membentuk forum dengan nama FMPTNB. FMPTNB memberikan pengaruh yang tinggi karena terlibat dalam fungsi intermediasi dan penyebaran informasi dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. FMPTNB juga terlibat aktif dalam wadah koordinasi DPTNB dan DMOB. Hal ini sesuai dengan pendapat Reed et al. (2009) dan Thompson (2011) sebelumnya yang menyatakan pemangku kepentingan pada kuadran subjects dapat menjadi berpengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Posisi pada kuadran 2 (key players) menunjukkan pemangku kepentingan yang berada didalamnya (BTNB, DPBM. DBPMS, FMPTNB, NSWA,
204 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
Sumber : diolah dari data primer 2014 Source : processed from primary data 2014
Gambar 2. Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Figure 2. Matrix of stakeholder interest and influence in tourism governance in BNP. HPWLB, DPTNB, dan DMOB), memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam tata kelola pariwisata di TNB. Pemangku kepentingan yang dominan dalam kuadran ini terdiri dari BTNB, DPTNB dan DMOB. Ketig a pemangku kepentingan ini memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi karena mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. BTNB bertujuan untuk : (1) perlindungan sumber daya dan ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove, dan goba serta flora fauna terestrial dalam kawasan Taman Nasional Bunaken untuk pelestarian keanekaragaman hayati, dan (2) untuk pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat, pariwisata alam, penelitian dan pendidikan. Tugas pokok sebagai UPT taman nasional adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun salah satu
fungsinya adalah pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/KemhutII/2007). Institusi DPTNB memiliki tujuan sebagai berikut : (1) terpeliharanya keutuhan fungsi TNB sebagai pendorong kegiatan pembangunan Sulawesi Utara, (2) meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan TNB, (3) terwujudnya kepedulian dan rasa memiliki para pemangku kepentingan baik lokal, nasional, maupun internasional terhadap pelestarian TNB, dan (4) terciptanya koordinasi yang jelas dalam pengelolaan TNB. DPTNB memiliki fungsi: (1) sebagai wadah koordinasi yang bersifat konsultatif, (2) penggalangan dana, dan pusat informasi dan koordinasi program-program yang berhubungan dengan TNB. DPTNB berkepentingan dalam hal pelaksanaan sistem tarif masuk TNB sejak tahun 2001 sampai 2014 sesuai amanat dari Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara nomor 14 tahun
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
205
2000 dan nomor 9 tahun 2001 tentang pungutan masuk pada TNB. Hasil dari tarif masuk TNB setiap tahunnya berkisar Rp1 miliar dan 80% dari dana ini digunakan kembali untuk mendukung pengelolaan TNB yang dilaksanakan melalui DPTNB. Dalam pelaksanaan kegiatannya, DPTNB membentuk kelompok kerja (Pokja) yaitu pengamanan dan konservasi, keuangan, kebersihan, serta pengembangan masyarakat dan ekowisata. Penetapan Bunaken sebagai destinasi unggulan nasional melalui program DMO sangat strategis dalam kerangka pembangunan pariwisata Sulawesi Utara. Strategi koordinasi dilakukan dengan memposisikan Bunaken sebagai ikon pariwisata Sulawesi Utara dan sebagai pusat pergerakan wisata dalam jejaring perjalanan wisata Sulawesi Utara. Hal ini sangat berpotensi menumbuhkan kehadiran wisatawan dan lama tinggal wisatawan di Sulawesi Utara. Kegiatan DMO diantaranya berupa bimbingan teknis produk kuliner dari kawasan Bunaken, diversifikasi produk dari rumput laut dan ikan, workshop bagi seniman dan budayawan di kawasan bunaken dan sekitarnya, dan workshop bagi stakeholder pariwisata dan kelompok kerja DMOB. DMOB telah membangun komitmen pemangku kepentingan dan sinkronisasi program untuk penanggulangan sampah di TNB. Posisi BTNB lebih tinggi dibanding DPTNB dan DMOB karena kewenangannya sebagai penanggung jawab terhadap pengelolaan TNB. Kondisi yang agak berbeda dijumpai pada penelitian Roslinda et al. (2012) menyangkut pengelolaan kawasan TN Danau Sentarum yang menempatkan hanya satu pemangku kepentingan yaitu Balai TN Danau Sentarum (BTNDS) di kuadran 2. BTNDS memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan dengan otoritas dan tanggung jawab terbesar pengelolaan terhadap realisasi program kerja di kawasan TNDS yang mencakup kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi. Hal ini lazim ditemui pada setiap proyek pengelolaan sumber daya alam, pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai pemangku kepentingan utama (Maguire et al., 2012; Wakka, 2014). Posisi pada kuadran 3 ( context setters ) menunjukkan pemangku kepentingan yang berada didalamnya (BSDASU, DKSU, dan DPPSU) memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi dalam tata kelola pariwisata di TNB. Ketiga pemangku kepentingan ini memiliki
kepentingan yang rendah karena tugas pokok dan k e w e n a n g a n n y a b e r a da d i l u a r b i d a n g kepariwisataan dan tidak memperoleh manfaat langsung dari pengembangan pariwisata di TNB. Ketiga pemangku kepentingan ini berdasarkan pada keterlibatan sebagai anggota dalam DPTNB, lebih memberikan pengaruh yang tinggi berupa kemampuan dan dukungan sesuai bidangnya masing-masing. BSDASU dalam bidang terjaganya lingkungan alam TNB, DKSU dalam bidang kehutanan, dan DPPSU untuk terjaganya ketertiban dan keamanan di lingkungan perairan TNB. Posisi kuadran 4 (crowd) menunjukkan para pemangku kepentingan didalamnya (USRM dan PNM) memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam tata kelola pariwisata di TNB. Kedua pemangku kepentingan yang berada dalam kelompok akademisi ini hanya berperan dalam hal melaksanakan kegiatan praktik lapang, dan penelitian atau ekspedisi ilmiah bagi mahasiswa dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Pengkategorian pemangku kepentingan pengembangan tata kelola pariwisata di TNB menunjukkan jumlah pemangku kepentingan terbanyak pada kuadran 2 (key players) sebanyak delapan pemangku kepentingan, diikuti kuadran 1 (subjects) sebanyak empat pemangku kepentingan, lalu kuadran 3 (context setter) sebanyak tiga pemangku kepentingan dan kuadran 4 (crowd) sebanyak dua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan terbanyak sebagai key players menunjukkan banyaknya pemangku kepentingan yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Muntasib (2009) yang menyatakan dalam tata kelola pariwisata banyak aktor yang terlibat, dan tidak ada aktor yang sangat dominan. TNB yang memiliki keunikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi destinasi unggulan dan menjadi kekuatan pariwisata Kota Manado serta menjadi kebanggaan warga Sulawesi Utara, sehingga banyak pihak yang menunjukkan kepedulian terhadap TNB dan turut berperan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Pelaksanaan WOC (World Ocean Conference) dan Sail Bunaken pada tahun 2009 yang sukses, menunjuk-kan salah satu bentuk kepedulian para pemangku kepentingan di Sulawesi Utara dan mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan pada tahun tersebut.
206 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
Keberadaan wadah koordinasi dan komunikasi, yaitu DPTNB dan DMOB, telah mendapat pengakuan dari pihak lain. DPTNB telah mendapat pengakuan internasional berupa: 1. International Coral Reef Action Network (ICRAN) memilih TNB sebagai lokasi teladan kawasan konservasi laut lingkup Asia untuk bidang pengelolaan pariwisata alam berkelanjutan, 2. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources/National Oceanic and Atmospheric Administration/World Wildlife Fund memilih TNB menjadi salah satu dari 22 lokasi di dunia sebagai lokasi percontohan yang didukung untuk mengembangkan dan menerapkan sistem pengelolaan kawasan adaptif dan efektif untuk kawasan konservasi laut, 3. Conde Nast Traveller memilih TNB sebagai salah satu kawasan konservasi laut yang dikelola paling baik di dunia (Juli 2003), 4. Penghargaan British Airways Tourism for Tomorrow Award 2003 (juga yang terbaik untuk kategori kawasan konservasi), 5. Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Development Programme memilih TNB (bersama TN Kepulauan Seribu) sebagai wakil Indonesia dalam mengembangkan program kajian ekosistem milenium (Millenium Ecosystem Assessment) PBB, 6. DPTNB dan FMPTNB meraih penghargaan Equator Prize dari UNDP 2004 untuk menerapkan sistem pengelolaan yang secara nyata melibatkan dan memberdayakan kehidupan masyarakat setempat, melalui usaha kegiatan konservasi dan ramah lingkungan, 7. DPTNB meraih penghargaan Eko Wisata International SKAL tahunan ketiga (2004) dalam kategori “Proyek-proyek masyarakat dan pemerintah” untuk upaya-upaya perlindungan lingkungan dimana pada saat yang sama juga memperkuat ekonomi lokal dan berdampak pada pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif bekerja sama dengan Universitas Pelita Harapan telah melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh DMO di Indonesia. Hasilnya DMOB memperoleh prestasi yaitu peringkat ke 2 terbaik tingkat nasional dari 14 DMO lainnya di Indonesia. 3. Hubungan antar pemangku kepentingan Teridentifikasi tiga hubungan yang terjadi antar
pemangku kepentingan yang terlibat dalam tata kelola pariwisata TNB yaitu koordinasi, kerja sama dan potensi konflik. Hubungan koordinasi terjadi antara pemerintah pusat (BTNB), pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan kelompok lainnya. Hubungan koordinasi ini dilakukan dalam wadah koordinasi seperti DPTNB/DMOB atau langsung antara pemangku kepentingan. Hubungan koordinasi dalam DPTNB dilakukan dalam rencana revisi kedua sistem zonasi TNB. Revisi zonasi dilakukan terhadap zona pemanfaatan pariwisata di Pulau Bunaken. Masukan-masukan para pemangku kepentingan dibahas dan didiskusikan sehingga menghasilkan usulan revisi zonasi yang telah disepakati para pemangku kepentingan. Hubungan koordinasi dalam DMOB dilakukan dalam kegiatan sapu laut (bersih pantai). Beberapa instansi memiliki kegiatan semacam sapu laut (bersih pantai), seperti BTNB, DPBM, DPTNB, dan sebagainya. Agar kegiatan bisa berjalan efektif dilakukan koordinasi sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih. Hubungan para pemangku kepentingan selanjutnya berupa kerja sama. Hubungan kerja sama telah dilakukan dalam pelaksanaan patroli kawasan TNB antara DPPSU, FMPTNB dan DPTNB. Hubungan kerja sama juga telah dilakukan oleh HPWLB dan DPTNB dalam penanganan sampah di Pulau Bunaken. BTNB telah menyusun rencana teknis pengembangan ekowisata di TNB melalui hubungan kerja sama dengan USRM, PNM dan DPTNB. Hubungan para pemangku kepentingan berikutnya berupa potensi konflik. Hubungan berpotensi konflik dapat terjadi antara BTNB dengan pelaku usaha pariwisata di TNB dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pengusahaan pariwisata alam (PP 36 tahun 2010). Sampai dengan saat ini belum ada pelaku usaha pariwisata yang memiliki Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJWA dan IUPSWA menjadi syarat dalam melakukan kegiatan pemanfaatan pariwisata alam sesuai PP 36 tahun 2010). Potensi konflik dapat pula terjadi antara BTNB dan DPTNB dalam pelaksanaan sistem tarif masuk kawasan TNB, karena dasar ketentuan peraturan yang digunakan berbeda. BTNB menggunakan PP Nomor 12 tahun 2014 sedangkan DPTNB menggunakan Perda Nomor 14 tahun 2000 dan Nomor 9 tahun 2012.
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
207
B. Kebutuhan Pemangku Kepentingan Pada kelompok pemerintah pusat diperoleh hasil bahwa kondisi saat ini koordinasi di tingkat daerah belum berjalan dengan baik. Koordinasi yang belum berjalan baik ini menyebabkan program DMOB masih dilihat beberapa pemangku kepentingan secara skeptis ataupun merasa disaingi dengan keberadaannya. Kondisi yang diinginkan berupa koordinasi di tingkat daerah yang semakin baik. Dengan koordinasi yang semakin baik maka kondisi yang dibutuhkan berupa semakin banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dan mendukung program pemerintah pusat dapat terwujud. Pada kelompok pemerintah daerah diperoleh hasil bahwa kondisi saat ini pemahaman tentang TNB dan pengelolaannya yang masih kurang dan belum terpadu. Kondisi ini menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah sehingga terjadi konflik kepentingan, adanya penataan lahan yang tidak jelas (sengketa lahan), pendanaan yang masih terbatas, dan kebersihan TNB dari sampah, serta pelanggaran pengelolaan TNB seperti penangkapan ikan secara ilegal, dan pengunjung tanpa tiket masuk. Kondisi yang diinginkan adanya kewenangan yang jelas dalam mengelola TNB, adanya penyelesaian sengketa lahan sehingga dapat dilakukan penataan yang lebih baik, indah dan nyaman misalnya penataan pintu masuk, penataan penjual souvenir khas Sulawesi Utara; adanya pendanaan yang cukup melalui APBD/APBN atau dana lainnya, dan kebersihan TNB dari sampah serta berkurangnya pelanggaran pengelolaan TNB. Pada kelompok swasta diperoleh hasil bahwa kondisi saat ini implementasi dari kegiatan dan program belum berjalan baik dan terpadu. Kondisi ini menyebabkan program kebersihan dan penanggulangan sampah di TNB tidak berjalan baik dengan masih dijumpai adanya sampah yang berserakan di pantai dan perairan yang dapat mengganggu keindahan TNB. Selain itu kebutuhan pemangku kepentingan terhadap ketersediaan BBM yang terjangkau harganya untuk angkutan dari dan ke TNB belum dapat terpenuhi. Kondisi yang diinginkan berupa kegiatan dan program dapat terimplementasi dengan baik serta hubungan antara para pemangku kepentingan dapat berjalan secara adil. Dengan kondisi demikian maka kondisi yang dibutuhkan seperti kebersihan pantai dan perairan
TNB, ketersediaan BBM yang terjangkau harganya dapat terwujud. Pada kelompok akademisi diperoleh hasil bahwa kondisi saat ini keserasian pandangan yang belum ada. Para pemangku kepentingan masih mengedepankan kepentingannya masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan pariwisata di TNB yang dilakukan para pemangku kepentingan masih berjalan sendiri-sendiri. Kondisi yang diinginkan berupa adanya satu kebersamaan dari para pemangku kepentingan sehing g a bisa ber jalan be rsama dalam pengembangan pariwisata di TNB. Pada kelompok masyarakat diperoleh hasil bahwa kondisi saat ini masih dijumpai adanya sebagian masyarakat yang belum memahami tentang TNB dan masih tampak egoisme sektoral dari para pemangku kepentingan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Kondisi ini menyebabkan adanya sebagian masyarakat yang masih tak perduli terhadap TNB dan pelaksanaan program pengembangan pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan yang berjalan sendiri-sendiri. Kondisi yang diinginkan berupa meningkatnya rasa memiliki atau kepedulian terhadap TNB melalui sosialisasi dan sinergitas dari program pengembangan pariwisata di TNB. Pada kelompok lain diperoleh bahwa kondisi saat ini koordinasi ditingkat daerah belum berjalan dengan baik. Koordinasi yang belum berjalan baik ini menyebabkan ketersediaan SDM, fasilitas dan pendanaan bagi program pengembangan tata kelola pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan masih terbatas. Kondisi yang diinginkan berupa koordinasi di tingkat daerah yang semakin baik. Dengan koordinasi yang semakin baik maka kondisi yang dibutuhkan berupa para pemangku kepentingan yang memiliki pemahaman dan persepsi yang sama terhadap pengembangan tata kelola pariwisata di TNB sehingga dapat mendukung ketersediaan SDM yang handal fasilitas yang memadai dan pendanaan yang mencukupi bagi pengembangan tata kelola pariwisata di TNB dapat terwujud. Terhadap hasil yang diperoleh menyangkut kondisi aktual dan kondisi yang diinginkan, maka selanjutnya ditentukan prioritas dan tingkat kepentingannya. Hasilnya sebagai berikut: 1. Pemahaman pemangku kepentingan yang masih kurang tentang TNB dan pengelolaannya
208 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
serta ketentuan peraturan perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi. Peningkatan pemahaman para pemangku kepentingan ini dapat dilakukan secara kontinu melalui kegiatan sosialisasi atau penyuluhan oleh beberapa instansi pemerintah diantaranya BTNB, DPBM, DBPMS, BSDASU, DKSU, dan DPPSU. Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan aktif sebagai key playesr dalam tata kelola pariwisata dan menunjukkan kepedulian yang besar terhadap TNB akan membuat proses kegiatan sosialisasi atau penyuluhan secara kontinu dapat diterima dengan baik. 2. Koordinasi dan komunikasi ditingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Proses pergantian pimpinan pejabat di pemerintahan daerah (SKPD) relatif lebih sering terjadi, sehingga upaya terus menerus untuk menyatukan persepsi tentang pengembangan tata kelola pariwisata di TNB sangat perlu dilakukan. Keberadaan wadah-wadah koordinasi dan komunikasi seperti DPTNB dan DMOB serta bentuk kepedulian yang besar dari pemangku kepentingan di dalamnya sangat menunjang untuk menyatukan persepsi para pemangku kepentingan. 3. Implementasi dan sinkronisasi (keterpaduan) dari kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan memiliki program kegiatan sesuai bidangnya masing-masing dan karena memiliki kepedulian yang tinggi terhadap TNB sehingga beberapa kegiatan dari pemangku kepentingan seharusnya saling menunjang satu dengan lainnya. Salah satu contohnya menyangkut penanganan kebersihan di TNB dalam bentuk kegiatan sapu laut, bersih pantai, dan sejenisnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan dampak yang besar jika dilaksanakan secara bersama-sama dan pada waktu yang tepat yaitu pada musim barat dimana volume sampah yang berada di laut dan pantai TNB sangat besar. C. Upaya Peningkatan Tata Kelola Pariwisata di TNB Tata kelola pariwisata di TNB memiliki beberapa pemangku kepentingan yang menunjukkan
kepedulian terhadap TNB dan berperan sebagai subjects, key players, context setters, dan crowd. Dalam upaya peningkatan tata kelola pariwisata di TNB terhadap para pemangku kepentingan yang berperan sebagai subjects sering bisa sangat membantu sehingga hubungan dengan pemangku kepentingan ini harus dijaga dengan baik, misalnya menjaga hubungan baik dengan PALMB yang melayani angkutan laut Manado-Bunaken. Untuk para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players harus lebih aktif dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, misalnya untuk melakukan revisi zona pariwisata di TNB pada tahun 2014, pihak BTNB melakukan diskusi umum dengan seluruh anggota DPTNB. Para pemangku kepentingan yang berperan sebagai context setters dapat mendatangkan risiko sehingga keberadaannya perlu dipantau dan dikelola dengan baik. Hubungan baik dengan pemangku kepentingan ini harus terus dibina, untuk itu segala informasi yang dibutuhkan harus tetap diberikan sehingga mereka dapat terus berperan aktif dalam pencapaian tujuan, misalnya membina hubungan dengan DPPSU menyangkut masalah ketertiban dan keamanan di wilayah perairan TNB. Para pemangku kepentingan yang berperan sebagai crowd harus tetap dimonitor dan dijalin komunikasi dengan baik, misalnya dengan pihak USRM. Kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan biasanya berubah seiring berjalannya waktu (Reed et al., 2009; Thompson, 2011). Disisi lain masih terdapat kebutuhan para pemangku kepentingan untuk: meningkatkan pemahaman tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan perundangan, menyatukan persepsi, dan memadukan kegiatan dan program dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Upaya peningkatan pengembangan tata kelola pariwisata di TNB kedepan dilakukan pula dengan memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan yang ada. Contohnya dengan melalui kegiatan sosialisasi atau penyuluhan, pertemuan-pertemuan koordinasi dan pertemuan-pertemuan untuk sinkronisasi program kegiatan para pemangku kepentingan. Pelaksanaan dari kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui wadah koordinasi dan komunikasi yang ada, yaitu DPTNB dan DMOB.
