GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH DALAM TINJAUAN SOSIOLOGIS (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)
Oleh:
Siti Nurhayati Nim: 106043201353
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH DALAM TINJAUAN SOSIOLOGIS (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:
Siti Nurhayati NIM. 106043201353
Di bawah Bimbingan: Pembimbing
Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA NIP: 19560906 198203 1 004
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Ganti Rugi Pembatalan Khitabah Dalam Tinjauan Sosiologis (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada 1 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH). Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua
:
Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag NIP: 196511191998031002
(…………………...)
2. Sekretaris
:
Fahmi M. Ahmadi, S. Ag. M.Si NIP: 197412132003121002
(…………………...)
3. Pembimbing
:
Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA NIP: 195609061982031004
(…………………...)
4. Penguji I
:
Drs. Noryamin Aini, MA NIP: 19630305199103002
(…………………...)
5. Penguji II
:
Dr. Euis Nurlaelawati, MA NIP: 197007041996032002
(…………………...)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Siti Nurhayati
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada kelurga, sahabat dan umatnya yang senantiasa mengikiti jejak langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang penulis hadapi. Namun, berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan hati dan kerja keras disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM., Dekan Fakkultas Syari’ah dan Hukum 2. Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku ketua program studi perbandingan madzhab dan hukum, dan Bpk. Fahmi Muhammad Ahmadi S.Ag, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang telah memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
i
3. Bapak Dr. H. Afifi Abbas, MA selaku Dosen Pembimbing, yang telah sabar membimbing dan memotivasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi. 4. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi pustaka 5. Ucapan terima kasih ini juga penulis haturkan secara khusus kepada Ayahanda Marino dan Ibunda tercinta Sutini yang senatiasa berjuang dan berdo’a dan mendukung penuh secara materi dan imateri hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini 6. Kakak- kakakku yang selalu memberikan nasehat dan kepada adikku tercinta Wifi, Syahrul yang memberikan kecerian dalam hidupku dan seluruh keluarga di rumah yang senantiasa mengisi warna indah dalam ruang kehidupan penulis, semoga kami akan selalu bersama mewarnai indahnya hidup ini hingga mentari tak bersinar lagi. 7. Kepada seluruh teman-teman seperjuanganku PMH angkatan 2006 serta semua pihak yang telah tersita waktu maupun tenaganya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Hanya kepada Allah jua lah Penulis serahkan semoga dapat dibalas dengan pahala yang setimpal. Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik penulis sangat harapkan demi perbaikan ke depan.
Jakarta,
18 Januari 2011 15 Shafar 1432
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
iii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................
8
D. Riview Terdahulu ............................................................................
9
E. Objek Penelitian ..............................................................................
10
F. Metode Penelitian............................................................................
11
G. Sistematika Penulisan......................................................................
14
PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI A. Sekilas tentang Khitbah dalam presfektif Fiqih ..............................
16
B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo ...........................
31
C. Pelaksanaan Khitbah Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi .............................................................................
36
BAB III BEBERAPA PENYEBAB PEMBATALAN KHITBAH DESA PULUNG REJO KEC. RIMBO ILIR JAMBI A. Faktor Adanya Pihak Ketiga.............................................................
47
B. Faktor Pendidikan ............................................................................
49
iii
C. Faktor Ekonomi ................................................................................
51
D. Faktor Ketaatan.................................................................................
52
E. Faktor Kematian ..............................................................................
55
BAB IV GANTI
RUGI
PEMBATALAN
KHITBAH
PADA
MASYARAKAT DESA PULUNG REJO A. Pengetahuan Masyarakat Desa Pulung Rejo Tentang Ganti Rugi Dalam Pembatalan Khitbah ..............................................................
57
B. Tinjauan Sosiologis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat
BAB V
Desa Pulung Rejo .............................................................................
67
C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Desa Pulung Rejo ...........
70
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................
77
B. Saran ...............................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
81
LAMPIRAN
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pergaulan hidup manusia diatur antara lain oleh kaedah-kaedah yang merupakan pedoman atau patokan dalam batas-batas perikelakuan manusia. Secara sadar maupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari manusia dibatasi perikelakuannya, agar dia tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap batas-batas yang ditentukan oleh kaedah-kaedah tersebut, akan menyebabkan terjadinya pertentangan kepentingan yang mungkin sekali akan menggoncangkan seluruh masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat. 1 Dalam masyarakat maupun kelompok-kelompok sosial lainnya, senantiasa dikenal apa yang disebut dengan pengendalian sosial (social control). Sistem pengendalian sosial (disebut juga “pengendalian sosial” saja atau “kontrol sosial” atau kadang-kadang juga dinamakan “pengawasan sosial”) adalah, suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang berlaku. 2
1
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 47.
2
Ibid., h. 48.
1
2
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif. Pada pengendalian sosial yang bersifat preventif, merupakan usaha yang dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Sedangkan pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah terjadi pelanggaran dan berusaha hendak memulihkan keadaan pada situasi semula atau sebelum pelanggaran itu terjadi.3 Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan membentuk pola tingkah laku masyarakat, yang secara umum harus diindahkan dan dihormati oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuanya untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan adat istiadat.4 Kata “adat” sebenarnya berasal dari bahas Arab, yang berati kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta “a” (berarti “bukan”) dan “dato” (yang artinya “sifat kebendaan”). Dengan demikian, maka adat sebenarnya bersifat immaterial: artinya, adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.5
3
Ibid., h. 49. 4
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.
5
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 83.
3
Adapun kenyataan yang hidup di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi, yang moyoritas masyarakatnya merupakan transmigran dari pulau Jawa. Maka mereka pun tetap mengembangkan tradisi atau kebiasan yang mereka lakukan pada saat masih tinggal di Jawa. Salah satu kebiasaan adat yang tidak ditinggalkan adalah dalam masalah pelaksanaan pernikahan yang termasuk di dalamnya tentang khitbah atau lamaran. Bagi masyarakat Pulung Rejo ini orang yang akan menikah harus melakukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak perempuan. Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu di antara pria dan wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dibicarakan hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama. 1. Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria. 2. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain: Jadah (dodol), wajik, rengginang dan sebagainya. 3. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket, Jawa). 4. Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak keluarga laki-laki dan perempuan, merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara pening setan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari dalam baik untuk upacara pening setan dan hari ijab pernikahan.6
6
http//Id. Wikipedia.Org/Wiki/Upacara_Pernikahan, diakses pada tanggal 23 juli 2010.
4
Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara dua pihak yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah disepakati. Supaya perjanjian disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan. Tetapi dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian itu dapat dipenuhi. Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, di mana kedua pihak berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah disepakati itu. Istilah yang terkenal dalam adat Jawa sebagai tanda jadi adalah panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun terkadang juga dipakai dalam hubungan perkawinan.7 Namun secara umum yang terkenal dalam istilah perjanjian dalam hubungan pernikahan adalah peningsetan. Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita. Menurut tradisi peningsetan terdiri dari: Kain batik, bahan kebaya, perhiasan emas seperti cincin, gelang, kalung, dan uang yang lazim disebut tukon (imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah (dodol), wajik, rengginang, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang (satu karung) kelapa, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut
7
92.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), h.
5
kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur. Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.8 Cincin merupakan paningsetan yang sering dipergunakan dalam masyarakat Pulung Rejo dalam pelaksanaan lamaran. Pemberian cincin dilakukan pada saat proses lamaran itu dilaksanakan, atau setelah lamaran diterima sebagai tanda ikatan dan keseriusan, serta setelah lamaran diterima oleh pihak keluarga wanita maka, selanjutnya dibicarakan masalah palang atau ganti rugi bila kelak ada salah satu pihak yang menyalahi janji atau membatalkan khitbahnya. Dengan jumlah uang yang telah disepakti dan ditentukan oleh keluarga kedua belah pihak, serta disaksikan oleh tokoh desa dan para sesepuh desa serta tetangga-tetangga terdekat. Dikarenakan ada pihak yang merasa dirugikan baik berupa moril maupun materil. Dalam segi moril misalnya, nama baik keluarga tercoreng dan adanya anggapan bahwa orang yang lamarannya dibatalkan akan sulit kembali untuk mendapatkan jodoh. Sedangkan dari segi materil dapat dilihat dari biayabiaya yang telah dikeluarkan dalam acara lamaran. Selain itu dalam masalah waktu yang hanya terbuang sia-sia karena menunggu sesuatu yang tidak pasti. Adapun yang sering djiadikan sebagai alasan masyarakat Pulung Rejo dalam pembatalan khitbah, dikarenakan ketidakcocokan dari dua keluarga besar yang diketahui setelah proses lamaran itu terjadi. Banyak juga dikarenakan lamanya waktu antara masa peningsetan atau tunangan dengan akad nikah yang 8
http//Id. Wikipedia. Org/Wiki/Upacara_Pernikahan, diakses tanggal 23 juni 2010.
6
akan dilaksanakan. Sehingga banyak hal yang mungkin terjadi diantaranya: adanya lamaran dari pihak lain bagi pihak perempuan yang lebih siap dan mapan dari segi ekonomi dan dari pihak laki-laki pun dimungkinkan karena jatuh hati lagi kepada perempuan lain yang menyebabkan keraguan untuk melanjutkan pertunangannya ke jenjang pernikahan atau merasa bahwa diri mereka belum cukup mapan untuk menghidupi sebuah keluarga. Pada dasarnya, khitbah belum mengakibatkan hukum apapun sehingga bila terjadi pembatalah dibolehkan. Akan tetapi, dari realitas yang terjadi dalam masyarakat Desa Pulung Rejo orang yang membatalkan khitbah akan diberi sanksi ganti rugi, sebenarnya masyarakat mempunyai tujuan baik dalam segi norma dan nilai-nilai sosiologis yang akan dicapai dan dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan salah satunya upaya masyarakat untuk mengantisifasi terjadinya konflik setelah pembatalan. Konflik-konflik terbuka dalam masyarakat harus dicegah dan setiap pangkat, kedudukan yang ada di masyarakat harus diakui, melalui sikap saling menghormati. Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo yang ingin mempertahankan hidup rukun, adil, damai, saling menghormati, menghargai sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera. Maka berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam sebuah skripsi yang terjudul “Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis” (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi).
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Kembali kepada latar belakang di atas, penulis mengidentifkasi seputar masalah faktor-faktor serta akibat dari pembatalan khitbah, jika dilihat atau ditinjau sebagai wilayah kajian sosiologis. Maksud dari dibebankanya ganti rugi kepada pihak yang membatalkan khitbah dengan sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, dikarenakan masalah khitbah itu bukan persoalan kecil. Disanalah nama keluarga besar diikut sertakan dan jika terjadi sesuatu yang tidak baik maka nama keluarga juga yang akan tercoreng. Disini penulis lebih melihat bahwa masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi, menginginkan suatu kehormatan keluarga seseorang itu terjaga. Selain itu, masyarakat juga mengharapkan suatu kehidupan yang harmonis antara satu sama lain dengan tidak ada perpecahan dan kesalah pahaman yang menyebabkan rasa dendam serta konflik yang berkepanjangan. Melihat dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan bahwa permasalan pokok yang akan diteliti dan diuraikan dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana Pelaksanaan khitbah di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pembatalan khitbah di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. 3. Apa tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi membebankan ganti rugi pembatalan khitbah.
8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pelaksanaan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. 2. Mengetahui faktor penyebab pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. 3. Mengetahui tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi membebankan ganti rugi pembatalan khitbah. Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah: Dapat
diketahui
bahwa
nilai
suatu
penelitian
tergantung
pada
metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh: 1. Bagi penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata SI dan menjadikan wawasan serta ilmu pengetahuan dalam masalah ini. 2. Sebagai bahan kajian dalam dunia akademis. 3. Bagi mahasiswa hasil penelitian dan tulisan ini dapat dijadikan referensi dan tambahan pemikiran dalam dunia akademik. Bagi masyarakat penelitian ini, dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan pencerahan pemikiran khususnya dalam masalah khitbah kepada masyarakat. 2. Supaya masyarakat memikirkan terlebih dahulu dampak positif dan negatif dalam setiap ingin melakukan sebuah tindakan.
9
D. Review Kajian Terdahulu Penelitian seputar khitbah (pinangan) belum banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, apalagi penelitian tentang khitbah dalam keterkaitannya dengan ganti rugi pembatalan khitbah. Dari hasil penelusuran, penulis menemukan tema tentang peminangan, diantaranya skripsi berjudul: “Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam (studi Kasus Kelurahan Rawajati Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan” disusun oleh Hoirum Kodriasih, mahasiswa jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Skripsi ini, membahas tentang praktek khitbah khusus masyarakat Betawi di Desa Rawajati. Bahwa ada sebagian praktek budaya meminang yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.9 Ada juga skripsi yang berjudul “Peminangan dalam Perspektif Fikih dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) disusun oleh Nurkhairiyati Hernia, jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Dalam skripsi ini, penulis menjelaskan konsep peminangan menurut Fikih dan KHI, serta membandingkan persamaan dan perbedaan diantara keduanya.10 9
Hoirum Kodriasih. Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Rawajati Kec. Pancoran Jakarta Selatan), Jurusan Ahkwal Al-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN syarif Hidayatullah Jakarta 2007. 10
Nurkhairiyati Hernia. Peminangan dalam Perspektif Fikih dan Kompilasi Hukum Islam, Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.
10
Selanjutnya ada juga skripsi yang berjudul “Prosesi Peminangan Menurut Adat Bima dalam Prespektif Islam (Studi Kasus di Kec. Danggo Kab. Bima Nusa Tenggara Barat), disusun oleh Toty Citra Warsita, Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi ini menjelaskam adat peminangan Bima yang dianggap sedikit menyimpang dari ajaran agama Islam, karena masyarakatnya masih dipengaruhi tradisi nenek moyang.11 Sedangkan dalam skripsi ini, penulis membedakan pembahasan penelitian dari skripsi yang sudah ada di atas dengan perbedaan, yaitu terkait dengan konteks pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah yang ditinjau dari aspek sosiologis, yang merupakan studi kasus masyarakat Desa Pulung Rejo Jambi. Dengan alasan bahwa tinjauan terhadap aspek sosiologisnya yang lebih relevan sebagai pertimbangan untuk mencegah kegagalan dalam pernikahan.
E. Objek Penelitian Penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi, khususnya dalam permasalahan ganti rugi terhadap pembatalan khitbah.
11
Toty Citra Warsita, Prosesi Peminangan Adat Bima dalam Perspektif Islam (Studi kasus di Kec. Danggo Kab. Bima Nusa Tenggara Barat), Jurusan administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
11
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ini adalah penelitian empiris yang bersifat deskriptif, di mana penulis bertujuan memberikan gambaran terhadap keadaan masyarakat Desa Pulung Rejo, dalam masalah ganti rugi pembatalan khitbah, berdasarkan faktor-faktor, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial dan adat yang nampak dan berpengaruh dalam situasi yang diselidiki. Pendekatan yang peneliti gunakan yaitu, metode penelitian hukum sosiologis yang dinyatakan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan.12 Seperti, melihat unsur-unsur sosial yang mempengaruhi pembebanan ganti rugi pembatalan khitbah Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo ilir Jambi. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang primer dan sumber data yang skunder. Adapun sumber data yang primer adalah: a. Responden, yakni orang atau keluarga yang dijadikan objek penelitian, dalam hal ini adalah pelaku yang khitbahnya dibatalkan maupun yang membatalkan (HY, SP, WD, WG, SK, A) tokoh adat (Bpk. Dainuri),
12
76.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), h.
12
tokoh agama (Bpk. H. Sudayat), yang dianggap relevan dimintai keterangan.
b. Informan, yakni orang yang memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti yang terdiri dari aparatur pemerintahan
(Bpk.
Sakiyo) sesepuh
Desa Pulung Rejo
(Bpk.
