Harmonisasi Tujuan Pembagunan di Papua : Sebuah Gagasan Teknokratis
Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc1 Upaya kita untuk terus mencari solusi bagi masalah Papua adalah tanggung jawab kenegaraan dan juga panggilan bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Harus diakui bahwa Papua memiliki dimensi yang berbeda dari permasalahan pembangunan di wilayah lain Indonesia. Lekatnya konteks dan indikasi pemberontakan dan seperatisme harus diakui telah menambah pelik serta keterdesakan kita untuk mencari solusi yang damai, adil dan beradab. Tentu, untuk mencapai formula kebijakan yang dapat diterima oleh semua elemen masyarakat, memerlukan sebuah waktu, kehati-hatian dan sensitifitas yang tinggi. Yang jelas, masa depan Papua sangat tergantung pada komitment bangsa Indonesia secara keseluruhan.Terkait dengan polemik yang panjang dan penuh dinamika tentang Papua, kiranya pantas mencatat tiga hal sebagai berikut : Pertama, bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, trauma lepasnya Timor Timur dari Bumi Pertiwi tetap membayangi alam sadar kita. Lepasnya Timor Timur adalah pelajaran berharga, untuk menjadikannya dorongan mengevaluasi kesungguhan dan upaya maksimal pembangunan yang telah kita laksanakan selama masa pembangunan. Dalam konteks Papua, bangsa Indonesia seharusnya melakukan sebanyak mungkin kontemplasi untuk mengenal titik lemah yang ada dan sedapat mungkin menguranginya. Tanah ini menjadi paradoks yang diketahui umum, miskin di tengah kelimpahan. Apa kesalahan dan kekeliruan yang telah kita lakukan sehingga sebuah wilayah yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan tinggi, akhirnya harus lepas dan akan meninggalkan penyesalan yang mendalam. Seharusnya, bangsa Indonesia tidak mengulang kesalahan masa lalu. Khususnya dalam langkah langkah pembangunan, seharusnya Indonesia mampu mengambil hati masyarakat Papua dan menumbuhkan kepercayaan bahwa bingkai NKRI Kesejahteraan dalam Indonesia adalah harapan yang perlu dipertahankan selamanya. Sungguh sulit kita membayangkan lepasnya Papua dari pangkuan Indonesia, apapun alasan yang melatar-belakanginya. Inilah sebuah bayangan tragedi maha besar dan berpotensi merusak sendi sendi negara dan kebangsaan Indonesia. Kedua, Papua harus diakui oleh seluruh bangsa Indonesia, adalah bumi yang istimewa, anugrah dari YME bagi bangsa ini. Kekayaan bumi, ekosistem dan nilai geo-ekonomi serta geo-politiknya sangatlah besar bagi kepentingan Indonesia secara keseluruhan. Sebagai 1
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (2008-2013), Direktur Eksekutif Papua Center FISIP UI (2011-sekarang). Makalah diedit oleh Didit Susiyanto, S.Sos, M.Kesos.
bangsa Indonesia, tentu kita melihat Papua tidak hanya dari perspektif materil-ekonomis semata. Melihat Papua tidak boleh hanya karena keuntungan yang dapat diperoleh dari tambang, laut dan hasil hutannya. Disinilah rasanya, kelemahan bangsa Indonesia. Kita belum menghargai dan pada umumnya belum memiliki kesadaran penuh tentang nilai sesungguhnya keberadaan
masyarakat Papua bagi modal kebangsaan kita. Dalam
kenyataannya, masyarakat Indonesia terbagi dua : yang satu adalah mereka yang tahu Papua dari sumberdaya alamnya ( dan mengincarnya untuk kepentingan ekonomis) dan yang lain adalah masyarakat Indoneseia yang tidak tahu apa apa mengenai Papua. Gap pengetahun tentang bumi di belahan timur ini sangatlah timpang. Kalaupun ada yang mengetahui, pemahamannya minim dan parsial. Publik umumnya hanya menerima informasi mengenai Papua dari pemberitaan media yang hanya menyajikan liputan konflik komunal dan kekerasan oleh gerombolan bersenjata. Sesungguhnya, kebangsaaan bagi kita adalah sebuah mandat, penghormatan dan itikad murni untuk memajukan peradaban. Mungkin, tanpa disadari, bangsa ini telah menggantungkan nasib (perekonomianya) kepada Papua.
