FINAL REPORT
Kunjungan Observasi Konservasi Tekstil di Jepang 16 - 21 Desember 2013
disusun oleh: Puji Yosep Subagiyo (Observator) Slamet (Konservator)
MUSEUM NASIONAL
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
FINAL REPORT
Kunjungan Observasi Konservasi Tekstil di Jepang 16 - 21 Desember 2013 disusun oleh: Puji Yosep Subagiyo (Observator) dan Slamet (Konservator) Bidang Perawatan dan Pengawetan - Museum Nasional Indonesia
A. TUJUAN KUNJUNGAN Menurut hasil temuan arkeologis bahwa Jepang telah mengenal barang tenunan dari Periode Jōmon, India mengenal kapas dari tahun antara 5000 - 4000 BCE, Mesir mengenal linen dari sekitar 5500 BCE, dan China sudah mengenal sutera dari tahun antara 5000 - 3000 BCE (Neolitikum). Lihat gambar 1.: Periode Waktu di Cina, India, Jepang dan Korea. Tinjauan arkeologis terhadap tekstil Indonesia mungkin sejak ditemukannya fragmen hasil eksavasi di Bali, yang kemudian setelah direkonstruksi
Foto 01.: Peserta Kunjungan Observasi, Slamet (paling kiri) dan Puji Yosep Subagiyo (paling kanan) saat foto bersama di ruang konservasi tekstil Museum Nasional Tokyo.
Foto 02.: Dr. Koizumi Yoshihide (kiri) bertindak sebagai pemandu dan organizer dari kunjungan observasi dan Slamet, konservator Museum Nasional Indonesia (kanan).
menunjukkan bahwa benda tersebut adalah fragmen tekstil dengan tehnik ikat. Ada penulis juga yang menyebutkan bahwa pengetahuan tentang tekstil Indonesia sebagai perkembangan tehnik menenun. Pendapat keberadaan tekstil Indonesia lain adalah dari abad ke-8 sampai ke-2 Sebelum Masehi (Jaman Perunggu), dan barang anyaman mungkin telah ada dari Jaman Batu Muda atau Neolitikum (sekitar 3000 - 2000 SM). Lihat gambar 2.: Periode Waktu di Indonesia. Buku panduan galeri Horyu-ji Treasures of the Tokyo National Museum menampilkan koleksi tekstil berupa fragmen Spanduk Ritual Buddha (Buddhist Ritual Banner) dari Periode Asuka - Nara. Dari kondisi keterawatan fragmen spanduk abad 5 - 7 M tersebut, kita mengetahui bagaimana pihak pengelola museum menangani koleksinya pada saat studi, perawatan/ pengawetan, peyimpanan dan displai. Melalui kunjungan observasi ini, kita juga menjadi tahu akibat yang ditimbulkan dari gempa bumi besar yang menimpa Kota Tokyo pada tahun 1923, Kota Kobe pada tahun 1993, dan akibat bencana gempa dibarengi tsunami pada tahun 2011. Tujuan Kunjungan Observasi Konservasi Tekstil adalah untuk melihat dari dekat kondisi keterawatan tekstil, mengetahui cara perawatan dan penanganan koleksi saat displai dan penyimpanan. Museum Nasional Tokyo (di Ueno Park – Tokyo) dan Museum Joshibi University of Art and Design (di Kanagawa) menjadi tujuan kunjungan karena riwayatnya yang panjang tentang tekstil, serta banyak mengoleksi tekstil dari Indonesia, Mesir dan negara-negara dari sebagian penjuru dunia. 1
Source: http://primastoria.net/
Foto 03.: Penyerahan kenang-kenangan berupa buku dari Kepala Museum Nasional Indonesia, Dra. Intan Mardiana, M.Hum., kepada Mr. Shimatani Hiroyuki.
