HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
01
02
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
boardmessage
Oleh: Malla Latif
P
Salary Bukan Superhero
embicaraan tentang Salary selalu ramai dan menarik. Konsep salary pun dianggap sebagai salah satu yang harus dikuasai oleh praktisi SDM. Untuk itu saya merasa tidak perlu membahasnya lagi disini. Namun ada beberapa hal kecil yang menarik perhatian saya. Anggap saja ini sebagai tulisan singkat yang biasa ditulis di post it notes. Peristiwa terhangat terkait salary terjadi ketika pemerintah menetapkan Upah Minimum Regional yang baru. Semua pihak langsung angkat bicara, baik positif maupun negatif. Efeknya juga ternyata cukup terasa. Paling tidak dua teman pengusaha saya akhirnya ‘cuti’ dan menutup perusahaannya sementara. ‘Mencari model strategi bisnis yang lebih sesuai’, alasannya. Ada pula yang mengganti karyawannya dengan lulusan sarjana karena ‘dengan budget segitu, lebih baik sekalian menaikkan standard dan kompetensi karyawan’. Namun tidak sedikit pula yang tenang dan tetap berbisnis seperti biasa.
Pada akhirnya, perusahaan dengan organisasi paling efektif dan efisien yang mampu melewati tantangan ini dengan baik. Jangan biarkan organisasi berkembang sendiri tanpa kendali. Perencanaan yang matang dan peninjauan secara berkala akan sangat membantu meningkatkan produktifitas perusahaan sekaligus menekan pembiayaan karyawan. Salary juga masih menjadi faktor yang paling sering dipertimbangkan dalam proses menerima tawaran bekerja. Terkadang kenaikan salary dalam range 10-20% cukup untuk menarik seorang talent untuk pindah. Padahal sebaiknya diingat bahwa salary hanya salah satu komponen dari konsep Total Reward, yang terdiri dari foundation rewards, career and environmental rewards, dan Performance-based Rewards (Tower Watson). Di luar cerita bahagia dengan kenaikan salary, tidak jarang terdengar pula keluhan.
Di antaranya mereka harus bekerja pada hari libur, hingga jarang bertemu keluarga. Atau banyaknya layer organisasi, sehingga kenaikan pangkat akan sangat lama terjadi. Ada pula yang resah karena mereka tidak pernah dikirim ke pelatihanan, dan lainnya. Situasi ini menjadi cambuk agar kita mampu berkomunikasi dengan lebih baik pada setiap talent dalam perusahaan. Termasuk ketika memberikan paket retention. Diharapkan mereka memiliki gambaran lengkap tentang semua hal yang telah diberikan oleh perusahaan, dan tidak terpaku pada faktor salary semata
Survey Towers-Watson menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan kenaikan salary tertinggi di Asia Pacific. Angka kenaikan salary untuk secara umum di tahun 2012 adalah 11.5%, dan di prediksikan naik menjadi 12% di tahun 2013. Namun di sisi lain, hanya 36% orang Indonesia yang memiliki keterikatan (engagement) tinggi dengan perusahaannya, jauh di bawah angka negara lain. 42% di antara pekerja Indonesia tersebut bahkan merasa sangat tidak terikat (detached / disengaged). Fakta ini memperkuat pendapat bahwa peningkatan salary semata tidak akan pernah cukup membuat karyawan loyal serta bersedia mencurahkan segenap kemampuannya untuk perusahaan. Survey dari Society for Human Resource Management (SHRM) tahun 2012 mengungkapkan karyawan akan puas bekerja dan merasa menjadi bagian perusahaan di antaranya karena berhasil mencapai target pekerjaannya, mendapat kesempatan untuk mengoptimalkan kompetensinya serta nyaman dengan teman kerja.
Pada akhirnya salary bukanlah superhero yang mampu menyelamatkan perusahaan seorang diri. Implementasi salary tetap membutuhkan perencanaan yang matang. Dan agar optimal, gabungkan pula dengan inisiatif kreatif lainnya. Selamat berkreasi. HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
03
contents
//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Revolusi Budaya Bank Indonesia
page
Board Message Raksasa Dunia Bertembur di Cakrawala Nusantara
Strategi OD & HR Menuju page Biological Organization System
PortalHR | HC Magazine
page
03 08 12 16 20 23 28 37 32 34 40 44 46 48 50 54 58 60 56 Peran HR Di Dalam Transformasi Organisasi
page
page
Kiat Menyelaraskan Kompensasi Dengan Strategi Bisnis
Indonesia Compensation & Benefit Trend
page
Developing Retention Strategy for Key Talent
page
Your Job is Not Your Calling
page
Gaya Kepemimpinan “Bapakisme” Asli Indonesia
Apa Pentingnya Transformasi Budaya bagi Organisasi?
page
Menimang Jurus Jitu Compensation Strategy
Infographic
page
Perubahan Apapun Bisa Dilakukan, Jika...
page
page
Budgeting & Antisipasi atas Upah Sundulan serta Membangun Struktur Upah
Memahami UMP & UMK 2012 - 2013
page
Keberanian, Kiat Pemimpin dalam Memaksimalkan Perubahan
page
HR Profesional Harus Terbiasa dengan Social Media Skill
page
page
page
page
Kunci Perubahan: Jangan Abaikan Faktor Manusia
page
credits President MALLA LATIF
[email protected] Editor RUDI KUSWANTO
[email protected] Executive Editor NUKMAN LUTHFIE
[email protected] N. KRISBIYANTO
[email protected] MEISIA CHANDRA
[email protected] RIZKI NUGROHO
[email protected] Senior Reporter NURUL MELISA
[email protected] Reporter TRI WAHYUNI
[email protected] Business Development NURJAMILA ABDULRACHMAN
[email protected] Creative Support M. FAJAR NUGRAHA
[email protected] Sales-Marketing IWAN SETIAWAN
[email protected] Account-Financial Kurniawati Azzahra
[email protected] HC Magazine is published by Sarana Daya Media, PT All rights reserved. WISH TO CONTACT US? Sarana Daya Media, PT SETIABUDI 2 BUILDING, 2ND FLOOR, SUITE 209 JL. HR RASUNA SAID KAV. 62 KUNINGAN JAKARTA 12920 INDONESIA P. +62 21 5290 6813 F. +62 21 5290 5883 LETTERS TO THE EDITOR must include the writer’s name, address and contact number and should be emailed to
[email protected] CONTRIBUTIONS are welcomed. Text and photos (300 DPI) should be emailed to
[email protected] PRINTS ON DEMAND & PERMISSION: Print on Demand (PoD) can be ordered (minimum 1,000 copies) from the Publisher - Sarana Daya Media, PT. All rights reserved. No part of this publication, including photos and ilustration may be reproduced, store in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without prior written consent of the Publisher.
Find us on
04
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Facebook | www.facebook.com/PortalHR Facebook is a registered trademark of Facebook, Inc Twitter | www.twitter.com/PortalHR Twitter is a registered trademark of Twitter, Inc
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
05
part1
06
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
07
part1
08
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Revolusi Budaya Bank Indonesia Text oleh: Tri Wahyuni
Tahun 2011, muncul undang-undang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, reksadana, pasar modal, perusahaan pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan lembaga keuangan sejenis lainnya. Undang-undang bernomor 21 tahun 2011 tersebut mengharuskan Bank Indonesia (BI) melakukan perubahan pada struktur organisasinya. Pasalnya, sebelum lembaga baru tersebut dibentuk, BI-lah yang menjadi pengemban tugas pengawasan tersebut. Dampaknya adalah, sebagian karyawan BI akan dipindah ke OJK.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
09
part1
Meskipun Undang-undang tersebut baru akan benarbenar berlaku 1 Januari 2014, persiapan sudah mulai dilakukan oleh BI sejak tahun 2012. Sebanyak 78 orang karyawan dipinjamkan untuk membangun organisasi OJK. Tujuh puluh delapan orang tersebut adalah tim unggulan yang dibentuk BI dan ditugaskan untuk menyusun bentuk organisasi sehingga ketika tiba waktunya OJK berjalan, karyawan yang merupakan pindahan dari BI ataupun karyawan baru tidak bingung. Tim itu terdiri dari IT, HR, perencanaan strategis, dan beberapa bagian krusial lainnya untuk mengharmonisasi, karena mereka akan membentuk lembaga baru dan sistem yang baru. “Kita menata ulang apa yang diperlukan OJK, kita menyiapkan lahan yang di sana, tidak bisa yang pokok’e pindah’o (pokoknya pindahlah-red)!” ujar Dyah N.K Makhijani, Executive Director HR Bank Indonesia. Dalam pembentukan OJK tersebut, BI memang benarbenar harus bekerja keras, sekitar 1000 orang atau sekitar 20 persen dari total keseluruhan karyawan BI akan berpindah ke OJK. Tentunya, memindahkan karyawan sebanyak itu bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Dan persiapan itulah yang mendominasi program kerja Departemen HR BI tahun 2012 – 2013. “Tantangan yang dihadapi departemen HR memang banyak. OJK keluar bulan November, semua orang yang di pengawasan sudah mulai panik. Jika ini tidak
Pertama adalah menyelesaikan urusan OJK, karena perpindaan harus terjadi dengan mulus, kedua, mengelola organisasi BI untuk dipersiapkan ke depan dan yang terakhir adalah memastikan bahwa kapabilitas dan skill karyawan terus berkembang meskipun dalam masa pancaroba.
10
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
dikelola dengan baik, maka akan menjadi bom waktu. Kita lakukan apa yang di depan mata. Pertama adalah menyelesaikan urusan OJK, karena perpindaan harus terjadi dengan mulus, kedua, mengelola organisasi BI untuk dipersiapkan ke depan dan yang terakhir adalah memastikan bahwa kapabilitas dan skill karyawan terus berkembang meskipun dalam masa pancaroba.” Demikian diungkapkan Executive Director HR Bank Indonesia ketika ditanya mengenai program kerja dan tantangan yang dihadapi HRD. Ia menambahkan bahwa dengan terbentuknya OJK, BI pun harus siap dengan cara kerja baru, dan kolaborasi itu harus berjalan dengan baik. Untuk itulah tahun ini hingga tahun 2014 dicanangkan sebagai tahun unusual recruitment bagi Departemen HR BI sebagai bagian dari unusual business, rules and creativity. Dyah mengaku bahwa dengan tema tersebut, praktisi HRD di BI menjadi semakin tertantang. Sebagai lembaga pemerintah, Departemen HR juga memiliki tantangan lain untuk membentuk sebuah budaya perusahaan yang kreatif sekaligus masih berbasis pada peraturan ketat sebagai lembaga penghasil kebijakan nasional.
“Challenge-nya adalah regulasi dan kreativitas. Kalau regulation only, ruhnya akan hilang. Nah, asiknya justru di situ, disamping rule base, principal basenya tidak boleh hilang”, ungkap Dyah. Dyah mengungkapkan bahwa BI tidak dapat dibandingkan dengan bank-bank atau perusahaan komersial lainnya. Perbandingan yang tepat tentunya dengan lembaga pemerintahan lainnya. “Semua lembaga perbankan itu highly regulated, sehingga kita juga harus begitu. Kita harus menjaga kredibilitas, karena manusia bisa saja eror, tapi itu lebih baik daripada dinilai salah. Karena kita berurusan dengan uang, kalau kita orang kreatif, bolehlah principal base only.”
Banyak orang menilai negatif BI karena kasus Century. Dyah mengklaim bahwa seharusnya kita dapat membedakan antara kebijakan dengan fakta bahwa Century dikelola dengan kurang detail. Kebijakan yang diambil BI adalah untuk mengembaikan sistem, itu berdasarkan pemahaman pihak BI bagaimana krisis itu harus ditangani. BPK pun melihat ini dan tahu
landasannya.
Di BI, kultur harus mengikuti proses bisnis yang ada. Itulah mengapa kultur tersebut dibentuk untuk menjadi tidak terlalu rumit, ada titik-titik dimana kreativitas itu harus ada. “Semakin kita dewasa, semakin kita pintar menata rule dikombinasikan dengan kreativitas,” ungkap Dyah.
Budaya perusahaan di BI dikemas berdasarkan nilai strategis KITA (Kompetensi, Integritas, Transparansi dan Akuntability) dan KOMPAK (kebersamaan), atau yang biasa disebut KITA KOMPAK. Selain orang-orang yang memang berkompetensi, tetapi juga integritas. Integritas pun meliputi system integrity dan policy integrity. Hal ini tercermin dari bagaimana alur pihak BI dalam membuat kebijakan. Adakalanya perumus harus hadir meskipun di hari libur dan seluruh risalah dalam rapat diikutkan sebagai objek audit dan dilaporkan kepada DPR. Sebagai lembaga pembuat kebijakan nasional, BI juga dituntut untuk sangat transparan. “Kita sangat transparan, bahkan publisitas kami mungkin lebih terbuka daripada perusahaan public,” ujar Dyah. Transparansi tidak hanya terjadi antara pihak BI dengan publik, melainkan juga di dalam lingkungan internal. Departemen satu saling terbuka dengan departemen lain.
Lalu bagaimana kisah pengembangan skill (skill development) di BI? “Sejak tahun 80-an, kita selalu fight untuk mencapai target. Sejak awal 2000an, BI mulai menggunakan Balance Score Card (BSC). Dan view-nya menjadi lebih align. Kalau map-nya benar, kita akan lebih mudah mencapai connectivity dan mencapai destinasi,” ungkap perempuan yang sudah berkarir di BI sejak 1986 tersebut.
Ia menambahkan bahwa meskipun produknya adalah kebijakan, KPI yang mereka buat selalu muncul dengan angka-angka, misalnya saja price stability barang dan jasa atau tingkat inflasi. KPI tersebut akan dilaporkan juga kepada DPR. Setiap line manager punya kewajiban untuk
memetakan anak buah dan melihat gap-gapnya, sehingga kalau ada gap, mereka akan memberi penugasan-penugasan untuk menaikkan skill. Intinya, Departemen HR mempunyai Learning Partner di setiap departemen, yakni pimpinan dari departemen terebut. BI juga tidak pernah memiliki masalah dalam menarik kandidat. Ketika open recruitment, sebanyak 60,000 pendaftar mengikuti tes seleksi. Dari sekian banyak pendaftar, BI hanya akan mengambil 300 kandidat sebagai karyawan atau sekitar 0,5%. Sedangkan yang diangkat menjadi pegawai organic hanya 0,25% dari keseluruhan pendaftar. Tingkat turn-over untuk saat ini pun sangat rendah di BI. Karena karyawan BI sifatnya long term, “accept of culture” itu harus ada. Culture harus di-shape sedemikian rupa sesuai dengan sistem. Ini pun selalu terjadi pro-kontra. Pro-nya adalah kita punya set of people dan mudah diatur, tetapi kontranya adalah akan membahayakan mediocre yang tidak memahami adanya generation gap. Budaya harus berevolusi, generasi Y makin banyak, generasi X atau baby boomer sudah mulai berkurang di jajaran pimpinan. Memang di BI, budaya formal masih ada, tetapi yang terlihat adalah power distance antar atasan dan bawahan semakin berkurang. Juga pimpinan mulai ikut turun tangan sampai ke bawah. Hal-hal tersebut dulu jarang terjadi.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
11
part1
12
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Strategi
OD
HR dan
Menuju
Oleh Dr. Beni Bevly, Silicon Valley
ORGANIZATION DEVELOPMENT (OD) dan human resources (HR) adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan saling berkaitan. Maka dari itu, dalam struktur formal di banyak organisasi, termasuk organisasi bisnis, OD menjadi bagian dari HR Division. Sebagai konsekuensinya, karakter dan skill dari HR development yang diinginkan juga tidak terpisah dari struktur organisasi yang dikembangkan. Kini telah terjadi pergeseran dari military/mechanical organization system menuju biological atau open system. Seperti apakah kedua sistem ini dan bagaimana penerapannya dalam OD dan HR strategy?
Biological
Organization System
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
13
part1
M
ari kita memulai dengan mendiskusikan military/mechanical organization system. Dalam sistem ini, pada umumnya manager memiliki tugas utama untuk memaksimalkan efisiensi ekonomi dari suatu kantor atau pabrik besar berdasarkan prinsip-prinsip birokratis yang terdiri dari:
Pertama, division of labor. Sistem ini berkeyakinan bahwa karyawannya akan menjadi ahli (proficient) jika mereka mengerjakan hal-hal yang standar dan berulang-ulang.
Kedua, hierarchy of authority. Perusahaan menerapkan sistem komando berantai secara formal untuk melakukan koordinasi supaya terciptanya kondisi kerja yang bertanggung jawab. Ketiga, framework of rules. Manajemen perusahaan memformulasikan kebijakan dengan cermat dan menerapkan kebijakan ini dengan ketat sehingga menciptakan tingkah laku dan perbuatan karyawan yang terprediksi.
Keempat, administrative impersonality. Semua keputusan yang berkaitan dengan personnel, termasuk proses rekrutmen, dan promosi harus dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi bukan berdasarkan favoritism. Namun, ternyata strategi yang diterapkan dalam military/mechanical organization system ini sudah banyak ditinggalkan oleh perusahaan modern di AS. Salah satu contohnya adalah perusahaan department store terkemuka di tempat saya pernah bekerja. Perusahaan ini sangat mengutamakan customer service-nya sehingga perusahaan ini dikenal sebagai world class customer service company. Perusahaan ini mempunyai cara tertentu untuk mengembangkan karyawannya sehingga karyawankaryawan tersebut bisa memberikan world class service terhadap customer-nya. Intinya, ada dua strategi yang management perusahaan ini terapkan,
14
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Perusahaan ini juga tahu betul, supaya karyawannya bisa melayani customer dengan baik, perusahaan perlu menghargai dan memperlakukan karyawan dengan baik pula.
yaitu melalui penerapan human resources development dan organization development strategy yang bersifat biological atau open system. Pertama, human resources development strategy. Strategi dalam mengembangkan HR-nya supaya bisa menjadi bintang dalam world class customer service telah dimulai ketika melakukan perekrutan, yaitu mereka bukan merekrut karyawan yang pintar menjual, tetapi mereka merekrut karyawan yang memiliki karakter yang baik dan sesuai dengan corporate culture mereka, dan dilatih untuk menjadi seorang salesman yang tangguh.
