TINJAUAN PUSTAKA Limbah Sayuran Menurut Apriadji (1990) dan Sutamihardja (1978), limbah atau sampah merupakan zat-zat atau bahan-bahan yang sudah tidak terpakai lagi. Hadiwiyoto (1983), mengelompokkan sampah atau limbah berdasarkan beberapa faktor yaitu menurut bentuk dan sifatnya. Berdasarkan bentuknya, sampah dibedakan menjadi sampah padat, cair dan gas. Berdasarkan sifatnya, sampah dibedakan menjadi sampah yang mengandung senyawa organik yang berasal dari tanaman, hewan dan mikroba dan sampah anorganik yaitu garbage (bahan yang mudah membusuk) dan rubbish (bahan yang tidak mudah membusuk). Salah satu sampah atau limbah yang banyak terdapat di sekitar kota adalah limbah pasar. Limbah pasar merupakan bahanbahan hasil sampingan dari kegiatan manusia yang berada di pasar dan banyak mengandung bahan organik. Kondisi melimpahnya limbah sayuran pasar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Limbah Sayuran di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah pasar yang banyak mengandung bahan organik adalah sampah-sampah hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan dan daun-daunan serta dari hasil perikanan dan peternakan. Limbah sayuran adalah bagian dari sayuran atau sayuran yang sudah tidak dapat digunakan atau dibuang. Berdasarkan pengamatan di lapangan (2009), limbah yang terdapat di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta terdiri dari limbah buah-buahan dan sayur-sayuran. Limbah buah-buahan terdiri dari limbah buah semangka, melon, pepaya, jeruk, nenas dan lain-lain sedangkan limbah sayuran terdiri dari limbah daun bawang, seledri, sawi
xv
hijau, sawi putih, kol, limbah kecambah kacang hijau, klobot jagung, daun kembang kol dan masih banyak lagi limbah-limbah sayuran lainnya. Namun yang lebih berpeluang digunakan sebagai bahan pengganti hijauan untuk pakan ternak adalah limbah sayuran karena selain ketersediaannya yang melimpah, limbah sayuran juga memiliki kadar air yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan limbah buahbuahan sehingga jika limbah sayuran dipergunakan sebagai bahan baku untuk pakan ternak maka bahan pakan tersebut akan relatif tahan lama atau tidak mudah busuk. Wafer Wafer merupakan suatu bahan yang mempunyai dimensi (panjang, lebar, dan tinggi) dengan komposisi terdiri dari beberapa serat yang sama atau seragam (ASAE, 1994). Wafer adalah salah satu bentuk pakan ternak yang merupakan modifikasi bentuk cube, dalam proses pembuatannya mengalami proses pencampuran (homogenisasi), pemadatan dengan tekanan dan pemanasan dalam suhu tertentu. Bahan baku yang digunakan terdiri dari sumber serat yaitu hijauan dan konsentrat dengan komposisi yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak dan dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan 12 kg/cm2 dan pemanasan pada suhu 120°C selama 10 menit (Noviagama, 2002). Menurut Winarno (1997) tekanan dan pemanasan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi Maillard yang mengakibatkan wafer yang dihasilkan beraroma harum khas karamel. Prinsip pembuatan wafer mengikuti prinsip pembuatan papan partikel. Proses pembuatan wafer membutuhkan perekat yang mampu mengikat partikel-partikel bahan sehingga dihasilkan wafer yang kompak dan padat sesuai dengan densitas yang diinginkan. Menurut Sutigno (1994), perekat adalah suatu bahan yang dapat menahan dua buah benda berdasarkan ikatan permukaan. Adapun keuntungan wafer menurut Trisyulianti (1998) adalah : (1) kualitas nutrisi lengkap, (2) bahan baku bukan hanya dari hijauan makanan ternak seperti rumput dan legum, tetapi juga dapat memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan, atau limbah pabrik pangan, (3) tidak mudah rusak oleh faktor biologis karena mempuyai kadar air kurang dari 14%, (4) ketersediaannya berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada saat musim hujan ketika hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah, dan (5)