Foto 04.: Penyerahan kenang-kenangan berupa buku dari Kepala Museum Nasional Indonesia, kepada Mr. Matsumoto Nobuyuki
B. KEGIATAN Kunjungan observasi diawali komunikasi surat elektronik dengan Dr. Koizumi Yoshihide, seorang supervisor pada Bidang Edukasi dan Perencanaan Kuratorial di Museum Nasional Tokyo. Koizumi yang bertindak sebagai pemandu dan penterjemah ini mengatur jadwal dan tujuan kunjungan menjadi sangat baik. Hari pertama kunjungan dilakukan pertemuan dan diskusi dengan Dr. Koizumi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kunjungan di ruang-ruang simpan atau displai dan laboratorium konservasi tekstil di Museum Nasional Tokyo dan Joshibi University of Art and Design. Hari berikutnya diadakan ramah tamah dengan Mr. Shimatani Hiroyuki (Wakil Direktur Eksekutif untuk Museum Nasional Tokyo), Dr. Kamba Nobuyuki (Kepala Bidang Konservasi untuk Museum Nasional Tokyo), dan Mr. Matsumoto Nobuyuki (Kepala Kurator dan Direktor Perencanaan Kuratorial di Museum Nasional Tokyo). Kegiatan ramah tamah ini diakhiri dengan jamuan makan siang bersama. 1. Kunjungan di Ruang Lab Konservasi Tekstil, Museum Nasional Tokyo. Kunjungan observasi di ruang konservasi tekstil Museum Nasional Tokyo dilakukan untuk melihat tehnik penyimpanan fragmen tekstil yang berkondisi rapuh pada mounting kayu berpenutup akrilik anti pantul, mounting kertas karton bebas asam yang berlubang. Ruang kerja untuk konservasi
Foto 05.: Detail mounting dengan kertas karton bebas asam untuk keperluan displai dan penyimpanan.
Foto 06.: Detail mounting kayu dengan penutup akrilik untuk keperluan displai dan penyimpanan.
2
Foto 07.: Tehnik rolling untuk kain biasa untuk keperluan penyimpanan dan transportasi.
Foto 09.: Peralatan mikroskopis khusus untuk pengamatan kerusakan tekstil.
Foto 08.: Rak-rak sederhana untuk penyimpanan bahan dan alat untuk keperluan konservasi tekstil.
Foto 10.: Bak cuci stainless
tekstil dilengkapi dengan meja kerja untuk pengamatan dan treatmen kerusakan, rak-rak atau lemari - lemari untuk menyimpan bahan dan alat konservasi dan difasilitasi berbagai peralatan untuk identifikasi dan pengamatan tehnis. Kunjungan observasi ini dimaksudkan untuk melihat dari dekat kondisi keterawatan tekstil, khususnya kain tua yang sudah rapuh, dan mengetahui cara penanganan saat dipersiapkan untuk displai dan penyimpanan. Kain berkondisi rapuh akan dilembabi (bukan dibasahi) dengan air distilasi dan secara perlahan-lahan diratakan dengan kwas halus. Karton bebas asam yang dilapisi busa dengan lapisan akhir sutera digunakan untuk tatakan kain rapuh yang sudah bersih dan diratakan seperti diatas. Karton kedua yang berlubang agak lebih lebar dari ukuran fragmen tekstil disiapkan untuk lapisan kedua, sebelum lapisan akhir kertas tembus pandang ditempatkan. Lihat foto 05. Dengan cara hampir sama dilakukan untuk mounting fragmen kain dengan kayu berpenutup akrilik. Lihat foto 06. Museum Nasional Tokyo membuat semacam displai peraga berupa poster (lihat foto 11) dan displai alat dan bahan konservasi (lihat foto 12-14) untuk memberikan gambaran tentang kegiatan dan dengan cara apa pegawai Bidang Konservasi melaksanakan kegiatan perawatan.
3
Foto 11: Displai peraga berupa poster untuk memberikan gambaran tentang kegiatan perawatan di Museum Nasional Tokyo.
Foto 12.: Displai peraga berupa peralatan yang digunakan untuk perawatan di Museum Nasional Tokyo.
Foto 14: Detail model kotak yang biasa digunakan untuk packing pada saat trasportasi koleksi museum.
Foto 13: Displai peraga berupa peralatan yang digunakan untuk perawatan di Museum Nasional Tokyo.
4
2. Kunjungan di Ruang Lab Konservasi Tekstil, Museum Joshibi University of Art and Design (Kanagawa). Museum yang berafiliasi dengan Joshibi (Women) University of Art and Design ini memiliki sekitar 15 ribu koleksi tekstil dari berbagai negara, termasuk tekstil dari Indonesia. Kunjungan observasi dilakukan di ruang restorasi tekstil Museum Joshibi University of Art and Design (Kanagawa), ruang-ruang dan lemari-lemari simpan tekstil, juga melihat dari dekat tehnik restorasi tekstil dan proses identifikasi – restorasi yang diperagakan langsung oleh Prof. Dr. Sudo Ryoko di Museum Joshibi University of Art and Design (Kanagawa).
