Fenomena Perceraian Pasangan Lanjut Usia (Jukunen Rikon) Masyarakat Jepang Kontemporer Diana Utami, Bachtiar Alam Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia. Email :
[email protected] /
[email protected] Abstrak Skripsi ini menganalisis tentang fenomena perceraian pasangan lanjut usia (jukunen rikon) setelah tahun 2007. Fenomena jukunen rikon menimbulkan pembicaraan tentang hubungan pernikahan yang ideal dan diharapkan masyarakat Jepang sebelum tahun 2007. Jukunen rikon juga diprediksi oleh masyarakat Jepang akan meningkat tajam setelah tahun 2007, tepat setelah diberlakukannya Sistem Pembagian Dana Pensiun dan pensiun massal baby boomer. Skripsi ini menggunakan teori dari tulisan Alexy Allison mengenai fenomena jukunen rikon sebelum 2007. Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena jukunen rikon tidak meningkat tajam seperti yang diprediksikan masyarakat. Meskipun demikian, pembicaraan mengenai hubungan pernikahan yang ideal antara pasangan lanjut usia terus berlanjut setelah tahun 2007.
Later-life Divorce Phenomenon in Contemporary Japanese Society Abstract The focus of this work is to analize later-life divorce phenomenon (jukunen rikon) after 2007. Jukunen rikon phenomenon has provoked conversations about ideals and expectations of marital relationships in Japanese society. Jukunen rikon also predicted by Japanese society would icreased dramatically after 2007, coincides with enactment of pension division system and baby boomer retirement. This work was compiled using Alexy Allison’s theory based on her paper about jukunen rikon before 2007. This work found that jukunen rikon phenomenon is not increased like Japanese society prediction. However, conversations about ideals of marital relationship among elderly couple are continue after 2007. Keywords :Alexy, jukunen rikon, marital relationship, divorce, Pension Division System.
1.
Pendahuluan Praktik perceraian sudah terjadi di Jepang jauh sebelum Perang Dunia II terjadi. Pada
zaman Edo atau zaman Tokugawa, praktik perceraian banyak dilakukan oleh kelas petani dan prosesnya pun tidak sulit. Setelah terjadi modernisasi dan industrialisasi, terjadi perubahan struktur keluarga Jepang yang kemudian mempengaruhi peningkatan angka perceraian di Jepang. Setelah Perang Dunia II, angka perceraian di Jepang semakin meningkat, yakni 179,150 kasus (CDR1 1,51) pada tahun 1983 dan mencapai puncaknya, yakni 289,836 kasus 1
Crude Divorce Rate merupakan rasio jumlah perceraian (N) dalam suatu populasi selama periode tertentu (biasanya satu tahun kalender) dibagi dengan populasi (P) pertengahan periode tersebut. Formula CDR
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
2
pada tahun 2002 (CDR 2,30). Akan tetapi terjadi penurunan angka perceraian dari tahun 1947 hingga tahun 2001 pada beberapa kasus perceraian yang dibagi menurut durasi pernikahan, yakni perceraian pada durasi pernikahan 0-4 tahun dan 5-9 tahun. Sedangkan, jumlah perceraian pada durasi pernikahan 10-14 tahun, 15-19 tahun dan di atas 20 tahun justru meningkat dari tahun 1947 hingga 2001. Meskipun kasus perceraian pada durasi pernikahan 10-14 tahun, 15-19 tahun dan di atas 20 tahun sama-sama meningkat, namun jika dihitung, jumlah perceraian pada durasi pernikahan lebih dari 20 tahun bertambah hampir lima kali lipat dibandingkan dengan kedua perceraian pada durasi pernikahan yang lain, yakni sebanyak 3,1% (2.479 kasus dari 79.551 kasus) di tahun 1947 menjadi 15% (42.992 kasus dari total 285.911 kasus perceraian) di tahun 2001. Dengan demikian, jumlah perceraian pasangan yang telah menikah lebih dari 20 tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat. Perceraian yang terjadi pada pasangan yang telah menikah lebih dari 20 tahun ini disebut sebagai “jukunen rikon” (熟年離婚). Menurut Iwao (1993), jukunen rikon merupakan fenomena dimana istri meninggalkan suaminya di saat sang suami pensiun.Usia pensiun ratarata orang Jepang adalah sekitar 55-60 tahun.2 Menurut data dari Vital Statistic tahun 2009, secara umum jenis pekerjaan yang paling banyak mengalami jikunen rikon adalah pegawai swasta, yakni 11.184 kasus (27,9%) dan diikuti pegawai negeri, yakni 8.829 kasus (22%).3 Bisa dikatakan bahwa rata-rata pasangan yang melakukan jukunen rikon bekerja sebagai salaryman.4 Karena banyak laki-laki Jepang yang mendedikasikan hidupnya untuk bekerja, banyak pasangan suami-istri Jepang yang tidak biasa menghabiskan banyak waktu luang bersama. Para istri merasa tidak nyaman berada di rumah bersama suaminya yang telah pensiun, karena menurut para istri, suami mereka hanya berada seharian di rumah dan tidak melakukan apapun. Suami yang telah pension ini mendapat julukan sebagai seseorang yang tidak berguna, yakni nure ochiba (wet leaves clinging to one’s shoes) dan sodaigomi (large trash).
