FENOMENA PEKERJA ANAK SEBAGAI “PAK OGAH” DI KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
May Suhardyanto 1110111000007
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAKSI Skripsi ini mengkaji tentang pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ serta ingin menjelaskan apa yang menyebabkan mereka bekerja. Subjek penelitian sebanyak sepuluh informan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi. Teori yang digunakan adalah teori sub-budaya kemiskinan dan teori belajar sosial. Teori sub-budaya kemiskinan digunakan karena mampu menjelaskan bahwa sebagian besar informan merupakan berasal dari latar belakang keluarga yang berada dalam garis kemiskinan yang didalamnya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan. Sedangkan teori belajar sosial digunakan karena mampu menjelaskan salah satu faktor penyebab anak untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan di wilayah penelitian merupakan anak laki-laki yang berusia antara 13 sampai dengan 17 tahun, yang berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Latar belakang pendidikan mayoritas informan sudah putus sekolah pada jenjang SMP, hanya minoritas yang masih menempuh pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA. Para informan sudah bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu sampai dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu. Penghasilan mereka antara lima ribu sampai delapan puluh ribu dalam sehari. Latar belakang keluarga mayoritas informan berasal dari keluarga miskin yang dalam kehidupan kesehariannya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan konsumsi, terbatasnya tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan tidak berharga dan tidak berdaya, kurangnya pengasuhan oleh orang tua serta tingginya tingkat kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Namun demikian, terdapat karakteristik sub-budaya kemiskinan yang tidak sesuai, seperti rendahnya partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan tingginya perceraian dalam keluarga Penyebab informan bekerja karena adanya faktor pendorong yang berasal dari kemauan mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, untuk membantu pemenuhan ekonomi keluarga, yang sifatnya primer. Kedua, untuk memenuhi konsumsi (jajan) sendiri, yang sifatnya sekunder. Ketiga, untuk pemenuhan kebutuhan sekolah yang meliputi membeli buku dan bayaran sekolah. Kemudian terdapat tiga faktor yang menjadi daya tarik pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Pertama, kenyamanan bekerja, hal ini disebabkan karena terdapatnya teman sebayanya yang juga bekerja dan mempengaruhi semua informan untuk menggeluti pekerjaan ini. Kedua, adanya penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka. Ketiga, tidak membutuhkan keahlian dan modal besar.
i
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur Alhamdulillahi rabbil alamin kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW berserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yaitu Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA. 2. Sekretaris Program Studi Sosiologi yaitu Bapak Husnul Khitam, M.Si. 3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dan memberikan motivasi untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada mahasiswa. 5. Kedua orang tua penulis yang senantiasa mendoakan dan mendukung baik moril maupun materil. 6. Kawan-kawan Sosiologi 2010, terima kasih atas pengalaman yang diberikan. 7. Para informan dan juga pegawai Kecamatan Ciputat yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan. 8. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung berjasa bagi penulisan skripsi ini. Semoga semua jasa dan kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis dapat menjadi amal shaleh dan selalu mendapatkan rahmat serta lindungan dari Allah SWT. Akhirnya, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik serta saran yang membangun diharapkan oleh penulis dan juga penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Jakarta, Maret 2015
ii
DAFTAR ISI ABSTRAKSI..……………………………………………………………………..i KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii DAFTAR TABEL………………………………………………………………....v BAB I
PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah...............................................................…1 B. Pertanyaan Penelitian………………………………………….5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..5 D. Tinjauan Pustaka………………………………………………6 E. Kerangka Teori……………………………………………….11 F. Definisi Konsep………………………………………………14 G. Metodologi Penelitian………………………………………..16 H. Sistematika Penulisan………………………………………...23
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN A. Letak Geografis Kecamatan Ciputat…………………………24 B. Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat…………………….24 C. Gambaran Umum ―Pak Ogah‖ anak di Ciputat……………...33
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS A. Karakteristik
dan
Kehidupan
Pekerja
Anak
Di
Wilayah
Penelitian……………………………………………………..36 1. Jenis Kelamin ………………………………...……….....36 2. Usia………....……………………………………............37
iii
3. Suku dan Agama………..………………………………..41 4. Pendidikan………………………………..........................45 5. Waktu Bekerja ………………….......................................47 6. Pendapatan……………………………………………….49 7. Latar Belakang Keluarga…………………………………51 B. Sub-Budaya Kemiskinan ―Pak Ogah‖ Anak Pendekatan Oscar Lewis…………………………………………………………54 1. Akses Terhadap Konsumsi……………………………….54 2. Akses Terhadap Kesehatan…………………....................57 3. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial……………...60 4. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman…………...62 5. Kondisi Internal Keluarga………………………………..64 C. Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai ―Pak Ogah‖.......69 1. Faktor Pendorong………………………………………...69 a. Membantu Ekonomi Keluarga……………………….70 b. Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri…...72 c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah……………………...74 2. Daya Tarik Pekerjaan ―Pak Ogah‖……………………….75 a. Kenyamanan Bekerja………………………………...75 b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi………….78 c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar........79 BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan…………………………………………………..81 B. Rekomendasi.…………...……………………...…………….84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………vi
iv
DAFTAR TABEL Tabel I.G.1 Profil Informan……………………………………………………...17 Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk di Kecamatan Ciputat……………………….24 Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……………………..25 Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur……………………………...26 Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir………………27 Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan…………………....28 Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan……….…30 Tabel II.B.7 Jumlah Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat………………...31 Tabel II.B.8 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat………………....31 Tabel II.B.9 Jumlah Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat………………..32 Tabel III.A.1 Usia Informan……………………………………………………...37 Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan………………………………………..43 Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan….…………………………………...45 Tabel III.A.4 Matrik Penghasilan Orang Tua dalam Membiayai Pendidikan…...46 Tabel III.A.5 Pendapatan Informan……………………………………………...50 Tabel III.A.6 Latar Belakang Keluarga……………………………......................51 Tabel III.B.1 Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-hari………………............55 Tabel III.B.2 Matrik Akses Kesehatan ……………………………………..........57 Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan Di Lembaga Masyarakat ……............60 Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman……..............62 Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga…………………………………64 Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua………………………...67 Tabel III.C.1 Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja……………………70
v
BAB I PENDAHULUAN A.
Pernyataan Masalah Skripsi ini mengkaji tentang fenomena pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak
ogah‖ di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Skripsi bertujuan untuk melihat gambaran kehidupan anak yang bekerja dan juga berupaya untuk menjelaskan yang meyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖. Fenomena ini menjadi penting dan menarik untuk dikaji karena pekerja anak di Indonesia jumlahnya masih banyak dan bahkan masih ditemukan anak-anak yang bekerja pada sektor berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei International Labour Organization (ILO) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 yang menunjukan bahwa jumlah keseluruhan anak di Indonesia yang berusia 517 adalah sekitar 58,8 juta anak. Dari jumlah tersebut 4,05 juta termasuk dalam kategori anak yang bekerja, kemudian dari jumlah anak yang bekerja tersebut sekitar 1,76 juta merupakan pekerja anak dan sekitar 20,7 persennya bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu (ILO, 2010). Pekerjaan berbahaya bagi anak juga didefinisikan dalam konvensi ILO No. 138 dan 182 yang menetapkan: Pekerjaan berbahaya bagi anak adalah kegiatan atau pekerjaan apapun yang menurut sifat dan jenisnya mempunyai atau dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, dan perkembangan moral anak-anak. Bahaya juga dapat ditimbulkan oleh beban kerja yang berlebihan, kondisi fisik pekerjaan, dan intensitas kerja dalam hal durasi atau jam kerja walaupun kegiatan atau pekerjaan itu sendiri diketahui tidak berbahaya atau ―aman‖ (2008:4).
1
Secara empiris banyak bukti yang menunjukan bahwa terlibatnya anak dalam aktivitas ekonomi baik sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak (Suyanto, 2010:120). Bahkan dalam kasus dan bentuk tertentu pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang bekerja pada situasi yang paling tidak bisa ditolelir (Tjahjanto, 2008:32). Padahal menurut undangundang perlindungan anak No 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual (Warsini, 2005:9). Dan juga hak anak ini diatur dalam konvensi hak anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, disebutkan dan diakui bahwa pada hakikatnya anak-anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini (Suyanto, 2010:119). Maraknya pekerja anak tidak bisa terlepas dari masalah sosial lainnya, yaitu kemiskinan. Meskipun kemiskinan berpengaruh banyak, namun kemiskinan bukanlah faktor satu-satunya yang menyebabkan anak bekerja di sektor berbahaya, masih terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhinya seperti adanya segmen tersendiri dalam pasar tenaga kerja, baik berdasarkan usia, tingkat pendidikan, keahlian maupun pengalaman (Suyanto, 2010:131). Dari penjelasan tersebut menjelaskan bahwa pekerja anak memiliki segmen tersendiri di pasar tenaga kerja dan salah satu yang marak digeluti oleh mereka adalah pekerjaan di sektor informal.