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
209
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pengembangan tata kelola pariwisata di TNB tidak terlepas dari peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan. Teridentifikasi 17 pemangku kepentingan yang terdiri dari kelompok pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, akademisi dan kelompok lainnya. Peranan para pemangku kepentingan terbanyak dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB sebagai key players, diikuti subjects, lalu cottext setters, dan terakhir crowd. Banyaknya para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key player menunjukkan para pemangku kepentingan banyak yang berperan aktif dalam tata kelola pariwisata di TNB serta menunjukkan kepedulian yang besar terhadap TNB. Peranan yang aktif dan kepedulian yang besar ditunjukkan dalam pelaksanaan tugas pokok, kewenangan, dan fungsi dari para pemangku kepentingan. Hubungan antara pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB berupa hubungan koordinasi, lalu kerja sama, dan terakhir potensi konflik. Kebutuhan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, yaitu: pemahaman pemangku kepentingan tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi, koordinasi dan komunikasi ditingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang pengembangan tata kelola TNB, serta implementasi dan sinkronisasi (keterpaduan) kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para pemangku kepentingan. Peranan yang aktif dan kebutuhan para pemangku kepentingan dapat dipenuhi melalui koordinasi yang lebih intensif dalam menunjang pengelolaan TNB. B. Saran Kajian mengenai peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata perlu dilakukan secara berkala. Peranan berupa kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan dapat berubah seiring berjalannya waktu, demikian pula terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan. Kajian dapat dilakukan oleh wadah koordinasi dan komunikasi (DPTNB dan DMOB). Waktu pelaksanaan kajian peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dapat
dilakukan 2-3 tahun sekali tergantung kebutuhan dari masing-masing institusi. Kajian secara rutin dapat memberikan infor masi yang lebih komprehensif bagi upaya pengembangan tata kelola pariwisata di TNB selanjutnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas fasilitas yang diberikan; Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan atas dukungan pendanaan; serta kepada para pemangku kepentingan pariwisata di TNB yang termasuk dalam penelitian ini atas semua data dan informasi yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA ASITA. (2011). Anggaran dasar asosiasi perusahaan perjalanan wisata Indonesia (ASITA). Munas Khusus ASITA ke 10. Diunduh 28 Januari 2015 dari http://www.asitabali.org/ anggaran_dasar.htm. BPSKM. (2013). Manado dalam angka 2013. Manado: Badan Pusat Statistik Kota Manado (BPSKM). BTNB. (2008). Rencana teknis pengembangan ekowisata Taman Nasional Bunaken. Manado: Balai Taman Nasional Bunaken (BTNB). BTNB. (2010). Laporan inventarisasi kegiatan pengusahaan pariwisata alam. Manado: Balai TN Bunaken. DJPDP. (2012). Rencana strategis Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata (DJPDP) 2012-2014. SK Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata No. 23/Kep/DPDP/ IX/2012. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dominggus, R. Merril, I. Arsyad. (2001). Sebuah proses membangun dan memperkuat pemangku kepentingan terhadap pelestarian Taman Nasional
210 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 197-211
Bunaken. Jakarta: DPTNB dan Natural Resources Management Environmental Policy and Institutional Strengthening Indefinite Quantity Program's Protected Area & Forest Management Team. Fletcher A, Guthrie J, Steane P, Roos G, Pike S. (2003). Mapping stakeholder perception for a third sector organization. Journal of Intellectual Capital 4(4), 505-527. FMPTNB. (2011). Peraturan dasar forum masyarakat peduli Taman Nasional Bunaken. Tiwoho-Wori: FMPTNB. Grayson, T.E. (2002). Needs assessment. A mini workshop on needs assessment. Illinois: Champaign. Herawati T, Widjayanto N, Saharuddin, Eriyatno. (2010). Analisis r espon pe mangku kepentingan di daerah terhadap kebijakan hutan tanaman rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7 (1), 13-25. HPWLB. (2001). Keputusan rapat musyawarah pelaku usaha pariwisata lokal dan pribumi Kelurahan Bunaken tentang perumusan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga himpunan pengelola wisata lokal Bunaken (HPWLB). Bunaken: HPWLB. Kusumedi P dan Rizal A. (2010). Analisis stakeholder dan kebijakan pembangunan KPH model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3), 179-193. Maguire B, Potss J, Fletcher S. (2012). The role of stakeholders in the marine planning processstakeholder analysis within the Solent, United Kingdom. Marine Policy 36, 246-257. Muntasib, E.K.S.H. (2009). Tata kelola pariwisata alam di Indonesia. Seminar Kebijakan, Tantangan dan Peluang Pariwisata Alam di Indonesia. Asosiasi Pariwisata Alam Indonesia (APAI).
Muntasib, E.K.S.H. (2014). Mechanism of stakeholder relationship in nature tourism management in Indonesia. TEAM Journal of Hospitality and Tourism, 11(1), 81-92. NSWA. (2014). About the NSWA (North Sulawesi Watersport Association). Diunduh 14 September 2014 dari nswa.html. PHRI. (2010). Anggaran dasar perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (PHRI). Munas PHRI XV. Diunduh 28 Januari 2015 dari http:// www.phrionline.com. Reed, M.S., A. Graves, N. Dandy, H. Posthumus, K.Hubacek, J. Morris, C. Prell, C.H. Quinn, L.C. Stringer. (2009). Who's in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management XXX, 1–17. Roslinda E., D. Darusman, D. Suharjito, D.R. Nurohmat. (2012). Analisis pemangku kepentingan dalam pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jurnal Managemen Hutan Tropis, Vol. XVIII, (2), 7885. SBKSDA. (1996). Rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken, buku 1. Manado: Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara (SBKSDA) dan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Sulawesi Utara. Thompson, R. (2011). Stakeholder analysis, winning support for your projects. Retrieved November 18, 2011from http://www.mindtools.com/ pages/ article/newPPM_07.htm. Wakka A.K. (2014). Analisis stakeholders pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan kh usu s (KHD TK) M eng ken dek , Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol. 3(1), 47 – 55.
Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata ..... (Heri Santoso, E.K.S. et al.)
211
KONFLIK AGRARIA DAN PELEPASAN TANAH ULAYAT (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT SUKU MELAYU DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN DHARMASRAYA, SUMATERA BARAT) (Agrarian Conflict and Communal Land Release: A Case Study of Melayu Tribe in Forest Management Unit Dharmasraya, West Sumatra) 1
2
2
3
Abdul Mutolib , Yonariza , Mahdi , Hanung Ismono Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian, Pascasarjana Universitas Andalas Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia e-mail: [email protected] 2 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia 3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145, Indonesia 1
Diterima 6 Mei 2015, direvisi 28 Oktober 2015, disetujui 2 November 2015
ABSTRACT The conflict of forest management in Indonesia is increasing. Forest management conflicts often caused by legal pluralism between government and society. This study aims to describe the land conflicts between Melayu tribe community with government and communal land release process in Melayu tribe in Dharmasraya Production Forest Management Unit (PFMU). Research method was using descriptive qualitative. The study was conducted in PFMU in Nagari Bonjol, Koto Besar Dharmasraya Regency. The results showed that 1) Agrarian conflict in PFMU Dharmasraya between community and the government occured due to the recognition of legal pluralism in the forest, and 2) Communal land release occured through the process of buying and selling which are controlled by Datuak customary authorities. Evidence of trading activities are controlled by the issuance of "alas hak" as a sign that the communal land has been sold. The increase of trading activities of communal land were due to low prices of communal land and the high public interest to plant in communal land owned by Melayu tribe. Some strategies are required to maintain the function of forests in PFMU that has been acquired by local community without neglecting local communities who depend on forests. Keywords: Agrarian conflicts, legal pluralism, alas hak, communal land, PFMU ABSTRAK Konflik pengelolaan hutan di Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Konflik pengelolaan hutan seringkali disebabkan karena adanya pluralisme hukum antara pemerintah dan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan pemerintah dan proses terjadinya pelepasan tanah ulayat Suku Melayu di Kesatuan Pemangku Hutan Produksi (KPHP) Model Dharmasraya. Desain penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di KPHP yang berada di Nagari Bonjol, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik agraria yang terjadi di KPHP antara masyarakat adat dengan pemerintah dikarenakan adanya legal pluralism dalam pengakuan hutan, dan 2) Proses pelepasan tanah ulayat terjadi melalui transaksi jual beli yang dikendalikan oleh Datuak penguasa ulayat. Bukti kegiatan jual beli adalah dikeluarkannya “alas hak” sebagai bukti bahwa tanah ulayat telah dijual. Maraknya kegiatan jual beli tanah ulayat disebabkan harga tanah ulayat yang rendah dan tingginya minat masyarakat berkebun di tanah ulayat Suku Melayu. Diperlukan strategi yang tepat untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan di wilayah KPHP tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Kata kunci: Konflik agraria, pluralisme hukum, alas hak, tanah ulayat, KPHP
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
213
I. PENDAHULUAN Di era reformasi konflik agraria di Indonesia semakin meningkat jumlahnya (Astuti, 2011). Menurut Badan Pertanahan Nasional, pada tahun 2011 telah terdaftar sekitar 3.500 konflik lahan yang didominasi sengketa masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit (Colchester dan Chao, 2011). Secara umum konflik agraria di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pemegang izin lahan (Astuti, 2011). Konflik agraria terjadi karena terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan antara masyarakat dan pemerintah/perusahaan (Mantiri, 2007). Di beberapa lokasi, tumpang tindih penguasaan tanah di Indonesia terjadi karena adanya legal pluralism (Larson, 2012 ). Legal pruralism merupakan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker,1975). Karena adanya dua hukum yang berbeda masyarakat dan pemerintah terjadi saling klaim hak atas tanah/hutan. Masing-masing pihak hanya mengakui keberadaan satu hukum demi kepentingannya (von Benda-Beckmann, 1981). Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumberdaya alam dibandingkan hukum adat (Larson, 2012). Seringkali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut. Pada saat ini terjadi 'dualisme yang mandul' (Onibon et al., 1999) yaitu negara memberlakukan peraturan perundang-undangan yang dipastikan tidak dapat dijalankan dan tidak selaras dengan penerapan lokal, akibatnya aturan tersebut pasti diabaikan namun tindakan penduduk setempat dipidanakan (Benjamin, 2008). Kasus tumpang tindih kepemilikan hutan akibat pluralisme hukum terjadi di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Secara hukum negara, wilayah tersebut merupakan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang izinnya diberikan kepada pihak ketiga. Tetapi secara hukum adat tanah tersebut merupakan tanah ulayat Suku Melayu yang telah ditempati sejak ratusan tahun. Akibatnya terjadilah konflik agraria dikawasan KPHP antara masyarakat dan negara/perusahaan pemegang izin (Mutolib et
al., 2015). Dalam hal ini, negara tidak mengakui keberadaan hukum adat sehingga keberadaan hukum adat dalam posisi yang lemah (Griffiths, 1986). Konflik agraria di KPHP terjadi sejak awal tahun 2000. Konflik terjadi di areal hutan seluas 33.550 ha bekas HPH Ragusa yang dijadikan HTI milik PT. Inhutani dan PT. Dhara Silva (PT. DS) (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, 2014). Konflik yang terjadi merupakan konflik perebutan lahan perusahaan oleh masyarakat (Mutolib et al., 2015). Hingga saat ini, lahan Inhutani dan DS yang kini menjadi KPHP sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan diubah menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit (Yonariza, 2015). Setelah berhasil merebut hutan, terjadi transaksi tanah di areal konflik yakni kegiatan pelepasan atau jual beli tanah ulayat ke masyarakat luar Suku Melayu (Mutolib et al., 2015). Pelepasan tanah ulayat Suku Melayu terjadi dalam skala masif dan terus menerus (Mutolib et al.,2015). Akibat kegiatan jual beli tanah tanah ulayat, masyarakat Suku Melayu terancam kehilangan tanah ulayatnya. Berdasarkan uraian tersebut dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pokok masalah dalam penelitian ini adalah konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat yang dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana asal mula konflik lahan yang terjadi antara masyarakat lokal dan negara/pemegang izin di areal KPHP Model Dharmasraya? 2. Bagaimana proses pelepasan tanah ulayat Suku Melayu di areal KPHP Model Dharmasraya? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi tentang konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan pemerintah/pemegang izin, serta proses pelepasan tanah ulayat Suku Melayu kepada masyarakat non Suku Melayu atau masyarakat luar Kabupaten Dharmasraya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola untuk meningkatkan intensitas pengelolaan dan monitoring di KPHP untuk memcegah pembukaan hutan secara terus-menerus yang pada akhirnya menyebabkan deforestasi dan alih fungsi hutan.
214 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Nagari Bonjol Kecamatan Koto Besar Kabupaten Dharmasraya. Lokasi dipilih secara sengaja, karena secara hukum adat, areal KPHP Dharmasraya merupakan tanah ulayat Suku Melayu Nagari Bonjol yang telah ditempati sejak ratusan tahun yang lalu. Lama waktu penelitian selama dua bulan, mulai bulan Februari hingga Maret 2015. B. Pengumpulan Data dan Pengambilan Sampel Metode penelitian menggunakan metode studi kasus dengan berbagai teknik pengumpulan data seperti observasi, penelusuran sejarah, wawancara key informant, dan dilengkapi dengan survei rumah tangga (Faisal, 1990). Survei rumah tangga dilakukan untuk mengetahui karakteristik masyarakat, penguasaan lahan, persepsi terhadap legal pluralism, dan pengelolaan hutan oleh pemerintah/pemegang izin. Sampel rumah tangga sebanyak 41 dari 512 rumah tangga petani menggunakan rumus Slovin (1988) dalam Djari (2009). Pengambilan sampel rumah tangga menggunakan metode sampling accidential (Sugiyono, 2013). Metode sampling accidential sengaja dipilih karena sulitnya menemui masyarakat, masyarakat hanya berada di rumah antara sore hingga malam, sisanya dihabiskan di kebun. Bahkan beberapa petani bermalam dikebun hingga bermingguminggu lamanya. Key informant melibatkan 17 orang terdiri dari tokoh adat (Ninik mamak dan Datuak penguasa ulayat), perangkat nagari, ketua lembaga masyarakat, pemegang izin hutan, dan perwakilan dinas terkait. Penentuan key informant menggunakan metode snowball sampling (Sugiyono, 2013). Pe ngumpulan d ata d ilakukan deng an mengutamakan pandangan informan dan peneliti sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama
(key instrument) yang terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data secara mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1992) bahwa: “Qualitative research has the natural setting as the source of data and researcher is key instrument”. C. Rancangan Penelitian dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strauss dan Corbin (2013) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai metode penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Afrizal (2015) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang sumber datanya berupa kata-kata dan perbuatan manusia atau kelompok yang menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan pengumpulan dokumen. Penelitian kualitatif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diamati (Moleong, 1996). Analisis data menggunakan analisis kualitatif (Bungin, 2010). Secara operasional analisis data penelitian kualitatif adalah proses menyusun data (menggolongkannya dalam tema atau kategori) agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono, 2013; Afrizal, 2015). Pada prinsipnya analisis ini dilakukan setiap saat selama penelitian berlangsung. Kegiatan pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini tidak terpisah satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan dan prosesnya berbentuk siklus (Creswell, 1994). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif melalui tiga alur kegiatan, yaitu: 1) reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992), seperti pada Gambar 1.
