ISSN 0852-9612
BULETIN PENGUJIAN MUTU OBAT HEWAN
Nomor : 11, TAHUN 2005
BALAI BESAR PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI OBAT HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DEPARTEMENPERTAN~N 2005
ISSN: 0852-9612
BULETIN
PENGUJIAN MUTU DBAT HEWAN Nomor : 11, Tahun 2005
Diterbitkan oleh : Billai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian
Alamat: Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan n. Pembangunan, Gunung Sindur, Bogor - 16340 Telepon: 62.21.7560489; 75871676 Fax. : 62.21.7560466 E-mail:
[email protected]
Dewan Redaksi : Penanggung Jawab
Drh. Dewa Made Ngurah Dharma, MSc., PhD. Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
Ketua
Drh. Endang Susanto
Sekretaris
Drh. Sumadi, MSi
Anggota
Drh. Ida Lestari S. MSc. Drh. Fadjar STR, PhD Drh. I Gusti Agung Gde Anom Drh. Enuh Raharjo Jusa, Phd.
Redaksi Pelaksana
Ipat Hikmatul Isro Budi Kirwanto
Buletin Pengujian Mutu Ohat Hewan No. 11 Tahun 2005
ISSN : 0852-9612
DAFTAR ISI Halaman
1.
2.
3.
Isolasi dan Identifikasi Biokimiawi Pasteurella multocida asal Sapi yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cakung Sumadi, Pasaribu F. H., Pudjiatmoko, Mariana S., Irawati T dan Amijaya D.
1
Detection of Antibody against Infectious Laryngo Tracheitis from Several Provinces in Indonesia Using Serum Neutralization Test (SNT) and Indirect Fluorescence Antibody Technique (IFAT) Soedijar, I. L., Saepulloh, M. and Daulay, K.
6
Kajian Morfologi dan Immunologi pada Ayam Specific Pathogen Free (SPF) setelah Perlakuan Vaksinasi Gumboro Strain Intermediate Syahroni B., Handharyani E., Soejoedono R.D. dan Jusa E. R.
11
Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan No. 11 Tahun 2005
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BIOKIMIAWI Pasteurella multocida ASAL SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN(RPH)CAKUNG Sumadil1, Pasaribu FH.21, Pudjiatmokol1, Mariana S.l), Irawati, T.l) dan Amijaya, D.l) 2)
')Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Gbat Hewan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT Pasteurella multocida was isolated from upper respiratory tracts of cattle slaughtered at Cattle Slaughter House in Cakung, East Jakarta. The swab specimens were inoculated onto desoxycholate agar CDSA) and the bacteria was identified based on morphology, Gram stain, haemolysis on the blood agar plate, growth on MacConkey agar media, glucose and lactose fermentation, indole production, oxidase test and catalase test. Ten field isolates were obtained from 91 specimens, namely Pm lL-3, Pm lL-9, Pm lL-13, Pm lL-20, Pm IL-25, Pm lL-30, Pm lL-32, Pm lL-61, Pm lL-71 and Pm lL-76.
PENDAHULUAN Studi ini dilakukan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Gunung Sindur, Bogor. Spesimen berupa cotton swab saluran pernafasan bagian atas sapi sehat yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sapi Cakung, Jakarta Timur. P multocida adalah bakteri Gram negative, berbentuk coccobacillus (batang pendek) yang hidup normal pada nasopharynx dari berbagai species (Kuhnert et al., 2000). Banyak strain bakteri P multocida yang menunjukkan adanya kapsul polysaccharide pada permukaannya dan dapat dibedakan secara serologi dengan antigen kapsular ke dalam serotipe A,B, D dan E (Carter, 1967; RimIer and Rhoades, 1989). Untuk mengetahui patogenisitasnya diIakukan uji menggunakan mencit (Boyce and AdIer, 2000). Sedangkan HeddIeston et al. (1972) berdasarkan komponen lipolysaccharida membedakan serotipe somatik menjadi 1, 2, 3,4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15. Bakteri P multocida ini menyebabkan terjadinya septicaemia dan penyakit saIuran pernafasan pada hew an piaraan dan hew an liar (RimIer et al., 1995). Septicemia epizootica (SE) atau penyakit ngorok merupakan penyakit menuIar terutama pada sapi, kerbau, kadang-kadang domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri P multocida tipe tertentu, biasanya berjaIan akut, angka kematiannya tinggi, terutama pada penderita yang teIah menunjukkan tanda-tanda klinis yang jeIas. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dan sapi pada stadium
akhir akan menunjukkan gejaIa ngorok, di samping adanya kebengkakan pada daerah submandibulla dan Ieher bagian bawah, gambaran nekropsinya menunjukkan perubahan sepsis (Anonimus, 1981). Penyakit ngorok menyebabkan kematian, penurunan berat badan serta kehiIangan tenaga kerja pertanian dan pengangkutan. Kerugian akibat penyakit ngorok di Indonesia ditaksir sebesar 5,4 milyard rupiah setiap tahun. Petani sering terpaksa menjual ternaknya di bawah harga pasar untuk dipotong bagi hew an yang dagingnya masih dapat dikonsumsi (Setiawan dan Sjamsudin, 1988). Studi ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi P multocida dari RPH daIam rangka mencari kandidat seed vaksin untuk penyakit ngorok.
MATERI DAN METODA Spesimen Spesimen yang digunakan untuk isolasi P multocida berupa cotton swab nasopharynx asal sapi yang dipotong di RPH sapi miIik PD. Dharma Jaya di Cakung, Jakarta Timur. Spesimen cotton swab nasopharynx yang teIah diambil, disimpan di daIam ice box dan dibawa ke Laboratorium BaIai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Media Bahan identifikasi yang digunakan berupa isolat Iapang yang didapat pada isolasi tahap awal. Media yang digunakan Dextrose Starch Agar (DSA), Triple Sugar Iron (TSI), MacConkey agar, Tryptose Broth
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
2.
Hemolisis pada Blood Agar Untuk mengetahui sifat menghemolisa sel darah merah pada blood agar plate dilakukan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, kemudian diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Dipilih 1 koloni terpisah yang iridescent dengan ose, kemudian diinokulasi pada media blood agar 5 % dan diinkubasi pada 37°C selama 2 hari. Pada akhir inkubasi diamati terjadinya hemolisis.
(TB), Blood agar, Nutrient Broth (NB), Kovac's 0,1 % dimethyl-preagent, a-naphthol, phenylinediamine oxalate, HPz, skim milk, a1kohol 70 %, KMn04 dan formalin.
Isolasi Isolasi tahap awa1 dilakukan dengan menginokulasikan spesimen cotton swab dari nasopharynx pada media DSA yang mengandung kanamisin dan basitrasin tpasing-masing 200 /-lgper ml, kemudian diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Biakan bakteri yang tumbuh dimurnikan dengan cara mengambi1 1 koloni terpisah dengan ose dan diinokulasikan kembali pada media DSA serta diinkubasi 1agi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Biakan bakteri yang te1ah murni dipanen ke dalam skim milk 10 % sebagai isolat lapang dan disimpan pada 2-4 Qc. Biakan kuman dalam skim milk 10 % ini sebagai isolat lapang diduga bakteri P. multocida yang selarijutnya diidentifikasi.
3.
Pertumbuhan pada MacConkey Agar
Untuk mengetahui sifat pertumbuhan pada media MacConkey agar, dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media MacConkey dan diinkubasi pada 37°C selama 3 hari. Pertumbuhan bakteri diamati setiap hari.
4.
Tes Indole
Tes indole dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang da1am skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media nutrient broth dan diinkubasi pada 37°C se1ama 9-18 jam. Pada akhir pengamatan ditambahkan Kovac's reagent sebanyak 0,5 ml ke dalamnya kemudian digoyang, didiamkan se1ama 1 menit. Jika terjadi lapisan warna merah pada lapisan reagen mengindikasikan terjadi produksi indole.