2
Hal ini sesuai dengan temuan ILO (2009:9) yang mengungkapkan bahwa beberapa bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak adalah pekerjaan dalam sektor informal misalnya menyemir sepatu, mengemis, menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran dan pekerjaan informal lainnya berlangsung di rumah dan karena itu kurang terlihat oleh umum. Beberapa jenis pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak tersebut dapat dianggap sebagai pekerjaan mencari uang secara mandiri (self-employment). Selain dari beberapa jenis pekerjaan informal yang dijelaskan ILO, ternyata berkembang beberapa jenis pekerjaan yang menjadi segmen pekerja anak di perkotaan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang pengertiannya menurut Azmi adalah: ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan ―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan berlatarkan motif ekonomi semata (2013).
atau dan dari atau
Berkembangnya pekerjaan sebagai ‖pak ogah‖ dan jenis pekerjaan sektor informal lainnya tidak terlepas dari proses pembangunan (Effendi, 1995:73). Proses pembangunan yang terjadi di beberapa daerah juga dialami oleh wilayah Ciputat yang merupakan bagian dari Kota tangerang Selatan, sebagai wilayah yang secara geografis berdekatan dengan ibu kota tentunya pembangunan infrastruktur jalan dibutuhkan bagi akses mobilitas penduduknya dan juga untuk membantu mengatasi kemacetan. Namun konsekuensi pembangunan infrasturktur jalan yang menghasilkan
3
persimpangan-persimpangan ternyata di sisi lain dimanfaatkan menjadi sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam tenaga kerja formal, baik dari segi ekonomi, keahlian maupun pendidikan. Baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak yang seharusnya berada dalam dunia bermain dan belajar, ternyata mereka juga memanfaatkan hal ini sebagai peluang atau kesempatan untuk dijadikan sumber mencari penghasilan. Dalam kesehariannya banyak anak-anak yang menghabiskan waktu untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖, mereka tersebar di berbagai persimpangan jalan-jalan di Ciputat. Pekerjaan ini tentu memiliki berbagai resiko berbahaya dan tentu tidak seharusnya dikerjakan oleh anak-anak, karena seperti yang diketahui bahwa pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya (Warsini, 2005:8). Dengan demikian, fenomena pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ ini sekaligus menunjukan bahwa hak-hak anak yang tertulis dalam undang-undang perlindungan anak maupun konvensi hak anak dalam realitasnya masih belum sesuai. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran kehidupan dari para pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengetahui apa yang menyebababkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.
4
B.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kehidupan pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖? 2. Apa yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖? C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan gambaran kehidupan pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖. b. Penelitian juga berupaya untuk menjelaskan apa yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan teori sosiologi keluarga dan sosiologi perkotaan yang terkait mengenai masalah sosial pekerja anak. b. Manfaat Praktis 1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi atau referensi bagi peneliti yang berminat mendalami studi tentang pekerja anak.
5
2) Memberi kontribusi bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal ini dinas sosial, dalam menyelesaikan persoalan sosial pada anak terutama mengenai permasalahan pekerja anak. D.
Tinjauan Pustaka Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, dibutuhkan perbandingan
dengan penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini: Pertama, Tesis yang diselesaikan Murkanto Siswoyo (1998) dengan judul Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil (Studi Kasus Pada Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon). Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif dan teori yang digunakan adalah teori eksploitasi. Dari temuan di lapangan menunjukan bahwa keterlibatan anak-anak bekerja disebabkan oleh adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja adalah kemiskinan orang tua dan faktor penarik yang menyababkan anak bekerja adalah keberadaan pabrik genteng yang terletak dilingkungannya. Adapun bentuk-bentuk eksploitasi dalam temuan di lapangan antara lain jam kerja yang diberlakukan tidak sama dengan pekerja dewasa, tidak adanya pemberian jenis pekerjaan antara pekerja dewasa dan pekerja anak walaupun beresiko tinggi, dan kemudian hak-hak anak sebagai pekerja tidak dijamin oleh pengusaha karena pengusaha merasa tidak berkewajiban untuk menyediakannya.
6
Kedua, Tesis yang dirampungkan Fauzik Lendriyono (2000) dengan judul Pekerja Anak Perempuan dan Pelecehan Seksual (Studi Kasus Tentang Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai Pelayan Minuman di Taman Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur). Penelitian menggunakan metodologi kualitatif dan menggunakan teori pertukaran sosial sebagai kerangka teoritis. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dialami anak dari yang paling ringan seperti dicolek atau dijahili hingga pelecehan yang paling berat seperti percumbuan dan kontak perkelaminan. Meskipun pelecehan tersebut tidak dikehendaki oleh informan, namun karena alasan kemiskinan dan dukungan dari orang tua untuk dapat segera lepas dari penderitaan kemiskinan, maka cara yang dianggap paling mudah dan dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat adalah masuk dalam lingkungan pekerjaan yang sarat dengan ekspoitasi seksual. Selanjutnya, toleransi informan terhadap pelecehan yang dialami terjadi karena reward yang diterima dari perlakuan tersebut dinilai sangat berguna bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga. Dan terlebih lagi dalam masyarakat daerah asalnya (Indramayu) kemakmuran dan keberhasilan dilihat dari penampilan fisik seperti, rumah yang bagus, memiliki TV parabola dan terlebih lagi anak perempuan yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya. Ketiga, Tesis yang diselesaikan Eka Tjahjanto (2008) dengan judul Implementasi
Peraturan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Sebagai
Upaya
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak. Metode penelitian yang
7
digunakan yaitu kepustakaan berupa penelitian terhadap data sekunder meliputi inventarisasi hukum positif. Teori yang digunakan adalah teori perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Temuanya antara lain adalah tindakan mempekerjakan anak merupakan tindakan melawan undang-undang yang sah dan dapat dikenai sanksi hukum. Selain itu, pekerja anak dalam kondisi tereksploitasi, mereka rata-rata bekerja selama 8 jam perhari dengan menerima upah jauh di bawah upah minimum Kabupaten. Kemudian dari aspek perlindungan hukum, aspek perlindungan ekonomi, aspek perlindungan sosial, maupun aspek perlindungan teknis belum diberikan kepada pekerja anak yang berhak untuk mendapatkannya. Keempat, penelitian yang dilakukan Netty Endarwati (2012) dalam Jurnal Universitas Islam Kediri, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Sektor Informal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori yang digunakan antara lain teori negara kesejahteraan yang merupakan teori dasar (ground theory), kemudian teori hak asasi manusia sebagai teori tengah (middle theory) dan teori efektivitas berlakunya hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi dan hambatan-hambatan antara perlindungan hukum pekerja anak di sektor informal di Kota Kediri dengan perlindungan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Temuan penelitian menujukan bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja anak di sektor informal di Kota Kediri belum sesuai dengan perlindungan hukum tenaga kerja sebagaimana diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa
8
dalam prakteknya banyak pelanggaran terhadap persyaratan mempekerjakan anak, seperti tidak ada perjanjian kerja, tidak adanya izin kerja dari orang tua, upah yang rendah, dan waktu kerja yang panjang. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi dalam perlindungan hukum terhadap pekerja anak antara lain, belum adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang pekerja anak di sektor informal khusunya terkait perlindungan hukumnya. Lemahnya koordinasi dan kerjasama instansi-instansi terkait di bidang ketenagakerjaan, seperti dinas tenaga kerja, dinas sosial, pemerintahan daerah setempat dan dinas terkait lainnya dalam mengawasi tenaga kerja tersebut. Kemudian juga masih terdapatnya budaya yang memandang bahwa anak-anak yang bekerja adalah hal yang biasa karena itu merupakan bentuk sosialisasi dan wujud darma bakti pada orang tua. Dan kurang pedulinya masyarakat dalam menyikapi penggunaan pekerja anak oleh perusahaan. Kelima, Penelitian yang dilakukan Isti Rochatun, Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging (2012) dalam Unnes Civic Education Journal, dengan judul Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunkan teori eksploitasi, penelitian menghasilkan beberapa temuan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja, antara lain pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang menyebabkan anak bekerja, selain itu hubungan orang tua yang tidak harmonis dan adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga juga menjadi penyebab anak-anak ini turun ke jalan. Kemudian bentuk-bentuk eksploitasi yang dialami anak-anak ini
9
antara lain, eksploitasi yang dilakukan orang tua karena kebanyakan dari mereka disuruh bekerja sebagai pengemis tanpa memperdulikan hak anak dan merampas hak anak seperti sekolah dan menikmati masa remaja mereka. Kemudian juga ditemukan adanya eksploitasi yang dilakukan oleh preman. Berdasarkan lima penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya yaitu fokus penelitian yang sama-sama mengangkat tema mengenai pekerja anak, kemudian persamaan pada pilihan metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif yang juga digunakan oleh sebagian besar peneliti sebelumnya. Adapun perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sub budaya kemiskinan dan teori belajar sosial, berbeda dengan kelima penelitian sebelumnya yang mengunakan teori eksploitasi, teori pertukaran sosial, teori perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, teori negara kesejahteraan, teori hak asasi manusia dan teori efektivitas berlakunya hukum. Perbedaan selanjutnya adalah lokasi penelitian yang berbeda dari semua penelitian sebelumnya. Selain itu, penelitian ketiga dan keempat di atas lebih memfokuskan dari aspek perlindungan hukum terhadap pekerja anak, sedangkan penelitian ini lebih bersifat mencari tahu apa yang menyebabkan anak bekerja dan bagaimana gambaran kehidupan para pekerja anak.