xvi
kemudahan dalam penanganan karena bentuknya padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi. Beberapa penelitian telah dilakukan di Indonesia dengan tujuan mencari cara untuk memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan. Upaya ini meliputi penggunaan langsung dalam pakan, pengolahan untuk mempertinggi nilai pakannya, dan pengawetan agar dapat mengatasi fluktuasi penyediaan (Lebdosukoyo, 1983). Tetes Tetes atau molases adalah cairan kental limbah pemurnian gula yang merupakan sisa nira yang telah mengalami proses kristalisasi. Bentuk fisik tetes atau molases tampak sebagai cairan pekat dan berwarna gelap disebabkan oleh adanya reaksi “browning”, memiliki rasa pahit-pahit manis dan merupakan cairan yang berviskositas tinggi sehingga tidak mudah membeku (Tedjowahjono, 1987). Menurut Hariyati et al. (1976), tetes ini dapat membantu fiksasi nitrogen dalam rumen dan fermentasi sehingga daya cernanya meningkat. Menurut Akhirany (1998), bahan-bahan yang mengandung pati dan gula sangat baik sebagai bahan pengikat karena mempunyai kemampuan merekat yang baik. Molases mengandung 50-60% gula, sejumlah asam amino dan mineral sehingga baik digunakan sebagai perekat (Puturan, 1982). Komposisi kimia tetes atau molases dari limbah industri perkebunan tebu adalah 3,9% protein, 0,29% lemak, 0,4% SK dan 84,4% Beta-N. Kadar Air Kerusakan bahan pakan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang; aktivitasaktivitas enzim di dalam bahan pakan; serangga, parasit dan tikus; suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air, udara; dan jangka waktu penyimpanan. Kadar air pada permukaan bahan pakan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara disekitarnya. Bila kadar air bahan rendah, RH disekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau kadar air menjadi lebih tinggi. (Winarno et al., 1980). Kadar air suatu bahan dapat diukur dengan berbagai cara. Metode pengukuran yang umum dilakukan di laboratorium adalah dengan pemanasan di
xvii
dalam oven atau dengan cara destilasi. Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pakan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarief dan Halid, 1993). Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroorganisme pada penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka kelembaban relatif makin rendah. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi menyebabkan cairan akan terkondensasi pada permukaan, sehingga permukaan bahan basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroba. Berdasarkan hasil suhu maksimum dan optimum, mikroorganisme dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : (1) Mesofil, suhu pertumbuhan yang paling baik pada 25ºC hingga 40ºC dan suhu minimum adalah 10ºC, (2) Psikrofil, merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh pada suhu 0ºC atau lebih rendah, tetapi suhu optimalnya adalah 20ºC hingga 30ºC, (3) Thermofil, merupakan mikroorganisme yang tumbuh dengan baik pada temperatur antara 45ºC hingga 60ºC. Berdasarkan penelitian karena suhu udara tempat penyimpanan berkisar antara 27,40ºC hingga 28,16ºC maka mikroba yang berpeluang untuk berkembang biak adalah mikroba dari kelompok Mesofil dan Psikrofil (Amiroh, 2008). Kualitas Sifat Fisik Wafer Prinsip pembuatan wafer mengikuti prinsip pembuatan papan partikel. Sifat fisik merupakan bagian dari karakteristik mutu yang berhubungan dengan nilai kepuasan konsumen terhadap bahan. Sifat-sifat bahan serta perubahan-perubahan yang terjadi pada pakan dapat digunakan untuk menilai dan menentukan mutu pakan, selain itu pengetahuan tentang sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keofisien suatu proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan (Muchtadi dan Sugiono, 1989).