Identifikasi Identifikasi dilakukan menurut Cowan (1993) dengan sedikit modifikasi. Secara umum identifikasi tersebut dilakukan sebagai berikut :
1. Morfologi dan Pewarnaan Gram Isolat lapang diduga P. multocida dalam skim milk 10 % diinokulasi pada media DSA kemudian diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Dipilih satu koloni yang terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media TB dan diinkubasi pada 37°C selama 9-18 jam. Kemudian bakteri dari biakan ini dilakukan pewarnaan Gram menggunakan metoda yang dikemukakan oleh Jawetz et at. (1976). Biakan bakteri dalam tryptose cair diambil lose, dibuat preparat apus di atas slide glass. Preparat apus difiksasi dengan panas. Selanjutnya direaksikan dengan kristal violet selama 1 menit, dicuci dengan air, direaksikan dengan Gram's iodine selama 1 menit, dicuci lagi dengan air, dihilangkan pewarnanya se1ama 10-30 detik dengan aseton 30 ml dan alkohol 70 ml, dicuci lagi dengan air, direaksikan selama 10-30 detik dengan safranin (2,5 % larutan safranin dalam 95 % alcohol) dicuci dengan air, dikeringkan dan kemudian diamati dengan mikroskop.
5.
Tes Biokimiawi
Untuk mengetahui sifat fermentasi glukosa dan laktosa di1akukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media TSI dan diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Terjadinya warna kuning pada bagian tegak mengindikasikan terjadinya fermentasi glukosa, sedangkan warna kuning pada bagian miring mengindikasikan terjadinya fermentasi laktosa.
6.
Tes Oksidase
Tes oksidase dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diamdil satu
2
Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan No. 11 Tahun 2005
koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media nutrient broth dan diinkubasi pada 37°C selama 9-18 jam. Pada akhir pengamatan ditambahkan 0,2 ml "-napthol dan 0,3 ml dimethyl-pphenylinediamine oxalate ditambahkan ke dalamnya. Warn a biru yang terjadi dalam waktu 10-30 detik menunjukkan tes oksidase positif, reaksi 1ambat yang terjadi 2-5 menit dianggap negatif. 7.
pendek yang secara normal hidup di nasopharynx pada banyak spesies hewan. Dari 41 spesimen cotton swab nasopharynx sapi yang diambil tahap pertama diperoleh 36 isolat bakteri diduga P multocida yang tumbuh pad a media DSA yang mengandung kanamisin dan basitrasin masing-masing 200 Ilg/ml, 3 spesimen tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dan 2 spesimen terkontaminasi yang tidak dapat dimumikan. Sedangkan dari 50 spesimen cotton swab nasopharynx sapi yang diambil pada tahap kedua diperoleh 47 isolat bakteri diduga P multocida yang tumbuh pada media DSA yang mengandung kanamisin dan basitrasi masing-masing 200 Ilg/ml dan 3 spesimen tidak menunjukkan adanya pertumbuhan (Tabell).
Tes Katalase
Tes katalase dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media nutrient broth dan diinkubasi pada 37°C selama 9-18 jam. Pada akhir pengamatan ditambahkan 1 ml hydrogen peroxide (HP2) ke dalamnya. Terjadinya gelembung mengindikasikan terjadinya oksidase.
Tabe1 1. Hasi1 iso1asi tahap awal spesimen cotton swab dari nasopharynx hewan sapi yang dipotong di RPH Cakung Jakarta Timur. No
8.
Kedua Pertama
Tes Urease 1
Spesimen
2
Tes urease dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media urea broth dan diinkubasi pada 37°C selama 9-18 jam. Pad a akhir inkubasi warna merah yang terjadi menunjukkan terjadinya hidrolisa urea ditambahkan 1 ml hydrogen peroxide (H202) ditambahkan ke dalamnya. Terjadinya gelembung mengindikasikan terjadinya oksidase. 9.
47 83 Tidak 63 Jumlab 36 Kontaminasi Hasil Inokulasi 20Tumbuh 9141 50 Pengambilan Tumbuh Spesimen Tahap Tahap
pada DSA
Jumlah
Selanjutnya 83 isolat bakteri diduga P multocida diinokulasikan pada media MacConkey dan TSI. Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 36 isolat bakteri yang belum terindentifikasi dari specimen yang diambil pada tahap pertama, hanya 4 isolat tidak tumbuh pada media MacConkey, memfermentasi glukosa tetapi tidak memfermentasi laktosa dan 3 isolat tidak tumbuh
Tes Motilitas
Tes motilitas dilakukan dengan menginokulasi isolat lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media tryptose broth dan diinkubasi pada 37°C selama 9-18 jam. Diambil satu ose diletakkan di atas cover glass, kemudian dipasang slide glass khusus untuk preparat hanging drop. Diamati pergerakan bakteri dengan mikroskop dengan posisi cover glass di sebelah atas.
pada media MacConkey, mempfermentasi glukosa dan laktosa. Sedangkan dari 47 isolat bakteri yang belum teridentifikasi dari specimen yang diambil pada tahap kedua hanya 3 isolat yang tidak tumbuh pada media MacConkey, memfermentasi glukosa dan laktosa. Sepuluh isolat lapang yang diduga P multocida yang mempunyai koloni iridescent, selanjutnya diberi kode Pm IL-3, Pm IL-9, PM IL-13, Pm IL-20, Pm IL-25, Pm IL-30, Pm IL-32, Pm IL-61, Pm IL-71 dan Pm IL-76 ..
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Kuhnert et al. (2000) bahwa P multocida merupakan bakteri Gram-negatif bentuk batang
3
Pm IL-25)
Buletin Pengujian Mutu Ohat Hewan No. 11 Tahun 2005
Tabel 2. Hasil identifikasi isolat lapang diduga P. multocida yang diisolasi dari spesimen cotton swab dari nasopharynx asal sapi yang dipotong di RPH Cakung, Jakarta Timur.
No Tahap 0(Pm 3Lactosa 473Glucosa 36 bakteri belum 47 Jumlah isolat 83 IL-32) Pengambilan Tahap Lactosa (-) (+) Mac Conkey Mac Conkey (-) (-) (-) Pm IL-9; Pm IL-3; IL-30 Pm (Pm IL-6l; PmIL-13 IL-71; Glucosa (+) Pm IL-76)
Tabel 3. Identifikasi Isolat Lapang P. multocida secara Biokimiawi No
-+ + -m -Katha + IL-32 IL-30 IL-20 + Pm3 PmO IL-76 IL-71 IL-61 IL-25 IL-13 IL-9 -P Pm Pm Neg neg + Garam Lactosa Indole Motilitas Oksidase Hemolisi Glucosa Urease Bentuk Jenis UjiNeg2) bp Mac Conkey neg bp Bp3) 1)
Catatan : bp = bipoler indole, oksidase dan katalase. Tabel 3 menunjukkan tidak bahwa 10 isolat lapang P. multocida menghemolisa darah, Gram-negatif, bentuk batang pendek, non motil, tidak tumbuh pada media MacConkey, memfermentasi glukosa, 7 isolat tidak memfermentase laktosa, positif terhadap tes indol, oksidase dan katalase tetapi negative terhadap test urease, hal ini didukung pendapat RimIer and Rhoades (1989) yang menyatakan bahwa P multocida tidak menghemolisa darah, non moti!, tidak tumbuh pada media MacConkey, memfermentasi glukosa, positif
Walaupun P multocida secara normal hidup pada saluran pernafasan bagian atas dari hewan sapi, namun dalam penelitian ini hanya didapatkan 10 isolat (10.9% ) dari 91 spesimen swab nasopharynx dari sapi yang dipotong di RPH Cakung (Tabel 2). Sedangkan DeRosa et al. (2000) mendapatkan 38 isolat (90%) dari 40 spesimen cotton swab nasopharynx sapi yang menunjukkan gejala klinis gangguan pernafasan. Kemudian 10 isolat lapang diduga P multocida dilanjutkan identifikasi melalui sifat menghemolisa darah, pewarnaan Gram, morfologi, motilitas, urease,
4
Buletin Pengujian Mutu Ohat Hewan No. 11 Tahun 2005
terhadap tes katalase, oksidase dan indole. P. multocida biasanya tidak memfermentase laktosa, tetapi pada penelitian ini terdapat 3 isolat yaitu Pm IL-9, Pm IL-30 dan Pm IL-32 yang memfermentasi laktosa dalam pengamatan selama 5 hari, sedangkan 7 isolat yang lain memfermentasi laktosa.
for Serotyping Pasteurella multocida from Avian Species. Avian Dis. 16:925-936. JawetszE.,J.L.Melnickand E.A.Adelberg.1976. Principles of Diagnostic Medical Microbiology: Review of Medical Microbiology. 12 th Edition. Publication Lange Medical, California, 272-288.
