FORMULASI HAMILTON UNTUK MENGGAMBARKAN DEFORMASI GELOMBANG SOLITER DENGAN DASAR TIDAK RATA PADA FLUIDA DUA LAPISAN
AGATHA PRIMASARI SUTRISNO G54103046
DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUN ALAM INSTITIUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRACT AGATHA PRIMASARI SUTRISNO. Hamiltonian Formulation for Describing Deformation Solitary Waves for Uneven Bottom in a Two-Layer Fluid . Under supervision by Jaharuddin and Ali Kusnanto. Internal waves are waves which appear under sea level so that these waves are not perceived by eyes. Hamiltonian formulation is formulated to explain these waves motion. In this case, it is assumed that the fluid considered consisted of two layers with each layer own constant density. It is also assumed that each layer consists of incompressible and invicid fluid. Hamiltonian formulation is formulated by considering a two-layer fluid which is bounded above by a rigid boundary and the bottom by a rigid but horizontally-varying boundary. Hamiltonian (total energy) is defined as the total of kinetic energy and its potential energy. Because the kinetic energy are not expressed explicitly in fisis variable, an asymptotic method is used to determine its total energy. In this case, we assumed that the interfacial waves are “rather long and rather low” waves. If it is assumed that the interfacial waves only creep at one way then we obtain the Korteweg de-Vries (KdV) equation, while if the wave creep second instruct then we obtained Boussinesq equation. Solution of the KdV equation is obtained by an asymptotic method. At the lower order is obtained solution in the form of solitary wave. Deformation of this solitary waves will be observed. Its result is an opposite relation between amplitude and deep of a layer fluid. While at two-layer fluid, which it’s density equally the same, the higher order was not significant.
ABSTRAK AGATHA PRIMASARI SUTRISNO. Formulasi Hamilton untuk Menggambarkan Deformasi Gelombang Soliter dengan Dasar Tidak Rata Pada Fluida Dua Lapisan. Dibawah bimbingan Jaharuddin dan Ali Kusnanto. Gelombang internal adalah suatu gelombang yang muncul di bawah permukaan laut sehingga gelombang ini tidak teramati secara kasat mata. Formulasi Hamilton dirumuskan untuk menjelaskan gerak gelombang ini. Dalam hal ini diasumsikan bahwa fluida yang ditinjau terdiri atas dua lapisan dengan masing-masing lapisan memiliki rapat massa yang konstan. Selain itu, diasumsikan pula fluida yang ditinjau berupa fluida tak mampat (incompressible) dan tak kental (invicid). Formulasi Hamilton dilakukan dengan meninjau fluida dua lapisan yang berada pada domain yang dibatasi oleh batas atas yang rata dan batas bawah yang tidak rata. Hamilton (energi total)-nya didefinisikan sebagai penjumlahan antara energi kinetik dan energi potensialnya. Karena energi kinetik tidak secara eksplisit dinyatakan dalam peubah fisis, maka digunakan metode asimtotik untuk menentukan energi totalnya. Dalam hal ini diasumsikan bahwa gelombang interfacial yang ditinjau cukup panjang, dan amplitudo yang cukup kecil. Persamaan Korteweg deVries (KdV) diperoleh, jika disumsikan bahwa gelombang interfacial hanya merambat pada satu arah, sedangkan jika gelombang tersebut merambat ke dua arah, diperoleh persamaan Boussinesq. Persamaan KdV yang diperoleh diselesaikan dengan metode asimtotik. Pada orde yang rendah diperoleh penyelesaian dalam bentuk gelombang soliter. Deformasi gelombang soliter ini selanjutnya diamati. Hasil yang diperoleh adanya hubungan terbalik antara amplitudo dengan kedalaman fluida pada fluida satu lapisan. Sedangkan pada fluida dua lapisan dengan rapat massa kedua lapisan yang hampir sama, pengaruh orde yang lebih tinggi tidak signifikan.
FORMULASI HAMILTON UNTUK MENGGAMBARKAN DEFORMASI GELOMBANG SOLITER DENGAN DASAR TIDAK RATA PADA FLUIDA DUA LAPISAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh : AGATHA PRIMASARI SUTRISNO G54103046
Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahun Alam Institiut Pertanian Bogor 2007
Judul Nama NRP
: Formulasi Hamilton untuk Menggambarkan Deformasi Gelombang Soliter dengan Dasar Tidak Rata Pada Fluida Dua Lapisan. : Agatha Primasari Sutrisno : G54103046
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Jaharuddin, M. Si. NIP. 132 045 530
Drs. Ali Kusnanto, M. Si. NIP. 131 913 135
Mengetahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanin Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koeswaryono, M.S. NIP. 131 473 999
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1985 dari ayah Trisno Triatmojo dan ibu Susana Sri Agatsih Umi Santi. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari SD St. Fransiskus Asisi, Jakarta. Tahun 2000 penulis lulus dari SLTP St. Fransiskus Asisi, Jakarta. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 26 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Agria Swara IPB pada tahun 2003. Penulis aktif dalam kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa maupun oleh Gumatika. Penulis juga menjadi staf Departemen Keputrian pada Gumatika (Gugus Mahasiswa Matematika) pada tahun 2005. Pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Kalkulus III.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas karunia dan kasih-Nya yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih atas kasih yang begitu besar yang diberikan oleh 1. Bapak Dr. Jaharuddin, M. Si sebagai pembimbing skripsi pertama, yang atas bantuan dan dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Ali Kusnanto, M. Si sebagai pembimbimg skripsi kedua, atas masukkan dan bantuannya selama proses penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Siswandi, M.Si sebagai dosen penguji atas dukungan dan semangatnya supaya penulis terus semangat saat seminar dan sidang. 4. Semua dosen Departemen Matematika atas ilmu, dan kasihnya. 5. Mas Deny, Bu Ade, Bu Susi, Bu Marisi, Mas Bono, Mas Yono, dan teteh. 6. Keluarga tercinta Papa, Mama, Sekar dan Adhi atas cinta, doa, perhatian, dan kasihnya untuk mendukung penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. 7. Bram atas doa, masukkan, kritik, dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 8. Teman-teman matematika 40, Ica (semangat), Sri dan Dwi sudah menjadi pembahas, Walidah dan Herni atas doanya, Uli untuk bantuan setelah sidang, Mayang, Mufti, Sawa, Mukafi berkenan hadir saat seminar, Septi (jaja, semangat ya), Ifni, Tiwi, Metha, Nisa semangat, Gandronk (indah) dan Gogon (vina) jadi teman terbaik, Mita teman terbaik, Aci, Ami, Mika, Abay, Rama, Komeng (yudi), Rusli (cepat sehat), Elis, Marlin, Nchi (astri), Yuda, Berry, Aam, Lili, Ali, Ari, Ucup, Putra, Bedu, Prima, Anton, Demi, Manto, Dimas, Febri, Jayu, Ulfa, terimakasih sudah berjuang bersama dalam susah dan senang. 9. Teman-teman matematika 39, kak Ari untuk bantuannya; 41, Dian, Ria, Adji; 42, Boy untuk bantuannya, dan teman-teman 43 Emta, Jesika, Lenny untuk pinjaman catatan pm dan matdasnya. 10. Teman-teman griya ananta crew yang paling kusayang, Jani tersayang untuk semangat dan bantuan yang besar, Chenty tersayang yang tidak pernah bosan memulihkan semangat, Novi untuk masukan dan kritik juga semangatnya, Evi untuk antarannya ke departemen, Susan (ucank) untuk doa dan semangatnya, Tina untuk doa dan kritik juga semangatnya, Erika untuk bantuannya saat sidang, Anin untuk bantuannya mentranslete, Debya, Elpita, Lina untuk doa dan semangatnya menghadapi masa sulit penyusunan skripsi ini. 11. Orang-orang yang mengasihi dan membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi para pembaca.
Bogor, April 2007
Agatha Primasari Sutrisno
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI . ............................................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................................. Tujuan ..........................................................................................................................
1 1
LANDASAN TEORI Persamaan Dasar .......................................................................................................... Fluida Dua Lapisan ...................................................................................................... Sistem Hamilton ..........................................................................................................
2 3 3
PEMBAHASAN Hampiran untuk φ ....................................................................................................... Hampiran untuk F1 dan F2 .......................................................................................... Sistem Hamilton untuk Gelombang Dua Arah ........................................................... Sistem hamilton untuk Gelombang Satu Arah ............................................................ Deformasi Gelombang Soliter .....................................................................................
5 7 7 8 9
KESIMPULAN ..........................................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................
12
LAMPIRAN ...............................................................................................................................
13
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Domain fluida ............................................................................................................. 2 Gambar 2. Domain fluida dua lapisan .......................................................................................... 3 Gambar 3. Hubungan a dan h pada fluida satu lapisan untuk berbagai nilai ε ........................... 10
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Penurunan persamaan (31) ....................................................................................... Lampiran 2. Penurunan persamaan (40) dan (41) ........................................................................ Lampiran 3. Penurunan persamaan (48) dan (49) ........................................................................ Lampiran 4. Penurunan persamaan (53), (54), (55) ..................................................................... Lampiran 5. Penurunan persamaan (57) ....................................................................................... Lampiran 6. Penurunan persamaan (58) ....................................................................................... Lampiran 7. Penurunan persamaan (67) ....................................................................................... Lampiran 8. Penurunan persamaan (74) dan (75b) ...................................................................... Lampiran 9. Penurunan persamaan (77) dan (78) ........................................................................ Lampiran 10. Penurunan persamaan (79) ..................................................................................... Lampiran 11. Penurunan persamaan (81) ..................................................................................... Lampiran 12. Program Gambar 3 .................................................................................................