Perusahaan ini juga tahu betul, supaya karyawannya bisa melayani customer dengan baik, perusahaan perlu menghargai dan memperlakukan karyawan dengan baik pula. Pada saat diterimanya seorang menjadi karyawan, biasanya seorang HR Manager akan memberikan satu bingkisan mungil kecil dan meminta karyawan tersebut untuk membuka dan melihat isinya. Sang karyawan akan menemukan satu cermin cantik dan HR Manager berkata, “Look at in that mirror. It’s the most important asset we have. It’s you!” atau “Lihatlah pada cermin itu. Itu adalah aset terpenting yang kami miliki. Itu adalah Anda!” Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana perusahaan ini menciptakan persepsi kepada karyawannya bahwa mereka sebenarnya bukan bekerja untuk pemilik perusahaan ini. Namun, salah satu pemilik perusahaan ini berkata, “We all work for the same persons. Those persons are our customer” atau
“Kita semua bekerja untuk orang yang sama. Orang tersebut adalah customer kita.”
Karyawan juga tidak dibatasi dengan kebijakan yang rigid untuk bertindak. Pada generasi pertama dan kedua, yaitu sekitar seratus hingga lima puluh tahun lalu, perusahaan ini hanya menganut satu guideline, yaitu use best judgment in all situations. Hingga kini, kebijakan ini – walaupun bukan lagi menjadi satusatunya kebijakan – tetap menjadi acuan utama dalam memberikan customer service yang terbaik. Masih ada dua guidelines lain yang patut disinggung, yaitu bagaimana perusahaan ini selalu menekankan pentingnya untuk menerapkan prinsip fair and consistent dan give the benefit of the doubt (jika ragu, percayalah omongan customer) terhadap semua customer.
Tentu saja masih banyak HR development strategy lain yang diterapkan oleh perusahaan ini untuk mempertahankan dan terus mengembangkan world class customer service-nya, seperti program pelatihan dan meeting penghargaan untuk karyawan yang dilakukan secara berkala yang dinamakan Customer Service All Stars Meeting. Kedua, organization development strategy. Salah satu OD strategy yang unik dan diimplementasikan untuk mendukung budaya world class customer service adalah inverted pyramid organization structure atau struktur organisasi piramid terbalik. Kita tahu bahwa sudah menjadi hal yang umum jika suatu struktur organisasi berbentuk piramid, di mana CEO menempati hanya satu posisi tertinggi dan para karyawan yang berhadapan dengan customer menempati posisi-posisi di bawahnya. Namun, dengan piramid terbalik, struktur organisasi ini menempatkan customer di lapisan paling atas, setelah itu adalah karyawan biAsa, lalu menyusul manager, executive dan CEO berada di lapisan paling bawah. Struktur organisasi yang berupa inverted piramid ini
memberikan pesan bahwa customer adalah paling penting dan menjadi pusat perhatian dalam bisnis mereka, bukan CEO. Hal kedua yang terpenting adalah karyawan yang berhadapan dengan customer karena semua bisnis berasal dari customer dan dalam hal ini, cutomer merupakan employer mereka.
Walaupun demikian, CEO yang berada di bawah piramid terbalik ini, bukanlah seorang yang tidak penting, tetapi ia memiliki tugas yang sangat critical, yaitu menjaga keseimbangan piramid tersebut. Apa lagi piramid ini dalam posisi terbalik yang berarti hanya ditunjang oleh kerucutnya, tidak seperti halnya dengan posisi piramid normal yang bisa berdiri dengan mudah. Di sinilah, seorang CEO diingatkan untuk tidak perlu cepat berpuas diri dan tidak bisa berbuat berat sebelah supaya piramidnya tetap bisa berdiri tegak.
Sebenarnya, inverted pyramid organization structure ini adalah contoh dari open system organization structure yang telah berevolusi dari military/mechanical system menuju biological system. Sistem organisasi ini terbuka dan perkembangannya sangat berkaitan dengan sistem ecological setempat. Untuk itu, sistem ini juga lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan di sekelilingnya dan tidak mudah teralienasi oleh perkembangan zaman.
(Dr. Beni Bevly adalah business expert, penulis multiple buku, radio talk show guest di PAS FM yang bermukim di Silicon Valley, Amerika Serikat. Untuk kebutuhan corporate training, ia bisa dihubungi di BeniBevly@ yahoo.com, dan BeniBevly.com atau di Facebook: Beni Bevly dan Twitter: @benibevly)
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
15
part1
Perubahan Apapun Bisa Dilakukan, Jika.. Dadang Kadarusman
16
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
SEJAK beralih profesi menjadi trainer, saya lebih menyadari bahwa ternyata frase “Transformasi Organisasi” itu merupakan sebuah kata yang sangat enteng untuk diucapkan oleh management di perusahaan, namun masih menjadi semacam alien bagi para karyawannya. Bukan alien dalam pengertian mahluk aneh yang datang dari planet antah berantah. Melainkan cara pandang yang tidak terhubung dengan realitas mental karyawan. Sepertinya, management berada di dunia yang berbeda dengan karyawan sehingga terbentuklah celah pemisah yang menganga lebar antara keinginan management dengan sudut pandang karyawan. Itulah sebabnya, mengapa gagasan-gagasan yang berkaitan dengan perubahan yang hendak dilakukan di banyak perusahaan sering mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan. Ketika masih bekerja sebagai bagian dari management, saya tidak benar-benar menyadari hal ini. Tidak mengherankan juga, jika kolega-kolega lain pun sama tidak sadarnya soal ini. Maka dalam benak kita, selalu ada pertanyaan yang tidak mudah dijawab ini; ’Kenapa sih, orang-orang ini kok sulit sekali untuk diajak berubah?!” Lalu kita pun mencari-cari jawaban agar dapat digunakan sebagai argument yang bisa diterima manakala tiba saatnya rapat evaluasi di hadapan board of director.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
17
part1
Sejauh yang saya ingat, jawaban atas pertanyaan itu tidak selalu dapat dengan mudah ditemukan di ruang rapat. Meskipun forum itu dihadiri oleh orangorang pintar. Bahkan saking pintar-pintarnya para peserta rapat itu justru sering membuat rapat menjadi semakin sulit untuk merumuskan kesimpulanyang bisa diterima secara aklamasi. Jawaban yang satu menghasilkan jawaban kontra dari yang lainnya. Hal itu khususnya saya temui di perusahaan - baik global maupun lokal – yang sudah mempunyai budaya keterbukaan. Di perusahaan yang sangat menjunjung tinggi suara pimpinan tertinggi biasanya jawabannya sudah secara hati-hati dikonsep lalu disampaikan oleh juru bicara dalam sopan santun yang anggun. Namun, intinya sama saja; tidak berpijak pada esensinya. Maka tidak heran, jika masalah yang sama terjadi lagi di masamasa berikutnya. Lalu kita, kembali berkutat dengan masalah yang itu-itu saja. Walhasil, dalam waktu yang panjang perusahaan tidak bisa melakukan perubahan yang berarti. Kalau pun ada inisiatif baru, sering menjadi project yang nasibnya terkatung-katung.
Dari ruang rapat itu, kadang terucap juga pernyataan bahwa memang sudah menjadi sifat dasar manusia kalau tidak mudah untuk diajak berubah. Maunya berada dalam zona nyaman yang selama ini mereka rasakan. Saya dan kebanyakan pengelola perusahaan hampir saja mempercayai hal itu. Bukan tanpa dasar. Karena sepertinya memang demikian. Sangat sulit sekali untuk mengajak orang berubah. Maka benarlah anggapan bahwa sifat dasar manusia itu memang tidak mau berubah. Anda percaya itu? Kalau saya, sudah sejak lama meninggalkan kepercayaan itu. Mengapa? Karena kemudian saya menemukan bahwa sesungguhnya manusia itu sangat mudah untuk diajak berubah. Bahkan sekarang saya berkesimpulan bahwa; perubahan apapun bisa dilakukan. Dan akan diikuti oleh karyawan di perusahaan Anda. Secara sukarela. Tanpa penolakan. Apalagi paksaan.
Wah, tampaknya sebuah kesimpulan yang prematur ya? Mungkin demikian padangan seseorang yang selama ini menemukan situasi yang sebaliknya di perusahaannya. Mana ada sih, orang yang bisa diajak berubah dengan mudah? Toh dasarnya manusia memang tidak mau berubah kok. Itulah sebabnya management mesti bekerja keras untuk mengawasi setiap inisiatif perubahan yang diterapkan di perusahaan. Saya dapat memahami cara berpikir demikian. Karena dulu, saya pun punya pandangan dan penilaian yang sama. Sering berdiri di kelas pelatihan terkait perubahan membuat saya menyadari bahwa justru kita yang berada dikursi management inilah yang mesti terlebih dahulu berubah. Apanya yang
18
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Kita. Para pengambil keputusan inilah yang mesti berubah terlebih dahulu. Jika tidak, maka kita ini lucu sekali. Menuntut karyawan untuk berubah sesuai dengan strategi bisnis kita yang baru.
mesti kita ubah dari diri kita yang bertugas sebagai pengambil keputusan ini? Sudut pandang kita terhadap sifat dasar manusia itu. Dari anggapan bahwa ‘manusia itu sulit berubah’, menjadi ‘manusia itu mudah untuk berubah’. Saya bisa meyakinkan Anda bahwa salah satu penyebab sulitnya melakukan perubahan di perusahaan adalah; kita sebagai para pemimpinnya sering terkungkung oleh anggapan bahwa orangorang yang bekerja bersama kita itu sulit untuk berubah. Anda bisa membayangkan, betapa sulitnya melakukan sesuatu yang kita anggap sulit, bukan? Bahkan tidak sedikit yang ‘mengurungkan’ rencana perubahan karena menilai bahwa inisiatif itu akan menimbulkan penolakan besar-besaran. Saya cukup sering menemukan indikasi ini khususnya di kelaskelas training leadership yang saya fasilitasi.
Kita. Para pengambil keputusan inilah yang mesti berubah terlebih dahulu. Jika tidak, maka kita ini lucu sekali. Menuntut karyawan untuk berubah sesuai dengan strategi bisnis kita yang baru. Namun, kita sendiri enggan untuk mengubah sudut pandang kita terhadap sikap manusia dalam menghadapi perubahan. Percayalah, justru ketika kita percaya bahwa manusia itu mudah berubah; kita akan menyaksikan begitu banyak fenomena yang sejalan dengan apa yang kita pikirkan. Meskipun topik pembahasan kita kali ini bukan soal ‘kekuatan pikiran’ namun faktanya memang demikian. Jika pikiran kita dipenuhi oleh kepercayaan bahwa manusia itu mudah untuk berubah, maka panca indera kita akan lebih mudah untuk menemukan fakta-fakta yang mendukungnya. Supaya lebih mudah memahaminya, izinkan saya menyampaikan beberapa contoh berikut ini. Setiap tahun, karyawan Anda menginginkan kenaikan gaji? Yes. Tentu saja. Dan itu menunjukkan bahwa mereka sangat ingin berubah. Contoh lainnya; berapa banyak karyawan Anda yang menolak jika dipromosikan
untuk jabatan yang lebih tinggi? Mungkin semuanya akan berebutan mendapatkan promosi itu kan? Hal itu menunjukkan bahwa mereka ingin berubah. Setiap kali masa pakai lap top karyawan Anda habis, apakah mereka menginginkan laptop baru? Yes. Bukti lain, jika manusia mudah berubah. Ketika mendapatkan email tentang gadget model terbaru. Atau mobil baru. Atau stick golf yang baru. Bagaimana biasanya respon orang? Mereka ingin mengganti benda-benda lama dengan yang baru. Saya, tidak mungkin menguraikan satu persatu bukti bahwa manusia itu mudah untuk diajak berubah. “Tapi, contoh-contoh itu kan hanya menyangkut perubahan yang menyenangkan?!” Mungkin ada yang menyanggah demikian. Menurut pendapat Anda, kalimat sanggahan itu meruntuhkan argument saya, atau justru menjadi solusi untuk masalah penolakan yang selama ini menjadi problematika di banyak perusahaan? Bagi saya, itu bukan sanggahan. Melainkan solusi. Mari perhatikan kalimat itu sekali lagi; “Tapi, contoh-contoh itu kan hanya menyangkut perubahan yang menyenangkan?!”
Lalu izinkan saya mengajak Anda untuk memfokuskan pikiran Anda kepada kata terakhir dalam kalimat itu. Ada kata ‘menyenangkan’ disana ya? Maka jika Anda ingin agar gagasan perubahan itu disambut dengan tangan terbuka oleh karyawan diperusahaan Anda – menurut kalimat sanggahan itu – Anda wajib menjadikan proses perubahan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan. Jika tidak, maka Anda mungkin harus menghadapi masalah klasik berupa penolakan itu. Dijamin. Tapi, apakah kita harus selalu membuat inisiatif perubahan itu senantiasa menyenangkan? Tentu saja. Bukankah kita sendiri – yang menjadi pengambil keputusan ini – juga tidak menginginkan suatu perubahan yang tidak menyenangkan menimpa diri kita? Maka ketika menerapkan suatu inisiatif perubahan, kita perlu memastikan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan. Saya paham jika didalam benak management nyaris selalu ada kekhawatiran adanya konsekuensi setiap keputusan terhadap biaya. Apalagi, saat ini segala sesuatu sering diukur dengan uang. Padahal, menjadikan suatu inisiatif itu menyenangkan tidak selalu berarti menambah biaya. Dalam banyak situasi, kita hanya butuh memikirkan aktivitas atau alokasi budget yang lebih baik daripada postingposting yang selama ini sudah terbukti tidak efektif namun masih terus kita pertahankan itu. Boleh jadi, tidak diperlukan biaya tambahan selain yang sudah dibudgetkan. Kita hanya perlu memanfaatkan budget yang ada itu untuk membuat ide-ide kreatif supaya perubahan ini menjadi sesuatu yang
menyenangkan. Sehingga karyawan kita tertarik untuk menjalankannya. Memang, ada juga karyawan yang matanya sudah ditutupi dengan urusan materi. Apa untungnya kalau saya mengikuti perubahan itu? Bukan hanya mereka yang bertanya begitu. Para pengambil keputusan seperti kita pun punya pertanyaan yang sama. Maka kita, tidak perlu alergi juga dengan pertanyaan itu. Yang perlu kita lakukan adalah; mendidik dan membuka kesadaran karyawan kita untuk melihat bahwa yang namanya manfaat itu tidak semata-mata bersifat jangka pendek. Mereka mesti belajar melihat manfaat jangka panjang yang lebih besar dibanding apa yang mereka inginkan sekarang.
Lantas, bagaimana cara mendidik mereka agar punya pikiran yang lebih terbuka terhadap perubahan yang kita canangkan? Nah soal itu, mungkin bisa menjadi bahan diskusi kita dilain kesempatan. Namun karyawan level staff hingga junior manager, perlu sekali mendapatkan pembekalan tentang bagaimana caranya menyesuaikan diri dengan perubahan (Adapting to Change). Sedangkan untuk karyawan level middle manager atau group leaders, kita perlu membekali mereka dengan kemampuan serta strategy mengelola perubahan agar bisa memimpin anak buahnya mau menyesuaikan diri dengan perubahan yang dicanangkan oleh perusahaan (Leading and Managing Change). Dengan begitu, maka peluang keberhasilan dalam penerapan rencana perubahan didalam organisasi akan semakin besar.
Semoga sekarang, kita punya pandangan yang sama bahwa; Perubahan apapun bisa dilakukan, jika sebagai pengambil keputusan kita punya sikap yang tepat dalam memandang pola perilaku karyawan. Sehingga kita mampu menciptakan ide-ide kreatif untuk membuat proses penerapan perubahan itu menarik bagi karyawan. Dengan demikian, maka Transformasi Organisasi bisa menjadi kosa kata yang dikenal baik oleh karyawan.
(Dadang Kadarusman, Author, Trainer, and Public Speaker. People Development Training & Consulting, www.dadangkadarusman.com)
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
19
part1
Hendrik Lim, MBA Abstract: Menarik menilik response Richard Budihadianto CEO GMF Aero Asia ketika menatap peluang besar bisnis depan mata: “Tanpa antisipasi strategis, suatu perseroan ibarat penderita ICU yang diundang ke pesta banquet mewah, banyak kesempatan bisnis dan makanan yang ditawarkan, tetapi organisasi tidak punya kapasitas dan kapabilitas untuk menikmatinya.”Pas rasanya taklimat tersebut, apalagi dengan dimulainya Pasar Tunggal Asean kurang dari dua tahun mendatang, transformasi bukan lagi sebuah opsi tapi mandatory bila perseroan ingin tetap stay fit dalam bisnis. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengelola transformasi.