10
E.
Kerangka Teoritis Dalam penelitian ada beberapa teori yang dianggap relevan dengan penelitian
yang diangkat ini: 1. Teori Sub-Budaya Kemiskinan Menurut Oscar Lewis karakteristik utama dari konsep sub-budaya kemiskinan adalah bahwa orang miskin terisolasi dari masyarakat yang lebih luas. Mereka tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial utama masyarakat, sehingga mereka membuat sendiri nilai-nilai dan norma-norma dalam rangka untuk mengatasi perasaan mereka frustrasi, isolasi, dan inferioritas. Meskipun penciptaan sub-budaya ini fungsional, yang berfungsi untuk membuat orang miskin secara psikologis lebih nyaman dalam situasi kemiskinan mereka. Namun karena subbudaya kemiskinan ini menghidupkan diri mereka secara terus-menerus dalam kemiskinan, dan tidak langsung akan menghilangkan kondisi kemiskinan mereka (Montero, 1986:282-283). Oscar Lewis dalam Pasurdi Suparlan (1993:8) mengidentifikasi bahwa dalam sub-budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan kemiskinan juga bisa terwujud pada masyarakat yang mempunyai institusi sosial yang lemah untuk mengontrol dan memecahkan masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan
11
penduduk yang tinggi dan pengangguran juga tinggi. Kemudian menurutnya subkebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan: 1) Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembagalembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigaan tinggi, apatis dan perpecahan. 2) Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol. 3) Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya budaya keluarga matrilineal. 4) Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri. 5) Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan Ibu, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan pasrah atau tidak berguna. 6) Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja (Suparlan, 1993:7-11). Peneliti menggunakan teori sub-budaya kemiskinan karena seperti diketahui bahwa
12
fenomena anak-anak yang bekerja salah satunya disebabkan karena faktor kemiskinan, sehingga menurut asumsi awal peneliti pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di Ciputat ini berasal dari latar belakang keluarga yang berada dalam garis kemiskinan atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya memiliki karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan, maka dari itu peneliti menganggap bahwa teori ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisa dan menjelaskan mengenai gambaran kehidupan pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖. 2. Teori Belajar Sosial (Social Learning) Menurut Albert Bandura, teori belajar sosial disebut juga teori pembelajaran observasi. Bandura memandang bahwa perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis terhadap stimulus, melainkan juga akibat dari reaksi yang tumbuh sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kongnitif individu itu sendiri. Dalam hal ini belajar sosial terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling) (Suyono, 2011:66). Asumsi teori ini adalah bahwa mereka belajar melalui observasi perilaku orang lain. Bandura yakin bahwa perilaku manusia dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi yang elemen inti dari observasi adalah modeling (Feist, 2010: 203-206). Havinghurts (1999) menjelaskan bahwa anak tumbuh dan berinteraksi dalam dua dunia sosial yaitu dunia orang dewasa dan dunia peer group (sebayanya), dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak di dalam pertumbuhanya
13
selalu berinteraksi dengan lingkungan yang ada disekitarnya yaitu dunia orang dewasa dan dunia sebayannya (peer group), dalam kehidupan anak kelompok sebaya ini meliputi teman bermain, teman dalam perkumpulan sosial, gang, ataupun klik. Kelompok sebaya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku individu, karena dalam kelompok sebaya ini anak merasa mendapatkan teman dan juga dukungan dari teman-temannya, melalui kelompok sebaya anak belajar tentang peranan sosialnya (Wulan,2007:29-30). Peneliti menggunakan teori belajar sosial karena peneliti menganggap bahwa prilaku sosial seseorang baik orang dewasa maupun anak-anak dapat dipelajari dari contoh perilaku yang ada di sekitar lingkungan sosial seseorang, begitupun dengan anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ menurut asumsi awal peneliti mereka mempelajari pekerjaan ini dari lingkungan sosial sekitar mereka, terutama dari teman sebaya yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, penggunaan teori ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak-anak ini mengenal dan belajar bagaimana bekerja sebagai ―pak ogah‖. F.
Definisi Konsep Dalam ilmu sosial terdapat banyak konsep yang memiliki tingkat abstraksi
yang tinggi atau disebut juga konstruk karena konsep yang demikian tidak segera dapat dilihat atau ditemukan bendanya, konstruk atau konsep-konsep yang mempunyai abstraksi tinggi seperti itu perlu dibatasi pengertiannya, adapun pemberian atas konsep-konsep ini disebut dengan definisi oprasional (Soehartono,
14
2011:28). Dalam penelitian ini terdapat beberapa yang perlu diberikan batasan pengertiannya: a. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Pengertian anak menurut undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. b. Pekerjaan adalah sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi guna mendapatkan penghasilan untuk mempertahankan hidup. c. Anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang tua di ladang dan lain-lain (Warsini, 2005:10). d. Pekerja anak adalah anak yang melakukan segala jenis kegiatan ekonomi yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak (Warsini, 2005:10). e. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya dan mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan dari ―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan atau berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi, 2013).
15
f. Sektor informal adalah pekerja yang berusaha sendiri dan semua kegiatan yang tidak dapat dimasukan dalam sektor formal (Effendi, 1995:74-77). g. Kemiskinan orang tua adalah suatu keadaan ketidakmampuan orang tua pekerja anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara minimum karena rendahnya penghasilan (Siswoyo, 1998:25). G.
Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Menurut Bodgan dan Taylor dalam Soetrisno (2001:66) metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller dalam Soetrisno (2001:66) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berberhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya. Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk ekplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 2007:20). Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelidiki berbagai informasi dan fakta di lapangan secara mendalam guna mendapatkan dan menghasilkan data-data spesifik mengenai faktor-
16
faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan mendapatkan gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖. 2. Subjek Penelitian Menurut Faisal (2007:109) subjek penelitian menunjuk pada individu atau sekelompok yang dijadikan unit satuan kasus yang diteliti. Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti memilih informan dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian sehingga informasi yang didapat bukan dari sembarang informan. Dari kriteria subjek penelitian yang telah ditetapkan, peneliti mengambil sepuluh informan yang dianggap merepresentasikan subjek penelitian ini. Berikut merupakan data mengenai informan: Tabel I.G.1 Profil Informan No
Nama
1
DR
Jenis Usia Kelamin Laki-laki 15 Tahun
Agama
Suku
Islam
Betawi
2 3
BHR AR
Laki-laki 17 Tahun Laki-laki 16 Tahun
Islam Islam
Betawi Betawi
4 5
RVL DK
Laki-laki 13 Tahun Laki-laki 14 Tahun
Islam Islam
Betawi Betawi
6
EG
Laki-laki 16 Tahun
Islam
Betawi
7
FRK
Laki-laki 17 Tahun
Islam
Jawa
8 9 10
MP AN BP
Laki-laki 15 Tahun Laki-laki 14 Tahun Laki-laki 15 Tahun
Islam Islam Islam
Betawi Jawa Jawa
17
Pendidikan Informan Tidak Tamat SMP Tidak SMP Tidak Tamat SMP SD Kelas 6 Tidak Tamat SMP Tidak Tamat SMP Tidak Tamat SMP SMP Kelas 3 SMP Kelas 3 SMK Kelas 1
Lama Bekerja 3 Tahun 1 Tahun 1 Tahun 1 ½ Tahun 1 Tahun 2 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 1 ½ Tahun 4 Tahun
Dalam temuan di lapangan, seluruh informan adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki, peneliti tidak menemukan anak perempuan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di Ciputat. Dari segi usia informan, peneliti mengambil berdasarkan usia yang bervariasi mulai dari yang paling kecil adalah berusia 13 tahun, karena di lapangan usia yang paling kecil adalah usia 13 tahun yang dapat diwawancarai, kemudian usia yang paling besar adalah 17 tahun karena menurut undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pengertian anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun, selain itu usia 13 sampai 17 tahun dapat dikatakan sebagai anak-anak remaja, dan di usia-usia tersebut anak memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan latar belakang pendidikan, para informan memiliki karaktristik pendidikan yang berbeda-beda, mulai dari yang masih sekolah dan yang sudah putus sekolah. Terdapat empat informan yang masih sekolah dan enam informan yang sudah putus sekolah, hal ini disebabkan karena di lapangan kebanyakan anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ sudah tidak bersekolah. Peneliti mengambil subjek anak-anak yang putus sekolah dan masih bersekolah dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tanggapan mereka mengenai pendidikan, kemudian juga ingin melihat bagaimana dampak yang dihadapi para informan yang masih bersekolah, serta ingin melihat apa yang menyebabkan para informan putus sekolah. Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini sudah bekerja antara satu tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama. Hal ini
18
menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan peneliti mengambil informan dengan kriteria minimal satu tahun bekerja karena diharapkan dengan lamanya mereka bekerja, mereka sudah tetap bekerja dan juga tahu bagaimana kehidupan yang ada di jalan. a. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di jalan-jalan daerah Kecamatan Ciputat kota Tangerang Selatan. Peneliti memilih lokasi ini karena ―pak ogah‖ di daerah Ciputat lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan di daerah Kecamatan lain yang ada di sekitarnya seperti di Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan Pondok Aren. Kemudian juga dari segi usia lebih bervariasi mulai dari orang dewasa, remaja dan juga anak-anak. Dan anak-anak yang bekerja di daerah ini jumlahnya banyak serta juga waktu atau jam kerja ―pak ogah‖ anak ini beraktivitas dari pagi, siang, sore bahkan tak jarang malam hari mereka masih terlihat sedang mengatur kendaraan, serta hampir setiap hari dapat ditemui anak-anak yang bekerja ini. b. Waktu Penelitian Waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menganalisa data adalah dari bulan Juli 2014 sampai dengan Maret 2015. 3. Jenis Data Menurut Suyanto (2007:55) jenis data berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua, yaitu jenis data primer dan sekunder:
19
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti. Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan melalui metode wawancara dan pengamatan langsung. Adapun dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah para informan dengan kriteria telah ditetapkan oleh peneliti dan juga informasi dari pegawai Kecamatan Ciputat. b. Data Sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu. Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, laporanlaporan artikel, jurnal, majalah baik dari media cetak maupun media online yang berhubungan dengan topik dalam penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Menurut Cresswell (2010:267) observasi dalam kualitatif merupakan penelitian langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individuindividu di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat baik dengan cara terstruktur maupun semi-struktur. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk mendapatkan gambaran kegiatan, interaksi serta perilaku anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengamati secara langsung lingkungan serta tempat tinggal beberapa informan yang bekerja di jalan Merpati Raya. Dalam melakukan kegiatan observasi peneliti melakukan beberapa kali observasi, hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku dan interaksi beberapa informan dalam lingkungan pekerjaannya maupun di lingkungan rumah.
