perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
GUGON TUHON DALAM MASYARAKAT JAWA PADA WANITA HAMIL DAN IBU BALITA DI KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA (Suatu Tinjauan Etnolinguistik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh KHAIRUNNISA NOOR ARIFAH C0105029
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NIP 19600101 198703 1 004
PERNYATAAN
Nama NIM
: Khairunnisa Noor Arifah : C0105029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suati Tinjauan Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Februari 2011 Yang membuat pernyataan,
Khairunnisa Noor Arifah
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Persembahan penuh cinta untuk: 1.
Bapak & Ibu atas kasih sayang tiada akhir.
2.
Bapak & Ibu mertua atas cinta serta nasihatnasihatnya.
3.
Ayah & Saga atas semua hal terbaik di dunia.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul Gugon Tuhon dalam masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan Etnolingustik) dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Soedarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 3. Drs. Sujono, M.Hum, selaku pembimbing pertama yang telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi ini, memberikan banyak bantuan, dorongan dan ilmu sehingga akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik. 4. Drs. Y. Suwanto, M.Hum, selaku pembimbing kedua dan pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum, selaku sekretris jurusan yang telah memberikan banyak motivasi, perhatian, dorongan, dan ilmu selama menimba ilmu. 6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah khususnya dan Fakultas Sastra dan Seni Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini. commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis. 8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis. 9. Ibu Sarmi, ibu Suparmi, ibu Nunik, dan masyarakat Desa Nanggulan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 10. Mas Bagus, suamiku, yang nrima, sabar, cinta, perhatian, dan semua hal terbaik yang pernah diberikan, malam-malam begadang untuk menyemangati penulis. 11. Saga Malik Al-Gusha, anakku, atas keajaiban yang bisa bunda percaya. Terima kasih untuk menjadikan bunda seorang ibu dan selalu belajar banyak hal. 12. Mas Kun, dik Fajri, Doel, Eri untuk support dan penyemangat dalam situasi pelik. 13. Teman-teman angkatan 2005 atas semua bantuan dan pertemanan yang diberikan. Adik-adik kelas yang selalu membantu penulis. 14. Semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Akhirnya segala puji dan syukur, kuasa serta kemuliaan bagi Allah SWT. Penulis menyadari banyak ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.
Surakarta,
Februari 2011
Penulis. commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI JUDUL …………………………………………………………………………… i PERSETUJUAN …………………………………………………………………. ii PENGESAHAN ………………………………………………………………..… iii PERNYATAAN …………………………………………………………………. iv PERSEMBAHAN ……………………………………………………………….. v KATA PENGANTAR …………………………………………………………… vi DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…. viii DAFTAR SINGKATAN …………………………………….………………..…. xi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………..….……………..…. xii ABSTRAK …………………………………………………………………..…… xiii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….….…
1
A. Latar Belakang ………………………………………………….………… 1 B. Batasan Masalah ……………………………………………….……...….. 8 C. Rumusan Masalah …………………………………………..…….….…… 9 D. Tujuan Penelitian ………………………………………...……….………. 9 E. Manfaat Penelitian ………………………………………...……………… 10 1. Manfaat Teoretis …………………………………………….…..……. 10 2. Manfaat Praktis ………………………………………………………. 10 F. Sistematika Penulisan …………………………………………………….. 12 BAB II KAJIAN TEORI ……………………………………………………….. 13 A. Pengertian Gugon Tuhon …………………………………………………. 13 B. Pengertian Kalimat ……………………………………………………….. 16 commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Fungsi Bahasa …………………………………………………………….. 16 D. Pengertian Makna ……………………………………………………….... 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 20 A. Jenis Penelitian …………………………………………………………… 20 B. Data dan Sumber Data …………………………………………………… 21 C. Alat Penelitian ……………………………………………………………. 22 D. Populasi dan sampel ……………………….……………………………... 23 E. Metode Pengumpulan Data ………………………………………………. 24 F. Metode Analisis Data …………………………………………..…………. 24 1. Metode Distribusional ………………………………………………… 24 2. Metode Padan ………………………………………………………… 27 G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ………………………………….... 29 BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………………………….. 31 A. Bentuk ……………………………………………………………..……… 31 1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ sebagai Penanda Kalimat Larangan ………………………………………….... 31 2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ sebagai Penanda Sebab Akibat …………………….. 35 3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat ……………………………. 39 4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’ ………………… 40 5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang Berada commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di Depan Kalimat sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan ………...… 43 6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan serta Kata mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat ………………… 48 B.
Fungsi ……………………………………………………………………. 52 1. Pendidikan Kepercayaan ………………………….………………….. 53 2. Pendidikan Etika/Moral ………………………………………………. 56 3. Pendidikan Kesehatan ………………………………………………... 59
C. Makna Gramatikal dan Kultural ………………………………………..... 63 1. Wanita Hamil ……….……………...…………………………………. 63 2. Merawat Bayi …………………………………………………………. 88 BAB V PENUTUP ………………………………………………………….….... 138 A. Simpulan …………………………………………………………….….… 138 B. Saran ………………………………………………………………...……. 139 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..….…. 140 LAMPIRAN …………………………………………………………….……….. 142
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
A. Daftar Singkatan 1. GT
: Gugon tuhon
2. GTBJ : Gugon tuhon bahasa Jawa
B. Daftar Tanda 1. Tanda ‘…’
: mengapit terjemahan dalam bahasa Indonesia.
2. Tanda
: mengapit pilihan kata yang digunakan pada teknik ganti.
3. Tanda Ø
: menggantikan kata yang dihilangkan pada teknik lesap.
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Daftar data GTBJ …………………………………………..……………… 142
B.
Data wawancara …………………………………..………….…………… 148 1. Data wawancara 1 ……………………………….…………………… 148 2. Data wawancara 2 ……………………………….…………………… 150 3. Data wawancara 3 ……………………………….…………………… 152 4. Data wawancara 4 ……………………….…………………………… 153 5. Data wawancara 5 …………………………….……………………… 156 6. Data wawancara 6 ………………………….………………………… 162 7. Data wawancara 7 …………………….……………………………… 166 8. Data wawancara 8 ………………….………………………………… 170 9. Data wawancara 9 ………………….………………………..…..…… 172 10. Data wawancara 10 ………………….…………………………..…… 175 11. Data wawancara 11 ………………….…………………………..…… 177
C.
Data Informan …………………………………...………….…………… 183
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Khairunnisa Noor Arifah. C0105029. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan Etnolinguistik). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Judul penelitian ini adalah Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah gugon tuhon tentang wanita hamil dan ibu balita yang berkembang di masyarakat Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga. Data yang dikumpulkan berupa data lisan yang dikumpulkan dari para nara sumber. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk GTBJ? (2) Bagaimanakah fungsi GTBJ? (3) Makna gramatikal dan kultural GTBJ. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna gramatikal serta kultural Gugon Tuhon Jawa. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, data dikumpulkan dan dianalisis untuk kemudian dideskripsikan. Data dikumpulkan berdasarkan interview dengan nara sumber, yaitu para warga kecamatan Tingkir yang telah melalui kriteria yang ditetapkan. Dari data-data yang didapat tersebut kemudian dikelompokkan, untuk kemudian dianalisis bentuk, fungsi, dan maknanya. Metode analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode distribusional dan metode padan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti dan teknik lesap. Data dibagi dalam unsur-unsur untuk kemudian suatu unsur tertentu diganti atau dilesapkan untuk mengetahui kadar keintian unsur tersebut. Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ saja tidak dapat dipermutasi letaknya, sedangkan kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat dapat dipermutasi letaknya. Begitu pula kata nek ‘kalau’, yen ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ tidak dapat dipermutasi karena akan menghilangkan bentuk dan makna GTBJ, 2) Fungsi GTBJ mencakup kepercayaan, etika/moral, dan kesehatan, 3) Makna GTBJ dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) makna gramatikal, dan (2) makna kultural. Makna gramatikal didapat dari korelasi struktur sedangkan makna kultural diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Alah, takhayul!” sebagian besar orang dewasa ini pasti akan berucap demikian jika diberi nasihat bijak Jawa apalagi jika tidak dijelaskan alasannya. Nasihat-nasihat seperti “Aja metu wayah wengi, ndhuk!” pasti akan dijawab dengan bantahan. Sering kali disertai alasan “Ini kan jaman globalisasi, mbok. Setan ora doyan, dhemit ora ndulit!” padahal maksud nasihat si Mbok, bukan hanya sawan yang akan nyambet, justru setansetan berwujud manusia yang akan mengincarnya. Sebenarnya, banyak sekali petuah yang orang tua kita berikan kepada kita untuk ajaran hidup, bahkan yang tanpa kita sadari sekalipun. Namun di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, semakin banyak orang mengabaikan warisan-warisan budaya dari leluhur kita. Mereka menganggap tradisi budaya Jawa hanya sebagai warisan dan gugon tuhon hanya sebagai takhayul yang dianggap kepercayaan orang Jawa yang kuno. Dengan antusias orang-orang berseru mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan budaya Jawa, malah mungkin sampai ke kancah internasiaonal. Kita memiliki keinginan melestarikan budaya Jawa, tetapi kita lebih sibuk mempelajari budaya asing. Bahkan kita lebih memilih belajar bahasa asing daripada bahasa Jawa itu sendiri. Lebih buruk, mungkin hanya sedikit dari sekian banyak orang Jawa yang memilih menggunakan krama inggil untuk berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu banyak orang tua tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anak cucunya. Sehingga kesalahan ini bukan sepenuhnya salah si commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak, tetapi kita para orang tua yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan kekayaan Jawa ini kepada anak cucu kita. Sangatlah aneh jika seorang Jawa bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Sering kali karena si anak tidak memahami, justru kita yang akan menuruti si anak dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Bukan berarti bahasa Indonesia itu buruk, tetapi tanpa kita berusaha berarti kita sudah mulai mematikan budaya Jawa, karena di sekolah-sekolah pastilah anak-anak sudah diajarkan berkomunikasai dengan bahasa Indonesia dan bahkan pada beberapa playgroup menggunakan bahasa Inggris. Tanpa kita sadari, budaya Jawa perlahan mulai luntur dan hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena pengaruh budaya baru yang memaksa masuk, tetapi karena kita yang membuangnya. Parahnya kita menolaknya untuk masuk kembali. Namun sekarang ini gugon tuhon sudah agak kabur karena banyak hal. Di antaranya karena perbedaan pola pikir orang zaman dahulu dan zaman sekarang. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perkembangan teknologi yang membuat orangorang modern tidak peka lagi dengan alam dan dirinya sendiri. Dahulu, nenek moyang kita dalam keterbatasan teknologi pada saat itu, dalam prihatinnya selalu berlatih untuk menajamkan batin mereka. Gelap dan sepi membuat mereka merenungi diri dan alam. Hal itu membuat batin mereka tajam dan peka terhadap kehidupan. Semua yang mereka berikan, ajarkan, lakukan adalah karena mereka mengerti bahwa banyak yang harus diselaraskan agar semua berjalan dengan semestinya. Nasihat-nasihat yang mereka berikan ini didapat dari pengalaman mereka selama hidup dan berpikir. Nasihat–nasihat atau dinamakan gugon tuhon ini diteruskan kepada anak turunnya agar kelak keturunannya selalu mempunyai akal budi yang baik, tidak seperti hewan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, mempunyai tatanan untuk membentuk masyarakat yang berbudi. Tetapi lalu seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang memudahkan hidup manusia, semua ketajaman batin itu seolah ikut lenyap. Tradisi yang diberikan turun-temurun ini perlahan-lahan luntur karena manusia pada zaman peralihannya tidak peduli dan tidak menganggap hal ini sesuatu yang dapat dijadikan ilmu hidup, jadi hanya sedikit dari pendukung kebudayaan Jawa yang tetap mempertahankannya. Karena hal inilah, sekarang sedikit dari para orang tua yang tahu dan paham tentang gugon tuhon ini, apalagi mewariskannya kepada anak-cucunya. Penelitian ini berusaha mencari tahu tentang seberapa paham masyarakat di Kecamatan Tingkir tentang gugon tuhon khususnya gugon tuhon tentang kehamilan dan merawat balita, bagaimanakah mereka menyikapinya dan apakah mereka masih menurunkan sastra lisan ini kepada anak-cucunya. Sehingga diharapkan nantinya mereka mau meneruskannya kepada keturunannya. Selain itu kepada para pemuda agar lebih dapat mengerti dan memahami tentang gugon tuhon Jawa ini, sehingga sastra lisan ini dapat dilestarikan. Gorys Keraf (2001: 1) mendefinisikan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan Saussure (dalam Mansoer Pateda, 2001: 4) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Tanda-tanda ini saling berhubungan membentuk struktur. Menurut Wikipedia: bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.
Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.
Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
3.
Suatu kesatuan sistem makna
4.
Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5.
Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan dan kalimat).
6.
Suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.02 WIB) Menurut pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa bisa didapat dari alat ucap manusia ataupun melalui sistem tanda. Yang terpenting adalah bahasa harus dapat dimengerti. Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu pragmatik dan magis (dalam Halliday, 1992: 20). Pragmatik sendiri adalah: 1.
Studi tentang maksud penutur
2.
Studi tentang makna kontekstual
3.
Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan
4.
Studi tentang ungkapan dari jarak hubungan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan konteks adalah teks yang menyertai teks (Halliday, 1992: 6). Jadi, ada maksud yang menyertai tuturan. Pragmatik mencakup konteks karena pragmatik akan menelusur apa yang dimaksud oleh suatu wacana lebih jauh, dengan banyak unsur yang melatarbelakangi untuk menjelaskan maknanya. Untuk memaknai GT secara kultural, maka kita harus memahami konteks budaya Jawa yang sedang dimaksudkan oleh penutur dan mitra tutur, memahami budaya dan masyarakatnya terlebih dahulu. Barulah kita tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Etnolinguistik sendiri terbentuk dari dua kata, etnologi dan linguistik. Istilah „etnolinguistik‟ berasal dari kata „etnologi‟ yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya) (Sudaryanto, 1996 : 9).
Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai ibu, baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa mempunyai cara yang bijak dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya agar anak-anaknya mau berpikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon. Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi, 2004 : 139). Gugon tuhon berasal dari dua kata „gugon‟ dan „tuhon‟. Kata „gugon‟ berasal dari kata „gugu‟ yang mendapat akhiran [-an], yang mempunyai arti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan „tuhon‟ berasal dari kata dasar „tuhu‟ dan mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968 :13). Gugon tuhon yaitu:
Gugon tuhon sebenere ngemu piwulang, nanging piwulang iku ora cetha, mung sarana disamar, lumrahe wong angger wis dikandakake ora ilok utawa ora becik banjur pada wedi nerak, mangka larangan iku tujuane kanggo mulang supaya ora nindakake apa kang kasebut ing larangan iku (Subalidinata, 1968 : 13) „Gugon tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran itu tidak jelas, hanya samara-samar, biasanya jika orang sudah dilarang dengan tidak pantas atau tidak baik lantas takut untuk melanggar, maka larangan itu tujuannya untuk mengajar supaya tidak melakukan apa yang disebutkan dalam larangan tersebut‟ (Subalidinata, 1968 : 13)
Ketika menginjak dewasa, para orang tua mulai banyak memberi bekal nasihat kepada anak-anaknya untuk mengarungi rumah tangganya, terlebih pada anak gadis karena wanitalah yang akan mengajarkan moral pada anak ketika anak belum belajar dari lingkungan luar. Setelah menikah, wanita akan mengemban tugas penting yaitu menjadi ibu. Semenjak bayi masih dalam kandungan hingga lahir akan ada banyak petuah yang diberikan dari ibu maupun ibu mertua kepada anak wanitanya. Nasihat-nasihat ini dimaksudkan agar sang calon ibu selalu menjaga tingkah lakunya agar kelak bayi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilahirkan sehat dan mempunyai moral yang baik. Nasihat ini misalnya aja mateni kewan, mundhak bocah sing lair kaya kewane „ jangan membunuh hewan, nanti anak yang lahir seperti hewan itu‟, aja mbunteti leng tikus, mundhak nglairkene angel „ jangan menutup lubang tikus, nanti melahirkannya sulit‟, aja adus bengi, mundhak kembar banyu „jangan mandi malam, nanti ketubannya jadi banyak‟, aja nyingkirake barang nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang (sikil dhisik sing metu) „jangan menyingkirkan sesuatu menggunakan kaki, nanti bayi yang lahir dari kakinya dahulu‟, kudu nyingkirake regedan sing tinemu ing ndalan supaya nglairkene lancar ora ana alangan „harus menyingkirkan kotoran yang ditemukan di jalan supaya melahirkannya lancar tidak ada halangan‟, bayi kudu digendhong yen surup „bayi harus digendong kalau magrib‟, yen nggendhong bayi aja disawung „ kalau menggendong anak jangan tidak memakai selendang‟, dll. Nasihat-nasihat ini walaupun alasan yang disampaikan kurang masuk akal, namun jika ditelaah lebih lanjut ada alasan yang lebih logis.
Penelitian sebelumnya yang pernah diteliti adalah:
1.
Suwanti, 2008, yang berjudul “Gugon Tuhon Bahasa Jawa” yang mengkaji tentang bentuk, fungsi dan makna gugon tuhon bahasa Jawa.
2.
Wahyu Adi nugroho, 2010, yang berjudul “Gugon Tuhon Daur hidup Manusia Jawa di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah (Kajian Resepsi Sastra). Skripsi ini tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk gugon tuhon, makna dan fungsinya saja, tetapi juga mengkaji profil masyarakat Mojolaban dan bagaimana tanggapan mereka tentang gugon tuhon ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Skripsi saudara Suwanti ini mengumpulkan GTBJ yang ada dalam literatur, kemudian mendeskripsikan bentuk, fungsi dan maknanya. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan ini mengumpulkan data dari para informan daerah setempat untuk mendapatkan ujaran GT yang dimaksud, kemudian menganalisis bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam penelitian Suwanti, bentuk GTBJ ini selalu menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok, dan kata mundhak yang menyatakan hubungan sebab akibat. Sedangkan dalam penelitian ini bentuknya dapat tidak hanya menggunakan pewatas aja, frasa ora ilok, maupun kata mundhak saja, namun juga ada kata yen, nek atau tidak meggunakan semua kata diatas. Penelitian ini diambil dengan alasan :
1.
Penelitian GT dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini belum pernah diteliti sebelumnya.
2.
Gugon tuhon masyarakat Jawa ini adalah tradisi yang perlu dilestarikan.
3.
Agar para anak muda penerus tradisi ini mau menerima ajaran ini, maka perlu dijelaskan makna dari orang tua sehingga para anak muda dapat memahami budayanya.
4.
Setiap gugon tuhon yang diajarkan mempunyai ajaran yang adiluhung dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.
B.
Pembatasan Masalah
Penelitian yang berjudul “Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga“ ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Agar penelitian ini tidak melebar dari masalah perlu diadakan pembatasan masalah, yaitu pada bentuk, fungsi, makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan merawat anak.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah bentuk kalimat gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?
2.
Apakah fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?
3.
Bagaimanakah makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?
D. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas, dapat dijelaskan tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mendeskripsikan bentuk gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
2.
Mendeskripsikan fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
3.
Mendeskripsikan makna kultural dan makna gramatikal gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E.
Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menberikan manfaat secara teoretis dan praktis.
1.
Manfaat Teoretis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi etnolinguistik, mengenai gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
2.
Manfaat Praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan makna leksikal dan kultural bagi masyarakat yang bersangkutan sehingga budaya Jawa lebih menarik untuk dipahami dan dapat membantu penelitian serupa selanjutnya.
F.
Kerangka Pikir
Data gugon tuhon yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan data lisan sebagai data primer dan data tulis sebagai data sekunder. GT biasanya menyatakan larangan atau dihaluskan menjadi nasihat. Bentuk GT dapat menngunakan pewatas „aja‟ , frasa „ora ilok‟ atau tidak menggunakan keduanya sama sekali. Fungsi GT ditelaah dari pemaknaan yang didapat dari masyarakat. Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks pemakaian. Kata tersebut mengalami proses gramatikalisasi pada pemajemukan, imbuhan dan pengulangan. Sedangkan makna kultural adalah makna yang menyangkut makna secara kultural suatu budaya tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KERANGKA PIKIR
GTBJ
Lisan (Data Primer)
G. FUNGSI
Bentuk GTLBJ -
-
-
Pewatas aja di depan Pewatas aja dan mundhak sebagai penanda sebab akibat Pewatas aja dan frasa ora ilok Frasa ora ilok Kata nek atau yen sebagai penanda kalimat perumpamaan kata nek atau yen dan kata mundhak dalam satu kalimat
-
Kepercayaan Pendidikan Etika/Moral Pendidikan Kebersihan
commit to user
MAKNA -
Gramatikal Kultural
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan digunakan oleh penulis adalah sbb :
Bab I :
Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori, yang meliputi penjelasan dari gugon tuhon, pengertian kalimat, kalimat imperatif, fungsi, dan makna.
Bab III : Metode penelitian, yang meliputi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil penelitian.
Bab IV : Analisis data yang memuat tentang analisis dari bentuk, fungsi, makna gramatikal, dan makna kultural.
Bab V : Penutup, yang berisi tentang simpulan dan saran dari hasil penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mendekati permasalahan dan bekal untuk menganalisis objek kajian.
A.
Gugon Tuhon
Gugon tuhon berasal dari kata ‘gugu’ dan ‘tuhu’. Kata ‘gugu’ mendapat akhiran –an yang berarti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan kata ‘tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang juga mendapat akhiran –an, yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968: 13). Purwadi mengatakan gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi, 2004: 139). Takhayul berarti percaya pada hantu-hantu atau hal supranatural lainnya. Oleh karena itu para ahli folklore modern lebih suka menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) (James Danandjaja, 1984: 153). Padahal takhayul sendiri mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 153). Sedangkan dalam kenyataannya, tidak ada seorangpun yang bagaimanapun modernnya, dapat bebas dari takhayul, baik dalam hal kepercayaan maupun dalam hal kelakuan (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 154). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Takhayul (atau GT) memiliki beberapa syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs), atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (results) (James Danandjaja, 1984: 154). Sedangkan menurut Dundes, takhayul adalah ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab (Danandjaja, 1984: 155).
Gugon tuhon dibagi menjadi tiga, yaitu 1) gugon tuhon salugu, 2) gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi, dan 3) gugon tuhon yang berbentuk pepali atau wewaler. Dalam penelitian ini dikhususkan pada gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi. Pitutur sinandi sendiri berarti kata-kata yang disandikan atau disamarkan. Gugon tuhon dapat diberi pewatas aja ‘jangan’, seperti : (1) Aja mateni kewan yen lagi mbobot. ‘Jangan membunuh binatang jika sedang hamil.’ (2) Aja mbampeti leng tikus yen lagi mbobot. ‘Jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil.’ Kalimat (1) dan (2) merupakan contoh GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’. Kalimat (1) mengandung pesan jangan membunuh binatang jika sedang hamil. Pesan ini berlaku tidak hanya untuk si ibu hamil, tetapi juga untuk suami, karena dikhawatirkan jabang bayi yang akan lahir bisa menyerupai binatang yang dibunuh atupun disakiti. Misalnya jika membunuh atau menyiksa kera, si anak bisa mempunyai bulu yang banyak atau berwajah seperti kera. Sedangkan pada kalimat (2) mempunyai pesan jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil. Seperti pada kalimat (1), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aturan ini juga berlaku untuk suami istri. Jika dilanggar, dikhawatirkan si ibu akan mengalami persalinan yang sulit seperti tertutup jalan lahirnya. Gugon tuhon juga mempunyai bentuk dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, seperti (3) Ora ilok bayi dilem. ‘Tidak pantas bayi dipuji.’ (4) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane. ‘Tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang tuanya.’ GTBJ pada kalimat (3) dan (4) merupakan bentuk yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’. Pada kalimat (3) terdapat suatu nasihat bahwa tidak baik jika memuji bayi karena si anak dapat tumbuh menjadi anak yang tinggi hati karena biasa dipuji dalam keluarganya. Sedangkan pada kalimat (4) mengandung nasihat jika bayi tidak boleh dipanggul karena selain membahayakan jiwa si bayi, menurut kepercayaan Jawa hal itu juga akan membuat si bayi akan berani melawan orang tuanya kelak jika dewasa karena sudah ‘diletakkan’ di atas orang tuanya.
Dilihat dari kalimat (1), (2), (3), dan (4) dapat disimpulkan bahwa GT adalah pendidikan budi pekerti dalam mendidik anak bahkan sebelum si anak dilahirkan. Sejak dalam kandungan ikatan batin antara ibu dan anak sudah terikat begitu kuat, maka jika si ibu mempunyai suasana hati tertentu, besar kemungkinan akan menjadi sifat bayi yang akan dilahirkan. Orang tua yang sudah tentu pengalaman dalam mendidik anak pasti akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberi nasihat agar cucu yang akan dilahirkan kelak mempunyai sifat dan budi pekerti yang luhur.
B.
Kalimat
Salah satu unsur bahasa adalah kalimat. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi (Anton M. Moeliono, 1988: 254).
Kalimat terbentuk dari beberapa unsur: kata, intonasi dan makna. Kalimat tidak ditentukan dari jumlah suku kata. Dengan begitu, satu kata saja dapat didefinisikan sebagai kalimat jika disertai dengan intonasi yang benar dan maknanya dapat dimengerti.
C.
Fungsi
Fungsi bahasa yang sangat dasar adalah sebagai alat komunikasi. Dalam perkembangannya, bahasa mempunyai banyak fungsi sekunder. Bahasa dapat menjelaskan status, daerah asal, pendidikan, bahkan kepribadian seseorang. Penggunaan bahasa yang benar harus disertai etika tutur kata, moral yang dikandung, dan disampaikan dengan sopan-santun. Hal-hal tersebut penting digunakan untuk menciptakan lingkungan yang baik, dan damai.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 2001: 3).
Di bawah ini akan diuraikan mengenai etika, moral, dan sopan-santun.
1.
