5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Peran Diabetes Mellitus terhadap ROS. Hiperglikemia akibat kendali glukosa darah yang normal berperan sentral untuk terjadi dasar kerusakan vaskuler baik mikro maupun makrovaskuler, mempunyai korelasi positif pada berat dan lamanya hiperglikemia.Efek kerusakan jaringan bermula dari terbentuknya ROS oleh karena gangguan fungsi mitokondria akibat hiperglikemia intra seluler, yang selanjutnya melibatkan beberapa gabungan mekanisme dalam sel seperti akan dijelaskan dibawah ini. a. Jalur Polyol Pada kondisi normal, aldose reduktase berfungsi untuk menurunkan toksik aldehida di dalam sel untuk menginaktivasi alkohol. Tetapi bila kadar gula di dalam sel terlalu tinggi, aldosa reduktase akan mengubah glukosa menjadi sorbitol yang kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. Dalam proses penurunan kadar glukosa intra-seluler yang tinggi menjadi sorbitol, aldose reduktase menggunakan kofaktor NADPH. Tetapi NADPH juga menjadi kofaktor esensial untuk pembentukan antioksidan intraseluler yang penting, yaitu gluthathione tereduksi. Dengan menurunkan jumlah gluthathione tereduksi, polyol pathway akan mempertinggi kerentanan terhadap stres oksidatif intraseluler. (Hardiman,2012)
Gambar 1. Hiperglikemia meningkatkan melalui poliol pathway (dikutip dari Brown lee,2005)
6
b. Jalur Advance Glycation End Products (AGEs) Hiperglikemia meningkatkan produksi precursor AGE intraseluler, yang mengakibatkan kerusakan sel melalui tiga mekanisme. Pertama, dengan cara modifikasi dari protein- protein intraseluler, terutama yang paling penting adalah protein yang terlibat dalam regulasi transkripsi gen. Kedua, prekursor AGE dapat berdifusi keluar dari sel dan memodifikasi molekul matriks ekstraseluler di dekatnya, sehingga terjadi perubahan alur penjalaran sinyal antara matriks dan sel yang menyebabkan difungsi seluler. Ketiga, precursor AGE yang berdifusi keluar dari sel juga memodifikasi protein-protein dalam sirkulasi darah seperti albumin. Protein-protein yang termodifikasi ini kemudian bisa berkaitan dengan AGE reseptor dan mengaktifkannya. Akibatnya terbentuk sitokin-sitokin proinflamasi dan growth factor, yang kemudian menyebabkan kerusakan vaskuler.( Kashihara,2010)
Gambar 2. Meningkatnya produksi prekursor AGE dan kejadian patologis (dikutip dari Brown lee,2005)
c. Jalur Aktivasi PKC Hyperglikemia intraseluler meningkatkan sintesis suatu molekul yang disebut diasil gliserol (DAG), yang merupakan kofaktor aktivasi penting bagi
7
isoform klasik protein kinase-C, β, d dan α. Jika
PKC teraktivasi oleh
hiperglikemia intraseluler, efeknya terhadap ekspresi gen akan bervariasi, diantaranya (a) disregulasi aliran darah oleh karena penurunan aktivitas endothelial NOS dan atau peningkatan sintesa ET-1; (b) disregulasi dari permeabilitas pembuluh darah oleh indukse VEGF pada otot polos; (c) ketebalan membran basalis melalui peningkatan sintesis TGF- β dimediasi peningkatan kolagen tipe IV dan fibronektin; (d) gangguan fibrinolisis melalui peningkatan ekspresi PAI-1; dan (e) peningkatan stres oksidatif oleh regulasi oksidase NADPH.(Hardiman,2012)
