BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Limbah Batu Bara Batu bara adalah mineral organik yang terbentuk dari sisa tumbuhan
purba yang mengendap dan mengalami perubahan bentuk akibat proses fisika dan kimia yang terjadi selama jutaan tahun. Proses perubahan sisa tumbuhan purba yang mengendap menjadi batu bara disebut sebagai coalification (pembatu baraan). Karena berasal dari sisa tumbuhan purba dan proses pembentukannya memakan waktu jutaan tahun, maka batu bara masuk ke dalam kategori bahan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
bakar fosil (Budiraharjo, 2009). Menurut Budiraharjo (2009) perbedaan jenis batu bara disebabkan oleh: 1. Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda – beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya. 2. Lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan. 3. Tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian.
Gambar 2.1 Proses pembentukan batu bara. (Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004 dalam Budiraharjo, 2009)
8
FTIP001648/023
9
Dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis limbah padat yang dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash dan fly ash. Bottom ash adalah sisa pembakaran batu bara yang memiliki massa yang lebih berat dari fly ash sehingga menumpuk di bawah tungku pembakaran, sementara itu fly ash adalah abu sisa pembakaran yang memiliki massa yang kecil sehingga dapat terbang oleh tiupan angin atau hembusan udara tungku pembakaran (Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari, 2009). Pada industri listrik biasanya digunakan tiga type pembakaran batu bara yaitu dry bottom boilers, wet bottom boilers dan cyclon furnace. Type yang paling umum untuk pembakaran batu bara adalah pembakaran dry bottom seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Pembakaran type dry bottom boiler meninggalkan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
kurang lebih 80% fly ash dan masuk dalam corong gas. Pembakaran wet-bottom boiler menghasilkan 50% abu pembakaran dan 50% lainnya masuk dalam corong gas. Pada cyclon furnace, di mana potongan batu bara digunakan sebagai bahan bakar, 70-80 % dari abu tertahan sebagai
boiler slag dan hanya 20-30%
meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong gas.
Coal Polverizer
Power Plant
Heater Air
Precipitator
Coal Flame
To Stack Ash Hoppers Fly Ash (Recovery or Disposal) Bottom Ash (Recovery or Reuse)
Gambar 2.2 Type pembakaran dry bottom boiler dengan electrostatic precipitator. (Sumber : Wardani, 2008)
FTIP001648/024
10
2.1.1 Fly ash Komposisi mineral dan sifat kimia dari fly ash bergantung pada asal dan komposisi jenis batu bara induk, kondisi selama pembakaran batu bara, efisiensi jenis alat kontrol emisi, penyimpanan dan penanganan produk samping dan kondisi iklim. Fly ash mengandung Fe, Ca, Al, Si, K dan Mg dalam persentase yang tinggi dan Zn, B, Mn, dan Cu dengan persentase sedang, sedangkan N, P, S dan unsur lainnya sangat kecil. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk silikat, oksida, sulfat dan karbonat (Thyvahary, 2004 dan Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Konsentrasi semua elemen/unsur hara di dalam fly ash lebih tinggi dibandingkan tanah kecuali nitrogen (N) (Sharma and Kalra, 2006).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Tabel 2.1 Karakteristik fisik fly ash. Parameter
Keterangan
Warna
Abu-abu hingga hitam
Bentuk
Bulat (Spherical)
Rapat Massa (g/cm3)
1 – 1,8
Gravitasi Spesifik (g/cm3)
1,90 – 2,55
Plastisitas
Tidak plastis
Kandungan Air (%)
18 – 38
Kohesi (kg/m2)
Tidak Berarti (Negligible)
Liat (%)
1 – 10
Debu (%)
8 – 85
Pasir (%)
7 – 90
kerikil (%)
0 – 10
Sumber : Kishor, Ghosh and Kumar (2010)
Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas F dan kelas
C, berdasarkan banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi,
dengan spesifikasi sebagai berikut (Wardani, 2008): a. Fly ash kelas F: merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran batu bara anthracite atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan
FTIP001648/025
11
untuk mendapatkan sifat cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10%). b. Fly ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batu bara lignite atau sub-bituminous selain mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai sifat self-cementing (kemampuan untuk mengeras dan menambah kekuatan apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul tanpa penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20%.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 2.3 Abu terbang (fly ash). (Sumber : Wardani, 2008) Keasaman (pH) fly ash bervariasi dari mulai 4,5 – 12 tergantung kepada banyaknya kandungan sulphur di dalam batu bara induk (Plank and Martens, 1974 dalam Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Beberapa fly ash bersifat sangat asam (pH 3 – 4) meskipun pada umumnya bersifat basa (pH 10 – 12). Secara fisika fly ash batu bara tersusun dari partikel seukuran debu (silt) yang memiliki kapasitas pengikatan air dari sedang sampai tinggi. Namun, meskipun demikian, sifat-sifat pembentuk semen yang ada di dalamnya dapat menghambat perkembangan akar tanaman (Muhammad, 2004 dalam Hadijah dan Damayanti, 2006). Penambahan fly ash 30 gram/2,5 kg tanah dapat meningkatkan pH dari 5,02 (control) menjadi 6,62 dan bahkan lebih dari 7,49 pada pemberian 90 gram/2,5 kg tanah (Tsadilas et al., 2002).
