PENCIRIAN MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERBAHAN DASAR SELULOSA BAKTERI DARI LIMBAH NANAS
FEBRI RUFIAN PASLA
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK FEBRI RUFIAN PASLA. Pencirian Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa Bakteri dari Limbah Nanas. Dibimbing oleh SRI MULIJANI dan BETTY MARITA SOEBRATA. Penyaringan membran untuk industri makanan dan pengolahan limbah adalah sebuah tantangan dalam aplikasinya. Membran komersial memiliki harga yang relatif tinggi. Oleh sebab itu, perlu dicari metode yang sederhana untuk mendapatkan membran yang murah. Sebuah metode alternatif untuk membuat membran selulosa asetat (CA) berbahan dasar selulosa bakteri dari limbah nanas dicoba dalam penelitian ini. Selulosa bakteri (BC) dari limbah nanas yang dibentuk oleh Acetobater xylinum dimerserisasi dalam NaOH 1% (b/v). Bubuk BC kering diasetilasi dengan anhidrida asam asetat (1:5) (selulosa:anhidrida) selama 2 jam. Membran CA dibuat dengan cara melarutkan serpihan CA 14% (b/v) ke dalam diklorometana. Membran dibentuk dengan cara mencetak polimer CA dalam pelarut diklorometana menjadi film tipis. Membran CA dicirikan menggunakan seperangkat alat saring cross-flow. Alat saring cross-flow digunakan untuk pengukuran fluks air dan penyaringan bovine serum albumin (BSA). Penelitian ini menghasilkan selulosa asetat dengan kadar asetil 42.99% (setara dengan derajat asetilasi 2.8 sampai 2.9), kadar air 34.06%, dan rendemen sebesar 148.33%. Membran CA memiliki fluks air yang optimal pada tekanan 7.5 psi, dengan nilai rerata fluks sebesar 123.97 L/m2jam. Membran CA memiliki nilai fluks BSA sebesar 114.22 L/m2jam dan rerata rejeksi BSA sebesar 44.98%. Membran ini memiliki fungsi mikrofiltrasi bila dilihat dari hasil pencirian.
ABSTRACT FEBRI RUFIAN PASLA. Characterization of Cellulose Acetate Membrane Based by Bacterial Cellulose from Pineapple Waste. Supervised by SRI MULIJANI and BETTY MARITA SOEBRATA. Membrane filtration for food industries and waste recovery is a challenging application. The commercial membrane are relatively high cost. Therefore, there is a need to seek simple methods to provide low cost membranes. An alternative method to produce cellulose acetate (CA) membrane based by bacterial cellulose from pineapple waste was studied. Bacterial cellulose (BC) from pineapple waste formed by Acetobater xylinum were mercerized in NaOH 1% (w/v). The dried BC powder were acetylated with acetic acid anhydride (1:5) (cellulose:anhydride) for 2 hours. CA membrane was made from dissolving 14% (w/v) CA in dicloromethane. The membrane was formed by casting a thin film dichloromethane-based solution of CA polymer. The CA membrane was characterized using a cross flow filtration testing unit. A cross-flow filtration testing unit was used for water flux and filtration of bovine serum albumin (BSA). This study produced CA with an acetyl content 42.99% (similar to substitution degree of 2.8 to 2.9), 34.06% moisture content, and 148.33% yield. The CA membrane has an optimum water flux at 7.5 psi, with average flux obtained at 123.97 L/m2hour. The CA membrane had average permeate flux of BSA at 114.22 L/m2hour and average BSA rejection of 44.98%. This membrane showed microfiltration function according to its characteristics.
PENCIRIAN MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERBAHAN DASAR SELULOSA BAKTERI DARI LIMBAH NANAS
FEBRI RUFIAN PASLA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Pencirian Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa Bakteri dari Limbah Nanas, yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2005 bertempat di Laboratorium Kimia Anorganik Departemen Kimia dan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Pertanian IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya karya ilmiah ini, di antaranya Dra. Sri Mulijani M.S. dan Betty Marita Soebrata, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan pengarahan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Program A2 yang telah mendanai penelitian ini. Rini Purnawati, STP untuk masukan dalam menggunakan alat penyaring cross-flow, Ir. Hendra Adijuwana, MST sebagai Kepala Laboratorium Anorganik serta kepada Budi Arifin, S.Si, dan Drs Muhammad Farid, atas diskusi-diskusi berharga yang berkaitan dengan penelitian ini. Pak Sawal, Pak Eman, dan teman-teman seperjuangan: Astika, Ventura, Riya, Bete, Akbar, dan Atik serta rekanrekan di laboratorium Kimia Anorganik: Daeng, Aldi, Dyah, dan Eka. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada keluarga: Papa, Mama, Ka’ Fika dan Ade Fitrian atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih yang terdalam juga kepada Primadian Sari Dewi atas segala doa, nasihat, dorongan, semangat, senyum, cinta, dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih juga kepada Mas Herry atas semangat, bantuan yang diberikan dan sebagai sumber inspirasi bagi penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Yoshua, Rahma, Danang, Wisnu, Cepe, dan Yansen serta rekan-rekan Kimia 36, 37, 38, dan 39 atas bantuan dan kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2006
Febri Rufian Pasla
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1983 sebagai anak kedua dari pasangan Rudolf Pasla dan Atika Pasla. Tahun 2000, penulis lulus dari SMU Negeri 13 Jakarta, dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Tahun 2003, penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di PT Yamaha Indonesia Kawasan Industri Pulogadung dengan judul Penentuan Dosis Optimum Ca(OH)2 dan Penerapannya pada PT Yamaha Indonesia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti berbagai organisasi di kampus IPB. Periode kepengurusan 2002/2003 menjadi Ketua Chemistry English Club, Ikatan Mahasiswa Kimia IPB. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan seperti Panitia Matematika Ria 2001, Panitia Masa Perkenalan Jurusan dan Fakultas, dan sebagainya. Penulis juga menjadi asisten praktikum Kimia Lingkungan pada tahun ajaran 2004/2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... ix PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Nanas ........................................................................................................... Selulosa Bakteri............................................................................................ Kadar α-selulosa ........................................................................................... Selulosa Asetat ............................................................................................. Membran ...................................................................................................... Pencirian Membran....................................................................................... Kompaksi Membran ..................................................................................... Membran Selulosa Asetat .............................................................................
1 1 2 2 3 3 3 4
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ............................................................................................ Pembuatan Selulosa Bakteri dari Limbah Nenas ........................................ Penyiapan Contoh Kering............................................................................ Sintesis Selulosa Asetat............................................................................... Pembentukan Membran Selulosa Asetat ..................................................... Pencirian Membran .....................................................................................
4 4 5 5 6 6
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar α-selulosa dan Kadar Air Nata de Pina kering .................................. Kadar Asetil, Kadar Air dan Rendemen Selulosa Asetat ............................. Kelarutan Selulosa Asetat............................................................................. Membran Selulosa Asetat............................................................................. Nilai Fluks Air.............................................................................................. Nilai Fluks dan Rejeksi BSA........................................................................