Etika
Etika berarti ilmu yang mempelajari apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat-istiadat (Bertens, 1997: 4). Semua suku bangsa pastilah mempunyai etika. Etika ini berkembang sesuai kebudayaan mereka. Di Jawa, etika diatur berdasarkan banyak hal, salah satunya adalah stratifikasi sosial. Penting untuk menempatkan diri dalam tataran yang tepat dan menyadari tingkatan mereka, sehingga manusia Jawa dituntut untuk luwes dan dapat menempatakn diri pada situasi dan kondisi apapun untuk berbaur dan bertahan di dalamnya.
2.
Moral
Moral adalah kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait nilai-nilai baik dan buruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.17 WIB). Pengertian moral dapat diartikan adat kebiasaan perbuatan manusia yang dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan budi pekerti. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan kemanusiaan yang benar atau salah, yang baik atau buruk. Pada dasarnya moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai to userpada baik buruknya perbuatan. manusia, sedangkan moralitascommit mengacu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan ajaran moral maksudnya ajaran, wejangan, ptokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi lebih baik (Franz Magnis-Suseno, 2001: 15). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa moral adalah perbuatan, pikiran maupun ucapan tentang baik-buruk, benar-salah yang didasarkan pada patokan keluarga dan masyarakat sekitarnya.
3.
Sopan-santun
Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relative, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu (http://id.wikipedia.org/wiki/Sopan-santun diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul 12.37 WIB). Sopan-santun diatur menurut tempat, lingkungan, ataupun waktu. Maka norma ini dapat berubah-ubah. Misalnya berbicara dengan teman tidak akan seformil dengan orang tua atau orang yang baru dikenal. Atau di Barat, memakai baju yang terbuka adalah hal yang lumrah terkait privasi dan otonomi tubuh mereka untuk berekspresi, tetapi jika kita memakainya di Timur, pastilah kita akan kena tegur atau apesnya dikucilkan masyarakat. Dengan demikian kita harus dapat menyesuaikan diri dengan sopan-santu yang berlaku di manapun, saat apapun. Karena dengan itu kita akan dapatcommit diterima dan menjadi bagian dari masyarakat. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D.
Makna
Semantik adalah studi tentang makna. Pengertian makna (sense) dibedakan dengan arti (meaning) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna menurut Palmer (1976: 30) hanya menyangkut intrabahasa. Makna kultural adalah makna yang terdapat dalam masyarakat pada sebuah wacana. Namun demikian, makna kultural yang komplek ini tidak akan dapat dijalankan dengan sempurna jika kita tidak memahami konteks budaya, mitra tutur dan situasi tutur yang sedang terjadi. 1.
Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks pemakaian. Kata tersebut mengalami proses gramatikalisasi pada pemajemukan, imbuhan dan pengulangan.
2.
Makna Kultural Makna kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan. Untuk memaknainya, kita harus memahami konteks dalam suatu budaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Menurut Djajasudarma (1993:1) metode merupakan cara kerja yang bersistem dalam pelaksanaan suatu kegiatan untuk mempermudah mencapai tujuan penelitian. Sedangkan metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan dianalisis. Dalam melakukan suatu penelitian, sebaiknya digunakan suatu metode yang tepat untuk menentukan langkah – langkah dalam penelitian. Dalam metodologi penelitian ini akan dijelaskan jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi, sampel, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji GTBJ ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Maksud dari penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan antara variable (Aminuddin, 1990: 6).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002: 35). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian gugon tuhon ini mengumpulkan data berupa ujaran lisan dan penyajian datanya berupa deskripsi dari olahan data gugon tuhon tersebut.
B.
Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian itu sendiri, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Atau dengan rumusan lain data pada hakikatnya adalah obyek sasaran penielitian beserta dengan konteksnya (Sudaryanto,1993:9). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan yang didapat dari narasumber di kecamatan Tingkir, Salatiga. Sumber data adalah pencipta atau penghasil data yang sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut nara sumber (Sudaryanto, 1990: 35). Data dan sumber data dibagi dalam dua kelompok, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun data dan sumber data dalam penelitian ini: 1. Data dan sumber data primer. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penduduk terpilih Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yang dipandang mengetahui dan paham tentang gugon tuhon kehamilan dan merawat bayi. Sedangkan datanya adalah ujaran tentang gugon tuhon wanita hamil dan merawat balita. 2. Data dan sumber data sekunder. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku dan literatur yang relevan dengan penelitian ini. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah keteranganketerangan yang diambil dari buku-buku dan literatur yang terkait dengan penelitian ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumber data dari penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Desa ini dipilih karena sebagian besar penduduknya masih tradisional dengan mempertahankan budaya Jawa. Masih banyak ajaran GT yang disebarkan secara lisan. Sebagian besar penduduknya masih mempercayai dan mematuhi GT tersebut. Sumber data lisan berasal dari informan yang berupa tuturan. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut:
1. Penutur asli bahasa Jawa. 2. Penduduk asli daerah setempat. 3. Berusia 21-70 tahun yang dirasa betul-betul mengerti dan memahami GTBJ. 4. Memahami bahasa dan budaya Jawa. 5. Memiliki alat ucap sempurna. 6. Bisa berbahasa Indonesia. 7. Bersedia menjadi informan atau bersedia diwawancara dan mempunyai waktu cukup untuk diwawancarai. Setelah menetapkan kriteria di atas, diperoleh 9 orang informan yang dirasa dapat dikumpulkan data yang dimaksudkan.
C. Alat Penelitian Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Alat bantu dalam penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-x, buku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
catatan, sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer, flasdisk, alat rekam berupa mp3 player.
D. Populasi dan Sampel Populasi adalah objek penelitian yang pada umumnya adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1991: 32). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mengetahui ujaran tentang GTBJ mengenai kehamilan dan merawat bayi.
Sampel adalah sebagian populasi yang dijadikan objek penelitian secara langsung yang mewakili populasi atau mewakili populasi secara keseluruhan (Edi Subroto,1991: 32). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu mengambil sample secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1991: 25). Sampel dalam penelitian ini adalah ujaran yang mengandung GTBJ yang menyangkut nasihat untuk wanita hamil dan merawat bayi yang diucapkan oleh informan. Informan diambil dari masyarakat Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
Setelah dilakukan penetapan kriteria informan, maka didapatlah beberapa orang yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Sembilan orang informan diambil dari kecamatan Tingkir secara random, yaitu dari desa Nanggulan, Kalibening, Celong, Klumpit, dan Ngenthak. Informan-informan tersebut berprofesi sebagai pedagang, karyawan, bidan, dukun bayi, guru, entertainer, dan ibu rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Metode Pengumpulan Data Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Data dikumpulkan dengan metode dasar yaitu teknik sadap. Untuk mendapatkan data pertama-tama si peneliti harus menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133). Adapun mengenai teknik lanjutannya menggunakan teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, dan teknik catat. Teknik SLC ialah di mana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan berpartisipasi dalam dialog (Sudaryanto, 1993: 134). Pengumpulan data juga menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth-interviewing). Cara ini bersifat deskriptif dan eksplanatoris, yaitu peneliti di samping berusaha menjaring informasi deskriptif mengenai fakta atau fenomena sosiolinguistik (linguistik), juga berupaya menggali informasi yang berupa penjelasan munculnya fakta atu fenomena tersebut (Gunawan dalam Mahsun, 2005: 228). Untuk mengabsahkan data yang diucapkan dari para informan tersebut, maka perlu dilakukan teknik rekam agar data yang diperoleh dapat dianalisis dengan baik. Selain itu dapat juga dibantu dengan teknik catat untuk mencatat fenomena yang tidak dapat ditangkap dalam teknik rekam untuk menyempurnakan pengumpulan data.
F. Metode Analisis Data Pada penelitian ini penulis akan menganalisis data menggunakan metode distribusional dan metode padan. 1. Metode Distribusional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Metode distribusional disebut juga dengan metode agih. Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 42). Jika unsur yang dilesapkan membuat kalimat menjadi tidak gramatikal, berarti unsur tersebut mempunyai kadar keintian yang tinggi, sehingga tidak dapat dihilangkan. Teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik lesap dan teknik ganti. Teknik lesap digunakan untuk menganalisis dan mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Jika hasil dari pelesapan itu tidak gramatikal maka berarti unsur yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti: artinya, sebagai unsur pembentuk satuan lingual, unsur yang bersangkutan mutlak diperlukan (Sudaryanto, 1993: 42). Metode distribusional dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan berupa teknik lesap dan teknik ganti untuk menganalisis bentuk GTBJ, teknik ganti digunakan untuk mengatahui kadar keintian suatu unsur yang diganti. Contoh penerapannya sebagai berikut: (1)
Aja mateni kewan yen lagi mbobot.
‘Jangan membunuh hewan jika sedang hamil’ (2)
Ora ilok bocah dilem.
‘Tidak pantas bayi dipuji’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk mengatahui kadar keintian salah satu unsur, salah satu unsur yang dimaksud dihilangkan atau dilesapkan, yang hasilnya sebagai berikut: (1a) Ø mateni kewan yen lagi mbobot. ‘Ø membunuh hewan jika sedang hamil’ (2a) Ø bocah dilem. ‘Ø bayi dipuji’ Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa unsur aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ merupakan unsur inti yang tidak dapat dihilangkan maupun dilesapkan. Karena jika dihilangkan atau dilesapkan, maka kalimat itu menjadi tidak gramatikal dan maknanya menjadi berbeda. Sedangkan jika menggunakan teknik ganti, hasilnya akan menjadi seperti ini: (1b)
ndeloki Aja
* mateni
kewan yen lagi mbobot.
ngopeni melihat ‘ Jangan
*membunuh
hewan jika sedang hamil.’
memelihara (2b)
digendhong Ora ilok bocah
disunggi *dilem digendong
‘ Tidak pantas anak
dipanggul
‘
*dipuji commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis kalimat (1b) dan (2b) di atas dengan teknik ganti menunjukka bahwa kalimat tersebut masih berterima namun tidak menunjukkan GT yang dimaksud. 2. Metode Padan Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji untuk menentukan identitasa satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1993: 13). Adapun penerapannya antara lain sebagai berikut:
(1)
Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
Fungsi dari GT ini adalah pelajaran dari dua segi, yaitu pendidikan etika/moral dan pendidikan kesehatan. Dari segi moral, menurut konsepsi Jawa, meletakkan anak lebih tinggi dari orang tua atau membiarkan anak memegang kepala orang tuanya secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa kedudukan anak lebih tinggi daripada orang tua, maka ketika dewasa si anak akan kurang ajar dengan orangtuanya. Sedangkan dari segi kesehatan, memanggul bayi akan membahayakan jiwa si bayi karena lemah dalam hal keamanan.
Makna gramatikal : tidak pantas bayi digendong di pundak, nanti berani dengan orang tuanya.
Makna kultural : orang tua pasti ingin menyenangkan hati anaknya, salah satu caranya adalah dengan menggendongnya di atas pundak, karena biasanya si anak akan senang. Tetapi ternyata hal ini tidak diperbolehkan karena menurut nasihat orang tua Jawa, si bayi kelak akan berani melawan orang tuanya jika sudah dewasa. Pemaknaan secara kultural yang didapatkan dari masyarakat demikian, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tetapi mungkin ada benarnya juga orang tua memberi nasehat, karena anak kecil yang banyak bergerak secara tiba-tiba itu mungkin saja terlepas dari pegangan orang tuanya ketika sedang digendong diatas bahu. Secara logika hal ini dikarenakan ketika berada di atas bahu, pengamanan dan kecekatan tangan orang tua berkurang, dan tidak berada dalam jangkauan mata si penggendong, terlebih si bayi berada di ketinggian jauh diatas tanah, ketika jatuh hal ini bisa berakibat fatal. Oleh karena itu menggendong diatas bahu tidak diperbolehkan karena dari segi manapun tidak aman.
(2) Ora ilok bayi disawung. Fungsi dari GT ini adalah untuk pendidikan kesehatan dan etika/moral. Menurut orang tua Jawa, menggendong dengan selendang akan mengeratkan tali batin antara ibu-anak. Maka memang seharusnya seorang ibu menjaga anaknya dengan sepenuh hati, selalu mendekatkan kepada anaknya agar kelak ketika si anak dewasa, hubungan antara ibu dan anak tetap erat terjaga. Sedangkan dari segi kesehatan, hal ini akan menjaga si bayi yang banyak bergerak agar tidak mudah terlepas dari gendongan bagitu saja. Makna gramatikal: tidak pantas bayi digendong tanpa selendang. Makna kultural dalam GT tersebut adalah bahwa kita harus selalu menggendong bayi dengan memakai selendang (disawung: nggendhong tanpa lendhang) karena: 1)
Bayi akan terlepas dan jatuh dengan mudah jika tidak diikat ke badan kita.
2)
Menurut orang tua jaman dahulu, menggendong dengan selendang akan mengikat erat batin si bayi dengan batin kita, sehingga akan selalu ada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kontak batin yang kuat antara ibu denagn si anak sampai si anak dewasa kelak. 3)
Oleh orang Jawa, menggendong dengan selendang dipercaya agar si bayi tidak mudah terlepas dalam artian diambil keatas (meninggal) sewaktuwaktu. (wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010)
(3) Ora ilok bayi diajak nyapu. Fungsi dari GT ini adalah sebagai pendidikan kesehatan. Jika kita sedang melakukan pekerjaan yang kotor, maka sebaiknya tidak mengajak serta si bayi karena tentu saja si bayi dapat terkena kotoran yang ditimbulkan. Dalam hal ini menyapu yang menimbulkan debu dapat mengganggu pernapasan bayi yang masih rentan. hal ini dapat membuat bayi menjadi asma atau flu, maupun masalah pencernaan. Makna gramatikal: tidak pantas bayi diajak menyapu (digendong sambil menyapu). Makna kultural dalam GT ini adalah bahwa kita jangan pernah menggendong si bayi sambil menyapu karena: 1)
Debu yang tersapu akan terhirup si bayi sehingga dapat menyebabkan gangguan pernapasan si bayi yang masih halus.
2)
Menurut orang tua Jawa, menyapu sambil menggendong bayi akan menyebabkan si bayi jatuh ketika memanjat kelak jika ia sudah dewasa. (wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Metode penyajian analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris
hidup pada penutur-
penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62). Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata sederhana sebagai pembantu dalam memahami hasil analisis data tersebut. Sedangkan metode formal adalah metode penyajian data dengan mencantumkan dokumen tentang data sebagai lampiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PEMBAHASAN
A. Bentuk Subbab ini akan menganalisis bentuk GT untuk mengetahui kadar keintian suatu unsur kalimat, kegramatikalan dan berterima tidaknya kalimat tersebut. 1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ Sebagai Penanda Kalimat Larangan. GT yang menggunakan pewatas aja „jangan‟ antara lain: (1) Aja ngombe es „jangan minum es‟, (2) Aja mateni utawa nyiksa kewan „jangan membunuh atau menyiksa hewan‟, (3) Aja ngethok rambut „jangan memotong rambut‟, (4) Aja mangan sing panas-panas „jangan makan yang panas-panas‟, (5) Aja njitheti utawa ndondomi kathok „jangan minisik atau menjahit celana‟. Data (1) sampai (5) akan dianalisis menggunakan teknik ganti untuk mengetahui kadar keintian pewatas aja „jangan‟ sebagai penanda kalimat larangan. (1a)
*Aja Ampun
(2a)
*Aja
ngombe es.
„
*Jangan Jangan
mateni utawa nyiksa kewan.
Ampun „ *Jangan
membunuh atau menyiksa hewan.‟
Jangan
commit to user
minum es.‟
perpustakaan.uns.ac.id
(3a)
*Aja
digilib.uns.ac.id
ngethok rambut.
„ *Jangan
Ampun (4a)
*Aja
Jangan mangan sing panas-panas.‟ * Jangan
Ampun (5a)
memotong rambut.‟
makan yang panas-panas.‟
Jangan
*Aja njitheti utawa ndondomi kathok.‟ *Jangan menisik atau menjahit celana.‟ Ampun
Jangan
Dari analisis diatas kata aja „jangan‟ tidak dapat diganti dengan kata ampun „jangan‟ walaupun bermakna sama. Karena jika diganti maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Selanjutnya data (1b) sampai (5b) akan dengan teknik ganti. Adapun yang akan dianalisis adalah objek dari kalimat GT tersebut. (1b) Aja ngombe
„Jangan minum
*es banyu
*es
„
air „Jangan membunuh atau menyiksa *hewan „
(2b) Aja mateni utawa nyiksa *kewan kebo
kerbau „Jangan memotong *rambut „
(3b) Aja ngethok *rambut kain (4b) Aja mangan sing
kain
*panas-panas
Jangan memakan yang
kecut-kecut (5b) Aja njithethi utawa ndondomi
*panas-panas asam-asam
*kathok sarung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Jangan munutup atau menjahit
digilib.uns.ac.id
*celana sarung
Analisis data (1b) sampai (5b) menunjukkan hasil yang gramatikal namun tidak berterima serta tidak menunjukkan GT walaupun kata yang digunakan mempunyai arti yang hampir sama. Kalimat (1c) sampai (5c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu pewatas aja „jangan‟ jika digantikan dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟. (1c)
*Aja *Ora ilok
* Jangan ngombe es.
*Tidak pantas
*Ora becik (2c)
(3c)
(4c)
(5c)
*Aja
minum es.
*Tidak baik mateni utawa nyiksa kewan. * Jangan
* Ora ilok
*Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik
*Aja
ngethok rambut.
*Jangan *Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik mangan sing panas-panas.
* Jangan
*Ora ilok
*Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik
*Aja
njitheti utawa ndondomi kathok.
menyiksa hewan.
memotong rambut.
*Ora ilok
*Aja
membunuh atau
makan yang panas-panas.
* Jangan
menutup atau
*Ora ilok
*Tidak pantas
menjahit celana.
*Ora becik
*Tidak baik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1c) samapi dengan (5c) menunjukkan bahwa setelah pewatas aja „jangan‟ diganti dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟ hasilnya tetap berterima, gramatikal dan menunjukkan GT. Dengan begitu frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟ dapat menggantikan fungsi pewatas aja „jangan‟. Selanjutnya teknik lesap akan digunakan untuk menganalisis data (1d) sampai (5d). adapun yang akan dianalisis adalah pewatas aja „ jangan‟. (1d) Ø ngombe es.
„Ø minum es.‟
(2d) Ø mateni utawa nyiksa kewan.
„Ø membunuh atau menyiksa hewan.‟
(3d) Ø ngethok rambut.
„Ø memotong rambut.‟
(4d) Ø mangan sing panas-panas.
„Ø memakan yang panas-panas.‟
(5d) Ø njitheti utawa ndondomi kathok.
„Ø menutup atau menjahit celana.‟
Setelah dinalisis dengan teknik lesap, data (1d) sampai (5d) tetap menunjukkan kalimat yang gramatikal dan berterima, tetapi bukan merupakan GT. Oleh karena itu pewatas aja „jangan‟ adalah penenda yang wajib hadir dalam kalimat larangan. Yang akan dinalisis selanjutnya adalah verba dalam kalimat diatas. (1e) Aja Ø es.
„jangan Ø es.‟
(2e) Aja Ø kewan.
„jangan Ø hewan.‟
(3e) Aja Ø rambut.
„jangan Ø rambut.‟
(4e) Aja Ø sing panas-panas.
„jangan Ø yang panas-panas.‟
(5e) Aja Ø kathok.
„jangan Ø celana.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1e) sampai (5e) dengan menggunakan teknik lesap hasilnya dalah tidak berterima dan tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Namun untuk nomer (4e) tetap menunjukkan kalimat yang gramatikal dan berima.
2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Sebab Akibat. GT selain menggunakan kata aja „jangan‟ juga menggunakan kata mundhak „nanti‟ sebagai kalimat yang akan menjelaskan suatu akibat yang akan terjadi dari suatu sebab. Kata „nanti‟ di sini bukan menunjukkan kata ganti waktu, namun menunjukkan akibat dari suatu perbuatan. GT yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: (6) Aja nyingkirake apa-apa
nganggo sikil,
mundhak bayine lair
sungsang
„jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)‟ (7) Aja mangan godhong kates, mundhak ari-arine remuk „jangan makan daun pepaya, nanti ari-arinya hancur‟ (8) Aja turu yen bar nglairke, mundhak kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti trans (keadaan tidak sadar hingga dapat menjadi gila atau meninggal)‟ (9) Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan yang pedas, nanti anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟. Dalam analisis kalimat sebelumnya, pewatas aja „jangan‟ tidak dapat diganti ataupun dihilangkan karena itu adalah esensi dari kalimat larangan. Maka pada subbab ini yang akan dianalisis adalah kata mundhak „nanti‟ yang menandakan sebab akibat dari suatu kalimat. Data (6a) sampi (9a) akan dinalisis menggunakan teknik ganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(6a) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, *mundhak
bayine lair sungsang.
mengko „Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, *nanti
bayinya lahir sungsang‟
nanti (7a) Aja mangan godhong kates, *mundhak
ari-arine remuk.
mengko „Jangan makan daun pepaya,
*nanti
ari-arinya hancur‟
nanti (8a) Aja turu yen bar nglairke, *mundhak
kelindheh.
mengko „Jangan tidur sehabis melahirkan, *nanti
trans‟
nanti (9a) Aja mangan pedhes, *mundhak
bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
mengko „Jangan makan pedas
*nanti nanti
anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟
Dari hasil analisis diatas, data (6a) sampai (9a) kalimatnya tetap gramatikal dan berterima, namun kata mundhak „nanti‟ tidak dapat diganti dengan kata mengko „nanti‟ walaupun artinya sama. Maka jika kata mundhak „nanti‟ diganti, kalimat tersebut tidak akan menunjukkan kalimat GT. Selanjutnya data (6b) sampai (9b) akan dianalisis objek di belakang kata mundhak. (6b) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak *bayine bocahe commit to user
lair sungsang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
„Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti *bayinya
lahir sungsang‟
anaknya (7b) Aja mangan godhong kates, mundhak
*ari-arine
remuk.
ususe „Jangan makan daun pepaya, nanti *tembuninya
hancur‟
ususnya (8b) Aja turu yen bar nglairke, mundhak *kelindheh keturon „Jangan tidur sehabis melahirkan, nanti
*trans
„
ketiduran (9b) Aja mangan pedhes, mundhak *bayine
ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
bocahe „Jangan makan yang pedas, nanti *bayinya
ada biji cabainya, atau matanya
anaknya
selalu mengeluarkan kotoran‟
Dari analisis data (6b) sampai (9b) diatas, menunjukkan bahwa data (6b), (7b), (9b) tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT yang dimaksudkan. Sedangkan data (8b) tidak gramatikal, tidak berterima, serta tidak menunjukkan GT. Selanjutnya kata mundhak „nanti‟ pada data (6c) sampai (9c) akan dianalisis dengan menggunakan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut. (6c) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, Ø bayine lair sungsang „jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, Ø bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(7c) Aja mangan godhong kates, Ø ari-arine remuk „jangan makan daun pepaya, Ø ariarinya hancur‟. (8c) Aja turu yen bar nglairke, Ø kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, Ø trans (keadaan tidak sadar hingga dapat menjadi gila atau meninggal)‟. (9c) Aja mangan pedhes, Ø bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan yang pedas, Ø anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟. Dari hasil analisis diatas dapat dilihat bahwa kata mundhak „nanti‟ jika dilesapkan menjadi tidak berterima, tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Oleh karena itu dapat disimpulkan kata mundhak „nanti‟ adalah kata yang wajib ada dalam kalimat larangan yang menunjukkan sebab-akibat. Selanjutnya verba atau nomina yang berada di belakang kata mundhak „nanti‟ yang akan dianalisis dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut: (6d) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak Ø lair sungsang „jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti Ø lahir sungsang (kakinya keluar terlebih dahulu)‟. (7d) Aja mangan godhong kates, mundhak Ø remuk „jangan makan daun pepaya, nanti Ø hancur‟. (8d) Aja turu yen bar nglairke, mundhak Ø „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti Ø‟ (9d) Aja mangan pedhes, mundhak Ø ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan yang pedas, nanti Ø ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟. Dari data (6d) sampai (9d) setelah dinalisis ternyata hasilnya menunjukkan bahwa data (7d) dan (9d) berterima namun tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Pada data (6d) menunjukkan hasil yang berterima, namun tidak gramatikal tetapi tetap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunjukkan GT. Sedangkan pada data (8d) verba setelah kata mundhak „nanti‟ tidak dapat dihilangkan atau dilesapkan. Karena jika dilesapkan, maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berima.
3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat. GT dalam penyampaiannya ada juga yang menggunaka kata aja „jangan‟ pada awal kalimat dan frasa ora ilok „tidak pantas‟ pada akhir kalimat dalam satu kalimat. Tetapi kata dan frasa ini tidak dapat dipertukarkan letaknya karena kalimatnya akan menjadi tidak berterima dan tidak gramatikal. Data (10a) sampai (12a) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu kata aja „jangan‟ untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut. (10a) Aja *mincuk
godhong bekas, ora ilok. „Jangan *memincuk
membungkus tidak pantas‟
mbungkus
(11a) Aja
*mbunteti
leng tikus, ora ilok. „Jangan
ngurugi (12a) Aja
*adus
daun bekas,
*menutup menutup
wengi-wengi, ora ilok. „Jangan
ngumbahi
*mandi mencuci
lubang tikus, tidak pantas‟ malam-malam, tidak pantas‟
Dari analisis diatas dapat dilihat bahwa data (10a) – (12a) setelah dianalisis hasilnya tetap gramatikal dan berterima namun tidak menunjukkan kalimat GT. Lalu data (10b) – (12b) akan dianalisis objek atau adverbia di belakang verba. Hasilnya adalah sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(10b) Aja mincuk *godhong bekas , ora ilok. „Jangan memincuk *daun bekas , tidak kertas bekas pantas‟
kertas bekas
(11b) Aja mbunteti
*leng tikus
ora ilok. „Jangan
angin-angin (12b) Aja adhus
*lubang tikus
, tidak pantas.‟
lubang angin
*wengi-wengi , ora ilok. „Jangan *malam-malam esuk-esuk
, tidak pantas‟
pagi-pagi
Analisis da (10b) – (12b) diatas menunjukkan jika objek atau adverbianya diganti, maka kalimat tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT. Selanjutnya data (10b) – (12b) diatas akan dilesapkan penanda negasinya untuk mengetahui kadar keintiannya. (10b) Ø mincuk godhong bekas, ora ilok. „Ø memincuk daun bekas, tidak pantas‟. (11b) Ø mbunteti leng tikus, ora ilok. „Ø menutup lubang tikus, tidak pantas‟. (12b) Ø adhus wengi-wengi, ora ilok. „Ø mandi malam-malam, tidak pantas‟. Analisis diatas menunjukkan bahwa pewatas aja „jangan‟ jika dihilangkan maka kalimatnya masih tetap gramatikal, tetapi tidak berterima. Namun begitu masih tetap menunjukkan kalimat GT. Dengan kata lain tanpa pewatas aja „jangan‟ pun masih tetap dapat diucapkan dan mitra tutur mengerti bahwa itu termasuk dalam salah satu GT.
