ISSN:1907-0144
KRISIS SOSIAL BERDAMPAK KONFLIK KEAGAMAAN Oleh: I Wayan Karya
Abstrak Dalam konteks masyarakat Indonesia, Furnivall (Nasikun, 1995: 29) sebagai gambaran masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam suatu tatanan politik. Dani konsep tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dengan pluralitas yang dimiliki telah menjadi wacana kulturalnya bukan hanya pada masa Hindia Belanda dan justru lebih banyak mengandung muatan ekonomi dan politik, tetapi jauh sebelum kemajemukan telah menjadi bagian masyarakat Indonesia sejak awal kehadirannya sehingga memperlihatkan ciri yang unik secara horizontal dan vertikal, (Nasikun, 1995: 28), struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik secara horizontal ditandai adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaanperbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan lapisan atas dan bawah yang cukup tajam. Koentjaraningrat (1984: 345-370), pluralisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia secara positif telah memperkaya khasanah kultural bangsa Indonesia yang menjadi kebanggaan nasional dalam kerangka "Nasionalisme Bangsa" Namun disisi lain pluralisme menjadi potensi sosial yang meredam berbagai sumber konflik karena adanya potensi sosial kearah disintegrasi sangatlah wajar apabila pluralisme menjadi persoalan pelik dalam integrasi nasional di Indonesia. Kehidupan agama di Indonesia nampaknya menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya banyak agama, kemajemukan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia dituntut untuk mampu mengelola kemajemukan. Adapun relita sosial yang terjadi belakangan ini sebagai umat yang menganut suatu agama sesungguhnya kita merasa malu. Mengapa kita merasa malu? karena dimuka bumi ini tidak penah bersih dari permusuhan antara manusia dengan manusia karena alasan perbedaan agama yang dianutnya. Padahal semua umat beragama mengakui ajaran agamanya sangat suci, sangat manusiawi dan mengajarkan kasih sayang. Manusia meyakini apapun yang ada di dunia ciptaan Tuhan, karena Tuhan itu Esa dan Maha Kuasa. Lalu mengapa pertentangan sesama manusia karena alasan perbedaan tidak pernah sirna, upaya apa yang sebaiknya dilakukan. Kata Kunci: Krisis Sosial, Konflik Keagamaan.
Penulis dosen Jurus Pendidikan Agama Hindu STAHN-TP Palangkaraya.
Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
1
I.
Pendahuluan Globalisasi dan transformasi masa kini menghadapkan umat beragama kepada
serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar atau antar agama. Masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis tentang yang harus ditartggapi oleh uinat beragama yang dapat diklasifikasikan
rancu
dan
merisaukan.
Tampilnya
sekian
banyak
agama
baru,
berkonsenkwensi pada munculnya serangkaian pertanyaan. Misalnya apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja? Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka mana diantara agama - agama ini yang paling benar, ataukah sesat semua? Pertanyaan tersebut sulit dijawab dengan argumentasi yang menyakinkan, maka pertanyaan yang lebih mudah adalah, mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang ada? Dan kalau demikian halnya, bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan yang harmonis antar agama? atau lebih spesifik lagi, bagaimana seharusnya agama yang sama dianut clan dipercaya keberannya dapat berinteraksi dengan agama lain? cara dan pendekatan apa yang harus saya tempuh, konfrontatif atau persuasifkah? Pada akhirnya serangkaian pertanyaan ini ditutup dengan suatu renungan besar yang merisaukan: mengapa aku memeluk suatu agama dan tidak ikut agama lain? pertanyaan tersebut cukup vital, namun mengundang kontroversi serius. Ini disebabkan setiap agama mengajarkan bahwa doktrinnyalah yang unik, eksklusif, superior dan yang paling benar. Fenomena ini berlanjut hingga masa kini. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks, Katolik darislam saling membunuh. Di Irlandia Utara umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim (umat Yahudi, Kristen darislam) saling menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan senjata adalah alat komunikasi antar umat Kristen darislam. Di Kashmir penganut agama Hindu dan Nabi Muhamad terus mengalami ketegangan. Di Sri Lanka, kaum Budha dan kelompo Hindu bercakar-cakaran. Di ArmeniaAzerbaijan, umat Kristen darislam saling berlomba untuk berkuasa secara destruktif. Dan di Indonesia Ambon dan Poso dalam beberapa waktu umat Kristen darislam saling bertikai. Kesemuan ini terjadi dihadapan mata kita sernua. Dan yang paling menyayat hati adalah agama dijadikan elemen utama sebagai mesin penghancur manusia, suatu kenyataan yang sangat bertentangan dengan ajaran semua agama. Banyak solusi yang ditawarkan oleh kalangan yang peduli terhadap kerukunan umat beragama guna memecahkan persoalan. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjukan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di mana Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
2
mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor, di sekolah dan di pasar. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan. Dengan kata lain pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan umat beragama. Kedua, pluralisme harus di bedakan dengan kosmo politanisme. Kosmopolitalisme menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di dalamnya terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha bahkan otang-orang atheis sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia dan penganut agama berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk clan umat beragama sangat minim, kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut "kebenaran" atau "nilai" ditentukan oleh
pandangan
hidup
serta
kerangka
berpikir
seseorang
atau
masyarakatnya.
