PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI
Oleh : DESIYARNI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI
Oleh DESIYARNI P. 25600001
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
: Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi
Nama
: Desiyarni
Nrp
: P. 256.00001
Program studi
: Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir.Hj. Tun Tedja Irawadi, MS Anggota
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota
2. Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Tanggal lulus :
Dr. Ir.Hj. Erliza Noor Anggota
Dr. Ir. Kaseno, M.Eng Anggota Mengetahui, 3. Dekan Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Desiyarni, P.25600001. Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi. Dibawah bimbingan A. Aziz Darwis, Tun Tedja Irawadi, Erliza Noor , Ani Suryani dan Kaseno. =========================================================== ABSTRAK Selulosa asetat merupakan salah satu jenis polimer yang banyak digunakan untuk industri, salah satunya sebagai polimer pada pembuatan membran ultrafiltrasi. Selulosa asetat secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu selulosa triasetat (selulosa asetat primer) dan selulosa diasetat (selulosa asetat sekunder). Selulosa asetat primer dibuat melalui reaksi esterifikasi (asetilasi) selulosa dengan pereaksi anhidrida asetat, sedangkan selulosa asetat sekunder dibuat dengan cara menghidrolisis selulosa asetat primer. Secara komersial selulosa asetat dibuat dengan menggunakan bahan baku pulp kayu berkualitas tinggi. Salah satu masalah dalam produksi selulosa asetat dari pulp kayu adalah rendahnya kualitas dan kemurnian selulosa kayu karena pulp kayu masih mengandung hemiselulosa dan lignin. Selulosa mikrobial adalah jenis selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selulosa mikrobial bersifat renewable (dapat diperbarui), mempunyai karakteristik yang unik dan relatif lebih murni dibandingkan dengan selulosa kayu. Selulosa mikrobial merupakan salah satu alternatif sebagai sumber selulosa pada pembuatan selulosa asetat. Membran ultrafiltrasi (UF) selulosa asetat merupakan salah satu jenis membran yang banyak digunakan pada proses pemisahan makromolekul. Membran UF mempunyai ukuran pori berkisar 0,1 – 0,001µm. Membran UF selulosa asetat umumnya dibuat dengan metoda inversi fasa menggunakan pelarut yang sesuai dengan jenis selulosa asetat yang digunakan Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan kondisi proses (konsentrasi asam sulfat, rasio anhidrida asetat dengan selulosa, waktu dan suhu reaksi) yang optimum pada proses asetilasi selulosa mikrobial menjadi selulosa triasetat (2) mendapatkan kondisi proses (rasio air terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu reaksi) yang optimum pada proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat kadar asetil 37-42 % dan (3) mendapatkan karakteristik (MWCO) membran ultrafiltrasi yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang terdiri atas 3 tahap yaitu (1) optimasi proses asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial (2) optimasi proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat dan (3) pembuatan dan karakterisasi membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat mikrobial. Penentuan kondisi optimum proses asetilasi dan hidrolisis dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan Respon-Rancangan Komposit Pusat (Response Surface Methodology-Central Composite Design. Pembuatan membran UF dilakukan dengan dengan metode inversi fasa–presipitasi immersi, dengan pelarut dimetilformamida dan non pelarut berupa air. Selulosa diasetat mikrobial yang digunakan mempunyai kadar asetil berkisar 37% – 40 %, konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak berkisar 12-20% dan suhu air koagulasi berkisar 2-26 o C. Karakteristik membran UF yang diamati meliputi fluks dan rejeksi membran dengan menggunakan umpan Bovin Serum Albumin bobot molekul 67 kDa dan dekstran bobot molekul 37 kDa dan MWCO membran.
Hasil optimasi proses asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial menunjukkan kondisi optimum proses asetilasi terjadi pada konsentrasi asam sulfat 1,5% (v/b), rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial 3,35, suhu 50 oC, dan waktu asetilasi 323 menit dengan hasil perolehan maksimum selulosa triasetat sebesar 1,79 (b/b) dan kadar asetil selulosa triasetat sebesar 45,78 %. Perlakuan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial dan waktu asetilasi berpengaruh nyata terhadap terhadap perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan sedangkan konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi tidak berpengaruh nyata. Pengaruh rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial (X1) dan waktu asetilasi (X 2) terhadap perolehan (Yper STA) dan kadar asetil selulosa triasetat (Ykasetil STA) pada proses asetilasi selulosa mikrobial dapat dinyatakan seperti persamaan berikut: Y per STA =1,7425 + 0,1659 X1 + 0,0773X2 – 0,1230 X12 – 0,0200 X 1X 2 – 0,1205 X22 Y kasetil STA = 45,7950 + 0,2321X 1 + 0,2147X2 – 0,2777X 12 –0,0508X 1X2 – 0,3528 X 22
Hasil optimasi proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat menunjukkan kondisi optimum hidrolisis terjadi pada konsentrasi asam sulfat 1% (v/b), rasio air terhadap selulosa mikrobial 1,066 dan suhu 50 oC. Perlakuan rasio air terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat. Pengaruh faktor rasio air terhadap selulosa mikrobial (X1), waktu (X2), konsentrasi asam sulfat (X3 ) dan suhu (X4 ) terhadap kadar asetil selulosa diasetat (Yka SDA) yang dihasilkan pada proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat dapat dinyatakan seperti persamaan berikut:
Yka SDA = 41,5200- 0,2198X 1 - 1,5915X 2 - 0,6582X 3 - 1,6582X4 - 0,6255X1 2 -0,1330X3 2 -0,2940X2X3 - 0,2040X 1X4 - 0,7028X 2X 4 - 0,1760X 3X 4
Selulosa diasetat mikrobial yang dihasilkan (kadar asetil 37-42%) dapat digunakan sebagai polimer pada pembuatan membran. Membran ultrafiltrasi yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% (konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 14%, 16%, 18%, 20%) dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% (konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 12% dan 14%) merupakan membran ultrafiltrasi dengan MWCO sebesar 67 kDa. Membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% (konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 18%, 20%) dan membran yang dibuat dari SDA kadar asetil 39,19% (konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 12%, 14%, 16%,18%) serta membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22% (konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 12%, 14%) merupakan membran ultrafiltrasi dengan MWCO sebesar 60 kDa
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menuliskan hasilnya dalam disertasi yang berjudul Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sangat tulus dan mendalam kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS, Dr. Ir. Hj. Erliza Noor, Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Kaseno, M.Eng masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas telah membimbing penulis hingga disertasi ini terwujud. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hj. Liesbetini Hartato, MS dan Dr. Ir. H. Amril Aman atas kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada
Direktur Akademi Teknologi Industri Padang – Departemen Perindustrian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB khususnya Pogram Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama menimba ilmu pengetahuan di Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bagian Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Terapan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan finasia l bagi pelaksanaan penelitian melalui Penelitian Hibah Bersaing IX. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Rini Purnawati atas bantuannya selama melaksanakan penelitian. Kepada yang mulia Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rosni, Ayah Mertua H. Bahar (alm) dan Ibu mertua Hj. Ratna penulis persembahkan terima kasih tak terhingga atas segala doa , dukungan, bimbingan dan
nasehat yang tiada henti-
hentinya diberikan kepada penulis. Kepada suami tercinta M. Arifin SE, MM dan anak-anakku tersayang Faiz Rahman Arifin, Hanif Rahman Arifin dan Azzahra Arifin penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas dukungan, kesabaran, pengorbanan dan iringan doa yang tulus ikhlas. Kepada kakanda Afrizal dan Ardiamsyah, adinda Novi Erni, Susi, Mayesti, Arsil, Yosi Septriani, dan Aulia Rahim penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas doa dan dukungannya. Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kaih. Semoga Allah SWT membalasnya berlipat ganda. Bogor, Agustus 2006 Desiyarni
PENDAHULUAN
Latar belakang Selulosa asetat merupakan salah satu jenis polimer yang penting dan banyak digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan (moulding), film fotografi dan membran. Selulosa asetat secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu selulosa triasetat (selulosa asetat primer) dan selulosa diasetat (selulosa asetat sekunder). Selulosa asetat primer dibuat (asetilasi) selulosa dengan pereaksi
melalui reaksi esterifikasi
anhidrida asetat, sedangkan
selulosa asetat
sekunder dibuat dengan cara menghidrolisis selulosa asetat primer. Secara komersial selulosa asetat dibuat dengan menggunakan bahan baku berupa kapas dan pulp kayu berkualitas tinggi. Salah satu masalah dalam produksi selulosa asetat dari pulp kayu adalah rendahnya kualitas dan kemurnian selulosa kayu karena pulp kayu masih mengandung hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dan lignin merupakan
senyawa yang tidak diinginkan terdapat dalam bahan baku
produksi selulosa asetat. Hemiselulosa yang terdapat dalam pulp kayu seperti xylan dan glukomanan akan berubah menjadi xylan asetat dan glukomanan asetat selama reaksi esterifikasi. Kedua senyawa ini akan menyebabkan kekeruhan dan viskositas palsu pada selulosa asetat yang dihasilkan. Selulosa
mikrobial
adalah
mikroorganisme. Selulosa mikrobial
jenis
selulosa
merupakan
yang
dihasilkan
oleh
jenis selulosa non kayu yang
2
sedang dikembangkan antara lain untuk diafragma speaker mutu tinggi (high fidelity audio speaker diaphragma), bahan pembuatan kertas sangat kuat (ultrahigh strength paper), campuran pada produk perawat luka (wound care products), sumber selulosa pada pembuatan mikrokristalin selulosa (MCC)
dan sebagai bahan
(diaper). Selulosa jenis ini bersifat dapat diperbarui (renewable).
penyerap
Disamping itu
selulosa mikrobial mempunyai beberapa keunggulan antara lain (1) relatif murni sehingga tidak membutuhkan proses delignifikasi , (2) sifat hidrofilik yang sangat tinggi dan (3) dapat diproduksi dari berbagai macam substrat yang relatif mudah dan murah. Berdasarkan keunggulan yang dimiliki tersebut maka selulosa jenis ini merupakan alternatif sebagai sumber selulosa yang relatif murni pada produksi selulosa asetat. Penelitian pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial telah dilakukan antara lain oleh Tabuchi et al. (1998), Safriani (2000) dan Darwis et al. (2003). Tabuchi et al. (1998) menyatakan bahwa selulosa triasetat yang dibuat dari selulosa mikrobial mempunyai derajat polimerisasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan selulosa triasetat yang dibuat pulp kayu. Safriani (2000) telah meneliti pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial berbahan baku kedelai (nata de soya) dan menggunakan selulosa asetat yang dihasilkan sebagai polimer pada pembuatan edible coating. Darwis et al. (2003) telah meneliti pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial berbahan baku air kelapa (nata de coco) dan menggunakan selulosa triasetat yang dihasilkan sebagai polimer pada pembuatan membran mikrofiltrasi. Meskipun pembuatan selulosa triasetat dari selulosa
3
mikrobial telah berhasil dilakukan namun kondisi optimum pembuatannya belum diketahui. Tahapan yang paling penting pada proses pembuatan selulosa triasetat adalah asetilasi. Pada pembuatan selulosa triasetat secara komersial terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi kecepatan reaksi asetilasi dan kualitas selulosa triasetat yang dihasilkan antara lain karakteristik bahan baku, rasio anhidrida asetat dengan selulosa, jenis dan konsentrasi katalis serta suhu dan lama asetilasi. Kondisi proses asetilasi dan karakteristik selulosa asetat primer yang dihasilkan oleh Tabuchi et al. (1998), Safriani (2000) dan Darwis et al. (2003) berbeda-beda dan belum diketahui kondisi optimumnya. Agar dapat dihasilkan selulosa triasetat yang berkualitas baik dari selulosa mikrobial maka perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh informasi
optimasi proses pembuatannya
faktor- faktor yang berpengaruh pada proses
asetilasi selulosa mikrobial dan kondisi optimumnya. Karakteristik selulosa asetat yang terpenting adalah kemampuannya larut dalam pelarut tertentu dan derajat polimerisasinya. Selulosa diasetat mempunyai beberapa sifat yang berbeda dari selulosa triasetat terutama kemampuannya larut dalam pelarut organik tertentu. Kelarutan selulosa asetat dalam pelarut organik dipengaruhi oleh kadar asetilnya. Selulosa diasetat mempunyai kadar asetil sekitar 37 - 42 % dan bersifat larut dalam aseton, sedangkan selulosa triasetat mempunyai kadar asetil sekitar 42 – 46% dan tidak larut dalam aseton. Pengaturan kadar asetil selulosa diasetat dilakukan melalui reaksi hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke dalam larutan selulosa triasetat dengan atau tanpa
4
menggunakan katalis.
Proses hidrolisis dilakukan selama waktu tertentu hingga
diperoleh selulosa diasetat sesuai kadar asetil yang diinginkan. Salah satu masalah pada proses hidrolisis adalah penentuan kondisi hidrolisis dan lama hidrolisis yang tepat untuk bisa menghasilkan selulosa diasetat sesua i kadar asetil yang diinginkan. Pada pembuatan selulosa diasetat secara komersial, penentuan lama proses hidrolisis dilakukan dengan cara pengambilan contoh
pada selang
waktu tertentu untuk mengetahui kelarutan atau kadar asetil selulosa asetat yang telah dicapai. Pengukuran kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis dengan metoda titrasi (ASTM D 871-96) membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu sekitar 3 – 4 hari. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan untuk menentukan lama hidrolisis relatif sulit. Penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh dan penentuan kondisi optimum hidrolisis pada proses pembuatan selulosa diasetat dari selulosa triasetat mikrobial hingga saat ini belum pernah dilakukan. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh
informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada proses
hidrolisis dan kondisi optimum proses pembuatan selulosa diasetat dari selulosa triasetat mikrobial. Membran polimer merupakan salah satu jenis membran yang banyak digunakan pada berbagai jenis proses pemisahan (filtrasi). Berbagai jenis polimer dapat digunakan sebagai material pembentuk membran seperti antara lain polisulfon,
polietersulfon,
poliakrilonitril,
selulosa
asetat
dan
poliamida.
Dibandingkan dengan jenis polimer lain, selulosa asetat memiliki beberapa kelebihan
5
antara lain pembuatan membran relatif lebih mudah, bahan dasarnya dapat diperbarui (renewable) dan memiliki sifat hidrofilik serta dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis membran. Meskipun demikian terdapat juga kekurangannya yaitu penggunaan membran yang dihasilkan terbatas pada suhu sekitar 30 o C, pH antara 2- 8 dan tidak tahan terhadap serangan mikroorganisme. Membran berbasis selulosa merupakan tipe membran yang relatif murah. Membran ultrafiltrasi selulosa asetat merupakan salah satu jenis membran yang dewasa ini banyak digunakan pada proses pemisahan makromolekul. Pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat umumnya dilakukan dengan metoda inversi fasa. Pada pembuatan membran polimer dengan metoda inversi fasa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi morfologi membran yang dihasilkan antara lain jenis polimer, pelarut dan non pelarut yang digunakan, konsentrasi polimer dalam larutan cetak, komposisi cairan dalam bak koagulasi. Pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat mikrobial belum pernah dilakukan. Agar dapat diperoleh selulosa diasetat mikrobial yang berkualitas baik untuk membran ultrafiltrasi maka perlu dilakukan kajian perancangan proses pembuatan selulosa asetat yang meliputi optimasi kondisi proses asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial dan optimasi kondisi proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat serta pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat mikrobial yang dihasilkan.
6
Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk (1) me ndapatkan kondisi proses (konsentrasi
asam sulfat, rasio anhidrida asetat dengan selulosa, waktu dan suhu reaksi) yang optimum
pada proses asetilasi selulosa mikrobial menjadi selulosa triasetat dan
mengetahui pengaruh konsentrasi asam sulfat, rasio anhidrida asetat dengan selulosa, waktu dan suhu asetilasi terhadap perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan, (2) mendapatkan kondisi
proses (rasio air terhadap selulosa mikrobial,
konsentrasi asam sulfat, waktu dan
suhu
reaksi) yang optimum pada proses
hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat kadar asetil 37-42 % dan mengetahui pengaruh rasio air dengan selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu hidrolisis terhadap kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan dan (3) mendapatkan karakteristik (MWCO) membran ultrafiltrasi yang dihasilkan.
Hipotesis
Rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu asetilasi diduga berpengaruh nyata terhadap perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan karena semakin tinggi rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu asetilasi akan meningkatkan perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan. Rasio air terhadap selulosa, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu hidrolisis diduga berpengaruh nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat yang
7
dihasilkan karena semakin tinggi rasio air terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu hidrolisis akan menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Terdapat perbedaan karakteristik membran ultrafiltrasi yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37 – 40 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak (dope) berkisar 12 – 20 % dan suhu air koagulasi 2-26 o C karena diduga peningkatan kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak serta peningkatan suhu air koagulasi akan menyebabkan ukuran pori membran semakin kecil.
Ruang Lingkup Penelitian Pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial (nata de coco) dilakukan secara heterogen, dengan media asetilasi asam asetat, pereaksi
anhidrida asetat dan
katalis asam sulfat. Penentuan kondisi optimum proses asetilasi (respon perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat) dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan Respon-Rancangan Komposit Pusat (Response Surface MethodologyCentral Composite Design). Pembuatan selulosa triasetat dari selulosa diasetat mikrobial (hidrolisis) dilakukan secara homogen dengan pereaksi air dan katalis asam sulfat. Penentuan kondisi optimum proses hidrolisis (respon kadar asetil selulosa diasetat) dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan Respon-Rancangan Komposit Pusat (Response Surface Methodology-Central Composite Design .
8
Pembuatan membran ultrafiltrasi
dilakukan dengan metode inversi fasa–
presipitasi immersi, pelarut dimetilformamida dan non pelarut berupa air. Selulosa diasetat mikrobial yang digunakan mempunyai kadar asetil berkisar 37 – 40 %, konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak berkisar 12 -20% dan suhu air koagulasi berkisar 2-26 oC. Karakteristik membran ultrafiltrasi yang diamati meliputi fluks dan rejeksi membran dengan menggunakan umpan berupa Bovin Serum Albumin yang berbobot molekul 67 kDa dan dekstran berbobot molekul 37 kDa. Pengamatan terhadap morfologi membran Scanning Electron Microscope (SEM).
dilakukan dengan menggunakan
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 2003 hingga Juni 2005. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen TIN - FATETA IPB, Laboratorium Kimia dan Fisika T erapan LIPI Bandung.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas (1) bahan untuk pembuatan selulosa triasetat (STA) dan selulosa diasetat (SDA) dan (2) bahan untuk pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat mikrobial. Bahan untuk pembuatan selulosa triasetat dan selulosa diasetat terdiri atas lembaran selulosa mikrobial (nata de coco ), NaOH, asam asetat (CH 3COOH) (Merck), anhidrida asetat (J.T Baker), asam sulfat (H2SO 4) (Merck), HCl, alkohol dan magnesium karbonat (MgCO3). Bahan-bahan untuk analisis selulosa asetat terdiri atas etanol 75%, HCl 0,5 N, NaOH 0,5 N, aseton, indikator fenolftalein dan metil merah. Bahan untuk pembuatan membran ultrafiltrasi
adalah
selulosa diasetat
mikrobial dan selulosa asetat komersial, dimetil formamida (DMF), aseton, Bovin Serum Albumin dengan bobot molekul 67 kDa, dekstran dengan bobot molekul 37 kDa. Bahan-bahan untuk analisis membran terdiri atas H2SO 4, fenol, CuSO 4.5H 2O, Na2CO3-anhidrat, NaOH, Na-K-tartarat dan folin ciocalteu.
