BAB IV HASIL PEMBAHASAN
4.1
Pengamatan Penunjang Pengamatan penunjang menghasilkan data primer yang terdiri dari suhu,
kelembaban udara, evapotranspirasi potensial (ETo), sifat fisik dan kimia fly ash dan bokashi fly ash, pertumbuhan gulma serta hama dan penyakit yang menyerang tanaman selama penelitian.
4.1.1 Suhu dan kelembaban udara
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Suhu dan kelembaban udara adalah bagian dari iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai disamping curah hujan. Pengukuran suhu dan kelembaban dimulai pada saat tanaman mengalami perlakuan Pengukuran ini dilaksanakan di lahan percobaan yang digunakan sebagai tempat penelitian. Pada penelitian ini suhu dan kelembaban udara di ukur 3 kali setiap hari yaitu pada pukul 8 pagi, pukul 12 siang dan juga pada pukul 5 sore. Data hasil pengamatan suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan evaporasi dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan data lengkapnya pada Lampiran 8. Tabel 4.1 Rata-rata suhu dan kelembaban udara selama penelitian. Pagi (08.00) Siang (12.00) Sore (17.00) HST Suhu Kelembaban Suhu Kelembaban Suhu Kelembaban (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) Rata 26,06 43,44 34,13 23,25 26,75 46,97 -rata Dari tabel di atas terlihat bahwa suhu rata-rata selama penelitian adalah antara 26,06°C – 34,13°C dengan kelembaban udara antara 23,25% - 46,97%, sedangkan menurut Tjahjadi (1991) suhu ideal untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24oC – 27oC, dan suhu ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16oC – 23oC.
34
FTIP001648/049
35
Karena suhu lebih tinggi dari pada suhu ideal, maka kuncup bunga dan buah muda dapat berguguran, sehingga produktivitas tanaman dapat menurun secara drastis (Pitojo, 2003). Hal inilah yang teramati selama masa pembungaan terjadi, karena suhu pada siang hari yang tingg di atas 27oC, banyak bunga dan buah muda yang berguguran.
4.1.2 Sifat fisik tanah Data hasil analisis fisik dan kimia tanah dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan data tersebut diketahui komposisi liat sebesar 32,1%, komposisi debu 54%, dan pasir 13,9%. Menurut Herdjowigeno (2003), komposisi ketiga tekstur tersebut mengindikasikan bahwa jenis tanah yang digunakan sebagai media tanam
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
adalah liat berdebu. Menurut Pitojo (2003), tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat fisik gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat dijadikan media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir, liat berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu. Dengan demikian, tanah yang digunakan sebagai media tanam telah sesuai untuk penanaman cabai merah besar.
4.1.3 Pemberian air Cabai merah termasuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, tetapi juga tidak tahan terhadap genangan air. Air tanah dalam keadaan kapasitas lapang sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai merah (Welles, 1990). Kelembaban tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan hasil cabai merah berkisar antara 60-80 kapasitas lapang. Jumlah kebutuhan air per tanaman selama fase pertumbuhan vegetatif adalah 200 ml/hari dan meningkat menjadi 400 ml/ hari pada fase pembungaan dan pembuahan (Sumarna dan Kusandriani, 1992).
FTIP001648/050
36
Data pemberian air sebagaimana terlihat pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa pemberian air pada minggu pertama hingga minggu ke enam berkisar antara 271,43 ml/hari – 667,14 ml/hari, kemudian pada minggu selanjutnya pemberian air meningkat hingga 1.270 ml/hari pada minggu ke delapan belas.
Rata-rata pemberian air (ml/hari)
Minggu 18
Minggu 17
Minggu 16
Minggu 15
Minggu 14
Minggu 13
Minggu 12
Minggu 11
Minggu 10
Minggu 9
Minggu 8
Minggu 7
Minggu 6
Minggu 5
Minggu 4
Minggu 3
Minggu 2
Minggu 1
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
1400.00 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00
Gambar 4.1 Rata-rata jumlah pemberian air semua perlakuan per minggu.
Evapotranspirasi potensial (ETo) rata-rata sebesar 6,44 mm/hari (Lampiran 8). Nilai Kc tanaman cabai pada berbagai fase pertumbuhan adalah sebagaimana tabel berikut.
