Biodiversity and Climate Change Project (BIOCLIME)
Final Report Akses terhadap Keuangan dan Pembiayaan untuk Unit Usaha Masyarakat (Report on identification of sustainable financing mechanism and micro credit for community and FMU) Prof. Andi Mulyana, Mohammad Sidiq dan Berthold Haasler
Akses terhadap Keuangan dan Pembiayaan untuk Unit Usaha Masyarakat | i
Kata Pengantar Laporan ini disusun sebagai dokumen verifikasi untuk Tujuan Spesifik/Output-5 (Working Package 5): “Sumber-sumber pendapatan alternatif untuk masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan-kawasan yang dilindungi teridentifikasi dan dikembangkan”, dan sebagai laporan capaian Kegiatan Utama 5.3: “Pengenalan tentang Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan”, Sub–Kegiatan 5.3.1 “Identifikasi Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan untuk Masyarakat dan KPH”; dan Sub-Kegiatan 5.3.2 “Pengembangan Mekanisme Pembiayaan Micro untuk Usaha Kecil”. Dokumen Laporan ini merupakan salah satu hasil studi yang dilaksanakan oleh Tim Universitas Sriwijaya dengan pendekatan studi pustaka dan survey yang dilakukan di wilayah kerja proyek Bioclime di 5 (lima) desa pilot project yang secara administrasi berada di Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan. Buku laporan ini berisi tentang resume dari rencana pengembangan usaha masyarakat di 5 (lima) desa pilot project, dan kajian tentang akses terhadap keuangan dan pembiayaan untuk unit usaha masyarakat. Hasil kajian ini merupakan bahan yang dapat dipakai baik oleh kelompok masyarakat maupun KPH. Di samping itu, bahan laporanini juga dapat digunakan oleh Organisasi Pemerintah Daerah terkait sebagai referensi dalam merencanakan program pemberdayaan masyarakat dan KPH. Pendapat, pandangan dan rekomendasi yang disampaikan pada laporan ini adalah pendapat, pandangan dan rekomendasi dari penulis dan tidak mencerminkan pendapat resmi dari BMUB dan/atau GIZ. Palembang, April 2017 Tim Penyusun
Biodiversity and Climate Change (BIOCLIME) Project 2015 A531: “Identification of sustainable financing mechanism for community and FMU”. A532: “Micro finance mechanism development”
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………............................................................................... DAFTAR ISI ……………………………………………………….............................................................................................. DAFTAR TABEL ………………………………………………………......................................................................................
i ii iii
I.
PENDAHULUAN ………………………………………………………..................................................................................... 1.1. Latar Belakang ………………………………………………………......................................................................... 1.2. Tujuan…………………………………………………………............................................................................................
1 1 1
II.
METODOLOGI …………………………………………………………........................................................................................ 2.1. Penentuan Lokasi …………………………………………………………................................................................. 2.2. Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data ………………………………………………………….......... 2.3. Analisis Data ……………………………………………………………........................................................................
2 2 2 2
III.
TINJAUAN UMUM KEGIATAN BISNIS MASYARAKAT…………………………...………………………............ 3.1. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Napalicin (KPH Rawas) ............................................ 3.2. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Karang Panggung (KPH Lakitan) ........................ 3.3. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Muara Sungsang (KPH Banyuasin) ................... 3.4. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Kepayang (KPH Lalan Mendis) ............................ 3.5. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Pangkalan Bulian (KPH Meranti) .......................
3 3 4 4 5 6
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………….............................................................................................. 4.1. Hasil Kajian Pengembangan Usaha Business Plan ............…….................. 4.2. Akses terhadap Keuangan dan Pembiayaan ............…….................................................. 4.2.1. Kondisi Eksisting Permodalan Masyarakat Hasil Survey Lapangan .......... 4.2.2. Alternatif Model Pembiayaan dan Akses Permodalan pada Desa-Desa Binaan ..............……............................................................................................................................. 4.3 Skema Mekanisme Micro Kredit .............................................................................................. 4.3.1. Skema Kredit Pemerintah yang Sudah Berjalan ..................................................... 4.3.2. Skema Kredit Pemerintah Baru .......................................................................................... 4.3.3. Skema Kredit Lain Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) …………................................................. 4.4. Kemitraan Usaha ................................................................................................................................
8 8 9 9
V.
12 14 14 19 19 20
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................................................................................... 5.1. Kesimpulan ............................................................................................................................................. 5.2. Rekomendasi .........................................................................................................................................
24 24 24
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................................................
25
ii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
iii
Sumber permodalan usaha masyarakat di desa-desa binaaan Bioclime Pengalaman masyarakat mengajukan kredit ke Bank………………….. Sebaran dan variasi pinjaman modal yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha…………..................………….......................... Kemampuan Masyarakat Membayar Cicilan per Bulan……………….. Sumber dana pembiayaan usaha besar dan UMKM/IKM………………
9 10 11 11 13
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dari hasil survey sosial ekonomi yang dilakukan di wilayah-wilayah binaan GIZ di Provinsi Sumatera Selatan diperoleh informasi terkait potensi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut yang dapat dijadikan sumber mata pencarian yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dari baseline data yang diperoleh dari hasil survey pada wilayah pelaksanaan kegiatan proyek di empat kabupaten terpilih yaitu Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara didapat gambaran potensi sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan yang dilindungi diidentifikasi dan dikembangkan tersebut. Pada Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) dengan lokasi terpilih pada Desa Napal Licin, komoditi nilam menjadi pilihan untuk dikembangkan. Kabupaten Musi Rawas dengan lokasi terpilih pada Desa Karang Panggung, ditetapkan komoditi kopi yang menjadi potensi sumber pendapatan alternatif. Berbeda halnya dengan Musirawas dan Muratara, pada wilayah ke tiga yaitu Kabupaten Banyuasin, jenis produk agroindustri nata de coco menjadi pilihan khususnya di Desa Muara Sungsang. Pada Kabupaten Musi Banyuasin, dengan desa terpilih yaitu Desa Kepayang dan Desa Pangkalan Bulian, terpilih komoditi kemenyan dan pakis pada Desa Kepayang, dan komoditi rotan dan madu sialang pada Desa Pangkalan Bulian. Untuk pengembangan komoditi-komoditi tersebut dan menjadi bisnis yang bermodal, maka setelah adanya kajian Rencana Bisnis (Business Plan) usaha masyarakat tersebut perlu diberikan pengenalan tentang mekanisme pembiayaan dan kredit mikro yang selanjutnya dapat mendukung implementasi dari Business Plan nya. Kajian ini disiapkan untuk kelompok masyarakat yang akan mengembangkan usahanya untuk memahami peluang dan prosedur mendapatkan pendanaan (modal), terlebih jika pengembangan usaha yang akan dilakukan belum didukung dengan ketersediaan dana untuk memulainya. Dalam konteks tersebut diperlukan dukungan data yang akurat terkait aspek-aspek kebijakan, skema-skema pembiayaan, dan prosedurnya untuk kredit mikro yang harus diperoleh melalui pelaksanaan survey di lapangan dan wawancara kepada pihak-pihak lembaga keuangan yang terkait, di masing-masing kabupaten dan desa. 1.2. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pengenalan terhadap skema-skema pembiayaan dan prosedur kredit mikro untuk para calon wirausaha di tingkat kelompok masyarakat dan KPH. Selain itu, kajian ini berkontribusi dalam merumuskan upaya-upaya permodalan usaha ke depan agar lebih maju, berdaya saing dan berkelanjutan.
1
2. METODOLOGI Pada kajian ini diperlukan data dasar yang akurat tentang kondisi dan potensi dari bisnis yang
akan
diusahakan.