32
Alat-alat untuk pembuatan selulosa asetat yang digunakan adalah alat-alat gelas, mesin penghancur (grinder), penekan hidrolik (hydraulic press), pengaduk bermagnetik, termometer, penangas air bergoyang, oven dan sentrifus. Alat-alat untuk pembua tan membran yang digunakan adalah alat-alat gelas, pengaduk bermagnet, lembaran kaca, aplikator, termometer dan bak koagulasi. Alat-alat untuk karakterisasi membran terdiri atas alat-alat gelas, modul penyaringan aliran silang (crossflow filtration), spektrofotometer dan Scanning Electron Microscope. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang terdiri atas 3 tahap yaitu: 1. Optimasi proses asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat (STA) dari selulosa mikrobial (penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial, penentuan faktor -faktor yang berpengaruh pada asetilasi, pembentukan dan pengujian persamaan regresi perolehan dan kadar asetil STA dan penentuan kondisi optimum asetilasi). 2. Optimasi proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat (SDA) (penentuan faktor-faktor yang berpengaruh pada hidrolisis, pembentukan dan pengujian persamaan regresi kadar asetil selulosa diasetat dan penentuan kondisi optimum hidrolisis). 3. Pembuatan dan karakterisasi membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat (pengaruh kadar asetil selulosa diasetat berkisar 37,21% – 40,22% dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak berkisar 12% – 20 % (v/b), pengaruh suhu air koagulasi berkisar 2 - 26 oC) Skema tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
33
Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial - Penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial terbaik (suhu dan lama aktivasi) - Penentuan faktor-faktor yang berpengaruh pada asetilasi yaitu (1) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial (2) konsentrasi H2SO 4, (3) waktu dan (4) suhu asetilasi - Pembentukan dan pengujian persamaan regresi perolehan dan kadar asetil - Penentuan kondisi proses asetilasi yang optimum Respon : Perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat
Optimasi Proses Hidrolisis Selulosa Triasetat menjadi Selulosa Diasetat - Penentuan faktor -faktor yang berpengaruh pada hidrolisis yaitu (1) rasio air terhadap selulosa mikrobial, (2) konsentrasi H2SO4, (3) waktu dan (4) suhu hidrolisis - Pembentukan dan pengujian persamaan regresi kadar asetil selulosa diasetat - Penentuan kondisi proses hidrolisis yang optimum Respon : Kadar asetil selulosa diasetat
Pembuatan dan Karakterisasi Membran Ultrafiltrasi dari Selulosa Diasetat - Pengaruh kadar asetil selulosa diasetat (37% – 40%) dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak (12% – 20% v/b) - Pengaruh suhu air koagulasi 2 - 26 oC Karakterisasi membran : Fluks air, fluks dan rejeksi larutan Bovin serum albumin 67 kDa, dekstran 37 kDa, Molecular Weight Cutt Off, morfologi membran
Gambar 4 . Skema tahapan penelitian
34
Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial yang digunakan sebagai sumber selulosa pada penelitian optimasi proses asetilasi ini adalah serbuk selulosa mikrobial kering berukuran 10 mesh. Pembuatan selulosa mikrobial kering dari lembaran selulosa mikrobial basah dilakukan dengan cara membersihkan selulosa mikrobial basah dari sisa media kultivasi dan bakteri (modifikasi Yamanaka et al., 1989). Kondisi aktivasi selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian pembuatan selulosa triasetat ini adalah kondisi aktivasi terbaik yang diperoleh pada tahap penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953). Proses asetilasi selulosa mikrobial dilakukan
secara heterogen dengan menggunakan
anhidrida asetat sebagai pereaksi, asam sulfat pekat sebagai katalis dan asam asetat sebagai media asetilasi (Malm dan Tanghe, 1953). Penelitian optimasi proses asetilasi dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan ResponRancangan Komposit Pusat (Response Surface Methodology-Central Composite Design). Pengolahan data yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SAS dan Statistica .
Pembuatan Selulosa Mikrobial Kering (modifikasi Yamanaka et al., 1989) Selulosa mikrobial
yang digunakan pada penelitian ini dibuat dari
lembaran basah selulosa mikrobial hasil kultivasi diam selama 7 hari dengan media utama air kelapa, isolat bakteri Acetobacter campuran. Lembaran basah selulosa mikrobial dipotong-potong dan dicuci.
Setelah itu direndam dalam
larutan NaOH 1% selama 24 jam pada suhu kamar, kemudian dilanjutkan dengan
35
perendaman dalam larutan asam asetat 1%. Selanjutnya potongan nata dicuci bersih dengan air, dikempa dengan penekan hidrolik dan dikeringkan pada suhu sekitar 40 oC selama 6 jam. Lembaran selulosa mikrobial kering yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan mesin penghancur (grin der) dan disaring dengan penyaring berukuran 10 mesh. Diagram alir pembuatan serbuk selulosa mikrobial kering (modifikasi Yamanaka et al., 1989) dapat dilihat pada Gambar 5.
Selulosa Mikrobial Basah (20 kg)
Larutan NaOH 1% (20 L)
Perendaman (24 jam, suhu kamar )
Cairan NaOH
Larutan Asam Asetat 1% (20 L)
Perendaman (24 jam, suhu kamar)
Cairan asam
Air
Pencucian
Air
Pengempaan (press)
Pengeringan (40 oC, 6 jam) Penghancuran dan Penyaringan (ukuran saringan 10 mesh) Serbuk Selulosa Mikrobial Kering (10 mesh)
Gambar 5. Diagram alir pembuatan serbuk selulosa mikrobial kering (modifikasi Yamanaka et al., 1989)
36
Penentuan Kondisi Aktivasi Selulosa Mikrobial Terbaik (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953) Penelitian penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial bertujuan untuk mendapatkan kondisi aktivasi selulosa mikrobial terbaik yang selanjutnya akan digunakan pada tahap asetilasi selulosa mikrobial. Kondisi aktivasi yang terbaik adalah kondisi aktivasi yang dapat menghasilkan perolehan selulosa triasetat tertinggi pada proses asetilasi selulosa mikrobial.
Perolehan selulosa triasetat
dihitung sebagai perbandingan antara bobot kering selulosa triasetat dengan bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan. Media aktivasi yang digunakan adalah
asam asetat glasial dengan rasio
asam asetat terhadap selulosa mikrobial yang digunakan adalah 8:1 (v/bk). Proses aktivasi dilakukan dengan cara sebanyak 5 gram serbuk selulosa mikrobial kering
dan 40 ml asam asetat glasial dimasukkan kedalam labu erlenmeyer.
Aktivasi dilakukan dengan menggunakan penangas air (water bath) pada suhu air 50 oC selama 0, 2, 4, 6, 8 jam dan suhu kamar selama 4, 8, 12, 16 jam. Setelah proses aktivasi selesai selanjutnya dilakukan proses asetilasi selulosa mikrobial menjadi selulosa triasetat (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953). Proses asetilasi dilakukan dengan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial kering yang digunakan sebesar 3 : 1.
Sebanyak 15 ml anhidrida
asetat, 22,5 ml asam asetat glasial dan 0,05 ml asam sulfat ditambahkan kedalam labu erlenmeyer yang berisi selulosa mikrobial yang sudah diaktivasi. Campuran diaduk hingga rata dengan menggunakan pengaduk bermagnet . Setelah diperoleh campuran yang rata dilanjutkan proses asetilasi di dalam penangas air bergoyang dengan kec epatan 150 rpm pada suhu 50 oC selama 4 jam.
37
Selama proses asetilasi akan terjadi reaksi antara selulosa mikrobial dengan anhidrida asetat sehingga terbentuk selulosa triasetat. Selulosa triasetat yang terbentuk akan larut dalam media asetilasi sedangkan serbuk selulosa mikrobial yang tidak bereaksi akan mengendap. Setelah proses asetilasi selesai dilakukan pemisahan selulosa mikrobial yang tidak terkonversi dari media asetilasi. Pemisahan selulosa mikrobial yang tidak terasetilasi dilakukan dengan cara sentrifugasi. Sisa serbuk selulosa mikrobial akan mengendap sedangkan selulosa triasetat terdapat dalam supernatan. Campuran hasil asetilasi
disentrifus
pada suhu 20 oC selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Selulosa triasetat yang larut dalam supernatan selanjutnya dipisahkan dengan cara menuangkannya kedalam larutan asam asetat 10%. Endapan selulosa triasetat yang diperoleh disaring dan direndam dalam larutan magnesium karbonat 1% selama 2 jam untuk menghilangkan sisa asam. Selanjutnya endapan selulosa triasetat dicuci bersih dengan air , dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selulosa triasetat kering yang diperoleh selanjutnya ditimbang dan diukur kadar airnya. Perolehan selulosa triasetat dihitung sebagai perbandingan antara bobot kering selulosa triasetat dengan bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan (Lampiran 1g). Diagram alir proses aktivasi dan proses asetilasi pada tahap penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial terbaik dapat dilihat pada Gambar 6.
38
Serbuk kering selulosa mikr obial (5 gram)
Asam Asetat glasial (40 ml)
Anhidrida asetat 15 ml Asam asetat 22,5 ml Asam sulfat 0,05 ml
Aktivasi (50 oC 0, 2,4,6,8 jam) (suhu kamar, 8,12,16 jam)
Asetilasi ( 4 jam, 50 oC )
Sentrifugasi (3000 rpm, 15 menit, 20 oC )
Cairan asam
Asam asetat (10%)
Pengendapan
Lar. MgCO 3 1%
Perendaman (suhu kamar, 2 jam)
Cairan
Pencucian
Cairan
Air
Pengeringan (6 jam, 50 oC)
Pengukuran kadar air perolehan
Selulosa Triasetat
Gambar 6. Diagram alir penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial terbaik pada pembuatan selulosa triasetat (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953)
39
Penentuan Faktor yang Berpengaruh pada Proses Asetilasi Proses asetilasi selulosa mikrobial dilakukan
secara heterogen dengan
menggunakan anhidrida asetat sebagai pereaksi, asam sulfat pekat sebagai katalis dan asam asetat sebagai media asetilasi (Malm dan Tanghe, 1953). Terdapat 4 variabel bebas yang diujikan pada tahap asetilasi selulosa mikrobial yaitu (1) rasio
anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang digunakan
konsentrasi katalis
H2SO4, (3) waktu reaksi dan (4) suhu asetilasi.
(2)
Variabel
respon yang diamati adalah perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan. Sebelum dilakukan proses asetilasi terlebih dahulu dilakukan proses aktivasi selulosa mikrobial. Aktivasi selulosa mikrobial dilakukan berdasarkan kondisi aktivasi terbaik yang diperoleh pada tahap penentuan kondisi aktivasi selulosa mikrobial yaitu sebanyak 5 gram selulosa mikrobial kering (ukuran 10 mesh) dimasukkan kedalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 40 ml asam asetat glasial dan dibiarkan selama 6 jam pada suhu 50 oC. Selanjutnya dilakukan proses asetilasi. Asetilasi dilakukan dengan cara menambahkan anhidrida asetat, asam asetat dan asam sulfat kedalam selulosa mirobial teraktivasi. Anhidrida asetat ditambahkan sebanyak 2, 3, dan 4 kali jumlah selulosa mikrobial yang digunakan atau 10 ml, 15 ml dan 20 ml untuk setiap 5 g selulosa mikrobial kering yang digunakan. Asam asetat glasial ditambahkan sebanyak 22,5 ml. Katalis asam sulfat ditambahkan sebanyak 0,025 ml, 0,050 ml dan 0,075 ml atau 0,5%, 1%, dan 1,5%. Proses pencampuran anhidrida asetat, asam sulfat dan asam asetat dengan selulosa mikrobial teraktivasi dilakukan dengan menggunakan pengaduk
40
bermagnet. Setelah diperoleh campuran yang rata dilanjutkan proses asetilasi di dalam penangas air bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 40, 50, dan 60 oC selama 240, 300, dan 360 menit. Setelah proses asetilasi selesai, campuran selulosa triasetat yang diperoleh segera didinginkan dan disentrifus pada suhu 20 o
C selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Selulosa mikrobial yang tidak
bereaksi akan terdapat pada bagian endapan sedangkan selulosa triasetat yang terbentuk terdapat pada supernatan. Pemisahan selulosa triasetat yang larut dalam supernatan dilakukan dengan cara pengendapan. Pengendapan selulosa triasetat dilakukan dengan cara menuangkan supernatan kedalam larutan asam asetat 10%. Endapan selulosa triasetat yang diperoleh selanjutnya disaring dan direndam dalam larutan magnesium karbonat 1% untuk menghilangkan sisa asam.
Selanjutnya selulosa
triasetat dicuci bersih dengan air , dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selulosa triasetat kering yang diperoleh selanjutnya ditimbang dan diukur kadar airnya untuk mengetahui bobot kering selulosa triasetat yang dihasilkan. Perolehan selulosa triasetat dihitung sebagai perbandingan antara bobot kering selulosa triasetat dengan bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan (Lampiran 1g). Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar asetil selulosa triasetat. Kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan dihitung dengan metoda titrasi ASTM D 871-96 (Lampiran 1e ). Diagram alir proses asetilasi dapat dilihat pada Gambar 7.
41
Serbuk selulosa mikrobial (ukuran 10 mesh, 5 g)
Asam Asetat glasial (40 ml)
Anhidrida asetat 10, 15, 20 ml As. Sulfat 0.025, 0.05, 0.075 ml Asam asetat 22.5 ml
Aktivasi (50 oC , 6 jam)
Asetilasi ( 240, 300, 360 menit ) ( 40, 50, 60 oC )
Sentrifugasi (3000 rpm, 15 menit, 20 oC )
Asam asetat 10 % 200 ml
Pengendapan
Cairan asam
Lar. MgCO3 1%
Perendaman (suhu kamar, 2 jam)
Cairan
Air
Pencucian
Cairan
Pengeringan (6 jam, 50 oC)
Selulosa Triasetat
Karakterisasi: - perolehan - kadar asetil
Gambar 7. D iagram alir proses pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953)
42
Selanjutnya dilakukan penentuan pengaruh variabel bebas terhadap respon perolehan dan kadar asetil. Penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan uji analisis keragaman untuk masing-masing respon yang diamati.
Variabel yang berpengaruh nyata selanjutnya
digunakan sebagai
variabel bebas pada tahap pembentukan model.
Pembentukan dan Pengujian Model Model yang dibuat dalam penelitian ini adalah model empiris berupa model regresi. Terdapat dua model regresi yang dibuat pada penelitian ini yaitu model regresi perolehan selulosa triasetat dan model regresi kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan pada proses asetilasi. Pengujian terhadap model regresi yang dihasilkan meliputi uji penyimpangan model atau lack of fit, uji determinan (R2 ), uji signifikansi model, dan uji asumsi residual (Box et al., 1978; Box dan Draper, 1987 ; Gaspersz, 1995).
Penentuan Kondisi Optimum Proses Asetilasi Penentuan kondisi optimum proses asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat dari selulosa mikrobial dilakukan dengan menggunakan analisis kanonik, analisis permukaan respon, analisis plot kontur
dan ridge analysis. Kondisi
proses optimum yang diperoleh selanjutnya diverifikasi di laboratorium.
Rancangan Percobaan Percobaan dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan ResponRancangan Komposit Pusat. Terdapat 4 variabel bebas yang dicobakan pada
43
proses asetilasi yaitu (1) konsentrasi
H2SO4 pekat (katalis) yang dikodekan
sebagai X1 , (2) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang digunakan yang dikodekan sebagai X2 , (3) waktu asetilasi yang dikodekan sebagai X3 , dan (4) suhu asetilasi yang dikodeka n sebagai X4. Faktor, kode dan taraf kode yang dicobakan pada proses asetilasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Faktor, kode dan taraf kode pada percobaan asetilasi No
Faktor
Kode
Taraf kode rendah tengah tinggi -1 0 +1 0.5 1 1.5
1
Katalis H 2SO4 pekat (% v/bk) (K)
X1
2
Rasio anhidrida asetat terhadap
X2
2
3
4
selulosa mikrobial (%v/bk) (P) 3
Waktu ,menit (W)
X3
240
300
360
4
Suhu ( oC) (S)
X4
40
50
60
Nilai faktor yang dikodekan dihitung dengan cara seperti be rikut : X1 = (K – 1,5) 0,5
X2 = (P - 3) 1
X1 = nilai kode konsentrasi katalis
X3 = (W- 300) 60
X4 = (W-50) 10
K = nilai konsentrasi katalis aktual (%v/bk)
X2 = nilai kode rasio pereaksi
P = nilai rasio pereaksi aktual (%v/bk)
X3 = nilai kode waktu reaksi
W = nilai waktu reaksi aktual (menit)
X4 = nilai kode suhu reaksi
S = nilai suhu reaksi aktual ( oC)
Terdapat dua respon yang diamati pada proses asetilasi yaitu perolehan selulosa triasetat dan kadar asetil selulosa triasetat . Pada tahap penentuan faktor yang berpengaruh dilakukan percobaan faktorial terdiri dari 16 unit percobaan
44
faktorial
dan 4 unit percobaan titik pusat.
Pembuatan model regresi linier
perolehan dan kadar asetil selulosa triasetat dilakukan dengan menggunakan respon pada percobaan faktorial dan titik pusat. dengan 4 faktor ini dapat dilihat pada
Matriks rancangan percobaan
Tabel 5.
Tabel 5 . Matriks rancangan percobaan 4 faktor proses asetilasi Percobaan
No
Faktorial
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Titik pusat
Konsentrasi Asam sulfat (%)
Rasio Pereaksi
Waktu (menit)
Suhu (oC)
X1 0.5 0.5 0.5 0.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0.5 0.5 0.5 0.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1 1 1 1
X2 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 3 3 3 3
X3 240 240 360 360 240 240 360 360 240 240 360 360 240 240 360 360 300 300 300 300
X4 40 40 40 40 40 40 40 40 60 60 60 60 60 60 60 60 50 50 50 50
Nilai kode X1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 0 0 0 0
X2 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0 0 0 0
X3 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 0 0 0 0
Respon
X4 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0
Pada percobaan pembuatan model kuadratik dengan 2 variabel bebas dilakukan percobaan dengan nilai faktor dapat putar α sebesar ± 1,414. Proses asetilasi dilakukan pada konsentrasi katalis tetap yaitu 1,5% dan suhu 50 oC. Pada tahap pembuatan model kuadratik terdapat 4 satuan percobaan faktorial, 4 satuan percobaan titik pusat dan 4 satuan percobaan titik bintang.
Faktor, kode dan
45
taraf kode pada percobaan asetilasi dengan 2 faktor dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan matriks percobaannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 6 . Faktor , kode dan taraf kode pada proses asetilasi dengan 2 faktor No
1
Faktor
Kode
Rasio Anhidrida Asetat
Taraf kode -1,414
-1
0
+1
+1,414
X1
2,293
2,5
3
3,5
3,707
X2
215,16
240
300
360
384,84
terhadap selulosa mikrobial (v/bk)
2
Waktu (menit)
Tabel 7 . Matriks rancangan percobaan 2 faktor proses asetilasi Taraf faktor aktual No
1
Rasio pereaksi X1 2,5
Waktu(menit) X2 240
2
3,5
3
Taraf fraktor yang dikodekan X1 X2 -1
-1
240
1
-1
2,5
360
-1
1
4
3,5
360
1
1
5
3,0
300
0
0
6
3,0
300
0
0
7
3,0
300
0
0
8
3,0
300
0
0
5
2,293
300
-1.414
0
6
3,707
300
1.414
0
7
3,0
215.16
0
-1.414
8
3,0
384.84
0
1.414
Respon
46
Penelitian II. Optimasi P roses Hidrolisis Selulosa Triasetat menjadi Selulosa Diasetat Penelitian optimasi proses hidrolisis selulosa triasetat menjadi selulosa diasetat dilakukan dengan menggunakan Metoda Permukaan Respon - Rancangan Komposit
Pusat.
Pengolahan
data
yang
dihasilkan
dilakukan
dengan
menggunakan perangkat lunak SAS dan Statistica . Proses hidrolisis selulosa triasetat dilakukan dengan menggunakan air sebagai pereaksi dan asam sulfat sebagai katalis (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953). Terdapat 4 variabel bebas yang dicobakan pada tahap hidrolisis yaitu rasio air terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat (katalis), waktu dan
suhu proses hidrolisis.
Variabel
respon yang diamati adalah kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Larutan selulosa triasetat yang akan dihidrolisis dibuat berdasarkan kondisi optimum proses pembuatan selulosa triasetat yang diperoleh pada penelitian tahap pertama yaitu
sebanyak 5 gram serbuk selulosa mikrobial
direndam dalam 40 ml asam asetat pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selanjutnya ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 16,75 ml, asam asetat 22,5 ml dan asam sulfat 0,075 ml. Proses asetilasi dilakukan pada suhu 50 oC selama 323 menit.
Penentuan Taraf Faktor Suhu dan Waktu Hidrolisis Sebelum dilakukan optimasi proses hidrolisis dengan menggunakan Metoda Permukaan Respon - Rancangan Komposit Pusat terlebih dahulu dilakukan percobaan untuk menentukan nilai taraf rendah, tengah dan tinggi untuk faktor suhu dan waktu hidrolisis.
Percobaan dilakukan
dengan cara
menghidrolisis selulosa triasetat pada suhu 40, 50, 60, 70 oC selama 2, 4, 6, 8
47
dan 10 jam. Katalis
asam sulfat ditambahkan sebanyak 0,075 ml (1,5 % dari
bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan) sedangkan air ditambahkan sebanyak 5 ml (rasio air terhadap selulosa mikrobial sebesar 1). Pengukuran kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan dilakukan dengan metoda 96 (Lampiran 1g).
ASTM D 871-
Selulosa diasetat yang diharapkan dapat diperoleh pada
penelitian ini adalah selulosa diasetat yang mempunyai kadar asetil berkisar 37 – 42%. Penentuan nilai taraf rendah dan tinggi dilakukan berdasarkan nilai kadar asetil selulosa diasetat yang diperoleh yaitu kondisi hidrolisis yang dapat menghasilkan selulosa diasetat de ngan kadar asetil berkisar 37 – 42%.