DAFTAR PUSTAKA
Kuhnert P., P. Boerlin, S. Emler and J. M. Krawinklerfrey. 2000. Phylogenetic analisis of Pasteurella multocida Subspecies and Moleculer Identification of feline Pasteurella multocida
Anonimus. 1981. Pendoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid I-V. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
subspecies septic a by 16s rRNA gene sequencing. Int. J. Med. Microbiology, 290:599-604. Rimier. RB. and K.R Rhoades. 1989. Pasteurella multocida : Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press. Horcout Brace Javanovich Publisher. London, 131-160.
Anonimus. 2000. Penyediaan Vaksin di Indonesia Tahun 1999. Infovet, edisi 070, Bulan Mei Tahun 2005. Carter, G.R 1967. Pasteurellosis: multocida and P haemolityca. 11:321-379.
Pasteurella Adv. Vet. Sci.
Rimier RB., K.B.Register, T. Magyar and M. R Ackenann. 1995. Influence of chondroitinase on direct hemagglutination titers and phagocytosis of Pasteurella multocida serogroup A, D and F. J Vet. Microbial. 47:287-294.
Cowan F. M and Steel's. 1993. Manual for Identification of Medical Bacteria. Barrow GI and Feltham RKA (EDS). Cambridge University Press. Great Britain. Cambridge, 225-230.
Setiawan. E.D. danA. Sjamsudin. 1988. Isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari sapi Bali di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penyakit Hewan.20:5-7.
Heddleston K.L., J. E. Gallagher and P. A. Rebers. 1972. Fowl Cholera. Gel Diffusion Precipitin Test
5
Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 1J Tahun 2005
DETECTION OF ANTIBODY AGAINST INFECTIOUS LARYNGOTRACHEITIS USING SERUM NEUTRALIZATION TEST (SNT) AND INDIRECT FLUORESCENCE ANTIBODY TECHNIQUE (IF AT) FROM SEVERAL PROVINCES IN INDONESIA Soedijar, I. L.1), Saepulloh, M.2) and Daulay, K.l) IJNational Veterinary Drug Assay Laboratory, Gunungsindur. Bogor 16340, Indonesia 2JResearch Institute for Veterinary Sciences, Bogor 16114, Indonesia
ABSTRACT A serological study of infectious laryngotracheitis (ILT) in layer chickens was conducted in the provinces of West Java, East Java, Bali, Lampung, and Yogyakarta. A-total of 50 sera from ILT unvaccinated chickens from 5 commercial layer chicken farms were tested. They originated from the provinces of West Java (10), East Java (10), Bali (10), Lampung (10) and Yogyakarta (10), and were tested using a serum neutralization test (SNT) and an indirect fluorescence antibody technique (IFAT). Sera with a SN titre of' 1: 4 or 2 (log 2) and sera with an IFAT titre of 340 were considered positive. The results showed that the geometlic mean titre (GMT) of antibodies of sera collected from West Java, East Java, Bali, Lampung, and Yogyakarta using a SN test was 4.3 (log 2) (90%), 2 (log 2) (100%), 2.1 (log 2) (100%),4.0 (log 2) (100%) and 3.8 (log 2)(100%), respectively. However, the mean antibody titre using IFAT was 208 (80%), 32 (40%), 42 (70%),138 (70%), and 106 (90%), respectively. This findings indicated that the SN test was more sensitive, accurate and specific for detection of antibody against ILT than IFAT. In contrary, the SN test was shown to be more time-consuming to IFAT. Key words: Infectious laryngotracheitis,
compared
GMT, SN test, IFAT, layer chicken.
INTRODUCTION
Tangerang and Karawang was 71 %. The reactor sera were found in layer and village chickens, but not in broiler chickens. Furthermore, Hamid, et al. (2001) reported that based on pathological examination, ten out of 35 samples collected in Bogor were ILT positive, while, 11 and 5 samples out of 49 and 9 samples collected in Tangerang and Bekasi were positive respectively. Saepulloh et al., (2003) showed that 14 of 95 tracheal organ samples from layer chickens located in districts of Bogor, Bekasi and Karawang were ILT positive by mean of isolation using CAMs and identified by agar gel immunodiffusion (AGID) test. Recently, Saepulloh (2003) reported that ILT occurred at a layer chicken farm in Batangas Province, the Philippines. At present there are many ILT cases in the field which attack not only layer chickens but native chickens (ayam pelung) kept as pet animals, admitted in a practitioner's animal clinic in Depok- West Java (Soedijar, 2001). Diagnosis in these pets was based on clinical signs and anamnesis. These findings indicated that ILT occurred at layer chickens not only in West Java but also in the Philippines. Since 1985, twenty-five Indonesian importers and manufactures have registered ILT vaccines to the National Veterinary Drug Assay Laboratory
Infectious laryngotracheitis (ILT) is an economically important respiratory disease of chickens caused by an alpha-herpesvirus (Hanson and Bagust, 1991). It can also affect pheasants, partridges and peafowls (Anonimous, 1996). Infectious laryngotracheitis is an acute respiratory disease of chickens characterized by coughing, sneezing, difficult breathing as major clinical signs (Tripathy, et ai, 1980). In severe cases, birds may also show signs of gasping, dyspnea, and death (Guy, et aI., 1990). Infectious laryngotracheitis is considered to have a worldwide distribution and firstly reported by May and Titsler (1925) who described an outbreak in fowl in Rhode Island. In Indonesia, the cases were firstly reported by Partadiredja et al., (1982) who described field outbreaks at several commercial layer chickens in Bogor district, West Java. Since then, the disease has become widespread in several districts in West Java. Gilchrist (1992) also reported that the ILT cases occurred at village chickens in Bekasi district, West Java. Based on the distribution of the ELISA titre, Wiyono et al., (1996) reported that the prevalence of ILT reactor among chickens in the districts of Cianjur,
6
Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 11 Tahun 2005
(NVDAL). Many mild to mildly virulent ILT strains are circulating in Indonesia. At present, several strains such as A20, A-96, Connecticut, Cover, D-805, Hudson, IVR-12, Modified Live virus, PV/09, PV/ 64, Samberg, and T20 have been adapted in tissue culture or in primary chicken embryonated eggs and used as ILT seed vaccine in Indonesia. Infectious laryngotracheitis cases in Indonesia are under reported (Wibowo et al., 2002). There is still a debate on the use of ILT vaccine among Indonesian farmers. A need to select an efficient procedure to detect the ILT immune status, has forced us to compare SNT and IFAT in this experiment. The first serological test developed for the detection of ILT antibodies was the agar gel precipitation test (Jordan and Chub, 1962). However, this test is now considered unreliable and relatively insensitive (Adair et al., 1985). In contrary, the SNT and IFAT were shown to be time-consuming, but very reliable, accurate and suitable for quantitative measurement (Ad air et al., 1985 and Bauer et al., 1999). The aim of this study is to detect antibody against ILT using a SNT and an IFAT,
MATERIALS
Serum Neutralization Test (SNT) The primary CEF cells culture suspension was prepared on the flat bottom of micro-titre plates and monolayered in growth medium (Dulbeco's Minimum Eagle Medium supplemented with 0.0295 gram/ml of tryptose phosphate buffered (TPB), 0.075 gram/ml 100 ID/ml of penicillin, 0.1 mg of NaHC03, streptomycin, 0.0295 gram/ml of L-glutamin and 5% foetal calf serum). Serial two fold dilutions of 0.05 ml inactivated serum were diluted in maintenance medium (MM) (Dulbeco's Minimum Eagle Medium supplemented with 0.0295 gram/ml of TPB, 0.075 gram/ml of NaHC03, 100 iu/ml of penicillin, 0.1 mg streptomycin, 0.0295 gram/ml of L-glutamin and 1% foetal calf serum). The same volume of virus in MM containing 100 TCID50 ILT virus (Strain NS-175) was added to each serum dilution. Plates were incubated at 37°C for 1 hour. Then the mixed sera-virus solution was inoculated into the micro wells of the CEF monolayeres. The micro titre plates were incubated for one hour in a CO2 incubator. MM was then added to the wells and the plates were incubated at 37°C in a CO2 incubator for 6 days. The antibody titer was expressed as the reciprocal of the highest serum dilution, which showed complete neutralization in at least one of the wells. Titers of 4 or higher were taken to be positive.
