35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI Total mikroba pada bahan pangan umumnya mengindikasikan praktek sanitasi yang diterapkan dalam suatu kegiatan proses produksi, transportasi dan penyimpanan pangan (ACT Health, 2006). Analisis total mikroba pada sampel dilakukan untuk mengetahui mutu mikrobiologi sampel produk MP-ASI (bubuk instan). Mutu mikrobiologi pangan perlu diketahui untuk melihat tingkat cemaran mikroba pada produk pangan tersebut, sehingga dapat diketahui risiko keamanannya apabila dikonsumsi.
2,55
2,53 2,39
2,36
Total Mikroba (log cfu/g)
2,30 2,08 2,05 1,80 1,55 1,30 1,08
1,12
CR I
CR II
1,05 0,80 PR I
PR II
SN I
SN II
Jenis produk MP-ASI
Gambar 5. Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C , dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Dari Gambar 5. di atas, dapat dilihat bahwa total mikroba pada produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk MP-ASI dapat menjadi sumber makanan yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Berdasarkan Gambar 5. produk CR (I dan II) memiliki Angka Lempeng Total (ALT) yang lebih rendah dibandingkan produk yang lain (α = 0,05). Total mikroba yang tinggi pada bahan pangan
36
mengindikasikan masalah kualitas mikrobiologi yang selalu dikaitkan dengan praktek sanitasi dan hygiene yang diterapkan. Komposisi MP-ASI bubuk instan dibuat dari salah satu atau campuran bahan-bahan berikut ini : serealia (misalnya beras, jagung, gandum, sorgum, barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misalnya ubi jalar, ubi kayu, garut, kentang, gembili), bahan berpati (misalnya sagu, pati, aren), kacangkacangan (misalnya kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, kacang dara), biji-bijian yang mengandung minyak (misalnya kedelai, kacang tanah, wijen), susu, ikan, daging, unggas, dan buah. Pada penelitian ini komposisi dari sampel yang di analisa dibuat seragam dengan harapan komposisi dari MP-ASI tidak akan mempengaruhi hasil akhir mikroorganisme yang diperoleh. Berdasarkan SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bubuk instan (bagian 1), yang mencantumkan batas cemaran maksimun mikroba untuk angka lempeng total sebesar 1.0 x 104 koloni/g dan FSANZ (2001), yang mencantumkan standar TPC (Total Plate Count) untuk produk MP-ASI adalah n=5, c=2, m=1.0x104 dan M=1.0x105, artinya maksimal 2 sampel dari 5 sampel yang dianalisis boleh mengandung total mikroba 1.0x104 – 1.0x105 CFU/g, maka dapat ditarik kesimpulan awal bahwa sampel MP-ASI (bubuk instan) yang diteliti memenuhi syarat TPC yang ditetapkan oleh FSANZ maupun SNI. Hasil perhitungan yang terlihat pada Gambar 5. rata-rata jumlah mikroba yang terdapat pada sampel MP-ASI bubuk instan berada dibawah 1.0 x 104 log CFU/g. Adanya mikroba ini disebabkan karena penggunaan bahan baku yang tidak steril atau rekontaminasi selama proses pencampuran dan pengemasan. Berdasarkan keterangan yang tercantum pada label kemasan, komposisi MP-ASI terdiri dari susu skim bubuk, beras merah, kacang hijau, kacang kedelai, minyak kelapa sawit, pengemulsi lesitin kedelai, vanili, vitamin dan mineral. Bahan-bahan tersebut di pabrik dicampur secara kering (dry mix). Proses pencampuran secara kering tersebut tidak menggunakan panas, sehingga berisiko terkontaminasi mikroba. Air sangat penting untuk kehidupan bakteri terutama karena bakteri hanya dapat mengambil makanan dari luar dalam bentuk larutan (holophytis). Semua
37
bakteri tumbuh baik pada media yang basah dan udara yang lembab. Dan tidak dapat tumbuh pada media yang kering. Mikroorganisme mempunyai nilai kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan bakteri diperlukan kelembaban yang tinggi diatas 85%, sedang untuk jamur diperlukan kelembaban yang rendah dibawah 80%. Kadar air bebas didalam larutan merupakan nilai perbandingan antar tekanan uap air larutan dengan tekanan uap air murni, atau 1/100 dari kelembaban relatif. Nilai kadar air bebas didalam larutan untuk bakteri pada umumnya terletak diantara 0,90 sampai 0,999 sedang untuk bakteri halofilik mendekati 0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup didalam keadaan kering untuk waktu yang lama seperti dalam bentuk spora. Kadar air untuk masing-masing sampel MP-ASI, berkisar mulai dari 1.86 – 4.95 % dan Aw mulai dari 0.17 – 0.36, yang ditujukan pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI Sampel
Kadar air (%)
Aw
PR I
4.95
033
PR II
4.46
0.31
SN I
4.07
0.34
SN II
3.44
0.36
CR I
1.86
0.20
CR II
1.88
0.17
Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI Suhu air preparasi yang digunakan untuk melarutkan sampel MP-ASI menghasilkan total mikroba yang berbeda-beda untuk tiap sampel yang dianalisa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
38
Total Koloni Mikroba (log cfu/g)
2,45 2,10
2,35 2,12 2,00
70 C
90 C 2,14
2,17
2,04
1,76 1,72
1,75 1,40 1,05
0,87 0,86
0,70 0,35
0,00 0,00
0,00 PR I
PR II
CR I
CR II
SN I
SN II
Jenis Produk MP-ASI