namun tanpa pengakuan sosial dan budayayang memadai. Perlu disadari pula
bahwa Papua tidak saja adalah adalah masa depan Indonesia, tetapi juga adalah masa depan bumi ini. Bumi Papua adalah sisa bumi dan alam yang lestari, yang pada prinsip dan kenyataan adalah tumpuan keharmonisan ekosistem dunia. Rusaknya Papua, bukanlah semata adalah pangkal kerusakan alam, bumi
Indonesia dan kebangsaan Indonesia,
namun juga adalah pangkal dari kerusakan ekosistem bumi dan peradabannya. Ketiga. Pembangunan di Papua bertumpu pada kapasitas institusi (pemerintahan) yang lemah. Papua bergerak dalam sebuah masyarakat yang masih lemah birokrasinya. Boleh dikatakan bahwa yang kuat dan terorganisir adalah Gereja dan pelayanannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi birokrasi modern belum terwujud, akibat dari lemahnya sumberdaya manusia, belum berkembangnya dan disorientasi politik dan juga birokrasi muda akibat pemekaran wilayah pemerintahan. Pada umumnya masyarakat Papua dalam keadaan lemah kepercayaannya kepada otoritas kepemimpinan dan kepada Pemerintah. Inilah keadaan yang disebut low trust society. Dalam situasi seperti ini, konflik sering terjadi dan mewarnai hubungan di dalam Pemerintahan dan juga dalam hubungan Pemerintah dengan masyarakat. Konflik dalam komunitas adalah cermin rendah dan tiadanya kelembagaan yang dipercayai untuk mencari keadilan. Keadaan ini mencerminkan runtuhnya sebuah social order dalam masyarakat. Konflik dan kekerasan telah menyebabkan sulit dan kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini terjadi terlalu banyak kendala dan gangguan proses pembuatan kebijakan dan pelayanan publik sebagai akibat dari samarnya arah kebijakan politik untuk Papua.
Sejauh uraian di atas, ada tiga hal yang telah disinggung sebagai berikut: adanya bayang bayang kegagalan pembangunan yang menyebabkan kerawanan dan gerakan seperatisme yang meningkat, lemahnya insitusi pembangunan dan potensi alam yang demikian besar bagi masa depan Indonesia dan tumpuan bumi secara umum. Kiranya, diakui atau tidak, ketiga hal diatas kiranya menjadi pergulatan teknokratis bagi pembangunan di Papua saat ini. Paling tidak tiga pont tadi yang menjadi kegundahan perencana pembangunan Pemerintahan Pusat. Kegundahan kita berputar pada kekawatiran akan semakin besarnya opini negatif terhadap NKRI akibat pembangunan yang tidak menyentuh kesejahteraan mayoritas masyarakat di Papua dan orang asli Papua khususnya. Secara moral, perencana pembangunan harus memberikan kontribusi dan menghadirkan pertanggung jawaban atas pendanaan publik. Ada perasaan bahwa kita dikejar kejar waktu dan harus segera menghasilkan karya pembangunan yang benar benar menyentuh kepentingan masyarakat banyak, khusususnya untuk Orang Asli Papua. Pembangunan yang ada sejauh ini dapat dikatakan bias menguntungkan para elit semata. Kita merasa ada sesuatu yang salah dan perlu perhatian serta kesungguhan yang lebih tinggi. Pembangunan dalam hal ini harus mampu mengurangi kesenjangan, memberikan dampak redistribusi horizontal dan juga secara vertikal. Disadari bahwa potensi sumberdaya alam di tanah Papua sangatlah besar. Jika kita tidak dapat menggunakanya untuk kesejahteraan masyarakat luas, maka menjadi bangsa gagal dan harus menghadapi arus pergerakan politik anti Pemerintah yang semakin meningkat. Sebutan failed state mungkin terlalu jauh, namun kerawanan yang muncul dapat menjadi sorotan publik nasional dan internasional yang tajam. Sementara itu, di tengah tekanan dan keinginan untuk berkarya penuh, kita dihadapi birokrasi yang belum siap menjalankan peran peran pemerintahan dan pembangunan dengan baik. Jadi ada tiga unsur yang berkenaan: elemen sumberdaya, elemen keinginan mempercepat pembangunan (momentum politik) dan elemen kapasitas organisasi. Ketiga unsur, bayang bayang dan kenyataan inilah yang saat ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh para perencana pembangunan nasional. Membangun RPJM Nasional untuk konteks Papua, secara esensial mengandung dua tantangan substansial. Pertama adalah menurunkan kerangka kerja nasional ke daerah. Hal ini akan mengambil metoda cascading fungsi, tujuan dan program. Kedua adalah dalam membangun relevansi, pemahaman kontekstual dan harapan spesifik yang berbasis pada pandangan (voices) dari warga Papua sendiri. Kita percaya bahwa buah fikiran untuk membangun Papua harus datang dari sebuah proses deliberasi yang intens dan penyesuaian gelombang ide dan tujuan. Rumusan dan formula pembangunan tidak hanyalah sebuah karya yang datang dari hasil kerja konsultan yang menggagas sesuatu dengan instant. Pekerjaan teknokrasi bukanlah semata menghasilkan karya yang benar