Konsekwensinya, dokrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya "semua agama adalah sama", karena kebenaran agama - agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memasukan unsur tertentu atau sebagaian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru. Adakah jalan keluarnya dan dapatkah keaneka ragaman agama memunculkan keserasian dan keindahan? Jawabnya adalah dalam doktrin semua agama. Sebab prinsipprinsip dasar semua agama mengajarkan pola-pola hubungan yang positif antar sesama manusia. Tinggal bagaimana umat beragama menggali sumber-sumber tersebut dan mengusakannya terciptanya hubungan yang harmonis antar umat beragama, apapun agamanya. Perlu segera dicari titik temu agama-agama yang dipeluk oleh manusia dari hasilnya menjadi acuan dasar dalam membina hubungan antar umat beragama yang diwarnai dengan kedamaian dan kebahagiaan. Kuncinya bahwa untuk mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua rnasyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adartya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakal. Yang lebih penting dari semua ini, adalah munculnya sikap tulus setiap penganut agama untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan pemahaman terhadap Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
3
ajaran agama yang dianut. Ketulusan menipakan sikap psikis dan tekad seseorang untuk melakukan sesuatu hanya karena didasarkan penyerapan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini menjadi penting dalam pandangan againa, Ketulusan mampu menghilangkan sifat egosentris, menerima pluralisme dengan positif thingking, menepis klaim kebenaran, dan menghapuskan sifat absolutisme teologis, selanjutnya perbedaan tersebut dipandang sebagai keindahan dalam membangun kebersamaan keberagamaan dalam konteks ke Indonesiaan.
II.
Pembahasan
A. Pengertian Konflik Dalam kamus besar bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai perbedaan dan perselisihan. Secara terminologi, pengertian konflik dapat dipahami dani pendapat para ahli berikut; Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, menjelaskan bahwa konflik merupakan suasana batin yang berisi kegelisahan karena pertentangan antara dua motif atau lebih. Pertentangan tersebut mendorong manusia untuk berbuat dua atau lebih kegiatan yang saling bertentangan pada waktu yang bersamaan. T. Hani Handoko, menjelaskan bahwa pada hakekatnya konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua pihak atau lebih. Selain kedua pendapat tersebut, daniel Webster mendefinisikan konflik kedalam empat katagori, pertama, persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. Kedua, keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antara individu). Ketiga perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan. Dan kelima, bahwa konflik itu adalah perseteruan Ketiga pengertia tersebut, mengisyaratkan bahwa konflik terjadi bila satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang mempertimbangkan. Namun konflik tidak harus perseteruan, meski situasi. dapat menjadi bagian dari situasi konflik. Berdasarkan uraina diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah terjadinya pertentangan dalam hubungan kemanusian antara satu pihak dengan pihak lain, antara kelompok dengan kelompok lain, dan antara organisasi dengan oranisasi lain yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan. Emosional, psikologis dan nilai dalam mencapai suatu tujuan. Kalangan Tadisional memandangi bahwa semua bentuk konflik dinilai sebagai hal yang tidak baik, karena konflik identik dengan kekerasan, kehancuran darirasional. Pandangan ini mengandaikan bahwa suatu konflik itu buruk, negatif dan disinonimkan dengan istilah kekerasan (violence), destruksi, irasional dan jelas merugikan karena itu harus dihindari. Padahal antara keduanya ) konflik dan kekereasan) mempunyai berbedan yang cukup jelas. Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
4
Konflik diartikan sebagai hubungan antara kedua belah pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiLiki, sasaran-sasaran yang tidak sejajar. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, mental, sosial, atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Tugas pemimpin adalah adalah untuk mengelola dan meminimalisir konflik tersebut agar tidak menjalar ke persoalan yang lebih besar. Jadi, menurut pandangan ini konflik merupakan kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif ia terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Terjadi tidaknya konflik dan persaingan ditentukan oleh kemampuan pihak-pihak terkait dalam menjaga dirinya dari gangguan pihak lain dalam pencapain tujuarmya. Persaingan akan terjadi apabila tujuan pihak-pihak yang terlibat tidak sesuai, namun pihakpihak tersebut tidak dapat salirtg mengganggu. Sebagai contoh, dua kelompok masyarakat beragama mungkin saling bersaing untuk mencapai dakwah, bila tidak ada kesempatan untuk menganggu komunitas umat beragama dalam pencapaian tujuan dakwah, maka situasi persaingan tidak akan pernah terjadi. Tetapi, bila kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk mengganggu umat beragama lain, maka timbulnya konflik tidak dapat dihindarkan. Sebaliknya, bila pihak-pihak tertentu bekerja sama dalam mencapai tujuan, maka konflik tidak akan mungkin bersama. Persoalannya adalah bagaimana perwujutan konsep-konsep tersebut dalam konteks Indonesia? Benarkah konflik yang terjadi berawal dari ketidak puasan umat beragama tertentu terhadap perilaku keagamaan umat beragama lain? Serta bagaimana memaharni konflik antar umat beragama yang belakangan ini marak terjadi.