4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’. Sebagai kalimat perintah yang juga merupakan kalimat larangan, GT juga menggunakan frasa ora ilok sebagai penandanya. Biasanya frasa tersebut digunakan di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
depan kalimat. Kalimat-kalimat yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: (13) Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu „tidak pantas menggendong bayi sambil menyapu‟ (14) Ora ilok bayi dijak ngaca „tidak pantas bayi diajak berkaca‟ (15) Ora ilok bayi dilem „tidak pantas bayi dipuji‟. Yang akan dianalisis pertama kali adalah frasa ora ilok „tidak pantas‟ untuk menentukan kadar keintian penanda negasi tersebut. Data (13a) sampai (15a) akan dianalisis menggunakan teknik lesap. (13a)
*ora ilok nggendhong anak disambi nyapu. „*tidak pantas menggendong anak ora becik ora oleh
(14a)
(15a)
* ora ilok
tidak boleh bayi dijak ngaca.
„
*tidak pantas
ora becik
tidak baik
ora oleh
tidak boleh
*ora ilok
sambil menyapu‟
tidak baik
bayi dilem.
„
*tidak pantas
ora becik
tidak baik
ora oleh
tidak boleh
bayi diajak berkaca‟
bayi dipuji‟
Hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa jika frasa ora ilok diganti dengan ora becik atau ora oleh, maka kalimatnya tetap gramatikal dan berterima. Jika diganti dengan ora oleh, menjadi tidak termasuk dalam GT. Namun ora becik dapat menggantikan ora ilok dan tetap menjadi GT karena dua frasa tersebut sejajar dan hampir sama artinya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data (13b) sampai (15b) akan dianalisis verba dalam kalimat tersebut dengan teknik ganti. (13a) Ora ilok
*nggendhong anak disambi nyapu. nyangking
„Tidak pantas
*menggendong
anak sambil menyapu „
membawa (14a) Ora ilok bayi dijak
*ngaca
„Tidak pantas bayi diajak
dandan (15a) Ora ilok bayi
* dilem
.
*berkaca
„
bersolek „Tidak pantas bayi
dilokne
*dipuji
.
dikatai
Setelah data (13b) – (15b) dianalisis, hasilnya data (13b) dan (14b) tidak gramatikal dan tidak berterima. Tetapi pada data (15b) kalimatnya gramatikal, berterima serta menunjukkan GT. Selanjutnya data (13c) – (15c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu frasa ora ilok dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut: (13c) Ø nggendhong anak disambi nyapu „Ø menggendong bayi sambil menyapu‟. (14c) Ø bayi dijak ngaca „Ø bayi diajak berkaca‟. (15c) Ø bayi dilem „Ø bayi dipuji‟. Setelah dianalisis, ternyata data (13c) – (15c) tetap berterima dan gramatikal serta menunjukkan GT. Dengan kata lain frasa ora ilok tidak wajib hadir dalam tuturan langsung untuk menangkap maksud si penutur bahwa kalimat tersebut adalah piwulang untuk dilaksanakan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian data (13d) – (15d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap. (13) Ora ilok nggendhong Ø disambi nyapu „tidak pantas menggendong Ø sambil menyapu‟. (14) Ora ilok Ø dijak ngaca „tidak pantas Ø diajak berkaca‟. (15) Ora ilok Ø dilem „tidak pantas Ø dipuji‟. Setelah dilesapkan objeknya, ternyata data (13d) gramatikal dan berterima serta masih menunjukkan GT. Sedangkan (14d) dan (15d) tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT.
5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan. Dalam GT yang diucapkan secara langsung dari penutur kepada mitra tutur biasanya ada juga kalimat yang diucapkan dengan kata yen „kalau‟. Tuturan yang menggunakan kalimat perumpamaan ini antara lain: (16) Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting „kalau bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting‟, (17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten „kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin‟, (18) Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi „kalau menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi‟, (19) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol „kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok‟, (20) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah „kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data (16a) – (20a) akan dinalisis kata penanda kalimat perumpamaannya, yaitu kata yen „kalau‟. Hasilnya adalah sebagai berikut: (16a)
*Yen
lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
* Nek Umpami „
*Kalau
bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting‟
*Kalau Kalau (17a)
*Yen * Nek
ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten.
Umpami „ *Kalau *Kalau
mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin‟
Kalau (18a)
*Yen
tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi.
*Nek Umpami „
*Kalau
menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi‟
*Kalau Kalau (19a)
*Yen
nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
*Nek Umpami commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
„
*Kalau
digilib.uns.ac.id
punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok‟
*Kalau Kalau (20a)
*Yen
durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.
*Nek Umpami „
*Kalau
belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟
*Kalau Kalau Dilihat dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa kata nek „kalau‟ dapat menggantikan kata yen „kalau‟ Karena mempunyai arti yang sama dan sejajar. Sedangkan jika diganti dengan kata umpami „kalau‟, maka kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT karena kedua kata tersebut tidak sejajar walaupun mempunyai arti yang sama. Selanjutnya objek nomina pada data (16b) –(20b) akan dianalisis menggunakan teknik ganti. (16b) Yen lelungan aja lali nggawa
*dlingo bengle
karo gunting.
kunir asem beras kencur
„Kalau bepergian jangan lupa membawa *dlingo bengle kuyit asam beras kencur commit to user
dan gunting.‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(17b) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne
*kembang manten , ben ora katutan keris manten
sawan manten.
kembar mayang „Kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan
*bunga pengantin
, biar tidak
keris pengantin kembar mayang diikuti sawan pengantin.‟ (18b) Yen tilik bayi kudu dijalukne
*bedak bayi
.
minyak telon „Kalau menjenguk bayi harus dimintakan
*bedak bayi.
„
minyak telon (19b) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti
*rambute
brodol.
idepe „Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti
*rambutnya
rontok.‟
bulu matanya (20b) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka
„
*omah kamar latar
„Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari
*rumah kamar halaman
commit to user
„
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (16b) – (20b) diatas menunjukkan hasil yang gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT walaupun kata yang diganti memiliki arti yang sejajar. Selanjutnya kata yen „kalau‟ pada data (16c) – (20c) akan dianalisis menggunakan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut: (16) Ø lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting. „Ø bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting.‟ (17) Ø ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten. „Ø mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin.‟ (18) Ø tilik bayi kudu dijalukne bedak bayi. „Ø menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi.‟ (19) Ø nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodol. „Ø punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok.‟ (20) Ø durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah. „Ø belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah.‟ Analisis diatas menunjukkan bahwa jika kata yen
„kalau‟ dilesapkan, maka
kalimatnya tetap gramatikal, berterima dan menunjukkan GT. Data (16d) – (20d) akan dianalisis verbanya juga menggunkana teknik lesap. Dan hasilnya adalah sebagai berikut: (16) Yen lelungan aja lali Ø dlingo bengle karo gunting. „Kalau bepergian jangan lupa Ø dlingo bengle dan gunting.‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu Ø kembang manten, ben ora katutan sawan manten. „Kalau mengajak bayi ke kondangan harus Ø bunga pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin.‟ (18) Yen tilik bayi kudu Ø bedak bayi. „Kalau menjenguk bayi harus Ø bedak bayi.‟ (19) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute Ø. „Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya Ø.k (20) Yen durung selapan anake ora oleh Ø metu saka omah. „Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh Ø keluar dari rumah.‟ Hasil analisis data diatas menunjukkan data (17d), (18d), dan (19d) tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Namun data (16d) dan (20d) tetap berterima dan gramatikal serta bermakna GT.
6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan serta Kata mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat. Selain GT yang menggunakan kata yen „kalau‟ atau nek „kalau‟ saja, ada juga yang menggunakan kata mundhak „nanti‟ untuk memberi tahu akibatnya. Kalimatkalimat tersebut antara lain: (21) Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel „kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit‟, (22) Yen mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet „kalau makan jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket‟, (23) Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani „kalau datang ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa hal buruk‟, (24) Yen bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden „kalau bayinya belum dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟. Karena pada subbab 5 di atas telah dinalisis bahwa kata yen „kalau‟ dan nek „kalau‟ adalah sejajar dan dapat saling menggantikan, maka pada subbab ini tidak akan dianalisis lagi. Pada data (21a) – (24a) di bawah akan dianalisis verbanya untuk mengetahui kadar keintiannya. Dan hasilnya adalah sebagai berikut: (21a) Nek
*mangan
aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel.
dhahar „Kalau
*makan
jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.‟
makan (22a) Yen
*mangan
aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet.
ngombe „Kalau
*makan
jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket.‟
minum (23a) Yen
*mara
neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
teka
„Kalau
mundhak nyawani.
*datang
ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang
datang
buruk-buruk, nanti membawa hal buruk.‟
(24a) Yen bayine
*durung
rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
dereng commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
„Kalau bayinya
digilib.uns.ac.id
*belum
dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti terkena herpes.‟
belum
Setelah dianalisis ternyata menunjukkan data (21a) dan (24a) tidak gramatikal dan tidak berterima karena merupakan ragam bahasa yang berbeda, serta tidak menunjukkan GT. Sedangkan data (22a) gramatikal dan berterima namun tidak menunjukkan GT. Pada data (23a) hasil menunjukkan gramatikal dan berterima serta tetap menunjukkan GT. Selanjutnya data (21b) – (24b) akan dinalisis objeknya menggunakan teknik ganti. Dan hasilnya adalah sebagai berikut: (21b) Nek mangan aja neng ngarep
*lawang
, mundhak nglairne angel.
omah „Kalau makan jangan di depan
*pintu
, nanti melahirkannya sulit.‟
rumah (22b) Yen mangan aja nganggo
*pincuk
, mundhak ari-arine kelet.
piring „Kalau makan jangan memakai
*takir
, nanti ari-arinya lengket.‟
piring (23b) Yen mara neng ngomahe
*wong mbobot
ora oleh ngomong sing ala-ala,
wong nglairake „Kalau datang ke rumah
*orang hamil
mundhak nyawani. tidak boleh berbicara yang
orang melahirkan
buruk-buruk, nanti membawa hal buruk.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(24b) Yen bayine durung rong taun
digilib.uns.ac.id
*abrakane
aja dibakari, mundhak suleden.
bandhane „Kalau bayinya belum dua tahun
*barang-barangnya
jangan dibakar, nanti
hartanya
kulitnya terbakar.‟
Setelah dianalisis, data (21b) – (24b) ternyata hasilnya data (22b) dan (24b) tidak garamatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Sedangkan data (21b ) dan (23b) gramatikal, berterima serta tetap menunjukkan GT karena ada GT yang menyatakan demikian. Lalu data (21c) – (24c) akan dianalisis penanda kalimat perumpamaannya, yaitu kata nek „kalau‟ dan yen „kalau‟ menggunakan teknik lesap. Hasilnya dalah sebagai berikut: (21c) Ø mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel. „Ø makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.‟ (22c) Ø mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet. „Ø makan jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket.‟ (23c) Ø mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani. „Ø datang ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang burukburuk, nanti membawa hal buruk.‟ (24c) Ø bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden. „Ø bayinya belum dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dilihat dari analisis data (21c) – (24c) diatas, dapat disimpulkan jika kata yen „kalau‟ atau nek „kalau‟ dilesapkan, maka kalimatnya tetap berterima namun tidak gramatikal, tetapi tetap menunjukkan GT yang dimaksud. Sedangkan data (24c) hasilnya tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT, karena jika kata yen „kalau‟ dihilangkan maka kalimatnya akan diawali dengan nomina dan bukan verba. Selanjutnya data (21d ) – (24d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap. Hasilnya sebagai berikut: (21) Nek mangan aja neng ngarep Ø, mundhak nglairne angel. „Kalau makan jangan di depan Ø, nanti melahirkannya sulit.‟ (22) Yen mangan aja nganggo Ø, mundhak ari-arine kelet. „Kalau makan jangan memakai Ø, nanti ari-arinya lengket.‟ (23) Yen mara neng ngomahe Ø ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani. „Kalau datang ke rumah Ø tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa hal buruk.‟ (24) Yen bayine durung rong taun Ø aja dibakari, mundhak suleden. „Kalau bayinya belum dua tahun Ø jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟. Hasil analisis data (21d) – (24d) diatas menunjukkan bahwa jika objeknya dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT yang dimaksud.
B. Fungsi Kepribadian Jawa yang introvert membuat masyarakatnya tidak menuturkan sesuatu yang dimaksud secara eksplisit. Ada beberapa factor yang melatar belakanginya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu ucapan orang tua yang netesi, dan pendidikan agar anaknya bisa menggunakan akalnya untuk mencerna perkataan orang tuanya, membuat sastra lisan ini menjadi bersifat kiasan. Adapun fungsi-fungsi GT akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab ini. 1. Pendidikan Kepercayaan. Kejawen dapat digolongkan ke dalam animisme dan dinamisme karena kejawen mempercayai adanya roh-roh dan nyawa dalam sebuah batu, pohon, hewan dan benda-benda lainnya. Kejawen mempunyai ritual-ritual atau tradisi khusus sebagai perwujudan dalam
menghormati roh-roh tersebut. Ucapan syukur itu dilakukan
dalam banyak kesempatan melalui sesuatu yang simbolis. Cara itu dilakukan agar Tuhan tidak melaknat, roh-roh tidak merasa terganggu lalu marah karena mereka melakukan kesalahan. Selain itu ada juga yang disebut slametan yaitu pengucapan syukur kepada Tuhan dan roh-roh halus atas apa yang telah mereka beri untuk mencapai sesuatau dan pengharapan untuk pencapaian selanjutnya. Namun selain roh-roh yang menguntungkan ini, roh-roh tersebut bias juga berubah merugikan karena menurut mereka manusia telah melakukan kesalahan pada mereka. Oleh karena itu terkadang masyarakat Jawa juga memberikan sesajen atau ritual pengusiran untuk gejala yang disebut dengan kesurupan. GT yang termasuk dalam pendidikan religi ini diantaranya: (1) Pas meteng sangang sasi, yen meh wayahe nglairake kudu diselameti jenang prucut, pas dina Setu Wage. Selamatan yang diadakan mempunyai maksud simbolis agar kelahirannya dapat berjalan dengan cepat, lancar dan selamat. Dengan maksud bersyukur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada Tuhan, berbagi dengan sesama, serta memohonkan doa untuk bayi yang akan dilahirkan serta keselamatan yang telah diberikan. Jenang prucut sendiri yaitu berupa tepung beras yang diberi santan dan gula Jawa (disebut jenang abang), lalu di tengahnya diberi pisang Raja yang sudah dikukus terlebih dahulu.. selanjutnya si calon ibu akan menumpahkan piring yang berissi jenang prucut ini untuk kemudian diterima si calon ayah dengan piring pula. Prosesi ini menyimbolkan agar kelahirannya berjalan dengan lancar dan mudah, dan saat keluar akan diterima oleh sang ayah dengan suka cita. Acara ini sebaiknya diadakan pada hari Setu Wage, dengan harapan yen metu ndang gage „kalau keluar agar cepat‟. (2) Wiwit bayine lahir, aja lali sandhikke didokoki dlingo bengle, kaca pangilon, jongkat, gunting, karo seblak. Seperti telah disebutkan di atas, selain menguntungkan untuk masyarakat Jawa, roh-roh halus ini ada juga yang merugikan bagi kehidupan mereka. Mereka dipercaya dapat melakukan gangguan-gangguan jika makhlus halusmakhluk halus ini merasa diganggu oleh manusia. Yang sering melihat penampakan makhluk halus ini sudah tentu bayi yang mana penglihatannya masih awas dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu bayi diberi „senjata‟ agar ia tidak diganggu oleh roh-roh yang jahat ini. Maka setelah ia lahir, di samping tempat tidurnya diletakkan dlingo bengle, cermin, sisir, gunting dan sapu ijuk (sebagai pembersih kasur). Menurut orang Jawa dlingo bengle dapat mengusir makhluk halus dikarenakan baunya yang sangat sangit, membuat para makhluk halus tidak suka akan baunya. Jika hal ini tidak bekerja, masih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada cermin yang akan membuat setan-setan itu takut sendiri jika melihat wajahnya. Namun kalau masih tidak mempan, sisir dan gunting akan melukai mereka jika berani mendekat. Sapu ijuk menyimbolkan kakek nenek buyut si bayi yang sudah meninggal yang akan terus menjaga si bayi dari gangguan halus. Begitulah kepercayaan masyarakat Jawa jika ada roh-roh halus yang akan mengganggu. (3) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora kena sawan manten. Di dalam perayaan pernikahan, biasanya dukun pengantin meminta bantuan roh-roh melalui mantera yang diucapkan dan ritual-ritual agar perayaan yang diampunya berjalan dengan lancar. Roh-roh halus yang berada dalam acara ini bisa saja terlihat oleh bayi yang masih awas atau bahkan dapat mengikuti si bayi. Oleh karena itu si bayi harus dimintakan bunga yang biasa dipakai oleh si pengantin yang biasanya berupa bunga Melati untuk kemudian dilumatkan dan dioleskan di ubun-ubun si bayi. Hal ini dilakukan agar roh-roh halus yang berniat mengganggu si bayi tidak mengikuti dan melakukan perbuatannya. (4) Yen lunga adoh, aja lali nggawa lemah saka batir ben bayine betah. Jika si bayi akan dibawa pergi jauh dalam waktu yang lama atau dibawa pindah, disarankan untuk membawa tanah dari tempat dikuburnya tali plasenta si bayi. Tanah ini dimasukkan ke dalm plastik, untuk kemudian diletakkan di bawah tempat tidur si bayi di perantauan. Hal ini dilakukan agar si bayi betah, tidak rewel di manapun dia berada. Menurut orang Jawa, tanah tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
simbol dari adik spiritual si bayi yang akan terus menjaga kakaknya dari gangguan halus di manapun dia berada. Selain itu mungkin maksudnya jika kelak si bayi sudah besar diharapkan agar si anak tidak lupa akan asalnya, tanah Jawa yang telah memberinya budaya yang luhur ini.
2. Pendidikan Etika/Moral. Dalam budaya Jawa yang luhur, terselip berbagai pendidikan yang dapat dijadikan bekal hidup sampai tua. Pendidikan tersebut dituangkan dalam nasihat/petuah yang diajarkan kepada anak keturunannya. Perilaku Jawa yang halus, perasa dan sensitif tercermin dari GT sekaligus ajaran yang terkandung di dalamnya yang dismpaikan dengan sangat halus. Si anakpun akan menangkap maksud orang tuanya. Apalagi ajaran ini disampaikan agar kualitas keturunannya tidak bobrok dan tetap mempunyai jiwa Jawa. Etika ini disampaikan dalam banyak aspek kehidupan yang diselipkan pada etika makan, sopan santun, kemanusiaan dan lain-lain. Kesemuanya itu untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan sesama, alam dan kehidupan. Berikut akan dijelaskan GT yang termasuk dalam pendidikan ini: (1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang. Tuhan menganugerahi kita setiap bagian tubuh kita dengan tugasnya masing-masing. Tangan kita yang berada di bagian atas tubuh digunakan untuk melakukan tugas yang bersih dan dapat dilakukan dengan sempurna karena jempolnya terpisah sehingga dapat menggenggam dengan baik. Kaki adalah bagian tubuh yang digunakan untuk berjalan, maka dari itu berada di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bawah, hingga semua kotoran menempel padanya dan pekerjaan yang dilakukan pun terkadang tidak sempurna. Oleh karena itu mengapa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kita diharuskan memakai tangan. Karena lebih sopan dan pasti pekerjaannya akan selesai dengan baik. Terlebih lagi jika wanita mengangkat kaki di depan umum, bisa dibayangkan ada bagian tubuh yang tidak seharusnya dilihat umum. Dan tentunya bagi ibu hamil, jika bertumpu hanya dengan satu kaki karena kaki yang lain sedang bekerja, hal itu dapat mengurangi keseimbangnnya. Padahal janin masih rawan benturan di dalam, dapat menyebabkan keguguran pada usia kandungan tertentu atau kemungkinan cacat jika ia lahir kelak. Oleh karena banyak hal tersebut diatas, maka orang tua tidak memperbolehkan anaknya yang sedang hamil untuk menyingkirkan sesuatu dengan kaki dengan pitutur sinandi nanti bayinya dapat lahir sungsang. (2) Aja mbunteti leng tikus. Seperti banyak dijabarkan pada penelitian ini bahwa kehidupan Jawa yang lekat dengan harmoni kehidupan alam semesta selalu diajarkan agar anak cucunya tidak pernah lupa akan hal tersebut. Nasihat tersebut dituangkan ke dalam salah satu GT agar tidak mengganggu kehidupan makhluk lain, walaupun itu hanya tikus, karena tikus juga makhluk bernyawa ciptaan Tuhan. Oleh karena itu orang tua kira mengajarkan untuk menghargai nyawa makhluk lain karena makhluk hidup mempunyai „karma‟ untuk dibalaskan. Percaya atau tidak, wanita hamil atau suaminya yang menutup lubang rumah tikus dengan maksud agar si tikus tidak dapat keluar, biasanya persalinannya akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sulit dan si jabang bayi tidak segera keluar. Namun setelah lubang tikus tersebut dibuka, ajaibnya si jabang bayi segera lahir. Terlepas dari contoh peristiwa diatas, secara logis mungkin hanya karena menurut kejiwaan si ibu yang tertekan karena tahu jika mempersulit makhluk lain adalah kesalahan, hal ini memberikan kita pelajaran bahwa apapun makhluknya (walaupun hanya hewan), kita turut wajib menjaganya, karena hidup kita ini secara tidak langsung dibantu oleh makhluk-makhluk lain yang turut menciptakan keselarasan alam secara berkesinambungan. (3) Ora ilok bayi dipunji, ndak wani karo wong tuwane. Dalam hubungan sosial masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi stratifikasi, penghormatan kepada orang tua adalah hal yang mutlak. Itulah sebabnya mengapa pada zaman dahulu, menjawab perintah orang tuapun dianggap suatu hal yang tidak sopan, apalagi bertanya tentang arti dari gugon tuhon yang disampaikan oleh orang tuanya. Walaupun ini menjadi salah satu kekurangan dari pendidikan Jawa kuno, tetapi dengan belajar dari kesalahan masa lalu kita dapat mendidik anak cucu kita dalam pelajaran Jawa modern. Salah satu nasihat yang menyiratkan agar anak tidak kurang ajar dengan orang tua adalah dengan tidak boleh menggendongnya di pundak atau memanggul (bahasa Jawa: dipunji). Menurut orang tua Jawa, jika semasa kecil ia terbiasa dipunji, nanti ketika dewasa ia akan berani dengan orang tuanya. Namun jika ditelaah lebih lanjut, hal ini dapat dijelaskan secara psikologis. Sudah menjadi sifat anak kecil, ia suka permainan yang menantang. Jika ia sudah menemukan kesenangan dalam permainan itu, maka lain kali ia akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meminta untuk bermain lagi. Sudah menjadi sifat manusia pula, mereka akan berusaha untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Kepala (bahasa Jawa: mustaka) ialah letak kehormatan seseorang, seperti halnya mahkota bagi seorang raja. Munji ialah menggendong diatas bahu dengan si anak kecil berpegangan dengan kepala orang tuanya. Secara simbolis, ini menandakan jika si anak sudah menginjak kehormatan orang tuanya. Dengan si anak terbiasa (keranjingan) dengan permainan dipunji, secara tidak langsung si anak telah terbiasa untuk menakhlukkan orang tuanya. Alih-alih melarang, mendengar rengekan anaknya, biasanya orang tua lebih memilih untuk menurutinya. Inilah awalnya si anak belajar untuk mengalahkan ego orang tuanya, dengan tangisan dan rengekan. Dengan selalu menuruti keinginan anak, karena hal itu akan menjadi sifat perilakunya hingga ia dewasa. Lagipula, memunji sangat berbahaya karena berisiko tinggi si anak bisa jatuh karena pada saat itu posisi badan kita tidak siaga. Dengan mempertimbangkan banyak alasan diatas, memunji anak memang sangat tidak disarankan. Itulah mengapa banyak nasihat dalam merawat anak, karena apa yang dia lihat, pelajari sewaktu kecil akan terus terbawa dan turut menentukan banyak hal.