Gambar 6. Total mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan 90°C) suhu yang berbeda, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan Total mikroba untuk pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 70⁰C menghasilkan koloni rata-rata sebesar 1.54 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.92, dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan koloni rata-rata sebesar 1.47 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.86. Koloni bakteri yang tumbuh mempunyai berbagai macam bentuk dan ukuran yang merupakan hasil biakan murni maupun yang bukan, seperti yang terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA
Pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, dari 6 sampel yang dianalisa ada 1 sampel yang tidak ditemukan koloni
39
bakteri yaitu untuk sampel CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut ditemukan sejumlah koloni bakteri dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan MP-ASI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah koloni bakteri yang terdapat pada MP-ASI bubuk instan tersebut (α = 0,05). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel MP-ASI produk CR II menghasilkan jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap sampel MP-ASI produk PR I, PR II, CR I, SN I dan SN II, tetapi sampel MP-ASI produk PR I dan SN II tidak menunjukkan beda nyata dan SN II tidak berbeda nyata dengan produk PR II. Sampel MP-ASI CR I dan SN I juga menunjukkan beda nyata dengan sampel CR II, PR I, PR II, dan SN II. Sampel produk PR II menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar. Perlakuan suhu air preparasi yang digunakan untuk melarutkan sampel MP-ASI menunjukkan hasil pengamatan yang berbeda nyata untuk perlakuan suhu air preparasi MP-ASI bubuk instan, dimana pada pelakuan suhu air preparasi 30⁰C menghasilkan jumlah koloni yang tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, sedangkan perlakuan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C tidak berbeda nyata dalam hal jumlah koloni mikroba (α=0.05) pada analisa total plate count. Hal ini disebabkan karena suhu air yang digunakan pada saat melarutkan MP-ASI mampu mengeliminasi sejumlah kecil mikroba yang ada didalam produk MP-ASI sehingga total koloni yang diperoleh pada suhu air 70⁰C dan 90⁰C tersebut kecil (tidak berbeda nyata). Hal ini dikarenakan mikroba pada umumnya tidak tahan terhadap suhu tinggi dan suhu optimum yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba sekitar ± 37oC. Berdasarkan hasil total koloni yang diperoleh pada penelitian dapat dikatakan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk proses pelarutan MPASI menunjukkan pengaruh yang signifikan (beda nyata) dengan jumlah mikroorganisme yang ada didalam sampel MP-ASI. Suhu air preparasi yang disarankan untuk mengurangi atau mengeliminasi sebagian mikroorganisme yang ada didalam produk MP-ASI adalah suhu 70⁰C, hal ini sesuai dengan saran penyajian yang tertera pada kemasan produk dan sesuai juga dengan WHO
40
(2004), menyatakan bahwa penggunaan air matang suhu 70⁰C untuk melarutkan susu formula dapat menekan kontaminan E. sakazakii hingga 4 log. Komposisi MP-ASI memegang peranan yang penting dalam hal keberadaan mikrooganisme dalam produk. Komposisi MP-ASI yang kompleks sangat menguntungkan mikrooganisme yang ada didalam produk, karena mikrooganisme dapat menggunakan nutrisi yang ada untuk melakukan berkembangbiak. Selain komposisi MP-ASI yang kompleks, suhu air yang digunakan saat pelarutan MP-ASI juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
mikroorganisme
dalam
produk.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan mikrooganisme dalam produk pangan, yaitu faktor yang berasal dari produk itu sendiri seperti nutrisi, aw, pH, potensi reaksi redoks, struktur dinding sel (biologi) dan antimikroba. Sedangkan faktor yang berasal dari luar produk seperti RH (kelembaban), suhu lingkungan dan ketersediaan oksigen (O 2 ). Pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya tergantung pada kondisi bahan makanan dan juga lingkungan. Apabila kondisi makanan dan lingkungan cocok untuk mikroorganisme tersebut, maka mikroorganisme akan tumbuh dengan waktu yang relatif singkat dan sempurna.
Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI Untuk memastikan keamanan mikrobiologi MP-ASI bubuk instan, maka produk MP-ASI dilakukan pengujian terhadap cemaran mikroba yang lebih spesifik terutama cemaran mikroba yang sifatnya patogen pada manusia, yaitu pengujian terhadap keberadaan bakteri Bacillus cereus. Bakteri ini mampu membentuk spora pada kondisi lingkungan yang ekstrim dan mampu menyebabkan gangguan sakit pada manusia terutama pada saluran pencernaan. Spora bakteri Bacillus cereus lebih tahan dari bentuk sel vegetatifnya terhadap pemanasan, kekeringan, bahan pengawet makanan dan pengaruh lingkungan lainnya. Selain itu, spora Bacillus cereus sering ditemukan pada makanan seperti susu, sereal, rempah-rempah dan makanan lainnya, juga sering ditemukan pada permukaan daging yang kemungkinan disebabkan adanya kontaminasi dengan debu atau tanah setelah proses pemotongan hewan (Soejoedono, 2002).