B. Jenis Konflik 1. Jenis-Jenis Konflik Secara garis besar konflik dapat dibagi ke lima jenis; Pertama, konflik dalam diri individu yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang keinginan yang diharapkan, bila berbagai permintaan pekerjaan seling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dani kemampuan.nya. Kedua, konflik antar individu dalam organisasi yang sama. Hal ini sering disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga berasal dari adanya konflik antara peranan seperti antara atasan dengan bawahan. Ketiga, konflik antar individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok lain, seperti seorang individu dihukum atau diasingkan oleh kelompok tertentu karena melanggar normanorma kelompok. Keempat, konflik antar kelompok dalam organisasi, karena terjadi pertentangan kepentingan antar kelompok. Dan kelima, konflik antar organisasi yang timbul Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
5
sebagai akibat persaingan ekonomi dalam sistem perekonomian suatu negara. Jenis konflik yang terakhir sangat diharapkan kemunculannya, sebab mengarah pada munculnya pengembangan produk baru, teknologi, persaingan harga dan penggunaan sumber daya yang lebih efektif. Saat yang paling baik untuk menghadapi konflik adalah saat jumlah orang yang terlibat masih kecil. Langkah pertama saat jumlah orang terlibat masih kecil. Langkah pertama yang terbaik adalah memilah-milah konflik itu mengindentifikasikan akibatnya bagi dari pribadi, individu yang terlibat dan perubahan skala konflik dari situasi yang terfokus menjadi tersebar dan dari lokal menjadi konflik yang lebih luas dan melibatkan banyak orang. Kita dapat membayangkan kalau jumlah prang yang terlibat semakin banyak, biasanya akan menyebabkan persoalan semakin rumit dan tak menentu, dan akan menuntut banyak pemecahan pula. Bila pihak yang terlibat bertambah banyak, bertambah besar kemungkinan terjadi kehancuran dan kerugian pada pihak lain. Inilah jenis konflik yart akhir-akhir ini marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya konflik umat beragama.
2. Sumber-Sumber Konflik Ketika Negara bukan lagi menjadi sasaran konflik, konflik cenderung mengarah kepada pertentangan antar suku atau umat beragama dimana masing – masing pihak yang bertikai hendak mengimplementasikan hak-haknya. Masalah SARA (suku agama ras dan antar golongan) merupakan persoalan yang sangat sensitif dalam interaksi antar penduduk atau dalam wacana pergaulan sebagai komunitas bangsa. SARA juga merupakan realitas sosial yang ada dalam sebuah masyarakat yang majemuk. Berikut ini akan didiskripsikan sumber dan akar konflik yang pemah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, antra lain;
a. Konflik Kalimantan Barat Daerah ini dikenal mempunyai kekayaan alam yang besar, seperti tambang emas, kelapa/kopra, karet, kayu dan hasil hutan lainnya. Kenyataan ini mengundang masuknya banyak eksploitator dan pendatang baru mencari kekayaan, misalnya Madura, Jawa, Bugis, Padang, Sunda dan suku-suku lainnya. Suku Dayak, Melayu dan Cina sebagai penduduk asli Kalimantan Barat pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dari buruh pabrik. Sedangkan orang cina bergerak di bidang jasa, perdagangan, pertanian dan sebagai pengusaha. Konflik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, diawali dengan munculnya pergeseran sosial antara suku Dayak dengan Madura hingga meningkat pada bentuk kerusuhan yang pernah terjadi sejak tahun 1952-1996, kerusuhan serupa kembali terjadi Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
6
tahun 1997. hal yang sama juga terjadi antara Suku Madura dengan Suku Melayu pada tahun 1999 - 2000. juga ditarik mundur kebelakang, sebenarnya permusuhan antar suku Dayak, Melayu dengan Madura disebabkan oleh perbedaan karakter dan budaya. Selain itu sistem kebijakan pemerintah yang sentralistik ditambah lagi ketimpangan sosial antara penduduk asli dengan pendatang. Konflik tersebut telah menimbulkan ratusan korban jiwa dan kerugian materiil ratusan milyar rupiah.
b. Konflik Kalimantan Tengah Daerah Sampit, Kapuas, Palangka Raya dikenal rawan konflik etnis. Akar konflik yang pernah terjadi antara Suku Madura dengan Dayak di wilayah ini dipicu oleh rasa saling curiga satu. sama lain. Masyarakat asli (Dayak) lama kelamaan merasa marjinal secara akademik, ekonomi dan budaya. Mereka menjadi buruh di daerah sendiri dan menjadi budak di lingkungan istananya sendiri. Kesenjangan sosial telah lama dirasakan terjadi yang berakibat munculnya kecemburuan sosial sebagai pemicu utama. Selama terjadi konflik di Kalimantan Tengah ini mengakibatkan ribuan korban jiwa dan ratusan miliar kerugian materiil. Rincian jumlah kerugian tersebut sebagaimana dicatat oleh aparat adalah, 1.622 orang meninggal, 82 orang luka berat termasuk 7 orang aparat keamanan, sebanyak 5.320 buah rumah hancur, 29 kendaraan bermotor roda empat, 104 buah kendaraan roda dua, 144 buah becak, 1.839 buah senjata tajam, 4 pucuk senjata api dan 32 buah bom.
c. Konflik Ambon Maluku Pada awalnya konflik Maluku bermula dari upaya politisasi birokrasi lokal yang telah berlangsung lama di Ambon. Kemudian diboncengi dengan gerakan sparatisme PKM/RMS, ditambah lagi meningkatnya kaum migran yang secara ekonomi telah menguasai perekonomian di Ambon khususnya di pasar. Adat pela pandong yang selama ini menjadi simbol pemersatu budaya telah hilang tanpa makna. Pela gandong adalah institusi sosial yang dapat berfungsi untuk mengikat desa muslim dan kristen sudah tidak bertaring lagi, tereutama untuk mengatur hubungan antar penganut agama Islam-Kristen dan etnis asli dengan pendatang.. Dalam catatan aparat, konflik Ambon ini mengakibatkan korban jiwa sebayak 2.185 orang, luka berat 2.758 orang, luka ringan 1.505 orang, aparat keamanan yang meninggal dunia sebayak 73 orang, luka berat 149 orang, luka ringan 57 orang. Sedangkan kerugian materiil mencapai 25.143 buah rumah hancur, 1.054 buah toko, hotel berjumlah 31 buah, masjid sebayak 110 buah, gereja 314 buah, sekolah sebyak 72 buah, gudang 2 buah, barak militer 2 buah, pos PAM sebayak 40 buah, kendaraan roda empat 408 buah, becak sebayak Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
7
820 buah, kendaraan berat 2 buah dan motor laut 15 buah. Jumlah penggungsi sebesar 77.425 jiwa dan 15.584 KK.