14 14 15 16 17 18 18 19 20 21 22 22
PENDAHULUAN Latar Belakang Gelombang internal adalah suatu gelombang yang muncul di bawah permukaan laut. Beberapa peneliti mengamati adanya kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang internal ini seperti rusaknya tiang penyangga anjungan minyak lepas pantai di laut Andaman (Osborne 1980). Selain itu, gelombang internal ini dapat mengakibatkan naiknya polutan dari dasar laut ke permukaan, sehingga mempengaruhi kehidupan habitat laut (Gerkema 1994). Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh gelombang ini dapat diantisipasi, bila kekuatan gelombang internal tersebut dapat diketahui. Formulasi matematik untuk menentukan kekuatan gelombang internal biasanya menggunakan formulasi Euler, namun penafsiran terhadap hasil dari formulasi ini rumit (Grimshaw 1981). Oleh karena itu akan digunakan formulasi Hamilton. Formulasi Hamilton yang akan digunakan di sini diasumsikan bahwa fluida yang ditinjau terdiri dari dua lapisan, masingmasing mempunyai rapat massa yang konstan. Keuntungan dari formulasi Hamilton ini adalah prosesnya yang sederhana dan eksplisit, karena hanya bergantung pada sistem fisis fluida, seperti rapat massa dan kedalaman fluida. Dalam tulisan ini, diasumsikan bahwa kedua fluida pada fluida dua lapisan ini masing-masing berupa fluida ideal, yaitu fluida yang tak mampat (incompressible) dan tak kental (invicid). Domain fluida dimisalkan hanya berdimensi dua, meskipun kenyataannya berdimensi tiga. Hal ini dapat dilakukan karena sifat homogen fluida, yaitu garis-garis arusnya yang paralel dengan garisgaris arus yang lain pada suatu bidang tetap. Garis arus adalah garis yang digambarkan pada fluida yang memiliki kemiringan pada tiap titik sama dengan kecepatan partikel fluida di titik tersebut. Pada kasus fluida dua lapisan, garis arus ini tidak lain adalah bentuk gelombang internal yang berada pada batas kedua lapisan tersebut. Gelombang ini disebut gelombang interfacial. Sebagai contoh gelombang interfacial adalah gelombang yang terjadi pada pencampuran air dan minyak dalam pipa, aliran lumpur di suatu perairan, dan lain lain. Metodologi penelitian ini dimulai dengan meninjau persamaan dasar untuk fluida ideal yang tak berotasi (irrotational) yang
diturunkan dari persamaan kekontinuan dan persamaan momentum, khususnya pada fluida dua lapisan. Formulasi Hamilton pada tulisan ini dilakukan dengan asumsi bahwa domain fluida dua lapisan dibatasi oleh batas atas yang rata dan batas bawah yang tidak rata (berupa fungsi). Hamilton (energi total)-nya didefinisikan sebagai penjumlahan antara energi kinetik dan energi potensialnya. Karena energi kinetik tidak secara eksplisit dinyatakan dalam peubah fisis, maka digunakan metode asimtotik untuk menentukan energi totalnya. Dalam hal ini diasumsikan bahwa gelombang interfacial yang ditinjau cukup panjang, dan amplitudo yang cukup kecil. Persamaan Korteweg deVries (KdV) diperoleh, jika diasumsikan bahwa gelombang interfacial hanya merambat pada satu arah, sedangkan jika gelombang tersebut merambat ke dua arah, diperoleh persamaan Boussinesq. Selanjutnya persamaan KdV dalam bentuk sistem Hamilton yang diperoleh akan dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini akan ditentukan bagaimana pengaruh kedalaman fluida (deformasi) gelombang soliter internal persamaan KdV. Gelombang soliter adalah gelombang berjalan yang memiliki satu puncak dan bergerak tanpa mengalami perubahan bentuk dan kecepatan. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penulisan ini adalah memformulasikan gerak gelombang internal pada fluida dua lapisan dengan dasar yang tidak rata dan permukaan yang rata dalam sistem Hamilton. Langkah selanjutnya adalah menentukan hubungan amplitudo gelombang soliter internal persamaan KdV dengan kedalaman fluida. Sistematika Penulisan Bab landasan teori membahas persamaan dasar fluida ideal yang tak berotasi, dan konsep sistem Hamilton sebagai landasan untuk memahami bagian pembahasan. Bab pembahasan berisi penurunan persamaan gerak yang merupakan suatu sistem Hamilton. Salah satu diantaranya adalah persamaan KdV. Pada bab ini juga dibahas bagaimana pengaruh kedalaman fluida terhadap amplitudo gelombang soliter internal. Kesimpulan akan diberikan pada bab terakhir pada tulisan ini.
3
LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan dibahas teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan. Teori-teori tersebut meliputi persamaan dasar fluida dan sistem Hamilton berdasarkan rujukan (David. H dan Robert R 1994), (Grosen 1992), (Grimshaw 1998), dan (Jaharuddin 2004). Persamaan Dasar Misalkan fluida yang ditinjau memiliki rapat massa ρ ( x, z , t ) dengan x, z, t masingmasing koordinat horizontal, vertikal dan waktu. Kecepatan partikel dalam arah horizontal dan vertikal masing-masing dinotasikan oleh u dan w. Domain fluida diberikan pada gambar 1.
η 0 ( x, t )
Gambar 1 Domain fluida Menurut hukum kekekalan massa, laju perubahan massa dalam suatu sel adalah selisih antara massa yang masuk dan massa yang keluar dari sel tersebut. Berdasarkan hukum ini, diperoleh persamaan kontinuitas berikut ρ t + u ρ x + wρ z = 0 sehingga didapat persamaan u x + wz = 0 (1) setelah menggunakan asumsi fluida yang tidak mampat (incompressible).
Selanjutnya hukum kekekalan momentum yang melibatkan kesetimbangan momentum pada arah horizontal dan vertikal memberikan persamaan momentum berikut : ρ ( ut + uu x + wu z ) = − px dan
ρ ( wt + uwx + wwz ) = − pz − ρ g (2) dengan p dan g masing-masing menyatakan tekanan fluida dan percepatan gravitasi.
Dalam notasi vektor, persamaan (2) dapat ditulis sebagai r Dq r ρ = −∇p + ρ g (3) Dt dengan
D ∂ ∂ ∂ = +u + w Dt ∂t ∂x ∂z r q = u, w
dan
r g = g ∇ z.
(4)
(5)
Kemudian, berdasarkan asumsi aliran fluida yang tak berotasi (irrotational), diperoleh adanya suatu fungsi φ yang disebut sebagai fungsi potensial kecepatan, sehingga r q = ∇φ = φ x , φ z . (6) Berdasarkan persamaan (1) didapat φxx + φzz = 0 pada domain fluida.
(7)
Berikut ini akan dibahas syarat batas yang harus dipenuhi oleh gerak partikel fluida, yaitu syarat batas kinematik dan syarat batas dinamik. Misalkan
z = η 0 ( x, t )
adalah kurva yang
membatasi air dan udara. Kurva tersebut dinyatakan dalam persamaan permukaan S(x, z,t) = 0 dengan S(x, z, t) = η0 (x, t) − z . Syarat batas kinematik pada permukaan adalah η0t + uη0 x = w di z = η0 ( x, t ) (8) atau ηot + φxηox = φz di z = η0 ( x, t ). (9) Jika batas bawah fluida z = −h( x) , maka diperoleh uhx + w = 0 atau φx hx + φz = 0 yang merupakan syarat batas kinematik pada dasar fluida. Untuk memperoleh syarat batas dinamik, ruas kiri persamaan (3) akan dinyatakan dalam φ . D , diperoleh Dt r r Dq ∂q r r = + ( q.∇)q. Dt ∂t
Dari definisi
(10)
Suku kedua pada ruas kanan persamaan (10) dapat dituliskan menjadi 1 r r r r r ( q.∇)q = qx(∇xq ) + ∇( | q |2 ) . 2
3
r Karena q = ∇φ , maka r r 1 ( q.∇) q = ∇ (φx 2 + φz 2 ) 2 sehingga persamaan (10) menjadi r Dq ∂ 1 = ∇φ + ∇ (φx 2 + φz 2 ). Dt ∂t 2
(11)
Jika persamaan (11) disubstitusikan ke dalam persamaan (3), maka diperoleh ∂φ 1 1 r ∇ + ∇ (φ x 2 + φ z 2 ) = − ∇ p + g 2 ∂t ρ atau ⎛ ∂φ 1 ⎞ p ∇ ⎜ + (φx 2 + φz 2 ) + + gz ⎟ = 0. (12) ρ ⎝ ∂t 2 ⎠ Jika persamaan (12) diintegralkan terhadap koordinat ruang, maka diperoleh ∂φ 1 2 p (13) + (φx + φz 2 ) + + gz = f (t ) ∂t 2 ρ dengan f(t) adalah fungsi sembarang dari t. Peubah z menyatakan ketinggian partikel yang diamati dari dasar. Karena f(t) hanya fungsi dari t, maka dapat digabung ke fungsi φ , karena itu dapat dimisalkan f (t ) = 0 . Jika tekanan udara diasumsikan nol, maka dari persamaan (13) diperoleh ∂φ 1 2 (14) + (φx + φz 2 ) + gη0 = 0 di z =η0 (x,t). ∂t 2 Persamaan (14) merupakan syarat batas dinamik pada permukaan fluida. Dengan demikian persamaan dasar fluida ideal yang tak berotasi pada dasar yang tidak rata di z = −h( x) , diberikan oleh
φxx + φzz = 0 dengan syarat batas ηot + φxηox = φz di z = η0 ( x, t ) φx hx + φz = 0 di z = − h( x) 1 2
φt + (φx2 + φz 2 ) + gη0 = 0 di z =η0 (x,t). Berikut ini akan dibahas persamaan dasar untuk fluida dua lapisan.
Fluida Dua Lapisan Fluida dua lapisan adalah fluida yang terdiri atas dua lapisan yang masing-masing mempunyai rapat massa yang konstan.
Tinjau fluida dua lapisan dengan batas atas horizontal yang kaku di z = h1 , dan batas bawah yang berupa fungsi z = − h2 ( x) , seperti diberikan pada gambar 2. Misalkan batas bawah bersifat landai yaitu fungsi h2 ( x) mendekati nilai konstan untuk x yang jauh di ∞ dan −∞ .
z = h1
z =η(x,t) z = 0
z =−h2 (x)
Gambar 2 Domain fluida dua lapisan Misalkan fluida lapisan atas dan bawah masing-masing memiliki rapat massa ρ1 dan ρ 2 dengan ρ1 < ρ 2 . Batas kedua fluida berada di z = η ( x, t ) dengan φ1 dan φ2 masing-masing menyatakan kecepatan potensial pada lapisan atas dan lapisan bawah. Berdasarkan asumsi fluida yang tak berotasi (irrotational), diperoleh persamaan dasar berikut φ1 xx + φ1 zz = 0 di η < z < h1 (15) φ 2 xx + φ 2 zz = 0 di − h2 ( x) < z < η (16) dengan syarat batas atas dan bawah masingmasing adalah φ1z = 0 di z = h1 (17)
φ2 z = −φ2 x h2 x di z = −h2 ( x).
(18)
Syarat batas kinematik dari masing-masing fluida adalah ηt + φixη x = φiz di z = η , i = 1, 2. (19) Sedangkan syarat batas dinamik pada masingmasing lapisan didasarkan pada kekontinuan tekanan. Berdasarkan persamaan (13), diperoleh 1 2 ρ1 (φ1t + ∇φ1 + gη ) = 2 1 2 ρ 2 (φ2t + ∇φ2 + gη ) di z = η . (20) 2 Selanjutnya, persamaan dasar untuk fluida dua lapisan akan diformulasikan ke dalam sistem Hamilton. Namun sebelumnya, berikut ini akan dibahas konsep sistem Hamilton.
Sistem Hamilton
4
Didefinisikan fungsional pada ruang linear M, yaitu pemetaan H : M → R dengan H (υ ) =
∞
∫ h ( x, υ , υ , υ x
xx
,...)dx ,
(21)
−∞
dan h fungsi sembarang dari υ beserta turunan-turunannya. Turunan variasi dari fungsional H terhadap υ dengan notasi δH didefinisikan sebagai berikut
δυ δ H ∂h d ⎛ ∂h ⎞ d 2 ⎛ ∂h ⎞ = − ⎜ ⎟+ ⎜ ⎟ − .... (22) δυ ∂υ dx ⎝ ∂υ x ⎠ d x 2 ⎝ ∂υ xx ⎠
Suatu persamaan diferensial parsial dikatakan sebagai suatu sistem Hamilton, jika terdapat fungsional H dan operator simetri miring Γ sehingga persamaan diferensial parsial tersebut dapat dituliskan dalam bentuk ∂υ δH =Γ (23) . ∂t δυ Operator Γ : M → M dikatakan operator simetri miring, jika setiap υ , s ∈ M , υ , Γ s = − Γυ , s . Sebagai contoh, ∂ x yaitu operator turunan terhadap x , merupakan suatu operator simetri miring. Hamilton H merupakan besaran yang tetap, artinya bahwa jika υ ( x, t ) merupakan penyelesaian dari persamaan (23), maka nilai H (υ ( x, t ) ) tidak berubah terhadap waktu.
