PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)
CUT MEURAH ROSNELLY
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
1
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini.
Bogor, Desember 2010
ABSTRACT Cut Meurah Rosnelly, F 361 050 051. The Design Process of Cellulose Acetate Ultrafiltration Membrane Production by Phase Inversion Method of Cellulose Pulp from Wood of Sengon (Paraserianthes falcataria. ). Under supervision of A. Aziz Darwis, Erliza Noor, and Kaseno
Cellulose acetate ultrafiltration membrane has been utilized in a variety of separation and purification processes, including in agro-industry sector. In general, cellulose acetate is obtained from acetylation of cotton cellulose and wood pulp (abaca, straw, sawdust). In this study, cellulose from wood pulp of Sengon (Paraserianthes falcataria) was used. This plant is fast growing species and has potential as a raw material from its high cellulose content. The purpose of this study was to find a cellulose acetate manufacturing process conditions, to characterize cellulose diacetate and its performance on ultrafiltration process. There are three steps of cellulose diacetate manufacturing process. They are: (1) activation of cellulose using acetic acid, (2) acetylation, cellulose in acetic acid solvent is reacted with acetic anhydride reactant using sulfuric acid as catalyst, (3) hydrolysis to obtain cellulose diacetate. At each operating processes acetyl content was observed at temperature 50 oC. In addition, effect of variation of anhydride acetate reactant and cellulose ratio, namely (3.35:1), (4:1) (5:1), and (6:1) were also investigated. Asymmetric cellulose diacetate membrane preparation by phase inversion method was carried out by the addition of cellulose diacetate (SDA) as a polymer, N, N-Dimethil formaida (DMF) as solvent, water as a non-solvent, and polyethylene glycol (PEG) as additive. At this stage, effect of PEG / SDA ratio (10%, 20%, 30%), PEG molecular weight variation (1450, 4000, and 6000 Da), and coagulation temperature (15 oC, room temperature, and 50oC) were also investigated. Membrane pore size was determined by by measuring Molecular Weight Cut Off ( MWCO) using a standard solution of dextran (12 kDa) and Bovin Serum Albumin (67 kDa). Membrane morphology was observed by Scanning Electron Microscope (SEM). Cellulose acetate of acetyl content of 39.66% and number average molecular weight 130,221 Da was obtained at the activation time 30 minutes; one hour acetylation process for acetic anhydride to cellulose ratio 3.35:1; and 15 hours hydrolysis process. The addition of PEG produced a thicker layer and greater tensile strength membranes and suppress the formation of macrovoid. SEM analysis shows a denser structure of membrane morphology with better regularity of pore shape, so has a better pore density (porosity) distribution of large and visible pores. The addition of PEG with higher molecular weight produces a denser morphological structure with larger pore size, but smaller porosity with large pore distribution. The addition of PEG with the increasing of PEG / SDA ratio resulted in a denser pore structure and greater number of pores with a greater porosity and large pore distribution. Coagulation at higher temperatures produced a thinner layer and low tensile strength membrane. The structure of membrane morphology is more
tenuous with a bigger pore size and greater number of pores so large porosity and pore distribution. Flux (water, dextran, and BSA) and rejection (dextran and BSA) are determined by the porosity and pore distribution of the membrane. High flux and rejection generated by large porosity and small pore distribution membrane. Membrane having small porosity and pore distribution produces low flux but high rejection. Conversely, high flux with low rejection obtained from the membrane with greater porosity and pore distribution. MWCO determination was based on the value of 80% rejection of dextran and BSA standard solution and the obtained pore size ranges obtained ≤ 67 kDa, and is still categorized as ultrafiltration membrane. For further research needs to use more standard solution so that the more precise determination of MWCO could be achieved. Cellulose diacetate membrane formulation produced by the addition of PEG 1450, PEG / SDA ratio 30% and coagulation at room temperature was applicated for patchouli alcohol (Pogostemon cablin Benth) to improve the content of patchouli alcohol and separation of the components of the sugarcane juice solution. Improvement of the essential oil of patchouli alcohol was carried out using the hydrophobicity difference principle. Results showed that there were elevated levels of 41,68% patchouli alcohol at a transmembrane pressure of 1.4 bar, patchouli oil flux of 134 L/m2. hour. Meanwhile, the permeate resulting from the separation of sugarcane juice solution components, with the increasing of transmembrane pressure from 0.6 to 1.8 bar obtained the increasing of flux solution from 36 to 165 L/m2.hour. Characteristics of permeate juice at 1.8 bar of transmembrane pressure increased the pH from 5.25 - 6 and decreased the turbidity about 34,95% from 90-54% (A) compared to raw sugarcane juice (nira). Keywords: wood pulp, sengon (Paraserinathes falcataria), cellulose diacetate, phase inversion, cellulose diacetate membrane, ultrafiltration, patchouli alcohol, sugar cane
RINGKASAN
Cut Meurah Rosnelly, F 361050051. Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibawah bimbingan A.Aziz Darwis, Erliza Noor, dan Kaseno
Membran dapat diartikan sebagai penyaring atau penghalang berupa lapisan tipis dengan kemampuan selektifitas tinggi sehingga dapat memisahkan antara komponen satu dengan yang lainnya secara spesifik. Membran selulosa asetat merupakan salah satu membran yang banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan, seperti untuk pemisahan larutan senyawa-senyawa terlarut, pemisahan campuran gas atau uap pelarut, partikel/molekul dalam larutan, pemisahan ion-ion dan sebagainya. Pada bidang agroindustri, pemisahan menggunakan membran banyak dilakukan dengan jenis proses ultrafiltasi. Material membran berupa bahan organik yang banyak digunakan adalah polimer selulosa asetat yang dapat diperoleh dari kapas dan pulp kayu ( abaka, jerami, serbuk gergaji, tandan kosong sawit), namun selulosa asetat sendiri di Indonesia masih didatangkan dari luar (impor). Hal ini merupakan kendala dalam memproduksi membran di Indonesia sehingga membran yang digunakan pada dunia industri juga masih berupa membran impor. Sejauh ini selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Di Indonesia, tanaman ini mudah tumbuh dan memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan polimer membran karena kandungan selulosa yang tinggi sehingga dapat mengatasi kendala kelangkaan membran lokal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) berbasis selulosa pulp kayu sengon serta mendapatkan kondisi rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat dengan penambahan polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA serta suhu koagulasi serta karakter membran. Membran selulosa diasetat bersifat hidrofilik dengan jenis ultrafiltrasi diharapkan dapat meningkatkan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira. Pembuatan selulosa diasetat diperoleh melalui tiga tahapan proses, yaitu: (1) aktivasi selulosa pulp kayu sengon menggunakan asam asetat, (2) asetilasi selulosa dengan anhidrida asetat sebagai reaktan, asam asetat sebagai pelarut serta menggunakan katalis asam sulfat. Pada proses asetilasi dilakukan variasi rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa untuk setiap satuan berat selulosa yang digunakan, (3) hidrolisis untuk mendapatkan selulosa diasetat dengan menambahkan air dan asam sulfat. Pada tiap tahap operasi diamati kadar asetil terhadap waktu pada suhu 50oC. Kadar asetil ditentukan menggunakan metoda titrasi dan berat molekul selulosa asetat menggunakan metoda viskometer Ubbelohde. Pembuatan membran asimetrik selulosa diasetat dilakukan dengan teknik inversi fasa. Inversi fasa adalah suatu proses pengubahan bentuk polimer dari fasa cair menjadi fasa padat dengan kondisi terkendali. Pada proses tersebut, polimer selulosa diasetat (SDA) dilarutkan dalam pelarut dimetilformamida
(DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15oC, suhu kamar, dan 50oC) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan pada larutan polimer dengan memvariasikan rasio PEG/SDA (10, 20, dan 30%), berat molekul PEG (1450, 4000, dan 6000 Da). Larutan polimer tersebut dicetak di atas plat kaca dengan ketebalan ± 0,2 mm kemudian didiamkan selama 30 detik dan selanjutnya dicelupkan dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut (non solvent) pada 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Membran yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik berupa ketebalan dan kuat tarik. Fluks air, dekstran, dan Bovin Serum Albumin (BSA) serta rejeksi dekstran dan BSA termasuk parameter yang ditentukan. Penentuan porometer membran dilakukan dengan menentukan Molecular Weight Cut Off (MWCO) menggunakan larutan standar dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa). Morfologi membran diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Salah satu formulasi membran dilakukan pengujian aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol (PA) dari minyak nilam dan pemurnian nira tebu. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) telah diperoleh sebagai berikut: selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 Da telah diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi selama satu jam dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Masing-masing proses berjalan pada suhu 50oC. Membran selulosa asetat hasil inversi fasa diperoleh melalui tahapan proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam. Proses dilanjutkan dengan pendiaman larutan cetak selama 1 jam pada suhu kamar, lama penguapan 30 detik, perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam. Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan (porositas) besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan PEG dengan rasio PEG/SDA yang semakin meningkat menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah.
Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks (air, dekstran, dan BSA) dan rejeksi (dekstran dan BSA) sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO membran didasari oleh nilai rejeksi 80-90% dari larutan standard dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa) diperoleh ukuran pori maksimal 67 kDa, dan masih dalam katagori membran jenis proses ultrafiltrasi. Disarankan untuk penelitian lanjutan perlu penggunaan larutan standar yang lebih banyak sehingga dalam penentuan MWCO membran lebih tepat. Membran hasil penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi suhu kamar diuji terhadap penerapan atau uji aplikasi pada minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) dalam usaha peningkatan kadar patchouli alkohol dan pemurnian nira tebu. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan menggunakan prinsip perbedaan hidrofobisitas (sifat kepolaran). Hasil menunjukkan terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol sebesar 41,68% pada tekanan transmembran 1,4 bar dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 134 L/m2.jam. Uji aplikasi terhadap pemurnian nira menghasilkan fluks yang semakin meningkat dari 36 menjadi 165 L/m2.jam dengan naiknya tekanan transmembran dari 0,6 – 1,8 bar. Karakteristik permeat nira pada tekanan transmembran 1,8 bar terjadi peningkatan pH dari 5,25 -6 dan penurunan turbiditi sebesar 39,45% dari 90-54% (A).
© Hak cipta milik IPB. Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)
CUT MEURAH ROSNELLY
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. 2. Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ahmad Farhan Hamid 2. Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS
Judul Disertasi
: Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Seluloa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)
Nama
: Cut Meurah Rosnelly
NIM
: F 361050051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir.H. Abdul Aziz Darwis, MSc Ketua
Dr. Ir. Hj. Erliza Noor Anggota
Dr. Ir. H. Kaseno, M. Eng Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Machfud, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian :________________
Tanggal Lulus : _______________
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember 2009 adalah ”Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)”. Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Hj. Erliza Noor, dan Dr. Ir. H. Kaseno, M.Eng masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan masukannya. Atas masukan dan saran pada ujian tertutup dari penguji luar komisi Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. (staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB) dan Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA (staf pengajar Departemen Kimia, IPB), serta Dr. H. Ahmad Farhan Hamid (Wakil MPR RI) dan Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS (Guru besar Departemen Kimia, IPB) masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka penulis juga menyampaikan terimakasih. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB khususnya Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Penelitian Hibah Bersaing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) atas Hibah Penelitian Doktor yang telah penulis terima. Tidak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam melalui Universitas Syiah Kuala Banda Aceh atas bantuan beasiswa selama dalam masa studi. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Rini Purnawati, Msi serta para laboran dan karyawan di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Rekayasa Proses dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB atas segala bantuannya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2005: I Gusti Bagus Udayana, Henny Purwaningsih, Novizar Nazir, Yuli Wibowo, Herfiani Rizkia, Fahmi Riadi Kubra, dan Luluk Sulistyo Budi serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan moril yang diberikan. Tidak lupa ucapan terimakasih tak terhingga disampaikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta: Prof. Dr. H. TMA Chalik, DGO, Sp.OG dan Hj. Tjut Farida atas segala do’a, dukungan, bantuan, bimbingan, kasih sayang, dan nasehat yang tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Kepada ayah dan ibu mertua: (alm) Kol. H. Syafei Arief dan (almh) Hj. Syarifah Budiman, penulis juga mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan yang telah diberikan semasa hidupnya. Kepada anak-anak tersayang: Aulia Khalqillah (15 tahun) dan Syaffan Syakh Khairunas (9 tahun) penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas dukungan, kesabaran, pengorbanan dan iringan do’a yang tulus dan ikhlas. Kepada kakak dan adik-adik tercinta, Cut Meurah Elvidayanti, SH beserta keluarga; Ir. H. T. Meurah Irfansyah beserta keluarga, Cut Meurah Farliyanti, Adm beserta keluarga, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas do’a, bantuan, dan dukungannya. Juga tidak lupa ucapan terimakasih kepada suami (alm) H. Agus Salim, adik-adik tercinta (almh) Cut Meurah Aswina, dan (alm) T. Reza Irwanda atas dukungan semangat dan siraman rohani yang telah diberikan kepada penulis semasa hidupnya. Untuk bantuan dan do’a yang diberikan kepada penulis dari berbagai pihak dan perorangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih, hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan ini dengan berlipat ganda. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2010 Cut Meurah Rosnelly
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 9 Januari 1968 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan H. T.M.A. Chalik dan Hj. Tjut Farida. Pada tahun 1980 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Yaspendhar, Medan. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1983 pada sekolah yang sama di Medan. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 1992 di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1994, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Teknik Kimia FTI dari perguruan tinggi yang sama di Surabaya pada tahun 1997 menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Selama mengikuti program S3, penulis telah mempublikasi beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi dengan judul: ”Pembuatan Selulosa Diasetat dari Selulosa Pulp Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Bahan Baku Pembuatan Membran” diterbitkan dalam jurnal ”Agri-Tek: Volume 10 Nomor 1, Maret 2009. Sementara itu, karya ilmiah dengan judul: ”Pengaruh Rasio Anhidrida Asetat dalam Proses Asetilasi Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) pada Pembuatan Selulosa Tri Asetat” diterbitkan pada jurnal terakreditasi ”Warta Industri Hasil Pertanian” Volume 27 No. 1 Tahun 2010. Selanjutnya karya ilmiah berjudul: ”Pengaruh Penambahan Aditif PEG terhadap Morfologi Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat” diterbitkan dalam jurnal ”Distilat ISSN 1978-8789 Volume 3 No.1 Juni 2010. Penulis juga telah mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan, yaitu: ”Pelatihan
Good Laboratory Practice
(GLP)” yang diadakan oleh Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB pada 19 Februari 2009 serta ”Pelatihan Penulisan Jurnal Ilmiah” pada 5 Juli 2010 di tempat yang sama. Seluruh karya ilmiah dan kegiatan pelatihan ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN
xxi 1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Hipotesis
3
Ruang Lingkup Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
Novelti
5
TINJAUAN PUSTAKA Membran
6 6
1. Definisi Membran
6
2. Proses Pemisahan dengan Membran
7
3. Karakterisasi Membran
8
Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat
11
1. Bahan Baku
11
2. Proses Pembuatan Membran
27
3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori
30
Pemanfaat dan Peluang Teknologi Membran METODOLOGI
32 38
Waktu dan Tempat Penelitian
38
Bahan dan Alat
38
Metodologi Penelitian
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
51
Tahap 1. Analisis sifat físika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria)
51
Tahap 2. Selulosa Diasetat
52
2.1. Waktu Aktivasi
52
2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi
54
2.3. Waktu Hidrolisis
57
Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat dan Karakterisasi
59
3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
59
3.2. Karakterisasi Membran
59
Tahap 4. Uji Aplikasi Membran
90
4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogestemon cablin Benth)
90
4.2. Pemurnian Nira Tebu
94
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
99 99 100
DAFTAR PUSTAKA
102
LAMPIRAN
112
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa
13
2.
Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu
15
3.
Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu
15
4.
Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer
17
5.
Hubungan antara derajat substituís, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya
19
6.
Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG)
26
7.
Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa
28
8.
Pemanfaatan membran selulosa asetat
33
9.
Komponen utama dalam minyak nilam
35
10.
Hasil analisis komponen kimia selulosa pulp kayu sengon
51
11.
Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon.
58
12.
Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar.
69
13.
Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG /SDA 20%.
70
14.
Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluksi dan rejeksi tertinggi
88
15.
Formulasi membran (rasio PEG/SDA 20%) dengan fluksi dan rejeksi tertinggi
89
16.
Hasil analisis parameter mutu minyak nilam
91
17.
Komposisi penyusun nira mentah
94
18.
Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Asetat terhadap larutan Nira
96
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Grafik hubungan fluksi terhadap waktu untuk aliran Dead-end dan Crossflow
2.
Struktur selulosa
12
3.
Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat
22
4.
Reaksi hidrolisis selulosa triasetat
24
5.
Skema tahapan penelitian secara umum
40
6.
Selulosa pulp kayu sengon
41
7.
Proses tahap penentuan waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis serta rasio anhidrida asetat
45
8.
Rangkaian alat penyaring silang (crossflow filtration) membran jenis proses ultrafiltrasi
49
9.
Perolehan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu aktivasi pada suhu 50 oC dan waktu asetilasi 1 jam. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50 oC selama 1 jam Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50 oC selama 1 jam dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35
52
Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50oC ) Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66% dan berwarna putih
57
10.
11.
12. 13.
8
55
56
58
14. a Bagian lapisan permukaan atas membran SDA
62
14.b. Bagian lapisan bawah membran SDA
62
15.a. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa penambahan PEG (koagulasi pada suhu kamar)
64
15.b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)
64
16.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)
65
16.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)
65
17.a. Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10%
67
17.b. Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20%
67
18.a. Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 15oC (1000x) 18.b. Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 50oC (3500x)
68
19.
Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
71
20.
Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
71
21.
Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
72
22.
Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
73
23.
Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
73
24.
Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar).
74
25.
Hubungan antara fluksi air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
74
26.
Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
75
27.
Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
76
28.
Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
76
29.
Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
77
68
30.
Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
77
31.
Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
78
32.
Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
79
33.
Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
79
34.
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
80
35.
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
81
36.
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
82
37.
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
82
38.
Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
83
39.
Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
84
40.
Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
85
41.
Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
86
42.
Hubungan antara rejeksi desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
86
43.
Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
87
44.
Hubungan fluksi dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi tekanan transmembran
91
48.
Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas
92
49.
Hubungan fluksi terhadap variasi tekanan transmembran
95
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Analisis kadar selulosa (ASTM D 1130-60).
112
2.
Analisis kadar air (ASTM D 871-96)
112
3.
Analisis kadar abu (ASTM D 871-96)
113
4.
Analisis kadar asetil (ASTM D 871-96)
113
5.
Jumlah perolehan selulosa asetat (Himmelblau)
114
6.
Penetapan viskositas intrinsic [η] Selulosa Asetat dengan Viskometer Ubbelohde
114
7.
Penetapan bobot molekul selulosa asetat relatif
115
8.
Pengukuran ketebalan membran
116
9.
Pengukuran kuat tarik membran
116
10.
Pengukuran fluksi air, dekstran, dan bovin serum albumin - BSA (Scott dan Hughes, 1996)
116
11.
Pengukuran rejeksi (Mulder, 1996)
117
12.
Analisis kadar protein (Metode Lawry)
118
13.
Analisis konsentrasi dekstran (Apriyantono et al., 1989)
118
14.
119
15.
Molecular Weight Cut Off (MWCO) membrane (Mahendran et al., 2004) Analisis morfologi membran
16.
Pengukuran bobot jenis
119
17.
Pengukuran indeks bias
120
18.
Bilangan asam
120
19.
Bilangan ester
121
20.
Analisis kadar patchouli alkohol
121
21.
Pembuatan dan standarisasi larutan NaOH 0,5 M dengan KH Ftalat (Day et al., 1990)
121
22.
Pembuatan dan standarisasi larutan HCl 0,5 N dengan Na 2CO3 (Day et al., 1990)
122
23.
Pembuatan larutan KOH 0,5 N
123
24
Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam asam asetat
123
25.
Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam aquadest
123
26.
Pembuatan ethanol 75% dari ethanol 95%
124
27.
Pembuatan larutan standar dekstran 200 mg/lt
124
119
28.
Pembuatan larutan standar BSA 200 mg/lt
124
29.
Perolehan selulosa triasetatdalam pada berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi dan asetilasi 50o C serta asetilasi 1 jam
124
30.
Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pada asetilasi 1 jam dan suhu 50 oC
125
31.
Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50oC dan rasio anhidrida asetat 3,35
125
32.
Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu
125
33.
Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar)
126
34.
Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
126
35.
Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar)
127
36.
Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
127
37.
Kinerja membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alcohol pada waktu filtrasi 10 menit
127
38.
Fluksi air dan nira terhadap berbagai tekanan transmembran
129
39.
Karakteristik dan kinerja membrani selulosa asetat pada pemurnian nira
129
40.
Diagram alir pembuatan selulosa asetat
130
41.
Diagram alir pembuatan membran ultrafiltasi
131
42.
Diagram alir proses pemurnian nira
133
43.
Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan selulosa asetat
134
44.
Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltasi pada koagulasi suhu kamar
135
45.
Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi pada rasio PEG/SDA 20%
136
PENDAHULUAN Latar Belakang Membran adalah suatu lapisan tipis yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu mampu melewatkan zat terlarut berukuran lebih kecil dari ukuran pori-pori membran dan menahan zat terlarut berukuran lebih besar dari ukuran pori-pori membran. Pergerakan atau perpindahan suatu zat terlarut yang melewati membran disebabkan oleh gaya pendorong berasal dari tekanan operasi pompa. Operasi proses hilir termasuk di bidang agroindustri umumnya melibatkan banyak tahapan operasi pemisahan dan pemurnian dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan tingkat kemurnian yang diinginkan. Penggunaan membran dalam proses pemisahan dan pemurnian telah menjadi topik penelitian yang intensif sejak awal tahun 1990. Penerapannya sudah meliputi spektrum yang luas, seperti pada bidang bioteknologi (pemurnian dan pemekatan enzim, pemekatan virus), farmasi (sterilisasi dan pemisahan partikel), kedokteran (hemodialisis), agroindustri/pengolahan produk pangan (pemekatan aneka macam sari buah pemekatan susu), sanitasi (pemisahan emulsi minyak-air, penjernihan dan pemurnian air laut/air payau) (Aspiyanto, 2003; Shibata, 2004). Teknologi pemisahan dengan membran memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Diantara keunggulan tersebut adalah membran tidak membutuhkan bahan kimia tambahan, dapat dikombinasikan dengan proses lain, tidak mengalami perubahan fase, kebutuhan energi rendah, proses dapat berlangsung secara kontinyu, dan tidak memerlukan ruang instalasi yang besar (Wenten, 1999). Di Indonesia, pemakaian membran masih menggunakan membran impor sehingga perkembangan teknologi membran tidak sepesat di negara lain. Kelangkaan akan membran lokal dan mahalnya membran impor menjadi kendala dalam penggunaan membran di dunia industri (Giriarso, 2009). Dari jumlah total pasar membran dunia, Amerika Serikat memimpin dengan menguasai 27 % diikuti oleh Eropa (Jerman, Perancis, Inggris, Itali, Spanyol, dll) sebanyak 40 %, Jepang 17 %, dan negara lainnya sebesar 16% (Wenten, 2002). Mengatasi kendala
akan kelangkaan membran lokal yang dihadapi maka terus dilakukan usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Selulosa asetat dan turunannya telah banyak dimanfaatkan sebagai serat untuk pakaian, penyaring tembakau, sebagai bahan pembuat plastik, film dan pelapis, dan perkembangan berlanjut hingga dimanfaatkan pula sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Pemakaian selulosa asetat sebagai polimer membran masih akan terus berkembang dan menempati bagian yang penting dalam teknologi membran. Selulosa asetat dapat diperoleh melalui proses asetilasi selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial umumnya berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997). Nata de coco dan Nata de soya termasuk sumber selulosa dan dikenal sebagai selulosa mikrobial. Sejauh ini pembuatan membran selulosa asetat telah dilakukan oleh beberapa peneliti menggunakan selulosa dari berbagai sumber, seperti selulosa mikrobial (Desiyarni, 2006 dan Darwis et al,. 2003), pulp Abaka (Radiman, 2004), dan limbah serbuk gergaji kayu (Suyati, 2008). Penggunaan bahan baku yang berbeda akan berpengaruh terhadap kondisi tahapan proses, terutama pada proses pembuatan selulosa asetat. Selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Oleh karena itu pemilihan bahan baku selulosa pulp kayu sengon pada penelitian ini diharapkan menjadi alternatif bahan baku polimer membran. Membran ultrafiltrasi selulosa asetat merupakan salah satu jenis membran yang dewasa ini banyak digunakan pada proses pemisahan. Ukuran pori pada membran ini berkisar antara 10-1000A atau MWCO sekitar 103-1000 6Da. Membran UF merupakan jenis membran berpori yang memiliki kemampuan untuk merejeksi partikel. Zat terlarut yang direjeksi biasanya berupa makromolekul seperti protein, vitamin, dan zat terlarut yang dilewatkan membran berupa gula dan garam (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran dan struktur membran yang akan dibuat umumnya menentukan teknik pembuatan membran yang digunakan. Inversi fasa merupakan salah satu teknik yang umum digunakan
pada pembuatan membran. Membran yang dihasilkan dari teknik ini memiliki struktur morfologi membran berpori. Penambahan Polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada pembuatan membran sangat menentukan struktur membran yang dihasilkan (Mulder, 1996). Untuk memperoleh membran ultrafiltrasi selulosa diasetat berbasis selulosa pulp kayu sengon yang berkualitas, maka dilakukan rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat yang meliputi tahapan proses pembuatan selulosa asetat dan pembuatan membran itu sendiri.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mendapatkan rancangan proses pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (paraserianthes falcataria) dengan cara menentukan kondisi proses untuk waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis, serta rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon. 2. Mendapatkan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat secara inversi fasa serta dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berbagai berat molekul PEG, rasio PEG/SDA, dan suhu koagulasi serta mendapatkan karakter membran (ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi, rejeksi, dan MWCO). 3. Mendapatkan kinerja membran yang diperoleh dari uji aplikasi terhadap pemisahan komponen tertentu dari minyak nilam dan larutan nira tebu.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini, adalah: 1. Perolehan selulosa asetat dan kadar asetil pada proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis sangat ditentukan oleh waktu masing-masing proses. Sumber selulosa yang digunakan diduga sangat menentukan lamanya waktu proses aktivasi. Pada proses asetilasi, meningkatnya rasio anhidrida asetat terhadap selulosa dan semakin lama waktu asetilasi diduga akan menaikkan perolehan selulosa triasetat dan kadar asetil yang dihasilkan.
Semakin lama waktu hidrolisis diduga akan menurunkan kadar asetil yang diperoleh. 2. Penambahan PEG sebagai porogen dan perubahan suhu koagulasi dalam pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa diduga berperan terhadap karakter membran yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan dengan penambahan PEG maupun perubahan suhu koagulasi akan menaikkan viskositas larutan polimer. 3. Membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik dengan tipe ultrafiltrasi dapat memisahkan bahan berdasarkan sifat kepolaran dan bahan yang berukuran > 0,005 µm (BM > 1000 Da). Berdasarkan sifat dan ukuran pori membran, diperkirakan membran yang dihasilkan pada penelitian ini dapat digunakan untuk pemisahan suatu komponen dari minyak nilam dan larutan nira tebu, dan lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup tahapan proses yang dikerjakan adalah: 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon 2. Pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (SDA) terdiri dari tahapan proses, yaitu: aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis. 3. Pembuatan dan penentuan karakter membran SDA. Pembuatan membran dilakukan secara inversi fasa dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebakai bukan-pelarut. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan dalam larutan cetak dengan berbagai berat molekul (1450 Da, 4000 Da, 6000 Da), rasio PEG terhadap selulosa diasetat (10%, 20%,30%) serta suhu koagulasi (15oC, suhu kamar, 50oC). Penentuan karakter membran berupa ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, MWCO. Larutan standar dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa) digunakan dalam penentuan flusk, rejeksi, dan MWCO membran. Pengamatan morfologi membran dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Mocroscope (SEM).
4. Pengukuran kinerja membran dari aplikasi terhadap pemisahan suatu komponen dari minyak nilamdan larutan nira tebu.
Manfaat Penelitian Pemanfaatan selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku baru untuk pembuatan membran ultrafiltrasi dan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi yang dapat digunakan dalam proses pemisahan berbagai senyawa dari produk agroindustri.
Novelti 1. Penggunaan selulosa berbasis selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku pembuatan polimer membran berupa selulosa diasetat (SDA). 2. Rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dengan penambahan PEG sebagai porogen pada larutan polimer dengan berat molekul 1450, 4000, dan 6000 Da serta rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%.
TINJAUAN PUSTAKA Membran 1. Definisi Membran Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996). Teknologi pemisahan menggunakan membran merupakan teknik pemisahan komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu menahan dan melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari komponen penyusun lainnya. Membran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu berdasarkan morfologi, bahan pembuat, dan proses pemisahannya. Berdasarkan morfologi, membran dibagi menjadi dua golongan, yaitu membran simetrik dan membran asimetrik. Struktur yang dihasilkan membran simetrik dapat bersifat berpori (porous) atau tidak-berpori (nonporous). Sedangkan struktur yang dihasilkan membran asimetrik bersifat berpori dengan pori pada lapisan atas lebih rapat dibandingkan pori pada lapisan bagian bawah. Membran jenis proses ultrafiltrasi lebih bersifat asimetrik dibandingkan membran dengan jenis proses mikrofiltrasi (Scot dan Hughes, 1996). Berdasarkan bahan pembuat, membran terbagi atas membran organik dan membran anorganik. Membran organik dibuat menggunakan bahan polimer. Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai bahan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika sangat bervariasi, sehingga hanya beberapa jenis polimer yang digunakan sebagai bahan membran. Jenis polimer yang banyak digunakan untuk membuat membran antara lain selulosa beserta turunannya, polisulfan, poliamida, poliakrilonitril, polieter sulfon (Wenten, 1999). Polimer untuk membran berpori sangat berbeda dengan polimer membran tidak berpori. Untuk membran berpori, pilihan polimer ditentukan oleh metode pembuatan membran yang digunakan dan polimer menentukan stabilitas membran. Sedangkan untuk membran tidak berpori, pilihan polimer ditentukan oleh selektivitas dan fluks yang diinginkan (Mulder, 1996). Membran anorganik adalah membran yang berasal dari material anorganik. Material anorganik memilki stabilitas kimia dan stabilitas thermal lebih baik dibandingkan bahan polimer. Ada
empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit. Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan, maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau sekitar 103-106 MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain: (1) pemanasan (sintering), (2) peregangan (streching), (3) track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik (phase inversion), (6) pelumasan (coating). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur membran yang akan dibuat.