41
Sampel yang telah diuji total plate count, kemudian dilanjutkan kembali dengan pengujian pada media MYPA, yang merupakan media selektif untuk pertumbuhan Bacillus cereus. MYPA mengandung mannitol yang tidak dapat difermentasi oleh B. cereus, namun oleh beberapa bakteri lain (misalnya B.subtilis dan S. aureus) dapat difermentasi. Penambahan kuning telur dapat memperjelas koloni tipikal B. cereus sebab kuning telur memiliki lesitin dan B. cereus menghasilkan enzim fosfatidilkolin hidrolase, fosfolipase C yang menghidrolisis lesitin. Dengan begitu, koloni tipikal B. cereus akan mendegradasi lesitin yang terlihat sebagai zona presipitasi di sekeliling koloni (Schraft dan Griffiths, 1995). Polymyxin B juga ditambahkan pada MYPA untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif. Koloni bakteri yang tumbuh pada media MYPA diduga sebagai koloni Bacillus cereus, seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Bacillus cereus
Gambar 8. Pertumbuhan isolat Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar MYP Hasil analisis cemaran Bacillus cereus produk MP-ASI yang diuji dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa jumlah total Bacillus cereus pada sampel MP-ASI yang beredar di pasar Indonesia, berkisar antara 1.73 CFU/g sampai 2.06 CFU/g, sehingga diperoleh rata-rata jumlah total Bacillus cereus sebesar 1.23 CFU/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0.02.
42
Total Bacillus cereus (Log CFU/g)
2,5 2,06 2
1,84
1,73
1,78
SN I
SN II
1,5 1 0,5 0
0 PR I
PR II
0
CR I CR II Jenis Produk MP-ASI
Gambar 9. Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di preparasi dengan suhu 70 ⁰C Hasil analisis cemaran Bacillus cereus menunjukkan bahwa ada 2 sampel MP-ASI yang tidak mengandung Bacillus cereus. Berdasarkan ketentuan FSANZ (2001), kandungan Bacillus cereus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang berbahan susu maksimal sebesar 1,0x102 CFU/g produk. Jika dilihat dari ketentuan tersebut maka Bacillus cereus yang ada pada produk MP-ASI yang diteliti masih dalam batas wajar dan dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi dan didistribusikan. Hasil total Bacillus cereus dari 6 sampel yang dianalisa tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Purwanti (2009), yang menyatakan bahwa total jumlah koloni mikroba aerob (Bacillus cereus) pada sampel makanan tambahan pemulihan (MT-P) sebesar 1.2 x 102 log CFU/g. Mikroba yang ditemukan dalam MP-ASI dan MT-P merupakan indikasi bahwa MP-ASI dan MT-P yang berbahan susu bubuk bukan bahan pangan yang steril. Hasil penelitian ini setara dengan penelitian dari Herdiana (2007), terhadap susu skim bubuk impor yang masuk ke Indonesia dari Australia, Denmark, New Zealand dan Jerman dengan jumlah total mikroba aerob masing-masing 3.1 x 10 CFU/g; 6.2 x 10 CFU/g; 7.9 x 10 CFU/g dan 6.2 x 10 CFU/g. Menurut EFSA (2004) jumlah mikroba aerob pada akhir pembuatan susu bubuk sampai dengan 5.0 x 102 CFU/g dianggap sebagai keadaan yang wajar dan masih diperbolehkan.
43
Kewaspadaan tetap harus diperhatikan mengingat 4 sampel yang diuji tersebut mengandung Bacillus cereus, dimana Bacillus cereus mampu membentuk enterotoksin yang dapat membahayakan kesehatan, terutama anak-anak atau balita yang memiliki sistem imun terbatas (umumnya berbahaya bagi bayi yang lahir prematur dan balita penderita gizi buruk). Berdasarkan hasil penelitian Granum et al., (1993), di Norwegia menemukan Bacillus cereus yang diisolasi dari produk susu dimana dari 85 strain Bacillus cereus ternyata 59% merupakan Bacillus cereus yang mampu menghasilkan enterotoksigenik. Dari hasil penelitian tersebut industri pangan harus waspada jika jumlah Bacillus cereus didalam produk yang dihasilkan mencapai 103-104 CFU/g atau ml, karena mampu menyebabkan keracunan jika memakan produk yang mengandung sel vegetatif atau spora Bacillus cereus lebih dari 102 log CFU/g (Aas et al., 1992). Produk susu kering dan makanan bayi sering diketahui terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus. Hasil penelitian membuktikan bahwa adanya cemaran Bacillus cereus didalam makanan bayi, dimana dari 261 sampel yang telah didistribusikan ke-17 negara ternyata 54% dari sampel tersebut positif terkontaminasi bakteri Bacillus cereus dengan kandungan Bacillus cereus dalam produk sebesar 0,3-600/g. Sampel yang di teliti tersebut, ketika diklasifikasikan menjadi berbagai jenis produk, ternyata sekitar 50% sampel berasal dari susu formula dan makanan penyapihan (infant food) dan 50% sampel berasal dari makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang yang melakukan program diet, dimana komposisi penyusun makanan tersebut adalah protein kedelai. Sebuah studi menunjukkan bahwa konsentrasi B. cereus dari 103-105/g dapat menyebabkan penyakit pada bayi atau individu yang berusia dan lemah, meskipun ini jarang terjadi (Becker et al., 1994). Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar (>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron, membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Bakteri ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel. Spora