Somorejono). Sedangkan sumber data yang sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan persoalan perkawinan terutama yang membahas khitbah (Upacara Perkawinan Adat Jawa, karangan Thomas Wijaya Bratawijaya) dan bukubuku yang terkait dengan adat-istiadat (Hukum Perkawinan Adat, karangan Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Indonesia). Selain itu buku pengantar sosiologi (Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu Pengantar, karangan Soerjono Soekanto), serta masih banyak lagi buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah responden sebanyak 4 orang yang merupakan pelaku pembatalan khitbah di Desa Pulung Rejo ( SP, SK, WG, A). Dan 2 orang yang khitbahnya dibatalkan (HR, WD) sebagai sampel dan wawancara dengan Sesepuh Adat (Bpk. Somorejono), tokoh agama (Bpk.H. Sudayat), tokoh adat (Bpk. Dainuri), Kepala Desa Pulung
13
Rejo (Bpk. Sakiyo), (masing-masing satu orang). Dalam hal ini penulis menggunakan metode
interview terpimpim
dengan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses interview terfokus pada permasalahan yang dimaksud. b. Studi kepustakaan Studi ini dilakukan untuk mencari data melalui buku-buku tentang perkawianan khususnya yang membahas khitbah, (Upacara Perkawinan Adat Jawa), adat-istiadat perkawinan orang Jawa,(Hukum Perkawinan Adat, Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa, Hukum Adat Indonesia) dan buku sosiologi seperti, Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu Pengantar, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Hukum dan Masyarakat, Sosiologi Kontemporer, serta buku lainya sebagai literatur yang berkaitan dengan persoalan yang penulis bahas. 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam pengolahan data penulis menguraikan pendapat responden tentang ganti rugi pembatalan khitbah dalam bentuk kata-kata atau kalimat bedasarkan pertanyaan yang penulis ajukan, kemudian penulis juga menganalisis apa yang menjadi faktor-faktor serta tujuan yang melatar belakangi masyarakat Desa Pulung Rejo membebankan ganti rugi pada pihak yang membatalkan khitbah. Dan setelah seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan diseleksi, disusun, diklasifikasikan serta direduksi lalu diadakan analisis data dalam bentuk analisis deskriptif yang disajikan dalam uraian. Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
14
jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari sub-sub pokok sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan yang mencakup dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, objek penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Pada bab kedua ini menguraikan sekilas tentang khitbah dalam prespektif Fiqih, kondisi monografi, kondisi demografi, kondisi sosiologi dan gambaran adat yang digunakan oleh masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi.
BAB III
Bab ketiga ini penulis akan menjelaskan, beberapa penyebab masyarakat
membatalkan
khitbahnya
bila
dilihat
dari
sosial
masyarakat Desa Pulung Rejo. BAB IV
Sedangkan dalam bab empat ini penulis akan menjelaskan, pengetahuan masyarakat Desa Pulung Rejo tentang ganti rugi dalam
15
pembatalan khitbah, tinjauan sosiologis pembatalan khitbah serta analisis dari penulis yang merupakan hasil penelitian. BAB V
Pada bab lima ini yang merupakan hasil akhir dari penelitian yang berisikan penutup dan kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya.
BAB II PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI
A. Sekilas Tentang Khitbah dalam Perspektif Fiqih 1. Pengertian dan Dasar Hukum Khitbah Kata Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim dengan peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang” (kata kerja)1 atau bersinonim juga dengan melamar. Secara etimologis meminang atau melamar artinya (antar lain) “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Sedangkan, secara terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita “2 atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isteri dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelaksanaan khitbah biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya atau keluarganya. Tujuannya tidak lain untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak.3 Khitbah 1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 73.
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia 1992), h. 113. 3
(Jakarta:
Akademika Perssindo,
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqih Munakahat (Surabaya: AL-Ikhlas, 1984), h. 15.
16
17
merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami isteri dengan tujuan agar memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas (syarih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).4 Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah atau lamaran:
235 2 Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah (2): 235) Dasar nash hadits yaitu hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud: 4
h. 10.
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu ( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984) juz III,
18
5
Artinya: “Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk menikahinya, maka laksanakanlah” (HR.Abu Daud). Demikianlah makna khitbah ditinjau dari segi bahasa Arab adalah lamaran atau permohonan seorang laki-laki kepada perempuan yang dipinang untuk dinikahinya. Maka pinangan dalam pandangan syari’at Islam bukanlah suatu transaksi (akad) antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang atau walinya. Akan tetapi, itu tidak lebih dari pada lamaran atau permohonan untuk menikah. Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak dalam pinangan orang lain. b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan. c. Perempuan itu tidak pada masa iddah karena thalak raj’i. d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena thalak ba’in, hendaklah meminang dengan cara siryy ( tidak terang-terangan ). 6 2. Tujuan Khitbah atau Lamaran Setiap orang yang melakukan peminangan sebelum akad pernikahan, adalah untuk merealisasikan tujuan yang sangat banyak, yang terpenting diantaranya tujuan-tujuan itu adalah : 5
Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud ( Beirut: Daar Ibnu Hazm, 202 H), Jilid, II, h. 480. 6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 74.
19
a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang (mawaddah) selama masa pinangan, setiap salah satu dari salah satu pihak akan memanfaatkan momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian dalam mengenal pihak yang lain, berusaha untuk menghargai dan berinteraksi dengannya. b. Ketentraman jiwa, karena sudah merasa cocok dengan masing-masing calon pasangannya, maka memunginkan bagi keduanya merasa tentram dan yakin dengan calon pasangan hidupnya. 7 Sedangkan hikmah disyariatkanya pinangan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat pinangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan pinangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. 3. Hukum Melihat Calon Pinangan Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya, semestinya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya, sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan. Melihat orang yang akan dijadikan teman hidup sebagai bentuk ibadah harus dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai pertimbangan normal seperti isyarat hadits:
8
7
8
Abd. Nashir Taufiq, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 19-21.
Muhammad Nasruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (Beirut: Al-Maktab AlIslami), h., 175.
20
Artinya: “Seorang perempuan dinikahi (dijadikan isteri) atas dasar empat pertimbangan yaitu: karena kecantikannya hartanya, keturunannya, agamanya, maka menangkanlah pilihan agama dan engkau akan beruntung” Begitu pula dengan seorang perempuan, secara tersirat hadits tersebut menyebutkan kata “laki-laki” untuk diterima khitbahnya dengan empat pertimbangan: a. b. c. d.
Karena ketampanannya Karena hartanya Karena keturunannya Karena agamanya Karena adanya kesetaraan kedudukan antara pria dan wanita di
hadapan Allah, maka hak melamar dan dilamar akan terealisasikan secara proposional berdasarkan keadaan yang memungkinkan9. Karena kita ketahui tujuan dari pernikahan itu mulia, yaitu untuk mendapatkan keturunan, memelihara kehormatan, merealisir segi-segi ibadah, kesehatan moral, kemasyarakatan dan sebagainya. Islam mengharapkan agar kita sampai pada cita-cita yang dimaksud, maka tidak ada salahnya apabila laki-laki berupaya menyelidiki perempuan yang hendak dinikahinya, agar dapat dirasakan keserasian yang sebenarnya.10 Sebagian ulama berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunnah. Keterangannya adalah sabda Rasulullah SAW: 9
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Mazhab ( Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 137-138. 10
Thoriq Ismail Kahiya, Matakuliah Menjelang Pernikahan, Hukum Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar Orang Lain ( Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), h. 86.
21
11
Artinya: “Apabila salah seorang kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain membolehkan melihat seluruh bagian badan kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan.12 Perbedaan pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman Allah SWT pada surat an-Nur; 31
( Artinya: “Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya (Qs An-Nur : 31)
11
Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud, ( Beirut: Daar Ibnu Hazm, 202 H), jilid,II, h. 480. 12
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam Ghhazali Said, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) jilid II, h. 395.
22
Pengertian “perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan telapak tangan. Karena diqiyaskan pada waktu berhaji.13 Selain itu Jumhur juga berpendapat bagian yang boleh dilihat yitu muka dan telapak tangan. Dikarenakan dengan melihat muka dapat diketahui cantik atau jelek dan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.14 Izin untuk melihat ini tidak harus dengan persetujuan perempuan tersebut, dan sebaiknya dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena hal itu mutlak diizinkan oleh Rasulullah SAW, tanpa syarat keridhaannya. Biasanya perempuan akan malu untuk memberikan izin. Hal ini hanya untuk menjaga agar tidak melukai perasaannya, kalau setelah melihatnya laki-laki itu mengundurkan diri.
Karena itulah dianjurkan untuk melihat tanpa
sepengetahuan si perempuan sebelum melakukan peminangan. Bilamana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik hati, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya itu akan disenangi orang lain.15 4. Permasalahan dalam Khitbah Khitbah merupakan pendahuluan untuk melakukan pernikahan dan merupakan perbuatan mubah, memiliki tata cara tertentu yang diatur oleh 13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 25. 14
M. Bukhori, Hubungan Seks menurut Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 18.
15
Tihami dan Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 27
23
Islam. Hal-hal tersebut terkait dalam permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut antara lain : a. Meminang Pinangan Orang Lain Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti merampas hak dan menyakiti hati orang lain, memecahkan hubungan kekeluargaan, menganggu ketentraman. Maksud dari meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan laki-laki yang pertama dan Walinya dengan terangan-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain yang sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya maka yang demikian diperbolehkan.16 Alasan secara umum adanya larangan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain karena akan mengakibatkan terlukanya perasaan pelamar pertama, sehingga akan menimbulkan perseteruan dan kemarahan serta rasa sakit hati yang berlebihan. b. Meminang Wanita yang dalam Masa Iddah Diharamkan bagi orang yang meminang mantan istri orang lain atau wanita yang sedang iddah, baik dalam masa iddah kematian 16
Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat ( Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 78.
24
suaminya, karena talaq raj’i maupun talak ba’in. Jika perempuan yang sedang Iddah talaq raj’i haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka.17 Adapun, melakukan lamaran kepada perempuan dalam keadaan talak ba‟in (talak tiga), tidak boleh dengan terangteranganberdasar kesepakatan. Sedang, fuqaha berbeda pendapat tentang lamaran yang dilakukan cara sindirian kepada perempuan karena talak ba‟in. 18 Sedangkan bagi perempuan yang sedang iddah kematian boleh dipinang secara sindiran, walaupun kalangan ulama fikih masih berbeda pendapat, karena perempuan yang sedang iddah kematian hubungan suami istri terputus sehingga hak suami terhadap istri hilang sama sekali. Meskipun demikian, pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya dimata tetangga atau kerabatnya.19 Sebagaimana firman Allah SWT:
17
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengakap (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2009), h., 30. 18
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab (Jakarta: PT Heza Lestari, 2006), h., 117. 19
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h, 30.
25
235 2
)
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebutnyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah SWT mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah (2): 235) c. Menyendiri dengan Tunangan Tidak boleh seseorang menyendiri dengan tunangannya, karena mereka belum menikah dan belum menjadi suami isteri. Mereka masih tetap dianggap orang lain sampai adanya akad yang pernikahan dengannya.20 Hal ini karena menyendiri dengan pinangan mendorong melakukan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya maksiatmaksiat, maka diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah SAW :
20
Abu Muhammad Asraf bin Abdul Maqsud, Curhat Pernikahan (Bandung : Pustaka Rahmat, 2009), h. 16.
26
21
Artinya: “Dari Amir bin Robi‟ah, Rasulullah bersabda: “Diharamkan kepada laki-laki berdua dengan wanita yang bukan mahramnya karena yang ketigannya adalah setan kecuali ada mahram” (HR. Ahmad). d. Tukar Cincin dalam Tunangan Bertukar cincin yang dilakukan sebagai tanda adanya ikatan antara seorang perempuan dengan seorang lak-laki sebagai tunangannya bukan merupakan cara Islam. Tukar cincin juga bukan cara bangsa-bangsa Asia, melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, tukar cincin ini mulanya bukan pula cara umat Kristiani, melainkan warisan kebudayaan Romawi. Tukar cincin diadakan sebagai ikatan akan kawin, bukan sebagai tanda sudah kawin. Orang yang baru bertukar cincin belum dikatakan punya ikatan sah sebagai suami isteri sebelum dilakukannya akad nikah. Mereka masih sama-sama orang asing. Walaupun sering terjadi di tengah masyarakat antara perempuan dan laki-laki yang bertukar cincin bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama seperti layaknya suami isteri.22
21
Ahmad Ibnu Hambal, Almusnad lil Imam Ahmad Ibnu Hambal (Beirut-Libanon: Darul Fikri, 1994 H/ 1414 M), h. 450. 22
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawianan Islami (Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 75.
27
Adapun khilafiyah hukum laki-laki memakai cincin emas, dikarenakan adanya larangan dari Rasulullah bagi lak-laki menggunakan cincin yang terbuat dari emas :
23
Artinya: “Dari Addullah bin Umar, Nabi SAW pernah menyaksikan sebagian sahabat mengenakan cincin emas, maka beliau berpaling dari padanya, lalu dilemparkannya, akhirnya mengenakan cincin dari besi. Kemudian, Rasul SAW bersabda : Ini jelek dan ini perhiasan penduduk neraka, lalu dilemparkan. Maka, mereka mengenakan cincin dari perak. Dan beliau diam, tidak lagi memberi komentar (HR. Abu Daud dan Baihaqy)
5. Akibat Hukum Khitbah Khitbah adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Kadang-kadang seorang laki-laki yang akan mengkhitbah seorang wanita memberikan hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan baru antara mereka. Tetapi harus diingat bahwa semua perkara adalah wewenang Allah SWT, Dia berbuat sekehendak-Nya, bagaimanapun dan waktu kapanpun kadang-kadang terjadi sesuatu diluar perhitungan manusia,
23
Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut: Daar al-Haris, 202 H), Jil. II, h. 214.
28
seperti ada pihak keluarga yang ingin membatalkan rencana perkawinan. Ini pernah terjadi dan sering terjadi.24 Khitbah hanya bermaksud memperlihatkan atau mengumumkan akan diadakan pernikahan, jangan ditambah-tambah keadaanya, diperkuat, dan ditetapkan kedudukannya. Bagaimanapun juga, khitbah tidak menyebabkan adannya ketentuan bagi si wanita untuk secara bebas menjadi hak bagi yang meminangnya. Ada yang penting ditekankan disini adalah bahwa perempuan yang dipinang tetap merupakan orang lain bagi laki-laki yang meminang, sampai pernikahannya dengan perempuan itu terlaksana dengan baik. Perempuan statusnya belum dapat berubah menjadi istri sebelum akad syara’ yang benar dilangsungkan. Rukun dasar dalam akad nikah adalah ijab qobul. Ijab dan qobul berupa lafazh-lafazh perjanjian yang sudah diketahui menurut adat dan syara.25 Wajib kita ketahui bahwa kitbah hanyalah janji untuk mengadakan perkawinan tetapi bukan akad nikah yang mempunyai kekuatan hukum. Memenuhi janji untuk menikah adalah kewajiban bagi kedua belah pihak yang berjanji. Agama tidak menetapkan hukum tertentu bagi pelanggarnya tetapi melanggar janji adalah temasuk perbuatan yang tercela, pelanggaran
24
H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani, 1989), h. 27. 25
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, Qardhawi MenJawab (Bandung, Trigenda Karya, 1995), h. 489.
29
janji adalah salah satu sifat munafik.26 Akan tetapi walaupun khitbah hanyalah sebagai pendahuluan sebelum dilaksanakannya akad nikah, tetapi ada akibat yang ditimbulkan jika khitbah tersebut dibatalkan. Biasanya dalam melaksanakan
khitbah
pihak laki-laki seringkali
sudah
memberikan
pembayaran mahar seluruh atau sebagiannya dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian-pemberian guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi bahwa pihak laki-laki atau wanita ataupun kedua-duanya kemudian membatalkan rencana pernikahannya. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Dan membatalkannya adalah menjadi hak masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janjinya Islam tidak mejatuhkan hukuman materil, sekalipun perbuatan ini dipandang umat tercela dan dianggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau ada alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak dipatuhinya perjanjianya tadi. Pemberian yang telah diberikan oleh peminang yang berupa mahar harus dikembalikan, karena mahar adalah dalam rangka perkawinan. Sebelum perkawinan berlangsung pihak wanita belum berhak meminta mahar, mahar itu wajib dikembalikan karena mahar itu masih milik si peminang. Adapun 26
Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, h. 27.
