2 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
GAGASAN
MANAJEMEN KONFLIK SOSIAL SEBAGAI PRAKONDISI DALAM PELAYANAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT I Wayan Rai1 1
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Udayana No. 11 Singaraja 81116 Bali
Ringkasan Eksekutif Salah satu kunci dalam melaksanakan pelayanan Ipteks bagi masyarakat adalah bagaimana menyiapkan kondisi masyarakat sehingga mereka siap untuk memberdayakan dirinya dan terjalinnya komunikasi yang efektif antara pengabdi dengan masyarakat sasaran. Terlebih-lebih jika layanan tersebut dilaksanakan pada masyarakat pedesaan di Bali, pemahaman tentang kondisi sosial kemasyarakatan khususnya konflik yang sedang terjadi maupun potensi konflik yang terpendam di tengah-tengah masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pemahaman dan keterampilan dalam manajemen konflik sosial perlu dimiliki para akademisi yang akan mengabdikan keilmuannya di masyarakat. Gagasan ini merupakan akumulasi dari pengalaman lapangan ‘ngayah’ yang dilakoni penulis selama beberapa dekade dalam turut berkontribusi menangani berbagai kasus sosial kemasyarakatan khususnya konflik sosial di wilayah Kabupaten Buleleng. Tulisan akan memaparkan bagaimana konflik sosial tersebut ada di masyarakat desa-desa di Bali, sumber-sumber konflik dan cara-cara penanganan konflik berdasarkan kearifan local Bali. Gagasan ini diharapkan bermanfaat bagi para akademisi yang akan memulai melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sehingga tujuan dari kegiatan pengabdian dapat terwujud, tidak saja mensejahterakan tetapi juga menentramkan masyarakat. Kata-kata kunci: konflik sosial, prakondisi, masyarakat Executive Summary One key for performaning social services on science, technology and arts (STA) is how to preparing the society members in order to be ready for empowering their selves as well as to gain effective communication among service conductors and purposed society members. Moreover, when it is performed on the villager societies in Bali, the understanding on social condition especially either on going social conflict or potency of complict among society members takes very important
3 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
role. Thus, understanding and skills in managing social conflict are important to be achieved by academicians if they want to conduct social services on STA. The current idea has come from the writer’s experiences on conducting services of solving social cases especially social conflicts for a couple of decades in Buleleng District area. The writing is purposed to discuss how social conflicts happened among society members in villages in Bali, conflict sourcers and how to solve those conflicts based on Balinese local wisdoms. The written idea is to give academicians who want to conduct social services; hence the purposes of the services can be reached, not only for enhancing social welfare but also for peacefulness of the society from conflict. Key words: social conflict, prior conditioning, society A. PENDAHULUAN Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang merupakan salah satu dari tri dharma perguruan tinggi yang wajib dilaksanakan oleh para akademisi disinyalir banyak pihak jarang atau sulit dilakukan oleh para akademisi dengan berbagai macam alas an. Koin dan point yang relative kecil dibandingkan dengan pelaksanaan dua dharma perguruan tinggi lainnya, bukanlah alasan yang paling utama. Banyak akademisi jarang mengabdikan ilmunya secara langsung ke masyarakat atau memberikan layanan IPTEKS bagi masyarakat karena mereka takut gagal mencapai dampak yang menyejahterakan dan menentramkan masyarakat. Kekhwatiran itu masuk akal, karena banyak akademisi tidak memahami kondisi sosial dan potensipotensi konflik yang ada di masyarakat sasaran. Demikian juga halnya dengan para akademisi di Bali, sehingga kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat masih sangat minim dilakukan, mereka cendrung untuk lebih banyak melakukan pengajaran dan penelitian. Di sisi lain, perlakuan yang