Proses Hidrolisis Selulosa Triasetat (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953) Sebanyak 5 g serbuk selulosa mikrobial direndam dalam 40 ml asam asetat glasial pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selanjutnya ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 16,75 ml (rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial sebesar 3,35), asam asetat 22,5 ml dan asam sulfat 0,075 ml (konsentrasi katalis 1,5%). Proses asetilasi dilakukan pada suhu 50 oC selama 323 menit. Larutan selulosa tr iasetat yang diperoleh selanjutnya dihidrolisis. Proses hidrolisis selulosa triasetat dilakukan dengan cara menambahkan air sebanyak 1,70, 3,35, 5, 6,65, 8,30 ml (rasio air dengan selulosa mikrobial sebesar 0,34, 0,67, 1, 1,33, 1.66).
Pencampuran air de ngan larutan selulosa
triasetat tidak dapat dilakukan secara langsung tetapi dilakukan setelah terlebih dahulu air dicampur dengan asam asetat dengan perbandingan antara air dengan asam asetat sebesar 1:2 atau hingga diperoleh larutan asam asetat 66,67%. Katalis asam sulfat ditambahkan sebanyak 0,025, 0,050, 0,075, 0,100, 0,125 ml (0,5%,
48
1%, 1,5%, 2%, 2,5%). Pencampuran air dan katalis dengan larutan selulosa triasetat dilakukan dengan menggunakan pengaduk bermagnet. Selanjutnya proses hidrolisis selulosa triasetat dilakukan dalam penangas air bergoyang pada suhu 30, 40, 50, 60, dan 70 oC selama 120, 360, 600, 840 dan 1080 menit. Penghentian proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan dalam asam asetat.
20 ml larutan MgCO3 1%
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi terhadap cairan hasil
hidrolisis pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 20 oC. Untuk memisahkan selulosa diasetat dari larutannya dilakukan proses pengendapan dengan cara menuangkan larutan hasil hidrolisis kedalam larutan asam asetat 10 % diatas pengaduk bermagnet. Gumpalan selulosa diasetat yang
diperoleh
selanjutnya direndam dalam larutan MgCO 3 1%. Perendaman dilakukan selama 2 jam pada suhu kamar. Selanjutnya selulosa diasetat dicuci dengan air hingga bersih dan dikeringkan pada suhu 50 oC selama 6 jam. Selulosa diasetat kering yang diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Pengukuran kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis dilakukan dengan metoda ASTM D 871-96 (Lampiran 1g). Diagram alir proses pembuatan selulosa diasetat dapat dilihat pada Gambar 8. Penentuan Faktor yang Berpengaruh Terdapat 4 variabel bebas yang dicobakan pada tahap hidrolisis ini yaitu 1. Rasio air terhadap selulosa mikrobial dengan taraf 0,34 , 0,67 , 1 , 1,33 , 1,66 2. Konsentrasi asam sulfat (katalis) dengan taraf 0,5%, 1%, 1,5%, 2% , 2,5% 3. Waktu hidrolisis dengan taraf 120, 360, 600, 840, 1080 menit 4. Suhu hidrolisis dengan taraf 30, 40, 50, 60, 70 oC. Variabel respon yang diamati adalah kadar asetil selulosa diasetat .
49
Serbuk selulosa mikrobial (ukuran 10 mesh, 5 g) Asam Asetat glasial (40 ml) Anhidrida asetat 16,75 ml As. Sulfat 0.075 ml Asam asetat 22.5 ml
Aktivasi (50 oC , 6 jam) Asetilasi (323 menit, 50 oC ) Larutan selulosa triasetat dalam asam asetat
Air 1,70, 3,35, 5, 6,65, 8,30 ml (Rasio dg selulosa 0,34, 0,67, 1,
Hidrolisis
1,33, 1,66)
Suhu 30, 40, 50, 60, 70 oC Waktu 120,360, 600, 840,1080 menit
Asam sulfat 0,5%, 1%, 1,5%, 2% , 2,5%
20 ml larutan MgCO3 1% dalam asam asetat
Penghentian hidrolisis
Sentrifugasi (3000 rpm, 15 menit Asam asetat encer (10 %)
Pengendapan
Lar. MgCO 3 1% dalam air
Perendaman (suhu kamar, 2 jam)
Air
Cairan asam
Pencucian
Pengeringan (6 jam, 50 oC) Pengukuran kadar asetil Selulosa Diasetat
Gambar 8. Diagram alir penelitian pembuatan selulosa diasetat (modifikasi Malm dan Tanghe, 1953)
50
Pembentukan dan Pengujian Model Model regresi kadar asetil selulosa diasetat dibuat berdasarkan data kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis. Pada tahap pertama dilakukan pembentukan model linier dengan menggunakan data kadar asetil hasil hidrolisis pada rancangan titik faktoria l dan titik pusat. Tahap kedua dilakukan pembentukan model kuadratik dengan menggunakan tambahan data pada titik bintang. Pengujian terhadap model
regresi yang dihasilkan meliputi uji
penyimpangan model (lack of fit), uji R2 , uji signifikan model, da n uji asumsi residual (Box et al., 1978 ; Box dan Draper, 1987 ; Gaspersz, 1995 ; Montgomery et al., 2001 ; Edgar et al. , 2001) .
Penentuan Kondisi Optimum Proses Hidrolisis Penentuan kondisi optimum proses menggunakan analisis kanonik
hidrolisis dilakukan dengan
dan analisis plot kontur
permukaan respon.
Kondisi optimum proses hidrolisis selulosa triasetat yang diperoleh selanjutnya diverifikasi di laboratorium.
Rancangan Percobaan Percobaan
hidrolisis
dilakukan
dengan
Permukaan Respons – Rancangan Komposit Pusat.
menggunakan
Metoda
Terdapat 4 variabel bebas
yang dicobakan yaitu (1) rasio air terhadap selulosa mikrobial yang dikodekan sebagai X1 , (2) waktu hidrolisis yang dikodekan sebagai X2 , (3) jumlah H2SO4 pekat (katalis) yang
dikodekan sebagai X3 , dan (4) suhu
hidrolisis yang
51
dikodekan sebagai X4. Faktor, kode dan taraf kode yang dicobakan
dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Faktor, kode dan taraf kode pada proses hidrolisis No
1
Faktor
Kode
Rasio air dengan selulosa
Taraf kode -a
rendah
tengah tinggi
+a
-2
-1
0
+1
+2
X1
0.34
0.67
1
1.33
1.66
mikrobial (v/bk) (P)
2
Waktu (menit) (W)
X2
120
360
600
840
1080
3
Konsentrasi H2SO4 pekat
X3
0.5
1
1.5
2
2.5
X4
30
40
50
60
70
(% v/bk) (K)
4
Suhu
(oC) (S)
Konversi nilai taraf aktual menjadi nilai taraf kode dilakukan
dengan cara
seperti berikut : X1 = (P -1) 0.33
X 2 = (W-600) 240
X 3 = (K- 1.5) 0,5
X4 = (S-50) 10
X1 = nilai kode rasio pereaksi
P = rasio air aktual (v/bk)
X2 = nilai kode waktu reaksi
W = waktu reaksi aktual (menit)
X3 = nilai kode konsentrasi katalis K = konsentrasi katalis aktual (%v/bk) X4 = nilai kode suhu reaksi
Pada tahap pemilihan
S = suhu reaksi aktual ( oC)
faktor yang berpengaruh
dilakukan percobaan
dengan rancangan titik faktorial 4 faktor dan titik pusat sebanyak 3 ulangan. Rancangan percobaan untuk pendugaan model
linier terdiri dari 16 unit
percobaan faktorial dan 6 unit percobaan titik pusat (center points).
Untuk
pembentukan model kuadratik dilanjutkan percobaan rancangan titik bintang (star
52
point) dengan faktor dapat putar (a) sebesar ±2
k/4
dimana k adalah jumlah faktor.
Matriks rancangan percobaan dengan 4 faktor ini dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Matriks rancangan percobaan 4 faktor pada proses hidrolisis Rasio air terhadap selulosa Waktu (v/bk) (menit)
Rancangan percobaan
Titik Faktorial
Titik pusat
Titik Bintang
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
X1 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 0.67 1.33 1 1 1 1 1 1 0.34 1.66 1 1 1 1 1 1
X2 360 360 840 840 360 360 840 840 360 360 840 840 360 360 840 840 600 600 600 600 600 600 600 600 120 1080 600 600 600 600
Kons. Asam Suhu sulfat (%v/bk) ( oC) X3 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0.5 2.5 1.5 1.5
X4 40 40 40 40 40 40 40 40 60 60 60 60 60 60 60 60 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 30 70
Kadar asetil Selulosa Disetat
Nilai kode X1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 0 0 0 0 0 0 -2 +2 0 0 0 0 0 0
X2 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 -2 +2 0 0 0 0
X3 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -2 +2 0 0
X4 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -2 +2
(%)
53
Penelitian III. Pembuatan dan Karakterisasi Membran Ultrafiltrasi dari Selulosa Diasetat Mikrobial
Selulosa Diasetat Mikrobial (SDM) yang digunakan sebagai polimer pada pembuatan membran ultrafiltrasi (UF) adalah selulosa diasetat yang dibuat pada penelitian tahap kedua dan sebagai pembanding digunakan selulosa diasetat komersial. Pembuatan membran ultrafiltrasi
dilakukan dengan metoda inversi
fasa presipitasi imersi, menggunakan dimetil formamida seba gai pelarut dan air sebagai non pelarut (Sivakumar et al., 1998). digunakan mempunyai kadar asetil
Selulosa diasetat mikrobial yang
37,14%, 38,11%, 39,19%
dan 40,22%.
Konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak berkisar 12% – 20 %. Suhu air koagulasi yang digunakan berkisar 2 – 26 oC. Penelitian pembuatan membran UF dari selulosa diasetat mikrobial ini dilakukan dalam dua tahap yaitu (1) pengaruh kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak terhadap karakteristik membran UF dan (2) pengaruh suhu air koagulasi terhadap karakteristik membran UF yang dihasilkan.
Pembuatan Membran Ultrafiltrasi (Sivakumar et al., 1998) Pembuatan membran dilakukan dengan menggunakan metoda inversi fasapresipitasi imersi.
Jumlah selulosa diasetat dan dimetil formamida yang
digunakan pada setiap percobaan adalah 30 gram. Selulosa diasetat mikrobial ditimbang sesuai konsentrasi yang ditetapkan (12% , 14%, 16%, 18% dan 20%) kemudian dimasukkan kedalam labu erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan pelarut dimetil formamida (DMF), kemudian labu erlenmeyer ditutup rapat. Selanjutnya
54
campuran diaduk dengan menggunakan pengaduk bermagnet pada suhu kamar selama satu hari hingga semua selulosa diasetat larut dalam DMF. Larutan selulosa diasetat selanjutnya disimpan selama 2 hari untuk mengeluarkan gelembung-gelembung udara. Larutan yang diperoleh disebut dope atau larutan cetak. Pencetakan membran dilakukan dengan cara menuangkan larutan dope di atas plat kaca yang dilengkapi pisau casting (aplikator), lalu aplikator ditarik hingga membentuk lapisan tipis dan dibiarkan selama 30 detik. Ketinggian pisau aplikator diatur pada ketinggian 0,2 mm. Setelah dibiarkan selama 30 detik, lembaran kaca dimasukkan kedalam bak koagulasi yang berisi air aquades suhu 10 oC . Selanjutnya lembaran tipis yang terbentuk direndam dalam air aquades selama satu hari untuk menghilangkan sisa DMF. Lembaran membran yang diperoleh dipotong sesuai ukuran cetakan (modul) filtrasi yang tersedia. Membran yang sudah dipotong disimpan dalam larutan formalin 1%. Diagram alir pembuatan membran ultrafiltrasi dapat dilihat pada Gambar 9. Pengujian terhadap karakteristik membran yang dihasilkan meliputi pengukuran permeabilitas (fluk air, fluks albumin, fluks dekstran) dan selektifitas (rejeksi albumin dan dekstran). Umpan yang digunakan adalah larutan bovin serum albumin dengan bobot molekul 67 kDa dan larutan dekstran dengan bobot molekul 37 kDa. Prosedur
pengukuran fluks air, fluks dan rejeksi membran
terhadap umpan dapat dilihat pada Lampiran 1h dan 1i. Pengujian dilakukan dengan metoda
penyaringan aliran silang (cross-flow filtration). Pengamatan
terhadap morfologi dan ukuran pori membran dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (Lampiran 1m).
55
Selulosa Diasetat Mikrobial
Dimetil Formamida
(12% , 14%, 16%, 18% , 20%)
Pengadukan 24 jam, suhu kamar Penyimpanan 48 jam Pencetakan (tebal 0,2 mm)
Koagulasi (aquades 2, 10, 18, 26 0C)
Perendaman dalam air
Membran Selulosa Asetat
Gambar 9. Diagram alir proses pembuatan membran selulosa diasetat (Modifikasi Sivakumar et al., 1998)
56
Rancangan Percobaan Percobaan pembuatan membran ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat dengan kadar asetil berbeda yaitu
37,21%, 38,11%, 39,19%, 40,22% dengan konsentrasi selulosa diasetat
dalam larutan cetak sebesar 12%, 14%, 16%, 18%, 20%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (10
o
C). Tahap
kedua dilakukan
pembuatan membran pada suhu air koagulasi berbeda yaitu 2, 10, 18 dan 26 oC menggunakan selulosa diasetat kadar asetil 39,19 % dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak tetap yaitu 18%. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pembuatan membran ultrafiltrasi tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. yang terdiri dari dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor pertama (A) adalah kadar asetil selulosa diasetat mikrobial (SDM) terdiri atas 4 taraf yaitu 37,21 %, 38,11 %, 39,19 % dan 40,22 %. mikrobial
Faktor
kedua (B) adalah konsentrasi selulosa diasetat
terdiri atas 5 taraf yaitu 12% , 14%, 16%, 18% dan 20%. Komposisi
larutan cetak yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 10.
57
Tabel 10. Komposisi larutan cetak pada pembuatan membran Kombinasi A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A4B4 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4
Selulosa diasetat (g) (%b/b) 3.60 12 4.20 14 4.80 16 5.40 18 6.00 20 3.60 12 4.20 14 4.80 16 5.40 18 6.00 20 3.60 12 4.20 14 4.80 16 5.40 18 6.00 20 3.60 12 4.20 14 4.80 16 5.40 18 6.00 20
Dimetil Formamida (g) (%b/b) 26.40 88 25.80 86 25.20 84 24.60 82 24.00 80 26.40 88 25.80 86 25.20 84 24.60 82 24.00 80 26.40 88 25.80 86 25.20 84 24.60 82 24.00 80 26.40 88 25.80 86 25.20 84 24.60 82 24.00 80
A1= Selulosa diasetat kadar asetil 37,21% A2= Selulosa diasetat kadar asetil 38,11% A3= Selulosa diasetat kadar asetil 39,19% A4= Selulosa diasetat kadar asetil 40,22% A5= Selulosa diasetat komersial
B1= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 12% B2= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 14% B3= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 16% B4= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 18% B5= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 20%
58
Model matematika untuk rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994) : Y ijk
= µ + Ai + Bj + AB ij + E k(ij)
Y ijk
= hasil percobaan akibat peubah kadar asetil ke-i dan konsentrasi selulosa diasetat ke-j
µ
= nilai rata-rata sebenarnya
Ai
= pengaruh peubah kadar asetil ke-i (i = 1, 2, 3, 4)
Bj
= pengaruh peubah konsentrasi selulosa diasetat ke -j (j = 1, 2, 3,4,5)
AB ij
= pengaruh interaksi peubah kadar asetil ke -i dengan konsentrasi selulosa diasetat ke-j
Ek(ij)
= galat percobaan ke-k
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pembuatan membran ultrafiltrasi tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor suhu air koagulasi (A)
terdiri atas 4 taraf yaitu 2, 10, 18 dan 26 oC. Model matematika untuk Rancangan Acak Lengkap Faktorial satu faktor
adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994) : Y ijk
= µ + Ai + Ek(ij)
Y ijk
= hasil percobaan akibat peubah suhu air koagulasi ke-i
µ
= nilai rata-rata sebenarnya
Ai
= pengaruh peubah suhu air koagulasi ke -i (i = 1, 2, 3, 4)
Ek(ij)
= galat percobaan ke-k
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial
Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan berwarna putih kekuningan. Rasio bobot selulo sa mikrobial kering terhadap selulosa mikrobial basah adalah sekitar 0,0984 – 0.1113. Hasil analisis proksimat serbuk selulosa mikrobial yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis proksimat serbuk selulosa mikrobial kering Parameter analisis
Nilai (%)
Kadar air
3,50
Kadar abu
0,23
Kadar protein (bk)
3,50
Kadar lemak (bk)
1,14
Kadar selulosa (bk)
92,53
Serbuk selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan selulosa yang relatif tinggi yaitu le bih dari 90% sehingga baik untuk digunakan
sebagai
sumber
selulosa
pada
pembuatan
selulosa
Dibandingkan dengan selulosa kayu, penggunaan selulosa mikrobial
triasetat. sebagai
sumber selulosa relatif lebih menguntungkan karena selain selulosa mikrobial mempunyai kandungan selulosa yang relatif tinggi juga karena tidak terdapat lignin dan hemiselulosa pada selulosa mikrobial.
60
Menurut Fengel dan Wegener (1984) pada pulp kayu terdapat senyawa yang bukan selulosa seperti lignin dan hemiselulosa. Hemiselulosa merupakan heteropolimer sedangkan selulosa merupakan homopolimer. asetilasi akan terjadi reaksi antara dengan anhidrida asetat.
Pada proses
senyawa-senyawa kelompok hemiselulosa
Hal ini akan mengakibatkan selulosa triasetat yang
dihasilkan tidak murni karena tercampur dengan hemiselulosa asetat seperti glukomanan asetat. Serbuk selulosa mikrobial yang digunakan sebagai sumber selulosa pada proses pembuatan selulosa triasetat ini mempunyai kadar air yang relatif rendah yaitu 3,50%, seperti terlihat pada Tabel 11. Kandungan air yang tinggi pada selulosa yang akan diasetilasi tidak diinginkan. Pada proses asetilasi air yang terdapat dalam selulosa akan bereaksi dengan anhidrida asetat membentuk asam asetat. Hal ini akan menyebabkan jumlah anhidrida asetat yang akan bereaksi dengan selulosa menjadi lebih sedikit. Menurut Pine et al. (1980) secara teoritis 1 mol air akan bereaksi dengan 1 mol anhidrida asetat
menghasilkan 2 mol asam
asetat. Rendahnya kadar air pada selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini relatif menguntungkan karena kadar air yang rendah akan mengurangi jumlah anhidrida
asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi
selulosa menjadi selulosa triasetat. Selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini juga mempunyai kadar abu yang relatif rendah yaitu 0,23%. Hal ini juga menguntungkan karena dengan mengendalikan proses pembuatannya seperti tidak menggunakan peralatan dari logam maka selulosa triasetat yang akan dihasilkan pada proses asetilasi mempunyai kandungan abu yang rendah.
61
Penentuan Kondisi Aktivasi Selulosa Mikrobial Proses aktivasi selulosa
bertujuan untuk menggembungkan selulosa
sehingga dapat meningkatkan reaktifitas dan aksesibilitas selulosa.
Proses
aktivasi dapat mempercepat terjadinya pertukaran gugus hidroksil molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat. Hasil perolehan selulosa triasetat (STA) pada berbagai kondisi aktivasi yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2a.
Tabel 12. Perolehan selulosa triasetat pada berbagai kondisi aktivasi Suhu aktivasi 50 oC
Suhu kamar
Waktu (jam) 0 2 4 6 8 4 8 12 16
Perolehan (g/g) 1.20 1.48 1.60 1.63 1.63 1.30 1.45 1.54 1.63
Hasil pengukuran perolehan selulosa triasetat (Tabel 12) menunjukkan perolehan selulosa triasetat cenderung meningkat dengan semakin lama waktu aktivasi baik pada suhu 50 oC maupun pada suhu kamar. Diduga hal ini disebabkan oleh perendaman serbuk selulosa mikrobial dalam waktu yang lebih lama
dapat menjadikan serat selulosa lebih menggembung (swelling) sehingga
memudahkan masuknya pereaksi. Kondisi aktivasi selulosa mikrobial yang menghasilkan perolehan selulosa triasetat tertinggi pada penelitian ini diperoleh pada aktivasi suhu 50 oC selama 6 jam dan aktivasi pada suhu kamar selama 16 jam.