FTIP001648/026
12
Penggunaan fly ash diketahui dapat meningkatkan aktivitas respirasi dan nitrifikasi dari beberapa organisme tanah. Jumlah bakteria, actinomycetes dan jamur meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah fly ash yang diberikan. Pemberian fly ash 100 ton/ha diketahui tidak memberikan dampak yang berarti terhadap keberlangsungan aktivitas organisme di dalam tanah (Sharma dan Kalra, 2006). Penggunaan fly ash dapat memperbaiki tekstur tanah kasar, meningkatkan porositas tanah, daya ikat air, kapasitas air tersedia, laju infiltrasi dan drainase secara keseluruhan. Penambahan fly ash sebesar 70 ton/ha dilaporkan dapat mengubah tekstur tanah berpasir (sandy soil) dan tanah liat (clay soil) menjadi tanah lempung (loamy soil) (Fail dan Wochock, 1977 dalam Thyvahary, 2004).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Pengaruh pemberian fly ash limbah batu bara terhadap sifat fisik tanah diketahui dapat meningkatkan kestabilan tanah dalam menahan rainfall runoff, dimana tanah yang diberi campuran fly ash limbah batu bara memiliki tingkat sedimentasi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sondari, 2009). Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Adha (2009) pada tanah gambut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas dukung tanah dari tanah asli sebesar 85,67 ton/m2 dengan tanah campuran fly ash 15% dengan pemeraman 14 hari sebesar 701,33 ton/m2. Penelitian di Australia menunjukkan bahwa pemberian fly ash 100 ton/ha pada tanah pasir dapat menghemat penggunaan 75% air (Smith, 2005). Pemberian 10 ton/ha fly ash pada tanaman padi di India dapat meningkatkan hasil gabah yang setara dengan 4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per ha, sementara perlakuan kontrol hanya menghasilkan 2,559 ton gabah per ha (Mittra et al, 2003). Sementara itu, pemberian fly ash di sekitar tajuk tanaman sebanyak 4 gram/m2/hari telah meningkatkan bobot kering serta hasil panen tanaman jagung dan kedelai (Sharma and Kalra, 2006).
FTIP001648/027
13
Tabel 2.2 Hasil analisis komposisi kimia abu batu bara PLTU Asam-asam.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
No.
Parameter
Satuan
Abu batu bara Asam-asam
1.
pH
-
7,0
2.
SiO2
%
59,3
3.
Al2O3
%
19,40
4.
Fe2O3
%
12,52
5.
TiO2
%
0,98
6.
CaO
%
2,13
7.
MgO
%
2,50
8.
K2O
%
tt
9.
Na2O
%
0,16
10.
MnO
%
0,19
11.
SO3
%
0,53
12.
P2O3
%
0,104
13.
LOI
%
1,30
14.
Pb
ppm
19
15.
Cu
ppm
298
16.
Zn
ppm
391
17.
Cr
ppm
224
18.
As
ppm
10
19.