d. Konflik Poso Sulawesi Tengah Konflik Poso juga dipicu oleh munculnya ketimpangan sosial atau kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial antara penduduk dengan pendatartg, kebijakan pemerintah yang dinilai bersifat sentralistik. Dan adanya politisasi birokrasi lokal. Hal-hal inilah yang menjadi akar penyebab konflik. Selama konflik Poso berlangsung dalam catatan aparat telah menelan korban jiwa sebayak 229 orang, luka berat 317 orang, luka ringan 82 orang, kerugian material rumah 6.547 buah, masjid 10 buah, gereja 32 buah, sekolah 9 buah, kantor 8 buah, kendaraan roda empat 50 buah, kendaraan roda dua 82 buah, senjata api 2.160 pucuk, dum-dum 460 pucuk, panah 37.892 buah, tombak/keris/tongkat pemukul 60 buah, sumpit 1.833 buah, bom rakitan 391 buah dan amunisi 798 butir.
e. Konflik Papua (Irian Jaya) Akar permasalahan utama konflik sosial yang terjadi di tanah Papua dipicu oleh kesalahan pemerintah pusat yang salah urus terhadap daerah Papua, monopoli kekuasaan, jabatan dan kekayaan oleh orang-orang non-papua. Isu yang diterjemahkan sebagai Jawanisasi dan islaminisasi juga dianggap sebagai kebijakan yang memarjinalkan orang papua dan menghilangkan hak-hak adat orang papua. Pengrusakan kekayaan sumber alam tanah papua juga dianggap sebagai faktor pemicu tumbuhnya kesadaran nasionalisme orang Papua untuk memisahkan dari dari NKRI. f. Konflik Aceh Akar masalah konflik yang berlarut-larut di Aceh, yaitu; Pertama, adanya kekecewaan masa lalu yang pernah dialami oleh masyarakat Aceh berkaitan dengan janji pemerintah pusat yang tidak pernah terlaksana seperti pemberian Aceh sebagai Daerah Otonomi dan hilangnya status istimewa Aceh. Kekecewaan ini mendorong munculnya keinginan membentuk negara Islam Aceh tahun 1953 dan sekarang lebih populer dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) kedua, problematika pembangunan pada masa Orde Baru yang menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik, sentralisasi, eksploitasi sumber kekayaan alam oleh pusat. Dan ketiga, adanya pemikiran terhadap penghancuran kultur Aceh terjadi karena pemerintah pusat melakukan penyeragaman terhadap struktur pemerintah daerah melalui UU No. 5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini dianggap sebagai penyebab hilangnya kultur budaya Aceh, yaitu syariat Islam tidak dapat diberlakukan di daerah Aceh. Jika dipahami secara detil, keenam wilayah yang pemah dilanda konflik tersebut, Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
8
umumnya dipicu oleh kesenjangan sosial dan kesalahan pemerintah pusat dalam mengurus daerah. Semuanya membutuhkan menejemen pengelolaannya menurut tipologi konflik dan yang melatar belakangi terjadinya konflik.
C. Memahami Konflik Gambaran mengenai situasi kehidupan keagamaan di Indonesia ibarat kawin paksa. Orang tua punya keinginan, anak yang harus menerima semua resiko dari konflik yang bakal timbul. Dirunut dari semua kasus yang pernah timbul, tidak ada konflik antar umat yang berakar dari sikap dan prilaku para tokoh atau elite agama. Orang saling membantai tidak karena muak terhadap kehidupan pastur, kyai, pendeta atu biksu. Elit-elit agama ini di mana pun mereka berada senantiasa dihargai, karena mereka benar-benar hidup dan berprilaku seperti ajaran agamanya yang tentu saja mengandung nilai humanisme universal. Agama menjadi sumber keresahan sosial justru berakar dari dunia politik dan kekuasaan. Umat menjadi beringas dan gelisah karena ambisi sang ketua RT (rukun tetangga) yang hendak menggusur ketua RW (rukun warga) dengan membonceng isu agama tanpa melihat kemampuannya. Massa menjadi tak terkendali karena sangat rawan yang tau berdoa tetapi sok suci menggunakan simbol keagamaan untuk melindungi kekuasaan. Dengan berlindung di balik sosial conditioning dan setting culture semua kenyataan itu dapat dengan mudah dilemparkan menjadi kesalahan orang lain dengan mengatasnamakan prasangka sosial, ketidak serasian mayoritas dan minoritas, sementara kritis dan obyektif banyak pihak. Dengan dalil persatuan dan kesatuan semua orang berkehendak agar tokoh agama terus-menerus mengadakan silahturahmi walaupun nurani mereka tidak menyimpan prasangka funalisme murah dan kedengkian. Menghadapi semua itu, ada dua pilihan sikap yang tegas tetapi bermoral dan dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak. Pertama perlu ada pengakuan yang jujur dan obyektif bahwa eksistensi kita sebagai bangsa yang multi religius adalah sebuah realitas obyektif yang harus dijabarkan secara jelas hak hidup masing-rnasing di bumi pertiwi ini. Dalam konteks ini, konvensi yang diakui secara samar-samar selama ini ,bahkan mungkin diselubungi dalam sikap kemunafikan, dibuka tabirnya secara lebih jelas, khusus untuk menangani hakhak politik warga negara yang juga timat beragama. Kita membenarkan bahwa perspektif politik dengan artikulasi mayoritas dan minoritas itu ada, walaupun tidak dipraktekan secara kaku. Jika itu dikehendaki, maka penjabarannya dalam keputusan politik harus benar-benar adil sehingga tidak ada daerah, yang dieksklusifkan, sementara daerah lain dijadikan sasaran target politik dan kekuasaan dengan meniadakan hak-hak warganya berdasarkan alasan ideologis. Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
9
Kedua dengan menempatkan ideologis dalam fungsi formalnya sebagai alat pemersatu, maka semua ciri sosiologis dan kultural bangsa bisa diakon4dasi. Pengakuan ini menuntut diberlakukanya kriteria yang transparan dalam penjenjangan karier ataupun jabatan politik sehingga tidak menjadi sumber prasangka sosial. Dalam konteks ini, penghargaan terhadap prestasi, kompetensi dan persaingan yang sehat, akan menjauhkan kita dari prasangkaprasangka negatif yang berlatar belakang keagamaan. Dalam keragamaan ciri sosiologis dan kultural seperti apa pun, semua orang tetap dengan jujur mengakui prestasi, sebaliknya pertimbangan dari sudut agama hanya berpotensi menimbulkan polarisasi. Potensi konflik yang kita hadapi.selama ini bersumber dari prasangka mayoritas dan minoritas justru karena kerrtunafikan kita dalam menghadapi kemajemukan. Oleh karena itu, rumusan final dialog antar umat beragama sangat perlu ditumbuh kembangkan.