6 7 7 8 8 9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan...................................................................................................... 10 Saran............................................................................................................ 10 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 11 LAMPIRAN................................................................................................................ 13
DAFTAR TABEL Halaman 1
Hubungan derajat substitusi selulosa asetat, kadar asetil, dan aplikasinya ............................................................................................... 2
2
Kelas-kelas komersial selulosa asetat ............................................................ 2
3
Syarat mutu selulosa asetat (SNI 1991) ......................................................... 3
4
Kisaran fluks dan tekanan berbagai jenis membran....................................... 4
5
Nilai fluks permeat BSA dan rejeksi (%) membran selulosa asetat contoh pada 7.5 psi............................................................................... 9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Rumus Haworth selulosa. .............................................................................. 2
2
Membran selulosa asetat contoh .................................................................... 8
3
Perbandingan antara fluks akuades membran selulosa asetat contoh dengan waktu pada berbagai tekanan ................................................. 8
4
Hubungan antara fluks selulosa asetat contoh dengan perubahan variasi tekanan .............................................................................. 9
5
Hubungan antara nilai fluks (a), nilai rejeksi (b) seiring bertambahnya waktu pada tekanan tetap 7.5 psi selama 30 menit.............................................................................................. 9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Reaksi asetilasi selulosa asetat. ..................................................................... 14
2
Penetapan kadar air selulosa dan kadar α-selulosa ........................................ 15
3
Penetapan kadar air dan kadar asetil selulosa asetat ...................................... 16
4
Diagram alir penelitian .................................................................................. 17
5
Data kadar air α-selulosa contoh dan komersial ............................................ 18
6
Data kadar air, kadar asetil selulosa asetat contoh dan selulosa asetat komersial ................................................................................ 19
7
Perhitungan rendemen selulosa asetat contoh................................................ 20
8
Data fluks air pada berbagai variasi tekanan ................................................. 21
9
Gambar hubungan fluks dengan waktu pada tekanan 2.5; 5.0; 7.5; dan 10.0 psi..................................................................................................... 22
10 Penentuan konsentrasi permeat BSA .............................................................. 23
1
PENDAHULUAN Limbah nanas yang dikenal sebagai nanas banyak dibuang setelah daging buah tersebut dikonsumsi. Satu buah nanas hanya dapat dikonsumsi sebanyak 53% saja, sedangkan sisanya dibuang sebagai limbah, sehingga limbah nanas makin lama makin menumpuk dan umumnya hanya dibuang ke tempat pembuangan sampah (Rulianah 2002). Berdasarkan hal tersebut maka terdapat peluang memanfaatkan limbah kulit nanas untuk diubah menjadi produk yang lebih bermanfaat. Salah satu caranya ialah membentuk selulosa dengan memanfaatkan limbah nanas menggunakan bantuan bakteri Acetobacter xylinum, seperti telah dilaporkan dalam beberapa penelitian (Susanto et al. 2000, Rulianah 2002). Salah satu hasil modifikasi selulosa secara kimia ialah asetilasi, yaitu substitusi atom hidrogen pada gugus-gugus hidroksil oleh asetil (Fengel & Wegener 1995). Pembentukan selulosa asetat dari selulosa bakteri telah banyak dilaporkan (Arifin 2004, Yulianawati 2002, Safriani 2000). Penelitianpenelitian di atas menggunakan media yang berbeda-beda untuk membentuk selulosa bakteri. Salah satu aplikasi selulosa asetat ialah sebagai bahan dasar untuk membuat membran, membran telah digunakan secara luas untuk industri pertanian, makanan, dan pengolahan limbah dengan proses penyaringan bakteri (Aprilia et al. 2003, Darwo 2003, Wanichapichart et al. 2002). Filtrasi menggunakan membran untuk industri makanan dan pengolahan limbah adalah suatu tantangan dalam aplikasinya. Walaupun biaya membran komersial pada saat ini jauh lebih murah dibandingkan 10 tahun yang lalu, tetap saja biaya ini relatif tinggi (Wanichapichart et al. 2002). Alasan ini menimbulkan sebuah tantangan untuk menerapkan teknologi membran yang dapat digunakan dalam industri. Membran yang dibuat untuk tujuan penelitian memiliki biaya yang masih tinggi, karena bahan-bahan yang diperlukan masih diimpor seperti bahan polimer. Oleh sebab itu, perlu dicari metode yang mudah dan berbiaya rendah untuk dapat membuat membran yang murah. Daya guna membran tersebut harus cukup diandalkan untuk skala lab terlebih dahulu. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan ciri membran selulosa asetat berbahan dasar selulosa bakteri dari limbah nanas menggunakan parameter fluks air dan
indeks rejeksi, sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Nanas Nanas berasal dari Amerika selatan dan Hindia Barat, spesies ini termasuk dalam dunia Plantae, filum Spermatophyta, kelas Monocotyledonae, ordo Farinosae, famili Bromoliaceae, genus Ananas, spesies Ananas comosus (Morton 1987). Pada umumnya buah nanas dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kulit, daging, dan hati. Ketiga bagian ini dapat diekstrak sari buah nanas, yang banyak mengandung glukosa dan asam-asam organik. Kemampuan air nanas untuk memproduksi nata disebabkan kandungan nutrisinya yang relatif lengkap, serta sesuai untuk pertumbuhan A. xylinum (Arsatmojo 1996).
Selulosa Bakteri Bakteri penghasil Selulosa Bakteri seperti Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium, dan Sarcina, telah dikenal baik dapat mensintesis biopolimer. Di antara bakteri-bakteri tersebut A. xylinum ditegaskan sebagai bakteri yang paling efektif untuk menghasilkan selulosa bakteri (BC) dan telah digunakan secara luas (Jonas & Farah 1998). A. xylinum, yang baru-baru ini diklasifikasi ulang sebagai Gluconobacter xylinus, ialah jenis Acetobacter penghasil selulosa yang telah banyak dipelajari (Krystynowicz & Bielecki 2001). Bakteri ini dapat dengan mudah tumbuh di dalam media pertumbuhan, seperti air kelapa, air tebu, cuka, dan minuman yang terfermentasi, dengan menggunakan volume wadah yang dangkal (Yoshinaga et al.1997), yang dapat dengan mudah didapatkan disekitar kita. Kekhasan Selulosa Bakteri Produk BC dari suatu galur Acetobacter murni secara kimiawi, yaitu bebas dari lignin dan hemiselulosa serta produk-produk biogenik lainnya (Masaoka et al. 1993, Geyer et al. 1994). Karena itu, BC dapat dimurnikan dari media dan dari sel-sel bakteri yang terperangkap didalamnya, dengan perlakuan lembut memakai larutan basa encer, misalnya NaOH 0.1 N; selama 20 menit, pada suhu 80oC (Toyosaki et al. 1995). Unit ulang dari rantai struktur selulosa adalah unit selobiosa.
2
Rumus Haworth Gambar 1.
selulosa
terlihat
pada
Gambar 1 Rumus Haworth Selulosa (Fengel & Wegener 1984). Jaringan BC yang berbentuk lembaran yang mengapung di permukaan medianya telah terbukti mempunyai daya regang, elastisitas, kekenyalan, daya tahan, ketahanan bentuk, dan kapasitas serap air yang tinggi (Schmitt et al. 1991). Kapasitas serap air BC mencapai 100-120 kali bobot keringnya (Geyer et al. 1994), lebih banyak daripada yang mampu diserap oleh pulp kayu. Kedua sifat itu membuat BC banyak diaplikasikan dalam bidang medis. BC bersifat mudah terdegradasi, dapat didaur ulang, biocompatible, karena memiliki kelembaman metabolik, nontoksik, dan nonalergenik.
Kadar α-selulosa Pada awalnya, selulosa dicirikan sebagai polimer dengan unit-unit pembangun monosakarida. Tetapi pada awal 1900 Cross & Bevan mencirikan selulosa dengan cara melarutkan materi yang mengandung kombinasi selulosa ke dalam natrium hidroksida. Mereka menamakan materi yang tidak larut sebagai α-selulosa. Materi yang larut (dinamakan β-selulosa dan γ-selulosa) yang diketahui belakangan bukan merupakan selulosa, tetapi lebih sebagai gula-gula sederhana dan jenis karbohidrat lainnya ([Anonim] tt). Besarnya kadar α-selulosa merupakan indikator kemurnian selulosa (Tanaka et al. 2000).
Selulosa Asetat Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi, eterifikasi dan lain-lain. Bentuk esterifikasi selulosa dengan menggunakan anhidrida asam asetat menghasilkan selulosa asetat (CA). Reaksi pembentukan CA dapat dilihat pada Lampiran 1. CA merupakan ester organik selulosa yang berupa padatan tidak berbau, tidak beracun, tidak berasa, dan berwarna
putih yang dibuat dengan mereaksikan selulosa dengan bantuan asam sulfat sebagai katalis (Kroschwitch 1990). CA bersifat tidak mudah terbakar jika dibandingkan dengan selulosa nitrat (Fengel & Wegener 1984), oleh karena itu CA lebih disukai. Kadar asetil merupakan ukuran jumlah asam asetat yang diesterifikasi pada rantai selulosa yang akan menentukan nilai derajat substitusi (DS). Semakin tinggi kadar asetil semakin tinggi pula derajat substitusinya. Hubungan antara derajat dengan kadar asetil dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa kelas komersial CA dibedakan berdasarkan DS dan pelarutnya disenaraikan pada Tabel 2. Tabel 1 Hubungan derajat substitusi selulosa asetat, kadar asetil, dan aplikasinya (Fengel & Wegener 1984) Derajat Kadar asetil Aplikasi Substitusi (%) 0.6-0.9 13.0-18.6 1.2-1.8 22.2-32.2 plastik 2.2-2.7 36.5-42.2 benang, film 2.8-3.0 43.0-44.8 kain, pembungkus Tabel 2 Kelas-kelas komersial selulosa asetat (Immergut 1975) DS Pelarut Aplikasi 1.8-1.9 Air-PropanolTekstil Kloroform komposit 2.2-2.3 Aseton Pernis dan plastik 2.3-2.4 Aseton Rayon asetat 2.5-2.6 Aseton Film safety dan sinar X 2.8-2.9 DiklorometanaLembaran Etanol penginsulasi 2.9-3.0 Diklorometana Tekstil Acuan dalam perolehan CA yang baik ialah dengan menyenaraikan dengan syarat mutu yang ada di Indonesia. Syarat mutu CA menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar asetil dan kelarutan CA pada pelarut organik merupakan parameter utama dalam penetuan perolehan CA yang baik. Pembentukan CA menggunakan bahan dasar selulosa bakteri telah banyak dilaporkan pada beberapa penelitian (Safriani 2000, Yulianawati 2002, Arifin 2004). Prosedur asetilasi yang digunakan pada ketiga penelitian ini beragam. Arifin (2004) menggunakan nisbah selulosa:anhidrida asam asetat (s:a) 1:4, 1:5, 1:6 dan proses pengeringan yang berbeda-beda, serta
3
perendaman selulosa dalam konsentrasi NaOH yang bervariasi. Perlakuan yang terbaik didapat pada pembuatan CA ialah dengan menggunakan NaOH 1% (b/v) nisbah (s:a) 1:5, metode pengeringan inklusi pelarut. Nilai kadar asetil yang didapat pada prosedur tersebut sebesar 36.27%. Tabel 3 Syarat mutu selulosa asetat (SNI 1991) Parameter Persyaratan Kadar asetil 39.0-40.0% Kekentalan intrinsik 1.5-1.8 dl/g (pelarut aseton) Kestabilan terhadap Tidak terjadi kalor pengarangan saat dipanaskan (180ºC, 8 jam)
Membran Membran adalah lapisan semipermeabel berupa padatan polimer tipis yang menahan pergerakan bahan tertentu (Scott & Hughes, 1996). Menurut Osada & Nakagawa (1992), membran merupakan lapisan semipermeabel yang tipis dan dapat digunakan untuk memisahkan dua komponen dengan cara menahan dan melewatkan komponen tertentu melalui pori-pori. Menurut Eryan (2004), membran adalah film tipis dari suatu material berpori yang dapat digunakan untuk beberapa proses pemisahan. Klasifikasi Membran Menurut Mulder (1996) dan Wenten (1999), klasifikasi membran ada beberapa macam, yaitu berdasarkan material asal, morfologi, bentuk, dan fungsi. Selain itu membran juga dapat dikategorikan sebagai membran simetrik, asimetrik, berpori atau tidak berpori, sifat penyaringannya, material yang digunakan, dan proses pembuatannya. Biasanya, membran dibuat dari polimer, material komposit campuran dari dua polimer atau polimer dengan material lain (Ho & Sirkar 1992). Pencirian Membran Pencirian, desain dan aspek teknik kimia merupakan bebrapa faktor yang harus diperhatikan dalam kinerja membran. Menurut Brocks (1983), Osada & Nakagawa (1992), dan Wenten (1999), karakteristik membran terdiri dari struktur, ukuran pori, dan sifat fisik mekanik serta kimia membran. .