Sebagai contoh, sistem persamaan diferensial parsial ⎛δ H ⎞ ⎜ ⎟ υ δυ1 ⎟ ⎛ 1⎞ ∂ t ⎜ ⎟ = Γ ⎜⎜ ⎟, H δ ⎝υ2 ⎠ ⎜ ⎟ ⎜ υ ⎟ ⎝ 2 ⎠ ⎛ 0 −∂ x ⎞ Γ=⎜ ⎟ ⎝ −∂ x 0 ⎠ merupakan suatu sistem Hamilton, karena Γ operator simetri miring. Lalu, jika dua vektor v dan y memenuhi v = By dengan B suatu matriks, maka hubungan sistem Hamilton kedua vektor tersebut diberikan pada proposisi berikut. Proposisi 1 Misalkan y memenuhi persamaan δH ∂T y = Γ . δy Jika v memenuhi v = B.y, maka δH ∂T v = Γ , δv dengan Γ = B ΓB * , H (v) = H ( y ). Bukti proposisi dapat dilihat pada (Grosen 1992).
Penjelasan untuk ini dapat dilihat pada (Jaharuddin 2004).
Selanjutnya, berikut ini akan diberikan suatu sistem Hamilton untuk fluida dua lapisan.
Berikut ini akan dibahas sistem persamaan diferensial yang merupakan sistem Hamilton. Definisikan fungsional H berikut H (υ1 ,υ2 ) = ∫ h ( x,υ1 ,υ2 ,υ1x ,υ2 x ,υ1xx ,...)dx
Misalkan Hamiltonian (energi total) pada fluida dua lapisan didefinisikan sebagai penjumlahan Energi Kinetik dan Energi Potensial. Dalam hal ini Hamiltoniannya berbentuk :
dengan h fungsi sembarang dari υ1 dan υ2 beserta turunan-turunannya. Suatu sistem persamaan diferensial parsial dikatakan sistem Hamilton, jika terdapat fungsional H dan operator simetri miring Γ sehingga sistem persamaan diferensial parsial tersebut dapat ditulis dalam bentuk ⎛δ H ⎞ ⎜ ⎟ δυ1 ⎟ ⎛ υ1 ⎞ (24) ∂ t ⎜ ⎟ = Γ ⎜⎜ ⎟ ⎝ υ2 ⎠ ⎜δ H ⎟ ⎜ δυ ⎟ ⎝ 2⎠ dimana Γ berupa matriks berorde 2.
∞
H=
∫ ( K + P )dx.
(25)
−∞
Besaran K dan P masing-masing adalah h1 η 1 1 K = ∫ ρ2 | ∇φ2 |2 dz + ∫ ρ1 | ∇φ1 |2 dz. (26) 2 η 2 −h2 ( x) P=
1 g ( ρ 2 − ρ1 )η 2 . 2
(27)
Misalkan pula φ = ρ 2φ2 − ρ1φ1 di z = η (28) φ dan φ memenuhi persamaan (15) dengan 1 2 hingga persamaan (20) dan kondisi batas berikut
5
(29) φ1z − φ1xη x = φ2 z − φ2 xη x di z = η . Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : δH φt = − (30)
δη
δH ηt = . δφ Dengan mengenalkan variabel baru u = φx , maka persamaan (30) menjadi ⎛δH ⎞ ut = −∂ x ⎜ ⎟ ⎝ δη ⎠ (31) ⎛δH ⎞ ηt = −∂ x ⎜ . ⎟ ⎝ δu ⎠ (penurunan dapat dilihat pada lampiran 1) Persamaan (30) merupakan sistem Hamilton untuk fluida dua lapisan dengan peubah φ dan η . Sedangkan persamaan (31) merupakan
sistem Hamilton untuk fluida dua lapisan dengan peubah u dan η . Dalam persamaan (30), fungsi φ bergantung pada φ1 dan φ2 yang merupakan penyelesaian dari persamaan (15) hingga persamaan (20) dan persamaan (29). Fungsi φ1 dan φ2 ini, secara analitik dan numerik sulit diselesaikan, karena adanya faktor tak linear. Oleh karena itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah menentukan hampiran analitik untuk fungsi φ1 dan φ2 . Selain itu, akan ditentukan pula suatu sistem Hamilton yang ekivalen dengan sistem Hamilton (31), tetapi menggunakan peubah fisis sehingga interpretasinya mudah dilakukan.
PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas suatu sistem Hamilton dari persamaan dasar untuk fluida dua lapisan yang ekivalen dengan sistem Hamilton yang diberikan dalam persamaan (31). Dalam persamaan (31), Hamilton dari sistem tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit sehingga sulit ditentukan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas bagaimana bentuk suatu sistem Hamilton sehingga Hamiltoniannya dapat dinyatakan secara eksplisit, yaitu hanya bergantung pada sistem fisis fluida.
Hampiran untuk φ Untuk menyelesaikan masalah nilai batas (15) hingga (20) diasumsikan panjang gelombang yang ditinjau cukup panjang sehingga dimisalkan X =εx (32a) T = εt , dengan ε suatu parameter. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa gelombang yang ditinjau memiliki amplitudo yang cukup kecil dengan orde ε 2 , sehingga dimisalkan η = ε 2 A( X , T ) (32b) u = ε 2U ( X , T ).
Dengan menggunakan persamaan (32), maka masalah nilai batas (15) hingga (18) menjadi ε 2φ1 XX + φ1zz = 0 , φ1z = 0 di z = h1 (33a)
ε 2φ2 XX + φ2 zz = 0 ,
φ2 z = −ε 2φ2 X h2 X di z = −h2 ( X ) .
(33b)
Masalah nilai batas (33a) dan (33b) diselesaikan dengan menggunakan metode asimtotik. Dalam metode ini, dimisalkan solusi φ1 dan φ2 dalam bentuk :
φ1 = εφ1(1) + ε 3φ1(2) + ε 5φ1(3) + ...
(34a)
φ2 = εφ2 + ε φ2 + ε φ2 + ... (34b) (i ) (i ) dengan φ1 dan φ2 (i=1,2,...) yang akan (1)
3
(2)
5
(3)
ditentukan. Jika persamaan (34a) disubtstisusikan ke persamaan (33a), maka diperoleh εφ1zz(1) +ε 3 (φ1XX (1) +φ1zz(2) ) +ε 5 (φ1 XX (2) + φ1zz (3) ) + ... = 0 dan di z = h1 diperoleh
(35a)
φ1zz = εφ1zz (1) + ε 3φ1zz (2) + ε 5φ1zz (3) +... = 0 . (35b)
6
Lalu, berdasarkan persamaan (35a) dan (35b), koefisisen ε memberikan masalah nilai batas berikut (36a) φ1zz (1) = 0
φ1z (1) = 0 di z = h1 .
(36b)
Jika persamaan (36a) diintegralkan terhadap z dari z = h1 , maka diperoleh
φ1z (1) − φ1z (1) |z = h = 0 .
Fungsi φ1(1) tidak bergantung pada z, misalkan
φ
= F1 ( X , T ) (37) dengan F1 ( X , T ) fungsi sembarang yang akan ditentukan. (1) 1
Selanjutnya koefisien ε 3 dan ε 5 pada persamaan (35a) dan (35b), masing-masing memberikan masalah nilai batas berikut : (38a) φ1 XX (1) + φ1zz (2) = 0 (38b)
dan di z = h1 (39)
Jika persamaan (38a) dan (38b) diintegralkan terhadap z dari dasar z = h1 , dan menggunakan persamaan (39), maka didapat φ1z ( 2) = − F1 X X ( z − h1 ) 1 6
φ1z (3) = F1 XXX ( z − h1 )3 . Kemudian jika kedua persamaan tersebut diintegralkan lagi terhadap z dari dasar z = h1 , diperoleh 1 (40) φ1 ( 2) = − F1 XX ( z − h1 ) 2 2 1 φ1(3) = F1 XXXX ( z − h1 ) 4 . (41) 24 (penurunan dapat dilihat pada lampiran 2) Selanjutnya, jika persamaan (34b) disubstitusikan ke persamaan (33a), maka diperoleh εφ 2 zz (1) + ε 3 (φ 2 XX (1) + φ 2 zz ( 2 ) ) + ε 5 (φ 2 XX ( 2 ) + φ 2 zz ( 3 ) ) + ... = 0
(42)
dan di z = − h2 ( x)
φ2 z = −ε 2φ2 X h2 X .
(44b)
Jika persamaan (44a) diintegralkan terhadap z pada z = − h2 ( X ) , maka diperoleh 2
Lalu dengan menggunakan persamaan (36b) didapatkan φ1z (1) = 0 .
φ1z (2) = 0 dan φ1z (3) = 0 .
φ2 z = −ε 2φ2 X h2 X di z = − h2 ( X ) .
φ 2 z (1) − φ 2 z (1) | z = − h = 0.
1
φ1 XX (2) + φ1zz (3) = 0 ,
Berdasarkan persamaan (42) dan (43) koefisien ε memberikan masalah nilai batas berikut (44a) φ2 zz (1) = 0
(43)
Lalu dengan menggunakan persamaan (44b), maka φ 2 z (1) berupa fungsi yang tidak bergantung pada z, misalkan φ 2 (1) = F2 ( X , T ) . (45) Selanjutnya, koefisien ε 3 persamaan (42) memberikan φ2 XX (1) + φ2 zz (2) = 0
dan
ε5
φ2 XX + φ2 zz = 0 , dan di z = − h2 ( X ) , (2)
(3)
φ2 z (2) = 0 dan φ2 z (3) = 0 .
pada (46a) (46b) (47)
Jika persamaan (46a) dan (46b) diintegralkan terhadap z dari z = − h2 ( X ) dan memperhatikan persamaan (47), maka didapat ∂ φ2 z (2) − φ2 z (2) |z =−h2 = − F2 X ( X , T ) z |z =−h2 ∂X 1 ∂ φ 2 z ( 3) = ( F2 X ( z ) 3 | z = − h2 ) . 6 ∂X 3 Kemudian, apabila persamaan di atas diintegralkan terhadap z dari z = − h2 ( X ) , diperoleh 1 ∂ (48) φ 2 ( 2) = − ( F2 X ( z 2 )) | z = − h2 2 ∂X 1 ∂ φ2 (3) = ( F2 X ( z + h2 ) 4 ) . (49) 24 ∂X 3 (penurunan dapat dilihat pada lampiran 3) Dengan demikian dari persamaan (37), (40), (41) dan persamaan (45), (48), (49) didapat φ1 = ε F1 ( X , T ) −
1 3 ε F1 X X ( z − h1 ) 2 + 2
1 5 ε F1 X X X X ( z − h1 ) 4 + ... 24
1 2
φ2 = ε F2 ( X , T ) − ε 3
(50)
∂ ( F2 X ( z + h2 ) 2 ) + ∂X
1 5 ∂ ( F2 X ( z + h2 ) 4 ) + ... . ε 24 ∂X 3
(51)
Persamaan (50) dan (51) masing-masing adalah penyelesaian hampiran untuk φ1 dan
7
φ2 sehingga fungsi φ pada persamaan (28) dapat ditentukan. Berikut ini akan ditentukan persamaanpersamaan yang berlaku untuk F1 dan F2 .