Gambar 3. Konsekwensi hiperlikemia yang diinduksi aktivase PKC (dikutip dari Brownlee,2005) d. Jalur Hexosamine Bila kadar glukosa dalam sel tinggi, sebagian besar dari glukosa tersebut dimetabolisme melalui glikolisis, pertama menjadi glukosa-6 fosfat, kemudian fruktosa-6 fosfat, kemudian melalui glycolytic pathway. Tetapi, sebagian dari fructose-6 fosfat berpindah melalui sesuatu jalur sinyal dimana enzim glutamine: fructose-6 phosphate amidotransferase (GFAT) mengubah fructose-6 fosfat dan akhirnya menjadi UDP (uridine diphophate) Nacetylglucosamine. Kemudian bereaksi dengan residu serine dan threonine dari factor transkripsi, sehingga terjadi modifikasi dari ekspresi gen. seperti proses yang lebih dikenal seperti fosforilasi, dan over modifikasi oleh
8
glikosamin, ini seringkali menimbulkan perubahan patologis pada ekspresi gen. Misal N-acetylglucosamine memodifikasi factor transkripsi Sp1 menimbulkan peningkatan ekspresi dari TGF-β1 dan PAI-1, yang keduanya berperan baik pada abnormalitas ekspresi dari sel-sel glomeruler maupun pada disfungsi kardiomiosit.(Hardiman 2012)
Gambar 4. Mitokondria overproduksi superoksida yang mengaktivasi melalui jalur hiperglikemi yang mersak melalui inhibisi GADPH (dikutip dari Brown lee,2005) Ketika
endotel
mengalami
disfungsi,
terjadi
penurunan
pelepasan
vasodilator seperti NO dan endothelium-derived hyperpolarizing factor, serta peningkatan pelepasan vasokonstirktor, seperti endothelin, tromboxane dan TGF- β1. NO merupakan vasodilator kuat yang disintesis L-arginin. Enzim NOS (nitric oxide synthetase) mengubah arginin menjadi sitrulin dan NO. Nitrite oxide berwujud gas dan berdifusi ke otot polos pembuluh darah sekitarnya.(Giaccio,2010) Hiperglikemia menginduksi variasi gen yang sangat banyak, berhubungan dengan proses patobiologikal termasuk akumulasi matrik ekstraseluler (ECM),
hipertrofi
seluler,
respon-respon
inflamasi,
protrombosis,
hiperkoagulabilitas dan peningkatan apoptosis.keadaan ini diinduksi oleh faktor-faktor transkripsi seperti nuclear factor kappa β (NFKβ), activator
9
protein-1 (AP-1), cAMP respon element binding protein (CREB), nuclear factor of activated T cells (NFAT) dan stimulating protein 1 (Sp1). NFkβ berada pada sitosol dalam bentuk heterodimer, dibentuk dari subunit p50 dan p65. Bertanggung jawab pada inhibisi IKB. NFkβ diaktivasi dengan jalur fosforilasi dan degradasi proteosom oleh IKB. Disodiasi IKB membuka jalan bagi NFkB untuk masuk dalam nucleus, kemudian berikatan dengan elemen kB yang resposif dan mengaktivasi gen transkripsi. ROS menyertai NFkB. ROS mengubah IkB menjadi rentan terhadap degradasi proteosom. Terapi dengan antioksidan menghambat degradasi IkB dan menghambat NFkB. ROS mengaktifkan IKK. (Kleman et al.2008; Khasihara,2010)
Gambar 5. Ekstra mitokondria sitosolikpenghasil ROS mengkuti masuknya glukosa dan aktivitas jalur poliyol dan AGRs:RAGE melalui system NADPH oksidase (dikutip dari Kashihara et al.2010) 2.
Penyakit ginjal diabetik dan proses Inflamasi. Penyakit ginjal merupakan penyebab utama penyakit ginjal pada pasien yang
mendapat terapi pengganti ginjal. Dan terjadi pada 40% dari seluruh pasien DM.
10
juga meningkatkan angka kematian terutama karena pengaruh kardiovaskular, dan didefenisikan sebagai peningkatan ekskresi albumin urin tanpa adanya gangguan ginjal. Hiperglikemia, peningkatan tekanan darah faktor genetik merupakan faktor resiko utama timbulnya penyakit ginjal diabetik. Penyakit
ginjal
diabetik
ditandai
dengan
adanya
mikroalbuminuria
(30mg/hari, atau 20ug/menit) tanpa adanya gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan tekanan darah sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus
dan
akhirnya
menyebabkan
gagal
ginjal
tahap
akhir.