Jenis bahan pembuat dan proses pembuatan dapat mempengaruhi karakteristik membran itu sendiri. Pada umumnya membran yang terbuat dari selulosa dan turunannya memiliki daya tarik yang besar dibandingkan dengan membran sintetis. Keunggulan membran sintetis adalah tahan terhadap pH umpan. Menurut Zeman & Zydney (1996), bahwa terdapat empat morfologi pori membran antara lain sel tutup, sel terbuka, jaringan serat, dan granula. Nilai fluks dan rejeksi merupakan parameter utama dalam menilai kinerja membran (Wenten 1999, Osada & Nakagawa 1992). Penurunan fluks terjadi karena adanya fouling pada membran tetapi adanya fouling dapat meningkatkan rejeksi, untuk mencegah terjadinya fouling maka membran harus selalu dibersihkan. Faktor yang mempengaruhi nilai fluks antara lain tekanan transmembran, kecepatan cross-flow dan konsentrasi larutan. Mulder (1996) menyatakan kisaran fluks dan tekanan berbagai jenis membran dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kisaran fluks dan tekanan berbagai jenis membran (Mulder 1996) No Jenis Kisaran Kisaran Membran Tekanan Fluks (bar) (L/m2jam) 1 Mikrofiltrasi 0.1-2.0 >50 2 Ultrafiltrasi 1.0-5.0 10-50 3 Nanofiltrasi 5.0-20 1.4-12 4 Osmosis 10-100 0.05-1.4 Balik Pada proses filtrasi, sebagian molekul atau partikel diteruskan melalui pori membran dan sebagian lagi tertahan di atas permukaan membran. Perbandingan antara bagian yang tertahan dengan bagian yang dapat melewati membran disebut sebagai rejeksi (Baker 2004). Rejeksi berhubungan dengan permselektivitas membran, yaitu suatu ukuran kemampuan untuk menahan spesi atau melewatkan spesi tertentu (Mulder 1996). Kompaksi Membran Menurut Mulder 1996, kompaksi membran adalah perubahan mekanik suatu matriks membran polimer yang terjadi dalam proses membran dengan gaya dorong ∆P. Selama proses berlangsung pori-pori membran merapat sehingga menghasilkan penurunan nilai fluks, bahkan setelah relaksasi (dengan cara menurunkan tekanan pada proses) nilai fluks tidak dapat kembali sebagaimana nilai awalnya karena fenomena
4
ini bersifat tidak balik. Biasanya kompaksi terjadi pada proses osmosis balik yang dikenai tekanan yang sangat tinggi, tetapi pada ultrafiltrasi dan nanofiltrasi kompaksi juga bisa terjadi, yaitu bergantung pada tekanan yang dikenakan dan morfologi membran (Mulder 1996).
Membran Selulosa Asetat CA merupakan salah satu bahan dasar membran asimetrik, baik untuk osmosis balik, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi. Membran dapat dipreparasi dengan menggunakan beberapa metode antara lain pelelehan, pengepresan, dan pembalikan fasa. Pembuatan membran CA biasanya dilakukan dengan cara pembalikan fasa melalui proses pencelupan (immersia) (Mulder 1996). Pembalikan fasa adalah proses dimana polimer ditransformasikan dari bentuk larutan menjadi bentuk padatan secara terkontrol. Proses pemadatan sangat sering diawali dengan transisi dari suatu bentuk larutan menjadi larutan lain (pencampuran kembali larutanlarutan). Pada keadaan yang tepat selama pencampuran kembali fasa dengan konsentrasi polimer yang tinggi akan membentuk padatan atau matriks membran, sedangkan fasa dengan konsentrasi polimer yang rendah akan membentuk pori-pori. Dengan mengontrol keadaan pada fase transisi, morfologi membran akan terkontrol (Mulder 1996). Tahapan pembuatan membran melalui pembalikan fase dengan cara pencelupan adalah pertama pembuatan larutan homogen dengan kekentalan yang diinginkan, lalu pencetakan larutan polimer sebagai lapisan tipis. Selanjutnya, penguapan sebagian pelarut dari polimer. Setelah itu, pengendapan polimer dengan cara pencelupan. Tahap akhir adalah perlakuan suhu (annealing) untuk menyusutkan ukuran pori. Tahapan di atas berpengaruh terhadap karakteristik akhir membran yang terlihat (Mulder 1996).
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah limbah buah nanas dari pedagang rujak di depan kampus IPB Baranangsiang, cuka pekat teknis (±98% [v/v]), kertas saring, bibit nata (Balai Besar Industri Agro), gula pasir, anhidrida asam
asetat, asam asetat glasial (100%), aseton teknis (±95%), diklorometana, dimetilsulfoksida (DMSO), kristal NaOH, H2SO4 teknis (95-97%), (NH4)2SO4, K2Cr2O7 teknis, bovine serum albumin (BSA), dan air suling. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah penghancur National Mega & Philips, panci, pisau pemotong, neraca analitik, pengaduk listrik kecepatan tinggi versamix (Fisher), wadah fermentasi berukuran 30x20x4.5 cm3 merk Komet Star Plastics jenis Tripoly nomor 3, kertas koran, karet pengikat, pompa vakum, termometer, Pemanas listrik, oven, sentrifus Hermle Z300 (Labnet), botol bertutup ganda, alat-alat kaca, serta alat saring cross-flow.
Pembuatan Selulosa Bakteri dari Limbah Nanas (Nata de Pina) Pembuatan nata de pina dilakukan dengan modifikasi prosedur Susanto et al. 2000. Limbah buah nanas dihancurkan menggunakan penghancur hingga didapatkan bubur limbah nanas, lalu bubur diperas menggunakan kain kasa sehingga didapatkan sarinya. Sari limbah nanas tersebut masih banyak mengandung endapan atau pengotor, sehingga untuk mendapatkan sari buah yang baik perlu disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum menggunakan corong-Büchner. Tahap selanjutnya sari nanas diencerkan menggunakan air dengan perbandingan sari nanas:air (1:4) dengan jumlah total larutan 600 ml, lalu larutan tersebut dididihkan. Setelah mendidih, ditambahkan gula pasir sebagai sumber karbon sebanyak 7.5 % (b/v) dan ditambahkan (NH4)2SO4 0.5% (b/v). Larutan diaduk sampai terbentuk larutan yang homogen. Larutan yang terbentuk diatur pHnya menjadi 4.5 dengan penambahan cuka pekat teknis, diukur dengan menggunakan kertas pH indikator. Larutan yang telah disesuaikan pHnya dimasukan ke dalam tiap-tiap wadah fermentasi plastik kemudian ditutup dengan kertas koran yang telah dipanaskan menggunakan pemanas listrik dan diikat dengan karet pengikat. Keesokan harinya ditambahkan bibit nata sebanyak 10% (v/v) dan diinkubasikan selama 4-7 hari pada suhu kamar. Pada hari ke-7, jika tidak terkontaminasi, nata de pina siap dipanen dengan ketebalan 0.6-1 cm.