D. Tahapan Konflik 1. Konflik Dalam sejarah Indonesia Dalam tenggang waktu 30 tahun pasca proklamasi, masyarakat Indonesia mengenal berbagai bentuk konflik berdarah, seperti pemberotakan PKI di Madiun dan sekitarnya (1948), pemberontakan DI/TII (1949-1962) di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, pemberontakan RMS tahun 1950 di Maluku, pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1962) di Sumatra, Sulawesi dan indonesia Timur, Pemberontakan G 30 S/PKI (1965-1966) Jakarta dan beberapa provinsi lainnya selama rezim Orde Baru, 1966-1998 situasi relatif lebih aman, kecuali konflik vertikal di Aceh selama DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan.
2. Tahapan Konflik Menurut analisis dasar terdiri dari empat tahap, yang umumnya disajikan secara berurutan disini (meskipun mungkin ada variasi-variasi dalam situasi khusus) dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap dimaksud adalah: Pertama, prakonflik: Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran si anfara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersebut tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antiara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendulpingnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau prilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak. Masing-masing pihak mungkin Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
10
mengurnpulkan sumber daya dan kekuatan dan mungkin mencari sukutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak. Ketiga, Krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika oarngorang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasinormal di antara kedua belah pihak kemungkinan putus. Pernyataan umum cenderung dan menentang pihak-pihak lainnya. Keempat, akibat. Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika terjadi perang). satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju/ bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian.
E. Penyelesaian Konflik 1. Metode Penyelesaian Konflik Secara garis besar, terdapat tiga metode penyelesain konflik yang sering digunakan, yaitu, dominasi atau penekanan, kompromi dan pemecahan masalah integratif. Metode dominasi atau penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain, penekanan kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik, penekanan (smoothing) yang lebih diplomatis, penghindaran (avaidonce) di mana manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas, dan aturan mayoritas (majority rule) yang mencoba menyelesaikan konflik antara kelompok dengan melakukan pemungutan suara voting melalui prosedur yang adil. Dalam penyelesaian konflik umat beragarna ketiga metode tersebut dipandang perlu dilakukan. Namun, pemilihan dan penggunaan salah satu metode harus dilihat situasi dan skala konflik yang ada. Misalnya, metode kekerasan atau penekanan otokratik tepat digunakan apabila upaya diplomasi dan voting dinilai gagal. Sedangkan metode kompromi mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak yang bertikai. Bentuk-bentuk kompromi meliputi; a. pemisahan (separation), di mana pihak-pihak yang sedang bertikai dipisahkan sampai mereka mencapai persetujuan. Hal tersebut pernah dilakukan oleh aparat ketika hendak menyelesaikan konflik Ambon dan Poso yakni dengan menampung salah satu komunitas di tempat tertentu dan dalam waktu tertentu sampai yang bersangku tan menyatakan kesediaanya untuk berdamai. Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
11
b. perwasitan (arbitrase), dimana pihak ketiga diminta memberikan pendapat. Terjadinya kesepakatan Malino I dart II adalah bentuk nyata uaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik dengan mengambil posisi sebagai, wasit atau perantara. c. kembali keperaturan yang berlaku, dimana kemacetan di kembalikan pada ketentuan tertulis yang berlaku dan menyetujui bahwa peraturan yang memut-uskan penyelesaian konflik. Perangkat aturan untuk itu di Indonesia sudah cukup jelas. Misalnya, lahirnya beberapa undang-undang untuk menjamin kelangsungan kerukunan hidup umat beragama. d. penyesuaian (bribing) dengan cara memberikan kompensasi kepada salah satu pihak guna tercapainya penyelesaian konflik. Selain metode dominasi dan kompromi juga dikenal metode integratif (secara menyeluruh). Konflik antar kelompok di ubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama melalui teknik-teknik pemecahan masalah. Di samping penekanan konflik atau pencarian kompromi, kedua belah pihak secara terbuka mencoba menemukan penyelesaian yang dapat diterima
semua
pihak.