dikenai kepada masyarakat sasaran, termasuk layanan IPTEKS bagi masyarakat, biasanya masyarakat akan memberikan respon sesuai dengan kebutuhan. Namun jika di masyarakat telah terdapat bibit-bibit konflik atau sedang terjadi konflik di antara mereka, tindakan yang kita berikan ke mereka mungkin akan direspon sebagai pemecahan masalah, atau sebagai pemicu timbulnya permasalahan baru atau konflik baru atau sebagai penambahrunyaman masalah atau konflik yang ada tersebut. Hal inilah yang menjadikan banyak akademisi tidak percaya diri untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Tulisan ini diawali dengan pemaparan eksistensi konflik yang ada di masyarakat Bali, terutama di desa-desa, dilanjutkan dengan ulasan sumber-sumber konflik, dan manajemen konflik. B. EKSISTENSI KONFLIK SOSIAL DI BALI Pada dasarnya, masyarakat Bali yang sebagaian besar memeluk agama Hindu tidak menyukai konflik kekerasan, karena berlawanan dengan kedamaian yang diidealkan ajaran agama mereka. Masyarakat Bali memiliki kearifan lokal seperti konsep tri hita karana; semboyan desa-kala-patra; linggih manut sasana, sasana
4 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
manut linggih; juga doktrin swadarma. Aneka bentuk kearifan lokal itu berfungsi sebagai pedoman bertindak agar masyarakat menghindari konflik, dan berusaha mewujudkan keharmonisan dengan berperilaku sesuai status dan perannya dalam suatu sistem sosial{1,2}. Namun, keharmonisan adalah sesuatu yang menjadi atau berproses. Dalam proses tersebut sering terjadi perbedaan kepentingan, sehingga tak jarang mengakibatkan konflik(3). Masyarakat Bali, khususnya masyarakat pedesaan yang pelembagaannya disebut desa adapt atau desa pekraman, usaha-usaha penciptaan hubungan harmonis tidak saja berdimensi internal (antarwarga desa), tetapi juga berdimensi eksternal (antardesa). Hubungan berdimensi internal dilandasai konsep tri hita karana, sedangkan hubungan eksternal sering dilandasi kepentingan ekonomis. Bahkan hubungan antradesa ada juga berdimensi religius berwujud kegiatan pemujaan pada pura yang sama, tidak hanya sebagai media menghubungkan diri dengan suatu kekuatan adikodrati, tapi juga memperkuat solidaritas sosial antardesa pakraman (4). Hubungan antardesa pekraman di Bali mengakui eksistensi masing-masing desa pakraman dan pluralitasnya berdasarkan jargon budaya desa-kala-patra (ruang dan waktu yang berbeda). Variasi kebudayaan yang berkembang pada setiap desa pakraman merupakan konsekuensi dari pemberlakuan asas desa-kala-patra(5). Apabila terdapat masalah yang menimbulkan konflik, baik berdimensi internal maupun eksternal, mereka memiliki mekanisme pemecahan masalah melalui lembaga musyawarah yang dilakukan oleh krama desa pakraman (dewan desa) lewat paruman (rapat desa pakraman), diselenggarakan di tempat khusus yang disebut bale banjar. Walaupun Bali termasuk ”republik-republik kecilnya” yang disebut desa pekraman memiliki sistem sosiokultural yang memadai untuk menjamin kedamaian dan keharmonisan antarwarga, namun dalam kenyataannya, masih saja ada konflik. Bahkan, saat mereka merayakan Hari Raya Nyepi pun, yang seharusnya mereka mampu menahan rasa marah sebagaimana diwajibkan dalam brata penyepian, mereka justru berkonflik(3). Selama kurun 1997-2011, konflik pada Hari Raya Nyepi cenderung meningkat, baik dari segi kuantitas maupun intensitasnya. Konflik yang terjadi lebih banyak berbentuk perkelahian massal disertai kekerasan. Akar masalah yang memicu terjadinya konflik social antarwarga baik internal desa maupun antardesa adalah endam pribadi/kelompok, sengketa tanah milik/pelaba pura, ayahan desa, wangsa, kuburan, batas wilayah desa adapt, politik, perkelahian antarpemuda, dan lain sebaginya. Kenyataan tentang bentrokan massal yang terjadi di Bali yang menjadi liputan media cetak hampir tiap hari terjadi dengan berbagai pemicu, dengan akar masalah yang bervariasi dan jarang bersifat tunggal(5), yakni dendam pribadi maupun kelompok, masalah adat dan agama, etnisitas, dan masalah politik lokal maupun nasional. Dalam perspektif teori sosial, konflik sosial acap kali dikemukakan sebagai akibat adanya perubahan sosial yang merupakan bagian integral dari kehidupan suatu masyarakat. Hal ini berarti, tidak ada masyarakat yang terbebas dari perubahan sosial, hanya intensitas, laju dan kompleksitasanya yang berbeda. Hal ini didukung oleh kenyataan dewasa ini bahwa manusia hidup pada kampung global yang mengakselerasi perubahan sosial dengan kompleksitasnya, misalnya kebudayaan postmodern tidak terhindarkan langsung masuk ke kamar tamu lewat TV(6) mengobrol dengan anggota keluarga dari anak-anak hingga kakek-nenek. Perubahan