44
hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn and McClure, 2002). Enterotoksin terdiri atas protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik di usus (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Bacillus cereus mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi sel vegetatif pada suhu 30◦C adalah 26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 0.91-0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Bacillus cereus yang memproduksi toksin cereulide diisolasi dari makanan bayi komersial yang dipilih secara acak, dimana produksi toksin cereulide dalam formula makanan bayi yang diteliti. Makanan bayi tersebut telah diinokulasi dengan ≥ 105 log CFU/ml Bacillus cereus yang kemudian dilarutkan, hasil menunjukkan bahwa Bacillus cereus mampu memproduksi toksin cereulide sekitar 2-200 μg per 100 ml toksin cereulide pada makanan bayi yang proses penyimpanan dibiarkan di suhu ruang selama 4 jam. Makanan bayi dan susu formula yang komposisinya mengandung sereal dan susu, merupakan media yang paling
mendukung
untuk
pertumbuhan Bacillus cereus terutama
yang
memproduksi toksin cereulide. Toksin cereulide yang terakumulasi dalam makanan tersebut, dipengaruhi oleh komposisi penyusun dari makanan bayi serta adanya kesalahan yang terjadi saat penanganan makanan tersebut (proses produksi) (Ranad Shaheen et al., 2005). B. cereus tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat. Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya akan sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat tumbuh secara baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan mencapai maksimum setelah 4.5 jam. Produksi toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan mencapai maksimum sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri
45
tersebut. Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya gejala intoksikasi berkisar antara 8-16 jam. Galur yang memproduksi toksin emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam (Supardi dan Sukamto, 1999). Setelah diamati perubahan di MYP agar, koloni yang berwarna pink dan memiliki zona keruh di sekelilingnya digores ke dalam media TSA. Selanjutnya, dilakukan uji konfirmasi yang meliputi pewarnaan gram, pewarnaan spora, uji katalase dan uji motilitas terhadap isolat bakteri tersebut. Uji konfirmasi yang pertama kali dilakukan terhadap koloni yang diduga sebagai koloni Bacillus cereus adalah pewarnaan gram. Pewarnaan gram dilakukan untuk mengetahui morfologi dan jenis bakteri yang dianalisis. Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang. Hasil pewarnaan gram terhadap Bacillus cereus (Gambar 10) menunjukkan warna ungu yang mengindikasikan bahwa Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif.
Gambar 10. Hasil perwarnaan gram terhadap bakteri yang diduga Bacillus cereus pada pembesaran 1000x Beberapa jenis bakteri gram positif, terutama bakteri patogen mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap kondisi yang kurang maupun yang tidak menguntungkan bagi bakteri tersebut. Kemampuan bertahan pada kondisi ekstrim ini menyebabkan bakteri dapat membentuk endospora. Proses sporulasi diawali
46
saat sel vegetatif mengeluarkan sumber nutrisinya secara bertahap. Pada kondisi yang memungkinkan sel tersebut bertumbuh, maka spora akan bergerminasi dan kembali menjadi sel vegetatifnya. Endospora mengandung sedikit sitoplasma, materi genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein dan menyebabkan endospora tersebut tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya, suhu tinggi dan zat kimia. Hal ini terkait dengan kemampuan bakteri tersebut dalam mentransfer penyakit dari inang yang satu ke inang yang lainnya. Dua bakteri patogen penting yang mampu membentuk endospora adalah Bacillus dan Clostridium. Bacillus cereus merupakan bakteri penghasil spora. Uji konfirmasi setelah perwarnaan gram adalah proses pewarnaan spora. Pewarnaan spora pada sel vegetatif Bacillus cereus ditunjukkan dengan warna merah dan pada spora ditunjukkan warna hijau seperti terlihat pada Gambar 11. Sebanyak 4 sampel yang diduga positif Bacillus cereus tersebut menunjukkan bahwa 100% isolat tersebut merupakan gram positif dan memiliki spora sehingga dapat dikatakan 100% sampel MP-ASI mengandung Bacillus cereus.
Spora
Sel vegetatif
Gambar 11. Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada pembesaran 1000x Uji biokimiawi selanjutnya yang dilakukan terhadap 4 isolat Bacillus cereus yang diperoleh dari 4 sampel yang dianalisa selain uji pewarnaan gram dan pewarnaan spora juga dilakukan uji katalase dan uji motilitas. Uji motilitas yang dilakukan terhadap 4 isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh bersifat tidak motil, yang ditandai dengan tidak adanya tipe pertumbuhan yang terjadi disepanjang garis tusukan di dalam media SIM seperti yang ditunjukan pada
47
Gambar 12. Sedangkan mikroba yang motil akan tumbuh secara difusi menjauhi garis tusukan tersebut.