20
b. Wawancara Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada informan, dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam. Dalam pengumpulan data penelitian melalui wawancara ini dengan mempersiapkan catatancatatan pertanyaan secara garis besar tentang pokok-pokok yang akan ditanyakan, disebut juga dengan pedoman wawancara (Soehartono, 2011:67-68). Dalam mewawancarai para informan, peneliti berusaha menggali lebih dalam informasi yang terkait dengan penelitian ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada situasi dan kondisi tertentu di lapangan. Tujuan dari wawancara ini adalah guna mendapatkan data-data mengenai apa yang menyebabkan para informan bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mendapatkan gambaran dari informan yang tidak dapat ditangkap melalui teknik observasi. Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan bahasa formal maupun informal hal ini bertujuan agar memudahkan para informan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Peneliti juga menggunakan alat bantu perekam suara pada saat wawancara untuk merekam percakapan tanya jawab antara peneliti dan para informan. Kemudian data yang berbentuk rekaman tersebut peneliti tuliskan kembali dalam bentuk transkip yang kemudian peneliti analisis berdasarkan poin-poin penting yang mendukung untuk analisis hasil peneltian. Proses wawancara ini memerlukan persetujuan dari pihak informan agar data-data yang diperoleh dapat efektif dan
21
bermanfaat bagi penulisan penelitian. Dalam proses wawancara di lapangan peneliti menemui beberapa hambatan seperti tertutupnya para ―pak ogah‖ anak ini dengan peneliti, sehingga peneliti harus lebih aktif dalam pendekatan dengan para informan terutama pada saat wawancara. Kemudian proses wawancara dalam penelitian dilakukan satu sampai dua kali pada setiap informan, hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang didapat sehingga dibutuhkan wawancara tambahan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam, selain itu juga pada saat wawancara peneliti terkadang harus mengulangi pertanyaan-pertanyaan agar informasi yang didapat lebih jelas dan mendalam. Peneliti melakukan wawancara di dua lokasi para informan bekerja yaitu, di pertigaan jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk Tol Bintaro-BSD kemudian di pertigaan jalan Merpati Raya dan jalan Arya Putra. 5. Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan, kegiatan selanjutnya adalah pengolahan data (data processing). Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Emzir (2011:129-134) terdapat tiga proses dalam kegiatan analisis data kualitatif. Pertama, reduksi data yang meliputi memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara maupun observasi. Kedua, display data (penyajian data). Dari data yang sudah direduksi, data-data tersebut dikategorikan berdasarkan poin-poin penting dan dimasukan dalam bentuk matrik dan bagan. Dan ketiga adalah penarikan kesimpulan. Dari data-data yang sudah direduksi dan disajikan dalam
22
bentuk matrik dan bagan, poin-poin inti dari hasil temuan di lapangan tersebut ditarik kesimpulan guna membahas atau menjawab masing-masing masalah penelitian. H.
Sistematika Penulisan Guna memudahkan pembahasan, maka dalam penulisan dibagi dalam empat
bab. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan: membahas pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Gambaran Umum: menjelaskan tentang profil yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu gambaran umum lokasi penelitian dan gambaran umum subjek penelitian di lokasi penelitian. BAB III Temuan dan Analisis: merupakan bentuk pembahasan dan analisis dari hasil penelitian berdasarkan data-data yang didapatkan di lapangan, hal ini meliputi bagaimana gambaran kehidupan anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖. BAB IV Penutup: berisi kesimpulan dan saran. Daftar Pustaka, dalam halaman ini berisi kepustaka yang digunakan dalam penulisan penelitian. Baik yang berasal dari media cetak seperti buku, jurnal maupun dari media elektronik internet seperti jurnal, laporan dan artikel. Lampiran Penelitian, berisikan lampiran-lampiran keterangan pada saat penelitian.
23
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN A.
Letak Geografis Kecamatan Ciputat Lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan. Luas wilayah Kecamatan Ciputat sekitar 1.838 Ha atau 12,49% dari luas wilayah Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Ciputat memiliki tujuh Kelurahan yaitu Kelurahan Sawah Baru, Serua, Ciputat, Sawah, Serua Indah, Jombang, dan Cipayung. Letak geografis Kecamatan Ciputat di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Pondok Aren, di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Pamulang, di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Ciputat Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Serpong (Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan). B.
Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat Dari data kependudukan di Kecamatan Ciputat, jumlah penduduknya terus
mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat dari data terakhir yang dimiliki Kecamatan Ciputat dari bulan April hingga Mei 2014. Berikut perubahan dan jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat: Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk dari Bulan April-Mei 2014 Kelurahan Sawah Baru Serua Ciputat
Jumlah Penduduk Kecamatan Ciputat April Mei Perubahan 23.534 23.634 100 34.345 34.575 230 26.128 26.236 108
24
% 0,05 0,12 0,06
Sawah 27.663 27.866 203 0,11 Serua Indah 16.373 16.476 103 0,05 Jombang 38.098 38.288 190 0,10 Cipayung 24.932 25.055 123 0,06 Total 191.073 192.130 1.057 0,055 (Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:69) Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Ciputat berada di Kelurahan Jombang dengan jumlah penduduk mencapai 38.288 dengan persentase perubahan 0,10%, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kelurahan Serua Indah dengan jumlah penduduk 16.476 dan persentase perubahannya hanya 0,05%. Dari data di atas menunjukan bahwa perubahan jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat dari bulan April ke bulan Mei 2014 masing-masing kelurahan mengalami pertumbuhan penduduk antara 0,05% sampai dengan 0,12%. Perubahan jumlah penduduk ini merupakan hal yang wajar bagi suatu daerah karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti angka kelahiran yang tinggi, rendahnya angka kematian dan adanya arus perpindahan penduduk sehingga menyebabkan angka pertumbuhan penduduk semakin bertambah. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dari laporan kependudukan Kecamatan Ciputat: Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Bedasarkan Jenis Kelamin Kelurahan Sawah Baru Serua Ciputat Sawah
Laki-Laki 11.928 17.537 13.528 14.275
Perempuan 11.652 17.038 12.708 13.591
25
Jumlah 23.634 34.575 26.236 27.866
Serua Indah 8.405 8.071 16.476 Jombang 19.693 18.595 38.288 Cipayung 12.855 12.200 25.055 Total 98.275 93.855 192.130 (Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:71) Dari data di atas menunjukan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat berjumlah 192.130 dengan komposisi jumlah penduduk berjenis kelamin laki laki 98.275 dan perempuan 93.855. Jumlah penduduk tertinggi laki-laki dan perempuan berada di Kelurahan Jombang dengan jumlah laki-laki 19.693 dan perempuan 18.595, hal ini karena Kelurahan Jombang memiliki jumlah penduduk yang tertinggi di Kecamatan Ciputat. Tingginya jenis kelamin laki-laki ini sesuai dengan komposisi jumlah penduduk di Kota Tangerang selatan yang juga menunjukan bahwa jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan (BPS Tangerang Selatan, 2013:49). Jumlah penduduk berdasarkan umur di Kecamatan Ciputat adalah sebagai berikut: Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Kecamatan Ciputat NO 1 2 3 4 5 6 7
Umur Jumlah Penduduk <9 Tahun 25.968 10- 19 Tahun 32.414 20-29 Tahun 32.895 30-39 Tahun 37.399 40-49 Tahun 30.534 50-59 Tahun 19.667 > 60 Tahun 13.253 Total 192.130 (Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:78-79)
26
Jumlah penduduk berdasarkan usia terbanyak terdapat pada usia 30-39 tahun dengan jumlah 37.399 penduduk. Tingginya usia antara 30-39 tahun ini merupakan angkatan kerja yang produktif bagi daerah Ciputat, namun demikian angkatan kerja ini bekerja pada sektor-sektor yang beranekaragam, baik di sektor formal maupun sektor informal yang tersedia di wilayah ini, sehingga penghasilan yang didapat serta kesejahteraan yang dimiliki masyarakat Ciputat juga berbeda-beda. Selain itu juga jumlah penduduk di usia sekolah di Ciputat ini jumlahnya tergolong banyak. Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan terakhir di Kecamatan Ciputat sebagai berikut: Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Status Pendidikan Jumlah Penduduk Tidak/Belum Sekolah 26.989 Belum Tamat SD 17.541 Tamat SD 27.618 Tamat SMP 23.503 Tamat SMA 72.340 Tamat D1_2 1.035 Tamat D3 5.814 Tamat S1 16.093 Tamat S2 1.102 Tamat S3 95 Total 192.130 (Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:75) Penduduk di Kecamatan Ciputat berdasarkan tingkatan pendidikan terakhir yang terbanyak adalah tamat SMA dengan jumlah 72.340. Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir paling sedikit ditempati oleh tamat
27
S3 dengan jumlah 95. Dari data tersebut menunjukan bahwa kebanyakan penduduk di Kecamatan Ciputat telah berpartisipasi dalam menyukseskan program wajib belajar 12 tahun, karena dengan mereka mengenyam pendidikan sampai dengan SMA maka kualitas sumber daya manusia penduduk di Kecamatan Ciputat ini dapat bersaing untuk memperoleh pekerjaan, agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup mereka. Namun demikian, perlu dilihat bahwa jumlah penduduk yang tidak atau belum bersekolah juga cukup tinggi jumlahnya, hal ini harus menjadi perhatian bagi Pemerintah dan masyarakat karena di kelompok yang tidak atau belum bersekolah ini dikhawatirkan akan menjadi sebuah masalah sosial, yang salah satunya adalah masalah putus sekolah dan timbulnya pekerja anak, seperti pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini salah satunya. Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Ciputat sebagai berikut: Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Pekerjaan Tidak/ Belum Bekerja Mengurus Rumah Tangga Pelajar/ Mahasiswa Pensiunan PNS TNI POLRI Perdagangan Karyawan BUMN/BUMD/Swasta/Honorer/Lepas Dosen
28
Jumlah Penduduk 29.413 37.460 49.553 1.824 3.498 176 660 690 41.867 163
11 12 13 14 16 17 18 19 20
Guru Dokter Perawat Wiraswasta Buruh Nelayan/Perikanan Peternak Petani Lainnya Total
1.211 184 85 22.997 452 112 458 137 1.190 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:80-85) Dari data di atas menunjukan bahwa status pekerjaan yang terbanyak adalah sebagai pelajar atau mahasiswa dengan jumlah 49.553. Tingginya angka pelajar atau mahasiswa ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya fasilitas pendidikan seperti perguruan tinggi dan sekolah-sekolah umum yang terdapat di wilayah sekitar Tangerang selatan. Sementara itu, penduduk berdasarkan status pekerjaan di Kecamatan Ciputat ini tersebar pada sektor formal maupun sektor informal. Jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh penduduk di Ciputat ini adalah sebagai karyawan BUMN/ BUMD/ Swasta/ Honorer/ Lepas dengan jumlah 41.867. Pekerjaan ini banyak digeluti karena banyaknya perusahaan yang berlokasi di kawasan Tangerang Selatan dan juga Jakarta yang jaraknya cukup dekat dengan Ciputat, kemudian beragamnya pekerjaan yang digeluti masyarakat Ciputat ini dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan yang berbeda-beda.
29
Jumlah penduduk berdasarkan agama dan kepercayaan di Kecamatan Ciputat sebagai berikut: Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan No 1 2 3 4 5 6 7
Agama
Jumlah Penduduk Islam 177.902 Kristen 8.781 Katholik 4.090 Hindu 382 Budha 929 Konghuchu 45 Kepercayaan lain 1 Total 192.130 (Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:73) Dari data di atas menunjukan bahwa di Kecamatan Ciputat ini terdapat tujuh kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Mayoritas penduduk Kecamatan Ciputat adalah beragama Islam dengan jumlah penduduk yang menganut mencapai 177.902 dan agama Kristen sebagai agama kedua terbanyak yang dianut oleh penduduk Kecamatan Ciputat dengan jumlah 8.781. Banyaknya jumlah penduduk yang beragama Islam ini sesuai dengan jumlah penduduk di Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam. Selain itu, terdapat satu penduduk yang menganut kepercayaan lain selain dari enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, namun demikian dari data yang ada di Kelurahan ini menunjukan bahwa kepercayaan apapun yang ada di masyarakat dapat diterima dan diakui keberadaannya.
30
Fasilitas pendidikan yang berada di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan sebagai berikut: Tabel II.B.7 Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat No
Jenis Fasilitas
Jumlah
Keterangan Negeri Swasta
1 TK/ RA 86 68 2 Sekolah Dasar/ MI 71 41 3 SMP/ MTS 36 1 4 SMA/ SMK/ MA 13 4 5 Pondok Pesantren 9 (Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:77)
18 30 35 29 -
Fasilitas pendidikan yang terbanyak di Kecamatan Ciputat adalah fasilitas TK/ RA dengan jumlah 86 sedangkan jumlah yang paling sedikit terdapat pada fasilitas pendidikan pondok pesantren dengan jumlah 9. Dilihat dari keseluruhan jumlah fasilitas pendidikan ini tergolong memadai bagi masyarakat Ciputat dalam menempuh pendidikan yang secara komposisi penduduk juga menunjukan bahwa usia sekolah di Ciputat ini juga cukup tinggi. Kemudian tingkat penghasilan masyarakat Ciputat yang berbeda-beda membuat partisipasi dalam hal pendidikan ini juga berbeda-beda dan dari penelitian ini menunjukan bahwa masih terdapat anakanak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah karena disebabkan faktor biaya. Fasilitas kesehatan di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan sebagai berikut: Tabel 2.B.8 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat No 1 2
Jenis Fasilitas Puskesmas Posyandu
31
Jumlah 4 25
3 4 5
Klinik Umum 27 Rumah Sakit 2 Rumah Sakit Bersalin 19 (Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:80)
Fasilitas kesehatan yang terbanyak adalah fasilitas klinik umum yang mencapai 27, sedangkan yang paling sedikit adalah rumah sakit yang jumlahnya 2. Dari data di atas menunjukan bahwa fasilitas kesehatan cukup memadai jika di manfaatkan untuk masyarakat di Ciputat ini. Dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang ada di Tangerang selatan, jumlah fasilitas kesehatan di Kecamatan ini dapat dikatakan banyak. Beranekaragamnya jenis pekerjaan, penghasilan dan kesejahteraan yang ada dalam masyarakat Ciputat, membuat penduduk yang satu dengan yang lainnya dalam menjangkau fasilitas kesehatan yang ada di Ciputat ini berbeda-beda. Fasilitas peribadatan yang terdapat di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan sebagai berikut: Tabel II.B.9 Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat No Jenis Sarana Jumlah 1 Masjid 93 2 Musolah 177 3 Gereja 14 4 Pura 5 Wihara (Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:134) Dari tabel di atas menunjukan bahwa jumlah fasilitas peribadatan yang paling banyak adalah Musolah dengan jumlah 177 dan kemudian Masjid dengan jumlah 93.