tetapi juga harus memiliki nilai legitimasi. Nampaknya bahasa teknokrasi pusta belum menyesuaikan dengan realita, retorik dan harapan masyarakat Papua. Dalam hal ini Pemerintah Pusat menggunakan jargon umum seperti
Pro Job, Pro Poor dan Pro
Environment di lain pihak rumusan dari Papua menekankan
rasa ketakutan, terjadinya
kekerasan budaya, ekonomi dan lingkungan. Masih ada gap yang perlu dijembatani secara serius dan dibicarakan secara terbuka. Apakah pembangunan di Papua dapat dilakukan secara business as usual, dengan formal dan asumsi pembangunan yang sama dengan propinsi yang lain ? Sisi ownership menjadi penting, untuk menetapkan sebuah ide menjadi milik bersama dan mempunyai nilai komitmen jangka panjang. Banyak ide yang telah dituangkan dalam hal ini, lewat terminologi: dialog, komunikasi konstruktif, penyamaan persepsi dll. Hanya dengan adanya ikatan bersama maka semua pihak dapat diharapkan menjaga serta mengawal gagasan yang digulirkan. Idealnya, teknokrasi tumbuh dari sebuah kultur intelektual yang berkembang dalam berbagai setting kelembagaan yang terlibat dalam pergulatan berfikir tentang cara cara terbaik mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat luas. Khusus untuk Papua, gagasan pembangunan perlu memenuhi beberapa persyaratan tambahan. Dokumen perencanaan perlu bersifat rasional, future driven, inklusif dan dibimbing semangat dan nilai kemajuan kemanusiaan yang adil serta bertopang pada prinsip citizenship. Dokumen perencanaan bukanlah formalitas. Sekali lagi, dokumen perencanaan haruslah imajinatif, akan sesuatu untuk masa depan, membangun semangat dan dijiwai oleh keinginan untuk memajukan nilai kemanusiaan.
Sekali lagi teknokrasi dan perencanaan pembangunan untuk Papua haruslah berbeda. Standar, format, strateg, basis organisasi bahkan filosofinya haruslah berbeda. Lembaga adat dan Gereja dapat menjadi tumpuan dan satuan kerja yang diberikan mandat. Banyak yang telah dibahas tentang akar permasalahan pembangunan di Papua. Telaah akar permasalahan yang ada adalah dasar pijakan membuat formula atau solusi masalah. Salah satu acuan terkuat saat ini adalah telaah LIPI dalam Papua Road Map : Negotiating the Past, Improving the Present, Securing the Future (Widjojo etal, 2010). Barnabas Suebu mendefinisikan masalah Papua dalam tiga aras, yakni Barnabas Suebu: 3 Masalah Pokok, yakni kemiskinan, pelanggaran HAM dan ketertinggalan terhadap daerah lain. Mengacu pada kompleksitas masalah di atas, siapkah kita merumuskan formula yang tepat untuk pembangunan Papua yang adil, damai dan beradab ? Sejauh mana kita dapat melakukan alignment, kalibrasi ide dan konvergensi tujuan yang dapat saling melengkapi serta memperkuat (bersinerji) ? Bisakah ide ide tersebut bersifat out of the box ? Kita harus mampu menemukan formula yang memenuhi aspek substansial, dan memperoleh legitimasi dari masyarat luas.
Rekonsiliasi Empat Pendekatan Papua Kompleksitas permasalahan di Papua masih terkesan belum mendapatkan perhatian dan upaya penyelesaian yang terarah dari pemerintah pusat. Kondisi ini dapat dilihat dari masih banyaknya kasus penembakan yang dilakukan oleh gerakan separatisme kepada aparat keamanan (TNI dan Polisi). Namun upaya untuk menyelesaikan akar permasalahan dari kasus tersebut belum menemui titik temu. Konflik yang berkepanjangan di Papua membuat pembangunan di papua menjadi terhambat sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Papua, pembangunan pendidikan, kesehatan dan penyediaan sarana dan prasarana pokok bagi mobilitas sosial masyarakat di Papua. Meskipun pemerintah pusat telah memberikan ruang yang besar dalam pembangunan Papua melalui kebijakan Otonomi Khusus.
Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B)
merupakan unit fasilitasi pembangunan yang diharapkan dapat memfasilitasi fokus pembangun yang lebih tajam. Pencapaian hasil pembangunan pada pelaksanaanya masih jauh dari tujuan dan cita-cita otonomi khusus. Kondisi ini dapat dilihat dari tingkat harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup di masyarakat papua yang masih jauh dari harapan. Namun, secara umum, UP4B telah berjalan relatif berhasil dalam mendorong roda administrasi dan perencanaan pembangunan, dengan kendala mispersepsi dan rentang persoalan yang sangat luas. Ia telah berhasil sebagai wujud kelembagaan yang berperan meningkatkan kualitas kordinasi, trouble shooting dan memiliki akses langsung kepada jajaran Pimpinan Negara tertinggi. Sebenarnya, pantas kita berfikir keras tentang ada yang saat ini terjadi dan kemajuan riel yang dicapai selama ini. Banyak catatan tentang kemajuan pembangunan yang dapat dipelajari dari perbandingan relatif kemajuan berbagai propinsi yang ada di Indonesia. Secara umum, pencapaian yang diperoleh Pemerintah Daerah dalam mengendalikan proses pembangunan belum mampu mensejajarkan kemajuan propinsi lainnya di Indonesia. Setelah 50 tahun kembali ke Bumi Pertiwi, prestasi pembangunan Papua masih terseok seok. Berdasarkan laporan BPS tahun 2010 menujukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia di provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 54,94 dengan peringkat IPM terendah seluruh propinsi di indonesia2. Sedangkan untuk tata kelola pemerintahan propinsi Papua berdasarkan laporan Indonesia Governance Index (IGI) tahun 2012 menujukkan bahwa provinsi Papua Barat menempati peringkat ke-32 dalam tata kelola pemerintahan yang cenderung buruk dengan indeks 4,48. Kontribusi buruknya tata kelola pemerintahan di 2
. BPS. Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2010.
provinsi ini dominan berasal dari Arena Pemerintah (4,33) dan birokrasi (3,55) juga sebagian berasal dari Arena Masyarakat Sipil (5,56) dan masyarakat ekonomi (5,19).3 Sumbangan prinsip terhadap buruknya indeks tata kelola pemerintahan berasal dari prinsip partisipasi, akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas. Interaksi antar arena dari pelaksanaan workshop diketahui bahwa di Provinsi Papua Barat Interaksi antar arena masih sangat rendah, sehingga kondisi yang diharapkan untuk interaksi antar arena adalah masyarakat sipil maupun ekonomi terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan mulai dari tingkat kampung, distrik sampai kabupaten bahkan provinsi. Secara aktif berpartisipasi dalam pengawasan juga evaluasi program dan anggaran kegiatan. Berbagai program pembangunan propinsi Papua telah dilakukan sejak diberlakukannya Otonomi khusus yang berlangsung selama 13 tahun. Namun pendekatan pembangunan jika dilihat dari pembangunan manusia (IPM) dan tata kelola pemerintahan (IGI) menujukkan ketimpangan yang sangat besar dengan proponsi lainnya di indonesia. Untuk itu, penulis mencoba merumuskan pendekatan dengan cara mengkombinasikan 4 aspek yaitu (1) Pendekatan Keamanan; (2) Pendekatan Pembangunan (3) Pendekatan keadilan budaya dan (4) Penanganan kasus HAM.4 Keempat pendekatan ini menjadi salah satu tool upaya penyelesaian masalaha konflik papua dan membuka papua sebagai pintu gerbang timur indonesia.
Pedekatan Pembangunan Papua
Papua Sebagai Pintu Gerbang Timur Indonesia
Kemanan Pembangunan Keadilan Budaya HAM
Identitas Budaya Ekonomi inklusif/non ekstraktif Afirmasi Orang Asli Penanganan korban konflik Sumber: Laksmono. 2013. Pokok-Pokok Pemikiran Pembangunan Papua Adapun tujuan 4 konsep pembangunan papua tersebut yaitu mengitegrasikan pembangunan dibidang keamanan dalam kerangka menjaga kedaulatan negara dan masyarakat papua. Stabilitas keamanan yang terkendali akan memberikan ruang mobilitas ekonomi bagi masyarakat papua untuk meningkatkan kesejahteraan dengan berlandaskan 3
. Kemitraan. 2012. Tantangan Dan Tata Kelola Pemerintahan di 33 Provinsi Indonesia Goverment Index 2012. Jakarta:Rajawali Cipta Sentosa 4 . Laksmono. 2013. Pokok-Pokok Pemikiran Pembangunan Papua. (24/4/2013).