Semua
komponen
yang
terkait
secara
terbuka
diajak
untukmerumuskan proses pencarian solusi atas konflik. Caranya mengambil beberapa unsur penting dari pihak terlibat dan yang tidak terlibat tetapi dipandang mempunyai pengaruh baik pikiran maupun ketokohannya. Metode ini pemah dilakukan dalam beberapa kasus penyelesaiaan konflik yang diindikasikan sebagai konflik umat beragama yang terjadi di beerapa daerah di Indonesia. Aparat dan masyarakat yang tidak menghendaki konflik itu terjadi, meminta kepada aparat dan tokoh masyarakat, agama dan tokoh adat untuk bersamasama mernikirkan solusi. Namurt, dalam beberapa kasus pendekatan tersebut dirtilai kurang berhasil karena pihak-pihak yang terlibat konflik lebih mengedepankan egoisme individu dan kelornpok masing-masing. Munculnya sikap egois disebabkan mereka menggap bahwa dirinya dan kelompoknya rnerasa paling benar. jika melihat kondisi seperti ini, maka manajer atau pemegang kebijakan perlu mengambil langkah-langkah prioritas. Misalnya, pada tahap pertama mendorong bawahannya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melakukan pertukaran gagasan secara bebas dan menekankan usaha-usaha pencarian penyelesaian optimum agar tercapai penyelesaian secara integratif. Jika pendekatan tersebut tidak berhaSil pemegang kebijakan dapat mengambil langkah selanjudnya. Secara rinci, metode penyelesaian integratif dibagi menjadi tiga macam; pertama, dengan konsensus. Misalnya, kedua belah pihak bertemu bersama untuk mencari penyelesaian terbaik masalah mereka dan bukan mencari kemenangan satu pihak. Kedua, konfrontasi, dimana kedua belah pihak menyatakan pendapatnya secara langsung satu sama Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
12
lain, dan dibarengi dengan sikap kesehajaan, kemurahan hati dan keterbukaan serta kesediaan untuk menerima penyelesaian, suatu penyelesaian konflik yang rasional dan konpromistis sering dapat ditemukan. Ketiga melalui penggunaan tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Jika cara ini disetujuai oleh semua kalangan, maka metode tersebut dapat dipergunakan untuk penyelesaian konflik. Bila dengan beberapa metode tersebut tidak mampu mengatasi gejolak konflik yang sedang terjadi, maka aparat pemerintah bisa menggunakan tenaga ekstemal sebagai penengah atau mediator. Hal irti karena manajemen penyelesain konflik tidak selamanya dapat menggunakan kekuasaan untuk memaksakan atau mengatasi konflik yang ada. Upaya ini pernah ditempuh pemerintah RI ketika menggunakan beberapa metode penyelesaian konflik telak menemui jalan buntu. Pemerintah menunjuk HDC untuk menagani gejolak konflik yang terjadi di aceh. Walaupun kasus aceh dengan beberapa tempat berbeda, namun upaya tersebut bisa dilakukan untuk menangani beberapa konflik.
2. Teknik Penyelesain Konflik Siklus kehidupan manusia dikelilingi oleh pertentangan alamiah sebagai ketetapan Tuhan yang tertera sedemikian rupa sehingga melahirkan dinamika bagi kehidupan manusia itu sendiri. Adanya perbedaan malam dan siang melahirkan dimensi waktu, malaikat dan setan serta surga dan neraka melahirkan dimensi nilai dan moral; bumi dan langit serta barat dan timur, utara clan selatan melahirkan kewajaran dalam dinamika kehidupan manusia. Banyak cara yang ditawarkan oleh pakar dalam menyelesaikan konflik. Salah satunya dikemukakan oleh Nader and Tood, dalam The Disputin Process Law is Ten Societies, bahwa penyelesain konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut: a. bersabar (lumping), yaitu tindakan yang merujuk pada sikap untuk mengabaikan konflik begitu saja atau denga kata lain isu-isu dalam konflik itu mudah untuk diabaikan, meskipun hubtmgan dengan orang yang terlibat konflik itu karena orang tersebut mendapat irtformasi atau akses. b. penghindaran (aviodance), yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri hubungan dengan cara meninggalkannya. Keputusan untuk meninggalkan konflik itu disarkan pada perhitungan bahwa konflik yang terjadi atau yang dibuat tidak merniliki kekuatan secara sosial, ekonomi dan emosional. c. kekerasan / paksaan (coercion), yaitu suatu tindakan yang diambil untuk mengatasi konflik jika dipandang bahwa dampak yang ditimbulkan cukup membahayakan. d. negoisaasi (negotiation), ialah tindakan yang menyangkut pandangan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkonflik secara bersama-sama tanpa Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
13
melibatkan pihak ketiga. Kelompok tindakan mencari pencapaian solusi dalam term satu aturan, tetapi membuat aturan yang dapat menorganisasikan hubungan dengan pihak lain. e. konsiliasi (conciliation), yaitu tindakan untuk membawa semua yang berkonflik ke meja perundingan. Konsiliator tidak perlu memainkan secara aktif satu bagian dari tahap negoisasi meskipun ia mungkin bisa melakukannya dalam batas dimana oleh yan berkonflik. Konsiliator sering menawarkan kontekstual bagi adanya negosiasi clan bertindak sebagai penengah. f. Mediasi (mediation), hal ini menyangkut pihak ketiga yang ikut menangani/membantu menyelesaikan konflik agar tercapai persetujuan. Pihak ketiga ini bisa dipilih oleh pihakpihak yang berkonflik atau perwakilan dani luar. Pihak-pihak yang berkonflik itu menyerahkan penyelesain konflik kepada pihak ketiga tersebut.