30
hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah, karena itu tidak perlu diminta kembali sebab sudah menjadi milik wanita yang dipinang dan ia sudah boleh memanfaatkannya. Orang yang menuntut kembali pemberiannya berarti mencabut milik orang lain tanpa kerelaanya, perbuatan ini bathil menurut syara’. Kecuali apabila peminang memberikan sesuatu minta ditukar dengan barang lainnya kemudian yang diberi belum memberi ganti maka ia berhak
meminta
kembali
pemberiannya,
karena
pemberiannya
itu
dimaksudkan untuk menukar dan apabila perkawinan tidak jadi berlangsung maka ia berhak meminta kembali pemberiannya.27 6. Hukum pembatalan Khitbah Khitbah atau lamaran adalah permulaan sebagai pembuka pintu menuju pernikahan. Sebagai pembuka disini dapat diasumsikan janji untuk menikah dan bukan sebagai pelegalan hubungan antara laki-laki dan perempuan.28 Walaupun pandangan sering kita saksikan ditengah masyarakat yang baru bertunangan. Mereka bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama layaknya suami isteri, bahkan berbincang dan bercengkrama tanpa bersama mahramnya. Dan karena khitbah itu merupakan janji yang direncanakan, maka tidak mengikat hubungan antara keduanya sehingga ada kemungkinan
27
28
Ibid., h. 27-28.
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab (Jakarta, PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 91.
31
dibatalkan oleh sebab-sebab tertentu.29 Terhadap orang yang menyalahi janji Islam tidak menentukan hukuman tertentu, sekalipun perbuatan itu dipandang tercela dan dianggap sebagai salah satu sifat kemunafikan.30 Islam membolehkan pembatalan pinangan dengan syarat dalam melakukan pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang rasional, tidak boleh apabila pembatalan dilakukan tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh syara’ karena akan mengecewakan salah satu pihak.
B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo 1. Kondisi Geografis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi. Yang mempunyai luas desa 1,137.HA, dengan batas wilayah : Sebelah Utara
: berbatasan dengan desa Karang Dadi
Sebelah Selatan : berbatasan dengan desa Simpang Babeko Sebelah Barat
: berbatasan dengan PTP. Nusanrata VI.Rimbo Bujang
Sebelah Timur : Berbatasan dengan desa Sido Rejo Adapun terletak pada ketinggian tanah dan permukaan laut 500m, banyaknya curah hujan 3000mm/th suhu udara rata-rata 32 cc. Orbitasi atau
29
Ibid,. h. 91.
30
Agus Salim, Risalatun Nikah, ( Jakarta, Pustaka Amani, 1989), h. 27
32
jarak pusat pemerintahan desa dari pusat pemerintahan kecamatan 4km, jarak ibu kota kabupaten 44km, dan jarak dari ibu kota propinsi 254 km.31 Dengan luas tanah yang ada maka pemerintahan desa Pulung Rejo membagi-baginya menjadi beberapa fasilitas umum:32 Jalan sepanjang
: 12 km
Bangunan umum
: 6 Ha
Pemukiman atau perumahan seluas
: 42, 5 Ha
Kuburan
: 2 Ha
Perkantoran
: 2 Ha
Pasar desa
: 4 Ha
Perkarangan
: 420 Ha
Perkebunan rakyat seluas
: 630 Ha
2. Kondisi Demografi desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi Wilayah Desa Pulung Rejo sama halnya dengan wilayah-wilayah lain setiap tahun penduduk Desa Pulung Rejo bertambah, dan dari segi pembangunan fisik pun terus berkembang mengikuti arus perkembangan. Berdasarkan buku laporan kegiatan kecamatan 2010 dapat diketahui bahwa: Jumlah penduduk : 2309 orang Laki-laki
: 1179 orang
Perempuan
: 1130 orang
Jumlah kk
: 584 orang
31
Sumber Data Monografi desa Pulung Rejo Tahun 2010, h. 1.
32
Ibid. h., 2.
33
Adapun mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo pada umumnya sebagai petani. Untuk melihat berbagai mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo dapat dilihat tabel 1 berikut ini: Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No. Pekerjaan Jumlah 1 PNS 39 orang 2 Swasta 20 orang 3 Pedagang 82 orang 4 Tani 725 orang 5 Pertukangan 14 orang 6 Nelayan 7 orang 7 Buruh tani 300 orang Jumlah 1187 orang Sumber: Data Desa Pulung Rejo, Tahun 2010 Melihat dari tabel diatas pada tahun 2010 penduduk desa Pulung Rejo mayoritas bekerja sebagai petani. 3. Kondisi Sosiologis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi a. Bidang keagamaan Kehidupan beragama di Desa Pulung Rejo cukup baik. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang tidak pernah terjadi benturan-benturan yang bersifat keagamaan. Keberadaan
sarana
ibadah
mutlak
dibutuhkan
di
tengah
masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk di dalamnya masyarakat desa Pulung Rejo. Untuk menjelaskan sarana tempat
34
peribadatan yang ada di desa Pulung Rejo, dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini:33 Tabel 2.2 Jumlah Sarana Peribadatan No 1 2
Sarana Peribadatan Masjid Mushola Jumlah Sumber: Data Desa Pulung Rejo, 2010
Jumlah 1buah 9 buah 10 buah
Bangunan fisik sarana peribadatan baik masjid maupun musholah sudah cukup untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan aktifitas keagamaanya seperti shalat, pengajian, dan bentuk peribadatan lain. Untuk data penduduk menurut penganut agama di Desa Pulung Rejo dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah: Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepercayaan Beragama No 1. 2.
Jenis agama Volume Islam 2308 orang Kristen 1 orang Jumlah 2309 orang Sumber Data : Monografi Desa Pulung Rejo
Prosentase 99,9567% 0,0433% 100%
Penduduk desa Pulung Rejo mayoritas memeluk agama Islam bahkan penduduk yang menganut agama Kristen hanya satu orang.34 33
34
Ibid., h. 3.
Ibid., h. 4.
35
b. Bidang Pendidikan Pada tahun 2010 berjumlah 328 siswa dengan tingkat klasifikasi pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini: Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Pendidikan No 1 2 3
Sarana pendidikan Jumlah murid Taman kanak-kanak 37 orang Sekolah dasar 185 orang Mandrasah iftidaiyyah 106 orang Jumlah 329 orang Sumber Data : Hasil Laporan Tahunan desa Pulung Rejo, tahun 2010
Hanya ada tiga tempat pendidikan yang dapat memfasilitasi masyarakat pulung rejo khususnya dalam pendidikan, dan jika mereka ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus kota kecamatan atau Propinsi. Hal ini, yang meyebabkan mereka tidak mau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan jauhnya lokasi sarana pendidikan. Tabel 2.5 Jumlah sarana pendidikan di desa Pulung Rejo No 1 2 3 4 5
Sarana pendidikan Taman kanak-kanak Sekolah Dasar Madrasyah iftida‟iyyah SLTP/Sederajat SLTA Jumlah
Jumah 1 gedung 1 gedung 1 gedung 3 gedung
Sumber Data : Laporan Tahunan desa Pulung Rejo Tahun 2010
36
Sarana pendidikan di Desa Pulung Rejo memang belum memadai, sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar padahal banyak anak yang bersekolah hingga perguruan tinggi. c. Bidang Kemasyarakatan Masyarakat desa Pulung Rejo itu sendiri terdapat 16 kelompok majlis ta‟lim dengan jumlah anggota 320 orang, sedangkan organisasi sosial lainya seperti, karang taruna, PKK sebagaimana table dibawah ini: Tabel 2.6 Organisasi Sosial Masyarakat Desa Pulung Rejo No 1 2 3
Nama Organisasi Majlis Ta‟lim Karang Taruna Kelompok PKK
Jumlah 16 Kelompok 1 Kelompok 1 Kelompok
Anggota 320 orang 170 Anggota 16 Anggota
Sumber Data : Laporan Tahunan Desa Pulung Rejo Tahun 2010
C. Pelaksanaan Khitbah atau Lamaran di Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi 1. Adat Istiadat Masyarakat Desa Pulung Rejo Masyarakat pulung Rejo menganut sistem kekerabatan bilateral sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Kelompok kekerabatan bilateral seseorang ditelusuri melalaui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Seluruh kerabat yang berasal dari garis keturunan yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sepupu dimasukkan kategori saudara (sedulur).
37
Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga yang tidak dikenal oleh masyarakat Jawa akan tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek-moyang, yakni garis nenek moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakeknenek, yakni orang tua bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut „kakeknenek pangkuan.35 Masyarakat Pulung Rejo menganut agama Islam. Mereka juga terikat oleh aturan-aturan adat yang mereka warisi dari nenek moyang dahulu. Adat istiadat diwarisi secara turun temurun dan tetap diakui serta ditaati oleh masyarakat. Masyarakat Pulung Rejo dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya masih terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang dianggap luhur dan keramat. Mereka masih percaya pada hal-hal yang bersifat mistis atau klenik seperti kemenyan dan sesajen.
Hal tersebut tidak bisa
ditinggalkan ketika ada suatu hajat (seperti membangun rumah, slametan, acara perkawinan, dll) yang menurut mereka suatu syarat wajib dilakukan sehingga hajatnya dapat terkabul.36
35
H. Geert, Keluarga Jawa ( Jakarta: PT. Temprint, 1985), Cet-3, h. 28.
36
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi. Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
38
Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berati kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta a berarti bukan dan dato yang artinya sifat kebendaan. Dengan demikian, maka adat sebenarnya sifat immaterial : artinya, adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan 37 Adapun adat atau kebiasaan yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung Rejo adalah adat yang berasal dari pulau Jawa, dikarenakan mayoritas masyarakatnya besaral dari Jawa yang ditransmigrasikan secara bersamaan atau dikenal dengan istilah bedol desa pada tahun 1978. Jadi walaupun mereka telah menetap lama di Propinsi jambi akan tetapi kebiasaan yang telah tumbuh dalam jiwa itu susah untuk diubah bahkan, anak cucu mereka pun ikut mewarisi tradisi-tradisi nenek moyang mereka. Dalam permasalahan khitbah atau lamaran yang dipraktekan juga berasal dari tradisi Jawa dahulu. Jika sesorang ingin melaksanakan pernikahan maka mereka harus melakukan proses lamaran terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke akad pernikahan. Seperti halnya pada proses lamaran pada adat lainnya yang harus melalui berbagai tahapan maka lamaran adat desa Pulung Rejo pun melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang.
37
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 83.
39
2. Pengertian Khitbah atau Lamaran di Masyarakat Desa Pulung Rejo Istilah meminang (ngelamar) mengandung arti permintaan yang dalam hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.38 Bagi orang Jawa ngelamar dilakukan oleh orangtua pihak perjaka kepada orangtua gadis setelah acara nontoni yaitu melihat dari dekat antara pihak perjaka dan pihak gadis. Lamaran dilakukan sendiri oleh orangtua sang perjaka secara lisan yaitu langsung datang ke rumah orangtua sang gadis. Ada resiko bila orangtua perjaka langsung melamar secara lisan, kerena belum tentu diterima pada saat itu juga.39 Hal ini disebabkan oleh pihak keluarga sang gadis perlu berunding dulu dengan para sesepuh yaitu kakek, nenek dan keluarga lainnya. Akan tetapi, pada zaman sekarang lebih mudah, sebab keragu-raguan sudah tidak ada lagi, sebab antara sang perjaka dan sang gadis sudah saling cinta dan cocok. Namun demikian, untuk resminya perlu diadakan tatacara melamar. Jadi apabila sang perjaka dan sang gadis sudah saling cinta dan cocok, maka orangtua perjaka dapat langsung melamar secara lisan kepada orangtua sang gadis.40
38
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), h. 27.
39
Thomas Wijaya Bratawijaya, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 8. 40
Ibid., h. 9.
40
Setelah lamaran sang perjaka diterima maka dilakukan acara pening setan atau dalam bahasa Indonesia disebut Tanda Kasih. Tanda pengikat adalah pemberian sejumlah barang dari sang perjaka kepada sang gadis pilihanya guna memantapkan ikatan cinta antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Dengan adanya pemberian pening setan tersebut sebagai tanda bahwa sang perjaka dan sang gadis sudah bertungangan secara resmi tetapi belum sah sebagai pasangan suami isteri. Dalam pengertian adat Jawa masa pertunangan adalah bila lamaran sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua belah pihak oranngtua dengan ditandai ikatan kasih. Masa pertunangan ini bukan lagi dikatakan masa pacaran akan tetapi masa dimana masa penantian atau menuggu datangnya hari peresmian perkawinan mereka berdua. Di samping itu masa pertunangan untuk saling mengenal sifat dan karakter masing-masing dalam rangka saling menyesuaikan diri antara mereka berdua dan mungkin disertai rencana-rencana yang akan dilakukan setelah mereka sah menjadi suami istri. Selain itu dalam masa pertunangan untuk mengadakan pertimbangan-pertimbangan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.41 Dalam adat yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung Rejo dalam masa penig setan kedua belah pihak sepakat untuk menentukan palang atau ganti rugi bila kelak ada diantara salah satu pihak menyalahi janji atau
41
Ibid., h. 19.
41
melakukan pembatalan lamarannya. Dengan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati sebelumnya dan disaksikan para sesepuh-sesepuh desa. 42 Apabila masa pertunangan mulus, lancar dan tidak timbul masalah serius, maka masa penantian terlampaui, yang selanjutnya perkawinan mereka dapat dilangsungkan. Namun demikian bila dalam masa pertunangan timbul hal-hal yang sekiranya kurang pas, maka pertunangan dapat dibatalkan, dengan membayar sejumlah palang yang telah disepakati sebelumnya. Pembatalan boleh dari pihak perjaka maupun dari pihak gadis. Apabila pembatalan dari pihak gadis, maka barang-barang tali pengikat
atau
peningsetan harus dikembalikan. Akan tetapi bila dari pihak laki-laki maka barang-barang tali pengikat tidak etis bila diminta kembali, kecuali bila pihak perempuan yang mengembalikan boleh diterima.43
3. Akibat Hukum Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo Hubungan hukum yang berlaku antara perjaka dan gadis, walaupun dapat dibuktikan dengan adanya pemberian tanda mau, baik berupa barang ataupun uang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita, diantara mereka belum ada ikatan hukum. Oleh karena itu hubungan diantara mereka itu baru tahap memadu cintakasih yang dalam istilah sehari-hari disebut pacaran.44 42
Sudayat Jambi, Tokoh Agama Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14 september 2010. 43 44
Bratawijaya, Upacara Pernikahan Adat Jawa, h. 20. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1983), h. 47.
42
Dalam pengertian adat masyarakat Jawa masa pertunangan adalah bila lamaran sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua pihak orangtua dengan ditandai ikatan kasih. Yang dimaksud dengan masa pertunangan adalah masa penantian atau menunggu datangnya hari peresmian perkawinan mereka berdua. Akan tetapi, dalam masyarakat desa Pulung Rejo seseorang yang telah melamar dan diterima mereka telah terikat dengan perjanjian untuk menikah dan jika terjadi pembatalan di antara salah satu pihak kelak, dapat dikenakan denda atau ganti rugi bagi pihak yang mengikari janjinya itu. Adapun akibat hukum yag ditimbulkan setelah dilakukanya peminangan itu hubungan antara pihak keluarga si gadis dengan keluarga sang jejaka akan semakin akrab. Namun si gadis dan sang jejaka justru harus lebih hati-hati menjaga diri. Sebab, walaupun hubungan mereka telah mendapat restu dari keluarga kedua belah pihak, mereka tetap harus menjaga kehormatan keluarga masing-masing. Dengan adanya ikatan pertunangan maka berlakulah ketentuan tata tertib adat pertunangan yang antara lain meliput hal-hal sebagaimana di bawah ini: 1) Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai. 2) Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunagan, begitu pula orangtua / keluarga dan kerabat ke dua pihak dilarang berusaha mengadakan hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan, pertunangan dan perkawinan. Melakukan hubungan dengan yang lain dalam maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertungan dan batalnya perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati.