Untuk
itu
sebelum
memaparkan
kebijakan,
dan
skema-skema
pembiayaan/micro credit, diperlukan pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan terkait kondisi usaha yang akan dijalankan di wilayah sasaran. Untuk itu digunakan metode survey sebagai metode awal, yang dilanjutkan dengan penelusuran pustaka terkait kebijakan dan peraturan pemerintah yang ideal. Skema unit usaha masyarakat yang sedang dijalankan adalah untuk komoditi sebagai berikut: 1) Produk penyulingan nilam 2) Produk kopi bubuk 3) Produk nata de coco dan asap cair 4) Produk ikan asin dan pembibitan desa 5) Produk mebel rotan 2.1. Penentuan Lokasi Lokasi survey dalam rangka pengumpulan data primer dilakukan di 4 kabupaten dan desadesa pilot project, yang dipilih secara purposive karena merupakan wilayah kerja KPH dan wilayah desa prioritas project Bioclime, yaitu Kabupaten Muratara (Desa Napal Licin), Kabupaten Musi Rawas (Desa Karang Panggung), Kabupaten Banyuasin (Desa Muara Sungsang), Kabupaten Musi Banyuasin (Desa Kepayang dan Desa Pangkalan Bulian). 2.2. Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data Data yang diperlukan untuk kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara responden dengan tuntunan kuesioner yang telah dipersiapkan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga-lembaga keuangan di tingkat wilayah yang terkait. Jenis data yang dikumpulkan melalui responden meliputi ruang lingkup skema pembiayaan untuk unit usaha masyarakat (usaha kecil), kondisi dan potensi pembiayaan saat ini, kondisi dan pembiayaan dengan model peraturan terbaru, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka, meliputi bahan kebijakan, peraturan, dan dokumen prasyarat pengajuan permodalan untuk Usaha Kecil dan Menengah. 2.3. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan survey lapangan, selanjutnya diklasifikasi secara sistematis mengikuti aspek yang dianalisis. Pengolahan data untuk tema yang terkait dengan akses terhadap keuangan dan pembiayaan menggunakan analisis deskripsi untuk mendapatkan gambaran umum tentang prasyarat, prosedur dan peluang pengajuan permodalan kredit mikro yang dikaitkan dengan jenis saha yang telah dikaji business plannya.
2
3. TINJAUAN UMUM KEGIATAN BISNIS MASYARAKAT Bahan referensi untuk keadaan umum ini adalah hasil-hasil studi dari Tim Bioclime yang terkait dengan pengembangan ekonomi masyarakat berbasis hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada berbagai lokasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan. Dari berbagai studi tersebut, pada laporan ini secara singkat akan diulas hasil Valuasi dan Pemetaan HHBK, Kelayakan Pengembangan HHBK, dan Peluang Pemasaran HHBK pada masing-masing desa priotitas proyek Bioclime.. 3.1. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Napalicin (KPH Rawas) Kajian di KPHP Rawas yang juga meliputi wilayah TNKS dilaksanakan di Desa Napalicin. Penduduk desa Napalicin mayoritas berpendidikan sekolah menengah dengan keterampilan bertani secara tradisional dan membuat kerajinan. Kualitas
kesehatan penduduk masih rendah, fasilitas
MCK terbatas, dan pelayanan kesehatan minim. Pertanian di Desa Napalicin didukung oleh kesuburan tanah yang tinggi dan sumber air yang cukup. HHBK dari hutan yang dimiliki desa ini belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih banyak pencari kayu illegal. Selain itu desa ini juga memiliki potensi wisata berupa gua batu, air terjun, dan batu ampar. Desa Napalicin terhubung dengan daerah lain terutama melalui transportasi air seperti ketek, perahu dan rakit. Desa ini sudah memiliki Pustu dan Posyandu untuk melayani kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Penduduk desa sudah menikmati listrik dari PLTD desa.
Penduduk juga
memiliki akses terhadap alsin pertanian seperti traktor dan penggilingan padi. Teknologi tradisional sudah diterapkan seperti kincir air, perontok padi, dan penyulingan nilam. Namun, desa ini belum memiliki pasar, suplai air dan sarana sanitasi. Selain bersumber dari pertanian, pendapatan masyarakat juga berasal dari pekerjaan buruh tani (pengolahan lahan dan panen). Kepemilikan tabungan serta layanan simpan pinjam belum tersedia di desa. Kelembagaan yang ada di Desa Napalicin selain pemerintahan desa adalah BPD, kelompok tani, karang taruna dan lain-lain. Desa ini juga telah memiliki aturan terkait pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya aturan pengambilan bambu. HHBK prioritas kategori hasil hutan dari Desa Napalicin adalah bambu dan rotan. Sedangkan HHBK non-hutan berupa karet, nilam, dan jengkol. Baik HHBK hutan maupun non-hutan ini terpilih karena memenuhi kriteria kelimpahan, kemudahan panen, dekat dari desa, dapat berkembang biak dengan mudah, dan berkaitan dengan pengelolaan hutan. Produk prioritas yang terpilih dari Desa Napalicin adalah minyak nilam yang diproses dari tanaman nilam. Ranting dan daun nilam dapat disuling menjadi minyak nilam dengan teknologi yang sederhana.
Hasilnya berupa minyak atsiri
yang dapat dipasarkan secara nasional dan global dengan harga jual yang relatif tinggi.
3
3.2. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Karang Panggung (KPH Lakitan) Kajian di KPHP Lakitan dilakukan di Desa Karang Panggung. Sumberdaya alam yang dimiliki Desa Karang Panggung meliputi hutan, lahan pertanian dan perkebunan berikut barang dan jasa lingkungan di dalamnya (fauna, HHBK, karet, kopi, sumber air, dll.). Desa in berpenduduk 3.743 jiwa yang sebagian besar berpendidikan setingkat SD, memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pertanian dan perkebunan. Sarana fisik yang terdapat di desa ini cukup lengkap, meliputi jalan, puskesmas, pasar dan kios saprodi, air bersih, listrik, dan sarana komunikasi. Sumber uang berasal dari upah dan penjualan hasil pertanian dan perkebunan. Penduduk desa ini sudah terakses kepada pelayanan jasa keuangan, baik menabung maupun meminjam uang. Selain pemerintahan desa, Karang Panggung juga sudah memiliki berbagai kelembagaan masyarakat seperti kelompok tani, musyarah dan gotong royong. Selain karet, HHBK prioritas di Desa Karang Panggung adalah Kopi. Kopi menjadi pilihan kelompok masyarakat dengan kriteria keunggulan berlimpah, sangat sesuai dengan kondisi tanah dan biofisik setempat, tumbuh sepanjang musim, masyarakat memiliki pengetahuan budidaya dan pemeliharaannya, saprodi termasuk benih tersedia, cara panen mudah dan biaya pengelolaan dapat dijangkau oleh masyarakat. Dari komoditas Kopi dapat diolah lebih lanjut menjadi produk kopi bubuk. Pada saat pengamatan ini dilakukan, kelompok masyarakat telah memberikan nama produk kopi dengan nama Kopi Selangit. Usaha produksi bubuk Kopi Selangit dapat dijadikan produk prioritas karena telah mendapat dukungan dari KPH Lakitan dan OPD terkait di Kabupaten Musi Rawas, yakni Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi dan Kantor Camat Selangit. Untuk dikembangkan menjadi icon daerah. 3.3. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Muara Sungsang (KPH Banyuasin) Kajian di KPHL Banyuasin dilaksanakan di Desa Muara Sungsang. Penduduk Muara Sungsang rata-rata berpendidikan SD, sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan tradisional. Sebagian masyarakat memiliki keterampilan membuat atap dari daun nipah yang banyak tumbuh di sekitar. Desa Muara Sungsang memiliki hutan mangrove yang melimpah tetapi belum dimanfaatkan. Fasilitas umum yang terdapat di desa ini antara lain posyandu, pustu, jalan, jembatan. Sarana transportasi dari dan menuju ke desa ini adalah mobil, sepeda motor, perahu, perahu motor, dan sepeda. Listrik yang tersedia berasal dari pembangkit/generator setempat, tetapi sudah memungkinkan masyarakat untuk menggunakan perangkat elektronik. Sumber pendapatan masyarakat desa Muara Sungsang berasal dari upah buruh (pembersihan lahan, tani, buruh panen).