3. Kategorisasi dari Implikasi Konflik Mungkin benar bahwa konflik merupakan suatu bagian yang ihheren (tertanam) dalam setiap kelompok atau organisasi. Barangkali tidak mungkin untuk menyingkirkan sepenuhnya, bahkan adanya konflik merupakan alasan untuk mendewasakan individu, kelornpok clan organisasi. Namun, demikian semua konflik dinilai disfungsional, dan merupakan salah satu tanggung jawab utama aparat terkait untuk menjaga agar dapat menekan intensitas konflik serendah mungkin secara manusiawi. Di bawah ini beberapa alasan yang mendukung argumen di atas. a. Konsekuensi negatif dari konflik dapat menghancurkan infra dan supra struktur masyarakat dan pernerintah. b. Aparat atau pemerintah dengan cepat membentuk kerja tim. Pernimpin yang baik membina suatu tim yang terkoordinasi. Tim bekerja secara maksimal melawan situasi konflik. Solidaritas tim diharapkan seperti tim olah raga yang sukses, setiap anggotanya tau perannya dan mendukung rekan satu timnya. Bila suatu tim, berhasil dengan balk, keseluruhartnya menjadi lebih besar dani jumlah bagian-bagiannya. Dalam manajemen berupaya menciptakan kerja tim dengan meminimalkan konflik internal dan mempermudah koordinasi internal. c. Kompetisi baik suatu organisasi, namun konflik tidak. Kompetisi (persaingan) dan konflik tidak boleh dikacaukan satu sama lain. Konflik adalah perilaku yang diarahkan melawan suatu pihak lain, sedangkan kompetisi adalah perilaku yang dibidikkan pada perolehan tujuan. d. Seluruh argumen mengenai nilai konflik dapat diperdebatkan selama memandang konflik mengacu pada pandangan tradisional. Dalam pandangan tradisional, setiap konflik akan Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
14
terlihat sebagai buruk dan negatif.
4. Peran Komunikasi Dalam Konflik Komunikasi memiliki peran yang unik dalam situasi konflik, krisis, perang dan konflik kekerasan. Ia bisa berfungsi positif atau negatif, ibarat dewa Jesus bermuka dua; di satu sisi bisa mendorong terjadi peperangan, di sisi lain bisa mendorong terjadinya Perdamaian. Yang, pertama disebut komunikasi perang, dan kedua disebut komunikasi damai. komunikasi perang memainkan peran meningkatkan eskalasi konflik. Sebaliknya, ketika krisis berlalu, konflik menurun, sehingga kembali dalam kondisi normal, komunikasi damai bisa memperbesar atau sebaliknya menurunkan eskalasi konflik. Bagaimana komunikasi dapat memainkan peran ganda ini sangat tergantung pada tiga faktor utama; 1) bagaimana informasi tentang konflik tersedia. 2) bagaimana informasi tersebut disirkulasi atau disebarluaskan dalam masyarakat, dan 3) bagaimana informasi yang tersedia dipersepsi, dimaknai dan digunakan oleh pihak-pihak berkonflik untuk tujuan dan kepentingan mereka. a. Situasi Perang Perang sering dipahami sebagai pecah potensi konflik bersifat laten menjadi konflik kekerasan bersifat terbuka sebagai akibat dari berlangsurtgnya ketegangan dan konflikantar pihak-pihak berkonflik. Terjadinya perang atau konflik kekerasan pada umumnya dapat dipahami dari dinamika saling keterhubungan antara tiga dimensi penting dalam konflik. Pecahnya perang sipil antar etnis dan agama di Maluku, misalnya merupakan contoh yang sempurna bagaimana langkanya informasi yang seimbang dan proporsional tentang situasi, persepsi dan perilaku konflik serta. memburuknya situasi konflik yang ada. Konflik Maluku sejauh ini bisa dikataan diperparah oleh langkanya informasi yang seimbang dan proposional tentang konflik yang terjadi. Pada awalnya, konflik muncul sebagai akibat dari berkembangnya rumor dalam komunitas Maluku berkaitan dengan kesenjangan antar kelompok. Dari sisi komunitas Kristen, sejak lama telah beredar isu tentang "Islamisasi" birokrasi dan dominasi suku BBM (Buton, Bugis dan Makasar) dalam sektor ekonomi dari jasa di sisi lain, dari komunitas Muslim kuat berkembang isu "kristenisasi" Malukit dan munculnya pemberontak "RMS gaya baru" (Republik Maluku Selatan) menjelang jatuhnya Suharto. Rumor demikian berkembang karena sejak lama berlangsung kesenjangan sosialekonomi-budaya yang mencolok antar komunitas Muslim dan Kristen, migran dan "asli". Situasi konflik demikian diperparah oleh ketidakpastian perubahan situsi politik dan ekonomi menjelang runtuhnya Orde Baru yang menciptakan ketidak pastian politik, sosial, ekonomi di kalangan warga komunitas Maluku yang sangat tergantung pada masyarakat nasional. Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
15
b. Bias Liputan Dalam dunia moderen di era satelit dan teknologi informasi canggih seperti sekarang, media masa mempunyai peran sangat besar dalam pembentukan konflik (conflict making) atau sebaliknya mencegah konflik (conflic prevention) dan mendorong perdamaian (peace promotion). Namun sayang, kualitas informasi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang sangat menyedihkan. Disekitar kita terdapat banyak informasi tentang konflik yang diliput media masa. Bahkan boleh dikata dari segi jumlah sangat melimpah ruah dan berlebihan (over load), khususnya pada saat dimana perang terbuka dan konflik kekerasan sedang berlangsung. Setiap media masa secara spontan cenderung beramai-ramai meyajikan berita tentang konflik dan perang terbuka dalam halaman depan dan menjadikannya sebagai headline (liputan khusus) mereka karena memang publik umumnya menyukai