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
215
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi Penarikan kesimpulan dan Sumber (Source): Miles dan Huberman (1992)
Gambar 1. Analisis data dan model interaktif. Figure 1. Data analysis and interactive model. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada di KPHP Dharmasraya yang berada di Kabupaten Dhamasraya Provinsi Sumatera Barat. KPHP memiliki luas wilayah sekitar 33.550 ha (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, 2014). Secara hukum adat wilayah KPHP berada di tanah ulayat Suku Melayu Nagari Bonjol. Nagari Bonjol secara administrasi masuk kedalam wilayah Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Nagari Bonjol merupakan nagari terluas di Kecamatan Koto Besar dibandingkan enam Nagari lainnya. Luas Nagari Bonjol adalah 268,83 km² atau 55,07% dari total luas Kecamatan Koto besar 488,19 km2 (Badan Pusat Statistik Dharmasraya, 2014). Sebagian besar masyarakat Bonjol bekerja sebagai petani dengan komoditas utama tanaman karet dan
kelapa sawit, dan sebagian wilayahnya berada di KPHP. Nagari Bonjol merupakan Nagari yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan ber masyarakat. Hampir semua aktivitas masyarakat diatur oleh adat. Untuk mengatur kehidupan masyarakat maka dibentuklah “Ninik Mamak” di Nagari Bonjol. Ninik Mamak/Datuk adalah seorang pemimpin informal/pemuka adat di Minangkabau yang memilikiperanan yang cukup besar di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, baik dilingkungan persukuannya selaku kepala suku maupun dilingkungan nagarinya yang diwadahi didalam lembaga KerapatanAdat Nagari (KAN) (Indrawardi, 2008). Di Nagari Bonjol terdiri dari lima suku. Sukusuku di Nagari Bonjol dipimpin oleh seorang Datuak yang merangkap juga sebagai Ninik Mamak yang di Nagari Bonjol. Daftar nama Datuak masing-masing suku di Nagari Bonjol dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nama Datuak perwakilan suku di Nagari Bonjol Table 1. Datuak tribal representatives in Nagari Bonjol No 1 2 3 4 5
Nama Suku (Tribe Name) Piliang Patopang Melayu Chaniago Talao
Nama Gelar/Datuak (Datuak name) Datuak Panghulu Kayo Datuak Sangkutan Datuak Panduko Sutan Datuak Panghulu Rajo Datuak Bandaro Putiah
Sumber (Source) : Profil Nagari Bonjol 2014 (Nagari Bonjol Profile 2014)
216 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Meskipun hanya sebuah Nagari/Desa, masyarakat Bonjol secara adat memiliki tanah ulayat yang sangat luas. Tanah ulayat adalah tanah yang secara hak de facto merupakan pola interaksi yang ditetapkan di luar lingkup hukum formal. Ini mencakup hak ulayat, seperangkat aturan dan peraturan masyarakat yang diwarisi dari nenek moyang dan diterima, ditafsirkan ulang, dan ditegakkan oleh masyarakat, dan yang mungkin diakui atau tidak oleh negara (Larson, 2012). Tanah ulayat di Nagari Bonjol mayoritas dimiliki oleh Suku Melayu. Suku lainnya memiliki tanah ulayat tetapi jumlahnya sedikit. Tanah ulayat yang dikuasai Suku Melayu Bonjol tidak diketahui secara pasti luasnya. Hasil wawancara mendalam memperoleh informasi bahwa tanah ulayat yang diklaim Suku Melayu meliputi seluruh areal KPHP seluas 33.550 ha. Dulunya tanah ulayat Suku Melayu meliputi seluruh eks HPH Ragusa seluas 66.000 ha yang saat ini telah menjadi KPHP (Inhutani dan DS) ditambah Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sumatera Makmur Platation (SMP), PT. Andalas Wahana Berjaya (AWB), dan PT. Incasi Raya. B. Konflik Masyarakat Adat dengan Penguasa Lahan 1. Sejarah KPHP Model Dharmasraya Unit VIII KPHP Model Dhamasraya berada pada wilayah Kabupaten Dhamasraya Provinsi Sumatera Barat.Secara geografis KPHP terletak pada koordinat 01003'30” LS-01022'00”LS dan 101024'30” BT-101038'00”BT. Secara administrasi KPHP terletak pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pulau Punjung dan Kecamatan Koto Besar. Luas KPHP Dharmasraya adalah 33.550 ha terdiri dari Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, 2014). Wilayah Unit VIII KPHP Model Dhamasraya pembentukannya berdasarkan usul Bupati Dhamasraya sesuai surat Nomor. 130/684/BPT/ VIII-2013 tanggal 2 Agustus 2013 dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK.695/Menhut-II/2013 tanggal 21 Oktober 2013 tentang KPHP Model Dhamasraya (Unit VIII) yang terletak di Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi Sumatera Barat dengan luas 33.550 Ha. Secara wilayah KPHP Model Dhamasraya terletak dibekas
izin Inhutani dan DS(Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, 2014). Ditilik dari sejarahnya, kawasan KPHP telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1972 kawasan hutan ini adalah sebuah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada PT. Ragusa seluas ± 66.000 ha. Setelah berakhirnya HPH pada tahun 2002, sebagian area HPH menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah diberikan HGUnya kepada tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Incasi Raya, PT. SMP dan PT. AWB dengan luas 32.450 ha. Sisa HPH PT. Ragusa seluas 33.550 ha kemudian d i b e r ik a n ke pa da t i g a pe m e g a ng i z in pemanfaaatan, yakni PT. Inhutani, Dara Silva, dan Bukit Raya Mudisa (BRM) sebagai Hutan Tanaman Industri. Pada tahun 2013 HTI yang dikuasai DS, Inhutani, dan BRM ditetapkan sebagai KPHP Mod el Dhar masraya (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, 2014). 2. Pluralisme Hukum Kepemilikan Hutan Pluralisme hukum atau legal prularalism merupakan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975). Berlakunya dua hukum atau lebih disuatu wilayah seringkali menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi karena masing-masing pihak berusaha mencari pembenaran dari hukum yang diakui demi kepentingannya. Pluralisme hukum juga terjadi di wilayah KPHP Model Dharmasraya. Meskipun secara hukum negara wilayah KPHP merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, tetapi tidak berarti masyarakat lokal mengakui keberadaan hukum negara tentang pengaturan KPHP. Legal pluralism kepemilikan hutan karena perbedaan penggunaaan hukum kepemilikan hutan. Pemerintah menggunakan hukum negara dengan menetapkan KPHP sebagai hutan negara, tetapi masyarakat menggunakan hukum adat yang diturunkan secara turun-temurun dengan batas alam seperti gunung, sungai bukit dan lainnya (Kadir et al., 2013). Perbedaan penggunaaan hukum antara masyarakat dengan pemerintah yang kemudian menyebabkan konflik kehutanan. Masyarakat adat Suku Melayu di Nagari Bonjol hanya mengakui keberadaan hukum adat dalam penguasaan hutan, dan tidak mengakui keberadaan hukum negara dalam pengaturan KPHP, sehingga masyarakat berhak mengambil dan menguasai
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
217
hutan. Masyarakat adat bahkan menganggap negara tidak lebih berhak terhadap hutan, karena masyarakat adat telah tinggal di sekitar hutan sejak belum berdirinya negara ini, sehingga ketika negara mengambil hutan/tanah ulayat hal tersebut menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat adat di Nagari Bonjol. Adanya legal pluralism pengakuan hutan di areal KPHP antara negara dan masyarakat adat merupakan pemicu konflik agraria yang terjadi diwilayah ini, dan saat ini ketegangan antara masyarakat lokal dan negara masih terus terjadi dalam upaya mempertahankan penguasaan atas tanah. Hingga saat ini, sebagian besar areal KPHP telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan diubah menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit. 3. Perebutan Lahan oleh Masyarakat Sejak ratusan tahun lalu, bekas HPH PT. Ragusa yang luasnya sekitar 66.000 ha secara adat merupakan tanah ulayat Suku Melayu di Nagari Bonjol. Akan tetapi masyarakat belum mengelola tanah ulayat ini karena jumlah penduduk yang masih sedikit dan kebutuhan tanah yang belum mendesak. Bahkan ketika PT. Ragusa masuk dan menguasai tanah Ulayat di Tahun 1972 belum ada perlawanan berarti dari masyarakat untuk merebut tanah ulayat yang dikuasai PT. Ragusa. Perebutan lahan oleh masyarakat adat terjadi sekitar awal tahun 2000an, ketika izin HPH PT. Ragusa telah habis dan diberikan kepada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit (AWB, SMP, dan Incasi Raya) dan perusahaan HTI (DS dan Inhutani), barulah masyarakat melakukan perlawanan untuk merebut tanah ulayat. Perebutan tanah ulayat oleh masyarakat terjadi karena jumlah penduduk masyarakat Bonjol yang semakin meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap lahan yang semakin tinggi, oleh karena itulah masyarakat beramai-ramai mengambil lahan ulayat yang dikuasai perusahaan. Menurut Hakim dan Sylviani (2014) hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan menjadi salah satu penyebab konflik di areal hutan. Dibeberapa wilayah konflik seringkali terjadi karena masyarakat bermukim dihutan yang statusnya belum di enclave (Harun dan Dwiprabowo, 2014), tetapi di KPHP Dharmasraya berbeda, yang terjadi masyarakat mengambil dan merebut hutan yang dikuasai pemegang izin. Tanah yang diambil merupakan hutan negara yang izinnya dikuasai DS
dan Inhutani yang harusnya dijadikan hutan sekunder. Alasan masyarakat mengambil alih hutan adalah karena kedua perusahaan ini masuk mengambil alih lahan tanpa persetujuan penguasa ulayat dan Ninik Mamak Suku Melayu, sehingga secara adat kedua perusahaan tersebut tidak mempunyai hak untuk menguasai tanah. Berbeda dengan DS dan Inhutani, ketiga perusahaan HGU kelapa sawit (PT. SMP, AWB dan Incasi Raya) telah meminta izin kepada penguasa ulayat dan Ninik Mamak untuk mengelola tanah ulayat sehingga masyarakat tidak merebutnya. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa syarat memperoleh izin mengambil hutan adalah melalui perjanjian antara perusahaan dengan pihak adat dengan pemberian sejumlah uang dari pihak perusahaan kepada pihak adat. Sayangnya, tidak semua masyarakat memperoleh keuntungan dari proses ini. Hanya orang tertentu yang memperoleh keuntungan dari proses pemberian izin, terutama yang memiliki kedekatan dengan penguasa adat. Alasan lain terjadinya perebutan hutan oleh masyarakat adalah terjadi kekosongan pengelolaan hutan oleh DS dan Inhutani sehingga masyarakat masuk dan mengambil alih hutan. Beberapa kasus konflik kehutanan di Indonesia terjadi akibat kekosongan pengelolaan hutan oleh pemegang izin (Harun dan Dwiprabowo, 2014). Proses pengambil alihan lahan perusahaan oleh masyarakat diawali dengan penebangan pohon jabon (Anthocephalus cadamba) milik DS dan meranti (Shorea leprosula) milik Inhutani. Setelah penebangan jabon (Anthocephalus cadamba) dan meranti (Shorea leprosula), kemudian masyarakat membuka hutan dan menanaminya dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Setelah masyarakat menanami lahan dengan karet dan kelapa sawit, berarti lahan tersebut telah menjadi milik masyarakat dan apabila perusahaan ingin mengambil lahan yang telah ditanami masyarakat, pihak perusahaan harus membayar sejumlah uang kepada masyarakat sebagai syarat mengambil lahan. Apabila perusahaan tidak bersedia membayar berarti perusahaan harus merelakan tanah tersebut menjadi hak milik masyarakat. 4. Alih Fungsi Hutan menjadi Perkebunan Hutan produksi di KPHP seluas 33.500 ha secara bertahap telah menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Perubahan hutan menjadi kebun kelapa sawit dan karet terjadi sejak tahun awal
218 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Sumber (Source): Yonariza (2015)
Gambar 2. Tutupan hutan di KPHP Dharmasraya tahun 2013. Figure 2. Forest cover in FMU Dharmasraya in 2013. tahun 2000 ketika masyarakat berhasil menduduki hutan DS dan Inhutani. Setelah menguasai hutan, masyarakat langsung menebang dan menanaminya dengan tanaman perkebunan. Perubahan hutan menjadi perkebunan juga dipengaruhi oleh banyaknya pihak luar Nagari Bonjol yang membeli tanah ulayat kemudian menanaminya dengan kelapa sawit dan karet sebagai bentuk investasi. Tutupan hutan sekunder di areal KPHP Model Dharmasraya pada tahun 2014 ditampilkan pada Gambar 2. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, pada tahun 2014 tutupan hutan di KPHP tersisa 6.333,43 ha atau 18,89%, dan sebanyak 19.780,06 hektar atau 59,00% telah menjadi perkebunan. Padahal pada tahun 2000 sekitar 86,35% area KPHP masih berupa hutan. Perkebunan rakyat di areal KPHP didominasi oleh kelapa sawit dan karet yang dimiliki oleh masyarakat Nagari Bonjol serta masyarakat luar Nagari Bonjol yang telah membeli tanah ulayat.
C. Pelepasan Tanah Ulayat Keberhasilan masyarakat lokal merebut hutan dari perusahaan telah menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan di areal KPHP. Akan tetapi keberhasilan masyarakat lokal merebut hutan tidak menjamin seluruh masyarakat Bonjol dapat menikmati tanah ulayat, yang terjadi kemudian adalah adanya penjualan tanah ulayat kepada masyarakat luar Nagari Bonjol dengan skala yang besar. Kegiatan jual beli tanah ulayat terjadi karena tanah ulayat dikuasai oleh “Datuak Penguasa Ulayat”, sehingga sang Datuak berhak menjual tanah ulayat kepada siapapun termasuk masyarakat non Suku Melayu dan masyarakat diluar Nagari Bonjol. Salah satu bagian penting dari kegiatan jual beli tanah ulayat adalah terbitnya “alas hak” dari Datuak Penguasa Ulayat sebagai bukti sah kepemilikan tanah. 1. Sistem “Alas Hak” Kegiatan jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
219
memiliki tata cara dan mekanisme yang khas jika dibandingkan dengan jual beli pada umumnya. Jika jual beli tanah pada umumnya menggunakan sertifikat sebagai bukti sah kepemilikan, maka di Nagari Bonjol jual beli tanah tidak menggunakan sertifikat, tetapi yang digunakan adalah“alas hak” dari pemilik ulayat. Alas hak adalah bukti dasar jual beli antara pemilik ulayat dan pembeli. Bentuk alas hak adalah surat perjanjian jual beli pemilik ulayat dengan pembeli yang diketahui oleh perangkat adat dan nagari. Kegiatan jual beli tanah ulayat harus mendapat persetujuan dari dari Ninik Mamak suku pemilik ulayat dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN), serta diketahui oleh Wali Nagari. Namun, kenyataan dilapangan proses jual beli dan proses pengeluaran alas hak cukup disetujui oleh Datuak penguasa ulayat tanpa persetujuan Ninik Mamak dan Ketua KAN. Sedankan Kepala Nagari hanya sebagai pihak yang mengetahui kegiatan jual beli tanah ulayat dan pembuatan bukti alas hak. Hasil wawancara dengan beberapa tokoh kunci dan masyarakat, alas hak merupakan bukti yang kuat dan sah dalam kepemilikan tanah ulayat di Nagari Bonjol. Meskipun tanah yang dibeli adalah tanah ulayat yang masih di areal hutan negara, mereka tidak khawatir dan takut apabila dikemudian hari terjadi masalah akibat proses jual beli tanah tersebut. Hal ini terjadi karena tingginya pengakuan masyarakat terhadap hukum adat masih begitu kuat mengamalkan adat-istiadat dan aturan-aturan yang diwariskan dalam penguasaan tanah ulayat. Ketika disinggung tentang keberadaan hutan negara yang
secara hukum negara tidak boleh dibuka, masyarakat mengaku mereka lebih mengakui keberadaan hukum adat dibandingkan hukum negara. 2. Proses Jual Beli Tanah Ulayat Pada dasarnya tanah ulayat di Nagari Bonjol merupakan tanah ulayat milik Suku Melayu yang hanya boleh dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Melayu. Tanah ulayat diperbolehkan dijual dengan syarat tertentu sesuai dengan aturan adat dan persetujuan Ninik mamak. Tetapi yang terjadi di Nagari Bonjol, tanah ulayat oleh penguasanya perjual-belikan kepada siapapun, tidak hanya masyarakat Suku Melayu dan suku lainnya di Nagari Bonjol, tetapi juga masyarakat diluar Nagari Bonjol bahkan masyarakat seluruh Sumatera Barat diperbolehkan membeli tanah ulayat. Saat ini fungsi tanah ulayat di Nagari Bonjol tidak hanya diberikan kepada saudara satu suku yang membutuhkan tanah sebagai sumber penghidupan, tetapi dijual kepada siapapun yang memiliki uang. Yang lebih mencengangkan adalah kegiatan jual beli tanah ulayat ini tidak dibatasi luasnya oleh pemilik ulayat, siapapun boleh membeli lahan seluas 50, 100, 200, 500 bahkan 1.000 ha asalkan mampu membelinya. Hasil diskusi dengan masyarakat dan tokoh adat diperoleh informasi tentang kisaran harga tanah ulayat. Kisaran harga tanah ulayat di Nagari Bonjol disesuaikan dengan jauh dekat lokasi dan kondisi lahan. Untuk melihat klasifikasi harga jual tanah ulayat di NagariBonjol dapat dilihat di Tabel 2.
