HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 26 cm. Bagian dinding kandang terbuat dari kawat yang bertujuan untuk memperlancar sirkulasi udara di dalam kandang. Bahan lantai terbuat dari kawat yang bertujuan untuk memudahkan kotoran terjatuh ke dalam tempat penampungan feses. Kandang yang digunakan memiliki kolong berlantai seng yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Kandang dibersihkan setiap hari dengan tujuan menjaga kenyamanan dan kesehatan puyuh. Kandang battery koloni yang digunakan diletakkan di dalam sebuah kandang besar yang bertujuan untuk melindungi puyuh dari predator dan mencegah masuknya air hujan ke dalam kandang pemeliharaan puyuh. Kandang puyuh yang digunakan memiliki beberapa kekurangan diantaranya lubang tempat saluran telur dan lubang untuk akses tempat air minum yang memiliki ukuran terlalu besar. Kondisi ini menyebabkan puyuh yang berusaha keluar dari kandang terjepit dan mengalami kecelakaan. Kandang puyuh yang digunakan saat penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh
Pengacakan dilakukan untuk penempatan puyuh di dalam kandang. Kandang yang digunakan terdiri dari 9 petak bersekat yang diisi puyuh sesuai perlakuan yaitu kepadatan 12, 15, dan 18 ekor. Sembilan petak kandang yang berada pada satu kandang battery koloni yang sama mengakibatkan adanya pengaruh panas antar petak pada kepadatan yang berbeda (P1, P2, dan P3). Hal ini memungkinkan adanya perpindahan panas dari kandang dengan kepadatan tinggi ke kandang dengan kepadatan yang lebih rendah. Pengukuran temperatur hanya dilakukan pada kandang battery koloni, sedangkan pada petak kandang tidak dilakukan pengukuran temperatur karena keterbatasan persediaan termometer dan juga dapat mengganggu kenyamanan puyuh. Pengukuran suhu kandang dilakukan menggunakan dua termometer yang diletakkan pada bagian depan dan belakang kandang battery koloni. Pengukuran suhu di luar kandang battery koloni menunjukkan bahwa suhu kandang dalam penelitian ini berkisar antara 25-30 oC. Temperatur tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan puyuh. Temperatur yang optimal untuk puyuh dewasa adalah 24 oC (Woodard et al., 1973). Temperatur yang tinggi mengakibatkan terjadinya cekaman panas pada puyuh sehingga terjadi stress dan menghasilkan konversi pakan yang tinggi. Adanya stress pada puyuh berdampak pada penurunan produksi telur. Performa Produksi Puyuh Performa produksi puyuh meliputi konsumsi pakan, konversi pakan, bobot telur, hen day production, dan mortalitas puyuh. Data performa produksi pada kepadatan kandang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Performa Produksi Puyuh pada Kepadatan Kandang Berbeda Peubah
Kepadatan Kandang (ekor/kandang) 12 15 18
Konsumsi Pakan (g)
19,26±0,20
19,25±0,54
19,41±0,34
Konversi Pakan (g/butir)
32,44±2,96
37,66±2,52
36,81±2,67
Bobot Telur (g)
9,60±0,12
9,52±0,10
9,43±0,15
59,29±19,02
54,16±17,41
51,98±17,67
1
2
1
Hen Day Production (%) Mortalitas (ekor)
Konsumsi Pakan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan puyuh. Hal ini dapat disebabkan setiap ekor puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda masih memiliki akses pakan yang sama pada tempat pakan yang disediakan. Kontruksi tempat pakan pada setiap kandang masih memungkinkan setiap ekor puyuh dapat makan dalam waktu yang bersamaan. Kondisi tersebut menyebabkan persaingan dalam mendapatkan pakan sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi tingkat konsumsi pakan puyuh. Ahuja et al. (1992) menyatakan konsumsi pakan puyuh tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang yang berbeda. Tingkat konsumsi pakan menurut North dan Bell (1992) dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis pakan, kualitas pakan, kandungan nutrisi pakan, berat badan puyuh, ukuran tubuh, tahapan produksi, dan suhu lingkungan. Namun pada penelitian ini puyuh yang digunakan memiliki umur, ukuran tubuh, dan berat tubuh yang seragam, menyebabkan tingkat konsumsi pakan tidak berbeda. Selain itu jenis, kualitas, dan kandungan nutrisi pakan yang diberikan pada puyuh untuk semua perlakuan dalam penelitian adalah sama sehingga tidak terdapat perbedaan tingkat konsumsi pakan puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda. Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan puyuh petelur Global PY-3 Crumble yang diproduksi oleh PT. Universal Agri Bisnisindo. Pakan yang diberikan memiliki komposisi nutrisi protein kasar sebesar (20%-22%), kadar air (12%), lemak kasar (7%), serat kasar (7%), abu (14%), Ca (2,5%-3,5%), P (0,6%1%). Pemberian pakan puyuh pada penelitian ini dibatasi yaitu sebanyak 20 g/ekor/hari. Pembatasan pakan yang disediakan mengakibatkan konsumsi pakan puyuh yang dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang berbeda adalah sama. Konsumsi pakan puyuh dewasa kelamin menurut Santos et al. (2011) adalah 25,09-29,61 g/ekor/hari. Tiwari dan Panda (1978) mengemukakan konsumsi pakan puyuh berumur 31-51 hari yaitu 17,5 g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur 51-100 hari menjadi 22,1 g/ekor/hari, dan tidak meningkat lagi setelah berumur 100 hari. Pakan Global PY-3 Crumble dipilih sebagai bahan pakan untuk puyuh dalam penelitian karena kandungan nutrisinya yang lengkap dan mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi puyuh petelur. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Woodard et al. (1973) bahwa kebutuhan nutrisi puyuh petelur dewasa adalah protein 20%-25%, ME 2200-3400 kcal/kg, Ca 2,5%-3%, phosfor 0,8%, potassium 0,11%. Level protein yang direkomendasikan untuk puyuh petelur adalah 20%. Pemberian pakan dengan kandungan protein 20% menghasilkan produksi telur, fertilitas, dan daya tetas telur puyuh yang optimal. Suprijatna et al. (2008) menambahkan, puyuh yang memperoleh ransum dengan kandungan protein 20% mampu menunjukkan persentase produksi telur dan massa telur yang lebih tinggi dengan konversi ransum yang lebih rendah dibandingkan puyuh yang memperoleh ransum protein 18%. Puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein 24% selama periode pertumbuhan dan diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode bertelur maka produksi telur terbaik adalah 80,2% (Nugroho dan Mayun, 1986 Konsumsi protein yang rendah mengakibatkan laju produksi telur puyuh yang rendah (Suprijatna et al., 2008), penurunan produksi telur, berat telur,dan berat kerabang telur (Yuwanta,2010). Konversi Pakan Puyuh pada kepadatan kandang 12 ekor menghasilkan konversi pakan yang paling rendah. Kepadatan kandang yang lebih rendah mengakibatkan konversi ransum yang lebih baik, sebaliknya kepadatan kandang yang tinggi mengakibatkan konversi ransum yang tinggi. Hal ini disebabkan pada kepadatan 12 ekor suhu lingkungan lebih nyaman dan tingkat stres puyuh rendah sedangkan pada kepadatan 18 ekor, suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan puyuh stres. Kepadatan kandang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konversi pakan. Pada kandang dengan kepadatan yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Pada kepadatan yang tinggi terjadi peningkatan suhu sehingga puyuh mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi yaitu berada diatas suhu nyaman puyuh akan menyebabkan stress. Puyuh yang stres membutuhkan banyak energi untuk menanggulangi stres akibat cekaman panas sehingga semakin
banyak pakan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan basal dan untuk menghasilkan telur. Akibatnya, nilai konversi pakan menjadi lebih besar dan efisiensi penggunaan pakan rendah. Sedangkan pada kandang dengan kepadatan yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Namun puyuh yang dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil belum tentu menghasilkan konversi pakan yang rendah. Kepadatan yang terlalu rendah memungkinkan puyuh melakukan aktivitas gerak yang lebih besar sehingga energi banyak digunakan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, energi yang yang tersedia untuk produksi telur sedikit sehingga produksi telur puyuh menjadi rendah. Penurunan produksi telur telur mengakibatkan nilai konversi pakan tinggi dan efisiensi penggunaan pakan menjadi turun. Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan (Ensminger, 1992). Semakin tinggi nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan semakin rendah (Ensminger, 1992). Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, penyakit, manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh (Ensminger, 1992). Bobot Telur Bobot telur merupakan akumulasi dari bobot kuning telur, bobot putih telur, dan bobot kerabang telur. Nilai rataan bobot telur puyuh penelitian sesuai dengan yang dikemukakan Yuwanta (2010) bahwa berat telur puyuh adalah antara 8-10 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur puyuh. Bobot telur yang sama pada penelitian ini disebabkan rataan produksi telur puyuh yang tidak berbeda. Menurut Santos et al. (2011), rataan bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh jumlah puyuh per kandang. Nagarajan et al. (1991) menambahkan, perbedaan tingkat kepadatan kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot telur puyuh. Rataan bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh dan konsumsi pakan puyuh.