2. Proses Pemisahan dengan Membran Filtrasi
membran merupakan proses pemisahan material
dengan
mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga dapat terjadi berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
fluks (L/m2jam)
fluks (L/m2jam)
Waktu
Waktu
Gambar 1. Grafik hubungan fluks terhadap waktu untuk aliarn Dead-end dan Crossflow
Aliran filtrasi dead-end, yaitu keseluruhan dari fluida (aliran umpan) melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Fluida yang terus mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. Pengaliran secara crossflow dilakukan dengan cara mengalirkan umpan sejajar melalui suatu membran dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membran untuk memproduksi permeat. Aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati permukaan membran sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik atau retentat. Partikel atau padatan tersuspensi pada permukaan membran akan tersapu oleh kecepatan aliran umpan. Aliran ini dapat digunakan untuk menghindari terbentuk lapisan pada permukaan membran berupa cake, fouling, polarisasi konsebtrasi, dan adsorpsi.
3. Karakterisasi Membran Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) membran berpori (porous membrane), (2) membran tidakberpori (nonporous membrane). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan adanya tekanan transmembran sebagai driving force. Selektivitas akan tinggi, jika ukuran partikel lebih besar daripada ukuran pori membran. Mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF) merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran tidak berpori, seperti pervaporasi (PV), separasi gas (GS), dan dialisis, pemisahan
terjadi akibat perbedaan laju kelarutan (solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas (diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi membran berpori, yaitu mikroskop elektron, metode gelembung udara (bubble point), dan pengukuran permeasi (Scott et al., 1996). Scanning Electron Microscope (SEM) dan Tramsmission Electron Microscope (TEM) adalah alat mikroskop yang dapat digunakan untuk pengamatan langsung. Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Kelemahan yang dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka memerlukan waktu yang lama untuk preprasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM. Sifat mekanik dan struktur pori termasuk parameter dalam penentuan karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran. Sedangkan kinerja membran pada saat pengoperasian terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran pori membran (Mallevialle et al., 1996). Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji dengan mengalirkan air melewati membran hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi juga dapat membuat membuat pori membran menjadi lebih seragam, lembaran membran menjadi lebih kaku, dan juga untuk memperoleh harga fluks air yang konstan pada tekanan operasional yang diberikan (Mahendran et al.,2004). Kinerja atau effisiensi proses membran ditentukan oleh dua parameter, yaitu selektivitas dan fluks/laju permeasi (L/m2.jam atau kg/m2.jam atau mol/m2.jam) atau koefisien permeabilitas (L/m2.jam.bar). Fluks adalah jumlah permeat yang dihasilkan pada operasi membran per satuan luas permukaan
membran dan persatuan waktu. Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder, 1996):
Jv = V / (A.t) Dimana :
(1)
Jv = fluks volume (L/m².jam)
t = waktu (jam)
A = luas permukaan membran (m²)
V = volume permeat (lt)
Fluks merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu, laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain. Kenaikan konsentrasi umpan menyebabkan fluks akan turun. Perubahan konsentrasi umpan akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas larutan umpan. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas. Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m 3/m2.hari.bar (20 L/m2.jam.bar) – 5 m3/m2.hari.bar (200 L/m2.jam.bar) (Wenten, 1999). Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan atau melewatkan suatu molekul. Selektivitas membran tergantung pada interaksi antar permukaan dengan molekul, ukuran molekul, dan ukuran pori membran. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter, yaitu retensi/rejeksi (R) atau faktor pemisahan (α). Menurut Mulder (1996) nilai rejeksi suatu zat padat terlarut (solute) dinyatakan sebagai berikut:
C permeat R (%) = ( 1 - ————— ) x 100% C umpan Dimana :
R
= persentasi tahanan
Cpermeat
= konsentrasi partikel dalam permeat
Cumpan
= konsentrasi partikel dalam umpan
(2)
Nilai R bervariasi antara 0 – 100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0% berarti partikel semua lolos dari membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Biasanya membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga perlu dilakukan suatu optimasi terhadap perlakuan membran untuk mendapatkan fluks dan rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996). Porometer membran dapat ditentukan berdasarkan nilai rejeksi suatu zat padat terlarut yang diketahui berat molekulnya. Berat molekul mempunyai hubungan linier dengan jari-jari atau ukuran pori membran Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurments) biasanya dinyatakan sebagai Molecular Weight Cut Off (MWCO) dan banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80%-90% dapat direjeksi oleh membran. (Scott dan Hughes, 1996; Mahendran et al., 2004).
Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat 1. Bahan Baku Membran selulosa asetat digolongkan sebagai membran organik yang aman terhadap lingkungan karena berasal dari sumber yang dapat diperbaharui (renewable) seperti selulosa dari pulp (tandan kosong sawit, abaka, jerami) dan selulosa mikrobial. Membran selulosa asetat bersifat semikristalin dan memberikan kekuatan mekanik yang baik, bersifat termoplastik, serta pembuatan relatif mudah. Selain sifat baik tersebut, membran selulosa asetat sangat sensitif terhadap pengrusakan thermal, kimia, dan biologis. Sebagai usaha untuk mempertahankan membran dari
kerusakan maka
pH operasi
dipertahankan pada pH 4 sampai 6,5 pada temperatur kamar.
biasanya
Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan untuk pembuatan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika bahan bervariasi, maka hanya beberapa jenis polimer yang cocok sebagai polimer membran (Mulder, 1996; Goosen et al., 2004). Selulosa asetat merupakan polimer alami yang banyak digunakan sebagai bahan membran dan dapat diperoleh melalui proses asetilasi terhadap selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial adalah selulosa yang berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997).
1. 1. Selulosa Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan tersebar di alam serta merupakan unsur struktural komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan karena selulosa merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Sumber utama selulosa ialah kayu. Kira-kira 40-45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel (Achmadi, 1990). Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Nopianto, 2009). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Selulosa (Nevell dan Zeronian, 1985)
Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan β-1,4 glikosida. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6, sementara molekul selulosa ialah (C 6H10O5)n dan n dapat berupa angka ribuan. Berat
molekulnya bervariasi dari 500.000 sampai 1.500.000 dengan jumlah
segmen antara 3.000 sampai 9.000 segmen. Karena struktur rantai yang linier, selulosa bersifat kristalin. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul. Ikatan kimia hidrogen (H+ ke OH-) antara molekul selulosa yang membentuk mikrofibril sebagian berupa daerah kristalin (teratur) dan diselubungi daerah amorf (kurang teratur). Proporsi daerah kristal dan amorf dari selulosa sangat bervariasi, tergantung pada asalnya. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa dengan diameter 2 - 20 nm dam panjang 100 - 40000 nm (Nopianto, 2009). Selulosa memiliki sifat kuat tarik yang tinggi, tidak larut dalam kebanyakan pelarut, dan bersifat sangat hidrofilik namun tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan karena sifat kristalin selulosa yang tinggi dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan (Cowd, 1991). Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerisasi (DP) (Fengel dan Wegener, 1984). Derajat polimerisasi dihitung dengan cara membagi bobot molekul selulosa dengan bobot molekul satu unit glukosa. Perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerisasi selulosa (Sjohstrom, 1981). Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa selulosa yang berasal dari kayu memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Panjang rantai molekul polimer merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat polimer. Derajat polimerisasi tinggi akan memberi kekuatan mekanik yang baik terhadap polimer tersebut. Tabel 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa * SUMBER Kapas Kayu Flax Hamp bast fiber
DERAJAT POLIERISASI 6.500 – 7.000 8.000 2.900 3.270
* Han. (1998); Pahkala. (2001); RISO.( 2002)
Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh juga terhadap sifat polimer. Umumnya derajat kristalinitas selulosa kayu lebih kecil dibandingkan dengan selulosa mikrobial. Derajat kristalinitas yang terdapat pada selulosa kayu secara umum berkisar 30%-38% (Yoshinaga et al., 1997 & Sanjaya, 2001). Walaupun memiliki komposisi kimia yang sama dengan selulosa tanaman, White dan Brown (1998) menyatakan bahwa selulosa mikrobial lebih bersifat kristal, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60%. Derajat polimerisasi selulosa mikrobial berkisar antar 2.000-6.000 (Krystynowicz et al., 2001). Setiap monomer glukosa memilki tiga gugus hidroksil. Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam reaksi selulosa adalah aksesibilitas yaitu kemudahan gugus hidroksil dicapai oleh pereaksi. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat pada daerah amorf lebih mudah dicapai dan bereaksi dengan pereaksi dibandingkan gugus hidroksil yang terdapat pada daerah kristalin (Achmadi, 1990). Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Kondisi pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aksesibilitas selulosa (Sjohstrom, 1981). Swelling (penggelembungan) selulosa merupakan tahapan yang dilakukan untuk meningkatkan reaktifitas selulosa akibat dari penyerapan air atau pelarut. Penggelembungan selulosa dapat mempermudah pereaksi mencapai daerah kristalin pada proses esterifikasi selulosa. Kecepatan asetilasi pada selulosa yang telah mengalami penggelembungan meningkat sekitar tiga kali lebih cepat daripada selulosa yang tidak mengalami penggelembungan (Michie, 1996 di dalam Fengel dan Wagener, 1984). Melihat banyaknya potensi sumber daya yang terkandung di Indonesia, terdapat beberapa alternatif pilihan dari sumber-sumber penghasil selulosa yang berkualitas tinggi.
1.1.1. Dasar Pemilihan Sumber Selulosa Selulosa pulp dapat digunakan sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Sumber utama yang sering digunakan untuk mendapatkan pulp berasal dari jenis kayu. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian proses delegnifikasi yang telah dilakukan dari beberapa jenis kayu dengan parameter yang terkait.
Tabel 2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu* Jenis Kayu Sengon Gmelina Kapur Meranti
Rendemen Total Pulp % 51,32 54,59 52,91 50,68
Rendemen Tersaring Pulp % 49,98 49,15 40,20 31,55
Bilangan Kappa 22,71 20,70 30,60 30,75
Kadar Lignin Pulp % 3,34 3,04 4,50 4,52
Struktur Lignin Pulp S/V ratio 0,24 0,89 0,36 1,37
*
Rahmawati. (1999)
Tabel 3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu* Sifat-sifat Fisika Pulp Gramature, gram Thickness, mm Bulky, cc/g Tear Resistance, gf Tear factor, kg/15 mm Breaking Length, km *
Jenis Kayu Sengon Gmelina Kapur 61,13 57,23 61,55 0,09 0,1 0,22 1,47 1,75 3,57 61,18 35,35 9,79 5,09 2,29 0,33 5,55 2,67 0,36
Meranti 61,08 0,22 3,60 9,61 0,24 0,26
Rahmawati. (1999).
Sebaiknya selulosa asetat dihasilkan dari sumber selulosa yang mempunyai tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi (Kuo et al., 1997). Berdasarkan hasil-hasil yang terdapat pada Tabel 2 dan 3, selulosa pulp yang berasal dari kayu sengon mempunyai harapan yang sangat baik untuk digunakan sebagai pembuatan selulosa asetat. Indikator utama yang menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan dari pulp adalah dari bilangan Kappa. Bilangan Kappa yang rendah dalam pulp menunjukkan banyak lignin yang sudah diputuskan, sehingga lignin yang tertinggal dalam pulp tinggal sedikit. Semakin cepat penurunan bilangan Kappa, laju delignifikasi semakin cepat. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang mudah tumbuh diberbagai iklim dan keadaan, sehingga perolehan bahan baku tersebut mudah didapat secara kontinyu dengan harga yang dapat dijangkau. Komponen kimia kayu sengon yang berumur 5 tahun adalah α-selulosa 46,62%; pentosan 16,52%; lignin 29,16%; silika 0,50%; abu 0,64%, dan air 5,28% (Pari, 1996). Kandungan selulosa menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya umur kayu
dan dengan kandungan lignin yang rendah menguntungkan dalam proses delegnifikasi. Dengan mengetahui sifat kimia kayu maka dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Prosentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial dijadikan bahan baku pulp dan produk selulosa lainnya. Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas serta karton. Penggunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl Cellulose, Methyl Cellulose dan Hydroxypropyl Methyl Cellulose. Produk-produk tersebut dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Nopianto, 2009).
1.1.2. Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Pulp merupakan salah satu sumber penghasil selulosa sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Proses pulping diartikan sebagai proses pelarutan lignin (delegnifikasi), sehingga lignin terpisah dari serat-serat selulosa. Menurut Sjohstrom (1995) selama berlangsungnya proses pulping tidak hanya lignin yang terpisah dari serat-serat selulosa, tetapi juga komponen-komponen lainnya, seperti polisakarida dan sedikit hemiselulosa. Proses pulping/delegnifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses mekanik, kimia, dan proses semi kimia. Untuk memperoleh hasil pemisahan lignin secara sempurna dilakukan dengan cara kimia, yaitu dengan menambahkan sejumlah bahan kimia ke dalam tempat pemasakan (digester). Pemasakan dengan cara kimia dimaksudkan untuk memisahkan lignin dari serat selulosa. Bahan kimia yang digunakan dapat berupa asam atau alkali. Beberapa proses pulping secara kimia yang sudah dikenal adalah proses soda, proses sulfat (kraft), proses sulfit netral, serta proses organosolv. Salah satu penghasil selulosa diantaranya adalah pulp yang dihasilkan dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Di pulau Jawa kayu ini dikenal juga dengan nama kayu jinjing dan termasuk dalam famili Leguminose. Tinggi pohon
ini dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m dan diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33. Pada umur 5 tahun kayu sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi (Rahmawati, 1999). Adapun komposisi dari analisis kimia pulp kayu sengon adalah α-selulosa 92,15%; β + δ selulosa 5,86%; pentosan 1,48%; abu 0,23%; sari 0,02% (Pari, 1996). Selulosa adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk berbagai produk. Gugus hidroksil yang terkandung pada selulosa dapat dimodifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang biasa bereaksi dengan alkohol. Misalnya reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menghasilkan selulosa asetat.
1. 2. Selulosa Asetat Akhir-akhir ini, perkembangan proses teknologi yang mengarah ke penggunaan bahan baku ramah lingkungan lebih sering digunakan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan penghasil polimer membran. Bahan bakar fosil memiliki persamaan sifat polimer dengan selulosa biomassa. Salah satu polimer yang banyak digunakan adalah selulosa diasetat. Perbandingan sifat fisik selulosa diasetat dengan beberapa polimer lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer* Properti Tensile strenght, Mpa Flexural modulus, Gpa Titik leleh, O C Strain at yield, %
Selulosa Asetat 30 1,7 170-240 3,9
Polyvinyl Chloride 20 0,03 170-190 -
Polystyrene 42 2,5 210-260 2,4
LDPE 10 0,25 220-260 19,0
* Harrison et al. (2004).
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa selulosa asetat memiliki nilai kuat tarik yang termasuk tinggi dibandingkan beberapa polimer dari bahan bakar fosil. Kuat tarik tersebut sangat ditentukan oleh struktur selulosa diasetat yang bersifat semikristalin sehingga memberikan kekuatan mekanik yang baik. Sifat mekanik yang baik ini sangat diperlukan bagi selulosa diasetat bila digunakan sebagai
polimer membran karena proses pemisahan menggunakan membran memerlukan tekanan dalam memindahkan satu komponen dari campurannya. Apabila dilihat dari sifat-sifat fisika yang dimiliki maka selulosa asetat yang bersifat ramah lingkungan dapat menggantikan polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Ditinjau dari proses produksi, polimer selulosa asetat lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Sebagai contoh, buangan CO2 selama produksi dari 1 kg polyethelene (PE)/ polypropelene (PP) diperkirakan sebesar 1,8 kg. Untuk produksi selulosa asetat, emisi kotor CO2 diperkirakan nihil, karena produk dihasilkan dari biomassa, yang mana mengkonsumsi CO2 selama pertumbuhan (Harrison et al., 2004). Selama ini, Indonesia masih mengimpor selulosa asetat. Kebutuhan akan selulosa asetat di Indonesia bertambah untuk setiap tahunnya mulai 10.327 ton pada tahun 2000 menjadi 15.897 ton pada tahun 2006 (BPS Sumut, 2007). Selulosa asetat digolongkan sebagai polimer ester organik dan memiliki sifat atau kualitas yang unik, meliputi: tingkat kejernihan yang bagus, kasar, bersifat alami, berkilau, bersifat hidrofilik, tetapi sangat rentan terhadap mikroorganisme (biodegradibilitas). Sifat-sifat ini menjadikan
selulosa asetat
banyak digunakan untuk penyaringan tembakau, pembuatan serat tekstil, photografi dan kemasan lapisan, pemakaian di bidang medis, dan pemanfaatan sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat subsitusi (DS) dan derajat polimerisasi (DP). Derajat subsitusi dan kadar asetil suatu selulosa asetat menunjukkan kemampuan larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan Wegener, 1984). Hubungan antara derajat subsitusi, kadar asetil, serta pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan pelarut yang tepat akan memberi hasil yang baik pada hasil aplikasi. Pada pembuatan membran, polimer selulosa asetat dilarutkan dalam suatu pelarut dengan kelarutan yang tinggi. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan struktur membran yang terbentuk. Untuk mendapatkan membran selulosa diasetat berpori, maka pelarut yang digunakan adalah dimetilformamida (DMF) karena mempunyai daya afinitas yang tinggi terhadap air sebagai bukan-pelarut. Tabel 5. Hubungan antara derajat substitus, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya *
Derajat Substitusi 0,6 – 0,9 1,2 – 1,8 2,2 – 2,7
Kadar Asetil (%) 13 – 18,6 22,2 – 32,2 36,5 – 42,2
2,3 – 2,8
≥43,0
Larut di dalam Air 2-metoksi etanol Aseton, Dimetilformamida Kloroform, Diklorometan
Tidak larut di dalam Aseton Aseton Diklorometan Aseton
Aplikasi Plastik, pernis Serat , film Serat lembaran
* Fengel dan Wegener. (1984). Sifat-sifat mekanik dan kinerja produk selulosa asetat sangat ditentukan oleh derajat polimerisasi selulosa asetat. Sementara itu, derajat polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi selulosa serta kondisi yang dialami selama proses pembuatan selulosa asetat. Penggunaan α-selulosa dengan kemurnian rendah akan menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik dan berat molekul yang rendah sehingga kinerja selulosa asetat menjadi kurang baik (Kuo et al., 1997). Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent ke dalam serat selulosa. Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995). Secara komersial, selulosa asetat dihasilkan dari reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menggunakan katalis dan asam asetat sebagai pelarut. Senyawasenyawa yang dapat digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat, asam perklorat, dan asam sulfonat (Kuo et al., 1997). Asam sulfat merupakan katalis yang paling umum digunakan, sementara katalis lain jarang digunakan karena tidak efektif, tidak praktis, atau sangat berbahaya untuk dilakukan pada skala industri (Kuo et al., 1997). Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi terdapat dua hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Steven, 2001). Kemampuan selulosa tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia. Perlakuan awal sebelum proses asetilasi dilakukan seperti proses aktivasi juga menjadi faktor yang terpenting dalam menentukan sifat fisik. Menurut Ott et al. (1954) dan Nevell dan Zeronian (1985), tahapan pembuatan selulosa asetat terdiri atas empat proses, yaitu: (1) praperlakuan/aktivasi (pretreatment), (2) asetilasi (acetylation), (3)
hidrolisis (hydrolisis), dan (4) pemurnian (purification). Tahapan proses yang dilakukan adalah:
1.2.1. Perlakuan awal/aktivasi Proses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar reaksi esterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Pada tahap ini serat-serat selulosa mengembang sehingga permukaan selulosa membesar dan ikatan intramolekuler hidrogen menjadi putus, dan memudahkan diffusi reagent ke dalam serat. Bahan aktivasi yang biasa digunakan adalah air atau asam asetat. Perlakuan awal selulosa umumnya dilakukan pada suhu berkisar antara 20oC hingga 118oC, tetapi sebaiknya dilakukan sampai dengan suhu 50oC untuk mencegah penguapan pelarut (Ott et al., 1954). Nevell dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan selama 1-2 jam. Aktivasi terhadap selulosa pulp kayu yang telah dilakukan oleh Kuo et al. (1997) berlangsung pada suhu sekitar 25oC-50oC selama 30 menit-60 menit. Sementara itu, Saka et al. (1998) telah memperoleh waktu aktivasi terhadap pulp kayu selama satu jam. Selanjutnya, aktivasi dari campuran selulosa pulp kayu dengan kapas yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) diperoleh pada kisaran suhu 20oC-80oC selama 0,5-4 jam. Harrison et al. (2004) telah mendapatkan waktu aktivasi terhadap selulosa jerami selama 2-3 jam pada suhu kamar dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:1 (bk/v). Selain itu, aktivasi selulosa mikrobial yang telah dilakukan oleh Desiyarni et al. (2006) diperoleh kondisi proses pada suhu 50 oC selama enam jam dan pada suhu kamar selama 16 jam dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:8 (bk/v). Dapat dilihat dari beberapa uraian di atas, aktivasi berjalan rata-rata pada suhu 50oC dan terlihat perbedaan waktu aktivasi yang dihasilkan. Keadaan tersebut dikarenakan sumber selulosa yang digunakan berbeda sehingga terdapat perbedaan sifat dari selulosa tersebut. Menurut Kuo et al. (1997) waktu aktivasi yang dibutuhkan bergantung pada kondisi selulosa yang digunakan. Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah karena tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antargugus hidroksil pada rantai yang berdekatan menyebabkan kekakuan pada rantai
sehingga ikatan antar rantai menjadi lebih erat, dan sukar terjadi reaksi asetilasi dibandingkan bagian amorf (Cowd, 1991).
1.2.2. Asetilasi Asetilasi dilakukan bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari reaktan anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984). Pelarut asam asetat dan katalis asam sulfat merupakan senyawa kimia yang umum digunakan pada proses asetilasi (Kuo et al., 1997). Lama asetilasi berlangsung dapat dilihat sampai materi terlarut sempurna dalam campuran asetilasi dan derajat substitusi antara 2,35-2,40. Pemakaian suhu terlalu tinggi di atas 85oC pada proses ini dapat mengakibatkan depolimerisasi sehingga menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik yang rendah (Kuo et al., 1997). Oleh karena itu, suhu dijaga dalam kisaran kurang dari 50ºC. Asetilasi yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) terhadap campuran selulosa kayu dengan kapas berlangsung selama 20 sampai 60 menit pada kisaran suhu 50oC-80oC. Sementara itu, Amin (2000) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS) selama 15 menit pada suhu 30 oC -45oC dengan perolehan kadar asetil sekitar 39-41%. Jumlah pemakaian asam sulfat berlebihan juga dapat mempercepat depolimerisasi selulosa. Pada skala industri, pemakaian katalis asam sulfat digunakan sekitar 6%-20% berdasarkan berat kering selulosa pulp. Katalis berfungsi dalam menyeragamkan asetilasi selulosa dan menghasilkan selulosa triasetat dengan kelarutan yang baik dalam asam asetat. Pemakaian katalis asam sulfat digunakan pada kisaran 0,1%-2% untuk kandungan α-selulosa yang tinggi sedangkan untuk kandungan α-selulosa yang rendah digunakan katalis asam sulfat sekitar 2%-20%. Kuo et al. (1997) menyatakan pemakaian katalis dalam jumlah besar akan menghasilkan selulosa triasetat yang bersifat tidak stabil terhadap panas. Campbell (1960) menggunakan katalis asam sulfat dalam jumlah kurang dari 1% dari berat kering selulosa dan reaksi berjalan pada suhu 50 oC. Sementara itu, Yabune (1984) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa pulp menggunakan katalis asam sulfat sebesar 0,5-5 berat bagian per 100 berat bagian selulosa kering
pada suhu 50oC - 85oC. Proses asetilasi yang telah dilakukan oleh Harrison et al. (2004) menggunakan reagents dengan perbandingan terhadap berat pulp jerami yaitu anhidrida asetat (3:1), asam asetat (6/7:1), asam sulfat (0,05-0,1:1) selama 2 jam pada suhu 30oC. Tingkat kemurnian selulosa yang digunakan juga sangat menentukan lama asetilasi berlangsung. Asetilasi dari limbah serbuk gergaji kayu yang telah dilakukan oleh Suyati (2008) berlangsung selama 20 jam dengan kadar asetil 44,32% dan 42 jam dengan kadar asetil 40,92%. Hal ini disebabkan selulosa yang terkandung dalam serbuk gergaji tersebut berasal dari berbagai sumber selulosa dengan karakter yang berbeda sehingga mempengaruhi kondisi proses. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat dapat dilihat pada Gambar 3
Selulosa
Selulosa Tri Asetat
Anhirida Asetat
Asam Asetat
Gambar 3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat (Report Description- Nexant, 2004).
Kondisi operasi optimum dari proses asetilasi selulosa mikrobial juga telah didapat oleh Desiyarni et al. (2006) dengan menguji 4 variabel, yaitu: (1) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa, (2) konsentrasi katalias asam sulfat, (3) waktu reaksi, dan (4) suhu asetilasi. Variabel respon yang diamati adalah perolehan kadar asetil dari selulosa triasetat yang dihasilkan dan hasil menunjukkan bahwa faktor rasio anhidirda asetat dengan selulosa berpengaruh secara nyata terhadap perolehan selulosa triasetat, sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi
tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Asetilasi selulosa mikrobial tersebut diperoleh pada suhu 50oC dan berlangsung selama enam jam menggunakan anhidrida asetat 3,35 bagian, asam asetat 8 bagian, dan katalis asam sulfat sebesar 1,5% dari setiap satu bagian berat kering selulosa yang digunakan. Berdasarkan kondisi optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006), maka rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon (3,35:1; 4:1; 5:1; dan 6:1) dan waktu asetilasi (30, 60, 90, dan 120 menit) digunakan sebagai variabel bebas pada penelitian. Konsentarsi katalis asam sulfat (1,5% dari selulosa) dan suhu asetilasi (50oC) dipertahankan konstan.
1.2.3. Hidrolisis Tujuan hidrolisis adalah mensubtitusikan gugus asetil dari selulosa triasetat dengan gugus hidroksil dari air sehingga kandungan gugus asetil dari selulosa triasetat berkurang dan didapat selulosa diasetat dengan berbagai kadar asetil yang diinginkan. Selulosa triasetat mempunyai tiga gugus asetil yang terdiri dari dua gugus asetil sekunder dan satu gugus asetil primer. Reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil berlangsung secara bertahap, pada tahap awal akan terjadi subsitusi pada gugus asetil primer selanjutnya terjadi subsitusi pada gugus asetil sekunder. Faktor yang sangat menentukan pada proses ini adalah suhu. Reaksi hidrolisis dapat dilakukan mulai suhu 38 oC pada kondisi tanpa tekanan sampai 229oC pada reaksi bertekanan (Kirk dan Othmer, 1993). Suhu yang biasa dipakai pada proses hidrolisis selulosa asetat antara 60 oC - 90oC (Kuo et al., 1995). Kuo et al. (1997) menyatakan bahwa suhu hidrolisis berlangsung tinggi (125oC -175oC) bila kandungan α-selulosa yang digunakan rendah. Pemakian suhu tinggi untuk kandungan α-selulosa tinggi akan menghasilkan selulosa diasetat dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut organik dan menghasilkan selulosa diasetat dengan warna kekuningan atau kecoklatan serta viskosistas intrinsik rendah. Lama proses hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa pulp dapat mencapai beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi dapat juga dilakukan beberapa jam dengan suhu 40 oC - 80oC (Bydson, 1995). Reaksi hidrolisis yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.
Selulosa Tri Asetat
Selulosa Di Asetat Asam Asetat Gambar 4. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat (Report Description-Nexant, 2004). Semakin lama proses hidrolisis dilakukan maka semakin banyak terjadi reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan (Desiyarni, 2006). Hasil proses hidrolisis yang telah dilakukan oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio air terhadap selulosa merupakan faktor yang paling kecil pengaruhnya terhadap kadar asetil selulosa diasetat. Penambahan air dalam jumlah berlebihan bertujuan untuk merusak kelebihan anhidrida asetat dari proses asetilasi. Air akan bereaksi dengan anhidrida asetat sehingga menghasilkan asam asetat. Kelebihan air tersebut diperlukan untuk reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis baru segera dimulai jika anhidrida asetat telah bereaksi semua dengan air. Penambahan air dalam jumlah berlebihan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan asam sulfat yang terdapat dalam selulosa triasetat dengan cara melarutkan air terlebih dahulu dalam asam asetat dan penambahan larutan tersebut dilakukan secara perlahan sambil diaduk
untuk
menghindari
terjadinya
penggumpalan
selulosa
triasetat.
Peningkatan jumlah air yang ditambahkan hingga batas optimum akan menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat. Rasio air optimum yang dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah 1,066. Masih menurut Desiyarni (2006), konsentrasi katalis asam sulfat berpengaruh relatif kecil terhadap kadar asetil selulosa asetat dibandingkan pengaruh suhu dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam sulfat berpengaruh negatif terhadap kadar asetil. Penambahan asam sulfat pada konsentrasi tinggi dapat
menghasilkan selulosa asetat yang bersifat mudah rapuh (Shelton et al., 2004), sehingga penambahan asam sulfat dilakukan relatif kecil dan didapat pada kondisi optimum sebesar 1,5% dari selulosa yang digunakan. Selain itu, peningkatan suhu hidrolisis
dapat
meningkatkan
laju
rekasi
hidrolisis.
