HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih dengan derajat putih 85,14%. Nilai tersebut mendekati tetapan yang diberikan oleh ISO sebesar 88%. Derajat putih yang telah dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kadar ligin dalam pulp kayu sengon telah banyak yang terhidrolisis oleh proses deleginifikasi. Hal ini juga didukung dari perolehan bilangan kappa yang rendah sebesar 10,735 dan kadar lignin sebesar 1,58%. Hubungan antara bilangan kappa dengan kadar lignin adalah linier dengan mengikuti persamaan : % lignin = 0,147 x Bilangan Kappa (Casey, 1980). Bilangan kappa dapat digunakan sebagai parameter dalam melihat tingkat proses derajat delegnifikasi pulp. Menurut Rahmawati (1999), bilangan kappa yang rendah tersebut menunjukkan bahwa delegnifikasi berjalan dengan cepat dilihat dari lignin yang putus. Hasil analisis kimia dari komponen pulp kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis kimia komponen pulp kayu sengon Parameter analisis Kadar alfa selulosa Kadar abu Kadar air Impuritis
Nilai 92,11% 0,10% 4,68% 3,11%
Kandungan α-selulosa pada pulp kayu sengon relatif tinggi, yaitu 92,11 %, dan ini mendekati kadar dari selulosa mikrobial sebesar 92,53% (Desiyarni, 2006). Nilai α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi dari selulosa, sehingga selulosa pulp kayu sengon baik sebagai sumber selulosa untuk pembuatan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Kadar air yang rendah pada selulosa akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi. Apabila kandungan air pada selulosa tinggi dikhawatirkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak maksimal karena anhirida asetat tidak hanya dapat bereaksi dengan selulosa,
tetapi dapat bereaksi juga dengan air membentuk asam asetat. Sementara itu, kadar abu (0,10%) dan impuritis (3,11%) yang dihasilkan juga relatif rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selulosa pulp kayu sengon memiliki kemurnian yang tinggi. Pada pembuatan selulosa asetat, suhu untuk masing-masing proses dipertahankan konstan pada 50oC. Komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian Desiyarni (2006) dengan alasan kandungan α-selulosa yang tinggi, yaitu sekitar 92%.
Tahap 2. Selulosa Diasetat 2.1. Waktu Aktivasi Pada proses aktivasi dilakukan penggelembungan (swelling) terlebih dahulu terhadap selulosa dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial. Penggelembungan selulosa bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa yang berdekatan karena kekakuan rantai dan tingginya gaya antar rantai. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan dari serat selulosa (Cowd, 1991). Porses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar pereaksi lebih mudah mencapai daerah kristal pada proses asetilasi. Waktu aktivasi ditentukan berdasarkan perolehan selulosa triasetat (STA) tertinggi terhadap berat selulosa yang digunakan. Perolehan STA pada berbagai waktu
Perolehan Selulosa triasetat (g/g)
aktivasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 29.
1.605 1.6013
1.6
1.5992
1.595 1.5912
1.59
1.5875 1.585 0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu aktivasi (m enit)
Gambar 9. Perolehan selulosa triasetat (STA) dalam berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50oC dan waktu asetilasi 1 jam.
Selama aktivasi berlangsung, jumlah selulosa triasetat (STA) yang dihasilkan menurun dengan bertambahnya waktu aktivasi, walaupun penurunan yang terjadi sangat kecil. Penurunan disebabkan karena selulosa semakin lama kontak dengan asam asetat glasial. Menurut Sjostrom (1981) perlakuan fisik dan kimia secara intensif terhadap selulosa dapat menurunkan derajat polimerisasi. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa STA tertinggi diperoleh pada waktu aktivasi 30 menit sebesar 1,6013 g/g selulosa dan semakin menurun hingga menit ke 120 menjadi 1,5875 g/g selulosa. Sedangkan pada waktu aktivasi kurang dari 30 menit tidak cukup bagi asam asetat untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa sehingga reaktan tidak dapat menembus gugus hidroksil dari selulosa pada proses asetilasi. Keadaan ini dilihat dari hasil asetilasi dimana selulosa triasetat tidak terbentuk karena selulosa tidak larut dalam reaktan. Ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dilakukan secukupnya untuk memberi tingkat pengembangan yang diperlukan untuk penetrasi reaktan. Kuo et al.(1997) menyatakan lamanya waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan dan aktivasi terhadap selulosa pulp kayu berjalan sekitar 0,5-1 jam pada suhu 25oC -50oC. Sementara itu, Nevel dan Zeronian (1985) memerlukan waktu aktivasi terhadap selulosa pulp kayu sekitar 1-2 jam. Waktu aktivasi yang diperlukan dari selulosa mikrobial telah didapat oleh Tabuchi et al. (1998) dan Desiyarni (2006) masing-masing selama 72 jam dan 16 jam pada suhu kamar. Waktu aktivasi yang telah dicapai oleh selulosa pulp kayu sengon ternyata lebih pendek dibandingkan dengan aktivasi selulosa mikrobial. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan derajat kristalinitas selulosa pulp kayu dengan selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial bersifat lebih kristalin dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60% (White dan Brown, 1998). Sementara selulosa yang berasal dari tumbuhan seperti rami dan kapas mempunyai derajat kristalin sebesar 30% (Yoshinaga et al., 1997) dan selulosa pulp kayu memiliki derajat kristalinitas sekitar 38% (Sanjaya, 2001). Proporsi derajat kristal yang lebih kecil pada selulosa pulp kayu membuat proses aktivasi berjalan lebih cepat. Hasil penelitian Desiyarni (2006), aktivasi selulosa mikrobial pada suhu o
50 C memerlukan waktu lebih pendek, yaitu selama 6 jam dibandingkan pada suhu kamar yang berlangsung selama 16 jam untuk perolehan selulosa triasetat
yang sama, yaitu 1,63 g/g. Tabuchi et al. (1998) memerlukan waktu aktivasi selama 72 jam pada suhu kamar terhadap selulosa mikrobial. Ini menunjukkan aktivasi pada 50oC lebih efisien dalam hal waktu dibandingkan dengan aktivasi pada suhu kamar sehingga suhu 50oC digunakan sebagai suhu aktivasi dalam penelitian ini.
2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi Proses asetilasi bertujuan untuk menggantikan gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat. Anhidrida asetat merupakan reaktan yang memegang peranan penting pada reaksi asetilasi. Secara stoikiometri, 1 mol selulosa triasetat dihasilkan dari reaksi 1 mol selulosa yang terdiri atas n unit glukosa dengan 3n mol anhidrida asetat. Pada penelitian pembuatan selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, proses asetilasi dipengaruhi oleh faktor anhidrida asetat (Desiyarni, 2006). Hasil yang didapat oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio optimum anhdrida asetat terhadap selulosa mikrobial adalah 3,35 dengan kadar asetil 45,78% pada suhu 50oC selama 323 menit. Berangkat dari kondisi optimum inilah, maka pada penelitian ini ditetapkan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat terhadap selulosa adalah sebesar 3,35. Beberapa alasan pemilihan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat sebesar 3,35; yaitu (1) kandungan α-selulosa yang dimiliki oleh selulosa mikrobial dan selulosa pulp kayu sengon hampir sama (sekitar 92%), (2) selulosa yang digunakan masih mengandung air dibawah 5%, sehingga anhidrida asetat yang digunakan sedikit berlebih dari kebutuhan secara stoikiometri. Hasil asetilasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
44,35 44,31
1.64
44.4 44.3
1.63 1.62
44,18
1.61 1.6
1,61
44,21
1 ,64 1 ,63
44.2
1,62 ,62
44.1
1.59
Kadar Asetil (%)
Perolehan STA (g/g)
1.65
44 3.35
4
5
6
Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa Perolehan STA (g/g)
Gambar 10.
Kadar Asetil (%)
Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50oC selama 1 jam.