Foto 15.: Seorang konservator tekstil di Museum Nasional Tokyo sedang menjelaskan tehnik backing-up dengan kain yang dijahitkan pada koleksi yang akan didisplai.
Foto 16.: Seorang konservator tekstil di Museum Joshibi University sedang menjelaskan tehnik backing-up dengan kain yang dijahitkan pada koleksi yang akan didisplai.
Foto 18.: Kegiatan restorasi tekstil biasanya dilakukan Foto 17.: Peragaan identifikasi dan dokumentasi tekstil oleh dengan bantuan kaca pembesar yang dapat ditempelkan Prof. Dr. Sudo Ryoko di Museum Joshibi University of Art pada kacamata. and Design, Kanagawa.
Foto 19.: Penyerahan kenang-kenangan berupa buku dari Kepala Museum Nasional Indonesia, Dra. Intan Mardiana, M.Hum., kepada Prof. Dr. Sudo Ryoko, kurator tekstil Museum Joshibi (Women) University of Art and Design, Kanagawa.
5
3. Kunjungan di Ruang Simpan Tekstil, Museum Nasional Tokyo. Ruang simpan yang berpintu besar dan rangkap di Museum Nasional Tokyo ini dibuat kedap dan selalu dijaga bersih. Bagi siapa aja yang akan memasukinya diminta untuk melepas sepatu dan hanya diperbolehkan membawa pensil sebagai alat tulis (dilarang ball point atau alat tulis bertinta lain). Tangga naik dan lantai dua dari ruangan ini terbuat dari besi yang berkontruksi sangat kuat, lemari (berikut laci-lacinya) dan pelapis dinding ruangan terbuat dari bahan kayu. Bahan kayu dianggap cocok untuk menseimbangkan kelembaban udara pada saat terjadi fluktuasi kelembaban udara diluar lemari atau ruang simpan. Ukuran lemari dan lacinya disesuaikan dengan ukuran tekstil yang akan menempatinya. Tekstil yang berkondisi rapuh dibuat tempat berupa mounting kertas karton bebas asam (lihat foto 05 dan 20) atau kayu (lihat foto 06). Kain-kain datar ditempatkan langsung di laci dengan alas kertas bebas asam. Ruang simpan tekstil ini juga dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban udara, serta disediakan meja yang dapat diatur luas permukaannya dan troli untuk pemindahan koleksi.
Foto 20.: Seorang asisten kurator di Museum Nasional Tokyo sedang menjelaskan tentang berbagai pola hias tekstil Jepang yang tersimpan di storage tekstil.
Foto 21.: Detail mounting kertas karton bebas asam untuk keperluan displai dan penyimpanan di Museum Nasional Tokyo.
Foto 22.: Gambaran ruang dan lemari simpan tekstil di Museum Nasional Tokyo. Lemari dan (lapisan) dinding sengaja dibuat dengan bahan kayu karena bersifat buffering.
Foto 23.: Gambaran ruang berlantai dua dan lemarilemari simpan tekstil di Museum Nasional Tokyo.
6
Foto 24.: Detail mounting kertas karton bebas asam untuk keperluan displai dan penyimpanan di Museum Joshibi University of Art and Design, Kanagawa.
Foto 26.: Gambaran ruang berlantai 2 yang khusus diperuntukkan untuk penyimpanan tekstil di Museum Joshibi.
Foto 25.: Seorang asisten kurator tekstil sedang menjelaskan cara penyimpanan tekstil yang dibungkus kertas dalam kotak karton bebas asam di Museum Joshibi.
Foto 27.: Slamet, seorang konservator Museum Nasional Indonesia sedang mengamati label dan tanda pada kotakkotak penyimpan yang tersusun rapi di rak khusus tekstil.