5
Penyiapan Contoh Kering Selulosa Bakteri Penyiapan contoh kering ini dilakukan berdasrkan modifikasi prosedur Safriani (2000). Lembaran nata de pina selanjutnya dicuci dengan air, kemudian dipotong-potong dengan pisau, sehingga berbentuk lembaran kecil dengan ukuran 4×5 cm (p×l). Lembaran tersebut direbus mendidih selama 20 menit untuk menghilangkan bakteri yang tersisa atau menempel pada lembaran nata. Selanjutnya, direndam dalam larutan NaOH 1% pada suhu kamar selama 24 jam, kemudian dinetralkan dengan perendaman ke dalam cuka pekat teknis 1% selama 24 jam. Jumlah NaOH dan asam asetat yang digunakan sesuai dengan jumlah nata de pina yang akan dimurnikan. Selama belum digunakan, lembaran nata kecil ini dapat disimpan dalam kantong plastik di lemari pendingin. Tahap selanjutnya lembaran nata dimasukkan ke dalam corong-Büchner untuk disaring-vakum guna menghilangkan air di dalam nata. Setelah disaring-vakum terbentuk lembaran tipis nata. Lembaran tipis ini dikeringkan dalam suhu kamar. Nata de pina kering selanjutnya dihancurkan dengan menggunakan penghancur sampai berbentuk serbuk. Serbuk nata de pina kering yang dihasilkan diuji kadar air dan kadar selulosanya. Prosedur penetapan kadar air dan kadar selulosa dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sintesis Selulosa Asetat Asetilasi contoh uji selulosa kering dilakukan dengan modifikasi prosedur Arifin (2004). Sebanyak 1.8 g contoh uji ditimbang teliti di dalam botol plastik bertutup-ganda. Ke dalam botol, ditambahkan 100 ml cuka pekat teknis, dan botol dikocok kuat selama 1 menit lalu ditaruh di dalam shaker selama 20 menit. Setelah 20 menit, contoh disaringvakum dengan corong-Büchner, diperas sekuat-kuatnya, lalu perendaman dan penyaringan yang sama diulangi sekali lagi. Tahap selanjutnya contoh uji direndam dalm 50 ml asam asetat glasial pada botol yang sama. Setelah 3 jam, contoh kembali disaringvakum dan diperas sekuat-kuatnya. Perendaman dalam asam bertujuan menarik air, karena tidak diharapkan adanya air pada contoh, yang akan mengganggu proses asetilasi. Contoh uji bebas air dikembalikan ke botol, lalu dimasukkan pereaksi-pereaksi
asetilasi. Volume yang digunakan disesuaikan dengan bobot α-selulosa dalam contoh. Contoh uji α-selulosa yang digunakan sebanyak 1.8 g. Mula-mula dipipet 20.2 ml larutan asam asetat glasial–H2SO4 95-97% (v/v) (100:1). Botol digoyang kuat selama 1 menit agar katalis H2SO4 terserap oleh contoh. Setelah itu, ditambahkan anhidrida asam asetat dengan pipet tetes sedikit demi sedikit sambil di aduk dengan batang pengaduk, hal ini dimaksudkan agar menjaga suhu reaksi tidak terlalu tinggi karena reaksi asetilasi yang terjadi bersifat eksoterm. Digunakan nisbah selulosa:anhidrida asam asetat (1:5), yang setara dengan volume anhidrida asam asetat sebanyak 9 ml. Selanjutnya, suspensi diaduk dengan batang pengaduk kaca sampai mengental, lalu dibiarkan selama 2 jam, terhitung dari dimulainya penambahan anhidrida asam asetat. Suspensi yang terbentuk berwarna merah muda kecoklatan dan kental, serta sulit terpisahkan. Asetilasi dihentikan dengan menambahkan 2.4 ml larutan asam asetat glasial-air suling (2:1). Suspensi dibiarkan selama 30 menit, dengan pengadukan pada beberapa menit pertama, lalu dipindahkan ke dalam tabung sentrifus plastik 50 ml. Waktu 30 menit dihitung dari saat menambahkan pereaksi untuk hidrolisis, sampai saat sentrifugasi dimulai. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan lalu didispersikan ke dalam 500 ml air suling (CA yang terbentuk seperti pita kertas putih) diaduk sekuat mungkin dengan pengaduk magnetik dalam gelas piala 1 l. Serpihan CA yang diperoleh (berwarna putih) disaring-vakum dengan corongBüchner, dicuci dengan NaHCO3 1N teknis sampai tidak terbentuk gelembung gas CO2 lagi, lalu dicuci dengan air suling. Serpihan netral (pH 6.5-8.5) ini diperas, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml yang sebelumnya telah diketahui bobotnya lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu (50±3)ºC selama 24 jam, bila belum kering didiamkan kembali selama 24 jam sampai contoh CA yang didapat benar-benar kering. Produk CA yang dihasilkan selanjutnya dianalisis kadar air dan kadar asetilnya (Lampiran 3). Selanjutnya, Contoh CA yang didapat ditimbang teliti bobotnya, guna penentuan rendemen. Perhitungan besar rendemen sebagai berikut (ASTM 1991):
6
Rendemen (%) = (1 − M 2 )(W 3 − W 2 ) × 100 % C (1 − M
1
)W 1
dengan: W1 = bobot contoh uji (gram) M1 = kadar air contoh uji (%) C = kadar α-selulosa (%) W2 = bobot gelas piala (gram) W3 = bobot gelas piala+selulosa Asetat kering (gram), dan M2 = kadar air selulosa asetat (%).
Pembentukan Membran Selulosa Asetat Pembuatan membran melalui fasa inversi dengan cara pencelupan. Tahap pertama CA dilarutkan ke dalam pelarut organik diklorometana dengan Jumlah CA yang digunakan sebanyak 14% (b/v). Larutan polimer dituangkan ke atas penampang kaca (20×15 cm) lalu dicetak sebagai lapisan tipis dengan cara menekan lalu menarik larutan polimer tersebut, sampai diperoleh lapisan tipis. Lapisan tipis ini menempel pada kaca dan dibiarkan selama 15 menit. Kemudian, penampang kaca direndam di dalam air sampai lapisan tipis yang menempel terlepas dari penampang kaca. Selanjutnya, lapisan tipis tersebut dikeringkan lalu dibentuk dalam bentuk lingkaran berdiameter 5 cm.
Pencirian Membran Fluks air Sampel membran berbentuk lingkaran ditempatkan dalam modul alat saring crossflow. Modul tersebut dihubungkan dengan selang pengalir umpan, rentetat, permeat, serta selang pengatur tekanan. Kemudian umpan dialirkan lalu tekanannya diatur untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Variasi tekanan yang digunakan sebesar 2.5, 5.0, 7.5, dan 10.0 psi. Fluks masing-masing diukur dengan fungsi waktu sampai tercapai kondisi tunak. Fluks dinyatakan dengan persamaan berikut (Mulder 1996). J =
V A ⋅t
J : Fluks (L/m2 jam) V : Volume permeat (L) A : Luas membran yang dilalui (m2) t : Waktu (jam)
Rejeksi membran Perolehan rejeksi pada membran dilakukan dengan menggunakan alat yang sama pada penentuan fluks membran, hanya untuk memperoleh nilai rejeksi membran parameter yang perlu diperhatikan dan dicatat ialah jumlah konsentrasi permeat dan umpan. Larutan BSA 200 ppm disiapkan untuk menjadi larutan umpan. Analisis untuk BSA dalam volume permeat menggunakan spektrofotometer (spectronic 20) pada panjang gelombang 520 nm yang sebelumnya telah dibuat kurva standar BSA. Persen rejeksi BSA dihitung dari per-bandingan antara konsentrasi permeat (Cp) dan umpan (Cf), sebagai berikut (Baker 2004). 1 − ⎛⎜ C p ⎞⎟ × 100 % ⎜C ⎝
f
⎟ ⎠
Diagram alir keseluruhan penelitian ini disajikan pada Lampiran 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar α-selulosa dan Kadar Air Nata de Pina kering Selulosa bakteri yang didapatkan dalam penelitian ini dimurnikan dengan cara melarutkan selulosa yang diperoleh dengan larutan NaOH 1% [larutan NaOH 1% telah di optimasi oleh Arifin (2004)] dan didapatkan kadar α-selulosa sebesar 88.72% (Lampiran 5b). Hal ini menunjukan bahwa selulosa yang diperoleh dalam penelitian ini cukup murni. Perendaman dalam NaOH 1% dapat menyebabkan pembengkakan pada struktur selulosa. Pembengkakan yang terjadi akan membuka serat-serat selulosa. Jika alkali ini dinetralkan dengan asam, maka akan mengurangi kristalinitas selulosa dan strukturnya membengkak. Proses ini dinamakan merserisasi (Munk 1989). Struktur selulosa yang membengkak dapat meningkatkan aksesibilitas gugus –OH pada selulosa, sehingga proses penetrasi pereaksi ke bagian dalam selulosa menjadi lebih mudah. Kadar air selulosa untuk memproduksi CA berkisar antara 4-7%, menurut Ullmann’s Encyclopedia (1999). Kadar air mempengaruhi reaktivitas selulosa pada saat asetilasi. Serbuk kering selulosa nata de pina yang dihasilkan sebesar 7.65% (Lampiran 5a). Hal ini menunjukkan bahwa serbuk nata de pina cukup memenuhi syarat sebagai bahan baku pembuatan CA. Gugus –OH dalam air bersifat lebih reaktif jika dibandingkan dengan gugus –OH pada selulosa, sehingga kadar air yang tinggi pada selulosa akan mempercepat
7
berlangsungnya proses hidrolisis daripada substitusi (Metshisuka & Isogai 1996). Kadar air yang didapatkan pada penelitian ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang serupa, seperti Yulianawati (2002) yang kadar air serbuk nata de coco yang diperoleh sebesar 4.89%. Kadar air yang relatif tinggi ini disebabkan metode pengeringan yang digunakan berbeda. Pada penelitian tersebut proses pengeringan dilakukan menggunakan pemanasan sedangkan penelitian ini tidak menggunakan suhu atau pemanasan. Metode pengeringan tanpa pemanasan bertujuan untuk meningkatkan reaktivitas selulosa. Asetilasi mensyaratkan kondisi bebas-air untuk mencegah reversibilitas reaksi esterifikasi, untuk itu diperlukan pengeringan tanpa suhu tinggi. Deaktivasi akibat pengeringan disebut hornifikasi, dan menjadi penyebab rendahnya aksesibilitas selulosa yang dikeringkan di bawah sinar matahari dan di dalam oven (Arifin 2004).