Konsumsi pakan dan jenis puyuh pada setiap kepadatan kandang dalam penelitian ini adalah sama, menyebabkan bobot telur yang dihasilkan tidak berbeda. Bobot telur dipengaruhi oleh unggas (genetik,umur saat dewasa kelamin, dan umur saat peneluran), pakan (kandungan protein, mineral, dan efisiensi terhadap pakan), dan lingkungan (cara pemeliharaan, cahaya, dan temperatur lingkungan). Umur dewasa kelamin merupakan faktor utama yang mengatur bobot telur puyuh. Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini memiliki umur yang seragam sehingga telur yang dihasilkan memiliki bobot yang relatif seragam dan tidak berbeda. Bobot telur meningkat sesuai dengan peningkatan umur puyuh. Meskipun terjadi kenaikan bobot telur akibat dari meningkatnya umur puyuh namun kenaikan tersebut disebabkan oleh meningkatnya bobot putih telur sementara bobot kuning telur relatif stabil (Yuwanta, 2010). Hen Day Production Produksi telur (hen day production) puyuh paling tinggi pada kandang dengan kepadatan 12 ekor yaitu sebesar 50,99%. Produksi telur puyuh dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu kepadatan kandang, akumulasi panas dalam kandang, tingkat stres, dan pengaruh pakan. Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami stres dibandingkan dengan puyuh pada kepadatan yang lebih rendah. Puyuh pada kepadatan 18 ekor lebih mudah mengalami stres karena akumulasi panas dalam kandang menyebabkan peningkatan suhu. Ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu optimal yang dibutuhkan puyuh maka akan menyebabkan terjadinya stres sehingga produksi telur menjadi turun. Hal ini menyebabkan puyuh pada kepadatan 12 ekor menghasilkan jumlah telur yang lebih banyak dari puyuh pada kepadatan 15 dan 18 ekor. Santos et al. (2011) mengemukakan bahwa produksi telur puyuh paling tinggi pada kepadatan kandang yang paling rendah. Kepadatan kandang yang terlalu kecil belum tentu menghasilkan produksi telur yang maksimal. Kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil memungkinkan puyuh untuk melakukan aktivitas gerak yang lebih banyak dibandingkan puyuh pada kepadatan kandang yang lebih besar. Aktivitas gerak yang dilakukan oleh puyuh membutuhkan energi yang banyak. Nutrisi yang diperoleh dari
pakan akan digunakan untuk aktivitas sehingga yang tersedia untuk produksi telur sedikit. Kondisi ini menyebabkan produksi telur puyuh menjadi rendah. Produksi telur dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan seperti manajemen pemeliharaan dan nutrisi (Akram et al., 2000). Rata-rata produksi telur pada penelitian ini adalah 55,14%. Produksi telur pada penelitian lebih rendah dibandingkan produksi telur puyuh yang dikemukakan Nugroho dan Mayun (1986) bahwa puyuh yang diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode bertelur dapat menghasilkan telur sebanyak 80,2%. Rataan produksi telur puyuh setiap minggu selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi telur semua taraf perlakuan mengalami penurunan dari awal sampai akhir pemeliharaan. Produksi telur saat puyuh berumur sembilan minggu yaitu pada minggu pertama pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan produksi telur pada minggu pemeliharaan selanjutnya. Hal ini diduga karena temperatur lingkungan yang tinggi. Temperatur kandang dalam penelitian ini berkisar antara 25-30 oC dan suhu di dalam kandang battery koloni lebih tinggi. Temperatur tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan puyuh. Temperatur yang optimal untuk puyuh dewasa adalah 24 oC (Woodard et al., 1973). Produksi telur puyuh yang maksimal dapat dicapai apabila puyuh dipelihara pada kondisi thermoneutral zone yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Dalam kisaran suhu lingkungan yang optimal, puyuh dapat menggunakan pakan lebih efisien, karena puyuh tidak mengeluarkan energi yang besar untuk mengatasi temperatur lingkungan yang tidak normal. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi, puyuh berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan cara menyeimbangkan produksi panas dengan hilangnya panas. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu tubuh puyuh. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya laju metabolisme basal disebabkan bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung, dan bertambahnya sirkulasi darah periferi (Fuller dan Rendon, 1977). Pada suhu tinggi diperlukan energi yang lebih banyak untuk pengaturan suhu tubuh dan mencegah stres, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk produksi telur. Hal ini menyebabkan produksi telur puyuh rendah. Selain itu, temperatur lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan
menurunnya aktivitas hormonal dalam merangsang alat-alat reproduksi unggas sehingga produksi telur menjadi turun (North, 1972). 80
Produksi Telur (%)
70 60 50 40
P1
30
P2 P3
20 10 0 1
2
3
4
5
6
Lama Pemeliharaan (minggu) Gambar 4. Rataan Produksi Telur Selama Penelitian Mortalitas Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap mortalitas puyuh. Mortalitas puyuh paling tinggi terjadi pada kandang dengan kepadatan 15 ekor. Seker et al. (2009) menyatakan mortalitas puyuh lebih tinggi pada kepadatan kandang yang lebih besar walaupun perbedaannya tidak nyata. Mortalitas puyuh dipengaruhi oleh cara pemeliharaan, pakan yang dikonsumsi, cara pemberian makanan, sanitasi, temperatur, kelembaban, dan bibit puyuh (Rasyaf, 1993). Mortalitas puyuh dalam penelitian ini tidak disebabkan oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda melainkan disebabkan manajemen kandang yang kurang baik. Kontruksi kandang yang kurang baik yaitu lubang tempat saluran telur yang memiliki ukuran terlalu besar. Puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang memiliki sifat sangat agresif. Hal ini terlihat dari tingkah lakunya di dalam kandang. Puyuh pada setiap kandang berusaha untuk keluar dari kandang. Kontruksi kandang yang kurang baik seperti lubang tempat saluran telur dan lubang untuk akses tempat air minum yang memiliki ukuran terlalu besar dapat menyebabkan puyuh yang berusaha keluar dari kandang terjepit dan mati. Selain itu pada lubang yang disediakan untuk mengakses tempat
pakan masih terdapat beberapa kawat yang runcing. Terdapat seekor puyuh yang mengalami kecelakaan sehingga paruh dan kepalanya cacat hingga akhirnya mati. Mortalitas akibat konstruksi kandang yang kurang baik dapat dihindari dengan memperhatikan dan merancang kandang puyuh dengan baik sebelum pemeliharaan dimulai. Kontruksi kandang harus disesuaikan dengan kondisi, tingkah laku, dan kebutuhan puyuh. Peraturan Menteri Pertanian (2008) menyatakan bahwa kandang berukuran sedang dengan panjang 100 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang battery koloni sebanyak sembilan petak yang terdiri dari lima tingkat yang disekat. Kandang battery mempunyai panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 26 cm dengan kapasitas 12, 15, dan 18 ekor puyuh. Lantai kandang yang digunakan terbuat dari kawat yang berlubang dan dibawahnya terdapat seng untuk menampung kotorannya. Dinding kandang yang digunakan juga terbuat dari kawat berlubang. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Nugroho dan Mayun (1986), dinding kandang yang terbaik adalah seluruhnya terbuat dari kawat berlubang, sehingga sirkulasi udara lancar. Kandang diletakkan di dalam ruangan untuk menghindari hembusan angin langsung, kedinginan, dan hujan yang dapat mengganggu kesehatan dan produksi telur puyuh. Kualitas Telur Kualitas telur dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik, pakan, kandungan zat makanan, lingkungan, penyakit, dan umur unggas (Wahju, 1997). Kualitas telur puyuh meliputi bobot telur, warna kuning telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot kerabang telur, tebal kerabang telur, HU, indeks kuning telur, persentase bobot kuning telur, persentase bobot putih telur, dan persentase bobot kerabang telur. Data kualitas telur puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Kualitas Telur Puyuh pada Kepadatan Kandang Berbeda Peubah