Desa ini belum memiliki lembaga keuangan formal. Namun secara
administratif, Desa Muara Sungsang sudah memiliki lembaga pemerintahan desa. Selain itu terdapat pula kelompok Tani, Karang Taruna, dan lain-lain. Desa ini juga sudah memiliki aturan dan sangsi bagi yang mengambil hasil hutan secara berlebihan. 4
HHBK prioritas dari Desa Muara Sungsang berdasarkan skor yang diperoleh untuk area hutan adalah udang dan bandeng. Sedangkan untuk area non hutan adalah kelapa dan jagung. Udang bernilai tinggi untuk indikator tingkat kesulitan panen, jarak dari kampung, kemampuan berkembang biak, dan hubungan dengan pengelolaan hutan. Sedangkan kelapa terpilih karena bernilai tertinggi untuk indikator kelimpahan, kesesuaian lingkungan biofisik, tingkat ketahanan terhadap kekeringan, pengetahuan budidaya dan pemeliharaan, ketersediaan saprodi, sumber benih dan cara panen. Produk prioritas dari Desa Muara Sungsang yang terpilih adalah kelapa. Sedangkan Udang dan Bandeng tidak menjadi prioritas dikarenakan terkendala dengan aspek legalitas kawasan. Pada umumnya Udang dan Bandeng adalah hasil tambak yang dikelola di dalam kawasan Hutan Lindung di KPH Banyuasin. Oleh karena itu, komoditi yang menjadi pilihan bagi masyarakat Muara Sungsang dan untuk dikembangkan menjadi usaha produktif adalah produksi bahan makanan berupa nata de
coco, yakni produk olahan dari sari kelapa, serta pengolahan sabut dan arang tempurung sebagai bahan baku pembuatan asap cair. 3.4. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Kepayang (KPH Lalan Mendis) Kajian di KPHP Lalan dilakukan di Desa Kepayang. Mata pencaharian utama penduduk Desa Kepayang adalah
bekerja di perkebunan sawit (70% dari penduduk, >50 %
perempuan) dan
berkebun karet. Kualitas kesehatan penduduk tergolong rendah karena sanitasi yang buruk, tidak ada drainase, tidak ada sumber air bersih, air sungai tercemar limbah pabrik sawit, dan paparan asap dari kebakaran hutan. Desa Kepayang mencakup wilayah Hutan Desa seluas ± 5400 Ha dengan beragam potensi tanaman dan hewan yang bermanfaat sebagai sumber makanan, obat-obatan, bahan kerajinan, bahan bangunan dan pendapatan. Desa ini memiliki kebun karet seluas ± 400 Ha yang dikelola 200 KK dan rumah walet yang dibangun di sekitar perkampungan. Desa Kepayang memiliki sarana fisik yang terbatas dimana hanya ada bangunan PAUD dan SD, polindes, masjid dan pasar. Prasarana transportasi hanya berupa jalan tanah yang sulit dilalui pada musim hujan, tidak ada sarana transportasi reguler kecuali tranportasi sungai (ketek, speadboat, kelotok).
Tidak ada sambungan listrik dari PLN kecuali sambungan perorangan yang tergolong
mahal (Rp 300.000/rumah/bulan).
Sarana komunikasi sudah dapat diakses oleh penduduk desa
(Indosat dan Telkomsel). Uang beredar bersumber dari usaha sawit, karet, dan burung walet.
Masyarakat tidak
memiliki akses terhadap bank karena tidak ada layanan perbankan di desa ini. Ada 2 pasar di dekat desa yang beraktifitas pada saat hari gajian perusahan sawit yang dikenal dengan pasar gajian dimana pada hari tersebut peredaran uang cukup besar. Selain pemerintahan desa, Desa Kepayang sudah memiliki lembaga-lembaga desa lainnya seperti LPM, lembaga adat, PKK, Posyandu dan
karang taruna. Selain itu ada pula lembaga
bentukan dari pihak luar seperti KBR (Kebun Bibit Rakyat), KMPA (Kelompok Masyarakat Peduli Api). 5
Ada pula lembaga dari luar yang bekerja di desa tersebut seperti WBH (Wahana Bumi Hijau), KPH Lakitan & Biolime, dan program PNPM. HHBK prioritas dari Desa Kepayang adalah kemenyan, durian daun dan pandan besar. Pandan besar memiliki score tertinggi dalam penilaian HHBK prioritas karena tersedia banyak, terdistribusi luas, dan mudah berkembang biak. HHBK prioritas non hutan adalah pisang, karet, nenas dan ubi kayu. Nenas memiliki skor tertinggi karena tingkat kesesuaian yang tinggi, tahan pada musim kering, sumber benih berlimpah, biaya pemeliharaan rendah, cara panen mudah dan didukung oleh pengetahuan & keterampilan masyarakat yang cukup tinggi. Wilayah Desa Kepayang adalah wilayah spesifik berupa lahan gambut, yang sangat rentan dengan kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan kondisi tersebut, potensi HHBK di desa ini habis terbakar pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Berdasarkan situasi tersebut, pertimbangan lainnya adalah pengembangan usaha tanaman ubi kayu (ubi racun), usaha produk ikan kering yang diperoleh dari penebatan kanal, dan usaha pembibitan desa. Ketiga jenis usaha ini dikelola oleh kelompok masyarakat di dalam wilayah Hutan Desa Kepayang. 3.5. Prioritas Bisnis HHBK di Desa Pangkalan Bulian (KPH Meranti) Kajian di KPHK Meranti dilaksanakan di Desa Pangkalan Bulian.
Desa Pangkalan Bulian
memiliki kekayaan yang beragam, mulai dari hutan yang memberikan sumber bahan makanan (buah dan sayuran), hasil perkebunan (karet), bahan obat-obatan, madu, bahan bangunan (kayu) hingga jasa lingkungan (sungai). Desa ini juga memiliki hasil tambang (minyak bumi) yang tidak dimiliki desa-desa lainnya. Namun, SDM di desa ini relatif rendah pendidikannya (mayoritas berpendidikan sekolah dasar).
Mata pencaharian sebagian besar penduduk bersifat ekstraktif (memanen madu
alam, mengambil minyak secara tradisional) dan sebagian lagi melakukan budidaya (karet). Modal sosial belum tergali dengan baik di desa ini sehingga pembangunan terkesan berjalan lambat. Sumber finansial utama berasal dari penjualan karet. Tidak ada lembaga keuangan yang mendukung permodalan masyarakat kecuali yang berasal dari pembeli karet (disebut dengan istilah “toke”). Desa ini belum memiliki fasilitas fisik yang memadai, kecuali berupa bangunan layanan publik seperti kantor desa, sekolah, rumah dinas bidan desa dan toilet umum. Prasarana transportasi desa dapat dikatakan buruk dan tidak didukung oleh sarana transportasi (kendaraan umum) yang reguler. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang teridentifikasi di Desa Pangkalan Bulian meliputi 9 komoditi yang dapat dikelompokkan dalam HHBK penghasil bahan makanan, bahan kerajinan, obatobatan, dan bahan mentah industri. Termasuk dalam kelompok HHBK bahan makanan adalah durian, baik yang dihasilkan dari pohon durian yang berada di dalam maupun di luar hutan. HHBK yang menjadi bahan kerajinan meliputi rotan, cikai, rumbai, pandan dan bambu. Sedangkan yang termasuk obat-obatan adalah madu dan pasak bumi. HHBK untuk bahan mentah industri adalah karet, baik yang ditanam di dalam maupun di luar areal hutan. Baik HHBK maupun produk yang dihasilkan diperuntukkan bagi konsumsi, penggunaan sendiri dan dijual untuk memperoleh uang tunai. 6
Berdasarkan pendekatan CLAPS, maka HHBK prioritas di Desa Pangkalan Bulian adalah rotan & madu sialang untuk area hutan, karet dan durian untuk area non hutan. Rotan mempunyai nilai tertinggi untuk semua indikator. Untuk area non hutan durian terpilih menjadi HHBK prioritas dengan nilai tertinggi untuk kesesuain tanah dan biofisik, tingkat ketahanan terhadap kekeringan, ketersediaan saprodi, sumber benih dan cara panen. Rotan diambil batangnya untuk digunakan sebagai bahan baku kerajinan, baik untuk penggunaan sendiri maupun dijual. Luas areal hutan yang ditumbuhi rotan diperkirakan 5.000 ha yang dapat dipanen setiap saat. Pemanfaat rotan oleh masyarakat masih sedikit. Madu hutan dimanfaatkan sebagai obat, baik untuk digunakan sendiri maupun dijual. Madu dipanen setahun sekali. Berkurangnya bunga-bunga hutan sebagai sumber madu menyebabkan madu yang dihasilkan juga berkurang. Karet merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar masyarakat desa Pangkalan Bulian. Saat ini diperkirakan ada 500 ha kebun karet milik masyarakat. Panen getah karet dapat dilakukan setiap hari. Babi, rayap, dan jamur adalah ancaman bagi perkebunan karet masyarakat.