Reaksi
hidrolisis
menyebabkan berkurangnya gugus asetil yang terdapat pada molekul selulosa triasetat dan suhu termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya penurunan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pengendalian suhu proses hidrolisis selulosa triasetat harus dilakukan dengan baik dan suhu optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah pada suhu 50 oC. Variabel lain yang cukup berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selulosa triasetat selama proses hidrolisis adalah waktu. Semakin lama proses berlangsung semakin menurun kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Lama hidrolisis berlangsung tergantung dari kadar asetil yang diinginkan. Ketika derajat substitusi yang diinginkan telah tercapai, reaksi dihentikan dengan netralisasi menggunakan katalis garam magnesium, kalsium atau sodium yang dilarutkan dalam asetat encer (Kirk dan Othmer, 1993). Kadar asetil yang telah didapat oleh Desiyarni (2006) berkisar 37-42% dengan waktu hidrolisis berlangsung antara 120 menit sampai 1080 menit.
1.2.4. Pemurnian Untuk mendapatkan produk selulosa asetat, tahap akhir yang dilakukan adalah pengendapan yang selanjutnya dicuci dan dikeringkan. Produk yang diinginkan bisa dalam bentuk serpihan (flakes), atau bubuk (powder). Endapan selulosa ester yang terbentuk dipisahkan dari larutan dan dicuci guna menghilangkan sisa asam asetat (Ott et al., 1954).
1.3. Polietilen Glikol (PEG) Penambahan bahan aditif pada membran berguna untuk meningkatkan atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik membran (Kim et al., 1989). Polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu diantara zat aditif yang sering ditambahkan pada pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen untuk
meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran sehingga struktur pori lebih rapat dan membran yang dihasilkan semakin bagus. Polietilen glikol (PEG) adalah senyawa hasil kondensasi dari oksietilen dan air dengan rumus molekul H(OCH2CH2)nOH, dimana n merupakan bilangan (jumlah) rata-rata pengulangan grup oksietilen mulai dari 4 sampai 180. Bilangan yang mengiringi dibelakang PEG menunjukkan berat molekul rata-rata daripada PEG, seperti PEG dengan n = 80 akan mempunyai berat molekul rata-rata sekitar 3500 Dalton dan dicantumkan sebagai PEG 3500. Sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah terdiri dari n = 2 sampai n = 4 seperti diethylene glycol, triethylene glycol, dan tetraethylene glycol , merupakan senyawa-senyawa murni. Senyawa dengan berat molekul rendah sampai 700 bersifat cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau dengan titik beku -10 ºC (diethylene glycol), sementara senyawa-senyawa hasil polimerisasi dengan berat molekul yang lebih tinggi yaitu sampai 1000 berbentuk padat seperti lilin dengan titik didih mencapai 67 ºC untuk n = 180. Sifat-sifat fisika PEG dapat dilihat pada Tabel 6 (Wikipedia, 2007). Keistimewaan dari PEG adalah senyawa tersebut bersifat larut dalam air (Chou et al., 2007). PEG juga larut dalam berbagai pelarut organik dari golongan hidrokarbon aromatik, seperti metanol, benzen, dichlorometane dan tidak larut dalam dietil eter dan heksan. Sifat-sifat lain daripada PEG adalah merupakan senyawa yang tidak beracun, netral, tidak mudah menguap dan tidak iritasi. Pelarut PEG banyak digunakan sebagai emulsifier dan detergen, humectants, dan pada bidang farmasi (Wikipedia, 2007). Tabel 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG) * Polietilen glikol
Nama kimia Rumus kimia Berat molekul Bilangan CAS Densitas Titik leleh Titik didih Titik api a
Sumber: Wikipedia, Encyclopedia (2007)
Polietilen glikol C2nH4n+2On+1 44n + 18 g/mol [25322-68-3] 1,1 – 1,2 g/cm3 bervariasi xx.xoC 182 – 287 oC
2. Proses Pembuatan Membran Penggunaan membran berbahan baku selulosa diasetat di industri terus meningkat, dan berdampak pada peningkatan kebutuhan selulosa diasetat. Membran ini digunakan oleh industri selain pada proses produksi juga untuk pengolahan limbah (Benziger et al., 1999; Shibata, 2004). Membran yang diproduksi umumnya dalam bentuk datar, meskipun terdapat bentuk-bentuk lain seperti bentuk tubular dan serat berlubang (hollow fiber). Tujuan pembuatan membran adalah memodifikasi material/polimer dengan teknik yang sesuai sehingga didapatkan membran yang memiliki morfologi/struktur untuk tujuan separasi tertentu. Hal ini menunjukkan material membran membatasi teknik pembuatan membran. Misal : teknik sintering digunakan untuk pembuatan membran keramik, teknik inversi fasa untuk membran polimer organik yang larut dalam pelarut dan teknik leaching untuk membran gelas (Scott dan Hughes, 1996). Membran selulosa diasetat sebagian besar dibuat dengan teknik inversi fasa meliputi empat tahap yaitu pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan, penguapan sebagian pelarut atau koagulasi parsial, dan pengendapan polimer dalam koagulan atau bukan-pelarut (Mulder, 1996; Radiman dan Eka, 2007). Inversif asa merupakan proses perubahan polimer secara terkendali dari fasa cair ke fasa padat melalui fasa transisi. Pada tahap tertentu selama proses pemisahan, salah satu fasa cair akan memadat membentuk matriks padatan. Pengendalian tahap awal fasa transisi akan menentukan morfologi membran yang dihasilkan. Secara umum pembuatan membran secara inversi fasa melibatkan tiga komponen utama, yaitu: polimer, pelarut, dan bukan pelarut. Selain menggunakan bahan dasar tersebut, biasanya ditambahkan bahan aditif lain untuk meningkatkan sifat permukaan membran. Kekentalan larutan dari campuran komponen tersebut tergantung pada berat molekul dan kosentrasi polimer, jenis pelarut, dan aditif. Pada Tabel 7 dapat dilihat berbagai hasil penelitian pembuatan membran selulosa diasetat yang telah dilakukan secara inversi fasa.
Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa No.
Peneliti / Judul
Polimer Membran
Jenis Membran / Keterangan
1.
Idris, A. et al. (2001) / Effect of Methanol Concentration on the Performance of Asymetric Cellulose Acetate Reverse Osmosis Membranes Using Dry/Wet Phase Inversion Rechnique.
- Selulosa diasetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 25%, 27%.
2.
Darwis et al. (2003)/ Pembuatan Membran Filtrasi dari Selulosa Mikrobial.
Selulosa asetat dari selulosa mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil 43,1747,99%.
3.
Mahendran, R. et al. (2004) / Cellulose Acetate and Polyethersulfone Blend Ultrafiltration Membranes. Part I: Preparation and Characterizations
- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,99%) + Polietersulfon - Konstrasi total polimer 17,5% dengan berbagai perbandingan
4.
Idris, A. et al. (2005) / The Effect of Curing Temperature on the Performance of Thin Film Composite Membrane.
- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25% - Polisulfon (15%)
5.
Desiyarni (2006) / Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi.
6.
Chou, W. L. et al. (2007) / Effect of Molecular Weight and Concentration of PEG Additives on Morphology and Permeation Performance of Cellulose Acetate Hollow Fiber. Radiman, C.L. dan Eka, I. (2007) / Pengaruh Jenis dan Temperatur Koagulan terhadap Morfologi dan Karakteristik Membran Celulosa Asetatat.
- Selulosa asetat dari mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil: 37,21%; 38,11%; 39,19%; 40,22% - Konsentrasi SA: 12%, 14%, 16%, 18%, 20%. - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25%
- Reverse Osmosis / - Pelarut: Aseton (37%; 36,5%; 31,5%) - Bukan-pelarut: Metanol (13%, 10%) - Swelling agent: Formamide (37,5%; 31,5%; 24%; 36,5%) - Koagulasi: 4oC, 24 jam - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG - Koagulasi: suhu kamar - Ultrafiltrasi (membran komposit) / - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 600 Da - Larutan cetak: 40oC, 3-4 jam - Koagulasi: suhu kamar, 1-2 jam - Ultrafiltrasi (membran komposit) - Pelarut SA: Aseton (45%) Formamida (30%) - Pelarut PS: PVP (18%), NMP (67%) - Bukan-pelarut: Air - Koagulasi: 2-3oC - Ultrafiltrasi (membran datar) - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Larutan cetak: suhu kamar, 24 jam - Koagulasi: 2oC, 10oC, 18oC 26oC (24 jam) - Ultrafiltrasi (membran hollow fiber) / - Pelarut: DMF (75%) - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG (1, 10, 40 kDa) - Larutan cetak: suhu kamar - Koagulasi: 25oC, 50oC, 75oC - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida (10%) dan Aseton (80%) - Bukan-pelarut: Air dan 2- Propanol - Koagulasi: 5oC, 15oC, 25oC (beberapa jam)
7.
- Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 10%
Lanjutan Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa 8.
9.
10.
11.
Cerqueira, D.A. et al. (2008) / Characterization of Cellulose Triacetate Membranes, Produced from Sugarcane Bagasse, using PEG 600 Additive. Bhongsuwan, D. dan Bhongsuwan, T. (2008) / Preparation of Cellulose Acetate Membranes for UltraNano-Filtration.
- Selulosa asetat dari selulosa ampas tebu
- Aditif: PEG 600 Da
- Selulosa asetat komersial dengan konsentrasi 20%
Vidya, S. et al. (2008). / Effect of Additive Concentration on Cellulose Acetae Blend Membranes Preparation, Characterization and Application Studies. Saljoughi, E. et al. (2010). / Effect of PEG additive and coagulation bath temperature on the morphology, permeability and thermal/chemical stability of asymetric CA membranes.
- Selulosa asetat komersial
- Ultra-Nano-Filtration / - Pelarut: Formamida (33%) dan Aseton (47%) - Bukan-pelarut: Air - Koagulasi: 2-3oC, 30 menit - Evaporasi: 20,30,60 detik - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 200, PVP
- Selulosa asetat komersial
- Pelarut: NMP - Bukan-pelarut: Air - Aditif: NMP (0%, 5%, 10%) - Koagulasi: 0o, 25oC
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pembuatan membran jenis proses mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis dengan polimer selulosa asetat dapat dilakukan secara inversi fasa. Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi struktur membran, seperti: pemilihan polimer, pemilihan pelarut dan bukan-pelarut, komposisi larutan cetak, suhu larutan cetak, suhu koagulasi, dan aditif. Konsentrasi polimer juga mempengaruhi morfologi dan kinerja membran. Penelitian yang telah dilakukan Desiyarni (2006), kenaikan konsentrasi selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial dari 12% hingga 20% menghasilkan fluks yang semakin menurun. Kenaikan konsentrasi polimer awal dalam larutan cetak akan membuat konsentrasi polimer pada antarpermukaan lapisan membran lebih tinggi. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa fraksi volume polimer naik sehingga porositas lebih rendah dan lapisan bagian atas membran menjadi lebih rapat membuat fluks yang dihasilkan lebih rendah (Mulder, 1996; Mustaffar et al., 2005). Sementara itu, kadar asetil selulosa asetat menentukan selektifitas membran. Kadar asetil yang tinggi akan menghasilkan rejeksi yang tinggi dengan
fluks yang rendah dan sebaliknya (Shibata, 2004). Hasil penelitian Desiyarni (2006) memperlihatkan bahwa permukaan membran selulosa diasetat (SDA) pada kadar asetil 40,22% terlihat lebih rapat dibandingkan dengan permukaan membran SDA pada kadar asetil 37,21% sehingga fluks air, dekstran, dan albumin yang dihasilkan cenderung meningkat. Bobot molekul selulosa diasetat cenderung meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat. Bobot molekul SDA pada kadar asetil 40,22% adalah 36.965, sementara bobot molekul SDA pada kadar asetil 37,22% adalah 35.875. Secara umum, membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai polimer. Namun persyaratan utama bagi polimer yang digunakan adalah dapat larut pada pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Pelarut yang banyak digunakan adalah dimetilformamida (DMF). Pemilihan pelarut tersebut juga didasari oleh struktur morfologi membran yang diinginkan, yaitu berpori atau tidak berpori. Air banyak digunakan sebagai bukan-pelarut karena dapat mempercepat proses inversi fasa dibandingkan aseton mau pun etanol (Young dan Chen, 1991). Pelarut DMF mempunyai kelarutan dan affinitas yang tinggi dalam air dibandingkan aseton dan etanol sehingga menghasilkan membran berpori. Penambahan bahan aditif pada larutan cetak dapat dilakukankan dalam pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen. Terdapatnya aditif tersebut akan mempengaruhi morfologi dan kinerja membran karena dapat menaikkan viskositas larutan polimer, menambah sifat hidrofilik, membentuk pori membran, dan menekan pembentukan makrovoid sehingga diperoleh fluks air yang tinggi. Zat aditif yang sering ditambahkan yaitu Polietilen glikol (PEG), Polivinil pirolidon (PVP), dan alkohol (Chou et al., 2007; Javiya et al., 2008; Saleh et al., 2008; Aroon et al., 2010). Terdapat banyaknya parameter yang mempengaruhi karakteristik membran yang dihasilkan, sehingga kondisi pembuatan membran masih menarik untuk diteliti sampai saat ini.
3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap morfologi membran pada pembuatan membran secara inversi fasa. Struktur, porositas, dan selektivitas membran yang ingin dihasilkan dapat ditentukan melalui pengaturan
komposisi larutan polimer, jenis pelarut dan bukan-pelarut (nonsolvent), konsentrasi polimer, komposisi cairan dalam bak koagulasi, komposisi larutan cetak, suhu larutan polimer, dan suhu koagulasi (Schwarz, 1989; Young dan Chen, 1995; Shibata, 2004). Pelarut yang sering digunakan pada pembuatan membran selulosa asetat antara lain adalah dimetilformamida (DMF), dimetilasetamida
(DMAc),
dioksan,
aseton,
tetrahidrofuran
(THF),
dan
dimetilsulfoksida (DMSO). Air merupakan bukan-pelarut yang umum digunakan pada proses pembuatan membran secara inversi fasa (Mulder, 1996; Cheryan, 1998; Solvay, 2008). Menurut Cheryan (1998), terdapat dua tipe morfologi membran dari hasil proses demixing, yaitu: instantaneous demixing dan delayed demixing. Instantaneous demixing berarti bahwa struktur membran terbentuk segaera setelah lapisan film dicelupkan ke dalam bukan-pelarut. Sebaliknya delayed demixing diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Bila liquid-liquid demixing terjadi secara instantaneous, maka akan terbentuk membran dengan lapisan atas yang berpori. Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran berpori (tipe mikrofiltrasi/ultrafiltrasi). Namun, bila liquid-liquid demixing terjadi beberapa selang waktu sebelum terbentuk membran maka akan dihasilkan membran dengan lapisan atas yang dense (rapat) yang dikenal dengan mekanisme delayed demixing. Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran rapat (pemisahan gas/pervaporasi). Menurut Mulder (1996), apabila larutan polimer terdiri dari polimer selulosa asetat dengan pelarut DMF atau DMSO serta bukan-pelarut berupa air, maka
pembentukan
morfologi
membran
akan
mengikuti
mekanisme
instantaneous demixing. Sebaliknya, apabila larutan polimer terdiri dari polimer dengan THF atau aseton sebagai pelarut dan air sebagai bukan-pelarut maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme delayed demixing. Mekanisme pembentukan pori diawali dengan terjadinya pemisahan fasa, yaitu fasa kaya akan polimer dan fasa miskin polimer. Fasa kaya akan polimer akan membentuk padatan, sementara fasa miskin akan polimer akan larut dan meninggalkan pori. Proses pemadatan lebih cepat dibandingkan proses pelarutan. Lapisan atas membran terbentuk pertama sekali pada saat larutan cetak dicelupkan
pada bak koagulasi berisi air sebagai koagulan. Pelarut dan aditif yang terdapat pada larutan cetak dengan cepat berdiffusi dalam larut ke air, sedangkan molekulmolekul polimer dengan cepat beragregasi untuk membentuk padatan. Oleh karena padatan yang terbentuk belum sempurna, maka pori yang ditinggalkan pada padatan membran dari hasil proses pelarutan pelarut dan aditif pada bak koagulasi sangat kecil. Proses pelarutan pelarut dan aditif pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas. Ketika molekul pelarut dan aditif larut, proses pemadatan sudah terjadi sempurna dan molekul meninggalkan meninggalkan jejak sebesar dimensi molekul tersebut dan pori yang dihasilkan lebih besar dibandingkan pada bagian atas (Young dan Chen, 1995 ; Javiya et al, 2008).
Pemanfaatan dan Peluang Teknologi Membran Teknologi membran hingga sekarang sudah dikembangkan di berbagai negara dan memiliki peran penting di industri. Teknologi membran tidak hanya berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai industri, namun juga telah terbukti berhasil menghasilkan effluen pada pengolahan limbah industri dengan kualitas di atas standar baku mutu sehingga memungkinkan effluent tersebut digunakan kembali sebagai air proses. Pemanfaatan itu menghasilkan keuntungan dari segi biaya operasional. Selain itu konsumsi energi teknologi ini sangat rendah karena pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fasa sehingga dapat dilakukan pada suhu kamar (suhu rendah) dan pengaruh ini berdampak terhadap biaya produksi. Penggunaan suhu rendah dapat mencegah terjadinya kerusakan pada unsur-unsur yang rentan terhadap panas dan tingkat kemurnian produk yang dihasilkan lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu bagian dari negara di Asia Tenggara yang berpotensi untuk mengembangkan aplikasi membran. Dari setiap sumber daya alam yang ada juga dapat dijadikan membran untuk dijadikan suatu produk yang dapat dijual (marketable). Membran ultrafiltrasi mampu menolak semua padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna,
protein, jamur, dan bakteri. Sementara gula, garam-garam mineral, dan air lolos melewati pori membran. Aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi (proses pemisahan produk : enzim, vitamin), biomedikal (pencucian darah dengan ginjal buatan), industri makanan dan minuman (produk agroindustri), serta pengolahan limbah cair (Bahan Berbahaya Beracun, B3) dari alkohol, pabrik kertas, pabrik penyamakan kulit telah banyak dilakukan (Benziger, 1989 ; Shibata, 2004). Dalam industri minyak atsiri, alternatif metode pemisahan dam pemurnian dapat dilakukan dengan menggunakan membran filtrasi (LIPI, 2007). Kombinasi proses ekstraksi minyak atsiri dengan super kritikal CO2 dan pemisahan dengan membran telah dilakukan untuk pemisahan pelarut dengan minyak tanpa memerlukan kondisi ektraksi dengan variasi yang besar (Sarmento et al., 2004). Pada Tabel 8 dapat dilihat berbagai hasil penelitian dengan memanfaatkan membran selulosa asetat. Tabel 8. Pemanfaatan membran selulosa diasetat No. 1. 2.
Peneliti Hiratsuko, N. et al. (1996). Iijima, S. et al. (1997).
3.
Rahayu, I. et al. (2000)
4.
Darmo, H. K. et al. (2003). Notodarmojo, S. et al. (2004a). Notodarmojo, S. et al. (2004b)
5. 6.
7. 8.
Juansah, J. et.al. (2009). Aripad. (2009).
Judul Penelitian Rapid and Highly Sensitive Colloidal Silver Staining on Cellulose Acetate Membrane for Analysis of Urinary Proteins. Silmutaneous Analysis of Microheterogeneity of Immonuglobulins and Serum Protein Fraction Using High-Voltage Isoelectric Focusing on Six Celluoce Acetate Membrane. Synthesis and Characterization of Cellulose Acetae Hollow Fiber Membrane and With Additive Variation for Clarification of Guava Juice. Upaya Penanganan Membran Fouling pada pengolahan Limbah Textil Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak dengan Proses Membran Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow. Penurunan Zat Organik dan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End. Kekeruhan menggunakan(Studi kasus: Waduk Saguling, Padalarang) Peningkatan Mutu Sari Buah Nanas dengan Memanfaatkan Sistem Filtrasi Aliran Dead-End dari Membran Seluloa Asetat. Pemurnian Virgen Coconout Oil (VCO) dengan Menggunakan Membran Celulosa Asetat secara Ultrafiltrasi.
Komoditi pertanian di Indonesia sangat beragam, termasuk minyak atsiri. Nilam merupakan salah satu dari sejumlah besar jenis minyak atsiri yang telah berhasil disuling di Indonesia. Minyak ini banyak digunakan dalam industri parfum, sabun, deterjen, dan kosmetika. Industri nilam merupakan penyumbang devisa terbesar di antara ekspor minyak atsiri yang dihasilkan Indonesia. Ekspor
minyak nilam Indonesia pada tahun 2001 adalah ± 1.88 ton, dan pada tahun 2006 meningkat sebesar empat kali lipat (± 4.984 ton) (BPS, 2006). Sebagai produsen nilam terbesar di dunia, Indonesia memasok 80% kebutuhan minyak nilam Amerika. Sisanya yang 20% diimpor oleh Amerika dari Spanyol, Singapura, Belanda, dan Perancis (Anonymous, 2009). Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu sentra produksi minyak nilam di Indonesia. Nahar (2009) dalam survai yang telah dilakukan pada bulan Mei tahun 2009 ke salah satu daerah pengolahan minyak nilam di daerah Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, diperoleh keterangan dari petani pembuat minyak nilam, bahwa produksi mereka hanya dihargai Rp. 250.000 – 300.000/Kg oleh petani pengumpul. Kadar Patchouli Alkohol (PA) merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu minyak nilam. Standar mutu minyak nilam terbaik adalah mempunyai kadar PA minimal 31% menurut SNI 06-2385-2006, tetapi untuk standar mutu minyak nilam dalam pasar ekspor internasional yaitu minimal 38% (Essential Oil Association of USA, 1975). Tuntutan pasar saat ini tentang kualitas cenderung meningkat, dan industri minyak nilam di Indonesia harus mampu mengikuti keinginan pasar tersebut. Jadi penyulingan yang dilakukan tidak hanya terbatas untuk menghasilkan minyak nilam semata, tetapi juga membuat minyak seperti yang diinginkan oleh pasar. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap rendemen minyak nilam yang dihasilkan petani, diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena kandungan patchouli alcohol masih dibawah 30%, sedangkan kebutuhan pasar kandungan patchouli alcohol minimal 31%. Permasalahan yang seperti ini sering dihadapi oleh petani minyak nilam karena produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas sehingga mengakibatkan rendahnya daya jual. Oleh sebab itu memperbaiki mutu minyak nilam dalam hal peningkatan kadar patchouli alcohol akan sangat membantu memecahkan masalah diatas dengan cara melakukan penelitian sehingga didapat kualitas minyak nilam yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 06-23852006). Peningkatan patchouli alcohol telah dilakukan dengan metoda distilasi uap, distilasi aerasi, dan fraksinasi vakum dengan kandungan patchouli alcohol dalam minyak nilam sekitarr 40% - 76% (Yudistira et al., 2010). Hanya saja pada
metode-metode tersebut operasi bekerja pada suhu tinggi, sehingga memerlukan sejumlah energi. Membran selulosa asetat bersifat hidrofilik dan mempunyai sisi aktif yang bersifat polar, sehingga memiliki peluang untuk dapat berinteraksi dengan gugus yang bersifat polar pada komponen yang akan dipisahkan. Interaksi antara molekul/senyawa dengan membran dapat terjadi melalui ikatan kimia, yaitu ikatan hidrogen. Breaken et al. (2005) menyatakan bahwa hidrofobisitas merupakan parameter penting yang mempengaruhi retensi untuk molekul-molekul dengan berat molekul di bawah Molecular Weight Cut Off (MWCO) membran. Patchouli alkohol merupakan salah satu komponen penyusun minyak nilam yang lebih bersifat polar dibandingkan komponen penyusun lainnya karena memilki gugus hidroksil (-OH) Oleh karena antara membran selulosa asetat dan patchouli alkohol bersifat polar, dan berat molekul masing-masing komponen penyusun mimyak nilam relatif sama, maka peningkatan patchouli alkohol diduga dapat dilakukan berdasarkan mekanisme perbedaan hidrofobisitas. Komponen utama serta sifat fisika yang terdapat dalam minyak nilam tercantum pada Tabel 9.
Tabel 9. Komponen utama dalam minyak nilam* No.
Komponen
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
ß - patchoulene α - gurjunene α - guaiene ß - caryophyllene α - patchoulene Seychellene α - bulnesene ß - guaienepoxide α - bulnesenepoxide norpatchoulenol Patchoulol Pogostol
Komposisi (%)
Berat Molekul
1,7 – 4,8 0,0 – 5,0 9,9 – 15,2 2,0 – 3,9 8,5 – 12,7 5,9 – 9,4 13,2 – 17,2 0,1 – 0,2 0,2 – 0,4 0,5 – 0,6 31,2 – 46,0 1,9 – 2,7
204,35
Titik Didih (oC) 248,83
204,36 204,35 218,38 190,32
110 245,23 259,09 242,26
208,34 222,37 208,34
268,88 280,37 274,43
*Maryadhi (2007); Dung et al. (1989)
Selain itu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pangan yang lebih berkualitas diperlukan suatu peran teknologi dengan proses pemisahan
yang bersifat tidak merusak komponen dan pemakaian energi yang rendah. Proses pemisahan yang umum dilakukan menggunakan tambahan bahan kimia (filter aid) sehingga menghasilkan limbah yang menimbulkan biaya pengolahan lingkungan lebih tinggi. Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada gula pada tahun 2014 dan diperkirakan untuk swasembada nasional dibutuhkan sekitar 5,7 ton gula. Usaha untuk mencapai target tersebut dibutuhkan penambahan lahan seluas 500 ribu hektare (Putri, 2010). Namun untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai target swasembada gula pada tahun 2014 tidak mungkin hanya mengandalkan dari luas lahan yang ada. Sampai dengan 2009 luas lahan perkebunan tebu di Indonesia 473 ribu ha atau naik 2,9% dibanding 460 ribu ha pada 2008 (Market Intelligence, 2010). Disamping teknik penanaman bibit dengan kualitas baik dan meningkatkan pemupukan, teknik proses pemurnian nira mentah merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan gula kristal dengan mutu yang baik dan jumlah yang meningkat. Sebelum menjadi gula, tebu harus melewati beberapa tahapan proses. Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan cara sulfitasi, defekasi, dan karbonatasi pada proses penjernihan nira mentah. Tahapan pada proses penjernihan nira merupakan tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah. Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan sukrosa. Usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas kristal gula, maka sistem membran dengan teknik ultrafiltrasi dapat menggantikan proses konvensional tersebut untuk memisahkan zat warna. Dengan demikian, untuk memecahkan beberapa masalah terutama kualitas produk dan pemakaian energi, diharapkan
teknologi
membran
mampu
diterapkan
di
bidang
pangan
menggantikan sebagian teknologi konvensional. Implemantasi teknologi membran akan semakin luas apabila terjadi pengembangan yang sangat pesat dalam hal material membran, proses produksi
yang semakin baik, produksi membran yang semakin meningkat, serta kualitas membran yang semakin baik. Keadaan tersebut secara langsung akan berdampak pada penurunan harga membran sehingga proses membran menjadi lebih ekonomis. Peluang terhadap suatu hasil agroindustri dapat dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu: (1) suplai bahan baku dan (2) permintaan pasar. Pendekatan suplai bahan baku digunakan karena bahan baku yang tersedia banyak, namun belum termanfaatkan sehingga nilainya menjadi rendah. Pengolahan suatu bahan baku akan meningkatkan nilai tambah bahan baku tersebut, sementara pendekatan permintaan pasar digunakan karena melihat adanya peluang pasar bagi produk hasil pengolahan bahan baku tersebut. Melihat dari dua pendekatan tersebut dan pemanfaatan membran yang dapat digunakan pada berbagai bidang, maka teknologi membran memberi suatu peluang harapan yang baik digunakan pada proses pemisahan.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan dari Agustus 2008 hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Proses Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Bioproses Departemen Tekmologi Industri Pertanian (TIN) Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Pengukuran berat molekul selulosa asetat, ketebalan membran, dan kuat tarik membran dilakukan di Laboratorium Pengujian Fisika dan Pengolahan pada Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari (1) bahan untuk pembuatan selulosa asetat, yaitu bahan baku selulosa pulp kayu sengon yang diperoleh dari hasil kerjasama dengan Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, asam asetat glasial (100% GR, Merck), anhidrida asetat p.a (Merck), asam sulfat 95-97%, p.a (Merck), aquadest, dan magnesium karbonat teknis, (2) bahan untuk analisis kadar asetil, yaitu ethanol 96%, p.a. (Merck), NaOH pellet, asam klorida fuming 37% GR, p.a. (Merck), NaCO3, indikator metil merah, indikator fenolftalein (pp), dan aseton p.a. untuk menganlisis viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, (3) bahan untuk pembuatan membran selulosa asetat, terdiri dari dimetilformamida (DMF), LAB. (Merck), selulosa diasetat (SDA) 39,66% diperoleh dari hasil proses asetilasi selulosa pulp kayu sengon, aquadest, polietilen glikol (PEG) dengan berat molekul 1450 Da (Sigma), 4000 Da, dan 6000 Da (Merck), dan (4) bahan untuk pengujian karakteristik membran adalah aquades, standar Dekstran (Sigma) dengan berat molekul 12 kDa , dan Bovin Serum Albumin (Sigma) dengan berat molekul 67 kDa. Peralatan yang digunakan terdiri dari (1) peralatan untuk pembuatan selulosa asetat terdiri dari erlenmayer (250 ml, gelas piala (500 ml) , gelas ukur (25ml, 50 ml,100 ml), pengaduk kaca, corong kaca, shaker tabung sentrifus (50
ml), dan viskometer Ubbelohde untuk mengukur viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, (2) peralatan untuk pembuatan membran terdiri dari lembaran kaca, batang silinder berfungsi sebagai aplikator (casting knife), pengaduk bermagnet, dan bak koagulasi, (3) seperangkat penyaringan aliran silang (crossflow filtration) untuk uji kinerja dan karakterisasi ukuran pori membran dengan modul berbentuk datar (flat) dan luas permukaan membran 12,56 cm2, dan (4) spektrofotometer untuk menganalisis konsentrasi larutan, Scanning Electron Microscope (SEM) JSM – 5310 LV, Jeol-Japan untuk analisis struktur morfologi membran, viskometer Ubbelohde untuk mengukur viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, alat untuk mengukur ketebalan membran dengan merk Heidenhain, dan kuat tarik membran dengan alat tensometer (tanpa merk-hasil rakitan dari Balai Karet).