Waktu aktivasi selulosa
62
mikrobial pada penelitian ini relatif lebih lama dibandingkan waktu aktivasi pulp kayu yang dilakukan oleh Saka dan Takanashi (1998) pada pembuatan selulosa triasetat dari pulp kayu yaitu selama satu jam.
Nevel dan Zeronian (1985)
menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan kira-kira selama 1-2 jam. Lama waktu aktivasi yang dicobakan pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan lama waktu aktivasi selulosa mikrobial yang dilakukan oleh Tabuchi et al. (1998) yaitu 72 jam pada suhu kamar. Kuo et al. (1997) menyatakan waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan. Waktu aktivasi selulosa mikrobial yang lebih lama pada penelitian ini diduga terjadi karena perbedaan sifat kristalinitas selulosa mikrobial dengan selulosa dari kayu.
Selulosa mikrobial mempunyai daerah
kristalin yang lebih besar dibandingkan daerah amorf. White dan Brown (1988) menyatakan bahwa selulosa mikrobial bersifat kristalin, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60 %, yang berarti lebih banyak terdapat daerah kristalin dibandingkan daerah amorf. Daerah kristalin merupakan bagian yang mempunyai ikatan antar rantai lebih erat dan lebih rapat (Achmadi, 1990). Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah, sehingga sukar terjadi reaksi asetilasi, sedangkan bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah dicapai oleh pereaksi sehingga lebih reaktif.
Agar daerah kristalin dapat dicapai oleh pereaksi perlu dilakukan
penggembungan (swelling) selulosa dengan menggunakan pelarut. Semakin besar daerah kristalin suatu selulosa maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menggembungkannya.
Penggembungan
berkurangnya ikatan antar
selulosa
akan
menyebabkan
serat selulosa, sehingga memudahkan masuknya
63
pereaksi. Semakin lama waktu aktivasi maka semakin banyak asam asetat yang masuk diantara serat selulosa. Keadaan ini menyebabkan reaksi asetilasi lebih mudah terjadi.
Penentuan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Perolehan STA Proses asetilasi selulosa bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil (OH) pada molekul selulosa dengan gugus asetil (CH3CO) dari anhidrida asetat sehingga membentuk selulosa asetat. Selulosa memiliki 3 gugus hidroksil per residu anhidroglukosa sehingga memungkinkan untuk menghasilkan selulosa asetat dalam bentuk monoasetat, diasetat dan triasetat. Selama proses asetilasi diharapkan semua selulosa mikrobial dapat dikonversi menjadi selulosa triasetat. Perolehan selulosa triasetat dihitung dengan cara membandingkan
pada penelitian ini
bobot kering selulosa triasetat
yang
diperoleh dengan bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan (bk/bk). Perolehan selulosa triasetat pada tahap ini dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil penelitian pada rancangan faktorial dan titik pusat menunjukkan respon perolehan selulosa triasetat yang dihasilkan berkisar antara 0,80 – 1.70 (g/g), seperti terlihat pada Tabel 13. Secara umum bobot kering selulosa triasetat yang dihasilkan pada penelitian ini cenderung lebih besar dari bobot selulosa mikrobial yang digunakan. Hal ini terjadi karena bobot molekul selulosa triasetat yang dihasilkan digunakan.
lebih besar daripada bobot molekul selulosa mikrobial yang
64
Tabel 13. Perolehan selulosa triasetat pada tahap penentuan faktor -faktor yang berpengaruh pada proses asetilasi No Konsentrasi Rasio Waktu katalis pereaksi (menit) (%) (X1) (X2) (X3) 1 0.5 2 240
Suhu Reaksi X1 (oC)(X4) 40 -1
X2
X3
X4
-1
-1
-1
Perolehan Selulosa triasetat (g/g) 0.85
2
0.5
4
240
40
1
-1
-1
-1
0.80
3
0.5
2
360
40
-1
1
-1
-1
1.36
4
0.5
4
360
40
1
1
-1
-1
1.66
5
1.5
2
240
40
-1
-1
1
-1
1.38
6
1.5
4
240
40
1
-1
1
-1
1.38
7
1.5
2
360
40
-1
1
1
-1
1.69
8
1.5
4
360
40
1
1
1
-1
1.70
9
0.5
2
240
60
-1
-1
-1
1
0.81
10
0.5
4
240
60
1
-1
-1
1
1.52
11
0.5
2
360
60
-1
1
-1
1
1.67
12
0.5
4
360
60
1
1
-1
1
1.70
13
1.5
2
240
60
-1
-1
1
1
1.57
14
1.5
4
240
60
1
-1
1
1
1.53
15
1.5
2
360
60
-1
1
1
1
1.63
16
1.5
4
360
60
1
1
1
1
1.67
17
1
3
300
50
0
0
0
0
1.67
18
1
3
300
50
0
0
0
0
1.68
19
1
3
300
50
0
0
0
0
1.68
20
1
3
300
50
0
0
0
0
1.69
Selulosa merupakan polimer linier glukosa yang unit-unitnya terikat dengan ikatan 1,4-β-D glukopiranosa.
Bila diasumsikan satu molekul selulosa
terdiri atas n unit glukosa maka secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa membutuhkan
3n mol anhidrida asetat dan akan
menghasilkan 1 mol selulosa triasetat dan 3n mol asam asetat. Menurut Bydson (1995) selulosa triasetat hasil asetilasi sempurna
65
memiliki rumus empirik [C6H7O2(CH3CO)3]n. Bila diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial (C6H7O2( OH)3 )n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul selulosa triasetat adalah 288n gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan menghasilkan 0,0062/n mol selulosa triasetat atau setara dengan 1,79 gram selulosa triasetat. Bila reaksi asetilasi selulosa berlangsung sempurna dan tidak terjadi degradasi selulosa maka dari setiap satu gram selulosa yang digunakan akan diperoleh selulosa triasetat sebanyak 1,79 gram. Hasil analisis keragaman terhadap perolehan selulosa triasetat (Lampiran 2b)
menunjukkan faktor rasio
anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial
berpengaruh secara sangat nyata (a = 0,0044) terhadap perolehan selulosa triasetat sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata (a = 0,0128) terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi tidak berpengaruh nyata (a > 0,05) terhadap perolehan selulosa triasetat. Penambahan katalis asam sulfat pada proses asetilasi bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi antara gugus hidroksil pada selulosa dengan anhidrida asetat. Penambahan katalis pada reaksi asetilasi akan menurunkan energi aktivasi reaksi sehingga pada waktu yang sama lebih banyak produk yang diperoleh. Energi aktivasi adalah jumlah energi yang dibutuhkan agar molekul yang bertabrakan mencapai keadaan transisi (Fesseden dan Fesseden , 1983: Pine et al., 1988). Pada penelitian ini faktor konsentrasi asam sulfat yang dicobakan pada proses asetilasi tidak berpengaruh nyata
terhadap perolehan selulosa
triasetat. Keadaan ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Ott et al. (1954) bahwa konsentrasi katalis merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan
66
reaksi asetilasi. Diduga hal ini terjadi karena konsentrasi katalis yang diujikan relatif kecil (kurang dari 2%). Menurut Nevel dan Zeronian (1985) pada produksi selulosa triasetat dari pulp kayu secara komersial umumnya digunakan katalis dalam konsentrasi tinggi yaitu 7 – 10%. Pemilihan konsentrasi katalis lebih kecil dari 2 % dengan beda antara taraf rendah, tengah dan tinggi sebesar 0,5% dilakukan karena selulosa triasetat yang ingin diperoleh pada penelitian ini diharapkan mempunyai bobot molekul yang relatif tinggi. Menurut Ott et al. (1954) dan Kuo et al. (1997) penambahan asam sulfat dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada molekul selulosa. Penambahan asam sulfat dalam jumlah banyak pada selulosa dapat menyebabkan terjadi reaksi hidrolisis yang mengakibatkan terjadi pemutusan rantai selulosa. Hal ini akan menyebabkan selulosa triasetat yang dihasilkan mempunyai kekuatan mekanik rendah (rapuh). Selulosa triasetat yang ingin diperoleh pada penelitian ini adalah selulosa triasetat yang mempunyai derajat polimerisasi tinggi. Perlakuan suhu asetilasi yang dicobakan pada penelitian ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Hal ini diduga terjadi suhu yang dicobakan relatif rendah dan beda antara suhu taraf rendah, tengah dan tinggi relatif kecil (40, 50, 60 oC). Pemilihan suhu asetilasi pada penelitian ini dibatasi tidak lebih besar dari 60 oC. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadi degradasi molekul selulosa selama proses asetilasi sehingga selulosa triasetat yang dihasilkan diharapkan mempunyai sifat mekanik yang relatif tinggi. Menurut Nevel dan Zeronian (1985) proses asetilasi pada suhu tinggi dapat mempercepat terjadi reaksi asetilasi tetapi juga dapat menyebabkan
67
kerusakan pada selulosa. Kuo et al. (1997) menyatakan proses asetilasi selulosa sebaiknya dilakukan pada suhu berkisar 50 – 85 oC. Reaksi asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat mer upakan reaksi subsitusi. Menurut Pine et al. (1988) peningkatan suhu pada suatu reaksi kimia bertujuan meningkatkan energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi sehingga molekul–molekul tersebut bergerak lebih cepat akibatnya tumbukan antar molekul lebih banyak terjadi. Keadaan ini menyebabkan molekul-molekul tersebut mempunyai energi yang cukup untuk mencapai keadaan transisi.
Pembentukan Model Linier Perolehan Selulosa Triasetat Hasil pembentukan model tahap pertama dengan menggunakan data perolehan pada rancangan faktorial dan titik pusat menunjukkan model perolehan selulosa triasetat tidak merupakan persamaan linier tetapi cenderung kuadratik. Parameter dan koefisien parameter pembentuk model linier perolehan selulosa triasetat
dapat dilihat pada Lampiran 2c.
Hasil uji penyimpangan model linier bersifat sangat nyata dengan nilai peluang
0,0014 (Lampiran 2d).
Hal ini
berarti model linier yang dibuat
menyimpang dari keadaan nyata. Meskipun model ini mempunyai koefisien determinan relatif tinggi (R2 = 0,9264), namun model yang dihasilkan tidak dapat digunakan karena tidak memenuhi syarat model yang baik. Menurut Box et al. (1978) dan Gaspersz (1995) syarat model yang baik mempunyai hasil uji penyimpangan model yang bersifat tidak nyata (a > 0,05).
68
Pembentukan Model Kuadratik Perolehan Selulosa Triasetat Pembuatan model kuadratik dilakukan hanya dengan menggunakan peubah yang berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap respon perolehan selulosa triasetat yaitu peubah rasio pereaksi anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang digunakan dan waktu reaksi asetilasi. Respon perolehan selulosa triasetat akibat pengaruh peubah rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perolehan selulosa triasetat tahap pembentukan model kuadratik pada proses asetilasi No
Rasio pereaksi (v/b) (X 1)
Waktu (menit) (X2)
X1
X2
Perolehan Selulosa Triasetat (g/g)
1
2,5
240
-1
-1
1.28
2
3,5
240
1
-1
1.55
3
2,5
360
-1
1
1.40
4
3,5
360
1
1
1.75
5
3,0
300
0
0
1.73
6
3,0
300
0
0
1.75
7
3,0
300
0
0
1.74
8
3,0
300
0
0
1.75
9
2,293
300
-1.414
0
1.25
10
3,707
300
1.414
0
1.75
11
3,0
215.16
0
-1.414
1.40
12
3,0
384.84
0
1.414
1.62
Hasil analisis keragaman terhadap
perolehan selulosa triasetat pada
pembentukan model kuadratik (Lampiran 2e) menunjukkan peubah rasio anhidrida asetat
dan
waktu
asetilasi berpengaruh sangat nyata terhadap
69
perolehan selulosa triasetat (peluang < 0,05). Bentuk hubungan dan besarnya pengaruh peubah yang dicobakan terhadap
perolehan selulosa triasetat hasil
asetilasi dapat dilihat dari nilai koefisien parameter penyusun model
yang
diperoleh. Peluang dan koefisien parameter penyusun model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 2f . Hasil uji signifikansi terhadap parameter model kuadratik perolehan selulosa triasetat
menunjukkan hampir semua koefisien parameter mempunyai
peluang kurang dari 0,05 (α < 0,05) kecuali interaksi antar peubah. Hal ini menunjukkan hampir semua parameter model kuadratik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap model (Box et al., 1978; Gasperz, 1995). Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat sebagai fungsi rasio anhidrida asetat dan waktu reaksi pada proses asetilasi selulosa mikrobial dapat dinyatakan seperti pada persamaan 1.
Y Per STA =1,742501 + 0,1659 X1 + 0,077293X2 – 0,12302 X12 -0,02 X 1X2 – 0,12047 X22 Y Per STA = perolehan selulosa triasetat X1
= rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial
X2
= waktu reaksi
Persamaan 1. Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat yang dihasilkan sebagai pengaruh rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi. Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 dibuat berdasarkan hasil proses asetilasi selulosa mikrobial yang dicobakan pada rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial berkisar 2,293 –3,707 dan
70
waktu asetilasi berkisar 215,16 –384,84 menit. Asetilasi dilakukan pada suhu 50 o
C dengan penambahan asam sulfat sebesar 1,5%. Hasil uji kesahihan model menunjukkan model kuadratik
perolehan
selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 mempunyai nilai koefisien determinan relatif tinggi yaitu 0,9927.
Hal ini menunjukkan
model yang dibuat dapat
menjelaskan sekitar 99% dari total keragaman. Hasil uji penyimpangan model (lack of fit) menunjukkan model yang diperoleh telah sesuai dengan keadaan nyata karena nilai peluang penyimpangan model bersifat tidak nyata (peluang = 0.0869). Hasil uji penyimpangan model kuadratik perolehan selulosa triasetat dapat dilihat pada Lampiran 2f. Hasil uji asumsi residual
menunjukkan bahwa plot residual menyebar
secara acak disekitar nol. Pemeriksaan asumsi kenormalan juga menunjukkan plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi secara normal.
Nilai residual model kuadratik
perolehan
selulosa triasetat dan plot residualnya dapat dilihat pada Lampiran 2g da n 2h. Secara keseluruhan hasil analisis statistik menunjukkan persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 telah memenuhi uji kesahihan model (validitas).
Persamaan 1
dapat digunakan untuk menduga
perolehan selulosa triasetat optimum (maksimum) pada proses asetilasi selulosa mikrobial. Model ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah (parameter) rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi selulosa mikrobial terhadap perolehan selulosa triasetat.
71
Penentuan Nilai Optimum Perolehan Selulosa Triasetat Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon perolehan selulosa triasetat (Lampiran 2j) menunjukkan titik kritis terjadi pada nilai kode peubah rasio anhidrida 0,704064 atau nilai aktual rasio anhidrida asetat 3,35 dan nilai kode waktu asetilasi 0,379238 atau waktu aktual asetilasi 323 menit.
Nilai
perkiraan titik stasionari adalah 1,81. Hasil analisis nilai akar ciri (eigenvalue) menunjukkan kedua peubah mempunyai nilai akar ciri yang bernilai negatif yaitu -0,171609 dan -0,250529. Hal ini menunjukkan titik optimum yang diperoleh merupakan titik maksimum (Gaspersz, 1998). Hasil analisis ridge terhadap respon perolehan selulosa triasetat menunjukkan titik optimum adalah 1,81 yang terjadi pada nilai kode X1 sebesar 0.707846 dan X2 sebesar 0.383569 atau rasio anhidrida asetat sebesar 3,35 dan waktu asetilasi 323 menit. Berdasarkan hasil optimasi diatas dapat disimpulkan perolehan maksimum selulosa triasetat pada proses ase tilasi selulosa mikrobial adalah 1,81 yang terjadi pada rasio anhidrida asetat sebesar 3,35 dan waktu asetilasi 323 menit. Analisis permukaan respon dan plot kontur respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi yang dicobakan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11 . Gambar 10 menunjukkan titik optimum perolehan selulosa triasetat merupakan titik maksimum. Gambar 11 menunjukkan titik maksimum perolehan selulosa triasetat terjadi pada penambahan anhidrida asetat antara nilai kode 0,5 – 1,0 dan waktu asetilasi antara nilai kode 0,0 – 0,5.
72
Gambar 10. Permukaan respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi
2.0
Rasio Anhidrida Asetat
1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Waktu
Gambar 11. Plot kontur respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4
73
Hasil verifikasi menunjukkan nilai
model kuadratik
perolehan selulosa triasetat
perolehan selulosa triasetat yang dihitung dengan
menggunakan persa maan 1 relatif tidak jauh berbeda dengan nilai perolehan selulosa triasetat hasil percobaan di laboratorium (Lampiran 2k). Rataan perolehan selulosa triasetat maksimum hasil percobaan pada rasio anhidrida asetat 3,35 dan waktu asetilasi 323 menit adalah 1,79 sedangkan perolehan maksimum hasil optimasi dengan menggunakan persamaan 1 pada rasio anhidrida dan waktu asetilasi yang sama adalah 1,82. Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang menghasilkan perolehan maksimum pada penelitian ini (3,35) lebih kecil dibandingkan dengan rasio anhidrida asetat yang digunakan oleh Tabuchi et al. (1998) dan Saka dan Takanashi (1998). Tabuchi et al. (1998) menambahkan anhidrida asetat sebanyak 20 kali jumlah selulosa mikrobial yang digunakan. Tabuchi et a l. (1998) melakukan asetilasi selulosa mikrobial pada suhu kamar, menggunakan katalis aam sulfat sebanyak 1%. Saka dan Takanashi (1998) menambahkan anhidrida asetat
sebanyak 7 kali jumlah pulp kayu yang digunakan pada pembuatan
selulosa triasetat dengan menggunakan katalis asam sulfat sebesar 7%. Secara teoritis
pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa
akan menghasilkan 1 mol selulosa triasetat. Bila diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial (C6H7O2( OH)3 )n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul selulosa triasetat adalah 288n gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan menghasilkan 0,0062/n mol selulosa triasetat atau setara dengan 1,79 gram selulosa triasetat. Secara teoritis perolehan selulosa triasetat maksimum adalah 1,79.
74
Pengaruh Peubah Rasio Anhidrida Asetat terhadap Perolehan STA Persamaan 1 menunjukkan rasio anhidrida asetat merupakan peubah yang berpengaruh paling besar terhadap perolehan selulosa triasetat. Hal ini dapat dilihat dari koefisien parameter rasio anhidrida asetat yang paling besar yaitu 0,1659. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ott et al. (1954) yaitu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang digunakan merupakan faktor yang berpengaruh pada proses pembuatan selulosa asetat. Safriani (2000) dan Darwis et al. (2003) juga menyatakan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial berpengaruh terhadap rendemen selulosa triasetat. Pada proses asetilasi selulosa terjadi reaksi subsitusi gugus OH pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat. Bila
satu molekul
selulosa terdiri atas n unit glukosa maka secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa membutuhkan 3n mol anhidrida asetat
Bila
diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial (C6H7O2 ( OH)3 )n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul anhidrida asetat adalah 102 gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan membutuhkan 3 kali 0,0062/n mol anhidrida asetat atau setara dengan 1,90 gram anhidrida asetat. Reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat merupakan reaksi dapat balik sehingga agar reaksi berlangsung sempurna dan jumlah perolehan selulosa triasetat maksimum maka anhidrida asetat harus ditambahkan dalam jumlah berlebih.
Selain itu anhidrida asetat harus ditambahkan dalam
jumlah yang lebih banyak dari jumlah kebutuhan teoritis karena pada selulosa yang digunakan terdapat sejumlah air. Air akan bereaksi dengan anhidr ida asetat dan akan menghasilkan asam asetat. Semakin tinggi kadar air selulosa maka
75
semakin banyak anhidrida asetat yang harus ditambahkan. Secara teoritis 1 mol air akan bereaksi dengan 1 mol anhidrida asetat dan akan menghasilkan 2 mol asam asetat. Bila diketahui bobot molekul air adalah 18 gram/mol dan bobot molekul anhidrida asetat adalah 102 gram/mol maka setiap 1 gram air (setara dengan 1/18 mol air) akan bereaksi dengan 1/18 mol anhidrida asetat atau setara dengan 5,67 gram anhidrida asetat.
Dapat disimpulkan bahwa agar terjadi reaksi
asetilasi sempurna dan perolehan selulosa triasetat maksimum maka pereaksi anhidrida asetat harus ditambahkan dalam jumlah berlebih dari jumlah teoritis yang dibutuhkan. Meskipun penambahan jumlah pereaksi akan menambah laju terbentuknya selulosa triasetat karena akan menambah seringnya terjadi tabrakan antar molekul, namun penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat banyak akan menyebabkan proses asetilasi kurang efisien. Dengan menggunakan persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 dapat diketahui secara linier peubah rasio anhidrida asetat berpengaruh positif (+0.1659) terhadap perolehan sedangkan secara kuadratik berpengaruh negatif (-0,1230) terhadap perolehan.