adalah N/P*1000. Sumber: U.N. Asian Development Institute Bangkok. 2003. A Glossary of Some Terms in Demography. Abhinav Publications, halaman 18. 2 Iwao, Sumiko. 1933. The Japanese Woman : Traditional Image and Changing Reality. New York: Free Press. Halaman 121. 3 Lihat Tabel 3.1. Jumlah Jukunen Rikon Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009. 4 Istilah yang digunakan untuk menyebutkan laki-laki Jepang yang bekerja di kantor pemerintah maupun perusahaan besar di Jepang. Salaryman menghabiskan pikiran dan waktunya dengan mendedikasikan dirinya untuk perusahaan. Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
3
Rata-rata perempuan Jepang memiliki harapan hidup hingga usia 86,4 tahun. Jika suami mereka pensiun di usia 60 tahun, berarti mereka bias hidup bersama lebih dari 20 tahun bersama suami mereka setelah pensiun. Dengan harapan hidup yang tinggi tersebut, para istri yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan suaminya di rumah yang tiba-tiba akibat pensiun, berpikir untuk mengajukan perceraian di usia yang tidak muda lagi. Jika hubungan pasangan tidak berjalan baik atau salah satu pihak tidak bias menoleransi ketidakcocokan dengan yang lain, hal tersebut akan meningkatkan kemungkinan jukunen rikon (Curtin 2002). Fenomena jukunen rikon baru marak dibicarakan masyarakat Jepang dan menjadi sorotan media setelah muncul perubahan system pension oleh pemerintah Jepang pada tahun 2004, yang akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2007 mengenai Sistem Pembagian Dana Pensiun atau Kousei Nenkin no Bunkatsu Seido (厚生年金の分割制度). Sistem tersebut menyatakan bahwa istri yang mengajukan perceraian setelah tanggal 1 April 2007 dapat memperoleh setengah dari pembayaran uang pension mantan suaminya.5 Selain itu, munculnya drama berjudul “Jukunen Rikon” yang ditayangkan oleh TV Asahi sejak 13 Oktober hingga 8 Desember 2005, semakin member gambaran masyarakat tentang ancaman jukunen rikon terhadap pernikahan orang-orang yang memasuki usia pension dan telah menikah lebih dari 20 tahun. Ancaman ini bukan tanpa dasar karena di tahun 2007, tepat ketika perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun diberlakukan, para generasi baby boomer 6
mulai memasuki masa pension secara massal. Pensiun missal generasi baby boomer ini
merupakan salah satu “2007 problems” atau “masalah-masalah tahun 2007” yang dialami Jepang yakni terkait masalah aging population atau masyarakat menua, selain penurunan jumlah generasi muda karena penurunan angka kelahiran serta meningkatnya angka masyarakat yang menunda pernikahan. Perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun tersebut dibentuk dengan tujuan meskipun sang istri bercerai dengan suaminya, ia tetap dapat menghidupi dirinya dan tidak akan kekurangan.7Sistem Pembagian Dana Pensiun yang berlaku pada bulan April 2007 ini, telah menjadi pembicaraan masyarakat Jepang sejak tahun 2004 dan membuat para istri Jepang 5
Kawanishi, Yuko. 2009. Mental Health Challenges Facing Contemporary Japanese Society. England: Global Oriental LTD, halaman 92. 6 Baby boomers atau dankai sedai(団塊世代) merupakan generasi yang lahir setelah PD II, yakni antara tahun 1947 hingga 1949. 7 http://www.mhlw.go.jp/english/org/policy/dl/p36-37p2.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2014.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
4
mulai berpikir untuk meninggalkan suaminya, sehingga sempat menimbulkan ketakutan para suami di Jepang (Alexy, 2007). Seorang penasihat pernikahan, Hiromi Ikeuchi (2006:3) memprediksi pada tahun 2007 perceraian lanjut usia akan meningkat, mempengaruhi peningkatan seluruh angka perceraian menjadi lebih dari 400.000 kasus, meningkat dari jumlah perceraian tahun 2002 dan 2003 yakni 250.000 kasus. Masalah penelitian ini adalah tingkat perceraian pada pasangan lanjut usia (jukunen rikon) masyarakat Jepang masa kontemporer setelah tahun 2007. Ruang lingkup penelitian ini adalah perceraian yang terjadi setelah April 2007, yakni pada rentang waktu setelah diberlakukannya Sistem Pembagian Dana Pensiun di Jepang. Penelitian ini bertujuan untuk membahas dan menganalisis fenomena perceraian pasangan lanjut usia (jukunen rikon) masyarakat Jepang kontemporer. Penelitian ini mencoba membahas fenomena jukunen rikon yang terjadi setelah Sistem Pembagian Dana Pensiun berlaku pada April 2007. Teori penelitian ini menggunakan teori dari tulisan Alexy Allison, yang ditulis tepat sebelum Sistem Pembagian Dana Pensiun diberlakukan, berjudul, “Deferred Benefit, Romance, and The Specter of Later Life Divorce”. Pokok pikiran Alexy dalam tulisan tersebut, adalah sebagai berikut:
(1) Maraknya pemberitaan media mengenai prediksi peningkatan kasus jukunen rikon, menimbulkan pembicaraan masyarakat tentang kehidupan nyata pernikahan di Jepang, khususnya yang telah menikah lebih dari 20 tahun serta hubungan pernikahan yang ideal dan diharapkan agar jukunen rikon tidak terjadi. Orang-orang yang mendekati masa pension diharapkan untuk memperbaiki dan mempertimbangkan kembali hubungan pernikahan mereka. Para suami diharapkan untuk memperbaiki sikapnya yang buruk terhadap sang istri. Pasangan yang dinilai baik atau setidaknya tidak bercerai setelah April 2007 adalah mereka yang merupakan pasangan hidup sekaligus teman. (2) Fenomena jukunen rikon mulai ramai dibicarakan dan diprediksi oleh masyarakat Jepang akan meningkat tajam karena adanya pensiun massal generasi baby boomer pada tahun 2007 dan karena diberlakukannya Sistem Pembagian Dana Pensiun kepada istri yang bercerai yang berlaku pada April 2007. (3) Sistem Pembagian Dana Pensiun yang akan diberlakukan tahun 2007 oleh pemerintah Jepang, sebenarnya memiliki tujuan ganda yakni menjaga system keluarga tradisional yang terdiri dari suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur rumah tangga,
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
5
sekaligus mengurangi beban pemerintah untuk memberikan uang pensiun massal kepada generasi baby boomer yang pension pada tahun 2007. (4) Alexy sendiri meragukan prediksi masyarakat dan media Jepang bahwa jukunen rikon akan meningkat tajam setelah tahun 2007. Masyarakat dan media memprediksiakan terjadi peningkatan jumlah jukunen rikon secara tajam setelah diberlakukannya system tahun 2007. Akan tetapi, perlu dicermati kembali apakah Sistem Pembagian Dana Pensiun tersebut benar-benar menjamin kehidupan para istri setelah bercerai atau tidak. Berdasarkan penjabaran tulisan Alexy yang member gambaran dan prediksi tentang jukunen rikon sebelum berlakunya Sistem Pembagian Dana Pensiun, maka dalam skripsi ini akan mencoba membahas fenomena jukunen rikon setelah Sistem Pembagian Dana Pensiun 2007 diberlakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dengan teknik deskriptif-analisis. 2.