Kepadatan Kandang (ekor/kandang) 12
15
18
Bobot Telur Utuh (g)
10,15±0,11
10,04±0,07
9,84±0,25
Warna Kuning Telur
4
4
4
Bobot Kuning Telur (g)
3,36±0,06
3,33±0,07
3,23±0,02
Bobot Putih Telur (g)
5,94±0,08
5,81±0,12
5,7±0,22
Bobot Kerabang Telur (g)
0,90±0,02
0,90±0,01
0,87±0,03
Tebal Kerabang Telur (mm)
0,13±0,00
0,13±0,00
0,13±0,00
HU
88,63±0,50
88,18±0,30
88,56±0,63
Indeks Kuning Telur
0,40±0,00
0,41±0,00
0,40±0,01
Persentase Bobot Kuning Telur (%)
32,66±1,00
33,23±0,86
32,90±0,98
Persentase Bobot Kerabang Telur (%)
8,82±0,11
9,00±0,04
8,87±0,17
Persentase Bobot Putih Telur (%)
58,52±1,09
57,76±0,86
58,23±0,84
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap kualitas telur puyuh meliputi bobot telur, warna kuning telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot kerabang telur, tebal kerabang telur, HU, indeks kuning telur, persentase bobot kuning telur, persentase bobot putih telur, dan persentase bobot kerabang telur. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan kandang yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kualitas telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa semua peubah kualitas telur Egyptian laying hens yang ditelitinya tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bobot Telur Utuh Telur yang digunakan dalam analisis kualitas telur puyuh adalah 10% dari produksi telur setiap ulangan/hari. Bobot telur puyuh normal menurut Woodard et al. (1973) sekitar 10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) atau mendekati 11,91 g (Parizadian et al., 2011). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur puyuh adalah antara 8-10 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur puyuh. Santos et al. (2011)
menyatakan kepadatan kandang yang berbeda tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur. Menurut Santos et al. (2011), rataan bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh jumlah puyuh per kandang. Nagarajan et al. (1991) menambahkan, perbedaan tingkat kepadatan kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot telur puyuh. Rataan bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh (Santos et al., 2011) dan umur puyuh (Yuwanta, 2010). Pada penelitian ini jenis dan umur puyuh yang digunakan adalah sama sehingga rataan bobot telur puyuh yang dihasilkan tidak berbeda. Warna Kuning Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap warna kuning telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa warna kuning telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Warna kuning telur dipengaruhi oleh pigmen karoten yang berasal dari pakan puyuh (Kang et al., 2003). Menurut Yuwanta (2010) warna kuning telur ditentukan oleh kandungan β-karoten yang terdapat pada kuning telur. Jenis pakan, jumlah pakan, serta konsumsi pakan puyuh pada setiap kepadatan kandang adalah sama sehingga menyebabkan warna kuning telur puyuh yang dihasilkan tidak berbeda. Warna kuning telur unggas adalah kuning orange yang disebabkan adanya karotenoid yang mengandung banyak zeaxantin, kriptoxantin, dan lutein (xantofil) (Yuwanta, 2010). Setiap unggas memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengubah pigmen karoten tersebut menjadi warna kuning telur (North dan Bell, 1992). Unggas yang mengkonsumsi pigmen karotenoid lebih tinggi akan menghasilkan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi. Kang et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan likopen sebagai sumber karoten memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan warna kuning telur. Faktor penyebab warna kuning telur bervariasi, diantaranya bangsa unggas, genetik, penyakit, cekaman, oksidasi santofil, dan angka produksi telur (North dan Bell, 1992).