Hal ini
menunjukkan peningkatan rasio anhidrida asetat hingga batas optimum (rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial 3,35 v/b) dapat meningkatkan perolehan selulosa triasetat. Sebaiknya penambahan anhidrida asetat dilakukan tidak lebih dari nilai optimumnya. Pengaruh Peubah Waktu Reaksi Asetilasi Model kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 menunjukkan waktu reaksi merupakan peubah yang berpengaruh positif terhadap perolehan selulosa triasetat, meskipun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan
76
pengaruh rasio anhidrida asetat.
Koefisien parameter waktu reaksi adalah
+0,077293 sedangkan koefisien parameter rasio anhidrida asetat lebih besar yaitu +0,1659. Hasil penelitian menunjukkan waktu asetilasi berpengaruh sangat nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Hampir sama dengan peubah rasio anhidrida asetat, peubah waktu asetilasi berpengaruh posistif secara linier terhadap perolehan selulosa triasetat, tetapi berpengaruh negatif secara kuadratik (persamaan 1). Penambahan waktu asetilasi hingga batas optimum (323 menit) dapat meningkatkan nilai perolehan selulosa triasetat. waktu asetilasi yang lebih lama
Hal ini terjadi karena
dapat memberi kesempatan untuk terjadinya
pertukaran gugus hidroksil dengan gugus asetil yang lebih sempurna, tetapi sampai batas waktu tertentu (setelah reaksi asetilasi sempurna) penambahan waktu reaksi tidak ada gunanya. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa (Bydson, 1995). Gugus-gugus hidroksil tersebut terikat pada atom C nomor 2, 3 dan 6. Gugus hidroksil yang terikat pada atom C nomor 6 merupakan gugus hidroksil primer, sedangkan yang terikat pada atom C nomor 2 dan 3 merupakan gugus hidroksil sekunder. Menurut Achmadi (1990) gugus hidroksil primer mempunyai kereaktifan tertinggi. Reaksi subsitusi gugus hidroksil terjadi secara bertahap.
Pada kondisi jumlah pereaksi anhidrida cukup banyak maka
penambahan waktu asetilasi memberi kesempatan terjadi reaksi subsitusi lebih banyak. Proses asetilasi selulosa mikrobial sebaiknya segera dihentikan setelah semua gugus hidroksil pada selulosa digantikan oleh gugus asetil dari anhidrida
77
asetat. Proses asetilasi yang lebih lama dapat menyebabkan penurunan kualitas selulosa triasetat yang dihasilkan. Hasil penelitian Tabuchi et al. (1989) menunjukkan penambahan waktu reaksi pada proses asetilasi selulosa mikrobial dapat menurunkan derajat polimerisasi selulosa triasetat yang dihasilkan.
Pengaruh Interaksi Antara Rasio Anhidrida Asetat dengan Waktu Asetilasi Interaksi antara
peubah rasio anhidrida asetat dan waktu reaksi
berpengaruh positif terhadap perolehan selulosa triasetat dengan koefisien parameter bernilai 0,02 namun pengaruhnya bersifat tidak nyata (Persamaan 1 dan Lampiran 2f).
Hal ini menunjukkan
semakin banyak anhidrida asetat yang
terdapat dalam media asetilasi dan semakin lama waktu reaksi maka kontak antara molekul selulosa dengan molekul anhidrida asetat
akan semakin banyak,
sehingga semakin besar jumlah selulosa mikrobial yang terkonversi menja di selulosa triasetat.
Penentuan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kadar Asetil Selulosa Triasetat Selulosa triasetat kering yang dihasilkan berwarna coklat tua, relatif lebih keras dan lebih padat bila dibandingkan selulosa diasetat. Hasil pengukuran kadar asetil menunjukkan selulosa triasetat yang dihasilkan berkisar 44,85 – 46,03%.
mempunyai kadar asetil
Respon kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan
pada proses asetilasi dapat dilihat pada Tabel 15 .
Tabel 15. Respon kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi Percobaan
No
Rasio
Waktu
X1
X2
Kadar asetil
78
anhidrida
(menit)
selulosa
asetat (X1)
(X2 )
triasetat (%)
Titik
1
2,5
240
-1
-1
44.86
Faktorial
2
3,5
240
1
-1
45.11
3
2,5
360
-1
1
45. 21
4
3,5
360
1
1
45.45
Titik
5
3,0
300
0
0
45.64
Pusat
6
3,0
300
0
0
46.03
7
3,0
300
0
0
45.78
8
3,0
300
0
0
45.73
Titik
5
2,293
300
-1.414
0
44.88
Bintang
6
3,707
300
1.414
0
45.71
7
3,0
215.16
0
-1.414
44.85
8
3,0
384.84
0
1.414
45.44
Hasil analisis keragaman data kadar asetil selulosa triasetat (Lampiran 3a) menunjukkan peubah rasio anhidrida asetat berpengaruh nyata (a = 0,0192) terhadap kadar asetil selulosa triasetat. Faktor waktu asetilasi juga berpengaruh nyata (a = 0,0109) terhadap kadar asetil selulosa triasetat.
Hal ini berbeda
dengan yang dinyatakan Safriani (2000) yaitu pada pembuatan selulosa asetat dari nata de soya , rasio anhidrida asetat terhadap selulosa berpengaruh nyata terhadap kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan sedangkan lama asetilasi tidak berpengaruh nyata.
Hasil penelitian menunjukkan semakin lama waktu asetilasi maka semakin tinggi kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan.
Hal ini terjadi karena
semakin lama asetilasi maka semakin banyak terjadi reaksi pertukaran gugus
79
hidroksil pada selulosa dengan gugus asetil pada anhidrida asetat. Peningkatan rasio anhidrida asetat yang digunakan menyebabkan peningkatan kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan.
Hal ini terjadi karena semakin banyak
anhidrida asetat yang ditambahkan maka semakin banyak gugus asetil yang tersedia dan kemungkinan terjadi reaksi antara selulosa dengan anhidrida asetat.
Pembentukan Model Kadar Asetil Selulosa Triasetat pada Proses Asetilasi Pembentukan model kadar asetil selulosa triasetat dilakukan dengan menggunakan data kadar asetil selulosa triasetat pada rancangan faktorial, titik pusat dan titik bintang. Bentuk hubungan dan besarnya pengaruh peubah yang dicobakan terhadap kadar asetil selulosa triasetat hasil asetilasi dapat dilihat dari nilai koefisien parameter penyusun model yang diperoleh. Peluang dan koefisien parameter penyusun model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi selulosa mikrobial
dapat dilihat pada Lampiran 3b. Hampir semua
parameter penyusun model kuadratik kadar asetil berpengaruh sangat nyata atau nyata terhadap kadar asetil selulosa triasetat. Hanya parameter interaksi antara rasio anhidrida asetat dengan waktu asetilasi yang tidak nyata pengaruhnya. Hubungan antara peubah rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial dan waktu asetilasi terhadap kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan pada proses asetilasi dapat dinyatakan seperti pada persamaan 2.
Y asetil STA = 45,795017 + 0,232123X1 + 0,214700 X2 – 0,277741X1 2 - 0,050771X1 X2 – 0,352764 X22 Y asetil STA : Kadar asetil selulosa triasetat (%) X1
: rasio anhidrida asetat
X2
: waktu asetilasi
80
Persamaan 2. Model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan sebagai pengaruh rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi.
Model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat seperti pada persamaan 2 dibuat berdasarkan hasil proses asetilasi selulosa mikrobial yang dicobakan pada rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial berkisar 2,293 –3,707 dan waktu asetilasi berkisar 215,16 –384,84 menit. Asetilasi dilakukan pada suhu 50 oC dengan penambahan asam sulfat sebesar 1,5%.
Pengujian Model Kuadratik Kadar Asetil Selulosa Triasetat pada Asetilasi Hasil uji kesahihan model menunjukkan model kuadratik kadar asetil pada proses asetilasi
seperti pada persamaan 2 mempunyai nilai koefisien determinan
relatif tinggi yaitu 0,9066.
Hal ini menunjukkan hanya sekitar 9% dari total
keragaman yang tidak dapat dijelaskan oleh model, sebaliknya sekitar 91% dari total keragaman dapat dijelaskan oleh model kuadratik seperti persamaan 2. Hasil uji penyimpangan model (lack of fit) menunjukkan model kuadratik yang diperoleh mempunyai nilai peluang penyimpangan model bersifat tidak nyata
(a = 0,4695). Sesuai dengan Box et al. (1978) hal ini menunjukkan
model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat seperti pada persamaan 2 yang
81
diperoleh
telah sesuai dengan keadaan nyata . Hasil uji penyimpangan model
kuadratik kadar asetil selulosa triasetat dapat dilihat pada Lampiran 3c. Hasil uji asumsi residual terhadap model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat
menunjukkan bahwa plot residual menyebar secara acak disekitar nol.
Pemeriksaan asumsi kenormalan juga menunjukkan plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi secara normal. Nilai residual model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi selulosa mikrobial dan plot kenormalan dapat dilihat pada Lampiran 3d
dan
Lampiran 3e. Berdasarkan hasil uji kesahihan model yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat asetilasi selulosa mikrobial
pada proses
seperti pada persamaan 2 dapat digunakan untuk
menentukan titik optimum (maksimum) kadar asetil selulosa triasetat.
Penentuan Kadar Asetil Selulosa Triasetat Optimum Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon kadar asetil selulosa triasetat menunjukkan titik kritis terjadi pada nilai kode peubah rasio anhidrida 0,392645 dan nilai kode waktu asetilasi 0,276056. Nilai perkiraan kadar asetil pada titik stasionari adalah 45,87 %. Hasil analisis nilai akar ciri (eigenvalue) menunjukkan bahwa kedua peubah mempunyai nilai akar ciri bernilai negatif yaitu -0,539775 dan -0,720875. Hal ini menunjukkan titik stasioner merupakan titik maksimum (optimum).
Hasil analisis ridge terhadap permukaan respon
kadar asetil menunjukkan titik optimum diperoleh pada nilai kode X1 sebesar 0,342899 dan X2 sebesar 0,249732 atau rasio anhidrida asetat sebesar 3,17 dan
82
waktu asetilasi 315 menit dengan nilai kadar asetil 45,87%. Berdasarkan hasil analisis kanonik dan analisis ridge diatas dapat disimpulkan nilai maksimum kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi adalah 45,87% yang terjadi pada rasio anhidrida asetat 3,17 dan waktu asetilasi 315 menit. Analisis permukaan respon dan plot kontur respon kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi selulosa mikrobial seperti Gambar 12 dan Gambar 13, juga menunjukkan terdapat titik maksimum kadar asetil selulosa triasetat. Gambar 12 menunjukkan titik optimum kadar asetil selulosa triasetat yang diperoleh merupakan titik maksimum. Gambar 13 menunjukkan titik maksimum kadar asetil selulosa triasetat terjadi pada penambahan anhidrida asetat antara nilai kode 0,0 –0,5 dan waktu asetilasi antara nilai kode 0,0 – 0,5. Hasil verifikasi terhadap model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi
menunjukkan selulosa triasetat yang dihasilkan pada
percobaan asetilasi di laboratorium pada suhu 50 oC, konsentrasi katalis 1,5%, rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial sebesar 3,17 dan waktu asetilasi 315 menit mempunyai kadar asetil 45,78%. Nilai ini relatif tidak jauh berbeda dengan nilai kadar asetil selulosa triasetat hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 2 yaitu 45,80 % (Lampiran 3f).
83
Gambar 12. Permukaan respon kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi
Kd. Asetil (%) Asetilasi Rasio Anhidrida Asetat
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Waktu asetilasi
Gambar 13. Plot kontur respon kadar asetil selulosa triasetat pada proses asetilasi
45.5 45 44.5 44 43.5 43
84
Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang menghasilkan nilai maksimum perolehan selulosa triasetat yaitu 3,35 relatif tidak berbeda dengan rasio anhidrida asetat yang menghasilkan nilai maksimum kadar asetil selulosa triasetat yaitu 3,17. Waktu asetilasi yang menghasilkan nilai maksimum perolehan selulosa triasetat yaitu 323 menit juga relatif tidak berbeda dengan rasio anhidrida asetat yang menghasilkan nilai maksimum kadar asetil selulosa triasetat yaitu 315 menit. Berdasarkan hal ini maka kondisi optimum pembuata n selulosa triasetat dari selulosa mikrobial
adalah pada
terhadap selulosa mikrobial sebesar 3,35 (v/b)
rasio anhidrida asetat
dan waktu reaksi asetilasi 323
menit. Hasil optimasi menunjukkan kondisi proses asetilasi optimum terjadi pada rasio anhidrida 3,17. Secara teoritis untuk mengasetilasi secara sempurna satu gram selulosa hanya dibutuhkan anhidrida asetat sebanyak 1,90 gram.
Rasio
anhidrida asetat optimum yang diperoleh lebih tinggi dari rasio anhidrida asetat yang dibutuhkan secara teoritis. Hal ini terjadi karena dua hal yaitu pertama karena reaksi asetilasi merupakan reaksi dapat balik, sehingga untuk menjaga reaksi berlangsung kearah kanan maka harus ditambahkan anhidrida dalam jumlah berlebih. Penyebab kedua adalah adanya sejumlah air di dalam media asetilasi yang terikut bersama selulosa . Selulosa mikrobial yang digunakan mempunyai kadar air sekitar 3 – 5 %. Anhidrida asetat yang ditambahkan akan segera bereaksi dengan air membentuk asam asetat. Secara teoritis setiap satu gram air akan membutuhkan 5,65 gram anhidrida asetat.
85
Pengaruh Peubah Rasio Anhidrida Asetat terhadap Kadar Asetil STA Model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan pada proses asetilasi selulosa mikrobial seperti pada persamaan 2 menunjukkan rasio anhidrida asetat merupakan peubah yang berpengaruh paling besar terhadap kadar asetil STA. Hal ini dapat dilihat dari koefisien parameter rasio anhidrida asetat yang paling besar yaitu 0,232123.
Peubah rasio anhidrida asetat berpengaruh nyata
( α = 0,0189) terhadap kadar asetil selulosa triasetat (Lampiran 3b). Anhidrida asetat merupakan pereaksi yang berperanan sangat penting pada reaksi asetilasi. Selama reaksi asetilasi gugus asetil pada anhidrida asetat akan menggantikan gugus hidroksil pada selulosa. Agar reaksi asetilasi berlangsung sempurna maka untuk menggantikan 3 gugus hidroksil pada selulosa dibutuhkan anhidrida dalam jumlah yang cukup. Secara teoritis untuk menggantikan 3 gugus hidroksil pada 1 mol selulosa dibutuhkan 3 mol anhidrida asetat atau setiap satu gram selulosa membutuhkan 1,90 gram anhidrida asetat. Namun karena reaksi asetilasi merupakan reaksi dapat balik dan adanya sejumlah air yang terikut bersama selulosa maka anhidrida asetat harus ditambahkan dalam jumlah berlebih. Jika jumlah anhidrida asetat yang tersedia kurang dari yang dibutuhkan maka tidak terjadi reaksi asetilasi yang sempurna, kemungkinan produk yang dihasilkan bukanlah selulosa triasetat tetapi selulosa diasetat atau selulosa monoasetat. Darwis et a l. (2003) juga menyatakan faktor rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial berpengaruh terhadap kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan. Selanjutnya Darwis et al. (2003) menyatakan kadar asetil selulosa triasetat akan meningkat dengan meningkatnya rasio anhidrida asetat
86
dari 1:2 menjadi 1:3. Selulosa triasetat yang dihasilkan pada penelitian Darwis et a l. (2003) sekitar 43%. Model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat seperti pada persamaan 2 menunjukkan secara linier peubah rasio anhidrida asetat berpengaruh positif terhadap kadar asetil sedangkan secara kuadratik berpengaruh negatif terhadap kadar asetil selulosa triasetat. Hal ini menunjukkan peningkatan rasio anhidrida asetat hingga batas optimum (3,17) dapat meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat. Penambahan anhidrida asetat diatas batas optimum akan menyebabkan proses asetilasi kurang efisien
Pengaruh Peubah Waktu Reaksi terhadap Kadar Asetil STA Peubah waktu reaksi berpengaruh secara nyata (a = 0,0251) terhadap kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan (Lampiran 3b). Model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat seperti pada persamaan 2
menunjukkan secara
linier waktu reaksi berpengaruh positif terhadap kadar asetil selulosa triasetat, namun secara kuadratik berpengaruh negatif terhadap kadar asetil selulosa triasetat. Hal ini menunjukkan penambahan waktu reaksi asetilasi hingga batas optimum (315 menit) dapat meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat. Penambahan waktu reaksi akan memberi kesempatan terjadi tumbukan antar molekul semakin banyak sehingga molekul-molekul mempunyai energi yang semakin tinggi yang memungkinkan terjadi reaksi kimia. Reaksi subsitusi gugus hidroksil oleh gugus asetil berlangsung secara bertahap. Pada tahap awal akan terjadi reaksi subsitusi pada gugus hidroksil primer, selanjutnya terjadi reaksi subsitusi pada gugus hidroksil sekunder.
87
Penambahan waktu asetilasi hingga batas optimum akan memungkinkan terjadi pergantian gugus hidroksil yang lebih banyak sehingga terjadi peningkatan jumlah gugus asetil pada selulosa triasetat yang berakibat tingginya kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan. Dibandingkan dengan peubah rasio anhidrida asetat maka peubah waktu reaksi berpengaruh lebih kecil. Penambahan waktu reaksi akan efektif untuk meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat apabila terdapat jumlah anhidrida asetat yang mencukupi.
88
Penelitian II. Optimasi Proses Hidrolisis Selulosa Triasetat menjadi Selulosa Diasetat
Selulosa diasetat atau disebut juga selulosa asetat sekunder dibuat dengan cara menghidrolisis selulosa triasetat (selulosa asetat primer). Proses hidrolisis selulosa triasetat bertujuan untuk menurunkan derajat subsitusi atau kadar asetil selulosa triasetat hingga tingkat tertentu. Pada penelitian ini selulosa asetat sekunder yang ingin diperoleh mempunyai kadar asetil berkisar 37% - 40%. Hal ini berkaitan dengan penelitian tahap ketiga yaitu pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat mikrobial. Larutan selulosa triasetat yang dihidrolisis pada penelitian tahap ke dua ini dibuat berdasarkan kondisi optimum yang diperoleh pada penelitian tahap pertama.
Penentuan Taraf Faktor Suhu dan Waktu Hidrolisis Penentuan taraf rendah dan tinggi dari suatu faktor pada penelitian yang menggunakan Metoda Permukaan Respon- Rancangan Komposit Pusat merupakan salah satu hal yang penting. Penentuan taraf rendah dan tinggi dari faktor suhu dan waktu hidrolisis ditentukan berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan hidrolisis larutan selulosa triasetat mikrobial pada suhu 40, 50, 60 dan 70 o C selama 2, 4, 6, 8 dan 10 jam. Selulosa triasetat yang akan dihidrolisis mempunyai kadar asetil rata-rata 45,70%. Hasil percobaan pada tahap penentuan taraf faktor suhu dan waktu hidrolisis menunjukkan selulosa asetat sekunder yang dihasilkan pada proses hidrolisis
suhu 40 – 70 o C
selama 2 – 10 jam mempunyai kadar asetil berkisar
89
38,12 – 44,94%. Hasil pengukuran kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis
suhu 40 – 70 o C
selama 2 – 10 jam dapat dilihat pada
Lampiran 4a. Kadar asetil selulosa asetat sekunder yang dihasilkan cenderung semakin menurun dengan semakin tinggi suhu hidrolisis. Demikian juga dengan waktu hidrolisis, kadar asetil selulosa asetat sekunder yang dihasilkan cenderung semakin turun dengan semakin lama reaksi hidrolisis. Hubungan antara suhu dan waktu hidrolisis dengan kadar asetil selulosa asetat sekunder yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.
46 45
Kd. Asetil (%)
44 43
40
42
50
41
60
40
70
39 38 37 2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 14. Hubungan antara suhu dan waktu hidrolisis dengan kadar asetil selulosa asetat sekunder yang dihasilkan.