AND METHODS
Sera A-total of 50 sera obtained from 5 layer chicken farms from 5 provinces were used in this experiment. Sera were diluted 2-fold and used for SN test. Meanwhile, one layer chicken farm each, 10 sera from each farm were used in this survey. Sera for SNT were diluted 2-fold and sera for IFAT were diluted 40 times.
Indirect Fluorescence Antibody Technique (IFAT) IFAT was performed with slightly modification according to the method described by Purchase (1985). Each 40-times serum dilution was mounted onto the coverslips of mono layered cultures infected with ILT virus NS-175 strain, placed into a moisture box and kept at 37° C for 1 hour. After sensitization, the cells were washed with PBS for 15 minutes. Four units of
When they gave positive results, then they were retitrated from 80 to 640 times Virus The ILT virus NS-173 strain was used as standard reference virus and was obtained from the
fluorescenct isothyocianate (FITC) rabbit anti-chicken immunoglobulin G (ICN Laboratory - Israel) were added, and the cells were re-sensitized for 45 minutes. The coverslips were washed in phosphate buffer saline (PBS) for 15 minutes and glycerin buffer was mounted on the slide glass before observation under ultra violet microscope. The tested sera, which gave positive result in IFAT, were further re-titrated until MO-times according to the same procedure as mentioned above. The highest serum dilution giving fluorescent staining was recorded as the FA titres.
National Veterinary Assay Laboratory (NVAL), Kokubunji, Tokyo, Japan. The NS-175 strain was adapted in primary chicken embryo fibroblast (CEF) cells. A-lOO TCID 50 virus was used for a SN test. While, ILT virus NS-175 strain was inoculated into monolayer coverslips and used for IFAT. When they gave more than 75% cytophatic effect (CPE), the coverslips were then harvested and fixed in cold acetone before use.
7
Buletin Pengujian Mutu Ohat Hewan No. 11 Tahun 2005
RESULTS AND DISCUSSION
Unfortunately, the serum dilution did not started from 1:1 or 1:2 for SNT and 1:20 for IFAT in this study. Otherwise it can get a whole picture of ILT titre.
Some researchers prefer to perform SN test using chicken-embryo liver (CELi) cells (Abbas and Andreasen, 1996; Bauer, 1999), but based on our result, ILT virus grew more easily in primary CEF cells and they showed clearer cytopathic effect (CPE), 472 241 680 443 672 677 470 505 678 512 S7 80 84 94 238 239 243 240 242 673 674 676 513 C4 81 92 95 77 671 511 89 235 236 237 88 90 91 78 79 82 83 87 93 85 ab.status ab.679 status Status Bali EastJava Java West Lampung Yogyakarta which indicated the precence of ILT virus. In addition, preparation of CEF was easier, and achieved higher yield than CELi. This finding was very useful for viral propagation especially for vaccine production. Table 1 showed titre of IFAT for determining positive antibody against ILT was considered positive when the titers were 40-times. While less than 40times was considered to be negative antibody, and for this value we put 20-times for them. Based on positive status, sera samples from Yogyakarta has a highest percentage (90 %) and followed by West Java (80%), Bali and Lampung (70 %) and East Java 40% (Table 1). When we put average value for IFAT, West Java occupied the highest rank (208 times) followed by Lampung (138 times), Yogyakarta (106 times), Bali (42 times) East (32 times) (Figure 1). This finding indicated that antibody stat~es against ILT in East Java province were negative. SNT was more sensitive the IFAT.Table 1 showed
Table 1 : Antibodies status against ILT from 5 provinces. ProvinceMean-l + + + + + +100% 576300% Mean~138 510 86 20 Mean 640 320 640 160ND 160 40 80 ~208 ND 490% ND 24~ 670 76 Serum GMT~24o~ 70% 142 16 Mean GMT ~ Mean GMT GMT~22~4.0 90% 40% 80% ~32 ~06 243 234 22]Code ~20 ~ 20 19.6 4.3 Titer') ILT-IFAT ILT-SNT GMT5 - 238 - 13.9 Status b) Titer (log 2)
that both the geometric mean titre (GMT) of SNT and percentage of antibody positive against ILT was higher than IFAT. Yogyakarta, Lampung, Bali and East Java were obtained 3.8 (log 2) (100%), 4.0 (log 2) (100%),4.3 (log 2) (100%) and 4.0 (log 2) (100%), respectively, but West Java were only obtained 4.3 (log 2) (90%). Although, the percentage of antibody positive from West Java (90%) was the lowest using SNT, it still had the highest percentage compared with IFAT, 80%. The interesting ones are, that the GMT of SNT titre had delivered high titre, when the IFAT titre showed a high titer also. This finding concluded that the SN test described in these experiments was slightly greater in sensitivity than IFAT. Unfortunately, the SNT is not only time-consuming but also more expensive than IFAT. Thus, in the testing of field serum, the IFAT was found a useful confirmatory test when a rapid result was required, whilst the SN test remains the test of choice for quantification of antibody. Our result was similar to Bauer et aI, (1999), where their result was determined positive when the titre delivered 3 1: 4 for SNT and 3 40 for IFAT.
Note: ND~NotDone a) b)
8
The titre 3 40 was considered antibody positive The titre 3 2 (log 2) was considered antibody positive
I
Bu/etin Pengujian Mutu Gbat Hewan No. 11 Tahun 2005
0
".'!
200 v
~ ~ >40J
240 208 80 120
4,3 I II1,9-'; I ] 160
42 E.Java Bali Jogja Lampung 106 31
138
11
REFERENCES
'
~ Abbas, F. and J. R. Andreasen. 1996. Comparative of diagnostic test for infectious laryngotracheitis. Avian Disease 40:290-295 Adair, B. M., D., Todd, E.R . McKillop and K. Burns. 1985. Comparison of serological tests for detection of antibodies to infectious laryngotracheitis virus. Avian Pathology 14: 461-469.
Figure 1. Average serum titre against ILT using IFAT and SNT from five Provinces in Indonesia
Andreasen, J. R., J. R. Brown, J. R. Glisson and P. Villegas. 1990. Reproducibility of a virusneutralization test for infectious laryngotracheitis virus. Avian Dis. 34: 185-192
The poor correlation between ILT antibody titre and protection against disease is a major problem in evaluating serological test (Jordan, 1981). At the best, a synergism between neutralizing antibodies and other defense mechanisms may be assumed (Fahey et al., 1983). Fahey and York (1990) considered celluler defense mechanisms (cytotoxic lymphocytes, lymphokines) as responsible for the protection of ephitelial cells in vaccinated animals. Since neither the SNT nor the IFAT results are an indication of the
Anonimous.