43
3) Kedua pihak keluarga harus saling mengawasi gerak-gerik dan tindak-tanduk dari para calon mempelai yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak perilaku dari mereka. 4) Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang perkawinan dikarenakan salah satu pihak atau kedua belah pihak memutuskan hubungan pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barangbarang dan uang serta kerugian lainya pada pihak yang bersalah atau yang telah menerima barang-barang pemberian selama pertunangan itu. Dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi, maka para pemuka adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai.45 4. Tatacara Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo Tata cara khitbah yang dilakukan oleh masyarakat desa Pulung Rejo tidak jauh beda dengan pelaksanaan khitbah yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh masyarakat desa Pulung Rejo dalam pelaksanaan khitbah: a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka tinggal izin orangtualah yang diperlukan. b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang kembali bersama pihak orangtua laki-laki untuk mengadakan lamaran secara resmi.
45
Ibid., h. 61-63.
44
c. Pada hari dan waktu yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga gadis, mengundang tetangga satu RT, dan para aparat desa serta sesepuh desa untuk menyaksikan lamaran yang akan dilaksanakan. d. Pihak keluarga laki-laki datang kembali bersama keluarga terdekatnya untuk melamarkan putranya secara resmi dengan wanita pilihannya. e. Pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai juru bicara masingmasing untuk mewakili pernyataan lamaran dan penerimaan dari pihak perempuan. Setelah lamaran diterima, maka pemberian tanda ikatan pun langsung diberikan kepada wanita biasanya berupa cincin. Hal ini dijadikan sebagai tanda bahwa recara resmi hubungan mereka direstui oleh keluarga dan akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu, para ketua adat atau sesepuh merembuk beberapa hal yang menjadi kesepakatan dari kelurga kedua belah pihak.46 antara lain sebagai berikut : 1) Dibicarakan jumlah palang atau ganti rugi yang akan dibayarkan jika terjadi pembatalan atau mungkir janji dari salah satu pihak yang bertunangan. 2) Dibicarakan masalah penentuan atau perhitungan hari baik untuk pelaksanaan pernikahan, walaupun waktu antara tunangan dan pernikahan masih lama.
46
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 September 2010.
45
3) Setelah semua pihak sepakat tentang hari dan waktu yangdianggap tepat untuk melaksanakan pernikahan. Yang terakhir dibicarakan masalah gol 47
yaitu suatu kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga tentang hari
pelaksanaan pernikahan, jika terjadi kematian dari salah satu keluarga dekat seperti, orangtua, adik, kakak, kakek, nenek, maka pernikahan akan tetap dilaksanakan atau ditunda sampai mendapatkan pergantian hari yang lebih tepat lagi.48
47
Gol adalah kesepakatan antara kedua keluarga apakah pernikahan akan tetap dilaksanakan atau ditunda ketika mendekati hari pelaksanaan pernikahan ada keluarga dekat yang meninggal dunia. 48
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 september 2010 .
BAB III BEBERAPA PENYEBAB PEMBATALAN KHITBAH DI DESA PULUNG REJO KEC.RIMBO ILIR JAMBI
Putusnya hubungan berpacaran biasanya diselesaikan antara pria dan wanita yang bersangkutan tanpa dicampuri orang tua, kecuali jika penyelesaian di antara mereka tidak tercapai dan menimbulkan perselisihan. Namun jika terjadi putus pertunangan maka penyelesaiannya secara damai dilakukan oleh orangtua, keluarga dan kepala adat dari kedua pihak, dan penyelesaiannya dilakukan berdasarkan azas kesepakatan, kerukunan dan kekeluargaan.1 Adapun latar belakang yang menyebabkan putusnya ikatan pertunangan secara umum antara lain adalah dikarenakan: a. Salah satu pihak atau kedua pihak, baik si pria atau si wanita yang bertunangan ataupun kerabat mereka mungkir janji, tidak memenuhi perjanjian untuk perkawinan, misalnya dalam masa pertunangan itu terjadi si pria melakukan pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si wanita berlainan untuk kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang lain. b. Salah satu pihak, atau kedua belah pihak menolak untuk meneruskan pertunangan dikarenakan adanya cacat cela pribadi dari pria atau wanita yang bertunangan, misalnya cacat cela sifat watak perilaku budi pekerti dan kesehatannya. Ataupun cacat cela dari orang tua/keluarga dan kerabat salah satu pihak, sebagai akibat penilaian selama masa pertunangan. c. Salah satu pihak menolak untuk diteruskannya ikatan Pertunangan dikarenakan pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang dilamar atau sebaliknya pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak dapat dipenuhi. d. Terjadi pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan selama berlakunya masa 1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), h. 63.
46
47
pertunangan di antara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan kesusilaan maupun yang perbuatannya dapat dituntut K.U.H. Pidana. 2 Begitu pula sebab pembatalan khitbah yang dilakukan oleh masyarakat desa Pulung Rejo tidak jauh berbeda dengan sebab-sebab putusnya pertunangan secara umum yang telah disebutkan di atas. Karena masyarakat desa Pulung Rejo termasuk masyarakat yang menjunjung adat, dan hukum adat berlaku terhadap anggota-anggota warga masyarakat adat serta orang-orang di luarnya yang terkait akibat hukumnya. Dari hasil penelitian, penulis mendapati beberapa hal yang menjadi faktor penyebab pembatalan khitbah atau lamaran dalam masyarakat desa Pulung Rejo antara lain: A. Faktor Adanya Orang Ketiga Dalam masa peningsetan atau tunangan ini banyak hal yang mungkin terjadi, bahkan sesuatu yang di luar logika sekalipun. Dikarenakan waktu tunggu yang terkadang telalu lama, sehingga mengakibatkan salah satu dari dua pihak mengingkari janjinya yang disebabkan adanya wanita idaman lain bagi seorang perjaka dan bagi seorang gadis disebabkan karena ada godaan pria lain atau adanya lamaran dari laki-laki lain, yang dianggapnya lebih siap untuk segera menikahinya dari pada tunangannya.3 Dikarenakan adanya gangguan dari pihak ketiga baik dari seorang lakilaki atau perempuan maka mereka merasa ragu untuk melanjutkan hubungannya
2
Ibid., h. 64-65.
3
Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir. Wawancara Pribadi, Karang dadi, 13 Agustus 2010
48
ke jenjang pernikahan, Sehingga memutuskan untuk membatalkan khitbah yang pernah dilaksanakan dengan dalih ketidaksiapan untuk menikah terlalu cepat. Penulis mengambil contoh dari calon pasangan HR (perempuan) dan BD (laki-laki), setelah BD mengkhitbah HR dengan selang waktu 1 tahun untuk melanjutkan pernikahan. Akan tetapi selama 1 tahun BD berubah sikapnya terhadap HR bahkan sering tidak berkomunikasi. Karena kekhawatiran orang tua HR, akhirnya menanyakan BD tentang hubungan mereka apakah akan dilanjutkan atau akan diakhiri saja. Dengan adanya pernyataan dari orang tua HR maka BD memilih untuk membatalkan khitbah yang pernah dilaksanakan dengan dalih “belum siap untuk menikah terlalu cepat”. Berdasarkan kesepakatan awal bagi pihak yang menyalahi janji maka dikenakan palang atau ganti rugi sebesar 5 juta. Karena BD yang membatalkan khitbah maka BD yang membayar palang atau ganti rugi tersebut. Namun, setelah 3 bulan berlalu BD menikah dengan wanita lain.4 Ketidaksiapan untuk menikah sering dijadikan dalih untuk membatalkan khitbah yang disebabkan adanya wanita atau adanya laki-laki lain yang menggoyahkan hati mereka untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Selain pasangan HR dan BD, penulis mendapati calon pasangan WG (perempuan) dan AN (laki-laki). WG dan AN telah bertunangan selama 1 Tahun akan tetapi, selang waktu tunggu untuk melangsungkan pernikahan (tunangan) WG menikah dengan DY yang merupakan tetangga WG. Setelah diketahui, keluarga WG telah meninggalkan rumah dengan DY ke Medan, akhirnya orang 4
Sukinem, orang tua Hariyati. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September 2010.
49
tua WG menyetujui pernikahan mereka dikarenakan malu dengan tetangga terlebih calon besan yang telah melamar anaknya. Keluarga WG meminta maaf dengan pihak keluarga AN, dan penyelesaiannya dilakukan secara damai yang dibantu oleh ketua adat setempat. Berdasarkan kesepakatan di awal bagi pihak yang mungkir janji akan dikenakan palang atau ganti rugi sebesar 10 juta. 5 Maka akhirnya pihak WG membayar palang dengan jumlah yang telah disepakati awalnya.
B. Faktor Pendidikan Alasan sosial seseorang memang cukup dominan sebagai suatu yang melatar belakangi beberapa pihak untuk melakukan pembatalan khitbah atau lamarannya. Hal ini penulis mengambil satu contoh pihak yang membatalkan khitbah atau lamarannya yaitu: pasangan SK (laki-laki) & DW (perempuan) , JR (laki-laki) dan SY (perempuan). Pendidikan
seseorang
merupakan
gambaran
status
sosial
dalam
masyarakat dikarenakan tingkat pendidikan di desa Pulung Rejo masih rendah. Sehingga bagi orang yang merasa telah mempunyai pendidikan tinggi mereka sangat hati-hati untuk memilih pasangan dalam hidupnya. Secara tidak langsung masyarakat desa Pulung Rejo mempunyai prinsip kesepadanan dalam memilih pasangan hidup. Sedangkan dalam Islam prinsip ini
5
Anto, Orang tua WG. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 22 Agustus 2010.
50
disebut dengan kafa’ah. Secara etimologi, kafa’ah berarti sepadan, seimbang dan serupa, sedangkan secara terminologi, kafa’ah berarti kesepadanan, keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan suami baik dalam fisik, kedudukan, status sosial, ahklak maupun kekayaannya. Sehingga masing-masing calon merasa nyaman dan cocok serta tidak merasa terbebani untuk melangsungkan pernikahan dan mewujudkan tujuan pernikahan.6 Jadi, dibenarkan bila masyarakat mempertimbangkan suatu kesepadanan dalam memilih calon pendamping hidupnya, daripada mereka harus menyesal setelah pernikahan terjadi atau menjalani rumah tangga yang tidak harmonis, dikarenakan banyaknya perbedaan baik dalam hal pemikiran dan cara pandang dalam suatu kehidupan. SK membatalkan khitbahnya dengan DW karena merasa tidak sepadan atau sekufu dalam masalah pendidikan. SK yang bekerja sebagai Polisi merasa tidak cocok menikah dengan DW yang hanya berpendidikan SLTP, hal ini diketahuinya setelah pelaksanaan khitbah dan akhirnya SK memilih untuk membatalkan khitbahnya, walupun harus membayar palang atau ganti rugi sebesar 20 juta dengan alasan tidak sepaham dalam masalah pemikiran. Namun setelah 4 bulan SK melamar seorang mahasiswa dan akhirnya menikahinya.7 Dari
6
Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Elsas, 2008), h.
7
Sarmi, adik dari ibu SK.. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 17 September 2010.
12.
51
fenomena inilah penulis menyimpulkan bahwa, faktor pendidikan juga berpengaruh pada pembatalan khitbah seseorang.
C. Foktor Ekonomi Materi memang gambaran kemapanan ekonomi seseorang, sehingga kehidupan sosialnya akan terlihat sempurna di depan semua orang. Banyak orang beranggapan bahwa uang memang bukan segala-galanya tapi semua kehidupan ini membutuhkan uang. Di desa Pulung Rejo sendiri menilai seorang lelaki yang telah bekerja dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dianggap telah mampu untuk membina suatu rumah tangga, sehingga mereka diberi izin jika akan menikah. Akan tetapi, jika ada seseorang lelaki yang ingin melamar seorang perempuan
dia belum
bekerja bahkan masih bergantung kepada orang tua, maka secara langsung orang tua pihak perempuan tidak menerima lamarannya. Hal inilah yang menyebabkan khitbah seorang laki-laki dibatalkan dari seorang perempuan karena seorang lakilaki dinilai belum bisa bertanggung jawab jika kelak menjadi seorang suami untuk menghidupi kebutuhan isteri dan anaknya. Maka dengan alasan-alasan itu banyak dari pihak perempuan yang membatalkan khitbahnya dikarenakan takut tidak bisa hidup layak dan bahagia. Secara langsung pengakuan mereka memang sulit, tetapi setelah penulis menjelaskan tujuan penelitian serta meminta izin secara baik-baik akhirnya
52
mereka bersedia. Karena masalah ini merupakan hal pribadi seseorang dan sangat sensitif untuk dibicarakan secara umum. Dengan itu, informan meminta penulis untuk disamarkan namanya dengan inisial A. A (perempuan) mengaku setelah bertunangan selama 1 tahun dengan B (laki-laki), dia telah cukup untuk mengenal sifat dan watak B secara keseluruhan bahkan sampai sifat-sifat keluarga B, yang dirasakan dan dilihat sangat baik hati. Akhirnya sampailah pada masalah material keluarga B, yang memang dari keluarga kurang berada. Karena rasa cinta si A, maka waktu B melamar A langsung menerimanya. Akan tetapi, selang waktu 1 tahun “saya merasa takut jika kelak menikah dengan B, dia tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga kami, karena B juga merupakan tulang punggung keluarganya”. Dari hal itu saya mulai mempertimbangkan kembali jika harus menikah dengan B, dan akhirnya saya memilih untuk memutuskan lamaran atau tunangan B, dan berharap ada laki-laki lain yang lebih baik dari kondisi B yang akan melamarnya.8
D. Faktor Ketaatan Kepada Orangtua Faktor keluarga banyak juga dijadikan alasan seseorang untuk membatalkan khitbahnya karena keluarga merupakan orang terdekat yang akan mempengaruhi kehidupan mereka kelak. Perkawinan merupakan langkah awal yang menentukan dalam proses membentuk keluarga bahagia dan hamonis. Di samping itu, perkawinan bagi pasangan muda-mudi adalah melakukan 8
A, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 Agustus 2010.
53
pengintegrasian manusia dalam tatanan hidup bermasyarakat. Hal ini untuk menjaga tidak adanya penyesalan di kemudian hari.9 Peran orang tua dalam menentukan calon menantu dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu: 1. Periode kira-kira sekitar Tahun 1925-2000-an, Pada zaman istilah “Gudel Nyusu Kebo” artinya, Gudel adalah anak kerbau, sedangkan kerbau yaitu kerbau. Jadi arti Gudel Nyusu Kebo adalah sesuatu yang yang sudah wajar, artinya yang terkandung dalam ungkapan itu adalah bahwa anak dalam mencari dan menentukan jodoh harus menurut kehendak orangtua. Dalam menentukan calon menantu atau jodoh bagi putra-putrinya tidak terlepas dari landasan pokok yaitu bibit, bebet, dan bobot. Ada yang agresif mencarikan jodoh buat putar-putrinya adalah orangtua sedangkan perjaka dan sang gadis tinggal menurut dan menerima saja. 2. Pada Zaman Era Baru 2000-an Perkembangan zaman membawa pengaruh adanya pergeseran nilainilai tata kehidupan. Bila zaman dulu pepatahnya Gudel Nyusu Kebo seperti yang diuraikan. Sekarang sudah berbalik 180% pepatahnya menjadi “Kebo Nyusu Gudel”, maknanya orangtua hanya mengikuti kemauan anak saja. Peranan orangtua sudah bergeser kearah “Tut Wuri Handayani” saja. Sang
9
Thomas Wiyasa Bratawijaya, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 3.