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang terdiri atas: 5. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon. 6. Tahap pembuatan selulosa diasetat (SDA) terdiri dari proses aktivasi, asetilasi, hidrolisis dari selulosa pulp kayu sengon. Suhu untuk setiap tahapan proses dipertahankan konstan pada 50 oC. Waktu untuk setiap tahapan proses dijadikan sebagai variabel. Hasil berupa selulosa asetat dianalisis kadar asetil dengan titrasi dan berat molekul menggunakan viskometer Ubbelohde. 7. Proses pembuatan membran selulsoa diasetat (SDA) secara inversi fasa, terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebagai bukan-pelarut. Rasio SDA terhadap DMF yang dilakukan adalah 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Jumlah selulosa asetat dan DMF adalah 30 gram. Selanjutnya penambahan porogen polietilen glikol (PEG) dilakukan dengan mengunakan berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da pada rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30% serta koagulasi
berlangsung pada suhu 15 oC, suhu kamar, dan 50 oC. Karakterisasi membran yang dihasilkan meliputi: ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi (air, dekstran, BSA), rejeksi (dekstran, BSA), dan MWCO. Larutan standar yang dipakai pada penentuan fluks, rejeksi, dan MWCO adalah dekstran (12 kDa), BSA (67 kDa) dengan konsentrasi awal 200 mg/lt. Sebelum membran dilakukan pengujian terhadap fluks, rejeksi, dan MWCO, terlebih dahulu dilakukan kompaksi. Struktur morfologi membran dianalisa menggunakan alat SEM (Scanning Electron Microscope). 8. Uji aplikasi membran terhadap pemisahan dan pemurnian komponen tertentu pada minyak nilam dan larutan nira tebu.
Secara umum tahapan penelitian digambarkan pada skema Gambar 5.
Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon.
Proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) dari selulosa pulp kayu sengon (aktivasi, asetilasi, hidrolisis, pemurnian)
Proses pembuatan dan penentuan karakter membran ultrafiltrasi selulosa diasetat. Membran dibuat secara inversi fasa dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30% serta koagulasi pada suhu 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Penentuan karakter membran meliputi tebal, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, dan MWCO
Pengukuran kinerja dari aplikasi membran untuk pemisahan dan pemurnian komponen tertentu dari minyak nilam dan larutan nira tebu Gambar 5. Skema tahapan penelitian
Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon diperoleh dari hasil kerja sama dengan Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung (Gambar 6). Ukuran seragam dari selulosa diperoleh dengan penghancuran selulosa yang telah diperoleh menggunakan mesin pencampur (blender). Setelah itu dilakukan analisis komposisi kimia dan sifat fisik selulosa berupa: kadar selulosa (ASTM D 113060), kadar abu (ASTM D 871-96), kadar air (ASTM D 871-96), derajat putih (Brightness tester), dan bilangan kappa (SNI 0494-89).
Gambar 6. Selulosa pulp kayu sengon
Tahap 2. Pembuatan Selulosa Diasetat (modifikasi Harison et al., 2004; Desiyarni, 2006). Pembuatan selulosa diasetat terdiri dari proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis. Suhu untuk setiap proses dipertahankan konstan pada kondisi optimum yang telah dihasilkan pada penelitian Desiyarni (2006), yaitu pada 50 oC, termasuk beberapa komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian tersebut. Adapun tahapan proses pembuatan selulosa asetat secara detail adalah sebagai berikut:
2.1. Penentuan Waktu Aktivasi Media aktivasi yang digunakan adalah asam asetat glasial. Rasio asam asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon yang digunakan adalah 8:1 (ml/g), yaitu sebanyak 5 gram selulosa pulp kayu sengon dan 40 ml asam asetat glasial dimasukkan kedalam gelas erlenmeyer 250 ml. Aktivasi dilakukan dalam suatu
penangas air pada suhu 500C dengan variabel waktu 15, 30, 60,90, dan 120 menit. Selanjutnya dilakukan proses asetilasi untuk pembuatan selulosa triasetat dari selulosa pulp kayu sengon. Asetilasi dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah volume anhidrida asetat, asam asetat, dan asam sulfat dengan perbandingan 3,35 : 4,5 : 0,015 untuk setiap satu bagian berat kering selulosa hasil aktivasi. Sebanyak 16,75 ml anhidrida asetat, 22,5 ml asam asetat glasial, dan 0,075 ml asam sulfat ditambahkan ke dalam erlenmayer 250 ml yang berisi selulosa pulp kayu sengon hasil aktivasi. Campuran diaduk rata menggunakan pengaduk bermagnet. Selanjutnya asetilasi dilakukan dalam penangas air yang bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 50oC selama 1 jam. Setelah proses asetilasi selesai dilakukan pemisahan selulosa pulp kayu sengon yang tidak terkonversi dari media asetilasi dengan menggunakan alat sentrifugasi (SAKUMA, Model R 90-22, 50 ml x 2) pada suhu 20oC selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Sisa serbuk selulosa pulp kayu sengon akan mengendap sedangkan selulosa triasetat terdapat dalam supernatan. Selulosa triasetat yang larut dalam supernatan selanjutnya dipisahkan dengan cara menuangkannya kedalam 200 ml larutan asam asetat 10% hingga terbentuk endapan selulosa triasetat dan larutan asam. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan endapan selulosa tri asetat dengan larutan asam. Larutan asam dinetralkan dengan menambahkan larutan MgCO3 1% dalam air sebelum dibuang. Endapan selulosa triasetat yang diperoleh disaring dan direndam dalam 200 ml larutan magnesium karbonat 1% selama 2 jam untuk menghilangkan sisa asam. Selanjutnya endapan selulosa triasetat dicuci bersih dengan aquadest secara mengalir, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selulosa triasetat kering yang diperoleh selanjutnya ditimbang. Perolehan selulosa triasetat dihitung sebagai perbandingan antara bobot kering selulosa triasetat dengan bobot kering selulosa pulp kayu sengon yang digunakan (Desiyarni, 2006), dan penentuan waktu aktivasi berdasarkan perolehan selulosa triasetat tertinggi.
2.2. Penentuan Rasio Anhidrida Asetat terhadap Selulosa dan Waktu Asetilasi Selulosa triasetat (STA) dihasilkan dari proses asetilasi selulosa. Terdapat dua variabel yang dilakukan pada proses asetilasi, yaitu peninjauan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa dan penentuan waktu asetilasi. Tahap pertama yang dilakukan adalah peninjauan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon. Langkah kerja yang sama dilakukan kembali seperti yang telah dilakukan pada tahap penentuan waktu aktvasi dengan menggunakan waktu aktivasi
yang
telah
diperoleh
tersebut.
Peninjauan
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa perbandingan anhdrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon, yaitu 3,35:1; 4:1; 5:1; dan 6:1 (ml/g). Perbandingan komposisi asam asetat dan asam sulfat terhadap selulosa tidak mengalami perubahan. Hasil peninjauan ditentukan dengan melihat kadar asetil dan selulosa triasetat yang dihasilkan. Tahap berikut adalah menentukan waktu asetilasi dengan menggunakan rasio anhidrida asetat hasil peninjauan di atas. Langkah kerja yang sama seperti pada tahap penentuan waktu aktivasi dilakukan kembali dengan tidak mengalami perubahan komposisi bahan kimia lainnya menggunakan waktu aktivasi yang telah diperoleh. Variabel waktu asetilasi yang digunakan adalah 30, 45, 60, 90, 120 menit. Waktu asetilasi ditentukan dengan melihat perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat yang sesuai kebutuhan untuk digunakan pada tahap hidrolisis.
2.3. Penentuan Waktu Hidrolisis Larutan selulosa triasetat (STA) yang telah diperoleh melalui proses aktivasi dan asetilasi selanjutnya masuk ke tahap proses hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan selulosa diasetat. Hidrolisis bertujuan untuk menghentikan proses asetilasi dengan menambahkan sejumlah air. Proses hidrolisis dilakukan dengan cara menambahkan air dan katalis asam sulfat (Merck, 95-97% p.a) dengan perbandingan terhadap selulosa yaitu 1,066 : 0,015 : 1. Untuk setiap 5 gram selulosa pulp kayu sengon yang digunakan, penambahan air dan asam sulfat dilakukan masing-masing dalam jumlah 5,33 ml
dan 0,075 ml ke dalam erlenmeyer 250 ml. Pencampuran air dengan larutan selulosa triasetat dilakukan setelah terlebih dahulu air dicampur dengan asam asetat pada perbandingan 1:2 atau hingga diperoleh larutan asam asetat 66,7%. Pencampuran air dan katalis ke dalam larutan STA dilakukan menggunakan pengaduk bermagnet. Selanjutnya proses hidrolisis selulosa triasetat dilakukan dalam penangas air bergoyang pada suhu 50oC dengan variabel waktu 3,5,7,9,11,13,15,17 jam. Penghentian proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan 20 ml larutan MgCO3 1% dalam asam asetat ke dalam larutan selulosa triasetat pada erlenmeyer 250 ml. Kemudian dilakukan
pemisahan
terhadap larutan hasil hidrolisis dengan menggunakan sentrifugasi merk SAKUMA model R 90-22, 50 ml x 2 pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 20 oC sehingga terbentuk endapan selulosa dan supernatan larutan selulosa triasetat (STA). Endapan selulosa dipisahkan dari larutan supernatan STA dengan penyaringan. Larutan supernatan STA ditambahkan ke dalam 200 ml larutan asam asetat 10% hingga terbentuk endapan selulosa triasetat dan larutan asam. Larutan asam dinetralkan dengan penambahan MgCO 3 1% dalam air. Endapan selulosa diasetat yang diperoleh selanjutnya direndam dalam 200 ml larutan MgCO3 1% selama 2 jam pada suhu kamar. Selanjutnya selulosa diasetat dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 6 jam (Desiyarni, 2006). Hasil yang diperoleh kemudian dihaluskan menggunakan blender untuk mendapatkan ukuran seragam dan selanjutnya dikarakterisasi untuk menentukan kandungan asetil. Untuk membuktikan telah terbentuknya selulosa diasetat, dilakukan pengujian awal dengan dilarutkan selulosa diasetat ke dalam aseton teknis. Selulosa diasetat (SDA) bersifat larut dalam aseton. Kadar asetil yang diharapkan sekitar 39% diukur dengan mengikuti ASTM D 871-96. Diagram alir penentuan waktu masing-masing proses dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa serta pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 40.
I
IIa
IIb
III
SELULOSA
SELULOSA
SELULOSA
SELULOSA
AKTIVASI (50oC) X = 15,30,60,90, 120 menit
AKTIVASI (50oC) X = Xn menit
Rasio anh. setat/selulosa = 3,35
Rasio anh. setat/selulosa Z = 3,35;4;5;6
ASETILASI (50oC), 1 jam
ASETILASI (50oC), 1 jam
STA tertinggi Pada X = Xn
STA (Kadar Asetil) Pada Xn, Zn
AKTIVASI (50oC) X = Xn menit
Rasio anh. setat/selulosa Z = Zn
ASETILASI (50oC), Y = 30,45,60,90,120 menit
STA (Kadar Asetil) Pada Xn, Zn, Yn
AKTIVASI (50oC) X = Xn menit
Rasio anh. setat/selulosa Z = Zn
ASETILASI (50oC), Y = Yn
HIDROLISIS 1,3,5,7,9,11,13,15,17 jam SDA (Kadar Asetil)
Gambar 7.
Proses tahap penentuan waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis serta rasio anhidrida asetat terhadap selulosa.
Keterangan gambar: I.
Proses aktivasi: penentuan waktu aktivasi (Xn)
II.
Proses asetilasi: a. penentuan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa (Zn) b. penetuan waktu asetilasi (Yn)
III.
Penetuan waktu hidrolisis
Tahap 3. Proses Pembuatan dan Karakterisasi Membran Selulosa Diasetat (SDA) (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004). 3.1. Proses Pembuatan Membran Pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dilakukan secara inversi fasa. Bahan yang diformulasikan dalam pembuatan membran terdiri dari polimer berupa selulosa diasetat (SDA) yang telah dihasilkan pada tahapan sebelumnya; pelarut dimetilformamida (DMF); dan
aditif polietilen glikol (PEG) sebagai porogen dengan berat molekul 1450, 4000 dan 6000 Da. Proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dilakukan dengan mencampurkan SDA dan DMF pada perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Jumlah selulosa diasetat dan DMF yang digunakan pada setiap formulasi adalah 30 gram. Rasio PEG terhadap SDA adalah 10%, 20%, dan 30%. Proses pencampuran polimer dengan kehadiran dan tanpa kehadiran PEG dalam pelarut polar (DMF) dilakukan dalam erlenmayer 250 ml dengan menggunakan pengaduk bermagnet sekitar 2-4 jam pada suhu kamar hingga polimer terlarut. Larutan homogen tersebut didiamkan lebih kurang 1-2 jam dalam kondisi kedap udara untuk menyingkirkan gelembung udara. Larutan yang diperoleh disebut dope atau larutan cetak. Pencetakan membran dilakukan dengan cara menuangkan larutan dope ke plat kaca yang seluruh tepinya diberi selotip sebagai batas ketebalan. Ketebalan membran dipertahankan pada 0,2 mm ± 0,02 mm dan diukur menggunakan mikrometer dengan presisi 0,01 mm. Larutan di atas plat kaca berukuran 12 cm x 18 cm diratakan dengan batang silinder sampai permukaan rata hingga membentuk larutan tipis dan dibiarkan selama 30 detik. Setelah larutan tersebar merata di atas plat kaca, lalu plat kaca dimasukkan ke dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut pada berbagai variasi suhu (15oC, suhu kamar, 50oC) untuk pengendapan dan pembentukan membran sampai lapisan membran terlepas dari plat kaca. Setelah waktu perendaman selesai, akan terbentuk lapisan tipis putih membran. Membran yang diperoleh dipotong sesuai ukuran cetak modul filtrasi yaitu pada diamater 4 cm dan dicuci dalam sejumlah besar air distilat dan disimpan dalam air sebelum dikarakterisasi. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15oC, suhu kamar, dan 50oC) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da. Pada Lampiran 41.a. dan Lampiran 41.b.
ditampilkan serangkaian tahapan yang dikerjakan pada proses pembuatan membran selulosa diasetat.
3.2. Karakterisasi Membran. Karakterisasi membran bertujuan untuk menentukan struktur dan sifatsifat
morfologi
membran.
Karakterisasi
ini
menjadi
penting
untuk
menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Sebelum dilakukan pengujian terhadap fluks, rejeksi, serta MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran tersebut.
3.2.1. Ketebalan Membran (mikrometer Heidenhain). Ketebalan membran diukur menggunakan mikrometer dengan merk Heidenhain. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur tebal membran di lima titik yang berbeda. Hasil yang terbaca pada alat tersebut dirata-ratakan dan dinyatakan sebagai tebal membran.
3.2.2. Kuat Tarik Membran (ASTM D 3967-92) Kuat tarik membran diuji dengan menggunakan tensometer. Membran dengan ketebalan ± 2 mm terlebih dahulu dipreparasi dengan ukuran 0,5 cm x 5 cm berada dalam keadaan kering. Pengujian dilakukan dengan menjepit membran yang telah dipreparasi tersebut pada kedua ujungnya. Kondisi awal alat yang dibutuhkan adalah load 0,0% dan stroke 0, kemudian alat dijalankan dengan kecepatan regangan 10 mm/menit. Pengunci batang penyempit dilepaskan dan motor dihidupkan untuk mengayun beban. Data yang dimasukkan adalah tebal dan lebar membran yang diukur. Besarnya gaya yang diperlukan untuk memutuskan membran dapat dibaca dari grafik yang dihasilkan secara otomatis . dengan satuan kgf.
3.2.3. Morfologi Membran (Analisis Scanning Electron Microscope). Pengamatan terhadap morfologi membran dilakukan dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) JSM – 5310 LV, Jeol-Japan pada batas resolusi 5-10 nm. Terlebih dahulu dilakukan pengeringan preparasi terhadap sampel dengan freeze dryer sampai kadar air mencapai ≤ 2%. Sampel dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Selanjutnya sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon dan kemudian dilapisi emas (Au) 300A o di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan energi dari logam emas ke arah sampel, sehingga melapisis sampel. Sampel tersebut diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron yang akan terekam ke dalam monitor ketika terjadinya tembakan elektron ke arah sampel dan kemudian dilakukan pemotretan. Melalui SEM, diambil pada beberapa variasi magnifikasi untuk beberapa bagian dari membran.
3.2.4. Kompaksi (Scott dan Hughes, 1966). Sebelum uji fluks, rejeksi, dan MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang telah dihasilkan tersebut. Membran datar berukuran diameter 4 cm dengan luas efektif 12,56 cm 2 ditempatkan dalam suatu modul pada rangkaian alat penyaringan silang (cross flow) (Gambar 8). Air dialirkan melewati membran hingga diperoleh volume air konstan pada tekanan transmembran 2 bar untuk setiap 10 menit. 3.2.5. Fluks, Rejeksi, dan Molecular Weight Cut-Off (MWCO) (Scott dan Hughes, 1966; Mahendran et al., 2004). Penentuan permeabilitas (fluks) dari air, larutan standar dektran (12 kDa), dan bovin serum albumin (BSA-67 kDa) serta selektifitas (rejeksi dekstran dan BSA) dilakukan terhadap membran yang telah dikompaksi. Pengukuran dilakukan dengan
menyaring
masing-masing
larutan
tersebut
melalui
membran
menggunakan serangkaian peralatan penyaringan silang (cross-flow filtration) untuk setiap 10 menit (Gambar 8). Membran berbentuk flat (datar) dimasukkan ke dalam modul dengan luas efektif membran 12,56 cm 2. Tekanan transmembran pada 1,2 bar dengan laju alir 7,4 x 10-3 m/det. Volume aliran yang melewati pori
membran (permeat) persatuan luas membran persatuan waktu dinyatakan sebagai fluksi. Konsentrasi permeat dari masing-masing larutan dianalisa menggunakan UV-vis spektrofotometer. Persentase rejeksi (R) dihitung dari persamaan 2 hal 10:
C permeat R (%) = ( 1 - ————— ) x 100% Cumpan Dimana :
R
(Mulder,1996)
= persentasi tahanan
Cpermeat
= konsentrasi partikel dalam permeat
Cumpan
= konsentrasi partikel dalam umpan
Berdasarkan nilai rejeksi yang diperoleh, ukuran pori membran dapat ditentukan berdasarkan MWCO. MWCO berhubungan dengan rejeksi dari berat molekul zat terlarut. Berat molekul memiliki hubungan linier dengan jari-jari pori atau ukuran pori membran. MWCO membran didapat dengan mengidentifikasi dari zat terlarut yang memiliki berat molekul paling rendah dan mempunyai rejeksi 80-90% (Mahendran et al., 2004)
Gambar 8. Rangkaian alat penyaringan silang (cross flow filtration) membran jenis proses ultrafiltrasi
Tahap 4. Uji Aplikasi Membran 4.1.
Peningkatan Kadar Patchouli (Pogostemon cablin Benth).
Alkohol
dalam
Minyak
Nilam
Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penyulingan petani nilam (Pogostemon cablin Benth) dari Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Rendemen minyak yang diperoleh 3,7% dari berat kering tanaman nilam yang disuling dengan kadungan patchouli alkohol sebesar 32,06%. Proses filtrasi minyak nilam selama 10 menit dilakukan dengan menggunakan serangkaian peralatan filtrasi membran (Gambar 8) pada tekanan 1,2 bar; 1,4 bar; dan 1,8 bar. Permeat yang keluar melalui pori membran ditampung dan ditentukan fluks yang diperoleh. 4.2. Pemurnian Nira Tebu. Dalam penelitian ini, nira yang digunakan didapat dari hasil penggilingan batang tebu. Tebu digiling setelah 24 jam tebu dipotong untuk menghindari terbentuknya gula invert. Sebelum memasuki proses pemurnian menggunakan membran, nira mentah disaring terlebih dahulu menggunakan kain saring mengurangi beban kerja membran. Filtrasi nira tebu dilakukan dengan cara mensirkulasi nira tebu selama 60 menit menggunakan 3 variasi tekanan transmembran, yaitu 0,6; 1,2; 1,8 bar. Penentuan fluks nira dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran dalam melewatkan sejumlah volume nira tebu persatuan waktu persatuan luas membran. Karakteristik terhadap nira mentah dan nira hasil pemurnian dilakukan dengan menganalisis turbiditi dan pH. Diagram alir proses penggilingan tebu sampai filtrasi nira menggunakan membran dapat dilihat pada Lampiran 42.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih dengan derajat putih 85,14%. Nilai tersebut mendekati tetapan yang diberikan oleh ISO sebesar 88%. Derajat putih yang telah dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kadar ligin dalam pulp kayu sengon telah banyak yang terhidrolisis oleh proses deleginifikasi. Hal ini juga didukung dari perolehan bilangan kappa yang rendah sebesar 10,735 dan kadar lignin sebesar 1,58%. Hubungan antara bilangan kappa dengan kadar lignin adalah linier dengan mengikuti persamaan : % lignin = 0,147 x Bilangan Kappa (Casey, 1980). Bilangan kappa dapat digunakan sebagai parameter dalam melihat tingkat proses derajat delegnifikasi pulp. Menurut Rahmawati (1999), bilangan kappa yang rendah tersebut menunjukkan bahwa delegnifikasi berjalan dengan cepat dilihat dari lignin yang putus. Hasil analisis kimia dari komponen pulp kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis kimia komponen pulp kayu sengon Parameter analisis Kadar alfa selulosa Kadar abu Kadar air Impuritis
Nilai 92,11% 0,10% 4,68% 3,11%
Kandungan α-selulosa pada pulp kayu sengon relatif tinggi, yaitu 92,11 %, dan ini mendekati kadar dari selulosa mikrobial sebesar 92,53% (Desiyarni, 2006). Nilai α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi dari selulosa, sehingga selulosa pulp kayu sengon baik sebagai sumber selulosa untuk pembuatan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Kadar air yang rendah pada selulosa akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi. Apabila kandungan air pada selulosa tinggi dikhawatirkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak maksimal karena anhirida asetat tidak hanya dapat bereaksi dengan selulosa,
tetapi dapat bereaksi juga dengan air membentuk asam asetat. Sementara itu, kadar abu (0,10%) dan impuritis (3,11%) yang dihasilkan juga relatif rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selulosa pulp kayu sengon memiliki kemurnian yang tinggi. Pada pembuatan selulosa asetat, suhu untuk masing-masing proses dipertahankan konstan pada 50oC. Komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian Desiyarni (2006) dengan alasan kandungan α-selulosa yang tinggi, yaitu sekitar 92%.
Tahap 2. Selulosa Diasetat 2.1. Waktu Aktivasi Pada proses aktivasi dilakukan penggelembungan (swelling) terlebih dahulu terhadap selulosa dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial. Penggelembungan selulosa bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa yang berdekatan karena kekakuan rantai dan tingginya gaya antar rantai. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan dari serat selulosa (Cowd, 1991). Porses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar pereaksi lebih mudah mencapai daerah kristal pada proses asetilasi. Waktu aktivasi ditentukan berdasarkan perolehan selulosa triasetat (STA) tertinggi terhadap berat selulosa yang digunakan. Perolehan STA pada berbagai waktu
Perolehan Selulosa triasetat (g/g)
aktivasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 29.
1.605 1.6013
1.6
1.5992
1.595 1.5912
1.59
1.5875 1.585 0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu aktivasi (m enit)
Gambar 9. Perolehan selulosa triasetat (STA) dalam berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50oC dan waktu asetilasi 1 jam.
Selama aktivasi berlangsung, jumlah selulosa triasetat (STA) yang dihasilkan menurun dengan bertambahnya waktu aktivasi, walaupun penurunan yang terjadi sangat kecil. Penurunan disebabkan karena selulosa semakin lama kontak dengan asam asetat glasial. Menurut Sjostrom (1981) perlakuan fisik dan kimia secara intensif terhadap selulosa dapat menurunkan derajat polimerisasi. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa STA tertinggi diperoleh pada waktu aktivasi 30 menit sebesar 1,6013 g/g selulosa dan semakin menurun hingga menit ke 120 menjadi 1,5875 g/g selulosa. Sedangkan pada waktu aktivasi kurang dari 30 menit tidak cukup bagi asam asetat untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa sehingga reaktan tidak dapat menembus gugus hidroksil dari selulosa pada proses asetilasi. Keadaan ini dilihat dari hasil asetilasi dimana selulosa triasetat tidak terbentuk karena selulosa tidak larut dalam reaktan. Ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dilakukan secukupnya untuk memberi tingkat pengembangan yang diperlukan untuk penetrasi reaktan. Kuo et al.(1997) menyatakan lamanya waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan dan aktivasi terhadap selulosa pulp kayu berjalan sekitar 0,5-1 jam pada suhu 25oC -50oC. Sementara itu, Nevel dan Zeronian (1985) memerlukan waktu aktivasi terhadap selulosa pulp kayu sekitar 1-2 jam. Waktu aktivasi yang diperlukan dari selulosa mikrobial telah didapat oleh Tabuchi et al. (1998) dan Desiyarni (2006) masing-masing selama 72 jam dan 16 jam pada suhu kamar. Waktu aktivasi yang telah dicapai oleh selulosa pulp kayu sengon ternyata lebih pendek dibandingkan dengan aktivasi selulosa mikrobial. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan derajat kristalinitas selulosa pulp kayu dengan selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial bersifat lebih kristalin dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60% (White dan Brown, 1998). Sementara selulosa yang berasal dari tumbuhan seperti rami dan kapas mempunyai derajat kristalin sebesar 30% (Yoshinaga et al., 1997) dan selulosa pulp kayu memiliki derajat kristalinitas sekitar 38% (Sanjaya, 2001). Proporsi derajat kristal yang lebih kecil pada selulosa pulp kayu membuat proses aktivasi berjalan lebih cepat. Hasil penelitian Desiyarni (2006), aktivasi selulosa mikrobial pada suhu o
50 C memerlukan waktu lebih pendek, yaitu selama 6 jam dibandingkan pada suhu kamar yang berlangsung selama 16 jam untuk perolehan selulosa triasetat
yang sama, yaitu 1,63 g/g. Tabuchi et al. (1998) memerlukan waktu aktivasi selama 72 jam pada suhu kamar terhadap selulosa mikrobial. Ini menunjukkan aktivasi pada 50oC lebih efisien dalam hal waktu dibandingkan dengan aktivasi pada suhu kamar sehingga suhu 50oC digunakan sebagai suhu aktivasi dalam penelitian ini.
2.2. Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi Proses asetilasi bertujuan untuk menggantikan gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat. Anhidrida asetat merupakan reaktan yang memegang peranan penting pada reaksi asetilasi. Secara stoikiometri, 1 mol selulosa triasetat dihasilkan dari reaksi 1 mol selulosa yang terdiri atas n unit glukosa dengan 3n mol anhidrida asetat. Pada penelitian pembuatan selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, proses asetilasi dipengaruhi oleh faktor anhidrida asetat (Desiyarni, 2006). Hasil yang didapat oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio optimum anhdrida asetat terhadap selulosa mikrobial adalah 3,35 dengan kadar asetil 45,78% pada suhu 50oC selama 323 menit. Berangkat dari kondisi optimum inilah, maka pada penelitian ini ditetapkan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat terhadap selulosa adalah sebesar 3,35. Beberapa alasan pemilihan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat sebesar 3,35; yaitu (1) kandungan α-selulosa yang dimiliki oleh selulosa mikrobial dan selulosa pulp kayu sengon hampir sama (sekitar 92%), (2) selulosa yang digunakan masih mengandung air dibawah 5%, sehingga anhidrida asetat yang digunakan sedikit berlebih dari kebutuhan secara stoikiometri. Hasil asetilasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
44,35 44,31
1.64
44.4 44.3
1.63 1.62
44,18
1.61 1.6
1,61
44,21
1 ,64 1 ,63
44.2
1,62 ,62
44.1
1.59
Kadar Asetil (%)
Perolehan STA (g/g)
1.65
44 3.35
4
5
6
Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa Perolehan STA (g/g)
Gambar 10.
Kadar Asetil (%)
Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50oC selama 1 jam.
Hasil asetilasi selama satu jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp sengon 3,35 diperoleh kadar asetil 44,18% dengan konversi selulosa menjadi STA sekitar 90% sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Tabuchi et al. (1998) memakai anhidrida asetat sebanyak 20 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Sementara Saka dan Takanashi (1998) menggunakan anhidrida asetat sebanyak 7 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Penggunaan anhidrida dalam jumlah besar biasa dilakukan apabila pada selulosa masih terdapat sejumlah besar air dengan tujuan selulosa triasetat yang terbentuk masih lebih banyak dibandingkan asam asetat. Selain dengan selulosa, anhidrida asetat dapat bereaksi dengan air dan menghasilkan asam asetat. Penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat berlebihan akan menyebabkan proses asetilasi kurang effisien apabila kadar asetil dan selulosa triasetat yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan disamping kandungan air dalam selulosa yang tidak terlalu tinggi (≤ 5%). Oleh karena itu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang dipilih untuk digunakan pada proses selanjutnya adalah sebesar 3,35 dengan kadar asetil 44,18%.
Waktu yang diperlukan oleh Yamakawa et al. (2003) untuk proses asetilasi selulosa pulp kayu adalah sekitar 20-60 menit. Semakin lama waktu asetilasi, maka semakin lama kesempatan anhidrida asetat bereaksi dengan selulosa untuk membentuk selulosa triasetat sehingga kadar asetil semakin meningkat. Pada proses asetilasi dilakukan pula pengamatan lama waktu asetilasi terhadap kadar asetil yang dihasilkan. Hasil pengamatan waktu asetilasi disajikan
1.65 1.64 1.63 1.62 1.61 1.6 1.59 1.58 1.57
44,27 1,64 1,63
44.2 44.1 44
1,61
43.9
1,59
43.8 43.7
30
60 90 Waktu asetilasi (menit)
Perolehan STA (g/g)
Gambar 11.
44.4 44.3
44,18 43,98
44,36
Kadar Asetil (%)
Perolehan Selulosa Tri Asetat (g/g)
pada Gambar 11 .
120
Kadar Asetil (%)
Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada 50 oC selama satu 1 dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35.