3. Pendidikan Kesehatan. Kehamilan dan merawat bayi sangatlah dekat dengan kesehatan. Semua yang diajarkan dan dinasehatkan oleh orang tua tidak akan ada artinya jika si bayi dan ibu tidak sehat, karena kesehatan adalah nyawa dari semua yang akan kita jalani di dunia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini. Kalau badan kita tidak sehat, pasti pikiran dan harta kita terkuras untuk merasakan sakitnya. Itulah mengapa ada pepatah mengatakan „kesehatan adalah harta yang paling berharga‟. Sejak di dalam kandungan, ibu-ibu dihimbau untuk menjaga kesehtannya, karena jika ibunya sehat maka bayinya pun akan sehat. Setelah si bayi lahirpun, kesehatan ibu dan bayi harus selalu dijaga karena berpengaruh pada masa depan mereka. Menjaga kesehatan ini salah satunya adalah dengan menjaga asupan gizi, mengontrol konsumsi, dan menjaga kebersihan. Berikut ini akan dijabarkan nasihat apa saja yang menyangkut pendidikan kesehatan. a. Pada ibu hamil. (1) Yen nemu regedan neng ndalan kudu ndang disingkirake. Sejak
masih
merencanakan
kehamilan,
seorang
ibu
sudah
harus
mempersiapkan diri lahir dan batin. Secara lahir ia sudah harus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga tubuh dari segala penyakit. Menjaga kebersihan wajib hukumnya, agar ia terhindar dari kuman penyakit akibat dari kejorokannya yang akan mendatangkan sakit untuknya. Tidak heran jika orang tua menasihatkan
jika
menemukan
kotoran
di
jalan,
ia
harus
segera
menyingkirkannya, agar kelak persalinannya berjalan lancar tidak ada suatu halangan karena ia sudah menyingkirkan „halangan-halangan‟ di jalannya. Tetapi sebaiknya setelah menyingkirkan kotoran-kotoran ini ia segera mencuci tangannya. Jangan sampai kuman malah masuk ke dalam tubuhnya. Dari segi sosial, jika ia membuang kotoran yang ia temui di jalan, maka ia telah menolong sesama, yang mana Tuhan melihatnya sebagai perbuatan yang baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Ora ilok wong mbobot adhus wengi-wengi. Menurut orang Jawa kuna, hali ini dapat mengakibatkan kembar banyu (volume ketuban dalam rahim melebihi normal sehingga dari luar terlihat perutnya besar tetapi sebetulnya bayi di dalamnya kecil, dan ketika akan lahir akan mengeluarkan banyak ketuban). Sebenarnya menurut medis, pecah ketuban sebelum melahirkan adalah normal (dan harus). Namun ternyata setelah ditelaah, maksud dari nasehat ini adalah lebih ke arah kesehatan. Orang normal saja, mandi malam tidak disarankan karena konon dapat menyebabkan rematik. Apalagi untuk ibu hamil yang sedang dalam misi besar dan harus menjaga kesehatannya sendiri dan bayi di kandungannya. Salain itu udara malam dapat meyebabkan paru-paru basah. Pada beberapa orang terlalu dingin dapat mentebabkan alergi. Apalagi malam yang mana cahaya hanya sedikit (apalagi zaman dahulu belum ada lampu) menyebabkan kurangnya penglihatan sehingga dikhawatirtkan si ibu dapat terpeleset. Padahal jika ibvu hamil terpeleset akibatnya bisa fatal, bisa menyebabkan keguguran atau cacat pada bayi. b. Merawat bayi. Setelah bayi lahirpun, menjaga kesehatan harus terus dilakukan. Malah seharusnya lebih ketat karena sekarang si bayi sudah berusaha dari badannya sendiri. Maka ibu-ibu harus lebih teliti dalam merawat bayi dan benda-benda yang digunakan si bayi. (1) Yen wengi klambi bayi kudu dilebokne, ngko ndhak bayine nangis wae.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nasihat dari orang-orang di kecamatan Tingkir, jika beranjak malam maka bayi, baju-bajunya yang sedang dijemur harus masuk ke dalam rumah, jendela dan pintu harus ditutup. Sangatlah dimengerti alasan-alasan ini karena udara malam tidak baik untuk kesehatan. Juga untuk baju bayi yang tidak terlihat di mana letak bahayanya. Karena jika terus dibiarkan berada di luar, embun akan merasuk ke dalam pakaian bayi yang menyebabkan dingin jika dipakai. Akibatnya si bayi bisa pilek, masuk angin, atau batuk-batuk. Beda dengan jaman sekarang yang sudah ada teknologi setrika, jaman dahulu setelah kering baju langsung disimpan. Jadi si bayi menangis bukan karena bajunya dipakai mainan di luar, tetapi karena si bayi merasakan sakit dari badannya. (2) Aja mangan sing pedhes-pedhes. Aja mangan sing panas-panas. Seperti telah dijabarkan di atas, asupan makanan dari si ibu sudah tentu harus dijaga. Selain harus makan makanan yang bergizi, ada beberapa hal yang harus dihindari seperti tidak boleh makan Durian dan daging kambing karena akan, menyebabkan kualitas ASI menjadi kurang baik (ASI menjadi panas pada pencernaan bayi), makan makanan pedas pun harus dihindari karena ASI yang dihasilkan ikut pedas. ASI yang pedas untuk si bayi seperti halnya juga orang dewasa makan cabai. Namun pencernaan bayi yang masih halus belum bisa mencerna rasa pedas. Akibatnya ia akan diare. Diare walaupun tidak tampak berbahaya namun dapat mengancam jiwa karena diare menguras cairan tubuh yang jika terus berlanjut dapat menyebabkan kematian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makanan panas pun harus dihindari si ibu karena konon katanya ASI-nya akan ikut menjadi panas. Menurut orang tua jika ASI-nya panas, nanti si bayi bisa sariawan yang menyebabkan ia tidak mau makan dan terus menangis karenanya. Oleh karena itu semua makanan yang dikonsumsi ibu sebaiknya standar, tidak panas, tidak dingin, tidak banyak garam, tidak banyak gula, tidak asam ataupun tidak pedas, dengan kata lain hambar atau anyep dalam bahasa Jawa. Karena makanan yang hambar tadi sebenarnya baik untuk tubuh karena asupan makanan yang berlebihan tadi dapat merusak tubuh. Itulah sebabnya makanan bayi juga disarankan bersifat demikian.
C. Makna Gramatikal dan Kultural Makna leksikal adalah makna dari kata unsur-unsur pembentuknya yang akan diterjemahkan secara keseluruhan. Sehingga akan membentuk makna yang utuh secara kalimat. Dalam pembahasan ini, makna leksikal diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan makna kultural ialah makna yang didasarkan pada pemaknaan masyarakat yang menjadi sumber data. Dalam skripsi ini, setiap orang dapat memaknai setiap gugon tuhon berbeda-beda, tergantung bagaimana pengertian mereka, dan bagaimana orang tua dan lingkungannya mengajarkan mereka.
1. Gugon Tuhon Wanita Hamil (1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang. Makna gramatikal: jangan menyingkirkan apapun menggunakan kaki, agar bayinya tidak lahir sungsang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: kata orang tua Jawa, ketika hamil tidak boleh menyingkirkan sesuatu dengan kaki karena kelak anak yang dilahirkannya akan sungsang, yaitu keadaan di mana bayi lahir dengan kaki dahulu. Normalnya bayi lahir dengan kepala dahulu agar memudahkannnya keluar dan tidak membahayakan jiwa ibu dan bayi. Maka anak lahir sungsang itu sangat dihindari dan tidak diinginkan orang tua manapu. Seperi informasi dari salah satu nara sumber yang saya tanyai: Mergone ya anu bayine lancar sing metu. Ya ora sungsang, sing lair sirahe sik. Yen sungsang nak laire seka sikil sik. „Sebabnya ya agar bayinya lancar yang keluar. Ya tidak sungsang, yang lahir kepalanya dulu. Kalau sungsang kan yang lahir kakinya dulu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Maka dari itu, walaupun sedang malas karena perut yang membesar membuat tidak leluasa bergerak, namun tetap diajurkan untuk memakai tangan jika menyingkirkan sesuatu. Hal ini dapat dipahami karena: 1) Kaki tidak mempunyai ibu jari terpisah seperti tangan, yang membuat kaki tidak bisa menggenggam sesuatu, maka jika menyingkirkan benda dengan kaki sudah pasti tidak sempurna hasilnya. Entah meleset dari sasaran ataupun tumpah. 2) Dalam keadaan hamil besar, sering kali ibu hamil limbung. Maka menyingkirkan sesuatu dengan kaki membuat ibu hamil besar hilang keseimbangan. Jika terjatuh hal buruk dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi di dalam kandungan. Mengingat kebersihan yang dihasilkan dan bahaya yang dapat terjadi jika si ibu hamil melakukan aksi tersebut, maka dapat dimengerti mengapa orang tua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melarang kita untuk melakukan hal tersebut, dan memang sebaiknya kita menurutinya.
(2) Yen nemu regedan neng ndalan, kudu gage disingkirake. Makna gramatikal: kalau menemukan kotoran di jalan, harus segera disingkirkan. Makna kultural: menurut orang tua Jawa, dengan membersihkan kotoran yang kita temui di jalan, itu berarti kita telah membersihkan halangan-halangan yang akan menghambat kelancaran persalinan. Dan diharapkan bayi yang dilahirkan akan bersih kulitnya, tidak seperti terkena penyakit kulit. Seorang ibu rumah tangga yang cukup taat dalam melaksanakan tradisi Jawa ini mengatakan: Ya ben nak nglairke ki lancar yoan. Resik bayine, ngko nak lair ben selamet, lancar sak kabehe. „Ya agar kalau melahirkan itu juga lancar. Bersih bayinya, nanti kalau lahir agar selamat, lancar semuanya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Sebetulnya mungkin hal ini lebih berpengaruh pada kebersihan dan etika dalam masyarakat. Dengan membersihkan kotoran yang kita temui di jalan sekalipun bukan di depan rumah kita, hal itu membuat orang lain senang dengan perbuatan kita yang saling berbuat baik untuk sesama. Dengan begitu, orang lain pun akan senang untuk membantu kita jika kita menghadapi kesulitan. Alasan yang kedua adalah jika membersihkan kotoran di jalan atau di sekitar kita, maka lingkungan kita akan bersih dan secara langsung ataupun tidak akan menghindarkan kita dari penyakit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) Yen nemu pincuk neng ndalan kudu ndang diudhari. Makna gramatikal: jika menemukan takir di jalan harus segera dilepas lidinya. Makna kultural: menurut orang tua Jawa, jika wanita yang sedang hamil menemukan daun bekas yang lidinya masih tersemat di jalan, maka ia harus segera melepaskan lidi tersebut. Hal itu dilakukan agar kelak persalinannya lancar dan selamat. Seorang informan yang merupakan seorang ibu rumah tangga dan masih menjalankan tradisi Jawa mengatakan: Kudu nguculi pincuk neng ndalan. Ben pada karo kowe nguculi… lancar sing nglairke „Harus melepaskan takir di jalan. Hal itu sama dengan kamu melepaskan … (semua hambatan) lancar yang melahirkan‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 januari 2011) Selain itu dengan melepaskan lidi yang tersemat di jalan, berarti kita telah menghindarkan orang lain dari kecelakaan. Lidi yang masih tersemat di daun jika terinjak akan menjadi benda tajam yang melukai. Namun jika sudah terlepas, maka benda itu tidak lagi membahayakan karena tidak akan menusuk kulit. Berbuat kebaikan sangatlah dianjurkan, apalagi karena kita seperti menaungi orang yang „bertapa‟.
(4) Aja njitheti utawa ndondomi kathok. Makna gramatikal : jangan menjahit celana. Makna kultural : wanita hamil tidak boleh menjahit atau menambal celana atau apapun, karena hal itu diyakini dapat menyebabkan persalinan menjadi sulit dan banyak halangannya karena ia telah menutup jalan lahirnya sendiri. Maka dari itu ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk „berpuasa‟ dahulu dari kegiatan ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemungkinan buruk lain yang mungkin terjadi adalah anak akan lahir dengan cacat bawaan, biasanya lubang dari tubuh yang seharusnya terbuka malah tertutup. Entah itu lubang anus yang tetutup, bibir yang sumbing, ataupun cacat yang lainnya. Seorang informan mengatakan: Nek umpamane mbobot geh, nek mbobot ki aja sok ndondomi apa clana ngene iki ta? Aja ndondomi clana ya clana njaba clana dalem ki aja sok jitheti-jitheti ngono kuwi. Ning ya tenan hla kuwi si anu kuwi ya genah silite buntet tenan ora duwe silit kuwi. „Kalau seumpama hamil ya, kalau hamil itu jangan suka menjahit celana dalam maupun celana luar. Jangan menisik celana begitu itu. Tetapi ya memang betul begitu, itu si anu memang betul anusnya tidak ada, tidak punya lubang anus‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010). Karena kemungkinan buruk yang mungkin terjadi jika melanggar inilah, maka menjahit dilarang dikerjakan oleh ibu hamil.
(5) Aja mbunteti leng tikus, ora ilok. Makna gramatikal : jangan menutup lubang rumah tikus, tidak baik. Makna kultural : wanita hamil dan suaminya tidak boleh menutup lubang rumah tikus karena dapat berakibat buruk pada saat persalinan, yaitu persalinan yang sulit karena tertutupnya jalan lahir oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Tetapi hal ini dapat diatasi kembali agar si jabang bayi segera lahir dengan cara membuka kembali lubang tikus yang ditutup tadi agar tikusnya tidak tersiksa di dalam tanah tidak bisa mencari makan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Informan saya mengatakan hal demikian : Hla kuwi si Dwi e nggebug tikus ta saiki keneke anakke galho kaya kecuwik. Hla ya kana mbunteti, Ngatina nyumpeli leng tikus saya ora metu-metu. Ndang bali lenge tikus dibukaki kabeh ndang di…teka kana lek lahir. „Lha itu si Dwi nya memukul tikus kan, sekarang sininya (menunjuk antara kedua mata) anaknya seperti teriris. Lha ya itu menutupi lubang, Ngatina menutup lubang tikus malah jadi tidak keluar-keluar. Begitu lubang tikusnya dibuka semua, sampai sana langsung lahir‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010). Bagaimanapun tikus juga makhluk hidup yang butuh udara dan makan. Dan mengurung tikus di dalam tanah akan menyiksanya. Maka dari itu, ibu hamil dan suaminya tidak boleh melakukan hal ini. Melakukan hal buruk akan membuat pikiran ibu hamil terganggu karena merasa bersalah dan terus memikirkannya. Secara ilmu kesehatan, hal ini akan mempengaruhi kesehatannya yang akan member efek pada janinnya.
(6) Aja mateni utawa nyiksa kewan. Makna gramatikal : jangan membunuh atau menyiksa hewan. Makna kultural : wanita hamil dan suaminya (bojo sakloron) tidak diperbolehkan membunuh ataupun menyiksa hewan, karena hal ini dipercaya dapat membawa cacat lahir ataupun petaka hilangnya nyawa si jabang bayi. Informan saya memberikan informasi berikut : Aku tau kok Nok sing pertama kuwi, mbahmu kene kuwi biyen ngarep kono kuwi ana ula ning dhuwur. Hla saiki diuthik-uthik mrembet ning ngisor ngono kuwi digebug kayu pring. Ulane theksek ta? Anakku ya mati ning jero tenanan kok Nok. Pamane mithes-mithes apa-apa, nek ana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kodhok apa dipenthung apa digebug sikile tugel tangane tugel ngono ora entuk. Hla ki Tri Nanggulan kuwi ya buktine ya nggone Mbah Tin kuwi ta? Kuwi pakne ngarit mbabat kodhok sikile prithil kabeh, lha Tri tangane ya prithil kabeh, jempolane separo-separo. „Saya pernah kok, nak yang pertama itu, kakekmu sini itu dulu di depan itu ada ular di atas. Lalu diutak-atik merambat ke bawah begitu lalu dipukul dengan kayu bambu. Ularnya langsung mati kan? Anakku juga mati di dalam betulan kok, nak. Seumpama menggilas sesuatu, kalau ada katak, apakah terpukul lalu kakinya kakai atau tangannya patah begitu juga tidak boleh. Lha Tri Nanggulan yang punya mbah Tin itu ya buktinya. Itu bapaknya menyabit membabat katak sampai tangannya patah semua, lha Tri juga tangannya patah semua, jempolnya separuh-separuh.‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010) Masyarakat lain yang saya tanyai mengatakan : Mbiyen ki nek omong sok netesi. Asline ya, nek meteng tua ki nithili urang ra entuk, ngonceki urang ra entuk. Ya omongane wong tua ki sok ngono kae. Sok kala menga ngono lho. Sebabe ben ora ciri. Ora entuk mateni kewan, sing lanang ra entuk apa meneh sing wedok sak durunge ngandhek. Umpama nganti midak coro pa piye „i.. ya Allah Gusti jabang bayi‟ ngono. Nek ra sengaja no ya ra papa. „Jaman dulu itu kalau berbicara memang sering terjadi. Sebetulny ya, kalau hamil tua itu mengupas udang tidak boleh. Ya berbicaranya orang tua itu sering begitu itu. Sering asal keluar begitu lho. Sebabnya agar tidak cacat. Tidak boleh membunuh hewan, yang laki-laki tidak boleh apalagi yang perempuan selama hamil. Seumpama sampai meninjak kecoa bilang, „I ya Allah Gusti jabang bayi,‟ begitu. Kalau tidak sengaja begitu ya tidak apa-apa.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Wawancara dengan ibu Tunsiyah pada tanggal 9 mei 2010) Seorang bidan yang menjadi informan saya mengatakan kalau secara medis hal itu tidak akan tidak akan menimbulkan dampak negatif kepada si jabang bayi, tetapi pada kenyataannya di masyarakat, hal itu dapat menyebabkan si bayi lahir dengan cacat fisik bawaan. Beliau menceritakan pengalaman pasiennya: Oya, Jawa ki misale pada ibu hamil, wong bobot ki ora pareng mancing, berburu, matik lele, pokoke mateni kewan. Iki ana, dadi bapake tukang, bakul lele, matile lele. Bayeke, pucukan antara irung karo mripat dadi dekok. „Oya Jawa itu misalnya pada ibu hamil, orang hamil itu tidak boleh memancing, berburu, membunuh lele, pokoknya membunuh hewan. Ini ada, jadi bapaknya penjual lele, membunuh lele. Bayinya, ujung antara hidung dengan mata jadi seperti teriris‟ (Wawancara dengan ibu Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010). Sedangkan dalam Serat Babad Ila-ila 2 yang mengisahkan legenda dalam tanah Jawa menuliskan awal-mula mengapa tidak dipetrbolehkan membunuh ataupun menyiksa binatang. Serat ini menceritakan Prabu Jayapurusa memberikan wejangan kepada Sadya dan Ken Tingkeb, istrinya. Beliau mengatakan: … Dengarkan baik-baik petuahku ini, dan hendaknya kau jalankan sebaikbaiknya. Sadya selama istrimu Ken Tingkeb mengandung jangan sekalikali kau membunuh segala mkhluk bernyawa. Sebaliknya di masa Kartika dan kebetulan kau harus menyembelih hewan untuk mengadakan sesaji, baiklah kau sebut bayi yang dikandung istrimu itu. … (Moelyono Sastronaryatmo, 1986: 69). Sedangkan dalam cerita yang lain, Serat Babad Ila-ila 2 menceritakan asal mula Dewi Hastipraba berbentuk seperti seorang raksasa padahal ibunya adalah seorang bidadari. Ternyata ketika ibunya hamil, ayahnya sedang terlibat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertempuran dengan gajah Asura. Dalam pertempuran itu, gajah Asura dapat dibunuh oleh ayahnya. Celakanya, ketika lahir, ia dan saudara kembarnya berwujud seperti gajah. “Demikianlah timbulnya waril atau ila-ila, manakala orang mempunyai istri yang sedang mengandung, maka ia dilarang membunuh apapun juga. Sebab kemarahan yang timbul di dalam hati pasti akan terwujud dalam bayinya yang akan lahir.” (Moelyono Sastronaryatmo, 1986: 172). Pada masyarakat modern, hal ini hanya akan disebut coinsiden, sesuatu yang kebetulan saja terjadi, atau berpikir ini masalah asupan nutrisi si ibu pada saat hamil atau karena serangan virus. Pada kenyataannya pada masyarakat kita itulah yang terjadi. Namun jika ditelaah secara psikologis, membunuh atau menyiksa makluk hidup adalah hal yang tidak benar, maka si ibu akan terus memikirkannya. Seperti halnya nasihat „jangan terlalu stress karena akan berpengaruh pada kejiwaan si jabang bayi‟, maka sesuatu yang mengganggu pikiran ibu akan tersalurkan kepada bayinya. Terlepas dari keadaan fisik yang terjadi pada si bayi, pikiran yang berat ini akan mengganggu kejiwaan si bayi. Faktor yang lainnya adalah kepercayaan kepada leluhur atau perkataan orang tua. Watak masyarakat kita yang tidak berani membantah orang tua dan menerima apapun yang dikatakan karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika melanggar sangan kuat mengakar. Orang tua jaman dahulu kuat tirakatnya, maka apapun yang dikatakn kemungkinan besar akan terjadi. Itulah mengapa faktor kepercayaan menjadi salah satu faktor penting dalam tradisi masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(7) Aja ngethok rambut. Makna gramatikal : jangan memotong rambut. Makna kultural : saat hamil tidak boleh memotong rambut, karena pada ora ng Jawa menghilangkan apapun dari sesuatu yang semestinya harus ada akan mengakibatkan si bayi akan lahir dengan cacat bawaan. Mbah Ngat, informan yang merupakan seorang dukun bayi memberikan informasi: Ora entuk ngethok rambut ki merga anake iso gundhul ora duwe rambut. Tidak boleh memotong rambut itu karena anaknya bisa gundul tidak punya rambut (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(8) Aja adus wengi-wengi, ora ilok. Makna gramatikal: jangan mandi malam-malam, tidak pantas. Makna kultural: ila-ila tidak boleh mandi pada malam hari menurut orang tua Jawa adalah karena katanya nanti bisa kembar banyu, yaitu perut yang terlihat besar sekali padahal bayinya kecil. Hal itu disebabkan karena volume ketuban di dalam perut melebihi normal, dan ketika saatnya melahirkan air ketuban akan keluar. Informasi dara nara sumber yang saya dapatkan: Ndhak kembar banyu. Kembar banyu kuwi nek nglairke ngetokne kawah. Ngko nek kawahe entek nglairkene angel. „Nanti kembar banyu. Kembar banyu itu kalau melahirkan mengeluarkan ketuban. Nanti kalau ketubannya habis melahirkannya sulit‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011) Sebetulnya hal itu tidak dapat dipastikan karena mandi malam. Volume ketuban yang berlebihan disebabkan kelainan. Memang pada saat melahirkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
normalnya ketuban harus pecah dahulu untuk melumaskan bayi yang lahir agar mudah. Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, larangan mandi malam ini dapat menyebabkan rematik, selain itu angin malam tidak baik, menyebabkan paru-paru basah. Efek yang lebih ringan dan lebih cepat adalah dapat membuat masuk angin. Alasan yang lain lagi adalah karena pada malam hari cahaya tidak sebaik pada siang hari. Apalagi pada jaman dahulu kamar mandi berada di luar atau bahkan di sungai, sehingga dapat membuat ibu hamil terpeleset. Hal ini tentu dapat membahayakan si ibu dan janin yang berada di dalam kandungan bisa saja tidak selamat atau lahir dengan cacat bawaan.
(9) Pas mbobot sangang sasi, dislameti jenang procot, pasarane Setu Wage. Makna gramatikal: waktu hamil sembilan bulan, dibuatkan selamatan jenang procot, hari pasaran Sabtu Wage. Makna kultural: pada masyarakat Jawa mengenal berbagai macam selametan. Dalam semua daur hidup manusia, sudah pasti ada selametan yang menyertakan banyak tata cara untuk menyimbolkan sesuatau. Pada kehamilan yang kesembilan bulan, saat mendekati hari lahir, biasanya diadakan selametan sebagai ucapan rasa syukur dan doa untuk kelancaran persalinan nanti. Keterangan yang didapat dari nara sumber: Ya nak metu ndang cepet, ndang metu ndang gage. Jenang procode kuwi jenenge sarana nek wong Jawa mbiyen ki ben nglairke ki paringi lancar, ora neka-neka ngono lho. Jenang procod kwi bubur baning, saka tepung beras, dikeki werna abang ya oleh, nek wong kene bubur sum-sum. Dikeki gedhang raja temen. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
„Ya kalau keluar biar cepat, cepat keluar cepat selesai. Bubur procodnya itu sama dengan sarana untuk orang dahulu agar melahirkannya itu diberi kelancaran, tidak ada suatu apapun. Jenang procod itu bubur dari tepung beras, diberi warna merah (dari gula Jawa) juga boleh, kalau orang sini menyebutnya bubur sum-sum. Diberi pisang raja‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011) Dalam slametan ini dibuatkan jenang procod, tepung beras yang diberi warna merah yaitu tepung beras yang dimasak bersama santan dan gula merah. Lalu setelah diletakkan dalam piring, di atas bubur tersebut diberi pisang raja yang telah dikukus. Simbol dari hal ini adalah jenang merah menyimbolkan darah, sedangkan pisang raja menyimbolkan si jabang bayi. Lalu prosesi yang dilakukan adalah si calon ibu menumpahkan bubur tersebut yang diterima oleh si calon bapak dengan piring pula. Hal ini dimaksudkan agar kelahirannya berjalan lancar tanpa halangan apapun, tanpa operasi, tidak sungsang dan hal-hal buruk lainnya, dan setelah dilahirkan, sang ayah akan menerima bayi yang lahir dengan suka cita dan turut ikut bersama merawatnya.
(10)
Aja ngombe es.
Makna gramatikal: jangan minum es. Makna kultural: mitos yang berkembang di masyarakat bahwa es dapat membuat bayi membesar, seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Mergane engko ndak bayine gedhe. Gegedhen bayi. Dadine angel. ‟Karena nanti bayinya bisa besar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebesaran bayinya. Jadinya sulit (kalau keluar nanti)‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Hal ini tidak dapat dipastikan secara medis karena menurut para dokter yang menyebabkan bayi menjadi terlalu besar semasa di dalam kandungan adalah karena mengkonsumsi es yang biasanya dicampur dengan air yang mengandung gula atau sirup. Zat gula inilah yang membuat bayi menjadi besar (gemuk) dan efeknya terjadi persalinan yang sulit. Selain itu seperti halnya menjaga kesehatan tubuh untuk tidak mengkonsumsi makanan yang terlalu panas, dingin, manis, asin, asam dan lainnya, maka hal ini pun juga berlaku untuk ibu hamil. Minum es tidak diperkenankan karena biasanya es yang dijual di warung-warung dibuat dari air mentah. Jika diminum dapat menyebabkan pilek. Itulah sebabnya ibu hamil tidak boleh minum es.
(11)
Aja mangan pedhes-pedhes.