Hasil asetilasi selama satu jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp sengon 3,35 diperoleh kadar asetil 44,18% dengan konversi selulosa menjadi STA sekitar 90% sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Tabuchi et al. (1998) memakai anhidrida asetat sebanyak 20 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Sementara Saka dan Takanashi (1998) menggunakan anhidrida asetat sebanyak 7 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Penggunaan anhidrida dalam jumlah besar biasa dilakukan apabila pada selulosa masih terdapat sejumlah besar air dengan tujuan selulosa triasetat yang terbentuk masih lebih banyak dibandingkan asam asetat. Selain dengan selulosa, anhidrida asetat dapat bereaksi dengan air dan menghasilkan asam asetat. Penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat berlebihan akan menyebabkan proses asetilasi kurang effisien apabila kadar asetil dan selulosa triasetat yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan disamping kandungan air dalam selulosa yang tidak terlalu tinggi (≤ 5%). Oleh karena itu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang dipilih untuk digunakan pada proses selanjutnya adalah sebesar 3,35 dengan kadar asetil 44,18%.
Waktu yang diperlukan oleh Yamakawa et al. (2003) untuk proses asetilasi selulosa pulp kayu adalah sekitar 20-60 menit. Semakin lama waktu asetilasi, maka semakin lama kesempatan anhidrida asetat bereaksi dengan selulosa untuk membentuk selulosa triasetat sehingga kadar asetil semakin meningkat. Pada proses asetilasi dilakukan pula pengamatan lama waktu asetilasi terhadap kadar asetil yang dihasilkan. Hasil pengamatan waktu asetilasi disajikan
1.65 1.64 1.63 1.62 1.61 1.6 1.59 1.58 1.57
44,27 1,64 1,63
44.2 44.1 44
1,61
43.9
1,59
43.8 43.7
30
60 90 Waktu asetilasi (menit)
Perolehan STA (g/g)
Gambar 11.
44.4 44.3
44,18 43,98
44,36
Kadar Asetil (%)
Perolehan Selulosa Tri Asetat (g/g)
pada Gambar 11 .
120
Kadar Asetil (%)
Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada 50 oC selama satu 1 dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35.
Data yang disajikan pada Gambar 11 membuktikan bahwa semakin lama waktu asetilasi akan meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat dengan kenaikan yang semakin kecil. Pada 30 menit pertama proses asetilasi diperoleh kadar asetil sebesar 43,98% dengan konversi selulosa menjadi STA masih di bawah 90%. Pada 30 menit berikut, kadar asetil naik sebesar 0,195%, yaitu menjadi 44,18%. Selanjutnya untuk setiap kenaikan 30 menit, kadar asetil naik sekitar 0,09%. Kadar asetil yang diperoleh tersebut masih di atas 43%, sedangkan kadar asetil yang diperlukan pada pembuatan membran antara 37-42%. Untuk itu dipilih waktu asetilasi cukup 60 menit untuk menghindari kenaikan kadar asetil dan konversi selulosa menjadi selulosa triasetat yang dihasilkan telah mencapai 90%. Waktu asetilasi ini lebih cepat dibandingkan asetilasi untuk selulosa mikrobial
yaitu selama 3-4 jam untuk mendapatkan kadar asetil 44% (Desiyarni, 2006). Perbedaan waktu asetilasi ini disebabkan karena perbedaan derajat kristal dan amorf pada bahan baku. Selulosa pulp kayu, umumnya mempunyai derajat amorf yang lebih besar (60-70%) sehingga reaksi lebih cepat.
2.3. Waktu Hidrolisis Hidrolisis bertujuan untuk menghilangkan sebagian gugus asetil dari selulosa triasetat sehingga dihasilkan selulosa diasetat. Proses hidrolisis selulosa triasetat pada beberapa selulosa pulp (kapas, jerami) memakan waktu beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi lebih pendek jika dilakukan pada suhu 40-80 oC (Bydson, 1995; Kuo et al., 1997; Harrison et al., 2004). Waktu hidrolisis dipilih sesuai dengan penurunan kadar asetil. Kadar asetil hasil asetilasi diperoleh sebesar 44,18%, padahal secara komersial selulosa diasetat untuk membran ultrafiltrasi berada pada kisaran 39-40%. Kadar asetil pada waktu hidrolisis 15 jam adalah 39,66% dan dapat dilihat pada Gambar 12. Waktu hidrolisis ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa mikrobial untuk kadar asetil 39% (Desiyarni, 2006).
Kadar asetil (%)
45 44.38
44.29
44
43.5
43
42.62
42
41.74
41
40.86
40
39.66 39
39 38 0
5
10
15
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 12. Perolehan kadar asetil hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50oC) Penggunaan suhu proses ditentukan oleh kandungan α-selulosa. Hidrolisis pada suhu tinggi (125 – 170 oC) umumnya digunakan terhadap bahan baku yang
20
memiliki kandungan alfa selulosa pulp rendah, yaitu < 90% (Campbell, 1973) guna untuk menghidrolisis hemiselulosa. Untuk selulosa diasetat yang dihasilkan dari selulosa pulp kayu sengon, diperoleh kondisi masing-masing proses meliputi proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis seperti tercantum pada Tabel 11. Hasil selulosa diasetat (SDA) yang diperoleh juga baik seperti ditunjukkan oleh warna SDA yang putih dengan berat molekul 130.221 (Gambar 13). Tabel 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon Sumber Selulosa
Aktivasi Kondisi Operasi
Selulosa Pulp Kayu Sengon
0,5 jam 50 oC
Gambar 13.
Selulosa: Asam Asetat 1:8
Asetilasi Kondisi Operasi 1 jam 50 oC
Selulosa:Asam Asetat: Anh, Asetat:H2SO4 1 : 4,5 : 3,3 5 : 0,015
Hidrolisis Kondisi Operasi 15 jam, 50 oC
Selulosa: H2O: H2SO4 1 : 1,066 : 0,015
Kadar asetil (%)/ Berat Molekul 39,66 / 130.221
Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66% dan berwarna putih.
Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat dan Karakteristiknya. 3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% telah digunakan sebagai bahan baku polimer membran. Polimer membran selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit, asetilasi selama 1 jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35, dan hidrolisis berlangsung selama 15 jam. Kondisi suhu untuk setiap proses dipertahankan pada 50 oC. Selanjutnya membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon telah dihasilkan secara inversi fasa. Tahapan setiap unit proses yang telah dilakukan adalah pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam setelah penambahan porogen polietilen glikol (PEG) dengan berbagai berat molekul PEG (1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da) serta rasio PEG/SDA (10%, 20%, 30%). Dilanjutkan pendiaman larutan polimer selama 1 jam pada suhu kamar, penguapan larutan cetak yang berada di atas plat kaca selama 30 detik serta perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam pada suhu 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulo pulp kayu sengon dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44, dan Lampiran 45. Perlakuan ini menghasilkan membran dengan karakterisasi yang akan dijabarkan lebih jelas berikut ini.
3.2. Karakteristik Membran. Membran yang telah dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Kompaksi terhadap membran diperoleh terlebih dahulu sebelum pengukuran fluks, rejeksi, dan MWCO. Porometer membran dinyatakan dengan konsep MWCO berdasarkan nilai rejeksi 80-90% dari larutan standar Mahendran et al. (2004). Larutan standar
yang digunakan yaitu, Dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa). Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang digunakan dalam bentuk datar (flat) dengan luas permukaan 12,5 cm2 (12,5 x 10-4 m2) pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam).
3.2.1. Ketebalan Membran Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah ( 15oC) lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2007) bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut (non-pelarut) berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan. Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20%. Akhlus dan Widiastuti (2005) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm (18% polimer dan 82% pelarut) menjadi 0,076 mm (18% polimer, 18% polimer aditif, dan 64% pelarut). Pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15oC), tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEG/SDA 20%. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150 µm (0,15 mm) (Mulder, 1996).