(Hendromartono,2014)
a. Patogenesis Unit fungsional ginjal adalah nefron, terdiri dari kapsula bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal selanjutnya menggabungkan diri ke duktus kolektivus. Glomerulus merupakan sebuah jaringan, mengandung 50 cabang parallel kapiler yang beranastomosis. Dinding glomerulus ini terdiri dari endotel tipis, membran basal glomerulus (MBG) epitel viseral. MBG menjadi sawar selektif. (Suwitra,2014) Pada DMT2 terdapat kelainan reseptor insulin pada podosit. Akibat defek reseptor tersebut menyebabkan pembentukan Pi3K (phosphatidylinositol 3kinase) maupun Akt (v-akt murine thymoma viral oncogene homolog 1/AKT 1) terganggu sehingga penghambatan Bax menjadi lemah. Sehingga Bax dominan dibanding Bcl akibatnya akan meningkatkan apoptosis lewat jalur intrinsik (mitokondria). Akibat apoptois yang berlebihan tersebut sehingga hilangnya selsel visceral dan podositnya, kemudian menyebabkan kebocoran sistem filtrasi dan akhirnya menyebabkan albuminuria.(Purwanto,2010) Hiperfiltrasi glomerulus dikenali sebagai tanda penyakit ginjal diabetik awal. Glomerule filtration rate (GFR) di pelihara dengan baik pada keadaan fluktuasi tekanan darah sistemik melalui mekanisme autoregulasi yang terjadi pada
tingkat
intraglomerular.
arteriol Brenner
afferent dan
glomeruler.
rekannya
Sebagai
mengatakan
penentu bahwa
tekanan
mekanisme
autoregulator dirusak oleh banyak penyakit termasuk dibetes mellitus.
11
Hiperglikemia merusak autoregulasi terutama pada arteriol afferent melalui banyak mekanisme, dimana aliran plasma dan glomerulus meningkat dengan hebat dibanding tingkat nilai normalnya. Kedua gangguan pengaturan pada voltase pintu tipe L-Ca2+ dan sintesis eicossanoid telah merusak respon miogenik dari areteriol afferent pada diabetes. Ketiga; hiperglikemi mengaktifkan sistem renin angiotensin (RAS) khusus pada tingkat jaringan, mengakibatkan vasokonstriksi pada arteriol afferent sehingga terjadi peningkatan tekanan intraglomerular.(Kashihara et al,2010; Urribari, 2006) Pada system RAS, renin akan memotong peptide enzim angiotensinogen menjadi angiotensin I yang akan dipotong pada pulmo oleh angiotensin converting enzyme (ACE) sehingga manjadi angiotensin II. Angiotensin II menjadi agen vasokonstriktor kuat, bekerja lewat reseptor AT1. ACE juga menginaktivasi bradikinin (vasodilator) sehingga akhirnya akan terjadi efek vasokonstriktor,
disamping
juga
meningkatkan
sekresi
aldosterone
dan
mempunyai efek tropik terhadap pembuluh darah penyebab aterosklerosis. (Purwanto B,2012) Angiotensin II mengatur sintesis dan sekresi aldosterone di adrenal dimana aldosterone juga dipengaruhi oleh kadar kalium. Sebagai mineralokortikoid kuat, aldosterone meningkatkan reabsorbsi natrium, dibarengi dengan ekskresi ion kalium dan hydrogen. Selain berefek pada tekanan darah, juga berefek pada sel non epitel. Aldosterone juga berperan terjadinya hipertropi jantung dan CHF lewat penguatan deposisi kolagen dan matriks ekstraselular. (Schindler,2004) Angiotensin II juga merangsang NADPH oksidase sehingga akan meningkatkan stres oksidatif. Stres oksidatif bila berlebihan akan menyebabkan peningkatan apoptosis endotel jalur intrinsik sehingga kerusakan pembuluh darah makin progresif. Stres oksidatif juga merusak glikoprotein yang melapisi sistem filtrasi ginjal sehingga mengakibatkan albuminuria.(Sasso et al., 2006) Angiotensin II akan menyebabkan molekul p-65 maupun ikB (inhibitor Kappa Betha) menjadi tidak stabil sehingga pengendalian p-65 maupun ikβ terhadap NFKβ
tidak sempurna. Akibatnya sekresi sitokin pro inflamasi
berlebihan sehingga meningkatkan progresifitas aterosklerosis. Dimana NFKβ
12
juga menghasilkan TGFβ1 yang akan menyebabkan remodelling pembuluh darah maupun miokard.(Purwanto,2012)