Perceraian di Jepang
2.1 Perceraian Sebelum Perang Dunia II Pada zaman Edo/Tokugawa (1600-1868). Pada zaman ini, perceraian banyak terjadi di kalangan petani. Suami-istri dapat bercerai ketika sang suami menuliskan surat perceraian tiga setengah baris atau disebut mikudarihan (三行半). Pada zaman ini, pihak istri memiliki kekuatan yang lemah dalam sistem sosial masyarakat Jepang. Sistem keluarga masyarakat Jepang merupakan sistem keluarga Ie, yang merupakan sistem keluarga yang banyak diterapkan kalangan atas, yakni shogun dan samurai. Keberadaan anak sangat penting dalam Ie karena menentukan posisi seorang perempuan dalam keluarga. Menghasilkan keturunan merupakan hal yang utama dalam pernikahan zaman ini, karena Ie harus memiliki penerus. Istri diceraikan dan harus meninggalkan rumah jika tidak bisa melahirkan anak dalam waktu tiga tahun atau dikenal dengan istilah 3-nen ko naki ha sare (三年子なきは去れ).8 Istri yang pindah ke rumah suaminya setelah menikah dimana sang suami merupakan anak pertama atau tertuadi bawah sistem keluarga Ie, memiliki posisi lemah dalam rumah tangga dan sering menjadi target kekerasan, situasi ini disebut yomi ibiri (Kaneko, Sugami, Yoshie and Kuroda 2007). 8
Kurosu, loc, cit., 124.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
6
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah perceraian yang terjadi sebelum zaman Meiji karena sebelum Restorasi Meiji, praktik pernikahan dilakukan secara agama dan adat, serta tidak ada proses hukum yang resmi dari negara. Pada saat itu, pemerintahan Tokugawa hanya mendirikan kelompok jemaat kuil Budha untuk mengontrol masyarakat Jepang (shuumon aratame chou).9 Pada zaman Meiji (1868-1912), angka perceraian Jepang mengalami penurunan. Menurut Motonobu (2004), tingkat perceraian yang mengalami penurunan sebelum Perang Dunia II bukan disebabkan oleh perkembangan ekonomi akibat industrialisasi melalui perubahan terhadap nilai-nilai budaya, melainkan lebih disebabkan karena “ideologi politik” berupa penurunan nilai-nilai tradisional terhadap pernikahan dan perceraian melalui sistem pemerintah dan juga pendidikan. Ideologi politik yang dimaksud merupakan sistem pemerintahan baru oleh pemerintah Meiji dalam mengatur masyarakat Jepang yang bermula dengan terbentuknya Hukum Perdata Jepang atau Minpou (民法). Tahun 1872, diperkenalkan sistem registrasi keluarga modern yang disebut dengan koseki. Sistem ini mewajibkan seluruh masyarakat Jepang untuk memiliki nama keluarga sehingga tercipta garis keturunan dalam keluarga yang jelas. Koseki ini mencatat berbagai informasi penting seperti halnya kelahiran, kematian, pernikahan, dan juga perceraian. Unit dasar dari koseki bukanlah individual, melainkan rumah tangga.10 Seseorang dapat keluar dari koseki-nya dan membuat koseki baru. Tapi hal tersebut biasa dilakukan pada saat menikah. Koseki biasanya dibutuhkan untuk suatu kondisi tertentu seperti saat melamar pekerjaan atau menikah.11 Sugimoto (2003) berargumen bahwa sistem koseki memiliki fungsi sebagai penghalang bagi perempuan untuk bercerai sebelum PD II. Perceraian menjadi persoalan yang diatur oleh negara dan pemerintah, sehingga tingkat perceraian relatif rendah dan termasuk yang paling rendah di antara negara-negara barat. Selain itu, karena salinan koseki sering dibutuhkan dalam beberapa kepentingan seperti melamar pekerjaan dan pernikahan, seseorang dapat memperoleh stigma sebagai anak dari pasangan yang bercerai sehingga menimbulkan 9
Shuumon aratame chou (registers of religious investigation) dibentuk pemerintah Tokugawa tahun 1670 untuk memastikan setiap individu merupakan anggota jemaat kuil budha. Pendataan rakyat ini berupa nama, umur, hubungan dengan kepala keluarga serta informasi tambahan seperti asal suami atau istri, tujuan pindah tempat tinggal, dan pajak yang wajib dibayarkan keluarga. 10 Sugimoto, loc. cit., 146. 11 Ibid, 147. Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
7
ketakutan bagi orangtua, khususnya pihak perempuan. Banyak perempuan yang memikirkan kebaikan dan masa depan anaknya, sehingga menghindari perceraian. Tahun 1883, tercatat jumlah perceraian sebanyak 127.163 kasus, kemudian terus menurun menjadi 109.088 kasus di tahun 1890, 63.828 kasus di tahun 1900, 59.432 kasus di tahun 1910 dan seterusnya hingga Perang Dunia II terjadi.12 Sebelum Perang Dunia, tepatnya tahun 1910, tercatat dua jenis perceraian di Jepang yakni kyougi rikon dan saiban rikon. Dalam Hukum Perdata Jepang tahun 1896, yakni Jilid IV Bab 2 Bagian 4, perceraian Jepang dibagi menjadi dua jenis, yakni kyougi jou no rikon yakni perceraian berdasarkan kesepakatan dan saiban jou no rikon, yakni perceraian berdasarkan keputusan pengadilan. Sebagian masyarakat Jepang meyakini masalah pernikahan tidak bisa diselesaikan dengan jalan tengah hukum dan pengadilan, melainkan berunding dengan keluarga atau kerabat sebagai penengahnya. Oleh karena itu, lebih dari 90% masyarakat Jepang lebih memilih jenis perceraian kyougi rikon, yang hanya melibatkan kedua belah pihak pasangan suami istri untuk mencapai kesepakatan. Di tahun 1910, tercatat jumlah perceraian sebanyak 59.432 kasus dimana kyougi rikon ada sebanyak 59.019 kasus (99,7%) dan saiban rikon ada sebanyak 413 kasus (0,7%).13 2.2 Perceraian Setelah Perang Dunia II Meskipun industrialisasi di Jepang sudah terjadi sebelum PD II, namun tingkat perceraian yang mengalami penurunan sebelum Perang Dunia II bukan disebabkan oleh perkembangan ekonomi melalui perubahan terhadap nilai-nilai budaya, melainkan lebih disebabkan “ideologi politik” berupa penurunan nilai- nilai tradisional terhadap pernikahan dan perceraian melalui sistem pemerintah dan juga pendidikan. Sedangkan, tingkat perceraian yang meningkat setelah PD II merupakan dampak industrialisasi terhadap peningkatan perkembangan ekonomi dan modernisasi Jepang.14 Secara sosial, masyarakat Jepang banyak mengalami perubahan setelah PD II, antara lain munculnya nilai-nilai baru terhadap pernikahan dan perceraian. Angka perceraian di Jepang sendiri mulai meningkat sekitar tahun 1960. Motonobu (2004) menyatakan hal ini terjadi akibat kemajuan ekonomi yang membawa perubahan struktur sosial, di antaranya perubahan 12 13 14