3.2.2. Kuat Tarik Membran
Selain ketebalan membran, sifat fisik lain dari membran yang telah diukur adalah kuat tarik. Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran tanpa PEG mempunyai nilai kuat tarik lebih rendah dibandingkan membran dengan penambahan PEG. Bertambah besarnya nilai kuat tarik membran disebabkan terdapat sejumlah molekul polimer PEG pada matriks membran selulosa asetat. Sementara itu pada perubahan suhu koagulasi, diperoleh kuat tarik membran pada suhu rendah (15oC) lebih tinggi dibandingkan koagulasi pada suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini berhubungan dengan sifat kelarutan PEG yang menurun pada koagulasi suhu rendah, sehingga masih terdapat sejumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat dan menambah polimer padatan pada matriks membran selulosa asetat. Pada koagulasi suhu kamar, kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20% diperoleh sebesar 3,795 kgf/cm 2 dan 2,355 kgf/cm2 untuk membran tanpa PEG. Nilai kuat tarik yang diperoleh tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan nilai kuat tarik dari membran selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, yaitu 3,37 kgf/cm 2 pada formula membran 14% PEG dan 10% selulosa asetat (Darwis et al., 2003). Sementara itu pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15 oC), nilai kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/DA 20% diperoleh sebesar 4,19 kgf/cm2. Sementara itu nilai kuat tarik untuk membran tanpa PEG diperoleh sebesar 3,030 kgf/cm2.
3.2.3. Morfologi Membran Menurut Cheryan (1998), terdapat dua mekanisme pembentukan morfologi membran yaitu mekanisme delayed demixing dan instantaneous demixing. Mekanisme pembentukan membran yang berbeda akan mengarah pada pembentukan struktur yang berbeda. Membran yang telah dihasilkan pada penelitian ini menggunakan polimer selulosa diasetat (SDA) dan dimetil formamida (DMF) sebagai pelarut serta air sebagai bukan-pelarut. Cheryan (1998) juga menyatakan bila pembuatan membran SDA secara inversi fasa menggunakan pelarut DMF dan air sebagai bukan-pelarut maka akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing. Afinitas antara DMF dan air sangat kuat sehingga
mekanisme pencampuran ini menghasilkan membran berpori (porous membrane). Hasil
pengamatan
terhadap
morfologi
dari
membran
yang
dihasilkan
menggunakan Scanning Electron Misroscope (SEM) JSM-5310 LV, Jeol-Japan menunjukkan bahwa membran tersebut merupakan membran asimetrik karena struktur permukaan lapisan bawah mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. a. Bagian lapisan permukaan atas membran SDA (2000x)
Gambar 14. b. Bagian lapisan bawah membran SDA (500x) Dapat dilihat dari Gambar 14.a. yaitu pori membran yang dihasilkan pada lapisan permukaan atas baru terlihat setelah dilakukan perbesaran 2000x. Sementara pada Gambar 14.b., pori membran yang dihasilkan pada lapisan bawah sudah terlihat pada perbesaran 500x. Ini menunjukkan membran yang dihasilkan berupa membran asimetrik dengan pori pada lapisan bawah lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas membran. Perbedaan pori yang dihasilkan
terjadi karena diffusi pelarut DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas sehingga molekul-molekul DMF dan PEG yang meninggalkan larutan cetak mempengaruhi pori yang terbentuk ketika proses pemadatan molekul-molekul SDA terjadi. Ketika pemadatan membran lapisan bagian atas sudah terbentuk, sebagian kecil DMF dan PEG yang masih tersisa pada padatan tersebut meninggalkan pori dengan ukuran yang kecil (dense) ketika larut dalam air. Sebaliknya karena diffusi DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat, molekul DMF dan PEG masih banyak terkandung ketika pemadatan membran terjadi dan meninggalkan pori dalam ukuran yang lebih besar ketika molekul DMF dan PEG larut dalam air.
3.2.3.1. Morfologi Membran pada Penambahan PEG Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mekanisme pembentukan membran pada penelitian ini berlangsung secara instantaneous demixing. Kelemahan yang sering terjadi pada mekanisme instantaneous demixing adalah terbentuknya makrovoid pada lapisan bagian bawah dari membran. Makrovoid lebih sering terbentuk dari sistem pelarut dan bukan-pelarut yang mempunyai afinitas tinggi seperti DMF dengan air dan membentuk suatu rongga yang sangat terbuka berada diantara pori-pori yang lebih kecil. Rongga makrovoid mulai terjadi pada lapisan pertama pada bagian lapisan bawah membran akibat dari peristiwa diffusi pelarut dan bukan-pelarut. Diffusi yang terjadi tersebut membentuk nukleus (inti) yang akan berkembang menjadi pori. Pelarut dalam membran mengalir dengan cepat menuju nukleus sehingga terjadi peningkatan konsentrasi pelarut dalam nukleus. Peningkatan konsentrasi tersebut menimbulkan kestabilan larutan polimer disekitar nukleus dan menghalangi terbentuknya nukleus baru. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengembangan nukleus lama untuk membentuk makrovoid (Young dan Chen, 1995). Keberadaan makrovoid tidak diharapkan karena akan menurunkan kekuatan mekanikal membran sehingga mempengaruhi permeabilitas membran (Chaudhuri, 2003; Husain, 2009). Perbedaan struktur membran yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dan dengan penambahan PEG dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. a.
Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). PEG (500x).
Gambar 15. b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar). Pada Gambar 15. a dapat dilihat bahwa struktur morfologi hadir dengan keberadaan pori yang tidak tertata dengan baik. Terdapat rongga yang besar berupa makrovoid diantara pori-pori kecil. Pertumbuhan makrovoid berhenti bila konsnetrasi polimer larutan menjadi sangat tinggi dan terjadi oemadatan. Penambahan aditif PEG pada larutan cetak membuat larutan polimer menjadi lebih viscous dan afinitas antara DMF dan air menjadi berkurang, sehingga dapat menekan terbentuknya makrovoid (Javiya et al., 2008), seperti terlihat pada Gambar 15. b dan keberadaan pori lebih tertata dengan baik.
3.2.3.2. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Berat Molekul PEG
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG dapat menekan terbentuknya makrovoid. Selain itu, struktur membran semakin rapat dengan naiknya berat molekul PEG. Viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan berat molekul PEG dalam larutan cetak/larutan polimer akan menaikkan viskositas larutan tersebut sehingga memperlambat diffusi PEG dan DMF ke dalam air. Keadaan tersebut membuat kandungan padatan pada matriks selulosa diasetat bertambah, sehingga struktur membran selulosa asetat yang dihasilkan menjadi lebih padat/rapat. Hasil SEM morfologi struktur membran yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi suhu kamar)
Gambar 16. b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, Sekilas tampak struktur morfologi membran yang sama pada perbesaran koagulasi suhukamar) 500x dari Gambar 16. a dan Gambar 16. b. Namun sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu struktur membran pada Gambar 16. a lebih renggang pada
perbesaran 2000x dan pori yang dihasilkan kelihatan lebih banyak walaupun ukuran pori terlihat lebih kecil dibandingkan Gambar 16. b. Hal ini disebabkan karena molekul PEG pada berat 1450 Da lebih mudah larut dalam air dibandingakan PEG 4000 Da. Walaupun rasio PEG/SDA yang digunakan sama, diperkirakan jumlah molekul PEG 1450 Da yang tertinggal pada matriks selulosa diasetat lebih sedikit dan meninggalkan pori yang lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan molekul PEG 4000 Da.
3.2.3.3. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Rasio PEG/SDA Penambahan rasio PEG terhadap selulosa diasetat pada pembuatan membran berarti semakin bertambah banyak molekul PEG yang ikut bercampur dalam larutan cetak. Molekul PEG tersebut mengisi matriks membran selulosa asetat dan meninggalkan pori pada matriks tersebut ketika berlangsung proses diffusi antara DMF dengan air. Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan, diperkirakan molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat juga banyak sehingga pori yang dihasilkan pada membran juga lebih banyak, seperti dapat dilihat pada Gambar 17. b. Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan naiknya rasio PEG/SDA. Hal ini disebabkan karena diperkirakan jumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat masih lebih banyak dibandingkan dengan rasio PEG/SDA yang rendah. Hasil SEM untuk morfologi membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. a dan Gambar 17. b.
Gambar 17.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10%
Gambar 17.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20%
3.2.3.4. Morfologi Membran pada Berbagai Suhu Koagulasi Suhu koagulasi yang lebih rendah mengakibatkan afinitas pelarut DMF terhadap air menjadi berkurang. Aditif PEG lebih sukar larut dalam air, sehingga menurunkan kecepatan proses diffusi yang terjadi antara DMF dan air. Pori yang terbentuk lebih kecil dibandingkan hasil koagulasi pada suhu tinggi. Struktur morfologi hasil pembuatan membran pada koagulasi suhu rendah dari analisis SEM dapat dilihat pada Gambar 18.a.