Sistem Hamilton untuk gelombang dua arah Dengan menggunakan persamaan (32), Hamiltonian pada persamaan (25) menjadi ∞
Hampiran untuk F1 dan F2 Karena u = φx , maka dari persamaan (28) dan fungsi φ1 dan φ2 pada persamaan (50) dan (51), diperoleh U = ρ 2 F2 ( X , T ) − ρ1 F1 ( X , T ) ∂ ⎧ 1 +ε 2 ⎨− ρ 2 ( F2 X ( z + h2 )2 ) + ∂X ⎩ 2 1 ⎫ ρ1h1 F1 XX ( z − h1 ) 2 ⎬ + .... (52) 2 ⎭ Selanjutnya dengan menggunakan kondisi kinematik pada (29) dan persamaan (32) diperoleh φ1z − φ2 z = ε 2η X (φ1 X − φ2 X ) sehingga 1 ⎧ h1F1X + h2 F2 X = ε 2 ⎨ A(F1X − F2 X ) + h13 F1XXX + 6 ⎩
1 ∂ 6 ∂X
2
⎫ ( h 2 3 F 2 X ) ⎬ + .... ⎭
⎧ −ρ (h + h ) (h2 ρ1 + h1ρ2 )F1X = −h2U + ε ⎨ 2 1 2 AU ⎩ (h2 ρ1 + h1ρ2 ) 2
(54)
dengan J=
1
ε4
( K + P) .
Jika bentuk K dan P masing-masing pada persamaan (26) dan (27) disederhanakan dengan menggunakan φ1 dan φ2 masingmasing pada persamaan (50) dan (51), maka diperoleh 1 1 2 1 2 J = g(ρ2 − ρ1)A2 + ε 2ρ1hF 1 1X + ρ2h2 F2X 2 2 2 1 1 + ε 2 ρ1h13 F1 XX 2 + ε 2 ρ 2 h23 F2 XX 2 6 6 1 2 2 (57) + ε ( ρ 2 F2 X − ρ1 F1 X 2 ) A + .... 2 (penurunan dapat dilihat pada lampiran 5) Karena bentuk F1 dan F2 dapat dieliminasi berdasarkan persamaan (54) dan (55), maka bentuk J pada persamaan (57) menjadi h1h2 1 1 J = g ( ρ 2 − ρ1 ) + U2 2 2 ( h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) +ε 2 ( β U X 2 + vAU 2 ) + ... dengan h 2 h 2 ( ρ1h1 + ρ 2 h2 ) β= 1 2 6 (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) 2
(58a) (58b)
1 ( ρ 2 h12 − ρ1h2 2 ) . (58c) 2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) 2 (penurunan dapat dilihat pada lampiran 6) v=
Kemudian, jika persamaan (52) dikalikan dengan h1 dan persamaan (53) dikalikan dengan ρ1 , maka diperoleh 2 ⎧ −ρ1(h1 + h2 ) (h2ρ1 + h1ρ1)F2X = hU AU + 1 +ε ⎨ ⎩(ρ1h2 + ρ2h1)
1 1 1 ⎫ ρ1h 13 h2 + ρ1h23h1 + ρ2 h12 h22 ⎪ 3 6 2 U XX ⎬ + .... (ρ1h2 + ρ2 h1 ) ⎪ ⎭
(56)
−∞
(53)
Persamaan (52) dan (53) menghasilkan suatu relasi untuk menentukan F1 dan F2 dalam U dan A. Jika persamaan (52) dikalikan dengan h2 , dan persamaan (53) dikalikan dengan ρ 2 , diperoleh
1 1 2 2⎞ ⎫ ⎛1 3 3 ⎜ ρ2hh 1 2 + ρ2 h1 h2 + ρ1h1 h2 ⎟ ⎪⎪ 3 6 2 ⎝ ⎠ − UXX ⎬ + .... (ρ1h2 + ρ2h1) ⎪ ⎭⎪
H = ε 3 H = ε 3 ∫ JdX
(55)
(penurunan dapat dilihat pada lampiran 4) Persamaan (54) dan (55) masing-masing merupakan persamaan untuk menentukan F1 dan F2 .
Lalu dengan menggunakan persamaan (32) dan (56), maka berdasarkan sistem Hamiltonian (31) diperoleh ⎛ δH ⎞ U T = −∂ X ⎜ ⎟ ⎝ δA ⎠ ⎛ δH ⎞ AT = −∂ X ⎜ (59a) ⎟, ⎝ δU ⎠ dengan ∞
H=
∫ JdX ,
−∞
dan J memenuhi persamaan (58).
(59b)
8
Persamaan (59) merupakan sistem Hamilton untuk gelombang yang bergerak dalam dua arah pada fluida dua lapisan. Berdasarkan definisi turunan variasi pada persamaan (22), dengan J pada persamaan (58), maka persamaan (59) dapat dinyatakan berikut U T + ( g ( ρ 2 − ρ1 ) A + ε 2 vU 2 ) X + ... = 0 ⎛ h1h2 AT + ∂ X ⎜ U ⎝ ( ρ1h2 + ρ 2 h1 )
(60)
+ 2ε 2 vAU + 2ε 2 β U XX ) + ... = 0.
Persamaan (60) dikenal sebagai persamaan Boussinesq. Persamaan Boussinesq (60) menunjukkan bahwa gelombang tersebut bergerak dalam dua arah, ke kanan dan ke kiri.
Sistem Hamilton untuk gelombang satu arah Berikut ini akan ditinjau gelombang yang merambat hanya dalam satu arah, misalnya ke kanan saja. Oleh karena itu, dikenalkan variabel baru R dan S, sebagai berikut A= R−S (61a) g ( ρ 2 − ρ1 ) U= (R + S ) c dengan g ( ρ 2 − ρ1 ) . (61b) c2 = ρ1h2 + ρ 2 h1 Jika persamaan (61a) disubstitusikan ke persamaan (59b) dengan J pada persamaan ^ (58), maka diperoleh H = 2 g ( ρ 2 − ρ 1 ) H dimana ^
H =
∞
∫
^
J dX
(62a)
−∞
dan ^
J=
g ( ρ 2 − ρ1 ) 1 2 (R + S 2 ) + ε 2 2 2c 2 + {− β ( RX + S X ) 2
+ v( R + S ) 2 ( R − S )} + ... .
(62b)
Berdasarkan sistem Hamilton (59a) dalam peubah U dan A, dan persamaan (61), maka diperoleh sistem Hamilton dalam R dan S yang merujuk pada proposisi 1 dalam bab landasan teori. Sistem Hamilton dalam R dan S tersebut berbentuk
1 ⎛ −Γ − c X ⎛ RT ⎞ ⎜ 2 ⎜ ⎟=⎜ ⎝ ST ⎠ ⎜ 1 c Γ ⎜ X ⎝2
⎛ ^ ⎞ ⎞⎜ δ H ⎟ ⎟⎜ δ R ⎟ ⎟⎜ ^ ⎟ ⎟⎜ δ H ⎟ ⎟ ⎟ ⎠⎜ ⎝ δS ⎠
(63a)
dengan 1 (63b) {c∂ X + ∂ X c} . 2 Karena ∂ X suatu operator simetri miring, maka Γ juga operator simetri miring. Jadi persamaan (63a) merupakan sistem Hamilton, ^ dengan Hamiltonian H . Γ=
Selanjutnya, tinjau gelombang yang merambat ke kiri yang dinyatakan oleh S dengan persamaan gerak yang dominan berbentuk 1 (64) ST = cS X + c X ( R + S ) + O(ε 2 ) . 2 Karena h2 X berorde O(ε 2 ) , maka bentuk S bernilai sangat kecil, yaitu S ≈ 0 . Dengan demikian sistem Hamilton (63) menjadi ^
δH RT = −Γ δR
(65) ^
^
dengan H pada (62a) dan J diberikan berikut ^ g (ρ2 − ρ1 ) 1 J = R2 + ε 2 {−β RX 2 + vR3}. (66) 2 2c2 Jika β dan v masing-masing pada persamaan (58b) dan (58c) dan bentuk c 2 pada (61b) digunakan, maka persamaan (66) menjadi ^ 1 ⎧ −λ 2 µ 3 ⎫ J = R2 + ε 2 ⎨ RX + R ⎬ + ... (67a) 2 6 ⎭ ⎩ 2 dengan h h ( ρ h + ρ 2 h2 ) λ= 1 2 11 (67b) 6 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) dan 3 ( ρ 2 h12 − ρ1h2 2 ) µ= . (67c) 2h1h2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) (penurunan dapat dilihat pada lampiran 7) Karena S ≈ 0 , maka A ≈ R sehingga sistem Hamilton (65) menjadi ^
1 δH AT = − {c∂ X + ∂ X c} 2 δA dengan ^
H =
∞
∫
−∞
dan
^
J dX
(68a)
(68b)
9
1 2 ⎧ −λ 2 µ 3 ⎫ (68c) A +ε2 ⎨ AX + A ⎬ + ... 2 6 ⎭ ⎩ 2 Persamaan (68) merupakan sistem Hamilton untuk gelombang yang bergerak dalam satu arah pada fluida dua lapisan. ^
J=
Dengan menggunakan definisi turunan variasi, maka persamaan (68) menjadi −2 AT = 2cAX + c X A + ε 2 {2cλ AXXX
µ
⎫ A2 ⎬ (69) 2 ⎭ dengan λ dan µ masing-masing diberikan oleh persamaan (67b) dan (67c). Persamaan (69) dikenal sebagai persamaan KdV. +2c µ AAX + c X λ AXX + c X
Selanjutnya, dengan cara yang sama untuk memperoleh persamaan (73), koefisien σ 1 memberikan ⎛λ ⎞⎪⎫ c ∂ ⎪⎧ V0 − c A1 + ε 2 ⎜ 2 A1ΦΦ + µ A0 A1 ⎟⎬ ⎨− V0 ∂Φ ⎪⎩ c V ⎝ 0 ⎠⎪⎭ + F1 = 0 (75a) dengan 3 2c F1 = − V1 A0 Φ + 2 A0 Φ + cA0 s V0 V0 ⎧ V µ +ε 2 2c ⎨ µ 12 A0 A0Φ + A0 A0 s 2 ⎩ V0 −
Deformasi Gelombang Soliter Dalam bagian ini akan dikaji bagaimana perubahan amplitudo gelombang soliter terhadap perubahan kedalaman fluida (deformasi gelombang soliter). Kajian ini akan memanfaatkan persamaan KdV (69) yang berupa sistem Hamilton. Persamaan ini digunakan karena sifat Hamilton (energi) pada fluida dua lapisan yang tetap (konstan) terhadap perubahan waktu. Untuk itu, misalkan amplitudo a( s ) dan kecepatan gelombang V ( s ) sebagai fungsi dari variabel s dengan s = σ X dan σ suatu parameter dengan σ << ε 2 . Ini berarti bahwa dasar fluida yang ditinjau bervariasi dengan sangat lambat. Selanjutnya misalkan pula suatu variabel baru berikut : 1 s ds ' (70) Φ= ∫ −T . σ 0 V ( s ') Berikut ini akan ditentukan hampiran penyelesaian persamaan KdV (69) dengan cara memisalkan variabel A dan V dalam uraian asimtotik berikut A = A0 (Φ, s) + σ A1 (Φ, s) + ... (71) V = V0 + σ V1 + ... .