20
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Kondisi Pasar Lion Air membuat headline, memesan 234 Airbus pekan lalu setelah sebelumnya memesan 201 Boeing dari Paman Sam. Garuda pun tidak ketinggalan, maskapai ini bertekad menggandakan armadanya dalam dua tahun mendatang, dan menargetkan masuk airlines kategori layanan ala bintang 5 Skytrax.Garuda juga ikut bertempur dalam low cost carrier dengan memperkuatCitilink. Si Bungsu Citilink pun memesan 25 pesawat Airbus jenis A320Neo guna mendukung rencana penambahan rute penerbangan ke sejumlah daerah pada tahun ini. Tak mau ketinggalan, AirAsia juga besar-besaran memperkuat armadanya. Pasar Angkutan udara tumbuh pesat, pertumbuhan PDB sektor angkutan sekitar 10.7% tahun 2011. Bandara Soekarno Hatta mencatat pertumbuhan tercepat ke-4 di dunia setelah New Delhi, Rio De Jenairo dan Xiamen. Tidak hanya industri airline, bidang industri dan jasa lain pun tumbuh amat pesat. Namun hypergrowth ini juga diwarnai dengan hypercompetition. Beberapa airline nasional grounded alias bangkrut di tengah maraknya pertumbuhan. Bagaimana perseroan merespon dan melakukan alignment transformasi agar siap dalam meraup kesempatan bisnis yang muncul seiring pertumbuhan ekonomi yang pesat. Bagaimana MengartikanTransformasi dalam Bahasa Sederhana?
Transformasi dimulai dari sebuah consciousness bahwa: wow kesempatan bisnis dan pertumbuhan pasar begitu pesat, ada banyak sekali peluang di depan mata, seperti sebuah pesta banquet mewah. Mengapa tidak? Semua angka pertumbuhan makro menunjukkan fondasi yang kuat terhadap pertumbuhan bisnis. Yang menjadi tantangan utama adalah, dimana ada peluang yang menggiurkan, disitu ada banyak pemain yang ingin masuk, atau yang sudah ada akan memacu keunggulan inovasinya tanpa henti. Contohnya airline industry di atas tadi. Product dan jasa unggulan mereka makin ciamik, makin terjangkau dengan berbagi fitur yang menjawab kebutuhan pasar. Apalagi dengan segera berlakunya Pasar Tunggal Asean, melalui Asean Community plus China di tahun 2015, pemain dengan berbagai skala kompetensi dan kapabilitas akan segera masuk. Ini berarti kurang dari dua tahun seleksi alam ganas di pasar domestik dan regional akan terjadi. Perseroan yang segera dan secara proaktif mempersiapkan diri melalui
transformasi perseroan akan menyambut pesta ini dengan sorak-sorai, sementara yang menjalankan business as usual, akan “kelabakan” diterpa gelombang tsunami kompetisi. Mengapa Perseroan Perlu Secepatnya Melakukan Transformasi?
Pasar bebas bersifat fair dan tidak memihak. Ia memberi kesempatan kepada yang layak dan siap. Bak seleksi alam, “Only the best dan most Adaptive” yang diizinkan hidup dan menikmati pesta perjamuan pasar. Kalau begitu kapan sebaiknya sebuah perseroan menginitiate transformasi? Tentu saja saat yang terbaik untuk melakukan transformasi adalah “kemarin.” Dengan demikian opsi-opsi strategis perihal area apa saja yang perlu mendapatkan transformasi sudah dipetakan dan program Change Management sudah bisa dijalankan secara proaktif. Mumpungselagi masih ada waktu, tanpa terjebak dalam ritme sirine “Emergency.”
Namun berbagai riset pasar menunjukkan perseroan sering complacent, apalagi kalau perseroan saat ini fine-fine saja, merasa no problem dengan bisnisnya. Tidak usah heran kalau mereka tiba-tiba dikejutkan dengan gelombang perubahan dan sophistikasi tuntutan konsumen yang kian cerdas, dan tawaran produk kompetitor atau substitusi yang lebih baik, akhirnya kehilangan competitiveness. Dipaksa keluar dari radar permainan sambil beteriak SOS: May Day. Dari Area Mana Saja Sebuah Roda Transformasi Dijalankan?
Ada banyak area transformasi yang bisa dilakukan, mulai dari yang bersifat core fundamental, strategis maupun supporting. • Ada perseroan yang meredefinikan productservice offering-nya. Mereka berganti haluan terhadap apa yg mereka tawarkan selama ini, A Major Business Changes. • Ada juga yang mempertajam strategi, dari yang selama ini samar-samar alias tidak begitu jelas diasah runcing menjadi tajam sebening kristal, atau adopsi teknologi canggih melalui sophistikasidan fine tuningbusiness process. • Ada juga yang melalui reformasi kultur dan bisnis mindset perseroan. Yang dulunya taken for granted, captive market dan “berburu di kebon binatang”, kini harus bertempur di medan laga bebas dan harus bertemu dengan kompetitor buas. HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
21
part1
Tentu saja saat yang terbaik untuk melakukan transformasi adalah “kemarin.” Dengan demikian opsi-opsi strategis perihal area apa saja yang perlu mendapatkan transformasi sudah dipetakan dan program Change Management sudah bisa dijalankan secara proaktif.
Berbagai macam cara dilakukan. Sebagian besar menterjemahkan transformasi dengan perombakan struktur, sistem dan policy. GMF Aero Asia, Industri Aircraft maintainance kelompok anak perseroan Garuda Indonesia misalnya, melakukan transformasi secara integral. Mereka meramu resep Transformasi Business Process, Reformasi Kultur, Introduksi Mindset Business Entrepreneurship, Penajaman Strategy dan Milestone yang lebih konkret, serta pengawasan performance management untuk mencegah offside dan distraksi.
Gairah GMF sebagai salah satu aset nasional mempersiapkan diri, melakukan stretching transformasi dalam menyongsong pasar bebas, terlihat dari program transformasi mereka yang embedded dalam operating system organisasi. Apapun itu, semuanya dipakai menjadi sebuah alat untuk memastikan apa yang ditawarkan perseroan masih relevan dengan kebutuhan pasar, dan masih kompetitif dibandingkan dengan produk sejenis maupun produk substitusi. Apa Pendekatan yang Umumnya Dipakai dalam Mengelola Transformasi?
Pendekatan transformasi yang efektif memerlukan pendekatan intregratif dan common ground engagement di tingkat personal, organizational dan sisi bisnis dalam artian perseroan sebagai going-concern entity. Dalam tingkat individual, perlu diupayakan agar setiap personal dalam organisasi paham benar, apa yang akan terjadi dengan nasib perseroan, kalau tetap menjalankan roda bisnis seperti selama ini, business as usual, sementara di luar tembok perseroan, tuntutan dan harapan konsumen makin hari makin canggih. Selain itu jurus dan metode yang dipakai oleh kompetitor juga semakin inovatif dan susah ditebak. Jadi sisi konsekuensi dan ancaman “kesengsem” dengan
22
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
status quo ini harus bisa dikonversi menjadi sumber motivasi dan menciptakan iklim urgency. Bak doktrin “Do or Die.”
Konstruksi Business Clarity juga harus dirancang agar pekerja bisa melihat apa impact yang akan terjadi pada mereka, ketika transformasi terwujud. Hal ini amat penting sehingga mereka bisa melihat relevansi apa yang akan dicapai terhadap pengorbanan yang mereka kerjakan atas nama transformasi. Disebut pengorbanan, karena transformasi selalu berhubungan dengan aspek melawan inertia kebiasaan, conditioning behavioral. Menjadi amat penting, mereka mendpatkan reward fulfilment, sebuah rasa puas dan penuh ketika bisa melihat kontribusi yang ia lakukan dengan keberhasilan pencapaian perseroan. Dalam segi bisnis, sebuah transformasi baru bisa dikatkan berhasil kalau value creation yang diciptakan memang lebih baik, lebih efisien, lebih memberi Nilai daripada apa yang ditawarkan kompetitor. Kata kuncinya adalah productivity, efficiency dan values creation. Tanpa ukuran itu transformasi hanya sebuah tambahan beban kerja, only a business, but not a business. Tepat kiranya meminjam istilah Richard Budihadianto, “Peluang bisnis itu sudah pasti, ada didepan mata, jangan sampai kita hanya bisa melihatnya tanpa meraupnya karena incompetence.” Kalau begitu, Lets Transform selagi masih ada waktu.
(Hendrik Lim, MBA, Managing Director Defora Consulting, www.defora.info)
HR PERAN
DI DALAM
TRANSFORMASI
ORGANISASI: Developing Tranformational Leaders Octa Melia “MIA” Jalal
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
23
part1
PADA SAAT INI, hampir semua perusahaan, baik di Indonesia maupun di belahan bumi yang lain, menghadapi 5 (lima) tantangan bisnis yang kritis. Tantangan-tantangan itu terdiri dari : 1. Dampak globalisasi, 2. Peningkatan laba perusahaan, 3. Kemajuan teknologi, 4. Modal khas yang memiliki hak cipta 5. Perubahan dari eksternal perusahaan yang terusmenerus
Untuk mengantisipasi tantangan-tantangan tersebut, perusahaan dituntut untuk mampu mengembangkan kapabilitas dan kekuatan yang baru dari dalam perusahaan, dengan waktu yang cukup singkat. Bagi sebagian besar perusahaan, proses pengembangan tersebut dianggap sebagai suatu proses transformasi yang terus-menerus. Melakukan proses tranformasi bukanlah suatu tindakan yang luarbiasa, namun perusahaan yang bisa melakukan suatu langkah transformasi dan perusahaan tersebut tetap berhasil mempertahankan kinerja, maka hal tersebut merupakan kejadian yang langka.
McKinsey melakukan survei terhadap para eksekutif dunia yang melakukan proses tranformasi. Ternyata, hanya sepertiga dari responden survei tersebut yang mengaku bahwa perusahaan mereka benarbenar berhasil melakukan transformasi. Di dalam survei tersebut, para eksekutif diminta informasinya mengenai beberapa hal, yaitu bagaimana perusahaan mereka mendesain dan mengelola suatu upaya transformasi, bagaimana mereka melibatkan atau meningkatkan peranan karyawan dalam proses tranformasi tersebut dan selanjutnya bagaimana mereka melibatkan manajemen perusahaan dalam proses transformasi tersebut.
Belajar dari pengalaman perusahaan-perusahaan lama yang dianggap cukup sukses melakukan transformasi seperti GE dan Toyota atau perusahaan baru yang selalu melakukan transformasi seperti Apple dan Google serta hasil survei Mc Kinsey tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa bagian yang paling berat didalam melakukan transformasi adalah proses merubah suatu budayadi dalam organisasi. Di dalam proses perubahan budaya pada suatu organisasi, pihak manajemen (yang di dalamnya termasuk fungsi HR) harus melakukan proses yang
24
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu :
(1) Tahap mendefinisikan & mengklarifikasi mengenai perilaku-perilaku baru yang diharapkan oleh organisasi. Apabila perusahaan ingin sukses dalam transformasi maka hal utama yang harus dilakukan oleh para pemimpin dalam tahap ini adalah menetapkan tujuan yang jelas dan yang hakiki terhadap proses transformasi yang harus terjadi. Pada saat industritelekomunikasi di Indonesia mengalami persaingan harga yang drastis, maka sebagian besar perusahaan telekomunikasi menyadari bahwa cost optimalization atau operational excellence adalah perilaku-perilaku baru yang harus dimiliki oleh organisasi. Akan tetapi, tidak semua perusahaan mampu memiliki perilaku tersebut karena tidak semua pemimpin perusahaan tersebut berhasil menghubungkan pentingnya cost optimalization atau operational excellence dengan keunggulan perusahaan di masa depan.
(2) Tahap menjelaskan kepada semua anggota organisasi, mengapa perusahaan membutuhkan perilaku-perilaku baru tersebut dan mengapa perilaku baru tersebut merupakan inti dari keberhasilan usaha di masa yang akan datang. Para pemimpin harus mampu melibatkan seluruh anggota perusahaan di dalam upaya perubahan melalui berbagai macam cara. Aktivitas para pemimpin di dalam proses transformasi ini merupakan hal yang sangat penting. Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang menggunakan berbagai macam metode komunikasi lainnya untuk membuat agar karyawan terlibat. Mereka juga biasanya lebih mampu untuk berkomunikasi mengenai pentingnya upaya perubahan secara positif, mendorong karyawan untuk membangun keberhasilan daripada hanya menangani permasalahan belaka. Menjelaskan kepada karyawan yang sudah bertahuntahun tidak pernah concern terhadap anggaran, tentang pentingnya untuk melakukan optimalisasi anggaran yang ada, merupakan hal yang sangat sulit. Karena bisa saja sebagian besar karyawan tersebut buta keuangan (financial illiteracy), sehingga tanpa suatu pendekatan yang kreatif maka tahap ini tidak akan berhasil. (3) Tahap untuk menilai apakah pengetahuan, keahlian, perilaku dan bahkan kepribadian (personality) dari anggota organisasi kita tersebut sesuai dengan perilaku yang baru. Ketika suatu
perusahaan mencoba melakukan upaya transformasi pada kegiatan operasionalnya, maka adanya rencana dan strategi yang fokus tersebut tidaklah cukup. Unsur penting lain yang lain yang ternyata cukup berhasil dalam tindakan sejenis ini – yang antara lain meliputi kegiatan bagaimana memudahkan suatu proses kerja - adalah penugasan pada karyawan tertentu sebagai suatu “change agent”/ agent perubahan yang memimpin perusahaan dalam kegiatannya. Dalam proses ini, tentunya Unit HR harus melakukan asesmen, sehingga teridentifikasi seberapa besar kesenjangan yang ada dan berada di mana saja.
Agen perubahan adalah para pimpinan yang bertindak antar unit usaha di dalam perusahaan tanpa memperdulikan adanya hirarki. Orang-orang ini diberi kebebasan dari pelaksanaan tugasnya sehari-hari agar mereka dapat memfokuskan diri untuk memimpin dan mengarahkan adanya perubahan. Secara tidak langsung maupun secara langsung, mereka mengimplementasikan proses yang baru, melatih para karyawan terhadap adanya prosedur kerja yang baru dan mereka bertindak selaku model peran untuk menunjukkan cara kerja yang baru dan yang lebih baik. Di beberapa perusahaan para agen perubahan tersebut bisa menghabiskan lebih dari 50 % waktu kerja mereka untuk : mengunjungi unit-unit yang sedang mengalami perubahan, untuk melaksanakan audit atau untuk memberi arahan bagi para manajer mengenai bagaimana memperbaiki kinerja masing-masing. Apabila perusahaan yang tidak memperhatikan pentingnya peran seorang agen perubahan di dalam proses transformasi, maka hal ini akan menimbulkan resiko yang tinggi pada kesuksessan proses transformasi.
(4) Tahap menetapkan pendekatan alternatif untuk mendorong tumbuhnya perilaku-perilaku budaya baru pada setiap anggota organisasi. Berdasarkan hasil tahap 3 tersebut, manajemen dapat menetapkan apakah pendekatan yang akan dilakukan hanya akan meningkatkan kesadaran tentang proses transformasi atau sudah harus sampai pendekatan untuk membuat anggota organisasi komit terhadap proses transformasi. Salah satu yang bisa meningkatkan kesempatan pimpinan perusahaan dalam transformasi organisasi
Agen perubahan adalah para pimpinan yang bertindak antar unit usaha di dalam perusahaan tanpa memperdulikan adanya hirarki.
adalah apabila mereka berhasil meningkatkan ekspektasi karyawan terhadap proses transformasi yang dilakukan, dapat merubah perilaku karyawan dan keterlibatan karyawan dalam berbagai tingkatan, dari manajemen puncak hingga manajemen lini. Program pengembangan kepemimpinan (leadership development) untuk kesuksesan proses transformasi Jarang ada perusahaan yang mampu menghindari adanya perubahan besar dan periodik di dalam kegiatan usahanya. Apapun penyebab dari perubahan tersebut, namun upaya dan tanggapan di dalam menghadapi perubahan tersebut hampir selalu sama, antara lain misalnya : merubah rantai pasokan; merubah hubungan antara unit penjualan, pemasaran dan fungsi unit lainnya ; dan meningkatkan tingkat efisiensi dari kegiatan produksi atau layanan jasa operasional. Perubahan tersebut dimulai dari atas dan hal ini memerlukan perhatian yang penuh secara rinci yang dialami bersama oleh pimpinan perusahaan maupun unit kerja lini. Berdasarkan 4 tahap di dalam proses Transformasi diatas kita dapat melihat bahwa peran pemimpin dan agen perubahan dalam proses transformasi sangat penting. Namun dalam perjalanan proses transformasi seringkali para eksekutif senior lupa menangani adanya kompetensi atau keahlian “soft skill’ yang diperlukan bagi para p impinan dan agen perubahan untuk menyebarkan upaya perubahan di perusahaan dan menerapkannya. Kompetensi yang dimaksud adalah: (1) kemampuan untuk tetap membuat para manajer dan karyawan untuk terus semangat/terinspirasi saat
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
25
part1 mereka dibelit oleh kesibukan kerja, (2) untuk mendorongadanya kolaborasi pada lintas unit kerja di dalam perusahaan, dan (3) membantu para manajer terlibat dalam program perubahan melalui metode dialog, bukan pengarahan tertulis.
Salah satu perusahaan industri tingkat dunia berhasil menangani permasalahan mengenai tranformasinya dengan cara melakukan program pengembangan kepemimpinan sebagai bagian dari suatu program penyempurnaan kegiatan operasional yang berskala besar, yang meliputi penerapan suatu sistem produksi yang baru yang diterapkan pada 200 pabriknya di seluruh dunia.
Proses transformasi di perusahaan tersebut harus terjadi karena kinerja pabrik-pabriknya tidak konsisten dan ada pabrik yang kinerjanya berada dibawah kinerja pabrik pesaing dari segi : efisiensi, produktivitas dan biaya produksi. Dalam usaha memperbaiki keadaan ini, teridentifikasi beberapa permasalahan seperti pandangan mengenai ketidakmampuan untuk berubah, menganggap kinerja saat ini dinilai sebagai ”cukup bagus.”