Lembaga Penelitian Jaminan Sosial dan Populasi Nasional Jepang. Table 6.2 Divorces by Legal Type and Crude Divorce Rates: 1883-2010. www.ipss.go.jp/p-info/e/psj2012/PSJ2012-06.xls Ibid. Motonobu, loc, cit., 31. Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
8
struktur sosial keluarga. Perubahan struktur keluarga ini berawal dari dibentuknya Konstitusi baru setelah PD II, yang mendorong masyarakat untuk membebaskan dirinya sendiri dari keterikatan nilai-nilai keluarga tradisional.15 Motonobu (2004) dalam tesis masternya menyatakan perubahan struktur keluarga yang terjadi setelah PD II merupakan kunci terhadap peningkatan angka perceraian.16 Hal tersebut disebabkan oleh penurunan nilai-nilai tradisional dan munculnya nilai-nilai baru yang mengarah pada perubahan nilai dalam masyarakat, khususnya perubahan nilai keluarga dari family oriented menjadi individualistic oriented. Perubahan nilai tersebut turut mempengaruhi perubahan persepsi perempuan Jepang terhadap perceraian sesudah PD II.17 Perceraian sudah tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan yang melibatkan keluarga, melainkan keputusan pribadi. Perempuan memandang perceraian sebagai suatu pilihan yang dianggap berani dan patut dihormati. Setelah Perang Dunia II, sekitar tahun 1980, dua dari tiga perceraian merupakan inisiatif dari perempuan18, sangat berbeda dengan perceraian yang terjadi sebelum Perang Dunia II. Selain itu, banyak peneliti yang memperkirakan bahwa meningkatnya perceraian di Jepang disebabkan oleh meningkatnya love marriage yang lebih bersifat individual dibandingkan arrangement marriage dan mobilitas industri dan urbanisasi.
Tabel 1 : Perbandingan jumlah Ren’ai Kekkon dan Omiai Kekkon dalam persen (%) Sumber : A Quantitative Picture of Contemporary Japanese Family halaman 29
Tahun 1991, ketika masyarakat Jepang mengalami resesi ekonomi dan stagnasi ekonomi yang serius, hal tersebut menyebabkan peningkatan angka perceraian.19 Sebagian masyarakat 15
Ibid. Ibid, 46. 17 Motonobu, loc. cit., 57. 18 Olson, loc, cit., 139. 19 Kumagai, loc, cit., 124. 16
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
9
tidak memiliki strategi untuk memecahkan masalah perekonomiannya dan mengakibatkan perseteruan dan konflik dalam keluarga, sehingga perceraian merupakan solusi akhir perseteruan dalam keluarga tersebut. Setelah Perang Dunia II berakhir, secara garis besar perceraian masih dibagi menjadi perceraian berdasarkan kesepakatan (kyougi rikon) dan perceraian berdasarkan peradilan (saiban rikon). Akan tetapi, perceraian berdasarkan peradilan terbagi menjadi lima jenis perceraian peradilan, yakni choutei rikon (調停離婚), shinpan rikon (審判離婚), wakai rikon (和解離婚), nindaku rikon (認諾離婚) dan hanketsu rikon (判決離婚). Choutei rikon dan shinpan rikon pertama kali tercatat tahun 1950, sedangkan wakai rikon dan nindaku rikon pertama kali tercatat tahun 2004.20
3.
Fenomena Perceraian Pasangan Lanjut Usia (Jukunen Rikon) Masyarakat Jepang Kontemporer
3.1 Definisi Jukunen Rikon Sejak tahun 1990-an, angka perceraian yang terjadi pada pasangan yang berusia lanjut juga meningkat. Istilah perceraian pasangan usia lanjut ini dikenal sebagai jukunen rikon (熟年離婚). Istilah jukunen rikon ini dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai “retirement divorce” (Iwao, 1993), “middle-aged divorce”, “silver divorce” (Curtin 2002, Hongo 2006), atau “later-life divorce” (Alexy 2007). Istilah jukunen rikon dalam bahasa Jepang, juga bisa disebut sebagai “nure ochiba rikon” (divorce due to husbands being wet leaves that stick around even after sweeping) atau “taishoku-kin rikon” (retirement pension divorce) (Kumagai 1996:131; Kumagai, et al 2010, Motoyama 2000: 128). Menurut Allison Alexy (2007), kata jukunen merupakan usia yang berada di antara usia paruh baya (middle-aged) dan usia renta (silver age), yakni usia yang berkisar antara 45 tahun hingga 65 tahun. Sehingga menurut Alexy, istilah bahasa Inggris yang hampir setara maknanya dengan istilah jukunen rikon adalah “later-life divorce”. Secara umum, orang yang telah berusia lebih dari 50 tahun bisa disebut sebagai orang lanjut usia. Akan tetapi, istilah jukunen rikon tidak bisa didefinisikan sebagai perceraian orang usia lanjut saja. Menurut Nihongo Zokugo Jisho (日本語俗語辞書), jukunen rikon adalah perceraian yang terjadi pada pasangan usia lanjut dan telah menikah dalam jangka waktu yang 20
Lembaga Penelitian Jaminan Sosial dan Populasi Nasional Jepang. Table 6.2 Divorces by Legal Type and Crude Divorce Rates: 1883-2010. www.ipss.go.jp/p-info/e/psj2012/PSJ2012-06.xls Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
10
lama, kira-kira lebih dari 20 tahun. Misalkan ada pasangan yang menikah di usia 55 tahun, kemudian bercerai di usia 65 tahun, tidak bisa disebut jukunen rikon. Istilah jukunen rikon merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan perceraian pasangan suami istri yang telah
lama
menikah
terhadap
ketidakmampuan
mempertahankan
pernikahan
dan
ketidakpuasan terhadap kondisi suami yang memasuki masa pensiun.21 3.2 Faktor Penyebab Jukunen Rikon Ada beberapa penyebab faktor penyebab jukunen rikon, antara lain : Faktor Internal : a.
Perubahan pandangan perempuan terhadap perceraian.
b.
Permasalahan dengan suami
c.
Meningkatnya angka harapan hidup perempuan
d.
Anak yang telah mandiri
Faktor Eksternal : a.
Kesetaraan gender
b.
