IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf
4.1.1 Daya Ikat Air Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap daya ikat air meatloaf dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Daya Ikat Air Meatloaf dengan Berbagai Perlakuan Perlakuan Ulangan
P1 P2 P3 P4 ………………………..%..................................... 46,09 47,87 49,13 49,25 46,79 48,02 50,39 48,25 47,24 48,29 49,65 48,12 47,83 48,69 50,95 49,89 47,58 44,86 47,32 46,53 47,10 47,55 49,49 48,41
1 2 3 4 5 Rata-rata Keterangan: P1 = konsentrasi tepung tulang rawan 5% P2 = konsentrasi tepung tulang rawan 10% P3 = konsentrasi tepung tulang rawan 15% P4 = konsentrasi tepung tulang rawan 20%
Berdasarkan data pada Tabel 5, menunjukkan bahwa rata-rata daya ikat air yang dihasilkan dengan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan berkisar antara 47,10% - 49,49%. Hasil perhitungan sidik ragam (Lampiran 3) menunjukan bahwa penggunaan konsentrasi tepung tulang rawan yang berbeda nyata berpengaruh (P<0,05) terhadap daya ikat air meatloaf yang dihasilkan. Untuk
35
36 mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut yaitu Uji Duncan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Tingkat Konsentrasi Tepung Tulang Rawan Ayam terhadap Daya Ikat Air Perlakuan
Rata-Rata Daya Ikat Air
Signifikansi …………..%.................. P1 47,10 a P2 47,55 a P4 48,41 ab P3 49,49 b Keterangan : Huruf kecil yang sama kearah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata Berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa daya ikat air meatloaf tertinggi (49,49%) pada perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 15% (P3) nyata berpengaruh (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 10% (P2) dengan rata-rata daya ikat air 47,55%, perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 5% (P1) dengan rata-rata daya ikat air 47,10%, tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 20% (P4) dengan rata-rata daya ikat air 48,41%. Hal ini menunjukan bahwa daya ikat air meatloaf optimum pada perlakuan penggunaan tepung tulang rawan 15%. Bila konsentrasi tepung tulang rawan ditingkatkan akan diikuti dengan penurunan daya ikat air. Tulang ayam sebagian besar terdiri atas protein kolagen dengan asam amino penyusun utamanya adalah prolin, glisin dan alanin (Alais dan Linden, 1991). Hal yang sama dikemukakan oleh Baily dan Light (1989) bahwa tepung tulang rawan mempunyai kadar protein sebesar 78,59%, protein pada tulang
37 rawan yang paling dominan adalah kolagen, sehingga dengan semakin tingginya penggunaan tepung tulang rawan akan diikuti dengan meningkatnya daya ikat air, karena daya ikat air sangat berhubungan dengan kadar protein yang digunakan, semakin tinggi protein yang digunakan semakin tinggi pula daya ikat air meatloaf. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian Widjanarko, dkk. (2004) mengenai penambahan jenis dan konsentrasi binder pada sosis lele dumbo terhadap daya ikat air yang hasilnya menunjukan bahwa semakin tinggi penambahan binder pada sosis lele dumbo, maka daya ikat air semakin meningkat dengan hasil 54,60%. Perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 20% (P4) menyebabkan nilai daya ikat air meatloaf menurun, hal ini disebabkan dengan semakin bertambahnya tepung tulang rawan kemampuan kolagen membentuk jaringan yang kuat dalam adonan berkurang, sehingga kemampuan mengikat airnya akan menurun. Sesuai dengan penelitian Kusnadi, dkk (2012) faktor lain yang dapat menyebabkan daya ikat air menurun yaitu penggunaan suhu tinggi. Suhu yang digunakan pada pembuatan meatloaf mencapai 200oC. Lawrie (2003) menambahkan bahwa kehilangan air yang disebabkan oleh pengerutan pada waktu masak akan lebih besar karena penggunaan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein dan banyak menurunkan nilai daya ikat air. 4.1.2 Susut Masak Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap susut masak meatloaf dapat dilihat pada Tabel 7.