Gambar 18. a. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 15 oC (10000x)
Gambar 18. b. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 50oC (3500x) Dapat dilihat dari Gambar 18. a, ukuran pori relatif kecil dan baru dapat dilihat pada perbesaran 10000x dari membran hasil koagulasi pada suhu 15oC. Ukuran pori yang relatif kecil juga telah dihasilkan oleh Cai et al. (2007) pada penelitiannya terhadap pembuatan membran pada suhu koagulasi rendah. Hal ini disebabkan karena kontak antara DMF dengan air berkurang akibat proses diffusi yang terjadi lambat. Sebaliknya, kenaikan suhu koagulasi dapat mempercepat proses kecepatan diffusi DMF dan PEG terhadap air karena affinitas yang tinggi antara DMF dan air. Affinitas yang tinggi tersebut juga dapat memicu terbentuknya makrovoid. Pori yang terbentuk juga lebih besar dan sudah dapat dilihat pada perbesaran yaitu 3500x seperti telihat pada Gambar 18.b. Pori yang terbentuk mengarah pada pembentukan makrovoid sehingga perlu dicari suatu pemecahan untuk mengatasi keadaan ini. Menurut Mahendran et al. (2004), makrovoid dapat juga diatasi dengan penambahan pelarut pada bak koagulasi.
3.2.4. Kompaksi
Membran yang telah dihasilkan, terlebih dahulu dilakukan kompaksi. Kompaksi menggunakan tekanan transmembran (TMP) yang lebih tinggi dari TMP yang akan dioperasikan (1,2 bar), sehingga digunakan TMP 2 bar. Kompaksi dilakukan dengan mengalirkan air melewati membran dengan luas efektif 12,56 cm2 hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi untuk semua membran menunjukkan penurunan fluks sampai menit ke tigapuluh, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Penurunan fluks air hingga mencapai suatu nilai yang mendekati konstan disebabkan oleh struktur pori membran menjadi lebih rapat karena terjadinya proses deformasi mekanik pada matriks membran akibat tekanan yang diberikan. Membran hasil kompaksi menjadi lebih kaku (Mahendran et al., 2004).
Tabel 12. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar Rasio PEG vs SA 0 10% 10% 10% 20% 20% 20% 30% 30% 30%
Berat PEG (MW) Murni SA 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da
10 183 218 199 193 221 212 196 240 226 212
Fluks Air (L/m2.jam) pada menit ke20 30 180 169 207 202 191 186 177 174 207 202 202 197 185 185 226 218 212 202 202 202
40 169 202 186 174 202 197 185 218 202 202
Tabel 13. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG/SDA 20%. Berat PEG (MW) Murni SA
1450 Da
Suhu Koagulasi (oC) 15 30 50 15 30 50
10 188 183 221 207 221 234
Fluks Air (L/m2.jam) pada menit ke20 30 174 169 180 169 207 207 196 191 207 202 218 218
40 169 169 207 191 202 218
4000 Da
6000 Da
15 30 50 15 30 50
202 212 226 177 196 212
191 202 215 166 185 196
180 197 213 164 185 191
180 197 213 164 185 191
Pada penelitian Radiman et al. (2002), waktu kompaksi terhadap membran Polisulfon pada TMP 2 kg/cm2 (sekitar 2 bar) dicapai ketika fluks konstan setelah 30-45 menit. Sementara itu waktu kompaksi selama 20 menit pada TMP 3 atm (sekitar 3 bar) telah dihasilkan oleh Piluharto (2003) terhadap membran selulosa berbasis selulosa mikrobial. Sedangkan Mahendran et al. (2004) memerlukan waktu kompaksi selama 4-5 jam pada TMP 414 kPa (sekitar 4 bar) terhadap membran komposit selulosa asetat-polietersulfon. Studi tentang kompaksi paling banyak dipakai untuk membran reverse osmosis(RO) karena tekanannya yang tinggi. 3.2.5. Fluks Permeabilitas merupakan parameter utama dalam pengujian kinerja suatu membran yang menunjukkan banyaknya permeat yang melewati membran persatuan waktu persatuan luas. Permeabilitas lebih sering dinyatakan sebagai fluks. Karakteristik membran terhadap fluks dari hasil semua perlakuan pada pembuatan membran dijelaskan di bawah ini. Fluks pada setiap pembahasan diambil pada kondisi tunak.
3.2.5.1. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Penambahan PEG Fluks membran dari formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG telah dibandingkan dengan formula membran tanpa PEG. Tujuan penambahan PEG sebagai porogen agar distribusi pori lebih merata. Fluks yang dihasilkan pada formula membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Fluks Air (L/m2.jam)
140
121
120 100 80
110 83
74
60 40 20 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 19. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 131,502 132 Fluks Air (L/m2.jam)
140
110
120 100
74
89
80 60 40 20 0
Murni 1 SDA
PEG/SDA 2 10%
PEG/SDA 20% 3
PEG/SDA 30% 4
Formula membran
Gambar 20. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa fluks air dari formula membran tanpa PEG lebih rendah dibandingkan formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA. Pada pembuatan membran tanpa PEG, pori membran yang terbentuk sangat ditentukan dari jumlah konsentrasi polimer awal yang digunakan. Konsentrasi polimer yang tinggi akan membentuk lapisan permukaan membran dengan porositas yang rendah karena fraksi volume dari polimer naik, dan demikian sebaliknya. Pori yang terbentuk tidak tersebar dengan baik ketika proses diffusi antara DMF dan air berlangsung. Sedangkan pada
penambahan PEG, pori yang terbentuk menjadi bertambah dan tertata dengan lebih teratur, seperti telah dilihat sebelumya pada Gambar 14. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumlah molekul PEG yang telah mengisi matriks membran ikut larut ke dalam air sehingga meninggalkan pori pada membran. Terbentuknya pori dari membran tersebut menghasilkan fluks yang lebih tinggi . Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks dari larutan Dekstran (12 kDa). Hubungan fluks yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan membran penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. 95
Fluks Dekstran (L/m2.jam)
100 90 80 70
78 71
69
60 50 40 30 20 10 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 21. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 91
Fluks Dekstran (L/m2.jam)
100 90 80
69
72
78
70 60 50 40 30 20 10 0
Murni1SDA
2 10% PEG/SDA 3 20% PEG/SDA Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 22. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks yang dihasilkan oleh BSA (67 kDa) juga mempunyai kecenderungan yang sama seperti pada fluks air dan dekstran. Hubungan fluks BSA yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24. 90
83
Fluks BSA (L/m2.jam)
80
72
70
62
62
60 50 40 30 20 10 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 23. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 81
90
Fluks BSA (L/m2.jam)
80
62
69
72
70 60 50 40 30 20 10 0 1 Murni SDA
2 3 PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 24. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 3.2.5.2. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Berat Molekul PEG Olmos et al. (2008) menyatakan bahwa viskositas larutan polimer (larutan cetak) akan naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas larutan cetak menyebabkan diffusi antara pelarut (DMF) dan bukan-pelarut (air) menjadi lebih lambat. Membran yang dihasilkan sangat menentukan fluks dari membran tersebut. Fluks air dari membran dengan berbagai berat molekul PEG dapat dilihat
Fluks air (L/m2.jam)
pada Gambar 25.
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG (Da)
Gambar 25.
Hubungan fluks air10% (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai 20% 30% berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fluks air menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Hal ini disebabkan karena viskositas larutan cetak yang dimiliki menjadi lebih tinggi sehingga affinitas antara DMF dan air menjadi berkurang pada saat diffusi berlangsung. Terdapat sejumlah kecil molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat sehingga pori yang terbentuk lebih sedikit. Jari-jari girasi (Rg) dari rantai PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG, dimana Rg = 0,0215 Mw0,583 (Chou et al., 2007). Akibat dari proses diffusi yang terjadi tersebut, diperkirakan porositas membran menurun sehingga fluks yang dihasilkan juga menurun. Pendapat tersebut didukung dari hasil penelitian Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan
bahwa penambahan porogen PEG dengan berat molekul yang semakin tinggi dalam larutan cetak menurunkan porositas membran demikian sebaliknya. Fluks air tertinggi diperoleh sebesar 146 L/m 2.jam dari membran dengan penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30%. Kecenderung yang sama juga dihasilkan fluks dari dekstran dan BSA (Gambar 26 dan Gambar 27). Fluks tertinggi untuk larutan dekstran dan BSA diperoleh sebesar 114 L/m 2.jam dan 96 L/m2.jam dari formula membran dengan penambahan PEG 1450 Da dan rasio
Fluks desktran (L/m2.jam)
PEG/SDA 30%. 120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat molekul PEG 10%
Gambar 26.