Gambar 6. Mekanisme kerja Angiotensin II Manifestasi patologis penyakit ginjal diabetik adalah glomerulosklerosis dengan ketebalan membran basalis glomerulus dan ekpansi mesangial serta penimbunan matrik ekstraselular. Perubahan dini yang terjadi pada ginjal hiperfiltrasi hipertrofi glomerulus, peningkatan ekskresi albumin dari urin (EAU) peningkatan ketebalan membran basal, ekspansi mesangial dengan penimbunan protein-protein MES seperti kolagen, fibronektin, dan laminin. Dilanjutkan dengan proteinuria, penuruna fungsi ginjal, penurunan bersihan kreatinin, glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial. MBG terletak antara endotel dan epitel visceral, menjadi sawar selektif, baik untuk molekul besar maupun untuk muatan molekul bagi aliran makromolekul. Albuminuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Albuminuria dibagi dalam selektifitas molekul. Bila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan nonselektif bila yang keluar molekul besar seperti imunoglobulin.(Cotran,et al.2007; Purwanto, 2012) Mekanisme terjadinya albuminuria pada prinsipnya ada dua, yaitu :
13
Masalah fisik. Pada keadaan ini tergantung besarnya diameter fenestra dan kualitas slit diafragma.
Masalah bioelektrik. Keadaan ini terjadi karena albumin bermuatan negative, dilain pihak permukaan endotel, membrane basalis, lapisan luar dari podosit juga bermuatan negatif. Sehingga keadaan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme tolak-menolak, akibatnya dapat dihindarinya albuminuria.(Cotran 2007; Purwanto 2012) Pelebaran
fenestra
biasanya
disebabkan
karena
rusaknya
sistem
autoregulasi pada spinchter precapiller vasa afferent akibat hipertensi yang kronis. Endotel yang mengalami stresor akan mengekspresikan sitokin proinflamasi (TNF α, IL-1 dan IL6) dan juga TGFβ1. Sitokin-sitokin tersebut
Struktur Struktur Fenestra Fenestra
akan myebabkan kerusakan pembuluh darah (aterosklerosis).
Gambar 7. Fenestra (Cotran et al., 2007).
Robbin, 2005
1. Peran TGFβ1 TGFβ1 menyebabkan remodelling sel otot polos pembuluh darah akibat terjadinya proliferasi sel otot polos pembuluh darah tersebut maupun pembentukan Extra Celluler Matrix (ECM) misal : kolagen, fibronektin, laminin, elastin, proteoglikan, dan lain-lain. Remodelling tersebut akan menyebabkan aterosklerosis. TGFβ1 memiliki reseptor pada target sel.target sel pada glomerulus terutama sel mesangial, dan sel mesangial yang dirangsang oleh TGFβ1 akan menghasilkan kolagen tipe IV yang mengakibatkan glomerulosklerosis. Target
14
yang lain misalnya fibroblast pada interstitial jaringan ginjal bila reseptornya dirangsang oleh TGFβ1 akan memproduksi kolagen tipe-I dan akhirnya menyebabkan interstitial fibrosis.(Hills et al.,2011) Sel tubulus proksimal yang mengalami stresor (akibat absorbsi albumin yang terus-menerus dan berlebihan) akibatnya sel tubulus proksimal berubah fungsi seperti makrofag dan dapat mengeluarkan sitokin proinflamasi (TNF α, IL1 dan IL6) juga TGFβ1.( Purwanto,2011) Reactive oxygen species (ROS) merupakan famili dari molekul oksigen dan turunannya. Superoksid anion (O2-), rasial hidroksil (HO-), hydrogen peroxide (H2O2), Peroxynitirite (ONOO-), hypoclorus acid (HOCl), nitric oxide (NO) dan radikal lipid. Banyak ROS memiliki kelebihan elektron dan dikenal sebagai radikal bebas.(Chen et al.,2012)
Gambar 8. Podocyt (Modified from Endlich et al.2003) TGF-β1 diekspresikan oleh makrofag akan mengaktifkan reseptor membran target sel, antara lain sel mesangial, sel fibroblast dan sel otot polos. a. Sel mesangial sebagai target sel mempunyai reseptor pada membran sel yang
teraktivasi
oleh
TGF-β1,
akibatnya
sel
mesangial
akan
mengekspresikan ECM (termasuk kolagen tipe IV). Kolagen tipe IV akan menumpuk secara berlebihan terutama pada membran basal glomerulus dan mengakibatkan glomerulosklerosis.
