CERMIN KU SALAH CERMIN KU BELAH “Reflkesi Esensi Good Governance Bukan Sekedar Administrasi” Oleh. Akhmad Kholil Irfan (Hakim PA Sungai Penuh) A. Pendahuluan Berbicara good governance, sejatinya kita sedang bicara barang impor. Terlepas impor tersebut merupakan pesanan maupun impor berdasarkan kebutuhan.Adanya barang impor yang di kemas indah, didistribusikan dengan cara yang baik serta pelaku/ pelaku bisnis (distributor) juga orang/ orang pilihan, maka kita menjadi tertarik, hingga lupa kita punya barang impor tersebut, akan tetapi barang tersebut belum atau tidak dikemas secara menarik. Maka jangan salahkan jika muncul pepatah “ kacang lupa akan kulitnya”, atau yang lebih ekstrim “rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”. Kepemerintahan atau governance yaitu the act, fact, manner of
governing,
yang
penyelenggaraan Sedarmayanti,
berarti:tindakan, pemerintahan.
fakta,
Menurut
pola,
dan
Kooiman
yg
kegiatan
atau
dikutip
oleh
istilah governance juga merupakan serangkaian proses
interaksi
socialpolitik
antara
pemerintahan
dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengankepentingan masyarakat
dan
intervensi
pemerintah
atas
kepentingan/ kepentingan
tsb. Istilah governance tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance,
privat
governance,
governance.
corporate
Governance,
sebagai
governance, terjemah
dan dari
banking pemerintah
kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktik terbaiknya disebut good governance atau kepemerintahan yang baik.
Dari berbagai konsep dan pengertian good governance, paling tidak ada 10 prinsip dari good governance itu sendiri: 1. Akuntabilitas 2. Kontroling 3. Responsibility 4. Profesionalisme 5. Efisien dan efektif 6. Transparansi 7. Kesetaraan 8. Jangkauan kedepan atau visioner 9. Partisipasi 10.Penegakan hukum Selain prinsip/ prinsip diatas, dalam penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga terdapat aturan yang pasti, yang disebutkan dalam Pasal 3 Undang/ undang Nomor 28 Tahun 1999, yang menyebutkan tentang asas umum penyelenggaraan Negara, yaitu: 1.
Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang/ undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2.
Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan,
keserasian
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggara negara. 3.
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4.
Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang
penyelenggaraan
negara
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 5.
Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6.
Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang/ undangan yang berlaku. 7.
Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi
negara
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang/ undangan yang berlaku.[1] Kaca atau cermin itu telah ada, nampak jelas dihadapan kita. Logika sederhana kita bertanya, ketika kacanya sudah ada, masih baru, dan besar, maka tatkala gambar refleksi yang muncul adalah sesuatu atau gambar yang jelek, maka jangan salahkan kacanya atau bahkan dirusak atau dipecah. Sesungguhnya kaca selalu jujur, kaca tidak berbohong, karena kaca hanya perefleksi yang seadanya. Maka langkah yang logis dan kongkrit adalah benahi orangnya bukan kacanya. Pemerintah pada tahun 2010 telah mengeluarkan pedoman reformasi birokrasi yang baru, disebut sebagai Grand Design Reformasi Birokrasi, yang merupakan garis/ garis besar perencanaan jangka panjang 2010/ 2025, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010. Untuk mendukung tercapainya tujuan dan sasaran pelaksanaan reformasi birokrasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga mengeluarkan Peraturan MENPAN Nomor 10 Tahun 2011, tentang Pedoman Pelaksanaan Managemen Perubahan yang berisi tentang teori/ teori dan tata cara mencapai perubahan yang diinginkan yang merupakan panduan kearah perubahan yang lebih baik.[2]
Pada prinsipnya visi dari reformasi birokrasi pada tahap kedua adalah: Terwujudnya birokrasi pemerintah yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima dan manajemen pemerintah yang demokratis dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Berbicara masalah birokrasi, maka setidaknya ada (2) pendapat yang memiliki pandangan berbeda perihal eksistensi dan peran birokrasi itu sendiri: 1.