xviii
Daya Serap Air Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan untuk menyerap air disekelilingnya agar berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori antar partikel bahan (Jayusmar, 2000). Trisyulianti (1998) menyatakan, wafer dengan kemampuan daya serap air tinggi akan berakibat terjadinya pengembangan tebal yang tinggi pula, karena semakin banyak volume air hasil penyerapan yang tersimpan dalam wafer akan diikuti dengan peningkatan perubahan muai wafer. Daya serap air berbanding terbalik dengan kerapatan. Semakin tinggi kerapatan wafer menyebabkan kemampuan daya serap air yang lebih rendah. Furqaanida (2004) menyatakan, ransum komplit dengan campuran kelobot jagung paling banyak lebih mudah hancur ketika direndam air jika dibandingkan wafer ransum komplit dengan campuran rumput lapang. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan ikatan antar partikel penyusun wafer yang berdeda-beda. Aktivitas Air Aktivitas air bahan pakan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarif dan Halid, 1993). Aktivitas air erat hubungannya dengan kadar air. Komposisi bahan baku sumber serat meyebabkan terdapatnya rongga-rongga udara pada wafer, semakin banyak kandungan sumber serat maka rongga yang terdapat dalam wafer juga akan semakin banyak dan besar yang menyebabkan jalannya penguapan terjadi lebih cepat sehingga dapat meningkatkan kadar air yang terdapat dalam wafer (Widiarti, 2008). Adnan (1982) dalam Florensyah (2007) menyatakan, bahwa pada umumnya bila aktivitas air dikurangi sampai batas tertentu akan menekan pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme.
Winarno
(1997)
menyatakan,
berbagai
mikroorganisme mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri tumbuh pada Aw 0,90, khamir pada Aw 0,80-0,90, dan kapang pada Aw 0,60-0,70. Tingginya aktivitas air disebabkan oleh ransum yang disimpan dalam jumlah yang cukup tinggi, dan pelepasan air ke udara ruang penyimpanan tidak besar tetapi tinggi sehingga nilai aktivitas air tinggi (Ayu, 2003).
xix
Kerapatan Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan dari partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran. Wafer pakan yang mempunyai kerapatan tinggi akan memberikan tekstur yang padat dan keras sehingga mudah dalam penanganan baik penyimpanan maupun goncangan pada saat transportasi dan diperkirakan akan lebih lama dalam penyimpanan (Trisyulianti, 1998), sebaliknya pakan yang memiliki kerapatan rendah akan memperlihatkan bentuk wafer pakan yang tidak terlalu padat dan tekstur yang lebih lunak serta porous (berongga), sehingga diperkirakan hanya dapat bertahan dalam penyimpanan beberapa waktu saja. Menurut Jayusmar (2000), wafer dengan nilai kerapatan yang tinggi tidak begitu disukai oleh ternak, karena terlalu padat sehingga ternak sulit untuk mengkonsumsinya. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Elita (2002) yang menyatakan bahwa pada umumnya ternak tidak menyukai pakan yang terlalu keras atau memiliki kerapatan tinggi, namun ternak lebih memilih pakan yang lebih remah. Palatabilitas Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya oleh ternak ruminansia tetapi juga oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church and Pond, 1998). Pemberian ransum atau pakan selain harus memenuhi zat-zat nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah yang tepat, pakan tersebut harus memenuhi syaratsyarat seperti aman untuk dikonsumsi, palatabel, ekonomis dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002). Salah satu indikasi wafer yang baik adalah adanya tingkat palatabilitas yang tinggi. Palatabilitas merupakan hasil keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan suatu pakan menarik bagi ternak. Faktor-faktor tersebut adalah bau, rasa, bentuk dan temperatur pakan (Lawrence, 1990). Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan mana yang lebih disukai. Palatabilitas ransum merupakan faktor