Tabel 4.2 Nilai koefisien tanaman (Kc) cabai pada berbagai fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan tanaman cabai Awal
Vegetatif
Pembungaan
Pembuahan
Pemasakan
0,30-0,40
0,60-0,75
0,95-1,10
0,85-1
0,80-0,90
Rata-rata 0,70-0,80
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979)
Menurut Jensen (1980), nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil perbandingan antara evapotranspirasi tanaman (ETc) dengan evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali antara ETo dengan
FTIP001648/051
37
Kc. Dari data di atas dapat diketahui bahwa nilai evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) untuk mengetahui jumlah pemberian air ideal adalah sebagai berikut.
Tabel 4.3 Penghitungan jumlah air yang dibutuhkan tanaman berdasarkan data evapotranspirasi potensial (ETo) dan koefisien tanaman (Kc). Variabel Kc
Fase pertumbuhan tanaman cabai Awal
Vegetatif
Pembungaan
Pembuahan
Pemasakan
0,30-0,40
0,60-0,75
0,95-1,10
0,85-1
0,80-0,90
6,44
6,44
6,44
6,44
6,44
ETo rata-rata (mm/hari) ETc (mm)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Diameter polybag (d) = 400 mm, luas polybag (A) = 125.600 mm2 Jumlah pemberian air = A x ETc
242,66 -
485,32 -
768,42 -
687,53 -
647,09 -
323,55
606,65
889,75
808,86
727,98
(ml)
Jumlah pemberian air ideal berdasarkan evapotranspirasi aktual (ETc) berkisar antara 242,66 ml – 889,75 ml, sedangkan pemberian air selama penelitian berkisar antara 271,43 ml/hari – 1.270 ml/hari. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah pemberian air yang diberikan telah mencukupi jika didasarkan pada besar evapotranspirasi aktual (ETc).
4.1.4 Karakteristik kimia fly ash dan bokashi fly ash 1.
Kandungan unsur hara makro Fly ash dan bokashi fly ash pada penelitian ini ditujukan sebagai pupuk
dasar. Pupuk dasar adalah pupuk yang diberikan saat pengolahan tanah seperti penggemburan dan pembuatan bedengan (Prihmantoro, 2000). Bahan dasar dalam pembuatan bokashi fly ash adalah jerami, fly ash, dedak kasar, sekam, gula pasir dan EM-4. Pada umumnya komponen yang diukur pada pupuk dasar adalah
FTIP001648/052
38
kandungan unsur hara makro, nisbah C/N, dan kandungan C organik. Berikut adalah hasil analisis unsur hara makro pada fly ash dan bokashi fly ash yang dibandingkan dengan pupuk dasar lain yang biasa digunakan, yaitu kompos dan pupuk kandang.
Tabel 4.4 Kandungan unsur hara makro pada berbagai jenis pupuk dasar. Jenis pupuk dasar
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
No.
Parameter
Satuan
Fly ash*
Bokashi fly ash*
Kompos**
1. 2. 3. 4. 5.
C-Organik C/N N P2O5 K2O
% % % %
16,36 16,68 0,98 0,09 2,10
26,95 29,29 0,92 1,39 1,93
8,20 23 0,09 0,36 0,81
Pupuk kotoran domba*** 31 44,29 0,70 0,40 0,45
SNI kompos (19-7030-2004)
9,8 - 32 10 - 20 Min. 0,4 Min. 0,1 Min. 0,2
Keterangan: *) Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad (2012). **) Prihmantoro (2000). ***) Sutanto (2002).
Pada Tabel 4.4 di atas dapat terlihat bahwa kandungan C-Organik fly ash dan bokashi fly ash lebih tinggi dari pada kompos dan lebih rendah dari pupuk kotoran domba. Nisbah C/N pada kedua jenis pupuk yang diuji (fly ash dan bokashi fly ash) berbeda, karena pada bokashi fly ash dilakukan penambahan bahan organik, namun keduanya telah memenuhi persyaratan SNI Kompos 197030-2004 (Lihat Lampiran 11). Kandungan nitrogen (N) pada kedua jenis pupuk yang diuji telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004, serta lebih tinggi jika dibandingkan dengan pupuk kompos dan pupuk kotoran domba. Kandungan fosfor (P) pada bokashi fly ash adalah yang tertinggi dibandingkan dengan ketiga jenis pupuk dasar lainnya, dan telah memenuhi syarat minimum P sebagaimana yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004. Tetapi, untuk fly ash kandungan unsur P-nya tidak memenuhi standar tersebut. Sementara itu, kandungan kalium (K) pada fly ash dan bokashi fly ash telah memenuhi syarat kandungan minimum K sebagaimana SNI 19-7030-2004 dan lebih tinggi nilainya jika dibandingkan dengan kedua jenis pupuk dasar lainnya. Dengan demikian, dilihat dari segi
FTIP001648/053
39
kandungan unsur hara makro, fly ash dan bokashi fly ash cenderung lebih baik dibandingkan dengan pupuk dasar lain yang biasa digunakan, yaitu kompos dan pupuk kotoran domba, dan telah memenuhi persyaratan nilai NPK standar pada pupuk kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004, kecuali unsur P pada fly ash yang nilainya lebih kecil dari standar SNI.