Office
International
Epizooties (alE). Manual of Standards Diagnostic Test and Vaccines. Pp. 549-554
Des for
Bauer, B., J. E. Lohr and E.F. Kaleta. 1999. comparison of Commercial elisa test kits from Australia and the USA with the serum neutralization test in cell cultures for detection of antibodies to the infectious laryngotracheitis virus of chickens. Avian Pathology 28: 65-72.
degr~e of the protection against ILT, the differentiation of sera into clearly positive and negative should generally suffice because the interest is whether a flock had contact with ILT field or vaccine virus (Andreasen et aI., 1990) and not the immune status of individual animals. Both tests are suitable to answer this
Fahey, K. J., T. J. Bagust, and J. J. York. 1983. Laryngotracheitis Herpesvirus in the chickens: the role of humoral antibody in immunity to a graded challenge infection. Avian Pathol. 12: 505514
question. For Indonesian laboratory, we may perform both tests (IFAT or SNT). Though IFAT is cheaper and time efficient it relies on the intensity of fluorescence perceived by individuals, hence interpretation of results may become more objective (Ad air et ai, 1985). According to the above results, in the reality almost all serum samples coming from un-vaccinated chickens have antibody to ILT. This phenomenon is possible because of the occurrence of the reversion of weakened ILT virus from live vaccines given to chickens, into its virulent state. This possibility is almost similar to the occurrence of ILT outbreaks in Lipa City, year 2003 possibility which had
1996.
Fahey, K. J. and T. J. Bagust. 1990. The role of mucosal antibody in immunity to infectious laryngotracheitis virus chickens. J. of Gen. Virol. 71: 2401-2405 Gilchrst, P. 1992. Report of suspected oscular form of infectious laryngotracheitis (ILT) in Bekasi. Report for Balitvet Bogor
BatangasProvince, the Philippine in the reported by Saepulloh (2003) where of ILT outbreaks originated from chicken, been vaccinated with the live vaccine.
Guy, J. S., H. J. Bagust and L. M. Morgan. 1990. Virulence of ILT viruses: comparison of mild field-live vaccine viruses and North Caroline field isolates. Avian Dis. 34: 106-113
9
Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan No. 11 Tahun 2005
virus isolates in layer chicken (Galus galus domesticus, LINN) from Batangas, the Philippines. Master of Science Thesis in Veterinary Medicine, the Graduate School of University of the Philippines, Los Banos.
Hamid, H., M. Saepulloh, R. Indriani and Darminto. 2001. Detection of infectious laryngotracheitis (ILT) by pathological examination. Proceedings of National Seminar on Livestock and Veteriner. Bogor 17-18 September 2001. Agency for Agricultural Research and Development, Central Research Institute for Animal Science, Bogor. Pp. 700-707
Saepulloh, M., H. Hamid and Darminto. 2003. Isolation and identification viral agent of infectious laryngotracheitis (ILT) in layer chickens in district of Bogor, Bekasi and Tangerang. Proceedings of National Seminar on Livestock and Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Central Research Institute for Animal Science, Bogor. Pp. 424-430.
Hanson, L. E. dan T. J. Bagust. 1991. Laryngotracheitis. In: Disease of Poultry. 9th editions. Calnek, B.W. et al., (Eds.). Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. Pp. 485-495
Tripathy, D.N. and L.E. Hanson. 1980. Laryngotracheitis. In: Isolation and Identification of Avian Pathogens. S.B. Hitchner, H. Charles, H.G. Purchase, and LE. Williams (Eds). American Association of Avian Pathologist, Inc. Dept. of Vet. Microbiology. Texas. Pp. 88-90.
Jordan, F. T. W. and R. C. Chubb. 1962. The agar gel diffusion technique in the diagnosis of infectious laryngotracheitis (ILT) and its differentiation from fowl pox. Research in Vet. Sci.3: 245-255 Jordan, F. T. W. 1981. Immunity to infectious laryngotracheitis. In: Avian Immunology. M. E. Ross, L.N. Payne and B.M. Freeman (Eds.). British Poultry Science, Ltd. Edinburgh. ,Pp.245-254
Wibowo., M. H. and W. Asmara. 2002. Isolation and Propagation of the Causative Agent From Field Case Specific to Infectious Laryngotracheitis (ILT) on Chicken Embryonating Eggs. Journal Sain Veteriner. Vol XX. (2): 52-57
May, H. G. and R. P. Titsler. 1925. Trachealaryngitis in poultry. J. Am. Vet. Med. Asso. 67:229.
Wiyono, A., M. Saepulloh., A. Sarosa, and Darminto, 1996. Distribution of antibody against infectious laryngotracheitis in layer, broiler and village chicken in district of Cianjur, Tangerang and Karawang. Proceedings of National Meeting on Veteriner. Bogor, on March 12-13, 1996. Balitvet. Bogor, Indonesia. p. 88-95
Partadiredja, M., R. D. Soedjoedono dan S. Hardjosworo. 1982. Cases of ILT in District of Bekasi, West Java, Indonesia. Agency for Agricultural Research and Development. Pp. 522-525. Purchase, M. G. 1985. Immunofluoresence in the study of Marek's Disease .1. Detection of antigen in cell culture and an antigen comparison of eight isolates. 1. Virology 3: 557-565
Yoder, H. W. Jr. 1991. Mycoplasma gallisepticum infection. In: IE.W. CALNEK et al., (Eds). Disease of Poultry. 9th editions. Ames, Iowa State University Press. Pp. 198-212
Saepulloh, M. 2003. Isolation, identification and characterization of infectious laryngotracheitis (ILT)
10
Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan No. 11 Tahun 2005
KAJIAN MORFOPATOLOGI DAN IMMUNOLOGI PADA AY AM SPECIFIC PATHOGEN FREE (SPF) SETELAH DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN GUMBORO AKTIF STRAIN INTERMEDIATE Syahroni B.I), Handharyani E,2), Soejoedono R. D.2), Jusa E. R.I) 1). Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan , Gunung Sindur, Bogor 2). Fakultas Kedokteran Hewan , Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ABSTRACT A study was conducted to determine the pathomorphology and immunology in specific pathogen free (SPF) chickens after vaccination with intermediate strain of infectious bursal disease (IBD) live vaccine. In this study, 60 SPF chickens, two weeks old, were allocated into two groups. All 42 chickens in the first group were each vaccinated orally with 5X doses of intermediate strain of infectious bursal disease (lED) live vaccine and 18 chickens in the second group were used as control. All animals were observed every day for the occurrence of clinical signs. One week after vaccination, six chickens from vaccinated group and three chickens from control group were weighed, bleed, and necropsied at weekly intervals. At necropsy, bursa of Fabricius, thymus and spleen were weighed and immersed in 10% formalin in phosphate buffered saline (PBS) for histopathological examination. Antibody titer against IEDV was measured by serum neutralization test (SNT). This study showed the value of bursa of Fabriciuslbody weight ratio index 3 0.7 in both groups except in the vaccinated chickens necropsied at first week post vaccination (0,57). The value of bursa lesion score was 1-2 in all vaccinated chickens and 0 in control group. From first to seventh week post vaccination, all chickens showed 3 800 times in SNT and control group = 8.0. The antibody titers were significantly increased after vaccination and decreased at the seventh week post vaccination, lower than the minimum requirement
(800X).
Key words:
Infectious
bursal disease (IBD), strain intermediate,
specific pathogen
PENDAHULUAN
free, bursa lesion score, serum netralization
test.
Partadireja dan Soejoedono, 1997). Strain virus tersebut dikenali sebagai strain varian virus yang dapat meniadakan kekebalan ayam yang divaksinasi (Rosenberger dan Cloud, 1986; Lukert, 1992). Vaksin Gumboro aktif strain intermediate dapat menimbulkan kerusakan pada bursa Fabricius, timus dan limpa, tetapi kerusakan yang ditimbulkan tidak bersifat permanen, dimana organ organ ini akan kembali normal pada jangka waktu tertentu pasca vaksinasi. Vaksin dinyatakan memenuhi syarat uji keamanan bila nilai bursal lesion score (BLS) £ 2,0 (Anonimous, 2002) dan index bursal body weight ratio (IBBWR) 30,7 (Palya et al. 1991; Anonimous, 2000). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologi pada organ bursa Fabricius, limpa dan timus, setelah divaksinasi dengan vaksin Gumboro aktif strain intermediate.