90
Penampakan fisik selulosa diasetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis suhu 70
o
C relatif berbeda dengan penampakan fisik selulosa diasetat yang
dihidrolisis pada suhu 40 o C dan 50 o C. Selulosa diasetat yang dihasilkan pada suhu 70 o C bersifat rapuh dan mudah hancur, sedangkan selulosa diasetat yang dihasilkan pada suhu 40
o
C dan 50
o
C relatif lebih keras dan sukar dihancurkan. Hal ini
menunjukkan selulosa diasetat yang dihasilkan pada suhu 70 o C mempunyai kekuatan mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa diasetat yang dihasilkan pada suhu 40 o C dan 50 o C. Dikaitkan dengan penelitian tahap ketiga (pembuatan membran dari selulosa diasetat mikrobial) maka selulosa diasetat yang ingin diperoleh pada tahap hidrolisis adalah selulosa diasetat yang mempunyai kekuatan mekanik relatif tinggi. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap penentuan taraf suhu dan waktu hidrolisis ini maka ditentukan taraf rendah dan tinggi untuk faktor suhu hidrolisis adalah 40 o C dan 60 o C sedangkan taraf rendah dan tinggi untuk faktor waktu hidrolisis adalah 360 menit dan 840 menit.
Penentuan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kadar Asetil Selulosa Diasetat pada Proses Hidrolisis
Pada tahap penentuan faktor- faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis ini telah dicobakan 4 faktor yaitu rasio air terhadap selulosa mikrobial, waktu hidrolisis, konsentrasi asam sulfat dan suhu hidrolisis. Hasil pengukuran kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan (pada rancangan titik faktorial dan titik pusat) menunjukkan
selulosa diasetat
hasil hidrolisis mempunyai kadar asetil berkisar
91
36,00% - 43,65% . Kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan pada rancangan faktorial dan titik pusat dapat dilihat pada
Tabel 16.
Tabel 16.
Kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis (rancangan faktorial dan titik pusat)
Rasio Air (v/b)
Waktu (menit)
Asam sulfat (%)
Suhu ( o C)
-1
Kadar asetil Selulosa Diasetat (%) 43.65
X1
X2
X3
X4
X1
X2
X3
X4
1
0.67
360
1
40
-1
-1
-1
Titik
2
1.33
360
1
40
1
-1
-1
-1
43.64
Faktorial
3
0.67
840
1
40
-1
1
-1
-1
42.10
4
1.33
840
1
40
1
1
-1
-1
42.15
5
0.67
360
2
40
-1
-1
1
-1
43.25
6
1.33
360
2
40
1
-1
1
-1
43.14
7
0.67
840
2
40
-1
1
1
-1
40.90
8
1.33
840
2
40
1
1
1
-1
40.88
9
0.67
360
1
60
-1
-1
-1
1
41.26
10
1.33
360
1
60
1
-1
-1
1
41.02
11
0.67
840
1
60
-1
1
-1
1
37.90
12
1.33
840
1
60
1
1
-1
1
36.50
13
0.67
360
2
60
-1
-1
1
1
42.07
14
1.33
360
2
60
1
-1
1
1
41.50
15
0.67
840
2
60
-1
1
1
1
36.85
16
1.33
840
2
60
1
1
1
1
36.00
17
1
600
1.5
50
0
0
0
0
41.48
Titik
18
1
600
1.5
50
0
0
0
0
41.06
pusat
19
1
600
1.5
50
0
0
0
0
41.60
20
1
600
1.5
50
0
0
0
0
41.30
21
1
600
1.5
50
0
0
0
0
42.12
22
1
600
1.5
50
0
0
0
0
41.56
Nilai kode
92
Hasil analisis keragama n terhadap kadar asetil selulosa diasetat
pada
rancangan faktorial dan titik pusat (Lampiran 4b) menunjukkan 3 faktor yang dicobakan berpengaruh sangat nyata terhadap terhadap kadar asetil selulosa diasetat yaitu waktu hidrolisis, konsentrasi katalis dan suhu hidrolisis. Sedangkan faktor rasio air terhadap selulosa mikrobial berpengaruh nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat.
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Kirk dan Othmer (1993) yaitu
kecepatan reaksi hidrolisis dipengaruhi oleh waktu, suhu, konsentrasi katalis dan jumlah air yang ditambahkan. Menurut Ott et al. (1954) jumlah pereaksi yang ditambahkan (air dalam asam asetat 60 %) pada proses hidrolisis tidak berpengaruh banyak terhadap kecepatan reaksi hidrolisis tetapi penting untuk mengurangi kandungan sulfat dalam selulosa diasetat yang dihasilkan.
Pembentukan Model
Kadar Asetil Selulosa Diasetat pada Proses Hidrolisis
Pembentukan model linier kadar asetil dilakukan dengan menggunakan data rancangan titik faktorial dan titik pusat.
Hasilnya
menunjukkan terdapat 11
parameter yang berpengaruh terhadap kadar asetil selulosa diasetat selama proses hidrolisis yang terdiri dari 4 parameter linier, 6 parameter interaksi dan 1 parameter kuadratik. Model kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis yang diperoleh pada tahap pertama ini merupakan model kuadratik bukan model linier.
Parameter dan
nilai masing- masing koefisien parameter dapat dilihat pada Lampiran 4c. Selanjutnya pembentukan model kuadratik dilakukan dengan menggunakan data kadar asetil selulosa diasetat pada rancangan titik bintang dengan nilai faktor
93
dapat putar (rotability factor) sebesar ± 2 . Hasil pengukuran kadar asetil selulosa diasetat pada rancangan titik bintang dapat dilihat pada Tabel 17
Tabel 17. Kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis pada rancangan titik bintang Rasio air (v/b) X1
Waktu (menit) X2
Asam sulfat (%) X3
Suhu ( o C) X4
X1
X2
X3
X4
1
0.34
600
1.5
50
-2
0
0
0
Kadar asetil Selulosa Diasetat (%) 39.60
2
1.66
600
1.5
50
+2
0
0
0
38.39
3
1
120
1.5
50
0
-2
0
0
44.61
4
1
1080
1.5
50
0
+2
0
0
38.49
5
1
600
0.5
50
0
0
-2
0
41.66
6
1
600
2.5
50
0
0
+2
0
40.27
7
1
600
1.5
30
0
0
0
-2
44.85
8
1
600
1.5
70
0
0
0
+2
38.11
Nilai kode
Titik Bintang
Hasil pembentukan model kuadratik lanjutan kadar asetil selulosa diasetat menunjukkan terdapat 4 parameter linier, 4 parameter kuadratik dan 6 parameter interaksi antar peubah. Secara lengkap parameter dan koefisien serta peluang masingmasing parameter pembentuk model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat tahap kedua ini dapat dilihat pada Lampiran 4d.
Pengujian Model Kadar Asetil Selulosa Diasetat Hasil penentuan koefisien determinasi menunjukkan model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat yang diperoleh mempunyai nilai koefisien determinasi (R2 ) yang relatif tinggi yaitu sebesar 0,9620.
Hal ini menunjukkan sekitar 96,2% total
94
keragaman yang terjadi dapat dijelaskan oleh model dan hanya sekitar 4,8 % total keragaman yang tidak dapat dijelaskan oleh model. Hasil uji penyimpangan model (lack of fit) terhadap model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat
menunjukkan nilai peluang penyimpangan model bersifat
tidak nyata dengan nilai peluang sebesar 0,8372 (a > 0,05). Hal ini menunjukkan terdapat kesesuaian antara model dengan keadaan nyata. Hasil uji penyimpangan model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat dapat dilihat pada Lampiran 4e. Hasil pengujian asumsi residual
menunjukkan
bahwa plot residual
menyebar secara acak disekitar nol sehingga memenuhi syarat identik. Pemeriksaan asumsi kenormalan juga menunjukkan plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual mengikuti distribusi normal.
Hasil perhitungan
kadar asetil selulosa diasetat dengan menggunakan model kuadratik yang diperoleh dan nilai residualnya dapat dilihat pada Lampiran 4f. Berdasarkan hasil uji kesahihan model yang telah dilakukan (koefisien determinansi, uji penyimpangan model dan uji asumsi residual) diasetat
maka model kuadratik selulosa
yang diperoleh merupakan model yang baik karena mempunyai nilai
koefisien determinansi yang tinggi dan hasil uji penyimpangan model yang bersifat tidak nyata. Secara lengkap pengaruh pengaruh rasio air terhadap selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu hidrolisis selulosa triasetat terhadap kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan pada proses hidrolisis dapat dinyatakan seperti pada persamaan 3.
95
Yka SDA = 41,52 - 0 2198 XR -1,5915 XW -0,2548 XK -1,6582X4 -0,6255 XR 2 -0,1330 XK 2 -0,2940 XK XW - 0,2040 XSXR -0,7028 XSXW -0,1760 XS XK
Yka SDA = kadar asetil selulosa diasetat XR
= rasio air terhadap selulosa mikrobial ; X2 = waktu hidrolisis
X3
= konsentrasi asam sulfat ; X4 = suhu hidrolisis
Persamaan 3. Persamaan kuadratik kadar asetil selulosa diasetat sebagai pengaruh rasio air terhadap selulosa mikrobial, waktu, konsentrasi asam sulfat dan suhu hidrolisis selulosa triasetat.
Persamaan kuadratik kadar asetil selulosa diasetat seperti pada persamaan 3 dibuat berdasarkan hasil percobaan hidrolisis selulosa triasetat pada rasio air dengan selulosa mikrobial berkisar 0,34 – 1,66, waktu hidrolisis berkisar 120 – 1080 menit, konsentrasi asam sulfat berkisar 0,5% – 2,5% dan suhu hidrolisis 30 – 70 o C.
Penentuan Nilai Optimum Kadar Asetil Selulosa Diasetat Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan (Lampiran 4g) menunjukkan perkiraan nilai titik stasionari adalah 45,43% dan titik stasionari berupa titik pelana (saddle point) . Nilai akar ciri bertanda positif dan negatif. Hal ini menunjukkan tidak terdapat nilai optimum kadar
96
asetil selulosa diasetat pada percobaan yang dilakukan atau kondisi proses yang menghasilkan titik minimum berada diluar batas atas dan batas bawah faktor- faktor yang dicobakan Diduga titik minimum kadar asetil selulosa diasetat pada proses hidrolisis berada jauh dari kisaran taraf peubah yang dicobakan. Menurut Hiatt dan Rebel (1971) proses hidrolisis dalam waktu lama dapat menurunkan kadar asetil selulosa asetat hingga diperoleh selulosa asetat sekunder dengan kadar asetil kecil dari 13 %. Analisis plot kontur kadar asetil selulosa diasetat dengan menggunakan perangkat lunak Statistica menunjukkan bahwa kondisi proses hidrolisis yang dicobakan tidak dapat menghasilkan selulosa diasetat dengan kadar asetil minimal. Analisis plot kontur kadar asetil selulosa diasetat hasil proses hidrolisis dapat dilihat pada Lampiran 4h, 4i, 4j, 4k dan 4l. Hasil analisis plot kontur kadar asetil selulosa diasetat (Lampiran 4j) menunjukkan rasio air dengan selulosa mikrobial yang digunakan telah mencapai titik optimum lokal yaitu pada nilai kode 0,2 atau sama dengan rasio air aktual sebesar 1,066. Konsentrasi asam sulfat yang digunakan juga telah mencapai nilai optimum lokal yaitu terjadi pada nilai kode –1 atau sama dengan konsentrasi asam sulfat aktual sebesar 1 %. Meskipun titik minimum kadar asetil pada proses hidrolisis tidak diperoleh, namun model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat seperti pada persamaan 3 dapat digunakan untuk menentukan kondisi hidrolisis yang tepat agar diperoleh selulosa diasetat kadar asetil 37% - 40%. Hasil verifikasi terhadap model kuadratik yang diperoleh (Lampiran 4m) menunjukkan nilai kadar asetil selulosa diasetat yang dihitung dengan menggunakan model kuadratik persamaan 3 relatif tidak jauh
97
berbeda dengan nilai kadar asetil selulosa diasetat hasil percobaan di laboratorium. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa model kuadratik persamaan 3 dapat digunakan
untuk memperkirakan kondisi hidrolisis yang tepat (rasio air dengan
selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat, waktu dan suhu) agar diperoleh selulosa diasetat sesuai kadar asetil yang diinginkan.
Pengaruh
Suhu Hidrolisis terhadap Kadar Asetil Selulosa Diasetat
Parameter suhu hidrolisis (X4 ) pada persamaan 3 (model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat) mempunyai koefisien paling besar dibandingkan parameter lainnya yaitu -1,6582 (Lampiran 4d).
Hal ini menunjukkan suhu hidrolisis
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selama hidrolisis selulosa triasetat. Suhu hidrolisis secara linier berpengaruh negatif dan bersifat sangat nyata terhadap kadar asetil selulosa asetat (Lampiran 4d). Hal ini menunjukkan pada rasio air dengan selulosa mikrobial, konsentrasi katalis, dan waktu hidrolisis tetap maka semakin tinggi suhu hidrolisis akan menyebabkan semakin rendah kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat merupakan kebalikan dari reaksi asetilasi. Pada reaksi hidrolisis selulosa triasetat terjadi subsitusi gugus asetil pada selulosa triasetat dengan gugus hidroksil dari air. Menurut Pine et al. (1988) reaksi balik mempunyai energi aktivasi lebih tinggi dibandingkan energi aktivasi reaksi. Reaksi ester dengan air berlangsung secara lambat.
Menurut Ott et al. (1954) , proses
hidrolisis selulosa triasetat pada suhu kamar dapat berlangsung beberapa hari, sedangkan hidrolisis pada suhu diatas 40
o
C dapat berlangsung beberapa jam.
98
Peningkatan suhu reaksi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan laju reaksi hidrolisis. Menurut Pine et al. (1988), agar dapat terjadi suatu reaksi kimia maka molekulmolekul yang akan bereaksi harus
mempunyai energi yang cukup yaitu sebesar
energi aktivasi reaksi. Bila suatu molekul dipanasi (peningkatan suhu) maka molekul tersebut akan memperoleh tambahan energi kinetik sehingga bergerak lebih cepat akibatnya tumbukan antar molekul lebih banyak terjadi. Hal ini menyebabkan energi yang dimiliki molekul bertambah sehingga molekul mempunyai energi yang cukup untuk bereaksi. Reaksi hidrolisis pada selulosa triasetat menyebabkan berkurangnya gugus asetil yang terdapat pada molekul selulosa triasetat. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan.
Besarnya penurunan kadar asetil selama
hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah suhu reaksi hidrolisis. Dari persamaan 3 dapat diketahui koefisien linier peubah suhu hidrolisis bernilai -1,658157. Hal ini menunjukkan pada kondisi 3 peubah lainnya tetap (rasio air dengan selulosa mikrobial, konsentrasi asam sulfat dan waktu) maka setiap kenaikan suhu hidrolisis satu satuan nilai kode suhu (10 o C) akan menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat sebesar 1,66 %. Berdasarkan hal ini maka pengendalian suhu proses hidrolisis selulosa triasetat harus dilakukan dengan baik. Hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 3 menunjukkan perubahan suhu hidrolisis sebesar 3 o C diduga akan mengakibatkan perubahan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan sebesar 0,50 %.
99
Pengaruh Waktu Hidrolisis terhadap Kadar Asetil Selulosa Diasetat
Parameter waktu hidrolisis (X2 ) pada persamaan 3 (model kuadratik kadar asetil selulosa diasetat) mempunyai koefisien terbesar kedua setelah suhu hidrolisis yaitu -1,5912.
Hal ini menunjukkan waktu hidrolisis merupakan faktor yang relatif
cukup berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selama hidrolisis selulosa triasetat. Waktu hidrolisis secara linier berpengaruh negatif dan bersifat sangat nyata terhadap kadar asetil
selulosa diasetat. Secara kuadratik
waktu hidrolisis
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat (Lampiran 4d). Hal ini menunjukkan penambahan waktu hidrolisis akan menyebabkan semakin rendah kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Selulosa triasetat mempunyai tiga gugus asetil yang terdiri atas dua gugus asetil sekunder dan satu gugus asetil primer. Reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil berlangsung secara bertahap, pada tahap awal akan terjadi subsitusi pada gugus asetil primer selanjutnya terjadi subsitusi pada gugus asetil sekunder. Semakin lama proses hidrolisis dilakukan maka semakin banyak terjadi reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Parameter waktu hidrolisis pada persamaan 3 secara linier berpengaruh sebesar -1,5915 terhadap kadar asetil selulosa diasetat. Hal ini menunjukkan pada kondisi
3 peubah lainnya tetap
(rasio air dengan selulosa mikrobial, suhu dan
konsentrasi asam sulfat pada titik pusat) maka setiap penambahan waktu hidrolisis satu satuan nilai kode waktu
(240 menit) akan menyebabkan penurunan kadar
100
asetil sekitar 1,59 %. Dengan menggunakan persamaan 3 dapat dihitung bahwa untuk menurunkan kadar asetil sekitar 1% dapat dilakukan dengan menambah waktu hidrolisis sekitar 150 menit. Penambahan waktu hidrolisis sebesar 60 menit akan mengakibatkan penurunan kadar asetil sekitar 0,40 %. Dengan mengetahui kadar asetil awal selulosa triasetat yang akan dihidrolisis maka dengan menggunakan persamaan 3 dapat diketahui berapa lama proses hidrolisis harus dilakukan agar diperoleh selulosa diasetat sesuai kadar asetil yang diinginkan tanpa harus melakukan pengambilan contoh pada periode waktu tertentu.
Pengaruh
Konsentrasi Asam Sulfat terhadap Kadar Asetil Selulosa Diasetat
Asam sulfat merupakan jenis katalis yang banyak digunakan pada proses hidrolisis selulosa triasetat. Persamaan 3
menunjukkan konsentrasi asam sulfat
berpengaruh relatif kecil terhadap kadar asetil selulosa diasetat dibandingkan pengaruh suhu dan waktu hidrolisis. Peubah konsentrasi asam sulfat secara linier berpengaruh negatif terhadap kadar asetil dan bersifat sangat nyata , dengan nilai koefisien linier sebesar -0,254833. Secara kuadratik faktor konsentrasi asam sulfat berpengaruh negatif dan bersifat nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis , dengan nilai
koefisien kuadratiknya bernilai -0,1330. Hal ini
menunjukkan peningkatan konsentrasi asam sulfat hingga titik optimum (1 %) dapat mempercepat penurunan kadar asetil selulosa asetat selama hidrolisis. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat merupakan reaksi balik asetilasi. Secara umum reaksi balik mempunyai energi aktivasi yang lebih besar dibandingkan energi aktivasi reaksi (Pine et al., 1988). Penambahan katalis asam sulfat pada
reaksi
101
hidrolisis
bertujuan untuk menurunkan energi aktivasinya. Dengan menurunnya
energi aktivasi maka semakin mudah terjadi reaksi kimia sehingga lebih banyak gugus asetil yang dapat disubsitusi oleh gugus hidroksil. Akibat berkurangnya gugus asetil menyebabkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan semakin rendah. Penambahan
asam sulfat pada proses hidrolisis yang dilakukan pada
penelitian ini relatif kecil yaitu 1% - 2%.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi
kerusakan pada selulosa diasetat yang dihasilkan karena menurut Shelton et al. (2004)
penambahan katalis pada konsentrasi tinggi dapat merusak produk yang
dihasilkan yaitu selulosa asetat yang dihasilkan menjadi rapuh. Asam sulfat merupakan jenis asam kuat yang penambahan dalam jumlah relatif banyak dan suhu tinggi dapat menyebabkan putusnya rantai selulosa sehingga derajat polimerisasi produk yang dihasilkan rendah. Hal ini tidak dikehendaki karena produk yang dibuat dari selulosa asetat yang mempunyai derajat polimerisasi rendah akan mempunyai kekuatan mekanik rendah (rapuh). Hasil pendugaan dengan menggunakan persamaan 3 menunjukkan jika hidrolisis dilakukan pada kondisi titik pusat (rasio air dengan selulosa mikrobial 1, suhu hidrolisis 50 o C, waktu hidrolisis 600 menit) maka peningkatan konsentrasi asam sulfat dari 1,5% menjadi 2% akan menurunkan kadar asetil sebesar 0.39 %. Penurunan kadar asetil selulosa diasetat akan lebih kecil dari 0,39% jika konsentrasi asam sulfat ditambah dari 0,5% menjadi 1% yaitu sebesar 0,12%. Perbedaan besarnya penurunan kadar asetil pada peningkatan konsentrasi katalis yang sama disebabkan konsentrasi asam sulfat berpengaruh secra linier dan kuadratik terhadap penurunan kadar asetil selulosa asetat selama proses hidrolisis.
102
Pengaruh
Rasio Air dengan Selulosa Mikrobial terhadap Kadar Asetil
Selulosa Diasetat Rasio air dengan selulosa mikrobial yang digunakan merupakan faktor yang paling kecil pengaruhnya terhadap
kadar asetil selulosa diasetat dibandingkan 3
faktor lainnya. Peubah rasio air dengan sebesar
selulosa mikrobial
berpengaruh negatif
-0,2198 dan sangat nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat yang
dihasilkan. Demikian juga dengan pengaruh kuadratiknya bernilai negatif (-0,1330) dan bersifat nyata. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah air yang ditambahkan hingga batas optimum (rasio air terhadap selulosa mikrobial 1,066) akan menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat. Penambahan air bertujuan menghentikan proses asetilasi dengan cara merusak anhidrida asetat yang terdapat dalam media asetilasi dan untuk memulai terjadinya reaksi hidrolisis. Pada proses hidrolisis terjadi pertukaran gugus asetil pada selulosa triasetat dengan gugus hidroksil dari air. Selulosa triasetat mempunyai 3 gugus asetil sehingga selama proses hidrolisis dapat terjadi pertukaran satu, dua atau tiga gugus asetil.