Bobot dan Persentase Bobot Kuning Telur Rataan bobot dan persentase kuning telur yang diperoleh pada penelitian sesuai dengan Yuwanta (2010) yang menyatakan bobot kuning telur puyuh normal adalah 2,4-3,3 g dengan persentase bobot kuning telur terhadap bobot telur yaitu 30%-33%. Woodard et al. (1973) mengemukakan bobot kuning telur puyuh adalah sekitar 3-3,3 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap bobot dan persentase bobot kuning telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa bobot kuning telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bobot dan persentase bobot kuning telur puyuh yang tidak berbeda pada penelitian ini disebabkan jenis pakan yang diberikan dan tingkat konsumsi pakan puyuh adalah sama. Selain itu faktor strain, umur, dan kesehatan puyuh yang sama diduga menyebabkan bobot dan persentase bobot kuning telur tidak berbeda. Bobot dan Persentase Bobot Putih Telur Rataan bobot dan persentase bobot putih telur yang diperoleh sesuai dengan Yuwanta (2010) yang menyatakan bobot putih telur puyuh normal adalah 4,1-6 g dengan persentase bobot putih telur terhadap bobot telur yaitu 52%-60%. Woodard et al. (1973) menambahkan, bobot putih telur puyuh adalah sekitar 5,2-6 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap rataan bobot dan persentase bobot putih telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa bobot putih telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bobot dan persentase bobot putih telur puyuh yang tidak berbeda pada penelitian ini disebabkan jenis pakan yang diberikan dan tingkat konsumsi pakan puyuh adalah sama. Selain itu faktor strain, umur, dan kesehatan puyuh yang sama diduga menyebabkan bobot dan persentase bobot putih telur tidak berbeda pada penelitian ini. Bobot dan Persentase Bobot Kerabang Telur Kerabang telur adalah suatu struktur mineral yang tersusun terutama dari CaCO3. Kerabang telur terdiri dari dua bagian yaitu kerabang tipis (membran) dan
kerabang telur keras. Untuk mengetahui kualitas kerabang telur dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode destruktif dan non destruktif. Peubah yang diukur pada metode destruktif yaitu tebal kerabang, berat serta persentase kerabang telur, indeks kerabang telur, dan kekuatan tekan kerabang. Sedangkan peubah yang diamati pada metode non destruktif yaitu gravitasi spesifik dan elastisitas kerabang telur (Yuwanta, 2010). Metode pengukuran kualitas kerabang telur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu destruktif dengan peubah yang diukur adalah tebal kerabang, bobot kerabang, serta persentase bobot kerabang telur. Rataan bobot dan persentase bobot kerabang telur yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan Yuwanta (2010) yang menyatakan bobot kerabang telur puyuh normal adalah sekitar 0,56-0,9 g/butir telur dengan persentase bobot kerabang telur terhadap bobot telur yaitu 7%-9%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap bobot dan persentase bobot kerabang telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa bobot kerabang telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Menurut Yuwanta (2010) bobot kerabang telur dipengaruhi oleh tebal kerabang dan membran telur. Stadelman dan Cotterill (1977) menambahkan, kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh umur puyuh, pakan yang diberikan, dan konsumsi pakan puyuh. Bobot dan persentase bobot kerabang telur puyuh yang tidak berbeda pada penelitian ini disebabkan tebal kerabang dengan membran kerabang telur adalah sama. Selain itu, jenis puyuh, umur puyuh, pakan yang diberikan, serta konsumsi pakan puyuh pada penelitian adalah sama sehingga rataan bobot dan persentase bobot kerabang telur puyuh tidak berbeda. Tebal Kerabang Telur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap tebal kerabang telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa tebal kerabang telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh jenis puyuh, umur, pakan yang diberikan, konsumsi pakan, dan penggunaan cahaya penerangan (Yuwanta, 2010). Stadelman dan Cotterill (1977) menambahkan, kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh umur puyuh, pakan yang