(72)
Jika persamaan (71) dan (72) disubstitusikan ke dalam persamaan (69), kemudian memisahkan koefisien - koefisien perpangkatan dari σ , maka koefisien σ 0 memberikan ⎞ ⎛ V0 − c ⎞ 2⎛ λ ⎜ c ⎟ A0Φ = ε ⎜ V 2 A0ΦΦΦ + µ A0 A0Φ ⎟ . (73) ⎝ ⎠ ⎝ 0 ⎠ Jika persamaan (73) diintegralkan terhadap Φ , maka diperoleh ⎧λ ⎫ (V0 − c ) µ A0 = ε 2 ⎨ 2 A0 ΦΦ + A0 2 ⎬ . (74) c 2 ⎩V0 ⎭
⎫ 5 3λ λ A0 s A0 ΦΦ + 2 A0 ΦΦs ⎬ 2V03 2V0 ⎭
⎫⎪⎫ λ ⎪⎧ A ⎧ µ + cs ⎨ 0 + ⎨ A02 + 2 A0 ΦΦ ⎬⎬ . 2 4 2 V 0 ⎩ ⎭⎭⎪ ⎩⎪
Jika persamaan (73) dan (74) digunakan, maka bentuk F1 menjadi cs (V0 A0 ) 2c ⎫⎪ ⎛λ ⎞ c ∂ ⎧⎪ 2λ +ε 2 ⎨ 2 A0 Φs + ⎜ ⎟ A0 Φ ⎬ V0 ∂Φ ⎪⎩V0 ⎪⎭ ⎝ V0 ⎠ s
F1 = (V0 A0 ) s −
⎛ 3cλ ⎞⎪⎫ cµ ⎪⎧ c +V1 ⎨− 2 A0Φ +ε 2 ⎜− 4 A0ΦΦΦ − 2 A0 A0Φ ⎟⎬. (75b) V V V 0 ⎝ 0 ⎠⎭⎪ ⎩⎪ 0 (penurunan dapat dilihat pada lampiran 8)
Berdasarkan persamaan (73) dan (75a), maka syarat keterselesaian pada persamaan (75a) adalah
∫
∞
−∞
F1 A0 d Φ = 0 .
(76) (Stakgold 1967)
Jika F1 pada persamaan (75b) disubstitusikan ke dalam persamaan (76) maka diperoleh ∞ λ ⎫ ∂ ⎧ ∞ 1 V02 2 A0 dΦ−ε 2 ∫ A02ΦdΦ⎬ = 0 . (77) ⎨∫−∞ −∞ V0 ∂s ⎩ 2 c ⎭ Jika persamaan (77) diintegralkan terhadap s , diperoleh 2 ∞ 1V ∞ λ 2 2 2 0 ∫−∞ 2 c A0 dΦ − ε ∫−∞ V0 A0Φ dΦ =konstan . (78) (penurunan dapat dilihat pada lampiran 9) Dengan menggunakan persamaan (73), maka persamaan (78) menjadi
10
∞⎛ 1 2 λ 2 µ 3⎞ 2 ∫−∞ 2V0 A0 dΦ+ε ∫−∞⎜⎝− 2V02 A0Φ + 6 A0 ⎟⎠V0dΦ ∞
(79) = konstan . (penurunan dapat dilihat pada lampiran 10) Karena dX = Vd Φ yang diperoleh dari persamaan (70), maka persamaan (79) menjadi ∞ ⎡1 µ 3 ⎫⎤ 2 2 ⎧ λ 2 ∫−∞ ⎢⎣ 2 A0 + ε ⎨⎩− 2 A0 X + 6 A0 ⎬⎭⎥⎦dX = konstan
atau ∞ ^
∫ JdX = konstan
(80)
−∞
dengan ^
J=
1 2 µ ⎧ −λ ⎫ A0 + ε 2 ⎨ A0 X 2 + A03 ⎬ + .... 2 6 ⎩ 2 ⎭
Jika persamaan (80) dan persamaan (68c) dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa ruas kanan persamaan (80) merupakan energi total (Hamiltonian) untuk gelombang dengan simpangan A0 . Dalam hal ini diperoleh pula bahwa energi total (Hamiltonian) dari A0 ini konstan terhadap perubahan waktu. Hal ini sesuai dengan sifat Hamiltonian yang tetap. Selanjutnya berdasarkan persamaan (80) juga dapat diperoleh kaitan antara amplitudo gelombang soliter dengan variasi kedalaman fluida. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari persamaan (73) diperoleh persamaan diferensial biasa berikut 1
⎛ 2V 2 (V − c) µ ⎞2 dA0 = A0 ⎜ 2 0 0 − 2V02 A0 ⎟ . dΦ 6λ ⎝ε λ c ⎠ Penyelesaian persamaan diferensial biasa tersebut adalah A0 = a sec h 2γΦ (81a) dengan a dan γ memenuhi 2
⎛γ ⎞ V0 − c µa (81b) =ε2 = 4ε 2 λ ⎜ ⎟ . c 3 ⎝ V0 ⎠ (penurunan dapat dilihat pada lampiran 11)
Persamaan (81a) merupakan penyelesaian gelombang soliter persamaan KdV (73). Jika A0 pada persamaan (81a) disubstitusikan ke dalam persamaan (78), maka diperoleh
2
ε2 ⎫ a3λ ⎧ (82) ⎨1 + 2 µ a ⎬ = konstan µ ⎩ 5 ⎭ setelah mengabaikan suku-suku pada orde ε 4 . Khusus untuk ρ1 = 0 , yaitu fluida satu lapisan dengan kedalaman h2 = h , maka dari persamaan (81b) dan (81c) masing-masing memberikan h2 3 λ= . dan µ = 6 2h Dengan demikian berdasarkan persamaan (82) diperoleh 3a 3/ 2 (83) ( ah ) ⎧⎨1 + ε 2 ⎫⎬ = konstan 10h ⎭ ⎩ Berdasarkan persamaan (83) diperoleh bahwa a berbanding terbalik dengan h . Dalam hal ini gelombang soliter memiliki amplitudo yang kecil, jika kedalaman fluida membesar. Sebaliknya, amplitudo gelombang soliter membesar pada fluida yang memiliki kedalaman yang kecil. Dengan adanya bentuk O (ε 2 ) seperti pada persamaan (83), maka hasil ini dapat dikurangi. Dengan kata lain, gelombang soliter pada fluida dengan kedalaman yang dangkal memiliki ampllitudo yang tidak begitu besar, seperti di gambar 3. (program dapat dilihat pada lampiran 12)
11
Gambar 3 Hubungan a dan h pada fluida satu lapisan untuk berbagai nilai ε
Selanjutnya, untuk fluida dua lapisan dengan asumsi ρ1 ≈ ρ 2 (pendekatan Boussinesq), maka dari persamaan (67b) dan (67c) , diperoleh hh 3(h − h ) λ = 1 2 dan µ = 1 2 . 6 2h1h2 Berdasarkan persamaan (82), diperoleh
2
a 3 h12 h22 ⎧ 3 h1 − h2 2 ⎫ ε ⎬ = konstan. (84) ⎨1 + a h1 − h2 ⎩ 5 h1h2 ⎭
Dari persamaan di atas dapat dikatakan bahwa untuk h2 → h1 , amplitudo gelombang soliter interfacial cukup kecil. Sedangkan pengaruh dari bentuk pada O(ε 2 ) tidak signifikan.
Kesimpulan Persamaan dasar untuk fluida ideal yang tak berotasi (irrotational) diturunkan dari persamaan kekontinuan dan persamaan momentum. Kemudian, formulasi Hamilton untuk mendapatkan persamaan gerak bagi gelombang internal pada fluida dua lapisan, diturunkan dengan asumsi bahwa domain fluida dua lapisan dibatasi oleh batas atas yang rata dan batas bawah yang tidak rata (berupa fungsi). Untuk menentukan Hamiltonian (energi total)-nya membutuhkan asumsi gelombang interfacial yang cukup panjang dan amplitudo yang cukup kecil. Persamaan gerak yang diperoleh (persamaan KdV) berupa sistem Hamilton dengan energi (Hamilton) konstan terhadap perubahan waktu. Hal tersebut sesuai dengan sifat Hamiltonian yang tetap. Berdasarkan sifat Hamilton ini diperoleh deformasi
gelombang soliter interfacial. Pada fluida satu lapisan diperoleh bahwa amplitudo gelombang soliter memiliki hubungan terbalik dengan kedalaman fluida pada orde rendah. Gelombang soliter memiliki amplitudo yang kecil jika kedalaman fluida membesar. Sebaliknya, amplitudo gelombang soliter membesar pada fluida yang memiliki kedalaman yang kecil untuk orde yang rendah. Tetapi pada orde yang lebih tinggi diperoleh bahwa gelombang soliter pada fluida dengan kedalaman yang dangkal memiliki amplitudo yang tidak begitu besar. Selanjutnya untuk fluida dua lapisan, dengan formulasi ini diperoleh bahwa jika kedalaman kedua lapisan hampir sama, maka amplitudo gelombang soliter interfacial cukup kecil, sedangkan pengaruh orde yang lebih tinggi tidak signifikan.
13
Daftar Pustaka David, H, dan Robert R. 1994. Fisika. Erlangga. Jakarta. Gerkema, T. 1994. Nonlinear Dispersive Internal Tide: Generation Models For A Rotating Ocean. Phd-Thesis. Univ. of Utrecht: The Netherlands. Grimshaw, R, dan S. R. Pudjaprasetya. 1998. Hamiltonian formulation for the description of interfacial solitary waves. Nonlinear Process in Geophysics. 1-12. Grimshaw, R. 1981. Evolution equation for long, nonlinear internal waves in stratified shear flows. Studies in Apllied Math. 65. 159188.
Grosen, E. V. 1992. Hamilton and Poisson Structure of Surface Waves. Wave Motions. 110. Jaharuddin. 2004. Suatu Formulasi Hamiltonian Bagi Gerak Gelombang Interfacial yang Merambat dalam Dua Arah. Jurnal Matematika dan Aplikasinya. 3, 35-43. Osborne, A. R, and T. L. Burch. 1980. Internal Solitons in the Andaman Sea. Science. 208, 451-460. Stakgold. 1967. Boundary Value Problems of Mathematical Physics. Vol 1. Mc Millan, Newyork.
14
LAMPIRAN
14 15
Lampiran 1. Penurunan persamaan (31) Diketahui persamaan (30) δH φt = −
δη δH ηt = . δφ Diketahui dari proposisi 1 pada landasan teori, maka ⎛φ ⎞ ⎛ 0 ∂t ⎜ ⎟ = ⎜ ⎝η ⎠ ⎝ 1
⎛ ∂H − 1⎞ ⎜ ∂φ ⎟⎜ 0 ⎠ ⎜ ∂H ⎜ ∂η ⎝
⎞ ⎟ ⎟. ⎟ ⎟ ⎠
Sehingga didapat ⎛ ∂H − 1⎞ ∂H ⎜ ∂φ =⎜ ⎟; 0 ⎠ ∂y ⎜ ∂H ⎜ ⎝ ∂η
⎞ ⎟ ⎟. ⎟ ⎟ ⎠ Dengan mengenalkan variabel baru u = φx , maka didapat ⎛0 Γ=⎜ ⎝1
⎛ u ⎞ ⎛ ∂x 0 ⎞ ⎛φ ⎞ ⎟⎜ ⎟ . ⎜ ⎟=⎜ ⎝η ⎠ ⎝ 0 1 ⎠ ⎝η ⎠ Sehingga didapat ⎛∂ 0⎞ B=⎜ x ⎟. ⎝ 0 1⎠ Menurut proposisi pada bab landasan teori didapat Γ = BΓ B * ⎛∂ Γ=⎜ x ⎝0 ⎛ 0 Γ=⎜ ⎝ −∂ x
0 ⎞ ⎛ 0 − 1⎞ ⎛ −∂ x ⎟⎜ ⎟⎜ 0 ⎠⎝ 0 1 ⎠ ⎝1 − ∂x ⎞ ⎟. 0 ⎠ Sehingga persamaan (30) menjadi ⎛δH ⎞ ⎛u ⎞ ⎛ 0 − ∂x ⎞⎜ δ u ⎟ ⎟ ∂t ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟⎜ ⎝η ⎠ ⎝ −∂ x 0 ⎠ ⎜ δ H ⎟ ⎜ δη ⎟ ⎝ ⎠ ⎛δH ⎞ ut = −∂ x ⎜ ⎟ ⎝ δη ⎠ ⎛δH ⎞ ηt = −∂ x ⎜ ⎟. ⎝ δu ⎠
0⎞ ⎟ 1⎠
Lampiran 2. Penurunan persamaan (40) dan (41) Persamaan (40) Berdasarkan persamaan (38a), diperoleh φ1zz (2) = −φ1 XX (1) = − F1 XX ( X , T ) .