Tabel 2. Harga Tanah ulayat suku melayu berdasarkan kriteria lokasi dan kemiringan lahan. Table 2. Communal land price of melayu tribe base on the location and slope. Tipe lahan (Land type) Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D
1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Kriteria lahan (Land criteria) Lokasi dekat dengan perkampungan Tanah landai/datar Lokasi dekat dengan perkampungan Tanah berbukit/ kemiringan lahan tinggi Lokasi jauh dari perkampungan Kemiringan lahan rendah Lokasi jauh dari perkampungan Kemiringan lahan tinggi
Harga/ha (Rupiah) (Price/ha (IDR) >10.000.000 7.000.000-10.000.000 4.000.000-7.000.000 2.000.000-4.000.000
Sumber (Source): Mutolib et al. (2015)
220 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Dijual oleh Penguasa ulayat
Disetujui penguasa ulayat Negosiasi lokasi dan harga tanah
Tanah ulayat Suku Melayu Masyarakat ingin membeli tanah ulayat
Tanah ulayat menjadi milik pembeli
Tidak disetujui penguasa ulayat
Pendaftaran pada notaris
Pembuatan alas hak yang disetujui penguasa ulayat dan dikeluarkan Nagari
Sumber (Source): Data Primer (Primary data), 2015
Gambar 3. Proses jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol. Figure 3. Buying and selling process of communal land in Bonjol. Akibat kegiatan jual beli tanah ulayat dan tidak adanya kontrol dari penguasa ulayat, saat ini tanah ulayat di Nagari Bonjol menjadi semakin sedikit jumlahnya, masyarakat yang ingin bertani dan berkebun harus menempuh jarak 2-3 jam menggunakan motor/mobil. Jual beli tanah ulayat tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi pejabat dari tingkat kabupaten dan provinsi. Proses jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol dijelaskan pada Gambar 3. 3. Ketimpangan Penguasaan Tanah antara Masyarakat Bonjol dan Luar Bonjol Masyarakat Nagari Bonjol telah berhasil merebut tanah ulayat mereka dari perusahaan dan negara, tetapi keberhasilan merebut lahan tidak membuat semua masyarakat di Nagari Bonjol mempunyai lahan yang luas. Hal ini dikarenakan
tanah ulayat di KPHP hanya dimiliki Suku Melayu saja, sehingga masyarakat dari suku lain yang ingin membuka lahan harus meminta izin dengan Datuak Penguasa Ulayat dengan luasan yang terbatas. Masyarakat Suku Melayu diperbolehkan membuka lahan dalam jumlah tidak terbatas tetapi keterbatasan modal menjadikan masyarakat hanya mampu membuka lahan dalam jumlah yang sedikit. Menurut penelitian Mutolib et al. (2015), penguasaan lahan per rumah tangga di Nagari Bonjol (baik Suku Melayu dan non Melayu) cenderung sempit dibandingkan dengan luasnya tanah ulayat yang dikuasai masyarakat dari luar Nagari Bonjol yang berinvestasi dengan membeli tanah ulayat Suku Melayu. Luasan rata-rata lahan yang dikuasai masyarakat Nagari Bonjol dapat ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas lahan rumah tangga penelitian. Table 3. Size of small holder land area. No 1 2 3 4 5
Luas lahan (Ha) (Land area) 0–2 >2 – 5 >5-10 >10-20 >20 Jumlah (Total)
Jumlah (Number) 22 11 3 3 2 41
Persentase (%) (Percentage) 53,66 26,82 7,32 7,32 4,88 100,00
Sumber (Source): Mutolib et al. (2015)
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
221
Tabel 4. Luasan tanah ulayat yang dikuasai masyarakat luar Bonjol Table 4. The area of communal land owned by outside of Bonjol No 1 2 3 3 4 5 6 7
Nama (Nama disamarkan) (Name of owner (in disguise)) Pemilik 1 Pemilik 2 Pemilik 3 Pemilik 4 Pemilik 5 Pemilik 6 Pemilik 7 Beberapa warga Nagari Bonjol
Luas (Area)
Domisili (Origin)
140 ha 25 ha 50 ha 25 ha 20 ha >100 ha >500 ha >100 ha
Padang Padang Padang Pulau Punjung Dharmasraya Padang Solok Selatan Sungai Rumbai Dharmasraya Nagari Bonjol
Sumber (Source): Mutolib et al.(2015)
Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat Bonjol memiliki luas tanah 0-2 ha. Tetapi ada beberapa warga yang luas tanahnya mencapai 10-20 ha, bahkan beberapa warga mempunyai luas lahan diatas 20 ha. Luasan tanah masyarakat Bonjol sangat berbeda dibandingkan luasan tanah yang dikuasai masyarakat luar Bonjol (Tabel 4). Banyak masyarakat luar Bonjol yang membeli tanah seluas puluhan hingga ratusan hektar. Gambaran luasan lahan ulayat yang dikuasai masyarakat luarNagari Bonjol ditampilkan pada Tabel 4. Melalui Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa terjadi gap yang begitu besar antara tanah yang dikuasai oleh masyarakat Bonjol dan masyarakat luar Bonjol. Perbedaan yang begitu besar dikarenakan banyak masyarakat asli Bonjol yang tidak mempunyai biaya untuk membuka perkebunan, serta tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan adat, sedangkan masyarakat luar Bonjol memiliki lahan yang luas karena mereka didukung modal yang cukup untuk membeli kebun Mutolib et al. (2015). Meskipun begitu, banyak juga masyarakat Bonjol yang mempunyai kebun seluas puluhan hingga ratusan hektar, orang-orang tersebut biasanya terdiri dari pimpinan adat, pimpinan nagari, atau tokoh adat yang memiliki kekuatan dan wewenang dalam masyarakat. Masyarakat luar Nagari Bonjol yang membeli tanah ulayat didominasi oleh para pejabat baik dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Umumnya mereka membeli tanah ulayat kemudian diatanami dengan kelapa sawit dan karet sebagai investasi jangka panjang (Mutolib et al., 2015).
D. Absennya Pemerintah dan Pemegang Izin dalam Perlindungan Hutan Keberanian masyarakat merebut dan membuka hutan, selain dipengaruhi oleh pengakuan hukum adat terhadap tanah ulayat yang lebih tinggi dibandingkan hukum negara, juga disebabkan absennya aparat negara atau pemegang izin untuk mencegah pembukaan hutan oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin berani membuka hutan yang saat ini menjadi areal KPHP. Wawancara dengan rumah tangga di Nagari Bonjol membuktikan bahwa peran pemerintah dan pemegang izin dalam pengelolaan hutan sangat rendah. Bahkan pemerintah dan pemegang izin membiarkan hutan begitu saja, sehingga memicu masyarakat untuk masuk dan menguasai hutan. Hasil wawancara dengan masyarakat terkait pengawasan hutan oleh pihak terkait ditampilkan pada Tabel 5. Jawaban pada Tabel 5 menggambarkan bahwa 100% responden mengaku pemerintah absen dalam pengawasan dan perlindungan hutan. Hal tersebut menggambarkan bahwa masyarakat tidak pernah merasakan keberadaan pemerintah dalam pengelolaan hutan seperti pengawasan atau patroli pengamanan hutan, penangkapan pelaku perambahan hutan, pemberian sanksi bagi perambah hutan maupun melakukan kegiatan penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan. Dari keseluruhan responden, hanya 4 orang atau 9,75% yang khawatir membuka hutan, tetapi sebanyak 90,25% tidak khawatir membuka lahan di areal hutan. Keberanian masyarakat disebabkan
222 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Tabel 5. Kegiatan pengawasan hutan oleh pemerintah. Table 5. Forest monitoring activities by goverment. No 1 2 3 4 5 6
Pertanyaan (Question) Adakah patroli untuk mengamankan kehutanan dari dinas terkait? Adakah masyarakat yang ditangkap akibat membuka kebun didalam hutan produksi? Adakah masyarakat yang terkena sanksi akibat membuka kebun didalam hutan? Adakah kegiatan penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan/rimbo? Adakah kegiatan penyuluhan tentang tanaman perkebunan rekomendasi yang harus ditanam di hutan/rimbo? Adakah rasa kekhawatiran karena membuka hutan?
Ya (Yes)
Tidak (No)
0,00 % 0,00 %
100,00 % 100,00 %
0,00 %
100,00 %
0,00 %
100,00 %
0,00 %
100,00 %
9,75 %
90,25 %
Sumber(Source): Data Primer (2015)
kuatnya pengakuan terhadap hukum adat dibandingkan hukum negara. Critchley et al. (2004) menyebutkan bahwa pengawasan merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan manajemen lingkungan dengan masyarakat. Subarudi (2008) menyebutkan bahwa pengawasan dan evaluasi merupakan salah satu kunci dalam tata kelola kehutanan yang baik.. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Konflik agraria di wilayah KPHP terjadi karena saling klaim antara masyarakat dan pemerintah terhadap kepemilikan hutan. Masyarakat mengklaim hutan negara yang izinnya diberikan kepada perusahaan HPH dan HTI sebagai tanah ulayat masyarakat adat Nagari Bonjol yang telah ditempati sejak ratusan tahun. Akibat konflik agraria ini, masyarakat adat Suku Melayu merebut hutan dari perusahaan dan memperjualbelikan tanah ulayat secara bebas. Maraknya jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol dikarenakan Penguasa Ulayat memperjualbelikan tanah ulayat tanpa mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang. Selain itu, tidak adanya kontrol dari masyarakat menyebabkan penguasa ulayat semakin bebas dalam menjual tanah ulayat. Bukti sah dan diakuinya jual beli tanah ulayat adalah adanya alas hak yang dikeluarkan oleh pihak Nagari Bonjol yang ditandatangani (disetujui) penguasa ulayat.
B. Saran Untuk mewujudkan pengelolaan KPHP yang baik perlu memperjelas hak dan batas tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat Suku Melayu dan hutan yang dikuasai perusahaan HTI. Karena konflik agraria yang terjadi di KPHP karena ketidakjelasan kepemilikan hutan antara pihak masyarakat dan perusahaan pemegang izin. Keberadaan masyarakat adat Suku Melayu dan tanah ulayatnya juga perlu menjadi perhatian penting dalam pengelolaan KPHP. Pemerintah Kabupaten Dharmasraya terutama dinas terkait perlu melibatkan masyarakat pengelolaan hutan di KPHP. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan diyakini akan mampu mengurangi konflik yang terjadi akibat persepsi masyarakat yang menganggap negara telah merebut tanah ulayatnya. Selain pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, perlunya implementasi program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki kondisi hutan yang telah terdegradasi di KPHP, tetapi mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan melaksanakan program Hutan Kemasyarakatan, atau Hutan Desa/Nagari di KPHP untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan hutan.
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
223
Diunduh 23 April 2015 dari http://www.forestpeoples.org/.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberi pendanaan melalui hibah penelitian Program Menuju Doktor Sarjana Unggul (PMDSU) tahun anggaran 2014-2015.
DAFTAR PUSTAKA Afrizal. (2015). Metode penelitian kualitatif: sebuah upaya mendukung penggunaan penelitian kualitatif dalam berbagai disiplin ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Astuti, P. (2011). Kekerasan dalam konflik agraria: Kegagalan negara dalam menciptakan keadilan di bidang pertanahan.Diunduh 16 Mei 2015 dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/foru m/article/download/3158/2834. Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya. (2014). Kabupaten Dharmasraya Dalam Angka 2014. Pulau Punjung: BPS Kabupaten Dharmasraya. Benjamin, C. E. (2008). Legal pluralism and de c ent ralizat ion: n atur al r esou rce manag ement in Mali. World Development,36,2255–2276. Bungin, B. (2010). Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1992). Qualitative research for education: An introduction to theory and methods. Boston: Allyn & Bacon. Creswell, J. W. (1994).Research design :Qualitative and quantitative approaches. California: SAGE Publications, Inc. Critchley, C. N. R., Burke, M. J. W.,& Stevens, D. P.(2004). Conservation of lowland seminatural grasslands in the UK: a review of botanical monitoring results from agrienv iro n men t s ch emes. B iol ogi ca l Conservation,115(2), 263-278. Colchester, M. & Chao, S. (2011). Ekspansi kelapa sawit di Asia Tenggara: Sebuah t injauan .
Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya. (2014). Rencana pengelolaan hutan jangka panjang kesatuan pemangku hutan produksi (RPHJP KPHP) model Dharmasraya 20152024. Pulau Punjung: Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya. Djari.
(2009). Pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Faisal, S. (1990). Penelitian kualitatif: Dasar-dasar dan aplikasi. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh (YA3 Malang). Griffiths, J. (1986).'What is legal pluralism? Journal of Legal Pluralism&Unofficial Law,24, 1-56. Hakim, I. & Sylviani. (2014). Analisis tenurial dalam pengembangan kesatuan pengelolaan hutan (KPH): studi kasus KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,11(4), 309–322. Harun, M.K. & Dwiprabowo, H. (2014). Model resolusi konflik lahan di kesatuan pemangkuan hutan produksi model Banjar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(4), 265–280. Hooker, M. B.(1975). Legal pluralism: Introduction to colonial andneo-colonial law. London: Oxford University Press. Kadir W. A., Nurhaedah, M. & Purwanti, R. (2013). Konflik pada kawasan taman nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan upaya penyelesaiannya. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(3), 186 – 198. Indrawardi. (2008). Peranan ninik mamak (datuk) di Minangkabau dalam MendukungKetahanan Daerah: Studi Kasus di Nagari Pakan Sinayan KecamatanBanuhampu-Kabupaten AgamSumatera Barat. (Thesis Pascasarjana). Universitas Indonesia. Depok. Larson, A.M. (2012). Tenure rights and access to forests: A training manual for research. Bogor:CIFOR.
224 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Mantiri, M. M. (2007). Analisis konflik agraria di pedesaan (suatu studi di desa Lemoh Barat Kecamatan Tombariri). Diunduh 16 Mei 2015 dari http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=106894&val=1037. Miles, M. B. & A. M. Huberman. (1992). Qualitative data analysis::A sourcebook of new methods. Diterjemahkan oleh Rohidi, Tjetjep Rohendi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. (1996). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mutolib, A., Yonariza., Mahdi, & Ismono, H. (2015). Local resistance to land grabbing in Dharmasraya District, West Sumatra Province. Paper presentedat The International Academic Conference Land Grabbing: Perspectives from East and Southeast Asia 2015, June 5-6, 2015. Chiang Mai University, Thailand. Onibon, A., Dabiré, B., dan Ferroukhi, L. (1999). Local practice and decentralization and
devolution of natura l resources management in West Africa. Unasylva,50, 23–27. Sugiyono. (2013). Metodepenelitian kombinasi (mixed methods).Bandung: Alfabeta. Subarudi. (2008). Tata kelola kehutanan yang baik: Sebuah pembelajaran dari kabupaten Sragen. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 5(3), 179-192. Von Benda-Beckmann, D. (1981). Forum shopping and shopping forums. Journal ofLegal Pluralism,19, 117–159. Yonariza.2015.Overlapping oil palm plantation and forest area: case of production forest management unit (FMU) of Dharmasraya District, West Sumatra.Paper presented at The International Seminar on Tropical Natural Resources 2015,June 10-12, 2015. MataramLombok, Indonesia.
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
225
POTENSI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI LIMBAH KAYU PEMANENAN DI HUTAN ALAM DAN HUTAN TANAMAN (Potential Non-Tax State Revenue of Wood Waste from Harvesting in Natural and Plantation Production Forests) 1
2
2
Satria Astana , Soenarno & Wesman Endom Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, e-mail: [email protected]. 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, e-mail:[email protected], [email protected] 1
Diterima 13 Agustus 2015, direvisi 16 November 2015, disetujui 23 November 2015
ABSTRACT Decline of log production forests suppress the acquisition of non-tax state revenue (PNBP) of forestry sector. To anticipate a decline in PNBP, the government is trying to raise tariffs of PSDH (forest resource provision) and DR (reforestation fund). Anticipation through tariff increases will affect the performance of forest management due to its impact on costs and profits. Oppositely, wood wastes from harvesting in natural and plantation forests have not been used optimally. This study aims to find out: (1) potential utilization of wood waste from harvesting in the forests, and (2) potential non-tax state revenues resulting from wood waste utilization. Data were collected through interviews and measurements. Interviews were conducted with forest service officers and company managers, while the measurement of wood waste was done in natural forest companies and industrial plantation forests companies, in Central Kalimantan. The collected data were analyzed quantitatively and qualitatively. The result showed that If the wood waste of natural forest 3 3 harvesting were levied royalty by USD2/m and of plantation forest harvesting by IDR284/m , the utilization of these wood wastes would raise PNBP IDR49,6 billion per year. A policy implementation method of tree length logging partularly in natural forest harvesting, is recommended. Keywords: Natural forests, plantation forests, wood waste, harvesting, non-tax state revenue. ABSTRAK Penurunan hutan produksi log menekan perolehan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kehutanan. Untuk mengantisipasi penurunan PNBP, pemerintah berusaha untuk menaikkan tarif PSDH (provisi sumber daya hutan) dan DR (Dana Reboisasi). Antisipasi melalui kenaikan tarif akan mempengaruhi kinerja pengelolaan hutan karena dampaknya terhadap biaya dan keuntungan. Malah, limbah kayu dari penebangan di hutan alam dan tanaman belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pemanfaatan potensi limbah kayu dari penebangan di hutan, dan (2) penerimaan negara bukan pajak potensial yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah kayu. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengukuran. Wawancara dilakukan dengan petugas dinas kehutanan dan manajer perusahaan, sedangkan pengukuran limbah kayu dilakukan di perusahaan hutan alam dan hutan tanaman industri perusahaan, di Kalimantan Tengah. Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jika limbah kayu dari penebangan hutan alam yang dipungut royalti oleh USD2 / m3 dan pemanenan hutan tanaman oleh IDR284 / m3, pemanfaatan limbah kayu ini akan meningkatkan PNBP IDR49,6 miliar per tahun. Sebuah metode implementasi kebijakan pohon panjang logging partularly di pemanenan hutan alam, dianjurkan. Kata kunci: Hutan alam, hutan tanaman, limbah kayu, pemanenan, penerimaan negara bukan pajak.
I. PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 tahun 2013 tentang anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2014, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kehutanan
direncanakan Rp 5,0 triliun. Dari total PNBP sektor kehutanan tersebut, (1) Rp2,4 triliun berasal dari Dana Reboisasi (DR), (2) Rp1,8 triliun dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), (3) Rp 146,3 miliar dari pendapatan Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) dan (4) Rp 640,3 miliar dari pendapatan penggunaan kawasan hutan. Dari total
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
227
pendapatan IIUPH, Rp11,3 miliar berasal dari IIUPH-Hutan Tanaman Industri dan Rp135,0 miliar dari IIUPH-Hutan Alam. Terlihat porsi PNBP sektor kehutanan terbesar berasal dari DR dan kemudian disusul dari PSDH. Total DR dan PSDH mencapai Rp4,2 triliun atau 84% dari total PNBP sektor kehutanan. Pungutan DR diperoleh dari setiap produksi kayu bulat dari hutan alam, sedangkan pungutan PSDH selain dari hutan alam juga dari hutan tanaman. Oleh karenanya PNBP sektor kehutanan secara signifikan bergantung pada tingkat produksi kayu bulat. Merosotnya produksi kayu bulat hutan alam menekan perolehan PNBP sektor kehutanan. Meskipun produksi kayu bulat dari hutan tanaman cenderung meningkat, perolehan PSDHnya relatif kecil. Sebagai contoh, produksi kayu bulat hutan tanaman tahun 2012 (26.126.582 m3) lebih tinggi dibanding hutan alam (5.142.385 m3) (Kementerian Kehutanan, 2013), namun PSDH dari hutan tanaman lebih kecil (Rp62,7 miliar) dibanding dari PSDH hutan alam (Rp308,5.miliar). Untuk mengantisipasi penurunan PNBP pemerintah berusaha menaikkan besarnya tarif PSDH dan DR (Astana et al., 2014). Antisipasi melalui kenaikan tarif ini sedikit banyak akan mengganggu kinerja pengelolaan hutan karena pengaruhnya terhadap biaya dan laba. Sebagai contoh, akibat dari kenaikan PSDH dan DR, hasil penelitian Astana et al. (2014) menunjukkan perolehan laba perusahaan dapat menurun sebesar 22,3%. Namun di sisi lain, upaya mengurangi limbah kayu pemanenan di hutan masih belum optimal. Sebagai contoh, teknik penebangan menggunakan metode tree length logging jika diterapkan dapat menaikkan volume pemanfaatan kayu dan pada gilirannya dapat menaikkan PNBP dari DR dan PSDH. Demikian pula dengan teknikteknik pengangkutan dan pengolahan yang efisien jika konsisten diterapkan memungkinkan limbah kayu yang berdiamater kecil menjadi ekonomis dimanfaatkan. Dengan kata lain, potensi kenaikan PNBP sektor kehutanan masih dimungkinkan karena adanya
potensi penambahan volume kayu, yaitu: (1) volume kayu batang bebas cabang yang dapat dimanfaatkan, dan (2) volume limbah kayu pemanenan yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan. Seberapa besar potensi kenaikan PNBP yang diperoleh dengan adanya potensi penambahan volume kayu tersebut merupakan permasalahan yang dikaji. Selaras dengan permasalahan tersebut, kajian ini bertujuan untuk mengaji: (1) potensi jenis dan volume limbah kayu pemanenan, dan (2) potensi PNBP kehutanan dari limbah kayu pemanenan. Potensi PNBP di sini didefinsikan sebagai PNBP potensial yang baru akan diperoleh jika volume limbah kayu dari pemanenan hutan alam dan dari pemanenan hutan tanaman layak dimanfaatkan secara finansial dan jika masing-masing dikenakan pungutan PSDH berturut-turut sebesar USD2/m3 dan Rp284/m3. Hasil kajian diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan PNBP sektor kehutanan dari limbah pemanenan di hutan alam dan hutan tanaman. II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Analisis 1. Limbah kayu pemanenan di hutan alam Limbah kayu dari pemanenan di hutan alam dapat ditemukan di tiga lokasi kegiatan pemanenan. Pertama adalah limbah kayu yang terdapat di petak tebang. Gambar 1 menjelaskan limbah kayu pemanenan yang ditinggalkan di petak tebang. Dari Gambar 1 dapat diketahui bahwa jenis atau bentuk limbah kayu yang ditinggalkan terdiri dari: (1) limbah kayu tonggak (C), (2) limbah kayu pangkal (D), (3) limbah kayu ujung (E), (4) limbah kayu batang di atas cabang pertama (F), dan (5) limbah kayu cabang (G). Kedua adalah limbah kayu pemanenan di sepanjang jalan sarad [pada petak tebang]. Limbah kayu di jalan sarad terdiri dari: (1) bagian batang bebas cabang yang tertinggal di sepanjang jalan
1
Besarnya PSDH untuk kayu dari hutan tanaman adalah 6% dari harga patokan (Lampiran pada PP Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan). Harga patokan kayu akasia dari hutan tanaman adalah Rp 40 000 per m3 (Lampiran II pada Permendag 22/M-Dag/PER/4/2012). 2 Besarnya PSDH untuk kayu dari hutan alam adalah 10% dari harga patokan (Lampiran pada PP Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan). Harga patokan kayu meranti dari hutan alam adalah Rp 600 000 per m3 (Lampiran II dalam Permendag 22/M-Dag/PER/4/2012).
228 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
Sumber (Source): Soenarno (2014)
Gambar 1. Limbah kayu pemanenan di hutan alam. Figure 1. Wood waste from harvesting in natural production forest. sarad karena kondisi, dan (2) kayu bagian lain yang dikategorikan sebagai limbah kayu. Ketiga adalah limbah kayu di TPn. Limbah kayu di TPn terjadi sehubungan dengan kegiatan pengujian dan pengukuran kayu (grading and scalling). Limbah kayu di TPn terdiri dari: (1) sisa pemotongan bagian pangkal atau ujung, (2) batang bebas cabang yang tidak diangkut karena cacat (bengkok, mata buaya, busuk hati, gerowong) dan (3) sortimen kayu bulat yang karena kondisi kemudian tidak diangkut. Limbah kayu yang dikaji dibatasi hanya limbah kayu pemanenan di petak tebang. 2. Limbah kayu pemanenan di hutan tanaman Pemanenan kayu di hutan tanaman masih menyisakan kayu limbah di areal hutan yang besar.
Salah satu faktor penyebabnya adalah penggunaan bucking system yang menggunakan metode short wood logging dengan ukuran panjang 4,10 m dan kelipatannya sampai minimum diameter 7 cm untuk ekaliptus dan 10 cm untuk akasia. Teknik ini meninggalkan sisa potongan kayu, yang berasal dari pemotongan bagian batang utama, cabang dan ranting. Gambar 2 menjelaskan limbah kayu pemanenan yang ditinggalkan di petak tebang hutan tanaman. Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa jenis atau bentuk limbah kayu yang ditinggalkan terdiri dari: (1) limbah tonggak (A), dan (2) limbah ujung (C). Limbah kayu yang dikaji dibatasi hanya limbah ujung karena kepraktisan dalam pengukurannya.
Sumber (Source): Soenarno (2014)
Gambar 2. Limbah kayu pemanenan di hutan tanaman. Figure 2. Wood waste from harvesting in plantation forest.
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
229
3. Penghitungan volume limbah kayu pemanenan Penghitungan volume limbah kayu pemanenan didasarkan pada tiga tingkatan, yaitu: (a) tingkat pohon, (b) tingkat unit manajemen hutan dan (c) tingkat nasional. a. Tingkat pohon Hutan alam Volume limbah kayu tingkat pohon adalah : Limbah batang bebas cabang (BBC) yang terdiri dari limbah pangkal dan limbah ujung (Gambar 1) Limbah batang di atas cabang (BAC) (Gambar 1) Hutan tanaman Volume limbah kayu hutan tanaman adalah bagian pohon yang ditinggalkan di petak tebang (Gambar 2), terdiri dari: Panjang < 4,10 m dengan diameter minimal 5 cm Panjang tanpa ukuran dengan diamater < 7, minimal 5 cm b. Tingkat unit manajemen hutan Hutan alam Volume limbah kayu pemanenan hutan alam di tingkat unit manajemen hutan adalah jumlah volume limbah kayu BBC dan BAC tingkat managemen hutan. Volume BBC atau BAC tingkat manajemen hutan adalah volume BBC atau BAC rataan per pohon dikalikan dengan jumlah pohon yang ditebang berdasarkan jatah produksi tahunan (JPT) dalam rencana kerja tahunan (RKT). Hutan tanaman Volume limbah kayu pemanenan hutan tanaman di tingkat unit manajemen hutan adalah volume limbah kayu per pohon dikalikan dengan jumlah pohon yang ditebang berdasarkan jatah produksi tahunan (JPT) dalam rencana kerja tahunan (RKT). c. Tingkat nasional Hutan alam Volume limbah kayu pemanenan hutan alam tingkat nasional adalah jumlah volume limbah kayu BBC dan BAC tingkat nasional. Volume limbah BBC atau BAC tingkat nasional adalah volume limbah BBC atau BAC rataan per pohon dikalikan dengan jumlah pohon yang ditebang secara nasional. Namun karena jumlah pohon yang ditebang secara nasional tidak diperoleh sebagai ganti digunakan perhitungan limbah
kayu hutan alam nasional berdasarkan faktor eksploitasi (FE) dan JPT (Jatah Produksi Tahunan). Hutan tanaman Volume limbah kayu pemanenan hutan tanaman di tingkat nasional adalah volume limbah kayu per pohon dikalikan dengan jumlah pohon yang ditebang secara nasional. Namun karena jumlah pohon yang ditebang secara nasional tidak diperoleh sebagai ganti digunakan perhitungan limbah kayu hutan tanaman nasional berdasarkan jumlah perusahaan HTI dan rataan volume limbah kayu dari perusahaan contoh. 4. Evaluasi pemanfaatan potensial limbah kayu pemanenan Evaluasi jenis pemanfaatan potensial limbah kayu pemanenan didasarkan pada pengalaman pemanfaatan kayu sebagai bahan baku industri pengolahan kayu primer. Untuk limbah kayu pemanenan hutan alam didasarkan pada tiga jenis pemanfaatan kayu yang telah diketahui umum, yaitu : (1) vinir, (2) kayu gergajian dan (3) serpih kayu. Limbah kayu pemanenan yang diperoleh dievaluasi berdasarkan kualitas, panjang dan diameter limbah kayu. Kualitas limbah kayu dibedakan ke dalam tiga kondisi: (1) mulus, (2) pecah, dan (3) cacat. Kondisi pecah adalah jika terjadi pecah pada bagian pangkal atau ujung limbah kayu, kondisi cacat ditunjukkan oleh adanya notch (mata buaya), growong (berlubang), busuk hati dan lapuk (rot), dan kondisi mulus jika tidak pecah dan cacat. Jenis pemanfaatan limbah kayu pemanenan hutan tanaman hanya didasarkan pada pemanfaatan sebagai bahan baku wood pellet. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada dua pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan satu pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Atas permintaan pemegang IUPHHK nama perusahaan tidak dicantumkan. Dua perusahaan IUPHHK-HA masing-masing selanjutnya disebut perusahaan A dan perusahaan B, sedangkan satu perusahaan IUPHHK-HT disebut perusahaan C. Tiga pemegang IUPHHK tersebut berlokasi di Kalimantan Tengah. Jangka waktu penelitian
230 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
adalah lima bulan dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2014. C. Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan deng an cara pengamatan dan pengukuran di lapangan. Pengukuran limbah kayu di lapangan dilakukan di petak tebang. Jumlah contoh pohon ditebang pada perusahaan A adalah 45 pohon, perusahaan B, 15 pohon, dan perusahaan C, 31 pohon. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara wawancara dan pencatatan atas data yang tersedia. Wawancara dilakukan dengan pegawai kehutanan dan manajer perusahaan. Jenis data primer hutan alam yang dikumpulkan adalah: (1) jenis kayu, (2) panjang, diameter dan kondisi batang bebas cabang yang dimanfaatkan, (3) panjang, diameter dan kondisi limbah batang bebas cabang, dan (4) panjang, diameter dan kondisi limbah batang di atas cabang. Sedangkan jenis data sekundernya adalah: (1) identitas perusahaan, (2) JPT, (3) realisasi luas tebangan, (4) realisasi produksi kayu dan (5) jenis pohon. J enis data primer hutan tanaman yang dikumpulkan adalah: (1) jenis kayu, (2) panjang total dan diameter sampai dengan minimal 5 cm, (3) panjang dengan kelipatan 4,10 m, diameter minimal 7 cm dan kondisi batang yang dimanfaatkan, dan (4) panjang, diameter sampai dengan minimal 5 cm dan kondisi limbah kayu. Sedangkan jenis data sekundernya adalah: (1) identitas perusahaan, (2) JPT, (3) realisasi luas tebangan, (4) realisasi produksi kayu, (5) jenis tanaman dan (6) umur tebang. D. Pengolahan Data 1. Penghitungan volume kayu dan limbah kayu pemanenan Penghitungan volume kayu dan limbah kayu pemanenan hutan alam dan hutan tanaman dilakukan berdasarkan pada dua tingkatan spasial, yaitu: (1) tingkat pohon dan (2) tingkat unit manajemen hutan. a. Tingkat pohon Penghitungan volume kayu dan limbah kayu di tingkat pohon menggunakan formula Smalian (Moeljono, 1984).