4. Kunjungan di Ruang Simpan Tekstil, Museum Joshibi. Ruang simpan Museum Joshibi ini dibuat selalu dijaga bersih, dan bagi siapa aja yang akan memasukinya diminta untuk melepas sepatu dan hanya diperbolehkan membawa pensil sebagai alat tulis (dilarang ball point atau alat tulis bertinta lain). Tangga naik dan lantai dua dari ruangan ini terbuat dari besi yang berkontruksi sangat kuat, lemari (berikut laci-lacinya) dan pelapis dinding ruangan terbuat dari bahan kayu. Bahan kayu dianggap cocok untuk menseimbangkan kelembaban udara pada saat terjadi fluktuasi kelembaban udara diluar lemari atau ruang simpan. Ukuran lemari dan lacinya disesuaikan dengan ukuran tekstil yang akan menempatinya. Tekstil yang berkondisi rapuh dibuat tempat berupa mounting kertas karton bebas asam (lihat foto 24). Kain-kain datar ditempatkan langsung di laci dengan alas kertas bebas asam, sebagian di rol dan dibungkus dengan kertas bebas asam dalam kotak kertas karton. Ruang simpan tekstil ini juga dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban udara. Kotak-kotak karton yang berisi koleksi tekstil yang dilipat dan dibungkus dengan kertas bebas asam disusun rapi dalam rak-rak yang terbuat dari logam dan berkontruksi sangat kokoh. Masing7
masing kotak selanjutnya diberi label yang berisikan informasi nomor koleksi, nama dan asal koleksi. Setiap koleksi juga dilengkapi dengan lembar data yang memuat foto, nomor koleksi, asal koleksi, ukuran, bahan dan deskripsi, kemudian lembar-lembar data ini disimpan dalam folder data untuk memudahkan penyimpanan dan pencarian koleksi. Lihat foto 28 dan 29. Lantai 2 di ruang simpan tekstil sengaja dibuat terbuka untuk memudahkan sirkulasi udara dan kontrol keamanan ruang di Museum Joshibi. Lihat foto 32 dan 33. Ruang simpan lain di museum ini adalah ruang berlantai dua dengan mobile-racks untuk menggantung lukisan atau tekstil yang dipigura di Museum Joshibi.
Foto 28.: Gambaran lembar data (inventaris) tekstil di Museum Joshibi.
Foto 29.: Detail lembar data (inventaris) tekstil dalam folder-folder yang tersusun rapi disamping rak tekstil di Museum Joshibi.
Foto 30.: Gambaran kotak-kotak berisi tekstil yang dibungkus kertas bebas asam tersusun rapi disamping rak-rak dalam ruang simpan di Museum Joshibi.
Foto 31.: Gambaran tangga dan rol-rol berisi tekstil yang dibungkus kertas bebas asam tersusun rapi di rak-rak dalam ruang simpan di Museum Joshibi.
Foto 32.: Detail rol-rol berisi tekstil yang dibungkus kertas bebas asam tersusun rapi di rak-rak dalam ruang simpan di Museum Joshibi.
Foto 33.: Detail lantai 2 di ruang simpan tekstil sengaja dibuat terbuka untuk memudahkan sirkulasi udara dan kontrol keamanan ruang di Museum Joshibi.
8
Foto 34.: Gambaran ruang berlantai dua dengan mobileracks untuk menggantung lukisan atau tekstil yang dipigura di Museum Joshibi.
Foto 35.: Seorang asisten kurator yang menggerakkan mobile-racks di Museum Joshibi.
Foto 36.: Detail mobile-racks yang menunjukkan rel landasan di bagian lantai, di Museum Joshibi.
Foto 37.: Detail mobile-racks yang menunjukkan rel gantung di bagian atap, di Museum Joshibi.
Foto 38.: Gambaran penerangan lampu dalam lemari displai di suatu ruang pamer Museum Nasional Tokyo.
Foto 39.: Gambaran penerangan lampu diluar lemari displai (dipasang menempel plafon) di suatu ruang pamer Museum Nasional Tokyo.
5. Kunjungan di Ruang Pamer, Museum Nasional Tokyo. Ada tiga model ruang pamer Museum Nasional Tokyo, yaitu: 1. Model ruang dengan displai koleksi terbuka (tanpa vitrin); 2. Model ruang dengan vitrin yang lampu penerangannya ada didalamnya; dan 3. Model ruang dengan vitrin yang lampu penerangannya ada diluar (menempel di plafon ruang pamer). Lihat foto 38 - 43. 9
Foto 40.: Gambaran penerangan lampu diluar lemari displai (dipasang diatas plafon) di suatu ruang pamer Museum Nasional Tokyo.
