HAK ASASI MANUSIA Tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Manusia, & Perang (Kompilasi Instrumen HAM Internasional & Nasional) Penulis: M. Ghufran H. Kordi K. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail :
[email protected]
Kordi K, M. Ghufran H. HAK ASASI MANUSIA; Tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Manusia, & Perang (Kompilasi Instrumen HAM Internasional & Nasional)/M. Ghufran H. Kordi K. - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 xiv + 284 hlm, 1 Jil.: 26 cm. ISBN:
978-602-262-059-4
1. Hukum
I. Judul
Untuk ananda: RYS (Ryza Mauryz H. Kordi K.) ICHA (Izzah Mauryza H. Kordi K.)
(10) Prakata
P
ada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang berisikan suatu daftar hak-hak dasar manusia, sebagai suatu standar bersama bagi semua orang dan semua bangsa. Sejak itulah, umat manusia untuk pertama kalinya dalam sejarah, mencapai kesepakatan kemanusiaan untuk mencita-citakan bumi sebagai tempat tinggal manusia yang lebih manusiawi. Saat itulah bangsa-bangsa di muka bumi ini, mendeklarasikan keyakinan mereka tentang Hak-hak asasi manusia (HAM). Hak-hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada manusia dan merupakan karunia Tuhan karena semata-mata kedudukannya sebagai manusia, pada hari itu secara universal disepakati untuk pertama kalinya bangsa-bangsa di muka bumi mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai dan pengakuan bahwa setiap manusia di muka bumi memiliki hak yang sama, tidak peduli apa jenis kelaminnya, warna kulit, ras, bangsa, bahasa, status ekonomi, agama, dan sebagainya. Hak asasi berlaku bagi semua manusia. Namun demikian, tanggal 10 Desember 1948 tidak lebih dari hari pendeklarasian Hak-hak Asasi Manusia secara bersama belaka. Jauh sebelum hari deklarasi itu, sesungguhnya bangsa-bangsa di muka bumi ini, di tempat, zaman dan dalam konteks yang sama sekali berbeda, sebenarnya telah berusaha untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia, dan setelah melalui perjuangan yang panjang untuk mencapai kesepakatan tentang perlunya menghormati dan melindungi Hak-hak asasi manusia. Pengertian hak-hak asasi manusia baru dirumuskan secara eksplisit di abad ke-18. Namun, asal mula prinsip dan dari segi hukum yang menjadi dasarnya sudah eksis lebih jauh ke belakang dalam sejarah. Menurut Friedrich (1964 dalam van Dijk, 2001) bahwa, dalam berbagai Kitab Perjanjian Lama, sejak sebelum doktrin tentang hak-hak asasi manusia, terdapat prinsip-prinsip, dan terutama prinsip persamaan. Pada abad ke-6 Masehi, Nabi Muhammad menandatangani Piagam Madinah di Madinah, merupakan deklarasi kesepakatan umat manusia untuk penghormatan hak-hak asasi manusia, hak atas
viii
Hak Asasi Manusia; Tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Manusia, & Perang
kehidupan manusia, hak sipil dan politik, hak sosial dan budaya, yang dalam konteks zaman itu tercermin dalam kebebasan memeluk agama, sebagai cermin dari hak asasi manusia. Bahkan 3000 tahun sebelumnya, Kitab Veda dalam agama Hindu telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak asasi manusia. Pendeknya, semua agama pada prinsipnya telah mengajarkan sejak awal perkembangannya untuk memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Fakih, 2001). Penulisan sejarah tentang perkembangan konsepsi hak asasi manusia dimulai pada zaman kebudayaan Yunani, dalam rangka timbulnya teori hukum kodrat dalam periode 600 sampai 400 Sebelum Masehi. Penemuan berdasarkan hukum kodrat menyebabkan pula para ahli filsafat Yunani menerima hukum tidak berubah untuk kehidupan bermasyarakat, berdasarkan akal sehat manusia. Pengakuan dari hukum ini yang disimpulkan dari tata tertib alami menghasilkan pendapat bahwa “manusia itu sama menurut sifatnya” (Vorlander, 1971). Pendapat ini kemudian diambil oleh Stoa, ajaran filsafat yang berpengaruh besar atas filsafat negara dan Hukum Romawi. Szabo menunjukkan dengan tepat bahwa di zaman Yunani Kuno dan Romawi, perbudakan dalam sistem hukum yang bersangkutan diakui dan persamaan alami manusia sama sekali bukan merupakan realitas yuridis (Lauterpacht, 1950 dalam van Dijk 2001). Meskipun demikian, dasar filsafat hukum untuk persamaan tersebut sudah diletakkan di