32
Banyaknya jumlah fasilitas Musolah dan Masjid merupakan hal yang wajar, karena mayoritas masyarakat di Kecamatan ini memeluk agama Islam. Namun demikian terdapat beberapa fasilitas peribadatan yang belum ada seperti Pura dan Wihara, padahal jumlah penganut agama hindu dan budha di Kecamatan Ciputat ini jumlahnya cukup banyak. C.
Gambaran Umum “Pak Ogah” Anak di Ciputat Sebutan ―pak ogah‖ pada awalnya merupakan salah satu nama tokoh boneka di
serial si unyil yang identik dengan jargon ―cepek dulu‖, dalam kehidupan nyata istilah ―pak ogah‖ mengalami pergeseran makna menjadi sebuah sebutan untuk suatu jenis pekerjaan yang digeluti masyarakat. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau sekelompak orang di luar institusi negara yang mengatur jalan di persimpangan-persimpangan, tujuan dari ―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan, atau berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi, 2013). Anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bukanlah termasuk dalam golongan anak jalanan sebenarnya, melainkan termasuk dalam golongan anak di jalanan. Hal ini sesuai definisi UNICEF dalam ILO yang diterima secara luas, yang menetapkan anak jalanan dalam dua kategori utama: Anak di jalanan adalah mereka yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi yaitu mulai dari mengemis hingga menjual, yang sebagian besar dari mereka pulang ke rumah pada sore hari dan memberikan hasil yang diperoleh kepada keluarga mereka. Mereka mungkin bersekolah dan memelihara rasa sebagai bagian dari sebuah keluarga…anak jalanan sebenarnya adalah anak-anak yang
33
hidup di jalanan (atau di luar lingkungan keluarga yang normal). Ikatan keluarga mungkin masih ada namun lemah (2008:15). Kehidupan sehari-hari seluruh informan yang masih tinggal bersama orang tua menunjukan bahwa mereka berada di jalanan hanya untuk bekerja mencari uang saja dan bukan sekaligus untuk hidup di jalanan, kemudian dari sebagian besar informan juga memberikan hasil pendapatannya kepada orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa ikatan keluarga mereka masih kuat. Keberadaan ―pak ogah‖ anak di Ciputat jumlahnya terbilang banyak, namun demikian tidak ada data yang mencatatnya membuat peneliti kesulitan mengetahui jumlah pasti anak-anak tersebut. Menurut pegawai Kecamatan Ciputat yang diwawancarai peneliti mengatakan ―Kalo data pekerja ―pak ogah‖ mah nggak ada dek, soalnya mereka itu bukan warga sini, warga dari luar Ciputat‖(Wawancara dengan pegawai Kecamatan Ciputat bagian kesejahteraan sosial, Ciputat, 30 Juni 2014). Namun demikian, hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukan bahwa para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak ini merupakan warga yang tinggal di Kecamatan Ciputat dan sebagaian besar merupakan warga asli Ciputat. Dari pengamatan di lapangan, para ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bekerja secara berkelompok, dalam satu kelompok tersebut terdapat lima sampai sepuluh orang lebih, mereka biasanya datang ke satu lokasi kerja secara bersama-sama tetapi yang bekerja mengatur lalu lintas jalan hanya satu sampai tiga orang saja. Dalam satu
34
kelompok biasanya memiliki kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan, salah satu bentuk kesepakatan mereka adalah dalam menentukan bagaimana cara mengatur waktu pergantian bekerja. Selain itu kelompok-kelompok ―pak ogah‖ ini memiliki lokasi masing-masing yang dijadikan tempat bekerja dan juga biasanya tetap pada satu lokasi saja tidak berpindah-pindah ke lokasi lain. Hal ini diungkapkan informan DR ―Iya tetep di sini, ada daerahnya masing-masing…nggak boleh sama Polisi, bolehnya di sini doang. Di sini kan udah dari dulu udah lama‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Tedapat dua lokasi yang dijadikan tempat untuk anak-anak ini bekerja sebagai ―pak ogah‖. Pertama, terdapat di pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk tol Bintaro-BSD, dari hasil observasi peneliti melihat bahwa lokasi ini memiliki posisi yang strategis karena di pertigaan ini merupakan tempat bertemunya arus lalu lintas yang berasal dari Ciputat dan Bintaro untuk memasuki kawasan Tangerang dan Jakarta melalui pintu masuk tol Bintaro-BSD ini, pertigaan ini merupakan lokasi lalu lintas yang ramai dan padat sehingga kemungkinan mendapatkan uang semakin besar. Kedua, terdapat di pertigaan antara jalan Merpati Raya dan Arya Putra, lokasi ini dijadikan anak-anak untuk mengatur lalu lintas, karena dalam kesehariannya lalu lintas di pertigaan ini cukup ramai oleh pengendara motor maupun mobil yang akan berangkat ataupun pulang bekerja, hal ini disebabkan karena terdapat banyak pemukiman penduduk dan juga perumahanperumahan yang ada disekitarnya.
35
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS A.
Karakteristik dan Kehidupan Pekerja Anak Sebagai “Pak Ogah” Dalam bab ini penulis menjelaskan berdasarkan hasil temuan di lapangan
terkait dengan karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak di wilayah penelitian serta faktor apa yang menyebabkan informan bekerja. Adapun karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang dibahas adalah sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin Dalam temuan di lapangan, para informan seluruhnya berjenis kelamin lakilaki, hal ini membuktikan bahwa stereotype yang masih berkembang di masyarakat bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja di ruang publik atau kepala rumah tangga juga menurun kepada level anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan temuan ILO tentang pekerja anak: Pekerja anak laki-laki lebih tinggi jumlahnya daripada anak perempuan dan anak laki-laki dipekerjakan dalam banyak bentuk terburuk pekerja anak, seperti di industri skala rumah tangga, sektor pertambangan, perkebunan dan penangkapan ikan lepas pantai…survei statistik sering kali memberikan perkiraan yang lebih rendah mengenai jumlah anak perempuan yang bekerja, dan pada umumnya perkiraan tersebut tidak memperhitungkan kegiatankegiatan ekonomi tak berupah seperti pekerjaan dalam usaha rumah tangga, atau kegiatan usaha tersembunyi seperti prostitusi, perdagangan anak dan pekerjaan rumah tangga yang banyak sekali melibatkan anak perempuan (2008:1). Bekerjanya para informan di ruang publik, karena sudah diperbolehkan oleh orang tua mereka. Seperti yang diungkapkan MP ―Ya tau. Ya nggak apa-apa asal
36
jangan ketabrak, jangan petekelan‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September 2014). Orang tua mengizinkan mereka bekerja salah satunya disebabkan karena mereka tidak memiliki kegiatan rutin seperti bersekolah. Seperti yang dikemukakan oleh informan AR yang sudah tidak bersekolah ―Boleh sama orang tua, daripada diem bae dirumah nggak ada kegiatan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat 1 September 2014). Hal ini juga sesuai dengan temuan BPS dan ILO yang mengemukakan: Kemiskinan memainkan peran utama dalam kerentanan anak-anak untuk pekerja anak. Namun faktor-faktor lain yang berperan, termasuk persepsi orang tua tentang pentingnya pendidikan, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan rendahnya kualitas pendidikan. Tradisi dan budaya juga memainkan peran seperti persepsi budaya sifat kanak-kanak, dan peran tanggung jawab anakanak terhadap orang tua dan saudara kandung mereka yang mempengaruhi orang tua untuk memutuskan apakah seorang anak dikirim ke sekolah atau menjadi pekerja (2009:6). 2. Usia Usia para informan ini beragam, yang paling kecil berusia 13 tahun dan yang terbesar 17 tahun. Berikut data informan berdasarkan usia: Tabel. III.A.1 Usia Informan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama
Usia 15 Tahun 17 Tahun 16 Tahun 13 Tahun 14 Tahun 16 Tahun 17 Tahun 15 Tahun 14 Tahun 15 Tahun
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
37
Para informan yang usianya masih anak-anak ini sudah mulai bekerja karena masih adanya sebagian budaya di Indonesia yang memperbolehkan anak-anak di usia dini untuk bekerja, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Warsini: Suatu budaya dalam keluarga bahwa anak sejak usia muda sudah melakukan pekerjaan atau sebagai pekerja. Tanpa disadari para orangtua beranggapan bekerja sebagai pekerja anak sudah merupakan tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat, anak diperintahkan bekerja sebagai pekerja dengan alasan untuk mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi kehidupan di masyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah dewasa…pekerja anak sendiri merasa bangga dapat bekerja memperoleh penghasilan untuk kepentingan sendiri, maupun membantu ekonomi keluarga dan dapat membiayai adik-adiknya sekolah (2005:16). Usia para informan yang dapat dikatakan sebagai usia anak-anak dan remaja, masa-masa mereka semestinya menikmati dunia belajar dan bermain, serta tahap mereka mencari jati diri dan identitas mereka, pada masa ini juga anak-anak mengalami berbagai perkembangan dari segi fisik maupun psikologis mereka dan pada dasarnya mempunyai kebutuhan khusus yang harus diberikan dan merupakan hak anak, seperti kebutuhan untuk pendidikan, bermain dan istirahat. Namun pada kenyataanya di usia dini para informan sudah memilih untuk bekerja, tentunya pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya (Warsini, 2005:8-10), terlebih lagi pekerjaan yang mereka geluti adalah sebagai ―pak ogah‖ yang dapat masuk kedalam kategori berbahaya bagi anak. Hal ini dapat dianalisa dari penjelasan Warsini yang mengemukakan: Pekerjaan yang berbahaya digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentuk Pekerjaan terburuk
38