Durian dikonsumsi masyarakat secara langsung dan diproses menjadi dodol durian
(lempok), untuk kebutuhan sendiri maupun dijual. Kempat HHBK prioritas tersebut diusahakan masih secara konvensional dan penggunaan input luar masih terbatas. HHBK prioritas yang dipilih untuk usaha masyarakat adalah rotan. Dari rotan dihasilkan berbagai produk kerajinan yang variatif, diantaranya kunju, ambung, lekar, sangke, pemukul kasur, dan bakul/sumpit.
Produk-produk ini dibuat secara tradisional,
tetapi kualitasnya cukup baik.
Harga produk kerajinan rotan dari desa ini berkisar antara Rp 100.000 – Rp 150.000 per unit. Di Desa Pangkalan Bulian ada 30 orang pengrajin rotan. Untuk memulai usaha kerajinan dan mebel rotan ini, kelompok masyarakat telah mendapatkan pembekalan pelatihan pembuatan mebel rotan, dan dibangun industri kecil mebel rotan.
7
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kajian Pengembangan Usaha (Business Plan) Dari 5 bidang usaha terpilih yang telah diimplementasikan pada masing-masing wilayah binaan sebagai pilihan usaha yang diharapkan mampu mengembangkan perekonomian masyarakat, teridentifikasi hanya 2 bidang usaha yang berjalan sesuai dengan harapan meskipun belum ideal, yaitu industri minyak nilam di Desa Napaliicin Kabupaten Muratara dan industri kopi bubuk yang berada di Desa Karang Panggung Kabupaten Musi Rawas; dan 1 usaha berpotensi meskipun belum berkembang dikarenakan keterbatasan bahan baku dari sumberdaya lokal dan buruknya akses sarana transportasi yang menyulitkan pasokan bahan baku dari luar maupun pemasaran produk ke luar desa. Sedangkan 2 bidang usaha lainnya belum berjalan sesuai harapan, yaitu usahatani ubi racun di Desa Kepayang yang diharapkan dapat berkembang menjadi industri tapioka mengalami kegagalan dikarenakan lahan penanaman mengalami kebanjiran, air yang menggenangi lahan menyebabkan semua tanaman ubi racun mati dan tidak ada keberlanjutan karena tidak ada modal dan terbatasnya lahan pengembangan yang lain.
Selain itu, usaha nata de coco di Desa Muara
Sungsang gagal dikarenakan kurang cocoknya sumberdaya air yang tersedia untuk digunakan sebagai bahan penujang pembuatan nata de coco disamping sulitnya menembus pasar lokal maupun regional karena produk belum ada izin resmi sebagai badan usaha maupun sebagai produk konsumsi. Hasil analisa kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa dari lima komoditi yang dikembangkan menjadi produk industri tersebut, dua diantaranya (nata de coco di Desa Muara Sungsang dan ubi racun di Desa Kepayang) berada pada ketegori tidak layak untuk dilanjutkan pengembangannya, karena tidak didukung dari ketersediaan bahan baku, persyaratan tumbuh dan pengembangan , pasar konsumen dan dukungan infrastruktur. Alternatif usaha sebagai pengganti usaha tersebut yang lebih memiliki potensi untuk dikembangkan adalah usaha perikanan tangkap dan industri hilir karet di Desa Kepayang, dan usaha arang dan asap cair berbahan baku tempurung kelapa di Desa Muara Sungsang.
Untuk usaha rotan di Desa
Pangkalan Bulian masih memiliki potensi untuk
dikembangkan melalui fasilitasi kerjasama bahan baku dengan wilayah lain dan perbaikan sarana transportasi. Pengembangan dua usaha lain yang masih tergolong layak yaitu kopi di Desa Karang Panggung, minyak nilan di Desa Napalicin meskipun telah berjalan sesuai harapan, namun untuk pengembangan ke depan masih diperlukan bantuan pengembangan peralatan, input produksi, pembinaan pasca panen serta falisitasi kerjasama bahan baku dan pemasaran dari wilayah lain serta realisasi perizinan yang diperlukan sebagai produk konsumsi.
8
4.2. Akses terhadap Keuangan dan Pembiayaan Usaha pemanfaatan HHBK dapat dilakukan masyarakat baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Baik usaha kelompok dan terutama usaha mandiri perlu didukung dengan permodalan yang mencukupi untuk menjalankan usaha secara berkesinambungan. Untuk itu akses pembiayaan bagi pengembangan usaha berbasis HHBK sangat diperlukan. 4.2.1.
Kondisi Eksisting Permodalan Masyarakat Hasil Survey Lapangan Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang menjalankan usaha ekonomi
di desa-desa prioritas Proyek Bioclime sumber permodalannyaa mayoritas dari modal sendiri dan rerata tidak memiliki akses yang memadai terhadap permodalan. Tabel 1 di bawah ini menggambarkan kondisi sumber permodalan masyarakat di 5 desa binaan didominasi oleh sumber modal sendiri (64%), dan tidak ada sumber permodalan yang berasal dari lembaga permodalan. Sumber modal lain yang bukan modal sendiri umumnya berasal dari sumber pinjaman dari lembaga non formal.
No 1 2 3 4 5
Tabel 1 Sumber permodalan usaha masyarakat di desa-desa binaaan Bioclime N Sumber Permodalan Desa Dana Pinjaman Pinjaman Koperasi Lainnya Sendiri Keluarga Mitra Usaha ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % Muara Sungsang 7 14 0 0 3 6 0 0 0 0 Pangkalan Bulian 9 18 0 0 0 0 1 2 0 0 Kepayang 0 0 0 0 0 0 0 0 10 20 Napal Licin 8 16 0 0 0 0 0 0 2 4 Karang Panggung 8 16 1 2 0 0 0 0 1 2 Jumlah 32 64 1 2 3 6 1 2 13 26
Total ∑ 10
% 20
10 10 10
20 20 20
10 50
20 100
Data yang disajikan pada Tabel 1 tersebut sekaligus mencerminkan masih terbatasnya akses masyarakat ke lembaga-lembaga permodalan. Keterbatasan akses tersebut tidak hanya disebabkan oleh absennya lembaga-lembaga keuangan resmi di desa-desa lokasi studi, tetapi juga terbatasnya aset finansial masyarakat untuk dapat dikelola oleh lembaga keuangan. Jika diidentifikasi berdasarkan keseluruhan kegiatan masyarakat, baik yang produktif maupun yang konsumtif, maka terdata bahwa sebenarnya terdapat 14% masyarakat yang telah memiliki pengalaman mengakses lembaga perbankan untuk pembiayaan, namun mayoritas kredit tersebut digunakan untuk pembiayaan konsumtif, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Pengalaman masyarakat mengajukan kredit ke Bank Pengalaman Mengajukan Kredit Desa
pernah
Pengajuan Kredit (bagi yg pernah)
tidak pernah
diterima
ditolak
∑
%
∑
%
∑
%
∑
%
Muara Sungsang
2
4
8
16
2
29
0
0
Pangkalan Bulian
1
2
9
18
1
14
0
0
Kepayang
0
0
10
20
0
0
0
0
Napal Licin
2
4
8
16
1
14
1
14
Karang Panggung
2
4
8
16
0
0
2
29
Jumlah
7
14
43
86
4
57
3
43
Tabel 2 menjelaskan bahwa mayoritas (86%) masyarakat di lima desa tersebut tidak memiliki pengalaman (tidak pernah) mengakses lembaga perbankan. Hanya 14% masyarakat yang pernah mengajukan kredit ke bank, dan dari 14% tersebut hanya separohnya yang diterima, dan separohnya lagi ditolak oleh Bank dengan alasan tidak layak, ditinjau dari syarat administrasi perbankan. Pada kelompok masyarakat yang tidak pernah mengajukan kredit, dari hasil wawancara terungkap alasan utamanya adalah dikarenakan mereka keberatan dengan persyaratan agunan dan administrasi (birokrasi) yang menurut mereka tidak sederhana, serta suku bunga yang menurut mereka terlalu tinggi sehingga memberatkan mereka
(dinyatakan oleh seluruh masyarakat yang
belum pernah mengajukan pinjaman ke Bank). Dalam pengembangan usaha ke depan, meskipun mayoritas masih mengalami kesulitan untuk mengkases lembaga permodalan, namun mereka masih membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan usaha ke depan. Kebutuhan modaL yang mereka butuhkan rerata bervariasi pada setiap desa, seperti yang diungkapkan pada data sebaran kebutuhan modal untuk pengembangan usaha yang disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa meskipun didapat variasi nilai pinjaman yang dibutuhkan masyarakat pada masing-masing desa, namun mayoritas (36%) membutuhkan modal pinjaman berada pada nilai kisaran 20-50 juta rupiah per KK. Jika dilihat dari sebaran per desa, maka terlihat bahwa Desa Karangf Panggung merupakan desa yang nilai kebutuhan pinjaman yang diinginkan masyarakatnya yang terkecil (mayoritas membutuhkan pinjaman dengan kisaran 5-10 juta rupiah). Dari nilai pinjaman yang diharapkan dapat mereka peroleh dari lembaga perbankan tersebut masing-masing anggota masyarakat memiliki variasi kemampuan untuk membayar cicilan. Tabel 4 berikut ini menyajikan variasi kemampuan pembayaran cicilan masyarakat di 5 desa binaan jika mendapatkan pinjaman dari bank.