Kadar Asetil, Kadar Air dan Rendemen Selulosa Asetat Kadar asetil CA yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 42.99%, Kadar asetil CA komersial juga ditetapkan sebagai perbandingan yang kadar asetilnya sebesar 39.87%. Kadar asetil merupakan ukuran jumlah asam asetat yang diesterifikasi pada rantai selulosa yang akan menentukan nilai derajat substitusi. Perhitungan penentuan kadar asetil ini dapat dilihat pada Lampiran 6b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya kadar asetil ialah metode pengeringan selulosa, konsentrasi NaOH pada tahap merserisasi, dan nisbah antara bobot selulosa dengan volume anhidrida asam asetat, faktor-faktor di atas telah di optimasi pada penelitian sebelumnya seperti oleh Arifin (2004) dan Yulianawati (2002). Faktor-faktor di atas yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil modifikasi penelitian-penelitian sebelumnya guna menghasilkan aksesibilitas gugus –OH yang tinggi. Nisbah antara bobot selulosa dengan volume anhidrida asam asetat yang digunakan pada penelitian ini sebesar 1:5, dengan volume anhidrida asam asetat sebanyak 4.5 ml. Volume pereaksi sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak karena proses akan menjadi tidak ekonomis. Selulosa contoh diusahakan mengandung kadar air yang rendah, karena kadar air dapat mempengaruhi jalannya reaksi esterifikasi. Gugus –OH pada air lebih mudah
bereaksi dengan pereaksi anhidrida asam asetat dibandingkan dengan gugus –OH pada selulosa. Aksesibilitas gugus –OH selulosa yang tinggi akan mempermudah pereaksi asetilasi masuk ke dalam serat-serat selulosa. Aksesibilitas yang tinggi dapat dilihat dari kadar asetil yang tinggi. Kadar asetil CA sebesar 42.99% setara dengan derajat substitusi 2.8 sampai 2.9. Derajat substitusi adalah jumlah rerata atom H pada gugus hidroksil, yang diubah menjadi gugus asetil, dalam setiap residu anhidroglukosa (Arifin 2004). Kadar air CA yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 34.06% sebagai perbandingan, ditetapkan juga kadar air pada CA komersial sebesar 11.51 %. Perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 6a. Perbedaan kadar air kedua CA ini cukup signifikan, hal tersebut diduga disebabkan metode pengeringan CA yang dihasilkan belum sempurna. Lamanya proses pengeringan dan suhu yang digunakan diduga sebagai faktor utama. Suhu yang digunakan dan lamanya pengeringan pada penelitian ini masing-masing 50ºC dan 24 jam. Selain kedua faktor tersebut, cara penyimpanan CA contoh juga diduga mempengaruhi besarnya kadar air. Walaupun CA diketahui tidak bersifat higroskopis. Rendemen CA adalah perbandingan antara bobot selulosa asetat yang diperoleh dengan bobot selulosa sampel yang digunakan pada proses asetilasi. Besarnya rendemen CA yang diperoleh sebesar 148.33% (Lampiran 7). Rendemen yang besar ini disebabkan oleh lebih besarnya bobot CA yang diperoleh jika dibandingkan dengan bobot selulosa yang digunakan. Besarnya bobot CA yang diperoleh sebesar 3.32 gram sedangkan selulosa yang digunakan hanya 1.81 gram.
Kelarutan Selulosa Asetat CA dapat larut dalam pelarut-pelarut organik. Faktor yang mempengaruhi kelarutan CA ialah derajat substitusinya, yang dapat dilihat dari besarnya kadar asetil. CA dengan kadar asetil sebesar 42.99% yang setara dengan derajat substitusi (DS) 2.8 sampai 2.9; larut dalam pelarut diklorometana. CA yang dihasilkan juga larut baik dalam pelarut dimetilsulfoksida (DMSO). Kelarutan yang baik ini dapat dilihat dari terbentuknya larutan yang homogen dalam kedua pelarut tersebut. Hasil ini juga menyimpulkan bahwa CA yang dihasilkan belum memenuhi syarat SNI, yaitu dapat larut dalam pelarut aseton. CA yang
8
larut dalam diklorometana dapat diaplikasikan pada industri tekstil. Konsentrasi CA yang digunakan pada saat pelarutan sebesar 14% (b/v). Angka ini diambil dari hasil optimasi yang telah dilakukan Yulianawati (2002). Kelarutan CA yang baik akan mempengaruhi proses pembuatan membran. Jika CA yang dilarutkan tidak homogen, proses pencetakan akan mengalami kesulitan. Larutan yang tidak homogen akan menyebabkan terperangkapnya gelembung-gelembung udara pada larutan cetak yang juga akan menyebabkan permukaan membran menjadi tidak rata (Darwati et al. 2002).
Membran Selulosa Asetat Membran CA yang dihasilkan dibuat dengan menggunakan metode pembalikan fasa (phase inversion). Pada saat tahap pencetakan, larutan polimer dicetak dengan cara menarik larutan tersebut menggunakan gelas pengaduk. Metode ini diduga dapat menyebabkan ketebalan membran yang tidak rata pada tiap sisinya. Proses penguapan pelarut diklorometana dilakukan pada suhu ruang. Larutan CA yang telah dicetak, dibiarkan kering sampai terbentuk lembaran. Lembaran yamg telah kering direndam di dalam air sampai membran terlepas dari kaca. Membran yang dihasilkan berwarna putih transparan seperti plastik terlihat pada Gambar 2.
akibat adanya polarisasi konsentrasi pada larutan umpan yang dilewatkan pada membran atau terjadinya fouling pada permukaan membran. Pada fluks air murni dalam proses ultrafiltrasi atau mikrofiltrasi, penurunan nilai fluks biasanya kurang dari 5% (Mulder 1996). Pengukuran fluks air akuades terhadap membran CA contoh pada variasi tekanan 2.5; 5.0; 7.5; dan 10.0 psi (Lampiran 8 dan Lampiran 9) dilakukan dengan melewatkan air akuades melalui alat saring cross-flow. Penyaringan ini menunjukkan fenomena yang sama, yaitu semakin lama waktu, nilai fluks semakin turun hingga tercapai nilai yang stabil atau tunak. Fenomena ini ditunjukkan pada Gambar 3. Menurut Mulder (1996) jika gaya dorong yang dikenakan terhadap membran konstan maka nilai fluks membran akan konstan setelah tercapai keadaan tetap. Nilai fluks akuades membran CA tersebut semakin turun dengan bertambahnya waktu sampai tercapai kondisi tunak (tanda lingkaran). Nilai rerata fluks pada tekanan 2.5; 5.0; 7.5; dan 10.0 psi masing-masing sebesar 101.02; 113.80; 123.97; dan 111.04 L/m2jam. Dilihat dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa membran CA yang dihasilkan termasuk ke dalam kelompok mikrofiltrasi, hal ini sesuai dengan pernyataan Mulder 1996, bahwa membran mikrofiltrasi memiliki kisaran nilai fluks lebih dari 50 L/m2 jam. 160 140 Fluks (L/m2jam)
120 100 80 60 40 20
P = 2.5 psi P = 5.0 psi P = 7.5 psi P = 10.0 psi
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 Waktu (menit)
Gambar 2 Membran selulosa asetat contoh.
Nilai Fluks Air Nilai fluks membran berbanding terbalik terhadap fungsi waktu. Semakin bertambahnya waktu, nilai fluks suatu membran cenderung turun. Penurunan berlangsung terus menerus hingga tercapai kondisi steady state atau tunak. Fenomena tersebut dapat terjadi
Gambar 3 Perbandingan antara fluks akuades membran selulosa asetat contoh dengan waktu pada berbagai tekanan. Nilai fluks berbanding lurus dengan variasi tekanan, semakin tinggi tekanan nilai fluksnya bertambah, terlihat pada Gambar 4. Hal tersebut tidak terjadi pada nilai fluks di tekanan 10.0 psi. Hal ini diduga pada tekanan 10.0 psi telah terjadinya peristiwa kompaksi. Kompaksi membran merupakan suatu
9
perubahan mekanik pada struktur membran polimer yang terjadi dalam proses membran dengan gaya dorong ∆P, akibatnya semakin tinggi tekanan yang dikenakan maka kompaksi membran akan berlangsung lebih cepat (Mulder 1996). Hal ini berhubungan dengan jenis membran selulosa yang bersifat hidrofilik. Kemampuan membran CA dalam menyerap air (umpan) dapat mengubah struktur CA itu sendiri. Struktur CA menjadi lebih kompak dan selama proses berlangsung pori-pori membran merapat sehingga menghasilkan penurunan nilai fluks, bahkan setelah relaksasi (dengan cara menurunkan tekanan pada proses) nilai fluks tidak dapat kembali sebagaimana nilai awalnya karena gejala ini bersifat tidak balik.
di dalam umpan. Semakin lama waktu, semakin banyak partikel yang tertahan pada membran yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pori membran. Nilai rerata fluks BSA dan rejeksi membran CA contoh dalam waktu 30 menit masing-masing sebesar 114.22 L/m2jam dan 44.98 %. Tabel 5 Nilai fluks permeat BSA dan rejeksi (%) membran selulosa asetat contoh pada 7.5 psi Waktu Fluks Rejeksi (%) (L/m2jam) 5 118.60 36.25 10 116.84 38.75 15 113.71 41.00 20 111.97 50.88 30 109.98 58.00
120
120
100
118
80
116
F lu k s (L /m 2 Ja m )
F lu k s A ir ( L /m 2 j a m )
140
60 40 20 0 2.5
5
7.5
114 112 110 108 106
10
104
Tekanan (psi)
5
Gambar 4 Hubungan antara fluks selulosa asetat contoh dengan perubahan variasi tekanan.