15
b. Sel fibroblast sebagai target sel mempunyai reseptor pada membran sel yang
teraktivasi
oleh
TGF-β1,
akibatnya
sel
mesangial
akan
mengekspresikan ECM (termasuk kolagen tipe I) Kolagen tipe I akan menumpuk secara berlebihan pada interstisil, yang akan mengakibatkan terbentuknya interstisil fibrosis. c. Sel Otot polos sebagai target sel mempunyai reseptor pada membrane selnya yang teraktivasi oleh TGF-β1, akibatnya sel mesangial akan mengekspresikan ECM (termasuk kolagen tipe-I). Kolagen tipe-I akan menumpuk secara berlebihan pada dinding pembuluh darah yang akan mengakibatkan terbentuknya aterosklerosis pembuluh darah ( Purwanto B,2011) Beberapa growth factor yang penting tersebut dibawah ini banyak berperan pada pembentukan pembuluh darah, tetapi bila berlebihan akan menyebaban kerusakan pembuluh darah maupun jantung, misalnya TGF-β1 yang berlebihan akan menyebabkan remodelling pembuluh darah maupun miokard. Platelet-derived growth factor (PDGF) dapat merangsang proliferasi sel otot pembuluh darah berlebihan dan menyebabkan ketebalan stratum muskulare pembuluh darah sehingga lumen pembuluh darah menyempit, meningkatkan tahanan perifer dan akhirnya menyebabkan hipertensi. Disfungsi endothel akan menyebabkan berbagai proses antara lain : 1. Menghambat enzim NOS sehingga produksi NO berkurang mengakibat Bcl dan meningkatkan apoptosis dari endothel dan sel yang lain. 2. Mengaktifkan NFkB sehingga meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi dan akhirnya mempercepat progresifitas aterosklerosis. 3. Merangsang ET-1 reseptor sehingga meningkatkan ekpresi ICAM, dan akhirnnya meningkatkan pembentukan plak. 4. Merangsang endothel mengeluarkan VCAM yang besifat MCP-1 (menarik makrofag ke daerah lesi) sehingga makrofag akan meningkatkan ekspresi sitokin
proinflamasi
pada
progresifitas aterosklerosis.