10
Tabel 3. Sebaran dan variasi pinjaman modal yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha Desa
Nilai Pinjaman yang Dibutuhkan (Juta Rupiah) (orang) 10-20 20-50 50-100 100-200
5-10 ∑ Muara Sungsang Pangkalan Bulian Kepayang Napal Licin Karang Panggung Jumlah
%
∑
%
∑
%
∑
%
∑
Jumlah >200
%
∑
%
∑
%
1
2
1
2
1
2
6
12
0
0
1
2
10
20
0 1
0 2
0 2
0 4
6 6
12 12
1 0
2 0
2 1
4 2
1 0
2 0
10 10
20 20
2
4
2
4
5
10
0
0
1
2
0
0
10
20
8 12
16 24
2 7
4 14
18
0 36
7
0 14
4
0 8
2
0 4
10 50
20 100
Tabel 4. Kemampuan Masyarakat Membayar Cicilan per Bulan Desa
<100.000 ∑ %
Muara Sungsang Pangkalan Bulian Kepayang Napal Licin Karang Panggung Jumlah
Kemampuan Membayar Cicilan (Rp) 100-500 500 ribu -1 juta 1 juta – 2 juta ∑ % ∑ % ∑ %
Total ∑
%
1
2
1
2
2
4
6
12
10
20
0 0 0
0 0 0
3 6 9
6 12 18
6 4 1
12 8 2
1 0 0
2 0 0
10 10 10
20 20 20
0 1
0 2
10 29
20 58
0 13
0 26
0 7
0 14
10 50
20 100
Tabel 4 di atas mengindikasikan bahwa mayoritas kemampuan masyarakat untuk membayar cicilan pinjaman pada kisaran Rp.100.000 – Rp. 500.000 per bulan (58%).
Selebihnya bervariasi
antara kemampuan yang rendah (<100.000 per bulan) sampai dengan tingkat kemampuan membayar cicilan yang tergolong tinggi (1 -2 juta per bulan). Jika dilihat dari lamanya pinjaman, dari hasil survey menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat memiliki kemampuan membayar cicilan 1-5 tahun dengan pilihan lama waktu pinjaman terbanyak pada periode 3 tahun. Adapun tingkat bunga yang diharapkan mayoritas masyarakat (>80%) menginginkan tingkat bunga yang berada di bawah tingkat bunga komersial (<5%). Berdasarkan kondisi permodalan yang diuraikan di atas, agar masyarakat desa-desa prioritas
Proyek
Bioclime
memperoleh
akses
kepada
pembiayaan
dalam
rangka
untuk
mengembangkan usaha, maka diperlukan upaya untuk menjembatani keterbatasan kedua belah pihak (masyarakat dan lembaga keuangan).
Bagi masyarakat, tidak hanya diperlukan upaya untuk
memupuk aset finansial, tetapi juga bagaimana membuat masyarakat dan usahanya menjadi 11
bankable. Tentu hal tersebut normalnya dilakukan secara bertahap, yang dimulai dengan pemberian bantuan atau pinjaman dana dengan bunga rendah oleh pemerintah ysng disertai dengan penerapan program pemberdayaan agar usaha berbasis HHBK yang tergolong UMKM/IKM secara perlahan tapi pasti terbangun kepercayaan diri dan dapat bertransformasi menjadi lebih mandiri, profesional dan
bankable. 4.2.2.
Alternatif Model Pembiayaan dan Akses Permodalan pada Desa-Desa Binaan Terkait dengan kondisi permodalan masyarakat saat ini, maka Pemerintah Kabinet Kerja saat ini
telah menyusun lima langkah dukungan
terhadap pengembangan UMKM/IKM dengan skenario
sebagai berikut : 1) Pembiayaan Penyediaan atau bantuan modal untuk bisnis baru (start-up) Kemudahan perpajakan untuk UMKM 2) Iklim bisnis Pengurangan birokrasi khususnya untuk UMKM misalnya melalui penggunaan IT untuk memangkas birokrasi 3) Teknologi Pengenalan teknologi bagi UMKM (quality control, inovasi, perubahan teknis dan organisasi, dsb) 4) Kemampuan Manajerial Training bagi pemilik atau manajer UMKM Memberikan akses jasa pendampingan dan konsultasi 5) Akses Pasar Membantu akses ke pasar internasional Membantu akses UMKM untuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah Pada Tabel 5 tampak alternatif sumber dana yang dapat diakses oleh dunia usaha di Indonesa saat ini, termasuk oleh UMKM/IKM.
Terkait dengan tahapan UMKM/IKM untuk menjadi bankable,
pada taha awal dapaat dipilih alternatif memperoleh dana pembiayaan usaha dari sumber non bank seperti PKBL atau CSR perusahaan, dana Kemenhut/KLH yang tentu tidak memerlukan jaminan pinjaman yang terlalu berat, lebih mudah prosesnya dan kalaupun ada beban bunga, biasanya relatif murah. Peran pembina dn pendamping bagi usaha-usaha baru yang akan lebih dikembangkan seperti ini sangat besar agar mereka dapat mengakses sumber pembiayaan dan memanfaatkannya dengan baik dan produktif.
12
Tabel 5. Sumber dana pembiayaan usaha besar dan UMKM/IKM
Sumber : Kementerian Keuangan, 2016 Keterangan Singkatan Skim/Instiusi Kredit: -
13
KKP-E: Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KPEN-RP: Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan KPP: Kredit Pemberdayaan Pengusaha S-SRG: Skema Subsidi Resi Gudang KUR: Kredit Urusan Rakyat KUT: Kredit Usaha Tani KIP: Kredit Investasi Pemerintah KUMK: Kredit Usaha Mikro Kecil PIR: Perkebunan Inti Rakyat KLP: Kredit Listrik Pedesaan PKBL : Program Kemitraan dan Bina Lingkungan KUPS: Kredit Usaaha Peternakan Sapi
Ketika kinerja usaha tersebut sudah lebh maju setahap demi tahap. dan para wirausahanya telah mampu mengelola bisnis dan dana hibah atau pinjaman murah dengan baik, maka ketika itu mereka sudah dapat diperkenalkan dengan sumber dana pinjaman dari perbankan atau lembaga keuangan dengan sistem janinan lainnya. Artinya UMKM/IKM mulai mencapai kondisi yang sudah siap dan layak untuk memanfaatkan kredit dari bank (bankable). Berdasarkan pengalaman kredit program dengan dana yang berumber dari pemerntah maupun dari perbankan, ternyata cukup banyak yang macet akibat lemahnya kesiapan penerima kredit, pendampingan maupun pengawasannya. 4.3.