2.
Kandungan logam Analisis kandungan logam di dalam fly ash dan bokashi fly ash dilakukan
untuk mengetahui kandungan logam berbahaya yang terdapat di dalamnya. Setelah dilakukan analisis sebagaimana terlihat pada Tabel 4.5 diketahui bahwa logam dengan konsentrasi tertinggi adalah besi (Fe) untuk fly ash dan seng (Zn)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
untuk bokashi fly ash.
Tabel 4.5 Hasil analisis kandungan berbagai jenis logam di dalam fly ash dan bokashi fly ash. Batas antara defisiensi dan SNI Bokashi kecukupan Kompos Logam Berat Fly Ash* Fly Ash* unsur hara (19-70302004) pada berbagai tanaman** Seng (Zn) ppm 277 84,5 10 - 21 0 - 500 Tembaga (Cu) ppm 29,8 36,4 5 - 10 0 - 100 Kadmium (Cd) ppm tt 6,47 0 0-3 Krom (Cr) ppm 75,5 tt 0 0 - 210 Timbal (Pb) ppm tt 67,1 0 0 - 150 Besi (Fe) ppm 62.081 80,7 10 - 70 0 – 20.000 Arsen (As) ppm tt tt 0 0 - 13 Mangan (Mn) ppm 1.174 4,39 10 - 21 0 – 1.000 Nikel (Ni) ppm 37,0 44,8 0 0 - 62 Kobal (Co) ppm 10,98 23,4 0 0 - 34 Keterangan : *Puslitbang Tekmira (2012). ** Sanchez (1976) dalam Hardjowigeno (2003). Di antara semua logam yang diuji, timbal (Pb) merupakan salah satu logam trace elements yang paling berbahaya, karena Pb tidak dibutuhkan sama sekali baik oleh tanaman maupun hewan dan cenderung menjadi toksin bagi keduanya (Adriano, 1986 dalam Notodarmojo, 2005). Tingkat toksisitas suatu zat
FTIP001648/054
40
tergantung pada valensi, jenis senyawa dan konsentrasinya. Toksisitas Pb khususnya juga dipengaruhi oleh kedalaman tanah, semakin dalam tanah, maka konsentrasi Pb makin rendah. Hal ini disebabkan oleh ikatan antara Pb dengan senyawa organik yang umumnya terjadi pada lapisan atas tanah (Notodarmojo, 2005). Pada Tabel 4.5 dapat diilihat bahwa kandungan Pb pada fly ash tidak terdeteksi. Hal ini tidak menunjukkan bahwa di dalam fly ash tidak terdapat Pb, melainkan karena pengambilan sampel yang tidak homogen menyebabkan Pb tidak terdeteksi, karena menurut Hadijah dan Damayanti (2006) di dalam fly ash setidaknya terdapat 19 ppm Pb. Sebaliknya, pada bokashi fly ash kandungan Pb sangat tinggi yakni 67,1 ppm.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Tabel 4.6 Hasil analisis kandungan logam berat pb di dalam larutan fly ash dan bokashi fly ash. Sampel Abs Pb (mg/L) Berat (gr) % (m/m) Fly Ash 0,001 0,100 0,1582 0,0016 Bokashi Fly Ash 0,001 0,100 0,1499 0,0017 Sumber : Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia. Untuk memastikan keberadaan Pb di dalam fly ash dan bokashi fly ash, maka dilakukan pengujian lanjutan terhadap air lindi fly ash dan bokashi fly ash. Pelindian dilakukan dengan cara menempatkan fly ash dan bokashi fly ash di dalam wadah kosong berlubang dengan curahan air di atasnya. Air yang keluar dari lubang kemudian diambil kemudian diuji di Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil analisis pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.6. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa fly ash dan bokashi fly ash memiliki kandungan Pb terlarut yang sama. Berdasarkan analisis logam yang dilakukan terhadap fly ash dan bokashi fly ash, secara umum dapat diketahui bahwa kandungan logam pada keduanya berada pada kondisi yang aman sebagaimana standar SNI 19-7030-2004, kecuali kandungan kadmium (Cd) pada bokashi fly ash sebesar 6,47 ppm yang melebihi standar SNI yang mensyaratkan kandungan Cd di bawah 3 ppm dan kandungan besi (Fe) pada fly ash yang melebihi 20.000 ppm. Sementara itu, kandungan
FTIP001648/055
41
timbal (Pb) pada kedua jenis pupuk telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004, karena masih berada di bawah 150 ppm.