38 Tabel 7. Susut Masak Meatloaf dengan Berbagai Perlakuan
Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
Perlakuan P1 P2 P3 P4 ………………………..%..................................... 9,56 7,04 6,97 7,19 10,61 6,78 4,36 6,05 10,05 7,93 6,28 8,39 7,37 8,21 5,28 4,84 8,31 6,60 5,53 6,54 9,18 7,31 5,68 6,60
Keterangan: P1 = konsentrasi tepung tulang rawan 5% P2 = konsentrasi tepung tulang rawan 10% P3 = konsentrasi tepung tulang rawan 15% P4 = konsentrasi tepung tulang rawan 20% Berdasarkan data pada Tabel 7, menunjukan bahwa rata-rata susut masak meatloaf yang dihasilkan dengan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan berkisar antara 5,68% - 9,18%. Hasil perhitungan sidik ragam (Lampiran 4) menunjukan bahwa penggunaan konsentrasi tepung tulang rawan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap susut masak meatloaf yang dihasilkan. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut yaitu Uji Duncan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Uji jarak berganda Duncan Pengaruh Tingkat Konsentrasi Tepung Tulang Rawan terhadap Susut Masak Rata-Rata Susut Masak Signifikansi …………..%.................. P3 5,68 A P4 6,60 Ab P2 7,31 B P1 9,18 C Keterangan : Huruf kecil yang sama kearah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata Perlakuan
39 Berdasarkan data pada Tabel 8, menunjukan bahwa susut masak meatloaf tertinggi (9,18%) pada perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 5% (P1) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan lainnya yaitu tepung tulang rawan 10% (7,31%), tepung tulang rawan 15% (5,68%) dan tepung tulang rawan 20% (6,60%). Hal ini menunjukan bahwa dengan meningkatnya tepung tulang rawan akan diikuti dengan penurunan susut masak meatloaf. Sesuai dengan penelitian Olfa (2010) mengenai substitusi susu skim dan tepung kedelai pada pembuatan sosis bahwa salah satu yang mempengaruhi menurunnya susut masak adalah daya ikat air. Pembahasan sebelumnya menunjukan bahwa daya mengikat air meatloaf meningkat dengan penggunaan tepung tulang rawan, hal inilah yang menyebabkan susut masak meatloaf menurun. Sesuai dengan pendapat Ockerman (1998) bahwa susut masak sangat dipengaruhi oleh hilangnya air selama pemasakan, keadaan ini dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air, semakin banyak air yang ditahan oleh protein maka semakin sedikit air yang keluar, sehingga susut masak berkurang. Padmawinata (1997) menyatakan sifat fungsional protein dalam menyerap air adalah melalui pengikatan air dalam ikatan hidrogen antara protein dengan air (terperangkap). Tingginya penambahan tepung tulang rawan mengakibatkan menurunnya susut masak sampai dengan penambahan tepung tulang 15% artinya semakin tinggi protein atau kolagen yang ditambahkan akan menyebabkan kehilangan airnya semakin kecil, hal ini sesuai dengan pendapat Ockerman (1998) bahwa kehilangan air selama pemasakan dipengaruhi oleh protein. Susut masak berhubungan erat dengan daya ikat air, semakin tinggi nilai daya ikat air maka susut masak akan semakin kecil. Nilai rata-rata susut masak
40 yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 5,68-9,18% berarti penambahan tepung tulang sampai 20% masih normal. Sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa susut masak daging yang normal yaitu 1,5 sampai dengan 54,5 %.