kearifan lokal. Keadilan budaya sebagai bentuk media pengakuan identitas lokal dan nasional guna mencapai kedaulatan politik
yang berkontribusi pada tata kelola
pemerintahan akuntabel, transparan dan partisipatif. Korelasi antara empat komponen pendekatan bertujuan untuk membuka jembatan papua sebagai wilayah dengan pembangunan yang utuh, dimana didalamnya terdiri dari keanekaragaman budaya lokal papua asli dan hibridasi budaya lokal dengan nasional yang menjadi mozaik pembangunan di Papua. Dengan seperti itu, kemandirian diberbagai bidang pembangunan seperti pembangunan dibidang kesehatan, sarana dan prasaranan, pendidikan dan perekonomian menjadi satu kesatuan yang untuh dengan mengintegrasikan budaya lokal sebagai basis intervensi kebijakan publik di bidang pembangunan. Tujuan akhirnya akan tercipta masyarakat dengan ketahanan yang kuat di bidang keamanan, perekonomian, pendidikan, dan lingkungan yang menjadi landmark dari papua sebagai pintu masuk pembangunan ke wilayah lain di nusantara. Keamanan suatu wilayah didalam negara merupakan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional agar dapat kondusif. Upaya untuk menciptakan keamanan disuatu daerah harus terjadi sinergitas ditingkat instansi pemangku kebijakan dan masyarakat. Selama ini, pendekatan keamanan hanya berada di bawah komando petugas keamanan yaitu TNI dan Polri. Konsep keamanan yang sentralistik ini, harus diupayakan untuk membuka ruang-ruang dialog dengan masyarakat papua untuk menjadikan masyarakat menjadi mitra kerja dalam menangani masalah keamanan. Membuka media komunikasi di bidang kemananan berkontribusi pada pemahaman masyarakat papua untuk mengenal wawasan kebangsaan. Keberadaan wilayah papua yang menjadi bagian yang sangat strategis untuk menwujudkan keamanan kawasan di dalam negeri. Komunikasi harus diperkuat untuk membangun geopolitik nasional yang berkaitan dengan geostrategik untuk pembentukan kawasan perekonomian wilayah timur indonesia. Letak geografis wilayah papua yang cukup startegis mempengaruhi geopolitik di kawasan pasifik, sehingga keberadaan papua menjadi penjembatan negara lain. Menjadikan papua sebagai kawasan pintu masuk perdagangan internasional inilah yang menjadi konsep besar untuk memajukan papua yang setara dengan peran di wilayah selat Malaka. Disinilah yang perlu dipersiapakan yaitu dukungan dari para teknokrat dari multi displin yaitu birokrasi, akademis dan swasta dalam mempersiapkan kawasan papua sebagai geoekonomi kawasan yang mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan di wilayah indonesia bagian timur. Pada pendekatan kesejahteraan, pembangunan di Papua harus dapat memunculkan program-program pengembangan kapasitas masyarakat melalui kegiatan partisipatif. Masyarakat diberikan ruang untuk menentukan sendiri dalam penyusunan rencana program
pemberdayaan dan pembangunan kawasan. Mengevaluasi pada program otonomi khusus yang telah berjalan selama ini, sebagian besar program peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih dititik beratkan pada program yang bersifat top-down dengan anggaran mencapai milyaran rupiah. Efektifitas program secara keseluruhan perlu dianalisa lebih jauh, mengingat dana pembangunan sudah demikian besar. Dana Otsus kurang lebih berkisar antara Rp 1,3 – 1,5 triliun setiap tahun, bahkan untuk tahun 2005 mencapai 1,775 triliun rupiah (Yan Pieter Rumbiak, 2005 : 182). Aliran dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sejauh ini tidak dinikmati oleh masyarakat kebanyakan di Papua. Dana pembangunan yang besar ini lebiha banyak habis untuk belanja aparat di birokrasi sipil (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat lokal (legislatif) yang kebanyakan menggunakan fresh money untuk operasional para pejabatnya (Yan Pieter Rumbiak, 2005: 182). Penggunaan dana Otsus belum menyentuh secara signifikan sasaran utamanya, yakni bidang pendidikan, kesehatan dan pembangunan sarana dan prasarana. Kualitas pendidikan di Papua masih berada jauh di bawah standar Nasional.34 Meskipun pendidikan menjadi prioritas utama program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), namun tidak menjadi prioritas dalam pembagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2008 pendidikan hanya mendapatkan 4,19% dari total anggaran APBD5. Kecilnya alokasi anggaran pendidikan secara otomatis akan berdampak buruk pada upaya pemenuhan hak-hak masyarakat di bidang pendidikan, yakni mendapatkan layanan pendidikan berkualitas. Sebab, penyelenggaraan pendidikan berkualitas butuh dana besar dan itu merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakannya melalui APBD, terutama untuk infrastruktur kelembagaan pendidikan, pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran, termasuk juga untuk peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan. Perencaan kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat papua harus di lakukan secara terpadu berdasarkan kondisi geografis dan persebaran penduduk papua. Untuk itu, dimensi culture value masyarakat papua dan anggaran pembangunan untuk kesejahteraan harus dipadukan supaya ada kontrol dari masing-masing elemen di papua seperti koordinasi perencanaan pembangunan antara pemerintah dengan MRP dan juga keterlibatan tokoh adat dari berbagai suku di Papua harus dilibatkan supaya ada keberlanjutan perencanaan program. Untuk memperjelas uraian diatas maka penulis membuat sekema pembangunan
Papua
melalui
pendekatan
People-driven
development
dalam
upaya
pendekatan
penanganan masalah papua seperti gambar dibawah ini:
People-centered development
Sumber: Laksmono. 2013. Pokok-Pokok Pemikiran Pembangunan Papua Skema diatas menujukkan bagaimana upaya penanganan masalah papua harus merubah pendekatan dalam upaya pembangunan perdamaian di dua bidang yaitu pembangunan dan kebudayaan. Sehingga penyelasaian permasalahan tersebut dapat memberikan
ruang-ruang
perdamaian
dalam
mengelola
pembangunan
dan
mengembangkan kebudayaan sebagai aset pembangunan perdamaian di papua. Dengan demikian karakteristik dari penyelasesaian konflik di Papua menjadi terarah tujuannya karena pada dasarnya pembangunan tidak hanya fisik yang diinginkan masyarakat papua tetapi pembangunan manusia yang menjadi subyek pembangunan. Selain itu, budaya sebagai media dan lokomotif perdamaian menjadi bagian terpenting dan pengikat solidaritas dalam upaya resolusi konflik menuju peradaban masyarakat di papua yang maju kedepan. Apabila merujuk pada pendekatan keadilan budaya dalam upaya penyelasaian konflik di papua dan pengakuan identitas budaya, maka terlebih dahulu harus diketahui karateristik dari suku bangsa Melanesia. Pendekatan orang Melanesia terhadap konflik dan penyelesaiannya
agak
berbeda
dengan
orang
Indonesia.
Orang
Melanesia
mengekspresikan emosinya secara langsung dan masyarakatnya dibangun atas budaya ‘orang besar’ (Big Man). Dia mempunyai kemampuan tertentu contohnya kemampuan berbicara, kepemimpinan, keahlian organisasi, kesejahteraan dan dipercaya dengan tanggung jawab untuk mendeklarasikan perang dan agen perdamaian. Dari sudut pandang budaya, Dewan Orang Besar (Dewan Ketua) memainkan peranan penting dalam penyelesaian konflik. Orang Melanesia umumnya melakukan pendekatan musyawarah
untuk menyelesaikan konflik. Walaupun Indonesia juga memakai musyawarah, artinya berbeda antara orang Indonesia dan Melanesia. Dalam pengertian orang Melanesia, ini diartikan sebagai proses untuk mengumpulkan pendapat mengenai solusi. Semua anggota masyarakat harus didekati dan didengarkan sehingga mereka merasakan kepemilikan dan pandangannya dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, koalisi menekankan nilai konsolidasi internal sebelum masuk ke dialog potensial dengan Indonesia. Kontrasnya menurut pengertian Indonesia, melakukan musyawarah berarti cara untuk mencapai kesepakatan akhir. Orang Papua secara umum dianggap oleh orang Melanesia sebagai bagian dari “keluarga” mereka, berbagi ciri-ciri sosial dan budaya yang sama. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penanganan permasalahan papua melalui keadilan budaya yaitu melalui pendekatan pengakuan identitas budaya papua dan kebudayaan Melanisia. Pendekatan pengakuan atas identitas kebudayaan lebih meletakkan pada kesatuan keluarga besar dalam menyelesaikan konflik. Budaya musyawarah di budaya Melanesia membuka ruang untuk proses rekonsiliasi pasca konflik. Dalam konteks pascakonflik, prioritas kebijakan strategis dan agenda program pembangunan peka konflik dan promotif perdamaian sangat diperlukan untuk mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran dan hambatan perdamaian lainnya yang mengancam proses pembangunan dan perdamaian di Papua6. Kedulatan politik dalam pembangunan di papua, lebih ditujukkan kepada kemandirian pengelolaan tata pemerintahan yang bertanggung jawab dan akuntabel. Seperti yang telah dijelaskan penulis diatas, permasalahan pemerintahan daerah di papua terletak pada keahlian tata kelola perencanaan dan kebijakan publik sehingga masyarakat umum tidak dapat menikmati pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Dilain sisi, praktek korupsi dan nepotisme manjadi permasalahan besar di pemerintahan papua, karena tingginya kekuasaan pemerintah daerah dalam mengelola aset tanpa ada kontrol dari pihak luar. Kondisi ini perlu ada perubahan di dalam internal birokrasi sendiri. Secara kedaulatan politik, keberadaan pemerintah daerah sangat strategis mengakomodasikan kebutuhankebutuhan daerah. Pemerintah merasakan adanya kebutuhan akan kesadaran berbangsa dan kebutuhan akan kedewasaan politik dalam masyarakat agar program-program pemerintah di daerah mendapatkan dukungan secara entusias dari masyarakat sehingga penggunaan paksaan dan kekerasan dapat dihindari.
6
. Triyono. Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia: Kaitan perdamaian, pembangunan dan demokrasi dalam pengembangan kelembagaan pasca-konflik. Jurnal Sosial Politik UGM, Vol 13, hal. 55.
Meluasnya kesadaran kedaulatan politik dapat ditempuh melalui partisipasi masyarakat dan adanya pemerintahan yang tanggap untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan daerah kedalam kebijakan-kebijakan pembangunan dan adanya akuntabilitas kepada masyarakat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.7 Dengan demikian secara kedaulatan politik melalui otonomi khusus akan memperkuat akauntabilitas, ketrampilan politis dan integrasi nasional. Otonomi khususn akan membawa pemerintah lebih dekat kepada rakyat, memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, dan menciptakan rasa kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. Dengan adanya wakil-wakil rakyat di pemerintahan daerah Papua yang dipilih , akan terdapat jaminan yang lebih baik bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat luas untuk ikut dipertimbangkan didalam pembuatan kebijakan lokal di Papua. Keputusan-keputusan yang dibuat akan lebih terinformasikan sehingga akan lebih sesuai dengan kondisi setempat, dan dapat diterima masyarakat yang pada gilirannya akan lebih efektif. Keberadaan pemerintah di Papua lebih dititik beratkan pada kepentingan untuk mengetahui kondisi daerah untuk menangani persoalan-persoalan daerah secara lebih efektip. Tujuan lainnya adalah bahwa dengan adanya pemerintah papua yag akuntabel dan bertanggung jawab akan memungkinkan adanya interaksi yang efektip antara rakyat dengan wakil-wakilnya ataupun dengan birokrasi pemerintah daerah di seluruh papua. Pada sisi lain adanya pemerintah daerah akan bermanfaat sebagai sarana pendidikan politik baik bagi masyarakat pemilih maupun bagi wakil-wakil mereka yang ada di pemerintahan dalam usaha membangun demokrasi di tingkat daerah. Namun untuk membuat wilayah papua sebagai pintu gerbang indonesia, maka dimulai dari pembangunan budaya bagi masyarakat papua. Kondisi ini seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa pengakuan identitas papua harus muncul sesuai dengan karateristik kebudayaannya. Pembangunan di papua yang dilakukan oleh para teknokrat harus dapat mengedepankan penghormatan atas hak ulayat adat dan budaya yang ada di wilayah papua. Dengan demikian, majunya papua sebagai pusat gerbang perekonomian indonesia di wilayah timur diiringi dengan lestarinya adat-budaya masyarakat seluruh suku di Papua. Penghormatan atas hak ulayat adat dan indentitas kepapuaan menjadi kunci awal untuk menjadikan papua sebagai wilayah yang memiliki pengaruh geopolitik dikawasan pasifik. Selain
itu,
Papua
berfungsi
sebagai
penjembantan
yang
menghubungkan
roda