Data yang disajikan pada Gambar 11 membuktikan bahwa semakin lama waktu asetilasi akan meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat dengan kenaikan yang semakin kecil. Pada 30 menit pertama proses asetilasi diperoleh kadar asetil sebesar 43,98% dengan konversi selulosa menjadi STA masih di bawah 90%. Pada 30 menit berikut, kadar asetil naik sebesar 0,195%, yaitu menjadi 44,18%. Selanjutnya untuk setiap kenaikan 30 menit, kadar asetil naik sekitar 0,09%. Kadar asetil yang diperoleh tersebut masih di atas 43%, sedangkan kadar asetil yang diperlukan pada pembuatan membran antara 37-42%. Untuk itu dipilih waktu asetilasi cukup 60 menit untuk menghindari kenaikan kadar asetil dan konversi selulosa menjadi selulosa triasetat yang dihasilkan telah mencapai 90%. Waktu asetilasi ini lebih cepat dibandingkan asetilasi untuk selulosa mikrobial
yaitu selama 3-4 jam untuk mendapatkan kadar asetil 44% (Desiyarni, 2006). Perbedaan waktu asetilasi ini disebabkan karena perbedaan derajat kristal dan amorf pada bahan baku. Selulosa pulp kayu, umumnya mempunyai derajat amorf yang lebih besar (60-70%) sehingga reaksi lebih cepat.
2.3. Waktu Hidrolisis Hidrolisis bertujuan untuk menghilangkan sebagian gugus asetil dari selulosa triasetat sehingga dihasilkan selulosa diasetat. Proses hidrolisis selulosa triasetat pada beberapa selulosa pulp (kapas, jerami) memakan waktu beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi lebih pendek jika dilakukan pada suhu 40-80 oC (Bydson, 1995; Kuo et al., 1997; Harrison et al., 2004). Waktu hidrolisis dipilih sesuai dengan penurunan kadar asetil. Kadar asetil hasil asetilasi diperoleh sebesar 44,18%, padahal secara komersial selulosa diasetat untuk membran ultrafiltrasi berada pada kisaran 39-40%. Kadar asetil pada waktu hidrolisis 15 jam adalah 39,66% dan dapat dilihat pada Gambar 12. Waktu hidrolisis ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa mikrobial untuk kadar asetil 39% (Desiyarni, 2006).
Kadar asetil (%)
45 44.38
44.29
44
43.5
43
42.62
42
41.74
41
40.86
40
39.66 39
39 38 0
5
10
15
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 12. Perolehan kadar asetil hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50oC) Penggunaan suhu proses ditentukan oleh kandungan α-selulosa. Hidrolisis pada suhu tinggi (125 – 170 oC) umumnya digunakan terhadap bahan baku yang
20
memiliki kandungan alfa selulosa pulp rendah, yaitu < 90% (Campbell, 1973) guna untuk menghidrolisis hemiselulosa. Untuk selulosa diasetat yang dihasilkan dari selulosa pulp kayu sengon, diperoleh kondisi masing-masing proses meliputi proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis seperti tercantum pada Tabel 11. Hasil selulosa diasetat (SDA) yang diperoleh juga baik seperti ditunjukkan oleh warna SDA yang putih dengan berat molekul 130.221 (Gambar 13). Tabel 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon Sumber Selulosa
Aktivasi Kondisi Operasi
Selulosa Pulp Kayu Sengon
0,5 jam 50 oC
Gambar 13.
Selulosa: Asam Asetat 1:8
Asetilasi Kondisi Operasi 1 jam 50 oC
Selulosa:Asam Asetat: Anh, Asetat:H2SO4 1 : 4,5 : 3,3 5 : 0,015
Hidrolisis Kondisi Operasi 15 jam, 50 oC
Selulosa: H2O: H2SO4 1 : 1,066 : 0,015
Kadar asetil (%)/ Berat Molekul 39,66 / 130.221
Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66% dan berwarna putih.
Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat dan Karakteristiknya. 3.1. Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% telah digunakan sebagai bahan baku polimer membran. Polimer membran selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit, asetilasi selama 1 jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35, dan hidrolisis berlangsung selama 15 jam. Kondisi suhu untuk setiap proses dipertahankan pada 50 oC. Selanjutnya membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon telah dihasilkan secara inversi fasa. Tahapan setiap unit proses yang telah dilakukan adalah pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam setelah penambahan porogen polietilen glikol (PEG) dengan berbagai berat molekul PEG (1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da) serta rasio PEG/SDA (10%, 20%, 30%). Dilanjutkan pendiaman larutan polimer selama 1 jam pada suhu kamar, penguapan larutan cetak yang berada di atas plat kaca selama 30 detik serta perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam pada suhu 15oC, suhu kamar, dan 50oC. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulo pulp kayu sengon dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44, dan Lampiran 45. Perlakuan ini menghasilkan membran dengan karakterisasi yang akan dijabarkan lebih jelas berikut ini.
3.2. Karakteristik Membran. Membran yang telah dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Kompaksi terhadap membran diperoleh terlebih dahulu sebelum pengukuran fluks, rejeksi, dan MWCO. Porometer membran dinyatakan dengan konsep MWCO berdasarkan nilai rejeksi 80-90% dari larutan standar Mahendran et al. (2004). Larutan standar
yang digunakan yaitu, Dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa). Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang digunakan dalam bentuk datar (flat) dengan luas permukaan 12,5 cm2 (12,5 x 10-4 m2) pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam).
3.2.1. Ketebalan Membran Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah ( 15oC) lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2007) bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut (non-pelarut) berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan. Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20%. Akhlus dan Widiastuti (2005) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm (18% polimer dan 82% pelarut) menjadi 0,076 mm (18% polimer, 18% polimer aditif, dan 64% pelarut). Pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15oC), tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEG/SDA 20%. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150 µm (0,15 mm) (Mulder, 1996).
3.2.2. Kuat Tarik Membran
Selain ketebalan membran, sifat fisik lain dari membran yang telah diukur adalah kuat tarik. Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran tanpa PEG mempunyai nilai kuat tarik lebih rendah dibandingkan membran dengan penambahan PEG. Bertambah besarnya nilai kuat tarik membran disebabkan terdapat sejumlah molekul polimer PEG pada matriks membran selulosa asetat. Sementara itu pada perubahan suhu koagulasi, diperoleh kuat tarik membran pada suhu rendah (15oC) lebih tinggi dibandingkan koagulasi pada suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini berhubungan dengan sifat kelarutan PEG yang menurun pada koagulasi suhu rendah, sehingga masih terdapat sejumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat dan menambah polimer padatan pada matriks membran selulosa asetat. Pada koagulasi suhu kamar, kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20% diperoleh sebesar 3,795 kgf/cm 2 dan 2,355 kgf/cm2 untuk membran tanpa PEG. Nilai kuat tarik yang diperoleh tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan nilai kuat tarik dari membran selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, yaitu 3,37 kgf/cm 2 pada formula membran 14% PEG dan 10% selulosa asetat (Darwis et al., 2003). Sementara itu pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15 oC), nilai kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/DA 20% diperoleh sebesar 4,19 kgf/cm2. Sementara itu nilai kuat tarik untuk membran tanpa PEG diperoleh sebesar 3,030 kgf/cm2.
3.2.3. Morfologi Membran Menurut Cheryan (1998), terdapat dua mekanisme pembentukan morfologi membran yaitu mekanisme delayed demixing dan instantaneous demixing. Mekanisme pembentukan membran yang berbeda akan mengarah pada pembentukan struktur yang berbeda. Membran yang telah dihasilkan pada penelitian ini menggunakan polimer selulosa diasetat (SDA) dan dimetil formamida (DMF) sebagai pelarut serta air sebagai bukan-pelarut. Cheryan (1998) juga menyatakan bila pembuatan membran SDA secara inversi fasa menggunakan pelarut DMF dan air sebagai bukan-pelarut maka akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing. Afinitas antara DMF dan air sangat kuat sehingga
mekanisme pencampuran ini menghasilkan membran berpori (porous membrane). Hasil
pengamatan
terhadap
morfologi
dari
membran
yang
dihasilkan
menggunakan Scanning Electron Misroscope (SEM) JSM-5310 LV, Jeol-Japan menunjukkan bahwa membran tersebut merupakan membran asimetrik karena struktur permukaan lapisan bawah mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. a. Bagian lapisan permukaan atas membran SDA (2000x)
Gambar 14. b. Bagian lapisan bawah membran SDA (500x) Dapat dilihat dari Gambar 14.a. yaitu pori membran yang dihasilkan pada lapisan permukaan atas baru terlihat setelah dilakukan perbesaran 2000x. Sementara pada Gambar 14.b., pori membran yang dihasilkan pada lapisan bawah sudah terlihat pada perbesaran 500x. Ini menunjukkan membran yang dihasilkan berupa membran asimetrik dengan pori pada lapisan bawah lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas membran. Perbedaan pori yang dihasilkan
terjadi karena diffusi pelarut DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas sehingga molekul-molekul DMF dan PEG yang meninggalkan larutan cetak mempengaruhi pori yang terbentuk ketika proses pemadatan molekul-molekul SDA terjadi. Ketika pemadatan membran lapisan bagian atas sudah terbentuk, sebagian kecil DMF dan PEG yang masih tersisa pada padatan tersebut meninggalkan pori dengan ukuran yang kecil (dense) ketika larut dalam air. Sebaliknya karena diffusi DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat, molekul DMF dan PEG masih banyak terkandung ketika pemadatan membran terjadi dan meninggalkan pori dalam ukuran yang lebih besar ketika molekul DMF dan PEG larut dalam air.
3.2.3.1. Morfologi Membran pada Penambahan PEG Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mekanisme pembentukan membran pada penelitian ini berlangsung secara instantaneous demixing. Kelemahan yang sering terjadi pada mekanisme instantaneous demixing adalah terbentuknya makrovoid pada lapisan bagian bawah dari membran. Makrovoid lebih sering terbentuk dari sistem pelarut dan bukan-pelarut yang mempunyai afinitas tinggi seperti DMF dengan air dan membentuk suatu rongga yang sangat terbuka berada diantara pori-pori yang lebih kecil. Rongga makrovoid mulai terjadi pada lapisan pertama pada bagian lapisan bawah membran akibat dari peristiwa diffusi pelarut dan bukan-pelarut. Diffusi yang terjadi tersebut membentuk nukleus (inti) yang akan berkembang menjadi pori. Pelarut dalam membran mengalir dengan cepat menuju nukleus sehingga terjadi peningkatan konsentrasi pelarut dalam nukleus. Peningkatan konsentrasi tersebut menimbulkan kestabilan larutan polimer disekitar nukleus dan menghalangi terbentuknya nukleus baru. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengembangan nukleus lama untuk membentuk makrovoid (Young dan Chen, 1995). Keberadaan makrovoid tidak diharapkan karena akan menurunkan kekuatan mekanikal membran sehingga mempengaruhi permeabilitas membran (Chaudhuri, 2003; Husain, 2009). Perbedaan struktur membran yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dan dengan penambahan PEG dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. a.
Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). PEG (500x).
Gambar 15. b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar). Pada Gambar 15. a dapat dilihat bahwa struktur morfologi hadir dengan keberadaan pori yang tidak tertata dengan baik. Terdapat rongga yang besar berupa makrovoid diantara pori-pori kecil. Pertumbuhan makrovoid berhenti bila konsnetrasi polimer larutan menjadi sangat tinggi dan terjadi oemadatan. Penambahan aditif PEG pada larutan cetak membuat larutan polimer menjadi lebih viscous dan afinitas antara DMF dan air menjadi berkurang, sehingga dapat menekan terbentuknya makrovoid (Javiya et al., 2008), seperti terlihat pada Gambar 15. b dan keberadaan pori lebih tertata dengan baik.
3.2.3.2. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Berat Molekul PEG
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG dapat menekan terbentuknya makrovoid. Selain itu, struktur membran semakin rapat dengan naiknya berat molekul PEG. Viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan berat molekul PEG dalam larutan cetak/larutan polimer akan menaikkan viskositas larutan tersebut sehingga memperlambat diffusi PEG dan DMF ke dalam air. Keadaan tersebut membuat kandungan padatan pada matriks selulosa diasetat bertambah, sehingga struktur membran selulosa asetat yang dihasilkan menjadi lebih padat/rapat. Hasil SEM morfologi struktur membran yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi suhu kamar)
Gambar 16. b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, Sekilas tampak struktur morfologi membran yang sama pada perbesaran koagulasi suhukamar) 500x dari Gambar 16. a dan Gambar 16. b. Namun sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu struktur membran pada Gambar 16. a lebih renggang pada
perbesaran 2000x dan pori yang dihasilkan kelihatan lebih banyak walaupun ukuran pori terlihat lebih kecil dibandingkan Gambar 16. b. Hal ini disebabkan karena molekul PEG pada berat 1450 Da lebih mudah larut dalam air dibandingakan PEG 4000 Da. Walaupun rasio PEG/SDA yang digunakan sama, diperkirakan jumlah molekul PEG 1450 Da yang tertinggal pada matriks selulosa diasetat lebih sedikit dan meninggalkan pori yang lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan molekul PEG 4000 Da.
3.2.3.3. Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Rasio PEG/SDA Penambahan rasio PEG terhadap selulosa diasetat pada pembuatan membran berarti semakin bertambah banyak molekul PEG yang ikut bercampur dalam larutan cetak. Molekul PEG tersebut mengisi matriks membran selulosa asetat dan meninggalkan pori pada matriks tersebut ketika berlangsung proses diffusi antara DMF dengan air. Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan, diperkirakan molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat juga banyak sehingga pori yang dihasilkan pada membran juga lebih banyak, seperti dapat dilihat pada Gambar 17. b. Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan naiknya rasio PEG/SDA. Hal ini disebabkan karena diperkirakan jumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat masih lebih banyak dibandingkan dengan rasio PEG/SDA yang rendah. Hasil SEM untuk morfologi membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. a dan Gambar 17. b.
Gambar 17.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10%
Gambar 17.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20%
3.2.3.4. Morfologi Membran pada Berbagai Suhu Koagulasi Suhu koagulasi yang lebih rendah mengakibatkan afinitas pelarut DMF terhadap air menjadi berkurang. Aditif PEG lebih sukar larut dalam air, sehingga menurunkan kecepatan proses diffusi yang terjadi antara DMF dan air. Pori yang terbentuk lebih kecil dibandingkan hasil koagulasi pada suhu tinggi. Struktur morfologi hasil pembuatan membran pada koagulasi suhu rendah dari analisis SEM dapat dilihat pada Gambar 18.a.
Gambar 18. a. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 15 oC (10000x)
Gambar 18. b. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 50oC (3500x) Dapat dilihat dari Gambar 18. a, ukuran pori relatif kecil dan baru dapat dilihat pada perbesaran 10000x dari membran hasil koagulasi pada suhu 15oC. Ukuran pori yang relatif kecil juga telah dihasilkan oleh Cai et al. (2007) pada penelitiannya terhadap pembuatan membran pada suhu koagulasi rendah. Hal ini disebabkan karena kontak antara DMF dengan air berkurang akibat proses diffusi yang terjadi lambat. Sebaliknya, kenaikan suhu koagulasi dapat mempercepat proses kecepatan diffusi DMF dan PEG terhadap air karena affinitas yang tinggi antara DMF dan air. Affinitas yang tinggi tersebut juga dapat memicu terbentuknya makrovoid. Pori yang terbentuk juga lebih besar dan sudah dapat dilihat pada perbesaran yaitu 3500x seperti telihat pada Gambar 18.b. Pori yang terbentuk mengarah pada pembentukan makrovoid sehingga perlu dicari suatu pemecahan untuk mengatasi keadaan ini. Menurut Mahendran et al. (2004), makrovoid dapat juga diatasi dengan penambahan pelarut pada bak koagulasi.
3.2.4. Kompaksi
Membran yang telah dihasilkan, terlebih dahulu dilakukan kompaksi. Kompaksi menggunakan tekanan transmembran (TMP) yang lebih tinggi dari TMP yang akan dioperasikan (1,2 bar), sehingga digunakan TMP 2 bar. Kompaksi dilakukan dengan mengalirkan air melewati membran dengan luas efektif 12,56 cm2 hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi untuk semua membran menunjukkan penurunan fluks sampai menit ke tigapuluh, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Penurunan fluks air hingga mencapai suatu nilai yang mendekati konstan disebabkan oleh struktur pori membran menjadi lebih rapat karena terjadinya proses deformasi mekanik pada matriks membran akibat tekanan yang diberikan. Membran hasil kompaksi menjadi lebih kaku (Mahendran et al., 2004).
Tabel 12. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar Rasio PEG vs SA 0 10% 10% 10% 20% 20% 20% 30% 30% 30%
Berat PEG (MW) Murni SA 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da
10 183 218 199 193 221 212 196 240 226 212
Fluks Air (L/m2.jam) pada menit ke20 30 180 169 207 202 191 186 177 174 207 202 202 197 185 185 226 218 212 202 202 202
40 169 202 186 174 202 197 185 218 202 202
Tabel 13. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG/SDA 20%. Berat PEG (MW) Murni SA
1450 Da
Suhu Koagulasi (oC) 15 30 50 15 30 50
10 188 183 221 207 221 234
Fluks Air (L/m2.jam) pada menit ke20 30 174 169 180 169 207 207 196 191 207 202 218 218
40 169 169 207 191 202 218
4000 Da
6000 Da
15 30 50 15 30 50
202 212 226 177 196 212
191 202 215 166 185 196
180 197 213 164 185 191
180 197 213 164 185 191
Pada penelitian Radiman et al. (2002), waktu kompaksi terhadap membran Polisulfon pada TMP 2 kg/cm2 (sekitar 2 bar) dicapai ketika fluks konstan setelah 30-45 menit. Sementara itu waktu kompaksi selama 20 menit pada TMP 3 atm (sekitar 3 bar) telah dihasilkan oleh Piluharto (2003) terhadap membran selulosa berbasis selulosa mikrobial. Sedangkan Mahendran et al. (2004) memerlukan waktu kompaksi selama 4-5 jam pada TMP 414 kPa (sekitar 4 bar) terhadap membran komposit selulosa asetat-polietersulfon. Studi tentang kompaksi paling banyak dipakai untuk membran reverse osmosis(RO) karena tekanannya yang tinggi. 3.2.5. Fluks Permeabilitas merupakan parameter utama dalam pengujian kinerja suatu membran yang menunjukkan banyaknya permeat yang melewati membran persatuan waktu persatuan luas. Permeabilitas lebih sering dinyatakan sebagai fluks. Karakteristik membran terhadap fluks dari hasil semua perlakuan pada pembuatan membran dijelaskan di bawah ini. Fluks pada setiap pembahasan diambil pada kondisi tunak.
3.2.5.1. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Penambahan PEG Fluks membran dari formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG telah dibandingkan dengan formula membran tanpa PEG. Tujuan penambahan PEG sebagai porogen agar distribusi pori lebih merata. Fluks yang dihasilkan pada formula membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Fluks Air (L/m2.jam)
140
121
120 100 80
110 83
74
60 40 20 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 19. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 131,502 132 Fluks Air (L/m2.jam)
140
110
120 100
74
89
80 60 40 20 0
Murni 1 SDA
PEG/SDA 2 10%
PEG/SDA 20% 3
PEG/SDA 30% 4
Formula membran
Gambar 20. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa fluks air dari formula membran tanpa PEG lebih rendah dibandingkan formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA. Pada pembuatan membran tanpa PEG, pori membran yang terbentuk sangat ditentukan dari jumlah konsentrasi polimer awal yang digunakan. Konsentrasi polimer yang tinggi akan membentuk lapisan permukaan membran dengan porositas yang rendah karena fraksi volume dari polimer naik, dan demikian sebaliknya. Pori yang terbentuk tidak tersebar dengan baik ketika proses diffusi antara DMF dan air berlangsung. Sedangkan pada
penambahan PEG, pori yang terbentuk menjadi bertambah dan tertata dengan lebih teratur, seperti telah dilihat sebelumya pada Gambar 14. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumlah molekul PEG yang telah mengisi matriks membran ikut larut ke dalam air sehingga meninggalkan pori pada membran. Terbentuknya pori dari membran tersebut menghasilkan fluks yang lebih tinggi . Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks dari larutan Dekstran (12 kDa). Hubungan fluks yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan membran penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. 95
Fluks Dekstran (L/m2.jam)
100 90 80 70
78 71
69
60 50 40 30 20 10 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 21. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 91
Fluks Dekstran (L/m2.jam)
100 90 80
69
72
78
70 60 50 40 30 20 10 0
Murni1SDA
2 10% PEG/SDA 3 20% PEG/SDA Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 22. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks yang dihasilkan oleh BSA (67 kDa) juga mempunyai kecenderungan yang sama seperti pada fluks air dan dekstran. Hubungan fluks BSA yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24. 90
83
Fluks BSA (L/m2.jam)
80
72
70
62
62
60 50 40 30 20 10 0 Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Formula membran
Gambar 23. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 81
90
Fluks BSA (L/m2.jam)
80
62
69
72
70 60 50 40 30 20 10 0 1 Murni SDA
2 3 PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 24. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 3.2.5.2. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Berat Molekul PEG Olmos et al. (2008) menyatakan bahwa viskositas larutan polimer (larutan cetak) akan naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas larutan cetak menyebabkan diffusi antara pelarut (DMF) dan bukan-pelarut (air) menjadi lebih lambat. Membran yang dihasilkan sangat menentukan fluks dari membran tersebut. Fluks air dari membran dengan berbagai berat molekul PEG dapat dilihat
Fluks air (L/m2.jam)
pada Gambar 25.
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG (Da)
Gambar 25.
Hubungan fluks air10% (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai 20% 30% berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fluks air menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Hal ini disebabkan karena viskositas larutan cetak yang dimiliki menjadi lebih tinggi sehingga affinitas antara DMF dan air menjadi berkurang pada saat diffusi berlangsung. Terdapat sejumlah kecil molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat sehingga pori yang terbentuk lebih sedikit. Jari-jari girasi (Rg) dari rantai PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG, dimana Rg = 0,0215 Mw0,583 (Chou et al., 2007). Akibat dari proses diffusi yang terjadi tersebut, diperkirakan porositas membran menurun sehingga fluks yang dihasilkan juga menurun. Pendapat tersebut didukung dari hasil penelitian Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan
bahwa penambahan porogen PEG dengan berat molekul yang semakin tinggi dalam larutan cetak menurunkan porositas membran demikian sebaliknya. Fluks air tertinggi diperoleh sebesar 146 L/m 2.jam dari membran dengan penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30%. Kecenderung yang sama juga dihasilkan fluks dari dekstran dan BSA (Gambar 26 dan Gambar 27). Fluks tertinggi untuk larutan dekstran dan BSA diperoleh sebesar 114 L/m 2.jam dan 96 L/m2.jam dari formula membran dengan penambahan PEG 1450 Da dan rasio
Fluks desktran (L/m2.jam)
PEG/SDA 30%. 120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat molekul PEG 10%
Gambar 26.
20%
30%
Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
10%
20%
6000 Da
30%
Berat Molekul PEG
Gambar 27.
Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.5.3. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagi Rasio PEG/SDA Rasio PEG/SDA meningkat berarti semakin banyak molekul PEG mengisi matriks selulosa asetat. Molekul PEG tersebut akan larut dalam air pada bak koagulasi ketika peristiwa diffusi berlangsung dan meninggalkan pori pada matriks selulosa asetat. Rasio PEG/SDA yang lebih tinggi akan meninggalkan pori dengan jumlah yang lebih besar sehingga fluks yang dihasilkan lebih besar pula, seperti terlihat pada Gambar 28. Fluks tertinggi dihasilkan dari formula membran dengan penambahan PEG pada rasio PEG/SDA 30% (PEG 1450 Da) sebesar 146 L/m2.jam.
Fluks air (L/m2.jam)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA (%) 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 28. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks yang dihasilkan dari larutan standar dekstran dan BSA dengan fluks tertinggi untuk dekstran adalah 114 L/m2.jam dan 96 L/m2.jam, seperti terlihat pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Fluks dekstran (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 29. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 30.
4000 Da
6000 Da
Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.5.4. Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Suhu koagulasi. Semakin tinggi suhu air pada bak koagulasi, semakin cepat diffusi yang terjadi antara pelarut DMF dan air sehingga membentuk sejumlah besar pori. Demikian juga, semakin banyak molekul PEG yang larut maka jumlah pori yang meninggalkan matriks selulosa diasetat lebih banyak sehingga fluks meningkat. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa fluks air semakin meningkat dengan naiknya suhu koagulasi baik dengan penambahan PEG maupun tanpa penambahan PEG. Dalam hal ini diperkirakan porositas membran yang dihasilkan meningkat pada suhu koagulasi yang lebih tinggi. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2005) yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu koagulasi dari 25 oC sampai 70oC akan menaikkan porositas membran sehingga fluks meningkat. Demikian juga menurut Saljoughi et al. (2010) dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa semakin rendah suhu koagulasi akan menurunkan porositas membran sehingga fluks menurun. Fluks air tertinggi dihasilkan dari membran pada suhu koagulasi 50oC dengan penambahan PEG1450 Da (PEG/SDA 20%) sebesar 129 L/m2.jam
Fluks air (L/m2.jam)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 31. Hubungan antara fluks air dengan berbagai suhu koagulasi (TMP 1,2 bar; suhu kamar / rasio PEG/SDA 20%)
Fenomena serupa terjadi pada fluks larutan dekstran dan BSA, seperti terlihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. Adapun fluks tertinggi yang dihasilkan oleh larutan dekstran dan BSA berturut-turut adalah 119 L/m2.jam dan 96 L/m2.jam pada formulasi membran yang sama. Hasil lengkap nilai fluks untuk air,
Fluks dekstran (L/m2.jam)
dekstran, dan BSA dapat dilihat pada Lampiran 36.
140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 32. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%)
Fluks BSA (L/m2.jam)
120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Gambar 33. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%)
3.2.6. Rejeksi Selektivitas merupakan ukuran kemampuan membran untuk menahan suatu spesi. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter: retensi (R) atau faktor pemisahan (α). Pada penelitian ini, selektivitas dinyatakan sebagai retensi/rejeksi (R).
3.2.6.1. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Penambahan PEG Selain fluks, rejeksi termasuk parameter untuk melihat kinerja membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Tujuan penambahan PEG pada membran yang dihasilkan dapat meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran. Semakin teratur pori-pori yang terbentuk maka semakin bagus membran yang dihasilkan. Rejeksi dekstran dari membran dengan formulasi penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA telah dibandingkan dengan rejeksi dekstran dari membran tanpa PEG. Hasil rejeksi dekstran tersebut dapat dilihat pada Gambar 34 dan Gambar 35.
Rejeksi Desktran (%)
60
54.83
55.96
56.18
56.34
Murni SDA
1450 Da
4000 Da
6000 Da
50 40 30 20 10 0
Formula membran
Gambar 34. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 70
55,83
59,01
56,18
53,34
Rejeksi Dekstran (%)
60 50 40 30 20 10 0 1 Murni SDA
2 3 PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% Formula membran
4 PEG/SDA 30%
Gambar 35. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Rejeksi dari formulasi membran dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Keadaan ini juga terjadi pada fluks yang dihasilkan seperti telah dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Hal tersebut diperkirakan karena pori yang terbentuk lebih banyak pada membran dengan penambahan PEG dan distribusi ukuran pori
membran menjadi lebih beragam sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Berdasarkan hasil fluks dan rejeksi yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa penambahan PEG pada pembuatan membran membuat porositas membran meningkat dan distribusi ukuran pori membran menjadi lebih sempit sehingga fluks dan rejeksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingakan membran tanpa PEG. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada rejeksi BSA dari formulasi membran tersebut. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 36 dan 37. 90
Rejeksi BSA (%)
80
78.72
79.5
82.4
Murni SDA
1450 Da
4000 Da
86.4
70 60 50 40 30 20 10 0 6000 Da
Formula membran
Gambar 36. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 84,20 90 82,40 80,60 78,72 Rejeksi BSA (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Murni 1 SDA
PEG/SDA 2 10%
PEG/SDA 3 20%
PEG/SDA 4 30%
Formula membran
Gambar 37. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)
.
3.2.6.2. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Berat Molekul PEG Penambahan PEG dapat menaikkan viskositas larutan. Semakin besar berat molekul PEG, maka viskositas larutan semakin tinggi karena viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas ini menghambat diffusi yang terjadi antara DMF, PEG, dan air. Rejeksi suatu zat terlarut juga sangat ditentukan dari hasil proses diffusi terbentuknya membran. Menurut Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010), porositas membran menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar
Rejeksi dekstran (%)
38.
60 50 40 30 20 10 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG
10%
20%
30%
Gambar 38. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 38 dapat dilihat bahwa pada rasio PEG/SDA yang sama, rejeksi yang dihasilkan dekstran cenderung sama walaupun berat molekul PEG berbeda. Rejeksi dekstran yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 53-59%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pori membran yang dihasilkan masih sangat besar dibandingkan ukuran partikel dekstran sehingga masih banyak partikel dekstran lolos sebagai permeat. Jumlah partikel dekstran yang tertahan pada permukaan membran hampir sama untuk semua formulasi membran. Keadaan inilah yang mengakibat rejeksi yang dihasilkan mendekati sama walaupun porositas membran menurun dengan naiknya berat
molekul PEG. Sementara itu dari Gambar 39 dapat dilihat rejeksi yang dihasilkan BSA meningkat dengan naiknya berat molekul PEG. Peningkatan rejeksi tersebut disebabkan karena porositas membran menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa viskositas larutan yang
semakin tinggi dengan naiknya berat molekul PEG
membuat diffusi yang terjadi antara DMF dan air semakin terhambat sehingga molekul PEG yang berdiffusi ke air dan meninggalkan matriks membran juga semakin sedikit. Keadaan ini membuat porositas membran menurun karena jumlah luas
pori membran yang terbentuk lebih kecil dibandingkan luasan
membran yang digunakan, sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi tinggi.
Rejeksi BSA (%)
100 80 60 40 20 0 1450 Da
4000 Da
6000 Da
Berat Molekul PEG 10%
Gambar 39.