Garis tusukan
Gambar 12. Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan isolat Bacillus cereus Uji katalase juga dilakukan terhadap 4 isolat yang diperoleh dari 4 sampel yang diduga positif mengandung Bacillus cereus, uji katalase dilakukan dengan menambahkan larutan 3% H 2 O 2 , isolat bakteri yang memiliki enzim katalase akan menunjukkan adanya gelembung udara di sekitar koloni seperti yang ditunjukan pada Gambar 13. Menurut Jay (2000), uji katalase membuktikan adanya enzim katalase dari isolat yang berfungsi dalam penguraian H 2 O 2 .
Katalase positif
Gambar 13. Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase positif. Faktor utama yang diduga dapat memungkinkan terjadi kontaminasi Bacillus cereus yang ada didalam produk MP-ASI berasal dari bahan baku yang digunakan (dalam hal ini susu dan beras), faktor lain yang memungkinkan
48
terjadinya kontaminasi cemaran Bacillus cereus dapat berasal dari lingkungan, kontak dengan tangan pekerja baik yang menggunakan sarung tangan maupun yang tidak menggunakan, penanganan pangan yang dilakukan oleh orang yang sakit atau pembawa patogen, kebersihan peralatan pengolahan yang kurang baik, penyimpanan dalam lingkungan yang telah terkontaminasi (contohnya : ruang stok bahan baku). Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu. Makanan bayi yang mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk produksi Bacillus cereus cereulide. Bacillus cereus biasanya terdapat di dalam susu, daging, rempah-rempah dan sereal. Pangan yang mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau spora per gram (Beattie et al., 1999). Komposisi MP-ASI bubuk instan dibuat dari salah satu atau campuran bahan-bahan berikut ini : serealia (misalnya beras, jagung, gandum, sorgum, barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misalnya ubi jalar, ubi kayu, garut, kentang, gembili), bahan berpati (misalnya sagu, pati, aren), kacangkacangan (misalnya kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, kacang dara), biji-bijian yang mengandung minyak (misalnya kedelai, kacang tanah, wijen), susu, ikan, daging, unggas, dan buah. Pada penelitian ini komposisi dari sampel yang di analisa dibuat seragam dengan harapan komposisi dari MP-ASI tidak akan mempengaruhi hasil akhir mikroorganisme yang diperoleh. Adanya mikroba ini disebabkan karena penggunaan bahan baku yang tidak steril atau rekontaminasi selama proses pencampuran dan pengemasan. Bahan-bahan tersebut di pabrik dicampur secara kering (dry mix). Proses pencampuran secara kering tersebut tidak menggunakan panas, sehingga berisiko terkontaminasi mikroba selain itu pelaksanaan GMP pada pabrik pengolahan MP-ASI juga merupakan hal yang wajib diperhatikan agar produk yang dihasilkan aman untuk
49
dikonsumsi
(jumlah
mikroorganisme
rendah
dan
tidak
membahayakan
konsumen). Pelaksanaan GMP (Good Manufacturing Practices) merupakan praktekpraktek dengan penerapan persyaratan sanitasi dan proses produksi yang tepat untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi. GMP diterapkan pada tahapan pengolahan/proses bahan pangan untuk menghasilkan produk akhir yang bermutu baik dan aman. Penerapan GMP pada industri pangan meliputi personil, peralatan, fasilitas, bangunan serta tahapan proses dan produksi yang terkontrol. Penerapan GMP dimulai dari saat perencanaan untuk membuat pabrik produk pangan (bangunan), raw material, proccces plant, dan penyimpanan. Pada tahapan pengolahan bahan pangan. Beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi sumber kontaminasi pada industri pangan adalah : (a) bahan baku mentah, proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan kulit dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah, khususnya dalam bentuk spora; (b) peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan, alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu agak sering, guna menghilangkan sisa makanan yang memungkinkan sumber pertumbuhan mikroba; (c) peralatan untuk sterilisasi, harus diusahakan dan dipelihara agar berada di atas suhu 75–760C agar bakteri thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya; (d) air untuk pengolahan makanan, air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air minum; (e) air pendingin kaleng, setelah proses sterilisasi berakhir, kalengnya harus segera didinginkan dengan air pendingin kaleng yang mengandung disinfektan dalam dosis yang cukup. Biasanya digunakan khlorinasi air sehingga residu khlorine 0,5 – 1,0 ppm; (f) peralatan atau mesin yang menangani produk akhir (post process handling equipment). Pembersihan peralatan ini harus kering dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi rekontaminasi. Pengaruh Suhu Air yang digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap sel vegetatif Bacillus cereus Penelitian pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan sampel produk yang jumlah awal Bacillus cereus telah diketahui, dimana dari 6 sampel yang
50
dilakukan analisa hanya 1 sampel yang digunakan, hal ini didasarkan pada jumlah total koloni Bacillus cereus yang terdapat pada produk MP-ASI (produk yang memiliki jumlah total koloni Bacillus cereus tinggi yang dipergunakan untuk uji pengaruh suhu air saat preparasi). Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan Bacillus cereus pada media MYP agar dengan perlakuan suhu air preparasi MP-ASI suhu 30⁰, 70⁰, dan 90⁰C, pengamatan terhadap larutan MP-ASI dilakukan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C. Melarutkan MP-ASI (bubuk instan) dengan air matang panas menjadi bentuk siap dikonsumsi, seharusnya mampu mengeliminasi sebagian besar bakteri di dalamnya. Namun yang terjadi dilapangan berbeda dari yang diharapkan. Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk B ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa jumlah sel semakin meningkat dengan