54
perjaka dan sang gadis bebas dalam menentukan jodohnya sedangkan orang tua merestui. Namun demikian prinsip-prinsip dalam menentukan jodoh yaitu, bibit, bebet dan bobot masih memegang peranan penting. 10 Ada
sementara
yang
berpendapat
bahwa
bibit
masih
dapat
dipertimbangkan, karena mungkin juga sang perjaka dan gadis dari keluarga yang kurang baik, namun ternyata budi pekertinya baik. Begitu juga dengan yang ada dalam masyarakat desa Pulung Rejo dalam menentukan jodoh peranan orangtua tidak terlalu dominan, sehingga sering terjadi kesalahpahaman setelah masa tunangan terjadi dapat berakibat pembatalan lamaran dari salah satu kedua belah pihak. Ini salah satu penyebab seseorang dalam membatalkan lamarannya ketika pihak keluarga melihat dari calon menantu mereka yang tidak bagus dari salah antara bibit, bebet dan bobot yang diketahuinya setelah pertunangan terjadi. Dalam masalah alasan keluarga ini penulis mendapatkan informan yang telah bertunangan dan akhirnya membatalkan atau memutuskannya kembali karena selama masa pertunangan, dia menemukan cacat cela dari sifat tunangannya. SP (laki-laki) dan RS (perempuan), telah bertunangan sekitar 1 tahun 3 bulan. Dikarenakan SP masih bekerja jauh dari rumah, maka SP jarang bertemu dengan RS. Setelah lamanya bertunangan SP diminta oleh orangtuanya untuk memutuskan pertunangannya dengan RS, karena orangtua SP tidak menyukai akhlak dari RS yang dianggap kurang sopan oleh orangtua SP, baik ketika 10
Ibid., h. 5-8.
55
bertutur kata maupun bertingkah laku. Karena RS takut mengecewakan orangtuanya maka SP mengikuti perintah kelurganya. Sebelum semuanya terlambat hingga akhirnya menikah. Maka, hal itu akan menyebabkan hubungan yang tidak baik antara menantu dan mertua.11
E. Faktor Kematian Kematian
seseorang
memang
menyebabkan
terputusnya
semua
kehidupannya di dunia. Semua hal yang pernah dia janjikan dengan sendirinya akan batal secara hukum karena ajal manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya. Jadi, ketika ada seorang yang telah bertunangan kemudian meninggal dunia maka salah satu pihak, baik pihak perjaka maupun gadis dengan sendirinya pertunangan itu batal. Akan tetapi dalam masalah pembebanan ganti rugi atau yang dikenal oleh masyarakat Pulung Rejo dengan palang kedua belah pihak tidak dikenakan karena keduanya tidak dapat dikatakan menyalahi janji. Ini terjadi pada pasangan (perempuan) dan WR (laki-laki) setelah lamaran terjadi, ST menderita sakit selama 2 bulan yang akhirnya menyebabkan kematian. Maka WR selaku pihak yang mengkhitbah ST dengan palang sejumlah 5 juta dikarenakan ST meninggal, secara otomatis khitbah itu batal. Dikarenakan meninggalnya salah satu pihak, akan tetapi palang atau ganti rugi yang disepakati sebelumnya tidak perlu dibayarkan kepada WR karena ST tidak menyalahi
11
2010.
Supriyono, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung rejo 24 Agustus
56
janjinya dan palang atau ganti rugi hanya berlaku bagi pihak yang menyalahi janji untuk menikahi seseorang setelah mengkhitbahnya. Alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, mendorong mereka melakukan pembatalan khitbah sebagai alternatif mencari kebahagian dalam rumah tangga setelah menikah. Berharap mendapatkan pasangan yang lebih baik dan bisa memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam rumah tangga. Serta alasan-alasan itu pula yang dijadikan dalih untuk membatalkan khitbah walaupun terkadang fakta yang terjadi sesungguhnya hanya pribadi mereka saja yang mengetahuinya. Karena penulis hanya dapat melihat fakta sosial yang mereka ungkapkan dan yang terlihat dalam masyarakat.
BAB IV GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH PADA MASYARAKAT DESA PULUNG REJO
A. Pengetahuan Masyarakat Desa Pulung Rejo Tentang Ganti Rugi Dalam Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo ditinjau dari etnis adalah mayoritas Jawa, hal tersebut dinyatakan berdasarkan sejarah Desa Pulung Rejo yang berdiri pada tahun 1978, yang penduduknya berasal dari transmigran Bedol Desa Pulau Jawa (Wonogiri) pada saat itu ada sebanayak lima Desa yang bertransmigran ke Desa Pulung Rejo.1 Adat yang digunakan oleh masyarakat Desa Pulung Rejopun adalah adat Jawa, bahkan hampir 99% jumlah masyarakat yang menggunakan adat Jawa. Walaupun adat Jambi juga dipakai tetapi hanya berkisar 1% saja yang menggunakan adat Jambi. Masyarakat Desa Pulung Rejo sangat menjunjung tinggi adat atau tradisi sebagaimana yang dikatakan oleh Dainuri sebagai Lembaga Adat Kecamatan Rimbo Ilir, bahwa masyarakat Desa Pulung Rejo menginginkan kehidupan yang rukun berdasarkan aturan adat atau norma yang telah disepakati.2
1
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
2
Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karang Dadi, 13 Agustus 2010.
57
58
Pengaruh yang terjadi dari penghormatan sebuah adat pada masyarakat Desa Pulung Rejo yaitu adanya ritual-ritual yang berlaku pada saat menjalani proses lamaran. Ritual yang digunakan biasanya acara syukuran dengan mengundang keluarga, para tokoh masyarakat dan tetangga terdekat. Dengan tujuan mendapat berkat dari yang Maha Kuasa serta disaksikan oleh banyak orang.3 Dalam sebuah prosesi lamaran yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pulung Rejo terdapat Palang (ganti rugi yang dikenal masyarakat Desa Pulung Rejo). Palang adalah janji untuk mengikat suatu perjanjian akan menikah yang disaksikan oleh masyarakat biasanya selang waktu satu tahun untuk melaksanakan pernikahan.4 Somorejono sebagai sesepuh Desa Pulung Rejo mengartikan Palang adalah suatu ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak yang mungkir janji dari pernikahan dan besarnya sesuai kesepakatan ketika proses lamaran.5 Sama halnya pengertian yang dijelaskan oleh Hariyati yaitu seseorang yang khitbahnya pernah dibatalkan, menurutnya Palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk menikah. Asal-usul Palang (ganti rugi) yang dikenal oleh masyarakat Desa Pulung Rejo menurut bapak H. Sudayat itu berasal dari ninik mamak atau sering dikenal
2010.
3
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
4
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
5
Somorejono, Sesepuh Desa Pulung rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 21 September
59
dengan istilah nenek moyang. Namun, pada praktek yang diterapkan pada masyarakat Desa Pulung Rejo bahwa Palang (ganti rugi) dalam pembatalan khitbah itu merupakan hasil musyawarah para sesepuh dan disepakati
oleh
keluarga kedua pihak sebelumnya jika ada yang membatalkan khitbahnya guna untuk mendapatkan keadilan.6 Tujuan dari adanya Palang yaitu sebagai pengikat dan pagar atau batasan agar salah satu pihak tidak mungkir janji untuk melaksanakan pernikahan sehingga dapat mencegah adanya kegagalan pernikahan. Untuk jumlah nominal yang sering dijadikan sebagai Palang menurut sesepuh Desa Pulung Rejo yaitu bapak Somorejono mengatakan jumlah Palang tidak ada ketetapan pasti akan tetapi sesuai kesepakatan biasanya berkisar dari Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp. 20.000.000. Jumlah nominal tersebut dibenarkan oleh seorang pelaku yang pernah membatalkan khitbahnya yaitu bapak Supriyono. Pada saat Supriyono membatalkan khitbah beliau membayar Palang sebesar Rp. 15.000.000.7 Begitu pula dengan salah seorang pelaku yang khitbahnya dibatalkan yaitu ibu Hariyati yang menerima Palang sebesar Rp. 5.000.000 dari keluarga mantan calon suaminya yang membatalkan khitbahnya.8
6
Sudayat, Tokoh Agama Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo14 September
7
Supriyono, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 24 Agustus
2010.
2010. 8
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September 2010.
60
Ada beberapa hal yang dijadikan alasan oleh seseorang baik orang yang membatalkan khitbah ataupun yang khitbahnya dibatalkan. Menurut
Supriyono
(orang yang membatalkan khitbah) alasan beliau karena orang tua tidak menyetujui. Orang tua Supriyono kurang menyukai tindak-tanduk calon menantunya yang kurang sopan ketika dia bertutur kata atau bertindak. Demikian halnya dengan Hariyati yang khitbahnya dibatalkan dengan alasan karena ketidaksiapan calon suami untuk segera menikah. Namun, selang waktu tiga bulan mantan calon suaminya itu menikah dengan orang lain, alasan ketidaksiapan unt9uk segera menikah hanya dijadikan alasan agar keluarganya tidak sakit hati. 1. Faktor Pembebanan Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Desa Pulung Rejo a. Pencegahan terjadinya kegagalan untuk melaksanakan pernikahan Kepala desa Pulung Rejo menjelaskan, adanya penetapan ganti rugi pembatalan khitbah dilaksanakan berdasarkan musyawarah Perangkat Desa dengan pemuka-pemuka masyarakat seperti, sesepuh adat, tokoh agama, ketua RT, RW yang dipimpin oleh anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Kemudian hasilnya disamapaikan kepada masyarakat, setelah mendapat persetujuan dari masyarakat, barulah dilaksanakan. Hal ini disebabkan, supaya tidak ada yang membatalkan khitbah. Beliau mengungkapkan “kalau disuruh bayar ganti rugi pasti yang mau batalin juga mikir lagi, sehingga ketika mau melakukan khitbah mereka akan mempertimbangkan lagi keseriusannya itu, apakah benar-benar dari hati atau kah ada hal lain” 9
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 16 September 2010.
61
Bapak
Dainuri,
menambahkan
tentang
alasan
mendasar
diberlakukannya ganti rugi bagi pihak yang membatalkan khitbah. “Alasan mendasarnya untuk mencegah terjadinya kegagalan pernikahan. Karena, jika terjadi
pembatalan
biasanya
sedikit
banyaknya
pasti
menimbulkan
kesalapahaman yang berakibat konflik dan menjadikan hubungan mereka renggang bahkan bisa manjadi musuh antara dua kelurga tersebut”.10 Ganti rugi pembatalan khitbah merupakan suatu sistem pengendalian sosial yang dilakukan oleh masyarakat Desa pulung Rejo, yang bersifat gabungan yaitu merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian ini, dengan memadukan ciri preventif dan represif dimaksudkan agar suatu periaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.11 b. Adanya konflik dalam masyarakat Supriyono mengungkapkan setelah membatalkan khitbahnya, sempat terjadi kesalahpahaman dari keluarga yang khitbahnya dibatalkan. “ karena dari keluarga tunangan saya tidak menerima dengan adanya pembatalan 10
11
Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karang Dadi, 13 Agustus 2010.
Wayan Suartawa, “Pengendalian atau Kontrol Sosial”, artikel diakses pada 8 Juli 2008 dari http://organisasi.org/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian-pengendalian-sosialpengetahuan-sosiologi.
62
yang saya sampaikan”. Setelah selang satu hari saya datang kembali dengan meminta bantuan bapak Kepala Desa, akhirnya beliau menjelaskan duduk perkara dengan baik-baik, beliau berkata “jodoh itu kan sudah ada yang mengatur, mungkin kalian belum ditakdirkan hidup bersama dan kalaupun dipaksakan nanti malah tidak baik. Saya mewakili keluarga Supriyono meminta maaf yang sebesar-besarnya dan saya juga dititipkan palang yang telah kalian sepakati kemarin, mungkin ini tidak bisa mengganti rasa kecewa keluarga kalian, tapi ini bisa buat ganti biaya yang telah di keluarkan waktu peleksanaan
khitbah
kemarin
dan
masalah
paningset,
tidak
usah
dikembalikan”. Dan akhirnya keluraga mantan calon isteri saya menerima walaupun masih dengan keterpaksaan dan kekecewaan memaafkan saya dan menerima palang yang diberikan.12 Hal yang sama dialami oleh Hariyati, selaku orang yang khitbahnya pernah dibatalkan mengungkapkan, “ tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan secara sepihak tanpa ada kesalahan yang saya perbuat”. Setelah kami bertemu orang tua dari keluarga mantan calon suami saya akhirnya mereka meminta maaf dan menjelaskan kalau anaknya belum bisa untuk segara menikah. Awalnya orang tua saya marah dan tidak mau bertemu
12
2010.
Supriyono, Pelaku Pembataln Khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 24 Agustus
63
dengan mereka, akan tetapi akhirnya beliau sadar jodoh itu tidak bisa dipaksakan.13 Penjelasan di atas sama dengan yang dikemukakan oleh Chamblis dan Seidman dalam bukunya berjudul law, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo ada dua model masyarakat dalam pembuatan hukum. Model masyarakat yang pertama berdasarkan pada basis kesepakan akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat yang kedua yaitu, suatu masyarakat dengan model konflik. Di sini bukanlah kemantapan dan kelestarian ciri masyarakat, melainkan perubahan serta konflik-konflik sosial. Maka pada model masyarakat yang kedua ini, berdirinya masyarakat dilihat sebagai perhubungan di mana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan sementara oleh warga lainya.14 2. Dampak Pembebanan Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo Pada dasarnya setiap pelanggaran ada sanksinya, demikian dengan pembatalan khitbah yang telah disepakati atau merupakan janji untuk melangsungkan pernikahan dengan seseorang. Ada dua dampak atau akibat yang akan dimunculkan dari pembebanan ganti rugi pada pembatalan khitbah yaitu dampak positif dan negatif.
13
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan, wawancara Pribadi. Pulung rejo, 16 September 2010. 14
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1984), h. 50.
64
Untuk dampak positif, dijelaskan secara lansung oleh seorang tokoh agama yaitu bapak H. Sudayat bahwa dampak positif dari pembayaran ganti rugi ini akan membuat seseorang menepati janjinya dan pihak yang dirugikan mendapatkan keadilan. Begitu halnya bapak Dainuri mengatakan tentang dampak positif dari pembebanan ganti rugi yaitu orang tidak akan main-main dengan lamaran, akan menjaga ikatan perjanjiannya atau tidak lepas tanggung jawab yang telah disepakati. Dampak positif lain menurut Hariyati yaitu dapat menambah saudara serta keluarga karena sebelumnya tidak saling mengenal antar dua keluarga, walaupun tidak jadi menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja. Begitu halnya dengan dampak positif yang dirasakan seseorang yang berperan sebagai pelaku pembatalan khitbah, menurutnya dampak positif yang dirasakan Palang (ganti rugi) ini dapat mengatasi permasalahan antara dua keluarga, serta tidak adanya pihak yang merasa dirugikan.15 Selain berdampak positif bagi pribadi seseorang maka ganti rugi pembatalan khitbah ini dapat juga berdampak positif bagi Desa, dikarenakan dalam pembagian ganti rugi yang berupa uang tidak sepenuhnya diberikan kepada pihak yang dibatalkan khitbahnya, tetapi pembagian tersebut menurut bapak Somorejono selaku sesepuh adat Desa Pulung Rejo adalah 50% untuk keluarga atau pihak yang dibatalkan khitbahnya, 25% diberikan untuk Desa, dan 25% 15
Supriyono, Pelaku pembatalan khitabah, Wawancara Pribadi, 24 Agustus 2010.
65
diberikan untuk saksi yang menyaksikan adanya lamaran tersebut biasanya terdiri dari sesepuh Desa masyarakat sekitar tempat tinggal mereka.16 Selain dampak positif ternyata terdapat pula dampak negatif dari pembebanan ganti rugi pembatalan khitbah. Menurut H. Sudayat dampak negatifnya itu adanya paksaan untuk menikahi seseorang. Sedangkan menikah itu merupakan hak asasi dan ketentuan jodoh itu hanya Allah lah yang maha mengetahui. Bapak Dainuri pun sepakat dengan pendapat H. Sudayat bahwa jodoh itu Allah yang mengaturnya, akan tetapi jika diberlakukan ganti rugi ini terkesan memaksakan kehendak seseorang. Karena tidak semua orang mampu membayar ganti rugi walaupun sebelumnya telah disepakati, dikarenakan kondisi perekonomian seseorang tidak selamanya selalu stabil. Menurut Hariyati dampak negatifnya itu adalah rasa malu dan kecewa karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang. Dan hilangnya kepecayaan seseorang kepada dirinya dikarenakan prasangka negatif tentang dirinya, sehingga terjadi pembatalan khitbah tersebut.17 Suatu masalah sosial akan terjadi, apabila kenyataan yang dihadapi oleh warga masyarakat berbeda dengan harapannya. Terjadinya masalah sosial, dapat ditinjau dari berbagai sudut yang sejalan atau mungkin tidak sesuai. Kadangkadang suatu masalah dianggap demikian atas dasar ilmu sosial, artinya atas dasar
16
17
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi. Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan, Wawancara pribadi. Pulung Rejo, 16 September 2010.