20%
30%
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)
Selain itu, peningkatan rejeksi dapat disebabkan karena pori membran yang dihasilkan mendekati sama dengan ukuran rata-rata partikel BSA. Rejeksi BSA yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 77% (±6) – 94% (±6).
Rejeksi 77% menunjukkan bahwa pori membran yang
dihasilkan masih lebih besar dibandingkan pori membran dengan rejeksi 94%. Menurut Mahendran et al. 2004, MWCO membran dapat ditentukan dengan mengidentifikasi zat terlarut bila suatu zat terlarut dengan berat molekul yang paling rendah mampu direjeksi sekitar 80-90% dengan menggunakan suatu larutan standar pada ukuran tertentu. Berdasarkan nilai rejeksi yang telah diperoleh, maka ukuran pori membran berada sekitar 67 kDa. Rejeksi tertinggi
dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula PEG 6000 dengan rasio PEG/SDA 10% yaitu sebesar 59% dan 94%.
3.2.6.3. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Rasio PEG/SDA Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan dalam larutan cetak pada pembuatan membran, maka semakin banyak molekul yang mengisi matriks membran tersebut. Selanjutnya, dalam proses diffusi DMF dengan air, molekul PEG tersebut akan larut dalam air dengan jumlah yang besar juga sehingga meninggalkan pori pada membran sejumlah molekul yang larut. Hasil rejeksi untuk dekstran dapat dilihat pada Gambar 40.
Rejeksi dekstran (%)
60 50 40 30 20 10 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 40.
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
Pada Gambar 40, untuk setiap berat molekul PEG dapat dilihat rejeksi dekstran menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA, walaupun tingkat penurunan sangat kecil. Rejeksi yang dihasilkan sekitar 53-59%. Hal ini disebabkan karena ukuran pori membran yang dihasilkan masih terlalu besar dibandingkan ukuran molekul dekstran, sehingga masih terdapat sejumlah besar molekul desktran yang lolos melalui pori membran. Demikian juga pada Gambar 41 rejeksi BSA yang dihasilkan menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA. Tingkat penurunan yang terjadi juga sangat
kecil. Rejeksi yang dihasilkan berada dalam kisaran 77% (±6) – 94% (±6). Namun apabila dilihat dari nilai rejeksi, maka dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran mendekati ukuran molekul BSA. Rejeksi tertinggi dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula rasio PEG/SDA 10% dengan berat molekul
Rejeksi BSA (%)
PEG 6000 yaitu sebesar 59% dan 94%. 100 80 60 40 20 0 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Rasio PEG/SDA 1450 Da
Gambar 41.
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)
3.2.6.4. Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagi Suhu Koagulasi Proses diffusi suatu larutan berjalan sangat lambat bila koagulasi berlangsung pada suhu rendah karena viskositas larutan tersebut menjadi tinggi. Dengan demikian, semakin rendah suhu koagulasi maka pelarut DMF dan PEG yang berdiffusi dalam air semakin sukar larut sehingga rejeksi dekstran dan BSA dari membran yang dihasilkan tersebut lebih tinggi dibandingkan rejeksi membran hasil koagulasi pada suhu tinggi. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.
Rejeksi dekstran (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
Gambar 42.
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
Rejeksi BSA (%)
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG
Gambar 43.
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%)
Hasil penelitian Cai et al. (2007) menunjukkan bahwa membran hasil koagulasi pada suhu rendah akan cenderung memiliki ukuran pori yang relatif kecil dibandingkan membran hasil suhu koagulasi pada suhu yang lebih tinggi. Pendapat ini diperkuat juga oleh hasil penelitian Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan bahwa suhu koagulasi rendah akan menurunkan porositas membran, sehingga menghasilkan rejeksi yang tinggi. Dengan demikian, rejeksi meningkat dengan turunnya suhu koagulasi dari membran yang dihasilkan pada penelitian ini diperkirakan ukuran pori yang terbentuk kecil. Pendapat ini didukung dari hasil analisa SEM seperti yang telah dilihat pada Gambar 18.a. Rejeksi tertinggi dari dekstran dan BSA diperoleh dari formulasi membran dengan penambahan PEG 6000 Da (PEG/SDA 20%) pada suhu koagulasi 15oC yaitu sebesar 63% dan 91%.
3.2.7. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) Membran Molecular Weight Cut-Off (MWCO) didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80-90% dapat direjeksi oleh membran (Mahendran et al., 2004). Nilai rejeksi dapat diperoleh setelah dilakukan pengukuran konsentrasi zat padat terlarut pada permeat dengan menggunakan larutan standar. Konsentrasi umpan dan permeat ditentukan dengan menggunakan alat sepktrofotometer. Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurements) merupakan metoda yang paling banyak digunakan dalam mengkarakteristik membran berpori. Dari berbagai variasi formulasi membran yang telah dihasilkan diperoleh rejeksi terhadap larutan standar dekstran (12 kDa) berkisar 50-66% dan rejeksi larutan standar BSA (67 kDa) berkisar 80-96%. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran berada pada ukuran maksimal 67 kDa. Menurut Osada dan Nakagawa (1992) membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau MWCO sekitar 103-106 Da. Ukuran pori membran yang dihasilkan ini masih termasuk kategori membran dengan jenis proses ultrafiltrasi. Fluks dan rejeksi tertinggi dihasilkan dari hasil rancangan proses membran pada koagulasi suhu kamar dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 1450 30 FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 6000 10
FLUKS (L/m2.jam) Air Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 146
114 96 REJEKSI (%) Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 59
94
Penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30% menghasilkan fluks tertinggi karena diperkirakan porositas membran yang dihasilkan lebih tinggi dan
didukung dengan jumlah molekul PEG yang lebih banyak. Tetapi rejeksi tertinggi dihasilkan pada penambahan PEG 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%. Hal ini dikarenakan porositas membran yang dihasilkan lebih kecil serta jumlah molekul PEG yang lebih sedikit. Sementara itu fluks dan rejeksi tertinggi yang dihasilkan dari rancangan proses pembuatan membran rasio PEG/SDA 20% dapat dilihat pada Tabel 15. Fluks tertinggi dihasilkan dari membran pada penambahan PEG 1450 Da dengan suhu koagulasi 50oC. Molekul PEG sangat cepat larut pada suhu tinggi dan meninggalkan
pori
pada
padatan
membran
selulosa
diaseat
sehingga
menghasilkan fluks yang tinggi. Rejeksi tertinggi diperoleh dari membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada suhu koagulasi 15 oC. Pada koagulasi suhu rendah, relatif ikatan antarmolekul hidrogen dalam membran selulosa asetat sangat kuat sehingga pori yang terbentuk sangat rapat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis SEM seperti telah didilihat pada gambar 18. a. Tabel 15. Formulasi membran (perubahan suhu koagulasi, rasio PEG/SDA 20%) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). FORMULASI Berat Suhu molekul koagulasi PEG (Da) (oC) 1450 50 FORMULASI Berat Rasio molekul PEG/SDA PEG (Da) (%) 6000 15
FLUKS (L/m2.jam) Air Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 129
119 103 REJEKSI (%) Dekstran BSA (12 kDa) (67 kDa) 63
91
Berdasarkan hasil pada Tabel 14 dan Tabel 15, dapat dilihat bahwa fenomena fluks dan rejeksi yang bertolak belakang masih terjadi pada membran dengan penambahan PEG. Membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga optimasi membran perlu dilakukan untuk mendapatkan fluk dan rejeksi yang tinggi pada suatu formulasi membran yang sama.
Pada Tabel 14 dan Tabel 15 dapat dilihat juga bahwa fluks dekstran dan BSA tidak begitu jauh berbeda dari fluks air. Fluks zat terlarut dipengaruhi oleh fluks total. Fluks yang keluar melalui pori membran sebagai permeat merupakan fluks total, yaitu penjumlahan dari fluks pelarut dan fluks zat terlarut (Christin, 2005). Konsentrasi zat terlarut dan sifat-sifat zat terlarut pada permukaan juga mempengaruhi fluks (Benziger dan Aksay, 199). Oleh karena konsentrasi zat terlarut dekstran dan BSA yang digunakan dalam keadaan encer (200 ppm) sehingga fluks total yang dihasilkan sebagai permeat mendekati fluks total komponen murni air. Fluks yang dihasilkan tersebut masih berada dalam kisaran membran jenis ultrafiltrasi, yaitu 20 – 200 L/m2.jam untuk setiap satu bar tekanan transmembran (Wenten, 1999). Rejeksi larutan standar dekstran (12 kDa) lebih kecil dibandingkan dari rejeksi larutan standar BSA (67 kDa). Ini menunjukkan bahwa membran tersebut mempunyai ukuran pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 12 kDa lebih sedikit dibandingkan jumlah pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 67 kDa.
Tahap 4. Uji Aplikasi Membran Beberapa industri agro dapat berkembang melalui inovasi, peningkatan kapasitas produksi, pengenalan, dan pembaruan teknologi. Salah satu pembaruan teknologi yang memiliki peluang yang sangat bagus, keunggulan dan menambah lingkup kegiatan industri di Indonesia adalah penerapan teknologi membran (Aspiyanto, 2003). Uji penerapan teknologi membran terhadap membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon telah dilakukan pada dua contoh bidang industri yang berbeda. Diharapkan teknologi membran mampu menggantikan sebagian teknologi konvensional untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih baik. Adapun formula membran yang digunakan yaitu membran yang dihasilkan dari penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi yang berlangsung pada suhu kamar. Alasan pemilihan formula tersebut karena menghasilkan fluks tertinggi dari formula membran hasil koagulasi pada suhu kamar.
4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Membran yang dihasilkan pada penelitian ini telah diterapkan pada uji aplikasi terhadap peningkatan kadar Patchouli Alcohol (PA) dari minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Minyak nilam terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan, yaitu hidrokarbon (40%-45%) dan oxygenated hydrocarbon (55-60%). Golongan oxygenated hydrocarbon lebih bersifat polar dibanding golongan hidrokarbon karena terbentuk dari unsur Carbon (C), Hidrokarbon (H), dan Oksigen (O). Patchouli alkohol bersifat hidrofilik karena mengandung gugus (OH). Komponen-komponen minyak nilam yang tergolong dalam oxygenated hydrocarbon adalah: patchouli alkohol, seychellena, α-patchoulena, δ-guaiena, βpatchoulena, dan α-guaiena. Komponen-komponen tersebut termasuk komponen penyusun minyak nilam yang terbesar. Komponen terbesar dikandung oleh patchouli alkohol (PA) sekitar 32% dari jumlah total komponen minyak nilam. Berat molekul komponen-komponen penyusun minyak nilam relatif sama, yaitu berkisar 200 (Tabel 10) dan patchouli alkohol memiliki berat molekul 222,37. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat berdasarkan sifat hidrofobisitas. Membran selulosa asetat mempunyai sisi aktif gugus hidroksi (-OH) dan karbonil (CO) yang juga bersifat polar. Breaken et al. (2005) menyatakan pemisahan komponenkomponen larutan organik yang mempunyai molekul-molekul dengan berat molekul yang hampir sama dapat dilakukan dengan membran berdasarkan sifat hidrofobisitas antara membran dengan komponen-komponen tersebut. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam yang digunakan pada penelitian ini dan hasil filtrasi dari membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 44. Tabel 16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam Parameter Warna Bobot jenis ,25oC/25oC Indeks bias ,nD20 Bilangan asam Bilangan ester
Minyak Nilam kuning muda-coklat kemerahan 0,965 1,515 0,50 12,65
Larut jernih (perbandingan volume 1:10) 32,60%
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1.2
1.4
Fluksi minyak nilam (L/m2.jam)
Kadar Patchouli Alkohol (%)
Kelarutan dalam etanol 90%,20 oC Patchouli Alkohol (C15H24)
1.8
Transmembran (bar) PA (%)
Fluks (L/m2.jam)
Gambar 44. Hubungan fluks dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi Dapat dilihat dari Gambar 44, terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol tekanan transmembran dari 32,60% menjadi 41,68%alkohol dengan naiknya tekanan transmembran filtrasi dari patchouli 1,2 bar sampai 1,4 bar masing-masing dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 101 L/m2.jam dan 134 L/m2.jam. Sifat kimia membran dapat digambarkan dari perbedaan polaritas. Apabila suatu membran memiliki sifat kepolaran yang hampir sama dengan kepolaran umpan, maka membran akan mempunyai permeabilitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena membran yang bersifat polar akan mudah menarik molekul umpan yang juga bersifat polar dan akan menolak molekul umpan yang non polar, demikian sebaliknya. Mekanisme pemisahan antara membran dengan komponen umpan berdasarkan sifat hidrofobisitas dilustrasikan pada Gambar 45.
ΔP Patchouli Alkohol
Komponen Minyak Nilam
Hidrofobik (non-polar) Hidrofilik (polar)
Membran SDA Hidrofilik-polar
Hidrofobik (non-poar)
Membran SDA Hidrofilik-polar
Gambar 45. Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas Oleh karena membran selulosa asetat dan patchouli alkohol mempunyai sifat hidrofilik, maka patchouli alkohol akan ditarik oleh selulosa asetat melalui ikatan hidrogen (Utmb, 2008). Gugus –OH dari patchouli alkohol akan berinteraksi dengan membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik serta mempunyai sisi aktif bersifat polar melalui ikatan hidrogen. Semakin tinggi tekanan transmembran berarti semakin besar energi yang diperlukan sebagai usahanya dalam memindahkan suatu komponen dari campuran umpan (Wijmans et al., 1995). Ini menunjukkan bahwa peningkatan tekanan mampu menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen yang terjadi antara patchouli alkohol dan selulosa asetat dengan lebih kuat sehingga patchouli alkohol dapat lolos sebagai permeat dan kadar patchouli alkohol menjadi meningkat. Tetapi dapat dilihat juga dari Gambar 45 bahwa pada tekanan transmembran yang lebih tinggi terjadi penurunan kadar patchouli alkohol menjadi 36,29% walaupun fluks yang dihasilkan semakin meningkat, yaitu menjadi 189 L/m 2.jam. Peningkatan tekanan yang lebih tinggi menyebabkan komponen penyusun minyak nilam lainnya yang bersifat polar mengalami interaksi dengan membran selulosa asetat dan ikut lolos sebagai permeat. Dari hasil yang telah diperoleh tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat jenis ultrafiltrasi berdasarkan perbedaan hidrofobisitas dengan tekanan transmembran yang digunakan kecil mengingat ukuran pori membran yang besar. Tekanan transmembran kecil digunakan untuk mengontrol kecepatan aliran komponen patchouli alkohol yang lolos sebagai permeat. Peningkatan kadar patchouli alkohol sudah memenuhi syarat ekspor perdagangan minyak nilam (38%). Peningkatan patchouli alkohol pada skala yang lebih besar akan lebih effesien apabila menggunakan modul membran yang berbentuk tube berupa hollow fiber. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yanyan et al. (2004) menggunakan distilasi fraksi pada tekanan 75 mmHg diperoleh kadar patchouli alkohol sebesar 49,9% dengan suhu titik didih distilat 80 oC -120oC. Hasil
penelitian Suryatmi (2008) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol seiring dengan meningkat suhu rotavapor. Peningkatan suhu rotavapor dari 120oC -135oC meningkatkan kadar patchouli alkohol dari 15,22% menjadi 54,85%. Umumnya proses pemisahan menggunakan suhu tinggi melibatkan perubahan fase sehingga memerlukan energi yang tinggi. Kebutuhan energi yang diperlukan berpengaruh terhadap biaya produksi. Kelemahan lain pada proses distilasi suhu tinggi yaitu mudah mengalami proses resinifikasi sehingga mengakibatkan kerusakan minyak yang dihasilkan dikenal dengan istilah distilled, atau berbau terbakar (burnt) serta warna yang dihasilkan menjadi keruh (Ketaren, 1985). Proses pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fase sehingga dapat bekerja pada suhu rendah dan tidak terjadi kerusakan pada komponen minyak nilam. Warna yang dihasilkan lebih jernih serta tidak tercium bau terbakar. Mutu minyak dapat dinyatakan dalam sifat organoleptik yang meliputi warna dan aroma. Warna minyak nilam merupakan salah satu syarat mutu walaupun tidak tercantum dalam standar mutu dan sangat mempengaruhi harga. Peningkatan patchouli alkohol menggunakan membran akan memberi hasil yang lebih baik apabila didukung dengan penyedian bibit/benih yang unggul dan teknik budidaya nilam yang baik untuk menghasilkan mutu minyak nilam yang lebih baik. Dilihat dari perbandingan teknologi yang digunakan, kelebihan dari teknologi membran adalah dalam penggunaan suhu yang rendah sehingga tidak memerlukan energi yang besar dan komponen yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan. Fane (1996) menyatakan bahwa pergantian 10% peralatan distilasi atau evaporasi konvensional dengan peralatan membran dapat menghemat 2 x 1017 J/tahun atau setara dengan 34 x 106 barel minyak/tahun (Mew-Ita, 2008). 4.2. Pemurnian Nira Tebu Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan, karena itu teknologi membran mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. Nira tebu merupakan salah satu bahan baku dalam proses produksi gula. Pemurnian nira diusahakan tidak terjadi kerusakan sukrosa dan gula pereduksi, karena mutu
gula kristal sangat berpengaruh dari hasil pemurnian nira yang jernih. Komponenkomponen penyusun pada nira mentah secara umum dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kompisisi penyusun nira tebu mentah* KOMPONEN KANDUNGAN (%) Sukrosa 10,74-11,67 Gula reduksi 1,04-1,25 Abu 0,48-0,6 Anorganik bukan gula (garam-garam) 0,2-0,6 Organik bukan gula (protein, zat warna, 0,05-10 asam-asam organik, dll) Air 77-80 Dalam industri gula proses pemurnian nira bisa memanfaatkan ultrafiltrasi
*Wulyoadi et al. (2004)
dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira, sehingga diperoleh nira dengan kemurnian kandungan sukrosa tinggi. Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap nira hasil penggilingan batang tebu adalah berwarna coklat kehijau-hijauan. Di dalam nira mentah masih mengandung banyak pengotor dapat dilihat dari warna larutan yang masih keruh dan perlu dihilangkan
untuk mendapatkan produk gula dengan
kualitas yang baik. Fluks permeat dari larutan nira yang dihasilkan secara
250
250
200
200
150
150
100
100
50
50
0
0 0.6
1.2
Fluksi Nira (L/m2.jam)
Fluksi Air (L/m2.jam)
ultrafiltrasi pada 3 variasi tekanan transmembran dapat dilihat pada Gambar 46.
1.8
Tekanan transmembran (bar) Fluks air (L/m2.jam)
Fluks nira (L/m2.jam)
Gambar 49. Hubungan fluks terhadap variasi tekanan transmembran
Dari
Gambar 46 dapat
dilihat
bahwa
semakin tinggi
tekanan
transmembran yang digunakan, fluks permeat yang dihasilkan juga semakin
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tekanan masih mempengaruhi fluks. Fluks tertinggi didapat pada tekanan transmembran 1,8 bar, yaitu sebesar 165 L/m2.jam. Karakterisasi larutan nira mentah dan hasil filtrasi berupa permeat pada tekanan transmembran 1,8 bar dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil menunjukkan bahwa terjadi perubahan karakterisasi pada larutan nira umpan menjadi permeat.
Tabel 18. Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Diasetat terhadap Larutan Nira Parameter pH Turbiditi (A) Tekanan transmembran (bar) Fluksi nira (L/m2.jam)
Umpan 5,25 90
Permeat 6,0 54 1,8 165
4.2.1. pH Pada Tabel 17 dapat dilihat terjadi sedikit perubahan nilai pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran tanpa mememerlukan tambahan bahan kimia. Ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan teknologi filtrasi membran. Nira tebu dalam keadaan segar berada dalam kisaran pH 5,5-6,0 (Ananta et al., 1990). Nira yang didiamkan beberapa waktu akan mengalami proses fermentasi. Sukrosa dengan sangat mudah dapat berubah menjadi gula invert. Apabila terdapat asam atau enzim dalam nira maka reaksi yang terjadi adalah inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa akan termentasi menjadi etanol oleh kehadiran mikroorganisme. Etanol kemudian mengalami proses oksidasi oleh bakteri Acetrobacter aceti menjadi asam asetat. Keadaan ini menyebabkan kadar asam meningkat sehingga pH pada umpan pada penelitian ini cenderung menurun. Sifat keasaman nira berpengaruh terhadap proses pemurnian karena semakin tinggi keasaman nira maka semakin banyak bahan kimia yang dibutuhkan untuk menetralkan keasaman. Pemurnian nira secara konvensional menggunakan kapur dan belerang untuk menaikkan dan menurunkan nilai pH. Hasil yang didapat pada penelitian ini, terjadi peningkatan
pH setelah dilakukan proses filtrasi menggunakan membran dari 5,25 menjadi 6,0. Hal ini menunjukkan proses filtrasi dengan membran dapat meminimalkan proses perubahan sukrosa menjadi gula invert. Apabila terjadi penurunan pH yang terlalu besar setelah proses filtrasi, berarti telah terjadi perubahan sukrosa menjadi gula invert sehingga kandungan sukrosa yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Kerusakan sukrosa yang kecil diperoleh bila pH nira berada disekitar titik netral atau sedikit basa, idealnya dalam kisaran 6,8-7,2. Menurut Notodjoewono (1970), kerusakan sukrosa sedikit sekali terjadi pada pH sekitar 7,2. Peningkatan pH hingga berada disekitar titik netral dapat dihasilkan pada penelitian ini bila nira mentah segera dilakukan pengolahan. 4.2.2. Turbiditi Menurut Mochtar et al. (1998), adanya beberapa komponen seperti sukrosa, gula reduksi, zat koloid dan kotoran tersuspensi seperti senyawa anorganik dan organik, zat warna, protein, lilin, dan karbohidrat menyebabkan terjadinya kekeruhan pada larutan nira. Analisis tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan aquades sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17 dimana terjadi penurunan turbiditi, yaitu sebesar 39,45% dari 90 (A) menjadi 54 (A). Walaupun hasil yang didapat sudah berada sedikit diatas nilai dari pemurnian nira secara konvensional (12%-38%), namum masih lebih rendah dari hasil yang pernah didapatkan oleh Wulyoadi et al. (2004) yaitu sebesar 54%. Ini menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan masih terdapat pori yang lebih besar dibandingkan komponen-komponen dalam larutan nira sehingga komponenkomponen tersebut terikut lolos sebagai permeat. Secara teknis, teknologi membran akan memberikan hasil proses yang lebih bersih, mempunyai warna yang lebih cerah, lebih hiegenis sehingga dengan mudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) bahkan standar dunia. Secara ekonomis, pemisahan menggunakan membran lebih hemat karena tidak memerlukan penambahan bahan kimia. Dari uji aplikasi yang telah dilakukan tersebut dapat didilihat bahwa dari segi teknis, proses pemisahan dan pemurnian dengan menggunakan teknologi
membran merupakan suatu keuntungan besar karena tidak membutuhkan energi yang besar dan tanpa penambahan bahan kimia sehingga menghasilkan hasil proses dengan mutu yang lebih baik. Dari segi ekonomis, penggunaan energi yang rendah dan tanpa penambahan bahan kimia tentunya akan menurunkan biaya produksi sehingga proses membran lebih ekonomis. Teknologi membran akan menjadi lebih ekonomis apabila penggunaan membran lokal berupa selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon semakin meningkat mengingat keberadaan akan tanaman tersebut sebagai bahan baku polimer membran terjamin secara kontinuitas, kuantitas, dan kualitas. Disamping masa tumbuh yang relatif singkat, harga tanaman sengon juga tidak terlalu tinggi dibandingkan harga tanaman kayu lainnya seperti jati, kamper,dan ulin. Saat ini, harga kayu sengon untuk setiap meter kubik berada dikisaran Rp. 650.000,000 – Rp. 800.000,000. Sementara harga kayu jati, kamper, dan ulin berturut-turut untuk setiap meter kubik adalah Rp. 7.000.000,000; Rp. 3.500.000,000; dan Rp. 15.000.000,000. Kelemahan yang dihadapi proses menggunakan membran adalah terjadinya lapisan endapan pada permukaan membran dan penyumbatan di dalam pori membran akibat terjadinya pengendapan partikel-partikel zat terlarut di dalam pori-pori membran. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan pengaturan laju alir. Penggunaan membran bersifat hidrofilik juga merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Solusi lain terhadap lapisan endapan yang terjadi pada membran dapat dilakukan dengan cara-cara: (1) mekanis, (2) hidrostatis, dan (3) pencucian kimia. Metoda mekanis berkaitan dengan metoda pencucian kimia yang memisahkan partikel dari partikel lain, khususnya partikel yang tidak sesuai dengan ukuran pori-pori membran. Sedangkan metoda hidrostatis menggunakan prinsip penyapuan partikel dalam membran hingga terjadi proses cross flow, untuk memisahkan partikel dengan partikel lain.
KESIMPULAN DAN SARAN.
1. Kesimpulan Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa diasetat (SDA). Selulosa diasetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul 130.221 Da diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi
selama satu jam
dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Suhu untuk semua tahapan proses berlangsung pada 50oC. Kondisi terbaik proses pembuatan membran secara inversi fasa dengan menggunakan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450, 4000, dan 6000 Da serta rasio PEG/SDA 10, 20, dan 30% adalah: proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut dimetilformamida 1 : 6 selama 2 jam pada suhu kamar, pendiaman larutan cetak selama 1 jam, lama penguapan 30 detik, serta kondisi koagulasi selama 2 jam pada suhu 15oC, kamar, dan 50oC. Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan (porositas) besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan
PEG
dengan
rasio
PEG/SDA
yang
semakin
meningkat
menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah. Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks (air, dekstran, dan BSA) dan rejeksi (dekstran dan BSA) sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan
porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO pori membran dengan larutan standar dekstran (12 kDa) dan BSA (67 kDa) yang didasari oleh nilai rejeksi 80-90% didapat ukuran pori membran maksimal 67.000 Da dan membran yang telah dihasilkan masih tergolong jenis proses ultrafiltrasi. Membran selulosa asetat hasil formulasi penambahan PEG pada berat molekul 1450 Da, rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi berlagsung pada suhu kamar dilakukan uji aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira tebu. Uji aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan berdasarkan prinsip perbedaan sifat hidrofobositas antara komponen yang dipisahkan dengan jenis polimer membran yang digunakan serta menggunakan transmembran yang rendah. Kadar patchouli alkohol tertinggi didapat sebesar 41,68% pada tekanan trasmembran 1,4 bar. Kadar Patchouli yang dihasilkan telah memenuhi standar minimum EOA, yaitu 38%. Uji aplikasi terhadap pemurnian larutan nira diperoleh karakteristik permeat dengan pH adalah 6,0 serta penurunan turbiditi sebesar 39,45%. Fluks tertinggi didapat pada tekanan transmembran 1,8 bar, yaitu sebesar 165 L/m2.jam. Dari uji aplikasi yang telah dilakukan tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemisahan dan pemurnian menggunakan teknologi membran merupakan suatu keuntungan besar. Proses pemisahan yang terjadi tidak mengalami perubahan fase sehingga tidak membutuhkan energi yang besar serta proses pemurnian yang dilakukan tidak menggunakan penambahan bahan kimia.
2. Saran Disarankan penambahan pelarut pada bak koagulasi yang berisi bukanpelarut untuk mencegah pembentukan makrovoid pada pembuatan membran berpori terutama pada suhu koagulasi tinggi. Optimasi membran pada penambahan PEG masih perlu dilakukan untuk mendapatkan porositas membran yang tinggi serta distribusi ukuran pori sesempit mungkin sehingga fluks dan rejeksi yang dihasilkan juga meningkat. Selanjutnya pada penentuan Molecular
Weight Cut Off (MWCO) pori membran sebaiknya menggunakan larutan standar yang sejenis dengan ukuran MWCO yang lebih beragam untuk mendapatkan ukuran dan distribusi pori membran yang lebih tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S.S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan PAU Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor Akhlus, S dan Widiastuti, N. 2005. Perolehan Kembali NaOH dari Limbah White Liquor Hasil Pengelantangan Sistem Fotosintizer Katil Bergerak. Akta Kimia Indonesia 1 (1/Oktober):35-40 Ananta, T., Martoyo, dan Santoso, E. 1990. Pengaruh Ekstraksi Padat Cair Terhadap Kualitas Gula yang Dihasilkan dari Proses Sulfitasi. Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541: 7406: 2-5. Anonymous. 2009. Minyak Atsiri. Trubus, 07 (Juni): 161 Amin, A.M. 2000. Pembuatan Membran Selulosa Asetat dari Tandan Kosong Sawit. Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia, ITS-Surabaya. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aripad. 2009. Pemurnian Virgin Coconout Oil (VCO) dengan Menggunakan Membran Selulosa Asetat (CA) secara Ultrafiltrasi. Tesis Pascasarjana Teknik Kimia– Politeknik Negeri Sriwiijaya. Aroon, M. A., Ismail, A. F., Rahmati, M. M. M., dan Matsuura, T. 2010. Morfologi and permeation properties of polysulfone membrane for gas separation: effects of non-solvent additives and co-solvent. ElsevierSeparation and Purification Technology. 72. 194-202. Aspyanto.2003. Penerapan Teknologi Membran di Bidang Pangan. Prosiding Seminar Tantangan Penelitian Kimia. American Society for Testing Materials 1960. Metode Analisis Kadar α-Selulosa. ASTM: D 1130-60 American Society for Testing Materials 1996. Metode Analisis Kadar Air dan Kadar Abu. ASTM D 871-96. Benziger, J. B., dan Aksay, I. A. 1999. Ultrafiltration of Polymer Solution. Chemical Engineering 346 Spring Term. Departement of Chemical Engineering Princeton University. Princeton, New Jersey 085444-5263. Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Ekspor. Buku 1 Badan Pusat Statistik Jakarta, hal. 19 di dalam: Suhirman, S. 2009.Aplikasi Teknologi Pemurnian untuk
Meningkatkan Mutu Minyak Nilam. Perkembangan Teknologi TRO 21 (1) Juni: 15-21. ISSN 1829-6289. Breaken, L., Ramaekers, R., Zhang, Y., Maes, G., Van der Bruggen, B., dan Vandecasteele, C. 2005. Influence hydrophobicity on retention in nanofiltration of aqueous solutions containing organic compounds. Journal of Membrane Sciences xxx: 1-9. Bydson, J.A. 1995. Plastic Material. 6th ed., Butterworth-Heinemann, London. Cai, J., Wang, L., dan Zhang, L. 2007. Influence of coagulation temperature on pore size and properties of cellulose membranes prepared from NaOHUrea agueous solution. Journal Cellulose 4 (3/June), ISSN 0969-0239. Campbell. 1973. Penemu: Process for the manufacture of celluloce acetate. U.S. Patent : 2,923,706. Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper. Chemistry and Chemical Technology. John Willey & Sons. New York. Cerqueira, D.A., Filho, G. R., Assuncao, R. M. N., Meireles, C. S., Toledo, L. C., Zeni, M., Mello, K., dan Duarte, J. 2008. Characterization of cellulose triacetate membranes, produced from sugarcane bagasse, using PEG 600 as additive. Journal Polymer Bulletin, 60 (2-3/March). Chaudhuri, R., dan Siladitya. 2003. The Effect of electric fields on macrovoid pores in polymeric membranes. http://drc.ohiolonk.edu/handle/2374/.oxi 9629. Cheryan, M. 1998. Ultrafiltration and Microfiltration Handbook. Technomic Publication Company, Inc. Lancaster, Pennsylvania-U.S.A. Chou, W. L., Yu, D., dan Yang, M.C. 2005. Influence of coagulation temperature and on-line drawing on the mechanical properties and permeation performance of cellulose acetate hollow fibers. Journal Polymer Research, 12(3/June): 219-229. ISSN: 1022-9760. Chou, W. L., Yu, D. G., Chien, M. dan Yang, C. H. J. 2007. Effect of molecular weight and concentration of PEG additives on morphology and permeation performance of cellulose acetate. Sciencedirect Separation and Purification Technology. Christin. 2005. Tinjauan Teori Transportasi Lintas Membran Secara Mikro. Jurnal Integral 10 (1). Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan: Harry Firman-Bandung. Penyunting: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. ISBN 979-8001-49-4.