Penyakit virus unggas menimbulkan banyak kerugian di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan untuk penanggulangan penyakit adalah dengan me1akukan program vaksinasi yang baik dan benar. Dari sekian banyak penyakit virus unggas, penyakit Gumboro atau infectious bursal disease (IBD) masih merupakan penyakit yang sangat sulit diberantas. Salah satu faktor penting yang menentukan suksesnya program vaksinasi adalah mutu vaksin itu sendiri. Beberapa tahun belakangan ini vaksin Gumboro aktif strain intermediate banyak digunakan di lapangan untuk mencegah penyakit Gumboro karena penggunaan vaksin Gumboro aktif strain mild dinilai kurang memberi hasil yang memuaskan. Penggunaan vaksin Gumboro aktif strain intermediate sekarang semakin meningkat di lapangan, terutama karena banyaknya impor vaksin Gumboro aktif strain intermediate.
BAHAN DAN METODE
Di lapangan banyak dijumpai kegagalan vaksinasi (Partadireja et aI., 1991), yang diduga disebabkan oleh adanya perbedaan struktur antigen antara beberapa galur virus IBD dalam serotipe yang sama (Mc. Ferran et al., 1980; Ismail dan Saif, 1991;
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Gunungsindur, Bogor dan Laboratorium Patologi
11
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
mm dan dilekatkan pada gelas obyek kemudian dilakukan pewarnaan dengan hematoxylin-eosin (HE). Selanjutnya slide diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan histopatologi.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama 6 bulan mulai bulan Pebruari 2004 sampai dengan bulan Juli 2005. Alat dan Bahan
Serum Neutralization Test (SNT) dan Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) Darah yang diambil disimpan dulu di ruang 37° C selama lebih kurang 2 jam, kemudian disimpan di ruang 4° C selama satu malam, keesokan harinya serum dipisahkan dan disentrifugasi dengan kecepatan 1000- 2000 rpm selama 5 menit. Serum yang didapat dititrasi antibodinya dengan SNT sesuai dengan prosedur yang dipergunakan oleh FOHI (Anonimous, 2004).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kandang isolator, spuit, clean bench, scalpel, gunting, pinset, inkubator 37° C, tabung reaksi, tabung plastik, plate 96 well (tipe datar), para fin drayer, parafin stracher, gelas objek, gelas penutup, microtome, auto technicon, mikroskop, kamera dan mikropipet untuk pengerjaan ELISA. Sedangkan bahan yang dipergunakan adalah : ayam SPF umur 2 minggu, vaksin IBD aktif strain intermediate (Winterfild 2512) 1000 dosis 2 vial, phosphate buffer saline (PBS'), formalin 10 %, alkohol, ethyl alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 95% dan alkohol absolut, parafin, hematoksilin Mayer, lithium carbonat, balsam Kanada, bursa Fabricius, limpa, timus, serum darah ayam, minimum essential medium (MEM), maintenance medium (MM), growth medium (GM) dan reagen -reagen ELISA .
Pembuatan Biakan Jaringan Chicken Embryo Pibroblast (CEF) Terlebih dahulu dilakukan pembuatan biakan jaringan dari telur embryo tertunas (TET) umur 8-10 hari yaitu chicken embryo fibroblast (CEF). Setelah monolayer CEF tumbuh diinokulasi dengan serum yang telah diencerkan dan dinetralisir dengan virus standar IBD. Diinkubasi menggunakan inkubator pada suhu 37°C mengandung 5 % CO2, Selanjutnya dilakukan pengamatan setiap hari terhadap sel tersebut. Amati timbulnya cytophatic effect (CPE) pada sel dan dihitung titer antibodinya (Anonimous, 2000; Soejoedono, 1998). Serum yang sama juga dititrasi dengan metode ELISA indirek.
Metode Penelitian ini menggunakan 60 ekor ayam SPF umur 2 minggu. Ayam tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I sebanyak 42 ekor divaksinasi secara per oral dengan vaksin IBD strain intermediate sebanyak 5 x dosis/ekor, sedangkan kelompok II sebanyak 18 ekor sebagai kelompok kontrol tidak divaksinasi. Ayam diamati setiap hari terhadap gejala klinis yang timbul. Setelah satu minggu pasca vaksinasi diambil 6 ekor ayam kelompok vaksinasi dan 3 ekor ayam kelompok kontrol. Ayam ditimbang berat badannya dan diambil darahnya. Kemudian ayam dinekropsi dan diperiksa secara patologi anatomi terhadap perubahan yang terjadi pada organ bursa Fabricius, timus dan limpa. Lalu ditimbangjuga berat organnya dan disimpan dalam buffer normal formalin (BNF) 10 % selama 2-3 hari.
Data yang diamati adalah berat badan, berat bursa, limpa dan timus, titer antibodi, indeks rasio bursa Fabricius, lesi patologi anatomi, dan histopatologi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil studi ini menunjukkan bahwa pada minggu pertama pasca vaksinasi IBBWR mengalami penurunan hingga di bawah 0.7, namun akan segera naik hingga di atas 0,7. Berdasarkan data pada Grafik 1, angka indeks bursa Fabricius di minggu pertama pasca vaksinasi adalah 0,57 berada di bawah standar 0,7 (Palya et al., 1991) lalu naik di atas standar pada minggu kedua 1,17 kemudian turun lagi pada minggu ketiga dan keempat sampai di bawah standar 0,68. Minggu kelima, keenam dan ketujuh angka indeks
Pembuatan Preparat Histopatologi Organ bursa Fabricius, timus dan limp a yang telah difiksasi dalam BNF 10 % didehidrasi secara bertahap pada alkohol dan xylol, kemudian dibuat blok paraffin dengan metode standar. Jaringan yang sudah dibuat blok paraffin dipotong dengan ketebalan 3-5
12
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
bursa relatif stabil di angka 0,85. Sedangkan nilai IBBWR ayam kelompok kontrol pada setiap interval pengamatan selalu berada di atas nilai kelompok vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ayam yang tidak mengalami vaksinasi tidak menunjukkan adanya kerusakan pada bursa Fabricius. Karena strain vaksin yang diaplikasikan cukup keras, sehingga satu minggu setelah vaksinasi menyebabkan bursa Fabricius mengalami atrofi atau mengecil. Reaksi vaksin Gumboro aktif strain intermediate sering merusak organ limfoid primer seperti bursa Fabricius dan timus kemudian diikuti oleh limpa, ginjal dan ceca tonsil, diikuti oleh perdarahan pada otot dada dan paha (Craig, 1979). Jika dibandingkan dengan ayam kontrol angka IBBR kelompok vaksinasi di bawah 0,7. Hal ini mengindikasikan bahwa vaksin yang digunakan dalam penelitian ini masuk dalam kategori aman atau memenuhi persyaratan minimum pengujIan. Hasil yang sama diperlihatkan pada Grafik 2, dimana tingkat kerusakan bursa Fabricius ayam kelompok vaksinasi (BLS) didapat = 2. Hal ini juga mengindikasikan vaksin yang sedang diuji am an karena memenuhi kriteria standar pengujian vaksin (Anonimous, 2002). Bursa Fabricius ayam tidak mengalami kerusakan parah seperti nekrosa folikel limfatik, edema jaringan intertisial, adanya vakuolal cystic cavity dari korteks folikel, fibroblasia pada jaringan ikat interfolikuler dan bentuk plica bursa Fabricius tidak teratur.