4.1.3
Keempukan Meatloaf Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam
terhadap keempukan meatloaf dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Keempukan Meatloaf dengan Berbagai Perlakuan Perlakuan Ulangan
P1 P2 P3 P4 …………………….mm/g/10 detik…………..…………… 71,70 77,80 84,60 114,00 68,10 78,40 83,30 115,70 82,00 78,10 101,60 78,90 63,30 79,10 100,20 80,70 83,00 79,80 87,60 80,70 73,62 78,64 91,46 94,00
1 2 3 4 5 Rata-rata Keterangan: P1 = konsentrasi tepung tulang rawan 5% P2 = konsentrasi tepung tulang rawan 10% P3 = konsentrasi tepung tulang rawan 15% P4 = konsentrasi tepung tulang rawan 20%
Berdasarkan data pada Tabel 9, menunjukan bahwa rata-rata keempukan meatloaf yang dihasilkan dengan perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan yang berbeda pada pembuatan meatloaf berkisar antara 73,62% - 94,00%. Hasil perhitungan sidik ragam (Lampiran 5) menunjukan bahwa penggunaan tepung tulang rawan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap keempukan
41 meatloaf yang dihasilkan. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan dengan hasil pada Tabel 10. Tabel 10. Uji jarak berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Tepung Tulang Rawan Ayam terhadap Keempukan Rata-Rata Keempukan Signifikansi …...mm/g/10 detik…… P1 73,62 a P2 78,64 ab P3 91,46 b P4 94,00 b Keterangan : Huruf kecil yang sama kearah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata Perlakuan
Berdasarkan data pada Tabel 10, menunjukan bahwa keempukan tertinggi (94,00 mm/g/10 detik) pada perlakuan konsentrasi tepung tulang rawan 20% (P4) tidak berbeda nyata dengan konsentrasi tepung tulang rawan 15% (91,46 mm/g/10 detik) dan konsentrasi tepung tulang rawan 10% (78,64 mm/g/10 detik), tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan konsentrasi tepung tulang rawan 5% (73,62 mm/g/10 detik), hal tersebut menunjukan bahwa nilai keempukan semakin naik seiring dengan penambahan konsentrasi tepung tulang rawan ayam. Peningkatan tepung tulang rawan meatloaf akan diikuti dengan meningkatnya jumlah kolagen. Kolagen akan berubah menjadi gelatin atau peptida lain yang berfungsi sebagai binder pada waktu pemasakan sehingga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengikat air meatloaf tersebut. Banyaknya air dalam meatloaf akan meningkatkan nilai keempukan yang lebih tinggi dan mempunyai daya iris yang bagus. Hal ini sejalan dengan Staci Schutz dan Anjani Joshi (2009) bahwa meatloaf dengan penambahan soy protein lebih tinggi akan menghasilkan daya iris yang lebih bagus.
42 Perlakuan penggunaan tepung tulang rawan 15% tidak berbeda nyata dengan perlakuan tepung tulang rawan 20%, hal ini berkaitan dengan nilai daya ikat airnya. Daya ikat air semakin besar, nilai keempukan semakin besar, begitu juga sebaliknya. Nilai daya ikat air menunjukan air yang terikat dalam bahan makanan, nilai daya ikat air P3 dan P4 tidak berbeda nyata artinya jumlah air yang ada dalam meatloaf relatif sama karena itu nilai keempukannya tidak berbeda nyata. 4.2
Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik Meatloaf
4.2.1
Pengaruh perlakuan terhadap Rasa Meatloaf Hasil pengujian organoleptik pada perlakuan konsentrasi tepung tulang
rawan terhadap rasa memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap rasa meatloaf (Lampiran 7). Hasil uji organoleptik terhadap rasa meatloaf ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Uji Organoleptik terhadap Rasa Meatlaof Perlakuan P1 P2 P3 P4
Rata-Rata Ranking Rasa 43,70 44,08 44,90 29,33
Signifikansi a a a a
Rasa merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam penerimaan konsumen atau panelis terhadap produk olahan pangan. Nilai rasa meatloaf yang paling disukai adalah penambahan konsentrasi tepung tulang rawan ayam 15% (P3). Menurut pendapat Soeparno (2005) rasa daging masak banyak ditentukan oleh prekursor-prekursor yang larut dalam air dan lemak, selain itu proses pengolahan dan lama penyimpanan serta lama dan temperatur masakan. Tepung
43 tulang tidak memiliki rasa hal ini menyebabkan tidak menunjukan perbedaan rasa yang dihasilkan pada meatloaf dengan penambahan tepung tulang rawan sampai dengan konsentrasi 20%. 4.2.2
Pengaruh Perlakuan terhadap Warna Meatloaf Hasil pengujian organoleptik pada perlakuan konsentrasi tepung tulang
rawan terhadap warna memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap warna meatloaf (Lampiran 9). Hal ini disebabkan tepung tulang rawan yang memiliki warna putih sampai konsentrasi 20% tidak mampu memberikan perubahan warna dari meatloaf yang berwarna merah kecoklatan. Hasil uji organoleptik terhadap warna meatloaf ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12. Uji Organoleptik terhadap Warna Meatlaof Perlakuan P1 P2 P3 P4
Rata-Rata Ranking Warna 36,48 42,13 47,33 36,08
Signifikansi a a a a
Warna memegang peranan penting dalam menerima makanan, selain itu warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan (de Man, 1997), warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih produk. Suatu produk makanan yang dinilai bergizi, enak dan tekstur yang sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang mata atau memberikan kesan menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 2004).