Mazhab Kekuasaan, yang memandang bahwa penguasa yg kuat
harus dilayani oleh para pembantu atau aparat yang cerdas dan dapat dipercaya atau loyal. Konsep pemikiran ini banyak diilhami oleh Nicolla Machiavelli, bahwa apabila penguasa ingin kekuasannya berjalan efektif, maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat dan profesional. Dengan demikian birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan
kekuasaan
dan
kepentingan
mereka
dalam
mengatur kehidupan negara. 2.
Mazhab Kebutuhan Rakyat, yang memandang bahwa birokrasi itu ada
karena adanya rakyat yang menghendaki eksistensi mereka untuk membantu masyarakat mencapai tujuan/ tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Dengan demikian yang menentukan ada tidaknya birokrasi dalam kehidupan masyarakat adalah adanya kebutuhan mereka akan lembaga yang bertugas menyelenggarakan pelayanan publik.[3] B.
Permasalahan dan Pembahasan
Dari paparan latar belakang diatas ada beberapa hal yang dapat didiskusikan
dan
menarik
untuk
dibahas
dalam
tulisan
ini,
yang
permasalahannya dapat penulis rumuskan sebagai asalah :Bagaimana membumikan esensi good governance dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ? a.
Negara kecil itu diri kita
Berpikirlah dari yang kecil, niscaya kita mampu memikirkan yang besar, rasanya ungkapan ini tidak begitu salah. Ketika kita punya “pilot
proyek” ingin merubah dunia, maka dunia yang kecil musti dirubah terlebih dahulu. Keluarga adalah miniatur dunia kecil, disana ada pemimpin dan ada yang di pimpin juga ada para pembantu pemimpin. Berangkat dari hal kecil itulah, maka kita akan mampu merubah dunia yang besar. Dalam term Islam kita kenal istilah ”Setiap kita adalaah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinanya”. Maka hakekatnya adalah bermula dari diri kita atau “ibda’ binafsik” (mulailah dari diri kamu). Setelah kita bertanya pada diri kita, seperti pertanyaan...sudahkah saya jujur, sudahkah saya bertanggung jawab, atau pertanyaan/ pertanyaan (impor) dalam masalah good governance. Profesional atau transparan misalnya, maka kita pasti tahu jawabannya. Apakah kita akan jawab secara jujur atau mau kita jawab secara teori, bahkan secara politis, semuanya terserah pada kita. Jawaban bisa di poles (membohongi publik), akan tetapi hati kita tetap akan merana, karena sesungguhnya diri kita tidak pernah akan bisa membohongi nurani kita. Negara kecil itu diri kita, ya.....maka mulailah kita menata diri, bagi yang muslim, maka amalkan dan jalani ajaran
agamanya dengan
sesungguhnya, agama tidak hanya sebagai lips service saja, tapi agama yang amaliah dan amaliah yang ilmiah. Demikian juga bagi yang non muslim, dia harus
konsekwen
dengan
ajaran
dan
keyakinannya
tanpa
pernah
meninggalkan nilai plural, karena sesungguhnya kita terlahir di Indonesia yang plural. Dengan menjalankan keyakinan Agama dan keyakinan kita yang sarat
akan
nilai/ nilai
filosofi,
tidak
pernah
kalah
dengan
prinsip/ prinsip good governance yang ada. Bermula dari negara kecil (diri kita), kemudian benahi keluarga, masyarakat sekitar hingga akhirnya kita bisa melakukan perubahan besar terhadap negri yang besar ini.