zaman itu. Berbagai peristiwa juga telah dicatat dalam sejarah manusia sebagai tonggak bagi usaha manusia yang memimpikan penghormatan atas hak asasi manusia, seperti penandatanganan Magna Charta, 1215, perjanjian agar raja taat pada hukum. Kemudian Hugo Grotius (1625) berkebangsaan Belanda yang berjasa melahirkan Hukum Internasional, disusul John Locke yang mengembangkan Hak Natural. Mary Wollostonecraft tahun 1792, lalu Mirza Fath Ali Akhun Dzade tahun 1860 di Iran telah mendesakkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rosa Guera di Amerika Latin. Filsafat John Locke yang utama adalah meletakkan dasar untuk pengakuan hak fundamental tertentu dari manusia dan yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain harus dijamin oleh pe nguasa dan diminta bantuan untuk melawan penguasa. Pemikiran Locke mempunyai pengaruh besar atas kemajuan di bidang kodifikasi hak asasi manusia. English Bill of Rights tahun 1689, American Declaration of Independence tahun 1776, Konstitusi Bill of Rights yang ditambahkan dan France Declaration des droits de l’homme et du citoyen tahun 1789, yang pada gilirannya sangat berguna sebagai contoh untuk pemastian hak asasi manusia dalam banyak sistem hukum nasional. Di era kolonialisme melahirkan banyak tuntutan terhadap hak asasi manusia dalam bentuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Pada tahun 1919, Vladimir Lenin telah mengemukakan hak menentukan nasib sendiri dalam konteks imprealisme yang disebutnya sebagai puncak dari perkembangan kapitalisme. Pada era yang sama perjanjian Versailes juga menetapkan hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak bagi minoritas. Pada saat itu juga bangsa-bangsa Afrika mengadakan Kongres Pan Afrika yang juga membuat hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa di daerah kolonial.
Prakata
ix
Perjuangan panjang umat manusia untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak yang melekat pada manusia semata karena manusia adalah (tetap) manusia. Oleh karena itu, perjuangan untuk terus menegakkan hak asasi manusia sesungguhnya tidak pernah berakhir. Kebingungan dan kegamangan masyarakat terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak mereka dan berbagai kebebas an terjadi akibat trauma budaya yang sangat panjang. Zaman perbudakan, kolonialisme, Perang Dunia I dan II, dan berbagai peristiwa kelabu lainnya, baik internasional, nasional maupun lokal adalah saksi sejarah pelanggaran berat hak asasi manusia. Jalan menuju pengakuan umum kategori hak asasi manusia pun masih panjang, yang sampai kini dan akan datang tampaknya belum selesai di tempuh. Perjuangan panjang umat manusia untuk memperjuangkan Hak-hak Asasi Manusia nampaknya masih panjang. Upaya untuk menciptakan suatu bumi yang damai merupakan sebuah jalan terjal yang panjang, sehingga membutuhkan kerja keras dan kebersamaan bangsa-bangsa di dunia. Walaupun bangsa-bangsa dunia telah sepakat memproklamasikan sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, kemudian diikuti dengan berbagai kesepakatan berikutnya, baik yang disebut Konvensi, Perjanjian, Deklarasi, Protokol, dan sebagainya. Namun perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia, oleh para aktivis-pejuang Hak-hak Asasi Manusia, dianggap sangat berat dan semakin panjang. Dengan adanya berbagai peraturan itu, bukan berarti pelanggaran hak asasi manusia lantas berhenti. Mungkin grafik pelanggaran hak asasi manusia menurun pada skala yang global dan fisik seperti kolonialisme zaman dahulu (kolinialisme senjata), namun grafik pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk yang lain dan terbungkus makin meningkat. Globalisasi ekonomi memporak-porandakan ekonomi masyarakat bawah adalah fakta di depan mata, betapa pelanggaran hak asasi manusia menunjukkan grafik yang meningkat. Pelanggaran hak-hak anak dan perempuan pun masih merupakan persoalan umum di depan mata umat manusia. Upaya untuk memperjuangkan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, betapapun berat dan panjang, harus dilakukan dalam koridor kemanusiaan pula. Anti kekerasan merupakan sebuah jalan yang paling manusiawi untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Yesus Kristus, Muhammd