5 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
sosial yang terjadi menurut Howard(7) yakni dari masyarakat komunitarian ke masyarakat individualisme, atau menurut Popper (8), dari masyarakat tertutup ke masyarakat terbuka. Kondisi ini memunculkan berbagai masalah antara lain konflik sosial. Ibarat mata uang logam, perubahan sosial dan konflik sosial tidak terhindarkan dalam kehidupan masyarakat (6). Perubahan sosial yang dapat menimbulkan konflik sosial telah lama disampaikan oleh Dahrendorf(9), yang menyatakan bahwa seluruh kreativitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompoknya dan masyarakatnya, menyebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, individu dan individu serta antara emosi dan emosi di dalam diri individu. Dengan demikian, pada saat terjadi perubahan sosial, bisa muncul konflik sosial, karena sikap pro kontra terhadap perubahan(6). Perubahan sosial pada masyarakat Bali mengakibatkan masyarakat berubah dari masyarakat komunitarian ke masyarakat individualisme. Menurut Sanderson(10) aspek-aspek perubahan ini tercakup dalam sistem sosiobudaya, yang di dalamnya memuat tiga komponen dasar, yakni superstruktur ideologi, struktur sosial, dan infrastruktur material. Dengan demikian, perubahan sosial yang luas dan kompleks yang menyertai peralihan suatu masyarakat Bali memberikan kecendrungan konflik sosial di Bali akan selalu eksis karena kecendrungan global yang sangat dasyat juga sedang mempengaruhi Bali yakni adanya trasformasi sosial dari masyarakat komunitarian ke masyarakat individualisme, yang mencakup unsur-unsur dasar sistem sosiobudaya, baik pada aspek superstruktur ideologi, struktur sosial maupun infrastruktur material. Eksisitensi konflik sosial di Bali bukan masalah baru pada masyarakat Bali, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Sembilan abad lampau (1148 M), Raja Jaya Sakti telah mencatat dalam sebuah prasasti mengenai perseteruan antara Desa Besan dan Desa Dahwan di Klungkung. Raja Batara Sri Mahaguru, pada tahun 1264 Saka atau 1342 M, setahun sebelum Bali ditundukkan Majapahit, juga mencatat dalam prasasti mengenai terjadinya konflik horisontal sesama Bali Kuna di Buleleng, Desa Tumpuhyang menyerang tetangganya, Desa Cempaga disertai aksi kekerasan, perampokan, pembunuhan dan pembantaian(3,4). Pada tahun 1247 Saka (1325 M), terjadi pula konflik antara warga Desa Baturaya dan Desa Tumbu di Karangasem. Warga Desa Baturaya menyerang, merampas, membakar, membunuh, lalu menguasai Desa Tumbu(11. Konflik berdimensi politik, sosial, ekonomi, keagamaan, dan kebudayaan juga meliputi Bali pada pertengahan 1960-an(12). Konflik memuncak sekitar 1965-1966, dengan terbunuhnya sekitar 90 000 rakyat Bali(13). C. SUMBER-SUMBER KONFLIK SOSIAL Sumber-sumber konflik sosial di Bali dapat dirunut dari beberapa studi kesejarahan konflik-konflik kemasyarakatan di Bali. Kajian Atmadja(14), yang membahas konflik di Buleleng pada 1925, yakni antara kaum jaba melawan kaum tri wangsa (brahmana, ksatria, dan waisya) menyimpulkan bahwa sumber konflik adalah keinginan kaum jaba melakukan perubahan sosial berdimensi kultural maupun struktural sehingga melahirkan suatu tatanan masyarakat Bali bercorak egaliter. Studi tentang konflik masyarakat Bali tahun 1945 dilaporkan oleh Widja(15) yaitu konflik ini melibatkan kaum pemuda melawan kaum bangsawan, dimana sumber konflik adalah keinginan kaum pemuda menegakkan revolusi dengan membentuk suatu negara merdeka dan egaliter. Jika dicermati, sumber konflik pada