Hutan alam Volume kayu batang bebas cabang yang dimanfaatkan: VP= ½ (B + b) * PP..................................... (1) keterangan: VP = volume kayu yang dimanfaatkan (m3) B = luas bidang dasar pangkal batang (m2) b = luas bidang dasar ujung batang (m2) PP = panjang kayu yang dimanfaatkan (m) B dan b adalah: B = 1/4 D2 ............................................... (2) b = 1/4 d2 ............................................... (3) keterangan: D = diameter pangkal (m) d = diameter ujung (m) Volume limbah kayu BBC atau BAC: VBBC/BAC = ½ (BLA + bLA) * PLA............... (4) keterangan: VBBC/BAC = volume limbah kayu BBC atau BAC(m3) BLA = luas bidang dasar pangkal batang BBC atau BAC (m2) bLA = luas bidang dasar ujung batang 2 BBC atau BAC (m ) PLA = panjang limbah kayuBBC atau BAC (m) BLA dan bLA adalah: BLA = 1/4 DLA2 ...................................... (5) bLA = 1/4 dLA2 ..................................... (6) keterangan: DLA = diameter pangkal limbah kayu BBC atau BAC (m) dLA = diameter ujung limbah kayu BBC atau BAC (m) Hutan tanaman Volume limbah kayu hutan tanaman adalah bagian pohon yang ditinggalkan di petak tebang, terdiri dari limbah kayu dengan kategori: (a) panjang <4,10 m dengan diameter minimal 5 cm dan (b) panjang tanpa ukuran dengan diamater<7 cm dengan minimal 5 cm. Volume limbah kayu hutan tanaman: VLT = ½ (BLT + bLT) * PLT.......................... (7)
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
231
keterangan: VLT = volume limbah kayu hutan tanaman (m3) BLT = luas bidang dasar pangkal batang hutan tanaman (m2) bLT = luas bidang dasar ujung batang hutan tanaman (m2) PLT = panjang limbah kayuhutan tanaman (m) BLT dan bLT adalah: BLT = 1/4 DLT2 ..................................... (8) bLT = 1/4 dLT2 .................................... (9) keterangan: DLT = diameter pangkal limbah kayu hutan tanaman (m) dLT = diameter ujung limbah kayu hutan tanaman (m) b. Tingkat managemen hutan Hutan alam Volume limbah kayu hutan alam di tingkat manajemen hutan:VLAM = (N * VBBC)+(N * VBAC) ......................................................... (10) keterangan: VLAM = Volume limbah kayu hutn alam di tingkat unit manajemen hutan (m3) N = jumlah pohon hutan alam pada RKT tahun berjalan (batang) VBBC = volume limbah kayu BBC rataan per pohon (m3) VBAC = volume limbah kayu BAC rataan per pohon (m3) Hutan tanaman Volume limbah kayu hutan tanaman di tingkat manajemen hutan: VLTM = N * VLT........................................ (11) keterangan: VLTM = Volume limbah kayu hutan tanaman di tingkat unit managemen hutan (m3) NT = jumlah pohon hutan tanaman pada RKT tahun berjalan (batang) VLT = volume limbah kayu hutan tanaman rataan per pohon (m3) c. Tingkat nasional Hutan alam Volume limbah kayu hutan alam di tingkat nasional: VLAN = (FE* - FE) * JPT
keterangan: VLAN = Volume limbah kayu hutan alam di tingkat nasional (m3) FE* = Faktor eksploitasi experimen (tree length logging) (0,87) FE = Faktor eksploitasi regulasi (0,70) JPT = Jatah Produksi Tahunan Hutan tanaman Volume limbah kayu hutan tanaman di tingkat nasional: VLTN = NN* VLTM..................................... (12) keterangan: VLTN = Volume limbah kayu hutan tanaman tingkat nasional (m3) NN = jumlah perusahaan hutan tanaman nasional (unit) VLTM = Volume limbah kayu hutan tanaman di tingkat unit manajemen hutan (m3) 2. Penghitungan PNBP limbah kayu pemanenan a. Hutan alam Penghitungan PNBP limbah kayu didasarkan pada volume limbah kayu pada tingkat unit managemen hutan. Besarnya PNBP limbah kayu hutan alam dituliskan: PNBPHA = RHA * VLAM/N ………….......…. (13) keterangan: PNBPHA = PNBP yang diperoleh dari limbah kayu hutan alam (Rp) RHA = pungutan per m3 limbah kayu yang ditinggalkan di hutan (Rp/m3) VLAM/N = Volume limbah kayu hutan alam di tingkat unit manajemen hutan atau nasional (m3) Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 12/2014, limbah kayu dari hutan alam tidak dikenakan pungutan, namun Kayu Bulat Kecil (KBK) yang berdiameter kurang dari 30 cm dikenakan pungutan DR sebesar USD4,0 per m3. Selain dikenakan pungutan DR, KBK juga dikenakan pungutan PSDH, yang besarnya 10% dari harga patokan (PP12 tahun 2014), dan harga patokan KBK adalah Rp300.000 per m3 (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2014). Namun d a l a m p e r a t u r a n p e r u n d a n g- u n da n g a n
232 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
sebelumnya, PP 59 tahun 1998 menyebutkan bahwa pungutan PSDH dikenakan pada limbah pembalakan, kayu bulat diameter <30 cm (KBK) dan Bahan Baku Serpih (BBS), yang besarnya adalah 1% dari harga patokan, dan harga patokan untuk kayu bulat diameter <30 cm adalah Rp245.000/m3 dan limbah pembalakan adalah Rp245.000/ton (Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/2/2007). Sedangkan dalam PP 92 tahun 1999 disebutkan bahwa besarnya DR kayu BBS dan limbah pembalakan berturut-turut adalah USD2/ton dan USD 2/m3. Dengan demikian, mengacu pada peraturan perundangundangan sebelumnya, limbah kayu di perusahaan A dan B sebenarnya dapat dikenakan DR sebesar USD2/m3 (PP 92/1999) dan PSDH sebesar 1% dari harga patokan/m3 (PP 59 tahun 1998). Dalam penelitian ini untuk kepraktisan perhitungan, limbah kayu dari hutan alam dikenakan pungutan (RHA) sebesar USD2/m3. b. Hutan tanaman Besarnya PNBP limbah kayu hutan tanaman dituliskan: PNBPHT = RHT * VLTM/N .............................. (14) keterangan: PNBPHT = PNBP yang diperoleh dari limbah kayu hutan tanaman (Rp) RHT = pungutan per m3 limbah kayu
VLTM/N
yang ditinggalkan di hutan tanaman (Rp/m3) = Volume limbah kayu hutan tanaman di tingkat unit manajemen hutan atau nasional (m3)
Berdasarkan PP12 tahun 2014 pungutan DR tidak dikenakan pada kayu dan limbah kayu dari hutan tanaman. Kayu dari hutan tanaman hanya dikenakan pungutan PSDH, namun limbah kayu dari hutan tanaman tidak dikenakan. Oleh karena PP12 tahun 2014 belum mengatur pungutan PSDH limbah kayu dari hutan tanaman, besarnya pungutan limbah kayu dari hutan tanaman diturunkan dari perhitungan pungutan PSDH kayu dari hutan tanaman. Menurut PP12 tahun 2014, besarnya PSDH kayu dari hutan tanaman adalah 6% dari harga patokan kayu bulat, dan harga patokan kayu bulat (jenis akasia dan ekaliptus; jenis tanaman terbesar) adalah Rp90.000 per m3 (Peraturan Menteri Kehutanan No P. 68/MenhutII/2014), maka PSDH yang harus dibayar (bagian pohon yang dimanfaatkan) adalah Rp5.400 per m3 [0,06 x Rp90.000 per m3]. Dengan asumsi volume bagian pohon yang dimanfaatkan adalah 95% dan 5% adalah limbah kayu di petak tebang (yang akan dimanfaatkan di kemudian hari), maka pungutan yang harus dibayar untuk limbah kayu (5%) adalah
Tabel 1. Volume limbah kayu tingkat pohon kualitas mulus menurut jenis pemanfaatan potensialnya di perusahaan A Table 1. Wood waste volume at tree level of smooth quality according to its potential utilization type in company A
Jenis kayu (Wood species)
Terapung (floater)
Limbah kayu (Wood waste)
BBC (On clear bole) BAC(Above clear bole) Total
Tenggelam (Sinker)
BBC (On clear bole) BAC(Above clear bole) Total
Volume limbah kayu tingkat pohon (Wood waste volume at tree level) (m³/pohon/tree) Serpih Vinir Kayu gergajian (Chips) (Veneer) (Sawntimber) Total 1,3 - 2,6 < 1,3 m 2,6-4 m >4m m 0,319 0,189 0,129 0,473 1,110 0,008 0,059 0,071 0,015 0,153 0,327 (25,88) 0,133 0,011 0,144 (10,23)
0,248 (19,64) 0,181 0,044 0,225 (16,0)
0,200 (15,84) 0,435 0,072 0,507 (36,03)
0,488 (38,64) 0,509 0,022 0,531 (37,74)
1,263 (100.0) 1,258 0,149 1,407 (100.0)
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014 Keterangan (Remark): Angka dalam kurung adalah persen (values at the bracketsare percentages)
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
233
Tabel 2. Volume limbah kayu tingkat pohon kualitas mulus menurut jenis pemanfaatan potensialnya di perusahaan B Table 2. Wood waste volume at tree level of smooth quality according to its potential utilization type in company B
Jenis kayu (Wood species) Terapung (Floater)
Limbah kayu (Wood waste)
BBC (On clear bole)
0,180
0,291
0,642
1,573
2,686
-
0,326
0,719
0,587
1,632
0,180
0,617
1,361
2,159
4,318
(4,18)
14,29
31,52
50,01
100,0
BBC (On clear bole)
0,230
0,708
0,629
1,272
2,839
BAC (Above clear bole)
0,097
0,132
0,381
0,977
1,587
0,327
0,840
1,010
2,249
4,426
(7,39)
18,98
22,82
50,82
100.0
BAC (Above clear bole) Total Tenggelam (Sinker)
Volume limbah kayu tingkat pohon(Wood waste volume at tree level) (m³/pohon/tree) Serpih Vinir Kayu gergajian (Chips) (Veneer) (Sawntimber) Total < 1,3 m 1,3-2,6 m 2,6-4 m >4m
Total
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014 Keterangan (Remark): Angka dalam kurung adalah persen (values at the bracketsare percentages)
(5%/95%) x 0,06 x Rp90.000 per m3 = Rp284 per m3, dan jika bagian limbah kayu adalah 20%, maka pungutan limbah kayu yang harus dibayar adalah (20/80) x 0,06 x Rp 90.000 per m3 = Rp1.136 per m3. Untuk kepraktisan perhitungan, limbah kayu dari hutan tanaman dalam penelitian ini dikenakan pungutan (RHT) sebesar Rp284/m3. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemanfaatan Potensial Limbah Kayu Pemanenan 1. Limbah kayu pemanenan di hutan alam Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, panjang limbah kayu pemanenan di perusahaan A dapat digolongkan: (1) <1,3 m, (2) 1,3–2,6 m, (3) 2,6–4 m, dan (4) >4 m. Mempertimbangkan hanya limbah kayu dengan kualitas mulus (layak sebagai bahan baku) yang dimanfaatkan, dari Tabel 1 diketahui bahwa volume limbah kayu tingkat pohon jenis terapung yang potensial sebagai bahan baku serpih di perusahaan A adalah 0,327 m3/pohon, bahan baku vinir, 0,249 m3/pohon, dan bahan baku kayu gergajian, 0,200 m3/pohon untuk panjang 2,64 m dan 0,488 m3/pohon untuk panjang di atas 4 m.
Sedangkan untuk jenis tenggelam, pada Tabel 1 disajikan volume limbah kayu yang potensial sebagai bahan baku serpih adalah 0,144 m3/pohon, bahan baku vinir, 0,225 m3/pohon, dan bahan baku kayu gergajian, 0,507 m3/pohon untuk panjang 2,6-4 m dan 0,531 m3 untuk panjang di atas 4 m. Panjang limbah kayu di perusahaan B juga dapat digolongkan: (1) <1,3 m, (2) 1,3–2,6 m, (3) 2,6–4 m, dan (4) >4 m. Seperti di perusahaan A, hanya limbah kayu kualitas mulus yang dapat dimanfaatkan. Pada Tabel 2 disajikanbahwa volume limbah kayu tingkat pohon jenis terapung di perusahaan B yang potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku serpih adalah 0,180 m3/pohon, bahan baku vinir 0,617 m3/pohon, dan bahan baku kayu gergajian, 1,361 m3/pohon untuk panjang 2,6-4 m dan 2,159 m3/pohon untuk panjang di atas 4 m. Sedangkan untuk jenis tenggelam, dari Tabel 2 diketahui volume limbah kayu tingkat pohon di perusahaan B yang potensial sebagai bahan baku serpih adalah 0,327 m3/pohon, bahan baku vinir 0,840 m3/pohon, dan bahan baku kayu gergajian, 1,010 m3/pohon untuk panjang 2,6-4 m dan 2,249 m3/pohon untuk panjang di atas 4 m. Dari dua perusahaan contoh (A dan B) diketahui bahwa volume limbah kayu yang
234 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
Tabel 3. Volume limbah kayu tingkat unit manajemen untuk jenis terapung dan tenggelam menurut jenis pemanfaatan potensialnya di perusahaan A tahun 2014 Table 3. Wood waste volume at management unit level for floater and sinker species of smooth quality according to its potential utilization type in company A year 2014
No
Jenis Kayu (Wood species)
1.
Terapung (Floater) BBC (On clear bole) BAC (Above clear bole) Subtotal
2.
Volume limbah kayu tingkat unit managemen (Wood waste volume at management unit level) Serpih Vinir Kayu gergajian (Chips) (Veneer) (Sawntimber) Total < 1,3 m 1,3-2,6 m 2,6-4 m >4m 3 3 3 (m3) (m ) (m ) (m ) 3.653,89 92,40 3.746,29
2.167,58 681,83 2.849,41
1.480,08 809,70 2.289,78
5.422,51 167,09 5.589,60
12.724,06 1.751,02 14.475,08
1.898,79 157,98 2.056,78 5.803,07
2.595,86 633,12 3.228,98 6.078,39
6.230,02 1.033,66 7.263,68 9.553,46
7.298,24 304,23 7.602,47 13.192,07
18.022,91 2.128,99 20.151,91 34.626,99
Tenggelam (Sinker) BBC (On clear bole) BAC (Above clear bole) Subtotal Total
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014
Tabel 4. Volume limbah kayu tingkat unit manajemen untuk jenis terapung dan tenggelam menurut jenis pemanfaatan potensialnya di perusahaan B tahun 2014 Table 4. Wood waste volume at management unit level for floater and sinker species of smooth quality according to its potential utilization type in company B year 2014
No.
1.
2.
Jenis Kayu (Wood species) Terapung (Floater) BBC (On clear bole) BAC (Above clear bole) Subtotal
Volume limbah kayu tingkat unit managemen (Wood waste volume at management unit level)(m3) Serpih Vinir (Veneer) Kayu gergajian (Sawntimber) (Chips) Total < 1,3 m 1,3-2,6 m 2,6-4 m >4m (m3) (m3) (m3) (m3) 1.658,79 1.658,79
2.678,05 2.998,97 5.677,02
5.901,93 6.617,94 12.519,87
14.466,60 5.395,67 19.862,27
24.705,37 6.613,36 31.318,73
BBC (On clear bole)
3.166,82
9.761,79
8.679,92
17.554,45
39.162,97
BAC (Above clear bole)
1.335,42
1.821,71
5.258,54
13.474,40
6.843,31
Subtotal
4.502,24
11.583,50
13.938,46
31.028,85
46.006,29
Total
6.161,03
17.260,52
26.458,33
50.891,12
77.325,02
Tenggelam (Sinker)
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
235
Tabel 5. Perkembangan luas tebangan,produksi, jumlah pohon yang ditebang dan volume pemanfaatan potensial limbah kayu jenis akasia (Acacia mangium) danekaliptus(Eucaliptus pellita) di perusahaan C tahun 2010–2014 Table 5. Development of felling area,wood production, number of trees felled and potential wood waste volume utilization of akasia (Acacia mangium) and ekaplitus (Eucaliptus pellita) in company C year 2010-2014 Tahun (Year )
Luas tebangan (Felling area) (ha) Akasia
Ekaliptus
Produksi kayu (Wood production) (m3) akasia
Jumlah pohon (Number of trees) (pohon)
ekaliptus
Akasia
Ekaliptus
Potensi limbah kayu (Wood waste potency) (m3)
Akasia
Ekaliptus
2010
2.140,00
1.418,56
355.692,76
200.787,47
659.912
470.228
77.738
20.831
2011
5.199,39
2.624,78
900.088,00
404.795,81
1.669.922
948.000
196.717
41.996
2012
5.134,62
3.425,22
1.187.701,60
912.968,56
2.203.528
2.138.100
259.576
94.718
2013
6.893,36
6.137,48
1.248.740,00
1.007.133,00
2.316.772
2.358.625
272.916
104.487
2014
6.706,40
5.202,71
1.256.987,66
974.636,90
2.332.074
2.282.522
274.718
101.116
Total
2.6073,77
18.808,75
4.949.210,02
3.500.321,74
9.182.208
8.197.475
1.081.665
363.148
Rataan (Average) 5.214,75 3.761,75 989.842,00 Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014
700.064,35
1.836.442
1.639.495
216.333
72.629.6
potensial dapat dimanfaatkan berkisar antara 1,2631,632 m3/pohon untuk jenis terapung dan 1,407–1,587 m3/pohon untuk jenis tenggelam. Tanpa merinci jenis dan porsi limbah kayu yang dapat dimanfaatkan, hasil penelitian Matangaran et al. (2013) menunjukkan volume limbah kayu yang lebih besar (3,42-3,45 m3/pohon). Dengan cara yang sama, hasil penelitian Astana et al. (2014) juga menunjukkan volume limbah kayu yang lebih besar (2,074 m3/pohon), sedangkan hasil penelitian Soenarno (2014a) yang hanya menghitung volume limbah BBC memperoleh volume limbah BBC sebesar 1,395 m3/pohon. Hal ini mengindikasikan beragamnya volume limbah kayu yang diperoleh karena perbedaan dalam metode pengukuran dan perhitungan yang digunakan. Berdasarkan target produksi perusahaan A tahun 2014 (RKT 2014 dan carry over 2013) diketahui bahwa jumlah pohon yang ditebang tahun 2014 adalah 25.792 pohon, terdiri dari jenis terapung sebesar 44% (11.463 pohon) dan jenis tenggelam sebesar 56% (14.329 pohon). Kualitas limbah kayu jenis terapung yang tergolong mulus dari BBC adalah 63,92% dan dari BAC adalah 30,61%. Sedangkan kualitas limbah kayu jenis tenggelam yang tergolong mulus dari BBC adalah 83,91% dan dari BAC adalah 40,83%. Berdasarkan
data dan informasi tersebut, hasil penghitungan volume limbah kayu kualitas mulus untuk target produksi tahun 2014 di perusahaan A disajikan pada Tabel 3. Dari tabel diketahui bahwa total volume limbah kayu di perusahaan A adalah 34.626,99 m3, terdiri dari limbah kayu jenis terapung sebanyak 14.475,08 m3 dan jenis tenggelam sebanyak 20.151,91 m3. Berdasarkan target produksi di perusahaan B tahun 2014 diketahui bahwa jumlah pohon yang ditebang adalah 22.995 pohon, terdiri dari jenis terapung 40% (9.198 pohon) dan jenis tenggelam 60% (13.797 pohon). Volume limbah kayu potensial sebagai bahan baku serpih, vinir dan kayu gergajian jenis terapung dari BBC adalah 89,87% dan dari BAC adalah 100%,sedangkan jenis tenggelam dari BBC adalah 95,55% dan dari BAC adalah 100%. Berdasarkan data dan informasi tersebut, hasil penghitungan volume pemanfaatan potensial limbah kayu di perusahaan B disajikan pada Tabel 4. Dari tabel diketahui bahwa total volume limbah kayu potensial sebagai bahan baku serpih, vinir dan kayu gergajianadalah 77.325,02 m3, terdiri dari limbah kayu jenis terapung sebanyak 31.318,73 m3 dan jenis tenggelam sebanyak 46.006,29 m3.
236 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
Tabel 6. PNBP potensial dari pungutan limbah kayu pemanenan hutan alam menurut jenis pemanfaatan potensialnya di perusahaan A dan B Table 6. Potential PNBP of wood waste royalty from natural forest harvesting according to its potential utilization type in company A and B
No.
Jenis kayu (Wood species)
Perusahaan (Company)A
PNBP potensial (Potential PNBP) (USD) Serpih (Chips)
Vinir (Veneer)
< 1,3 m
1,3-2,6 m
Kayu gergajian(Sawntimber) Total 2,6-4 m
>4m
1.
Terapung (Floater)
7.492,57
5.698,83
4.579,57
11.179,21
28.950,17
2.
Tenggelam (Sinker)
4.113,55
6.457,96
14.527,36
15.204,94
40.303,81
Total
11.606,12
12.156,79
19.106,93
26.384,15
69.253,98
Perusahaan (Company) B 1.
Terapung (Floater)
3.317,57
11.354,05
25.039,74
39.724,54
79.435,90
2.
Tenggelam (Sinker)
9.004,48
23.167,00
27.876,91
62.057,70
122.106,09
Total
12.322,05
34.521,04
52.916,65
101.782,24
201.541,98
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014
2. Limbah kayu pemanenan di hutan tanaman Data jumlah pohon yang dipanen di perusahaan C tidak tersedia. Oleh karena itu, jumlah pohon dihitung dengan cara membagi volume produksi (RKT)dengan volume bagian pohon yang dimanfaatkan rataan contoh. Perkembangan luas tebangan, produksi kayu, perkiraan jumlah pohon dan potensi limbah kayu di perusahaan C selama 4 tahun terakhir disajikan pada Tabel 5. Dari tabel diketahui bahwa luas tebangan rataan per tahun di perusahaan C adalah 5.215,75 ha untuk akasia dan 3.761,75 ha untuk ekaliptus, sedangkan produksi rataan per tahun adalah 989.842,00 m3 untuk akasia dan 700.064,35 untuk ekaliptus. Dari hasil pengukuran diperoleh volume rataan bagian pohon yang dimanfaatkan untuk jenis akasia adalah 0,539 m3/pohon, dan jenis ekaliptus adalah 0,427 m3/pohon, dikalikan dengan jumlah pohon (hasil perhitungan) diperoleh volume pemanfaatan potensial limbah kayu di perusahaan C. Dari Tabel 5 diketahui bahwa jumlah pohon yang ditebang rataan per tahun selama periode 2010-2014 adalah 1.836.442 pohon untuk akasia dan 1.639.495 pohon
untuk ekaliptus, dan volume pemanfaatan potensial limbah kayu rataan per tahun untuk akasia adalah 216.333 m3 dan untuk ekaliptus adalah 72.630 m3. B. PNBP Potensial dari PSDH Limbah Kayu Pemanenan 1. Limbah kayu pemanenan di hutan alam Jika limbah kayu di perusahaan A (Tabel 3) dan B (Tabel 4) dimanfaatkan dan dikenakan pungutan sebesar USD2 per m3, maka pemerintah akan memperoleh tambahan PNBP dari pungutan limbah kayu perusahaan A sebesar USD69.253,98 per tahun, dan dari pungutan limbah kayu perusahaan B sebesar USD154.650,03 per tahun (Tabel 6). Dengan kata lain, pengenaan pungutan pada pemanfaatan limbah kayu dari pemanenan di hutan alam dapat menambah PNBP sektor kehutanan per perusahaan contoh antara USD69.253,98-154.650,03per tahun atau Rp900 juta–Rp2,0 miliar per tahun.