Skema Mekanisme Mikro Kredit
4.3.1
Skema Kredit Pemerintah yang Sudah Berjalan Pada dasarnya dipahami bahwa untuk mencapai keberhasilan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) perlu dukungan dan peran pemerintah dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Berbagai skim Kredit/pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dikaitkan dengan tugas dan program pembangunan ekonomi pada sektor-sektor usaha tertentu, misalnya ketahanan pangan, perternakan dan perkebunan. Peran pemerintah dalam skim-skim kredit UMKM selama ini adalah pada sisi penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga skim kredit dimaksud, sementara dana kredit/pembiayaan seluruhnya (100%) berasal dari bank-bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank pelaksana. Selain itu pemerintah berperan dalam penyiapan UMKM agar dapat dibiayai dengan skim dimaksud, menetapkan kebijakan dan prioritas usaha yang akan menerima kredit, melakukan pembinaan dan pendampingan selama masa kredit, dan memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lain. Sejauh ini ini skim kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dengan kategori usaha layak, namun tidak mempunyai agunan yang cukup dalam rangka persyaratan Perbankan. KUR adalah Kredit/pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi yang tidak sedang menerima Kredit/Pembiayaan dari Perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima Kredit Program dari Pemerintah pada saat permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan. Tujuan akhir diluncurkan Program KUR adalah meningkatkan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun deskripsi beberapa skim kredit pemerintah yang sudah ada dan dapat diakses sebagai sumber pembiayaan kelima usaha yang dikaji kelayakan ini adalah :
14
1. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Definisi KKPE adalah Kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan, dan diberikan melalui Kelompok Tani dan/atau Koperasi. Usaha yang Dibiayai
Jangka Waktu Proyek
Tidak Terbatas
Sumber Dana
Bank Pelaksana 100%
Plafon Kredit
1. untuk petani, peternak, pekebun, nelayan, dan pembudidaya ikan paling tinggi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); 2. untuk koperasi dalam rangka pengadaan pangan (gabah, jagung, dan kedelai) paling tinggi sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 3. untuk kelompok tani dalam rangka pengadaan/ peremajaan peralatan, mesin, dan sarana lain paling tinggi sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Suku Bunga Kredit
1. Tebu, maksimal sebesar suku bunga penjaminan Bank (LPS) + 5% 2. Komoditas lain, maksimal sebesar suku bunga penjaminan Bank (LPS) + 6%
Suku Bunga Petani/Peternak
1. Tebu : 7% p.a. 2. Komoditas lain : 6% p.a. (ditinjau setiap 6 bln, ditetapkan oleh Menkeu)
Jangka Waktu Kredit Peran Pemerintah
15
1. padi, jagung, kedelai, ubi jalar, tebu, ubi kayu, kacang tanah, sorgum. 2. hortikultura (cabe, bawang merah, jahe, kentang dan pisang), pengadaan pangan (gabah, jagung, kedelai). 3. peternakan sapi potong, sapi perah, pembibitan sapi, ayam ras petelur, ayam ras pedaging,ayam buras, itik dan burung puyuh, pengkapan 4. Penangkapan Ikan, Budidaya Udang, Nila, Gurame, Patin, Lele, Kerapu Macan, Ikan Mas dan pengembangan rumput Laut 5. Pengadaan/peremajaan peralatan, mesin, dan sarana lain untuk menunjang kegiatan di atas.
Maksimal 5 tahun 1. Kementerian Keuangan: penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga, menunjuk Bank Pelaksana, persetujuan plafon KKPE masing-masing Bank 2. Mentan : pembinaan dan pengendalian 3. Gubernur :pembinaan dan pengendalian 4. Bupati/Walikota : pembinaan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi
5. Dinas Teknis : mengkoordinir,memonitor, mengevaluasi penyaluran dan pemanfaatan KKPE, menginventarisasi kelompok tani yang memerlukan KKPE, membimbing kelompok tani dalam menyusun RDKK, menandatangani dan bertanggungjawab atas kebenaran RDKK Kelompok Tani, membimbing dan memantau kelompok tani Target Realisasi
Komitmen pendanaan oleh Bank : Rp 37,8 triliun
Daerah Realisasi
Sumut,Sumbar,Sumsel, Jabar, Jatim, Jateng, Bali, Sulsel, Kalsel, Papua, Riau
Bank Pelaksana
Permasalahan
BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, BCA, Bank Agroniaga, BII, Bank CIMB Niaga, Bank Artha Graha, BPD Sumut, BPD Sumbar, BPD Sumsel, BPD Jabar, BPD Jateng, BPD DIY, BPD Jatim, Bank Bali, BPD Sulsel, BPD Kalsel, BPD Papua, BPD Riau 1. Bank kesulitan memilih debitur yang layak 2. Debitur tidak dapat menyediakan agunan 3. Adanya batasan bahwa KKPE hanya disalurkan melalui Kelompok Tani dan/atau Koperasi.. 4. KKPE tidak dapat digunakan untuk membiayai peralatan/mesin untuk penangkapan dan budidaya ikan
2. Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan
Definisi
Usaha yang Dibiayai
Perluasan, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman kelapa sawit, karet dan kakao.
Jangka Waktu Proyek
2010, diusulkan diperpanjang s.d 2014
Sumber Dana
Bank Pelaksana 100%
Plafon Kredit
Ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan
Suku Bunga Kredit
maksimal sebesar suku bunga penjaminan Bank (LPS) +5%
Suku Bunga Petani/Peternak
Jangka Waktu Kredit Peran Pemerintah
16
KPEN-RP adalah Kredit yang diberikan dalam rangka mendukung program pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati dan Program Revitalisasi Pertanian
1. kelapa sawit dan kakao: 7% p.a., 2. karet 6% p.a. (ditinjau setiap 6 bln, atas dasar kesepakatan Pemerintah dan Bank Pelaksana) 1. kelapa sawit dan kakao 13 tahun, 2. karet 15 tahun 1. Bupati/Walikota cq Kepala Dinas Perkebunan : menunjuk calon petani peserta, mengusulkan calon mitra usaha melalui Gubernur 2. Dirjen Perkebunan : penunjukan mitra usaha
3. Kementerian Keuangan: penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga, menunjuk Bank Pelaksana Target Realisasi
Komitmen pendanaan oleh Bank : Rp 38,60 triliun
Daerah Realisasi
Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel,Babel, Lampung, Jabar, Kalbar, Kalteng,Kalsel,Kaltim,Sulut, Sulteng, Sulbar,Sulsel, Sultra, Maluku, Papua,Papua Barat
Bank Pelaksana
BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Agroniaga, BII, Bank CIMB Niaga, Bank Artha Graha, Bank Mega, BPD Sumut, BPD Sumbar, BPD Sumsel, BPD Aceh, BPD Kaltim, BPD Papua, BPD Riau 1. Adanya isu-isu negatif tentang perkebunan kelapa sawit yang dianggap dapat merusak lingkungan sehingga berkembang pemboikotan produk kelapa sawit dari Indonesia 2. Permasalahan yang terkait dengan lahan, antara lain mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah, kenaikan biaya sertifikasi lahan, lambatnya proses sertifikasi lahan, lahan sudah tumpang tindih dengan lahan masyarakat, lahan areal proyek dikuasai pihak lain. 3. Terbatasnya jumlah perusahaan yang layak menjadi mitra (perusahaan inti)
Permasalahan
4. Petani Peserta dan Koperasi belum ada dan belum memiliki kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama dalam hal : pembagian luas lahan, pembangunan kebun, pemeliharaan dan mengolah TBS 5. Bank Pelaksana belum dapat menyalurkan KPEN-RP yang belum memenuhi kelengkapan administrasi : penetapan peserta oleh Bupati; Rekomendasi calon perusahaan mitra dari Bupati dan Gubernur; Perjanjian Kerjasama petani, koperasi, perusahaan Mitra; Perijinan,legalitas perusahaan, ijin lokasi lahan dan feasibility study. 6. Lambatnya proses penetapan daftar nominatif petani di tingkat Kabupaten 7. Kurangnya koordinasi dinas terkait dengan Bank Pelaksana 8. Masih kurangnya tenaga pendamping untuk membina kelompok
3. Kredit Usaha Rakyat Definisi KUR adalah Kredit/pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi yang tidak sedang menerima Kredit/Pembiayaan dari Perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima Kredit Program dari Pemerintah, pada saat permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan, yang dibuktikan dengan hasil Sistem Informasi Debitur dikecualikan untuk jenis KPR, KKB, Kartu Kredit dan Kredit Konsumtif lainnya.