10
4,81
4,17
5,44
6,18
0,76
0,68
3
4
1,17 1
0,57
6,09
5,15
5,3
0,91
0,86
0,85
5
6
7
2
o 2
Vaksinasi
6
7
I
Grafik 2. Perbandingan Bursa Score Lesio antara kelompok ayam yang divaksinasi dengan vaksin Gumboro aktif strain intermediate dan ayam kontrol
Kegagalan vaksinasi Gumboro di lapangan banyak disebabkan oleh kerusakan bursa Fabricius, dimana virus vaksin strain intermediate banyak berperan (Partadiredja et al., 1991). Kerusakan bursa Fabricius dapat juga disebabkan oleh virus lapangan yang ganas, dimana vaksin yang dipakai tidak dapat melawan virus lapangan tersebut. Diduga karena adanya perbedaan struktur antigen antara beberapa strain virus Gumboro dalam serotipe yang sama (Mc.Ferran et al., 1980; Ismail dan Saif, 1991; Partadiredja dan Soejoedono, 1997). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa nilai BLS ayam kelompok vaksinasi dan kontrol = 2, hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang digunakan masuk dalam kategori aman. Grafik 3 dan 4, menunjukkan bahwa kelompok ayam yang divaksinasi dengan vaksin Gumboro aktif strain intermediate menghasilkan titer antibodi SNT dan ELISA yang cukup tinggi. Kelompok ayam kontrol dengan SNT menunjukkan titer antibodi 1: 8 dan dengan metode ELISA < 5 EU sepanjang interval pengamatan. Untuk SNT nilai protektif IBD 3 800 (Anonimous, 2002) sedangkan dengan metode ELISA nilai positip IBD adalah z 5 EU (Affini Teech. ELISA Test Kit. 2004). Hal ini menunjukkan bahwa semua ayam kelompok kontrol tidak mempunyai antibodi protektif. Sedangkan pada ayam kelompok vaksinasi dengan SNT memperlihatkan titer z 1 : 800 mulai minggu pertama sampai dengan minggu ke tujuh post vaksinasi dan dengan metode ELISA semua ayam kelompok vaksinasi memperlihatkan nilai titer z 5 EU.
Pasca Vaksinasi (minggu) Kontrol ~
5
I-+- Kontrol -to- Vaksinasi
0,1
I ~
4
Pasca Vaksinasi(Minggu)
0.7
2
3
I
Grafik 1. Perbandingan index bursa body weight ratio (IBBWR) antara kelompok ayam yang divaksinasi dengan vaksin Gumboro aktif strain intermediate dan ayam kontrol
13
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
minimum (Grafik 1 dan 2). Titrasi antibodi secara serologis baik dengan SNT maupun ELISA tidak berbeda, grafik titer menunjukkan kenaikan dan penurunan yang sama. Hasil titer antibodi dengan SNT secara keseluruhan mulai dari minggu pertama sampai minggu ketujuh berada di atas persyaratan minimum 1 : 800 (Anonimous, 2000). Sedangkan dengan metode ELISA juga menghasilkan titer antibodi Gumboro yang positip kuat (Moderately positive for antibodies to IBD) , titer berada pada range 15 EU 75 EU (Affini Teech. ELISA Test Kit, 2004). Data berat organ limfoid primer yang lain yaitu timus dan limpa ditampilkan pada Grafik 5 dan 6 menunjukkan berat rata-rata timus dan limpa ayam kelompok vaksinasi lebih rendah pada setiap interval mingguan dibandingkan dengan ay am kelompok kontrol. Diduga ayam kelompok vaksinasi mengalami tekanan berat karena pengaruh virus Gumboro dari vaksin. Reaksi virus vaksin tersebut
Angka titer antibodi meningkat secara teratur sampai minggu keempat pasca vaksinasi atau hari ke 28 dimana virus vaksin Gumboro mampu bertahan pada bursa dan mampu menstimulir produksi antibodi (Bayyari et al. 1996) dan menu run lagi secara teratur sampai minggu ketujuh pasca vaksinasi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilaksanakan Kim et al. (1999) yang menyatakan bahwa recovery kemampuan memproduksi antibodi dan repopulasi dari folikel bursa Fabricius pada ayam SPF umur satu minggu yang divaksinasi dengan vaksin Gumboro aktif strain intermediate akan terlihat pada minggu ketujuh pasca vaksinasi. Kondisi ini menggambarkan bahwa organ limfoid primer sebagai kelenjar pertahanan tubuh ayam seperti bursa Fabricius, limpa dan timus cukup stabil memproduksi antibodi setelah 7 minggu pasca vaksinasi. 2048
2048 1877,33
mempengaruhi kedua organ limfoid (Craig et al., 1979). Menurut hasil penelitian Tanimura et al (1998) terjadi insitu apoptosis bursa Fabricius dan timus pada ayam SPF yang diinokulasi dengan virus IBD strain yang virulen. Hasil histopatologi menunjukkan adanya peningkatan endogenous apoptosis pada limfosit bursa Fabricius dan peningkatan apoptosis sel pada limfosit cortical timus, hal ini bermakna dan berpengaruh negatif terhadap kinerja bursa tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan kwalitas sel-sel bursa Fabricius karena pengaruh dari vaksinasi menggunakan vaksin Gumboro aktif strain intermediate, akan tetapi tidak sampai menurunkan titer antibodi yang diproduksi, ha! ini ditunjukkan dari hasil titer antibodi dengan SNT dan ELISA yang para1e1meningkat mulai dari minggu pertama sampai minggu ketiga dan keempat lalu cenderung menurun pada minggu kelima sampai minggu ketujuh (Grafik 6). Menurut hasil penelitian Eddy et al. (1985) persembuhan dari bursa Fabricius, limpa dan usus pada ayam umur 36 hari yang diinokulasi isolat lapang virus Gumboro terjadi pada minggu ketujuh dan kedelapan, tetapi timus mengalarni persembuhan pada minggu kedelapan. Pada penelitian ini, vaksinasi Gumboro diduga menyebabkan penurunan berat timus dan limpa kelompok ay am vaksinasi disebabkan karena kedua organ limfoid bekelja keras dalam memproduksi antibodi dan pengaruh dari supresor sel
1792 1152
3
4
5
6
7
Pasca Vaksinasi(Minggu) I~
Kontrol --
Vaksinasi I
Grafik 3. Perbandingan Titer Antibodi antara Ke1ompok Vaksinasi dan Kontro1dengan SNT. 60 05 40 50 20 30
--..
_~.lO,'+l
24,36
I
2
4
Pasca Vaksinasi(Minggu)
1-- Kontrol
--
Vaksinasi I
Grafik 4. Perbandingan Titer Antibodi antara Ke1ompok Vaksinasi dan Kontro1dengan Metode ELlSA. walaupun divaksinasi dengan 5 x dosis yang direkomendasikan o1eh produsen temyata nilai BLS dan IBBWR masih berada dibawah persyaratan
14
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
Anonimous. 2000. Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Petunjuk Teknis Pengujian Vaksin Viral.
T yang ada didalam kedua organ. (Soedijar, 1989). Untuk itu dimungkinkan adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh vaksin Gumboro aktif strain intermediate terhadap organ timus dan limpa.
Anonimous. 2004. Farmakope Ob at Hewan Indonesia. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
0,77
0,8
0,67 0,53
0,6
0,4
Departemen Pertanian 0,5
0,33
Bayyari G. R., Story J. D., Beasley J. N. and Skeeles J. K. 1996. Pathogenicity Studies of an Arkansas Variant Infectious Bursal Disease Virus. Avian Diseasess;40: 516 - 532
0,2 o
0,17
0,15
0,17
2
3
4
5
6·
7
Pasca Vaksinasi (Minggu)
I-+Grafik 5.
t--f::
1 ~ 1,6
Kontroll
Perbandingan berat (gram) timus kelompok vaksinasi dan kontrol 0,93 0,82 0,36 0,43 0,36 1,03 0,4
0
Vaksinasi --
~/ 0,8
0,47
Craig D. W., Effect of Infectious Chickens.