Foto 41.: Detail penerangan lampu sorot yang dipasang menempel plafon di suatu ruang pamer Museum Nasional Tokyo.
Foto 42.: Gambaran lemari displai berukuran besar di suatu ruang pamer dilihat dari depan, di Museum Nasional Tokyo.
Foto 43.: Detail lemari displai berukuran besar di suatu ruang pamer dilihat dari samping, di Museum Nasional Tokyo.
C. PEMBAHASAN DAN SARAN Proses konservasi tekstil yang paling sederhana adalah pembersihan atau ‘cleaning’ kotoran dari permukaan. Syarat utama pembersihan yaitu kita harus mampu mengidentifikasi dan mengenali kotoran-kotoran tersebut. Dua kategori kotoran dalam konservasi tekstil, yakni kotoran yang larut dan kotoran tak larut dengan bahan-bahan pelarut; baik itu air ataupun bahan-pelarut organik seperti ethanol, acetone dsb. Disamping itu, kita harus bisa membedakan antara kotoran dan bahan-bahan tekstil itu sendiri, yang mungkin merupakan bukti bahan yang tidak perlu dihilangkan tetapi tetap termasuk kategori kotoran. Penguatan atau penambahan bahan lain pada koleksi tekstil biasanya diperlukan untuk keperluan displai ataupun penyimpanan. Setelah koleksi bersih dan layak simpan atau pamer, kita masih perlu memperhitungan kondisi cahaya, suhu dan kelembaban udara. Pada kunjungan observasi ke Jepang ini kita melihat beberapa hal: 1. Koleksi tekstil rapuh dikondisikan layak simpan dan displai dengan cara penambahan support kain yang ditempelkan dengan cara dijahit; 10
Foto 44.: Gambaran ruang pamer tekstil di Museum Nasional Indonesia. Cahaya matahari dengan intensitas sangat kuat bisa memasuki ruang pamer ini.
Foto 45.: Gambaran mounting tekstil diantara kaca untuk keperluan penyimpanan dan displai di Museum Nasional Indonesia.
2. Fragmen tekstil rapuh dikondisikan dengan kontrol kelembaban dan disupport dengan tehnik mounting kertas karton bebas asam atau mounting kayu berpenutup akrilik; 3. Bahan dan konstruksi untuk ruang simpan, ruang pamer, lemari simpan dan pamer selalu memperhitungkan kaidah-kaidah konservasi. Hindari cara displai tekstil dengan penerangan sinar matahari secara langsung (foto 44), dan gantikan kontruksi dan bahan kaca untuk mounting yang lebih aman dan mudah untuk pengecekan (foto 45); 4. Bahan-bahan untuk keperluan konservasi-restorasi diperoleh dengan informasi dari “talasonline. com”. Kunjungan observasi tentang konservasi tekstil di Jepang berjalan sangat baik, berkat dukungan Kepala Museum Nasional dan teman-teman Museum Nasional Indonesia dan Tokyo dari proses persiapan sampai berakhirnya kunjungan observasi.
D. REFERENSI 1. Lovell, Rebecca, (2012): INSIGHT GUIDES JAPAN, Apa Publications Co., Singapore. 2. Sansom, G.B. (1987): JAPAN, A SHORT CULTURAL HISTORY, Charles E. Tuttle Co., Tokyo. 3. Tsuda, Noritake (1988): HANDBOOK OF JAPANESE ART, Charles E. Tuttle Co., Tokyo. 4. Wikipedia.org.
11
Gambar 1.