17
Usaha yang Dibiayai
Usaha produktif
Jangka Waktu Proyek
2014
Sumber Dana
Bank Pelaksana 100%
Plafon Kredit
1. KUR Mikro plafon maksimal Rp5.000.000,00 2. KUR Retail plafon maksimal Rp 500.000.000,00
Suku Bunga Kredit
1. KUR Mikro : 22% p.a. 2. KUR Retail : 14% p.a.
Suku Bunga Petani/Peternak Jangka Waktu Kredit
Peran Pemerintah
1. KMK maksimal 3 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 6 tahun 2. KI maksimal 5 tahun dan dapat diperpanjang sampai 10 tahun 1. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian : menunjuk Bank Pelaksana 2. Kementerian Keuangan : menyediakan dana APBN dan membayar subsidi untuk IJP 3. Kementerian teknis : Mempersiapkan UMKM dan Koperasi untuk dapat dibiayai dengan KUR, menetapkan kebijakan dan prioritas usaha yang akan menerima kredit, melakukan pembinaan dan pendampingan selama masa kredit,memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lain (misal :persh inti)
Target Realisasi
Rp 20 triliun per tahun
Daerah Realisasi
Seluruh propinsi
Bank Pelaksana
BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN, Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri,13 BPD (Bank DKI, Bank Nagari, Bank Jabar Banten, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jatim, Bank NTB, Bank Kalbar, BPD Kalsel, Bank Kalteng, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua)
Permasalahan 1. 2. 3. 4.
Sosialiasi kepada masyarakat masih kurang Suku bunga KUR masih dirasakan cukup tinggi Keterlambatan pembayaran klaim dari Lembaga Penjamin Kesulitan mencari debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan 5. Terdapat dispute terhadap beberapa ketentuan KUR.
18
4.3.2
Skema Kredit Pemerintah Baru Selain itu telah pula dipersiapkan skim terbaru, yaitu mulai tahun 2016, Pemerintah
memformulasi formula pembiayaan untuk sektor usaha kecil dan menengah dengan suku bunga pinjaman berkisar 12%-15% atau lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga kredit usaha rakyat yang mencapai 21%. Guna menekan suku bunga hingga pada besaran yang diinginkan, pemerintah akan mengalokasikan dana hingga Rp7 triliun yang akan ditempatkan pada bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sumber dananya berasal dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Selain itu, apabila pemerintah mengalokasikan dana APBN, dititipkan ke bank dan dipinjamkan kepada UKM, maka bunganya diminta rendah. Pelaksanan pemberian kredit likuiditas tersebut diharapkan dapat dimulai pada 2016, dengan besar pinjaman yang diberikan akan menggunakan patokan KUR yaitu maksimal Rp25 juta untuk usaha kecil dan mikro kecil, sedangkan untuk ritel atau industri menengah di atas Rp25 juta— Rp500 juta. Dikatakan bahwa skim ini akan memunculkan 20.000 IKM baru selama lima tahun ke depan dan 50% dari target tersebut diharapkan lahir dari luar Jawa. Pertumbuhan UMM/IKM di Sumatra sudah ada sekitar 5% hingga 10%, dan selamaini merupakan industri yang tidak terpengaruh dengan adanya pelemahan ekonomi global karena memiliki strategi yang fleksibel untuk hidup melalui perubahan sesuai dengan merespons pasar.
Agar pengembalian pinjaman berjalan lancar akan
dilakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap pelaku UMKM/IKM dan fasilitasi pemasaran produk mereka sehingga pendapatan para pelaku usaha tersebut terus naik. 4.3.3
Skema Kredit Lain Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) PKBL adalah bentuk tanggung jawab Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada masyarakat.
PKBL dilaksanakan dengan dasar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN serta Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 yang menyatakan maksud dan tujuan pendirian BUMN tidak hanya mengejar keuntungan melainkan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, yaitu program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Tujuan program Kemitraan adalah untuk
meningkatkan kemampuan para pengusaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri sekaligus pemberdayaan kondisi sosial masyarakat. 19
Sedangkan Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, yaitu program untuk membentuk calon Mitra Binaan baru dan pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program BL ini bersifat bantuan (Korban Bencana Alam,
Bantuan
Pendidikan
dan/atau
Pelatihan,
Bantuan
Peningkatan
Kesehatan,
Pengembangan Sarana dan/atau Prasarana dan Bantuan Sarana Ibadah).
Bantuan
Semua BUMN telah
menjalankan program tersebut, misalnya di Sumatera Selatan antara lain PT. Pusri, PT. Bukit Asam, PT. Semen Baturaja, PT. Pertamina, PT. Gas Negara, PT. KAI, PT. Garuda, PTPN VII, Bank-Bank Pemerintah dan lain-lain. Bukan hanya BUMN yang wajib melaksanakan CSR, melainkan juga BUMS milik pemodal nasional maupun pemodal asing wajib dan telah menjalankan program tersebut. Perusahaan yang sudah menjalankan program tersebut di sumatera Selatan cukup banyak antara lain yang bergerak di sektor perkebunan (PT. Hindoli, PT. Sampurna Agro,PT. Tania Selatan, PT. London Sumatera, dan lain-lain), di sektor migas (PT. Medco, dan PT.Connoco Phillips) dan sektor lainnya. 4.4. Kemitraan Usaha Usaha pengambilan dan pemanfaatan HHBK dapat dilakukan baik oleh KPH sebagai penerima amanat dan pengelola hutan maupun masyarakat yang tinggal berdampingan dalam wilayah KPH. Karena itu, agar terjalin hubungan yang sinergis antara kedua pihak yang memiliki kepentingan yang sama, maka perlu dijalin kemitraan bisnis antara keduanya. Salah satu prinsip penting dalam kemitraan adalah kesetaraan, yaitu kesamaan kedudukan dan peran antara pihak-pihak yang bermitra. Namun, selama ini posisi masyarakat (petani) yang bermitra dengan perusahaan (organisasi ekonomi) selalu dalam posisi yang lemah.
Sehingga,
manfaat yang diterima oleh petani cenderung lebih kecil daripada perusahaan (pemilik modal). Hal ini menyebabkan keberlanjutan usaha kemitraan menjadi sulit untuk diwujudkan. Persoalan lemahnya posisi masyarakat (petani) dalam kerjasama (kemitraan) telah disadari oleh Pemerintah. Karena itu, melalui pemberlakukan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 posisi masyarakat dicoba untuk diangkat, yaitu dengan mewujudkan badan usaha berbadan hukum yang dijalankan oleh masyarakat (petani). Untuk menyukseskan kemitraan usaha antara masyarakat yang menjalankan kegiatan produksi HHBK dan produk turunannya dan KPH sebagai pengelola kawasan, maka kelembagaan ekonomi yang dapat dibentuk di kalangan masyarakat adalah Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Sebagai badan usaha, petani memiliki kedudukan hukum yang kuat untuk menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya. Selain itu, kerjasama kemitraan dengan KPH, pemilik modal (investor) dan pasar dapat berkelanjutan. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)/Industri Kecil Menengah (IKM) umumnya masih memiliki modal dan jaringan bisnis yang sangat kecil. Selain itu UMKM/IKM semakin dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang sangat tinggi, untuk memenuhi permintaan barang 20
dengan harga murah, kualitas tinggi dan jumlah ketersediaan yang harus selalu stabil. Tuntutan tersebut dapat membuat UMKM/IKM mengalami kesulitan memenuhi permintaan konsumen yang tinggi, sementara biaya operasional, biaya produksi, tariff listrik serta biaya lainnya juga semakin mahal yang berpotensi memicu kegagalan mengembangkan bisnisnya. bahkan dapat meyebabkan kebangkrutan. Namun, sekarang terdapa pola pengembangan UKM dan Kemitraan Usaha untuk membantu perkembangan UKM. Kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi, saling percaya, dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama. Keberadaan UKM di Indonesia sangat penting karena UKM mampu menyumbang 60% dari pendapatan serta dapat menampung banyak tenaga kerja. Tapi sayangnya UKM masih belum dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari pemerintah dan usaha-usaha besar lainnya. Sehingga perlulah adanya suatu kemitraan, yaitu hubungan antara UKM dengan Usaha Besar. Dengan demikian kemitraan merupakan strategi usaha yang dilakukan oleh dua pihak untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi masing-masing pihak. Ada beberapa Pola Kemitraan Usaha yang dapat membantu perkembangan UKM, diantaranya: 1.