4.1.5 Pertumbuhan gulma Pertumbuhan gulma dalam polybag terlihat setelah
1 minggu setelah
penanaman. Secara umum, gulma yang terdapat pada polybag percobaan antara lain padi (Oryza sativa L.), rumput liar (Eleusine indica), putri malu (Mimosa pudica L.), babadotan (Ageratum conyzoides L.), rumput teki (Cyperus rotundus L.), kaki gajah (Elephantopus spicatus) dan temu wiyang ( Emilia sonchifolia L.). Pemberantasan gulma dilakukan secara manual yaitu dengan cara mencabut langsung gulma dari dalam polybag. Waktu pemberantasan gulma tidak
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
menentu, jika terlihat gulma sudah mulai banyak, pencabutan gulma langsung dilakukan. Gulma paling banyak muncul pada polybag yang diberi perlakuan pupuk dasar bokashi fly ash, karena kandungan bahan organiknya cukup tinggi. Sementara itu bahan baku bokashi yang berupa sekam mengakibatkan tumbuhnya padi (Oriza sativa L.) di polybag, karena di antara sekam-sekam tersebut ada yang masih bernas. Tumbuhnya padi pada media tanam mengindikasikan proses pengomposan bokashi yang tidak sempurna, karena menurut Yuliarti dan Isroi (2009) proses pengomposan yang baik terjadi ketika senyawa-senyawa kompleks diuraikan menjadi senyawa sederhana. Benih padi dan gulma lainnya akan terurai menjadi senyawa sederhana sehingga tidak akan terjadi perkecambahan jika proses pengomposan bokashi berhasil (sesuai prosedur).
4.1.6 Hama dan penyakit yang menyerang tanaman Hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai pada umumnya sangat banyak jika penanaman dilakukan pada musim hujan. Namun pada penelitian ini, meskipun penanaman dilakukan pada musim hujan, hama dan penyakit yang menyerang tidak terlalu banyak karena penelitian dilakukan di dalam rumah kaca. Tetapi, dampak yang ditimbulkan cukup besar karena intensitas serangan cenderung banyak dan berulang.
FTIP001648/056
42
Hama dan penyakit yang menyerang selama penelitian adalah: 1.
Hama a.
Kutu daun (Aphis gossypii) Kutu daun menyerang dengan cara mengisap cairan dalam jaringan
tanaman pada bagian-bagian yang lunak, sehingga tanaman akan menjadi keriting, layu atau membentuk puru. Pada musim kemarau, tanaman yang terserang kutu daun ini sering mati karena kehabisan cairan (Tjahjadi, 1991).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 4.2 Kutu daun (Aphis gossypii).
Selama penelitian berlangsung, serangan kutu daun cukup sering terjadi. Hal ini menyulitkan penanganannya, karena efektivitas insektisida seperti curacron sangat rendah, dikarenakan penanganan yang terlambat sehingga nimfa kutu daun telah berubah menjadi imago bersayap sehingga mobilitasnya cepat dan sulit dikendalikan. Untuk itu, agar serangan tidak mengakibatkan kematian massal pada tanaman, maka masa pemanenan dipercepat.
FTIP001648/057
43
2.
Penyakit a.
Penyakit bercak daun (leaf spot) Xanthomonas compestris pv vesicatoria (Doidge) Dowson Penyakit bercak daun disebabkan oleh bakteri Xanthomonas
campestris. Serangan bakteri ini menimbulkan bercak daun dan hawar daun (Pitojo, 2003). Gejala penyakit ini seperti terlihat pada Gambar, terjadi kudis yang dikelilingi oleh bercak kebasahan.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 4.3 Bercak daun (leaf spot).
Serangan penyakit ini selama penelitian cukup banyak namun tidak mempengaruhi produktivitas tanaman yang terserang karena penanganan terhadap penyakit ini segera dilakukan, yaitu dengan menyemprotkan fungisida antracol dan membakar daun yang terserang agar tidak menyebar pada tanaman lain yang tidak terserang.
b.
Penyakit busuk buah (Phytophthora capsici Leonian) Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici
Leonian yang menyerang akar, batang, daun dan buah (Pitojo, 2003). Penyakit ini menyerang buah muda yang belum matang. Tanda-tanda serangan pada buah muda terlihat pada ujung buah yang berwarna kuning
FTIP001648/058
44
dan tangkai buah yang mudah terlepas dari batang. Serangan penyakit ini menyebabkan buah muda berjatuhan dan buah tua yang belum matang sempurna membusuk ketika masih menempel di tanaman.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 4.4 Penyakit busuk buah (Phytophthora capsici Leonian).