Pembagian harta setelah bercerai
3.3 Hubungan Jukunen Rikon dengan Baby Boomer dan Sistem Pembagian Dana Pensiun Baby boomer yang lahir antara tahun 1947-1949 serta generasi baby boomer kedua, yakni yang lahir antara 1950-1951 berjumlah 10,7 juta orang, dengan 8,2 juta baby boomer tersebut tercatat sebagai pekerja tahun 2006 (sekitar 12% dari seluruh total pekerja).22 Generasi pertama baby boomer ini akan mencapai masa pensiun pada tahun 2007. Pensiunnya generasi baby boomer ini merupakan salah satu “masalah tahun 2007” atau nisen-nana nen mondai (2007年問題). Prediksi pensiunnya generasi ini akan membawa dampak bagi Jepang sebagai masyarakat manula (super-aged society) dan mempengaruhi masalah ekonomi Jepang. Generasi baby boomer adalah orang-orang ahli yang ikut mengembangkan perekonomian Jepang, sehingga dengan pensiunnya generasi ini, akan sangat mengurangi jumlah pekerja yang produktif dan potensial di Jepang. Jumlah populasi baby boomer yang 21 22
葉 芙瑜. 2007. 段階世代の熟年離婚. 藻外語学院日四技日本語文系. Dr. Florian Kohlbacher. 2010. Baby Boomer-What Happened to the Year 2007 Problem?. The ACCJ Journal . Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
11
besar dan akan memasuki masa pensiun pada usia 60 tahun pada tahun 2007 ini, diprediksi akan meningkatkan jumlah jukunen rikon (Alexy 2007, Kumagai 2006). Sebelum tahun 2004, sistem pensiun Jepang tidak membagi uang pensiun kepada pihak pasangan setelah bercerai. Istri yang tidak bekerja tidak bisa mendapatkan uang pensiun suaminya sehingga harus bergantung pada sang suami. Istri hanya bisa mendapatkan bagian uang pensiun suaminya jika sang suami wafat, tapi tidak akan mendapatkan uang pensiun tersebut jika mereka bercerai. Pemerintah Jepang mengatur sistem pensiun seperti ini untuk mendukung wanita yang berusia lanjut secara ekonomi hanya melalui sang suami (Rosenberger 1991, Sand 2003:21). Sistem pensiun semacam ini didukung oleh sistem masyarakat Jepang, dimana suami berperan sebagai pencari nafkah dan istri berperan mengurus rumah tangga. Pada tahun 2004, terdapat perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun (kousei nenkin bunkatsu seidou/ 厚生年金分割制度). Perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun yang dimaksud di sini adalah pembagian uang pensiun antara suami-istri ketika mereka bercerai. Salah satu alasan kuat yang mendasari terjadinya perubahan ini adalah masalah pembagian harta bersama (zaisan bun’yo) yang dalam pelaksanaan sebelumnya kurang berjalan dengan baik sehingga menyebabkan banyak istri yang bercerai mengalami masalah ekonomi. Sistem Pembagian Dana Pensiun ketika bercerai tersebut, dikenal sebagai Rikonji no Nenkin no Bunkatsu Seido (離婚時の年金の分割制度). Sistem Pembagian Dana Pensiun ketika bercerai ini mencakup gou’i bunkatsu seido (合意分割制度) yang berlaku tanggal 1 April 2007. Kemudian, pemerintah membuat Sistem Pembagian Dana Pensiun untuk penerima pensiun kategori III yang bercerai, yakni san-gou bunkatsu seido (3号分割制度) yang mulai berlaku pada 1 April 2008. Namun, ada beberapa ketentuan yang harus dicermati dalam kedua Sistem Pembagian Dana Pensiun ini. Ketentuan gou’i bunkatsu seido
(合意分割制度) adalah sebagai berikut : a.
Uang pensiun yang bisa diklaim pembagiannya ketika bercerai adalah uang kousei nenkin
suami/istri yang kontribusinya dibayarkan selama masa pernikahan. Dana pensiun yang bersifat pribadi, seperti kokumin nenkin dan kousei nenkin yang kontribusinya dibayarkan sebelum menikah tidak dapat dibagi.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
12
b.
Jumlah dana yang diterima masing masing pihak adalah maksimal 50%-50%. Hal ini
memberikan kemungkinan bahwa ada salah satu pihak yang tidak menerima bagian sebesar 50%. c.
Batas waktu penuntutan nenkin bunkatsu ini adalah paling lambat 2 tahun setelah resmi
bercerai. d.
Pembagian pensiun ini harus dilakukan secara kesepakatan atau dengan keputusan
Pengadilan Keluarga. Dalam gou’i bunkatsuseido ini, perempuan yang bekerja dapat mengajukan pembagian atas dana pensiun, dengan catatan jumlah uang pensiun yang dimiliki lebih sedikit dibanding apa yang dimiliki mantan suami. Sedangkan ketentuan san-gou bunkatsu seido (3号分割制度), adalah sebagai berikut : a.
Pembagian uang pensiun yang dapat diperoleh masing-masing pihak adalah 50% dari kousei nenkin yang pembayaran kontribusinya dilakukan bersamaan dengan kokumin nenkin Kategori III selama masa pernikahan.
b.
Pihak yang menginginkan pembagian dapat langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Keluarga tanpa harus membuat kesepakatan dengan pasangan.
c.
Batas waktu pengajuan pembagian dana pensiun selambat-lambatnya 2 tahun setelah perceraian.