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
237
Tabel 7. PNBP potensial dari pungutan limbah kayu pemanenan hutan tanaman di perusahaan C Table 7. Potential PNBP of wood waste royalty from harvesting of plantation forest in company C Tahun (Year)
Volume limbah kayu (Wood waste volume) (m3) Akasia
2010 2011 2012 2013 2014 Total Rata-rata (Average)
PNBPPotensial (Potential PNBP) (Rp)
Ekaliptus
77.738 196.717 259.576 272.916 274.718 1.081.665 216.333
20.831 41.996 94.718 104.487 101.116 363.148 72.630
Akasia 22.077.500 55.867.577 73.719.470 77.508.064 78.019.988 307.192.599 61.438.520
Ekaliptus 5.916.036 11.926.972 26.899.860 29.674.337 28.716.866 103.134.071 20.626.814
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2014
Estimasi secara nasional dapat menggunakan Jatah Produksi Tahunan (JPT). JPT ditentukan berdasarkan jumlah pohon layak tebang per ha (N/ha), volume pohon layak tebang (m3/pohon), luas hutan “produktif ” (ha), faktor eksploitasi (FE), dan faktor pengaman (FP). Dengan mengalikan unsur-unsur tersebut diperoleh besarnya JPT. Dengan menggunakan FE 0,70 dan FP 0,87, JPT nasional tahun 2014 adalah 9,1 juta m 3 (Kementerian Kehutanan, 2014). Limbah BBC nasional dapat diperhitungkan berdasarkan JPT, karena besarnya BBC sebenarnya melekat pada FE. Perubahan FE menunjukkan perubahan limbah BBC yang ditinggalkan dimana semakin besar FE maka semakin rendah volume limbah BBC yang ditinggalkan dan sebaliknya. Dengan membandingkan FE yang sekarang dan FE hasil eksperimen tree length logging maka besarnya limbah BBC dapat dihitung. Dari hasil eksperimen tree length logging diketahui bahwa FE rataan adalah 0,87 (Idris et al., 2012).Dengan demikian ada perbedaan FE sebesar 0,17 (0,870,70). Besarnya perbedaan tersebut merupakan besarnya limbah BBC nasional, dan jika dikalikan JPT nasional (9,1 juta m3), diperoleh1.547.000 m3. Jika limbah BBC tersebut dikenakan pungutan USD2 per m3maka besarnya pungutan dari limbah kayu BBC secara nasional adalah USD3.094.000 atau Rp38,7 miliar. 2. Limbah kayu pemanenan di hutan tanaman Jika limbah kayu pemanenan hutan tanaman di perusahaan C dikenakan pungutan Rp284/m3 pada Tabel 7 disajikan rataan PNBP/tahun dari limbah
kayu di perusahaan C adalah Rp61,4 juta untuk jenis akasia dan Rp 20,6 juta untuk jenis ekaliptus atau total sebesar Rp 82,0 juta. Dengan asumsi jumlah perusahaan HTI secara nasional yang telah berproduksi sejak tahun 2006 sebanyak 133 perusahaan (Kementerian Kehutanan, 2014) dan besarnya limbah mengikuti besarnya limbah kayu di perusahaan contoh, yaitu 216.333 m3/tahun untuk akasia dan 72.630 m3/tahun untuk ekaliptus, maka total potensi limbah nasional adalah 38.432.025 m3/tahun, yang terdiri dari akasia, 28.772.289 m3/tahun dan ekaliptus, 9.659.790 m3/tahun. Dengan dikenakan pungutan limbah kayu Rp284/m3 , maka penerimaan PNBP potensial dari pungutan limbah kayu pemanenan hutan tanaman adalah Rp10,9 miliar/tahun, terdiri dari akasia, Rp8,2 miliar/tahun dan ekaliptus, Rp2,7 miliar/tahun. C. Masalah dan Tantangan 1. Pungutan pada pemanfaatan limbah kayu Berdasarkan PP No 12 tahun 2014, besarnya DR ditentukan berdasarkan pembagian wilayah, kelompok jenis, dan kelas diameter. Pembedaan tarif DR, menurut Soedomo (2013), dapat menaikkan PNBP dan menekan limbah pembalakan. Menurut PP No 12 tahun 2014, Kayu Bulat Kecil (KBK), yang berdiameter kurang dari 30 cm, dikenakan pungutan DR. Namun KBK yang berdiameter kurang dari 30 cm tidak dibedakan dan dikenakan pungutan DR USD4,0/m3, yang dalam peraturan perundangundangan sebelumnya dimasukkan ke dalam
238 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
kelompok limbah pembalakan dan dikenakan pungutan DR USD2,0/m3. Selain dikenakan pungutan DR, menurut PP No 12 tahun 2014, kayu dari hutan alam juga dikenakan pungutan PSDH. Seperti DR, besarnya PSDH juga didasarkan pada pembagian wilayah, kelompok jenis, dan kelas diameter. Namun seperti pada DR, KBK yang berdiameter kurang dari 30 cm tidak dibedakan dan dikenakan PSDH 10% dari harga patokan (PP12 tahun 2014). Besarnya harga patokan KBK yang berdiameter kurang dari 30 cm adalah Rp300.000 per m3 (Permenhut P.68/Menhut-II/2014). Berdasarkan PP12 tahun 2014, pungutan DR tidak dikenakan pada kayu dari hutan tanaman. Kayu dari hutan tanaman hanya dikenakan pungutan PSDH. Namun menurut Soedomo (2012), produksi hutan tanaman yang diusahakan oleh swasta sebaiknya dibebaskan dari segala bentuk pungutan langsung di hulu, kecuali PBB yang dihitung berdasarkan soil expectation value dari kawasan yang digunakan. Besarnya PSDH dari kayu hutan tanaman adalah 6% dari harga patokan (PP12 tahun 2014). Besarnya harga patokan kayu hutan tanaman didasarkan pada areal kerja, jenis kayu dan kelas diamater. Berdasarkan areal kerjanya, harga patokan kayu hutan tanaman dibedakan ke dalam dua golongan: (1) kayu hutan tanaman industri (HTI), (2) kayu Perum Perhutani dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Termasuk ke dalam jenisjenis kayu HTI adalah: (1) pinus/tusam, (2) akasia, (3) balsa, (4) ekaliptus, (5) gmelina, (6) karet, (7) sengon, dan (8) jenis kayu bulat lainnya. Termasuk ke dalam jenis-jenis kayu Perum Perhutani dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah: (1) kayu bulat jati dan sonokeling, (2) kayu bulat rimba indah (sonobrit, mahoni), (3) kayu bulat jenis pinus, damar, sengon, balsa, ekaliptus, jabon, akasia, karet dan gmelina, (4) kayu bulat rimba campuran lain dan (5) rasamala (Altingia excelsa Naronha). Dengan demikian, keberadaan limbah kayu dari pemanenan di hutan alam dan hutan tanaman secara spesifik belum disebutkan di dalam regulasi yang baru (PP 12 tahun 2014; Permenhut P.68 tahun 2014). Sebaliknya dalam regulasi yang lama, misalkan PP 59 tahun 1998 mendefinisikan limbah pembalakan sebagai kayu yang tidak atau belum dimanfaatkan pada kegiatan pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang, yang berupa: (1) sisa pembagian batang, tunggak, ranting, dan pucuk, yang berdiameter kurang dari 30 cm, atau (2) panjang kurang dari 1,2 m. Selain
limbah pembalakan, PP 59 tahun 1998 juga menyebutkan kayu bulat diameter kecil (KBK), yaitu kayu bulat yang berdiameter <30 cm, dan bahan baku serpih (BBS) yakni kayu bulat diameter kecil yang akan diolah menjadi serpih (Lampiran PP 59 tahun 1998). Di perusahaan A dan B, limbah kayu yang ditemukan berdiameter lebih dari 30 cm dan memiliki panjang yang bervariasi, yang dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan: (1) kurang dari 1,3 m, (2) antara 1,3–2,6 m, (3) 2,6–4 m, dan (4) lebih dari 4 m. Sedangkan di perusahaan C, limbah kayu dari pemanenan hutan tanaman berdiameter kurang dari 5 cm. Dengan menggunakan definsi limbah kayu seperti dalam PP 59 tahun 1998, limbah kayu di perusahaan A dan B, yang berukuran panjang di atas 1,3 m tidak dapat dikelompokkan sebagai limbah pembalakan yang berdiameter <30 cm atau panjang <1,2 m (PP 59 tahun 1998). Limbah kayu di perusahaan A dan B seharusnya dikategorikan sebagai “kayu bulat” (yang dapat dimanfaatkan seperti batang utama) kecuali yang panjangnya <1,3 m dan berdasarkan PP 12 tahun 2014 dan Permenhut P.68 tahun 2014 sebenarnya dapat dikenakan pungutan PSDH dan DR. Namun pengusaha hutan umumnya mengangkut kayu bulat (diameter >50 cm) sebagai sawn timber dengan panjang minimal 8 m (kelipatan 4 m). Konsekuensinya, limbah kayu di perusahaan A dan B dengan diameter >50 cm dan panjang >1,3 m tidak dimanfaatkan dan diperlakukan sebagai limbah kayu. Dalam kasus hutan tanaman, limbah kayu di perusahaan C berdiameter kurang dari 5 cm, sehingga dapat dikategorikan sebagai limbah pembalakan berupa kayu berdiameter kurang dari 30 cm namun PP 59 tahun 1998 tidak mencantumkan limbah pembalakan di hutan tanaman. PP 59 tahun 1998 hanya menyebutkan KBK dalam kelompok jenis kayu Perum Perhutani dan Daerah Istimewa Yogyakarta, namun karena tidak menjelaskan ukuran diameter sebagai persyaratan, limbah kayu di perusahaan C tidak dapat dikategorikan sebagai KBK (berdiameter kurang dari 30 cm). Pertanyaannya adalah jika limbah kayu tersebut layak dimanfaatkan sebagai bahan baku serpih kayu, vinir atau kayu gergajian, apakah perlu dikenakan pungutan DR dan PSDH terhadap limbah kayu yang berasal dari pemanenan di hutan alam dan pungutan PSDH terhadap limbah kayu dari pemanenan di hutan tanaman? Pungutan
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
239
PSDH dan DR merupakan pungutan yang langsung mempengaruhi perilaku pemegang IUPHHK melalui pengaruhnya terhadap biaya dan laba (Astana et al., 2014). Oleh karenanya pungutan PSDH dan DR dapat digunakan untuk memperkuat dorongan pemanfaatan limbah kayu di hutan. Pertama, mengenakan pungutanPSDH dan DR pada limbah kayu dari hutan alam sebagai upaya meningkatkan efisiensi pemanfaatan hutan atau menurunkan volume limbah kayu di hutan alam. Kedua, mengenakan suatu pungutan PSDH pada limbah kayu di hutan tanaman sebagai upaya meningkatkan efisiensi pemanfaatan hutan atau pemanfaatan limbah kayu di hutan tanaman. Sisa kayu yang ditinggalkan di hutan alam maupun hutan tanaman seharusnya tidak dipandang sebagai limbah tetapi sebagai bahan baku kayu yang ekonomis untuk dimanfaatkan. Dengan kata lain, pemanfaatan hutan secara efisien atau pengurangan limbah kayu di petak tebang sulit diharapkan akan terwujud jika tidak dibarengi oleh pemberian insentif dan disinsentif atas pemanfaatan hutannya. Namun demikian, Karsenty (2010) menyatakan bahwa potensi instrumen fiskal dalam mendorong SFM tidak boleh terlalu ditekankan, tetapi pengaruhnya kemungkinan bisa saja ada jika pengenaan pungutan tidak dilakukan secara sendirian tetapi sebagai tambahan dalam seperangkat tindakan dan kebijakan publik. Sedangkan Soedomo (2005) menyatakan bahwa rendahnya pungutan yang ditetapkan pemerintah sebagai kesalahan struktural yang sebenarnya merupakan penyebab primer kerusakan hutan. 2. Teknologi pemanfaatan limbah kayu Upay a pemerintah dalam mendorong pemanfaatan limbah kayu dilaksanakan salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)Nomor P.35/MenhutII/2008 tentang izin usaha industri primer hasil hutan sebagaimana telah diubah dengan Permenhut P.9/Menhut-II/2009. Dalam perkembangannya, kedua peraturan menteri tersebut (dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi) digantikan dengan Permenhut P.55/Menhut-II/2014 tentang izin usaha industri primer hasil hutan. Permenhut P.55/Menhut-II/2014 kemudian juga (dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi) digantikan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permenlhk) P13/Menlhk-II/2015
tentang izin usaha industri primer hasil hutan. Dalam Permenlhk P13/Menlhk-II/2015 Pasal 23 ayat (1) menyebutkan: “Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUI-PHHK) dan/atau Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu IUI-PHHBK dapat diberikan dalam areal kerja IUPHHK atau IUPHHBK atau Pengelola Hutan dengan jenis industri yang bahan baku utamanya berasal dari IUPHHK atau IUPHHBK atau Pengelola Hutan”. Kemudian pada ayat (3): “IUIPHHK dan/atau IUIPHHBK dalam areal ker ja berlaku sepanjang IUPHHK atau IUPHHBK atau Pengelolaan Hutan berlaku. Sedangkan Pasal 24 menyebutkan: “IUIPHHK dan/atau IUIPHHBK di dalam areal kerja IUPHHK atau IUPHHBK atau Pengelola Hutan, dapat diberikan kepada: (a) Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK, dan (b) Pengelola Hutan. Pada Pasal 26 ayat (1) disebutkan : “Industri Portable Pengolahan Kayu (IPPK) dapat beroperasi dan diberikan kepada : (a) Pemegang IUPHHK dan (b) Pengelola Hutan”. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan: “Jenis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk mengolah limbah pembalakan di areal pemegang IUPHHK HA/HPH atau Pengelola hutan”. Pada ayat (3) disebutkan: “Pengecualian ayat (2) dapat digunakan di areal IUPHHK-HT/HTI atau HTR”. Sedangkan pada ayat (4) disebutkan: “Jenis mesin portable sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain portable band saw atau portable circular saw dan/atau portable rotary peeler atau portable slicer dan/atau portable chipper. Masing-masing teknologi tersebut dapat memberikan tambahan produksi: (1) vinir, (2) kayu gergajian dan serpih, yang berasal dari hasil pengolahan limbah kayu. Namun persoalannya adalah bagaimana mengeluarkan volume kayu sebesar mungkin dari petak tebang ke TPn? Hasil penelitian Suhartana dan Yuniawati (2011) menunjukkan bahwa produktivitas pembalakan dengan teknik Reduced Impact Logging (RIL) lebih tinggi dibanding cara konvesional. Ini berarti teknik RIL dapat menaikkan volume kayu hasil penebangan sehingga potensi limbah kayu di petak tebang dapat diperkecil. Hasil penelitian faktor eksploitasi (FE) hutan selama tahun 1985-2011 di beberapa pengusahaan hutan menunjukkan FE rataan 0,82 (Idris et al., 2012). Ini berarti telah terjadi peningkatan FE sebesar 0,12 dari kondisi sebelumnya (0,70) atau terjadi peningkatan
240 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
efisiensi pemanfaatan kayu 12%. Idris dan Soenarno (2015) menjelaskan peningkatan FE tersebut akan semakin besar bila pemanenan kayu dilakukan menggunakan metode tree length logging. 3. Tatausaha pemanfaatan limbah kayu Meskipun regulasi dan teknologi telah tersedia, pemanfaatan limbah kayu masih belum optimal. Ini karena limbah kayu tersebut masih dinilai sebagai “fully waste”, bukan dinilai sebagai “good” sehingga tidak ditarik pungutan (DR dan PSDH) dan konsekuensinya tidak ada kesadaran atau keinginan perusahaan untuk memanfaatkannya. Belum adanya aturan yang jelas tentang tata usaha pemanfaatan limbah kayu di hutan alam dan hutan tanaman menyebabkan perusahaan khawatir dikenakan sanksi pelanggaran jika memanfaatkannya. Tata usaha yang tersedia adalah tata usaha untuk produk utama hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu, sedangkan untuk limbah kayu belum tersedia. Dalam kasus limbah kayu di petak tebang hutan alam, tata usaha hasil hutan kayu mungkin dapat digunakan sebagai aturan limbah kayu, karena sortimen limbah kayu di hutan alam dapat diukur secara langsung (tanpa konversi) menggunakan satuan m3. Sebaliknya dalam kasus hutan tanaman, tata usaha hasil hutan kayu tidak dapat digunakan untuk limbah kayu, karena sortimen limbah kayu di hutan tanaman lebih mudah diukur menggunakan satuan staple meter (sm) atau ton. Dalam kasus hutan tanaman, pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP) limbah kayu di petak tebang mengharuskan pembuatan satuan staple meter limbah kayu di petak tebang. Secara teknis, pembuatan staple meter di petak tebang mempunyai permasalahan: (1) ukuran limbah yang beragam menyulitkan pembentukan ukuran staple meter yang diinginkan, (2) lokasi limbah yang tersebar di petak dalam jumlah yang kecil menyulitkan pengumpulannya. Secara ekonomis, pembentukan staple meter di petak tebang akan membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif besar. Konsekuensinya, biaya pengumpulan dan pembuatan staple meter limbah akan menjadi relatif tinggi. Secara teknis pengolahan limbah kayu ekalipus dan akasia untuk bahan baku serpih-wood pellet tidak terdapat permasalahan. Limbah kayu akasia dan ekaliptus dapat diolah dengan menggunakan portable chipper atau diolah langsung di mesin chipper-woodpellet. Namun untuk pengangkutannya ke pabrik,
ada permasalahan cara mana yang lebih efisien: diangkut dalam bentuk serpih atau dalam bentuk limbah? Hasil penelitian Wesman et al. (2014) menunjukkan bahwa ekaliptus dalam bentuk serpih cenderung bulky (volume serpih lebih besar dari volume limbah), sehingga pengangkutannya lebih efisien dalam bentuk limbah. Sedangkan untuk akasia, bentuk limbah cenderung lebih bulky (volume serpih lebih kecil dari volume limbah), sehingga pengangkutannya lebih efisien dalam bentuk serpih. Implikasinya, penataausahaan limbah kayu masing-masing jenis akan menjadi berbeda. Pada kasus perusahaan C, pembuatan LHP sebaiknya di jembatan timbang luar kawasan (sekitar 4 km atau pada km 48). Ini berarti jika diangkut dalam bentuk limbah (ekaliptus) maka angka konversi limbah ke serpih tidak diperlukan, sedangkan jika diangkut dalam bentuk serpih (akasia) maka angka konversi limbah ke serpih diperlukan. Pemerintah perlu menetapkan standar “limbah” untuk penentuan PSDH. Angka konversi limbah ekaliptus adalah 1 ton = 1,98 m3, dan akasia adalah 1ton = 1,41 m3. Dengan karakteristik dan lokasi limbah kayu seperti itu, cara yang relatif mudah untuk pengukuran secara langsung limbah kayu adalah dalam satuan volume staple meter (sm). Namun cara tersebut untuk pengumpulan dan penumpukan memerlukan: (1) tenaga kerja yang relatif banyak, (2) jangka waktu yang relatif lama, dan (3) biaya yang relatif mahal. Cara yang lebih mudah, cepat dan murah untuk pengukuran limbah kayu pemanenan di hutan tanaman adalah dengan satuan berat (ton). Menurut Endom dan Soenarno (2014), satuan berat mempunyai tingkat akurasi yang relatif tinggi meskipun perlu investasi timbangan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Volume limbah kayu dari pemanenan hutan alam yang potensial sebagai bahan baku vinir, kayu gergajian dan serpih kayu secara nasional minimal sebesar 1,5 juta m3/tahun, sedangkan dari pemanenan hutan tanaman sebagai bahan baku woodpellet sebesar 38,4 juta m3/tahun. Potensi limbah kayu pemanenan tersebut belum dimanfaatkan dan jika dimanfaatkan dan
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
241
dikenakan pungutan sebesar USD2/m3 untuk limbah kayu dari hutan alam dan Rp284/m3 untuk limbah kayu dari hutan tanaman, maka PNBP sektor kehutanan secara potensial diperkirakan akan meningkat sebesar Rp 49,6 miliar/tahuna. B. Rekomendasi Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan hutan alam atau menekan limbah kayu di petak tebang hutan alam pemerintah perlu memberlakukan kebijakan: (1) Penerapan metode tree length logging untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu (FE), (2) Pengenaan pungutan (PSDH dan DR) pada limbah kayu yang ditinggalkan di hutan alam , (3) Penggunaan peralatan portabel mesin pengolahan kayu (portable saw mill, portable cheeper, portable slicer) untuk meningkatkan nilai tambah. Sedangkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan hutan tanaman atau menekan limbah kayu di petak tebang hutan tanaman pemerintah perlu memberlakukan kebijakan: (1) Pengenaan tarif PSDH limbah yang diolah di lokasi penebangan dengan menggunakan portabel mesin perlu didasarkan pada satuan berat (ton) yang ditimbang di lokasi penebangan, sedangkan yang langsung diolah di pabrik didasarkan pada satuan berat yang ditimbang di lokasi pabrik, (2) Besarnya tarif PSDH limbah hutan tanaman dihitung berdasarkan rasio antara volume limbah kayu terhadap volume produksi kayu dikalikan besarnya tarif PSDH yang berlaku. Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur tata usaha limbah kayu agar pemanfaatannya memiliki landasan legalitas. Dengan beragam kebijakan tersebut diharapkan pemanfaatan hutan secara lebih efisien atau pengurangan limbah kayu di petak tebang dapat diharapkan secara finansial menjadi layak diusahakan dan produk yang dihasilkan menjadi legal diperdagangkan.