diberikan, dan konsumsi pakan puyuh. Pada penelitian ini jenis dan umur puyuh, jenis pakan, konsumsi pakan, serta penggunaan cahaya penerangan yang digunakan adalah sama sehingga rataan tebal kerabang telur puyuh yang diperoleh tidak berbeda. Pengukuran tebal kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah (ekuator), dan ujung lancip telur menggunakan alat mikrometer, kemudian dibuat rata-rata (Yuwanta, 2010). Rataan tebal kerabang telur puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda adalah sama yaitu 0,13 mm. Menurut Vilchez et al. (1992), tebal kerabang ditambah selaput telur berkisar antara 0,176-0,184 mm. Suprijatna et al. (2008) menambahkan, puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein kasar 20% menghasilkan telur dengan tebalan kerabang telur yaitu 0,298 mm. Rataan tebal kerabang dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan literatur. Hal ini diduga disebabkan adanya stress yang dialami oleh puyuh karena suhu lingkungan yang tinggi. Temperatur yang optimal untuk puyuh dewasa adalah 24 oC (Woodard et al., 1973). Sementara, suhu kandang dalam penelitian ini berkisar antara 25-30 oC. Selain itu, tebal kerabang yang rendah pada penelitian ini juga dapat disebabkan suhu penyimpanan telur yang terlalu tinggi yaitu mencapai 23 oC dan tidak stabil terutama apabila AC pada ruangan penyimpanan mati saat listrik tidak menyala . Menurut Yuwanta (2010) kualitas kerabang telur optimal jika temperatur lingkungan antara 16-21 oC. Peningkatan temperatur lingkungan akan menurunkan soliditas kerabang telur puyuh. HU Telur Rataan nilai HU (Haugh Unit) telur yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan Tiwari dan Panda (1978) yang menyatakan bahwa nilai rataan HU telur puyuh adalah 87,1±2,39. Semakin tinggi albumen maka semakin tinggi nilai HU telur yang diperoleh. Nilai HU yang tinggi menunjukkan semakin bagus kualitas telur tersebut. Nilai (HU) telur digunakan untuk mengetahui kekentalan (kualitas) putih telur yang ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat telur (g). Yuwanta (2010) menyatakan bagian albumen yang diukur tingginya yaitu putih telur kental. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap rataan nilai HU telur puyuh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa nilai rataan HU telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Yuwanta (2010) menyatakan nilai HU telur tergantung umur unggas, tinggi albumen, dan bobot telur. Pada penelitian ini umur unggas yang digunakan, albumen, dan rataan bobot telur adalah sama sehingga nilai rataan HU telur yang diperoleh tidak berbeda. Indeks Kuning Telur Nilai indeks kuning telur puyuh pada penelitian ini hampir sama dengan yang dinyatakan oleh Suprijatna et al. (2008) bahwa nilai indeks kuning telur puyuh yang diberi pakan dengan kandungan protein kasar sebesar 20,1% adalah 0,42. Puyuh yang diberi pakan dengan kandungan protein kasar 18% menghasilkan telur dengan nilai indeks kuning telur sebesar 0,41. Nilai atau kualitas kuning telur dapat diketahui dengan mengukur indeks kuning telur yaitu perbandingan antara tinggi dengan diameter kuning telur. Suprijatna et al. (2008) menyatakan nilai indeks kuning telur digunakan untuk mengetahui kekentalan kuning telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap rataan nilai indeks kuning telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tollba dan El-Nagar (2008) bahwa rataan nilai indeks kuning telur unggas tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Nilai indeks kuning telur meningkat seiring bertambahnya umur puyuh (Nagarajan et al., 1991). Nilai indeks kuning telur dipengaruhi oleh umur puyuh (Nagarajan et al., 1991) dan pakan yang dikonsumsi oleh puyuh (Suprijatna et al., 2008). Nilai indeks kuning telur juga dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan telur (Yuwanta, 2010). Pada penelitian ini umur puyuh, jenis pakan, konsumsi pakan, serta suhu dan lama penyimpanan telur puyuh adalah sama sehingga nilai indeks kuning telur yang dihasilkan tidak berbeda.