Kita sering terjebak dengan hal/ hal yang formal, akan tetapi terkadang lupa dari substansinya, maka seorang Asikin, pernah mengkritik seorang hakim yang terjebak dengan pandangan formalistiknya, dengan mengatkan: “ Seorang sarjana hukum pada umumnya sering bersikap formal dalam arti kalau secara formal tidak diatur maka pendapatnya selalu tidak mungkin. Demikianlah tampaknya profil seorang sarjana hukum, yang dianggap penting hanya segala sesuatu yang formalistik, formalisme, bentuk luarnya saja dan kulitnya saja. Seakan/ akan yang penting hanya bentuknya saja sedangkan isi dari bentuk tersebut adalah tidak penting.[4] b.
Kejujuran diri versus cermin jujur
Berbicara masalah kejujuran atau jujur, merupakan sesuatu yang mudah untuk dikatakan akan tetapi betapa sulit untuk dilaksanakan. Ketika kita jujur pada diri kita, maka pengawasan melekat atau waskat, kemudian audit internal, pengendalian internal untuk menuju cita/ cita good governance merupakan sesuatu yang tidak perlu. Akan tetapi kejujuran menjadi sesuatu yang mahal dewasa ini. Dalam suatu penelitian ternyata adanya audit dan pengendalian internal yang dilakukan terhadap para birokrat mempunyai dampak yang luar biasa. These results indicate that 1) there is a positive relationship between internal audit, internal control and fraud prevention, 2) internal audit, internal control and good government governance affects both fraud prevention and partially simultaneously, 3) internal audit, internal control, good government governance, fraud prevention affects the performance of both local government and partially simultaneously. The contribution of this study describes the effect that the internal audit in the implementation of a consistent internal control for the government to realize good governance and prevent fraud, to improve local government performance on an ongoing basis.
The implications of this study showed improved performance of local government for development in the areas of research interest in creating clean government.[5] Kejujuran diri ternyata belum cukup, karena sejatinya kita masih merasa belum jujur, karena kita butuh diawasi oleh orang lain. Jika kita muslim yang taat, maka kita harus selalu merasa diawasi. Bukankah dalam ajaran Islam setiap gerak/ gerik kita senantiasa ditulis oleh malaikat. Doktrin ini sudah didapatkan oleh setiap muslim sejak dia masih kecil. Apakah doktrin ini sudah menjelma dalam prilaku kita sehari/ hari, atau kita berusaha melakukan pembohongan terhadap diri kita. Kita merasa lupa diawasai, atau melupakan pengawasan yang dilakukan oleh Illahi. Saya yakin sesungguhnya kita tidak pernah mampu berbohong pada nurani kita. Ketika mulut kita berbohong, maka hakekatnya nurani kita berontak. Kejujuran diri kita pupuk, kembalikan setiap gerak gerik kita pada kejujuran nurani, niscaya kejujuran yang hakiki akan muncul. Cermin itu tidak pernah bohong, karena cermin adalah perefleksi sejati.
1.
Negara petugas Ketika kita berbicara hukum, maka akan banyak sekali orang yang mengartikan hukum sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman empirisnya. Ada orang yang mengartikan hukum sebagai ketentuan penguasa, maksudnya adakah seperangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan/ badan yang berwenang. Ada juga yang mengartikan hukum sebagai petugas, artinya hukum dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bertindak terhadap orang/ orang yang melakukan tindakan/ tindakan yang
membahayakan
masyarakat
atau
melanggar
aturan
dalam
bermasyarakat atau kesepakatan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Maka jangan disalahkan ketika Polantas melaksanakan tugas dijalan maka
masyarakat menilai Polantas itulah hukum, atau Satpol PP ketika melakukan penertiban terhadap bangunan liar atau para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan, maka Satpol PP itulah hukum, atau para Hakim, Advokat, Jaksa ketika melaksanakan persidangan itulah hukum. Anggapan masyarakat terhadap hukum yang diujudkan dalam bentuk petugas tidak bisa disalahkan atau salah. Karena itulah pengalaman empiris yang mereka alami kemudian diaktualisasikan dalam kenyataan. Ketika diperempatan jalan, lampu merah, kemudian kendaraan menjadi tidak teratur, karena masyarakat memandang hukum tidak ada (petugas), atau ketika para gelandangan dan pengemis merasa nyaman melakukan aksinya di ibu kota karena tidak ada operasi dari petugas (Satpol PP), karena mereka masih menganggap hukum itu petugas. Maka jika petugasnya tidak ada, maka kesadaran untuk tidak melakukan pelanggaran tidak ada. Bagi mereka hukum itu petugas. Jika kita lihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, maka para birokrat yang notabene adalah orang/ orang pilihan, masih menganggap adanya negara petugas. Artinya mereka akan melaksanakan tugas dengan profesional, transparan dan prinsip/ prinsip penyelenggaraan negara yang lainnya, jika mereka diawasi. Lalu apa bedanya para birokrat dengan rakyat biasa, yang ketika melihat hukum adalah petugas? Atau para birokrat yang melihat Negara (pemerintah) adalah petugas, baik petugas pada
level
Badan
pengawas,
maupun
petugas
dalam
level
pengawasan/ pengawasan internal.