6 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
1945 itu memiliki persamaan dengan yang terjadi pada 1925, yakni terkait masalah ketimpangan struktural (sistem kasta). Namun, di balik persamaan tersebut ada aspek penting yang khas, yakni perebutan sumber daya kekuasaan. Dalam arti, baik golongan reaksioner maupun revolusioner sama-sama ingin menegakkan kekuasaan, dengan sistem pemerintahan yang berbeda, yang satu menginginkan sistem kerajaan, sedangkan lainnya sistem republik yang berasaskan demokrasi. Konflik ini meluas di Bali karena pihak yang berkonflik berpegang pada ideologi patron-klien (bapak-anak buah atau kawula-gusti). Kaum bangsawan sebagai elite politik tradisional mencari dukungan para petani di pedesaan (kebanyakan adalah petani penyakap-nya) sehingga konflik tidak hanya terjadi pada tataran elite, tapi juga pada tataran massa. Peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965 juga menyebabkan konflik sosial yang sangat besar di Bali dengan sumber konflik yang kompleks seperti yang ditulis Eklof(13). Eklof menyatakan sumber konflik paling penting adalah kesenjangan ekonomi antara golongan kaya melawan golongan miskin. Kesenjangan ekonomi maupun perebutan sumber daya ekonomi ini juga terlihat dari aspek afiliasi politik. Masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi atau golongan kaya umumnya memasuki Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebaliknya masyarakat yang berstatus ekonomi rendah atau golongan miskin, umumnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Afiliasi politik ini kemudian bercampur dengan dendam sejarah antara lain pengalaman konflik pada zaman revolusi fisik, yakni kaum reaksioner melawan kaum revolusioner, atau pengikut republik melawan pengikut NICA. Eklof menyimpulkan, konflik yang terjadi di masyarakat Bali acapkali tidak selamanya bersumber pada apa yang mereka perebutkan saat ini, tapi sering pula terkait dendam sejarah. Begitu pula konflik yang terjadi, pada mulanya bersifat individual, namun karena kepandaian mereka menghidupkan solidaritas atas ikatan-ikatan baku, maka konflik berubah menjadi massal. Tim Ahli Bupati Buleleng(16) un secara khusus mengkaji sumber-sumber konflik pada desa-desa pakraman di Kabupaten Buleleng. Kesimpulannya, sumber konflik pada desa-desa pakraman di Kabupaten Buleleng adalah masalah adat dan agama (paham tradisional melawan paham pembaharuan, atau kelompok ritualisme melawan kelompok tatwaisme); perebutan sumber daya ekonomi (tanah); sumber daya politik (jabatan) kepala desa maupun bendesa adat; etnis Bali melawan etnis non-Bali; dan perbedaan anutan partai politik (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P melawan Partai Golkar). Begitu pula Agung (2004) secara khusus mengkaji konflik Banjar, yakni konflik berdarah yang melibatkan Desa Banjar, Sidatapa, Pedawa, dan Cempaga. Disimpulkan, konflik Banjar lebih banyak bernuansa politik, yakni perbedaan anutan partai politik antar-desa tersebut, yakni PDI-Perjuangan melawan Partai Golkar. Ada delapan sumber konflik pada desa-desa pakraman multietnis di Buleleng, yakni kesenjangan informasi, perebutan sumber daya, perbedaan identitas, perbedaan posisi dalam struktur, komposisi penduduk, perbedaan anutan nilai-nilai hidup, relasi yang menimbulkan dendam sejarah, dan perbedaan anutan partai politik(5). Perebutan sumber daya, yakni kekayaan, kekuasaan dan prestise, merupakan sumber konflik dalam masyarakat. Kekayaan bisa disejajarkan dengan sumber daya ekonomi; kekuasaan bisa disamakan dengan sumber daya politik; sedangkan prestise berkaitan perbedaan posisi dalam struktur sosial. Namun, sumber konflik tidak terbatas pada perebutan kekayaan, kekuasaan,
7 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