Konflik dinilai sebagai keadaan yang pasif-agresif atau bahkan, konflik tersebut tidak lagi diperhitungkan keberadaannya. Terkadang karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai alat dan penyelia mereka adalah pihak yang menekan untuk menjalankan. Dampak dari keadaan ini terhadap karyawan adalah terjadi dis-engagement atau sikap tidak mau terlibat, juga kurangnya kepercayaan pada tingkat manajemen senior dan adanya kekhawatiran karyawan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh karyawan. Rasa kekhawatiran ini timbul karena budaya perusahaan yang kuat terhadap aspek keamanan dan kecenderungan untuk menghindari resiko. Tantangan-tantangan ini sangat sulit untuk diabaikan dan harus dianggap sebagai suatu hikmah. Kelompok karyawan senior melihat bahwa dibalik adanya perbaikan teknis operasional yang harus dilakukan, pimpinan perusahaan juga harus segera menangani perubahan perilaku individu guna mendukung perubahan operasional tersebut. Untuk itu, perusahaan menyiapkan program kepemimpinan yang bersifat individu sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, sangat terkait dengan proses transforrmasi dan melibatkan para pihak yang terkait.
Tahun pertama program pengembangan ini dilaksanakan, dampaknya masih belum terlihat. Namun, setelah tiga tahun, perusahaan mengestimasi bahwa program perbaikan yang terjadi dari program pengembangan kepemimpinan ini telah meningkatkan pendapatan operasional (sebelum pajak) sebesar $ 1.5 miliar per tahun. Selanjutnya, para
26
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Terkadang karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai alat dan penyelia mereka adalah pihak yang menekan untuk menjalankan.
eksekutif melihat perilaku kepemimpinan yang baru tersebut sangat krusial terhadap keberhasilan yang berkesinambungan. Pejabat Eksekutif Senior yang memulai program tersebut yakin bahwa tanpa adanya pengembangan kepemimpinan, maka dampaknya hanya setengah dari yang seharusnya. Pejabat tersebut juga menambahkan bahwa perusahaan memperoleh laba yang berlipat berdasarkan adanya investasi yang ditempatkan pada masing-masing pimpinan yang dilatih selama ini. PPM Manajemen sendiri sudah hampir 3 tahun ini mendampingi suatu perusahaan multinasional melakukan program Management Development yang disainnya bertujuan untuk mempersiapkan para manajer melakukan inovasi di dalam unit kerjanya sehingga proses transformasi yang dilakukan organisasi menjadi berhasil. Secara finansial sudah dapat di buktikan bahwa project assignment yang dilakukan oleh para peserta program ini mampu meningkatkan pèndapatan atau mengoptimalisasi biaya secara signifikan, tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah keberhasilan para peserta membawa project assignmentmereka ke lomba inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan penilaian secara internasional. Dari pengalaman-pengalaman perusahaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu peran penting fungsi HR di dalam proses transformasi adalah membuat suatu program pengembangan kepemimpinan yang didisain sesuai dengan kompetensi baru dan sasaran proses transformasi organisasi. Setelah dilaksanakan program itu, juga harus dapat diukur kontribusinya terhadap peningkatan kompètensi para pemimpin yang menjadi peserta program tersebut. Program itu juga harus dibuktikan secara finansial memberikan kontribusi terhadap sasaran transformasi perusahaan.
(Octa Melia “MIA” Jalal, Head of PPM Manajemen Center for Human Capital Development)
Ads
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
27
part1
Apa Pentingnya Transformasi Budaya bagi Organisasi? Oleh Mursosan Wiguna
28
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
T
opik mengenai transformasi di dalam sebuah organisasi itu adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Sebagai gambaran, saya ingin memberikan pengertian bahwa transformasi itu sama esensinya dengan fenomena di alam. Sebuah tanaman yang memiliki siklus di mana sepanjang tahun akan terus berbuah, jika ingin dipertahankan kualitasnya, maka dahan atau ujung yang sudah berbuah terus itu harus dipotong. Dari langkah pemotongan inilah akan muncul tunas baru dengan output buah yang sama kualitasnya.
Korelasi di organisasi pun memiliki kesamaan, dan inilah yang biasa disebut dengan transformasi, yang mana dewasa ini, jargon tersebut menjadi begitu penting. Sebelum membahas detil, balik lagi bahwa konsep perubahan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditahan. Misalnya, kalau dulu kita mengajar menggunakan papan tulis, sekarang dengan alat proyektor dan bahkan menggunakan gadget menjadi media pengganti yang jauh lebih efisien serta bisa menghemat biaya secara signifikan. Di sini titik tekannya adalah evolusi yang sedang terjadi, dan itulah transformasi. Perusahaan pun juga harus mengikuti perkembangan bisnis bergerak ke arah mana. Sama halnya dengan kami di Garudafood. Siapa yang menyangka dari hanya kacang tanah, bisa membesar seperti sekarang ini. Dari produk kacang inilah yang ditransformasikan. Kacangnya dikemas sedemikian rupa hingga menarik, kemudian brandnya diperkenalkan kepada masyarakat luas, tidak hanya masyarakat lokal tapi melebar ke kancah global. Bicara mengenai perkembangan bisnis, maka itu terkait dengan budaya apa yang harus dibentuk. Budaya, meletakkan orang sebagai subyeknya. Organisasi itu selalu bicara tentang 3 (tiga) hal, strateginya apa, people-nya seperti apa dan sistemnya bagaimana. Ketiganya tidak bisa dipisah satu dengan yang lainnya. Nah, seringnya kita melupakan bahwa itu tadi saling terkait. Ada yang konsentrasinya ke people saja, tapi tidak peduli dengan strategi maupun sistemnnya.
Pertanyaannya, mana yang terlebih dahulu diprioritaskan? Tetap menurut saya strategi yang harus dikedepankan. Strategi perusahaan akan menentukan bagaimana mempersiapkan SDM (sumber daya manusia), dan bagaimana sistemnya bisa
mendukung. Dalam prosesnya, ketiga-tiganya harus diperhatikan. Misalnya, people-nya mau ke Bandung, strateginya bagimana agar bisa sampai dengan cepat. Kalau menggunakan pesawat terbang, ya kita bisa sampai dalam waktu 15 menit, tapi kalau yang ada hanya mobil, maka strateginya adalah mau lewat mana agar tujuan tadi tercapai, dan sistemnya terkait transportasinya tadi mendukung atau tidak. Kalau dibilang bahwa orang HR itu asyik dengan dunianya sendiri, ini kilas baliknya bahwa HR di Indonesia ini khan ketingalan dibanding dengan bidang-bidang lain. Kita bisa melihat pada era tahun 1970-an itu yang menjadi HR itu siapa, dan yang duduk di posisi tersebut masih yang sosoknya tinggi besar dan berbadan tegap, karena belum concern ke issue people sebagai aset. Kemudian tahun 1980-an, orang-orang psikhologi mulai masuk dan berjaya, dan di tahun 1990-an bergeser mulai banyak para insinyur. Nah, saat ini pergeseran kembali terjadi, di mana kalau menurut saya orang HR yang pas untuk saat ini adalah yang orang-orang yang bisa menguasai teknologi. Coba saja sekarang di industri manufaktur semuanya sudah serba otomatis semua. Nah, bagaimana orang HR akan bisa menyiapkan orang-orangnya, jika pikiran dan hatinya sudah sama dengan kondisi jaman sekarang. Ini yang saya sebut orang HR harus lebih berada di depan. Ia harus bisa melakukan transformasi yang nyambung dengan kepentingan bisnis perusahaannya.
Seperti kita ketahui bersama, Dave Ulrich, pernah menulis buku tentang “HR Champion” yang membahas tentang 4 hal yang seolah-olah terpisah antara employee champion, administration expert, strategic partner dan change agent, yang dengan pertimbangan saat ini sudah diupdate dalam buku terbarunya “HR from the Outside-In”, dan ini lagi-lagi kita bicara tentang transformasi. Jadi yg harus dilihat sekarang ini adalah bisnisnya apa dulu, kemudian strategi mencapai bisnisnya seperti apa, baru orang HR-nya mau bagaimana. Inilah kenapa orang HR harus berpartner dengan CEO, meskipun ini tidak harus diartikan bahwa orang HR harus tampil di depan, tapi lebih bagaimana ia bisa improve dan bisa mewarnai dalam setiap pengambilan kebijakan organisasi. Transformasi di perusahaan multinasional mungkin tidak terlalu dikhawatirkan karena ia akan mengikuti standar dari kantor pusatnya, tapi tantangannya adalah di organisasi-organisasi lokal, terlebih di bisnis keluarga, yang mana di setiap generasi bisa berbeda-
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
29
part1
Bicara mengenai perkembangan bisnis, maka itu terkait dengan budaya apa yang harus dibentuk. Budaya, meletakkan orang sebagai subyeknya.
beda gaya kepemimpinannya. Di sinilah kita perlu sebuah grand-design, misalnya Gen Y kita itu di tahun 2020 mau jadi seperti apa? Kalau ini sudah ditetapkan, lantas pendidikan macam apa yang harus disediakan. Dalam konteks perusahaan kalau kita tidak mempersiapkan SDM kunci sejak dini, maka ketika bisnisnya berkembang, maka dengan terpaksa, posisi-posisi penting akan diisi oleh SDM-SDM dari luar. Imbasnya apa, tentu saja untuk menarik orang dari luar itu diperlukan effort lebih, dan itu tidak murah. Di sisi lain, jangan lupa, kalau ada orang luar masuk, dikhawatirkan akan ada cost yang tidak terlihat, yakni orang-orang internal yang sudah lama menunggu posisi tersebut, namun begitu sudah dekat, ternyata diisi dari luar. Tidak heran kalau kemudian para karyawan motivasinya akan turun, dan produktivitasnya pun bisa terganggu. Bagaimana supaya hal tersebut tidak terjadi di organisasi kita, maka orang HR harus punya kemampuan untuk mengintegrasikan semua proses, mulai dari rekrutmennya hingga pensiun. Celakanya dalam prakteknya kita seringkali menunggu sampai para talentini matang terlebih dahulu, sementara bisnis tidak bisa menunggu lama. Kesalahan lainnya kita berani memutuskan bahwa talent belum matang, akan tapi ternyata tidak juga dilakukan development terhadap yang bersangkutan. Secara tidak sadar, ini juga bisa ‘membunuh’ talent dari internal.
Penting juga bahwa transformasi di organisasi itu sejatinya, meneruskan budaya-budaya yang sudah dilakukan atau menggali kembali budaya-budaya yang dulu pernah dimiliki. Kenapa sebuah perusahaan bisa sukses, ini harus digali budaya-budaya apa yang membuat ia bisa berhasil, budaya ini harus digali dari dalam organisasi. Benchmark tetap diperlukan, tapi
30
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
pada akhirnya adalah kecocokan dengan budaya yang sudah lama tertanam. Untuk menggali budaya dari dalam ini harus ada keterbukaan. Orang kita itu, seringnya melihat dari sudut pandang luar, tidak percaya diri. Seperti yang saya lakukan saat ini adalah menggali juga, dan itu tadi seringkali kita silau dengan budaya dari luar, padahal kalau mau diimplementasikan, pertanyaannya budayanya sama tidak? Belum tentu khan. Saya pun demikian, meskipun saya pernah di perusahaan multinasional, toh saya tidak bisa begitu saja menerapkan ilmu dari tempat lama ke tempat baru secara mentah-mentah. Karena budayanya jelas berbeda.
Contoh lain kaitan budaya dengan performance management, kalau kita seringkali bicara performance management, orang lebih kepada sebatas ukuran kinerja. Padahal menurut saya, performance managementitu adalah kendaraan kita untuk berubah budaya orang lain. Performance management itu filosofinya adalah orang memiliki paradigma agar orang tergerak untuk melakukan aktivitas berdasarkan performance-base. Diakui bahwa ujungya memang result, tapi bagaimana mencapai result itu tadi maka kendaraannya juga harus diperhatikan, bagaimana sistemnya dan bagaimana kesiapannya. Delapan tahun lalu saya di Allianz, orang di dalam lift meski satu perusahaan bisa terjadi tidak ada yang saling ngajak ngomong. Kenapa bisa begitu? Inilah tantangannya, hingga akhirnya saya inisiasi untuk diadakan kelas interpersonal skill. Hasilnya, dua tahun kemudian kita malah dikomplain karena di dalam lift berisiknya minta ampun. Orang saling menyapa dari name-tag masing-masing, sehingga semua bisa saling kenal, dan yang terpenting saling ada komunikasi. Ini tidak mahal, dan budaya itu harus mendasari semua program, sehingga kalau kita akan memilih nilai-nilai yang akan dikembangkan, maka budaya itu harus ada di setiap aktivitasnya.
Budaya kalau ia ditarik sendirian, maka budaya tak ubahnya adalah sebuah program belaka, dan begitu program tidak dijalankan, pada akhirnya balik ke kondisi semula. Bicara budaya, budaya itu ada di mana-
mana dan ini berfungsi sebagai pilar. Jadi sebenarnya kita hanya perlu menekan button saja, dan kuncinya ada pada komitmen dari semuanya. Kita memang bilangnya semua pihak, tapi seperti kita bersama mafhum, bangsa kita ini khan bangsa panutan, maka posisi leader menjadi penentunya. Kalau saya sebagai orang HR bilang ke karyawan, jelas berbeda kalau CEO yang turun langsung, tapi orang HR masih bisa berperan, yakni sebelum CEO ngomong, orang HR-lah yang membuat konsepnya terlebih dahulu.
Peran lainnya adalah, kita perlu mengingatkan untuk terus fokus. Misalnya, di organisasi sudah ditetapkan bahwa tahun ini adalah tahun eksekusi, maka dalam setiap kegiatan harus tercermin. Tentu saja, ini semua berangkat dari evaluasi yang dilakukan, yang kurang dari kita itu apa, solusinya apa, itu yang harus fokus. Analogi menarik mungkin kita bicara tentang klub bola di Liga Inggris. Kita bisa lihat bahwa ngomongin Manchester United itu beda jauh dengan klub bola asal Wales, Swansea City. Tapi menarik dibedah kenapa bisa, Swansea City yang bisa dibilang baru kemarin sore ternyata bisa menyabet trophy Capital One Cup atau Piala Liga Inggris seusai membantai klub League Two (divisi IV), Bradford City, 5-0 di pertandingan final di Wembley, awal-awal tahun 2013 ini. Kalau dilihat dari pemain Swansea City, tidak ada yang star, tapi justru inilah kuncinya. Pemilik klub, pelatih, pemain dan didukung suporternya minta rasa kebersamaan yang tinggi. Masalah akan muncul ketika Swansea nanti para pemainnya dilirik oleh klub-klub raksasa. Sangat mungkin satu pemainnya yang dibeli klub sekelas MU, gajinya akan berlipat-lipat dari klub lamanya. Tapi, dia bisa long-term nggak di situ, dia siap nggak dengan kompetisi di internal klub. Resiko memang. Dan ini memang tergantung bagaimana kita melihat dari sudut pandang yang berbeda.Dalam konteks organisasi, kalau kita hendak mempertahankan key-talent maka kita bicara tentang bagaiman engagement program dan sebagus apa komunikasi dengan key talent yang ada di dalam organisasi tersebut. Penjabaran HR strategi yang selaras dengan strategi bisnis dan sistem, menurut saya sebetulnya simpel
saja. Berkaitan dengan bisnis, kita tanya orang bisnis itu perlunya apa, kebutuhannya apa. Orang HR tidak boleh sombong, dengan memaksakan program yang dibilang keren. Balik lagi, orang bisnis perlunya apa, maka yang bisa dilakukan HR; pertamamengenai SDM, ya kita penuhi, kita isi. Kedua mengenai isu SDM yang siap pakai. Ini penting, karena orangnya ada, tapi kalau ternyata tidak siap pakai, itu sama juga bohong. Setelah orangnya ada, siap pakai, kemudian kita perlu orang-orang yang engage. Ya sudah, buat saya itu sudah cukup, dan mau ke mana-mana, tiga unsur itu saja yang harus dipegang.
Jadi kalau boleh menyimpulkan, pertama, untuk mengisi SDM atau fulfillment itu perlu strategi rekrutmen, dan rekrtumen ini sebisa mungkin diisi orang dari dalam. Kedua, soal readiness, berarti kita bicara mengenai training and development kepada para talent. Ketiga, engagement erat dengan compensation and benefit, reward system, performance management system, dan jangan lupa dikomunikasikan dengan baik. Itu kalau kita bicara untuk keperluan keluar, nah untuk kita selaku orang HR-nya sendiri bagaimana? Ini penting, karena kita pun juga harus bisa menjawab tantangan tersebut. Kalau saya sih kuncinya cuma dua, satu alignment dan kedua adalah kompetensi. Kalau yang tiga di luar tadi bisa dipegang dan dua yang di dalam bisa didapatkan, saya yakin hasilnya akan excellent. Terakhir, tentu semua ini harus terintegrasi secara sistem, misalnya kalau kita bicara rekrutmen, ya bagaimana sitemnya dibangun, demikian juga kalau bicara soal training atau pun ke soal performance management, sistemnya mendukung tidak.
src: allianz.co.id
*) M������� W�����, Corporate Human Capital and Corporate Affair Director at Tudung Group (Holding Co of GarudaFood Group and SNS Group)
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
31
part2
Menimang Jurus Jitu Compensation Strategy
32
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
KOMPENSASI adalah salah satu fungsi paling krusial dari Human Resource Management (HRM). Dikatakan demikian karena strategi compensation memiliki peran utama dalam menyelaraskan sumber daya manusia dengan budaya dan nilai perusahaan, sekaligus memfasilitasi mereka dalam mencapai tujuan yang ditargetkan perusahaan.