10
15
20
30
20
30
Waktu (menit)
(a) 70
Nilai Fluks dan Rejeksi BSA
60
Salah satu indikator pencirian membran adalah nilai rejeksi. Larutan umpan BSA disaring melalui alat saring cross-flow. Larutan umpan BSA memiliki konsentrasi sebesar 200 ppm. Pada tiap 5 menit, permeat BSA diukur nilai fluks dan nilai rejeksinya (%) dengan bantuan kurva standar BSA menggunakan spectronic 20 pada panjang gelombang 520 nm (Lampiran 10). Nilai fluks dan rejeksi ditentukan pada tekanan 7.5 psi; hal ini dilakukan atas dasar optimasi nilai fluks air yang memiliki nilai fluks terbesar pada tekanan tersebut. Terlihat pada Tabel 5 perbedaan nilai fluks dan rejeksi tiap 5 menit. Nilai fluks semakin turun seiring bertambahnya waktu (Gambar 5a), sedangkan nilai rejeksi bertambah seiring bertambahnya waktu (Gambar 5b). Perubahan nilai fluks dan rejeksi ini dapat disebabkan terjadinya proses fouling pada pori membran yang dapat menahan partikel terlarut
R e j e k s i (% )
50 40 30 20 10 0 5
10
15 W aktu (menit)
(b) Gambar 5 Hubungan antara nilai fluks (a), nilai rejeksi (b) seiring bertambahnya waktu pada tekanan tetap 7.5 psi selama 30 menit. Dari nilai rerata rejeksi membran dapat diambil kesimpulan membran ini belum cukup baik untuk memisahkan protein dalam kurun waktu yang ditentukan. Upaya untuk dapat menghasilkan membran yang baik, dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi CA yang terlarut atau dengan mencampurkan
10
bahan polimer yang diketahui dapat memperkecil pori membran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulder (1996) yang menyatakan bahwa konsentrasi polimer pembentuk membran sangat mempengaruhi ciri membran yang terbentuk, semakin tinggi konsentrasi polimer pembentuknya maka membran yang dihasilkan akan semakin padat sehingga fluks membran akan semakin kecil (Mulder 1996). Selain konsentrasi CA, konsentrasi sampel yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai fluks dan rejeksi (Aprilia et al. 2003).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan CA yang diperoleh mempunyai kadar air sebesar 34.06% dan kadar asetil sebesar 42.99% serta rendemen sebesar 148.33%. Membran CA yang terbentuk memiliki fluks air yang optimal pada tekanan 7.5 psi sebesar 123.97 L/m2 jam. Nilai rerata fluks dan rejeksi BSA selama 30 menit pada tekanan 7.5 psi masing-masing sebesar 114.22 L/m2jam dan 44.98 %. Dilihat dari nilai rerata fluks air, membran yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai membran mikrofiltrasi. Produk CA yang diperoleh lebih besar dari kadar asetil 39-40%, dan kelarutannya tidak larut baik dalam aseton sebagaimana dipersyaratkan SNI (1991). Tetapi kadar asetil yang diperoleh sebesar 42.99% dapat diterapkan dalam industri tekstil.
Saran Kadar air selulosa kering diharapkan memiliki nilai yang rendah untuk menghasilkan aksesibilitas –OH selulosa yang tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode pengeringan yang lebih baik tanpa pemanasan. Proses pencetakan membran sebaiknya dilakukan ditempat yang bersih dan suhunya stabil, sehingga diperoleh membran yang tanpa pengotor dan dapat dilihat pengaruh suhu terhadap proses penguapan pelarut. Konsentrasi CA dalam pembuatan membran sebaiknya dibuat variasi agar ditemukan konsentrasi yang optimal. Selain itu, penambahan zat polimer lain perlu dilakukan untuk mendapatkan membran yang mempunyai kemampuan memisahkan lebih baik.
Dalam pencirian membran menggunakan alat saring cross-flow sebaiknya sebelum dilakukan penyaringan membran dicuci terlebih dahulu, dengan cara mengalirkan air aquades selama 5-10 menit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengotor yang dapat menyumbat pori membran. Pencirian lain untuk menguji kemampuan membran selain fluks dan rejeksi sebaiknya dilakukan, seperti uji tarik dan ketahanan kimia. Pengukuran rejeksi sebaiknya dilanjutkan sampai membran dapat menahan zat tertentu minimal sebesar 90% (molecular weight cut off). Pencirian lain ini akan lebih menguatkan fakta bahwa membran yang diperoleh baik atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. tt. Cellulose. http://www.fibersource.com/f-tutor/cellulose.htm. [20 Desember 2005]. [Anonim]. tt. Processing routes to Acetic Anhydride. http://www.chemsystems.com /newsletters/perp/Jun04_N03S1.cfm. [9 Desember 2005]. Aprilia S, Aulia N, Aisyah C. 2003. Membran selulosa untuk pemisahan protein secara ultrafiltrasi [Laporan penelitian]. Aceh: Universitas Syah Kuala. Arifin B. 2004. Optimasi kondisi asetilasi selulosa bakteri dari nata de coco [Skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor. Arsatmojo E. 1996. Formulasi pembuatan nata de pina [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. ASTM.1991. ASTM D871: Standard Methods of Testing Cellulose Acetate. Philadelphia: American Society for Testing and Materials. Baker RW. 2004. Membrane Technology and Applications. Ed ke-2. London: Wiley. Brocks TD. 1983. Membrane Filtration: A User’s Guide and Reference Manual. Madison: Science Tech. Darwati, Natanael CL, Rahayu I. 2002. Pembuatan dan karakterisasi membran ultrafiltrasi dan bahan selulosa asetat
11
dengan variasi konsentrasi aditif (formamida) dan aplikasinya untuk penanganan limbah tapioka [Laporan Penelitian]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Netherland: Kluwer.
Darwo AA. 2003. Produksi membran filtrasi dari selulosa mikrobial dan penerapannya dalam industri hasil pertanian [Laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Nurlaelasari, Rahayu I, Harneti D. 2002. Pembuatan dan karakterisasi membran ultrafiltrasi dari bahan selulosa asetat dengan variasi konsentrasi aditif [Laporan penelitian]. Bandung: Universitas Padjajaran.
Eryan. 2004. Pemisahan Gas Dengan Membran Berpori. http://www.eryan@tf. itb.ac.id. [10 Maret 2005]. Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin: Walter de Gruyter. Geyer U et al. 1994. Formation, derivatization, and applications of bacterial cellulose. Int J Biol Macromol 16:215218. Ho WSW, Sirkar KK. 1992. Membrane Handbook. Newyork: Chapman & Hall. Immergut EH. 1975. Cellulose. Di dalam: Browning BL (ed). The Chemistry of Wood. New York: John Wiley and Sons. hlm 103-190.
Munk P. 1989. Introduction to Macromolecular Science. Texas: Wiley & Sons.
Osada Y, Nakagawa T. 1992. Membrane Science and Technology. New York: Marcel Dekker. Rulianah S. 2002. Studi pemanfaatan kulit buah nanas sebagai nata de pina. Bisnis dan Teknologi 10:20-25. Safriani. 2000. Produksi biopolymer selulosa asetat dari nata de soya [Tesis]. Bogor: Departemen Teknik Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Schmitt DF, Franco VH, Westland J, Zoetis T. 1991. Toxicologic evaluation of cellulose fiber: genotoxicity, pyrogenicity, acute dan subchronic toxicity. Am. Coll. Toxicol. 10:541-554.
Jonas R, Farah LF. 1998. Production and application of microbial cellulose. Polymer Degrad Stabil 59: 101-106.
Scott K, Hughes R. 1996. Industrial Membrane Separation Technology. London: Blackie Academic and Professionals.
Kroschwitch JI. 1990. Concise of Polymer Science and Engineering. New York: John Wiley & Sons.
SNI. 1991. SNI 06-2115-1991: Selulosa Asetat. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional.
Krystynowicz A, Bielecki S. 2001. Biosynthesis of Bacterial Cellulose and Its Potential Application In the Different Industries. Polish Biotechnology. News. [http: // www. Biotechnology-pl. com/ science/ krystynowicz.htm]. [1 Juli 2005].
Susanto T, Adhitia R, Yunianta. 2000. Pembuatan Nata de Pina dari kulit nanas kajian dari sumber karbon dan pengenceran medium fermentasi. Teknologi Pertanian 1: 58-66.
Masaoka S, Ohe T, Sakota N. 1993. Production of cellulose from glucose by Acetobacter xylinum. Ferment Bioeng 75:18-22. Morton JF. 1987. Fruits of Warm Climates. http : //www. hort. purdue. edu/ newcrop /morton/pineapple.html.[17 Juni 2005].
Tanaka R, Daud WRW. 2002. Preparation of cellulose pulp from empty fruit bunches of oil palm. http://ss.jircas.affrc.go.jp/kan ko/newsletter/nl2003/No.34/34p04.pdf. [5 Desember 2005]. Toyosaki H et al. 1995. Screening of bacterial cellulose producing Acetobacter strain suitable for agitated culture. Biosci biotechnol Biochem 59:1498-1502.