bin Abdullah (umat Islam menyebutnya Nabi Muhammad saw), Mahatma Gandhi, Martin Luther King dan Dom Helder Camara adalah pahlawan-pahlawan agung yang patut ditiru dalam upaya memperjuangkan hak asasi manusia. Sebagai sebuah perjuangan yang berat dan panjang, maka semua potensi harus dikerahkan untuk itu. Upaya menghimpun dan menerbitkan instrumen-instrumen/peraturan-peraturan tentang hak asasi manusia, seperti buku ini, juga adalah bagian dari koridor itu. Menghimpun dan menerbitkan instrumen Hak Asasi Manusia ini dimaksudkan untuk: (1) memasyarakatkan instrumen/peraturan tersebut kepada masyarakat luas di Indonesia; (2) untuk mereka yang aktif terlibat dalam perjuangan dan penegakan Hak Asasi Manusia, dapat dengan mudah mengakses instrumen-instrumen ini sebagai salah satu alat perjuangan; (3) bagi mereka yang terlibat dalam dunia akademis yang terkait
x
Hak Asasi Manusia; Tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Manusia, & Perang
dengan studi hak asasi manusia dapat menggunakannya sebagai bahan referensi/rujukan; dan (4) untuk menambah khazanah/pustaka dalam bidang hak asasi manusia. Buku ini berisikan berbagai instrumen Hak Asasi Manusia nasional (Indonesia) dan internasional. Penggabungan ini dimaksudkan untuk melihat runtutan maupun keterkaitan antara instrumen internasional dan nasional. Suatu instrumen nasional di suatu negara bisa lahir bukan karena kesadar an penuh dari pemerintah di negara tersebut, melainkan berbagai tekanan, baik dari rakyat di dalam negara maupun dari dunia internasional. Buku berjudul Hak Asasi Manusia Tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Kemanusiaan, & Perang: Kompilasi Instrumen HAM Internasional & Nasional ini dibagi ke dalam enam bagian, yaitu: 1. Bagian satu, tentang hak bekerja dan berhimpun. Bagian ini terdiri atas 5 instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan 1 instrumen nasional. 2. Bagian dua, tentang larangan diskriminasi dan perbudakan. Bagian ini terdiri atas 17 instrumen Hak Asasi Manusia, sebanyak 13 instrumen adalah instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan 4 sisanya adalah instrumen Hak Asasi Manusia nasional. 3. Bagian tiga, tentang peradilan dan hukuman yang tidak manusiawi. Bagian ini terdapat 7 instrumen Hak Asasi Manusia, sebanyak 6 instrumen merupakan instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan 1 instrumen Hak Asasi Manusia nasional. 4. Bagian empat, tentang penentuan nasib sendiri, kelompok minoritas dan penduduk asli. Bagian ini terdapat sebanyak 5 instrumen Hak Asasi Manusia, 4 instrumen adalah instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan 1 instrumen Hak Asasi Manusia nasional. 5. Bagian lima, tentang kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Bagian ini terdapat 2 instrumen Hak Asasi Manusia internasional. 6. Bagian enam, tentang data dan informasi. Bagian ������������������������������������������������������ ini juga terdiri dari 2 peraturan Hak Asasi Manusia internasional. Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia ini dikumpulkan dari berbagai dokumen seperti buku, majalah, koran, dokumen resmi dan foto kopi yang diperoleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sepantasnyalah penghimpun/penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa nama, karena kebaikan mereka memberikan bahan-bahan yang dihimpun di dalam buku ini, juga karena kesediaan mereka berdiskusi dengan penulis dalam banyak hal tentang Hak Asasi Manusia. Mereka itu antara lain: kanda MAPPINAWANG (Ketua LPA Sulawesi Selatan 2006-2009 & 2009-2012, mantan Ketua KPUD Sulawesi Selatan), bapak PURWANTA ISKANDAR (CFO UNICEF Sulawesi Selatan, Barat dan Gorontalo), ibu NUR YASNI (Staf UNHCR Makassar), kanda FADIAH MAHMUD (Ketua LPA Sulawesi Selatan 2012-2015), ibu TRIA AMELIA TRISTIANA (konsultan UNICEF, Wakil Ketua LPA Sulawesi Selatan 2006-2009 & 2009-2012, anggota KPID Sulawesi Selatan, dosen UNHAS Makassar), bapak A.J. SUDARTO (PUM Plan Indonesia PU Makassar 1999-2005), bapak TENO FIRDAUS (staf Plan Indonesia), kanda YUDHA YUNUS (Direktur Eksekutif WWL Makassar 1998-2005), kanda ABD. RASJID IDRIS (Direktur Eksekutif Yayasan JATI 1999-2005), almarhumah ibu CHRISTINA YOSEPH