20%
30%
Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
10%
20%
6000 Da
30%
Berat Molekul PEG
Gambar 27.
Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.5.3. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagi Rasio PEG/SDA Rasio PEG/SDA meningkat berarti semakin banyak molekul PEG mengisi matriks selulosa asetat. Molekul PEG tersebut akan larut dalam air pada bak koagulasi ketika peristiwa diffusi berlangsung dan meninggalkan pori pada matriks selulosa asetat. Rasio PEG/SDA yang lebih tinggi akan meninggalkan pori dengan jumlah yang lebih besar sehingga fluks yang dihasilkan lebih besar pula, seperti terlihat pada Gambar 28. Fluks tertinggi dihasilkan dari formula membran dengan penambahan PEG pada rasio PEG/SDA 30% (PEG 1450 Da) sebesar 146 L/m2.jam.
Fluks air (L/m2.jam)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA (%) 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 28. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks yang dihasilkan dari larutan standar dekstran dan BSA dengan fluks tertinggi untuk dekstran adalah 114 L/m2.jam dan 96 L/m2.jam, seperti terlihat pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Fluks dekstran (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 29. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 30.
4000 Da
6000 Da
Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.5.4. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Suhu koagulasi. Semakin tinggi suhu air pada bak koagulasi, semakin cepat diffusi yang terjadi antara pelarut DMF dan air sehingga membentuk sejumlah besar pori. Demikian juga, semakin banyak molekul PEG yang larut maka jumlah pori yang meninggalkan matriks selulosa diasetat lebih banyak sehingga fluks meningkat. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa fluks air semakin meningkat dengan naiknya suhu koagulasi baik dengan penambahan PEG maupun tanpa penambahan PEG. Dalam hal ini diperkirakan porositas membran yang dihasilkan meningkat pada suhu koagulasi yang lebih tinggi. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2005) yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu koagulasi dari 25 oC sampai 70oC akan menaikkan porositas membran sehingga fluks meningkat. Demikian juga menurut Saljoughi et al. (2010) dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa semakin rendah suhu koagulasi akan menurunkan porositas membran sehingga fluks menurun. Fluks air tertinggi dihasilkan dari membran pada suhu koagulasi 50oC dengan penambahan PEG1450 Da (PEG/SDA 20%) sebesar 129 L/m2.jam
Fluks air (L/m2.jam)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 31. Hubungan antara fluks air dengan berbagai suhu koagulasi (TMP 1,2 bar; suhu kamar / rasio PEG/SDA 20%)
Fenomena serupa terjadi pada fluks larutan dekstran dan BSA, seperti terlihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. Adapun fluks tertinggi yang dihasilkan oleh larutan dekstran dan BSA berturut-turut adalah 119 L/m2.jam dan 96 L/m2.jam pada formulasi membran yang sama. Hasil lengkap nilai fluks untuk air,
Fluks dekstran (L/m2.jam)
dekstran, dan BSA dapat dilihat pada Lampiran 36.
140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 32. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 33. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%)
3.2.6. Rejeksi Selektivitas merupakan ukuran kemampuan membran untuk menahan suatu spesi. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter: retensi (R) atau faktor pemisahan (α). Pada penelitian ini, selektivitas dinyatakan sebagai retensi/rejeksi (R).
3.2.6.1. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Penambahan PEG Selain fluks, rejeksi termasuk parameter untuk melihat kinerja membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Tujuan penambahan PEG pada membran yang dihasilkan dapat meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran. Semakin teratur pori-pori yang terbentuk maka semakin bagus membran yang dihasilkan. Rejeksi dekstran dari membran dengan formulasi penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA telah dibandingkan dengan rejeksi dekstran dari membran tanpa PEG. Hasil rejeksi dekstran tersebut dapat dilihat pada Gambar 34 dan Gambar 35.
Rejeksi Desktran (%)
60
54.83
55.96
56.18
56.34
Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
50 40 30 20 10 0
Formula membran
Gambar 34. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 70
55,83
59,01
56,18
53,34
Rejeksi Dekstran (%)
60 50 40 30 20 10 0 1 Murni SDA
2 3 PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 35. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Rejeksi dari formulasi membran dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Keadaan ini juga terjadi pada fluks yang dihasilkan seperti telah dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Hal tersebut diperkirakan karena pori yang terbentuk lebih banyak pada membran dengan penambahan PEG dan distribusi ukuran pori
membran menjadi lebih beragam sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Berdasarkan hasil fluks dan rejeksi yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa penambahan PEG pada pembuatan membran membuat porositas membran meningkat dan distribusi ukuran pori membran menjadi lebih sempit sehingga fluks dan rejeksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingakan membran tanpa PEG. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada rejeksi BSA dari formulasi membran tersebut. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 36 dan 37. 90
Rejeksi BSA (%)
80
78.72
79.5
82.4
Murni SDA
1450 Da
4000 Da
86.4
70 60 50 40 30 20 10 0 6000 Da
Formula membran
Gambar 36. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 84,20 90 82,40 80,60 78,72 Rejeksi BSA (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Murni 1 SDA
PEG/SDA 2 10%
PEG/SDA 3 20%
PEG/SDA 4 30%
Formula membran
Gambar 37. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
.
3.2.6.2. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Berat Molekul PEG Penambahan PEG dapat menaikkan viskositas larutan. Semakin besar berat molekul PEG, maka viskositas larutan semakin tinggi karena viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas ini menghambat diffusi yang terjadi antara DMF, PEG, dan air. Rejeksi suatu zat terlarut juga sangat ditentukan dari hasil proses diffusi terbentuknya membran. Menurut Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010), porositas membran menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar
Rejeksi dekstran (%)
38.
60 50 40 30 20 10 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG
10%
20%
30%
Gambar 38. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 38 dapat dilihat bahwa pada rasio PEG/SDA yang sama, rejeksi yang dihasilkan dekstran cenderung sama walaupun berat molekul PEG berbeda. Rejeksi dekstran yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 53-59%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pori membran yang dihasilkan masih sangat besar dibandingkan ukuran partikel dekstran sehingga masih banyak partikel dekstran lolos sebagai permeat. Jumlah partikel dekstran yang tertahan pada permukaan membran hampir sama untuk semua formulasi membran. Keadaan inilah yang mengakibat rejeksi yang dihasilkan mendekati sama walaupun porositas membran menurun dengan naiknya berat
molekul PEG. Sementara itu dari Gambar 39 dapat dilihat rejeksi yang dihasilkan BSA meningkat dengan naiknya berat molekul PEG. Peningkatan rejeksi tersebut disebabkan karena porositas membran menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa viskositas larutan yang
semakin tinggi dengan naiknya berat molekul PEG
membuat diffusi yang terjadi antara DMF dan air semakin terhambat sehingga molekul PEG yang berdiffusi ke air dan meninggalkan matriks membran juga semakin sedikit. Keadaan ini membuat porositas membran menurun karena jumlah luas
pori membran yang terbentuk lebih kecil dibandingkan luasan
membran yang digunakan, sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi tinggi.
Rejeksi BSA (%)
100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG 10%
Gambar 39.
20%
30%
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Selain itu, peningkatan rejeksi dapat disebabkan karena pori membran yang dihasilkan mendekati sama dengan ukuran rata-rata partikel BSA. Rejeksi BSA yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 77% (±6) – 94% (±6).