Jumlah sel vegatatif Bacillus cereus (log cfu/g)
semakin lamanya waktu pengamatan. 30
2,30
70
90
2,22 2,14
2,14
2,06 1,98
2,20 R² = 1
2,17
1,98
1,97 1,94
1,98
2,01 R² = 0,923 2,00 R² = 0,964
1,90 0
10
20
30 40 50 Waktu pengamatan (menit)
60
70
Gambar 14. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata terhadap perlakuan suhu air 70⁰C dan suhu air 90⁰C, tetapi perlakuan suhu
51
air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan suhu air 90⁰C. Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa perlakuan suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI (bubuk instan) dapat mempengaruhi jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami yang ada didalam produk (α < 0.05). Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.17 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03, dengan lama waktu pengamatan 60 menit, dimana pengamatan ini dilakukan pada menit ke-0, 30 dan 60 menit, hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh lamanya penyimpanan setelah preparasi terhadap pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus. Pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 70⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 1.99 CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.02, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni
sebesar 1.97
CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.03, dengan lama waktu pengamatan 60 menit (sama seperti perlakuan suhu air 30⁰C). Pada tahap ini pemilihan suhu air yang digunakan untuk preparasi MP-ASI yang baik adalah suhu 70⁰C sesuai dengan saran penyajian yang tertera pada kemasan produk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2009), yang menyatakan bahwa suhu air yang digunakan untuk proses preparasi MT-P berpengaruh nyata terhadap proses germinasi spora Bacillus cereus, dimana pada suhu 35⁰C diperoleh jumlah koloni yang lebih tinggi dengan rata-rata koloni awal sebesar 2.79 x 103 CFU/ml dibandingkan dengan suhu air 70⁰C dengan rata-rata koloni awal sebesar 2.30 x 103 CFU/ml. Bertambahnya jumlah bakteri dalam MP-ASI (bubuk instan), selain akibat spora yang sudah ada di dalam MP-ASI, juga karena suhu preparasi dibawah 70⁰C. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan spora tersebut untuk tumbuh lebih cepat, karena tidak perlu terlalu lama beradaptasi untuk menyesuaikan diri. Suhu awal preparasi ternyata berpengaruh pada kecepatan melakukan multipikasi, dimana pada suhu 42⁰C kecepatan multipikasi bervariasi antara 11-34 menit (Borge et al.,2001).
52
Pelarutan susu formula dengan menggunakan suhu 70⁰C, jika disimpan pada suhu ruang (27-30⁰C) dalam waktu ± 2 jam dengan kondisi pelarutan menggunakan wadah tertutup mampu menurunkan suhu pelarutan menjadi ± 27⁰C. Jika pelarutan menggunakan suhu yang lebih rendah, maka kesesuaian suhu MP-ASI dengan suhu ruang akan dicapai dalam waktu yang lebih cepat. Hasil penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa pengukuran suhu preparasi di lapangan memperlihatkan 98% responden lebih senang menggunakan suhu <70⁰C, dimana 12% sampel ditemukan mengandung Bacillus cereus dengan jumlah antara 1.0 x 102 – 5.7 x 103 CFU/ml. Berdasarkan kurva pertumbuhan Bacillus cereus pada Gambar 15 terlihat peningkatan jumlah koloni pada waktu pengamatan jam ke-2. Dari hasil kurva pertumbuhan tersebut dapat dikatakan bahwa fase lag dimulai dari jam ke-0 sampai 2 jam, fase log dari 2 jam sampai sekitar 14 jam, dan fase stasioner pada jam ke-14 sampai 24 jam waktu pengamatan. Output hasil fitting menggunakan DMFit terhadap pola pertumbuhan Bacillus cereus pada suhu optimumnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil fitting menunjukkan persamaan dengan µ sebesar
Total Koloni Bacillus cereus (Log cfu/g)
0.72 CFU.g-1 jam-1, fase lag selama 3.82 jam dan R2 sebesar 0.99.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 15. Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI, pada suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan suhu air preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit)
53
Pada dasarnya tahap pertumbuhan bakteri adalah fase adaptasi (lag), fase pertumbuhan (log), fase stasioner dan fase kematian (death). Tahap tersebut digambarkan dalam bentuk kurva/model sigmoid. Model sigmoid dalam sejarahnya digunakan untuk menggambarkan peningkatan logaritma densitas sel bakteri terhadap waktu. Pertumbuhan dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel atau massa sel (berat kering sel). Pada umumnya bakteri dapat memperbanyak diri dengan pembelahan biner, yaitu dari satu sel membelah menjadi 2 sel baru, maka pertumbuhan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel. Waktu yang diperlukan untuk membelah diri dari satu sel menjadi dua sel sempurna disebut waktu generasi. Waktu yang diperlukan oleh sejumlah sel atau massa sel menjadi dua kali jumlah/massa sel semula disebut doubling time atau waktu penggandaan. Waktu penggandaan tidak sama antara berbagai mikroba, dari beberapa menit, beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kecepatan pertumbuhannya. Kecepatan pertumbuhan merupakan perubahan jumlah atau massa sel per unit waktu. Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang. Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase. Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup konstan. Pada fase kematian yang dipercepat, kecepatan kematian sel terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan
54
jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikrobia akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut.
Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867
Penelitian pada tahap kali ini dilakukan dengan menggunakan sampel produk yang jumlah awal Bacillus cereus nol, dimana dari 6 sampel yang dilakukan analisa ada 2 sampel yang setelah diuji keberadaan Bacillus cereus hasil negatif (0). Sampel yang dipergunakan terlebih dahulu telah diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus yang diperoleh dari proses produksi spora pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan Bacillus cereus ATCC 10867 pada media MYP agar dengan perlakuan suhu air preparasi MP-ASI 30⁰, 70⁰, dan 90⁰C, pengamatan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C dengan jumlah awal mikroba yang diinokulasikan sebesar 103 cfu/ml. Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk CR II ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa jumlah sel semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan (α < 0.05).
55
2,25
2,25 R² = 0.972
Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (Log CFU/g)
2,23 2,20
2,20
2,15
2,14 R² = 0.999 2,13 R² = 0.999
2,12 2,10
2,10
2,11
2,09
30
70
90
2,05 0
10
20 30 40 Waktu Pengamatan (menit)
50
60
70
Gambar 16. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan spora sebesar 103 cfu/ml, pada produk CR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C. Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata terhadap perlakuan suhu air 70⁰C dan perlakuan suhu air 90⁰C, tetapi jumlah koloni pada perlakuan suhu air 70⁰C tidak berbeda nyata dengan jumlah koloni pada perlakuan suhu air 90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu pengamatan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30. Perlarutan MP-ASI menggunakan suhu air 30⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.22 x 102 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.02, dengan lama waktu pengamatan 60 menit, pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 70⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.12 x 104 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.05, dengan lama waktu pengamatan 60 menit dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan total jumlah koloni sebesar 2.11 x 104 log CFU/g dengan standar deviasi sebesar 0.06, dengan lama waktu pengamatan 60 menit. WHO (2004), menyatakan bahwa penggunaan air matang suhu 70⁰C untuk melarutkan susu formula dapat menekan kontaminan E. sakazakii hingga log 4.
56
Total koloni awal (menit ke-0) yang diperoleh pada hasil penelitian ini mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena pada saat penambahan spora ke dalam sampel menggunakan botol spray, jadi kemungkinan spora ada yang tertinggal dalam botol spray saat penyemprotan sampel. Penggunaan botol spray pada saat penambahan spora didasarkan pada volume spora/ml yang digunakan sebesar 2 ml, hal ini diharapkan mampu mempermudah penambahan spora ke dalam sampel produk MP-ASI dan memperkecil kemungkinan sampel produk menggumpal (lebih homogen). Spora yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam produk ternyata mampu melakukan proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi perlakuan suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa suhu air (35⁰C) yang digunakan untuk pelarutan susu formula memiliki kemampuan untuk meningkat proses germinasi dengan waktu generasi sebesar 24 menit. Untuk
meminimalkan
resiko,
disarankan
untuk
segera
mungkin
mengkonsumsi MP-ASI yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu konsumsi (feeding time) menjadi dua jam dan untuk MP-ASI yang tidak habis dimakan harus dibuang. Menyimpan makanan pada suhu ruang ternyata meningkatkan jumlah bakteri di dalam makanan. Feeding time yang disarankan oleh Codex Alimentarius Commision untuk semua produk makanan pendamping ASI termasuk susu formula bubuk dan bubuk instan adalah ± 2 jam, hal tersebut dilandasi oleh penelitian yang dilakukan pada E.sakazakii dan Salmonella pada produk susu formula bubuk (FAO 2006). Penelitian Purwanti (2009), mengatakan bahwa susu formula terlarut yang telah ditambahkan 103 spora/ml Bacillus cereus dan disimpan pada suhu ruang (±30⁰C) selama 4 jam, ternyata spora Bacillus cereus melakukan germinasi menjadi sel vegetatif dan bermultifikasi sebesar 1 log dalam 3 jam. Endospora dapat tumbuh
menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
57
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992). Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan non nutrisi (bahan kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001). Aktivasi dengan panas (heat activation) bersifat reversible. Spora dapat menjadi dorman kembali apabila suhu aktivasi diturunkan. Proses ini dapat meningkatkan germinasi spora sampai 90%. Selama proses heat activation akan terjadi pemutusan ikatan hidrogen dan ikatan sulfida pada protein spora serta pelepasan Ca-DPA (Zhang et al, 2009). Setelah germinasi maka akan terjadi proses outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah germinasi dan sebelum petumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2001). Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk instan) terhadap Spora Bacillus cereus ATCC 10867 Penelitian pada tahap kali ini dilakukan dengan menggunakan sampel produk yang jumlah awal Bacillus cereus nol, dimana dari 6 sampel yang dilakukan analisa ada 2 sampel yang setelah diuji keberadaan Bacillus cereus hasil negatif (0). Sampel yang dipergunakan terlebih dahulu telah diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus yang diperoleh dari proses produksi spora pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap kemampuan spora Bacillus cereus ATCC 10867 bertahan selama proses penyimpanan pada suhu ruang dengan perlakuan suhu air preparasi MP-ASI 70⁰C, dimana proses pengamatan dilakukan selama 60 menit dengan penyimpanan pada suhu ruang ± 27°C dengan jumlah awal spora yang diinokulasikan sebesar 2.5 x 103 cfu/ml. Jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah penyimpanan MP-ASI meningkat secara nyata (p< 0.05). Perubahan jumlah sel vegetatif
58
Bacillus cereus pada sampel MP-ASI produk CR II ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 17. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa jumlah sel semakin
Total koloni B.cereus (log cfu/g)
meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan.