dan prestise, tapi juga bisa berasal dari unsur superstruktur ideologi, struktur sosial maupun infrastruktur material. Sumber-sumber konflik itu bisa saling berkaitan atau yang satu mendahului lainnya. Sumber konflik tidak secara otomatis menimbulkan konflik, sepanjang tidak muncul faktor pemicunya. Berdasarkan sumber-sumbernya, konflik sosial dapat berupa konflik terbuka (manifes), yakni konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan konflik laten, dimana konflik laten baru bisa melahirkan konflik terbuka jika usaha mereka menyalurkan sumber-sumber konflik melalui jalur formal maupun informal mengalami kebuntuan sehingga imbul jarak sosial yang makin lebar disertai makin kuatnya kecurigaan, kemarahan, dan kebencian mereka terhadap pihak lainnya (17). Konflik laten dapat menimbulkan apa yang disebut akumulasi kebencian. Jika ada trigerring factor (faktor pemicu), maka akumulasi kebencian dengan mudah bisa melahirkan konflik terbuka(18). Konflik terbuka bisa berwujud kekerasan yang di dalamnya meliputi tindakan, perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh(17). D. MANAJEMEN KONFLIK Menisbikan konflik dalam masyarakat tidaklah mungkin, oleh karena itu diperlukan strategi transformasi dan manajemen konflik agar perubahan sosial dan konflik berjalan secara terkendali, sehingga masyarakat bisa hidup secara sehat (6). Konflik harus dikelola, tidak semata-mata agar konflik berdampak yang sekecilkecilnya, tetapi yang lebih penting adalah mengubah konflik ke arah suasana kedamaian lewat pemecahan konflik secara demokratis, disertai dengan meniadakan sumber-sumber konflik maupun pemberdayaan secara kultural dan struktural. Dengan cara ini konflik bisa dikendalikan yang sekaligus berarti cita-cita mewujudkan kedamaian yang berkelanggengan bisa diwujudkan. Pengelolaan konflik sebagaimana dikemukakan Pruitt dan Rubin(19) bisa ditempuh oleh pihakpihak yang berkonflik, yakni mengabaikan konflik, dan mengatasi konflik. Tindakan mengabaikan konflik bisa berwujud menarik diri (withdrawing) yakni memilih meninggalkan situasi konflik secara fisik dan psikologis, atau melakukan inaction, yakni diam tidak melakukan apa-apa. Dengan cara-cara itu, konflik memang sementara dapat diatasi, namun karena sumber konflik masih ada dan belum terpecahkan, yang kemungkinan akan terjadi lagi konflik susulan bahkan lebih besar. Untuk itu, akar masalah harus dipecahkan dengan roblem solving yaitu masingmasing yang berkonflik melibatkan beberapa usaha yang konsisten dan koheren untuk mengatasi konflik(19). Transformasi konflik termasuk ke dalam ruang lingkup mengatasi konflik, mengingat bahwa transformasi konflik terkait dengan strategi untuk mengatasi dan atau mengubah konflik menjadi kedamaian yang langgeng. Salah satu strategi transformasi konflik adalah mediasi. Mediasi adalah suatu proses di mana para pihak yang bersengketa menunjuk pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka dalam mendiskusikan penyelesaian dan mencoba menggugah para pihak untuk menegosiasikan suatu penyelesaian dari sengketa itu. Tujuan yang utama adalah tercapainya kompromi dalam menyelesaikan suatu persengketaan. Prosesnya bersifat pribadi, rahasia (tidak terekspos keluar) dan kooperatif. Selaku pihak ketiga yang
8 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
tidak memihak, mediator membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan konflik dengan mendekatkan atau mempertemukan kepentingankepentingan yang berbeda dari para pihak yang bersengketa tersebut. Pihak ketiga atau mediator tidak bisa mengeluarkan keputusan yang mengikat, melainkan lebih menekankan pada usaha memberdayakan pihak-pihak yang berkonflik untuk menemukan resolusi konflik yang adil dengan cara mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasikan kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaanperbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat yang dalam konteks solusi menang-menang (win-win solution). Di Bali, desa-desa pakraman tidak saja menggunakan strategi mediasi dalam menanggulangi konflik tetapi juga negosiasi. Jika suatu konflik tidak bisa diselesaikan lewat negosiasi atau musyawarah, terutama konflik berdimensi internal yang melibatkan warga melawan desa pakraman, maka seperti dikemukakan Windia(20) akan berakhir dengan pengenaan sanksi oleh masyarakat desa pakraman kepada seseorang atau kelompok