xx
penting dalam cafetaria feeding. Palatabilitas dapat diuji dengan cafeteria feeding yaitu dengan cara memberikan kepada ternak untuk memilih sendiri makanan atau bahan ransum yang ada untuk dikonsumsi lebih banyak, agar kebutuhan zat-zat makanan terpenuhi (Patrick dan Schaible, 1980). Bahan ransum yang mempunyai palatabilitas tinggi akan dikonsumsi lebih banyak (Ewing, 1963). Penentuan tingkat palatabilitas ini dinyatakan dengan jumlah konsumsi total bahan kering per hari oleh suatu ternak (Apriati, 1989). Tahap akhir dari uji palatabilitas adalah dengan menimbang dan mengukur sisa satu jam dari pakan yang diberikan pada ternak (Edney, 1982). Domba Ternak domba termasuk subfamili Cuprinae, famili Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Subfamili Cuprinae berasal dari dataran tinggi di daerah pegunungan dan berkembang menjadi spesies, subspesies, varietas serta ras-ras lokal tertentu. Ternak domba dari Asia tersebar kesebelah barat antara lain Mediterania, termasuk Eropa dan Afrika serta kesebelah timur tersebar kedaerah subkontinen India dan Asia Tenggara (Devendra dan McLeroy, 1982). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan karena domba berperan besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Efisiensi produksi domba sebagian besar tergantung pada cara pemberian pakan, tingkat manajemen pemberian pakan dan ketersediaan gizi untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Untuk meningkatkan produktivitas domba diperlukan dukungan akan ketersedian pakan yang kontinyu, sehingga ternak domba dapat tumbuh dan mendapat ransum dalam jumlah dan kualitas yang cukup (Tomaszewska et al., 1993). Pemeliharaan ternak domba mempunyai beberapa keunggulan antara lain : (a) dapat beranak sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh musim, (b) mempunyai adaptasi yang baik dan tahan terhadap serangan beberapa penyakit atau parasit, (c) dapat beranak banyak dan (d) dapat segera bunting kembali sebulan setelah beranak (Diwyanto dan Inounu, 2001). Sumber energi utama bagi ternak ruminansia khususnya domba dapat diperoleh dari hijauan, silase, dan biji-bijian. Kekurangan energi dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, memperlambat pertumbuhan, mengurangi
xxi
efisiensi reproduksi, mengurangi produksi susu, dan meningkatkan mortalitas (McDonald et al., 1995). Dalam usaha penggemukan ternak domba, kecukupan energi, protein, vitamin, dan mineral dalam ransum memegang peranan yang penting (Stanton dan Le Valley, 2003). Jika domba diberi makanan padat (kering) di kandang maka sebaiknya diberi minum ad libitum. Namun, domba tidak harus minum setiap saat terutama jika digembalakan pada pastura yang muda dan basah (Williamson dan Payne, 1993). Domba Ekor Gemuk Menurut Bradford dan Inounu (1996), bahwa domba Ekor Gemuk banyak terdapat di Jawa Timur. Menurut FAO (2004), domba Ekor Gemuk banyak ditemukan di daerah Madura, Jawa Timur dan wilayah Indonesia Timur seperti Lombok, Sumbawa, Kisar dan Sawa. Domba Ekor Gemuk yang dihasilkan di Indonesia merupakan persilangan antara domba kirmani jantan dan domba asli Indonesia (Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 1981 dalam Puspianah 2008). Dijelaskan lebih lanjut oleh Bradford dan Inounu (1996), bahwa tanda-tanda yang merupakan karakteristik khas domba Ekor Gemuk adalah ekornya yang besar, lebar dan panjang. Menurut FAO (2004), bentuk tubuh domba Ekor Gemuk lebih besar daripada domba Ekor Tipis. Domba Ekor Gemuk memiliki berat jantan dewasa 45-50 kg dan betina dewasa 25-35 kg. Tinggi badan pada jantan dewasa 60-65 cm dan betina dewasa 52-60 cm. Warna bulu putih, tidak bertanduk dengan bulu wol kasar dimiliki oleh jenis domba Ekor Gemuk. Domba ini dikenal sebagai domba yang tahan terhadap panas dan kering.
xxii