Makna gramatikal: jangan makan (sesuatu yang) pedas-pedas. Makna kultural: mitos dalam Jawa mengatakan kalau ibu hamil tidak boleh makan yang pedas karena nanti ketika lahir si bayi akan mempunyai kotoran di mata. Nara sumber mengatakan: Engko nek bocahe lair ndhak rembes, rembes ki lodoken matane. Nak wong Jawa ngono kuwi. „Nanti kalau lahir bisa blobokan (matanya selalu mengeluarkan kotoran) matanya. Kalau orang Jawa begitu itu (kepercayaan yang dianut)‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nara sumber yang lain memberikan informasi jika semasa hamil suka memakan makanan yang pedas, maka nanti ketika ia melahirkan ia akan merasakan panas pada vaginanya. Ia mengatakan: Nek maem pedhes niku kan panas nek babaran mbak. Nggih, nggen nek vaginanya perih ngoten niku lho. Kadose nganu… e… cara-carane mpun kadhung digudengan niku rasane sakit ngoten niku lho. „Kalau makan pedas itu kan panas kalau melahirkan, mbak. Ya di vaginanya perih begitu lho. Sepertinya rasanya sudah telanjur sakit sekali begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010). Sebetulnya belum pasti karena itu, namun hal ini tidak diperbolehkan karena akan mempengaruhi kesehatan si ibu. Si ibu bisa saja terkena diare karena makan makanan yang pedas. Jika diare, sudah tentu si ibu nutrisi yang dimakan oleh si ibu tidak akan sampai pada bayinya.
(12)
Aja mangan sing panas-panas.
Makna gramatikal: jangan makan yang panas-panas. Makna kultural: larangan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang panas-panas, katanya akan membuat bayi yang dikandung terlahir dengan kulit yang berkeriput. Informasi yang saya dapatkan: Nggih, nek mimik panas, nek kekathahen maem panas mangkeh bayine sami kisut-kisut kados kirang sehat ngoten niku lho mbak. Kados-kados kering ngoten niku lho. Kados teng kriputkriput ngoten nika nek maem mimik panas. „Ya kalau meminum sesuatu yang panas, kalau kebanyakan makan yang panas nanti bayinya keriput-keriput seperti kurang sehat begitu itu lho, mbak. Seperti kering begitu itu. Ya seperti keriput commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
begitu itu kalau makan dan minum panas‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010). Sedangkan
masyarakat
yang
lain
menguatkan
dengan
memberikan
keterangan: Ora entuk mangan sing panas-panas engko mergane bayine ndak kulite njengkerut, kulite kithut-kithut „Tidak boleh makan yang panas-panas karena nanti kulit bayinya bisa berkeriput-keriput‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Secara medis seperti halnya larangan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang dingin, asam, pedas dan lainnya, mengkonsumsi makanan yang panas akan mengganggu metabolisme tubuh si ibu. Hal ini tentu saja cepat atau lambat akan berpengaruh kepada kesehatan si bayi.
(13)
Aja mangan nanas.
Makna gramatikal : jangan memakan nanas.
Makna kultural : salah satu nasehat untuk ibu hamil dalam hal mengkonsumsi makanan adalah tidak boleh memakan nanas. Selain karena keras di lambung yang mana dapat menyebabkan maag (apalagi ibu hamil sangat mudah terserang maag karena pada masa ini asam lambung akan selalu tinggi), ternyata hal ini juga dapat membahayakan janin. Seorang informan mengatakan :
Aja maem nanas mengko bayine ndak gudhig wesi kaya kulit nanas, padahal sebetulnya karena zat yang ada dalam nanas itu melunakkan janin. Sehingga kalau orang kalau misale hamil makan nanas muda kan isa keguguran. Orang jaman dulu nggak mau mengatakan seperti itu katanya mungkin pamali kalau orang hamil dikatakan mengko ndhak keguguran itu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pamali, mengko ndhak keguguran tenan, jadi pake sanepa mengko sikile bayine gudhigen padahal nggak ada hubungane kulit nanas sama kaki. Aku makan apa-apa nggak berani akhire bayine nggak sehat. Kalau durian nggak boleh soale mengandung alkohol. (Wawancara dengan ibu Nunik pada tanggal 12 Mei 2010). Dalam ilmu cuisine atau masak-memasak, ada tips bahwa untuk melunakkan daging yang akan diolah adalah dengan merebusnya bersama nanas atau daun pepaya. Ternyata dalam dua benda tersebut terkandung enzim yang dapat melunakkan daging (pada tanaman pepaya disebut enzim papain). Itulah sebabnya mengapa ibu hamil tidak diperbolehkan mengkonsumsi dua benda ini dalam jumlah yang berlebihan. Terkadang dalam jumlah terbatas pun dapat memicu penyakit maag pada penderita maag kronik. Selain itu dapat menyebabkan keguguran karena enzim tersebut membuat janin yang masih muda menjadi lunak.
(14)
Aja mangan godhong kates.
Makna gramatikal : jangan memakan daun papaya. Makna kultural : tidak boleh memakan daun papaya secara berlebuhan karena menurut orang tua Jawa, daun papaya dapat meremukkan ari-ari. Seorang informan yang masih sangat mempercayai gugon tuhon mengatakan kalau daun pepaya dapat meremukkan ari-ari, dimana ari-ari adalah hal yang penting untuk mengantarkan zat makanan dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Ia mengatakan : Yen mangan godhong kates ra entuk mergane ngko ari-arine ndhak remuk. „Kalau makan daun pepaya tidak boleh, nanti tembuninya remuk‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010). Karena trisemester pertama kehamilan masih sangat rawan dan kandungan belum kuat benar, maka orang tua menyarankan agar tidak mengkonsumsi daun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pepaya secara berlebihan, karena tanaman pepaya mengandung zat papain yang dapat
melunakkan
daging.
Sehingga
dikhawatirkan
zat
tersebut
dapat
menggugurkan janin.
(15)
Aja mangan duren.
Makna gramatikal : jangan memakan durian. Makna kultural : ada banyak pantangan untuk mengkonsumsi beberapa jenis makanan, karena pada umumnya makanan tersebut dapat mengganggu kesehatan atau metabolisme. Apalagi pada orang hamil dan menyusui karena sari makanannya terserap oleh bayi. Salah satunya adalah buah durian yang tidak boleh dikonsumsi dalam jumlah banyak karena buah ini mengandung kadar alkohol yang tinggi. Selain dapat menyebabkan kadar asam lambung pada ibu menjadi berlebihan, pada janinpun efeknya dapa melemahkan bahkan keguguran jika dikonsumsi berlebihan.
(16)
Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
Makna gramatikal: jika bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting. Makna kultural: orang Jawa mempunyai gaman (senjata) untuk melawan makhluk halus, yaitu dlingo, bengle dan garam. Maka benda-benda ini akan selalu diikutsertakan dalam hal menjauhkan sengkala. Juga untuk ibu hamil agar dia dan janin yang dikandungnya tidak diganggu oleh setan-setan yang berada diluar saat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ia bepergian, maka ia wajib membawa dlingo, bengle dan gunting ini. Dlingo bengle biasanya dipotong kecil dan ditusukkan pada cemiti untuk digunakan sebagai bros. Ibu Sarmi memberikan keterangan: Kuwi jenenge kanggo tolak sawan. Tolak sawan kuwi gen aja kena sengkala. Ngerti sengkala? Kwi cara dene setan ben aja ngganggu ngono lho. „Itu namanya untuk tolak bala. Tolak bala itu agar tidak terkena sesuatu yang buruk‟ (Wawancara dengan ibu sarmi pada tanggal 5 januari 2010). Jadi selama masih hamil dan pada masa menyusui, pada ibu maupun si bayi harus selalu diberi dlingo bengle agar gangguan gaib tidak mendekat karena pada masa itu aura manusia sedang lemah.
(17)
Yen bojone meteng, sing lenang ora oleh nggembol endhog.
Makna gramatikal: jika istrinya hamil, yang pria tidak boleh mengkantongi telur.
Makna kultural: ada kepercayaan Jawa yang menyebutkan ketika si istri hamil, maka si suami tidak boleh mengantungi telur. Menurut mereka hal ini bisa menyebabkan burung si bayi (jika laki-laki) akan menjadi besar. Selain itu agar menurut mereka, nanti si anak bisa mempunyai penyakit udun. Ibu Ru yang merupakan penganut kepercayaan Jawa yang cukup taat mengatakan: Trus yen bojone meteng sing lenang nggembol ndhok ra entuk. Kuwi masalahe ndhak konthole ndhak gedhe. Ndak nduwe penyakit udun. „Lalu kalau istrinya hamil, suaminya tidak boleh mengantungi telur. Itu masalahnya nanti anaknya kemaluannya bisa besar. Bisa punya penyakit udunan‟ (Wawancara dengan ibu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ru pada tanggal 10 Mei 2010). Oleh karena itu si suami, apalagi si istri tidak boleh mengantungi sesuatu.
Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, mungkin ada nasehat yang lebih dalam dari para orang tua untuk anak mereka dari gugon tuhon ini. Tidak boleh mengantungi telur maksudnya antara suami istri tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari pasangannya. Semua harus dibicarakan bersama. Apalagi ibu hamil harus selalu menjaga pikirannya agar tetap bersih dan tidak kacau, maka berbagi dengan suami bisa mengurangi bebannya.
(18)
Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairkene angel.
Makna gramatikal: kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.
Makna kultural: gugon tugon Jawa mengatakan jika orang hamil makan di depan pintu, maka kelak ketika melahirkan ia akan mengalami kesulitan, karena ketika hamil ia membuat penghalang sendiri untuknya. Seorang masyarakat yang saya tanyai memberikan keterangan: Nggeh kula penging nganu nek maem aja neng nggon ngarep lawang. Nek maem neng ngarep lawang niku nek ajeng babaran sok mandek niku lho kula. Maksude nek mau lahir niku nggak jadi. Ngoten niku. „Ya saya beri tahu kalau makan jangan di depan pintu. Kalau makan di depan pintu itu nanti kalau mau melahirkan suka berhenti begitu lho, mbak. Maksudnya kalau mau lahir nggak jadi. Begitu itu.‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu, duduk di depan puntu tentu akan sangat mengganggu orang-orang yang akan keluar-masuk ruangan. Jika tertendang pun, akan menyakitkan orang yang tertendang, apalagi jika yang tertendang adalah ibu hamil. Kalau ia terjatuh dengan keras, dikhawatirkan janin dalam kandungannya bisa terganggu kesehatannya.
(19)
Yen mangan aja nganggo pincuk, nganggo piring wae, mundhak ari-arine
kelet.
Makna gramatikal: kalau makan jangan memakai takir, memakai piring saja, nanti tembuninya lengket. Makna kultural: kepercayaan lain yang berkembang adalah larangan untuk makan menggunakan pincuk (takir). Menurut mereka jika makan menggunakan pincuk maka ari-arinya bisa lengket, sehingga nanti ari-arinya tidak bisa keluar. Informan yang ditanyai mengatakan: Terus nek maem pake pincuk, ngertos pincuk nika ta? Niku mengkih ari-arine, ning niki jaman riyin, ari-arine jadi kelet ngoten niku lho. Nganu susah. Nggeh, nek maem mboten sah ngagem pincuk, kedah ngangge piring. „Lalu kalau makan pakai takir, tau takir itu kan? Itu nanti ari-arinya, tapi ini jaman dahulu, ari-arinya jadi lengket begitu itu lho. Anu susah. Ya kalau makan tidak usah memakai takir, harus memakai piring‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
(20)
Ora oleh mangan tebu.
Makna gramatikal: tidak boleh makan tebu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: selama hamil, si ibu tidak boleh memakan tebu. Menurut orang tua Jawa, hal itu dapat menyebabkan kokot kidang. Kokot kidang adalah darah yang keluar pada saat ia akan melahirkan. Dan darah yang keluar itu membuatnya merasakan sakit yang sangat. Seorang penganut Jawa yang kental memberikan informasi: Mangan tebu, soale ngko ndhak kokot kidangen. Gula jawa ra entuk. Ngko ndhak kokot kidangen. Kokot kidang ki ngetokne getih sithik tur lara. „Makan tebu, soalnya nanti kokot kidangen. Gula jawa juga tidak boleh, nanti terkena kokot kidang. Kokot kidang itu mengeluarken darah sedikit tapi sakit‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 mei 2010).
Sedangkan ibu rumah tangga yang sudah tidak terlalu percaya dengan gugon tuhon, namun masih cukup mengerti tentang tradisi Jawa ini memberikan keterangan:
Lha nek kebanyaken manis, misalnya dhahar tebu napa ngeten, nika kokot kidang. Kokot kidang niku nek mpun bededengen sakit, mboten saget lahir, sing lahir cuma medalke darah. Ngoten niku. Mangkih nek dharahe telas bededengen malih mangkih nganu kok, medalke dharah malih. Dadose ngantos dharahe anu mangkih. Sakit nek kokot kidang nek ngoten niku mbak.
Lha kalau kebanyakan makan manis, misalnya makan tebu atau apa, itu kokot kidang. Kokot kidang itu kalau kalau sudah telanjur sakit, tidak bisa lahir, yang lahir Cuma mengeluarkan darah. Begitu itu. Nanti kalau darahnya habis, keluar darah lagi dan sakit. Jadi sampai darahny. (keluar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlalu banyak). Sakit kalau kokot kidang itu, mbak. (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
Sebetulnya mengkonsumsi makanan manis memang tidak dianjurkan oleh dokter pada saat hamil. Karena dapat menyebabkan bayi yang di dalam kandungan menjadi gemuk, sehingga nantinya ia akan sulit keluar. Persalinan yang sulit ini tentu akan membahayakan jiwa si ibu dan bayi yang dilahirkannya.
(21)
Yen wis sangang sasi, ngombe minyak blondho saka godhong lumbu terus
mlayu bablas neng lawang.
Makna gramatikal: kalau sudah sembilan bulan, minum minyak kelapa dari daun talas lalu berlari melewati pintu.
Makna kultural: tata cara ini termasuk dalam rangkaian selametan sembilan bulan kehamilan. Setelah prosesi jenang procod, dilanjutkan dengan meminum minyak blondho, yaitu minyak kelapa murni. Minyak tersebut ditempatkan dalam daun talas untuk kemudian diminum ibu yang sudah mendekati masa melahirkan. Setelah selesai meminum minyak tersebut, ia harus langsung berlari melewati pintu. Prosesi tersebut menyimbolkan setelah meminum minyak yang licin dan diminum dari daun talas yang licin, maka kelahirannya akan mudah. Sedangkan berlari melewati pintu menyimbolkan pengharapan agar persalinan berjalan cepat dan lancar secepat dan semudah melewati pintu tersebut.
Ibu Sarmi meberikan keterangan: Jenenge kuwi biasane bubar nggawe bubur procod ta? Ngombene kaya ngono kuwi. Sak durunge bayinya lair ki kudu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nggawe kaya ngono. Bayine gen lairane gampang. Lebih lancar. Nek dhong lumbu ki lunyu, minyak ya lunyu, ben nglairkene mak prucut, gen gampang. „Namanya itu biasanya setelah membuat bubur procod kan? Minumnya seperti itu. Sebelum bayinya lahir itu harus membuat seperti itu. Bayinya biar lahirnya gampang. Lebih lancar. Kalau daunt alas itu licin, minyak juga licin, biar melahirkannya gampang‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(22)
Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
mundhak nyawani.
Makna gramatikal: kalau datang ke rumah orang hamil tidak boleh berbicara sesuatu yang buruk, nanti membawa sial.
Makna kultural: kejiwaan ibu hamil haruslah selalu dijaga karena suasana hati ibu akan mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya. Maka ketika seseorang datang kerumah wanita yang sedang hamil, ia diharuskan menjaga sikap dan perkataannya. Misalnya ketika tadi tamu tersebut bertemu dengan orang yang cacat atau melihat suatu kecelakaan, maka ia diharapkan untuk menahan agar tidak menceritakan hal tersebut kepada wanita hamil.
Seorang nenek yang masih mempercayai gugon tuhon ini mengatakan:
Terus bocah kuwi nek ndelok wong ciri suwing, apa debloh, apa bujel mripate kuwi amit-amit jabang bayi ki bayine ben ora anu. Engko ndhak sawanen. Kan sok ana mung dibatin wae. Ndilalah nak mbatin wong bagus, ayu trus kan ora nular. Neng nak ujug-ujug mbatin uwong kuwi kok nular? Kuwi turunanku dhewe ana. Turunanku dhewe ana, adhiku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dhewe malah sing nular. Sing wedok gek meteng, sing lanang ki weruh wong idhiot, “kuwi menungsa apa setan ta?”. Anak‟e wong loro idhiot kabeh. Loro lanang-lanang. Pancen kudu di … . “Jabang bayi karo bojoku tangia. Ana wong kok kaya ngono” „Lalu anak itu kalau melihat orang cacat, atau debloh, atau buta matanya itu harus mengatakan „amit-amit jabang bayi‟, itu agar bayinya tidak anu (ikut menjadi cacat). Nanti ikut terkena sialnya. Kan terkadang ada yang hanya dibatin saja. Ternyata kalau membatin orang ganteng, cantik kan tidak menular. Tetapi kalau tiba-tiba membatin orang itu kok menular. Itu saudara saya sendiri ada, adik saya sandii malah yang ketularan. Yang perempuan baru hamil, suaminya melihat orang idiot, “itu manusia apa setan sih?”. Anaknya dua orang idiot semua. Dua laki-laki semua. Memang harus di … “Jabang bayi dan suamiku bangunlah. Ada orang kok seperti itu‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
Orang Jawa percaya jika seorang wanita hamil memikirkan sesuatu yang buruk,
maka hal buruk tersebut dapat menular kepada janin yang sedang
dikandungnya. Namun jika hal itu terlanjur terjadi, maka wanita tersebut akan menangis sambil memohon agar Tuhan tidak memberikan sesuatu yang buruk kepada bayinya.
Kejiwaan selama hamil sangatlah penting. Maka ketika seorang wanita sedang hamil, disarankan untuk rileks secara badan dan pikiran. Karena ternyata pikiran yang terlalu „kencang‟ pun dapat mengganggu kesehatan bahkan membuat keguguran. Itulah mengapa menjaga suasana hati dan pikiran ketika hamil perlu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh si ibu hamil sendiri, maupun dengan bantuan orang-orang di sekitarnya.
(23)
Aja nandhu banyu asah-asahan, ora ilok.
Makna gramatikal: jangan menyimpan air bekas mencuci piring, tidak pantas.
Makna kultural: dalam nasehat Jawa, menampung air bekas mencuci piring atau baju tidak diperbolehkan karena hal itu dapat membuat bayi yang dilahirkannya akan mempunyai kulit yang tidak bersih (berpenyakitan) dan telinganya selalu mengeluarkan kotoran (bahasa Jawa: kopokan). Seorang informan mengatakan: Banyu asah-asahan ditandu ora entuk. Mengko anake ndak carane kopoken. Sakit kuping kuwi lho. „Air bekas mencuci piring tidak boleh ditampung (dan disimpan). Nanti anaknya bisa kopokan. Sakit telinga itu lho‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010).
Selain itu wanita hamil dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dirinya dan lingkungannya. Hal ini dilakukan agar kelak ketika melahirkan ia diberi kemudahan karena selalu menjaga segala sesuatu di sekitarnya menjadi tetap bersih. Ila-ila untuk tidak menyimpan air bekas mencuci piring adalah agar anak yang dilahirkannya kelak bersih, tidak keruh seperti air bekas mencuci tersebut, dan juga agar kelahirannya berjalan lancar karena ia sudah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi jalannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Gugon Tuhon Merawat Bayi
(1)
Aja turu yen bar nglairke, mundhak kelindheh.
Makna gramatikal: jangan tidur setelah melahirkan, agar tidak trans (keadaan tidak sadar).
Makna kultural: pada umumnya menjaga orang yang lelah teramat sangat sehabis melahirkan agar tidak menuruti keinginannya untuk tidur karena :
a. Tidak terlanjur menjadi gila. Karena pada saat melahirkan, tenaga sudah terkuras dan merasakan sakit yang hebat, sudah pasti si ibu akan merasa sangat lelah dan hanya ingin tidur. Nah, pada saat tidur ini dikhawatirkan jika ia mendengar sesuatu yang mengagetkan, maka jiwanya akan tergoncang karena sentakan pada sarafnya yang mengakibatkan ia menjadi gila. b. Kekhawatiran kedua adalah karena kelelahan dan sakit yang hebat itu, pada saat tertidur, si ibu akan keterusan (bablas : bhs Jawa) meninggal karena sudah tidak punya tenaga untuk bangun.
Wawancara dengan ibu Sarmi akan menjelaskan sebabnya : Kelindheh itu nanti menyebabkan… ada yang kelindheh keterusan meninggal, ada kelindeh yang menyebabkan gila. Kelindheh itu kan bedabeda. Ya harusnya kan tidak boleh begitu itu. Kalau habis melahirkan ya harusnya terjaga. Jarak berapa jam itu. Harusnya ditungguin terus. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 26 Maret 2010). Sedangkan nara sumber lain mengatakan:
O niku masalahe nganu, nek jaman biyen, jarene widadari sekethi ki jek ngendhangi nek wong sing bar dhuwe anak turu. Ora kena turu ki merga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nek keblabasen dituntun karo widadari kuwi. Trus ana ta bar dhuwe anak nek turu keblabasan sok mati. Mulane nek wong nek bar dhuwe anak anyar aja turu sek, ya ndedonga saisa-isane, ngono tha Wuk? „O itu masalahnya begini, kalau jaman dahulu, katanya seratus ribu bidadari itu masih membujuk-bujuk orang-orang yang sehabis melahirkan langsung tidur. Tidak bioleh tidur itu karena kalau kebablasan nanti dituntun oleh bidadari itu. Lalu ada kan yang sehabis melahirkan lalu tidur malah keterusan meninggal. Makanya kalau orang setelah melahirkan itu jangan tidur dahulu, ya berdoa sebisa-bisanya kan, nak?‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 mei 2010).
Sedangkan informan yang lain memberikan cerita : O, nak kelindheh ki nganu ya, mas? Nak kelindheh ki piye kaya ibumu kae? Kuwi sok-sok pikirane pas kosong, ngalamun pa piye. Ngono nek kelindeh ki bablas setres, ibu e iki mbiyen ya ngono. „O, kalau kelindeh itu anu ya, mas? Kalau kelindeh itu bagaimana ibu kamu dulu? Itu terkadang pikirannya sedang kosong, ngalamun atau bagaimana. Kalau kelindeh itu keterusan gila, ibunya ini dulu juga begitu‟ (Wawancara dengan ibu Tunsiyah pada tanggal 9 Mei 2010).
Maka dalam kepercayaan Jawa, setelah melahirkan ia akan ditunggui oleh kerabatnya agar ia tidak tertidur. Karena biasanya setelah merasakan sakit dan kehabisan tenaga, ibu yang baru melahirkan rasanya ingin tidur saja. Oleh karena alasan-alasan diatas, sebaiknya ibu hamil terjaga dahulu dan berdoa atas keselamatan yang diberikan Tuhan YME.
(2)
Ora ilok bayi dolanan sikil, mundhak gedhene kesed. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: tidak pantas bayi bermain kaki, nanti besarnya malas.
Makna kultural: kalau seorang bayi sewaktu belum bisa berjalan suka bermain kaki, dengan mengulum jempol kaki atau memegangi kaki dengan tanggannya, maka kelak saatnya berjalan akan lebih lama dari waktu normalnya. Jika bayi lain rata-rata umur setahun sudah berjalan, maka bayi ini setahun lebih baru bisa berjalan. Seperti kata seorang nara sumber: Bocah ki nek sikile dimut, bocah mlakune suwe, kesed. Kan sok ana bayi sing dolanan sikil, dimut, kuwi kesed. Ya wes cara dene ki males. Anak kalau kakinya dikulum itu nanti jalannya lama, malas. Kan kadang ada bayi yang mainan kaki, dikulum, itu nanti malas. Ya memang malas. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Mungkin pada saat ia bermain dengan kakinya, hal ini membuat ia lebih asyik bermain daripada bergerak dan mencoba berjalan seperti kebanyakan anak yang penasaran dengan dunianya. Maka lebih baik orang tua mengalihkannya dengan mainan yang merangsang rasa keingintahuan si bayi.
(3)
Yen bayine durung rong taun, abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
Makna gramatikal: jika bayinya belum 2 tahun, barang-barangnya jangan dibakar, nanti berpenyakit kulit.
Makna kultural: anak yang belum berumur 2 tahun segala barang-barangnya seperti popok, kain yang dipakai sebagai alas, selimut, dan sebagainya tidak boleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibakar. Jaman dahulu mereka memilih untuk menenggelamkannya di sungai. Masyarakat sekarang yang sudah mengenal popok sekali pakai (pampers) namun masih konservatif pun memilih membuang popok tersebut di sungai. Walaupun disinyalir dapat mengotori sungai dan menyebabkan banjir, namun nyatanya masih ada masyarakat yang melakukan hal ini. Hal ini masih mereka lakukan karena jika barang-barang tersebut dibakar, nanti kulit pada bayinya akan terjangkit suatu penyakit yang penampakannya sepintas seperti luka bakar, orang Jawa menyebutnya sebagai suleden. Namun setelah saya tanyakan kepada paramedis, ternyata menurut mereka penyakit kulit ini adalah dompo, atau lazim disebut herpes.
Seorang nara sumber mengatakan: Bocah ben aja kena suleden. Suleden kwi awake kaya bentuk koreng-koreng ana banyune. Nek pama basa Indonesia kuwi cangkrangen. „Agar anak tidak terkena penyakit suleden. Suleden itu badannya seperti ada koreng-koreng dan berair. Kalau bahasa Indonesianya itu cangkrangen.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Namun jika ditelaah lebih lanjut, mengapa ada larangan membakar baju-baju bayi yang belum berumur dua tahun, mungkin hal ini disebabkan jika ketika membakar benda-benda tersebut dan si bayi berada di dekatnya, maka si bayi dapat terganggu pernapasannya, atau jika terkena mata si bayi, maka akan menyebabkan belekan atau penyakit mata lainnya.
(4)
Yen mlebu omah ana bayine, utawa tilik bayi, kudu langsung njujug mburi, gen bayine ora katutan sawan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: kalau masuk rumah yang ada bayinya, atau menjenguk bayi, harus langsung menuju ke belakang, agar bayinya tidak diikuti setan.