Jika persamaan diatas diintegralkan terhadap z dari z = h1 , maka diperoleh
φ1z (2) − φ1z (2) |z = h = − F1 XX ( z − h1 ) . 1
Dari persamaan (38b) persamaan di atas menjadi φ1z (2) = − F1 XX ( z − h1 ) .
15 16
dan jika diintegralkan terhadap z dari z = h1 , didapat φ1( 2 ) − φ1( 2 ) |z = h = − 1
F1 X X ( z − h1 ) 2 2
F1 X X ( z − h1 ) 2 + φ 1 ( 2 ) | z = h1 2 F ( z − h1 ) 2 = − 1XX + g ( X ,T ) . 2
φ1( 2 ) = − φ1( 2 )
Karena F fungsi sembarang yang tidak bergantung pada z , maka g (X,T) dapat dimasukkan ke dalam F, sehingga diperoleh F ( z − h1 ) 2 . φ1( 2 ) = − 1 X X 2 Persamaan (41) Berdasarkan persamaan (38b), diperoleh φ 1 zz ( 3 ) = − φ 1 X X ( 2 ) =
F1 X X X X ( z − h1 ) 2 2
dan dengan menggunakan cara yang sama pada penurunan persamaan (40), yaitu dengan mengintegralkan dua kali terhadap z dari z = h1 , diperoleh φ 1 z z ( 3 ) | zz = h = 1
z
∫
h1
F1 X X X X ( z − h1 ) 2 F ( z − h1 ) 3 d z = 1 XXXX 2 6
F1 X X X X ( z − h1 ) 3 6 F1 X X X X ( z − h1 ) 3 F ( z − h1 ) 4 d z = 1XXXX 6 24
φ1z (3) = φ 1 z ( 3 ) | zz = h = 1
z
∫
h1
sehingga
φ (3) =
F1 XXXX ( z − h1 ) 4 . 24
Lampiran 3. Penurunan persamaan (48) dan (49) Persamaan (48) Berdasarkan persamaan (46a)
∂ ∂ . = − F2 X ∂X ∂X Jika persamaan di atas diintegralkan terhadap z dari dasar z = − h2 ( X ) , maka didapat
φ2 zz (2) = −φ2 XX (1) = −φ2 X (1)
φ2 z (2) − φ2 z (2) |z =− h = − 2
∂ F2 X z |z =− h2 . ∂X
Dari persamaan (46a), persamaan di atas menjadi ∂ φ2 z (2) = − F2 X .z |z =− h2 . ∂X Kemudian apabila persamaan tersebut diintegralkan kembali terhadap z dari dasar z = − h2 ( X ) , diperoleh
φ2 (2) − φ2 (2) |z =− h = − 2
∂ ∂X ∂ =− ∂X
φ2 (2) = − φ2 (2)
∂ 1 F2 X .z 2 |z =− h2 ∂X 2
1 F2 X .z 2 |z =− h2 +φ2 (2) |z =− h 2 2 1 F2 X .z 2 |z =− h2 + h( X , T ) . 2
Karena F fungsi sembarang yang tidak bergantung pada z, maka h( X , T ) dapat dimasukkan ke dalam F, sehingga diperoleh
φ2 (2) = −
∂ 1 F2 X .z 2 |z =− h2 . ∂X 2
16 17
Persamaan (49) Berdasarkan dari persamaan (46b)
φ 2 zz ( 3 ) = − φ 2 X X ( 2 ) =
1 ∂ 2 ∂X
3
F2 X z 2 | z = − h . 2
dan dengan cara yang sama pada penurunan persamaan (48), yaitu dengan mengintegralkan dua kali terhadap z dari dasar z = − h2 ( X ) , diperoleh
1 ∂ F2 X .z 3 |z =− h2 6 ∂X 3 1 ∂ φ2 z (3) = F .z 3 |z =− h2 3 2X 6 ∂X 1 ∂ (3) φ2 z |z =− h2 = F2 X .z 4 |z =− h2 24 ∂X 3
φ2 z (3) − φ2 z |z =− h 2 = ( 3)
sehingga
φ2 (3) =
1 ∂ F2 X ( z + h2 ) 4 . 24 ∂X 3
Lampiran 4. Penurunan persamaan (53), (54), (55) Persamaan (53) Diketahui dari persamaan berikut φ1z − φ2 z = ε 2η X (φ1 X − φ2 X ) . Sehingga diperoleh 1 ∂ −ε 3 F1 XX ( z − h1 ) + ε 5 F1 XXXX ( z − h1 )3 + ... + ε 3 { F2 X ( z + h2 )} + 6 ∂X 1 5 ∂ ε {F2 X ( z + h2 )3 } + ... = ε 2 (ε 3 AX ) {ε 2 F1X − ε 2 F2 X + ...} 6 ∂X 3 1 ∂ ⇔ −ε 3 F1 XX (ε 2 A − h1 ) + ε 5 F1 XXXX (ε 2 A − h1 )3 + ... + ε 3 {F2 X (ε 2 A + h2 )} 6 ∂X 1 ∂ − ε5 {F2 X (ε 2 A + h2 )3 } = ε 2 (ε 3 AX ) {ε 2 F1X − ε 2 F2 X + ...} 6 ∂X 3 ∂ ∂ ⇔ −ε 5 AF1 XX + ε 3 F1 XX h1 + ε 5 F2 X A + ε 3 F2 X h2 ∂X ∂X ⎫ 1 ⎧ ∂3 − ε 5 ⎨− F1 XXXX (ε 2 A − h1 )3 − F2 X (ε 2 A + h2 )3 ⎬ + ... = ε 7 AX F1 X − ε 7 AXF2 X 3 6 ⎩ ∂X ⎭ ⇔ ε 3 F1 XX h1 + ε 3 ⎧
∂ F2 X h2 = ∂X
ε 5 ⎨ A( F1 XX − ⎩
⎫ 1 1 ∂3 ∂ F2 X ) + h13 F 1 XXXX + F2 X (h2 )3 + ...⎬ + ... 6 6 ∂X 3 ∂X ⎭
⎧ ⎫ 1 1 ∂2 ⇔ h1 F1 X + h2 F2 X = ε 2 ⎨ A( F1 X − F2 X ) + h13 F1 XXX + ( h23 F2 X ) ⎬ + ... . 2 6 6 ∂X ⎩ ⎭
Persamaan (54), (55) Bila persamaan (53) dikali dengan h2 dan persamaan (54) dikali dengan ρ 2 ,maka diperoleh 1 1 3 1 ⎫ 2⎧ 3 2 (h2 ρ1 + h1ρ2 )F1X = −hU 2 + ε ⎨ρ2 A(F1X − F2 X ) − ρ2h2 F2 XXX + ρ2h1 h2 F1XXX + ρ1h2h1 F1XXX ⎬ + ... . 3 6 2 ⎩ ⎭ Jika persamaan (53) dikali dengan h1 dan persamaan (54) dikali dengan ρ1 , maka diperoleh
17 18
1 1 1 ⎧ ⎫ (h2 ρ1 + h1ρ2 )F2 X = −h2U + ε 2 ⎨ρ1 A(F1X − F2 X ) − ρ1h13h2 F1XXX + ρ1h23h1F2 XXX + ρ1h13 F1XXX ⎬ + ... . 3 6 2 ⎩ ⎭
Berdasarkan kedua hasil-hasil diatas, diperoleh ( h1 + h2 ) F1 X − F2 X = − U + ... . (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) Sehingga ( h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) F1 X
1 1 ⎛1 3 3 2 2 ⎞ ⎜ ρ 2 h1 h2 + ρ 2 h1 h2 + ρ1 h1 h2 ⎟ ⎧ − ρ 2 ( h1 + h2 ) 3 6 2 ⎝ ⎠U = − h2U + ε ⎨ AU − XX ( ρ1 h2 + ρ 2 h1 ) ⎩ ( h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) 2
1
1
⎫ ⎪⎪ ⎬ + ... ⎪ ⎪⎭
⎫
1
ρ1h 13 h2 + ρ1h23 h1 + ρ2 h12 h2 2 ⎪ 2 ⎧ −ρ1 (h1 + h2 ) 3 6 2 + + (h2 ρ1 + h1ρ1 )F2 X = hU ε AU U XX ⎬ + ... . ⎨ 1 ( ρ h ρ h ) + ρ h ρ h ( ) + ⎩ 1 2 21 1 2 2 1 ⎪ ⎭
Lampiran 5. Penurunan persamaan (57) Persamaan (57) h1 η 1 1 K + P = ∫ ρ1 (φ1 X 2 + φ1z 2 )dz + ∫ ρ 2 (φ2 X 2 + φ2 z 2 ) + g ( ρ 2 − ρ1 )η 2 2 2 η − h2 η
h
1 1 1 1 = ∫ ρ1 (ε 2φ1 X 2 + φ1z 2 )dz + ∫ ρ 2 (ε 2φ2 X 2 + φ2 z 2 ) + g ( ρ 2 − ρ1 ) 2 2 2 − h2 η
h
1 1 1 = ∫ ρ1 (ε 2 (ε 2 F1X 2 − ε 4 F1X F1XX (z − h1 )2 ) + ε 6 F1XX 2 (z − h1 )2 − ε 8 F1XX F1XXXX (z − h1 )4 + ...)dz + 2 3 η
η
1 2 2 2 2 4 ⎧ ∂ 2⎫ 6 ⎧ ∂ 2⎫ ∫− h 2 ρ (ε (ε F2 X − ε ⎨⎩ ∂X F2 F2 X ( z + h2 ) ⎬⎭ +ε ⎩⎨ ∂X F2 X ( z + h2 ) ⎭⎬ 2
2
1 ∂ 1 − ε8 F2 X F2 XXX ( z + h2 ) 4 + ...)dz + g ( ρ 2 − ρ1 ) (ε 2 A) 2 3 ∂X 2 η
1 2 1 ⎡ 1 1 ∂ ⎤ 1 ⎡ ⎤ F2 X ( z + h2 )3 + ...⎥ = ρ1 ⎢ε 4 zF12X − ε 6 F1X F1XX (−h1 )3 ) + ...⎥ + ρ2 ⎢ε 4 zF2 X − ε 6 X ∂ 2 ⎣ 3 2 3 ⎦η ⎣ ⎦ −h2