264. Endom, W. dan Soenarno (2014). Angka konversi limbah pembalakan hutan tanaman PT Korintiga Hutani di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah (Laporan Hasil Penelitian). Bogor: Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Endom, W., Soenarno dan Idris, M.M. (2014). Mesin portable chipper sederhana untuk pemanfaatan limbah tebangan. Seminar N a s i o n a l . B o g o r : Pe n e l i t i a n d a n Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Idris, M.M., Dulsalam, Soenarno dan Sukanda (2012). Revisi faktor eksploitasi untuk optimasi logging. Prosiding Ekspose HasilHasil Penelitian Tahun 2012. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Idris, M.M. dan Soenarno (2015). Penerapan metode tree length logging skala operasional di areal teknik silvikultur intensif: Studi kasus di PT Sarmiento Parakanca Timber Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(1), 19-34. Karsenty, A. (2010). Forest taxation regime for tropical forests: lessons from Central Africa. International Forestry Review, 12 (2), 121-129. M a t a n g a r a n , J. R . , P a r t i a n i , T. d a n Purnamasari,D.R. (2013). Faktor eksploitasi dan kuantifikasi limbah kayu dalam rangka peningkatan efisiensi pemanenan hutan alam. Jurnal Bumi Lestari, 13 (2), 384-393. Kementerian Kehutanan (2014). Statistik Kehutanan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan (2013). Statistik Kehutanan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA Astana, S., Soenarno, Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251-
Muljono. (1984). Pengantar pembalakan. Cetakan keempat. Semarang: Yayasan Kanisius. Peraturan Pemerintah No 59 tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departmen Kehutanan dan Perkebunan. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 1999 tentang
242 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 227-243
Perubahan Peraturan Pemerintah No 59 tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departmen Kehutanan dan Perkebunan. Peraturan Pemerintah No 92 tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No 59 tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departmen Kehutanan dan Perkebunan. Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/MenhutII/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 9/MenhutII/2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/MENHUTII/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 55/MenhutII/2014 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P. 13/Menlhk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 68/MenhutII/2014 tentang Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan, Ganti Rugi Tegakan dan Penggantian Nilai Tegakan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Peraturan Menteri Perdagangan No 08/MDAG/PER/2/2007 tentang Penetapan Harga Patokan Untuk Perhitungan PSDH Kayu dan Bukan Kayu.
Peraturan Menteri Perdagangan No 22/MDAG/PER/4/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 12/MDAG/PER/3/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan Provisi Sumber Daya Hutan. Lampiran II: Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan Provisi Sumber Daya Hutan. Soedomo, S. (2013). Double dividend from tariff differentiation of reforestation fund. Journal of Tropical Forest Management, 19 (2), 163-167. Soedomo, S. (2012). Jenis pungutan kehutanan dari perspektif ekonomi sumber daya alam. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18 (1), 6067. Soedomo, S. (2005). Efek perilaku korup birokrat kehutanan pada kelestarian hutan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 11 (1), 49-56. Soenarno (2014). Potensi dan karakteristik limbah pembalakan pada PT. Kemakmuran berkah Timber Provinsi kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(2), 151-166. Soenarno. (2014a). Efisiensi pembalakan dan kualitas limbah pembalakan di hutan tropika pengunungan: Studi kasus di IUPHHK-HA PT. Roda Mas Timber Kalimantan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32 (1), 45-61. Sona, S. & Yuniawati (2011). Peningkatan produktivitas pemanenan kayu melalui teknik pemanenan kayu ramah lingkungan : studi kasus di satu perusahaan rawa gambut di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(4), 369-384. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014.
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu ..... (Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom)
243
INDEKS SUBJEK A Analisis multidimensi Analisis kesenjangan, Anggaran dan koordinasi para pihak Area hijau Alas hak
99 1 13 59
B Biodiesel
31
C Cendana
1
D Daya serap CO2 Distribusi nilai tambah Daur optimal Distribusi nilai tambah DAS E Emisi CO2 G Getah jelutung Gmeilina H Hutan Rakyat Hutan kota HHBK unggulan Hutan alam Hutan tanaman J Jumlah daun
59 77 111 77
59 43 111 77, 111 13,67 43 227 227 67
K Kayu sengon 77 Kayu bambang lanang 89 Kayu papi, 1 Keterbatasan lahan 13 Kelayakan 31 Kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) 31 Konflik agraria 213 KPHP 213 Kearifan lokal 163
L Lahan tersedia Luasan ideal Luas daun Limbah kayu
31 59 67 227
M Metode karbohidrat Memaksimalkan keuntungan Masyarakat
67 111 163
P Petani Penduduk Pluralisme hukum Pemanenan Penerimaan negara bukan pajak Penilaian kerentanan Pemangku kepentingan
77, 89 13 213 227 227 177 197
S Saluran pemasaran Status keberlanjutan Sistem kebersamaan ekonomi Studi literatur Serapan CO2 Sub DAS Keduang Sistem Informasi Geografis (SIG) Sumber daya air
89 99 43 1 67 149 149 177
T Tanah ulayat Tekanan Penduduk pada lahan (TP) Tata kelola pariwisata Taman Nasional Bunaken Tumbuhan obat Taman Nasional Aketajawe Lolobata
213 149 197 197 163 163
U Usahatani agroforestry V Variabilitas iklim
99 177
INDEKS PENGARANG A Aneka Prawesti Suka Aziz Umroni Abdul Mutolib Agus Wuryanta B Bambang Tejo Premono Bondan Winarno C Cecep Kusmana D Dudung Darusman E Endes N Dahlan Elvida Yosefi Suryandari Eko Pujiono E.K.S. Harini Muntasib
77 1 213 149 89 89 31 31 67 13 177 197
H Heny Rianawati Hanung Ismono Heri Santoso Hariadi Kartodihardjo Hendra S. Mokodompit
1 213 197 197 163
I Idin Saepudin Ruhimat Iis Alviya
99, 131 13
K Kirsfianti Linda Ginoga
77
L Lis Nurrani M Marinus Kristiadi Harun Mohamad Iqbal M. Siarudin N Nunung Parlinah
163 43 67 111, 121 77
P Pranatasari Dyah Susanti
149
R R. Mohamad Mulyadin R. Esa Pangersa Gusti Retno Setyowati Rinekso Soekmadi Rachmad Hermawan
59 59 177 197 67
S Setiasih Irawanti Sri Lestari Siswadi Satria Astana Soenarno Supratman Tabba
77 89 1 227 227 163
W Wening Sri Wulandari Wesman Endom Widiaktmaka
31 227 31
Y Yonky Indrajaya Yonariza
111, 121 213
JURNAL PENELITIAN SOSIAL EKONOMI DAN EKONOMI KEHUTANAN Volume 12 No. 1 Aziz Umroni, Heny Rianawati, & Siswadi Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi (Exocarpus latifolia R.Br) dengan Cendana (Santalum album Linn) di Nusa Tenggara Timur, Indonesia
1-12
Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyelenggaran Hutan Kota
13-30
Wening Sri Wulandari, Dudung Darusman, Cecep Kusmana, & Widiatmaka Kajian Finasial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) pada Lahan Tersedia di Jawa Barat
31-42
Marinus Kristiadi Harun Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan Gambut
43-57
R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti Analisi Kebutuhan Luasan Area Hijau berdasarkan Daya Serap CO2 di Kota Malang, Jawa Timur
59-66
Mohamad Iqbal, Rachmad Hermawan, & Endes N. Dahlan Potensi Serapan Karbondioksida beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau Jalan Raya Pajajaran, Bogor 67-76 Volume 12 No. 2 Nunung Parlinah, Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, & Kirsfianti L. Ginoga Distribusi Nilai Tambah dalam Rantai Nilai Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) dari KabupatenPati, Jawa Tengah, Indonesia
77-87
Sri Lestari, Bondan Winarno, & Bambang Tejo Premono Saluran Pemasaran Kayu pertukangan Jenis Bambang Lanang (Michelia champaca) yang Menguntungkan Petani di Sumatera Selatan
89-97
Idin Saepudin Ruhimat Status Keberlanjutan Usahatani Agroforestry pada Lahan Masyarakat: Studi Kasus di Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat 99-110 Yonky Indrajaya & M.Siarudin Daur Tebang Optimal Hutan Rakyat Gmeilina (Gmeilinaarborea Roxb.) di Tasikmalaya dan Banjar, Jawa Barat, Indonesia
111-119
Yongky Indrajaya & M.Siarudin Pengaturan Hasil Agroforestry Jabon (Neolamarkcia cadamba Miq.) dan Kapulaga (Amomum compactum) di Kecamatan Pakenjeng, Garut, Jawa Barat 121-130 Idin Saepudin Ruhimat Tingkat Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestry
131-147
Volume 12 No. 3 Agus Wuryanta & Pranatasari Dyah Susanti Analisis Spasial Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian di Sub Das Keduang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
149-162
Lis Nurrani, Supratman Tabba & Hendra S. Mokodompit Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara
163-175
Eko Pujiono & Retno Setyowati Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas Iklim di DAS Aesesa, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur 177-195 Heri Santoso, E.K.S. Harini Muntasib, Hariadi Kartodihardjo & Rinekso Soekmadi Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara
197-211
Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, & Hanung Ismono Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus pada Masyarakat Suku Melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat)
213-225
Satria Astana, Soenarno & Wesman Endom Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Limbah Kayu Pemanenan di Hutan Alam dan Hutan Tanaman
227-243
PETUNJUK BAGI PENULIS
GUIDE FOR AUTHOR(S)
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
LANGUAGE: Manuscripts must be written in Indonesia language or English.
FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas dikosongkan minimal 3,5 cm. Jumlah kata setiap naskah berkisar dari 4.000-6.000 kata.
FORMAT: Manuscripts should be typed with double space, Times New Roman, font 12, on one face of A4, white paper, with all margins at least 3.5 cm. The number of words in each manuscript ranges from 4,000-6,000 words.
JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, har us mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung.
TITLE: Use 2 languages, should reflect the content of manuscript and written with Times New Roman. Bahasa Indonesia: use font 14, capital letter and not more than 2 lines. English: use font 12, lower case, italic and all put in parenthesis.
IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi, no. telp./faks. serta alamat e-mail penulis.
AUTHOR(S) IDENTITY: The name of author(s) (without degree and position) follow immediately under the title, followed by his/her institution and its address, phone/fax numbers and e-mail address.
ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
ABSTRACT: Written in 2 types: type 1 is for abstract sheet, consists of 100 words maximum; and type 2 is for abstract consists of 200 words maximum, both showing the essence of the manuscript as a whole and be informative. Both abstracts are written in English and Indonesia language.
KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak.
KEYWORDS: Written after each abstract, with 5 entries maximum, follow the Abstract Sheet and Abstract languages.
SISTEMATIKA PENULISAN:
SYSTEMATICS OF WRITING:
Hasil penelitian: Judul Identitas Penulis Abstrak & Kata Kunci I. PENDAHULUAN II. METODE PENELITIAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Lampiran
Research results: Title Author(s) Identity Abstract & Keywords I. INTRODUCTION II. RESEARCH METHODS III. RESULTS AND DISCUSSION IV. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS BIBLIOGRAPHY Appendix
Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Bab a, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab 1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Bab a), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab
Body text arranged in chapters and sub-chapters in a manner consistent with the requirements. All number are written left justified, such as: I, II, III, etc. for Chapter A, B, C, etc. for Sub Chapter 1, 2, 3, etc. for Sub Sub Chapter a, b, c, etc. for Sub Sub Sub Chapter 1), 2), 3), etc. for Sub Sub Sub Sub Chapter a), b), c), etc. for Sub Sub Sub Sub Sub Chapter
TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris..
TABLE: Numbered, titled and provided with all necessary remarks, written both in Indonesia language and English.
GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras, masingmasing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
FIGURE: Figure must be drawn in high contrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
PHOTO: Must be in food contrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
DAFTAR PUSTAKA: Merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style, dengan contoh penulisan sebagai berikut:
BIBLIOGRAPHY: References that are cited in the text, recommended mainly those published in the last 5 years. Writing format referring to the American Psychological Association (APA) style, with examples as follow:
Buku teks (textbook): Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press. Jurnal (Journal): Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45. Kumpulan tulisan yang diedit/Prosiding (Compilation of edited papers/Proceedings): Booth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press. Laman (Web): Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823. (tanggal, bulan, tahun diunduh) Surat kabar (Newspaper): Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The Washington Post. p.A3. Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya: Undang-Undang No........ Tahun ...... Tentang ........................................................................................................ CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.
NOTES: Uses of point and comma in number writing: Manuscripts (text) in Indonesia language: point (.) for thousand multiple and comma (,) for fraction. Manuscripts (text) in English: point (.) for fraction and comma (,) for thousand multiple.
KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.
CONDITIONS: Editors have the authorities to revise manuscript(s) without changing the content, and to reject inappropriate manuscript(s). Author(s) from outside the Forest Research and Development Agency must submit his/her CV and complete address.