Makna kultural: ada beberapa tata cara adat bertamu untuk menjenguk bayi pada masyarakat Jawa. Yang pertama-tama saat ia masuk ke dalam rumah yang ada bayinya, maka mereka harus langsung menuju dapur, tidak boleh berhenti dulu untuk berbicara dengan bayinya, apalagi menyentuhnya. Pada jaman dahulu orang yang memasuki rumah ini diharuskan langsung menuju ke dapur untuk lalu menghangatkan kakinya di abu pembakaran atau kompor tradisional (ngawu-awu sikil neng pawon). Namun pada masyarakat desa Nanggulan sudah tidak ada yang melakukan tradisi ini. Pun ketika saya tanyai mengapa dahulu hal ini diterapkan, mereka tidak tahu karena mereka tidak pernah bertanya kepada orang tuanya. Mereka hanya ingat tradisi ini masih dijalankan pada jaman ayah ibu atau kakek nenek mereka. Seorang informan memberi keterangan: O ya, nek kuwi eneng, tapi yen saiki kan ora eneng pawon enenge kompor, kuwi wong cara wong tilik bayi kuwi bablas neng pawon sek, neng kamar mandi wisuh sek. Ngono ki nek ana apa-apa ka njaba mau ben ilang. Ora, rasah dipanas-panasi sing penting bablas neng kamar mandhi. Ora ana pawon, neng kamar mandhi wisuh terus neng nggone bayine. Ki ora papa. „O ya, kalau itu ada, tapi kalau sekarang kan tidak ada tungku, adanya kompor, itu kalau orang menjenguk bayi itu langsung ke dapu dulu, ke kamar mandi mencuci kaki tangan dahulu. Begitu itu kalau ada apa-apa dari luar tadi biar hilang dahulu. Tidak, tidak usah memanaskan kaki yang penting lasngsung ke kamar mandi. Tidak ada dapur, ke kamar mandi membasuh tangan-kaki baru menuju ke bayinya. Itu tidak apa-apa.‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 mei 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah melahirkan, orang-orang yang datang menjenguk bayi atau anggota keluarga yang datang dari bepergian selalu diharuskan tidak boleh berbicara dengan si bayi, langsung menuju ke belakang yang merupakan dapur dan kamar mandi, untuk lalu mencuci tangan, kaki dan muka. Setelah itu baru mereka boleh mendatangi si bayi. Rupanya bidan yang ditanyai memberikan argumennya: Jelas. Nek seka bepergian adoh apa tamu teka, fungsine dheknen kon mau kuwi karepe mungkin wijik. Wijik ki kan untuk membersihkan kuman, nek ngko nek meh demok bayike ki ben ora tertular. Bayi kan rentan terhadap kuman. Tapi nek ngilangi sawan ya sebenere ora. Cuma mungkin menjaga kebersihane. Cuman nak uwong kan muk ngubengi pawon thok uwis mbalik niliki bayi, itu tidak ngefek. Mungkin karepe wong ndhisik mungkin nek mlebu pawon, pawon kan dadi siji mbek kamar mandi. Karepe kon wijik ngono hlo mesthine. Dijupuk gampange thok, mlebu pawon ngono thok. „Jelas. Kalau dari bepergian jauh atau tamu datang, fungsinya mereka disuruh melakukan hal itu maksudnya mungkin membasuh. Membasuh itu kan untuk membersihkan kuman, agar nanti kalau mau memegang bayinya biar bayinya tidak tertular (virus, kuman penyakit). Bayi kan rentan terhadap kuman. Tetapi kalau menhilangkan sawan ya sebetulnya tidak. Cuma mungkin menjaga kebersihannya. Cuma kan kalau orang Cuma mengelilingi dapur saja lalu kembali menjenguk bayinya, itu tidak ngefek. Mungkin maksudnya orang dulu kalau masuk ke dapur, dapur kan menjadi satu dengan kamar mandi. Maksudnya disuruh membasuh tangan-kaki begitu lho seharusnya. Diambil gampangnya, disuruh masuk ke dapur saja‟ (Wawancara dengan ibu Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemungkinan besar maksud orang tua jaman dahulu adalah membersihkan diri dari kuman yang menempel dulu agar jika ada kuman, penyakit atau virus tidak tertular pada si bayi yang masih sangat rentan terhadap penyakit.
(5)
Yen ngejak bayi nyumbang, kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan manten.
Makna gramatikal: jika mengajak bayi kondangan, harus dimintakan bunga pengantin, supaya tidak diikuti setan.
Makna kultural: ada gugon tuhon yang mengatakan bahwa kalau membawa bayi ke kondangan, maka ia harus dimintakan bunga yang dipakai oleh pengantin, biasanya bunga tersebut berupa bunga melati. Lalu bunga tersebut dilumatkan dan dioleskan (bahasa Jawa: dipupukke) pada ubun-ubun bayi. Hal ini dilakukan agar si bayi tidak diikuti oleh sawan yang dipakai oleh si dukun pengantin. Biasanya dalam acara mantenan Jawa, dukun manten yang mengampu acara melakukan ritual-ritual untuk meminta bantuan roh-roh agar acara selametan pengantin ini berjalan lancar.
Seorang informan mengatakan : Ya kembang utawa wedhake. Kembang kena, wedhake ya kena. Wedhake ya di wedhakke raine. Kembange dokokne neng kuping, gulu, karo sikil barang, ya mbun-mbunan barang. Wedhaka ya nggon mbun-mbunan barang. Jenenge nggo nolak sawan, ben ora kena sawan manten. „Ya bunga atau bedaknya. Bunga boleh, bedak juga boleh. Bedakknya ya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibedakkan di mukanya. Bunganya diberikan di telinga, leher, dan kaki juga, ya ubun-ubun juga. Bedakpun ya di ubun-ubun juga. Namanya untuk menolak sawan, agar tidak terkena sawan manten‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(6)
Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi.
Makna gramatikal: jika menjenguk bayi, harus dimintakan bedak bayi.
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya para sanak saudara dan tetangga datang ke rumah untuk menjenguknya. Kebiasaan dari masyarakat Jawa bahwa jika datang menjenguk bayi yang baru lahir, kalau yang datang menjenguk membawa bayi atau anak kecil, maka mereka harus dimintakan bedak dari bayi yang baru lahir tersebut. Bedak itu dioleskan ke muka, telinga, ubun-ubun, tangan dan kaki „penjenguk kecil‟ tersebut. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka yang mendapat bedak ini dijauhkan dari sawan dan tidak menangis terus seperti bayi yang baru lahir tersebut.
Informasi yang diberikan oleh seorang nara sumber: Bocahe ben ora rewel wae. Ora rewel kaya bayine mau terus ngko nek njalukke wedhake, diwedhakke raine, mbun-mbunane, nggon awake. O ya, gen ketularan nduwe bayi. „Anaknya agar tidak rewel terus. Tidak rewel seperti bayi tadi terus kalau dimintakan bedaknya. Dibedakkan di mukanya, ubun-ubunnya, di mukanya. O ya, biar „ketularan‟ punya bayi (jika ibu yang belum pernah punya anak yang meminta bedak tersebut).‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan untuk para ibu yang belum hamil, meminta bedak bayi ini diharapkan agar ia segera „ketularan‟ untuk mendapat momongan juga.
(7)
Ora ilok bayi dijak ngaca.
Makna gramatikal: tidak baik bayi diajak mengaca.
Makna kultural: menurut orang Jawa, bayi tidak boleh diberi kaca atau diajak mengaca atau melihat bayangannya di kaca, karena dikhawatirkan jika melihat air ia akan mengikuti bayangannya itu. Orang Jawa mempercayai hal ini karena pada jaman dahulu tidak ada kamar mandi di dalam rumah, biasanya mereka mandi di sungai. Untuk anak kecil, sungai bisa serupa lautan karena ia tidak punya daya jika terhanyut.
Seorang informan memberi pendapat : Dijak ngaca. Bocah kuwi nek dijak ngaca, weruh bayangane dhewe to Nok? Hla ngko nek weruh banyu kempyarkempyar ngono bocah ngaca kuwi arep nututi bayangane nyemplung nyang nggon banyu, mulane cah cilik ora entuk sok diajak ngaca. „Diajak mengaca. Anak itu kalau diajak mengaca, lihat bayangannya sendiri kan, nak? Lha nanti kalau melihat air yang memantulkan bayangan begitu anak mengaca itu mau mengikuti bayangannya masuk ke dalam air, makanya anak kecil tidak boleh diajak mengaca‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Masyarakat lain memberi pendapat jika bayi tidak boleh diajak berkaca agar „pengasuh‟ si bayi, yaitu ‟saudara‟ yang menjaganya tidak takut ketika melihat bayangannya sendiri di cermin. Ia mengatakan: Ora ilok, ngko ndhak wedi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bayangane dhewe. Wedi ki sok girap-girapen mergane sing momong jabang bayine kuwi mau, kan jabang bayi ki ana sing momong, carane ki ana sing njaga. Sing wedi ki sing njaga. „Tidak pantas, nanti bisa takut bayangannya sendiri. Takut itu terkadang terkejut-kejut karena yang mengasuh bayinya tadi, kan bayi ada yang „mengasuh‟, istilahnya ada yang „menjaga‟. Yang takut itu yang menjaga‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(8)
Ora ilok bayi dilem.
Makna gramatikal: tidak pantas bayi dipuji.
Makna kultural: seorang bayi tidak boleh dipuji karena dikhawatirkan nanti kelak ketika ia besar, maka ia akan sombong dan tinggi hati karena semasa kecil ia terbiasa tahu bahwa dia mempunyai segalanya. Maka biasanya orang tua Jawa melakukan hal yang sebaliknya, mereka mengatakan “elek elek dhewe bayine” „bayinya paling jelek‟, hal itu dilakukan agar si anak selalu merasa bahwa ia tidak mempunyai apa-apa sehingga ia akan selalu rendah hati.
Informasi yang didapatkan dari seorang nara sumber: Ki memang nek wong mbiyen kuwi ora entuk bayi dilem-lem. Ngko nek dilem-lem ki kadhang sok bocah ngko nek gedhene dadi kaya bombongan. Kaya wes bagus-bagus dhewe, kaya wes apik-apik dhewe ngono kuwi. „Itu memang kalau orang jaman dahulu itu tidak boleh dipuji-puji. Nanti kalau dipuji-puji itu terkadang anak nanti kalau sudah besar seperti terbentuk menjadi sombong. Seperti sudah paling ganteng, paling baik begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gugon tuhon ini menjadi salah satu pendidikan etika pengasuhan anak, untuk membentuk kepribadian yang baik. Caranya dalah dengan tidak meninggikan hati anak tersebut dari semenjak dia bayi. Sesuai dengan kepribadia Jawa yang tidak suka memamerkan apa yang dipunyainya, maka orang tua Jawa pun mendidik anaknya dengan terbiasa untuk selalu rendah hati walaupun sebetulnya ia memiliki sesuatu.
(9)
Tangan bayi aja diambungi, ora ilok, mundhak gedhene njalukan.
Makna gramatikal: tangan bayi jangan diciumi, tidak pantas, nanti besarnya suka meminta.
Makna kultural: masyarakat Jawa percaya jika semasa kecil si bayi sering diciumi tangannya oleh orang tuanya, maka ketika besar ia akan menjadi delap, yaitu suka meminta barang yang dimiliki oleh orang lain, padahal ia sendiri telah memilikinya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Delap. Tangan bocah diambungi ngono kuwi ngko suk nek gedhe delap. Delap ki njalukkan, mlilikan. Bena neng ngomah panganan turah sembarang ana ki, ning iri karo kancane. „Delap. Tangan anak sering diciumi itu nantinya kalau sudah besar suka meminta. Delap itu suka meminta, iri hati. Biarpun di rumah makanan tersisa, semua ada itu, tetapi iri dengan teman-temannya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Maka biasanya jika ada yang menciumi seorang bayi, orang tua si bayi akan melarang orang tersebut untuk melakukan hal itu, dengan dalih gugon tuhon tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(10)
digilib.uns.ac.id
Klambi bayi aja dikebutne, mundhak bayine kagetan.
Makna gramatikal: baju bayi jangan dikibaskan, nanti bayinya mudah terkejut.
Makna kultural: dalam hal merawat pakaian bayi, selain harus dimasukkan ketika malam tiba, baju-baju bayi juga tidak boleh dikibaskan. Hal ini tidak boleh dilakukan karena nanti si bayi bisa sering terkejut ketika mendengar suara yang sangat pelan sekalipun (bahasa Jawa: girap-girap, kagetan). Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Ngko ndhak kagetan, girapen jarene. Apa sithik ndhak girapen jenenge. Nek wong mbiyen ki ana loro, klambi dikebutne karo bar lahir digebrak. Ning nek saiki klambi bayi ora oleh dikebutne. Nek digebrak arang-arang. Nek digebrak mungkin sing nggebrak bidane. „Nanti mudah terkejut (bayinya) girapen istilahnya. Ada sesuatu sedikit langsung terkejut. Kalau orang dahulu itu ada dua, baju dikibaskan dan digebrak setelah melahirkan. Tapi kalau sekarang baju bayi tidak boleh dikibaskan. Kalau digebrak sudah jarang. Kalau digebrak mungkin yang melakukan bidannya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Maka ketika mencuci, akan menjemur atau mengangkat jemuran, baju-baju bayi tidak boleh dikibas-kibaskan. Lebih baik secara pelan-pelan dibersihkan dengan tangan. Mengibaskan baju bayi tidak diperbolehkan mungkin jika kita mengibaskan kain dan si bayi berada di dekat kita, maka si bayi akan terkejut karena suara kibasan baju ini biasanya kuat dan tiba-tiba.
(11)
Yen bayine nangis kena sawan, mbun-mbunane dipupuki dlingo bengle. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: jika bayinya menangis terkena roh halus, ubun-ubunnya dioleskan dlingo bengle.
Makna kultural: jika seorang bayi menangis terus menerus dan bukan disebabkan oleh lapar, haus atau sakit dan menurut orang Jawa menangisnya sambil menutup mata serta tidak mengeluarkan air mata, maka hal itu adalah indikasi bahwa ia sedang diganggu oleh roh halus yang membuatnya tidak berani melihat, sehingga matanya selalu dipejamkan. Seperti halnya pengobatan dalam hal yang berkaitan dengan hal gaib, maka dlingo bengle selalu digunakan dalam pengobatan ini. Informasi yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Ya kuwi carane kuwi lelembut sing arep ngganggu bocahe kwi lunga. Dadi tolak bala carane ki. Lha memang kuwi kan (dlingo bengle) gamane wong mbiyen kan dlingo bengle tandurane. Jaman nenek moyange awak dhewe. Dlingo bengle kan tidak untuk dimakan. Nek lempuyang, kunir ngono kan untuk dimakan. Pembawaan dari jaman dahulu kala ki untuk menolak bala. „Ya istilahnya roh halus yang akan mengganggu si anak itu pergi. Jadi istilahnya untuk tolak bala. Ya memang dlingo bengle itu kan senjatanya ornga jaman dahulu. Jaman nenek moyang kita. Dlingo bengle kan tidak untuk dimakan. Kalau lempuyang, kunyit begitu kan untuk dimakan. Pembawaan dari jaman dahulu kala itu untuk menolak bala.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(12)
Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Makna gramatikal:
digilib.uns.ac.id
tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang
tuanya.
Makna kultural: bayi tidak boleh dipanggul karena ketika dewasa kelak ia akan berani melawan orang tuanya. Menurut masyarakat Jawa ketika seorang anak „ditinggikan‟ (dengan dipanggul), maka berarti orang tua telah meninggikan status seorang anak lebih dari dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Ora entuk dipunjui-punji, dekekne ndhuwure wong tuwa, dipunji ngono kae ora entuk ngko ndak gedhene ra ngajeni wani karo wong tuwa. Nek cah cilik ra entuk nek dipunji-punji ngono. „Tidak boleh dipanggul begitu, diletakkan di atas orang tua. Dipanggul begitu tidak boleh nanti besarnya berani dengan orang tua. Kalau anak kecil tidak boleh dipanggul-panggul begitu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Seorang anak yang sedang suka bermain hanya mengerti bahwa dipanggul sangatlah menyenangkan. Biasanya jika menurutnya hal itu menyenangkan, maka ia akan terus meminta tanpa dilarang. Orang tua hanya ingin membuat anaknya senang, maka tanpa sadar orang tua terus menuruti keinginan anaknya daripada melihat anaknya menangis. Hal inilah yang tanpa disadari telah mendidik anak untuk menjadi manja dan berani dengan orang tuanya karena merasa ia selalu dituruti oleh orang tuanya.
Tetapi memang memanggul seorang bayi sangat lemah dari segi keamanan. Karena ketika kita memanggul bayi yang belum dapat menyeimbangkan badannya sendiri, dan kita sedang tidak dalam posisi cekatan, ditambah lagi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlalu tinggi dari tanah, maka hal itu membahayakan jiwa si bayi. Badan bayi yang masih „empuk‟ dan ringkih akan menanggung luka yang sangat berat jika terjatuh dari tempat setinggi itu dibandingkan dengan orang dewasa yang jatuh dari jarak yang sama. Oleh karena itu biasanya jika kita memanggul bayi kita, biasanya orang tua kita akan langsung melarangnya.
(13)
Yen wis wengi, klambi bayi kudu dilebokne, mundhak bayine nangis.
Makna gramatikal: jika sudah malam, baju bayi harus dimasukkan, nanti bayinya menangis.
Makna kultural: ketika sudah beranjak malam, maka baju-baju bayi yang masih berada di luar rumah harus segera dimasukkan ke dalam rumah. Kalau tidak dimasukkan biasanya si bayi akan rewel. Sebagian masyarakat yang dimintai keterangan mengatakan sebab bayinya rewel adalah karena bajunya yang berada di luar dipakai mainan oleh sawan-sawan yang berkeliaran. Namun beberapa masyarakat yang saya tanyai mengatakan kalau mereka menangis dikarenakan mereka masuk angin karena semalaman bajunya terkena embun yang merasuk ke dalam baju mereka hingga keesokan harinya. Embun ini membuat mereka masuk angin karena merasa baju mereka anyep. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Cepet masuk anginan. Pakaian bayi ki ora entuk diisiske neng njaba bengi bocah ndhak kerep masuk angin, kena pilek, watuk pilek ngono kwi. Kwi marai ora apik. „Sering masuk angin. Pakaian bayi itu tidak boleh dianginanginkan di luar rumah saat malam, nanti anak sering masuk angin, kena pilek, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
batuk pilek begitu. Itu membuat tidak baik.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Maka ketika malam menjelang, baju-baju bayi harus segera „diamankan‟ ke dalam rumah agar si bayi merasa nyaman memakai baju mereka ketika kering nanti.
(14)
Aja ngombe es.
Makna gramatikal: jangan minum es.
Makna kultural : seperti halnya orang tua yang perlu menjaga metabolisme tubuhnya agar tetap baik, ibu menyusui yang mana semua yang dimakannya akan dimakan juga oleh si bayi juga harus menjaga asupan makannya karena metabolisme bayi masih belum sempurna. Maka ibu menyusui tidak boleh makan sembarangan, salah satunya tidak diperbolehkan minum es.
Informan saya yang merupakan seorang bidan mengatakan : Terus, mimik es. Ora entuk mimik es yen nyusoni ya memang iya, otomatis kan aire dingin bisa nyebabkan pilek. „Lalu minum es. Tidak boleh minum es kalau menyusui ya memang iya, otomatis kan airnya (ASI) dingin bisa menyebabkan pilek.‟ (Wawancara dengan ibu Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010).
Sama dengan ibu hamil, biasanya es yang dibeli di warung terbuat dari air mentah yang dapat membuat ibu menyusui menjadi pilek. Jika si ibu pilek, otomatis si bayi yang daya tahan tubuhnya masih rentan pun akan ikut pilek. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Padahal jika si bayi yang pilek tentu akan sangat menyusahkan karena masih sulit untuk mengatasi pernapasannya. Oleh karena itu sebaiknya ibu menyusui menjaga asupan konsumsinya agar ibu dan bayi sama-sama sehat.
(15)
Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
Makna gramatikal: jangan makan yang pedas-pedas, nanti bayinya kalau buang air besar ada biji cabainya, atau kalau tidak matanya akan ada kotorannya.
Makna kultural : kepercayaan orang Jawa, jika si ibu memakan sesuatu yang pedas, maka si bayi akan merasa kepedasan dan dalam kotorannya akan ada biji cabainya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Nek lagi menthili maem pedhes ki kadhang ngko iso metu neng penthile, wiji lomboke ki mau. Dadi marakke bocah rembesan. Dadi pancen kwi mau ra dientukke wong tuwa-tuwa mbiyen. „Kalau sedang menyusui lalu makan makanan pedas itu kadang bisa keluar lewat ASInya, biji cabainya itu tadi. Jadi membuat anak selalu mengeluarkan kotoran mata (bahasa Jawa: lodokan). Jadi memang hal itu tadi tidak diperbolehkan orang tua-orang tua jaman dahulu.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 januari 2011).
Sebetulnya biji cabai yang dimaksud adalah kotoran pada umumnya yang sekilas berbentuk seperti cabai. Tetapi secara medis jika si ibu memakan sesuatu yang pedas apalagi yang sangat pedas, maka pencernaan si ibu akan terganggu. Jika kesehatan ibu terganggu, maka sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam mengasuh si bayi. Seorang pakar dalam ilmu teknologi pangan mengatakan:
Sebenarnya cita rasa pedas yang dikonsumsi ibu menyusui tidak berdampak secara langsung kepada bayi. Namun sebaiknya memang dibatasi makanan yang terlalu merangsang, sebab akan berpengaruh pada kestabilan kesehatan ibu. (Hindah J Muaris dkk. 2005: 144).
Menurut ahli medis, sebetulnya memakan sesuatu itu tidak dilarang, namun dalam jumlah yang semestinya. Tidak boleh berlebih-lebihan karena hal itu pasti akan berdampak tidak baik untuk kesehatan.
(16)
Aja mangan sing panas-panas.
Makna gramatikal: jangan makan sesuatu yang panas.
Makna kultural: salah satu gugon tuhon orang tua Jawa jaman dahulu adalah tidak duperkenankan mengkonsumsi makanan yang masih panas karena akan membuat si bayi sakit pada mulutnya, seperti sariawan. Seorang informan mengatakan: Nek nyusoni ngombe panas-panas ki kan ngko banyune susu otomatis dadi panas, ngko neng pencernaane bayi dadi ora apik. Sering sariawan juga bisa. „Kalau menyusui minum (atau makan) sesuatu yang panas-panas itu kan nanti ASInya otomatis jadi panas, nanti pada pencernaan bayi tidak baik. Sering sariawan juga bisa.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ibu menyusui tidak diperkenankan memakan sesuatu yang masih panas karena dipercaya nantinya menyebabkan si anak sariawan karena meminum ASI yang terlalu panas untuknya. Sedangkan jika sampai di pencernaan, akan membuat metabolisme anak terganggu.
Jika ditelaah lebih lanjut, kalau kita memakan sesuatu yang masih panaspun tidak baik bagi kesehatan kita. Selain mengganggu metabolisme ibu, meminum seseuatu yang terlalu panas akan membuat lidah si ibu sariawan (bahasa Jawa: kecanthang). Jika kesehatan ibu terganggu, maka dalam menjaga asupan gizinya pun ia tidak akan maksimal.
(17)
Bubar nglairke, yen adus gebyur wuwung.
Makna gramatikal: setelah melahirkan, kalau mandi matanya diguyur.
Makna kultural: gebyur wuwung adalah mengguyur matanya langsung dengan air dengan keadaan mata terbuka lebar. Menurut mereka ada bahnyak manfaat dari cara mandi ini seperti yang diungkapkan oleh ibu Sarmi: Nek bar nglairke kudu gebyur wuwung. Gen padhang mripate. Gen geteh putihe gen aja munggah neng mripat awak dhewe ben ora cepet lamur. ‟ Kalau setelah melahirkan harus gebyur wuwung. Agar terang matanya. Biar darah putihnya tidak naik ke mata kita, agar tidak cepat lamur matanya.‟ (Wawanvcara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Hal ini dianjurkan oleh orang tua Jawa karena dipercaya dapat membuat darah putih (yang biasanya naik ke mata setelah seorang wanita melahirkan) tidak jadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
naik ke mata. Darah putih ini akan membuat ibu yang habis melahirkan selalu awas matanya sampai tua. Selain itu hal ini dilakukan agar wanita yang lelah sehabis melahirkan selalu segar dan tidak mengantuk ketika saatnya mengasuh bayi.
(18)
Yen mbanjeli sasi, bayi mundhak akale. Biasane lara karo mencret, ngenthengenthengi.
Makna gramatikal: jika bulan ganjil, bayi meningkat akalnya. Biasanya sakit dan diare, meringankan.
Makna kultural: ada kepercayaan yang mengatakan jika seorang bayi akan bertambah akalnya pada saat berumur bulan ganjil hal ini ditandai dengan si bayi yang sakit tetapi tidak lama. Keterangan dari seorang informan mengatakan: Mbanjeli ki ya telung sasi sangang sasi kan ganjil, kuwi arep mundhak akale. Nek arep mundhak akale ki mesti bocahe mencret tur mambune arum ngono lho, tapi nek masuk angin ambune amis.
Nek mbanjeli sasi ambune biasa tapi
mencret. „Mbanjeli (mengganjili bulan) itu ya tiga bulan sembilan bulan itu kan ganjil, itu mau bertambah akalnya. Kalau mau bertambah akal itu pasti anaknya daire tetapi baunya harum begitu lho, tapi kalau masuk angin baunya amis. Kalau mbanjeli sasi baunya biasa tetapi diare.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Secara logis hal ini tidak memungkinkan untuk terjadi, mengapa penambahan daya nalar bayi terjadi setiap bulan ganjil dan disertai bayi menjadi diare dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sakit. Namun masyarakat Jawa mempercayai hal ini dan menurut mereka memang betul setiap bulan ganjil bayi mereka sakit yang bukan disebakan oleh suatu penyakit. Cara mereka mendeteksi sakit yang disebabkan oleh kuman atau karena mereka akan bertambah akal, adalah jika diare si bayi tidak berbau busuk. Baunya khas bayi. Jika hal ini tetjadi maka biasanya sakitnya tidak akan lama dan setelah si bayi sembuh, ia akan bisa melakukan suatu hal yang baru. Entah itu tengkurap, merangkak, berjalan, berbicara, atau hal yang lainnya.