H2O
%
0,033
Keterangan: Contoh diperiksa dari bahan kering (105 – 110 °C) kecuali H2O- yang ditentukan dari bahan asal. tt : tidak terdeteksi Sumber : Hadijah dan Damayanti (2006)
FTIP001648/028
14
2.1.2
Bottom ash Bottom ash adalah aglomerasi partikel abu, terbentuk di dalam tungku batu
bara, yang ukuran partikelnya terlalu besar untuk terbuang bersama gas buang, sehingga jetuh melalui dinding tungku atau jatuh melalui panggangan terbuka menuju pengumpul abu di bagian bawah tungku. Secara fisik bottom ash memiliki warna abu-abu sampai hitam, memiliki bentuk yang bersudut, dan memiliki struktur permukaan berpori (U.S. Environmental Protection Agency (EPA), 2010). Komponen utama dari bottom ash adalah oksida-oksida/mineral yang mengandung silikon, alumunium, besi, kalsium, natrium dan magnesium (Hartanto dan Widiastuti, 2009).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Sondari (2006) dalam Sondari (2009) menyatakan bahwa pemberian bottom ash dan pupuk hijau dapat memperbaiki beberapa sifat fisika dan kimia Typic Kanhapludults, serta pada tanah ultisols Kentrong Propinsi Banten diketahui dapat meningkatkan hasil shorgum (hermada). Bottom ash diberikan dengan cara dibuat menjadi bokashi. Dengan mengubah bottom ash menjadi pupuk bokashi, logam berat yang terkandung dalamnya menjadi berkurang, karena selama terjadi proses dekomposisi oleh EM4, senyawa-senyawa organik yang diproduksi dapat mengkhelat logam berat.
2.2
Logam dan logam berat Logam didefinisikan sebagai unsur yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Watts, 1998 dalam Notodarmojo, 2005):
menghantarkan listrik
mempunyai konduktivitas terhadap panas (termal) yang tinggi,
mempunyai densitas yang tinggi
mempunyai karakteristik malleability dan kelenturan
Menurut Schnoor (1996) dalam Notodarmojo (2005) logam berat ialah logam yang terletak antara Skandium (Sc) dengan Polonium (Po) dalam deret berkala unsur-unsur, walaupun logam yang terletak diluar itu seperti Alumunium,
FTIP001648/029
15
Arsen dan Selenium juga sering dimasukkan dalam kategori logam berat. Sedangkan menurut Spellman (2003) logam berat ialah logam dengan densitas lebih dari 5 kg/dm3. Logam berat termasuk ke dalam unsur trace element, yaitu unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit, dimana dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat mengganggu makhluk hidup (Adriano, 1986 dalam Notodarmojo, 2005). Secara umum, sumber keberadaan logam sebagai bahan pencemar berasal dari dua sumber, pertama hasil pelapukan batuan induk (parent materials) yang mengandung
logam
(anthropogenic)
tersebut;
seperti
pupuk,
kedua
berasal
biosides,
dari
program
aktivitas
manusia
reklamasi,
buangan
pertambangan, industri, dan emisi kendaraan bermotor (Notodarmojo, 2005).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Tabel 2.3 Karakteristik beberapa jenis logam. Logam Karakteristik Cu As
Pb
Volume Atom (cm3/mol)
7,10
13,10
18,30
Titik Didih (K)
2840
876
2023
Titik Lebur (K)
1356,6
1090
600,65
Massa Jenis (gram/cm3)
8,96
5,78
11,35
Kapasitas Panas (J/g K)
0,385
0,33
0,129
Potensial Ionisasi (Volt)
7,726
9,81
7,416
60,7 x 106
3,8 x 106
4,8 x 106
401
50
35,3
Harga Entalpi Pembentukan (kJ/mol)
13,14
27,7
4,77
Harga Entalpi Penguapan (kJ/mol)
300,5
32,4
177,9
Konduktivitas Listrik (ohm-1cm-1) Konduktivitas Kalor (W/m K)
Sumber : Sunardi (2008) dengan penyesuaian format.
Timbal (Pb) termasuk kategori logam berat, karena memiliki densitas 11,35 gr/cm3 atau 11,35 kg/dm3 dan terletak antara Sc dan Po dengan valensi IV A (Sunardi, 2006). Timbal sering disebut juga dengan timah hitam (Pb) atau Lead dalam Bahasa Inggris. Timbal memiliki kelarutan yang rendah, sehingga
FTIP001648/030
16
kandungannya dalam air relatif sedikit, hal ini tergantung pada kesadahan, pH, alkalinitas dan kadar oksigen yang mempengaruhi kadar dan toksisitas timbal. Secara alami, jumlah timbal di dalam kerak bumi sekitar 15 mg/kg, yang berasal dari galena (PbS), gelesite (PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem, 1994; Moore, 1991 dalam Fardiaz, 2003). Timbal diserap oleh tumbuhan ketika timbal terpisah dari mineral utama karena proses pelapukan. Di dalam tanah, timbal cenderung terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, ketika terjadi proses pelapukan tumbuhan tersebut, timbal terakumulasi di dalamnya sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus (Herman, 2006). Timbal relatif larut dalam air dengan pH < 5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
dapat mengandung > 1μg Pb/dm3 (Herman, 2006).