Untuk alasan itulah maka People Consulting bekerja sama dengan PortalHR memilih “Salary Review” sebagai tema umum dari seminar yang diadakan di Hotel Harris pada Kamis, 31 Januari 2013 lalu. Dalam seminar yang diikuti oleh sekitar 60 peserta tersebut, tampil beberapa pembicara yang merupakan pakar di bidang strategi kompensasi dan total reward. Krisbiyanto, Business Partner dari People Consulting memaparkan bahwa strategi kompensasi adalah turunan dari strategi bisnis dan strategi departemen SDM. Itulah mengapa seharusnya skema kompensasi diselaraskan dengan strategi bisnis perusahaan secara general. Dengan pemahaman yang baik mengenai skema kompensasi, praktisi HR dapat membentuk perilaku karyawan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
“Jika kita salah me-reward karyawan, maka sebetulnya kita juga salah membentuk behavior mereka,” terang Krisbiyanto.
Pembicara kedua tampil Lilis Halim dari Tower Watson, yang memberikan gambaran bagi para peserta seminar tentang pentingnya melakukan salary survey. Lilis menekankan, perusahaan perlu melakukan salary survey, yakni proses dimana perusahaan mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan kompensasi baik cash maupun benefit yang ada di pasaran. Tujuannya adalah agar perusahaan memiliki acuan. Susunan kompensasi yang tepat akan membantu Departemen HR dalam melakukan attract, motivate, retain karyawan dan juga melakukan kontrol dari sisi biaya. Selaras dengan penjelasan Lilis, Josephine Regina, SVP Performance and Reward dan HR Businesss
Partner Bank Ekonomi, yang merupakan pembicara ketiga mengungkap bahwa Departemen HR harus awas dengan budgeting dalam menyusun kompetensi bagi karyawan. Sekitar 70% dari biaya perusahaan adalah untuk gaji karyawan sehingga perencanaan yang matang dalam hal kompensasi sangatlah penting. Tahapan pembuatan anggaran terbagi menjadi dua langkah, yang pertama perencanaan, yang kedua adalah pelaksanaan dan pengawasan. Pada tahap perencanaan, seluruh data dikumpulkan antara lain historical data tentang gaji staff, gaji yang sekarang dan yang tidak boleh ketinggalan adalah data inisiatif di samping juga data-data di pasar.Pelaksanaan harus dibarengi dengan pengawasan dan disiplin yang tinggi. Na Boon Chong, mendapat giliran keempat untuk menyampaikan materi dalam seminar tersebut. Yang dalam kesempatan tersebut, Managing Director, Talent and Reward, AON Hewitt ini, menjabarkan trend skema kompensasi yang terjadi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Pasifik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh AON Hewitt, kenaikan gaji di Indonesia relatif lebih tinggi dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Pembahasan terakhir dalam seminar adalah tentang UMP yang berlaku di Indonesia, di mana dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinar Titus Yogaswitani yang merupakan Kasubdit Pengupahan Dit PJS memberikan perspektif dari sisi regulator. Menurutnya,banyak hal yang harus dipahami oleh perusahaan kaitannya dengan penetapan UMP.
Pada kesempatan tersebut, Dinar menghimau agar seluruh perusahaan bersedia memberikan upah yang lebih dari upah minimum tersebut apabila pekerja telah mengabdi bagi perusahaan selama lebih dari satu tahun. Nah, bagaimana pembahasan mengenai topik-topik tersebut di atas secara lebih mendalam, simak laporan khusus kami ini untuk Anda semua, pembaca setia Majalah HC. HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
33
part2
Kiat Menyelaraskan
Strategi Kompensasi Strategi Bisnis dengan
By Krisbiyanto
34
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
SAYA YAKIN bahwa kita semua sudah mengerti apa itu compensation strategy, dan apakah sudah berjalan dengan baik atau belum. Kali ini kita akan sedikit me-review mengenai bagaimana compensation benefit tersebut dapat align dengan strategi bisnis perusahaan.
Tantangan yang dihadapi Human Resource (HR) semakin kompleks akhir-akhir ini dan pada dasarnya, HR tidak dapat dipisahkan dari tantangan-tantangan tersebut. Tantangan yang pertama adalah globalisasi dan kita tidak bisa membatasi. Bahkan mungkin Indonesia termasuk negara dengan pengguna facebook terbesar di dunia, dan ini menunjukkan bagaimana posisi Indonesia di kancah global. Kedua adalah war of talent, di mana masih terjadi bajak-membajak dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Increasing pressure karyawan karena kini bos masih bisa berhubungan 24 jam dengan karyawan. Lalu berkurangnya loyalitas karyawan dan konsumen,
tekanan dari shareholder dan yang terakhir adalah cepatnya perubahan sistem organisasi sesuai dengan tren di pasar.
Di dunia kerja, selalu ada perbedaan perspektif antara pekerja dengan pemberi kerja. Pekerja menginginkan imbalan yang besar atas apa yang sudah ia kerjakan sedangkan pemberi kerja menginginkan performa yang memuaskan. Untuk itulah perusahaan perlu menyusun skema kompensasi yang dapat mendorong kinerja optimal dari karyawan.
Setidaknya ada empat output yang diharapkan departemen HR, yang merupakan hasil dari strategi yang diterapkan, yang pertama adalah engagement, selanjutnya kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi berikutnya performance dan behavior yang sesuai visi perusahaan. Jadi corporate vision dijabarkan menjadi business strategy, business strategy dijabarkan menjadi HR strategy. Dan compensation stategy adalah penjabaran dari HR strategy. Skema compensation
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
35
part2
penting dalam HR function sebagai alat yang reinforcement dan membentuk culture. Jadi seandainya desainnya salah, reward terhadap behavior salah akan memicu perilaku yang salah juga. Lalu bagaimanakah menyelaraskan strategi kompensasi dengan strategi bisnis? Kita harus tahu filosofi kompensasi yang dipakai oleh perusahaan. Tentang bagaimana kita memposisikan perusahaan di pasar, apakah rata-rata atau tinggi, atau mau menjadi the best di pasar. Juga apakah kompensasi senada dengan total reward? Apakah skema kompensasi searah dengan strategi bisnis perusahaan dan yang terakhir apakah kita membedakan performa perorangan atau menyamaratakan. Keseluruhan hal tersebut dapat menjadi dasar penyusunan skema kompensasi.
Filosofi kompensasi perusahaan sebaiknya merupakan refleksi dari tujuan bisnis dan budaya perusahaan, mencerminkan tujuan yang akan dicapai perusahaan melalui kompensasi tersebut, dan harus dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh karyawan. Dan yang perlu diingat adalah bahwa filosofi kompensasi harus dapat menyajikan pondasi untuk penyusunan skema kompensasi dan benefit. Mengapa kebanyakan organisasi gagal untuk dalam mengimplementasikan total compensation? Masih belum banyak perusahaan yang menyadari pentingnya total compensation ini, masih sedikit perusahaan yang menyediakan selembar kertas berisi total compensation statement, berapakah gaji mereka, benefit maupun tunjangan baik yang cash maupun non-cash. Secara umum, total compensation terdiri dari direct cash yang bersifat short term seperti basic salary dan insentif, non direct cash seperti long term incentive dan dana pension dan benefit seperti recognition, networking, increasing competency, long term retention, employee protection. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun skema kompetensi, di mana ada empat hal yang menjadi driver utama yang perusahaan harus perhatikan sebelum menyusun skema kompensasi. Yang pertama ditinjau dari cost atau biaya yang sanggup dibayar oleh perusahaan. Reward atau kompensasi harusnya dibuat affordable dengan budget yang dimiliki perusahaan dalam artian dapat dibayarkan secara sustainable. Driver kedua adalah employer perspective, bagaimana menyelaraskan value perusahaan dan strategi bisnis dengan talent yang tepat. Employee perspective menjadi faktor pendorong berikutnya. Bagaimana menciptakan engagement
36
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Mengapa kebanyakan organisasi gagal untuk dalam mengimplementasikan total compensation? Masih belum banyak perusahaan yang menyadari pentingnya total compensation ini. karyawan dengan skema kompensasi tersebut. Kemudian yang terakhir adalah perspective eksternal, yang artinya perusahaan harus melihat pada rewarding trendyang ada di pasar dan menentukan posisi kita, apakah kita akan menggaji karyawan premium, ratarata atau malah di bawah rata-rata.
Kesalahan dalam menyusun skema kompensasi berdampak negatif bagi performa perusahaan, antara lain kegagalan dalam mengidentifikasi keterkaitan antara strategi kompensasi dengan strategi bisnis, tidak tepat memberikan reward sesuai dengan kinerjanya, kurangnya kontrol terhadap biaya perusahaan untuk menggaji karyawan dan terjadinya overpayment dan underpayment.
Menyesuaikan dengan kondisi pasar, maka terdapat beberapa external driver yang harus dipertimbangkan dalam membuat struktur gaji, yakni indek harga konsumen, tingkat inflasi, upah minimum regional, market survey, market pull, bencana nasional dan kebijakan ekonomi pemerintah.
Yang paling penting dilakukan oleh perusahaan setelah menyusun skema kompensasi adalah melakukan komunikasi secara jelas kepada karyawan. Komunikasi ini penting untuk memastikan bahwa seluruh elemen perusahaan memahami bagaimana cara mengoptimalkan kinerjanya untuk mendapatkan kompensasi maksimal sehingga akan mendorong pada kesuksesan strategi bisnisnya. (Krisbiyanto, Senior Business Partner People Consulting)
&
Budgeting Antisipasi atas Upah Sundulan serta Membangun Struktur Upah Disusun dari materi oleh Josephine Regina
I
su upah sundulan menjadi hangat diperbincangkan, ketika akhir-akhir ini pemerintah DKI Jakarta menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), kenaikan ini membuat problem baru bagi perusahaan khususnya. Terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan hal upah sundulan, seperti halnya praktek budget, salary structure dan UMP. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, bagaimana praktek di lapangan terutama terkait antara impact budget, salary structure dan apa dampak terhadap UMP. Yang ingin dicapai dalam diskusi ini ialah pemahaman dari budget dan kaitannya dengan budget tenaga kerja. Kemudian memahami upah, salary structure, skala upah, dan mencermati dampak dari upah sundulan terutama terhadap skala upah, budget, dan yang pasti ada impactnya terhadap motivasi karyawan.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
37
part2
Budget sudah sering diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam perusahaan maupun di rumah tangga. Sedangkan budget sejatinya dipergunakan untuk melakukan perencanaan atas proyeksi pendapatan terhadap biaya, yang bertujuan untuk memastikan pencapaian atas suatu target yang ditetapkan. Sedangkan perencanaan yang dimaksud harus strategik namun juga cukup sederhana. Lalu apa kaitannya ke dalam salary structure? Pembuatan budget dapat dikatakan lebih ke arah target, karena di balik semua itu ada sesuatu hal yang ingin dicapai. Sedangkan target seringkali datangnya dari strategi perusahaan, dan strategi perusahaan dibuat oleh stakeholder atau pemegang saham. Selain untuk melakukan perencanaan, budget juga berfungsi sebagai alat pengawasan atas pelaksanaan biaya yang telah dibuat dan disetujui sebelumnya, agar dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dalam mencapai strategi biasanya membutuhkan tools seperti modal, tenaga kerja dan alat-alat produksi seperti mesin dan bahan baku. Tentunya perusahaan juga memiliki peranan penting.
Namun, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara perusahaan dan SDM. Kepentingan perusahaan mencakup efisiensi atau efektifitas, investasi, profit juga mendapatkan return. Sedangkan manusia karena telah melaksanakan pekerjaan, ingin mendapatkan feed back yang maksimal (gaji – red). Ada prinsip-prinsip behavior, di mana semakin tinggi self actualization maka kebutuhan si karyawan semakin tinggi. Dengan adanya perbedaan kepentingan antara perusahaan dan SDM sering terjadi gejolak, oleh sebab itu maka yang menjadi jembatan ialah pemerintah, pemerintah pun tak lepas dari kepentingan konstitusional, berdasarkan UUD pasal 27 ayat 2 yang menerangkan hak dan kewajiban untuk mendapatkan persamaan dalam kesempatan dalam pekerjaan dan kehidupan yang layak. Dari unsur politik dan ekonomi, jika sampai terjadi gejolak buruh, maka yang terjadi ialah para pemegang modal dari luar negeri tidak ingin menanamkan modalnya di sini. Dampaknya ialah ekonomi tidak tumbuh, perusahaan tidak bisa menggaji karyawan, akan terjadi inflasi, itu yang harus dijaga oleh pemerintah. Maka kebijakan pemerintah ialah mengeluarkan Upah Minimum Provinsi. Perlu diketahui, pada umumnya biaya tenaga kerja menjadi komponen biaya terbesar di perusahaan sekitar 70%, dan biaya tenaga kerja adalah biaya tidak pernah bisa diturunkan oleh perusahaan kecuali adanya pengurangan pegawai. Sedangkan dalam proses penyusunan budget harus
38
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
terdapat pengawasan. Saya memiliki latar belakang di bidang banking memiliki pengalaman saat membuat budget, human resource kerap kali dilibatkan. Di saat kita sedang menyusun budget karyawan di bidang human resource selalu dilibatkan untuk berdiskusi mengenai parameter-parameter apa saja yang harus dihitung di dalam komponen budget tenaga kerja. Umumnya di dalam perusahaan biaya tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam di antaranya, upah yang terdiri dari gaji, tunjangan tetap, dan overtime, karena ketiganya link each other. Selanjutnya ialah bonus sebagai biaya variabel, biaya tersebut sangat tergantung dengan pencapaian target perusahaan, dan ketiga ialah biaya lainnya sebagai biaya tambahan atau biaya bukan menjadi fix cost seperti jamsostek, ---menjadi rutin meski karyawan tidak merasakan langsung--- pensiun, biaya asuransi kesehatan, pajak penghasilan, dan lain-lain. Di sisi accounting, hal ini telah dikelompokkan agar lebih mudah dalam memonitor dan menghitung.
Penyusunan Budget Dalam melakukan proses pembuatan budget sebaiknya dilengkapi dengan beberapa data, salah satunya ialah data historical. Biasanya dalam membuat budget memang cukup sulit jika tidak pernah tahu historical biaya perusahaan sebelumnya, karena data historical tersebut digunakan menjadi acuan dasar. Selain
itu ialah ialah future yang digunakan sebagai dasar asumsi-asumsi, kembali ke strategi dan target seperti expansi bisnis.
Ada beberapa tahapan dalam menyusun sebuah budget, di antaranya dengan melakukan perencanaan seperti menganalisa dan perhitungan dengan menggunakan salah satunya data historical staff expenses. Mengenai hitung-hitungan memang agak menyebalkan, apalagi jika sudah detail ditambah lagi jika tidak memiliki data historical, payrollnya berantakan dan data accounting tidak terupdate.
Selanjutnya data inisiatif-inisiatif yang terkoordinasi, termasuk proyek-proyek SDM seperti rencana untuk mentraining calon karyawan dan ingin membeli sistem untuk SDM. Sedangkan human resource (hr) bukanlah revenue bagi bisnis atau perusahaan, hr lebih mengeluarkan uang. Yang diperlukan selanjutnya ialah data-data market, dan peraturan yang terupdate. Yang tidak kalah pentingnya dalam proses penyusunan budget ialah pengawasan, terkadang budget telah dibuat ideal namun di tengah jalan bisa menjadi tidak ideal. Dalam perjalanan pengawasan harus punya siapa ownershipnya. Umumnya dalam urusan karyawan, semuanya diserahkan kepada hr, padahal hr sifatnya hanya membantu. Sedangkan menghire calon karyawan termasuk ke dalam strategi bisnis. Maka si perusahaan pasti juga ingin mencapai sukses, dengan begitu mereka juga harus tahu mengenai karyawan, seperti membantu menghandle peoplenya, dan tahu kapan harus mempromosikan karyawan tersebut. Oleh sebab itu, penting sekali dalam menempatkan ownershipnya dengan benar. Selain itu disiplin, tiap bulan harus memonitor jika seandainya tiba-tiba suatu kondisi seperti inisiatif tidak bisa jalan atau tidak terjadi kesepakatan, atau manajemen ingin menambah budget, maka kita harus bisa melihat cost mana yang harus ditrade off, kecuali jika memiliki dana lebih.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu komponen terbesar dari budget ialah upah. Terkait pelaksanaan imbalan/upah telah diatur di dalam UU Tenaga Kerja No. 13 Th. 2003 yang memiliki definisi hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang akan dilakukan. Jadi dari definisi tersebut lebih ke arah kepada kesepakatan antara si pemberi dan si penerima, dengan demikian sering diadakannya kontrak kerja.
Upah Sundulan Sedangkan akhir-akhir ini marak dibahas mengenai upah sundulan terkait dengan isu kenaikan UMP. Upah sundulan terjadi adanya penyesuaian upah, dikarenakan ada beberapa karyawan yang upahnya berada di bawah dari UMP kemudian perusahaan mendorong ke atas sehingga mempengaruhi orangorang yang memiliki jabatan di atasnya. Itulah yang membuat dilema bagi perusahaan, karena akan menaikan biaya dan impactnya terhadap unsur internal relativity, unsur SDM, motivasi, dan sebagainya. Seringkali manajer bertanya kepada hr, bagaimana caranya melakukan penyesuaian upah? Kecuali bagian hr telah melakukan penyesuaian upah sendiri bagi karyawan, namun dewasa ini banyak perusahaan telah menerapkan bahwa manajerlah yang bertanggung jawab atas peoplenya. Sedangkan dalam menentukan upah dalam bekerja, leader harus tahu bagaimana caranya memotivasi karyawan. Yang pertama-tama dilihat seseorang secara basic memang gaji, karena gaji itu bisa dikatakan cukup penting. Meskipun ada sesuatu hal lainnya yang dianggap lebih penting, seperti kenyamanan karyawan di lingkungan kerja. Jadi bagaimana caranya leader bisa memberikan salary agar karyawan tidak hanya termotivasi untuk datang namun termotivasi untuk bekerja semakin baik. Selanjutnya ialah dapat meretain, apalagi perusahaannya berkompetisi dengan kuat. Seringkali karyawan yang bagus, di market sangat terdengar, bisa jadi karyawan atau malah headnya ditarik oleh perusahaan lain. Penelitian mengatakan, bahwa mereplace seseorang costnya lebih besar 60% ketimbang dengan meretainnya. Karena mereplace sesorang harus memiliki premium cost untuk pindah di tempat kerja barunya. Selanjutnya ialah memberi peluang kepada seseorang untuk masuk pada posisi tertentu, kendala hr ialah mencari orang. Dampak terakhir ialah financial dari perusahaan, karena mau tidak mau perusahaan harus hidup.