Hans Kelsen mengartikan hukum sebagai: Suatu perintah terhadap tingkah laku manusia, atau pendapat Paul Scholten, yang mengartikan hukum sebagai suatu petunjuk hidup tentang apa yang layak dilakukan yang bersifat perintah, atau pendapat Van kant, yang menterjemahkan hukum sebagai keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dan masyarakat.[6]
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum adalah: Kumpulan peraturan/ peraturan yang mengatur tingkah laku manusia tentang apa yang boleh dilakukan atau tidak bersifat memaksa yang mempunyai
sangsi
tegas
dan
mempunyai
tujuan
untuk
mencapai
kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Jika setiap apartur negeri ini beranggapan bahwa negara bukan berarti petugas, akan tetapi negara diartikan sebagai sarana mencapai kemakmuran, dan keadilan bersama, maka pelaksanaan good governance, akan mudah mencapainya.
Minimal
prinsip/ prinsi
good governance, mulai dari
akuntabilitas, kontroling, responsibility, profesional, efisien dan efektif, transparan, kesetaraan, jangkauan kedepan, partisipasi dan penegakan hukum, betul/ betul dijadikan cermin diri para birokrat. Prinsip/ prinsip good governance, ibarat Cermin impor, yang bagus. Maka masukan inti dari refleksi cermin itu ke dalam nurani masing/ masing, kemudian hubungkan dengan ajaran/ ajaran agama kita masing/ masing dan nilai/ nilai luhur bangsa kita, maka harapan untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan negeri ini akan mudah mencapainya. Jangan cermin yang bagus, mahal dan barang impor ini dipecah, gara/ gara gambar yang muncul dari refleksi itu jelek, karena yang jelek bukan cerminnya akan tetapi yang jelek adalah mereka/ mereka yang ada di depan cermin. Jangan belah, atau pecah cermin itu, karena cermin tidak pernah akan bohong. 1.
Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Good governance atau kepemerintahan yang baik, yang tercermin dari prinsip/ prinsipnya adalah barang impor yang baik, maka harus dilaksanakan
dengan
penyelenggara negara.
segenap
kesadaran
diri,
dari
semua
aspek
2. Masukan prinsip/ prinsip tersebut dalam kehidupan nyata, pada setiap level masyarakat, mulai dari keluarga, hingga masyarakat, tentunya para aparatur penyelenggara negara. 3.
Amalkan ajaran Agama kita masing/ masing, niscara cerminan
prinsip/ prinsip good governance hakekatnya telah ada. 4.
Cermin itu tidak pernah bohong, kalau ada kejelekan dalam refleksi
cermin, maka yang salah adalah yang berdiri di depan cermin, bukan cerminnya. Wallohu’alam. DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Hakim. Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2011. M. Faozan, Pesan Keadilan dibalik teks hukum yang terlupakan, MARI, Varia Peradilan No. 299 Oktober 2010 Nuramin Saleh (Makalah), Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan
Implementasi Good Governance, BEM Univ. 45 Makasar, Fak. Psikologi, 2014.