44 4.2.3
Pengaruh Perlakuan terhadap Aroma Meatloaf Hasil pengujian organoleptik pada perlakuan konsentrasi tepung tulang
rawan terhadap aroma memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap aroma meatloaf (Lampiran 11). Hal ini disebabkan tepung tulang rawan tidak memiliki bau yang khas sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap aroma meatloaf. Hasil uji organoleptik terhadap aroma meatloaf ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13. Uji Organoleptik terhadap Aroma Meatlaof Perlakuan P1 P2 P3 P4
Rata-Rata Ranking Aroma 34,98 42,85 43,08 41,10
Signifikansi a a a a
Bau atau aroma menunjukan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya begitu besar. Penciuman bau atau aroma dapat dilakukan terhadap produk secara langsung (Setyaningsih., dkk, 2010). Penilaian aroma merupakan penilaian subjektif yang memerlukan sensitifitas dalam merasa dan mencium. Proses pemasakan berperan penting dalam hal ini dikarenakan pada saat pemasakan lemak pada meatloaf akan menghasilkan volatile yang menimbulkan munculnya aroma pada meatloaf. Seperti yang diungkapkan oleh Soeparno (2005) bahwa dengan adanya pemasakan maka akan timbul senyawa-senyawa volatil yang akan menghasilkan flavor dan aroma yang unik dari daging masak.
45 4.2.4
Pengaruh Perlakuan terhadap Keempukan Meatloaf Hasil pengujian organoleptik pada perlakuan konsentrasi tepung tulang
rawan terhadap keempukan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap keempukan meatloaf (Lampiran 13). Hal ini disebabkan bahwa tepung tulang rawan yang ditambahkan semakin banyak sehingga meatloaf menjadi lebih empuk, serta dengan adanya susu cair yang ditambahkan pada pembuatan meatloaf semakin meningkatkan pula kandungan air pada adonan meatloaf. Hasil uji organoleptik terhadap keempukan meatloaf ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14. Uji Organoleptik terhadap Keempukan Meatlaof Perlakuan P1 P2 P3 P4
Rata-Rata Ranking Keempukan 39,65 41,65 44,35 36,35
Signifikansi a a a a
Keempukan makanan diperoleh dan dibentuk oleh jenis tepung yang digunakan karena tepung berfungsi mengokohkan adonan dan membentuk tekstur makanan. Soeparno (2005) menyatakan bahwa tekstur juga dipengaruhi oleh pemasakan termasuk pengovenan.
4.2.5
Pengaruh Perlakuan terhadap Total Penerimaan Meatloaf Hasil pengujian organoleptik pada perlakuan konsentrasi tepung tulang
rawan terhadap total penerimaan memberikan pengaruh yang nyata berbeda (P<0,05) terhadap total penerimaan meatloaf (Lampiran 15). Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji Mann-Whitney hasilnya tercantum pada Tabel 15.
46 Tabel 15 . Uji Organoleptik terhadap Total Penerimaan Meatloaf Perlakuan Rata-Rata Ranking Total Penerimaan Signifikansi P3 49,28 a P2 38,58 ab P1 44,10 ab P4 30,05 b Keterangan : Huruf kecil yang sama kearah kolom menunjukan tidak berbeda nyata Berdasarkan data pada Tabel 15 menunjukan bahwa skor total penerimaan meatloaf tertinggi pada perlakuan tepung tulang rawan 15% (P3) nyata berbeda (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan tepung tulang rawan 20% (P4), tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan tepung tulang rawan 5% (P1) dan tepung tulang rawan 10% (P2), demikian pada perlakuan tepung tulang rawan 20% (P4) dengan perlakuan tepung tulang rawan 10% (P2) dan perlakuan tepung tulang rawan 5% (P1) tidak berbeda nyata satu sama lainnya. Total penerimaan merupakan respon keseluruhan atas suatu makanan. Hasil penelitian uji organoleptik sebelumnya yang meliputi rasa, warna, aroma dan keempukan dengan tingkat konsentrasi tepung tulang rawan sebanyak 15% (P3) memiliki skor yang tertinggi, sehingga pada pengujian total penerimaan memberikan skor yang terbaik juga dan nyata (P<0,05) leb ih disukai dibandingkan perlakuan lainnya.