0
2,68
30
60
2,64 2,60 2,56 2,52 2,48 2,44 0
2
4 Waktu Pengamatan (Minggu)
6
8
Gambar 17. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan spora sebesar 2.5x103 cfu/ml, dengan proses penyimpanan MP-ASI produk CR II pada suhu ruang dengan lama pengamatan 60 menit dan suhu air preparasi 70⁰C Hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 12. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0 menghasilkan jumlah log cfu/g paling kecil dan berbeda nyata terhadap perlakuan penyimpanan pada minggu ke-2, 4, 6 dan perlakuan penyimpanan minggu ke-8. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-2 tidak menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan minggu ke-0 dan pada minggu ke-4, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-6 dan minggu ke-8. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4 tidak menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan minggu ke-2 dan pada minggu ke-6, tapi berbeda nyata dengan minggu ke-0 dan minggu ke-8. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-6 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0, 2 dan 8, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyimpanan pada minggu ke-4. Perlakuan penyimpanan pada minggu ke-8 menunjukkan beda nyata dengan perlakuan penyimpanan pada minggu ke-0, 2, 4 dan 6. Perlakuan waktu pengamatan berbeda nyata untuk semua perlakuan
59
penyimpanan MP-ASI bubuk instan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30. Produk ini memiliki kadar air awal sebesar ± 4.0 gram per seratus gram dan Aw sebesar 0.45. Berdasarkan hasil penelitian diatas, ternyata spora yang dengan sengaja diinokulasikan kedalam produk sebesar 2.5 x 103 cfu/ml tersebut mampu bertahan selama proses penyimpanan berlangsung dan spora juga mampu bertahan terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI serta mampu bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus. Spora tersebut ternyata juga mampu melakukan proses germinasi selama proses penyimpanan (8 minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C) dengan kelembaban ruang sebesar > 70%. Total koloni awal (menit ke-0) pada minggu ke-0 yang diperoleh pada hasil penelitian ini mengalami penurunan 1 log cfu/g, hal ini disebabkan karena kurang homogen sampel dan spora yang ditambahkan kedalam produk. Penambahan spora ke dalam produk sebesar 0,5 ml spora/kemasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purwanti (2009), menyatakan bahwa kelembaan udara, baik kelembaban tinggi >70 % maupun kelembaban rendah <50 % secara nyata mempengaruhi Aw susu formula bubuk yang disimpan selama 5 hari. Pada susu formula yang dikontaminasi dengan B.cereus, beda ratarata jumlah B. cereus secara nyata terjadi setelah dua hari penyimpanan. Suhu udara lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam germinasi spora B. cereus, ini terlihat dari bertambahnya bakteri pada susu formula yang disimpan dalam tempat tertutup walaupun nilai Aw cenderung tidak berubah dari hari ke hari. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gurtier dan Beuchat (2007), yang menyatakan bahwa E. sakazakii yang dengan sengaja diinokulasikan ke dalam susu formula berbahan dasar susu dan tepung kacang kedelai, mampu bertahan pada rentang Aw antara 0.43-0.86. Bakteri pembentuk spora, seperti Bacillus sp dan Clostridium sp perlu pengendalian Aw yang lebih ketat selama proses penyimpanan. Hal ini terkait dengan kemampuan spora yang dapat mulai bergerminasi pada Aw yang lebih rendah daripada Aw yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum bakteri itu sendiri (Syarief R dan Hariyadi H, 2000). Hasil penelitian ini membuktikan
60
bahwa spora B.cereus ternyata dapat bertahan pada MP-ASI bubuk instan (Gambar 17) yang memiliki Aw antara 0.44-0.73. Komposisi penyusun matriks makanan terhadap ketahanan panas spora Bacillus cereus pernah dilakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa spora B.cereus cukup tahan terhadap panas, namun resistensinya akan meningkat dalam makanan yang tinggi lemak dan berminyak (misalnya minyak kedelai, D121oC = 30 menit) dan makanan yang umumnya memiliki aktivitas air yang rendah. Keberadaan B. cereus dalam makanan olahan hasil dari kontaminasi bahan baku dan proses panas selama pengolahan makanan meningkatkan resistensi spora B.cereus (AIFST, 2003).