Tabel 2.4 Penyerapan logam oleh biji tanaman gandum pada pemberian fly ash yang bervariasi. Jumlah Konsentrasi, ppm Lokasi
pemberian
Zn
Cu
Fe
Mn
Cd
0
38,4
5,7
762,3
15,8
ND
10
41,6
6,1
809,8
20,1
0,4
20
39,8
7,3
819,8
20,2
0,5
0
40,4
5,3
612,1
23,4
0,3
10
44,6
5,8
663,3
30,8
0,4
20
46,6
6,1
683,3
27,1
0,5
0
31,4
5,2
620,9
16,9
0,6
10
34,3
4,8
634,6
18,0
0,9
20
38,2
5,3
631,5
22,0
1,1
ton/ha Gulawathi
Muthiani
IARI Farm
Sumber : Sharma and Kalra (2006)
FTIP001648/031
17
Penyerapan logam berat (di antaranya Pb) oleh tanaman yang diberi fly ash dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah kandungan logam di dalam fly ash, jumlah pemberian fly ash, jenis tanah, pH tanah, jenis tanaman dan lain-lain. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah yang diberi fly ash. Konsentrasi elemen B meningkat secara signifikan terutama pada tanaman legum, Se meningkat terutama pada tanaman rumput-rumputan, sementara Mo meningkat hampir di semua jenis tanaman yang diberi fly ash. Trace elements (Zn, Pb, Cu, Fe, Mn dan Cd) biasa dijadikan sebagai indikator pada tanaman yang diberi pupuk fly ash. Pemberian fly ash di Singareni Thermal Power Plant diketahui telah menyebabkan terjadinya pelindian (leaching) element logam oleh air, terutama yang paling signifikan adalah elemen Ca, Na dan Hg, sedangkan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
logam lain tidak dianggap signifikan (Sharma and Kalra, 2006). Pada umumnya logam berat tidak dibutuhkan oleh hewan dan manusia dan cenderung berdampak negatif secara fisiologis terhadap tubuh manusia dan hewan, terutama organisme tingkat tinggi. Timbal memiliki efek racun terhadap susunan syaraf pusat, terutama pada kanak-kanak (balita). Pada orang dewasa, efek yang ditimbulkan oleh timbal antara lain menyebabkan tekanan darah tinggi, penurunan hemoglobin, pusing dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan encelophaty (Sullivan dan Krieger, 1992 dalam Notodarmojo, 2005). Konsentrasi Pb di dalam makanan sangat dibatasi. Menurut Widaningrum, Miskiyah dan Suismono (2007), batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam makanan menurut Ditjen BPOM sebesar 2 ppm. Berdasarkan SNI 7387 (2009), kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam produk sayur dan buah sebesar 0,5 mg/kg atau 0,5 ppm.
2.3
Pengkhelatan (Chelation) Penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan oleh berbagai cara, yaitu
melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Dengan berbagai cara tersebut, penyerapan unsur hara mikro oleh tanaman ditentukan oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah pH tanah, drainase tanah, jerapan liat dan reaksi kimia, serta ikatan dengan bahan organik (Hardjowigeno, 2003).