66
ilmiah. Bagian-bagian tertentu dari suatu masyarakat juga dapat menentukan, bahwa suatu peristiwa merupakan masalah sosial yang perlu diatasi. Dilain pihak, pemegang kekuasaan atau para pemimpin juga dapat menentukan terjadinya masalah, demikian pula warga-warga masyarakat sebagai pribadi atau individu, maupun kelompok-kelompok tertentu.18 Dalam masalah pembatalan khitbah, mungkin hal ini tidak menjadi suatu masalah di daerah lain. Akan tetapi, pembatalan khitbah yang terjadi dalam masyarakat Desa Pulung Rejo menjadi permasalahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Sakiyo selaku Kepala Desa yaitu pembatalan khitbah sering terjadi ketika seseorang akan melaksanakan suatu pernikahan yang telah direncanakan. Hal ini, meyebabkan suatu permasalahan bagi pihak yang khitbahnya dibatalkan seperti yang dikatakan oleh Hariyati “ saya malu, sakit hati, kecewa karena telah disaksikan orang banyak. Hilangnya kepercayaan seseorang kepada saya, sehingga saya sulit kembali untuk mendapatkan pasangan hidup saya dikarenakan prasangka negatif dari orang kepada saya”. Dan akibat pembatalan khitbah ini, akan lebih tampak jika yang melakukan pembatalan dengan orang yang berbeda daerah karena mereka akan dengan mudah mungkir janji tanpa alasan yang logis. Kepala Desa Pulung Rejo menjelaskan tentang praktek ganti rugi pembatalan khitbah “telah berjalan dengan baik untuk masyarakat Desa Pulung Rejo sendiri, akan tetapi untuk pembatalan yang dilakukan oleh orang di luar daerah kurang berjalan baik, biasanya diawali 18
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologis (Jakarta: CV Rajawali, 1982), h. 97.
67
dengan konflik antar keluraga dahulu baru mereka menyerahkannya pada Desa dan orang yang menjadi saksi ketika khitbah terjadi, saksi berfungsi untuk menguatkan jika pihak tersebut berusaha memungkiri janjinya untuk membayar jika terjadi pembatalan”.19 Ini pun dibenarkan oleh Sudarsono yang
pernah
menjadi saksi ketika pelaksanaan khitbah, dengan orang yang berbeda daerah ketika pembatalan terjadi salah paham dan pihak yang membatalkan tidak mau membayar khitbah yang telah disepakati, sehingga “saya diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu menyelesaikanya”. Dengan adanya ganti rugi ini, akan menghindarkan pembatalan khitbah secara sepihak, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar keluarga yang berkepanjangan. Karena pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah ini harus diserahkan oleh keluarga yang membatalkan khitbah dan disertai alasan yang jelas, barulah kelurga yang dibatalkan bisa menerima ganti rugi tersebut. 20
B. Tinjauan Sosiologis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo Berdasarkan pembagian hasil pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah, dalam masyarakat Desa Pulung Rejo yang dijelaskan oleh Somorejono selaku sesepuh Desa Pulung Rejo. Ada dua unsur nilai yang penulis dapati, adanya unsur
2010.
19
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
20
Sudarsono, Saksi pelaksanaan Khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September
68
materil dan unsur politik. Adanya unsur materil sebagaimana yang dikatakan oleh Dainuri tujuan ganti rugi pembatalan khitbah diharapakan” menggantikan kerugian ketika pelaksanaan khitbah”.21 Bagi pihak laki-laki ganti rugi ini dapat berfungsi menggantikan barang-barang pemberian yang dibawa ketika proses pelaksanaan khitbah. Hal tersebut, jika yang membatalkan khitbah adalah dari pihak perempuan. Sedangkan, bila terjadi pembatalan dari pihak laki-laki, ganti rugi ini diharapkan dapat menggantikan biaya-biaya pelaksanaan upacara adat ketika khitbah berlangsung, yang biasanya dilaksanakan di rumah pihak perempuan. Sedangkan adanya unsur materil bagi Desa dan para saksi, seolah mereka mengharapkan
imbalan
jasa
yang
diberikan
ketika
membantu
untuk
menyelesaikan ketika terjadi permasalahan atau kelasah pahaman setelah terjadi pembatalan. Hal ini dibenarkan oleh Sudarsono salah seorang saksi khitbah ketika ditanya tetang alasanya mendapatkan bagian dalam ganti rugi pembatlan khitbah “, katanya saya sudah mau ikut manjadi saksi ketika khitbah terjadi dan membantu menyelesaikan permasalahan ketika terjadi pembatalan antara kelurga tersebut karena adanya salah paham, dan saya sebagai saksi sekaligus tetangga terdekat diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu penyelesaianya”.22
21
Dainuri, Ketua adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karamg Dadi, 13 Aguatus 2010.
22
Sudarsono, Saksi khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September 2010.
69
Maka, unsur materil yang dirasakan oleh masyarakat tentunya dalam pembagian hasil pembayaran khitbah tersebut. Mungkin, pembagian ini terlihat tidak adil, akan tetapi kepada Desa dan para saksi yang bersedia untuk membantu menyelesaikan masalah ketika terjadi pembatalan. Karena pihak Desa akan datang bersama orang yang membatalkan khitbah untuk membantu menjelaskan alasan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan bila yang membatalkan tidak bertanggung jawab pihak yang dibatalkan khitbahnya akan meminta bantuan Desa dan saksi untuk mendatangi keluarga yang membatalkan khitbahnya, untuk meminta kejelasan tentang alasan pembatalan tersebut.23 Dan biasanya saksi juga akan memberi tahu jika dia melihat ada salah satu pihak yang menjalin hubungan dengan orang lain, jadi tugas saksi juga sebagai pengawas dua pihak yang telah melakukan khitbah agar tidak melakukan penyelewengan. Selain ada unsur materi, ganti rugi pembatalan khitbah juga terdapat unsur politik yang dilakukan oleh pihak Desa, khususnya dalam hal pembagian hasil pembayaran ganti rugi tersebut. Walaupun pembagian tersebut juga merupakan hasil musyawarah akan tetapi, pihak Desa seolah memanfaatkan adanya kekuasaan sehingga Desa pun tetap mendapat bagian untuk penambahan kas, hal ini digunakan untuk menunjang pembangunan yang belum terpenuhi.24 Hal ini dapat disandingkan dengan pendapat Hobbes yang dikutip oleh Margaret M. poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer menyatakan bahwa “tindakan 23
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
24
Sudayat, Tokoh Agama, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 14 September 2010.
70
manusia itu ditentukan oleh nafsu dan ketamakan, yang mewujudkan diri dalam situasi konflik yang keras”.25 Adapun manfaat yang terbesar bagi masyarakat adalah tercapainya kehidupan yang rukun dan damai, serta tidak adanya permusuhan antara satu keluarga dalam masyarakat khususnya setelah terjadi pembatalan khitbah. sebagaimana yang ungkapkan oleh tokoh agama Desa Pulung Rejo “Ganti rugi pembatalan khitbah ini berpengaruh terhadap, kerukunan, perdamaian dan bagi pihak yang dibatalkan mendapatkan kadilan”26
C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap kasus ganti rugi pembatalan khitbah pada masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi, dapat dikemukakan bahwa pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo dianggap sebagai masalah sosial, sehingga masyarakat sepakat untuk membebankan ganti rugi bagi pelaku yang membatalkan khitbah. Dikatakan sebagai masalah sosial, karena sesuatu yang diinginkan tidak sesuai dengan yang diharapakan. Seperti keinginan untuk menikah dengan seseorang yang awalnya telah sepakat, tetapi dalam keadaan tertentu ada salah satu pihak yang membatalkan dengan berbagai alasan. Seperti, adanya orang ketiga, masalah
25
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.
26
Sudayat, Tokoh Agama, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14 September 2010.
9.
71
keluarga yang tidak menyukai akhlak dari calon menantunya yang diketahui setelah khitbah terjadi, serta masalah kafa’ah atau kesetaraan dalam hal pendidikan dan kekayaan. Kesepakatan adanya ganti rugi pembatalan khitbah ini dilakukan setelah khitbah itu diterima, maka dalam hal ini masyarakat telah mengantisifasi jika pembatalan khitbah itu terjadi. Karena tujuan dari ganti rugi tersebut adalah untuk mencegah adanya pembatalan yang berarti pelanggaran perjanjian untuk melakukan pernikahan. Jika pembatalan tetap terjadi ganti rugi juga diharapkan dapat menjadi suatu penyelesaian masalah untuk mengembalikan kepada kondisi semula, yaitu menghilangkan kesalah pahaman antara kedua keluarga yang terjadi setelah pembatalan khitbah. Secara sosiologis dapat pula dikatakan ganti rugi merupakan suatu alat pengendalian sosial dalam masyarakat. Somorejono, yang merupakan sesepuh desa masyarakat Desa Pulung Rejo menyatakan bahwa pembebanan ganti rugi itu dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang hanya sebatas sebagai ikatan agar tidak terjadi pengingkaran diantara salah satu pihak. Dan kesepakatan ini dilakukan berdasarkan atas keputusan bersama dalam masyarakat, maka ganti rugi ini juga merupakan suatu norma yang harus ditaati oleh setiap orang yang hidup di masyarakat Desa Pulung Rejo. Karena pembebanan ganti rugi ini terjadi jika pembatalan khitbah itu dibatalkan yang berarti harapan untuk menikah pun dibatalkan. Fungsi suatu norma itu untuk menyatakan tentang apa yang
72
seharusnya dilakukaan seseorang dalam hubungan antara sesama manusia.
27
Akan tetapi, jika salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka ganti rugi ini tetap diberlakukan dengan pembayaran sejumlah uang yang mereka sepakati sebelumnya. Karena khitbah atau lamaran ini bukan hanya melibatkan dua keluarga tetapi disaksikan oleh para sesepuh desa dan orang-orang yang bertempat tinggal dekat dengan mereka. Maka untuk menebus rasa malu dan rasa kecewa diharapkan ganti rugi ini dapat menyatukan kembali dua keluarga yang merasa sakit hati agar tidak terjadi permusuhan yang berkepanjangan.28 Dari pembagian hasil ganti rugi, maka penulis menyimpulkan adanya suatu nilai materil. Karena 25% dari hasil ganti rugi diberikan Kepada Desa yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan 25% diberikan kapada para saksi yang terdiri dari perangkat desa dan tokoh masyarakat serta karib kerabat yang masih dalam lingkungan satu RT. Pembagian ini, memperlihatkan bahwa masyarakat ingin mengambil suatu keuntungan dari adanya pembatalan khitbah, dengan dalih sebagai ganti jasa dalam meyelesaikan permasalahan secara damai. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum privat dan hukum publik, ia tidak mengenal pembagian antara hukum perdata dan pidana, oleh karenanya penyelesaian perselisihan secara damai tidak tertutup kemungkinan di
27
28
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1984), h., 32.
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi. Pulung Rejo, 21 September 2010.
73
segala bidang perselisihan. Penyelesaian secara damai ini dipandang perlu untuk menghilangkan rasa dendam antara satu sama lain, selain itu untuk menumbuhkan kerukunan hidup satu sama lain. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan kerukunan itu erat hubungannya dengan visi seseorang dalam sikap hidup bermasyarakat sebagaimana dikehendaki oleh adat guna mewujudkan kedamaian, ketenangan dan kebahagian dalam kehidupan bersama. Penyelesaian perselisihan secara damai tidak bergantung ada tidaknya perundingan desa, tidak tergantung ada tidaknya ketua-ketua adat. Faktor yang penting dalam acara penyelesaian secara damai ialah ada tidaknya i’tikad baik, ada tidaknya hasrat keinginan saling memaafkan, ada tidaknya keinginan memelihara kerukunan dan hubungan kekeluargaan antara satu sama lain. Untuk penyelesaian konflik secara damai yang dibicarakan dalam perundingan perdamaian itu antara lain adalah persyaratan yang bagaimana yang seharusnya dipenuhi oleh pihak yang merugikan untuk berdamai dengan pihak yang dirugikan, misalnya berapa besar biaya atau denda adat yang harus dibayar atau dipenuhi. Berapa biaya-biaya obat, penguburan upacara adat dan agama yang diperlukan, berapa besar ganti kerugian yang dimintai dan adakah diperlukan nyawa dibayar nyawa.29 Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo membebankan ganti rugi dikarenakan untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dengan 29
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat (Bandung: Alumni, 1981), h. 133-137.
74
penyelesaian konfik secara damai, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan rasa keadilan terwujudkan. Dalam hal pembatalan khitbah harus membayar ganti rugi atau denda dengan jumlah yang telah disepakati. Ini dimaksudkan untuk mengganti biayabiaya upacara adat yang dilakukan pada saat khitbah serta untuk menyatakan adanya tanggung jawab atas kelalaian yang telah diperbuat oleh salah satu pihak dalam perjanjian yang menyebabkan pembatalan. Selain itu, dengan adanya ganti rugi ini diharapkan tidak ada pihak yang mungkir (ingkar) janji dengan alasan-alasan yang tidak rasional serta masalahmasalah sepele, dikarenakan pembatalan khitbah ini dapat berpengaruh terhadap orang yang dibatalkan khitbahnya. Di mana orang akan berprasangka buruk dan mencari cacat cela yang mungkin dianggap sebab pembatalan sesungguhnya. Sehingga berakibat sulit kembali bagi orang yang dibatalkan khitbahnya untuk mendapatkan pasangan hidupnya. Masyarakat akan berfikir negatif tentang seseorang yang khitbahnya dibatalkan dan hal ini, akan berakibat hilangnya rasa percaya diri seseorang serta ketenteraman hidup yang mereka rasakan dalam keluarga akan berkurang atau bahkan hilang disebabkan adanya penilaian atau pandangan buruk dari masyarakat umum. Hal ini merupakan dampak negatif yang akan dirasakan oleh seseorang dalam menghadapi kehidupannya setelah pembatalan khitbah terjadi. Rasa malu, kecewa serta sakit hati yang dirasakan tidak ada pernah terbayar dengan jumlah uang yang diterimanya sebagai ganti rugi, karena dalam
75
pelaksanaan khitbah masyarakat Pulung Rejo melibatkan banyak orang seperti tokoh masyarakat, sesepuh adat, keluarga besar serta tetangga yang masih terhitung dalam satu RT. Dengan banyaknya orang yang menyaksikan maka berita pembatalan juga akan tersebar luas yang berakibat menjatuhkan nama baik keluarga. Oleh sebab itu, masalah pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo merupakan persoalan yang urgen (penting), karena dampak yang dirasakan bukan hanya pada individu akan tetapi pada sebuah keluarga. Dengan ini, masyarakat mengharapkan adanya ganti rugi dapat mencegah seseorang untuk membatalkan khitbah serta kegagalan dalam pernikahan. Adanya sanksi materil memang selama ini, berjalan dengan baik dan harapan masyarakat untuk mencegah serta mengatasi konflik akibat pembatalan khitbah juga tercapai dikarenakan jumlah yang ditawarkan serta disetujui oleh kedua belah pihak keluarga cenderung tinggi.
Berkisar antara Rp 5.000.000 (lima juta rupiah)
sampai Rp 20.000.000 (dua pulug juta rupiah), sehingga membuat orang berpikir dua kali jika harus memberikan uang sebesar itu tanpa alasan yang pasti. Maka dengan besarnya jumlah denda atau ganti rugi dapat berakibat baik bagi seseorang bahkan juga berakibat buruk bagi seseorang. Tetapi jumlah yang disepakati tentunya disesuaikan dengan kemampuan material atau kehidupan ekonomi seseorang. Semakin mapan kehidupan ekonomi seseorang, maka semakin tinggi pula jumlah palang atau ganti rugi yang ditetapkan.