akhirnya
mengakibatkan
peningkatan
16
5. Merangsang AT-1 reseptor sehingga mengakibatkan: rangsangan terhadap mitokondria untuk memproduksi ROS (bila ROS berlebihan akan menyebabkan apoptosis endothel meningkat). AT-1 reseptor juga merangsang Growth Factors (misalnya : TGF-β1, PDGF dan lain-lain) sehingga terjadi proliferasi sel otot polos pembuluh darah akhirnya menyebabkan ketebalan dinding pembuluh darah dan menjadi restenosis. (Purwanto B,2012) b. Mean Platelet Volume (MPV) Trombosit merupakan sel darah terkecil dengan diameter 1-3 mikrometer, berbentuk lempeng tidak berinti. Dilepaskan oleh megakariosit matang yang dihasilkan sumsum tulang dan bersirkulasi dalam darah 7-10 hari. Trombosit dapat melekat pada embuluh darah yang cedera dan berperan dalam homeostasis primer. Dalam proses homeostasis trombosit melindungi terjadinya perdarahan dengan mengkatalisis pembekuan darah yang stabil melalui kaskade koagulasi. Trombosit juga berfungsi melindungi diri dari infeksi dengan cara fagositosis antigen patogen. (Forbes et al., 2013)
Mean Platelet Volume (MPV)
menunjukkan ukuran trombosit yang merupakan parameter fungsi trombosit diantaranya dalam menilai agregasi trombosit, pembentukan tromboksan A2 dan platelete factor 4 serta sekresi tromboglobulin. Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan protrombotik dengan peningkatan aktivasi trombosit dan protein koagulasi serta berkurangnya aktivitas fibrinolitik. (Mohammad S. et al, 2012). Banyak faktor penitng yang bertanggungjawab terhadap aktivitas trombosit dan agen proinflamasi dan protrombotik. Seperti inflamasi sistemik, oksidatif stres, perubahan metabolism kalsium dan berkurangnya bioavalabilitas nitrit oksidase serta peningkatan fosforilasi protein selular. Telah banyak penelitian aktivitas trombosit pada diabetes. Beberapa penlitian menunjukkan nilai MPV meningkat pada kasus mikroangiopati, inflamasi, nefropati, aterosklerosis dan gagal jantung. Nilai MPV menurun pada keadaan gula darah terkontrol (HbA1c < 7%) (Armen. et al,2011).
17
c.
Hemodialisa Hemodialisa masih merupakan terapi pengganti ginjal utama disamping
peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia. Hemodialisa memerupakan proses pengubahan kmposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semipermiabel (membran dialisa) atau dengan kata lain, hemodialisa adalah suatu proses pembersihan darah mealui suatu membran yang semipermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut.dalam bentuk penggabunganproses difusi dan ultrafiltrasi dengan tujuan untuk eliminasi sisasisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membrane semipemiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Suhardjono,2014; Cohen, 2007). Panduan KDOQI (Kidney Disease Quality Initiative)
tahun 2006
merekomendasikan utk mempertimbangkan manfaat dan resiko memulai terapipengganti ginjal pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit/1,73m2 (PGK tahap 5). Tetapi bukti-bukti terbaru menyimpulkan bahwa inisiasi hemodialisa (HD) bila ada keaadaan beriut :1. Kelebihan cairan (Overload) ektraseluler atau hipertensi yang sulit dikendalikan. 2. Hiperkalemia refrakter terahadap restriksi diet dan terapi farmakologi. 3. Asidosi metabolik refrakter terhadap pemberian bikarbonat. 4. Hiperfosfatemia refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengkat fosfat, 5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi. 6.Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab yang jelas. 8. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual dan muntah atau adanya bukti lain gastroduodenitis. 9. Selain itu indikasi segera untuk dilakukan hemodialisa adalah adanya gangguan neurologis, pleuritis, perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.(Suharjono,2014; Meyer et al, 2007) Komplemen yang teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi yang disebut dengan bioinkompatibilitas. Dimana proses ini tidak terlalu kuat bila menggunakan membran sintetik dan membran selulosa yang telah dimodifikasi.