0,9
1,23
~
antara
Brown J. and Lukert P.D. 1979. Standard and Variant Strains of Bursal Disease Virus on Infections of Am J of Res 51: 1192 - 1197
Eddy R. K., Chettle N. J. and Wyeth P. J. 1985 Antibody Responses and Virus Reiso1ation in Turkeys Experimentally Infected with an Infectious Bursal Disease Isolate. Vet Rec April: 368 - 369
1,43
Ismail N. M. and SaifY. M . 1991. Immunogenicity ofInfectious Bursal Disease Viruses in Chickens. Avian Diseases 35: 460-469. 2
3
4
5
6
7
Pasca Vaksinasi (Minggu)
I-+-
Vaksinasi --
Kumar K., Singh K. C. P. and Prasad C. B. 2000. Immune Respons to Intermediate Strain IBD Vaccine at Different Levels of Maternal Antibodi in Broiler Chickens. Trop Anim Health and Prod 32: 357 - 360.
Kontroll
Grafik 6. Perbandingan berat (gram) limp a antara kelompok vaksinasi dan kontrol
DAFTAR
Kim I. J., Gagic M. and Sharma J. M. 1999. Recovery of Antibodi - Producing Ability and Lymphocyte Repopulation of Bursal Follicles in Chickens Exposed to Infectious Bursal Disease Virus. Avian Diseasess 43 : 401 - 413.
PUSTAKA
Anonimous. 1990. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
Lukert P. D. 1992. Didalam Soejoedono RD. 1996. Pathogenic and Antigenic Characteristic of Variant Infectious Bursal Disease Virus. Personal Communication
Anonimous. 1991. Pedoman Pengkajian Penyakit Gumboro . Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan / BPMSOH.
15
Bule/in Pengujian Mutu Ohat Hewan No. 'Jl /Jllllfuufi00lJ5
Mazariegos L. A., Lukert P. D. and Brown J. 1990. Pathogenicity and Immunosupresive Properties of Infectious Bursal Disease H Intermediate Strain H. Avian Diseases 34: 203208.
Imported IBD Vaccine Challenged with 3 Pathogenic IBDV Isolates in Indonesia. Hemera Zoa 79 : 22 - 29.
McFerran JB et al. 1980. Isolation and Serological Studies of IBDV in Fowl, Turkeys and Ducks. Avian Pathology 9: 395 - 404.
Rosenberger J. K. and Cloud S. S. 1986. Antigenic and Cross Protection Studies ofInfectious Bursal Diseae Virus Variants. NECAD - 86. Univ. Delware. Newark. America.
Payla V. 1991. Manual for the Production of Mareks Disease, Gumboro Disease, and Inactivated Newcastle Disease Vaccine. FAO Annual
Soedijar I. L. 1989. Response of Japanese Quail to Various Vaccines. Animal Hygiene Department. Agriculture Faculty. Tohoku University. Japan.
Production & Health Papers. Soejoedono R. D. 1998. Native Virus Challenge Test Againts Vaccinated Chicken With Commercial Active and Inactive IBD Vaccine. Media Veteriner 5: 19-23.
Partadiredja M., Soejoedono R. D., Nurhadayani A. dan Leksmono C. S. 1991. Mempelajari Cara Pembuatan Vaksin Gumboro Inaktif . Seminar Penelitian .Depdikbud.
Dirlitbanmas. Ditjen Sawangan. Bogor.
Dikti. Tanimura N. and Sharma J. M. 1998. In-situ Apoptosis in Chickens Infected with Infectious Bursal Disease Virus. J of Comparative Pathology 118: 15-27.
Partadiredja M. and Soejoedono R. D. 1997. Cross Protection Study of Chickens Vaccinated with an
16
Buletin Pengujian Mutu Ghat Hewan No. 11 Tahun 2005
PETUNJUK BAGI PENULIS NASKAH PETUNJUK BAGI PENULIS NASKAH Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan, disingkat BPMGH, memuat naskah ilmiah primer bidang obat hewan, berupa hasil penelitian, pengembangan dan pengujian obat hewan yang belum pernah diterbitkan. Ketentuan di bawah ini merupakan petunjuk bagi penulis naskah yang hendak dimuat di dalam Buletin Pengujian Mutu Gbat Hewan. 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa
2.
Inggris yang baik disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Naskah diketik pada kertas berukuran A4 dengan j arak 2 spasi dengan ruang sisi 4 cm dari tepi kiri. 2 cm dari sisi tepi kanan, 3 cm dari sisi tepi atas dan bawah. Sistematika penulisan naskah disusun sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Judul, hendaknya yang komprehensif, namun dibuat sesingkat mungkin. Jika perlu dapat diberi subjudul. Judul (dan subjudul) diketik dengan huruf besar (KAPITAL). Nama dan alamat penulis: Nama penulis, ditulis lengkap dan diketik dengal1 huruf KAPITAL. Jika nama penulis lebih dari seorang dengan alamat ins tan si yang berbeda, maka di belakang setiap nama diberi indeks-atas (supescript) angka arab. Alamat penulis, ditulis di bawah nama penulis, mencakup nama instansi beserta alamat lengkap, dibuat sesuai dengan banyaknya inedks-atas nama penulis, diketik dengan huruf MIRING. Abstrak, merupakan intisari naskah, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak lebih dari 250 kata dan dituangkan dalam suatu paragraf. Isi abstrak mencakup masalah, tujuan, materi dan metode serta hasil dan kesimpulan. Nama penulis, tahun terbit, judul naskah dan nama buletiin, dicantumkan sebelum isi abstrak, dengan susunan seperti dasftar pustaka, dengan susunan seperti daftar pustaka, pendekatan yang ditempuh untuk memecahkan masalah dan tujuan. Materi dan Metode, mengungkapkan secara jelas dan rinci mengenai bahan yang digunakan dan cara kerja yang dilakukan. Hasil dan Pembahasan, menyajikan dan membahas secara jelas dan lengkap hasil-hasil penelitian yang dicapai dengan mengacu kepada tujuan. hasil dan Pembahasan dapat disajikan secara terpisah atau dengan tabel yang ringkas
h.
dan ilustrasi (grafik, gambar atau foto). Keterangan untuk tabel (di atasnya) dan ilustrasi (di bawahnya) harus jelas dan bersifat mandiri sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya tanpa membaca teks. Uraian tentang Pembahasan selain mencakup penjelasan mengenai hasil, juga mencakup penjelasan tentang arti dan manfaat peneltiian, pengembangan dan pengujian, dikaitkan dengan masalah-masalah yang akan dipecahkan. Satuan ukuran baik did alam teks maupun pada tabel dan ilustrasi menggunakan sistem metrik. Kesimpulan dan Saran, merupakan rangkuman akhir dari naskah, dapat disajikan secara terpisah atau disatukan sebagai bagian akhir dari Hasil dan Pembahasan. Ucapan Terima Kasih, dapat ditulis jika dianggap perlu. Daftar Pustaka, menyajikan semua pustaka yag dikutip (sebaiknya terbitan 10 tahun terakhir). Kutipan di dalam teks menggunakan nama penulis dan tahun terbit. Daftar Pustaka disusun secara alfabetis menurut nama penulis. Di belakang tahun, baik di dalam kutipan teks maupun di dalam Daftar Pusataka dapat dibubuhkan hurufkecil (a, b, c),jika penulis yang sama menulis lebih dari satu artikel dalam tahun yang sama. nama penulis yang lebih dari 2 orang, di dalam kutipan teks menggunakan et al. di belakang nama pertama, sedangkan di dalam Daftar Pustaka harns ditulis semua.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka : Iritanti, Y. Sugimori, G. and Katagiri, K. 1976, Serologic Respons to Haemophilus gallinarum in Artificially Infected and Vaccinated Chickens, Avian Dis. 21 : 1-5. Laemmli, U. K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature. 227 : 680-685. 3.
Naskah lengkap dikirim dan dialamatkan : Redaksi Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Gbat Hewan n. Pembangunan, Gunung Sindur, Bogor - 16340 Telepon: 021, 7560466; 7560489 Fax: 021, 7560466
17