d. Waktu pembagian dana pensiun yang diperoleh tergantung dari keputusan Pengadilan Keluarga. Meskipun dalam San-Gou Bunkatsu Seido (3号分割制度), istri dapat mengajukan tuntutan uang pensiun secara otomatis hingga 50% tanpa harus melakukan kesepakatan dengan suami, waktu pembagian dana pensiun yang diperoleh tergantung dari keputusan Pengadilan Keluarga dan pembagian dana yang didapat hanya kousei nenkin yang kontribusinya dibayarkan selama masa pernikahan dan bersamaan dengan pembayaran kontribusi kokumin nenkin Kategori III. 3.4 Prediksi Peningkatan Jumlah Jukunen Rikon Tipe pernikahan yang terjadi pada tahun 1960, 1970 dan 1980 (tahun dimana para baby boomer imenikah) masih didominasi oleh pernikahan yang didasari oleh pembagian peran gender. Banyak peneliti yang mendeskripsikan pasangan suami-istri yang menikah pada tahun
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
13
ini lebih berperan sebagai “orangtua” daripada sebagai pasangan menikah atau teman (Appblaum 1995, Coleman 1983: 129, Ishii-Kuntz dan Maryanski 2003, Kumagai 1983, Lebra 1978: 124-25, Lebra 1984, Ono 2006). Buruknya sikap para suami terhadap istri, membuat para istri yang tidak ingin meneruskan pernikahan bersama suaminya, berpikir untuk mengajukan perceraian bila ada kesempatan. Oleh karena itu, jukunen rikon dianggap oleh masyarakat sebagai potential weapon (senjata ampuh) bagi perempuan. Hiromi Ikeuchi (2006:3) seorang penasihat pernikahan memprediksi bahwa perceraian jukunen rikon akan meningkat dan mempengaruhi peningkatan seluruh angka perceraian lebih dari 400.000 kasus pada tahun 2007. 3.5 Jumlah Jukunen Rikon Setelah Tahun 2007 Setelah Sistem Pembagian Dana Pensiun berlaku pada tahun 2007, jumlah kasus jukunen rikon memang meningkat sebanyak 1,1%, yakni dari 14,7% (37.782 kasus) pada tahun 2006 menjadi 15,8% (40,263 kasus) pada tahun 2007. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penurunan perceraian pada tahun 2005 dan 2006 disebabkan oleh pasangan lanjut usia yang sengaja menunda perceraiannya sampai Sistem Pembagian Dana Pensiun berlaku (Curtin 2002, Ikeuchi 2006, MHWL 2003). Jumlah peningkatan kasus jukunen rikon ini tidak seperti yang diprediksikan masyarakat, yakni meningkatkan angka perceraian menjadi lebih dari 400.000 kasus serta tidak meningkat tajam. Jumlah kasus jukunen rikon justru menurun 0,3% pada tahun 2008, yakni 38.920 kasus. Setelah tahun 2008, jumlah jukunen rikon juga hanya sedikit mengalami peningkatan, yakni 0,3% (40.096 kasus) pada tahun 2009; 0,1% (40.084 kasus) pada tahun 2010; 0,1% (37.791 kasus) pada tahun 2011; 0,4% (38.557 kasus) pada tahun 2012, dan 0% (38.034) pada tahun 2013. Jika dibandingkan dengan jumlah baby boomer yang pensiun pada tahun 2007, yakni sekitar 8,2 juta jiwa, angka jukunen rikon justru bisa dikatakan stabil. Selain itu, jumlah peningkatan jukunen rikon yang terjadi pada tahun 2011, 2012, dan 2013 yakni sebanyak 16,0%, 16,4% dan 16,4% dipengaruhi oleh penurunan jumlah angka perceraian secara keseluruhan, yakni 235.719 kasus (2010), 235.406 kasus (2012), dan 231.384 kasus (2013). Jumlah jukunen rikon pun sebenarnya mengalami penurunan, yakni 37.791 kasus (2010), 38.557 (2011), dan 38.034 kasus (2013), dari jumlah jukunen rikon sebanyak 40.096 kasus pada tahun 2009 dan 40.084 kasus pada tahun 2010.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
14
Tabel 2: Jumlah Jukunen Rikon (2004-2013) Sumber: http://www.mhlw.go.jp/toukei/youran/data24k/1-‐40.xls
Gambar 1: Grafik Jumlah Jukunen Rikon (2004-2013) Sumber: http://www.mhlw.go.jp/toukei/youran/data24k/1-‐40.xls
3.6 Kekeliruan Pemahaman Tentang Perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun Masyarakat Jepang mengasumsikan bahwa jukunen rikon merupakan tipe perceraian yang langsung mengarahkan pada perceraian dan uang karena mereka menilai bahwa
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
15
perempuan akan dengan senang hati meninggalkan suami mereka ketika mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya. Akan tetapi, rata-rata jumlah uang akan yang didapatkan perempuan yang bercerai setelah 2007 tersebut tergantung oleh gaji dan riwayat pekerjaan suaminya. Jumlah uang tersebut sebenarnya tidak akan cukup untuk menopang hidup mereka sendiri (Ishizaki 2006, Kigyou Nenkin Kenkyuujo 2006, Okano 2006). Jumlah uang yang didapatkan setiap perempuan tergantung oleh beberapa faktor, seperti lamanya usia pernikahan, gaji suami, perkiraan uang pensiun yang didapatkan suami, dan usia mereka (Ishizaki 2006, Okano 2006). Perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun harus dipahami baik-baik. Bukan berarti istri yang mengajukan perceraian setelah tahun 2007 akan secara otomatis mendapatkan setengah dari jumlah uang pensiun suaminya (Kumagai, 2013). Sistem Pembagian Dana Pensiun hanya memberikan maksimal setengah dari jumlah uang pensiun suami (kousei nenkin) kepada istri yang kontribusinya dibayarkan dalam jangka waktu ketika istri menikah dengan sang suami. Terlebih lagi, kedua pihak harus menyetujui proporsi uang pensiun dan Pengadilan Keluarga berperan sebagai pihak yang membuat keputusan akhir. Istri bisa mendapatkan uang pensiun hanya dengan persetujuan suami dan Pengadilan Keluarga. Selain itu, jumlah pembagian uang pensiun yang diterima istri sangat sedikit untuk menopang kehidupan individu. Kenyataan ini mengecilkan niat para istri untuk mengajukan perceraian, oleh karena itu peningkatan angka jukunen rikon setelah 2007 tidak terjadi.23 Selain itu, dalam Sistem Pembagian Dana Pensiun bagi istri yang bekerja, berbunyi “Dalam pembagian uang pensiun dan pensiun yang diterima sejak usia 65 tahun, pihak istri tidak boleh menerima pensiun lebih banyak dari suami”. Jika demikian, uang pensiun yang didapatkan istri dari pembagian dana pensiun suami tidak akan cukup untuk memenuhi kehidupan yang mandiri dan tentunya tidak akan cukup untuk mendukung kehidupan yang bebas seperti yang mereka harapkan setelah bercerai. Jumlah yang didapat istri yang tidak cukup ini justru bisa menurunkan standar gaya hidup para istri setelah bercerai (Hongo 2006, Ikeuchi 2006). Meskipun terdapat kekeliruan terhadap pembagian dana pensiun, pembicaraan tentang hubungan pernikahan yang ideal bagi masyarakat Jepang terus berlanjut setelah tahun 2007.