Darmo, H. K., Adianto, T. dan Anggono, T.P. 2003. Upaya Penanganan Membran Fouling yang Terjadi pada Proses Membran Selulosa Asetat (CA) pada Pengolahan Limbah Textil. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 4 (2):120128. Darwis, A.A., Syamsu K., Suryani A. dan Desiyarni. 2003. Pembuatan Membran Filtrasi dari Selulosa Mikrobial. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX. Fateta IPB. Data BPS Sumut. 2007. Kebutuhan Selulosa Asetat di Indonesia. Day, R. A.Jr., dan Underwood, A.L. 1990. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi ke 4. Editor Penterjemah: Soendoro, R., Drs. Penerbit Erlangga, Jakarta. Desiyarni. 2006. Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi. Disertasi dari Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor-IPB. Dung, N.X., Leclercg, P.A., Thai, T.H., dan Moi, L.D. 1989. Chemical composition of patchouli oil from Vietnam. The Journal of Essential Oil Research. Vol (2): 99-100 di dalam Suhirman, S. 2009. Aplikasi Teknologi Pemurnian untuk Meningkatkan Mutu Minyak Nilam. Perkembangan Teknologi TRO 21 (1) Juni: 15-21. ISSN 1829-6289. Essential Oil Association of USA. 1975. EOA Spesifications and Standard. New York: EOA USA. Fengel, D. dan Wegener, G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin; Walter de Gruyter & Co. Berlin. Giriarso, J. P. 2009. Teknologi Membran, Teknologi Filtrasi Penyelamat Dunia. http://mistchego.blogspot.com/2009/01/teknologi-membran-teknologifiltrasihtml. Goosen, M. F. A., Sablani, S. S., Al-Hinai, H., Al-Obeidani, S., Al-Belushi, R., dan Jackson, D. 2004. Fouling of Reverse Osmosis and Ultrafiltration Membranas: A Critical Review. Separation Science and Technology, 39 (10):2261-2298. Marcel Dekker, Inc-USA. Han, J. 1998. Properties of Nonwood Fibers. Proceedings of the Korean Society of Wood Science and Technology Annual Meeting. ISSN 1225-6811 Harrison, I., Huttenhuis, P.J.G., dan Heesink, A.B.M. 2006. BIOCA-Biomass Streams to produce cellulose acetate. Department of Chemical Engineering, Twente University, Enschede, Procede Twente BV., Enschede, The Netherlands. Science in Thermal and Chemical Biomass Coversion. Edited by Bridgwater, A. V. dan Boocock, D. G. B. 1: 370-381
Himmelblau, D. M. 1996. Basic Principles and Calculation in Chemical Engineering, 2nd ed. Prentice Hall. Hiratsuko, N., Shiba, K., Shinomura, K., dan Hosaki, S. 1996. Rapid and highly sensitive colloidal siver staining on cellulose acetate membrane for analysis of urinary proteins. Juornal of Clinical Laboratory Analysis 10: 403-406 Husain, S. dan Koros, W. J. 2009. Macrovoids in hybrid organic/inorganic hollow fiber membranes. Ind. Eng. Chem. 48 (5): 2372-2379. Idris, A., Ismail.A. H., Iswandi, S., dan Shilton, S. J. 2001. Effect of methanol concentration on the performance of asymetric cellulose acetate reverse osmosis membranes using dry/wet phase inversion technique. Jurnal Teknologi, 34 (F) Jun : 39-50. Universiti Teknolgi Malaysia. Idris, A., Kormin, F., Zakiamani, M., dan Suput, M. 2005. The Effect of curring temperature on the performance reverse osmosis of thin film composite membrane. Jurnal Teknologi, 43 (F) Dis.: 51-64. Universiti Teknolgi Malaysia. Iijima, S., Shiba, K., Inoue, J., Yoshida, T., dan Kimura, M. 1997. Simultaneous analysis of microheterogeneity of immunoglobulins and serum protein fraction using high-voltage isoelectric focusing on six cellulose acetate membranes. Juornal of Clinical Laboratory Analysis 11: 220-224. Javiya, S., Yogesh, Gupta, S., Singh, K dan Bhattacharya, A. 2008. Porometry studies of the polysulfone membranes on addition of poly(ethylene glycol) in gelation bath during preparation. Journal of Mex. Chem. Soc. 52(2): 140-144, Sociedad Química de México ISSN 1870-249X. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Kim, J. H. and Lee, K. H. 1998. Effect of PEG additive on membrane. Journal of Membrane Science 138:153-163. Kirk, B.E. dan Othmer, D. F. 1993. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience Encyclopedia Inc., New York. Kiso, Y., Sugiura., Y., Kitao., T. dan Nishimura, K. 2001. Effects of hydrophobicity and molecular size on rejection of aromatic pesticides with nanofiltration membranes. Journal of membrane Science 192: 1-10. Kuo, C. M. dan Bogan, R. T. 1997. Penemu; Process for the manufacture of cellulose acetate. U.S. Patent. Patent : 5,608,050.
Kroschwitz, J.I. 1990. Concise Encyclopedia of Polimer Science and Engineering. John Wiley and Sons, Inc., Canada. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) situs. 2007. Pemurnian Minyak Atsiri Tingkatkan Nilai Ekonomis. http://doontreeofrose.wordpress.com/2008/10/05. Posted 5/10/2008. Mahendran, R., Malaisamy, R., dan Mohan, D. R. 2004. Cellulose acetate and polyethersulfone blend ultrafiltration membranes . Part I: Preparation and characterizations. Polymer Advanced Technologies 15: 149-157. Mallevialle, J., Odendaal, P. E., dan Wicsher, M. R. 1996. Water Treatment Memnbrane Process. McGraw Hill, New York di dalam Desiyarni. 2000. Produksi dan Karakteristik Membran Mikrofiltrasi dari Selulosa Mikrobial. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Market Intelligence, 2010. Pengembangan Perkebunan Tebu Menuju Swasembada Gula. http://www.datacon.co.id/Agri-2010Gula.html. Maryadhi, A. P. S. 2007. Pembuatan Bahan Acuan Minyak Nilam. Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI. Mew-Ita. 2008. Hemodialisis. ita.blog.friendster.com/2008/10/hemodialisis.
http:mew-
Michie, R.I.C. 1996. Pulp, Pap, Mag. Can. 67 T 461-468 di dalam Fengel, D. dan Wegener, G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin; Walter de Gruyter & Co. Berlin. Mochtar, M. dan Ananta, T.1998. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pasca Panen Tebu sebagai Bahan Baku Pabrik Gula. Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541: 7406: 7-8. Mulder, M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer Academic Publisher, Netherland. Mustaffar, M. I., Ismail, A. F., dan Illias, R. M. 2005. Study on the effect of polymer concentration on hollow fiber ultrafiltration membrane performance and morphology. Membrane Research Unit, Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, Locked Bag 791, 80990 Johor Bahru, Malaysia. Regional Conference on Engineering Education, Johor-Malaysia. Nahar. 2009. Pemurnian Minyak Nilam Hasil Penyulingan Industri Rakyat. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-SNTKI. ISBN 978-979-98300-1-2.
Nevell, T.P. dan Zeronian, S. H. 1985. Cellulose Chemistry and It’s Application. John Wiley and Sons, New York. Nopianto, E. 2009. http://eckonopianto.blogspot.com/2009/04/selulosa.html.
Selulosa
Notodarmojo, S., Mayasanty, D., dan Zulkarnain, T. 2004a. Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak dengan Proses Membran Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow. Proseding ITB Sains dan Teknologi 36A (1):45-62. Notodarmojo, S. dan Deniva, A. 2004b. Penurunan Zat Organik dan Kekeruhan Menggunakan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End. (Studi Kasus: Waduk Saguling, Padalarang) Cross-Flow. Proseding ITB Sains dan Teknologi 36A (1) : 63-82. Notodjoewono,R. A. W. 1970. Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541:7406: 1-5. di dalam Nubatonis, L.M. 2004. Kajian Aplikasi Teknologi Membran Pada Proses Pemurnian Nira Tebu. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Osada, Y. dan Nakagawa, T. 1992.Membrana Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Ott, E., Spurlin, H. M., dan Grafflin, M.W. 1954. Cellulose and Cellulose Derivates. Interscience Publisher Inc, New York. Pahkala, S. K. 2001. Nonwood Plants as Raw Material for Pulp and Paper. Dissertation, MTT Agrifood Research, Finland di dalam Harrison, I., Huttenhuis, P.J.G., Heesink, A.B.M. (2006). BIOCA-Biomass streams to produce cellulose acetate. Department of Chemical Engineering, Twente University, Enschede, Procede Twente BV., Enschede, The Netherlands. Science in Thermal and Chemical Biomass Coversion. Edited by Bridgwater, A. V. dan Boocock, D. G. B. 1: 370-381 Pari, G. 1996. Analisis Komponen Kimia dan Kayu Sengon dan Kayu Karet pada Beberapa Macam Umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan Visi dan Misi P3HN dan SEK. 14. (8) : 31. Piluharto, B. 2003. Kajian Sifat Fisik Film Lapisan Nata de Coco Sebagai Membran Ultrafiltrasi. Jurnal Ilmu Dasar .4 (1): 52-57. Putri, A. 2010. Indonesia akan mencapai swasembada gula pada 2014. Suara Merdeka, posted: 22 April 2010. Radiman, C.L.dan Eka, I. 2007. Pengaruh Jenis dan Temperatur Koagulasi terhadap Morfologi Karateistik Membran Selulosa Asetat. Makara, Sains. 11 (12/November)80-84.:
Rahayu, I., Ernawati, E., Ghina, A. Shynthesis and Characterization of Cellulose Acetate Hollow Fiber Membrane and With Additive Concentration Variation for Clarification of Guava Juice. 2000 Departement of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Sciences Padjajaran University, Bandung-Indonesia Rahmawati, N. 1999. Struktur Lignin Kayu Daun Lebar dan Pengaruhnya Terhadap Laju Delegnifikasi. Thesis Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rautenbach, R. dan Albrecht, R. 1982. Separation by Membranes. Ger. Chem. Eng. 5: 329-341 Report Description. 2004. Acetic Anhydride/Celulose Acetate. Nexant, Inc. San Francisco CA. RISO National Laboratory, Plant Research Department di dalam Harrison, I., Huttenhuis, P.J.G., Heesink, A.B.M. (2004). BIOCA-Biomass streams to produce cellulose acetate. Department of Chemical Engineering, Twente University, Enschede, Procede Twente BV., Enschede, The Netherlands. Science in Thermal and Chemical Biomass Coversion. Edited by Bridgwater, A. V. dan Boocock, D. G. B. 1: 370-381 Saka, S. dan Takanashi, K. 1998. Cellulose triacetate prepared from low grade hardwood dissolving pulp and its insoluble residues in acetylation medium. Journal of Applied Polymer Science 67 : 289-297. Saleh, N.J., Alhelaly, A., Samita, N.A., Alsalhy, Q. 2008. Effect of alcohol additives on the morphology and separation performance of polyetrhersulfone (PES) hollow fiber ultrafiltration membranes. Eng and Tech. 26 (12): 1451-1461. Saljoughi, E., Amirilargani, M., dan Mohammadi, T. 2010. Effect of PEG additive and coagulation bath temperature on the morphology, permeability and thermal/chemical stability of asymetric CA membranes. Science DirectDesalination, accepted 25 May 2010. Available online 30 June 2010. Sanjaya. 2001. Pengaruh Anhidridaasetat terhadap Struktur Molekular Kayu dalam Stabilisasi Dimensi Kayu Pinus Merkusi. FKIP, Universitas Sriwijaya. JMS. 6 (1). Sarmento, L. A. V., Machado, R. A. F., Bolzan, A., Spricigo, C. B., dan Petrus, J. C. C. 2004. Use of reverse osmosis membrane for the separation of lemongan essential oil and supercritical CO2. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 21 (02): 285-291 (April-June). ISSN 0204-6632. Printed in Brazil.
Schwarz, H. H. and Hicke, H. G. 1989. Influence of casting solution concentration on structure and performance of cellulose acetate membrane. Journal of Membrane Science 46 : 325-334. Scott, K. dan Hughes, R. 1996. Industrial Membrane Separation Technology. Balckie Academic and Profesionals, London. Shelton, M. C., Posey, D. J. 2004. Penemu: Low molecular weight cellulose mixed esters U. S. Patent 20040181009 di dalam Desiyarni. 2006. Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi. Disertasi dari Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor-IPB. Shibata, T. 2004. Cellulose acetate in separation technology. Macromol. Symp. 208: 353-369. Sjohstrom, E. 1981. Wood Chemistry, Fundamentals and Aplications. Finland. Smolders, C. A., Reuvers, A. J., Boom, R. M., dan Wienk, I.M. 1992. Microstructure in phase-inversion membranes. Part I: Formation of macrovoids. Journal of Membrane Science, 73 (2-3): 259-275. ISSN 03767388. SNI 06-2385-2006. Standar Mutu Minyak Nilam. Solvay. 2008. Solution Processing Guide for Polymer Membranes. Technical Bulletin, Solvay Advanced Polymer, LL. C. USA. http://www.solvaymembranes.com./static/wma/pdt/1/5/8/0/5/membrane_P roc_Guide.pdf. Sourirajan, S. dan Matsuura, T. 1985. Reverse Osmosis/Ultrafiltration, Process and Principles. Natioanal Research Council Canada, Ottawa, Canada. Steven, P. dan Malcolin. 2001. Polymer Chemistry: An Introduction. Oxford University Press, Inc. England. Terjemahan Sofyan, Iis.. Kimia Polimer. PT. Pradnya Paramita , Jakarta. Suryatmi, R. D. 2008. Fraksinasi Minyak Nilam. Prodising Konferensi Nasional Minyak Atsiri, 131-136 Suyati. 2008. Pembuatan Selulosa Asetat dari Limbah Serbuk Gergaji Kayu dan Identifikasinya. Tesis Pascasarjana FMIPA-Kimia, ITB-Bandung Tabuchi, M., Watanabe, K., Morinaga, Y., dan Yoshinaga, F.1998. Acetylation of bacterial cellulose; preparation of cellulose having a high degree of polymerisasi.
Utmb. 2008. Membrane Structure and Function. http://cellbio.utmb.edu/ cellbio.Tanggal aksses 13 November 2008. Wenten, I.G., Kresnowati, M. T. A. P. dan Beatrix. 1999. Development of Membrane Technology in Indonesia: Prospect and Challenges didalam Wenten, I. G. ”Teknologi Membran Industrial”. Penerbit Institut Teknologi Bandung.. Wenten, I.G. 2002. Future Industrial Prospect of Membrane Technology in Indonesia. http://www.floindo.com/. [artikel online]. White, D.G., Brown, R. M. 1983. Prospect for The Comercialization of The Biosynthesis of Microbial Cellulose di dalam Fengel, D. dan Wegener, G. (1984). Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin; Walter de Gruyter & Co. Berlin. Wijmans, L. G., dan Baker, R. W. 1995. The solution-diffusion model: A Review. Journal Membrane Science 107: 1-21. Wikipedia. 2007. The free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/polyetelene glycol. Wirjosentono. 1994. Penentuan Bobot Molekul. Analisis Polimer. Wulyoadi, S., Rosidi, I. dan Kaseno. 2004. Penerapan Teknologi Membran pada Proses Klarifikasi Nira Tebu di Pabrik Gula: Pengaruh Tekanan Operasi Membran pada Karakteristik Permeat. Industri Kimia Kecil dan Menengah, ISSN 1410-9891. BPPT-Puspiptek Serpong-Tangerang, Banten Yabune. 1984. U. S. Patent :. 4,439,605. Yanyan, F. N., Zainuddin, A., dan Sumiarsa, D. 2004. Peningkatan Kadar Patchouli Alcohol dalam Minyak Nilam (Patchouli Alcohol) dan Usaha Derivatisasi Componen Minornya. Perkembangan teknologi TRO, 16 (2): 72-78. Yamakawa, K., Matsuoka, K. dan Sato, T. 2003. Process for producing cellulose Acetate. U. S. Patent.: US 6,624,299 B2. Young, T.H.dan Chen,L.W. 1991. Effect of nonsolvent on the mechanism of wetcasting membrane formation from EVAL copolymers. Journal of Membranes Science, 59: 15-26. Young, T. H dan Chen, L. W. 1995. Pore formation mechanism of membranes from phase inversion process. Desalination 103 : 233-247.
Yoshinaga, F., Tonouchi, N. dan Watanabe, K. 1997. Research progress in production of bacterial cellulose any aeration and agitation culture and its
application as a new industrial material. Biosci, Biotech, Biochem. 6: 119224. Yudistira, A., Sufianti, N., Mahfud, dan Surono, S. 2010. Kristalisasi Minyak Nilam Melalui Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol dengan Metode Distilasi Vakum, Distilasi Uap, dan Distilasi dengan Metode Aerasi. Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS, Surabaya. http://digilib.its.ac.id. Zozouli, M. A., Ulbricht, M., Nasseri, S., Iran, H. S. 2010. Effect of hydrophilic and hydrophobic organic matters on amoxicillin and cephalexin residuals rejection from water by nanofiltration. J.Environ. Health. Sci. Eng. 7 (1): 15-24. Zeman, L. J., Zydney, A. L. 1996. Microfiltration and Ultrafiltration, Principles and Application. Marcel Dekker Inc. New York.
Lampiran 3.7.
Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (transmembran 1,2 bar; suhu kamar) dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar).
Rasio PEG vs SA (C)
Berat PEG (MW)
Fluksi Air Rata-rata (L/m2.jam)
Fluksi Dekstran (12.000 Da) Rata-rata (L/m2.jam)
0
Murni SA
73,855 ± 5,56
68,864 ± 4,44
10%
1450 Da
95,580 ± 7,22
76,433 ± 5,77
10%
4000 Da
88,994 ± 6,72
10%
6000 Da
20%
Fluksi BSA (67.000 Da) Rata-rata (L/m2.jam)
Rejeksi Dekstran (12.000 Da) (%)
Rejeksi BSA (67.000 Da) (%)
54,826 ± 4,14
78,724 ± 5,94
72,063 ± 5,44
58,980 ± 4,45
78,884 ± 5,96
71,599 ± 5,41
69,267 ± 5,10
59,006 ± 4,45
84,200 ± 6,36
64,476 ± 4,87
62,482 ± 4,72
60,932 ± 4,60
59,025 ± 4,46
93,600 ± 7,07
1450 Da
120,777± 12,72
95,351 ± 7,20
82,812 ± 6,25
55,960 ± 4,23
77,300 ± 5,84
20%
4000 Da
110,248± 11,62
78,256 ± 5,91
72,151 ± 5,45
56,175 ± 4,24
82,400 ± 6,22
20%
6000 Da
83,233 ± 8,77
70,906 ± 5,05
61,977 ± 4,68
56,343 ± 4,25
86,400 ± 6,52
30%
1450 Da
145,975 ± 15,38
114,268 ± 8,63
95,580 ± 7,22
52,938 ± 3,40
75,716 ± 5,72
30%
4000 Da
131,502 ± 13,85
90,807 ± 6,86
81,048 ± 6,12
53,343 ± 4,03
80,600 ± 6,09
30%
6000 Da
83,581 ± 8,81
71,685 ± 5,41
66,042 ± 4,91
53,660 ± 4,05
84,431 ± 6,41
61,913 ± 4,21
Lampiran 3.8.
Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (transmembran 1,2 bar; suhu kamar) dari berbagai formulasi membran (rasio PEG/SDA 20%).
Berat PEG (MW)
Suhu Koagulasi (oC)
Fluks Air rata-rata (L/m2.jam)
Fluks Dekstran rata-rata (L/m2.jam)
Fluks BSA rata-rata (L/m2.jam)
Rejeksi Dekstran (12.000 Da) (%)
Rejeksi BSA (67.000 Da) (%)
Murni SA
15
53,463 ± 4,04
48,985 ± 3,70
42,670 ± 1,61
56,540 ± 4,27
84,217± 6,39
1450 Da
30 50 15
73,855 ± 5,56 95,580 ± 7,22 95,580 ± 10,07
58,864 ± 4,44 81,243 ± 6,13 82,835 ± 6,25
57,913 ± 4,37 65,055 ± 4,91 74,074 ± 5,59
54,836 ± 4,14 53,540 ± 4,04 60,940 ± 4,60
78,724 ± 5,94 74,713 ± 5,64 85,600 ± 6,46
4000 Da
30 50 15
120,777 ± 12,.72 129,032 ± 13,59 87,888 ± 9,26
95,351 ± 7,20 119,475 ± 8,88 60,078 ± 4,54
82,812 ± 6,25 95,580 ± 7,22 56,813 ± 4,29
55,960 ± 4,22 50,940 ± 3,85 61,640 ± 4,65
79,950 ± 5,84 75,713 ± 5,72 88,050 ± 6,65
6000 Da
30 50 15
110,248 ±11,62 112,414 ± 11,84 75,241 ± 7,93
78,259 ± 5,91 105,138 ± 7,98 60,534 ± 4,57
72,151 ± 5,45 102,80 ± 7,58 53,434 ± 4,17
56,175 ± 4,24 53,240 ± 4,02 62,840 ± 4,74
82,400 ± 6,22 78,163 ± 5,90 90,620 ± 6,89
30 50
83,581 ± 8,77 99,559 ± 10,49
62,482 ± 5,05 97,704 ± 7,38
61,980 ± 4,68 92,970 ± 7,02
56,343 ± 4,25 55,740 ± 4,20
86,400 ± 6,52 82,750 ± 6,25
Lampiran 1. Analisis kadar selulosa (ASTM D 1130-60). Sebanyak satu gram contoh kering ditempatkan di dalam labu refluks dan ditambahkan 100 mL pereaksi ADF. Pereaksi ADF ini dibuat dengan melarutkan 80 g CTAB (C19H442BrN) dan 11127 mL H2SO4 ke dalam empat liter aquadestilat. Campuran selanjutnya dididihkan selama 10 menit yang kemudian direfluks selama satu jam. Campuran yang telah direfluks kemudian disaring dengan kaca masir yang telah diketahui bobotnya (W 1). Sisa saringan dibilas dengan air panas, aseton, dan heksan. Kaca masir beserta residu hasil bilasan tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 12 jam. Hasil yang diperoleh didinginkan dan ditimbang (W2). Kaca masir selanjutnya direndam dengan 25 ml H2SO4 72%. Perendaman dilakukan selama tiga jam dengan pengadukan setiap satu jam. Setelah tiga jam, kaca masir dan contoh dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Hasil pencucian dikeringkan dengan oven selama 12 jam dan setelah dingin kaca masir dan contoh ditimbang (W3). Kadar selulosa dinyatakan dengan rumus: Kadar selulosa (%) =
(W2 – W3) x 100% -------------------------Bobot contoh
2. Analisis kadar air (ASTM D 871-96). Pinggan aluminium dipanaskan pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (W1). Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam pinggan aluminium dan dipanaskan dalam oven 105 oC selama satu jam. Selanjutnya pinggan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Pemanasan dan pendinginan diulangi hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung dengan cara: (W1 – W2) Kadar air (%) = —————— x 100% Berat contoh 3. Analisis kadar abu (ASTM D 871-96). Cawan perabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Contoh dimasukkan ke dalam cawan dan dibakar dalam
tanur pada suhu 60oC sampai diperoleh abu. Selanjutnya sampel disimpan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung berdasarkan bobot kering (bk) dengan cara: bobot abu Kadar abu (% bk) = —————————— x 100% bobot contoh – bobot air
4. Analisis kadar asetil (ASTM D 871-96). Pengukuran kadar asetil dilakukan dengan metoda penyabunan heterogen. Contoh yang akan diuji dihancurkan hingga dapat melewati saringan 20 mesh. Contoh dikeringkan selama 2 jam pada suhu 105 ± 3 oC. Contoh kering dengan bobot 1 gram dimasukkan ke dalam erlemeyer, kemudian di tambahkan 40 ml etanol (75%) dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50 – 60oC. Setelah itu ke dalam contoh ditambahkan 40 ml larutan NaOH (0,5M) dan pemanasan dilanjutkan selama 15 menit pada suhu yang sama. Contoh kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 48-72 jam. Selanjutnya kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl (0,5M) dengan indikator fenolftalein. Contoh didiamkan selama 1 hari untuk memberi kesempatan bagi NaOH berdifusi. Selanjutnya contoh dititrasi dengan NaOH (0,5M) dengan indikator metil merah sampai terbentuk warna merah. Blanko dibuat dengan cara yang sama dengan contoh. Kadar asetil dihitung dengan rumus : Kadar Asetil (%) = ((D-C)Na + (A+B)Nb) x (F/W) Keterangan : A : mL NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi contoh B : mL NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi blanko C : mL HCl yang dibutuhkan untuk titrasi contoh D : mL HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko Na: normalitas HCl Nb: Normalitas NaOH F : 4,305 untuk kadar asetil dan 6,005 untuk kadar asam asetat W : bobot contoh (g).
5. Jumlah perolehan selulosa asetat (Himmelblau). Jumlah perolehan selulosa asetat yang dihasilkan dihitung dengan cara membandingkan bobot kering selulosa asetat yang diperoleh terhadap bobot kering selulosa yang digunakan. 6. Penetapan viskositas intrinsik [η] selulosa asetat dengan viskometer Ubbelohde. Contoh sebanyak ± 0.125 gram dilarutkan dalam 25 mL aseton p.a. hingga larut sempurna menjadi larutan dengan konsentrasi 3%. Pertama yang diukur adalah waktu alir aseton. Sebanyak 10 mL aseton dimasukkan dalam viskometer, kemudian viskometer dimasukkan ke dalam penangas yang telah berisi air dengan suhu konstan (25 oC) dan contoh siap diukur laju alirnya. Setelah pengukuran waktu alir aseton selesai, dilanjutkan dengan pengukuran waktu alir contoh. Sebanyak 10 mL contoh dimasukkan ke dalam viskometer lalu diukur waktu alirnya. Setiap contoh diukur pada lima konsentrasi larutan (3%, 2,5%, 2%, 1,5% dan 1%) dan setiap konsentrasi diukur minimal lima waktu alir dengan selisih yang tidak terlalu besar. Konsentrasi yang berbeda diperoleh dengan melakukan pengenceran pada viskometer dengan menambahkan sejumlah aseton. Dihitung rata-rata waktu alir aseton (t0), dan waktu alir tiap konsentrasi contoh (t1-t5). Setelah itu dihitung η relatif yaitu t1/t0 sampai dengan t5/t0. Kemudian dihitung η spesifik, yaitu (η relatif1 – 1) sampai dengan (η relatif5 – 1). Setelah itu dihitung η reduksi yaitu (η relatif1/konsentrasi1) sampai dengan (η relatif5/konsentrasi5) dan memplotkan data tersebut ke dalam grafik linier sehingga diperoleh persamaan y = a + bx, dimana x adalah konsentrasi dan y adalah η reduksi. Dari plot data tersebut diekstrapolasi ke konsentrasi nol sehingga menghasilkan nilai viskositas intrinsik [η] dari suatu larutan contoh.
C (%(g/mL))
Waktu (det)
3
t1 t2
152.67 152.00
t3 t4 t5 trata-rata Vis. Relatif Vis. Spesifik C Vis. Reduksi Vis. Intrinsik Mv
152.34 152.21 152.14 152.27 12.67454636 11.67454636 0.0300960 387.91023 58.549 130221
2.5 120.63 128.13 130.00 127.50 123.02 125.86 10.47577826 9.475778259 0.0250800 377.82210
2 85.43 92.87
1.5 53.78 55.06
83.38 84.52 89.11 87.06 7.246712169 6.246712169 0.0200640 311.33932
54.64 53.98 54.87 54.47 4.533544198 3.533544198 0.0150480 234.81820
Solvent
1 32.50 30.90
11.97 12.15
32.20 31.67 31.45 31.74 2.642250708 1.642250708 0.0100320 163.70123
12.01 12.08 11.86 12.01
V iis kos itas R eduks i
Vis kos itas Intrins ik D ias etat 450.000 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0.000 0.000
y = 11791x + 58.549 R 2 = 0.9552
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
K onse ntra si L a ruta n
7. Penetapan bobot molekul selulosa asetat relatif. Penetapan bobot molekul menggunakan data viskositas intrinsik dengan persamaan Mark dan Houwink Sakurada: [η] = K Mv
a
Sehingga:
Mv = ([η]/K)1/a Keterangan:
Mv
= Bobot molekul relatif
[η]
= Viskositas intrinsik
Pelarut
= aseton
K (35 oC) = 0,001333 mL/g; o
K (20 C) = 0,00238 mL/g;
a = 0.616 a =1
o
Interpolasi untuk suhu 25 C didapat: K (25oC) = 0,00203 mL/g; a = 0,872 (Nilai K dan a sesuai dari jenis pelarut dan suhu viskometer yang digunakan), sehingga didapat bobot molekul selulosa asetat adalah 130221.