12
Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. 1998. Di dalam: Produksi biopolimer selulosa asetat dari nata de soya [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wanichapichart P, Kaewnopparat S, Buaking K , Puthai W. 2002. Characterization of cellulose membranes produced by Acetobacter xylinum. Science Tecnology 24: 855-856. Wenten IG. 1996. Teknologi Industrial Membran. Bandung: Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Yoshinaga S, Tonouchi N, Watanabe K. 1997. Research progress in production of bacterial cellulose by aeration and agitation culture and its application as a new industrial material. Biosci. Biotech. Biochem. 6:119-224. Yulianawati N. 2002. Kajian pengaruh nisbah selulosa dengan pereaksi asetilasi dan lama asetilasi terhadap produksi selulosa dari nata de coco [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Zeman LJ, Zydney AL. 1996. Microfiltration and Ultrafiltration, Principles and Application. New York: Marcel Dekker.
13
LAMPIRAN
14
Lampiran 1 Reaksi asetilasi selulosa asetat ([Anonim] tt).
Selulosa
Selulosa Triasetat
Anhidrida Asam Asetat
Asam Asetat
15
Lampiran 2 Penetapan kadar air dan α-selulosa. Penetapan kadar air Petri kosong dikeringkan selama 1 jam pada suhu (105±3)ºC dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang bobotnya dengan teliti (W1). Sebanyak 0.21 g contoh uji ditimbang teliti (W2) di dalam petri tersebut kemudian dikeringkan kembali pada suhu yang sama. Bobot (contoh uji+petri) ditetapkan setiap interval 1-3 hari, setelah didinginkan di dalam desikator. Setelah tercapai bobot konstan (W3), kadar air dihitung dengan persamaan berikut. Kadar air (%) = ⎛⎜ 1 − W 3 − W 1 ⎞⎟ × 100 % ⎜ ⎟ ⎝
W2
⎠
Penetapan kadar α-selulosa Kaca masir kosong direndam dengan 20 ml larutan pencuci sulfat-kromat, dan dibiarkan 1-2 hari. Larutan pencuci ini dibuat dengan melarutkan 5 g K2Cr2O7 teknis ke dalam 100 ml larutan H2SO4 teknis(aq) (1:1). Setelah pencucian ini, kaca masir menjadi berwarna merah kecoklatan, lalu dibilas dengan etanol teknis, sehingga sisa kromat tereduksi menjadi berwarna hijau, yang lolos dari kaca masir. Jika kaca masir masih agak kehijauan, dibilas lagi dengan air suling seperlunya. Setelah putih bersih, kaca masir dikeringkan selama 1 jam pada suhu (105±3)ºC dalam oven, dan ditimbang teliti bobotnya (W1), setelah didinginkan di dalam desikator. Sebanyak 1 g contoh uji ditimbang teliti (W2) di dalam gelas piala 250 ml. Ke dalam gelas piala itu, ditambahkan 25 ml NaOH teknis 17.5% (b/v), lalu diaduk selama 5 menit. Setelah 15 menit, ditambahkan 25 ml air suling, dan diaduk kembali selama 1 menit. Setelah 5 menit, contoh uji disaring-vakum dengan kaca masir tadi, lalu dicuci 12 kali, dengan 25 ml air suling tiap pencucian. Residu dalam kaca masir lalu diberi 40 ml CH3COOH 10%, dan dibiarkan selama 5 menit, sebelum disaring-vakum kembali. Residu dalam kaca masir dikeringkan pada suhu (105±3)ºC dalam oven, sampai tercapai bobot konstan (W3). Bobot (residu+kaca masir) itu ditetapkan setiap interval 1-3 hari, setelah didinginkan di dalam desikator. Karena sifat selulosa sangat hiroskopis, penetapan kadar a-selulosa harus disertai penetapan kadar air. Penimbangan contoh uji untuk kedua penetapan ini harus dilakukan bersamaan. Jika kadar air contoh uji dilambangkan M, kadar a-selulosa dapat dihitung dari persamaan berikut ini. Kadar α-selulosa (%) = W 3 − W 1 × 100 %
(1 − M )W 2
16
Lampiran 3 Penetapan kadar air dan kadar asetil CA. Labu Erlenmeyer 250 ml kosong dikeringkan selama 1 jam pada suhu (105±3)ºC dalam oven. Lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang teliti (W1). Sebanyak 0.011 g CA ditimbang teliti (W2) ke dalam labu itu, kemudian (contoh+labu) dikeringkan kembali selama 24 jam pada suhu yang sama, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang teliti (W3). Kada air CA dihitung dengan persamaan berikut. Kadar air (%) =
(1 −
W
− W1 ) × 100 % W2
3
Penetapan kadar asetil dilakukan dengan modifikasi prosedur ASTM (1991), karena CA tidak higroskopis, dimungkinkan penundaan waktu antara penetapan kadar air dan kadar asetil. Adapun, volume larutan-larutan yang dituliskan disini ialah untuk ± 1 g CA. Jika digunakan kurang dari 0.5 g CA digunakan volume sebanyak yang untuk 0.5 g. Ke dalam labu, ditambahkan 40 ml etanol 75% (v/v) dengan pipet, lalu labu dipanaskan di penangas air bersuhu (55±3)ºC selama 30 menit. Labu dikeluarkan dari penangas, lalu ditambahkan 40 ml NaOH 0.5 N ke dalamnya dengan menggunakan biuret kemudian dipanaskan kembali selama 15 menit pada suhu yang sama. Selanjutnya labu ditutup rapat dengan lembaran aluminium, dan dibiarkan selama 72 jam pada suhu ruang. Setelah itu, sisa NaOH dititrasi dengan HCl 0.5 N standar menggunakan indicator fenolftalein (pp) sampai lenyapnya warna merah muda. Sebanyak 1 ml titran dilebihkan dari titik akhir itu, lalu labu ditutup rapat kembali, dan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar untuk menarik NaOH yang berdifusi ke dalam selulosa teregenerasi. Kemudian sisa HCl dititrasi dengan NaOH 0.5 N standar sampai muncul warna merah muda permanen pertama kali. Titrasi dilakukan dengan hati-hati karena titirat tidak tanwarna, tetapi berwarna kuning muda sampai coklat. Bergantung pada warna CA setelah penetapan kadar air. Blangko, yaitu perlakuan serupa dengan penetapan kadar asetil contoh tetapi tanpa menggunakan contoh, dibuat bersamaan dengan contoh. Kadar asetil CA dapat dihitung dari persamaan berikut. Kadar asetil (%) = 4 . 305 [( D − C ) N a + ( A − B ) N b ] (1 − M )W
dengan: A= volume NaOH untuk titrasi contoh (ml), B= volume NaOH untuk titrasi blangko (ml), Nb= normalitas NaOH; C= volume HCl untuk titrasi contoh (ml); D= volume HCl untuk titrasi blangko (ml), Na= normalitas HCl; dan M= kadar air CA (%), W= bobot contoh CA (g). Standardisasi NaOH 0.5 N. Sebanyak 7.8794 g asam oksalat dihidrat -1 [(COOH)2·2H2O] (bobot molekul 126.07 gmol ) dilarutkan dalam 100 ml air suling. Larutan dimasukkan ke labu takar 250 ml yang bersih dan kering, lalu ditambahkan air suling sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml larutan [(COOH)2·2H2O] 0.5000 N tersebut dimasukkan dengan buret ke dalam labu Erlenmeyer 100 ml. Setelah itu, dilakukan titirasi dengan NaOH 0.5 N yang akan distandardisasi, menggunkan indikator pp sampai terbentuk warna merah muda permanent pertama kali. Normalitas NaOH ialah 5/(VNaOH), dan diambil rerata dari 2 ulangan. Standardisasi HCl 0.5 N. Sebanyak 6.6244 g natrium karbonat (Na2CO3; bobot molekul 105.99 gmol-1) dilarutkan dalam 100 ml air suling. Larutan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml yang bersih dan kering, lalu di tambahkan air suling sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml larutan Na2CO3 0.5000 N tersebut dimasukkan dengan buret ke dalam labu Erlenmeyer 100 ml. Setelah itu, dilakukan titirasi dengan HCl 0.5 N yang akan distandardisasi, menggunakan indicator jingga metal (jm) sampai warna tepat berubah dari jingga menjadi merah permanen. Normalitas HCl ialah (5/VHCl), dan diambil rerata dari 2 ulangan.