untuk anak menurut pasal 74 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003, meliputi semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak… Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi pekerjaan yang mengandung bahaya fisik (2005:13-14). Para informan dalam melakukan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ memiliki berbagai bahaya yang harus dihadapi. Seperti dari segi lingkungan pekerjaan, para informan harus berinteraksi dengan orang dewasa yang juga bekerja sebagai ―pak ogah‖. Peneliti melihat bahwa dalam interaksinya para informan yang masih anakanak ini cenderung tereksploitasi oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitar lingkungan kerja, salah satu bentuk ekspolitasi tersebut adalah disuruh untuk membeli makanan, minuman, ataupun rokok. Selain itu dari pengamatan peneliti ditemukan bahwa semua informan ini ternyata juga merokok, tentu hal ini bukanlah hal yang baik bagi kesehatan fisik. Bentuk eksploitasi lainnya adalah persaingan dalam hal waktu kerja, terkadang para informan harus mengalah ketika bekerja karena menerima omelan dari para ―pak ogah‖ dewasa yang ingin bekerja di saat informan sedang bekerja. Kemudian, dari hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian informan mengungkapkan mereka pernah dipalak atau diperas oleh orang yang tidak dikenal. Hal ini disampaikan informan BHR ―Kadang-kadang…au saya nggak kenal, saya kasih dua ribu. Dia minta buat tambahan, saya kasih aja daripada ngapa-ngapa ntar‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan AN yang mengungkapkan:
39
Dimintain duit paling kalo orang lewat, Abang-abangan lewat sini minta seribu dua ribu kasih. Dipalakin pernah, kayak Abang-abang mabok lewat minta, yaudah kasih aja, daripada kenapa-kenapa. Ya kalo kasih paling kasih lima ribu…(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014). Dari hasil observasi peneliti juga melihat bahwa anak-anak ini pernah terjaring razia oleh Polisi, hal ini disebabkan karena pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang dianggap bagi sebagian orang sebagai pekerjaan yang meresahkan pengguna jalan karena menggangu lalu lintas dan menjadi penyebab kemacetan. Meskipun mereka sudah pernah terjaring razia namun pada kenyataanya mereka kembali bekerja dengan alasan bila tidak bekerja mereka tidak bisa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu juga masalah serius yang dihadapi para informan ketika sedang bekerja adalah teguran dari para pengguna jalan yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka, bahkan tak jarang teguran ini menjadi kekerasan pada anak dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Hal ini diungkapkan oleh informan BHR ―Kadang-kadang suka kalo lagi macet diomelin…ya dibentak, ya kayak gimana ya, orangnya turun nyamperin, bilang ini gimana nih macet gini…‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Kemudian Informan BP yang mengungkapkan ―Resikonya paling ditabrak mobil. Noh manusianya si Frk, bukan ketabrak, ditabrak malah bang‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014). Kemudian juga lingkungan pekerjaan yang berada di jalan raya ini membuat mereka harus berhadapan langsung dengan polusi kendaraan maupun debu jalanan dan juga cuaca panas ataupun hujan, sehingga kondisi lingkungan pekerjaan ini
40
bukanlah tempat yang ideal bagi kesehatan fisik mereka. Bahkan yang paling berbahaya dari pekerjaan ini adalah bagi keselamatan nyawa, karena kondisi lingkungan pekerjaan ini tidak terlepas dari ramainya kendaraan yang melintas yang tentunya membahayakan bagi anak karena beresiko tertabrak. Hal ini diungkapkan oleh informan AR: Ya gitulah bang, ya kalo lagi markirin malem doang, kalo malem-malem gelap, kadang-kadang mobil nyelonong-nyelonong aja, iya ngeri‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014). Dan Informan DK yang mengatakan: Resikonya nyawa bang, kalo mobilnya kaga berhenti, terus juga tiba-tiba ada motor yang nyerempet…pernah bang sekali. Kita berhentiin bukannya berhenti malah nyerempet tangan‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014). Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa pekerjaan yang dilakukan para informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya dan seharusnya tidak dikerjakan oleh mereka, namun karena kondisi kemiskinan yang dialami sebagian informan membuat mereka tetap bertahan berkerja. Kondisi kemiskinan yang menyebabkan informan bekerja, juga sesuai dengan temuan Siswoyo (1998:60) yang mengungkapkan bahwa faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja salah satunya adalah karena kemiskinan orang tua. 3. Suku dan Agama Dalam temuan di lapangan pada penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ berasal dari suku Betawi, hal ini wajar
41
karena menurut data Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan (2014) menunjukan bahwa mayoritas masyarakat asli di Tangerang Selatan adalah suku Betawi. Kemudian juga seperti diketahui bahwa karaktristik orang Betawi yang identik dengan pekerjaan informal, ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdul Azis: Ketika pendidikan modern diperluas oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk seluruh warga negara, orang Betawi cenderung memilih pendidikan agama. Konsekuensinya, akses terhadap mereka kepada sektor-sektor profesi modern menjadi sangat terbatas (2002:5). Terbatasanya akses mereka menempati profesi-profesi modern ini membuat mereka beralih kepada pekerjaan-pekerjaan informal. Hal ini berdampak kepada penghasilan dan perekonomian mereka yang juga menjadi terbatas. Namun demikian, sebagian informan ini juga ada yang berasal dari suku Jawa. Adanya suku pendatang di perkotaan merupakan hal yang wajar karena menurut penjelasan Nurhayati: Secara umum timbulnya migrasi karena adanya pull faktor kota sebagai pusat aktivitas dan kegiatan perekonomian dan push faktor kurangnya fasilitas dan kesempatan yang tersedia di pedesaan. Sebagian besar individu yang bermigrasi ke kota adalah usia produktif yang berkemauan keras dan kuat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarganya (2013:104). Walaupun demikian, dalam konteks ini pernyataan tersebut berbeda dengan temuan di lapangan dalam penelitian ini yang menunjukan bahwa mayoritas yang bekerja ini adalah suku asli Betawi. Meskipun begitu, seperti diketahui bahwa Kecamatan Ciputat yang merupakan bagian dari kota Tangerang Selatan memiliki daya tarik bagi para pendatang selain karena berbatasan dengan Jakarta sebagai pusat perekonomian, kota ini juga memiliki berbagai fasilitas seperti pendidikan,
42
kesehatan, perumahan, perekonomian dan adanya berbagai macam jenis pekerjaan yang tersedia. Namun demikian para pendatang yang mempunyai keterbatasan dalam hal modal pendidikan, keterampilan maupun modal lainnya untuk bersaing dalam pekerjaan formal menyebabkan mereka bekerja pada sektor-sektor informal seperti bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini sesuai dengan penjelasan Todaro dan Smith (2006:393) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya mereka yang berada di sektor informal adalah pendatang baru dari pedesaan yang gagal memperoleh tempat di sektor formal, motivasi mereka hanya terbatas pada upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup agar bisa makan pada hari ini atau esok dan bukan untuk menumpuk keuntungan apalagi kekayaan. Selain itu juga menurut Halim (2008:264) faktor kemiskinan bahkan memaksa para orang tua khususnya kaum pendatang untuk mempekerjakan anak-anaknya pada usia dini di sektor-sektor informal dan kondisinya semakin parah ketika anak-anak tersebut dieksploitasi hanya untuk sekedar bertahan hidup. Selanjutnya, dari sisi agama menunjukan bahwa seluruh informan beragama Islam. Hal ini wajar karena dari data yang ada di Kecamatan Ciputat menunjukan bahwa penduduknya mayoritas memeluk agama Islam. Berikut data informan berdasarkan suku dan agama: Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan No 1 2 3
Nama DR BHR AR
Suku Betawi Betawi Betawi
43
Agama Islam Islam Islam
4 5 6 7 8 9 10
RVL DK EG FRK MP AN BP
Betawi Betawi Betawi Jawa Betawi Jawa Jawa
Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
Dalam ajaran Islam mendidik anak untuk bekerja sebenenarnya diperbolehkan, asal tidak diekspolitasi. Hal ini seperti yang dijelaskan Subhan: Eksploitasi anak dapat terjadi dalam suatu pekerjaan atau dengan alasan pembelajaran. Semua hal tersebut dapat berakibat langsung pada fisik, mental psikologi mereka. Islam jelas melarang hal ini. Sebuah hadist yang masyhur tentang pendidikan anak mengurai kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya tanpa harus memaksakan kehendak diri orang tua. Tanpa harus mengeksploitasi anak.―Didiklah Anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghadapi jaman yang berbeda dengan jamanmu‖, pesan Nabi itu menegaskan bahwa karakter pendidikan haruslah futuristik dan membebaskan setiap anak untuk berkreasi sesuai minat dan bakat untuk eranya, tanpa harus merampas kenyamanan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak (2009). Namun demikian, pada kenyataanya di lapangan menunjukan bahwa masih banyak anak-anak muslim menjadi pekerja anak, seperti dalam penelitian ini. Walapun mereka bekerja tanpa paksaan, namun secara tidak sadar sebenarnya mereka juga mengalami kerugian seperti terganggunya pendidikan, kehilangan masa belajar, bermain dan juga beristirahat. Selain itu juga pekerjaan yang dilakukan anakanak ini merupakan pekerjaan yang tergolong berbahaya bagi anak karena dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka.