Rejeksi 77% menunjukkan bahwa pori membran yang
dihasilkan masih lebih besar dibandingkan pori membran dengan rejeksi 94%. Menurut Mahendran et al. 2004, MWCO membran dapat ditentukan dengan mengidentifikasi zat terlarut bila suatu zat terlarut dengan berat molekul yang paling rendah mampu direjeksi sekitar 80-90% dengan menggunakan suatu larutan standar pada ukuran tertentu. Berdasarkan nilai rejeksi yang telah diperoleh, maka ukuran pori membran berada sekitar 67 kDa. Rejeksi tertinggi
dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula PEG 6000 dengan rasio PEG/SDA 10% yaitu sebesar 59% dan 94%.
3.2.6.3. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Rasio PEG/SDA Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan dalam larutan cetak pada pembuatan membran, maka semakin banyak molekul yang mengisi matriks membran tersebut. Selanjutnya, dalam proses diffusi DMF dengan air, molekul PEG tersebut akan larut dalam air dengan jumlah yang besar juga sehingga meninggalkan pori pada membran sejumlah molekul yang larut. Hasil rejeksi untuk dekstran dapat dilihat pada Gambar 40.
Rejeksi dekstran (%)
60 50 40 30 20 10 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 40.
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
Pada Gambar 40, untuk setiap berat molekul PEG dapat dilihat rejeksi dekstran menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA, walaupun tingkat penurunan sangat kecil. Rejeksi yang dihasilkan sekitar 53-59%. Hal ini disebabkan karena ukuran pori membran yang dihasilkan masih terlalu besar dibandingkan ukuran molekul dekstran, sehingga masih terdapat sejumlah besar molekul desktran yang lolos melalui pori membran. Demikian juga pada Gambar 41 rejeksi BSA yang dihasilkan menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA. Tingkat penurunan yang terjadi juga sangat
kecil. Rejeksi yang dihasilkan berada dalam kisaran 77% (±6) – 94% (±6). Namun apabila dilihat dari nilai rejeksi, maka dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran mendekati ukuran molekul BSA. Rejeksi tertinggi dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula rasio PEG/SDA 10% dengan berat molekul
Rejeksi BSA (%)
PEG 6000 yaitu sebesar 59% dan 94%. 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 41.
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.6.4. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagi Suhu Koagulasi Proses diffusi suatu larutan berjalan sangat lambat bila koagulasi berlangsung pada suhu rendah karena viskositas larutan tersebut menjadi tinggi. Dengan demikian, semakin rendah suhu koagulasi maka pelarut DMF dan PEG yang berdiffusi dalam air semakin sukar larut sehingga rejeksi dekstran dan BSA dari membran yang dihasilkan tersebut lebih tinggi dibandingkan rejeksi membran hasil koagulasi pada suhu tinggi. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.
Rejeksi dekstran (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
Gambar 42.
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
Rejeksi BSA (%)
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
Gambar 43.
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
Hasil penelitian Cai et al. (2007) menunjukkan bahwa membran hasil koagulasi pada suhu rendah akan cenderung memiliki ukuran pori yang relatif kecil dibandingkan membran hasil suhu koagulasi pada suhu yang lebih tinggi. Pendapat ini diperkuat juga oleh hasil penelitian Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan bahwa suhu koagulasi rendah akan menurunkan porositas membran, sehingga menghasilkan rejeksi yang tinggi. Dengan demikian, rejeksi meningkat dengan turunnya suhu koagulasi dari membran yang dihasilkan pada penelitian ini diperkirakan ukuran pori yang terbentuk kecil. Pendapat ini didukung dari hasil analisa SEM seperti yang telah dilihat pada Gambar 18.a. Rejeksi tertinggi dari dekstran dan BSA diperoleh dari formulasi membran dengan penambahan PEG 6000 Da (PEG/SDA 20%) pada suhu koagulasi 15oC yaitu sebesar 63% dan 91%.
3.2.7. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) Membran Molecular Weight Cut-Off (MWCO) didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80-90% dapat direjeksi oleh membran (Mahendran et al., 2004). Nilai rejeksi dapat diperoleh setelah dilakukan pengukuran konsentrasi zat padat terlarut pada permeat dengan menggunakan larutan standar. Konsentrasi umpan dan permeat ditentukan dengan menggunakan alat sepktrofotometer. Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurements) merupakan metoda yang paling banyak digunakan dalam mengkarakteristik membran berpori. Dari berbagai variasi formulasi membran yang telah dihasilkan diperoleh rejeksi terhadap larutan standar dekstran (12 kDa) berkisar 50-66% dan rejeksi larutan standar BSA (67 kDa) berkisar 80-96%. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran berada pada ukuran maksimal 67 kDa. Menurut Osada dan Nakagawa (1992) membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau MWCO sekitar 103-106 Da. Ukuran pori membran yang dihasilkan ini masih termasuk kategori membran dengan jenis proses ultrafiltrasi. Fluks dan rejeksi tertinggi dihasilkan dari hasil rancangan proses membran pada koagulasi suhu kamar dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 1450 30 FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 6000 10
FLUKS (L/m2.jam) Air Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 146
114 96 REJEKSI (%) Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 59
94
Penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30% menghasilkan fluks tertinggi karena diperkirakan porositas membran yang dihasilkan lebih tinggi dan
didukung dengan jumlah molekul PEG yang lebih banyak. Tetapi rejeksi tertinggi dihasilkan pada penambahan PEG 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%. Hal ini dikarenakan porositas membran yang dihasilkan lebih kecil serta jumlah molekul PEG yang lebih sedikit. Sementara itu fluks dan rejeksi tertinggi yang dihasilkan dari rancangan proses pembuatan membran rasio PEG/SDA 20% dapat dilihat pada Tabel 15. Fluks tertinggi dihasilkan dari membran pada penambahan PEG 1450 Da dengan suhu koagulasi 50oC. Molekul PEG sangat cepat larut pada suhu tinggi dan meninggalkan
pori
pada
padatan
membran
selulosa
diaseat
sehingga
menghasilkan fluks yang tinggi. Rejeksi tertinggi diperoleh dari membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada suhu koagulasi 15 oC. Pada koagulasi suhu rendah, relatif ikatan antarmolekul hidrogen dalam membran selulosa asetat sangat kuat sehingga pori yang terbentuk sangat rapat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis SEM seperti telah didilihat pada gambar 18. a. Tabel 15. Formulasi membran (perubahan suhu koagulasi, rasio PEG/SDA 20%) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). FORMULASI Berat Suhu molekul koagulasi PEG (Da) (oC) 1450 50 FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 6000 15
FLUKS (L/m2.jam) Air Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 129
119 103 REJEKSI (%) Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 63
91
Berdasarkan hasil pada Tabel 14 dan Tabel 15, dapat dilihat bahwa fenomena fluks dan rejeksi yang bertolak belakang masih terjadi pada membran dengan penambahan PEG. Membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga optimasi membran perlu dilakukan untuk mendapatkan fluk dan rejeksi yang tinggi pada suatu formulasi membran yang sama.
Pada Tabel 14 dan Tabel 15 dapat dilihat juga bahwa fluks dekstran dan BSA tidak begitu jauh berbeda dari fluks air. Fluks zat terlarut dipengaruhi oleh fluks total. Fluks yang keluar melalui pori membran sebagai permeat merupakan fluks total, yaitu penjumlahan dari fluks pelarut dan fluks zat terlarut (Christin, 2005). Konsentrasi zat terlarut dan sifat-sifat zat terlarut pada permukaan juga mempengaruhi fluks (Benziger dan Aksay, 199). Oleh karena konsentrasi zat terlarut dekstran dan BSA yang digunakan dalam keadaan encer (200 ppm) sehingga fluks total yang dihasilkan sebagai permeat mendekati fluks total komponen murni air. Fluks yang dihasilkan tersebut masih berada dalam kisaran membran jenis ultrafiltrasi, yaitu 20 – 200 L/m2.jam untuk setiap satu bar tekanan transmembran (Wenten, 1999). Rejeksi larutan standar dekstran (12 kDa) lebih kecil dibandingkan dari rejeksi larutan standar BSA (67 kDa). Ini menunjukkan bahwa membran tersebut mempunyai ukuran pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 12 kDa lebih sedikit dibandingkan jumlah pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 67 kDa.