(19)
Yen nginep neng panggon adoh, aja lali nggawa lemah saka batire. Didokokne ngisor kasur, ben bayine betah.
Makna gramatikal: jika menginap di tempat jauh, jangan lupa membawa tanah dari tempat mengubur ari-arinya. Ditaruh di bawah ranjang, supaya si bayi kerasan.
Makna kultural: ketika seorang bayi akan diajak bepergian yang jauh dari rumahnya dan dalam kurun waktu yang lama. Biasanya orang tua Jawa akan mengambil tanah dari tempat dikuburnya ari-ari si bayi, untuk kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan ketika sudah sampai di tempat tujuan, plastik berisi tanah tersebut akan diletakkan di bawah tempat tidur si bayi di bagian bawah kepalanya. Keterangan dari seorang informan: Ya bocahe yen lelunga ya gen kerasan. Ora nangis wae, dadi bocahe nek diejak neng ndi-ndi ra kemrungsung ngejak bali, nek nggo lemah batir neng ndi-ndi. Ya ra ketung sithik kuwi nggawa. Lha bocah kan padha wae tanahe digawa, lemah klahirane, sing momong ya digawa. „Ya kalau bepergian ya biar kerasan. Tidak nangis terus, jadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anaknya kalau diajak ke mana-mana tidak tergesa-gesa mengajak pulang, kalau membawa tanah batir kemana-mana. Ya walaupun cuma sedikit itu membawa. Anak kan sama saja tanahnya dibawa, tanah kelahirannya, yang „mengasuh‟ juga dibawa‟ (Wawancara dengan ibu sarmi pada tanggal 5 januari 2011).
Hal ini dipercaya dapat membuat si bayi betah berada di tempat yang jauh dari kampung halamannya tersebut karena ia membawa serta tanah kelahirannya. Dan lagipula dengan membawa tanah tersebut berarti ia telah membawa ‟saudara pengasuhnya‟ untuk turut serta bersamanya.
Selain itu mengajarkan kelak ketika ia dewasa ia akan terus mengenang tanah kelahirannya, tanah Jawa yang memberinya kehidupan seperti sekrang. Tradisi ini dapat menjadi semacam pendidikan nasionalisme dini untuk anak agar mengahargai dan mengingat leluhurnya.
(20)
Pupak puser disimpen, mengko yen gedhe isa dinggo obat yen bayine lara.
Makna gramatikal: tali pusar yang sudah lepas disimpan, nanti kalau besar bisa dipakai untuk obat kalau bayinya sakit.
Makna kultural: masyarakat Jawa percaya bahwa seseorang bisa mengobati dirinya sendiri. Ketika ia sedang sakit maka ia bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk menyembuhkannya. Caranya adalah dengan meminum air rendaman tali pusarnya sendiri yang telah terlepas ketika masih bayi. Pupak puser ini direndam di dalam air panas, lalu langsung diminum untuk menyembuhkan penyakitnya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Umpama disinggahi, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diprimpenke, misale nek meh arep mbok kanggokke ngompres, kuwi dikumke pusere kuwi mau, dikeki godhong dhadhap serep dinggo ngompres, umpama panas ora sida panas. Ngurangi ngono lho. „Kalau disimpan dengan baik, misalnya kalau mau dipakai mengompres, itu direndamkan pisarnya itu tadi, diberi daun dadap serep dipakai mengompres, seumpama panas tidak jadi panas. Mengurangi begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Sedangkan cara lain yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah: Kethokane puser ta? Kuwi disimpen kena, mbok untal kena. Mbok pangan nil karo gedhang. Kuwi ngko nek bocahe panas apa nganu ki carane kowe ngidoni bocahmu, bocahmu wis anyep. Nek disimpen, kan sok-sok ya lali, ilang. Kuwi umpamane garing. Ngko nek bocahe panas, misale ya laralah, kuwi dikum. Dikum trus dikompresake. Dikompresake, ngge ngompres. Ning aku mbiyen tak kon mangan pakne. Ya aku ra tegel. Sok-sok ndhisik nek panas pa wetenge lara gur diidoni pakne, diklaras alhamdulilah paringane mari. Tekan sak yahene dadi jaka kuwi. Kuwi ya aja sampek ilang. Umpamane kon mangan bapake ra papa ibue ra papa. Ya kena ngge conto tenan, Wahid ki mbiyen ya. Nggur nek lara sitik ngono lara weteng, apa apa ngono ki diparak mbek pakne, diidoni. „Potongan ari-ari kan? Itu disipan boleh, kamu telan juga boleh. Kamu telan dengan pisang. Itu nanti kalau anaknya panas atau apa, caranya nanti kamu ludahi, anakmu langsung dingin(sembuh). Kalau dismpan kan terkadang hilang, lupa. Itu kalau kering. Nanti kalau anaknya panas, misalnya ya sakitlah itu nanti direndam. Direndam lalu dikompreskan. Kalau saya dulu saya suruh makan bapaknya, saya tidak berani. Terkadang dahulu kalau panas atau sakit perutnya hanya diludahi bapaknya, diusap, alhamdulillah diberi selamat. Samapi sekarang menjadi perjaka itu. Itu ya jangan sampai hilang. Seumpama disuruh makan bapaknya tidak apa-apa, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ibunya juga tidak apa-apa. Ya betul-betul bisa jadi contoh, Wahid itu dulu juga begitu. Kalau cuma sakit sedikit, sakit perut atau apa begitu datang kepada bapaknya, diludahi‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
Itulah sebabnya orang tua Jawa selalu menyimpan pupak puser ini agar tidak sampai hilang. Cara menyimpannya pun tidak boleh sembarangan. Setelah dikeringkan, pupak puser disimpan didalam plastik atau dibungkus di dalam kain dan disertakan dlingo bengle di dalamnya. Pupak puser ini dijaga jangan sampai dimakan oleh binatang-binatang.
Ada lagi cara masyarakat menggunakan pupak puser ini sebagai sarana untuk penyembuhan, yaitu dengan menelankan sendiri benda ini kepada si bayi, agar ketika dewasa ia bisa mengoleskan liurnya untuk mengobati sakit atau lukanya.
(21)
Wiwit bayi lair ceprot, aja lali neng kasure didokoki dlingo, bengle, sisir, kaca, gunting, karo seblak kanggo tolak bala.
Makna gramatikal: dari bayi lahir, jangan lupa di ranjang ditaruh dlingo, bengle, sisir, kaca, gunting, dan sapu lidi untuk menolak bala.
Makna kultural: selepas melahirkan, disamping tempat tidur bayi harus diletakkan beberapa benda. Terkadang beberapa masyarakat yang saya tanyai memberikan keterangan berbeda. Pun tentang maknanya, ada beberapa perbedaan malah ada yang tidak mengetahui maknanya. Namun sebagian besar menjawab benda wajib yang harus ada adalah dlingo bengle. Rempah sejenis kunyit dan kencur ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi salah satu senjata para ibu untuk tolak bala yang berhubungan dengan bayi. Menurut mereka, bau dlingo dan bengle yang sangit tidak akan disukai para makhluk halus. Sedangkan kaca dimaksudkan nanti jika si setan berniat mengganggu lalu melihat bayangannya sendiri, ia akan takut (itulah mengapa kacanya tidak boleh diletakkan tertelungkup). Sisir dan gunting dimaksudkan sebagai senjata jika alat-alat tadi tidak mempan, maka kedua benda ini akan menyakiti mereka. Sedangkan seblak (kelud bahasa Jawa, atau sapu lidi yang digunakan
untuk
membersihkan
tempat
tidur,
bukan
untuk
meyapu)
menyimbolkan bahwa kakek nenek buyut si bayi yang sudah meninggal akan turut menjaga si bayi dari gangguan-gangguan makhluk halus. Seorang informan memberikan keterangan:
Kuwi mergo demi keamanan ya kuwi mau, bocah gen ra di ganggu gawe karo barang sing ora ketok. Goi peso, ngilon, jongkat ngono ki ya ngono mau, barang lelembut sing arep nggodha, carane bocahe ngko isa muring isa apa ki wis dijaga karo kuwi mau. Ngilon kuwi carane bayangane ketok, carane lelembut wis wedi sek. Wis ketok bayangane sik jarene, trus ketok. Umpamane awak dhewe ora weruh, neng kaca kan ketok ya. Kono arep nganu wae carane neng super market goi kaca, goi emas nek wong arep nyolong kan ketok sek. Carane ngono nganggo tolak bala. Lha ya kuwi gunting ya cara peso, gunting ya eneng peso ki wedi cara lelembut ki wedi. Nek cara wong mantu wae, wong mantu kae nggon dhuit kae ta kan dokoki jongkat, dokoki kaca, doko‟i bawang lanang ki kanggo tolak bala, carane tuyul, setan kae mara njupuk dhit wis ra wani. Jarene. Itu karena demi keamanan ya itu tadi, agar anaknya tidak diganggu makhluk halus. Diberi pisau, cermin, sisir begitu itu ya itu tadi, makhluk halus yang mau menggoda, istilahnya anak menjadi rewel, itu tadi sudah dijaga benda-benda tadi. Cermin itu kalau bayangannya terlihat, lelembut sudah takut dulu. Sudah terlihat bayangannya dulu katanya, trus terlihat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seumpamanya kita tidak bisa melihat, di kaca kan kelihatan. Dia mau mengganggu saja, seperti di supermarket kan diberi kaca, di took emas juga, kalau orang mau mencuri kan terlihat duluan. Cara begitu itu untuk tolak bala. Lha ya itu gunting, pisau itu membuat lelembut takut. Kalau orang mantu saja, di dalam kenclen (tempat menyimpan sumbangan) itu kan diberi sisir, kaca, bawang, itu untuk menolak bala, tuyul setan itu kalau mengambil uang tidak berani. Katanya. (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
Dalam buku Serat Babad Ila-ila yang mengisahkan tentang sejarah ila-ila (nasihat) Dewi Sri untuk orang yang mempunyai bayi adalah untuk selalu menyediakan sesaji untuk tolak bala. Sesaji yang disebut beberapakali itu antara lain sirih, kaca, kemucing, sapu, dlingo, bengle, tempat sirih, kapur, dan kelud. Selain itu pelita dalam kamar si bayi tidak boleh padam jika malam, dan ayah si bayi harus terus berjaga semalaman.
(22)
Bocah yen wis jeblok pisan ora bakal mandhek nganti ping pitu.
Makna gramatikal: anak kalau sudah jatuh sekali tidak akan berhenti sampai tujuh kali.
Makna kultural: adalah suatu keharusan untuk mengasuh anak dengan hati-hati. Namun terkadang ada kalanya kita lalai. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ketika si bayi sudah pernah jatuh sekali, maka ia tidak akan berhenti terjatuh hingga tujuh kali. Seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Tuman. Nek commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keglundhung ya keglundhung terus. Nek durung ping pitu durung mandhek. Nek wong mbiyen keglundhung pisan langsung gebyur banyu nggone le tiba kuwi mau. Nek wong mbiyen. Ya ben aja tiba meneh karepe. „Kebiasaan. Kalau jatuh ya jatuh terus. Kalau belum tujuh kali belum berhenti. Kalau orang jaman dahulu jatuh sekali langsung diguyur air tempatnya jatuh tadi. Kalau orang jaman dulu. Ya biar tidak jatuh lagi maksudnya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Biasanya yang dimaksud dengan „jatuh‟ pada konteks ini adalah jatuh ketika tertidur atau berada di sutu tempat yang agak tinggi (dari kursi, meja, mainan, kasur atau dalam gendongan), tetapi bukan ketika ia sedang belajar berjalan. Untuk mengatasi agar si anak tidak terjatuh lagi dan lagi, biasanya tempat di mana si anak terjatuh akan disiram dengan air. Cara ini dilakukan karena menurut mereka tempat itu „panas‟, makanya si anak terjatuh di tempat tersebut.
(23)
Kuku karo rambut bayi ora oleh dikethok sak durunge bayi umur 40 dina.
Makna gramatikal: kuku dan rambut bayi tidak boleh dipotong sebelum bayi berumur empat puluh hari.
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya ia akan dikenakan sarung tangan dan sarung kaki berbentuk bulat. Hal ini dilakukan selain untuk menghangatkan tangan dan kaki bayi, juga agar kuku bayi tidak melukai kulitnya sendiri jika tanpa sadar tercakar. Karena sebelum empat puluh hari kuku dan rambut bayi tidak diperbolehkan untuk dipotong ataupun dicukur. Setelah selametan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selapanan, barulah rambut bayi dicukur oleh si dukun bayi. Rambut ini kemudian dikubur di batir, atau jika menggunakan cara Islam boleh juga ditimbang untuk kemudian dihargai seharga emas dan uangnya dipakai untuk bersedekah.
Masyarakat yang lain mengatakan: Ya kuwi kudune sing ngethok ya pak mudin ya sok sapa. Bocah kan isih empuk. Lantarane kuku kan ya durung wani, ijeh mesakake. Iku ra eneng apa-apane. Ra eneng efeke apa-apa, carane ngenengene ora eneng. Ya mung kuku kan carane wis atos, dadine wis wani. „Ya itu harusnya yang memotong pak modin atau siapa. Bayi kan masih empuk. Karena kuku kan belum berani, kasian. Itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada efek apa-apa, caranya begini-begini tidak ada. Ya cuma kalau kuku nanti sudah keras, jadinya sudah berani‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
(24)
Kethokan kuku karo rambut bayi ora oleh dibuwang sak enggon-nggon.
Makna gramatikal: potongan kuku dan rambut bayi tidak boleh dibuang di sembarang tempat.
Makna kultural: setelah berumur empat puluh hari, barulah kuku dan rambut bayi boleh dipotong. Namun potongan kuku dan rambut ini tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Benda-benda ini harus dibuang di mana tembuni si bayi dikubur. Hal ini dilakukan agar apapun yang terlepas dari si bayi dapat menyatu bersama-sama. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Dokokke ari-ari. Nggon batire kuwi mau. Carane nek ana apa-apa ben menyatu karo batire kuwi mau. Rambut karo kuku kuwi mau. „Ditaruh di tempat mengubur ari-ari. Istilahnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kalau ada apa-apa biar menyatu dengan tempat mengubur ari-arinya tadi. Rambut dan kukunya tadi‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Sedangkan masyarakat lain mengatakan: Kuwi ya ben dadi siji, bocah paringi tentrem, ayem, lerep, dadi bocah sing soleh solehah. „Itu ya agar menjadi satu, anak diberi ketentraman, ketenangan, menjadi anak yang soleh solehah‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
(25)
Turahan ASI kudu dibuwang neng batir.
Makna gramatikal: sisa ASI harus dibuang di tempat mengubur ari-ari.
Makna kultural: pada sebagian ibu yang produksi ASInya baik, biasanya setelah melahirkan, ASI sampai mengucur deras dan tidak sempat diminum oleh si bayi. Agar payudara tidak bengkak, ASI harus dipompa keluar. Sisa ASI yang tidak terminum oleh si bayi ini tidak boleh dibuang sembarangan. Sisa ASI ini harus dibuang di tempat di mana tembuni bayi dikubur. Hal ini dilakukan agar ASI ibu tidak terminum oleh hewan-hewan seperti tikus atau anjing yang tidak sengaja menemukan sisa ASI ini. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Ya ben anu, ben ra ngelak terus. Bocahe dadine ben ayem tentrem. Banyu susu mau ta, dibwuak neng batir, nek dibuang saenggon-enggon didilati kewan-kewan, misale kaya asu, kaya kirik ngono kuwi ta. „Ya biar tidak haus terus. Anaknya jadinya biar tenang tenteram. Air susu tadi kan, dibuang di tempat mengubur ariari, kalau dibuang di sembarang tempat nanti dijilati hewan-hewan, misalnya seperti anjing begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(26)
digilib.uns.ac.id
Bayi gek ntes lair kudu digebrak ping telu supayane ora kagetan.
Makna gramatikal: bayi baru lahir harus diberi suara gebrak agar tidak kagetan.
Makna kultural: dalam tradisi Jawa, sesaat setelah bayi lahir ia harus diberi „kejutan‟ agar sesudahnya ia terbiasa dan tidak mudah terkejut oleh suara yang pelan. Maka sesaat setelah lahir orang tuanya biasanya membuat suara agak keras dengan menggebrak tempat tidur di sebelah telinga si bayi sebanyak tiga kali. Seorang nara sumber mengatakan: Ben ra kagetan memang kudu digebrak. Kagetan ki misale nek ana apa-apa sitik langsung teng gregap. Glagepan terus. „Agar tidak mudah terkejut memang harus diberi suara agak keras. Mudah terkejut itu misalnya kalau ada apa-apa langsung tergopoh-gopoh‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(27)
Aja disusoni penthil kopong, ora ilok. Mundhak gedhene sombong.
Makna gramatikal: jangan disusui payudara yang tidak ada ASI nya, tidak pantas. Nanti besarnya sombong.
Makna kultural: terkadang ibu si bayi tidak bisa menjaga si bayi sendirian dikarenakan ada kepentingan. Lalu biasanya si bayi ditipkan oleh neneknya atau sanak saudaranya yang lain. Dan ketika ditinggal ini tidak jarang si bayi menangis mencari ibunya. Untuk mendiamkannya, terkadang si nenek atau sanak saudaranya menyusui si bayi dengan payudara yang tidak ada ASInya karena memang mereka tidak habis melahirkan. Inilah yang dinamakan penthil kopong, yaitu payudara yang tidak berisi ASI. Hal ini tidak ilok dilakukan karena akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuat bayi tumbuh menjadi anak yang sombong karena diberi sesuatu yang kopong (bahasa Jawa: digabuk). Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Bocah ngko nek gede ndak sombong. Sombong ki tidak ada kenyataan ki tapi dibilange kaya wis nduwe ngono lho. Kan jenenge penthil kosong, botol kosong ki ya ndak boleh diminumke. Ngko ndak bocahe gede ndak sombong. Jenenge digabuk. Nek wong Jawa jenenge digabug. Digabug ki carane ra ono buktine tapi diomongke sak nyatane „aku nduwe mobil‟ tapi nyatane kan ora. „Anak itu nanti besarnya sombong. Sombong itu tidak ada kenyataannya tetapi dikatakan sudah punya. Kan namanya penthil kopong, botol kosong itu juga tidak boleh diminumkan. Nanti kalau besar anaknya sombong. Namanya digabuk. Kalau orang Jawa disebut digabuk. Digabuk itu tidak ada buktinya tetapi dikatakan sebetulnya „saya punya mobil‟, tetapi kenyataannya kan tidak‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Dalam pembentukan kepribadian anak, ketika si anak terbiasa diberi sesuatu yang sebetulnya tidak ada hal itu akan membuat ia menjadi anak yang berkepribadian merasa mempunyai sesuatu padahal ia tahu hal itu tidak ia miliki. Maka anak harus dididik untuk menerima sesuatu apa adanya sedari dini.
(28)
Sak umpamane lagi nggendong bayi banjur bayine jeblok, jarik sing dinggo nggendong kudu langsung disuwek kanggo buwang sengkala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: seumpama sedang menggendong bayi lalu bayinya jatuh, selendang yang dipakai menggendong harus langsung disobek untuk membuang keburukan.
Makna kultural: biasanya kita menggendong anak kita dengan selendang agar tidak mudah terlepas. Namun adakalanya orang lalai hingga membuat si bayi terjatuh. Menurut salah seorang informan, jika hal ini terjadi maka si anak tidak akan selamat dalam artian akan meninggal entah dalam waktu singkat atau berselang tahun setelah ia sakit-sakitan (bahkan informan tersebut pada mulanya enggan menceritakan hal ini karena ia khawatir hal ini akan nyawani, membawa pengaruh buruk). Jika hal ini terjadi, salah seorang informan memberitahukan agar si ibu menyobek selendang yang dipakai ketika si anak terjatuh tersebut untuk membuang sial yang ditimbulkan oleh selendang tersebut. Karena jika tidak disobek dikhawatirkan si bayi akan terjatuh kembali jika digendong dengan selendang tersebut, bahkan akan menyebabkan si bayi meninggal. Ia mengatakan: Disowek, ya carane ki seumpama bayine tiba, yen disowek ki supaya bayine kuwi paringi selamet neng ati, ki kaya ngono yen konangan. Tapi yen ra konangan bocahe ndhak ra paringi selamet. Mbuh jenenge selamet kuwi tiba pa ra nana. Dadi nek seumpama reti golekne peso apa langsung diwek, mbok ra ketung kwi ngko di sambung meneh, mboka jarike anyar. „Disobek, ya seumpama bayinya jatuh, kalau disobek itu supaya bayinya itu diberi keselamatan, itu seperti itu kalau ketahuan. Tetapi kalau tidak ketahuan nanti anaknya tidak diberi keselamatan. Entah keselamatan itu jatuh atau tidak ada (meninggal). Jadi kalau seumpamanya tahu, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
carikanlah pisau atau langsung disobek, walaupun nanti disambung lagi, walauoun selendangnya baru‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Menurut kepercayaan orang Jawa, jika seorang anak terjatuh dari gendongan ketika menggunakan selendang, maka biasnya akibatnya akan fatal. Secara logis hal itu masuk akal karena ketika terjatuh dari selendang, biasanya posisi bayi sedang duduk. Padahal tulang belakang merupakan pusat saraf dari seluruh tubuh. Sedangkan masyarakat lain yang mematuhi cara Jawa mengatakan: “Aku wes tau ya, nggendong adhiku. Ya aku ra ngerti ning aja kuwi. Bocah midun saka gendongan kuwi sok okeh-okeh ora keno ditututi. Akhire ki lara, mboh sesasi apa setahun. Dadine aja sampek, pokoke diati-ati.” „Saya sudah pernah ya menggendong adik saya. Ya saya tidak tau tetapi jangan itu. Anak turun (ia menghaluskan kata „jatuh‟) dari gendongan itu kebanyakan tidak dapat diikuti (nyawanya). Akhirnya nanti sakit, entah sebulan atau setahun kemudian. Pokoknya hati-hati, jangan sampai‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010). Hal ini menandakan bahwa pada orang yang percaya dan pernah mengalaminya langsung, kejadian ini sangatlah mengerikan. Maka dalam mengasuh bayi yang masih sangat aktif dan pergerakannya sulit diprediksikan orang tua harus sangat hati-hati dan selalu menyediakan pengamanan cadangan selain dirinya sendiri.
(29)
Yen kena kaya dhompo kuwi sabenere kena sawan, mula kudu langsung diluluri parutan dlingo bengle.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: kalu terkena dompo itu sebetulnya terkena sawan, maka harus langsung dibalur parutan dringo bengle.
Makna kultural: dalam bahasa Jawa, dhompo diistilahkan sebagai suleden, suatu penyakit kulit seperti terbakar dan berisi air yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Karena hal ini ditimbulkan oleh makhluk halus, maka orang tua Jawa akan menggunakan sarana penyembuhan yang selalu digunakan, yaitu dengan dlingo bengle. Tanaman sejenis umbi-umbian ini akan dihaluskan, boleh dengan cara diparut atau ditumbuk, untuk kemudian dioleskan ke kulit bayi yang sakit tersebut. Setelah itu, diharapkan sawan yang mengganggu si bayi segera pergi dan si bayi lekas sembuh. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan: Ya nek wong mbiyen ngono ya ditambani kuwi, dlingo karo bengle. Haa, ditambakke ditemplek-templekke ngono kwi. Nek wong mbiyen, tambani ya nggo dlingo bengle. „Ya kalau orang jaman dahulu itu ya diobati dengan itu, dlingo dan bengle. Iya, ditempel-tempelkan
begitu itu. Kalau orang dulu
diobatinya ya dengan itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011). Karena pengobatan dengan dlingo bengle ini selalu digunakan jika mempunyai bayi, maka seseorang yang sedang mempunyai bayi dianjurkan untuk selalu menyimpan dlingo dan bengle ini untuk persediaan saat-saat darurat.
(30)
Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu.
Makna gramatikal: tidak pantas menggendong anak sambil menyapu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: debu, bagaimanapun adalah hal yang tidak baik untuk kesehatan karena dapat mengganggu pernapasan. Ternyata, masyarakat Jawa mempunyai penafsiran lain yang diturunkan kepada anak cucunya. Maka mengapa menggendong bayi sambil menyapu adalah pamali, alasannya: 1) Petuah jangan menggendong anak sambil menyapu, terutama anak laki-laki adalah karena jika kelak ia dewasa, maka si anak akan terjatuh jika memanjat pohon. Seorang ibu rumah tangga mengatakan: Ya kan ngono kuwi wernawerna. Digendhong barangi ngono kuwi karo disambi nyapu ya ra entuk. Ora entuk, aja sambi nek cah lanang. Jare nek wong mbiyen kuwi, jare nek menek apa-apa ngko ndhak tiba. Lha.. Haa, ngko ndak tiba. Dadi ora entuk” Ya kan begitu itu bermacam-macam. Digendong sambil menyapu juga tidak boleh. Tidak boleh disambi kalau anak laki-laki. Kata orang dulu itu, katanya nanti kalau memanjat atau apa bisa jatuh. Lha… iya, nanti jatuh. Jadi tidak boleh. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari 2010).
2) Secara medis, semua organ bayi masih halus, bahkan bayi baru lahir sistem pernapasannya belum berjalan secara sempurna. Maka jika si bayi diajak menyapu, dikhawatirkan debu akan terhirup olehnya, yang akan menyebabkan terganggunya system pernapasan bayi yang masih halus itu. Maka memang benar jika ada petuah tidak boleh menggendong bayi sambil menyapu.
Dikarenakan banyaknya alasan tersebut, maka menggendong bayi sambil menyapu tidak diperbolehkan oleh orang tua Jawa.
(31)
Anake aja disawung, ora ilok.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: anaknya jangan digendong tanpa selendang, tidak pantas.