Pola Sub Kontrak, adalah hubungan kemitraan antara UKM dengan usaha besar dimana didalam perjanjiannya UKM adalah produsen atau pemasok dari komponen yang dibutuhkan oleh usaha besar untuk dijadikan bagian dari produksinya. Pola ini ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu, dan waktu. Pola ini sangat bermanfaat dalam transfer alih teknologi, modal, ketrampilan, dan produktifitas.
2.
Pola Inti Plasma, yaitu hubungan kemitraan antara UKM dengan UB (usaha besar) dimana usaha besar berperan sebagai inti dan UKM selaku plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, Usaha Besar mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UMKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Contoh: diterapkan dalam pengembangan Perkebunan Inti Rakyat dan Tembak Inti Rakyat.
3.
Pola Keagenan, yaitu hubungan kemitraan dimana UMKM diberikan hak untuk memasarkan produk barang atau jasa usaha besar.
4.
Pola Dagang Umum, yaitu hubungan kemitraan antara UKM dengan usaha besar, dimana didalam perjanjiannya usaha besar memasarkan produk barang atau jasa UKM atau UKM yang memasok kebutuhan usaha besar sebagi mitranya.
Dalam kegiatan perdagangan pada
umumnya, kemitraan antara usaha besar atau usaha menengah dengan usaha kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran produk, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar atau usaha menengah. Contohnya: kegiatan bisnis hortikultura, 21
dimana kelompok tani hortikultura bergabung dengan koperasi kemudian bermitra dengan swalayan atau kelompok supermarket. Petani memiliki kewajiban untuk memasok barangbarang sesuai dengan persyaratan dan kualitas produk yang telah disepakati bersama. 5. Pola Waralaba, yaitu hubungan kemitraan antara UKM dengan Usaha Besar dimana dalam perjanjiannya
pemberi
waralaba
memberikan
hak
kepada
penerima
waralaba
untuk
menggunakan merek dagang, lisensi dan saluran pendistribusiannya. Waralaba juga diartikan sebagai perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba. 6.
Pola kemitraan kerjasama operasional adalah pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Perusahaan mitra juga sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu, tembakau, sayuran dan pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan resiko
7.
Pola Bapak angkat – Anak angkat merupakan hubungan antara pengusaha besar yang bersedia membantu perkembangan pengusaha kecil. Dibutuhkan kesadaran tinggi bagi bapak angkat untuk membantu anak angkatnya. Salah satu contohnya adalah BUMN yang memperoleh profit besar memberikan modal tanpa bunga kepada peternak di daerah miskin.
8.
Pola Vendor adalah kerjasama dimana produk yang dihasilkan oleh mitra kerjanya akan digunakan oleh bapak angkat, tetapi produk tersebut tidak menjadi bagian produk yang dihasilkan oleh bapak angkat. Sebagai contoh, PT Kratakau Steel yang core business-nya menghasilkan baja mempunyai anak angkat perusahaan kecil penghasil emping melinjo. Vendor juga dapat diartikan sebagai kegiatan bisnis di mana BUMN/BUMS membeli barang setengah jadi atau barang jadi dari mitra usaha tidak berdasarkan kontrak tertulis, tetapi atas pesanan melalui perantara. Barang yang dibeli tidak memenuhi spesifikasi teknis yang spesifik , akan
22
tetapi perusahaan besar melakukan grading dan membayar sesuai dengan mutu produk yang diserahkan. Dengan adanya Pengembangan UMKM/IKM dan Kemitraan Usaha, beberapa manfaat yang bisa didapat bagi kedua pihak yang melakukan mitra diantaranya: 1.
Meningkatkatnya produktivitas, efisiensi, jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.
2.
Menurunkan resiko kerugian.
3.
Memberikan social benefit yang cukup tinggi.
4.
Meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional. Dari beberapa alternatif bentuk kemitraan yang disebutkan di atas, yang relatif cocok untuk
diterapkan pada empat usaha yang rencananya akan dikembangkan pada kawasan yang dikaji adalah pola nomor 1 (sub kontrak) antara UMKM/IKM dengan, super-hypermarket, pola nomor 4 (dagang umum) antara UMKM/IKM dengan took swalayan milik pengusaha lokal atau waralaba, pola nomor 6 (kerjasama operasional) maupun nomor 7 (bapak-anak angkat) antara UMKM/IKM dengan BUMN/BUMS yang tidak harus memiliki usaha yang sama dengsn usaha UMKM/IM tersebut, melainkan dengan memberikan pendampingan, melakukan pemberdayaan/pelatihan manajemen dan teknologi usaha, memberikan bantuan atau pinjaman dana melalui program CSR, dan memfasilitasi pemasaran produk yang dihasilkanUMKM/IKM. Apabila BUMN/BUMS kekurangan SDM pakar/tenaga ahli, merekadapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian ataupun LSM yang relevan untuk menjalankan program dan kegiatan kemitraan yang dipilih.
23
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan Dari hasil kajian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1.
Kondisi eksisting pembiayaan dan permodalan usaha didominasi dari modal sendiri dan sebagian dari pinjaman dari lembaga non formal (keluarga, teman dan rentenir), dan untuk pengembangan ke depan, bantuan permodalan dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah masih diharapkan masyarakat, mengingat rerata masyarakat belum memiliki akses ke lembaga permodalan formal dan kemampuan memenuhi persyaratan bank masih rendah.
5.2. Rekomendasi Dari kendala dan permasalahan yang ditemui dalam pengembangan kelima komoditi pilihan pada masing-masing desa binaan, maka untuk perbaikan dan pengembangan usaha ke depan agar dapat menjadi usaha penggerak ekonomi masyarakat yang berkelanjutan, maka direkomendasikan : 1.
Kerjasama dengan pihak organisasi pemerintahan daerah (OPD) terkait antara lain Dinas Pertanian TPH, Dinas Perkebunan, Dinas Prindustrian dan Dinas Perdagangan, perlu dilakukan lebih intensif lagi agar pengembangan komoditi tersebut menjadi bagian program kerja dari OPD tersebut secara terpadu dalam membantu pengembangan teknis budidaya, pengolahan dan pemasaran.
2.
Untuk pengembangan permodalan direkomendasikan agar kelompok-kelompok binaan yang sudah berhasil dan yang menujukan kemajuan, mendapat bantuan fasilitasi akses permodalan ke perbankan serta mengikutsertakan kelompok-kelompok binaan ini pada program-program bantuan modal seperti kredit ketahanan pangan dan energi, KUR, Kredit Pengembangan Energi Nabati atau format bantuan/pinjaman modal lainnya dengan pola tingkat ketergantungan yang rendah.
24
DAFTAR PUSTAKA Subagyo, A. 2007. Studi Kelayakan: Teori dan Aplikasi. Penerbit Elexa Komputindo, Jakarta. Suharto, I. 1998. Manajemen Proyek. Penerbit Erlangga. Jakarta.
25
Published by Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Kantor Terdaftar Bonn dan Eshborn, Jerman BIOCLIME Biodiversity and Climate Change Kantor Jakarta: GIZ ICCTF/GE LAMA I Gedung Wisma Bakrie II. 5th Floor Ruang ICCTF Jl. HR. Rasuna Said Kavling B-2 Jakarta Selatan 12920 Telp: +62-21-9796-7614 Fax: +62-21-5794-5739 Kantor Palembang: Jl. Jend. Sudirman No. 2837 KM. 3,5 Palembang Telp: +62-711-353176 Fax: +62-711-353176 Penulis: Prof. Andy Mulyana, Mohammad Sidiq dan Berthold Haasler Photo Credits: Bioclime (2016) I www.bioclime.org E
[email protected] FB Bioclime