23
Kumagai, loc, cit., 9.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
16
3.7 Analisis Perbandingan Tulisan Alexy Allison (1) Maraknya pemberitaan media mengenai prediksi peningkatan kasus jukunen rikon menimbulkan pembicaraan masyarakat tentang kehidupan nyata pernikahan di Jepang, khususnya yang telah menikah lebih dari 20 tahun serta hubungan pernikahan yang ideal dan diharapkan agar jukunen rikon tidak terjadi. Orang-orang yang mendekati masa pensiun diharapkan untuk memperbaiki dan mempertimbangkan kembali hubungan pernikahan mereka. Para suami diharapkan untuk memperbaiki sikapnya yang buruk terhadap sang istri. Pasangan yang dinilai baik atau setidaknya tidak bercerai setelah April 2007 adalah mereka yang merupakan pasangan hidup sekaligus teman. Temuan Penelitian: Dalam tiga studi kasus yang Alexy (2007) dalam tulisannya,“Deferred Benefit, Romance, and The Specter of Later Life Divorce”, memberikan gambaran tentang pandangan istri Jepang tentang jukunen rikon dan perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun sebelum berlaku pada tahun 2007. Ketiga narasumber studi kasus tersebut, sama-sama mengalami ketidakcocokan dengan suami mereka. Akan tetapi, di sini penulis melihat bahwa para istri Jepang masih memiliki rasa ketergantungan kepada suaminya. Rasa ketergantungan istri terhadap suami ini tidak terlepas dari sistem keluarga Jepang setelah Perang Dunia II, dimana suami berperan sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengurus rumah tangga. Sang istri tidak bisa bekerja karena mengurus anak dan kepentingan rumah tangga, sehingga harus bergantung secara ekonomi kepada sang suami. Walter Edward (1990) seorang antropolog yang melakukan riset terhadap pernikahan masyarakat Jepang sekitar tahun 1980-an menyatakan bahwa struktur masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II merupakan complementary incompetence (baik pihak suami maupun istri tidak bisa mandiri tanpa pasangannya). Edwards menyatakan laki-laki membutuhkan istri karena pekerjaan mereka yang menyita waktu, sehingga membuat laki-laki tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan perempuan membutuhkan suami karena norma sosial yang membuat mereka tidak bisa menopang kebutuhan ekonomi mereka sendiri. Meskipun prediksi peningkatan jumlah jukunen rikon tidak benar-benar terjadi, setelah tahun 2007, pembicaraan mengenai hubungan pernikahan antara pasangan suami istri yang telah berusia lanjut. Dari beberapa survei yang dilakukan pada tahun 2008, dapat diketahui bahwa para istri yang berusia lanjut cenderung memiliki perasaan negatif terhadap suaminya.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
17
Ketidakcocokan kepribadian antara suami-istri lanjut usia semakin terlihat. Hal ini bisa diatasi hanya jika para suami mau memperbaiki sikap mereka terhadap sang istri. (2) Fenomena jukunen rikon mulai ramai dibicarakan dan diprediksi oleh masyarakat Jepang akan meningkat tajam karena adanya pensiun massal generasi baby boomer pada tahun 2007 dan karena diberlakukannya Sistem Pembagian Dana Pensiun kepada istri yang bercerai yang berlaku pada April 2007 Temuan Penelitian : Jumlah jukunen rikon diprediksi akan meningkat dan mempengaruhi jumlah perceraian keseluruhan menjadi lebih dari 400.000 kasus di tahun 2007, yakni ketika terjadi perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun yang berlaku pada April 2007. Akan tetapi, setelah tahun 2007, jukunen rikon yang diprediksi akan meningkat tajam, tidak terjadi. Setelah Sistem Pembagian Dana Pensiun berlaku pada tahun 2007, jumlah kasus jukunen rikon memang meningkat sebanyak 1,1%, yakni dari 14,7% (37.782 kasus) pada tahun 2006 menjadi 15,8% (40,263 kasus) pada tahun 2007. Akan tetapi perlu diingat bahwa penurunan perceraian pada tahun 2005 dan 2006 disebabkan oleh pasangan lanjut usia yang sengaja menunda perceraiannya sampai sistem April 2007 berlaku. Jumlah kasus jukunen rikon justru menurun 0,3% pada tahun 2008, yakni 38.920 kasus. Setelah tahun 2008, jumlah jukunen rikon juga hanya sedikit mengalami peningkatan, yakni 0,3% (40.096 kasus) pada tahun 2009; 0,1% (40.084 kasus) pada tahun 2010; 0,1% (37.791 kasus) pada tahun 2011; 0,4% (38.557 kasus) pada tahun 2012, dan 0% (38.034) pada tahun 2013. Jika dibandingkan dengan jumlah baby boomer yang pensiun pada tahun 2007, yakni sekitar 8,2 juta jiwa, angka jukunen rikon justru bisa dikatakan stabil. Selain itu, jumlah peningkatan persentase jukunen rikon yang terjadi pada tahun 2011, 2012, dan 2013 yakni sebanyak 16,0%, 16,4% dan 16,4% dipengaruhi oleh penurunan jumlah angka perceraian secara keseluruhan, yakni 235.719 kasus (2010), 235.406 kasus (2012), dan 231.384 kasus (2013). Jumlah jukunen rikon pun sebenarnya mengalami penurunan, yakni 37.791 kasus (2010), 38.557 (2011), dan 38.034 kasus (2013), dari jumlah jukunen rikon sebanyak 40.096 kasus pada tahun 2009 dan 40.084 kasus pada tahun 2010. Perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun yang diperkirakan masyarakat akan memberikan jaminan finansial kepada perempuan yang mengajukan perceraian, yakni berhak
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
18