8. Pengukuran ketebalan membran. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur tebal membran di lima titik yang berbeda. Hasil yang terbaca pada alat pengukur ketebalan dengan merk Heidenhain dirata-rata dan dinyatakan sebagai tebal membran.
9. Pengukuran kuat tarik membran (ASTM D 3967-92). Kuat tarik membran diuji dengan menggunakan tensometer. Membran dengan ketebalan ± 2 mm terlebih dahulu dipreparasi dengan ukuran 0,5 cm x 5 cm berada dalam keadaan kering. Pengujian dilakukan dengan menjepit membran yang telah dipreparasi tersebut pada kedua ujungnya. Kondisi awal alat yang dibutuhkan adalah load 0,0% dan stroke 0, kemudian alat dijalankan dengan kecepatan regangan 10 mm/menit. Pengunci batang penyempit dilepaskan dan motor dihidupkan untuk mengayun beban. Data yang dimasukkan adalah tebal dan lebar membran yang diukur. Besarnya gaya yang diperlukan untuk memutuskan membran dapat dibaca dari grafik yang dihasilkan secara otomatis . dengan satuan kgf.
10. Pengukuran fluksi air, dekstran dan bovin serum albumin - BSA (Scott dan Hughes, 1996). Fluksi adalah jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Fluksi volume dapat dinyatakan sebagai berikut: V Jv = ——— A.t
Dimana: Jv = fluksi volume (L/m2.jam) A = luas permukaan membran (m2) t = waktu (jam) V = volume permeat (L) Pengukuran fluksi dilakukan dengan menggunakan metode penyaringan silang (crossflow filtration). Proses filtrasi dilakukan pada suhu ruang. Proses pengukuran dilakukan dengan mengontrol suhu (umpan, permeat, rentetat), tekanan transmembran, dan laju alir. Larutan umpan yang digunakan adalah larutan aquadest, dekstran, dan BSA. Proses pengukuran fluksi dilakukan setelah pompa stabil. Untuk menstabilkan pompa dialirkan air selama 15-30 menit. Setelah pompa stabil, pengukuran fluksi dilakukan setiap 10 menit volume permeat yang mengalir dicatat sampai mendapatkan volume konstan.
11. Pengukuran rejeksi (Mulder, 1996). Umpan yang akan disaring terlebih dahulu diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer. Selanjutnya umpan dialirkan melewati membran dan permeat ditampung pada alat pengukur saat akan menetes dan ditunggu hingga
stabil.
Selanjutnya
diukur
konsentrasi
larutan
permeat
dengan
menggunakan spektrofotometer. Penentuan rejeksi dapat dilakukan dengan persamaan: R (%) = C umpan – C permeat) x 100% C umpan Dimana: R
: persentasi rejeksi
C umpan : konsentrasi senyawa dalam umpan C permeat : konsentrasi senyawa dalam permeat
12. Analisis kadar protein (Metode Lowry) a. Pembuatan pereaksi. 1. Natrium karbonat 2% dalam larutan NaOH 0,1 N.
2. Tembaga sulfat 0,5% dalam larutan Na-K-Tartarat 1% (dibuat saat digunakan). 3. Campuran 50 mL pereaksi (lt) dengan 1 mL pereaksi (2), (stabil 1 hari) 4. Pereaksi Folin Ciocalteau (pereaksi Folin), biasa tersedia secara komersial. Sebelum digunakan, tambahkan air 1:1 5. Larutan protein standar 0,25 mg/mL (larutan Bovine serum Albumin)
b. Pembuatan Kurva Standar. 1. masukkan ke dalam tabung reaksi: 0 (blanko); 0,1; 0,2; 0,4; 0,6;, 0,8 dan 1 mL protein standar. Tambahkan air sampai volume total masing-masing 4 mL. Ke dalam masing-masing tabung reaksi ditambahkan 5,5 mL pereaksi (3), campur merata dan biarkan selama 10-15 menit pada suhu kamar. 2. Tambahkan 0,5 mL pereaksi (4) ke dalam masing-masing tabung reaksi, kocok merata dengan cepat sesudah penambahan. 3. Biarkan selama kurang lebih 30 menit samapi warna biru terbentuk. 4. ukur absorbansinya pada panjang gelombang 650 nm dengan spektrofotometer. 5. Buatlah kurva standar yang menunjukkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi
c. Penempatan Sampel. Sampel sejumlah 0,1 – 1,0 mL dipipet secara tepat. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang diperlakukan seperti penetapan standar.
13. Analisis konsentrasi dekstran (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 1 mL filtrat contoh dekstran direaksikan dengan larutan fenol 5% dan H2SO4 pekat dengan perbandingan volume larutan dekstran:larutan fenol 5%: H2SO4 pekat adalah 1:1:5. Campuran larutan ini dikocok dan ditunggu hingga dingin. Kemudian diukur adsorpsinya dengan menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi dektran dalam larutan dihitung berdasarkan kurva standar dekstran. Pengukuran konsentrasi dekstran dilakukan terhadap larutan umpan dan permeat.
14. Molecular Weight Cut Off (MWC) membran (Mahendran et al., 2004) Molecular Weight Cut Off (MWCO) atau bobot molekul yang ditahan membran diukur dengan menggunakan larutan standar untuk identifikasi yang sudah diketahui bobot molekulnya. Beberapa jenis larutan identifikasi yang dapat digunakan adalah dekstran (12 kDa) dan Bovin Serum Albumin (67 kDa). Nilai MWCO membran diperoleh dari molekul terkecil yang mempunyai nilai rejeksi padatan (Solid Rejection) antara 80-100% pada keadaan stabil. Konsentrasi umpan dan konsentrasi permeat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
15. Analisis morfologi membran (Metoda Scanning Electron Microscope). Morfologi membran dilakukan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) JSM – 5310 LV, Jeol-Japan. Metoda SEM merupakan metode yang tepat untuk mengkarakterisasi membran dengan batas resolusi 5-10 nm. Terlebih dahulu dilakukan pengeringan preparasi terhadap sampel dengan freeze drying sampai kadar air mencapai ≤ 2%. Sampel dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Selanjutnya sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon dan kemudian dilapisi emas (Au) 300 Ao di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan energi dari logam emas ke arah sampel, sehingga sampel terlapisi emas. Sampel tersebut diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron yang akan terekam ke dalam monitor ketika terjadinya tembakan elektron ke arah sampel dan kemudian dilakukan pemotretan. Melalui SEM, diambil pada beberapa variasi magnifikasi untuk beberapa bagian membran.
16. Pengukuran bobot jenis (SNI 06-2385-2006). Penetuan bobot jenis minyak nilam dilakukan dengan memakai piknometer dan ditimbang dengan timbangan listrik. Piknometer kosong yang telah diketahui bobotnya diisi minyak nilam kemudian ditimbang. Diukur pula bobot piknometer yang berisi air dan suhu dalam neraca dicatat. Perbandingan bobot minyak dan air menunjukkan bobot jenisnya.Bobot jenis dihitung dengan rumus (SNI 06-2385-2006):
Bobot minyak (gram) Bobot Jenis (BJ) Minyak = --------------------------Bobot air suling (gram) BJ ( 25/25oC) = Berat jenis (t) + 0,00082 (t – 25) Dimana: BJ(t)
= bobot jenis minyak pada suhu pengukuran t
0,00082 = faktor koreksi bobot jenis minyak nilam untuk perubahan suhu o
1C
17. Pengukuran indeks bias (SNI 06-2385-2006). Penentuan indeks bias dilakukan dengan refraktometer. Satu tetes minyak nilam diukur dalam refraktometer dan dicatat suhunya. Indeks bias pada suhu 25 o
C dihitung dengan rumus (SNI 06-2385-2006): R = R’ – k (T – T’)
dimana: R = indeks bias pada suhu T oC R’ = pembacaan indeks bias pada suhu T oC T = suhu yang dikehendaki (suhu standar) T’ = suhu pembacaan k = faktor koreksi = 0,00045 18. Bilangan asam. Ke dalam 1,5 – 2,5 g minyak nilam ditambahkan 10 mL alkohol netral serta beberapa tetes indikator pp, kemudian dititar dengan KOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. Bilangan asam dihitung dengan menggunakan rumus (SNI 06-2385-2006):
mL contoh x N x 56,1 Bilangan asam = --------------------------gram contoh
dimana: ml contoh = mL penitaran contoh N = normaliter dari KOH
56,1 = bobot setara KOH g = bobot contoh
19. Bilangan ester (SNI 06-2385-2006). Bilangan ester adalah kelanjutan dari bilangan asam. Ke dalam contoh ditambahkan 25 mL KOH 0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 1,5 jam, didinginkan kemudian dititar dengan HCl 0,5 N hingga warnanya berubah. Perhitungan bilangan ester dengan menggunakan rumus (SNI 06-23852006): (blanko – contoh) mL x N x 56,1 Bilangan ester = -------------------------------------------gram contoh
20. Analisis kadar patchouli alkohol. Kadar patchouli alkohol diukur dengan menggunakan kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS) pada kondisi kolom Rtx-5MS (panjang : 30 meter, ID: 0,25 mm), suhu kolom oven: 80 oC, suhu injektor 300 oC, moe injektor spilt, waktu sampling 1 menit, tekanan 35,6 kPa, aliran total 71,1 mL/menit, aliran kolom 0,68 mL/menit, kecepatan linier 30,3 cm/detik, rasio split 99,7 dan volume contoh 0,1 µL. 21. Pembuatan dan standarisasi larutan NaOH 0,5 M dengan KH Ftalat (Day et al., 1990). Pembuatan larutan NaOH 0,5 M Konsentrasi 0,5 M = 0,5 mmol/mL BM NaOH
= 40
Mol MaOH = 500 ml x 0,5 mmol/mL = 250 mmol = 0,25 mol Massa NaOH = 0,25 mol x 40 gmol-1 = 10 gr, dilarutkan dengan aquadest sampai 500 mL.
Standarisasi dan penentuan larutan NaOH 0,5 M
Masukkan kira-kira 4 sampai 5 gram KH Ftalat murni dalam botol timbang yang bersih dan keringkan dalam oven pada 110 oC sekurang-kurangnya selama 1 jam. Dinginkan botol timbang isisnya itu dalam dsikator 1). Timbanglah dengan teliti dalam 3 erlenmeyer yang bersih dan telah dinomori sebanyak ± 0,7 sampai 0,9 gr KH Ftalat2). Pada tiap erlenmeyer tambahkan 50 mL air suling3). Diukur dengan gelas ukur dan kocoklah perlahan-lahan sampai semua KH Ftalat larut. Tambahkan 2 tetes fenolftalein pada tiap erlenmeyer. Bilaslah dan ini buret dengan larutan NaOH. Titrasi larutan dalam erlenmeyer pertama sampai warna merah muga yang kekal. Larutan HCl dalam buret yang ke dua dapat dipakai untuk titrasi kembali bila diperlukan. Ulangani titrasi dengan kedua cuplikan yang lain dan catatlah semua data. Catatan: 1). KH Ftalat tak higroskopos dan proses pengeringan tak usah dilakukan 2). Karena 4 mek KH Ftalat besarnya 4 x 204,1 = 816,8 mg, titrasi jumlah yang dianjurkan ,diperlikan 35 sampai 45 mL 0,1 N larutan busa. 3). Dianjurkan untuk mendidih air selama ±5 menit untuk menghilangkan CO2 sebelum air dipakai. Hasil standarisasi diperoleh volume NaOH, selanjutnya dengan BE KH Ftalat = 204,2 dan volume NaOH diketahui, maka diperoleh konstrasi NaOH yang sebenarnya dengan persamaan: VNaoH x NNaOH = (mg KHFtalat / BE Ftalat)
22. Pembuatan dan standarisasi larutan baku HCl 0,5 N dengan Na2CO3 (Day et al., 1990). Pembuatan larutan HCl 0,5 N HCl pekat (37%): BM = 36,5 dengan densitas 1,19 g/mL g HCl yang diperlukan = 1,00 L x 0,500 mol/L x 36,5 g/mol = 18,25 g HCl /L = 1,19 g/mL x 0,37 = 0,4403 Volume HCl yang diperlukan untuk diencerkan sampai 1 liter = 3,65 / 0,4403 g/mL = 41,5 mL.
Standarisasi larutan HCl 0,5 N Timbanglah 3 buah cuplikan (± 0,2 – 0,25 gram) Na2CO3 murni. Larutkan tiap contoh dalam ± 50 mL air suling, kemudian tambahkan 2 tetes metil merah. Titrasi tiap cuplikan dengan larutan HCl. Metil merah berwarna kuning dalam suasana basa dan merah dalam suasana asam. Hasil standarisasi diperoleh volume HCl. Selanjutnya dengan BM Na2CO3
=
106,
BE Na2CO3
=
106/2 = 53, dan
volume HCl diketahui, maka konsentrasi HCl yang sebenarnya diketahui dengan persamaan VHCl x NHCl = (mg Na2CO3 / BE Na2CO3)
23. Pembuatan larutan KOH 0,5 N Pembuatan larutan KOH 0,5 M Konsentrasi 0,5 M = 0,5 mmol/mL BM KOH
= 56,106
Mol KOH = 500 ml x 0,5 mmol/mL = 250 mmol = 0,25 mol Massa KOH = 0,25 mol x 56,106 gmol-1 = 14,0264 gr, dilarutkan dengan aquadest sampai 500 mL.
Pembuatan larutan KOH 0,1 N dilakukan dengan menggunakan rumus pengenceran: V1 x N1 = V2 x N2 24. Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam asam asetat. Volume larutan = 100 mL Persen berat 1%, sehingga: 1 % = (MgCO3 / 100) x 100% 0,01 = MgCO3 /100 MgCO3 = 1/100 x 100 = 1 gr, dilarutkan dalam 99 mL asam asetat glasial. 25. Pembuatan larutan MgCO3 1% dalam aquadest. Volume larutan = 500 mL
Persen berat 1%, sehingga: 1 % = (MgCO3 / 500) x 100% 0,01 = MgCO3 /500 MgCO3 = 1/100 x 500 = 5 gr, dilarutkan dalam 495 mL aquadest . 26. Pembuatan Ethanol 75% dari Ethanol 95%. Ethanol 95%: - Densitas = 0,79 kg/L - Berat molekul Ethanol = 46,07 M = (0,79 x 10 x 95) / 46,07 = 16,315 mol/L Volume ethanol = 200 mL = 0,2 L Rumus pengenceran: Volume ethanol 95% V1 x M1 = V2 x M2 V1 = (0,2 x 12,88) / 16,315 = 0,158 L = 158 mL dilarutkan dalam aquadest sampai 200 mL. 27. Pembuatan larutan standar dekstran 200 mg/L. Timbang 200 mg bubuk desktran, dan larutkan dengan aquadest sampai 1000 mL. 28. Pembuatan larutan standar bovin serum albumin (BSA) 200 mg/L. Timbang 200 mg bubuk BSA, dan larutkan dengan aquadest sampai 1000 mL. 29. Perolehan selulosa triasetat pada berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50 oC dan asetilasi 1 jam Waktu (menit) 15 30 60 90 120
Perolehaan 1 (g/g) 1,5813 1,5683 1,5785 1,5739
Perolehan 2 (g/g) 1,6213 1,6301 1,6041 1,6011
Rata-rata Perolehan (g/g) 1,6013 1,5992 1,5913 1,5875
30. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pada asetilasi 1 jam dan suhu 50 oC Rasio anhidrida asetat/selulosa
Kadar asetil (%)
3,35 4 5 6
44,175 44,205 44,310 44,348
Perolehan selulosa triasetat (g/g) 1,610 1,621 1,635 1,642
31. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50oC dan rasio anhidrida asetat 3,35 Waktu (menit) 15 30 45 60 90 120
Perolehan 1 (g/g) 1,5714 1,5831 1,5995 1,6115 1,6236
Perolehan 2 (g/g) 1,6186 1,6169 1,6205 1,6285 1,6564
Rata-rata Perolehan (g/g) 1,595 1,600 1,610 1,620 1,640
Kadar Asetil (%) 43,980 44,175 44,175 44,265 44,355
32. Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu Waktu (jam) 3 5 7 9 11 13 15 17
Berat kering hasil hidrolisa / berat kering selulosa (gr/gr) 1,625 1,631 1,588 1,051 1,033 1,014 0,985 0,895
Kadar Asetil (%) 44,29 44,38 43,500 42,621 41,742 40,863 39,660 39,127
Keterangan
Selulosa Tri Asetat Selulosa Tri Asetat Selulosa Tri Asetat Selulosa Tri Asetat Selulosa Di Asetat Selulosa Di Asetat Selulosa Di Asetat Selulosa Di asetat
33. Perolehan fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar) Rasio PEG vs SA
Berat PEG (MW) 10
Fluks Air (L/m2.jam) pada menit ke20 30
40
0 10% 10% 10% 20% 20% 20% 30% 30% 30%
Murni SA 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da
183 218 199 193 221 212 196 240 226 212
180 207 191 177 207 202 185 226 212 202
169 202 186 174 202 197 185 218 202 202
169 202 186 174 202 197 185 218 202 202
34. Perolehan fluks air (transmembran 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (pada rasio PEG/SDA 20%). Suhu Fluks Air (L/m2.jam) Koagulasi pada menit ke(oC) 10 20 30 40 Murni SA 15 188 174 169 169 30 183 180 169 169 50 221 207 207 207 1450 Da 15 207 196 191 191 30 221 207 202 202 50 234 218 218 218 4000 Da 15 202 191 180 180 30 212 202 197 197 50 226 215 213 213 6000 Da 15 177 166 164 164 30 196 185 185 185 50 212 196 191 191 35. Perolehan fluks air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (transmembran 1,2 bar; suhu kamar) dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar). Berat PEG (MW)
Rasio PEG vs SA (C)
Berat PEG (MW)
Fluks Air Rata-rata (L/m2.jam)
0 10% 10% 10% 20% 20% 20% 30% 30% 30%
Murni SA 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da 1450 Da 4000 Da 6000 Da
74 ± 6 96 ± 7 89 ± 7 64 ± 5 121 ± 13 110 ± 12 83 ± 9 146 ± 15 132 ± 14 84 ± 9
Fluks Dekstran (12.000 Da) Rata-rata (L/m2.jam) 69± 4 76± 6 72 ± 5 62 ± 5 95 ± 7 78 ± 6 71 ± 5 114 ± 9 91 ± 7 72 ± 5
Fluks BSA (67.000 Da) Rata-rata (L/m2.jam) 62 ± 4 72 ± 5 69 ± 5 61± 5 83 ± 6 72 ± 5 62 ± 5 96 ± 7 81 ± 6 66 ± 5
Rejeksi Dekstran (12.000 Da) (%)
Rejeksi BSA (67.000 Da) (%)
54,826 ± 4,14 58,980 ± 4,45 59,006 ± 4,45 59,025 ± 4,46 55,960 ± 4,23 56,175 ± 4,24 56,343 ± 4,25 52,938 ± 3,40 53,343 ± 4,03 53,660 ± 4,05
78,724 ± 5,94 78,884 ± 5,96 84,200 ± 6,36 93,600 ± 6,07 79,950 ± 5,84 82,400 ± 6,22 86,400 ± 6,52 75,716 ± 5,72 80,600 ± 6,09 84,431 ± 6,41
36. Perolehan fluks air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (transmembran 1,2 bar; suhu kamar) dari berbagai formulasi membran (rasio PEG/SDA 20%). Berat PEG (MW)
Suhu Koagulasi (oC)
Fluks Air rata-rata (L/m2.jam)
Fluks Dekstran rata-rata (L/m2.jam)
Fluks BSA rata-rata (L/m2.jam)
Murni SA
15 30 50 15 30 50 15 30 50 15 30 50
53 ± 4 74 ± 6 96 ± 7 96 ± 10 121 ± 13 129 ± 14 88 ± 9 110 ±12 112± 12 75 ± 8 84 ± 9 100 ± 10
49 ± 4 59 ± 4 81 ± 6 83 ± 6 95 ± 7 119 ± 9 60 ± 5 78 ± 6 105 ± 8 61 ± 5 71± 5 98 ± 7
43 ± 2 58 ± 4 65 ± 5 74 ± 6 83 ± 6 103 ± 8 57 ± 4 72 ± 5 100± 7 55 ± 4 62 ± 5 93 ± 7
1450 Da
4000 Da
6000 Da
Rejeksi Dekstran (12.000 Da) (%) 56,540 ± 4,27 54,836 ± 4,14 53,540 ± 4,04 60,940 ± 4,60 55,960 ± 4,22 50,940 ± 3,85 61,640 ± 4,65 56,175 ± 4,24 53,240 ± 4,02 62,840 ± 4,74 56,343 ± 4,25 55,740 ± 4,20
37. Kinerja membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol pada waktu filtrasi 10 menit Transmembran Filtrasi (ΔP, bar) 1,2 1,4 1,8
Kadar Patchouli Alkohol (%) 33,32 41,68 36,29
Fluks (L/m2.jam) 101 134 189
Neraca massa Patchouli alkohol pada Minyak Nilam: Minyak nilam
terdiri
dari
dua
golongan: hidrokarbon (bersifat
hidrofobik/non-polar) sekitar 40% dan oxyganated hydrocarbon (bersifat hidrofilik/polar)
sekitar
60%.
Peningkatan
patchouli
alkohol
dilakukan
menggunakan membran selulosa asetat bersifat hidrofilik (polar). Patchouli alkohol bersifat polar merupakan komponen terbesar pada minyak nilam. Sifat kepolaran yang dimiliki keduanya, berdasarkan sifat hidrofobositas, maka membran selulosa asetat lebih menyerap patchouli alkohol dan komponen lainnya yang bersifat polar dibandingkan yang bersifat non-polar. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diambil asumsi bahwa komposisi yang berada sebagai retentat adalah semua komponen bersifat hidrofobik dari golongan hidrokarbon disamping komponen golongan oxygenated hydrocarbon. Sementara sebagai permeat adalah
Rejeksi BSA (67.000 Da) (%) 84,217± 6,39
78,724 ± 5,94 74,713 ± 5,64 85,600 ± 6,46 79,950 ± 5,84 75,713 ± 5,72 88,050 ± 6,65 82,400 ± 6,22 78,163 ± 5,90 90,620 ± 6,89 86,400 ± 6,52 82,750 ± 6,25
sebagian komponen golongan oxygenated hydrocarbon, tergantung kemampuan membran selulosa asetat dalam menyerap komponen tersebut berdasarkan sifat hidrofobositas terhadap tekanan.
Minyak Nilam Feed = F : 200 ml Hidrokarbon (hidrofobik) = 40% = 80 ml Oxygenated hydrocarbon (hidrofilik) = (60%): - Patchouli alcohol = 32,16% = 64,32 ml - Lain-lain = 27,84% = 55,68 ml
Rententat = R: Hidrokarbon = x Patchouli alcohol = y Lain-lain = z
Membran SDA (hidrofilik-polar)
Neraca Massa Total: F =P+R 200 ml = 28,1 ml + R R = 171,9 ml Neraca komponen: - Hidrokarbon : 0,4 (F) = x R, dimana : 0,4 (200) = 171,9 x X = 0,4653 Hidrokarbon = 0,4653 x 171,9 = 79,9857 ml -
Lain-lain: 0,2784 (F) = 0,5832 (P) + z (R) 0,2784 (200) = 0,5832 (28,1) + 171,9 z 55,68 = 16,3879 + 171,9 z Z = 0,2284 Lain-lain = 0,2284 x 171,9 = 39,2620 ml
Neraca komponen minyak nilam
Permeat = P: 28,1 ml Patchouli alcohol = 41,68 % = 11,7120 ml Lain-lain = 58,32% = 16,3800 ml
-Patchouli alkohol (PA): 0,3216 (F) = 0,4168 (P) + y (R) 0,3216 (200) = 0,4168 (28,1) + 171,9 y 64,3200 = 11,7121 + 171,9y y = 0,3060 PA = 0,3060 x 171,9 = 52,6014 ml
MASUK Hidrokarbon Patchouli alkohol ml Lain-lain ml
Total ml
KELUAR = 80 ml Rertentat: = 64,32 - Hidrokarbon ml = 55,68 - Patchouli alkohol ml - Lain-lain ml Total ml Permeat: - Patchouli alkohol ml - Lain-lain ml Total = 200 Total seluruh ml
= 79,9857 = 52,6014 = 39,2620 = 171,9
= 11,7120 = 16,3800 = 28,1 ml = 200
38. Fluks air dan fluks larutan nira terhadap berbagai tekanan transmembran. Tekanan transmembran (bar) 0,6 1,2 1,8
Fluksi air (L/m2.jam) 85 146 203
Fluksi larutan nira (L/m2.jam) 36 96 165
39. Karakteristik dan kinerja membran selulosa asetat pada pemurnian nira Parameter pH Turbiditi (A) Tekanan transmembran (bar) Fluksi nira (L/m2.jam)
Umpan 5,25 90
Permeat 6,0 54 1,8 165
40. Diagram alir pembuatan selulosa asetat (modifikasi Harison et al., 2004; Desiyarni, 2006). Selulosa (5 gram) Asam asetat glasial (40 ml)
Rasio anh.asetat/selulosa (Z bagian ) asam sulfat 0,075 ml asam asetat 22,5 ml
Air 5,33 ml (rasio dengan selulosa 1,066) Asam sulfat 0,075 ml 20 ml larutan MgCO3 1% dalam asam asetat
Aktivasi (50oC) X menit
Asetilasi (50oC) Y menit
Hidrolisis (50oC) 3,5,7,9,11,13,15,17jam
Penghentian Hidrolisis
Sentrifugasi (60 menit, 50oC)
Endapan Selulosa
Supernatan Larutan STA
Asam asetat encer 10% (200 ml)
- Larutan asam - STA mengendap
Larutan MgCO3 1% dalam air (200 ml)
larutan asam
Larutan MgCO3 1% dalam air
Perendaman endapan STA (suhu kamar, 2 jam)
Air
Pencucian
Pengeringan (6 jam, 50oC)
Larutan netral
Air
Selulosa Di Asetat
Analisis Kadar Asetil
41. Diagram alir pembuatan membran ultrafiltasi (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004) . a. Pada koagulasi suhu kamar
PEG 1450, 4000, 6000 (10, 20, 30% dari SDA)
Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 gr)
Pengadukan 2-4jam, suhu kamar
Penyimpanan 1-2 jam, suhu kamar Pencetakan (tebal 0,2 mm)
Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik
Koagulasi (suhu kamar) Perendaman dalam air
Membran Selulosa Asetat
Karakterisasi membran
DMF 3,4,5,6 bagian
b. pada rasio PEG/SDA 20%
PEG 1450, 4000, 6000 (20% dari SDA)
Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 gr)
Pengadukan 2-4 jam, suhu kamar
Penyimpanan 1-2 jam, suhu kamar Pencetakan (tebal 0,2 mm)
Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik
Koagulasi (aqudest 15 oC, suhu kamar, 50 oC) Perendaman dalam air
Membran Selulosa Asetat
Karakterisasi membran
DMF 3,4,5,6 bagian
42. Diagram alir proses pemurnian nira
Tebu Pembersihan
Tanah, daun
Penggilingan Karakterisasi
Nira mentah Penyaringan Nira mentah Filtrasi membran
Nira jernih Karakterisasi
Kotoran kasar
43. Hasil rancangan pembuatan selulosa diasetat Selulosa (5 gram) Asam asetat glasial (40 ml)
Rasio anh.asetat/selulosa (3,35 bagian ) asam sulfat 0,075 ml asam asetat 22,5 ml
Air 5,33 ml (rasio dengan selulosa 1,066) Asam sulfat 0,075 ml 20 ml larutan MgCO3 1% dalam asam asetat
Aktivasi (50oC) 30 menit
Asetilasi (50oC) 60 menit
Hidrolisis (50oC) 15jam
Penghentian Hidrolisis
Sentrifugasi (60 menit, 50oC)
Endapan Selulosa
Supernatan Larutan STA
Asam asetat encer 10% (200 ml)
- Larutan asam - STA mengendap
Larutan MgCO3 1% dalam air (200 ml)
Pencucian
Pengeringan (6 jam, 50oC)
Larutan netral
Larutan MgCO3 1% dalam air
Perendaman endapan STA (suhu kamar, 2 jam)
Air
Gambar 14.
larutan asam
Air
Selulosa Di Asetat
Kadar Asetil 39,66% BM 130.221
Diagram alir pembuatan selulosa diasetat (modifikasi Harison et al., 2004; Desiyarni, 2006).
44. Hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat pada koagulasi suhu kamar PEG 1450, 4000, 6000 (10, 20, 30% dari SDA)
Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 g)
DMF 6 bagian (25,7143 g)
Pengadukan 2 jam, suhu kamar
Penyimpanan 1 jam, suhu kamar Pencetakan (tebal 0,2 mm)
Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik
Koagulasi (suhu kamar) Perendaman dalam air
Membran Selulosa Asetat
Karakterisasi membran Gambar 15. Diagram alir perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat pada koagulasi suhu kamar (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004)
45. Hasil rancangan proses proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat pada rasio PEG/SDA 20% PEG 1450, 4000, 6000 (20% dari SDA)
Selulosa Diasetat (SDA) 1 bagian (4,2857 g)
DMF 6 bagian (25,7143 g)
Pengadukan 2 jam, suhu kamar
Penyimpanan 1 jam, suhu kamar Pencetakan (tebal 0,2 mm)
Evaporasi pada suhu kamar, 30 detik
Koagulasi (aqudest 15 oC, suhu kamar, 50 oC) Perendaman dalam air
Membran Selulosa Asetat
Karakterisasi membran Gambar 16. Diagram alir perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat pada rasio PEG/SDA 20% (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004)