FTIP001648/032
18
Faktor yang terakhir, yaitu ikatan dengan bahan organik seringkali menyebabkan beberapa unsur hara berbentuk logam seperti Cu dan Zn tidak terserap oleh tanaman karena kation Cu dan Zn terikat terlalu kuat dengan bahan organik, sehingga proses pertukaran ion tidak terjadi. Ikatan antara kation logam dengan bahan organik dalam struktur cincin (ring) ini sering disebut sebagai pengkhelatan (chelate) (Hardjowigeno, 2003). Dengan memanfaatkan prinsip pengkhelatan tersebut, maka beberapa logam dalam limbah seperti limbah batu bara bottom ash maupun fly ash dapat dikurangi karena terikat kuat dengan bahan organik saat proses dekomposisi terjadi, seperti ketika limbah tersebut dicampur dengan bahan organik untuk bahan pembuatan bokashi dengan bantuan EM4 (Sondari, 2009).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2.4
Bokashi Fly Ash Bokashi merupakan pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi
atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganism 4) yang berisi sekitar 80 genus mikroba pengurai (Andoko, 2005). Berbagai macam jenis bahan organik bisa digunakan untuk pembuatan bokashi, setidaknya dalam satu formula bokashi digunakan tiga macam bahan organik agar keragaman mikroba dapat ditingkatkan. Bahan campuran terbaik adalah dedak, karena dedak memiliki kandungan gizi yang baik dan sangat penting bagi mikroorganisme (Sutanto, 2002). Pembuatan bokashi tidak memerlukan tempat khusus. Hal terpenting yang harus diketahui dalam pembuatan bokashi adalah menghindarkan tumpukan bokashi dari panas dan hujan. Panas dan hujan dapat menyebabkan suhu tidak terkontrol dengan baik. Dalam pembuatan bokashi, suhu harus dipertahankan antara 40oC – 50oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan membolakbalik tumpukan. Jika proses pembuatan berhasil, maka setelah tujuh hari suhu tumpukan akan turun dan bokashi siap untuk digunakan (Andoko, 2005). Pada dasarnya semua jenis bahan organik dapat dibuat menjadi bokashi dengan syarat mengandung selulosa yang rendah. Semakin tinggi kandungan selulola, maka proses pembuatan bokashi akan semakin lama (Purwendro dan
FTIP001648/033
19
Nurhidayat, 2006). Pembuatan bokashi fly ash dapat dilakukan dengan mencampur semua bahan organik yang mengandung selulosa rendah. Bahanbahan yang mengandung selulosa rendah di antaranya kulit sekam, dedak dan jerami padi. Perbandingan antara bahan utama pembuat bokashi dengan bahan campuran pada umumnya 1 : 1 atau lebih dari itu, seperti 1 : 1,2 dengan syarat bahan campuran dapat menyerap dan menyimpan air serta tidak mengembang ketika kandungan air telah mencapai 30% (Andoko, 2005; Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Bokashi yang telah matang berwarna kehitaman, tidak berbau dan tidak menyerupai bentuk bahan aslinya lagi (Purwendro dan Nurhidayat, 2006).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2.5
Tanaman Cabai Merah Besar
2.5.1 Biologi dan agroekologi cabai merah besar Menurut Pitojo (2003), cabai besar memiliki tujuh varietas, yaitu var. cerasiforme, var. conoides, var. abbreviatum, var. fasciculatum, var. acuminatum, var. grossum, dan var. longum. Sementara itu, menurut Tjahjadi (1991) cabai merah (Capsicum annuum) terbagi menjadi dua varietas utama, yaitu cabai merah keriting (Capsicum annuum L. var. longum Sendt.) dan cabai merah besar (Capsicum annuum L. var. abreviata Eingerhuth).
Gambar 2.4. Dua varietas utama cabai merah (Capsicum annuum L.). (Sumber : http://www.florabiz.net/wp-content/uploads/2011/03/cabe11.jpg)
FTIP001648/034
20
Cabai merah keriting memiliki bentuk buah memanjang, mengikal atau mengeriting dengan bagian ujung yang meruncing, memiliki rasa yang relatif pedas dengan jumlah biji yang cukup banyak bila dibandingkan dengan ukuran buahnya. Cabai merah besar memiliki bentuk buah pendek sampai panjang, dengan bagian ujung yang tumpul atau bulat. Tingkat kepedasan buah cabai merah besar kurang pedas dibandingkan dengan cabai merah keriting dengan rasa agak manis. Sebagaimana cabai merah keriting, warna buah cabai merah besar saat muda adalah hijau, lalu coklat dan setelah tua berwarna tua (Tjahjadi, 1991).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 2.5 Cabai merah besar varietas hot beauty.
Tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 2000 m dpl. Suhu ideal untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24o C – 27o C, sedangkan suhu ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16o C – 23o C. Perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu signifikan agar pertumbuhan dan produktivitas tanaman optimal. Tanaman cabai akan berproduksi dengan baik pada kelembaban sedang sampai tinggi, sedangkan pada kelembaban rendah, produktivitas tanaman biasanya rendah. Kelembaban yang rendah menyebabkan gugurnya kuncup bunga dan buah-buah kecil.
FTIP001648/035
21
Selain itu, untuk pertumbuhan yang baik, tanaman cabai memerlukan penyinaran matahari setidaknya 9 jam per hari, dengan tingkat curah hujan antara 600 mm – 1.250 mm. Pada umumnya, cabai kurang baik jika ditanam di musim hujan, kecuali untuk varietas cabai rawit (Capsicum frutescens L.) (Tjahjadi, 1991; Pitojo, 2003).