Selama penelitian berlangsung, serangan penyakit ini pada umumnya terjadi pada awal-awal masa pembuahan. Karena pada masa-masa pembuahan selanjutnya intensitas serangan mulai menurun. Penanganan terhadap penyakit ini yaitu dengan menyemprotkan fungisida antracol secara berkala selama 1 minggu sekali selama masa pembuahan.
4.2
Pengamatan Utama Pengamatan utama dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman cabai, hasil
buah cabai dan kandungan logam berat Pb pada buah.
4.2.1 Pertumbuhan tanaman cabai 1.
Tinggi tanaman Pengamatan tinggi tanaman cabai dilakukan dengan cara mengukur tinggi
tanaman cabai dari pangkal batang hingga ujung daun terpanjang. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tinggi tanaman dari setiap perlakuan. Data
FTIP001648/059
45
pengamatan tinggi tanaman cabai dapat dilihat pada Lampiran 4.1. Analisis hasil pengamatan ini dilakukan hanya pada saat panen. Sebagaimana terlihat pada grafik bahwa tinggi tanaman untuk semua perlakuan pada saat panen telah melebihi 100 cm. Angka ini telah melebihi potensi habitus tanaman maksimal sebagaimana yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pertanian Nomor 162/Kpts/SR.120/3/2006 dimana tinggi tanaman untuk varietas cabai hot beauty adalah 87 – 95 cm. Hal ini terjadi karena tanaman mendapat asupan nitrogen (N) yang berlebihan. Menurut Wijaya (2008), tanaman yang diberi pupuk nitrogen seperti urea atau ZA secara berlebihan dapat menyebabkan batang menjulang tinggi namun miskin jaringan penguat, sehingga tanaman mudah rebah. Kelebihan nitrogen terjadi karena tanaman diberi pupuk
Pertumbuhan Tinggi Tanaman 160.00 140.00 Tinggi Tanaman (cm)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
tambahan berupa urea di luar jadwal pemberian pupuk lanjutan.
120.00
P1
100.00
P2
80.00
P3
60.00
P4
40.00
P5
20.00
P6
0.00
P7 0
2
4
6
8
10
12
Minggu Ke-
Gambar 4.5 Pertumbuhan tinggi tanaman cabai.
Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman untuk semua perlakuan pada minggu ke satu sampai minggu ke enam hampir sama, artinya tidak terlihat perbedaan rata-rata tinggi yang signifikan. Namun, pada minggu ke tujuh terlihat perbedaan tinggi tanaman yang berbeda, terutama untuk perlakuan
FTIP001648/060
46
fly ash 20 ton/ha (P4). Hal ini disebabkan karena pada minggu-minggu ke satu sampai minggu ke enam, pupuk dasar yang diberikan belum terdekomposisi secara sempurna, sedangkan pada minggu ke tujuh dekomposisi telah sempurna dan unsur hara makro maupun mikro yang dikandung pupuk mulai terserap secara perlahan oleh tanaman. Dekomposisi yang sempurna terlihat ketika tanah digali pada minggu ke enam, bentuk asli bokashi sudah tidak terlihat lagi dan banyak terdapat cacing tanah (Helodrilus caliginosus). Menurut Hardjowigeno (2003) cacing tanah menyukai bahan organik yang telah mati dan terdekomposisi secara sempurna. Hal ini menjadi indikasi bahwa pada minggu ke enam, bokashi yang ada di dalam media tanam telah terurai. Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
bokashi fly ash tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman cabai. Tinggi tanaman rata-rata tertinggi dicapai oleh tanaman yang diberi perlakuan fly ash 20 ton/ha (P4). Namun, jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P1), perlakuan Bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) terlihat memberikan pengaruh yang nyata.
Tabel 4.7 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap tinggi tanaman cabai. Rata-rata tinggi Hasil uji (cm) P1 113,40 a P2 123,00 ab P3 119,80 ab P4 133,60 b P5 124,60 ab P6 120,20 ab P7 121,40 ab Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan
2.