CHINA - INDIA - JAPAN - KOREAN PERIODS
Korean Periods
India Periods
China Periods
Japan Periods
MEIJI RESTORATION 1867-1911
1. Prehistoric era • Stone Age • Bronze Age 2. Vedic period (1500–500 BCE) • Vedic society • Sanskritization 3. “Second urbanisation” (800-200 BCE) • Mahajanapadas (600-300 BCE) • Upanishads and Shramana movements • Persian and Greek conquests • Maurya Empire (322–185 BCE) 4. Epic and Early Puranic Period Early Classical Period & Golden Age (ca. 200 BCE–700 CE) • Northwestern hybrid cultures • Satavahana Dynasty • Kushan Empire • Roman trade with India • Gupta rule - Golden Age 5. Medieval and Late Puranic Period Late-Classical Age (500–1500 CE) • Northern India • Rashtrakuta Empire (8th-10th century) • Pala Empire (8th-12th century) • Chola Empire (9th-13th century) • The Islamic Sultanates • Delhi Sultanate • Vijayanagara Empire (14th-16th century) • Early modern period (1500-1850) • Mughal Empire • Post-Mughal period o Maratha Empire o Sikh Empire (North-west) o Other kingdoms 6. Colonial era (1500-1947) • Company rule in India • The rebellion of 1857 and its consequences • British Raj (1858-1947) o Reforms o Famines • The Indian independence movement 7. Independence and partition (1947-present)
[CE (Common Era) = AD (Anno Domini) = M (Masehi); BCE (Before Common Era) = BC (Before Birth of Christ) = SM (Sebelum Masehi)]
12
Gambar 2.
Indonesian Periods and Historical Records PERIODS
PRE HISTORY (NEOLITHIC) Pithecantropus erectus (manusia trinil). BRONZE AGE Aji Çaka The First Hinduism Kingdom HISTORY (Kutai Kingdom) (Kalimantan, Hindu) TARUMANEGARA (Jawa Barat, Hindu) MATARAM I (Jawa Tengah, Hindu) SRIWIJAYA (Sumatera Selatan, Hindu) MADJAPAHIT (Jawa Timur, Hindu) (13) * Borobudur and Prambanan * Kain Prada
King Hayam Wuruk who succeeded in reuniting the Indonesian Archipelago was among the re-owned rulers of that period of Hindu Kingdoms. The same period saw the building of the Borobudur Buddist sanctuary under the Çailendra dynasty in Central Java and Prambanan Hindu temple by King Daksa.
P o r t u e g e s e w a s t h e f i r s t (14) European to set foot in Indonesia. The Dutch settled in Bantam (Banten), West Java.
(16)
The Dutch established the Netherlands East Indies Company (VOC).
(17)
Kolonialisasi, Jatuhnya Kekuasaan, JAYAKARTA (18)
Governor General Jan Peterzon Coen succeeded in gaining the authority over Jayakarta, which was renamed ‘Batavia’. That time was beginning of the colonialism by the Dutch.
MATARAM II (Jawa Tengah, Islam)
Secang-wood and mengkudu were (21) in common use by using mineral alum (Javanese called it as tawas) and plant alum (probably Jirek). However, the plant alum was considered the older mordant than the mineral alum. [The raw materials were treated with oil (castor) and lye (ash from burning rice stalks, or trunks of various trees of banana) that dyes from Morinda mixed with Jirek, Symplocos fasciculata Zoll.] Sugar, indigo, and coffee from Java and Sumatera were exported to Europe. T h e n e w m u s e u m b u i l d i n g (25) (presently National Museum) was opened in Jalan Merdeka Barat 12, Jakarta. Artificial Indigo and Alizarin were firstly used by Javanese. (27)
REPUBLIC OF INDONESIA, (Negara Merdeka, Modern)
The Institute was presented to the (33) Indonesian Government which then is administered under Ministry of Education and Culture. The institution was also changed its name into Central Museum that become the National Museum to the present time. Conservation Lab for the National Museum of Indonesia.
YEAR BCE 3000 - 2000 800 - 200
CE 78 400 450 500 518 600 670 700 732 900 960 1000 1279 1292 1370 1400 1453 1500 1509 1516 1528 1596 1602 1613 1619 1632 1645 1660 1695 1778 1815 1825-30 1868 1883 1900 1908 1928 1933 1945 1950 1962 1973
HISTORICAL RECORDS The fragment recontruction on terracota with straight and waved lines is an evidence for the earliest textiles. lungsi (warp) is considered present in the time. The textile with geometrized (1) Ikat stylization of human, bird, reptilian, and floral forms. Those like textile producing regions are Kalimantan (jackets and breechclouts from Dayak Iban, D.Bahau and D.Kenyah), Sumatera (ulos from Batak, Palepai and Tampan from Lampung), Sulawesi (Toraja), Nusatenggara (Timor and Sumbawa) and Bali. Songket or supplementary warp was also present in that time (?). on the bronze-wares from that era is similar to the textile design and pattern (2) Motifs of No.1. Bronze-wares from that era, for example kettle drums and axes which were influenced by the Dongson’s culture (Tongkin, Vietnam).