18
Beberapa membran sintetik mempunyai ukuran pori-pori yang besar yang memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi sehingga dapat memindahkan molekul besar seperti solute uremia dibandingkan dengan membran dengan ukuran pori yang kecil (Boure´ T et al., 2004). d. Superoxide Dismutase (SOD) 1. Senyawa SOD Oksigen merupakan elemen yang sangat penting untuk mahluk hidup terutama manusia. Selama digunakan dalam tubuh, oksigen akan menghasilkan bentuk yang sangat reaktif yang disebut “radikal bebas”. Jika mekanisme pertahanan tubuh tidak segera mengeluarkan radikal bebas, sel-sel tubuh akan terganggu oleh “stres oksidatif” yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Radikal bebas ini akan dirusak oleh sistem pertahanan alamiah tubuh yang disebut “antioksidan”.(Colman, 2006) Tubuh memiliki 3 ensim antioksidan intrasel atau antioksidan endogen yaitu superoxda dismutase (SOD), gluthathion peroxidase (GPx) dan katalase (Cat). SOD merupakan salah satu antioksidan endogen yang berfungsi mengkatalisis reaksi dismutase radikal bebas anion superoksida (O2-) menjadi hydrogen perosida dan molekul oksigen. Pada mamalia terdapat 3 bentuk : sitoplasmik CuZnSOD (SOD1), mitokondira MnSOD (SOD2), dan eksraseluler CuZnSOD (SOD3,ecSOD). Setiap SOD berasal dari isoform berasal dari gen yang berbeda tetapi mengkatalisis sama reaksi, memproduksi H2O2 dari O2-. Pembuktian yang substansial bahwa aktivitas SOD dalam sel darah perifer berkurang pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal diabetik dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes. Selain itu, studi terbaru telah melibatkan SOD (SOD1 dan SOD2) polimorfisme gen pada resiko diabetik nefropati. Selanjutnya, telah diteliti pada tikus transgenik gen dengan SOD (SOD1 atau SOD2) yang tahan kerusakan vaskular yang diakibatkan diabetes, termasuk nefropati. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan peran penting dari enzim SOD dalam patogenesis penyakit ginjal diabetik (Guntur 2011;Fujita 2010) Di antara enzim-enzim ini, SOD berperan pada tahap awal transformasi – yaitu melakukan dismutasi bentuk oksigen yang paling reaktif (radikal Super
19
Oksida) menjadi ion-ion oksigen yang kurang reaktif yang kemudian akan dihancurkan oleh kedua enzim yang lain. Transformasi ini disebut dismutasi, sehingga enzimnya disebut dismutase.
2. Farmakodinamik SOD a. Meningkatkan aktivitas enzim SOD yang beredar, katalase dan Gpx Aktivasi ini akan menginduksi pelepasan oksida nitrat (NO) dan H2O2, pada gilirannya mendorong aktivasi katalase dan Gpx, diikuti oleh aktivasi ekspresi INF-gamma dan IL-10 sitokin b. SOD mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik seperti kemokin, sitokin (TNF, interleukin, interferon) agar bekerja tidak berlebihan sehingga menyebabkan inflamasi kronik (Borras, 2004). c. Meningkatkan khususnya produksi tipe 1 helper limfosit T (Th1) serta ekspresi INF-gamma dan IL-4 dan untuk merangsang respon imunoglobulin G. d. Tampaknya meningkatkan status antioksidan sel dan melindungi mereka terhadap resiko mematikan akibat stres oksidatif.
3.
Keamanan dan dosis SOD SOD merupakan molekul besar yang, ketika secara langsung dikonsumsi,
tidak
mudah
diserap
oleh
tubuh.
Namun,
kemajuan
teknologi
telah
memungkinkan SOD (diambil dari jenis melon yang secara alami menghasilkan tingkat tinggi enzim) ke biopolimer yang diekstrak dari gandum biasa. Penelitian telah menunjukkan bahwa komponen gandum, yang dikenal sebagai gliadin, melindungi molekul SOD dari kerusakan akibat asam lambung dan enzim usus, sehingga memungkinkan molekul untuk memasuki aliran darah secara utuh. Pada beberapa uji klinik kontrol internasional yang telah dilakukan pada lebih dari 3000 pasien, tidak ada reaksi efek samping bermakna secara statistik. Banyak uji klinik SOD dengan indikasi khusus menggunakan dosis tinggi atau dalam pengobatan jangka panjang telah memperlihatkan bahwa obat SOD ditoleransi dengan sangat baik bila diberikan secara oral. Dan dari beberapa penelitian lain penggunaan SOD selama jangka waktu 3 bulan dengan dosis 2000 mg perhari belum dilaporkan adanya efek samping