76
Banyak hal yang dijadikan sebagai alasan seseorang untuk membatalkan khitbahnya. Maka, dengan ini masyarakat sepakat untuk tetap memberlakukan palang atau ganti rugi guna sebagai sanksi yang mengakibatkan rasa jera sehingga tidak ada lagi pihak yang membatalkan khitbah tanpa sebab yang pasti. Dan adanya ganti rugi ini masyarakat bisa merasakan manfaatnya karena kerukunan, keadilan dan perdamaian antara dua pihak keluarga setelah terjadi pembatalan khitbah tetap dapat menyambung hubungan baik, walaupun tidak sebaik sebelumnya. Tetapi setidaknya rasa dendam dan permusuhan serta kesalah pahaman dapat diredam dan diselesaikan secara baik melalui ketua-ketua adat. Selain itu, penulis juga dapat melihat dengan adanya dampak positif ganti rugi ini, yaitu seseorang akan lebih hati-hati dalam memilih pasangan dalam hidupnya. Sehingga tidak akan menyebabkan pembatalan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam pernikahan, bahkan perceraian jika pernikahan tetap dilaksanakan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis yang didasarkan kepada Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim dengan peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang”. Secara etimologis meminang atau melamar artinya (antar lain) “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Sedangkan, secara terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Adapun pelaksanaan khitbah di desa Pulung Rejo, seperti yang ada di bawah ini: a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka tinggal izin orangtualah yang diperlukan. b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang
77
78
kembali bersama pihak orangtua laki-laki untuk mengadakan lamaran secara resmi. c. Pada hari dan waktu yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga gadis, mengundang tetangga, dan para aparat desa serta sesepuh desa untuk menyaksikan lamaran yang akan dilaksanakan. d. Pihak keluarga laki-laki datang kembali bersama keluarga terdekatnya untuk melamarkan putranya secara resmi dengan wanita pilihannya. e. Pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai juru bicara masingmasing untuk mewakili pernyataan lamaran dan penerimaan dari pihak perempuan. Setelah lamaran diterima, maka pemberian tanda ikatan pun langsung diberikan kepada wanita biasanya berupa cincin. Hal ini dijadikan sebagai tanda bahwa recara resmi hubungan mereka direstui oleh keluarga dan akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu, para ketua adat atau sesepuh merembuk beberapa hal yang menjadi kesepakatan dari kelurga kedua belah pihak, yaitu sebagai berikut : 1) Dibicarakan jumlah palang atau ganti rugi yang akan dibayarkan jika terjadi pembatalan atau mungkir janji dari salah satu pihak yang bertunangan. 2) Dibicarakan masalah penentuan atau perhitungan hari baik untuk pelaksanaan pernikahan, walaupun waktu antara tunangan dan pernikahan masih lama.
79
Setelah semua pihak sepakat tentang hari dan waktu yangdianggap tepat untuk melaksanakan pernikahan. Terakhir dibicarakan masalah gol yaitu suatu kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga tentang hari pelaksanaan pernikahan, jika terjadi kematian dari salah satu keluarga dekat seperti, orangtua, adik, kakak, kakek, nenek,
maka pernikahan akan tetap
dilaksanakan atau ditunda sampai mendapatkan pergantian hari yang lebih tepat lagi. 2. Penyebab pembatalan didasarkan kepada beberapa faktor yang dilakukan oleh pelaku yang ada dalam masyarakat desa Pulung Rejo antara lain: Pertama, adanya pihak ketiga. Kedua, faktor pendidikan. Ketiga, faktor ekonomi. Keempat, faktor ketaatan pada orang tua. Kelima, faktor kematian. 3. Ganti rugi pembatalan khitbah dimaksudkan untuk mencegah adanya kegagalan pernikahan. Ini dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk pencegahan terhadap pelanggaran yang telah mereka sepakati sebagai suatu aturan atau norma dalam kehidupan bermasyarakat. Meredam rasa kecewa, dendam, mengganti kerugian upacara adat yang dilakukan ketika pelaksanaan lamaran, menegakkan rasa keadilan serta menjaga agar tidak terjadi konflik antara keluarga kedua belah pihak. Hal ini, merupakan suatu usaha masyarakat melakukan pemulihan agar kembali pada keadaan damai, seperti sebelumnya. Selain itu untuk mewujudkan, prisip hidup rukun dan saling hormat menghormati antara satu dengan yang lain.
80
B. Saran- saran Ada banyak hal yang memotivasi pasangan yang ingin tunangan untuk melakukan pembatalan dengan alasan-alasan tertentu, hal ini mengakibatkan dampak negatif bukan hanya pasangan yang ingin bertunangan melainkan juga bagi keluarga mereka. Untuk meminialisir dampak tersebut, penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Khitbah merupakan masalah yang serius, jadi penulis mengharapkan agar tidak bermain-main ketika melakukan khitbah, sebaiknya khitbah dilakukan dengan kesadaran tanpa ada paksaan dari pihak manapun sehingga tidak terjadi penyesalan bahkan pembatalan dikemudian hari. 2. Walaupun dalam pembatalan khitbah seseorang mendapatkan ganti rugi akan tetapi yang perlu diingat adalah rasa kecewa dan sakit hati seseorang itu tidak dapat dibayar dengan apapun sekalipun uang dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya ganti rugi ini sebaiknya seseorang jangan menanggap enteng karena merasa sanggup untuk membabayar ganti rugi yang telah ditetapkan. 3. Pembatalan khitbah memang lebih baik dari pada perceraian setelah pernikahan, akan tetapi bagi orang yang membatalkan khitbah hendaklah didasari dengan alasan yang jelas dan masuk akal. Ini akan berdampak negatif dibatalkan karena akan menimbulkan prasangka buruk terhadap salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Al-Huda, 2002. Abbas, Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Madzhab.Jakarta: PT.Prima Heza Lestari, 2006. Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2009. Ahmad Soebani, Beni. Sosiologi Agama. Bandung: PT Refika Aditama, 2007. As’ad, Musifin. Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1993. Bratawijaya, Thomas Wiyasa. Upacara Pernikahan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Bugin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kibijakan, Publik dan Ilmu Sosisl Dasar. Jakarta: Kencana, 2009. Bukhori. Hubungan Seks Menurut Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Data Monografi Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. Hadikusuma, Hilman. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni, 1981. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1983. Hadikusuma, Hilman. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni, 1989. Halim, Ridwan. Hukum Adat Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989. Handikusuma, Hilman. Hukum Perjanjian Adat,. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1990. http//Id.Wikipedia.Org/ Wiki/ Upacara_Pernikahan Khalil, Ahmad. Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Malang: UIN Malang Press, 2008. Mahayana, Maman S dan Nuradji Totok Suhardiyanto. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia W idiasarana Indonesia, 1997. Mahfud, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1994.
81
82
Mitchell, Duncan, Sosiologi Suatu Analisis Sistem Sosial. Penterjemah Sahat Simamora, Jakarta: PT Bina Aksara, 1984. Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Muhammad Asraf bin Abdul Masqsud, Abu. Curhat Pernikahan. Bandung: Pustaka Rahmat, 2009. Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Pramita, 1988. Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi Teks Pengatar dan Terapan: Jakarta, Kencana, 2004. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: PT Tarsito, 2003. Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Ni’am Sholeh, Asrorun. Fatwa-fatwa Masalah Pernkahan dan Keluarga. Jakarta: Elsas, 2008. Poloma, Margaret.M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Philipus dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1991. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung, 1960. Purwadi. Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta, 2007. Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1984. Rusdyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Salim, Agus. Risalatun Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Salim. Hukum Kontrak. Jakarta:Sinar Grafika, 2006. Setiandi, Muhammad Elly. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2008. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1987.
83
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990. Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1982. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2008. Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Thalib, Muhammad. 20 Macam Pernikahan yang Diharamkan. Yogyakarta: Ma’alimul Usroh, 2006. Thalib, Muhammad. 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami. Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Wahyudi Asmin Zaenal Muhtadin,Yudia. Keluarga Bahagia dalam Islam. Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993. Wawancara pribadi dengan A. Jambi 21 Agustus 2010 Wawancara pribadi dengan Dainuri. Jambi 13 Agustus 2010 Wawancara Pribadi dengan H.Sudayat. Jambi 14 September 2010 Wawancara Pribadi dengan Hariyati. Jambi 16 September 2010 Wawancara Pribadi dengan Sudarsono. Jambi 16 September 2010 Wawancara pribadi dengan Sakiyo. Jambi 13 Agustus 2010 Wawancara Pribadi dengan Sarmi. Jambi 17 September 2010 Wawancara Pribadi dengan Sukinem. Jambi 16 September 2010 Wawancara Pribadi dengan Supriyono. Jambi 24 Agustus 2010s Wawancara Pribadi dengan Somorejono. Jambi 21 September 2010 Wawancara Pribadi dengan Windra. Jambi 23 Agustus 2010
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan : Nama
: Hariyati
Tgl
: 16 September 2010
Usia
: 26 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTP
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
1. Apakah anda telah menikah? Iya, saya sudah menikah. 2. Sebelumnya pernakah lamaran yang anda terima dibatalkan? Iya, Pernah. 3. Apa yang dijadikan alasan sehingga khitbah anda dibatalkan? Alasannya, hanya belum siap saja untuk segera menikah. Tapi setelah selang waktu tiga bulan mantan calon suami menikah lagi dengan orang lain. Ketidaksiapan itu hanya alasan supaya saya dan keluarga tidak sakit hati, karena sebelum terjadi pambatalan dia (mantan calon suami), sudah jarang sekali menghubungi dan menemui saya. Dan setelah orang tua saya menanyakan masalah pernikahan, ternyata dia malah memilih untuk membatalkan khitbahnya. Saya rasa pembatalan ini sebenarnya dikeranakan adanya wanita lain. 4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang digunakan dalam lamaran masyarakat Desa Pulung Rejo? Tahu, palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk menikah, yang sebelumnya disepakati antara kedua belah pihak, kesepakatan itu terjadi dengan adanya musyawarah yang dipimpin oleh sesepuh desa. 5. Berapa jumlah palang yang anda terima sebagai ganti rugi? Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).
6. Sebelum anda menerima palang atau ganti rugi, apakah sempat terjadi konflik antara kedua pihak keluarga? Iya, karena dengan tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan tanpa ada kesalahan yang saya perbuat. Tetapi setelah keluarganya datang bersama sesepuh adat
dan
kepala
desa,
dengan
bantuan
mereka
untuk
menjelaskan
permasalahannya kalau saat ini belum bisa segera untuk menikah karena belum punya kerjaan yang menetap, menjelaskan alasannya dengan membawa palang yang kami sepakati sebelumnya. Saya coba untuk menerima dan mungkin belum berjodoh. 7. Apakah anda setuju, dengan adanya palang atau ganti rugi bagi orang yang menbatalkan khitbah (lamaran)? Apa alasannya? Setuju, karena dengan adanya palang atau ganti rugi ini bisa mengganti biayabiaya yang telah saya keluarkan ketika acara pelaksanaan khitbah. 8. Menurut anda, apa dampak positif dan negatif dalam pembebanan ganti rugi atau palang bagi pihak yang membatalkan khitbah atau lamaran? Dampak positif yang saya rasakan, yaitu dapat menambah saudara serta keluarga karena sebelumnya belum saling mengenal antar keluarga walaupun tidak jadi menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja. Sedangkan dampak negatif yang saya rasakan adalah rasa malu, sakit hati, dan kecewa karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang. Hilangnya kepercayaan seseorang terhadap saya, sehingga saya merasa sulit kembali untuk menemukan pasangan hidup dikarenakan prasangka negatif dari orang.
Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama Desa Pulung Rejo: Nama
: H. Sudayat
Tgl
: 14 September 2010
Usia
: 66 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTA
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
1. Apakah bapak mengetahui istilah palang dalam pembatalan khitbah di Desa Pulung Rejo? Dari mana asal usul palang (ganti rugi) dalam pembatalan khitbah tersebut? Iya, saya mengetahui, palang itu suatu ganti rugi yang dibayarkan ketika terjadi pembatalan khitbah, yang sebelumnya disepakati oleh kedua belah pihak yang merupakan
perjanjian
untuk
setia
dalam
menjaga
hubungan
hingga
berlangsungnya pernikahan. 2. Bagaimana pendapat bapak tentang praktek pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah yang berlangsung di Desa Pulung Rejo? Menurut saya, palang atau ganti rugi dalam pembatalan khitbah itu merupakan hasil musyawarah para sesepuh, dan disepakati oleh keluarga kedua belah pihak sebelumnya jika ada yang membatalkan khitbahnya guna untuk mendapatkan keadilan. Maka hal itu dibolehkan saja demi menjaga hubungan setelah khitbah supaya tidak terjadi pengingkaran diantara mereka. 3. Bagaimana pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat dengan adanya ganti rugi ketika terjadinya pembatalan khitbah? Ganti rugi pembalataln khitbah ini berpengaruh terhadap, kerukunan, perdamaian dan bagi pihak yang dibatalkan mendapatkan kadilan. Sedangkan pengaruh terhadap Desa sendiri, bartambahnya kas Desa yang dikarenakan adanya pemasukan dari hasil pembayaran bagi orang yang membatalkan khitbah. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai penunjang pembangunan Desa yang belum terpenuhi.
4. Apakah bapak mengetahui apa alasan masyarakat dalam pembebanan ganti rugi terhadap pembatalan khitbah? Alasan diadakan pembebanan ganti rugi pembatalan khitbah ini, karena sebelum ditetapkan adanya ganti rugi banyak orang melakukan pembatalan khitbah sepihak dan tanpa alasan yang jelas. Dan pihak yang khitbahnya dibatalkan merasa dirugikan materil bahkan moril. 5. Faktor apa yang mendorong masyarakat membatalkan khitbah atau lamaran ? Menurut hemat saya, pembatalan khitbah sering terjadi karena adanya gangguan pihak ketiga, baik dari laki-laki maupun perempuan. Terkadang juga dikarenakan adanya perbedaan dalam hal pendidikan dan kekayaan dari keluarga mereka, sehingga terjadi ketidak nyamanan antara mereka. 6. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Pulung Rejo dalam pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah? Untuk masalah pembayaran khitbah jika terjadi pembatalan masyarakat yang ada di Desa Pulung Rejo berjalan dengan baik. Akan tetapi, jika terjadi pembatalan dengan orang yang beda daerah maka hal ini, kurang berjalan dengan baik. 7.
Berdasarkan pengamatan bapak, dampak apa yang terjadi dalam masyarakat dengan adanya pembebanan ganti rugi ini ? Dampak positif dari pembebanan ganti rugi ini yaitu akan membuat seseorang menepati janjinya dan pihak yang dirugikan mendapatkan keadilan. Serta dapat menyelesaikan koflik jika terjadi permasalahan setelah pembatalan. Sedangkan dampak negatifnya, adanya paksaan untuk menikahi seseorang karena menikah itu merupakan hak asasi dan ketentuan jodoh itu hanya Allah lah yang Maha mengetahui.
8. Bagaimana fungsi adanya ganti rugi bagi masyarakat Pulung Rejo, jika terjadi konflik setelah pembatalan khitbah? Ganti rugi atau palang ini, pasti dapat mengatasi masalah atau konflik antar dua keluarga, karena rasa dendam dan kecewa, tetapi jika alasan penyerahan ganti rugi itu diberikan secara baik-baik pula.
Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Pulung Rejo : Nama
: Sakiyo
Tgl
: 13 Agustus 2010
Usia
: 55 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTP
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Kepala Desa
1. Bagaimana sejarah Desa Pulung Rejo ? Desa Pulung Rejo, berdiri pada tahun 1978’an yang penduduknya berasal dari transmigran bedol Desa Pulau Jawa ( Wonogori ), sebanyak lima desa. 2. Bagimana adat istiadat masyarakat Desa Pulung Rejo ? Adat istiadat yang dipakai 99 % menggunakan adat jawa, walaupun adat jambi juga dipakai tapi hanya 1% saja. 3. Ritual-ritual apa saja yang masih dijalani masyarakat dalam proses pelaksanaan lamaran? Ritual yang digunakan biasanya acara syukuran, dengan mengundang keluarga, para tokoh masyarakat, dan tetangga terdekat. Dengan tujuan mendapat berkat dari yang Maha Kuasa serta disaksikan oleh banyak orang. 4. Apa yang dimaksud dengan istilah palang dalam pelaksaaan lamaran adat jawa? Palang adalah janji untuk mengikat suatu perjanjian akan menikah yang disaksikan oleh masyarakat biasanya selang waktu 1 tahun untuk menikah. 5. Bagaimana pandangan bapak, terhadap praktek ganti rugi pembatalan khitbah atau lamaran? Prakteknya bagus, khususnya untuk masyarakat yang berada di Desa Pulung Rejo, karena dapat menjaga agar terlaksanannya pernikahan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Tetapi jika pembatalan dengan orang yang berbeda daerah, maka ini masih sulit untuk dipraktekkan dengan baik sehingga dibutuhkan
bantuan Perangkat Desa dan saksi yang menyaksikan pelaksanaan khitbah tersebut. 6. Apakah bapak setuju pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah atau ganti rugi dapat mengatasi konflik? Apa alasan bapak terhadap hal tersebut? Sangat Setuju. Karena pada saat terjadi pembatalan yang salah satu pihak berasal dari daerah lain, mereka seolah lari dari tanggung jawab untuk membayar ganti rugi tersebut. Sehingga keluarga yang berada di masyarakat Desa Pulung Rejo melaporkan kepada Kepala Desa, setelah itu barulah pihak desa yang menyelesaikan permasalahan itu, sekaligus minta keluarga mereka untuk bertemu dan memberikan pembayaran palang yang telah menjadi kesepakatan. 7. Bagaimana masyarakat luas menilai ganti rugi (dalam hal positif dan negatif)? Kebanyakan masyarakat menilai positif karena hal ini dapat menjaga seseorang dari kegagalan untuk menikah. Dengan adanya palang mereka lebih bisa berfikir panjang ketika mau melakukan khitbah dan ketika menerima khitbah. sedangkan dalam hal negatif mereka menilai palang ini membatsi hak-hak asasi mereka. 8. Apa penyebab yang sering terjadi dalam pembataln khitbah? Menurut yang saya perhatikan selama ini, kebanyakan yang dijadikan alasan pembatalan khitbah itu karena faktor adanya pihak ketiga baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan, tapi mereka sering berdalih dengan mengatakan belum siap untuk segera menikah makanya memutuskan untuk membatalkan khitbahnya dan selang waktu beberapa bulan, mereka melaksanakan pernikahan dengan orang lain. Selain itu ada juga, karena orang tua yang kurang suka dengan calon menantunya, terkadang juga dikarenakan ekonomi dan pendidikan yang dianggap tidak seimbang.
Hasil Wawancara dengan Lembaga Adat Kecamatan Rimbo Ilir: Nama
: Dainuri
Tgl
: 13 Agustus 2010
Usia
: 50 Tahun
Tingkat Pendidikan
: S1
Agama
: Islam
Perkerjaan
: Sebagai Ketua Adat Kec.Rimbo Ilir
1. Adat apa yang digunakan pada masyarakat Desa Pulung Rejo? Adat Jawa. 2. Apakah masyarakat Desa Pulung Rejo sangat menjunjung tinggi adat atau tradisi? Iya. Karena masyarakat Desa Pulung Rejo menginginkan kehidupan yang rukun dalam bermasyarakat berdasarkan aturan adat atau norma yang telah disepakati. 3. Dalam proses lamaran apakah bapak pernah mendengar istilah palang? Apa yang bapak ketahui tentang palang tersebut? Iya, Pernah. Palang itu sejumlah uang yang dijadikan kesepakatan antara dua pihak kelurga laki-laki dan perempuan ketika khitbah terjadi, berfungsi sebagai ganti rugi ketika ada pembatalan dari salah satu pihak. 4. Benarkah dalam masa pertunangan, jika ada pihak yang membatalkan khitbah atau lamarannya maka akan dikenakan pembayaran palang atau ganti rugi sesuai dengan kesepakatan? Iya, jika ada salah satu yang membatalkan lamarannya maka dikenakan palang atau ganti rugi yang telah mereka sepakati sebelumnya. 5. Apa tujuan diadakannya palang (ganti rugi) ketika terjadi pembatalan khitbah? Sebenarnya palang itu sebagai pencegahan agar tidak terjadi pembatalan pernikahan karena kesepakatannya juga dilakukan ketika khitbah seseorang
diterima. Namun, ketika telah terjadi pembatalan diharapkan uang yang dijadikan palang tersebut dapat mengganti kerugian ketika terjadi pelaksanaan khitbah. 6. Apakah bapak mengetahui alasan mendasar kenapa masyarakat Desa Pulung Rejo sepakat dengan adanya ganti rugi dalam pembatalan khitbah? Alasan mendasarnya untuk mencegah terjadinya kegagalan pernikahan. Karena jika terjadi pembatalan biasanya sedikit banyaknya pasti menimbulkan kesalah pahaman yang berakibat konflik dan menjadikan hubungan mereka renggang bahkan bisa manjadi musuh antara dua keluarga tersebut. 7. Apa dampak yang terlihat dalam masyarakat dengan adanya pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah? Dampak positif orang tidak akan main-main dengan lamaran, akan menjaga ikatan perjanjianya atau tidak lepas tanggung jawab yang telah disepakati. Sedangkan dampak negatif
karena semua jodoh itu sebenarnya Tuhan yang
mengaturnya, dan Dia yang Maha mengetahui segala sesuatu, jadi jika terjadi pembatalan sebelum nikah mungkin mereka belum jodoh tetapi jika diberlakukan denda ini terkesan memaksakan kehendak seseorang karena tidak semua orang mampu membayar palang atau ganti rugi, walaupun sebelumnya telah disepakati, dikarenakan kondisi perekonomian seseorang tidak selamanya selalu stabil. 8. Bagaimana dengan kehidupan sosial masyarakat terhadap yang pernah mengalami ganti rugi pembatalan khitbah? Kehidupan sosial bermasyarakat, dengan adanya ganti rugi ini tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena memang telah menjadi kesepakatan. Menciptakan perdamaian dan menghindarkan permusuhan antara kedua keluarga tersebut. Sehingga terwujudlah suatu kerukunan dan saling menghormati antara satu dengan yang lainya.
Hasil Wawancara Dengan Sesepuh Desa Pulung Rejo : Nama
: Somorejono
Tgl
: 21 September 2010
Usia
: 67 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTP
Pekerjaan
: Petua Adat Desa Pulung Rejo
1. Adat apa yang digunakan masyarakat Desa Pulung Rejo? adat jawa. 2. Dalam proses lamaran apakah yang dimaksud dengan istilah “palang”? Palang itu merupakan ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak yang mungkir janji dari pernikahan dan besarnya sesuai kesepakatan ketika proses lamaran. 3. Apa tujuan dari adanya palang? Untuk menjaga kelangsungan hubungan hingga ke jenjang pernikahan yang diinginkan, bisa juga berfungsi sebagai pengikat agar tidak terjadi pembatalan sepihak. Sebagai pengikat dan pagar atau batasan agar salah satu pihak tidak mungkir janji untuk melaksanakan pernikahan, sehingga dapat mencegah adanya kegagalan pernikahan. 4. Berapa jumlah nominal yang sering dijadikan sebagai palang? Jumlah palang tidak ada ketetapan pasti akan tetapi sesuai kesepakatan. Biasanya berkisar Rp.5.000.000 (lima juta rupiah) sampai Rp.20.000.000 (dua puluh juta rupiah). 5. Dalam pembayaran palang apakah seluruhnya diberikan kepada pihak yang dibatalkan khitbahnya? Dalam pembayaran palang tidak sepenuhnya diterima oleh pihak yang khitbahnya dibatalkan, karena ketika pelaksanaan khitbah melibatkan banyak orang. Sehingga ketika terjadi pembatalanpun orang yang terlibat akan mendapatkan.
6. Siapa saja yang akan terlibat ketika adanya pembayaran palang? Apakah ada pihak-pihak yang terlibat dalam penerimaan pembayaran palang tersebut? Yang terlibat dalam pembayaran palang adalah dua keluarga yang pernah melakukan khitbah, Kepala Desa dan Sesepuh yang telah menyaksikan terjadinya khitbah tersebut. Terkadang ada keluarga yang langsung mewakilkan kepada Perangkat Desa atau Sesepuh Adat saja. Pihak-pihak lain seperti saksi karena ketika pelaksanaan mareka dijadikan saksi dan ketika pembatalanpun mereka dijadikan saksi pembatalan. Agar tidak ada penuntutan disalah satu pihak. Adapun pembagiannya: a. 50 % untuk keluarga atau pihak yang dibatalkan. b. 25 % diberikan kepada Desa. c. 25 % diberikan untuk saksi yang menyaksikan adanya lamaran tersebut. 7. Apakah aturan adat ini telah berjalan sebagaimana yang diinginkan? Menurut hemat saya, aturan ini telah berjalan sebagaimana mestinya dan tujuan untuk menciptakan kerukunan, perdamaian, dan keadilanpun telah dirasakan. 8. Adakah masyarakat yang tidak menyetujui dengan palang atau ganti rugi ini? Sampai sekarang belum ada yang dengar secara langsung. 9.
Berdasarkan pengamatan bapak, apa alasan yang sering dijadikan seseorang dalam pembatalan khitbahnya? Alasan yang sering saya lihat, yaitu adanya lamaran dari pihak lain yang dianggap lebih dalam masalah kekayaan atau fisik. Ada juga dari keluarga yang tidak menyetujui setelah mengetahui sifat, tindak tanduk calon menantunya yang kurang baik.
Hasil Wawancara Dengan Seorang Saksi Khitbah Desa Pulung Rejo Nama
: Sudarsono
Tgl
: 16 September 2010
Usia
: 35 tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP Pekerjaan
: Tukang Bangunan
1. Apakah bapak mengetahui adanya palang dalam pembatalan khitbah? Iya, saya mengetahui. 2. Apakah bapak pernah menyaksikan proses khitbah seseorang secara langsung pada masyarakat Desa Pulung Rejo? Iya, saya pernah menyaksikan proses khitbah di Desa Pulung Rejo secara langsung. 3. Dalam proses khitbah yang bapak saksikan, apakah benar setelah khitbah itu diterima disepakati adanya palang antara kedua belah pihak? Iya, benar. Saya menjadi saksi ketika mereka menetapkan jumlah palang yang disepakati, yang biasanya dipimpin oleh Sesepuh Desa ketika akan dibicarakan masalah palang tersebut. 4. Berapa jumlah nominal yang dijadikan palang ketika bapak menjadi saksi dalam proses khitbah tersebut? Waktu itu saya menyaksikan jumlah palang sebesar Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah). 5. Apakah khitbah yang bapak saksikan pada saat itu kemudian ada salah satu pihak yang membatalkan khitbahnya? Apakah bapak mengetahui yang menjadi alasan pembatalan tersebut? Setelah khitbah itu berjalan satu tahun, akan tetapi pernikahan belum juga dilaksanakan. Ketika, pihak perempuan menanyakan pernikahan tetapi, pihak laki-laki belum mau untuk segera menikah dan memutuska untuk melakukan pembatalan saja.
6. Setelah terjadi pembatalan apakah benar bapak juga mendapatkan bagian dari pembayaran palang tersebut? Berapa jumlah nominal yang bapak terima pada saat itu? Iya saya mendapatkan bagian karena ketika terjadi pembatalan mereka mengundang saya kembali untuk menjadi saksi pembatalan. Saya mendapat bagian Rp.100.000 (seratu ribu rupiah). 7. Apa yang menjadi alasan bapak mendapatkan bagian dari pembayaran palang tersebut? Ya, katanya saya sudah mau ikut manjadi saksi ketika khitbah terjadi dan membantu menyelesaikan permasalahan ketika terjadi pembatalan antara keluarga tersebut karena adanya salah paham, dan saya sebagai saksi sekaligus tetangga terdekat diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu penyelesaiannya, karena keluagra yang dibatalkan sudah kecewa dan tidak mau menemui mereka lagi karena merasa anaknya dipermainkan.
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan : Nama
: Hariyati
Tgl
: 16 September 2010
Usia
: 26 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTP
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
1. Apakah anda telah menikah? Iya, sudah. 2. Sebelumnya pernakah lamaran yang anda terima dibatalkan? Iya, Pernah. 3. Apa yang dijadikan alasan sehingga khitbah anda dibatalkan? Alasannya, hanya belum siap saja untuk segera menikah. 4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang digunakan dalam peningsetan atau lamaran dalam adat Jawa? Tahu, palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk menikah. 5. Berapa jumlah palang yang anda terima sebagai ganti rugi? Rp 5.000.000 (Liima Juta Rupiah 6. Sebelum anda menerima palang atau ganti rugi, apakah sempat terjadi konflik antara kedua pihak keluarga? Iya, karena dengan tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan secara sepihak tanpa ada kesalahan yang saya perbuat. Tetapi setelah keluarganya datang dan menjelaskan alasannya dengan membawa palang yang kami sepakati sebelumnya. Saya coba untuk menerima dan mungkin belum berjodoh.
7. Apakah anda setuju dengan adanya palang atau ganti rugi bagi orang yang menbatalkan khitbah (lamaran)? Setuju. Karena dengan adanya ganti rugi ini dapat menggantikan biaya-biaya yang dikeluarkan ketika pelaksanaan khitbah. 8. Menurut anda, apa dampak positif dan negatif dalam pembebanan ganti rugi atau palang bagi pihak yang membatalkan khitbah atau lamaran? Dampak positif yang saya rasakan, yaitu dapat menambah saudara serta keluarga karena sebelumnya belum saling mengenal antar keluarga walaupun tidak jadi menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja. Sedangkan dampak negatif yang saya rasakan, rasa malu dan kecewa karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang.
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Membatalkan Khitbahnya: Nama
: Supriyono
Tgl
: 24 Agustus 2010
Usia
: 32 Tahun
Tingkat Pendidikan
: SLTA
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
1. Kapan anda menikah? Empat tahun yang lalu. 2. Apakah sebelumnya anda pernah membatalkan khitabah? Iya, saya pernah membatalkan khitbah atau lamaran. 3. Apakah alasan anda membatalkan khitbah? Alasanya karena orangtua tidak menyetujui, karena beliau kurang menyukai tindak tanduknya yang kurang sopan ketika dia bertutur kata atau bertindak. 4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang berlaku dalam pelaksanaan lamaran? Iya, saya mengetahuinya. 5. Berapa jumlah nominal uang yang anda berikan ketika membayar palang? Saya membayar Rp 15.000.000 (Limabelas Juta Rupiah). 6. Apakah terjadi konflik sebelum anda membayarkan ganti rugi atau palang yang telah disepakati? Iya sempat, karena dari keluarga tunangan saya tidak menerima dengan adanya pembatalan yang saya sampaikan. Namun setelah saya berbicara baik-baik dan mengatakan mungkin kita belum berjodoh serta menyerahkan uang yang menjadi palang atau ganti rugi sesuai kesepakatan. Akhirnya keluarganya mengerti dan menerima keputusan saya.
7. Setujukah anda dengan adanya palang atau ganti rugi dalam pembatalan khitbah? Saya setuju. Karena menurut saya palang atau ganti rugi ini dapat mengatasi konflik. 8. Dampak apa yang anda rasakan dengan adanya pembebanan ganti rugi ini? Menurut saya, dampak positif yang saya rasakan palang atau ganti rugi ini dapat mengatasi permasalahan antar dua keluarga, serta tidak adanya pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan dampak negatif dari palang atau ganti rugi ini adalah walaupun telah disepakati sebelumnya, akan tetapi karena jumlah yang harus dibayarkan kadang terlalu besar jadi ada rasa keterpaksaan dalam diri seseorang.