Berat Biomassa Pengamatan biomassa tanaman cabai dinyatakan dengan pengukuran
bobot tanaman cabai yang dilakukan pada saat panen dan ditimbang dengan akar untuk setiap jenis perlakuan. Menurut Surietna (1992) pengukuran berat biomassa
FTIP001648/061
47
merupakan pengukuran laju pertumbuhan pada fase vegetatif untuk mengetahui perkembangan batang, daun dan akar. Pengamatan terhadap berat biomassa dilakukan pada kondisi kering dengan cara mengoven semua bagian tanaman hingga kering seluruhnya. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan bobot tanaman dari setiap perlakuan.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Tabel 4.8 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap berat biomassa tanaman cabai. Rata-rata berat Hasil Perlakuan biomassa (g) uji P1 63,99 a P2 70,88 a P3 68,37 a P4 68,87 a P5 65,30 a P6 70,65 a P7 70,98 a Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan terhadap berat biomassa tanaman cabai diketahui bahwa ternyata pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat biomassa tanaman. Rata-rata berat biomassa tertinggi dicapai oleh tanaman yang diberi perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) yaitu 70,98 g. Berat biomassa yang sama menunjukkan bahwa proses pembuatan bokashi tidak sempurna, sehingga saat fase pertumbuhan vegetatif terjadi, unsur hara dalam bokashi tidak terserap secara sempurna karena proses dekomposisi masih terjadi di dalam media tanam. Menurut Purwendro dan Nurhidayat (2006), bokashi padat tidak berbau, berwarna kehitaman dan tidak menyerupai bentuk aslinya, sedangkan bokashi yang kami buat masih menyerupai bentuk aslinya saat dicampurkan pada media tanam sebagai pupuk dasar. Dekomposisi yang belum sempurna pada masa vegetatif
FTIP001648/062
48
menyebabkan tidak adanya perbedaan berat biomassa yang signifikan antara tanaman cabai yang diberi bokashi fly ash dengan tanaman yang tidak diberi bokashi fly ash.
4.2.2 Hasil buah tanaman cabai 1.
Berat buah total Berat buah total merupakan parameter yang menunjukan tingkat
produktivitas setiap tanaman cabai dengan cara mengukur banyaknya buah yang dihasilkan selama proses penanaman. Berdasarkan analisis statistik terhadap data berat buah yang dihasilkan oleh semua tanaman pada berbagai perlakuan diketahui bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas buah tertinggi pada perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7), sedangkan pada perlakuan bokashi fly ash 10 ton/ha (P5) dan 15 ton/ha (P6) tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan fly ash 10 ton/ha (P2), 15 ton/ha (P3) dan 20 ton/ha (P4) tetapi berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P1).
Tabel 4.9 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap berat hasil buah cabai per tanaman. Rata-rata berat Hasil uji buah total (g) P1 343,85 a P2 367,91 ab P3 395,12 ab P4 378,44 ab P5 440,56 bc P6 439,25 bc P7 502,49 c Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan
Dari Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa berat buah total rata-rata tertinggi dicapai oleh tanaman cabai yang diberi perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) yakni sebesar 502,49 g per tanaman. Sedangkan pada perlakuan dengan dosis
FTIP001648/063
49
bokashi fly ash 10 ton/ha (P5) dan 15 ton/ha (P6) secara umum lebih baik dari segi berat buah total yang dihasilkan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P1), fly ash 10 ton/ha (P2), fly ash 15 ton/ha (P3) dan fly ash 20 ton/ha (P4). Perbedaan pengaruh setiap perlakuan terhadap hasil berat buah total dapat dilihat pada Gambar 4.6 di bawah ini. Berat buah total yang dihasilkan masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi hasil tanaman yang bisa mencapai 1,05 – 1,2 kg per tanaman sebagaimana deskripsi tanaman hot beauty yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian No. 162/Kpts/SR.120/3/2006.