berita-berita sensasional tentang kekerasan. Liputan media masa dan laporan resmi pemerintah tentang konflik umunya juga sangat bias, tidak seimbang dan tidak proporsional. Ketika mereka cendenmg hanya meliput fakta dan gejala konflik hanya sebagai peristiwa menyimpangan atau sensasional dan dramatis. Kebanyakan konflik kekerasan hanya diliput sekali tembak sebagai peristiwa sepotongpotong terlepas dani peristiwa konflik keseluruham (on the sport coverage). Sangat sedikit yang melihat, meliput dan menjelaskan secara memadai dinamika konflik secara lengkap. Konflik seolah-olah hanya dilihat sebagai peristiwa kecelakaan yang tragis, kesalahan prosedur atau efek samping dari suatu kebijakan, bukannya sebagai peristiwa sengaja yangs secara sistematis melekat dalam bekerjanya suatu sistem politik, sebagai suatu gejala yang memiliki banyak aspek dan dimensi dan punya akar penyebab dan pola tertentu yang bisa dicegah dan diatasi. Situasi krisis atau perang umumnya ditandai oleh paling tidak empat karater berikut; 1) resiko kehilangan sesuatu atau kalah di mata pihak-pihak berkonflik begitu sangat tertinggi. 2) sangat sedikit waktu yang tersedia untuk mengambil keputusan yang penting karena itu dipandang sangat perlu untuk segera mengambil keputusan . 3) informsi penting tentang konflik sering kali tidak tersedia, sehingga cenderung masuk dalam situasi ketidakpastian sangat tinggi tentang apa yag sedang terjadi dan bagaimana mensikapinya. Dan 4) terda pat adanya semacam perasaan akan semakin sempit dan sedikitnya pilihan bisa diambil untuk mengatasi krisis.
III.
Kesimpulan Kemajemukan masyarakat Indonesia cenderung mendorong berkembangnya faham
etnosentrisme prasangka etnis dan stereotip etnis. Potensi tersebut awalnya terwujud dalam Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
16
bentuk konflik antar individu kemudian melebar menjadi konflik sosial dangan melibatkan kekuatan massa dari etnis tertentu. Jelaslah bahwa konflik antar individu berpotensi berkembang menjadi konflik sosial yang melibatkan etnis, budaya, kelompok sosial dan antar penganut agama. Di sini provokator merupakan unsur penting yang acapkali berperan besar dan mampu mengubah situasi aman menjadi konflik. Belum berhasilnya dialog antar agama dalam menyurutkan konflik tak dapat dilepaskan dani motivasi dan subyek yang terdapat di belakang penyelenggaraan dialog itu. Sementara ini timbul kesan yang cukup kuat bahwa dialog itu. Sementara itu timbul kesan yang cukup kuat bahwa dialog itu cukup dari "atas" dengan muatan-muatan yang sarat dengan nuansa politik. Sebagaian besar dialok antar agama yang telah atau sedang berjalan tidak sepenuhnya timbul dari kesadaran masing-masing penganut agama yang berbeda-beda tersebut. Maka dari itu, kerukunan antar umat agama telah tampak di permukaan secara substansi saling pengertian dan saling menghargai di antara para pemeluknya, manakala konflik antar penganut agama menyembul keatas, kelompok-kelompok agama yang berpotensi radikal lalu menjadikan "agama" sebagai alat untuk menyerang atau melakukan kekerasan terhadap umat dari agama lain. Langkah awal yang perlu dikembangkan untuk meredam adalah menumbuhkan kesadaran dari mengenai realitas pluralisme kehidupan. Adanya kesadaran ini menjadi landasan cukup berarti bagi terciptanya dialog yang benar – benar tumbuh dari kebutuhan mereka sendiri, yang pada gilirannya memberikan peluang untuk bersikap saling terbuka, jujur dan mau memahami serta menghargai umat dari agama yang lain. Sikap-sikap inilah yang belum dikembangkan secara maksimal oleh para tokoh agama secara khusus, dan para penganut agama secara umum. Karena itu lembaga semacam Majelis Ulama Indonesi (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan kofrertsi Waligereja Indonesia (KWI) diharapkan berperan secara maksimal untuk lebih bersifat terbuka, sekaligus mengantisipasi dan mengeliminasi setiap bentuk gerakan yang mengarah kepada pola-pola ekstrim dan radikal pada penganut agama masing - masing.
Daftar Pustaka A’la, Abd, Melampaui Dialog Agama, (Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2002). Acland, Andrew F, A Sudden Outbreak of Common Sense Managing Conflict Trhough Mediation, (London: Hutchinson Business Books, 1990). Azra, Azyumardi, Membangun Keadaban Demokratis Ke Arah Budaya Politik Baru Indonesia, dalam Harian Umum Kompas, Edisi Khusus Ulang Tahuri ke-35 (Jakarta Kompas, Rau 28 Juni 2000) Djibrine, Achta, Conflict and Women of Chad, (Irlandia: Oxfam, 1993) Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
17
Eriyanto, Media dan Konflik ambon, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003) Fisher, Simon, Mengelola Konflik, (Jakarta: The British Council, 2001) Hidayat, Komarddin (et. Al), Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta: Media Cita, 2002); , Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Kermeneutik, (Jakarta: Paradina, 1998) Madjid, Nurcholish, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2001) Oetama, Yako, Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Indonesia, (Jakarta: Penerit Buku Kompas, 2001) Rachman, Budhi Munawar (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994). Santoso, Thomas, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2002).
Tampung Penyang Volume X No. 2 Agustus 2012
18