20
B. Kerangka Pikir PENYAKIT GINJAL DIABETIK
AGEP AOPP Homosistein
Aktivasi Trombosit be
SOD
ROS
Densitas dan granul Makrofag NFKB MPV
TNF
TGFβ
PROLIFERASI SEL OTOT POLOS
ECM
KOLAGEN
ATEROSKLEROSIS
Penyakit ginjal diabetik adalah komplikasi dari diabetes mellitus yang pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
21
atau transplantasi ginjal. (Suwitra, 2014). Terdapat peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien penyakit ginjal diabetik dan dialisis Pada penyakit ginjal diabetik stadium 5 terdapat gangguan ekskresi urin, sehingga mengakibatkan akumulasi produk metabolisme. Terdapat ± 3000 molekul uremia yang meningkat adalah AGEP, AOPP dan Homocystein. Peningkatan ini akan meningkatkan NADPH-ox yang selanjutnya meningkatkan ROS. Stres oksidatif dan enzymatic yang terjadi pada sel neutrophil dan makrofag akan mensekresikan reactive oxygen metabolic (O2-, H2O2, HOCL,-OH) dan enzim hidrolitik selama tahap inflamasi. Sugiarto (2010) menyatakan dalam disertasinya superoksida dismutase beraksi dengan ion superoksida sebagai ROS dan mengubahnya menjadi hydrogen peroksida (H2O2). Ini di katabolis oleh enzim katalase dan gluthathione peroksidase menghasilkan molekul oksigen (O2) dan air (H2O). Berkurangnya produksi ROS diharapkan mempengaruhi makrofag yang menghasilkan NFKB menurun sitokin-sitokin proinflamasi dan growth factor seperti TGFβ. Meningkatnya aktivitas trombosit diikuti dengan meningkatnya granul dan densitas sehingga menyebabkan tingginya MPV. Ini akan berpotensi membentuk thrombosis yang tinggi. Peningkatan nilai MPV dihubungkan aherosclerosis.(Domagoj et al.,2013) Penyakit Ginjal Kronis menginduksi kondisi stres oksidatif yang dapat dideteksi jauh sebelum menjalani terapi hemodialisis dan memburuk seiring dengan progresi gagal ginjal Pasien uremia, terutama mereka yang menjalani dialisis teratur, berada pada risiko tinggi untuk kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas (Nanayakkara, 2010). Antioksidan dapat diklasifikasi menjadi 2 (dua) kelompok: Antioksidan yang berasal dari makanan (eksogen): makanan tertentu yang kaya akan antioksidan seperti vitamin (Vitamin C, Vitamin E dan Vitamin A atau prekursornya beta-carotene), mineral (Selenium, Zinc, Copper dan Manganese) dan substansi lain termasuk polifenol yang ditemukan dalam jeruk dan teh hijau. Antioksidan dalam bentuk enzim yang dibentuk oleh tubuh (endogen): tiga enzim utama, yaitu: Super Oxide Dismutase (SOD), Catalase dan Gluthatione Peroxidase.(Kifier D,2006)
22
Tingkat seluler ROS dikendalikan oleh enzim antioksidan dan antioksidan molekul kecil. Enzim utama antioksidan, dismutases superoxide (sods), termasuk tembaga-seng superoksida dismutase (Cu / ZnSOD, SOD1), mangan superoksida dismutase (MnSOD, SOD2) dan extracellular superoksida dismutase (SOD EC-, SOD3), semua memainkan peran kritis dalam scavenger O2. Penururnan aktivitas SOD yang signifikan, pada gilirannya menyebabkan penurunan NO tetapi meningkatkan konsentrasi peroxynitrite. Produksi yang berlebihan dari hasil anion superoksida dalam formasi ROS termasuk peroxynitrite dan radikal hidroksil, menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan lipid, dan injuri sel vaskular. Jadi, superoksida overproduksi dianggap sebagai patogen utama pada komplikasi vaksular diabetik. (Agrawal,N .et al.2009)
C. Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh pemberian SOD terhadap kadar TGFβ1 pada pasien penyakit ginjal diabetes stadium V yang menjalani hemodialisis. 2. Ada pengaruh pemberian SOD terhadap Mean Platelete Volume (MPV) pada pasien penyakit ginjal diabetes stadium V yang menjalani haemodilisa. 3. Ada korelasi antara kadar TGFβ1 dan Mean Platelete Volume (MPV) setelah pemberian SOD oral pada pasien penyakit ginjal diabetes stadium V yang menjalani hemodilisa.