Dalam salary structure, upah tidak ada the bestnya, namun kita bisa menyimpulkan mana yang terbaik untuk perusahaan, karena kategori perusahaan bisa berbeda-beda. Selanjutnya dalam membuat salary structure ialah sederhana agar jika terjadi perubahan tidak kompleks, harus selaras dengan struktur organisasi perusahaan, selaras dengan peraturanperaturan perusahaan terkait dan kondisi market (eksternal), selaras dengan strategi reward. Itulah yang harus dimonitor agar tidak terjadi upah sundulan. Kemudian strategi perusahaan, seperti siapa yang harus diretain dan siapa yang harus ditempatkan di the best position.. ( /@friesskk) HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
39
part2
INDONESIA COMPENSATION &BENEFIT TREND Mengapa kita harus berbicara total reward? Di sini kita akan melakukan link antara skema reward dengan strategi bisnis perusahaan.
40
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
T
otal reward itu based on tiga big pillars, yang pertama adalah foundational reward, yang benar-benar menjadi pondasi dari reward itu seperti apa. Apa sajakah itu? Base pay, upah atau basic salary, kemudian ada tunjangan-tunjangan, transportasi, health care, life and disabilities dan jenis tunjangan lain. Selain tunjangan, ada pula benefit, payment benefit dan asuransi.
Pilar yang kedua adalah performance based reward dan ketiga Career and Environment Reward. Performance based reward ini yang kita harus bedakan, jangan menyamaratakan, karena ada karyawan yang memang kinerjanya lebih bagus dalam pekerjaan yang sama. Kita perlu memberikan penghargaan yang lebih tinggi karena jika tidak, kita akan kehilangan top talent. Karyawan akan berpikir, untuk apa kita bekerja bagus-
bagus jika tidak dihargai? Jadi perbedaan tersebut harus kita buat.
Career and environment Reward. Karir itulah yang dicari, terutama talent-talent generasi sekarang atau generasi muda. Berbeda dengan ekspektasi orangorang dahulu, anak-anak sekarang lebih mencari seberapa cepat ia mencapai tangga karir. Loyalitas berkurang, karena mereka ingin cepat maju. Mereka akan melihat, apakah saya mempunyai opportunity untuk maju? Satu tahun dari sekarang, saya sudah sampai di mana?
Konsep inilah yang secara keseluruhan kita masukan dalam total reward dan total reward ini harus kita selaraskan dengan strategi bisnis perusahaan. Strategi total reward ini adalah turunan dari business strategy
Karir itulah yang dicari, terutama talent-talent generasi sekarang atau generasi muda. Berbeda dengan ekspektasi orang-orang dahulu.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
41
part2
dan juga Human Resource Strategy dan harus kita optimalkan karena reward ini berhubungan erat dengan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan.
Bagaimana kita mengoptimalkan Total Reward untuk mendapatkan Return on Investment yang maksimum? Kita harus melakukan alignment dengan strategi bisnis yakni men-support aktivitas bisnis yang di perusahaan. Total Reward berfungsi sebagai driver dari perilaku (behavior) tertentu karyawan. Misalnya saja reward yang diberikan kepada sales person, mereka akan bekerja keras karena adanya reward. Tower Watson (TW) juga melakukan survey Global Workforce Study, mengenai employee engagement di Indonesia. Survey dengan responden sebanyak 115,000 karyawan di seluruh Indonesia itu mengungkapkan tentang hal-hal apa saja yang menjadi motivasi karyawan dalam bekerja. Dua hal yang disurvei adalah attraction dan retention. Attraction adalah bagaimana kita bisa menarik orang-orang untuk bergabung dengan organisasi kita, sedangkan retention adalah bagaimana mempertahankannya. Yang kita pertahankan tentunya bukan semua karyawan, dan orang HR harus mampu mengenalinya.
kompensasi yang tepat akan membantu kita dalam melakukan attract, motivate, retain dan kita dapat me-manage sisi cost yang ada. Jika perusahaan tidak ada gambaran mengenai kondisi di pasaran dan hanya mengandalkan sistem kenaikan gaji perbulan, bisa jadi gaji supir akan jauh lebih besar dibandingkan gaji staff officer.
Setiap posisi ada market valuenya. Marketnya bisa kita lihat dari jenis industrinya, seperti manufacturing, finasial, hybrid; job function misalnya akuntan, farmasi. Bisa juga dari geografis, ownership, company size dan business life cycle.
Ada tiga isu utama yang sangat berpengaruh terhadap attraction dan retention pekerja di Indonesia. Yang pertama adalah base pay. Meskipun orang selalu berpikir bahwa in reality, orang selalu merasa kekurangan, pada dasarnya reward adalah yang penting yang bisa attract dan retain karyawan. Faktor yang kedua adalah career advancement opportunities, dan yang terakhir adalah work location. Untuk retention, hubungan dengan manajer juga sangat berpengaruh terhadap keinginan karyawan untuk retain.
Lalu kita harus menentukan market position, yakni di level mana kita akan membayar karyawan. Untuk menentukannya kita dapat mempertimbangkan tiga hal, yang pertama adalah reward philosophy, apakah kita ingin menjadi leader atau follower, yang kedua need to pay, apakah kita benar-benar harus merekrut talent tersebut atau tidak dan yang terakhir capacity to pay.
Perusahaan perlu melakukan salary survey. Secara definisi, salary survey adalah suatu proses dimana kita mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan kompensasi cash dan benefit yang ada di pasaran. Tujuannya adalah agar kita memiliki acuan. Ketika kita melakukan rekrutmen, berapa yang harus kita bayar. Mengapa kompensasi ini penting? Karena susunan
Gaji karyawan secara umum terdiri dari Total Guaranteed Cash (TGC) yang terdiri dari base pay dan tunjangan regular dan Total Cash Compensation yang terdiri dari TGC ditambah variable pay yang diberikan perusahaan. Industri sekuritas menduduki posisi pertama sebagai industri yang memberikan TGC tertinggi, demikian juga untuk TCC. ( /@yunitew)
TW juga melakukan survey mengenai permasalahan perusahaan dalam melakukan attraction dan retention. Sebagian besar perusahaan mengaku kesulitan menarik (attract) critical skill employee (85%) dan mempertahankannya dengan persentase sebesar 78%. Kemudian dari employee engagement, survey dari TW mengungkapkan bahwa di Indonesia, tingkat employee engagement hanya sebesar 36%, jauh lebih rendah dibandingkan engagement di negara Fast Growing Economy (FGE) sebesar 44%.
42
Secara definisi, salary survey adalah suatu proses dimana kita mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan kompensasi cash dan benefit yang ada di pasaran.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Tren kompensasi di Indonesia, sebelum memasukkan unsur UMP, mengalami peningkatan sebesar 9,63%. Indonesia termasuk dalam top 3 perusahaan di Asia Pasifik dengan kenaikan gaji paling tinggi. Perbankan adalah industri dengan jumlah pemberian benefit terbesar kepada karyawan, sedangkan untuk variabel pay, industri sekuritas atau asset manajemen menduduki posisi puncak dengan pemberian terbesar kepada karyawannya.
part2
Disusun dari materi oleh Na Boon Chong
T
ingkat turnover di Indonesia hampir serupa dengan negara-negara lain yakni mencapai double digit setiap tahunnya, dimulai dari tahun 2010 sebesar 9,0 persen, 2011 sebesar 16,1 persen dan 2012 sebesar 12,9 persen. Turnover tersebut terjadi secara merata di setiap level posisi, baik itu middle management, junior management, general staff dan posisi-posisi lainnya.
44
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Di hampir seluruh negara di Asia Tenggara, jumlah gaji karyawan semakin meningkat dari tahun ke tahun menurut riset dari Aon Hewitt. Di Indonesia sendiri, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan gaji sebesar 7-8 persen. Dari enam negara yang diteliti, yakni Indonesia, Thailand, Singapore, Philipina, Malaysia dan Vietnam, angka tersebut terhitung cukup besar dan hanya kalah dari Vietnam dengan kenaikan sebesar 10-11 persen.
Terdapat lima alasan dasar mengapa seseorang meninggalkan perusahaan secara sukarela. 100% responden mengungkapkan bahwa mereka keluar karena adanya kesempatan yang lebih baik di luar perusahaan tempat ia kerja saat itu, 17,6% dikarenakan role stagnation, 47,1 % karena kompensasi yang lebih tinggi di pasar. Sebanyak 23,5 % mengaku pindah karena terbatasnya kesempatan untuk berkembang di perusahaan tempat ia bekerja dan alasan-alasan lainnya sebanyak 11,8%.
Ketika ditanya mengapa mereka mau stay, beberapa jawaban muncul antara lain adanya program percepatan perkembangan karir, menggaji karyawan di atas rata-rata, long-term incentives, rotasi kerja, dan short term intensive. Intinya adalah bahwa untuk dapat mempertahankan karyawan agar tetap mau bekerja di tempat kita, kita harus mengerti apa yang mendasari mereka meninggalkan ataupun tetap tinggal di perusahaan. Perusahaan juga perlu melakukan pembedaan kompensasi dari tiap-tiap karyawan berdasarkan performa mereka. Berdasarkan riset yang dilakukan Aon Hewitt, Indonesia memiliki tingkat pembedaan paling tinggi yakni 1,8x diikuti oleh Malaysia (1,67x) dan Singapura (1,63x).
Lalu apakah dampak buruk turnover tersebut bagi perusahaan? Terdapat lima tipe biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akibat dari adanya turn over karyawan. Yang pertama adalah recruiting cost. Recruiting cost meliputi biaya iklan, membayar agency iklan, biaya transportasi staff dan lain-lain. Orientation Cost menjadi hal kedua yang harus dikeluarkan perusahaan. Yang ketiga adalah training cost, termasuk biaya tenaga ahli, pembicara dan materi training. Selanjutnya adalah biaya produktivitas, yaitu produktivitas karyawan yang hilang karena keluar sebelum akhirnya si karyawan baru dapat bekerja optimal. Kelima, termination cost. Sebelum seorang karyawan resign, biasanya perusahaan perlu melakukan exit interview. Seorang karyawan memilih meninggalkan pekerjaannya karena berbagai hal, bisa jadi karena kita telah merekrut orang yang salah, karena manajer yang kurang efektif, atau bisa jadi karena tergiur untuk mencari perusahaan lain yang lebih branded. Berbagai hal bisa menjadi alasan bagi seorang karyawan untuk keluar dari tempat kerja. Dan tentunya kita setuju bahwa penanganan kasus employee retention harus fact based sehingga solusi yang kita tetapkan bisa langsung menyasar pada masalah yang aktual. AON Hewitt melakukan survei mengenai engagement
karyawan, mengenai kecenderungan karyawan untuk tetap stay di sebuah perusahaan. Engagement didefinisikan sebagai tiga variabel antara lain, apa yang mereka katakan tentang perusahaan, apakah positif atau negatif, keinginan mereka untuk tetap bertahan di perusahaan, dan apakah mereka mau berjuang untuk meraih tujuan perusahaan. Sebanyak 37% responden menyatakan engage atau akan bertahan, masih cukup rendah. Saat ini, perusahaan sudah mulai beralih dari konsep total compensation menjadi total reward. Total reward mencangkup bahasan yang lebih komprehensif antara lain compensation, benefit, development dan environment. Berbagai alat-alat (tools) dapat digunakan untuk meningkatkan engagement karyawan, misalnya dana pensiun, housing benefit, perencanaan insentif jangka panjang, tunjangan pendidikan, risk benefit (medical plan, family plan), work life balance, performance management dan suasana kerja seperti kebijakan, prosedur, orang-orang di tempat kerja dan sebagainya. Dalam menyusun employee retention program, ada beberapa poin penting yang harus kita pelajari. Yang pertama adalah mengidentifikasikan key talent. Praktisi HR bertugas untuk mengenali karyawan mana yang krusial dan mana yang tidak terlalu krusial. Dengan begitu mereka akan lebih mudah menentukan langkah dalam meningkatkan employee retention. Poin kedua adalah melakukan analisis konsekuensi dari adanya turnover karyawan. Praktisi HR juga harus mengerti motivasi-motivasi seperti apa yang diminati talent berdasarkan demografinya. Selanjutnya, keberhasilan program retensi karyawan juga ditunjang dengan keseriusan departemen HR dalam menentukan prioritas, melakukan aksi yang spesifik untuk memaksimalkan hasil, termasuk di dalamnya melakukan penyesuaian antara performance dengan insentif.
Penting sekali bagi perusahaan untuk memberikan retention tools sesuai dengan kebutuhan karyawan. Misalnya saja karyawan yang berusia 25-30 tahun dengan yang telah bekerja selama lima tahun atau kurang dari itu, maka program training, career opportunities, beasiswa pendidikan atau cicilan rumah akan berguna bagi mereka. Sedangkan untuk usia 30-40 tahun yang sudah bekerja selama 5-10 tahun, promosi, career opportunities juga masih penting. Namun, ketika karyawan kita adalah talent yang berusia di atas 40 tahun dan telah bekerja selama lebih dari 10 tahun, maka perlu bagi perusahaan untuk memikirkan retirement benefit, medical benefit, insentif jangka panjang, work life balance atau external recognition. ( /@yunitew) HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
45
part2
Memahami
UMP UMK 2012-2013 dan
Disusun dari materi oleh Dinar Titus Jogaswitani, Kasubdit Pengupahan dan Jaminan Sosial Depnakertrans
Ada perbedaan yang mencolok pada kenaikan UMP nasional tahun 2013, dibandingkan beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010, 2011, 2012 kenaikan hanya berkisar 8 hingga 10 persen, sedangkan tahun 2013 ini terjadi kenaikan cukup signifikan sebesar 18 persen secara nasional. 46
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
K
ita tahu bahwa upah adalah hak para pekerja setelah ia melakukan pekerjaannya. Upah merupakan imbalan atas prestasi/ produktivitas dan merupakan kesepakatan dan dibayarkan sesuai perjanjian. Upah tersebut termasuk tunjangan tetap bagi pekerja/buruh dan atau keluarganya. Pada hakekatnya, upah difungsikan untuk dua hal, di satu sisi ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja, di sisi lain juga untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha serta meningkatkan daya saing usaha. Penetapan upah dilakukan oleh pemerintah dan atas hasil perundingan. Seperti yang telah saya sampaikan bahwa upah itu pada dasarnya adalah kesepakatan, kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. Namun, kalau kita lepaskan begitu saja, karena kondisi tenaga kerja yang kualifikasinya masih banyak yang SD ke
Kalau upah minimum itu hanya difungsikan sebagai jaring pengaman, artinya UMP hanya diperlakukan kepada pekerja dengan masa kerja satu tahun atau paling lama satu tahun. bawah, dan bargaining power-nya masih rendah, ditakutkan pengusaha akan memberikan upah sekecil mungkin. Maka pemerintah harus berperan melindungi pekerja tersebut.
Pemerintah yang menetapkan UMP, tentunya bukan pemerintah pusat melainkan gubernur. Ada empat macam upah minimum yang ditetapkan gubernur, antara lain Upah Minimum Propinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten (UMK), Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK).
Gubernur menetapkan UMP dengan saran dari Dewan Pengupahan yang ada di propinsi maupun kabupaten kota. Untuk menetapkan UMP terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan, sesuai dengan isi pasal UU No. 13 tahun 2003, didasarkan pada kebutuhan hidup layak, tetapi dengan memperhatikan produktivitas makro dan pertumbuhan ekonomi. Namun pada kenyataannya tidak hanya itu saja melainkan kondisi pasar tenaga kerja dan usaha tidak mampu.
Kalau upah minimum itu hanya difungsikan sebagai jaring pengaman, artinya UMP hanya diperlakukan kepada pekerja dengan masa kerja satu tahun atau paling lama satu tahun, dengan tanpa pengalaman atau skill kerja sebelumnya, atau baru keluar dari sekolah. Oleh karenanya, apabila karyawan telah bekerja lebih dari satu tahun, harusnya mereka mendapatkan lebih dari upah minimum. Penetapan upah bisa dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (PKB). Dan struktur upah minimum pun seharusnya sudah lebih tinggi dari UMP. Jangan sampai perusahaan menaikkan upah karyawan, hanya berdasarkan pada kenaikan UMP. Jadi, sebetulnya gejolak buruh yang terjadi saat ini tidak akan terjadi seandainya setiap perusahaan menetapkan gaji karyawan berdasarkan struktur upah, dan bukan upah minimum. Sebagai jaring pengaman agar upah pekerja tidak merosot, seharusnya upah minimum memang tidak meningkat terlalu tinggi.