h
1 + g ( ρ 2 − ρ1 ) A2ε 4 2
=
1 ⎡ 4 1 ⎤ ρ1 ⎢ε h1 F1 X 2 − ε 4 (ε 2 A) F1 X 2 − ε 6 F1 XX 2 (ε 6 A3 − 3h1 A2ε 4 + 3h12 Aε 2 − h13 ) + ...⎥ 2 ⎣ 3 ⎦
1 ⎡ 1 ∂ ⎤ + ρ2 ⎢ε 4 (ε 2 A)F2 X 2 + ε 4 h2 F2 X 2 + ε 6 F2 X (ε 6 A3 + 3h2 A2ε 4 + 3h22 Aε 2 + h23 ) + ...⎥ 2 ⎣ 3 ∂X ⎦ 1 + g ( ρ 2 − ρ1 ) A2ε 4 2 1 1 4 ⎡1 = ε ⎢ ρ1h1 F1X 2 − ρ1ε 2 AF1X 2 − ρ1ε 2 F1XX 2ε 6 A3 (ε 6 A3 − 3h1 A2ε 4 + 3h12 Aε 2 − h13 ) + 2 6 ⎣2 1 1 1 ∂ ρ 2 h2 F2 X 2 + ρ 2ε 2 AF2 X 2 + ρ 2ε 2 F2 X (ε 6 A3 + 3h2 A2ε 4 + 3h2 2 Aε 2 + h23 ) 2 2 6 ∂X 1 ⎤ + g ( ρ 2 − ρ1 ) A2 + ...⎥ 2 ⎦
18 19
1 1 1 1 1 ⎡1 = ε 4 ⎢ ρ1h1F1X 2 − ρ1ε 2 AF1X 2 + ρ1h13ε 2 F1XX 2 + ρ2h2 F2 X 2 + ρ2ε 2 AF2 X 2 + ρ2ε 2h23 F2 XX 2 2 6 2 2 6 ⎣ 1 ⎤ + g ( ρ 2 − ρ1 ) A2 + ...⎥ . 2 ⎦
Jadi J=
1 1 1 1 1 g ( ρ 2 − ρ1 ) A2 + ε 2 ρ1h1 F1 X 2 + ρ 2 h2 F2 X 2 + ε 2 ρ1h13 F1 XX 2 + ε 2 ρ 2 h23 F2 XX 2 6 6 2 2 2 1 + ε 2 ( ρ 2 F2 X 2 − ρ1 F1 X 2 ) A + ... . 2
Lampiran 6. Penurunan persamaan (58) Persamaan (58) Berdasarkan persamaan (54) dan (55) masing-masing diperoleh bentuk h2 2 F1 X 2 = U 2 + ... (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) h12 U 2 + .... ( h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) Jika kedua bentuk di atas disubstitusikan ke dalam persamaan (59), maka diperoleh h22 h12U 2 h22 1 1 1 1 J = g(ρ2 − ρ1 ) A2 + ρ1h1 U 2 + ρ2h2 + ε 2 ρ1h13 UX2 2 2 2 2 (h2 ρ1 + h1ρ2 ) 2 (h2 ρ1 + h1ρ2 ) 6 (h2 ρ1 + h1ρ2 ) F2 X 2 =
+
J=
ε2 6
ρ 2 h2 2
h12 ε2 U X2 + (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) 2
⎛ ⎞ h12 h22 U 2 − ρ1 U 2 ⎟ A + ... ⎜ ρ2 (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) ⎝ (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) ⎠
⎛ h 2 h 2 ( ρ1h1 + ρ2 h2 ) ⎞ h1h2 1 1 g ( ρ2 − ρ1 ) A2 + (h1 ρ2 + h1 ρ2 )U 2 + ε 2 ⎜ 1 2 UX 2 ⎟ 2 2 + 2 2 (h2 ρ1 + h1 ρ2 ) 6 ( h ρ h ρ ) ⎝ ⎠ 2 1 1 2
⎛ 1 ( ρ 2 h12 − ρ1h22 ) 2 ⎞ +ε 2 ⎜ U A ⎟ + ... 2 ⎝ 2 (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) ⎠ h h 1 1 1 2 J = g ( ρ 2 − ρ1 ) A2 + (h1 ρ 2 + h1 ρ 2 ) + ε 2 ( β U X2 + vAU 2 ) + ... 2 2 (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) 2
dengan
β=
h12 h2 2 ( ρ1h1 + ρ 2 h2 ) 6 (h2 ρ1 + h1 ρ 2 ) 2
v=
1 ( ρ 2 h12 − ρ1h2 2 ) . 2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) 2
dan
Lampiran 7. Penurunan persamaan (67) ⎧ g ( ρ 2 − ρ1 )( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) (− h12 h22 ) ( ρ1h1 + ρ 2 h2 ) 1 J = R2 + ε 2 ⎨ 2 2 g ( ρ 2 − ρ1 )h1h2 6 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) ⎩ + =
g ( ρ 2 − ρ1 )( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) 1 ( ρ 2 h12 − ρ1h22 ) ⎫ ⎬ 2 g ( ρ 2 − ρ1 )h1h2 2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) 2 ⎭
⎧ 1 h h ( ρ h + ρ 2 h2 ) 1 2 1 1 ( ρ 2 h12 − ρ1h22 ) ⎫ R + ε 2 ⎨− 1 2 1 1 + ⎬ 2 ⎩ 2 6 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) 2h1h2 2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 ) ⎭
1 2 µ ⎫ ⎧ λ R + ε 2 ⎨− RX2 + R 3 ⎬ + .... 2 6 ⎭ ⎩ 2 dengan
=
19 20
λ=
h1h2 ( ρ1h1 + ρ 2 h2 ) 6 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 )
µ=
3 ( ρ 2 h12 − ρ1h2 2 ) . 2h1h2 ( ρ1h2 + ρ 2 h1 )
dan
Lampiran 8. Penurunan persamaan (74) dan persamaan (75b) Diketahui persamaan berikut ∂T = −∂ Φ 1 ∂ Φ + σ∂ s V 1 2 ⎧ V ⎫ = 2 ∂ ΦΦ + σ ⎨− s2 ∂ Φ + ∂ Φs ⎬ V V ⎩ V ⎭
∂X = ∂ XX
1 3 ⎧ 5V ⎫ ∂ + σ ⎨− 3s ∂ ΦΦ + 2 ∂ ΦΦs ⎬ . 3 ΦΦΦ V V ⎩ V ⎭ Persamaan di atas kemudian disubstitusikan ke dalam persamaan (69), diperoleh µ ⎫ −2 AT = 2cAX + c X A + ε 2 {2cλ AXXX +2c µ AAX + c X λ AXX + c X A2 ⎬ 2 ⎭ ⎛ ⎛ 1 3 ⎛ 5V ⎞ ⎞ ⎞ ⎪⎫ ⎪⎧ 1 ⎛1 ⎞ 2 AΦ = 2c ⎨ AΦ + σ As + ε 2 ⎜ µ A ⎜ AΦ + σ As ⎟ + λ ⎜ 3 AΦΦΦ + σ ⎜ − 3s AΦΦ + 2 AΦΦs ⎟ ⎟ ⎟ ⎬ V ⎝V ⎠ ⎝ V ⎠ ⎠ ⎠ ⎭⎪ ⎝V ⎝ ⎩⎪V ∂ XXX =
⎧ Vσ 2σ λ ⎛µ ⎞⎫ AΦs ⎟ ⎬ +σ cs ⎨ A + ε 2 ⎜ A2 + 2 AΦΦ − s 2 AΦ + V V V ⎝2 ⎠⎭ ⎩
{
}
2V 3 AΦ = 2c V 2 AΦ + σ V 3 As + ε 2 ( µV 2 AAΦ + µV 3σ AAs + λ AΦΦΦ − 5λVsσ AΦΦ + 3λV σ AΦΦs ) ⎧ ⎛µ ⎞⎫ +σ cs ⎨ AV 3 + ε 2 ⎜ V 3 A2 + λVAΦΦ − VVsσ AΦ + 2σ V 2 AΦs ⎟ ⎬ . ⎝2 ⎠⎭ ⎩ Misal A = A0 + σ A1 + O (σ 2 ) V = V0 + σ V1 + O(ε 2 ).
Persamaan (74) Koefisien σ 0 memberikan
{
}
2V03 A0 Φ = 2c V02 A0 Φ + ε 2 ( µV02 A0 A0 Φ + λ A0 ΦΦΦ ) 2V A0 Φ − 2cV A0 Φ = ε 3 0
2 0
2
{2λ cA
0 ΦΦΦ
+ 2µ cV A0 A0 Φ } 2 0
⎧λ ⎫ V0 − c A0 Φ = ε 2 ⎨ 2 A0 ΦΦΦ + µ A0 A0 Φ ⎬ c V ⎩ 0 ⎭ ⎧λ V0 − c µ ⎫ A0 = ε 2 ⎨ 2 A0 ΦΦ + A02 ⎬ c 2 ⎭ ⎩V0
Persamaan (75b) Koefisien σ 1 memberikan
{
2V03 A1Φ + 6V02V1 A0 Φ = 2c V02 A1Φ + 2V0V1 A0 Φ + V03 A0 s + ε 2 ( µV02 A1 A0 Φ + µV02 A0 A1Φ +
2µV0V1 A 0 A0 Φ + µV03 A0 A0 s + λ A1ΦΦΦ − 5λV0 s A0 ΦΦ + 3λV0 A0 ΦΦs }
20 21
⎧ ⎛µ ⎞⎫ + cs ⎨V03 A0 + ε 2 ⎜ V03 A02 + λV0 A0 ΦΦ ⎟ ⎬ ⎝2 ⎠⎭ ⎩
2V03 A1Φ − 2cV02 A1Φ − 2cε 2 {µV02 A0 A1Φ + µV02 A0 A1Φ + λ A1ΦΦΦ } + F = 0 ⎧ ⎫ λ −2V02 (V0 − c) A1Φ + ε 2 2cV02 ⎨ µ A0 A1Φ + µ A1 A0Φ + 2 A1ΦΦΦ ⎬ − F = 0 V0 ⎩ ⎭ −
⎧λ ⎫ V0 − c F A1Φ + ε 2 ⎨ 2 A1ΦΦΦ + µ ( A0 A1 )Φ ⎬ − 2 = 0 c V 2 V 0 c ⎩ 0 ⎭
⎧λ ⎫⎪⎫ F c ∂ ⎪⎧ V0 − c A1 + ε 2 ⎨ 2 A1ΦΦ + µ A0 A1 ⎬⎬ − 3 = 0 ⎨− V0 ∂Φ ⎩⎪ c V ⎩ 0 ⎭⎭⎪ 2V0 F1 = −
⎧ V 3 2c µ 5λ V0 s F = − V 1 A0 Φ + 2 V1 A0 Φ + cA0 s + 2cε 2 ⎨ µ 12 A0 A0 Φ + A0 A0 s − A0 ΦΦ + 2 2 V03 V0 2V03 V0 V ⎩ 0 ⎧⎪ A ⎫ ⎛µ ⎞ ⎪⎫ 3λ λ A0ΦΦs ⎬ + cs ⎨ 0 + ε 2 ⎜ A02 + 2 A0 ΦΦ ⎟ ⎬ 2 4 2V0 2 2 V ⎪⎩ 0 ⎭ ⎝ ⎠ ⎪⎭ =
cs 2