warga masyarakat yang bersangkutan. Sanksi yang paling ringan berupa peringatan, sampai yang berat berupa kesepekang (dikucilkan), dan diberhentikan dari keanggotaan desa pakraman. Sanksi kesepekang biasanya dijatuhkan oleh desa pakraman karena warga tersebut dianggap membangkang terhadap kesepakatan bersama yang telah dituangkan dalam awig-awig (aturan) desa pakraman. Sebagai contoh adalah bagaimana konflik Gamongan(6) dikelola. Konflik Gamogan adalah pertikaian antara warga Desa Gamongan dengan warga klan Pasek se-Kecamatan Abang Karangasem dalam memperebutkan Pura Lempuyang Madya.Warga Gamongan dan Pasek se-Kecamatan Abang berusaha menanggulangi konflik mereka dengan mengembangkan pengelolaan konflik. Penanganan konflik bisa dilakukan melalui negosiasi dan mediasi untuk mencapai rekonsiliasi. Negosiasi bisa dilakukan secara langsung atau melalui negosiator. Begitu pula mediasi tidak bisa dilepaskan dari peran mediator. Namun, siapa pun yang berperan sebagai negosiator atau mediator, mereka harus bisa diterima oleh kedua belah pihak, dan mampu memosisikan dirinya sebagai simbol perdamaian dan mampu mencapai rekonsiliasi antarkelompok yang bertikai. Peran pemerintah daerah dan instansi terkait, lembaga legislatif (DPRD), dan lembaga yudikatif (kehakiman dan kejaksaan serta lembaga kepolisian) sangat penting untuk turut serta terlibat aktif dalam menstransformasikan dan mengelola konflik tersebut. Demikian juga lembaga nonpemerintah juga berperan penting yakni organisasi keagamaan, Parisada Hindu Dharma (PHDI), dan organisasi adat Majelis Madya Desa Pakraman (berkedudukan di kabupaten/kota), serta Majelis Utama Desa Pakraman (berkedudukan di provinsi). Dalam mewujudkan masyarakat yang shanti, PHDI bertumpu pada penegakan agama Hindu, sedangkan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) bertumpu pada penegakan adat istiadat Bali. Dalam menjalankan tugasnya, kedua lembaga tersebut sering bekerja sama secara fungsional, yang dapat berperan sebagai mediator maupun negosiator. Bagan manajemen konflik (Gambar 1) dapat digunakan dalam mengkondisikan suatu kelompok masyarakat atau desa yang akan dijadikan sasaran pemberdayaan masyarakat. Pengabdi yang akan terjun ke masyarakat seyogyanya memahami (1) keberadaan objek konflik yang telah terjadi di masa lampau, sedang
9 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
terjadi, dan bahkan potensi-potensi konflik yang akan terjadi; (2) pihak-pihak yang telah dan sedang bertikai, dinamika konflik yang telah dan sedang terjadi (laten atau manifest) dan faktor-faktor atau sumber-sumber yang dapat memicu konflik laten menjadi manifest; (4) pihak-pihak yang dapat dilibatkan baik sebagai mediator maupun negosiator sehingga konflik dapat direkonsiliasikan dengan damai; dan (5) kondisi-kondisi pasca konflik. OBJEK KONFLIK Masalah X, Y, Z Warga/kelompok warga A yang berkonflik
Warga/kelompok warga B yang berkonflik DINAMIKA KONFLIK
Laten Manifes
SUMBER-SUMBER KONFLIK
Kesenjangan Informasi Perebutan Sumber Daya Perbedaan Identitas Struktur Sosial Komposisi Penduduk Nilai-nilai Hidup Relasi Perbedaan Afiliasi Politik
LEMBAGA NONPEMERINTAH
PENANGANAN KONFLIK
LEMBAGAPEMERINTAH
NONYURIDIS Negosiasi Mediasi Rekonsiliasi
EKSEKUTIF/LEGISLATIF
PHDI MMDP
KONDISI PASCA-KONFLIK
Ketidakpuasan Konflik Berlanjut
Gambar 1. Bagan Manajemen Konflik
Pemda/Instansi Terkait DPRD
10 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
E. KESIMPULAN Pemahaman keberadaan konflik laten dan manifes, sumber-sumbernya serta strategi penanggulangannya merupakan hal yang sangat penting dalam preconditioning masyarakat sasaran dalam pelaksanaan pelayanan IPTEKS bagi masyarakat yang dilakukan oleh para akdemisi perguruan tinggi. Hal ini sangat penting karena tujuan utama pengabdian kepada masyarakat adalah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi juga ketentraman. F. DAFTAR PUSTAKA (1)
Geerzt, C. 1984. Tihingan Sebuah Desa di Bali Dalam Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa di Indonesia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Halaman 246-278.