Berat Buah Total 600.00
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
500.00 400.00 300.00
Berat Buah Total
200.00 100.00 0.00 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Gambar 4.6 Pengaruh berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap hasil berat buah total. Secara umum, meskipun produktivitas tanaman cabai yang diberi bokashi fly ash 20 ton/ha lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, nilainya lebih rendah dibandingkan dengan potensi panen tanaman sebagaimana telah disebutkan di atas. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hal yang sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Khan (1996) menunjukkan bahwa pemberian 40% fly ash terhadap tanaman yang satu famili dengan cabai merah besar yaitu tomat dapat meningkatkan panen 80% dibandingkan tanpa fly ash. Secara teoritis dan faktual, pemberian bokashi fly ash akan meningkatkan hasil panen yang signifikan dibandingkan dengan pemberian fly ash secara langsung (tanpa pengolahan terlebih dahulu) maupun dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian,
FTIP001648/064
50
rendahnya hasil panen cabai merah besar pada penelitian ini lebih disebabkan oleh faktor lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa rendahnya hasil panen untuk semua perlakuan terjadi karena beberapa faktor berikut: 1. Cara pemberian pupuk lanjutan yang kurang tepat yaitu dengan cara penugalan. Ketika pembongkaran terhadap tanah dilakukan, terlihat adanya tumpukan pupuk anorganik yang telah memadat, sehingga penyerapan unsur hara kurang maksimal. Menurut prihmantoro (2000) cara pemberian pupuk yang tepat untuk tanaman seperti cabai adalah dengan cara melingkari tanaman, bukan dengan cara penugalan 2. Suhu rata-rata rumah kaca yang tinggi pada siang hari yaitu 34oC
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
dibandingkan suhu ideal untuk tanaman cabai merah besar yaitu di bawah 30oC. Suhu yang tinggi menyebabkan banyak bunga yang berguguran sehingga buah berkurang (Tjahjadi, 1991; Prajnanta, 2008). 3. Proses pembuatan bokashi yang tidak sempurna, sehingga penyerapan unsur hara pada masa vegetatif tidak optimal. Hal ini terlihat ketika bokashi fly ash diaplikasikan di media tanam, bokashi fly ash yang dibuat
masih
menyerupai
bentuk
bahan
aslinya
dan
masih
menghasilkan kecambah padi (Oryza sativa). Menurut Purwendro dan Nurhidayat (2006), bokashi yang telah terdekomposisi secara tidak menyerupai bentuk bahan aslinya, sedangkan menurut Yuliarti dan Isroi (2009), bokashi yang telah sempurna menguraikan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang ditandai dengan hancurnya bahan organik sehingga tidak mungkin terjadi perkecambahan.
2.
Jumlah buah Pengamatan terhadap jumlah buah dilakukan dengan menghitung setiap
buah yang dihasilkan dan dikategorikan sebagai hasil untuk penghitungan berat buah total. Jumlah buah menunjukan tingkat produktivitas tanaman yang juga digunakan untuk menghitung berat rata-rata buah.
FTIP001648/065
51
Tabel 4.10 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap jumlah buah tanaman cabai. Rata-rata jumlah Perlakuan Hasil uji buah (buah) P1 41 a P2 47 ab P3 44 ab P4 44 ab P5 52 bc P6 50 abc P7 58 c Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Jika dilihat pada Tabel 4.10, maka dapat diketahui bahwa pemberian bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) memberikan pengaruh nyata terhadap pencapaian jumlah buah tertinggi yaitu 58 buah per tanaman jika dibandingkan dengan kontrol (P1) maupun perlakuan fly ash 10 ton/ha (P2), fly ash 15 ton/ha (P3) dan fly ash 20 ton/ha (P4). Hal ini terjadi karena di dalam bokashi fly ash terdapat kandungan unsur kalium yang menambah suplai kalium pupuk lanjutan. Menurut Prihmantoro (2000), kalium berperan dalam memperkuat bunga dan buah agar tidak mudah rontok. Sebagaimana diketahui, suhu udara rumah kaca yang tinggi dapat menyebabkan kerontokan bunga dan buah muda (Tjahjadi, 1991; Prajnanta, 2008). Kandungan kalium tambahan di dalam bokashi fly ash membantu mencegah kerontokan bunga dan buah muda, sehingga jumlah buah pada perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
3.
Berat per buah Berat per buah merupakan salah satu parameter kualitas buah yang
dihitung dengan cara membagi antara berat buah total dengan jumlah buah yang dihasilkan. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan berat buah rata-rata yang
FTIP001648/066
52
telah ditetapkan oleh kementerian Pertanian untuk tanaman cabai merah besar varietas hot beauty (Kementrerian Pertanian, 2006). Berdasarkan analisis statistik terhadap berat buah rata-rata yang dihasilkan oleh tanaman pada setiap perlakuan diketahui bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat rata-rata buah yang dihasilkan. Namun, jika dibandingkan dengan deskripsi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian No. 162/Kpts/SR.120/3/2006 untuk tanaman cabai merah besar varietas hot beauty, berat rata-rata per buah untuk semua perlakuan jauh lebih kecil dari berat rata-rata per buah yang seharusnya berkisar antara 17 – 18 gram (Kementerian Pertanian, 2006).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Tabel 4.11 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap berat buah rata-rata. Rata-rata berat Hasil uji per buah (g) P1 8,31 a P2 7,70 a P3 8,89 a P4 8,61 a P5 8,47 a P6 8,79 a P7 8,76 a Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Perlakuan
Hal itu disebabkan karena serangan hama kutu daun (Aphis gossypii) yang menyerang tanaman secara periodik menyebabkan pasokan nutrisi untuk pembentukan buah menjadi terhambat (Pracaya, 2008). Nutrisi tanaman yang terhisap melalui daun mengakibatkan ukuran buah tidak normal, lebih kecil dari yang seharusnya dan gugur sebelum waktunya (Prajnanta, 1998). Idealnya, serangan hama ini dapat dikendalikan dengan penyemprotan insektisida Curacron, tetapi karena penanganan yang terlambat, kutu terlanjur berkembang menjadi imago bersayap dengan mobilitas tinggi. Ketika nimfa berubah menjadi imago, pemberian insektisida menjadi kurang efektif.