Makna kultural: menggendong anak dengan tangan saja tanpa ditali dengan selendang (bahasa Jawa: disawung) tidak diperbolehkan oleh orang tua Jawa karena beberapa alasan selain alasan keselamatan, yaitu mengikat batin antara ibu dengan anak agar lebih erat ikatan batinnya.
1) Jika menggendong tanpa selendang, menurut orang jaman dahulu, maka jika si anak diambil, diminta atau ditarik ke atas oleh Yang Maha Kuasa, maka akan secara mudah terlepas, beda jika ia terikat dengan hati kita, akan ada ikatan kuat yang menahannya ketika akan terlepas. Ibu Sarmi mengatakan:
Wong nek disawung wae kuwi wae ora entuk. Ceritane wong mbiyen kuwi, disawung kuwi, umpama awak dhewe ki digendhong. Nek digendhong kuwi kan carane dikekep, ditaleni gen kenceng neng atine awake dhewe. Nek disawung kuwi, sak wayah-wayah carane kuwi dijaluk, diangkat, ditarik neng ndhuwur kuwi cepet gampange. Tapi nek mbok taleni karo atimu beda. Nek wong mbiyen ki ngono kuwi. Neng ya salong reti salong ora aku ki. Kok ya merga apa ngono mbiyen ya tekok salong. Neng kadhang yo wis ilang, lali. „Kalau disawung (digendong tanpa selendang) itu saja tidak boleh. Ceritanya orang jaman dahulu, disawung itu kalau kita digendong. Kalau digendong itu kan artinya didekap, ditali biar kencang di hati kita. Kalau tanpa selendang itu, sewaktu-waktu itu ibaratnya diminta, diangkat, ditarik ke atas itu cepat dan gampang. Tapi kalau kamu tali dengan hati beda. Kalau orang dulu itu begitu itu. Tapi ya sebagian tau sebagian tidak saya ini. Karena apa begitu dulu juga hanya sebagian yang ditanyakan. Tapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kadang juga sudah hilang, lupa‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi tanggal 18 Pebruari 2010).
2) Secara logis, jika kita menggendong bayi yang banyak geraknya tanpa bantuan selendang, maka dikawatirkan ia bisa terjatuh sewaktu-waktu saat kita lengah. Maka fungsi selendang adalah sebagai pengaman, semacam sabuk keselamatan untuk si bayi.
(32)
Yen nduwe anak, apa meneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
Makna gramatikal: jika memiliki anak, apalagi laki-laki, pasti rambutnya rontok.
Makna kultural: sepertinya sudah menjadi suatu hal yag lumrah jika bayi bermain ludah, lalu memain-mainkannya dengan menyembur-nyemburkan keluar. Namun bagi orang tua Jawa hal ini menjadi semacam pertanda. Biasanya orang tua Jawa mengatakan kalau setelah melahirkan seorang bayi, maka rambut kita akan rontok, seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Ora lanang ora wedok asalkan angger dolanan idu mesti brodhol rambute mbokne. Nek wong mbiyen napa ta ngono kuwi, aku ya ra patia mudheng. Dolanan idu, lek nyemburnyembur ngono kuwi. Aku kuwi telu, dolanan idu lek rambutku entek. „Tidak lakilaki, tidak perempuan asalkan kalau bermain ludah pasti rambut ibunya rontok. Kalau orang dulu begitu itu kenapa saya juga tidak begitu mengerti. Bermain ludah lalu disembur-sembur begitu itu. Saya itu tiga, bermain ludah semua lalu rambut saya habis‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebetulnya setelah melahirkan tidak hanya rambut yang rontok. Setelah melahirkan apalagi jika menyusui, nutrisi kita akan banyak terserap untuk pembentukan ASI, secara tidak langsung nutrisi kita ditransfer untuk si bayi. Apalagi jika anaknya laki-laki, karena anak laki-laki meminum ASI lebih banyak, sehingga membutuhkan nutrisi lebih banyak dari ibunya, karena ia belum makan sendiri. Itulah mengapa setelah melahirkan dan saat menyusui kulit kita akan sedikit kusam, rambut kita rontok, dan kepadatan tulang berkurang walaupun tidak signifikan.
(33)
Aja nyapu wayah magrib, ora ilok.
Makna gramatikal: jangan menyapu disaat senja, tidak pantas.
Makna kultural: senja dipercaya masyarakat Jawa adalah saat di mana para roh halus keluar untuk mencari mangsa. Walaupun manusia tidak dapat melihat mereka namun sesungguhnya mereka berada di sekitar kita. Seperti manusia, mereka pun ingin dihormati. Jika pada saat senja kita membersihkan debu di dalam rumah, dikhawartirkan debu-debu itu akan mengenai mereka tanpa sengaja. Oleh sebab itulah mereka akan marah. Karena orang tua sudah agak tidak mempan dengan gangguan makhluk halus, maka mereka akan menyasar anak kecil yang masih sangat rentan. Akibatnya si bayi akan rewel, terkena penyakit sawan dan lain sebagainya.
Saat senja adalah saat berkumpul keluarga. Biasanya saat ini bayi sedang istirahat setelah seharian lelah bermain. Oleh karenanya, membersihkan debu di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalm rumah akan sangat mengganggu penghuni rumah yang sedang beristirahat, bersantap, maupun berkumpul bersama. Akan lebih baik jika rumah dibersihkan pada sore hari saat anggota keluarga belum terasa capai betul dan ingin beristirahat.
(34)
Yen durung selapan, anake ora oleh digawa metu saka omah.
Makna gramatikal: kalau belum 35 hari, anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah.
Makna kultural: sejak setelah lahir hingga si bayi berumur tiga puluh lima hari (selapan), ia tidak boleh dibawa ke luar rumah, harus selalu berada di dalam rumah, pun dibawa ke halaman rumah juga tidak diperkenankan. Menurut masyarakat Jawa setelah lahir bayi-bayi masih diiringi oleh widadari seketi (seratus ribu bidadari), jika bayi-bayi ini berada di luar di mana para setan mengganggu mereka, dikhawatirkan para bidadari yang menjaga si bayi ini akan banyak berkurang. Dan setelah itu si bayi akan rewel dan sebagainya karena diikuti sawan. Maka dari itu saat bayi belum kuat betul untuk menghadapi „gangguan halus‟, sebaiknya ia tetap berada di dalam rumah. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: O.. nek durung selapan, ya kaya bue kae. Kan carane anakmu kan sing ngisi kan kebak ijeahan. Carane didhampingi bidhadhari-bidhadhari. Masih banyak selama empat puluh hari. Ra beda kaya wong muggah kaji. Nak wong bali munggah kaji kan didhampingi malaikat patang puluh. Ngko nek umpama malaikat patang puluh itu tadi umpama wong mbayi saiki sedina, saiki wis kurang siji. Sesuk rong dina, sesuk wis kurang siji meneh. Ijeh pendampingane ijeh nganu, lha nak seandainya jenenge wong ki, ngko nak wong liwat ki kan werna-werna. Neng ndalan ngono kae ana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sing kuwi, ana sing kuwi, kuwi, kuwi, kan werna-werna. Lha kadhang kan nggawa setan, nggawa apa. „O.. kalau belum selapan, ya seperti ibu dulu. Kan istilahnya anakmu yang mengisi itu masih banyak. Didampingi bidadari-bidadari. Masih banyak selama empat puluh hari. Tidak beda dengan orang naik haji. Kalau orang pulang naik haji kan didampingi malaikat empat puluh. Nanti kalau umpama malaikat empat puluh itu kalau bayi sekarang lahir sehari, sekarang kurang satu. Besuk dua hari, besuk sudah berkurang satu lagi. Pendampingannya masih anu (banyak),lha kalau seandainya orang lewat itu kan bermacam-macam. Di jalan begitu itu ada yang begini, begini, begini (baik dan buruk), kan macam-macam. Lha terkadang kan membawa setan, membawa apa‟ (Wawancara dengan iu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari 2010). Oleh karena itu biasanya seorang bayi baru akan dibawa keluar dari rumah setelah hari selamatan selapanannanya. Itupun biasanya di latar rumah dahulu. Setelah itu baru ke jalan-jalan. Dari segi medis, bayi yang baru lahir masih rentan dari segala aspek tubuhnya. Seperti pada rumah sakit bayi dimasukkan ke dalm incubator, maka di rumahpun bayi hendaknya dilindungi dari udara luar yang terkena polusi. System pernapasan bayi yang masih halus masih belum dapat menerima udara yang tercemar asap kendaraan, asap rokok dan lain sebagainya yang mungkin saja dapat menyebabkan penyakit SIDS (Suddent Infant Death Syndrome), yaitu kematian tiba-tiba karena gangguan udara. Belum lagi kuman dan virus yang menyebar lewat udara dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah kita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka, sebaiknya sebelum si bayi terbiasa benar dengan udara di luar perut ibunya, sebaiknya dilakukan pelatihan bertahap untuk beradaptasi agar ia bisa menyesuaikan.
(35)
Wayah surup bayine kudu diajak mlebu omah
Makna gramatikal: saat matahari tenggelam bayinya harus dibawa masuk ke rumah. Makna kultural mengapa bayi harus „diamankan‟ saat magrib adalah karena alasan mistis, menurut orang Jawa, yaitu agar bayinya tidak rewel karena „melihat‟ sesuatu yang tak kasat mata atau malah bisa kesurupan. Orang Jawa mempunyai waktu „sangat‟ atau dianggap sebagai waktu untuk para roh-roh berkeliaran pada jam 12 siang, 12 malam dan saat magrib atau „surup‟ (saat matahari tenggelam). Geertz menuliskan
Jenis pertama yang disebut oleh orang tua itu adalah kesurupan, yang akar katanya berarti “masuk”, “memasuki sesuatu” tetapi juga mengandung arti kedua, yakni “waktu matahari terbenam”. Barangkali ini mencerminkan kepercayaan bahwa saat matahari terbenam adalah waktu yang istimewa berbahayanya, dalam hubungannya dengan roh-roh, karena, seperti halnya orang Jawa, roh-roh itu berkeliaran dan mengunjungi teman-temannya pada saat ini, dan mungkin sekali akan merasuki seseorang di jalan. (Tetapi pukul dua belas siang dan tengah malam juga luar biasa bahayanya). (Geertz, 1989 : 24) Sedangkan informan saya, yaitu ibu Sarmi menuturkan
Ya magrib-magrib tidak boleh digendong di teras trumah, di jalan. Kalau magrib, kalau anu kan tidak boleh bayi ditaruh (dibawa) di jalan, ditaruh di luar. Ceritnya kan roh halus kan sedang pulang ke rumahnya masingmasing, dan kalau lewat menyebar seperti itu. Jadi seringnya mampir pada waktu itu. Saat magrib dan saat luhur biasanya. Luhur itu kan siang jam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dua belas itu, waktu adzan dan magrib. Kalau malam jam dua belas malam. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 26 Maret 2010). Maka dari itu biasanya menjelang magrib para ibu yang mengasuh anakanaknya di luar saling memberi tahu bahwa senja telah tiba dan segera membawa anak-anak mereka masuk ke dalam rumah.
Secara ilmu kesehatan, udara malam tidak baik tidak baik bagi kita karena akan menyebabkan penyakit paru-paru basah. Apalagi jika bayi yang terkena penyakit ini, sudah tentu akan sangat membahayakan bagi si bayi dan merepotkan orang tuanya. Maka ketika malam beranjak, sebaiknya bayi dibawa masuk ke dalam rumah yang hangat untuk segara beristirahat.
Tetapi secara logis, magrib atau saat matahari tenggelam adalah saaat dimana cahaya mulai menghilang, sehingga berpengaruh pada penglihatan. Apalagi pada jaman dahulu, belum ada lampu dan listrik seperti saaat ini. Hal itu menyebabkan kita tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas, sehingga kita akan mudah tersandung, menabrak sesuatu dan lain sebagainya. Itulah mengapa pada saat pergantian malam lebih baik kita berada di dalam rumah, juga saat itu adalah saat yang baik untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga.
(36)
Yen bayine rewel, ngobong bathok klapa disawuri uyah utawa cemiti kanggo tolak bala.
Makna gramatikal: jika si bayi rewel, membakar bathok kelapa diberi garam atau cemiti untuk tolak bala. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural : menurut orang Jawa, makluk halus sama seperti manusia takut akan sesuatu yang perih, menyakitkan atau dapat melukai. Oleh karena itu dalam tradisi pengobatan Jawa hampir selalu melibatkan garam, api, ataupun bau-bauan yang menyengat. Dalam pengobatan bayi yang diyakini diganggu makluk halus, biasanya para ibu atau orang tua si bayi akan membakar bathok kelapa yang di dalamnya ditaburi garam atau cemiti. Membakarnya di luar atau di bagian depan rumah.
Dukun bayi yang dimintai informasi mengatakan hal berikut :
Uyah ki gamane wong biyen. Bocah rewel bengi ngono kowe ngobong uyah ning ngarep lawang. Sok-sok bocah nangis sewengi ora meneng, ngobong uyah diwadhahi apa, disoki lenga apa pa diobong, plethekplethek. Disawurke yen ora ning gendheng ya ning padon omah. „Garam itu senjatanya orang dulu. Anak rewel kalau malam begitu membakar garam di depan pintu. Kadang anak mengais semalaman tidak diam, mambakar garam ditemaptkan di apa, diberi minyak atau apa lalu dibakar, plethek-plethek (bunyinya). Ditebarkan kalau tidak di genteng ya di depan rumah.‟
(Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(37)
Wiwit lair, bayi digawekake tumbak sewu.
Makna gramatikal: mulai dari lahir, bayi dibuatkan tumbak sewu.
Makna kultural : dari sekian banyak alat sebagai sarana untuk tolak bala dalam tradisi Jawa, salah satunya adalah tumbak sewu ini. Tumbak sewu adalah sapu lidi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang sudah pendek karena lama dipakai, kemudian pada ujung-ujungnya diberi bawang merah, bawang putih, cabai dsb. Ditemaptkan dengan cara diberdirikan pada sisi tempat tidur si bayi. Cara ini dipercaya dapat menolak bala setan yang sering kali mengganggu bayi yang masih awas tetapi lemah.
Seorang dukun bayi yang menjadi informan mengatakan :
Nek bayi ki ya mung nek cara wong biyen digawekke tumbak sewu. Tumbak sewu kuwi sapu gerang, sapu sing wes cendhak. Sapu sada sing wis gerang disundhuki brambang, bawang, lombok, dlingo bengkle, empon-empon sawernane, kuwi jenenge tumbak sewu. Ning nek saiki ya dho ora laku. Diselehke pojokan ngene ki nggone leh bobok. Dadi sapu siji saunting. Men tulak balak ora eneng sanding bayi sok ana sing nggoda ta. Bayi kan luwih awas. Kalau bayi itu kalau caranya orang dulu dibuatkan tumbak sewu. Tumbak sewu itu sapu gerangi, yaitu sapu yang sudah pendek karena sering dipakai. Sapu lidi itu ditusuki bawang merah, bawang putih, cabai, dlingo, bengle, rempah-rempah seadanya, itu namanya tumbak sewu. Tapi kalau jaman sekarang sudah tidak ada yang melakukannya. Diletakkan di pojokan begini ini di sebelah tempat tidur. Jadi sapu satu ikat. Untuk menolak roh halus di samping bayi. Bayi kan lebih awas (penglihatannya). (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(38)
Bubar nglairake nganti puputan, keluargane bayi kudu lek-lekan.
Makna gramatikal: setelah melahirkan hingga terlepasnya ari-ari, keluarge si bayi harus bergadang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: selepas melahirkan, keluarga si bayi, minimal ayahnya harus berjaga semalaman dan baru diperbolehkan tidur ketika pagi hari. Menurut masyarakat yang ditanyai, katanya hal ini dilakukan untuk menjaga agar ketika tertidur ibu si bayi tidak menindihi badan si bayi. Biasanya karena terlalu letih setelah melahirkan dan belum terbiasa, bisa saja si ibu secara tidak sadar akan menindih badan si bayi. Atau dari pengalaman masyarakat, ketika menyusui si ibu secara tidak sadar menutupi hidung si bayi yang masih mungil, sehingga menimbulkan hal yang tidak diinginkan.
Seorang masyarakat memberikan keterangan mengenai hal ini:
Lha kuwi masalahe carane wong turu isa kebablasen tindihen. Ya ibune ya bayine. Ibue terutama, nek bayine ki ra papa. Ning nek wong nduwe anak kadang ngko netek ta lola laline ngko tangane kadhang temumpang neng nggon bayine. Hee, dadi perhatian wong tuwa ki ya ana. Menurut wong kuna wong ndesa. Ngko neteki kadhang karo turu lali. Jeh kudu diperhatekke wong tuwa. Ngko kadhang neteki terus nindhehi mbumpeti irunge bocahe. Ngko kan bocahe mesakake. Lha itu masalahnya caranya orang tidur itu kan bisa keterusan tidak sadar. Ya ibunya, bayinya juga. Ibunya terutama, kalau bayinya itu tidak apaapa. Tapi kalau orang punya anak nanti kalau manyusui terkadang lupa, tangannya bisa diatas si bayi. Iya, jadi perhatian orang tua itu juga ada. Menurut orang kuna, orang desa. Nanti kalau menyusui kadang sambil tidur terus lupa. Masih harus diperhatikan orang tua. Nanti terkadang menyusui lalu menutupi hidung anaknya. Nanti kan anaknya kasian. (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan dalam literatur Serat Babad Ila-ila 1 yang menceritakan asal mula legenda dalam tanah Jawa menceritakan bahwa Dewi Sri memberi petuah kepada Kyai Prigu dan istrinya Ken Sangki, agar Kyai Prigu berjaga semalaman karena anak yang baru saja dilahirkan istrinya akan digoda sarap sawan. Dewi Sri memberikan wangsit: … Hai Kyai Prigu, janganlah aku diberi makan katak. Kalau kalian akan memberikan sesaji kepadaku, baiklah kalian sajikan sirih ayu, bunga yang harum dan wangi-wangian,. Jangan lupa sertakan pula dupa, dan pelita yang terus-menerus menyala. Kyai, jika kalian sajikan apa yang kukehendaki tadi, pasti kalian akan mendapat banyak rejeki, lagipula selama satu minggu janganlah Kyai tidur. Istirhatlah dan tidurlah jika pagi hari, itu kumaksudkan untuk menjaga anakmu. Kehendakku supaya ia terhindar dari bahaya dan selamat. (Serat babad ila-ila 1 hal:66). Dari cukilan literatur di atas dapat disimpulkan bahwa suami dan istri harus bekerja sama dalam mengasuh si bayi. Jika malam si ayah yang menjaga, sedangkan jika pagi si ibu yang menjaganya. Hal ini dikarenakan beratnya mengasuh seorang bayi apalagi bagi orang yang belum terbiasa. Maka kerja sama dari ayah dan ibu perlu dilakukan agar bayi yang dimiliki sehat dan nantinya memiliki kepribadian yang baik bagi keluarga dan sesama.
(39)
Ora oleh nekuk dhengkul.
Makna gramatikal: jangan melipat lutut.
Makna kultural: setelah melahirkan hingga beberapa hari setelahnya si ibu tidak boleh melipat lututnya. Hal ini dilarang karena jika ia melipat lututnya, maka biasanya kakinya akan timbul varises berupa guratan-guratan urat berwarna biru. Varises ini muncul karena tekanan menahan berat perut yang di luar biasanya, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
setelah si bayi lahir dengan cepatnya berat badan berkurang. Maka aliran darah akan sedikit tidak lancar karena perubahan ini. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan pelurusan kaki agar aliran darah menjadi normal kembali.
Seorang nara sumber mengatakan: Ngko ndhak nganu.. varises. Ben suk nak nduwe anak siji apa telu kuwi ben lancar, varisese ora gedhi-gedhi. Dadine peredaran dharahe lancar. Dadine kudune slonjor terus. „Nanti bikin varises. Biar nanti walaupun punya anak satu atau tiga itu lancar, varisesnya tidak besarbesar. Jadinya peredaran darahnya lancar. Jadi harusnya meluruskan kaki terus.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Sedangkan pada jaman dahulu, untuk melancarkan peredaran darah setelah melahirkan, biasanya si ibu disuruh meletakkan kakinya diatas sebuah karung yang telah diisi abu hangat. Karena energi panas ini, peredaran darah akan berjalan lancar sehingga tidak timbul gangguan kesehatan yang berupa penyumbatan aliran darah.
(40)
Ngubur ari-ari didokoki potelot.
Makna gramatikal: mengubur ari-ari diberi pensil.
Makna kultural : ada banyak macam versi dari tata cara penguburan ari-ari ini. tetapi secara garis besar semuanya sama, yaitu mengubur ari-ari di halaman depan atau belakang rumah, lalu diberi penerangan dan bunga selama 40 hari. Seorang ibu yang berprofesi sebagai guru dan mengaku tidak terlalu mempercayai gugon tuhon menceritakan pengalamannya : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nek ari-ari sing di anu memang masih dikasih pensil, biar anaknya pinter. Pas habis melahirkan kan ari-arinya dicuci bersih, setelah dicuci bersih dimasukkan kuwali. Nah di dalam kuwali itu diisi hal-hal yang baik. Pensil supaya anake pinter, buku ben anake gemar membaca, terus bunga mungkin biar harum, maksudnya nama. Dulu kok dikasih bunga, tapi ndak tanya itu dikasih kayak gitu. Harapannya supaya anaknya cerdas, kasih buku kasih pensil, kalu bunga mungkin supaya namanya harum. Maksudnya dia membawa nama yang baik bagi keluarga, mungkin harapannya gitu hanya dulu ndak dijelaskan kok nganggo kembang macem-macem gitu. (Wawancara dengan ibu Nik pada tanggal 12 Mei 2010).
Dari keterangan ibu Nik, dapat disimpulkan bahwa ritual penguburan ari-ari adalah sesuatu yang dasar dalam rangkaian tradisi mempunyai anak dalam masyarakat Jawa. Hampir semua informan yang dimintai keterangan selalu menyebutkan jika mereka masih menjalankan tradisi ini, walaupun mereka mengaku sudah tidak begitu percaya dengan tradisi gugon tuhon ini.
(41)
Pupak puser anak-anake disimpen, didadeake siji supaya anak-anake rukun.
Makna gramatikal: tali pusar anak-anaknya yang sudah terlepas disimpan, dijadikan satu supaya anak-anaknya rukun.
Makna kultural: tali pusar yang anak yang sudah terlepas dan sudah dikeringkan disimpan menjadi satu dengan anak-anaknya yang lain. Menurut kepercayaan Jawa hal ini dapat membuat anak-anak rukun dengan saudara-saudaranya. Mungkin hal ini dapat mengingatkan kita bahwa kita harus selalu menjaga anakanak kita dan menyatukan mereka apapun yang terjadi serta memperlakukan mereka secara adil agar mereka selalu menyayangi saudara-saudaranya sehingga dapat tetap rukun seperti tali pusar yang disimpan menjadi satu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(42)
digilib.uns.ac.id
Bocah ki nduwe watak dhewe-dhewe, miturut wetone.
Makna gramatikal: setiap anak itu memiliki watak sendiri-sendiri tergantung hari kelahirannya.
Makna kultural : seperti halnya bangsa barat dan China, orang Jawa memiliki horoskop atau penanggalan sendiri. Jika dalam penanggalan barat, watak seseorang dapat dilihat dari tanggal, hari dan pasaran di mana ia dilahirkan dan kosmik yang mempengaruhinya, maka dalam sistem horoskop Jawa pun demikian.
Seorang informan mengatakan : Cah lahir Wage kuwi konyolan, kaku ati sokan, ora kena tersinggung perasaan. Nek lahir Selasa Kliwon Jumat Kliwon ki aris kembang angger wong seneng. „Anak lahir (pada pasaran) Wage itu mudah tersinggung, sulit untuk ramah, tidak boleh tersinggung perasaannya. Kalau lahir hari selasa kliwon itu aris kembang, semua orang senang padanya‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Hari kelahiran adalah hal yang penting untuk diingat dalam urusan ramalmeramal dalam budaya Jawa, karena dari hari itu dapat dilihat watak dan peruntungannya di masa depan. Maka biasanya seorang dukun yang berpengalaman dapat membaca watak seseorang hanya dari dari kelahirannya saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini diperoleh suatu simpulan sebagai berikut. 1. Bentuk gugon tuhon bahasa Jawa terdiri dari: 1) GT yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ sebagai penanda kalimat larangan, 2) GT yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ sebagai penanda sebab akibat, 3) GT yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat, 4) GT yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, 5) GT yang menggunakan kata yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan, 6) GT yang menggunakan kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan serta kata mundhak ‘nanti’ sebagai penanda akibat. GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ saja, dan kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ yang terletak dalam satu kalimat letaknya tidak dapat dipermutasi. Sedangkan kalimat yang hanya menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ saja letaknya dapat dipermutasi. Pewatas aja ‘jangan’ tidak dapat diletakkan di belakang nomina. GTBJ yang menggunakan kaya yen ‘kalau’, nek ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ letaknya tidak dapat dipermutasi karena merupakan kalimat yang menunjukkan hubungan sebab akibat. 2. Fungsi gugon tuhon bahasa Jawa memiliki fungsi 1) Pendidikan religi, 2) Pendidikan etika/moral, dan 3) Pendidikan kesehatan dalam kehidupan masyarakat Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Makna yang terdapat dalam gugon tuhon bahasa Jawa ini adalah makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal dalam GTBJ ini tidak hanya terbatas pada kata saja, namun juga mencakup frasa, klausa, dan kalimat. Sedangkan makna kultural didapat dari para informan.
B. Saran Penelitian ini hanya meneliti tentang GT pada ibu hamil dan merawat balita saja, namun sebetulnya kebudayaan Jawa menyimpan banyak nasihat dalam aspek kehidupan yang lainnya, seperti contohnya dalam hal jodoh, kematian, dan yang lainnya. Agar dapat melengkapi tujuan dari penelitian ini, yaitu agar para penerus kebudayaan Jawa dapat mengerti dan memahami budayanya, maka alangkah baiknya jika penelitianpenelitian selanjutnya mengkaji hal tersebut sebagai dokumen tertulis dari dan untuk masyarakat Jawa sendiri, sehingga nantinya kebudayaan Jawa tidak hilang tergerus jaman.
commit to user