Survey kebutuhan hidup dilakukan oleh dewan pengupahan, dengan komposisinya adalah unsur pemerintah, pekerja, pengusaha dan melibatkan pakar dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung. Melibatkan berbagai pihak dengan tujuan bahwa survey dapat dilakukan secara adil, tidak memihak. Mengapa UMP tahun 2013 mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya? Hal tersebut terjadi karena penyesuaian dan penambahan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang sebelumnya didasarkan pada PERMENAKERTRANS No. 17 tahun 2005, sebanyak 46 jenis KHL menjadi 60 jenis berdasarkan PERMENAKERTRANS No. 13 tahun 2012. UMP ditetapkan dua bulan sebelum berlaku. Jadi, apabila UMP diterapkan 1 Januari 2013, maka setidaknya gubernur harus sudah menetapkan akhir Oktober atau awal November 2012. Dua bulan tersebut adalah waktu yang disediakan bagi para pengusaha untuk melakukan perhitungan. Apabila Kabupaten merasa bahwa UMP yang ditetapkan terlalu rendah, maka bupati boleh memutuskan untuk UMK yang lebih tinggi, 20 hari setelah UMP ditetapkan, berarti sekitar 20 November. Kenaikan upah minimum itu sebenarnya adalah sebuah penyesuaian, untuk menyesuaikan daya beli masyarakat. Kenaikan UMP yang relatif lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya akan berdampak pada perusahaan padat karya. Bahkan dinaikan sedikit saja, dampaknya akan besar sekali. Untuk itulah, untuk perusahaan tekstil dan produk tekstil, penangguhan kenaikan kemungkinan akan disetujui gubernur berhubung karyawannya ribuan atau bahkan puluhan ribu. Tentunya dengan ketentuan agar syarat-syarat sesuai undang-undang segera dilengkapi.
Meskipun UMP ditetapkan, namun ada beberapa propinsi yang tidak menentukan UMP. Contohnya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat. Mereka tidak berpatok kepada UMP melainkan langsung pada UMP kabupaten atau walikota. Hal tersebut diijinkan karena memang setiap wilayah kondisinya berbeda dan tidak dapat disamaratakan. Survey KHL yang dilakukan oleh lima pihak yang berkepentingan, pun harus direncanakan dengan sangat matang. Barang-barang yang akan disurvei harus ditetapkan lebih dahulu mereknya, berapa harganya, dan tidak boleh dibeli ketika peak season. Barang-barang yang dibeli setiap bulan untuk disurvey pun harus sama, dan disesuaikan merek yang beredar di wilayah tersebut jika memang sebuah merek yang sudah ditetapkan tidak beredar di wilayah tersebut. Dengan survey yang intensif tersebut, diharapkan agar pemilihan KHL tidak merugikan salah satu pihak pun. ( /@yunitew) HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
47
trend salary indonesia 2013
#1
Companies is facing problem in Attracting and Retaining Top Talent Indonesia is facing more challenges in getting and keeping top talent Critical skill Employees
High potential Employees
Top-Performing Employees
All Employees
56% 72%
55% 60%
50% 59%
25% 31%
Global
Global
Global
Global
78% 85%
77% 78%
72% 74%
24% 28%
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Problems Attracting Problems Retaining
Indonesia
#2
Salary is still critical driver for getting and keeping employee following by career advancement and work location Top Five Issues/Driver for Indonesia Base pay/salary Work Location Career advancement opportunities Opportunities to learn new skills Healthcare & wellness benefits
Attraction
Base pay/salary Relationship with manager Career advancement opportunities Retirement benefits Work location
Comparative Salary Increase Rates 2011 - 2013 Indonesia (INA), One of The Top Five Countries Salary Budget Planning Survey, Asia Pacific
Retention
Infographic by:
Source:
48
#3
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
2011 2012 2013
AUS
CHI
HKG
4.0% 4.0% 4.0%
8.8% 8.4% 8.4%
4.3% 4.4% 4.7%
GENERAL INDUSTRY
INA
JAP
MAL
PHI
SIN
SKR
TAI
THA
VIE
11.6% 8.9% 11.5% 9.0% 12.0% 9.6%
IND
2.5% 2.3% 2.3%
5.7% 5.5% 5.5%
7.0% 7.0% 7.0%
4.4% 4.3% 4.5%
5.4% 5.2% 5.4%
4.0% 3.9% 4.0%
5.8% 5.7% 6.0%
11.4% 12.0% 12.0%
General Industry salary increase projections for 2013 look to be quite cautious, ranging from 0.0% to +0.5% for 2012 and 2013, India and Vietnam are projected to post the salary increase rates in the region. Indonesia, China and the Phillipines round out the top five countries.
#5
#4
Top Three Salary Increase by Industry 2011 - 2013 2011
Market Movement in Indonesia 2011 - 2013
2012
12.92%
12.00%
Life Insurance
10.00%
General Insurance
Foreign Bank
4.00%
11.75% JV Bank
10.69% Life Insurance
11.55%
6.00%
11.79% General Insurance
11.80%
8.00%
2013
10.25% Consumer Products
10.34% Oil & Gas
10.00% Oil & Gas
2.00% 0.00% 2011
2012
2013
Salary Increase
10.38%
9.17%
9.63%
GDP
6.10%
6.30%
6.40%
CPI
3.79%
4.30%
6.50%
* The anticipated increase not included the impact of minimum wage increase ** Data taken from Bank Indonesia & BPS & EIU
#6
Graduate Entry Salary
Market appreciate higher education gradual and willing to paymore All Industry:
Diploma P50: Rp 2,025,000 P75: Rp 2,675,000 P90: Rp 3,015,000
Avg.
52%
Bachelor Degree
Master’s Degree
Avg.
58%
P50: Rp 3,000,000 P75: Rp 4,075,000 P90: Rp 5,386,000
P50: Rp 5,000,000 P75: Rp 6,500,000 P90: Rp 8,000,000
#7
Employee Engagement is Suffering
Salary increament is not guaranteed higher employee engagement Only 36% of Indonesian employees highly engaged, lower than Faster Growing Economics scores 42% is really detached and disengaged to their current employer
17%
21% Highly Engaged
Indonesia
25% 36%
23%
FGE
16%
19%
Unsupported Detached Disengaged
44%
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
49
Oleh: Meisia Chandra
50
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
“You were born to be a fisherman as the fish was born to be a fish.”
K
etika Santiago sudah melaut selama 84 hari dan tidak kunjung mendapat seekor ikan pun, dia pun mulai merenung dalam kesendiriannya di kapal. Betapa pun sial nasibnya, tokoh orang tua dalam novel Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway itu tetap akan melaut dan menyadari inilah pekerjaan untuk apa dia dilahirkan. Betapa beruntungnya seseorang yang selalu tahu pekerjaan apa yang he/she was born to. Tidak perlu lagi ada kegalauan.
Namun di dunia modern yang serba kompleks, hadirnya semakin banyak pilihan untuk individu yang semakin kapabel, membuat segalanya lebih rumit dan justru menjadi sumber kegalauan.
Berapa banyak dari kita yang tahu dengan pasti pekerjaan yang cocok (jangankan pekerjaan yang telah ditakdirkan sejak lahir)? Atau apakah sebagian besar dari kita hanya terlunta-lunta dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain hingga kita menemukan sesuatu yang benar-benar “gue banget.” Tidak sedikit orang yang merasa “terjebak” tanpa makna dalam korporasi besar. Petikan berikut saya ambil dari novel best seller Revolutionary Road karya Richard Yates yang telah difilmkan dengan toko utama Leonardo di Caprio.
All I want is to get enough dough coming in to keep us solvent for the next year or so, till I can figure things out;
meanwhile, I want to retain my own identity. Therefore the thing I’m most anxious to avoid is any kind of work that can be considered ‘interesting’ in its own right. I want some big, swollen old corporation that’s been bumbling along making money in its sleep for hundred years, where they have to hire eight guys for every one job because none of them can be expected to care about whatever boring thing it is they’re supposed to be doing. I want to go into that kind of place and say, Look. You can have my body and my nice college-boy smile for so many hours a day, in exchange for so many dollars, and beyond that we’ll leave each other strictly alone. Petikan di atas adalah kata-kata tokoh Frank Wheeler kepada temannya tentang apa yang dicarinya dalam suatu pekerjaan. Tentu saja ini adalah salah satu dramatisasi dari kenyataan begitu banyaknya orang yang tidak menemukan makna apa-apa dari pekerjaannya selain setumpuk dollar. Apakah Anda salah seorang dari orang-orang malang itu? Kabar baiknya adalah, seniman dan penulis bukan satu-satunya yang bisa mendapatkan semuanya dari sebuah pekerjaan: uang, kepuasan, dan menjalankan kehidupan yang mereka sukai. Semua profesi layak mendapat hal yang sama. Job › Career › Calling Adalah wajar apabila pada awal karir seseorang memilih pekerjaan hanya demi mendapatkan
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
51
Kita semua terlahir dengan keunikan dan talenta-talenta khusus yang membuat kita bertanya-tanya, apa tujuan semua pemberian dari sananya itu?
pekerjaan dan pendapatan. Namun seiring perkembangan, mereka pun mulai mempertanyakan masalah karir. Seperti kata seorang career coach ternama Rene Suhardono “Your job is not your career” maka mereka pun mulai mempertanyakan sejauh mana pekerjaan (job) mereka memberi mereka peningkatan dan pengembangan diri. Lebih tinggi lagi dari masalah karir adalah pertanyaan tentang Calling. Pada level ini orang-orang mulai mempertanyakan apa yang menjadi panggilan hidupnya, apa yang menjadi tujuan dia dilahirkan dan apa kontribusinya terhadap kehidupan ini.
Berbagai literatur terbaru tentang karir dewasa ini semakin menekankan pentingnya pencarian makna, fulfillment, purpose, bukan lagi semata pada tingkatan pencapaian karir. Organisasi pun mulai harus memikirkan hal-hal seperti value dan kontribusi terhadap dunia di mana kita berada, bukan semata mengeruk keuntungan. Menjalankan profesi dan karir sesuai calling kita dipercaya sebagai satu-satunya cara mendapatkan kepuasan/kebahagiaan dalam karir yang pada akhirnya akan mengantarkan individu pada kesuksesan sejati.
Apabila Anda merasa seperti Frank Wheeler di atas, maka apa yang harus Anda lakukan adalah menemukan Calling Anda agar apa yang Anda lakukan di dunia ini lebih bermakna. Leider & Shapiro (2001) memberi petunjuk praktis tentang bagaimana mengenali Calling.
1. Panggilan itu datang dari suatu sumber. Setiap dari kita dipanggil. Tidak ada panggilan tanpa
52
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
sumber. Konsep Calling adalah konsep spiritual yang menantang kita melihat pekerjaan kita dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan kita yang paling dalam. Kita semua terlahir dengan keunikan dan talenta-talenta khusus yang membuat kita bertanya-tanya, apa tujuan semua pemberian dari sananya itu? Mungkin saja ada tujuan kita diberikan semua talenta yang unik tersebut. Ada panggilan dalam diri kita yang harus kita dengarkan dan jalankan di dunia ini. Panggilan ini datang dari sebuah sumber yang jauh lebih besar dan lebih kuat dari kita. 2. Panggilan itu terus memanggil. Setiap orang dapat menyadari Calling-nya dalam waktu yang berbedabeda, kadang panggilan datang pada saat dan dalam bentuk yang tidak kita sangka-sangka. Namun ada suatu yang selalu memanggil secara konstan yang membuat kita akhirnya sadar: ada hal-hal yang selalu membuat kita merasa passionate, pekerjaan-pekerjaan yang selalu kita yakini perlu dilakukan di dunia ini.
3. Panggilan itu personal. Calling kita masingmasing seperti tanda tangan atau cap jempol, unik. Menjalankan panggilan kita berarti kita sadar bahwa kita berada di dunia ini untuk mengkontribusikan sesuatu yang tidak ada seorang pun bisa mengkontribusikan dengan cara yang sama.
4. Panggilan itu long-distance. Menjalankan panggilan kita adalah pilihan sadar untuk menggunakan bakat-bakat kita untuk melayani orang lain dan membuat perubahan di dunia ini. Panggilan ini bersifat jangka panjang, keseluruhan makna hidup kita akan terungkap melalui ekspresi jangka panjang dari calling kita ini. Calling ini kemudian akan menjadi salah satu sumber warisan kita di dunia ini.
Untuk memudahkan, Leider dan Shapiro juga membuat Calling Card. Melalui riset mereka mengumpulkan apa yang menjadi calling banyak orang dan menemukan 52 inti dari inti dari berbagai calling tersebut. Saya mengambil contoh beberapa dari ke-52 calling tersebut, untuk membantu Anda merenungkan panggilan hidup Anda. Misalnya: Building Things, Getting Things Right, Bringing out Potential, Researching Things, Persuading People, Bringing Joy, Healing Wounds, Creating Things, dan Writing Things. Ketika menemukan dan kemudian menjalankan panggilan Anda tersebut, maka pastilah kepuasan bekerja sepenuhnya akan Anda capai. Hadiah dari sananya berupa segala keunikan kita ini apabila dibuka dan dibagikan akan memperkaya hidup kita tanpa batas.
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
53
Setelah kemunculan Google pada tahun 1998, bisa dibilang social media kini merupakan idola baru bagi masyarakat dunia. Geliat social media semakin mulus karena ditunjang dengan kemudahan pengguna dalam mengakses internet. Di satu sisi kehadirannya membuat jalur informasi semakin deras mengalir, di sisi lain ada beberapa pihak yang mulai ‘panik’ untuk membendungnya.
Oleh: Nurul Melisa
S
alah satu kubu yang mulai bergeming adalah praktisi HR. Sebagai juru kunci perusahaan dalam urusan ketenagakerjaan manusia, tindak tanduk karyawan merupakan aspek penting dalam tugas mereka. Dengan adanya social media, praktis pekerjaan HR semakin bertambah. Malla Latif selaku CEO PortalHR mengakui bahwa social media adalah tools baru yang fenomenal. “Dulu ketika email menjadi alat penyambung informasi antar lini, kita mungkin tidak akan menyangka bahwa social media menjadi saluran informasi yang sangat terbuka,” ujar Malla. Tidak hanya itu, social media membuat semua orang bisa mendapatkan informasi sangat cepat. Jadi menurut Malla, jangan heran bila issu PHK itu sudah tercium oleh karyawan Anda jauh-jauh hari, jika Anda
54
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
tak pintar menjaganya dari social media. Apakah dengan begitu kita harus melarang semua akses karyawan untuk ber-social media? Menurut Malla pelarangan akses internet di kantor adalah tindakan yang sia-sia.
Malla menyampaikan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan data dari we are social, pada Oktober 2012 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang. Yang menarik, penetrasi mobile di Indonesia mencapai 109% yaitu sebesar 270 juta pengguna. Dan 18% atau sekitar 43 juta nya merupakan pengguna top social network. “Dengan tingkat penetrasi mobile yang begitu tinggi itu, menurut saya kebijakan untuk men-stop akses internet dari HR adalah silly, karena employee bisa akses dari telepon genggamnya,” terang Malla. Malla melanjutkan Facebook dan Twitter masih menjadi social media yang paling favorit di Indonesia. Saat ini Indonesia sama-sama menduduki peringkat ke 4 untuk Facebook dan Twitter di dunia. Namun yang mengejutkan, kota Jakarta tercacat sebagai kota teraktif di dunia.
Lalu apa yang bisa dilakukan insan HR dalam memanfaatkan perkembangan social media di Indonesia?. Menurut Malla, mau tidak mau praktisi HR mesti terjun dan terampil dengan social media. “Banyak prediksi yang mengatakan bahwa 2013 adalah tahun social HR. Banyak perusahaan yang membutuhkan HR yang mempunyai skill social media,” jelas Malla. Bahkan menurut Malla, beberapa perusahaan lebih menginginkan merekrut orang yang mempunyai skor Klout yang tinggi ketimbang IQ yang tinggi. Sungguh sebuah fenomena yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Untuk itu Malla menekankan bahwa personal branding menjadi sangat penting bagi perusahaan.
Employee Branding, Dampak Dari Social Media Malla yang aktif menjadi pembicara dalam seminar HR ini menyampaikan ada 8 dampak dari social media bagi dunia HR, diantaranya: 1. Employee branding 2. Collaboration & communication 3. Talent recruiting 4. Assesing online record 5. Professional development 6. Employee engagement 7. Driving innovation 8. Alumni relations
“Banyak prediksi yang mengatakan bahwa 2013 adalah tahun social HR. Banyak perusahaan yang membutuhkan HR yang mempunyai skill social media,”
Kedelapan dampak ini menjadi tantangan baru bagi praktisi HR. Hal pertama yang kurang disadari oleh para HR profesional adalah bahwa social media berdampak kepada employee branding. Melalui social media karyawan bisa berinteraksi secara tidak langsung mengenai brand mereka. Apa yang keluar dari ‘status’ para karyawan secara tidak langsung menggambarkan kondisi yang ada di dalam perusahaan.
“Sentimen karyawan kepada bos-nya dapat kita ketahui dari tweet mereka, jangan sampai hal ini belum siap kita antisipasi,”tambah Malla. Tidak perlu ditakuti, hal yang perlu kita lakukan adalah terjun langsung ke tren tersebut. Praktisi HR tidak harus aktif ber-social media namun mereka seharusnya mulai terbiasa berinteraksi di jaringan social, ujar Malla. HR yang lebih cepat beradaptasi dengan tren ini, mereka yang akan tahu apa yang dibutuhkan untuk perusahaan.“ Karena mereka akan menularkan skill ini kepada karyawan, sehingga employee branding bisa menunjukkan engagement karyawan,” imbuh Malla. Selain social media, three generation juga menjadi tren baru di dunia HR. Komunikasi yang terbuka yang didapatkan dari social media sangat berpengaruh kepada perilaku generasi X, Y & Z. Menurut Malla three generation ini yang harusnya dipikirkan oleh perusahaan. “Melalui social media kita bisa mengattract mereka dengan efektif. Buat mereka terlibat dan manage mereka dari informasi yang ada di social network mereka, contohlah Google,” saran Malla.