FTIP001648/067
53
4.
Kadar air buah Kadar air buah merupakan salah satu parameter untuk mengetahui
kualitas buah cabai yang dihasilkan. Kadar air buah diukur dengan cara membandingkan selisih berat basah cabai dan berat kering cabai dengan berat basah cabai. Menurut Tjahjadi (1991), cabai pada umumnya mengandung 70 – 90% air, sedangkan khusus untuk cabai merah besar setidaknya mengandung 90% air.
Tabel 4.12 pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap kadar air buah.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Rata-rata Perlakuan kadar air buah Hasil uji (%) P1 81,81 a P2 81,91 a P3 82,23 a P4 81,91 a P5 82,76 a P6 82,83 a P7 80,79 a Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. Jika dilihat pada Tabel 4.12 di atas, dapat diketahui bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air buah. Nilai kadar air buah cabai untuk semua perlakuan berada di bawah kadar air buah normal. Hal ini disebabkan oleh tingkat penguapan yang tinggi pada siang hari, sedangkan curah hujan yang tinggi selama penelitian tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air di dalam polybag, karena penelitian dilakukan di dalam rumah kaca yang tidak memungkinkan terjadi infiltrasi air hujan ke dalam media tanam. Hal ini berakibat penyerapan air oleh akar tidak sebanding dengan tingkat penguapan yang tinggi, sehingga kadar air buah lebih rendah dari kadar air buah cabai besar pada kondisi normal. Menurut Sukmana (2010) kadar air buah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
FTIP001648/068
54
perbedaan varietas, keadaan cuaca tempat tumbuh, pemeliharaan tanaman, dan kondisi penyimpanan. Tingkat penguapan yang tinggi akibat suhu tempat yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya kadar air buah.
4.2.3 Kandungan logam berat buah cabai Pengamatan terhadap kandungan logam berat Pb di dalam buah cabai dilakukan dengan cara mengeringkan buah cabai yang telah dipanen agar tidak terjadi pembusukan, kemudian mengujinya di Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil analisis kandungan logam berat Pb pada cabai merah besar tercantum pada Lampiran 7 dan secara umum ditunjukkan oleh Tabel 4.13 di
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
bawah ini.
Tabel 4.13 Rata-Rata konsentrasi pb di dalam buah cabai merah besar akibat pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash. Rata-rata konsentrasi Pb di dalam buah (ppm) P1 Terdeteksi 0,1 pada ulangan ke-1 dari 5 ulangan P2 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5 P3 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 - 5 P4 Terdeteksi 0,1 pada ulangan ke-4 dari 5 ulangan P5 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5 P6 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5 P7 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5 Sumber : Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia. Perlakuan
Kandungan Pb pada buah relatif kecil jika dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7387 (2009) yang mensyaratkan batas maksimal kandungan logam berat Pb di dalam bahan pangan buah dan sayur sebesar 0,5 mg/kg atau 0,5 ppm. Menurut Widaningrum, Miskiyah dan Suismono (2007), batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam makanan berdasarkan standar Ditjen BPOM adalah sebesar 2 ppm. Dengan demikian, kandungan logam berat Pb pada buah berada pada batas aman.
FTIP001648/069
55
Kandungan logam berat yang kecil atau tidak terdeteksi di dalam buah cabai yang diberi perlakuan bokashi fly ash dan bokashi fly ash disebabkan oleh adanya proses pengkhelatan (chelation) antara bahan organik dengan logam berat Pb selama proses dekomposisi, dimana logam berat lebih terikat kuat kepada bahan organik dari pada oleh akar (Hardjowigeno, 2003). Selain itu, kandungan Pb di dalam fly ash maupun bokashi fly ash masih berada pada ambang batas aman yaitu di bawah 150 ppm berdasarkan SNI 19-7030-2004, sehingga aman ketika diaplikasikan pada tanaman cabai merah besar.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001648/070