Tahap 4. Uji Aplikasi Membran Beberapa industri agro dapat berkembang melalui inovasi, peningkatan kapasitas produksi, pengenalan, dan pembaruan teknologi. Salah satu pembaruan teknologi yang memiliki peluang yang sangat bagus, keunggulan dan menambah lingkup kegiatan industri di Indonesia adalah penerapan teknologi membran (Aspiyanto, 2003). Uji penerapan teknologi membran terhadap membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon telah dilakukan pada dua contoh bidang industri yang berbeda. Diharapkan teknologi membran mampu menggantikan sebagian teknologi konvensional untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih baik. Adapun formula membran yang digunakan yaitu membran yang dihasilkan dari penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi yang berlangsung pada suhu kamar. Alasan pemilihan formula tersebut karena menghasilkan fluks tertinggi dari formula membran hasil koagulasi pada suhu kamar.
4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Membran yang dihasilkan pada penelitian ini telah diterapkan pada uji aplikasi terhadap peningkatan kadar Patchouli Alcohol (PA) dari minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Minyak nilam terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan, yaitu hidrokarbon (40%-45%) dan oxygenated hydrocarbon (55-60%). Golongan oxygenated hydrocarbon lebih bersifat polar dibanding golongan hidrokarbon karena terbentuk dari unsur Carbon (C), Hidrokarbon (H), dan Oksigen (O). Patchouli alkohol bersifat hidrofilik karena mengandung gugus (OH). Komponen-komponen minyak nilam yang tergolong dalam oxygenated hydrocarbon adalah: patchouli alkohol, seychellena, α-patchoulena, δ-guaiena, βpatchoulena, dan α-guaiena. Komponen-komponen tersebut termasuk komponen penyusun minyak nilam yang terbesar. Komponen terbesar dikandung oleh patchouli alkohol (PA) sekitar 32% dari jumlah total komponen minyak nilam. Berat molekul komponen-komponen penyusun minyak nilam relatif sama, yaitu berkisar 200 (Tabel 10) dan patchouli alkohol memiliki berat molekul 222,37. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat berdasarkan sifat hidrofobisitas. Membran selulosa asetat mempunyai sisi aktif gugus hidroksi (-OH) dan karbonil (CO) yang juga bersifat polar. Breaken et al. (2005) menyatakan pemisahan komponenkomponen larutan organik yang mempunyai molekul-molekul dengan berat molekul yang hampir sama dapat dilakukan dengan membran berdasarkan sifat hidrofobisitas antara membran dengan komponen-komponen tersebut. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam yang digunakan pada penelitian ini dan hasil filtrasi dari membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 44. Tabel 16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam Parameter Warna Bobot jenis ,25oC/25oC Indeks bias ,nD20 Bilangan asam Bilangan ester
Minyak Nilam kuning muda-coklat kemerahan 0,965 1,515 0,50 12,65
Larut jernih (perbandingan volume 1:10) 32,60%
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1.2
1.4
Fluksi minyak nilam (L/m2.jam)
Kadar Patchouli Alkohol (%)
Kelarutan dalam etanol 90%,20 oC Patchouli Alkohol (C15H24)
1.8
Transmembran (bar) PA (%)
Fluks (L/m2.jam)
Gambar 44. Hubungan fluks dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi Dapat dilihat dari Gambar 44, terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol tekanan transmembran dari 32,60% menjadi 41,68%alkohol dengan naiknya tekanan transmembran filtrasi dari patchouli 1,2 bar sampai 1,4 bar masing-masing dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 101 L/m2.jam dan 134 L/m2.jam. Sifat kimia membran dapat digambarkan dari perbedaan polaritas. Apabila suatu membran memiliki sifat kepolaran yang hampir sama dengan kepolaran umpan, maka membran akan mempunyai permeabilitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena membran yang bersifat polar akan mudah menarik molekul umpan yang juga bersifat polar dan akan menolak molekul umpan yang non polar, demikian sebaliknya. Mekanisme pemisahan antara membran dengan komponen umpan berdasarkan sifat hidrofobisitas dilustrasikan pada Gambar 45.
ΔP Patchouli Alkohol
Komponen Minyak Nilam
Hidrofobik (non-polar) Hidrofilik (polar)
Membran SDA Hidrofilik-polar
Hidrofobik (non-poar)
Membran SDA Hidrofilik-polar
Gambar 45. Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas Oleh karena membran selulosa asetat dan patchouli alkohol mempunyai sifat hidrofilik, maka patchouli alkohol akan ditarik oleh selulosa asetat melalui ikatan hidrogen (Utmb, 2008). Gugus –OH dari patchouli alkohol akan berinteraksi dengan membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik serta mempunyai sisi aktif bersifat polar melalui ikatan hidrogen. Semakin tinggi tekanan transmembran berarti semakin besar energi yang diperlukan sebagai usahanya dalam memindahkan suatu komponen dari campuran umpan (Wijmans et al., 1995). Ini menunjukkan bahwa peningkatan tekanan mampu menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen yang terjadi antara patchouli alkohol dan selulosa asetat dengan lebih kuat sehingga patchouli alkohol dapat lolos sebagai permeat dan kadar patchouli alkohol menjadi meningkat. Tetapi dapat dilihat juga dari Gambar 45 bahwa pada tekanan transmembran yang lebih tinggi terjadi penurunan kadar patchouli alkohol menjadi 36,29% walaupun fluks yang dihasilkan semakin meningkat, yaitu menjadi 189 L/m 2.jam. Peningkatan tekanan yang lebih tinggi menyebabkan komponen penyusun minyak nilam lainnya yang bersifat polar mengalami interaksi dengan membran selulosa asetat dan ikut lolos sebagai permeat. Dari hasil yang telah diperoleh tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat jenis ultrafiltrasi berdasarkan perbedaan hidrofobisitas dengan tekanan transmembran yang digunakan kecil mengingat ukuran pori membran yang besar. Tekanan transmembran kecil digunakan untuk mengontrol kecepatan aliran komponen patchouli alkohol yang lolos sebagai permeat. Peningkatan kadar patchouli alkohol sudah memenuhi syarat ekspor perdagangan minyak nilam (38%). Peningkatan patchouli alkohol pada skala yang lebih besar akan lebih effesien apabila menggunakan modul membran yang berbentuk tube berupa hollow fiber. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yanyan et al. (2004) menggunakan distilasi fraksi pada tekanan 75 mmHg diperoleh kadar patchouli alkohol sebesar 49,9% dengan suhu titik didih distilat 80 oC -120oC. Hasil
penelitian Suryatmi (2008) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol seiring dengan meningkat suhu rotavapor. Peningkatan suhu rotavapor dari 120oC -135oC meningkatkan kadar patchouli alkohol dari 15,22% menjadi 54,85%. Umumnya proses pemisahan menggunakan suhu tinggi melibatkan perubahan fase sehingga memerlukan energi yang tinggi. Kebutuhan energi yang diperlukan berpengaruh terhadap biaya produksi. Kelemahan lain pada proses distilasi suhu tinggi yaitu mudah mengalami proses resinifikasi sehingga mengakibatkan kerusakan minyak yang dihasilkan dikenal dengan istilah distilled, atau berbau terbakar (burnt) serta warna yang dihasilkan menjadi keruh (Ketaren, 1985). Proses pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fase sehingga dapat bekerja pada suhu rendah dan tidak terjadi kerusakan pada komponen minyak nilam. Warna yang dihasilkan lebih jernih serta tidak tercium bau terbakar. Mutu minyak dapat dinyatakan dalam sifat organoleptik yang meliputi warna dan aroma. Warna minyak nilam merupakan salah satu syarat mutu walaupun tidak tercantum dalam standar mutu dan sangat mempengaruhi harga. Peningkatan patchouli alkohol menggunakan membran akan memberi hasil yang lebih baik apabila didukung dengan penyedian bibit/benih yang unggul dan teknik budidaya nilam yang baik untuk menghasilkan mutu minyak nilam yang lebih baik. Dilihat dari perbandingan teknologi yang digunakan, kelebihan dari teknologi membran adalah dalam penggunaan suhu yang rendah sehingga tidak memerlukan energi yang besar dan komponen yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan. Fane (1996) menyatakan bahwa pergantian 10% peralatan distilasi atau evaporasi konvensional dengan peralatan membran dapat menghemat 2 x 1017 J/tahun atau setara dengan 34 x 106 barel minyak/tahun (Mew-Ita, 2008). 4.2. Pemurnian Nira Tebu Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan, karena itu teknologi membran mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. Nira tebu merupakan salah satu bahan baku dalam proses produksi gula. Pemurnian nira diusahakan tidak terjadi kerusakan sukrosa dan gula pereduksi, karena mutu
gula kristal sangat berpengaruh dari hasil pemurnian nira yang jernih. Komponenkomponen penyusun pada nira mentah secara umum dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kompisisi penyusun nira tebu mentah* KOMPONEN KANDUNGAN (%) Sukrosa 10,74-11,67 Gula reduksi 1,04-1,25 Abu 0,48-0,6 Anorganik bukan gula (garam-garam) 0,2-0,6 Organik bukan gula (protein, zat warna, 0,05-10 asam-asam organik, dll) Air 77-80 Dalam industri gula proses pemurnian nira bisa memanfaatkan ultrafiltrasi
*Wulyoadi et al. (2004)
dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira, sehingga diperoleh nira dengan kemurnian kandungan sukrosa tinggi. Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap nira hasil penggilingan batang tebu adalah berwarna coklat kehijau-hijauan. Di dalam nira mentah masih mengandung banyak pengotor dapat dilihat dari warna larutan yang masih keruh dan perlu dihilangkan
untuk mendapatkan produk gula dengan
kualitas yang baik. Fluks permeat dari larutan nira yang dihasilkan secara
250
250
200
200
150
150
100
100
50
50
0
0 0.6
1.2
Fluksi Nira (L/m2.jam)
Fluksi Air (L/m2.jam)
ultrafiltrasi pada 3 variasi tekanan transmembran dapat dilihat pada Gambar 46.