perekonomian internasional antara negara di wilayah Pasifik dengan kawasan Asia dan
7
. Suwandi. 2011. Grand Strategy Implementasi Otonomi Daerah. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI
Asean yang cukup strategis. Dengan seperti ini, peran dari papua tidak akan menjadi gerbong yang hanya mengikuti pusat pertumbuhan dikawasan indonesia timur seperti Makasar. Tetapi papua menjadi gerbang majunya indonesia yang diawali dari pebangunan di wilayah timur dan menjadi penentu geo-politik dan ekonomi bagi Indonesia. Posisi wilayah Papua yang sangat strategis nantinya menjadikan masyarakat papua menjadi komunitas masyarakat yang berdaya saing dan mandiri dalam mengelola aset baik berupa sumber daya alam, budaya dan potensi lainnya yang menjadi modal pembangunan papua. Kemandirian dalam mengelola kawasan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat papua, perlu adanya perencanaan dari para teknokrat khususnya peran akademisi. Meningkatnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat menjadi modal dasar dalam menjadikan masyarakat papua yang berdaya saing tinggi dan harus lebih maju dibanding wilayah lain di indonesia. Untuk itu, kontribusi hasil teknologi yang telah dicipatakan dan ditemukan di lingkungan pendidikan menjadi penting peranya. Sampai saat ini, hasil temuan berupa obat-obatan dari kekayaan alam papua dan teknologi dibidang lainnya cukup memberikan manfaat besar. Namun, temuan di bidang IPTEK harus dapat selaras dengan budaya dan kondisi lingkungan alam papua, sehingga temuan tersebut tidak berdampak bagi kelangsungan hidup ekosistem di papua. Disinilah yang menjadi tantangan para teknokrat dari akademisi untuk mengemgangkan karya akademis dan riset untuk papua guna mendorong kemajuan papua menuju kawasan yang penting keberadaanya bagi wilayah lain. Mempersiapakan papua sebagai pintu gerbang timur indonesia, harus mempersiapkan sumber pangan bagi pertumbuhan masyarakat di papua. Selama ini sistem perekonomian di wilayah papua masih bersifat extratif yang bertumpu corak pada kebiasaan sehari-hari masyarakat. Budaya makan Sagu dan Umbi bagi masyarakat Papua menjadi makanan pokok yang wajib di konsumsi. Namun upaya untuk melestarikan sagu dan umbi terkendala oleh cuaca dan hama. Dicontohkan, kasus kelaparan yang dialami masyarakat Yahokimo merupakan bentuk mekanisme tidak kuatnya pertahanan pangan di papua yang lebih mengandalkan hasil alam. Sedangkan jumlah bahan makanan seperti deret hitang sedangkan jumlah populasi masyarakat seperti deret ukur. Kondisi inilah yang perlu diwaspadai serta dilakukan perencanaan ketika menjadikan papua sebagai pintu gerbang timur bagi kemajuan indonesia. Perencanaan program ketahanan pangan dengan mencari alternatif sumber makanan baru harus menjadi program utama. Jika tidak, dalam kurun puluhan tahun masyarakat akan mengalami kelaparan dan ketergantungan bahan pangan papua dengan wilayah lainnya. Merubah model makan yang menjadi ciri khas makanan papua merupakan tantangan tersendiri bagi dunia swasta untuk menemuka inovasi
produknya. Kondisi inilah yang harus dikoordinasikan antar teknokrat dari kalangan birokrat dalam pembuatan kebijakan, akademisi untuk penemuan di bidang IPTEK dan swasata sebagai produsen yang mengemas bahan makanan namun tiak menghilangkan esisensi dan ciri budaya makan di Papua. Koordinasi inilah yang menjadi penting dalam membangun papua kedepan dan menjadikannya sebagai pintu gerbang kemajuan di wilayah timur indonesia. Secara bertahap, proses untuk menjadikan papua sebagai pusat daya tarik kemajuan di wilayah timur menjadi cita-cita perjuangan bangsa dan semangan masyarakat papua. Dengan demikian, papua tidak hanya dipahami sebagai daerah di timur indonesia yang terpencil dengan kondisi yang memprihatikan. Tetapi papua adalah gerbang yang menjadi lokomitif kemajuan di wilayah Indonesia bagian Timur dengan berbagai sumber daya alam, manusia, budaya dan bidang keolahragaanya yang menjadi pemersatu bangsa sebagai satu kesatuan didalam sebuah periuk perbedaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Catatan>
dokumen makalah ini masih dalam proses penyelesaian dan koreksi. Belum
dapat dapat dikutip dan disebarluaskan.