Banyak alasan mengapa praktisi HR mesti warming up dengan adanya social media. Mulai dari rekrutmen, attracting dan engagement karyawan, kita membutuhkan media sosial. Namun Malla mengakui masih ada kendala bagi beberapa perusahaan yang mempunyai peraturan tegas terhadap social media. Untuk itu Malla menyarankan sebelum mengaktifkan social media di dalam sebuah organisasi, perusahaan harus menentukan dulu apa tujuannya. “Setelah perusahaan telah menentukan apa tujuannya menggunakan social media, hal kedua yang mesti dilakukan perusahaan adalah setting social media policy,” ,” pungkas Malla. HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
55
Gaya
Kepemimpinan “Bapakisme”
Asli Indonesia Disusun oleh: Nurul Melisa
Figur bapak di dalam keluarga adalah contoh sosok pemimpin yang paling sederhana. Wawasan dan keterampilan sang kepala keluarga tentu menjadi investasi penting bagi tumbuh kembang sebuah engan budaya yang masih kental, orang kehidupan. Begitu juga di Indonesia biasanya akan menempatkan organisasi, ‘bapak’ anak-anak pemimpin di sebuah organisasi dengan sosok lah yang akan menentukan bapak. Dibandingkan bangsa lain, masyarakat Indonesia dikenal sebagai salah satu masyarakat yang prestasi perusahaan akan bisa menerima hierarki sebagai struktur sosial penting. tercapai atau gagal.
D
Kita biasa menyapa seseorang dengan panggilan yang menunjukkan statusnya, seperti ‘Mbak’, ‘Mas’ atau ‘Dik’. Berdasarkan aturan hierarki tersebut lahirlah gaya kepemimpinan dalam organisasi bersifat “bapakisme”. Khazanah budaya Indonesia memberikan sejumlah rujukan tentang karakteristik pemimpin di Indonesia, salah satunya gaya paternal. Tiga penulis buku “Pemimpin & Perubahan, Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia” menjelaskan sisi kepemimpinan Bapakisme yang tenar di Indonesia.
Seorang sosiolog Jerman menyebutkan bahwa pola pemimpin Indonesia dalam konteks organisasi sebagai “Bapakisme” adalah sebuah gaya kepemimpinan yang paternalistik, ditandai dengan dominansi pemimpin, namun halus dan tidak langsung (Brandt, 1997). Guru Besar psikologi sosial Unika Atmajaya, Bernadette N Setiadi menyampaikan bahwa Bapakisme pada awalnya menekankan relasi bapak-anak. Dimana tokoh bapak menunjukkan karakteristik menjaga, merawat, dan melindungi, namun pada saat bersamaan juga mengendalikan, menuntut, serta
56
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
Dari sini kita menyadari bahwa tindak-tanduk pemimpin Indonesia memperlihatkan sikap yang halus dan jarang sekali menerapkan sanksi yang tegas. mengharapkan ketaatan dan kesetiaan.
Dalam penelitiannya, ia menggambarkan tokoh bapak dalam budaya Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara. Seorang bapak adalah seorang yang merupakan teladan bagi bawahannya, serta memberi inspirasi, motivasi dan bimbingan kepada mereka (Moeljono, 2008; Shiraishi, 1996). Yang menarik adalah gaya Bapakisme ini berbeda dari gaya kepemimpinan otoriter. Karena pendekatan Bapakisme hanya dapat berjalan efektif jika ada penerimaan dari bawahan terhadap otoritas sang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin Indonesia biasanya mengupayakan beragam cara untuk membangun penerimaan dari bawahannya.
Kadang kita terkejut mengetahui bahwa seorang top eksekutif tidak segan untuk gitaran atau main gitar bersama-sama anak buahnya. Hal itu dilakukan dalam upaya pengenalan personal kepada bawahannya dan memanfaatkan pengenalan ini ke dalam sentuhan personal kepada bawahan. Karena dalam suasana yang relax, ia dapat mengenali mana bawahannya yang berani dan nantinya dapat memberi masukan dengan lugas. Dan mana bawahan yang lebih menahan diri, sehingga harus didekati dengan lebih hati-hati. Sayangnya, cara ini kadang dinilai kurang efisien, karena menuntut usaha dan waktu panjang, walaupun biasanya efektif.
Selain bisa menciptakan suasana yang akrab, Bapakisme juga menunjukkan beberapa sikap positif terhadap keragaman budaya. Sebut saja sikap sensitif terhadap budaya, sopan, gaya komunikasi yang akomodatif dan mampu menciptakan komunikasi yang cair antara bawahan dan atasan. Tidak bisa dipungkiri, gaya bapakisme ini menuntut peran utuh dari seorang pemimpin yang diharapkan dalam konteks Indonesia. Menurut konsep tersebut, seorang pemimpin ideal harus mampu berjalan di depan sebagai pemberi arah, membaur bersama
kelompoknya sebagai peberi motivasi, dan mendukung timnya dari belakang. Bisa jadi dominansi gaya kepemimpinan bapakisme ini membentuk sebuah harapan di kubu masyarakat tentang sosok pemimpin ideal. Dimana dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, masyarakat Indonesia lebih menghargai pemimpin yang berkharisma dan berorientasi pada kelompok. Hal ini diperkuat dari studi yang dilakukan Taormina dan Selvarajah (2005) tentang leadership excellence yang diikuti oleh 5 negara pendiri ASEAN. Hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah kelompok yang paling memilih empati personal sebagai aspek kunci pemimpin ideal.
Survei lain menunjukkan bahwa ciri umum yang menonjol bagi para pemimpin Indonesia adalah upayanya untuk menciptakan iklim kerja yang nyaman dan positif (Tjitra, Panggabean, Murniati & He, 2010). Penelitian itu dilakukan pada 81 ekspatriat Indonesia di China dan Singapura.
Dari sini kita menyadari bahwa tindak-tanduk pemimpin Indonesia memperlihatkan sikap yang halus dan jarang sekali menerapkan sanksi yang tegas. Mereka sendiri mengakui bahwa sesuai dengan penanaman nilai yang mereka terima, tidak selayaknya jika seorang pemimpin berlaku kasar dan emosional. Selain bahwa mereka tidak ingin menyakiti orang lain, tindakan yang kasar dan temperamental juga dianggap merendahkan wibawa mereka sebagai pemimpin. Ciri lain dari pemimpin Indonesia yang menonjol adalah kesediaan untuk memberikan dukungan pribadi kepada karyawannya. Mereka tidak akan segan-segan untuk melibatkan diri dalam masalahmasalah pribadi karyawannya. Ketegasan dalam mengambil keputusan kadang kurang dimiliki pemimpin Indonesia, mereka dikenal tidak otoriter dan cenderung mengedepankan pelibatan bawahan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ada konsitensi terhadap pentingnya unsur manusia dan relasi antar manusia dalam perilaku kepemimpinan Indonesia. Jika gaya kepemimpinan Bapakisme relatif berhasil, akankah gaya khas kepemimpinan Indonesia ini mampu bertahan di tengah keanekaragam budaya global?. Yang jelas, perilaku tokoh pemimpin bangsa selalu menarik untuk diamati. Sumber: Pemimpin dan Perubahan, Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia
Pengarang: Hora Tjitra, Hana Panggabean, Juliana Murniati
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
57
Keberanian, Kiat Pemimpin
dalam Memaksimalkan
Perubahan Disusun oleh: Nurul Melisa
K
etika perubahan di dalam organisasi sedang berjalan, selain mengolah manusia, ada beberapa kiat seorang pemimpin dalam memaksimalkan sumber dayanya. Beberapa Top Eksekutif perusahaan papan atas di Indonesia menuturkan rahasia mereka dalam mengolah perubahan. Dalam cerita mereka di dalam buku Pemimpin dan Perubahan, Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia, faktor semangat belajar merupakan salah satu kunci keberhasilan mereka dalam mengolah perubahan.
- Pemimpin senang belajar Berubah itu selalu diidentikkan dengan belajar. Seseorang dikatakan sudah belajar jika ia sudah berhasil membentuk perilaku yang diajarkan atau dilatihkan. Untuk itu, indikator hasil belajar dinyatakan dalam perubahan perilaku. Yang menjadi tantangannya adalah sifat manusia yang enggan untuk bergeser dari zona nyaman. Pada saat proses belajar sedang berjalan, maka segala sesuatu yang teratur akan berubah dan kurang enak diterima. Bisa dibayangkan ketika kita belajar bahasa asing, kita akan merasa seperti anak kecil yang banyak tidak mengerti. Kesulitan, merasa bodoh, serba salah dan
58
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
rasa frustasi adalah akibat yang mungkin muncul karena kita meninggalkan comfort zone untuk belajar sesuatu yang baru.
Di dalam organisasi, sosok panutan yang paling efektif adalah pemimpin. Untuk itu, pemimpin harus berani menampilkan dirinya sebagai individu yang sedang belajar. Pemimpin menjadi contoh penggerak kesediaan belajar, sebelum meminta orang lain untuk belajar. Sikap keberanian untuk menjadi ‘murid’ ditunjukkan Erwin Tenggono, Presiden Direktur PT Anugrah Argon Medixa (AAM), anak perusahaan Dexa Group.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menganggap penting hierarki, pemimpin harus memberikan contoh terlebih dahulu sebelum meminta orang lain belajar.
“Saya menghadapi kenyataan pahit dan berani mengakui bahwa kami gagal, berani menyatakan bahwa kami tidak tahu. Contohnya pada saat kami mau mulai mengembangkan bisnis baru, divisi consumer. Pada saat itu kami berkumpul dalam satu ruangan yang berjumlah 200-an orang, lalu saya berbicara dalam ruangan itu, “Yang mengerti consumer business itu siapa? Yang jelas bukan saya, melainkan orangorang baru yang kita rekrut. Orang-orang yang usianya masih muda. Tapi, baru ketemu kita saja mereka sudah takut, sehingga akhirnya saya katakan bahwa “We must learn from them”. - Pemimpin memiliki keunggulan teknis Dengan adanya penguasaan teknis, pemimpin juga menampilkan diri sebagai panutan yang konsekuen. Dengan memiliki ‘bekal’ tersebut, bawahan akhirnya merasa segan dan hormat kepada mereka. Sehingga mereka mudah untuk diarahkan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menganggap penting hierarki, pemimpin harus memberikan contoh terlebih dahulu sebelum meminta orang lain belajar. Pandangan inilah yang diyakini oleh Gregorius Haryanto, Direktur Utama Central Sejahtera Insurance, bisnis asuransi milik grup BCA. Ketika masih menjabat sebagai Kepala Divisi KPR BCA, Greg-sapaan akrabnyatidak segan-segan ikut mengerjakan tugas-tugas teknis bawahannya dalam mengejar tenggat waktu. Selain memang bertujuan membantu bawahan, langkah ini dilakukannya juga untuk memberikan contoh. Tampak jelas bahwa perannya sebagai pemimpin menjadi panutan dengan menampilkan kemampuannya dalam
penguasaan teknis lapangan.
- Pemimpin Mau Beradaptasi Tidak jarang para pemimpin tersebut harus belajar sesuatu yang sama sekali baru dan menuntut usaha yang luar biasa. Janti Komadjaja, CEO PT Total Persada menceritakan bahwa ia harus belajar tentang sistem pendidikan di Indonesia ketika Total akan mengembangkan lembaga pendidikan kejuruan. Jati harus melatih diri untuk memahami bisnis proses baru ini. “Saya harus banyak belajar lagi. Saya tidak pernah belajar mengenai sekolahan. Kalau membangun gedungnya, saya tahu, gampang. Tetapi sekarang saya diminta membangun sekolahan dan isinya, kurikulumnya, guru-gurunya, tantangannya, buat model bisnisnya bagaimana, minusnya berpa tahun. Nah, itu saya tidak tahu, jadi itu harus saya pelajari”.
- Keberanian Proses belajar yang dijalankan pada akhirnya dapat membangun kepercayaan diri dan keberanian untuk mengambil resiko. Manfaat proses belajar yang dirasakan penting adalah ketermapilan untuk menghitung risiko. Dengan demikian, pemimpin yang berani bertindak berdasarkan risiko yang sudah diperhitungkan sebelumnya dan menghindari keputusan berani tanpa dasar.
Keputusan berani diambil oleh Aswin Wirjadi ketika memotong jalur panjang terkait kontrol otorisasi pengeluaran uang di BCA. Pada awalnya, kewenangan teller untuk mengeluarkan uang secara mandiri hanya terbatas maksimal 2 juta rupiah. Sebagai akibatnya, hampir 90% transaksi harus mendapatkan persetujuan dari supervisor yang mengakibatkan inefisiensi. Aswin kemudian menaikkan batas minimum transaksi menjadi 25 juta namun diiringi dengan saksi tegas bagi kebocoran uang. Tujuannya adalah untuk empowerment para teller, memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan tanggung jawab.
Pada mulanya, Aswin menerima reaksi tidak setuju atas keputusannya tersebut. Namun ia menghadapinya dengan berani dan menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Ternyata, keputusannya ini cukup sukses, efisiensi berjalan, dan kerugiannya minimal. Sumber: Pemimpin dan Perubahan, Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia
Pengarang: Hora Tjitra, Hana Panggabean, Juliana Murniati
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
59
Kunci Perubahan:
Jangan Abaikan Faktor Manusia Disusun oleh: Nurul Melisa
P
emimpin yang berhasil adalah mereka yang pandai mengatur manusia. Kemampuan pemimpin dalam menangani manusia merupakan kunci sebuah perubahan bisa berjalan. Seperti kita ketahui manusia adalah makhluk yang berbeda antara satu sama lain. Untuk itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mengolah perubahan adalah mengolah manusia itu sendiri. T.P Rachmat, mantan Presiden Direktur PT Astra Internasional, TBK yang sukses membesarkan kelompok usaha Triputra Group, dikenal karena
60
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
komitmennya terhadap pengembangan SDM sebagai kunci keberhasilan bisnis. Pertanyaan T.P Rahmat kepada para eksekutifnya adalah, “si Anu bagaimana? sudah lebih baikkah kerjanya? atau bagaimana, Anda sudah punya pengganti buat si Anu belum?”.
Pertanyaan seputar manusia tersebut lebih sering dia ajukan daripada “tahun ini untungnya berapa”. Lambat laun, para eksekutif perusahaanya mengerti apa yang menjadi prioritas sang bos dan prestasi apa yang diharapkan dari mereka.
Pentingnya faktor manusia kadang diabaikan beberapa perusahaan. Hal itu diakui Rudy Pesik, pemilik lisensi DHL Indonesia itu menyampaikan bahwa kegagalan perubahan yang terbanyak terjadi karena mengabaikan faktor manusia dan konteks sosial budaya yang ada di sekitar manusia tersebut. Banyak pemimpin yang cerdas luar biasa dan sudah yakin dengan rencana dan skenario implementasi di atas kertas. Sering kali para pemimpin seperti ini abaikan kondisi psikologis manusia yang menjadi pelaku dan konteks perubahan tersebut. Padahal dengan tidak memerhatikan faktor psikologis manusia tersebut, perusahaan bisa menelan kerugian. Rudy mencontohkan karyawan pabrik gula yang merusak mesin pengolah tebu karena takut posisi mereka digantikan oleh mesin-mesin tersebut. Kerugian perusahaan menjadi dua kali lebih besar, tidak hanya mesin yang rusak, tetapi juga waktu dan energi yang terkuras untuk meredakan konflik. Oleh karenanya, Rudy melakukan pengenalan pada karyawan sejak awal. Ia berusaha mengenali karyawannya semaksimal mungkin, sehingga pemetaan unsur manusia sudah dimilikinya sejak awal.
Tampak bahwa bagi Rudy, waktu dan energi yang dikeluarkannya bukanlah kerugian, tetapi lebih sebagai investasi yang akan menuai hasil di kemudian hari. Dengan berkembangnya teknologi, faktor manusia justru menjadi semakin dominan, bukan semakin berkurang. Oleh karenanya, social investment justru menjadi semakin penting untuk dilakukan. Tentunya tidak mungkin bagi pemimpin untuk 100 persen mengenali karyawannya secara dekat. Dalam hal ini Y.W. Junardy, Chairman Rajawali Corpora memberikan tip, “kenali champions Anda. Para champions ini adalah change agents yang akan melanjutkan ide perubahan ke seluruh karyawan. Ya, pemimpin harus betul-betul mengenali kekuatan dan kelemahan mereka agar dapat menyusun tim yang solid dalam menjalankan perubahan.”
Tentunya tidak mungkin bagi pemimpin untuk 100 persen mengenali karyawannya secara dekat. Dalam hal ini Y.W. Junardy, Chairman Rajawali Corpora memberikan tip, “kenali champions Anda. Faktor manusia memang menjadi kunci seberapa berhasil sebuah bisnis, namun ketegasan seorang pemimpin juga dibutuhkan demi perubahan. Jika pendekatan personal sudah tidak efektif lagi, maka sikap tegas pemimpin sangat dibutuhkan. Ketegasan semacam ini agaknya menjadi pilihan pemimpin yang berhasil dalam melakukan perubahan seperti T.P. Rahmat.
“Kalau tidak setuju, ya kita juga tidak mau tunggu mereka, ngapain. Ya silakan keluar, kita juga tidak bisa nunggu terlalu lama. Ya, kita kasih waktu 3 hari, tidak harus 1 hari, dikasih waktu untuk berpikir. Pada akhirnya you have to choose, mau di organisasi atau tidak mau, dan organisasi cannot wait for him”.
Pada akhirnya sebuah perubahan di dalam organisasi membutuhkan dukungan dari semua pihak. Pemimpin adalah ikon yang bisa menjadi katalis untuk perubahan itu sendiri. Namun perlu diingat, partisipasi bawahan sangat diperlukan agar perubahan berjalan sesuai dengan kapasitasnya. Sekiranya pengalaman segelintir Top Manajemen di atas dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin melangkah menuju arena yang lebih baik. Selamat berjalan di track masing-masing, demi menyongsong perubahan yang kita butuhkan. Good luck! Sumber: Pemimpin dan Perubahan, Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia
Pengarang: Hora Tjitra, Hana Panggabean, Juliana Murniati
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013
61
62
HC MAGAZINE | #3 | MARET - APRIL 2013