Bila hanya satu gugus asetil yang disubsitusi maka produk yang dihasilkan
mempunyai derajat subsitusi 2 atau disebut juga selulosa diasetat. Agar reaksi subsitusi dapat berlangsung baik maka mencukupi.
harus tersedia air dalam jumlah yang
Air yang dibutuhkan selama proses hidrolisis ditambahkan dalam
jumlah berlebih. Bila diasumsikan bobot molekul selulosa triasetat adalah
adalah 288n
gram/mol dan bobot molekul air adalah 18 gram/mol maka secara teoritis untuk
103
menghidrolisis satu gugus asetil pada selulosa triasetat diperlukan 1n mol air yang setara dengan 18n gram air. Secara teoritis untuk menghidrolisis 288 gram selulosa triasetat diperlukan 18 gram air. Bila diasumsikan untuk menghasilkan 288 gram selulosa triasetat dibutuhkan selulosa mikrobial sebanyak 161 gram maka untuk mensubsitusi satu gugus asetil pada selulosa triasetat diperlukan air sebanyak 18 gram atau rasio air terhadap selulosa mikrobial adalah 0,11. Rasio air optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,066.
Nilai
optimum ini relatif lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan secara teoritis (0,11). Hal ini terjadi karena penambahan air pada proses hidrolisis bertujuan untuk merusak kelebihan anhidrida asetat pada proses asetilasi dan menyediakan air dalam jumlah berlebih untuk reaksi hidrolisis. Air yang ditambahkan terlebih dahulu akan bereaksi dengan anhidrida asetat sehingga menghasilkan asam asetat. Reaksi hidrolisis akan dimulai setelah semua anhidrida asetat bereaksi dengan air. Menurut Ott et al. (1954) penambahan air pada proses hidrolisis selulosa triasetat sebaiknya dilakukan dalam jumlah relatif banyak karena penambahan air yang lebih banyak akan menurunkan kandungan sulfat yang terdapat dalam selulosa triasetat.
Pada proses hidrolisis penambahan air tidak dapat dilakukan secara
langsung tetapi berupa larutan air dalam asam asetat dan penambahan dilakukan secara perlahan sambil terus dilakukan pengadukan agar diperoleh campuran homogen. Penambahan air secara langsung kedalam larutan selulosa triasetat akan menyebabkan penggumpalan selulosa triasetat.
104
Pengaruh Interaksi antara Faktor-faktor
Hasil penelitian pada tahap hidrolisis menunjukkan terdapat 2 interaksi antar peubah yang berpengaruh sangat nyata dan 2 interaksi yang berpengaruh nyata sedangkan 2 interaksi lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar asetil (Lampiran 4d). Interaksi antar peubah yang berpengaruh sangat nyata adalah interaksi antara suhu dan waktu hidrolisis dan interaksi antara konsentrasi katalis dan waktu hidrolisis. Interaksi yang berpengaruh nyata adalah interaksi antara suhu dan rasio air dan interaksi antara konsentrasi katalis dan suhu hidrolisis. Interaksi yang tidak berpengaruh nyata adalah interaksi antara waktu dan rasio air dan interaksi antara konsentrasi katalis dan rasio air
Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Waktu Hidrolisis Interaksi antara suhu dan waktu hidrolisis merupakan
interaksi yang
berpengaruh sangat nyata dan mempunyai koefisien sebesar -0,70275 (terbesar ke 3 dari 14 koefisien, Lampiran 4d) . Interaksi suhu dan waktu hidrolisis berpengaruh negatif terhadap kadar asetil selulosa diasetat pada proses hidrolisis yang berarti peningkatan suhu dan waktu hidrolisis akan menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pola interaksi antara suhu dan waktu hidrolisis terhadap kadar asetil dapat dilihat pada Gambar 15.
105
44.00
X4(-1), 43.65
Kadarasetil(%)
43.00 X4(-1), 42.10
42.00 41.00
x4(+1), 41.25
40.00 39.00 38.00
x4(+1), 37.90
37.00 X2(-1)
X2(+1)
X2=Suhu , X4=waktu
Gambar 15. Pola interaksi peubah suhu (X2 ) dan waktu (X4 ) terhadap kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis.
Pola interaksi suhu dan waktu hidrolisis seperti pada Gambar 14 menunjukkan penambahan waktu hidrolisis pada suhu taraf tinggi mengakibatkan penurunan kadar asetil yang lebih besar dibandingkan penurunan yang terjadi pada suhu taraf rendah. Hal ini terjadi karena peningkatan suhu hidrolisis akan meningkatkan energi kinetik molekul- molekul sehingga molekul- molekul bergerak lebih cepat. Akibatnya semakin banyak tumbukan yang terjadi dan semakin banyak energi yang dimiliki molekul tersebut. Reaksi hidrolisis akan terjadi bila molekul mempunyai energi yang cukup yaitu sebesar energi aktivasi. Semakin lama reaksi berlangsung maka semakin banyak subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil sehingga jumlah gugus asetil semakin berkurang. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pola penurunan kadar asetil ini juga dapat dipelajari dengan menggunakan persamaan 3. Hasil perhitungan kadar asetil dengan persamaan 3 menunjukkan
106
bahwa penambahan waktu selama 60 menit pada proses hidrolisis suhu 40 o C akan menurunkan kadar asetil sebesar 0,22%, pada suhu 50 o C akan menurunkan kadar asetil sebesar 0,40% , sedangkan pada suhu 60 o C akan menurunkan kadar asetil sebesar 0,57%. Sehingga dapat disimpulkan penurunan kadar asetil pada suhu tinggi akan lebih besar bila dibandingkan penurunan kadar asetil yang terjadi pada suhu rendah untuk setiap penambahan waktu hidrolisis yang sama. Demikian juga halnya dengan waktu hidrolisis. Jika hidrolisis dilakukan selama 14 jam pada suhu yang berbeda sebesar 10 o C akan diperoleh selulosa diasetat dengan perbedaan kadar asetil sebesar 2,4%.
Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Asam Sulfat dan Waktu Hidrolisis Interaksi antara konsentrasi asam sulfat dengan waktu hidrolisis
juga
merupakan interaksi yang berpengaruh nyata terhadap kadar asetil selama proses hidrolisis. Koefisiennya bertanda negatif yaitu - 0,2940 (Lampiran 4d).
Interaksi
antara waktu dan konsentrasi katalis mempunyai koefisien yang relatif kecil dibandingkan nilai koefisien interaksi antara waktu dengan suhu (- 0,70275). Hal ini menunjukkan interaksi antara waktu dan konsentrasi katalis dapat menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan meskipun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh interaksi antara suhu dan waktu hidrolisis. Pola interaksi konsentrasi katalis dan waktu hidrolisis dapat dilihat seperti pada Gambar 16. Pola interaksi peubah waktu dan konsentrasi katalis hampir sama dengan pola interaksi suhu dan waktu hidrolisis yaitu penurunan kadar asetil akan
107
lebih besar bila
dilakukan pada penggunaan konsentrasi katalis taraf tinggi dan
waktu taraf tinggi. Hasil perhitungan kadar asetil hasil hidrolisis dengan menggunakan persamaan 3 menunjukkan penurunan kadar asetil akibat penambahan waktu hidrolisis selama satu jam pada penggunaan katalis
sebesar 1% adalah sebesar
0,32%, pada konsentrasi katalis 1,5% adalah sebesar 0,40% sedangkan pada konsentrasi katalis 2% sebesar 0,47% .
44.00 43.50
X3(-1), 43.65 x3+1), 43.25
kadar asetil (%)
43.00 42.50 X3(-1), 42.10
42.00 41.50 41.00
x3+1), 40.90
40.50 40.00 X2(-1)
X2(+1)
x2=waktu,x3=katalis
Gambar 16. Pola interaksi peubah waktu (X2 ) dan konsentrasi asam sulfat (X3 ) terhadap kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis.
Penurunan kadar asetil untuk waktu hidrolisis selama 14 jam akan berbeda pada penggunaan katalis konsentrasi rendah dan konsentrasi tinggi. Peningkatan konsentrasi katalis dari 1% menjadi 1,5% akan menurunkan kadar asetil sebesar
108
0,42%, sedangkan pada peningkatan konsentrasi 1,5% menjadi 2% akan terjadi penurunan kadar asetil yang lebih besar yaitu 0,68%.
Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Rasio Air dengan Selulosa Mikrobial Pengaruh interaksi antara peubah suhu dengan rasio air dengan selulosa mikrobial bersifat nyata dengan nilai koefisien yang lebih kecil dari koefisien interaksi suhu dan waktu dan koefesien interaksi waktu dan konsentrasi katalis yaitu sebesar - 0,2040 (Lampiran 4d). Pola interaksi peubah rasio air dengan selulosa mikrobial dan suhu hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 17.
42.00 Kadar asetil (%)
41.00
X4(-1), 40.90
X4(-1), 40.88
40.00 39.00 38.00 37.00
x4(+1), 36.85
36.00
x4(+1), 36.00
35.00 X1(-1)
X1(+1) x1=rasio air,x4=suhu
Gambar 17. Pola interaksi peubah rasio air (X1 ) dan suhu hidrolisis (X4 ) terhadap kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis.
Pola interaksi pada Gambar 17 menunjukkan penambahan rasio air dengan selulosa mikrobial pada suhu hidrolisis taraf rendah menyebabkan penurunan kadar asetil yang lebih kecil dibandingkan penambahan rasio air pada suhu tinggi. Pola interaksi pada Gambar 17 menunjukkan interaksi rasio air dan suhu hidrolisis relatif lemah. Hal ini menunjukkan penurunan kadar asetil akan semakin besar jika
109
hidrolisis dilakukan pada rasio air tinggi dan suhu tinggi. Pengaruh kuantitatif interaksi antara rasio air dengan suhu hidrolisis dapat diketahui dengan menggunakan persamaan 3.
Peningkatan suhu hidrolisis dari 40 o C menjadi 50 o C pada rasio air
sebesar 0,67 akan menurunkan kadar asetil sebesar 0,83% sedangkan peningkatan suhu dari 50 o C menjadi 60 o C pada rasio air tetap akan menurunkan kadar asetil yang lebih besar yaitu 2,11%. Penurunan kadar asetil ini akan semakin besar jika suhu ditingkatkan dari 50 o C menjadi 60 o C pada rasio air 1,33 yaitu sebesar 2,52%. Hal ini menunjukkan penurunan kadar asetil akan semakin besar jika hidrolisis dilakukan pada rasio air tinggi dan suhu tinggi.
Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Asam Sulfat dan Suhu Hidrolisis Hasil penelitian menunjukkan interaksi
konsentrasi asam sulfat dan suhu
berpengaruh secara nyata terhadap kadar asetil selulosa diasetat dengan nilai koefisien sebesar -0,1760 (Lampiran 4d). Interaksi konsentrasi katalis dan suhu berpengaruh negatif, artinya peningkatan konsentrasi katalis dan suhu hidrolisis akan menurunkan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Namun penurunan kadar asetil akibat peningkatan konsentrasi katalis dan suhu relatif lebih sedikit dibandingkan penurunan yang diakibatkan peningkatan suhu dan waktu. Interaksi konsentrasi katalis dan suhu relatif lemah seperti terlihat pada Gambar 18.
110
Kadar asetil (%)
43.00 X4(-1), 42.15
42.00 41.00 40.00 39.00 38.00 37.00
X4(-1), 40.88
x4(+1), 36.50
36.00 35.00 34.00 33.00 32.00
X3(-1)
x4(+1), 36.00
X3(+1)
x3=katalis, x4=suhu
Gambar 18. Pola interaksi konsentrasi katalis (X3 ) dan suhu hidrolisis (X4 ) terhadap kadar asetil selulosa diasetat hasil hidrolisis.
Hasil
perhitungan
dengan
menggunakan
persamaan
3
menunjukkan
penurunan kadar asetil akibat peningkatan suhu dari 40 o C menjadi 50 o C pada konsentrasi katalis 1% adalah sebesar 1,35%. Meskipun besar kenaikan suhu sama (10 o C) tetapi peningkatan suhu hidrolisis dari 50 o C menjadi 60 o C pada konsentrasi katalis 1% akan menyebabkan penurunan kadar asetil yang lebih besar yaitu 1,62%. Pada penggunaan katalis dengan konsentrasi lebih tinggi yaitu 2% peningkatan suhu dari
40 o C menjadi 50 o C akan menyebabkan penurunan suhu sebesar 1,70%.
Peningkatan suhu dari 50 o C menjadi 60 o C akan menyebabkan penurunan yang lebih besar yaitu 1,97%. Penurunan kadar asetil selulosa diasetat pada proses hidrolisis akan lebih besar jika peningkatan suhu tinggi dan suhu taraf tinggi.
dilakukan pada konsentrasi katalis taraf
111
Penelitian III. Pembuatan dan Karakterisasi Membran Ultrafiltrasi dari Selulosa Diasetat; Pengaruh Kadar Asetil dan Konsentrasi Selulosa Diasetat terhadap Karakteristik Membran Ultrafiltrasi
Pembuatan membran pada penelitian ini menggunakan selulosa diasetat mikrobial sebagai polimer dan dimetil formamida sebagai pelarut serta air sebagai non pelarut. Dimetil formamida (DMF) merupakan salah satu jenis pelarut yang dapat digunakan sebagai pelarut polimer pada pembuatan membran selulosa asetat. Meskipun selulosa diasetat dapat larut dalam pelarut selain DMF seperti aseton, dioksan dan tetrahidrofuran tetapi dalam penelitian ini hanya pelarut DMF yang dipilih. Hal ini dilakukan karena struktur pori membran selulosa asetat yang dibuat dengan metoda inversi fasa menggunakan pelarut DMF akan menghasilkan membran berpori. Menurut Mulder (1996) dan Cheryan (1998), pada pembuatan membran selulosa asetat metoda inversi fasa yang menggunakan DMF sebagai pelarut dan air sebagai non pelarut maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing sehingga membran yang dihasilkan merupakan membran berpori (porous membrane). Selulosa diasetat mikrobial yang digunakan pada penelitian ini dibuat berdasarkan hasil penelitian tahap kedua, mempunyai kadar asetil 37,21%, 38,11%, 39,19 % dan 40,22 %. Hasil pengamatan terhadap larutan dope yang dibuat menunjukkan selulosa diasetat
kadar asetil 37,21% dan 38,11% dapat
larut secara sempurna dalam pelarut DMF pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12%, 14%, 16%,18% dan 20%. Selulosa diasetat kadar asetil 39,19 % hanya dapat larut sempurna pada konsentrasi selulosa
112
diasetat dalam larutan dope sebesar 12%, 14%, 16% dan 18% selulosa diasetat
kadar asetil 40,22 %
sedangkan
hanya dapat larut sempurna pada
konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14%. Hal ini menunjukkan selulosa diasetat
kadar asetil 37,21 % dan 38,11% mempunyai
kelarutan yang lebih tinggi dalam DMF dibandingkan selulosa diasetat
kadar
asetil 39,19 % dan 40,22 % pada konsentrasi yang sama. Hal ini diduga terjadi karena semakin rendah kadar asetil selulosa diasetat maka semakin banyak gugus hidroksil yang terdapat didalamnya, sehingga kepolarannya meningkat. Dimetil forma mida merupakan jenis pelarut polar dengan momen dipol sebesar 3,82, konstanta dielektrika 38,2 dan titik didih 153 oC. Hasil pengamatan terhadap membran yang dihasilkan menunjukkan tidak semua membran yang dihasilkan dapat digunakan. Membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14% tidak dapat digunakan karena membran yang dihasilkan terlalu tipis hingga mudah rusak. Demikian juga dengan membran yang dibuat dari selulosa diasetat
kadar asetil 38,11 % konsentrasi selulosa
diasetat dalam larutan dope sebesar 12% tidak dapat digunakan karena terlalu tipis dan mudah rusak. Dibandingkan dengan larutan dope yang lain, larutan selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14% relatif sangat encer, apalagi jika dibandingkan dengan larutan dope selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12%. Diduga hal ini terjadi karena selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % mempunyai bobot molekul yang relatif lebih rendah dibandingkan selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Menurut Rabek
113
(1983) larutan polimer yang dibuat dari polimer dengan bobot molekul yang tinggi akan cenderung mempunyai kekentalan yang lebih tinggi dibandingkan larutan polimer yang dibuat dari polimer dengan bobot molekul rendah. Hasil pengukuran bobot molekul selulosa diasetat dapat dilihat pada Tabel 18. Secara lengkap pengukuran bobot molekul selulosa diasetat dapat dilihat pada Lampiran 5a. Tabel 18. Bobot molekul selulosa diasetat Kadar Asetil Selulosa Diasetat 40,22 %
Bobot molekul 36 965
39,19 %
36 475
38,11 %
36 074
37,21 %
35 875
Selulosa asetat komersial (40,04%)
36 425
Membran yang dibuat dari selulosa diasetat mikrobial kadar asetil 40,22 % konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 16% dan 18% tidak dapat digunakan karena rusak (sobek). Hal ini terjadi karena dalam yang dibuat dari selulosa diasetat
larutan cetak
kadar asetil 40,22 % konsentrasi selulosa
diasetat dalam larutan dope sebesar 16% dan 18% terdapat partikel halus yang tidak larut. Menurut Wenten (1999) larutan dope yang akan digunakan untuk membuat membran sebaiknya tidak mengandung partikel- partikel, sebaiknya polimer yang digunakan larut sempurna dalam pelarut. Partikel dalam larutan polimer akan menimbulkan goresan pada saat pencetakan membran.
114
Sebagai pembanding dalam penelitian ini digunakan polimer
selulosa
asetat komersial. Selulosa asetat komersial dapat larut sempurna dalam pelarut DMF hingga konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 18 %. Hasil pengamatan terhadap larutan dope yang dihasilkan menunjukkan larutan dope selulosa asetat komersial berwarna putih
sedangkan
larutan dope
selulosa
diasetat mikrobial berwarna kecoklatan. Hal ini diduga terjadi karena terdapat senyawa lain (aditif) dalam selulosa asetat komersial. Menurut Wijoyo (2002) hasil analisis terhadap spektrum FTIR selulosa asetat komersial dan selulosa asetat dari pulp abaca menunjukkan adanya senyawa aditif dalam selulosa asetat komersial.
Morfologi Membran Membran berdasarkan morfologinya dibagi menjadi dua jenis yaitu membran simetris dan membran asimetris (Mulder, 1996). Membran simetris adalah membran yang mempunyai struktur permukaan lapisan atas sama dengan struktur permukaan lapisan bawah. Membran asimetris adalah membran yang mempunyai struktur permukaan lapisan atas tidak sama dengan struktur permukaan lapisan bawah dimana permukaan lapisan bawah membran mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingkan pori pada lapisan atas. Hasil pengamatan terhadap morfologi membran yang dihasilkan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan membran yang dihasilkan merupakan membran asimetris karena lapisan atas membran mempunyai pori- pori yang lebih kecil dibandingkan lapisan bawah.
Menurut
Mulder (1996) membran ultrafiltrasi selulosa asetat yang dibuat dengan metoda
115
inversi fasa merupakan membr an asimetris. Penampakan permukaan atas dan permukaan bawah membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 19a dan Gambar 19b.
Gambar 19a. Penampakan permukaan atas membran SDA yang dihasilkan
Gambar 19b. Penampakan lapisan bawah membran SDA yang dihasilkan
116
Menurut
Mulder
(1996)
dan
Wenten
(1999)
pada
mekanisme
instantaneous demixing pembentukan pori membran terjadi segera setelah lapisan film dicelupkan ke dalam non pelarut, sebaliknya pada mekanisme delayed demixing diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Proses yang terjadi pada saat lapisan film dicelupkan ke dalam bak koagulasi merupakan tahapan yang penting pada pembentukan struktur membran. Di dalam bak koagulasi akan terjadi difusi antara pelarut dengan non pelarut. Pelarut akan keluar dari lapisan film, ruang yang ditinggalkan akan diisi oleh non pelarut. Difusi antara pelarut dengan non pelarut akan berlangsung cepat pada lapisan atas film, sebaliknya bagian bawah akan tetap kaya pelarut. Hasil pengamatan terhadap permukaan membran dengan menggunakan SEM menunjukkan penampakan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% berbeda dengan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Penampakan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% dan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % dapat dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21.
Membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar ase til
37,21% mempunyai ukuran pori yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran pori membran selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Hal ini menunjukkan ukuran pori membran akan cenderung semakin kecil dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan.
117
Gambar 20. Penampakan permukaan atas membran SDA kadar asetil 37,21%
Gambar 21. Penampakan permukaan atas membran SDA kadar asetil 40,22%
118
Fluks Membran
Fluks Air, Dekstran dan Albumin Fluks merupakan salah satu parameter penting yang digunakan dalam penilaian kinerja membran filtrasi (Mulder, (1996); Cheryan, (1998)). Fluks adalah jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan waktu dan satuan luas permukaan membran (Cheryan, 1998). Fluks membran ultrafiltrasi berkisar 10 – 50 L.m-2.jam-1.bar -1 (Mulder, 1996) Hasil pengukuran fluks air menunjukkan membran selulosa diasetat (SDA) yang dihasilkan mempunyai fluks air berkisar 50,16 – 135,00 L.m-2.jam-1. Nilai fluks air tertinggi diperoleh pada membran selulosa diasetat (SDA) kadar asetil 37,21 % konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 16%, sedangkan fluks air terendah terjadi pada membran SDA kadar asetil 40,22 % konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar
14%. Hasil pengukuran fluks air
dapat dilihat pada
Lampiran 5b. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat
dan
konsentrasinya terhadap fluks air dapat dilihat pada Gambar 22. Membran ultrafiltrasi yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai fluks air yang relatif lebih besar dibandingkan dengan membran ultrafiltrasi yang dibuat oleh Adyatmadja (2002). Adyatmaja (2002) membuat membran UF dari selulosa asetat dengan pelarut aseton, aditif formamida dan konsentrasi polimer 13%. Membran yang dihasilkannya mempunyai fluks air sebesar 42,41 L/m2.jam.bar. Membran ultrafiltrasi yang dibuat oleh Sabde et al. (1997) dari polimer selulosa asetat butirat mempunyai fluks air berkisar 25 – 600 L.m-2.jam-1.
119
konsentrasi SDA dalam larutan cetak 140
12%
14%
16%
18%
20%
Fluks air (L/m2.jam)
120
100
80
60
40
20
0
37,21%
38,11%
39,19%
40,22%
SA komersial
Selulosa diasetat (kadar asetil)
Gambar 22. Histogram hubungan antara fluks air dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)
Hasil pengukuran fluks dengan umpan dekstran (BM 37 kDa) konsentrasi 200 ppm diperoleh fluks berkisar 18,80 – 63,10 L.m -2.jam -1. Fluks dekstran tertinggi diperoleh pada konsentrasi
SDA dalam larutan dope sebesar 16%
dengan kadar asetil SDA 37,21%, sedangkan fluks terendah diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 14% dengan kadar asetil SDA 40,22%. Hampir sama dengan fluks air, membran yang dibuat dari selulosa SDA mempunyai nilai fluks dekstran relatif lebih tinggi dibandingkan nilai fluks dekstran membran selulosa diasetat komersial. Hasil pengukuran fluks dekstran membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5c. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasinya terhadap fluks dekstran dapat dilihat pada Gambar 23.
120
konsentrasi SDA dalam larutan cetak
Fluks dekstran (L/m2.jam)
70
12%
60
14%
16%
18%
20%
50 40 30 20 10 0
37,21%
38,11%
39,19%
40,22%
SA komersial
Selulosa Diasetat ( kadar asetil)
Gambar 23. Histogram hubungan antara fluks dekstran dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)
Hasil pengukuran fluks membran dengan menggunakan umpan albumin BSA (BM 67 kDa) pada konsentrasi 200 ppm diperoleh fluks berkisar 12,6354,43 L.m-2.jam-1. Fluks albumin tertinggi diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 16% dengan kadar asetil SDA 37,21%, sedangkan terendah diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 18% dengan kadar asetil SDA 39,19%. Hasil pengukuran fluks albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5d. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasinya terhadap fluks albumin dapat dilihat pada Gambar 24.
121
konsentrasi SDA dalam larutan cetak
Fluks albumin (L/m2jam)
60
12%
14%
16%
18%
20%
50 40 30 20 10 0 37,21
38,11
39,19
40,22
SA komersial
Selulosa Diasetat (kadar asetil)
Gambar 24. Histogram hubungan antara fluks albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Nilai fluks dekstran dan albumin dari membran ultrafiltrasi yang dihasilkan pada penelitian ini secara umum telah sesuai dengan nilai fluks proses ultrafiltrasi umumnya. fluks membran berkisar
Menurut Mulder (1996) pada proses ultrafiltrasi nilai 10 – 50 L.m-2.jam-1. Membran UF yang dibuat oleh
Marliana et al. (2000) dari selulosa asetat dengan pelarut aseton dan formamida mempunyai fluks 46,16 L.m-2.jam-1. Fluks dekstran membran yang dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan fluks membran UF selulosa asetat yang dihasilkan oleh Renner (1991) yaitu fluks tripsin (20 kDa) sebesar 80–120 L.m-2.jam -1.
122
Pengaruh Kadar Asetil Selulosa Diasetat dan Konsentrasi Selulosa Diasetat terhadap Fluks Air, Dekstran dan Albumin Hasil pengukuran fluks air, dekstran (37 kDa) dan albumin (67 kDa) membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21%, 38,11% dan 39,19% pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 16% dan 18% menunjukkan fluks air berkisar 62,06-135,00 L.m -2.jam-1 , fluks dekstran berkisar 18,77-63,13 L.m-2.jam-1, dan fluks albumin berkisar 12,63-54,43 L.m-2.jam-1. Hubungan antara fluks air, dekstran dan albumin terhadap kadar asetil selulosa diasetat (37,21%, 38,11%, 39,19%) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (16%, 18%) dapat dilihat pada Gambar 25.
140
120
Fluks (L/m2.jam)
100 Konsentrasi SDA 16%, umpan air
80
Konsentrasi SDA 18%, umpan air 60
Konsentrasi SDA 16%, umpan dekstran Konsentrasi SDA 18%, umpan dekstran
40
Konsentrasi SDA 16%, umpan albumin
20
Konsentrasi SDA 18%, umpan albumin 0 37,21%
38,11%
39,19%
Selulosa Diasetat (kadar asetil)
Gambar 25. Grafik hubungan antara fluks air, dektran dan albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) pada konsentrasi SDA dalam larutan cetak 16% dan 18% (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)
123
Fluks air, dekstran dan albumin membran yang dihasilkan cenderung menurun dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat (SDA) yang digunakan baik pada konsentrasi SDA 16% dan 18%. Hal ini diduga terjadi karena semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan maka permukaan membran yang dihasilkan cenderung semakin rapat. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan morfologi membran dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) seperti pada Gambar 20 dan 21.
Permukaan
membran yang dibuat dari selulosa diasetat ka dar asetil 42,22% terlihat lebih rapat dibandingkan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar aetil 37,21%. Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998)
menunjukkan membran UF
yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,9 % mempunyai fluks air yang relatif lebih kecil dibandingkan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,5%.
Sivakumar et al. (1998) juga menyatakan fluks air cenderung
semakin rendah dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa asetat. Kadar asetil selulosa asetat dipengaruhi oleh jumlah gugus asetil yang terdapat pada molekul-molekul selulosa asetat tersebut. Semakin rendah kadar asetil selulosa asetat menunjukkan
semakin sedikit jumlah gugus asetil yang
dikandungnya. Bobot molekul gugus asetil (CH3COO) lebih besar dibandingkan bobot molekul gugus hidroksil (OH). Bobot molekul selulosa asetat cenderung akan meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat. Hasil pengukuran fluks air, dekstran dan albumin
membran yang
dihasilkan (Gambar 25) juga menunjukkan fluks membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 16% relatif lebih tinggi
124
dibandingkang membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 18%. Diduga hal ini terjadi karena semakin tinggi konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope menyebabkan semakin besar fraksi polimer akibatnya permukaan membran yang dihasilkan cenderung semakin rapat. Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998)
juga menunjukkan hal yang
sama yaitu membran ultrafiltrasi yang dibuat pada perbandingan pelarut dengan polimer sebesar 4 (konsentrasi polimer 20%) mempunyai fluks air yang lebih rendah dibandingkan membran yang dibuat pada perbandingan pelarut dengan polimer sebesar 4,71 (konsentrasi polimer 17,5%). Mulder (1996) menyatakan bahwa konsentrasi polimer dalam larutan dope berpengaruh terhadap permukaan membran yang dihasilkan, dimana semakin tinggi konsentrasi polimer maka permukaan membran yang dihasilkan akan semakin rapat. Hasil penelitian Sia haan et al. (1999) pada pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat dengan pelarut aseton dan aditif PEG juga menunjukkan fluks cenderung menurun dengan semakin tinggi konsentrasi selulosa diasetat yang digunakan.
Selektifitas Membran Rejeksi Dekstran Umpan dekstran yang digunakan mempunyai bobot molekul rata-rata 37 kDa. Hasil pengukuran rejeksi dengan umpan dekstran pada konsentrasi 200 ppm menunjukkan koefisien rejeksi dekstran membran yang dihasilkan berkisar 37,11 – 70.33%. Data koefisien rejeksi membran dapat dilihat pada Lampiran 5e. Koefisien rejeksi dektran tertinggi diperoleh pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 14% dengan kadar asetil 40,22% sedangkan
125
terendah terjadi pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 16% dengan kadar asetil 37,21%. Histogram hubungan konsentrasi dan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan terhadap
koefisien rejeksi
dektran membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 26. konsentrasi SDA dalam larutan cetak
12%
80
14%
16%
18%
20%
Rejeksi Dekstran (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 37,21
38,11
39,19
40,22
SA komersial
Selulosa Diasetat (%asetil)
Gambar 26. Histogram hubungan antara rejeksi dektran dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Membran ultrafiltrasi yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai nilai rejeksi (%) dekstran (37 kDa) lebih kecil dari 90%.
Hal ini menunjukkan
membran UF yang dihasilkan mempunyai MWCO (Molecular Weight Cut Off) lebih besar dari 37 kDa.
Rejeksi Albumin Hasil pengukuran rejeksi terhadap umpan albumin (BM 67 kDa) menunjukkan koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan
berkisar
89,72–100%. Koefisien rejeksi albumin tertinggi diperoleh pada konsentrasi
126
selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 18% dengan kadar asetil 39,19% dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 14% dengan kadar asetil 40,22%. Koefisien rejeksi albumin terendah terjadi pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial 16% dengan kadar asetil 37,21%. Semua membran selulosa diasetat mikrobial yang dihasilkan mempunyai koefisien rejeksi albumin diatas 90 % kecuali pada membran yang dibuat dari selulosa diasetat konsentrasi SDA dalam larutan dope 16% dengan kadar asetil 37,21% dengan nilai koefisien rejeksi albumin sebesar 89,72%. Hasil pengukuran rejeksi albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5f. Histogram hubungan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak terhadap koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 27.
konsentrasi SDA dalam larutan cetak
12%
14%
16%
18%
20%
100 98
Rejeksi albumin (%)
96 94 92 90 88 86 84 37,21
38,11
39,19
40,22
SA komersial
Selulosa Diasetat (%asetil)
Gambar 27. Histogram hubungan antara rejeksi albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)
127
Metoda pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurements) atau dikenal dengan pengukuran Molecular Weight Cut Off (MWCO) merupakan metoda yang banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi (Mulder, (1996); Cheryan, (1998)). MWCO didefinisikan sebagai ukuran bobot molekul partikel (makromolekul) yang 90 persen dapat direjeksi oleh membran. Kemampuan membran untuk menahan partikel ukuran tertentu merupakan parameter
kinerja
membran
paling
penting
disamping
kemampuan
permeabilitasnya. Hasil pengukuran rejeksi membran dengan menggunakan umpan berupa albumin BSA (bobot molekul 67 kDa) dan dekstran (bobot molekul 37 kDa) menunjukkan semua membran yang dihasilkan dapat menyaring lebih dari 90% albumin tetapi kemampuan menyaring dekstran kurang dari 90%.
Membran UF
yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 16%, 18%, 20% dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 14% dan 16%
mempunyai nilai rejeksi albumin berkisar 89,72-95%, sehingga
membran ini dapat dikelompokkan menjadi membran dengan MWCO 67 kDa. Membran UF yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 18% dan 20% dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,19% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 12%, 14%, 16% dan 18% serta membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 12% dan 14% mempunyai nilai rejeksi albumin berkisar 95-100% dan rejeksi dekstran berkisar 50-70%, sehingga membran ini dapat dikelompokkan
128
menjadi membran dengan MWCO kecil dari 67 kDa tetapi lebih besar dari 37 kDa. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran rejeksi dengan menggunakan umpan yang berbobot molekul antara 37 kDa hingga 67 kDa sehingga dengan metoda interpolasi (Lampiran 6h) membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% (konsentrasi SDA dalam larutan cetak 18%, 20%) dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,19% (konsentrasi SDA dalam larutan cetak 12%,14%,16%,18%) serta membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22% (konsentrasi SDA 12%,14%) dikelompokkan sebagai membran ultrafiltrasi yang mempunyai MWCO sebesar 60 kDa.
Pengaruh Kadar Asetil Selulosa Diasetat dan Konsentrasi Selulosa Diasetat dalam Larutan Cetak terhadap Rejeksi Dekstran dan Albumin. Hasil pengukuran rejeksi membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21%, 38,11% dan 39,19% pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak sebesar 16% dan 18% dengan menggunakan umpan dekstra n (BM 37 kDa) dan album in (BM 67 kDa) menunjukkan koefisien rejeksi dekstran berkisar 37,11-70,16% sedangkan koefisien rejeksi albumin
berkisar 89,72–
100%. Grafik hubungan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak terhadap koefisien rejeksi dekstran dan albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 28.
129
120
konsentrasi SDA 16%, umpan dekstran
Rejeksi (%)
100 80
konsentrasi SDA 18%, umpan dekstran
60
konsentrasi SDA 16%, umpan albumin
40
konsentrasi SDA 18%, umpan albumin
20 0 37.21%
38.11%
39.1%
Selulosa diasetat (kadar asetil)
Gambar 28. Grafik hubungan antara rejeksi dekstran dan albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Meskipun koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan relatif tidak berbeda (lebih besar dari 90%) nam un kemampuan merejeksi membran yang dihasilkan cenderung semakin meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan terutama untuk umpan dekstran. Diduga hal ini terjadi karena semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan maka cenderung ukuran pori membran semakin kecil. Hal ini didukung hasil pengamatan permukaan membran dengan menggunakan SEM (Gambar 20 dan 21) yaitu permukaan membran cenderung semakin rapat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan. Hal ini juga didukung oleh hasil pengujian terhadap fluks membran yang dihasilkan yaitu fluks cenderung semakin rendah dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan. Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998) menunjukkan rejeksi membran ultrafiltrasi selulosa asetat cenderung semakin besar dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan.
Ulrich (1966) dalam Junaedi (2004)
menyatakan kandungan asetil dalam membran selulosa asetat berpengaruh
130
terhadap permeabilitas dan selektifitas membran yang dihasilkan, permeabilitas akan semakin menurun dengan semakin tinggi kadar asetil sebaliknya selektifitas akan semakin meningkat dengan semakin tinggi kandungan asetil. Koefisien rejeksi membran yang dibuat pa da konsentrasi selulosa diasetat 18% relatif lebih besar dibandingkan koefisien rejeksi membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat 16%. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi selulosa asetat dalam larutan dope maka ukuran pori membran ayng dihasilkan cenderung semakin kecil. Hasil pengukuran fluks membran juga mendukung dugaan ini karena fluks cenderung menurun dengan semakin tinggi konsentrasi selulosa asetat. Hal ini sesuai dengan Mulder (1996) dan Cheryan (1998) yang menyatakan permukaan membran akan semakin rapat dengan semakin tinggi konsentrasi polimer yang digunakan. Sabde et al. (1997) juga menyatakan pada pembuatan membran UF dari selulosa asetat butirat ukuran pori membran yang dihasilkan cenderung semakin kecil dengan semakin tinggi konsentrasi selulosa asetat butirat yang digunakan.
Pengaruh Suhu Air Koagulasi terhadap Karakteristik Membran Ultrafiltrasi yang dihasilkan. Fluks Air, Dekstran dan Albumin
Hasil pengujian terhadap membran yang dibuat pada suhu air koagulasi berbeda menunjukkan membran yang dihasilkan mempunyai fluks air berkisar 50,50 – 60,40 L.m-2.jam-1, fluks dekstran berkisar 20,13-28,15 L.m-2.jam-1 , dan fluks albumin berkisar 13,14-15,64 L.m -2.jam -1. Hasil pengukuran fluks air, fluks dekstran dan fluks albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran
131
6g. Grafik hubungan antara suhu air koagulasi terhadap fluks air , fluks dekstran dan fluks albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 29.
Fluks (L/m2.jam)
70 60 50 40
air dekstran
30
albumin
20 10 0 2
10
18
26
Suhu air koagulasi (oC)
Gambar 29. Grafik hubungan antara suhu air koagulasi dengan fluks air, dekstran dan albumin (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Fluks air, dekstran dan albumin membran yang dihasilkan cenderung menurun dengan semakin tinggi suhu air koagulasi. Hal ini diduga terjadi karena semakin tinggi suhu air koagulasi proses difusi antara dimetilformamida dengan air cenderung semakin cepat, akibatnya permukaan membran cenderung semakin rapat. Proses difusi antara pelarut dengan non pelarut dalam bak koagulasi merupakan tahapan yang penting pada pembuatan membran metoda inversi fasa presipitasi imersi. Menurut Mulder (1996) dan Wenten (1999) kecepatan difusi antara pelarut dengan non pelarut dapat mempengaruhi ukuran pori membran. Di dalam bak koagulasi terjadi proses difusi antara pelarut dimetil formamida dengan non pelarut (air). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Junaedi (2004) yaitu membran yang dihasilkan dari selulosa asetat dengan pelarut DMF cenderung
132
mempunyai struktur pori yang semakin rapat dengan peningkatan suhu air koagulasi.
Rejeksi Dekstran dan Albumin Hasil pengukuran terhadap membran menunjukkan rejeksi membran terhadap umpan albumin
berkisar
98,11–100%, rejeksi dekstran berkisar
69,45 – 73,14%. Nilai koefisien rejeksi albumin dan dekstran membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 6g. Grafik hubungan antara suhu air koagulasi
dengan
koefisien rejeksi dektran dan albumin dapat dilihat pada
Rejeksi (%)
Gambar 30.
100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50
albumin dekstran
2
10
18
26
Suhu air koagulasi (oC)
Gambar 30. Grafik hubungan antara suhu air koagulasi dengan rejeksi dekstran dan albumin (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)
Gambar 30 menunjukkan peningkatan suhu air koagulasi relatif tidak berpengaruh terhadap nilai rejeksi membran yang dihasilkan.
Hal ini
menunjukkan peningkatan suhu air koagulasi yang dicobakan tidak merubah mekanisme pembentukan pori membran. Hasil penelitian Sabde et al. (1997)
133
pada pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa asetat butirat menunjukkan suhu air koagulasi hanya berpengaruh terhadap fluks membran dan relatif tidak berpengaruh terhadap kemampuan memisahkan partikel. Peningkatan suhu air koagulasi pada penelitian ini tidak dapat meningkatkan koefisien rejeksi dekstran membran dari 70% Peningkatan suhu air koagulasi dari 2 oC menjadi 26
menjadi 90%.
o
C hanya mampu
meningkatkan rejeksi dekstran relatif kecil yaitu sebesar 3,69%.
Berdasarkan
kemampuan membran merejeksi umpan albumin dan dekstran yaitu rejeksi dekstran sekitar 70% dan rejeksi albumin sekitar 100 % maka dengan cara interpolasi (Lampiran 6h) diduga membran yang dihasilkan mempunyai MWCO sebesar 60 kDa. Berdasarkan nilai koefisien rejeksi dekstran dan albumin membran yang dihasilkan maka membran yang dibuat dari SDA kadar asetil 37,21% dengan konsentrasi SDA 16%, 18%, 20% dan membran yang dibuat dari SDA kadar asetil 38,11% dengan konsentrasi SDA 14% dan 16% merupakan membran ultrafiltrasi dengan MWCO sebesar 67 kDa.
Membran yang dibuat dari SDA
kadar asetil 38,11% dengan konsentrasi SDA 18% dan 20% dan membran yang dibuat dari SDA kadar asetil 39,19% dengan konsentrasi SDA 12%, 14%, 16% dan 18% dan membran yang dibuat dari
SDA ka dar asetil 40,22% dengan
konsentrasi SDA 12% dan 14% merupakan membran ultrafiltrasi dengan MWCO sebesar 60 kDa.