2.5.2 Karakteristik tanah ideal untuk pembudidayaan cabai merah besar Secara umum tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat fisik gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat dijadikan media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir, liat berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu (Pitojo, 2003).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Menurut Rukmana (2002), penanaman cabai banyak dijumpai pada jenis tanah mediteran dan alluvial. Karakteristik tanah mediteran adalah memiliki solum tanah antara 1 m – 2 m, warna tanah coklat sampai merah, tekstur lempung hingga liat, dan juga memiliki struktur gumpal dengan konsistensi gembur, pH 6 – 7,5, kandungan bahan organik rendah dan produktivitas tanah yang bervariasi dari sedang sampai tinggi. Sementara itu, tanah alluvial memiliki karakteristik perkembangan profil yang belum terbentuk, berwarna kelabu atau coklat, bertekstur liat atau pasir, dengan kandungan pasir kurang dari 50% dan kandungan bahan organik yang rendah. Penanaman pada tanah berpasir cenderung menghasilkan buah yang lebih cepat dari pada penanaman pada tanah liat.
Tabel 2.5 Jadwal waktu pemupukan untuk tanaman cabai per tanaman. Jenis
Pupuk susulan setelah tanaman di lapangan
Pupuk dasar
0 hari
30 hari
60 hari
90 hari
120 hari
Pupuk kandang
1-2 kg
-
-
-
-
-
Urea
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
TSP
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
KCl
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
10 gr
Sumber : Tjahjadi (1991).
FTIP001648/036
22
Menurut Tjahjadi (1991) tanah liat atau pasir yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sangat baik untuk pertumbuhan cabai. Selain itu, tanaman cabai juga menghendaki tanah yang lembab dengan pH 5,0 – 7,5 dengan syarat tidak tergenang. Tanaman cabai sangat responsif terhadap pemupukan, namun pemupukan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Pemupukan pada cabai merah besar cukup dilakukan sampai hari ke-120. Pemupukan untuk meningkatkan produktivitas juga dapat dilakuka melalui daun, yaitu berupa pemberian pupuk mikro. Peran pupuk mikro sangat besar dalam memperbanyak bunga dan memperkuat buah agar tidak mudah rontok (Tjahjadi, 1991).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2.6
Evapotranspirasi Tanaman Evapotranspirasi tanaman adalah jumlah total air yang dikonsumsi
tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme tanaman. Dalam kondisi lapangan (field condition) tidak mungkin membedakan antara evaporasi dengan transpirasi jika tanah tersebut tertutup oleh tumbuhtumbuhan, karena
kedua proses tersebut satu sama lain saling berkaitan
(Soemarto, 1987). Menurut FAO (1987) ada berbagai rumus empirik untuk menduga evapotranspirasi tanaman acuan (ETo), yaitu: Metode Blaney-Criddle, Penman, Radiasi dan Panci Evaporasi. Menurut Jensen (1980) nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil perbandingan
antara
evapotranspirasi
aktual
tanaman
(ETc)
dengan
evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali antara ETo dengan Kc.
ETc = Kc × Eto Dimana : ETc = Evapotranspirasi aktual tanaman (mm/hari) ETo = Evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari) Kc = Koefisien tanaman
FTIP001648/037
23
Kofisien tanaman (Kc) besarnya tergantung pada jenis tanaman dan tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Koefisien tanaman dapat ditentukan dari hasil penelitian langsung menggunakan lisimeter.
Tabel 2.6 Koefisien tanaman (Kc) beberapa jenis tanaman hortikultura pada setiap fase pertumbuhan. Tanaman
Fase pertumbuhan
Rata-rata
Awal
Vegetatif
Pembungaan
Pembuahan
Pemasakan
0,30-0,40
0,60-0,75
0,95-1,10
0,85-1
0,80-0,90
0,70-0,80
0,40-0,60
0,70-0,80
0,95-1,10
0,85-0,90
0,75-0,85
0,80-0,90
Semangka
0,40-0,50
0,70-0,80
0,95-1,05
0,80-0,90
0,65-0,75
0,75-0,85
Tembakau
0,30-0,40
0,70-0,80
1-1,20
0,90-1
0,75-0,85
0,85-0,95
Cabai Bawang merah
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979)
Menurut Hansen dkk. (1986) kebutuhan air tanaman akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air ini akan mencapai puncaknya pada fase pembungaan, yang merupakan fase pertumbuhan yang paling banyak memerlukan air. Setelah fase pembungaan selesai, kebutuhan air akan menurun sampai akhirnya tanaman tersebut mati.
FTIP001648/038