(3) The stone inscription found is as foundation of Indonesian Historic period. (4) Chinese chronicles mention that certain King of North Sumatera wore silk cloth. source of the Ling and T’ang dynasties: the people of Java and North Coast (5) Chinese of Sumatera wore cotton in use in Sumatera as early as the 6th century. There are 3 species of Gossypium, i.e. G. herbaceum (the most common), G. obtusifolium (in Southern Sumatera, cultivated by the Dutch), and G. brasiliense (Malay Peninsula, cultivated by the British).
sappan-wood (secang) already was one of the outstanding export stuffs to (6) IntheAceh, Arab. The secang dye work was considered as the oldest native red dye work.
(7) (8)
Mangosteen flower motifs in Prambanan temple reliefs (also similar to in Palembang) or in Design Javanese Batik, jelamprang, attesting to origin in the Hindu-Indonesian Period. There was a barter trade which were Indonesian cotton cloth and Chinese silk. Silk patola cloth (may from India) also present in the era (Javanese and Sumatrans called as ‘cindai’). The Sung dynasty mentions that cotton goods from Java were used as princely presents.
(9) pakan (weft) together with import silks were brought by Indians and Islamic (10) Ikat traders to Java and Sumatera (possibly, also applications of beads, sequins, glass/
mirrors, and gaining of the knowledge of technique for mixing color/dye). The regions of the two islands that were contacted by the mentioned traders were as indication of silk and songket clothes, and probably silver and gold threads. Other regions: Palembang (South Sumatera), Donggala (Central Sulawesi), Bugis (South Sulawesi) and Bali. In old Javanese written source suggest that ‘kain prada’ enjoyed very great popularity in aristocratic circles in East Javanese Kingdom of Madjapahit. (In Bali, gold leaf was an important article of commerce imported from China and Thailand via the port of Singaraja in the latter half of the 19th century). the fall of Constantinople in 1453, the European merchants (11) Because sought to purchase spices, which at that time were very rare and quite expensive, directly the producing country, i.e. Indonesia. Palembang, was cultivated the mulberry trees for Bombix mori foods (silk (12) In coccon), it was also in Sulawesi. Typical silk cloth colors are red, green, blue and other bright colors. Silver and gold threads was utilized throught the supplementary weft technique, which raises the metallic threads to the surface of the cloth with design of geometric and stylized floral meanders. were mineral alum and madder imported from Mecca and Aden (15) There (Medinah), included coral and copper. Agung introduced the Islamic-Javanese calendar and was patron (19) Sultan of the Arts and Crafts. Merapi (a volcano name in Central Java) eruption sent a plenty (20) Gunung of minerals, i.e. mineral alum. Batavian (presently Jakarta) Society for the Arts and Sciences was (22) The founded in Jakarta on April 24, 1778.
(23) Indian cotton (from Madapolam and Calicut) have been supplanted by European fabrics.
the colonialism era the Fierce battles broke out everywhere led by (24) In brave patriots, like as Prince Diponegoro (1825-1830) in Central Java. krakatau (a volcano name in the Java Sea, close to Banten (26) Gunung District) eruption also sent a plenty of minerals. in this period of national awakening was heralded by ‘Boedi (28) Because Oetomo’, the organization founded on May 20. Its ultimate aim was the
establishment of an Independent Indonesian State. Indonesian youth, in the 2nd congress on October 1928, called for (29) The unity among the Indonesian youth and pledged allegiance to ‘One Nation, Indonesia, One Motherland, Indonesia, One Language, Bahasa Indonesia’. Board Commerce and Industry of the Dutch East Indies published the (30) The Native Batik Industry. Some German synthetic dyestuffs first produced in the years 1920 to 1928 come into use in Jakarta and Pekalongan. e.g. for red color (aniline of Beta-hydroxy naphthoic acid, which applicable in cold water), for basic yellow (Auramine-O, Ciba Ltd., Basle), form brown (a benzidine dyestuffs, called soga-soga which developed with diazo compounds). proclaimed the Independence and established Unity State of the Republic (31) Indonesia of Indonesia covering the territory of the former Netherlands East Indies. February 29, 1950, the Batavian Society was changed into the name (32) On ‘the Institute of Indonesian Culture’.
13
Source: http://primastoria.net/