mendapatkan setengah dari jumlah uang pensiun suami, juga perlu dicermati lagi. Pembagian uang pensiun yang berlaku pada 1 April 2007, tidak otomatis memberikan setengah dari jumlah uang pensiun suami, namun hanya memberikan maksimal setengah dari jumlah uang pensiun suami. Selain itu, penuntutan pembagian uang pensiun ini juga harus melalui kesepakatan dengan suami dan keputusan dari Pengadilan Keluarga. Istri yang bekerja pun, tidak boleh mendapatkan uang pensiun yang lebih besar dari suami. Meskipun pada 1 April 2008 juga diberlakukan Sistem Pembagian Dana Pensiun khusus untuk penerima kategori III, yakni istri yang tidak bekerja (full-time housewive) dimana pembagian uang pensiun secara otomatis terbagi menjadi 50%-50%, pembagian ini hanya berlaku pada kousei nenkin yang kontribusinya dibayarkan dalam jangka waktu masa pernikahan bersamaan dengan kokumin nenkin Kategori III dan waktu pembagian uang pensiun juga tergantung oleh keputusan Pengadilan Keluarga. Rata-rata jumlah uang yang didapatkan perempuan yang bercerai setelah 2007, juga tergantung oleh gaji dan riwayat pekerjaan suaminya. Jumlah uang tersebut sebenarnya tidak akan cukup untuk menopang hidup mereka sendiri. (3) Sistem Pembagian Dana Pensiun yang akan diberlakukan tahun 2007 oleh pemerintah Jepang, sebenarnya memiliki tujuan ganda yakni menjaga sistem keluarga tradisional yang terdiri dari suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur rumah tangga, sekaligus mengurangi beban pemerintah untuk memberikan uang pensiun massal kepada generasi baby boomer yang pensiun pada tahun 2007. Temuan Penelitian : Banyaknya baby boomer yang pensiun pada tahun 2007, membuat pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang begitu besar untuk membayar uang pensiun generasi baby boomer ini. Jika pemerintah masih menggunakan Sistem Pembagian Dana Pensiun tahun 1985 yang tetap memberikan uang pensiun kepada istri meskipun suami telah wafat, tentu pemerintah harus tetap mengucurkan dana selama beberapa tahun kepada sang istri, mengingat harapan hidup perempuan jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Akan tetapi, dengan perubahan Sistem Pembagian Dana Pensiun yang berlaku tahun 2007 ini, jika banyak istri yang mengajukan perceraian, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana pensiun yang selama beberapa tahun setelah sang suami wafat. Jika sang istri bercerai, maka jika suaminya wafat maka otomatis pemerintah akan menghentikan pembagian uang pensiun kepada istri. Di sisi
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
19
lain, jika jumlah istri yang mengajukan perceraian setelah tahun 2007 sedikit, tujuan pemerintah untuk mempertahankan sistem keluarga dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengurus rumah tangga sehingga istri hanya bisa bergantung pada suami untuk memenuhi kebutuhan ekonominya melalui ikatan pernikahan, akan tercapai. (4) Alexy sendiri meragukan prediksi masyarakat dan media Jepang bahwa jukunen rikon akan meningkat tajam setelah tahun 2007. Temuan Penelitian: Jumlah peningkatan kasus jukunen rikon ini tidak seperti yang diprediksikan masyarakat, yakni mempengaruhi peningkatan jumlah perceraian sebanyak lebih dari 400.000 kasus. Jumlah kasus jukunen rikon justru menurun 0,3% pada tahun 2008, yakni 38.920 kasus. Setelah tahun 2008, jumlah jukunen rikon juga hanya sedikit mengalami peningkatan, yakni 0,3% (40.096 kasus) pada tahun 2009; 0,1% (40.084 kasus) pada tahun 2010; 0,1% (37.791 kasus) pada tahun 2011; 0,4% (38.557 kasus) pada tahun 2012, dan 0% (38.034) pada tahun 2013. Jika dibandingkan dengan jumlah baby boomer yang pensiun pada tahun 2007, yakni sekitar 8,2 juta jiwa, angka jukunen rikon justru bisa dikatakan stabil. Dengan demikian, sesuai dengan keraguan Alexy, prediksi peningkatan jukunen rikon oleh masyarakat tidak terjadi. 4.
Kesimpulan Prediksi jumlah jukunen rikon yang akan meningkat tajam setelah tahun 2007, tidak
terjadi. Tidak meningkatnya jumlah jukunen rikon ini juga dipengaruhi oleh rasa saling ketergantungan (complementary incompetence) yang masih melekat pada pasangan lanjut usia. Para istri tidak bisa mengajukan perceraian karena masih khawatir tidak mampu membiayai hidupnya setelah bercerai. Para istri lanjut usia ini “terjebak” dalam norma sosial yang membuat mereka kesulitan untuk berpisah dari sang suami dan hidup mandiri. Meskipun demikian, pembicaraan tentang hubungan pernikahan yang ideal antara pasangan lanjut usia terus berlanjut. Para suami diharapkan untuk memperbaiki sikap mereka terhadap istri agar jukunen rikon tidak benar-bernar terjadi.
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013
20
Daftar Pustaka Sumber Buku : Iwao, Sumiko. 1993. The Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: Free Press. Kawanishi, Yuko. 2009. Mental Health Challenges Facing Contemporary Japanese Society. England: Global Oriental LTD. Sumber Artikel Jurnal : Alexy, A. 2007. Deferred Benefits, Romance and The Specter of Later-Life Divorce. Japanstudien [Contemporary Japan], 19: 169-188. Kumagai Fumie. 2006. The Fallacy of Late-Life Divorce in Japan. Care Management Journals 7{3}, 123-134. (Dokumen diunduh pada 22 Mei 2014, pukul 09.10 dari laman http://search.proquest.com/docview/198024415?accountid=17242 ) -------------------. 2013. Late-Life Divorce in Japan Revisited: Effects of the Old-age Pension Division Scheme. (Dokumen diunduh pada 23 Mei 2014, pukul 20.40 dari laman http://www.ios.sinica.edu.tw/dicgf/abstract/p-5-1.pdf ) Kurosu, Satomi. 2011. Divorce in Early Modern Rural Japan: Household and Individual Life Course in Northeastern Villages, 1716-18170. Journal of Family History 36 (2): 118-141. Motonobu, Mukai. 2004. Modernization and Divorce in Japan. Marshall University. (Dokumen diunduh pada 16 April 2014, pukul 18.29 dari laman http://mds.marshall.edu/etd/751/ ) Ye, Fu Yu. 2007. Dankai Sedai no Jukunen Rikon. Taiwan. Wenzao Ursuline College of Language. (Dokumen diunduh pada 5 Februari 2014, pukul 08.40 dari laman www.wtuc.edu.tw/japanese/thesis/95/3/95_3_3.pdf. Sumber Internet : Biro Dana Pensiun Jepang. http://www.nenkin.go.jp Curtin, J. Sean. 2002. Living Longer, Divorcing Later: The Japanese Silver Divorce Phenomenon. (Diakses pada tanggal 3 Januari 2014 pada laman www.glocom.org/debates/20020805_curtin_living/index.html. ) Kantor Kabinet Jepang. http://www.cao.go.jp Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang. http://www.mhwl.go.jp. Kementrian Hukum Jepang. http://www.moj.go.jp Kumpulan Hukum Jepang. http://www.japaneselawtranslation.go.jp Lembaga Kependudukan Nasional dan Penelitian Jaminan Sosial. http://www.ipss.go.jp
Universitas Indonesia
Fenomena perceraian…, Diana Utami, FIB UI, 2013