(2)
Magnis-Suseno. F., 1999. Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
(3)
Rai, W. 2005. Konflik Perebutan Sumberdaya Ekonomi Berlegitimasi Religius (Studi Kasus di Desa Gamongan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem). (Disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Erlangga).
(4)
Atmaja N B, 1998. Memudarnya Demokrasi Desa: Pengelolaan Tanah Adat, Konversi dan Implikasi Sosial dan Politik di Desa Adat Julah, Buleleng, Bali. Disertasi, pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
(5)
Atmadja, N.B. 2003. Manajemen Konflik pada Desa Adat Multietnik di Buleleng, Bali. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.
(6)
Rai, W. 2007. Perubahan Sosial, Kebudayaan Nungkalik dan Transformasi Konflik. Orasi Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Sosiologi Pada Fakultas Olah Raga Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha. Disampaikan Pada Sidang Terbuka Senat Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, 28 Desember 2007
(7)
Howard, R.E. 2000. HAM Penjelajahan Dalih Reralivisme Budaya. (Penerjemah Nugraha Katjasungkawa). Jakarta: Grafiti.
(8)
Popper, K.R. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. (Penerjemah Uzair Fauzan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
(9)
Dahrendorf, 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford, University Press.
(10) Sanderson, S.K. 1993. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Teori terhadap Realitas Sosial. (Farid Wajidi dan S. Menno Penerjemah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. (11) Sumarta dan Westa, 2003. Sudahi Kelahi Sampai di Sini. Majalah Sarad, Edisi No 44 Desember 2003. Hal:24:30.
11 I Wayan Rai, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(1), 2011, 2–11
(12) Robertson R., 1986. Sosiologi Agama (Penerjemah, Paul Rosyadi), Aksara Persada, Yogyakarta. (13) Eklof, S., 2003. Pembunuhan-Pembunuhan di Bali 1965-1966: Pendekatan Historis dan Budaya. Dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds). Orde Zonder Order Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998, Retno Suffatni (Ed). Imam Aziz Penerjemah. LkiS: Yogyakarta. (14) Atmadja, N. B. 2001. Reformasi Ke Arah Kemajuan Yang Sempurna dan Holistik, Gagasan Perkumpulan Surya Kanta Tentang Bali di Masa Depan, Paramita, Surabaya. (15) Widja, I. G., 1991. Gerakan-Gerakan Reaksioner Dalam Revolusi Fisik Di Bali Suatu Kajian Sosio-Historis, (Laporan Penelitian). Univresitas Udayana, Denpasar (16) Atmaja N B, dkk, (Tim Peneliti Kelompok Ahli Bupati Buleleng), 2000. Indentifikasi Potensi Konflik dan Sumber Kerawanan Desa Adat di Kabupaten Buleleng (Studi Pendahuluan Pemberdayaan Desa Adat Menghadapi Berbagai Potensi Konflik Masyarakat), Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng, Singaraja. (17) Fisher, et.al., 2001. Mengelola Konflik Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak, Kartikasari, dkk. Tim Alih Bahasa dan Penyunting. SMK Grafika Desa Putra, Jakarta. (18) Smelser, Neil J., 1968. Essays in Sociological Explanation, Englewood Cliffs, Prentice Hall. (19) Pruitt, D.G dan J.Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. (Penerjemah H.P. Sutjipto dan S.M. Sutjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar (20) Windia, I.W., 2000. Kesepekang Di Tengah-Tengah Transformasi Budaya. Studi Kasus di Desa Adat Tengkulak Kaja, Gianyar, Bali (Tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Kajian Budaya Program Pasasarjana) Universitas Udayana, Denpasar.