⎧ ⎫ V c cλ 3cλ A0 + cA0 s + ε 2 ⎨ µ cA0 A0 s − 5cλ 03s A0 ΦΦ + 2 A0 ΦΦs + s µ A02 + s 2 A0 ΦΦΦ ⎬ V V V 4 2 0 0 0 ⎩ ⎭
⎛ µ ⎞ ⎪⎫ 2c ⎪⎧ 3 V1 ⎨− A0 Φ + 2 A0 Φ + ε 2 2c ⎜ 2 A0 A0Φ ⎟ ⎬ . V V V 0 0 ⎝ 0 ⎠ ⎭⎪ ⎩⎪ Dengan menggunakan persamaan persamaan (73) dan persamaan (74) maka persamaan diatas menjadi ⎧⎪ ⎛ c ⎞ ⎫⎪ ⎧ λc ⎫ c µc λc F1 = s A0 + ε 2 ⎨− s2 A0 ΦΦ − s A02 ⎬ + (V0 A0 ) s − ε 2 ⎨λ ⎜ 2 ⎟ A0 ΦΦ + 2 A0 ΦΦs + µ cA0 A0 s ⎬ − cs A0 2c 2c V0 ⎩ 2V0 ⎭ ⎩⎪ ⎝ V0 ⎠ s ⎭⎪ ⎧
ε 2 ⎨ µ cA0 A0 s − 5cλ ⎩
⎫ V0 s c cλ 3cλ A0 ΦΦ + 2 A0 ΦΦs + s µ A02 + s 2 A0 ΦΦΦ ⎬ 3 4 2V0 V0 V0 ⎭
⎧⎪ 1 ⎛ ⎞ ⎛ µ ⎞ ⎫⎪ 2c V1 ⎨ ⎜ −3 A0Φ + A0Φ ⎟ + ε 2 2c ⎜ 2 A0 A0 Φ ⎟ ⎬ V0 ⎪⎩V0 ⎝ ⎠ ⎝ V0 ⎠ ⎪⎭ F1 = (V0 A0 ) s −
⎧⎪ λ c ⎫⎪ ⎛ c ⎞ cs µc λc A0 + ε 2 ⎨ s2 A0 ΦΦ + s A02 − λ ⎜ 2 ⎟ A0 ΦΦ − 2 A0 ΦΦs − µ cA0 A0 s ⎬ 2c 2c V0 ⎝ V0 ⎠ s ⎩⎪ 2V0 ⎭⎪
⎞ ⎛ λc ⎞ ⎛ µ ⎞ ⎪⎫ 2c c ⎪⎧ 1 ⎛ 3c V1 ⎨ ⎜ − A0 Φ + A0Φ ⎟ − 3ε 2 ⎜ 4 A0ΦΦΦ + µ 2 A0 A0 Φ ⎟ + ε 2 2c ⎜ 2 A0 A0Φ ⎟ ⎬ V V V V V V 0 0 ⎠ ⎝ 0 ⎠ ⎝ 0 ⎠ ⎭⎪ ⎩⎪ 0 ⎝ 0
F1 = (V0 A0 ) s −
⎛λ ⎞ ⎞⎪⎫ cs c ∂ ⎪⎧ 2λ cµ ⎪⎫ ⎪⎧ c 2 ⎛ 3cλ (V0 A0 ) +ε 2 ⎨ 2 A0 Φs + ⎜ ⎟ A0 Φ ⎬ +V1 ⎨− 2 A0Φ +ε ⎜− 4 A0ΦΦΦ − 2 A0 A0Φ ⎟⎬. . V0 ∂Φ ⎪⎩V0 2c V0 ⎪⎩ V0 ⎝ V0 ⎠ s ⎝ V0 ⎠⎪⎭ ⎭⎪
Lampiran 9. Penurunan persamaan (77) dan (78) Persamaan (77)
∫
∞
−∞
F1 A0 d Φ = 0
⎡ ⎫⎪ ⎛λ ⎞ c c ∂ ⎧⎪ 2λ A0 Φs + ⎜ ⎟ A0 Φ ⎬ ⎢(V0 A0 ) s − s (V0 A0 ) + ε 2 ⎨ 2 −∞ c V0 ∂Φ ⎪⎩V0 ⎪⎭ ⎝ V0 ⎠ s ⎣⎢
∫
∞
⎛ 3cλ ⎞ ⎪⎫ ⎤ cµ ⎪⎧ c +V1 ⎨− 2 A0 Φ + ε 2 ⎜ − 4 A0ΦΦΦ − 2 A0 A0Φ ⎟ ⎬ ⎥ A0 d Φ = 0 V0 ⎪⎩ V0 ⎝ V0 ⎠ ⎭⎪⎥⎦
21 22
∫
∞
−∞
⎫⎪ ⎛λ ⎞ cs V0 ∂ ⎧⎪ 2λ ⎡V0 2 V0 c ⎢ c (V0 A0 ) s − c (V0 A0 ) c + ε c V ∂Φ ⎨V 2 A0 Φs + ⎜ V ⎟ A0 Φ ⎬ ⎣ ⎪⎩ 0 0 ⎝ 0 ⎠s ⎭⎪ ⎞ ⎪⎫ ⎤ V ⎛ 3cλ cµ ⎪⎧ V c +V1 ⎨− 0 2 A0 Φ + ε 2 0 ⎜ − 4 A0ΦΦΦ − 2 A0 A0Φ ⎟ ⎬ ⎥ A0 d Φ = 0 c ⎝ V0 V0 ⎠ ⎭⎪⎥⎦ ⎩⎪ c V0
Kemudian persamaan di atas dikalikan dengan
V0 , diperoleh c
⎫⎪ ⎛λ ⎞ V0 2 VV c V2 ∂ ⎧⎪ 2λ A0 A0 s + 0 0 s A02 − s 0 A02 + ε 2 A0 A0Φs + ⎜ ⎟ A0 A0 Φ ⎬ ⎨ 2 −∞ c ∂Φ ⎪⎩V0 c c c ⎝ V0 ⎠ s ⎭⎪
∫
∞
⎛ 3λ ⎞ ⎪⎫ µ 2 ⎪⎧ 1 A0 A0Φ + ε 2 ⎜ − 3 A0 A0 ΦΦΦ − A0 A0Φ ⎟ ⎬ d Φ = 0 +V1 ⎨− V V V 0 ⎝ 0 ⎠ ⎭⎪ ⎩⎪ 0 2 ∞ ∂c V ∞ ∂ ⎧ 1 V02 2 ⎫ ∂ ⎧∂ λ 2 ⎫ 0 A0 ⎬ d Φ − ∫ A02 d Φ + ∫ ε 2 A0Φ ⎬d Φ ⎨ ⎨ 2 −∞ ∂s 2 c −∞ ∂s c −∞ ∂Φ ⎩ ⎭ ⎩ ∂s V0 ⎭
∫
∞
∞ ⎛ 3λ ⎞ ⎪⎫ µ ⎪⎧ 1 + ∫ V1 ⎨ − A0 A0 Φ + ε 2 ⎜ − 3 A0 A0ΦΦΦ − A02 A0Φ ⎟ ⎬ d Φ = 0 −∞ V V V 0 ⎝ 0 ⎠ ⎭⎪ ⎩⎪ 0 ∞ ⎞ ∂ ⎛ 1 V02 2 ⎞ ∂ ⎛∂ λ A0 ⎟ d Φ + ∫ ε 2 A0Φ 2 ⎟ d Φ ⎜− ⎜ −∞ ∂s −∞ 2 ∂Φ ∂ c s V 0 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
∫
∞
sehingga didapat ∞ λ ⎫ ∂ ⎧ ∞ 1 V02 2 A0 dΦ−ε 2 ∫ A02ΦdΦ⎬ = 0 ⎨∫−∞ −∞ v0 ∂s ⎩ 2 c ⎭
Persamaan (78) Bila persamaan di atas diintegralkan terhadap s, maka didapat 2 ∞ 1V ∞ λ 2 2 2 0 ∫−∞ 2 c A0 dΦ−ε ∫−∞ v0 A0ΦdΦ =konstan Lampiran 10. Penurunan persamaan (79) Jika persamaan (74) dikalikan dengan A0Φ , maka diperoleh
(V0 − c )
⎧ λ ⎫ µ A0 A0 Φ − ε 2 ⎨ 2 A0 Φ A0ΦΦ + A0 2 A0Φ ⎬ = 0 , c 2 ⎩V0 ⎭ sehingga jika diintegralkan terhadap Φ , didapat ⎫ (V0 − c ) 2 2 ⎧ λ µ A0 − ε ⎨ 2 A0 Φ 2 + A03 ⎬ = 0 . 2c 6 2 V ⎩ 0 ⎭ Jika persamaan tersebut dikalikan dengan V0 , maka diperoleh ⎧ λ ⎫ V0 2 2 1 µ A0 = V0 A0 2 + ε 2 ⎨ A0Φ 2 + V0 A03 ⎬ = 0 2c 2 2 6 V ⎩ 0 ⎭ ∞ 1 ∞ ⎧ λ ⎫ V0 2 2 µ A0 d Φ = ∫ V A 2dΦ + ∫ ε 2 ⎨ A0Φ 2 + V0 A03 ⎬d Φ . −∞ 2c −∞ 2 0 0 −∞ 2 6 V ⎩ 0 ⎭
∫
∞
Selanjutnya persamaan di atas disubstitusikan ke dalam persamaan (79), maka diperoleh 2 ∞ 1V ∞ λ 2 2 2 0 ∫−∞ 2 c A0 dΦ − ε ∫−∞ V0 A0Φ dΦ =konstan
∫
∞
−∞
∞ ∞ λ ⎧ λ ⎫ 1 µ V0 A02 d Φ + ∫ ε 2 ⎨ A0Φ2 + V0 A03 ⎬d Φ − ε 2 ∫ A02Φ d Φ =konstan −∞ −∞ 2 6 V0 ⎩ 2V0 ⎭
22 23
∫
∞
∫
∞
∫
∞
−∞
−∞
−∞
∞ λ ∞ µ 1 V0 A02 d Φ − ε 2 ∫ A02Φ d Φ + ε 2 ∫ V0 A03d Φ = konstan −∞ 2V −∞ 6 2 0
∞ ⎛ ⎞ 1 λ 2 µ V0 A02 d Φ + ε 2 ∫ ⎜ − A0Φ + V0 A03 ⎟d Φ = konstan −∞ 2 6 ⎝ 2V0 ⎠ ∞ ⎛ ⎞ 1 λ µ V0 A02 d Φ + ε 2 ∫ ⎜ − 2 A02Φ + V0 A03 ⎟V0 d Φ = konstan −∞ 2 2 V 6 0 ⎝ ⎠
Lampiran 11. Penurunan persamaan (81) Dari persamaan (73) diperoleh persamaan diferensial biasa berikut 1
⎛ 2V 2 (V − c) µ ⎞2 dA0 = A0 ⎜ 2 0 0 − 2V02 A0 ⎟ . 6λ dΦ ⎝ε λ c ⎠ Misalkan penyelesaian persamaan diferensial tersebut berbentuk A0 = a sec h 2γΦ , maka diperoleh −2aγ sec h 2γΦ tanh γΦ ⇔∫ dΦ = ∫ dΦ a sec h 2γΦ ( a* − b* a sec h 2γΦ )1/ 2 −2γ tanh γΦ dΦ = ∫ dΦ b* a* (1 − * a + tanh 2 γΦ )1/ 2 a dengan V 2 (V0 − c) a* = 20 ε λ c ⇔∫
b* =
µ 2 V0 . 3λ
Agar ruas kiri dan kanan memiliki nilai yang sama, maka b* −2γ dan a =1. =1 a* a* ⇔γ =−
a* 2
dan
a=
a* b*
a* 4 Dengan demikian diperoleh bentuk ⇔γ2 =
⎛γ ⎞ V0 − c µa = ε2 = 4ε 2 λ ⎜ ⎟ c 3 ⎝ V0 ⎠
2
Lampiran 12. Program pada gambar 3. > with(plots): > e := 0.3 : k := 1000 : > implicitplot({(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k},h=0. .10, a=0..5): implicitplot([(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k],h=0. .10, a=0..5, color=[blue, black], legend=[plot1,plot2]);
> with(plots):
23 24
>
e := 0.5 : k := 1000 :
> implicitplot({(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k},h=0. .10, a=0..5): implicitplot([(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k],h=0. .10, a=0..5, color=[blue, black], legend=[plot1,plot2]); > with(plots): > e := 0.7 : k := 1000 : > implicitplot({(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k},h=0. .10, a=0..5): implicitplot([(a*h)^3/2=k,((a*h)^3/2)*(1+(e^2*(3*a/10*h)))=k],h=0. .10, a=0..5, color=[blue, black], legend=[plot1,plot2]);