1.8
Tekanan transmembran (bar) Fluks air (L/m2.jam)
Fluks nira (L/m2.jam)
Gambar 49. Hubungan fluks terhadap variasi tekanan transmembran
Dari
Gambar 46 dapat
dilihat
bahwa
semakin tinggi
tekanan
transmembran yang digunakan, fluks permeat yang dihasilkan juga semakin
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tekanan masih mempengaruhi fluks. Fluks tertinggi didapat pada tekanan transmembran 1,8 bar, yaitu sebesar 165 L/m2.jam. Karakterisasi larutan nira mentah dan hasil filtrasi berupa permeat pada tekanan transmembran 1,8 bar dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil menunjukkan bahwa terjadi perubahan karakterisasi pada larutan nira umpan menjadi permeat.
Tabel 18. Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Diasetat terhadap Larutan Nira Parameter pH Turbiditi (A) Tekanan transmembran (bar) Fluksi nira (L/m2.jam)
Umpan 5,25 90
Permeat 6,0 54 1,8 165
4.2.1. pH Pada Tabel 17 dapat dilihat terjadi sedikit perubahan nilai pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran tanpa mememerlukan tambahan bahan kimia. Ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan teknologi filtrasi membran. Nira tebu dalam keadaan segar berada dalam kisaran pH 5,5-6,0 (Ananta et al., 1990). Nira yang didiamkan beberapa waktu akan mengalami proses fermentasi. Sukrosa dengan sangat mudah dapat berubah menjadi gula invert. Apabila terdapat asam atau enzim dalam nira maka reaksi yang terjadi adalah inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa akan termentasi menjadi etanol oleh kehadiran mikroorganisme. Etanol kemudian mengalami proses oksidasi oleh bakteri Acetrobacter aceti menjadi asam asetat. Keadaan ini menyebabkan kadar asam meningkat sehingga pH pada umpan pada penelitian ini cenderung menurun. Sifat keasaman nira berpengaruh terhadap proses pemurnian karena semakin tinggi keasaman nira maka semakin banyak bahan kimia yang dibutuhkan untuk menetralkan keasaman. Pemurnian nira secara konvensional menggunakan kapur dan belerang untuk menaikkan dan menurunkan nilai pH. Hasil yang didapat pada penelitian ini, terjadi peningkatan
pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran dari 5,25 menjadi 6,0. Hal ini menunjukkan proses filtrasi dengan membran dapat meminimalkan proses perubahan sukrosa menjadi gula invert. Apabila terjadi penurunan pH yang terlalu besar setelah proses filtrasi, berarti telah terjadi perubahan sukrosa menjadi gula invert sehingga kandungan sukrosa yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Kerusakan sukrosa yang kecil diperoleh bila pH nira berada disekitar titik netral atau sedikit basa, idealnya dalam kisaran 6,8-7,2. Menurut Notodjoewono (1970), kerusakan sukrosa sedikit sekali terjadi pada pH sekitar 7,2. Peningkatan pH hingga berada disekitar titik netral dapat dihasilkan pada penelitian ini bila nira mentah segera dilakukan pengolahan. 4.2.2. Turbiditi Menurut Mochtar et al. (1998), adanya beberapa komponen seperti sukrosa, gula reduksi, zat koloid dan kotoran tersuspensi seperti senyawa anorganik dan organik, zat warna, protein, lilin, dan karbohidrat menyebabkan terjadinya kekeruhan pada larutan nira. Analisis tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan aquades sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17 dimana terjadi penurunan turbiditi, yaitu sebesar 39,45% dari 90 (A) menjadi 54 (A). Walaupun hasil yang didapat sudah berada sedikit diatas nilai dari pemurnian nira secara konvensional (12%-38%), namum masih lebih rendah dari hasil yang pernah didapatkan oleh Wulyoadi et al. (2004) yaitu sebesar 54%. Ini menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan masih terdapat pori yang lebih besar dibandingkan komponen-komponen dalam larutan nira sehingga komponenkomponen tersebut terikut lolos sebagai permeat. Secara teknis, teknologi membran akan memberikan hasil proses yang lebih bersih, mempunyai warna yang lebih cerah, lebih hiegenis sehingga dengan mudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) bahkan standar dunia. Secara ekonomis, pemisahan menggunakan membran lebih hemat karena tidak memerlukan penambahan bahan kimia. Dari uji aplikasi yang telah dilakukan tersebut dapat didilihat bahwa dari segi teknis, proses pemisahan dan pemurnian dengan menggunakan teknologi
membran merupakan suatu keuntungan besar karena tidak membutuhkan energi yang besar dan tanpa penambahan bahan kimia sehingga menghasilkan hasil proses dengan mutu yang lebih baik. Dari segi ekonomis, penggunaan energi yang rendah dan tanpa penambahan bahan kimia tentunya akan menurunkan biaya produksi sehingga proses membran lebih ekonomis. Teknologi membran akan menjadi lebih ekonomis apabila penggunaan membran lokal berupa selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon semakin meningkat mengingat keberadaan akan tanaman tersebut sebagai bahan baku polimer membran terjamin secara kontinuitas, kuantitas, dan kualitas. Disamping masa tumbuh yang relatif singkat, harga tanaman sengon juga tidak terlalu tinggi dibandingkan harga tanaman kayu lainnya seperti jati, kamper,dan ulin. Saat ini, harga kayu sengon untuk setiap meter kubik berada dikisaran Rp. 650.000,000 – Rp. 800.000,000. Sementara harga kayu jati, kamper, dan ulin berturut-turut untuk setiap meter kubik adalah Rp. 7.000.000,000; Rp. 3.500.000,000; dan Rp. 15.000.000,000. Kelemahan yang dihadapi proses menggunakan membran adalah terjadinya lapisan endapan pada permukaan membran dan penyumbatan di dalam pori membran akibat terjadinya pengendapan partikel-partikel zat terlarut di dalam pori-pori membran. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan pengaturan laju alir. Penggunaan membran bersifat hidrofilik juga merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Solusi lain terhadap lapisan endapan yang terjadi pada membran dapat dilakukan dengan cara-cara: (1) mekanis, (2) hidrostatis, dan (3) pencucian kimia. Metoda mekanis berkaitan dengan metoda pencucian kimia yang memisahkan partikel dari partikel lain, khususnya partikel yang tidak sesuai dengan ukuran pori-pori membran. Sedangkan metoda hidrostatis menggunakan prinsip penyapuan partikel dalam membran hingga terjadi proses cross flow, untuk memisahkan partikel dengan partikel lain.