17
Lampiran 4 Diagram alir penelitian. Pembuatan nata de pina
Pemurnian selulosa
Penetapan kadar air dan kadar α-selulosa
Asetilasi
Penetapan rendemen, kadar air, dan kadar asetil selulosa asetat
Pembuatan membran selulosa asetat
Pencirian fluks dan rejeksi
18
Lampiran 5 Data kadar air dan kadar α-selulosa contoh. (a) Kadar Air Ulangan W1 (g) W2 (g) 1 28.3449 0.3001 2 26.9846 0.3001 Rerata kadar air selulosa contoh sebesar 7.56%
W3 (g) 28.6241 27.2602
Kadar air (%) 6.96 8.16
(b) Kadar α-selulosa Ulangan W1 (g) W2 (g) 1 29.7774 0.5000 2 29.9398 0.5000 Rerata kadar α-selulosa contoh sebesar 88.72%
W3 (g) 30.2159 30.3214
Kadar air (%) 94.87 82.56
Contoh Perhitungan (Ulangan 1)
Kadar air (%) = (1 −
− W1 ) × 100 % W2
W
3
28 .6421 − 28 .3449 Kadar air (%)= ⎛⎜ 1 − 0 .3001 ⎝ =
⎞ ⎟ × 100 % ⎠
6.96% 6 .96 % + 8 .16 % 2 = 7.56%
Rerata kadar air =
Kadar α-selulosa (%) = ⎛⎜ W 3 − W 1 ⎞⎟ × 100 % ⎜ ⎟ ⎝ (1 − M )W 2 ⎠
Kadar α-selulosa (%) = ⎛⎜ 30.2159 - 29.7774 ⎞⎟ × 100 % ⎜ ⎟ ⎝ (1 - 0.0756 ) ⋅ 0 .5000 ⎠
= 94.87% Rerata kadar α-selulosa = 94 . 87 % + 82 . 56 % 2
= 88.72%
19
Lampiran 6 Data kadar air, kadar asetil selulosa asetat contoh dan selulosa asetat komersial. (a) Kadar air Kadar air selulosa asetat contoh Selulosa Ulangan W1 asetat (g) Contoh 1 108.4644 2 98.5472 Komersial 1 111.0502 2 103.1028 (b) Kadar asetil Selulosa Ulangan asetat Contoh Komersial
1 2 1 2
W2 (g) 0.2128 0.2179 0.2141 0.2145
W3 (g) 108.6055 98.6901 111.2414 103.2909
Kadar air (%) 33.69 34.42 10.70 12.31
W (g)
M (%)
C (g)
Na (N)
A (ml)
Nb (N)
0.2128 0.2179 0.2141 0.2145
33.69 34.42 10.70 12.31
17.10 16.85 15.90 15.80
0.4719 0.4719 0.4719 0.4719
0.60 0.60 0.15 0.20
0.4545 0.4545 0.4545 0.4545
Rerata (%) 34.06% 11.51% Kadar asetil (%) 40.90 44.52 38.76 39.88
Rerata (%) 42.71 39.88
Keterangan: volume HCl untuk titrasi blangko: 19.50 ml dan volume NaOH untuk titrasi blangko: 0.10 ml Contoh perhitungan selulosa asetat contoh (ulangan 1): Kadar air (%) =
(1 −
Kadar air (%) = ⎛⎜ 1 − ⎝
=
W
− W1 ) × 100 % W2
3
108 . 6055 − 108 . 4644 ⎞ ⎟ × 100 % 0 . 2128 ⎠
33.69%
33 . 69 % + 34 . 42 % 2 = 34.06%
Rerata kadar air =
Kadar asetil (%) = 4 . 305 [( D − C ) N a + ( A − B ) N b ] (1 − M )W
Kadar asetil (%) = 4 . 305 × [(19 . 5 − 17 . 1 ) ⋅ 0 . 4719 + (0 . 6 − 0 . 1 ) ⋅ 0 . 4545 ]
(1 − 0 . 3369 ) × 0 . 2128
= 40.90% Rerata kadar asetil = 40,90% + 44,52% 2
= 42.71%
20
Lampiran 7 Perhitungan rendemen selulosa asetat contoh. Rendemen (%) = (1 −
M 2 )(W 3 − W C (1 − M 1 )W 1
2
)
× 100 %
dengan: W1 = bobot contoh uji (gram) M1 = kadar air contoh uji (%) C = kadar α-selulosa (%) W2 = bobot gelas piala (gram) W3 = bobot gelas piala+selulosa Asetat kering (gram), dan M2 = kadar air selulosa asetat (%).
Rendemen (%)= (1 − 0 . 3406 ) × (71 . 0520 − 67 . 7288 ) × 100 % 0 . 8872 × (1 − 0 . 0756 ) × 1 . 8013
= 148.33%
21
Lampiran 8 Fluks air pada berbagai variasi tekanan. Waktu (menit)
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63
Waktu/25 ml (detik) 95 95 98 100 108 108 110 112 114 115 117 118 119 120 123 125 127 128 130 130
P = 2,5 psi Waktu/25 ml (jam) 0.026389 0.026389 0.027222 0.027778 0.03 0.03 0.030556 0.031111 0.031667 0.031944 0.0325 0.032778 0.033056 0.033333 0.034167 0.034722 0.035278 0.035556 0.036111 0.036111
Fluks (L/m2Jam) 120.6839 120.6839 116.9895 114.6497 106.1571 106.1571 104.227 102.3658 100.5699 99.69538 97.99118 97.16075 96.34427 95.5414 93.21112 91.71975 90.27534 89.57006 88.19206 88.19206
rerata 101.0189 Contoh perhitungan (menit ke-3) P=5,0 Fluks : J = V A ⋅t
Waktu/25 ml (detik) 83 85 86 88 90 93 95 95 97 100 105 107 108 109 111 113 120 120 120 120
P = 5,0 psi Waktu/25 ml (jam) 0.023056 0.023611 0.023889 0.024444 0.025 0.025833 0.026389 0.026389 0.026944 0.027778 0.029167 0.029722 0.03 0.030278 0.030833 0.031389 0.033333 0.033333 0.033333 0.033333 rerata
J=
0 , 00785
Fluks (L/m2Jam) 138.1321 134.882 133.3136 130.2837 127.3885 123.2792 120.6839 120.6839 118.1955 114.6497 109.1902 107.1492 106.1571 105.1832 103.288 101.4599 95.5414 95.5414 95.5414 95.5414
Waktu/25 ml (detik) 78 79 80 81 83 84 84 88 89 93 97 98 100 103 103 105 106 108 108 108
113.8043
0 , 025 ⋅ 0 , 023056
= 138 ,1321
P = 7,5 psi Waktu/25 ml (jam) 0.021667 0.021944 0.022222 0.0225 0.023056 0.023333 0.023333 0.024444 0.024722 0.025833 0.026944 0.027222 0.027778 0.028611 0.028611 0.029167 0.029444 0.03 0.03 0.03 rerata
Fluks (L/m2Jam) 146.9868 145.1262 143.3121 141.5428 138.1321 136.4877 136.4877 130.2837 128.8199 123.2792 118.1955 116.9895 114.6497 111.3104 111.3104 109.1902 108.1601 106.1571 106.1571 106.1571 123.9368
Waktu/25 ml (detik) 80 85 87 89 90 95 98 100 103 103 105 106 108 112 114 116 119 122 125 125 125
P = 10,0 psi Waktu/25 Fluks ml (jam) (L/m2Jam) 0.022222 134.882 0.023611 131.7812 0.024167 128.8199 0.024722 127.3885 0.025 120.6839 0.026389 116.9895 0.027222 114.6497 0.027778 111.3104 0.028611 111.3104 0.028611 109.1902 0.029167 108.1601 0.029444 106.1571 0.03 102.3658 0.031111 100.5699 0.031667 98.83593 0.032222 96.34427 0.033056 93.97515 0.033889 91.71975 0.034722 91.71975 0.034722 91.71975 0.034722 111.0421 rerata 111.0421
Keterangan: V= Volume (25 ml) A= Luas permukaan membran (0,00785 m2)
t = Waktu (Jam)
22
Lampiran 9 Hubungan fluks dengan waktu pada tekanan 2.5; 5.0; 7.5; dan 10.0 psi. 140
Fluks (L/m2Jam)
120 100 80 (2.5 psi) 60 40 20
57
51
45
39
33
27
21
9
15
3
0
Waktu (menit)
160
Fluks (L/m2Jam)
140 120 100 80
(5.0 psi)
60 40 20
57
51
45
39
33
27
21
15
9
3
0
Waktu (menit)
160
Fluks (L/m2Jam)
140 120 100 80
(7.5 psi)
60 40 20
57
51
45
39
33
27
15
21
9
3
0
Waktu (menit)
160
Fluks (L/m2Jam)
140 120 100
(10.0 psi)
80 60 40 20 0 3
9
15
21
27
33
39
45
Waktu (menit)
51
57
63
23
Lampiran 10 Penentuan konsentrasi permeat BSA. Data Kurva Standar BSA Konsentrasi (ppm) %T Absorban 0 100 0.0000 20 89.8 0.0467 40 89.0 0.0506 60 88.8 0.0516 120 87.2 0.0595 160 86.2 0.0645 200 85.6 0.0675 Didapat persamaan garis lurus dengan Y=0.0290 + 0.0002 X, yang merupakan hubungan antara konsentrasi dengan absorban. Nilai absorban (Y) merupakan fungsi dari konsentrasi (X) Data % rejeksi BSA Waktu %T (menit) 5 10 15 20 30
Absorban
88.2 88.4 88.6 89.4 90.0
0.0545 0.0535 0.0526 0.0487 0.0458
Konsentrasi Permeat (ppm) 127.50 122.50 118.00 98.25 84.00
Contoh perhitungan (Waktu 5 menit) Absorban − 0 . 0290 0 . 0002 0 . 0545 − 0 . 0290 0 . 0002
Konsentrasi Permeat (ppm) =
=
= 127.50 ppm % rejeksi =
=
⎡ ⎛ C ⎢ 1 − ⎜⎜ ⎝ C ⎣⎢
p f
⎞⎤ ⎟ ⎥ × 100 % ⎟⎥ ⎠⎦
127 . 50 ⎤ ⎡ ⎢1 − 200 ⎥ × 100 % ⎣ ⎦
= 36.25% Keterangan: Cp= Konsentrasi permeat (ppm) Cf= Konsentrasi Umpan (200 ppm)
% Rejeksi 36.25 38.75 44.00 50.87 58.00