44
4. Pendidikan Informan Latar belakang pendidikan para informan menunjukan bahwa pendidikan anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bervariasi, berikut data informan berdasarkan pendidikan:
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan Nama Sekolah Putus Sekolah SD SMP SMA/ SD SMP SMA/ SMK SMK DR √ BHR √ AR √ RVL √ DK √ EG √ FRK √ MP √ AN √ BP √
Terdapat dua kategori pendidikan informan, yaitu masih sekolah dan putus sekolah. Dari seluruh informan, mayoritas sudah putus sekolah dan hanya minoritas yang masih bersekolah. Seluruh informan yang putus sekolah kebanyakan di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan para informan yang masih bersekolah berada pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP), sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Semua informan yang masih mengenyam pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan hal yang penting untuk masa depan. Hal ini menunjukan bahwa mereka menyadari pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi dirinya di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh
45
informan AN ―Penting supaya masa depannya lebih baik dari orang tua kita, orang tua saya‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 september 2014). Namun demikian, yang menganggap pendidikan itu penting bukan hanya dari informan yang masih bersekolah saja, tetapi sebagian informan yang sudah putus sekolah juga menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan masa depan mereka. Meksipun jumlah fasilitas sekolah di Ciputat cukup memadai, namun keterbatasan akses terhadap pendidikan, seperti kurangnya biaya dan tidak adanya bantuan dari instansi terkait membuat mereka tidak dapat melanjutkan sekolah. Seperti yang diungkapkan informan BHR: Sebenernya pengen sih sekolah, cuma biayanya nggak ada…belom pernah, biaya sendiri (tidak adanya bantuan pada saat masih sekolah)‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat 12 Agustus 2014). Mayoritas informan yang sudah putus sekolah ini disebabkan karena kurangnya pendapatan orang tua informan untuk membiayai pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Hal ini dapat di lihat dari tabel matrik berikut ini: Tabel A.III.4 Matrik Penghasilan Orang Tua Dalam Membiayai Pendidikan Penghasilan Orang Tua Dalam Membiayai Pendidikan Cukup Tidak Mencukupi
Nama
DR BHR AR RVL DK EG
√ √ √ √ √ √
46
FRK MP AN BP
√ √ √ √
Keterbatasan mayoritas informan yang tidak bersekolah ini sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis dalam Suparlan (1993:8) yang menjelaskan bahwa salah satu karakteristik sub-budaya kemiskinan adalah terbatasnya akses terhadap layanan dan sarana pendidikan. Selanjutnya, hal ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Suyanto yang mengungkapkan bahwa: Dalam studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar yang menyebabkan kesempatan masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi terhambat (2010:355). 5. Waktu Bekerja Informan Para informan bekerja pada waktu dan durasi yang bervariasi, karena tergantung beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor pendidikan mereka, bagi para informan yang masih bersekolah waktu bekerjanya terbatas karena biasanya hanya bisa bekerja pada waktu pulang sekolah atau sebelum sekolah berbeda dengan para informan yang sudah tidak bersekolah waktu untuk bekerjanya juga semakin banyak. Kemudian faktor lainnya juga tergantung kondisi di lokasi pekerjaan, jika yang bekerja banyak maka waktu untuk bekerja mereka semakin sedikit, terlebih lagi jika adanya ―pak ogah‖ dewasa yang bekerja yang membuat para informan ini waktunya semakin terbatas karena harus mengalah.
47
Dari hasil wawancara menunjukan bahwa para informan mengeluti pekerjaan ini antara satu tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama, hal ini menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja dan juga menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan tetap mereka. Seperti yang diungkapkan informan BP ―Dari SD sekarang udah SMK, udah empat tahun‖(Wawancara dengan BP, Ciputat 22 September 2014). Sebagian besar informan bekerja dalam seminggu sebanyak tiga sampai empat hari, hanya sebagian kecil saja mengungkapkan bahwa mereka bekerja setiap hari. Hal ini seperti yang diungkapan informan DK ―Kalo nggak tiga, ya empat harian‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014). Mayoritas informan bekerja pada durasi waktu antara satu sampai dua jam saja dalam sehari. Hal ini seperti yang diungkapkan informan AN ―…kira-kira sehari dapet markir dua jam kalo nggak satu jam setengahlah‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014). Dilihat dari durasi waktu bekerja dalam sehari, mayoritas informan tergolong bekerja pada durasi waktu yang di perbolehkan untuk anak-anak usia 13-17 tahun. Hal ini seperti yang jelaskan Warsini (2005:2012) bahwa anak-anak yang berusia di atas 13 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan dengan harus memenuhi syarat yang salah satunya adalah waktu kerja maksimal tiga jam dalam sehari. Namun demikian kembali lagi bahwa dari segi kesehatan dan keselamatan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya, yang seharusnya tidak dikerjakan oleh para informan. Selain itu juga masih ada sebagian kecil informan yang bekerjanya melebihi waktu dari tiga jam bahkan dalam
48
sehari bisa sampai delapan jam. Hal ini diungkapan oleh informan DR ―Sehari delapan jam‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Waktu bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama, mereka yang datang lebih awal ke lokasi bekerja maka dialah yang berhak untuk bekerja lebih dulu. Kemudian juga terdapat kesepakatan dalam menentukan waktu jadwal pergantian bekerja, ada dua cara dalam mengaturnya. Pertama, mereka bergantian berdasarkan waktu atau jam bekerja. Hal ini diungkapkan informan DR ―Ya satu orang bisa empat puluh menit, ganti-gantian bergiliran. Siapa yang dateng duluan dia duluan yang markirin‖(Wawancara dengan DR, Ciputat 12 Agustus 2014). Kedua, mereka bergantian berdasarkan target pendapatan. Hal ini disampaikan informan FRK ―...berdasarkan duitnya aja, misalkan yang markirin ada empat orang, ya dua orang dua orang dulu, kalo misalkan seorang udah dapet lima ribu ya ganti‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Biasanya aktivitas yang dilakukan mereka dalam menunggu pergantian bekerja ini adalah dengan memainkan handphone dan juga mengobrol atau bercanda dengan sesama ―pak ogah‖ lainnya. 6. Pendapatan informan Pendapatan yang diperoleh dari bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini antara 5000 sampai dengan 80.000 perhari. Berikut adalah data pendapatan informan dalam sehari:
49
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel III.A.5 Pendapatan Informan Nama Pendapatan DR 30.000 - 50.000 Sehari BHR 25.000- 80.000 Sehari AR 30.000- 50.000 Sehari RVL 20.000- 30.000 Sehari DK 30.000- 40.000 Sehari EG 50.000 Sehari FRK 5.000- 10.000 Sehari MP 15.000 Sehari AN 10.000- 20.000 Sehari BP 10.000-40.000 Sehari
Pendapatan yang diperoleh para informan ini tergantung waktu dan durasi mereka bekerja, semakin sering dan semakin lama mereka bekerja maka semakin banyak juga penghasilannya. Namun demikian, para informan ini harus bergantian dan juga harus mengalah dengan ―pak ogah‖ dewasa, hal inilah yang mempengaruhi pendapatan keseharian mereka. Seperti yang diungkapkan informan EG―…yang gede-gedenya kadang-kadang suka minta gantian markirinnya, orang saya baru naek markirin udah disuruh ganti sama dia. Kan pendapatan kita jadinya kecil gara-gara gantian begitu‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Selain itu juga karena pendapatan ini tergantung pada pengguna jalan yang memberi uang, maka pendapatan yang didapat dalam sehari-hari ini tidak menentu. Namun demikian, berdasarkan data di atas menunjukan bahwa pendapatan yang didapat oleh sebagian para informan ini tergolong cukup besar bagi para informan yang masih anak-anak ini, sehingga pendapatan tersebut juga mempengaruhi mereka untuk tetap bekerja sebagai ―pak ogah‖.
50
Latar Belakang Keluarga Informan
7.
Dalam penelitian ini latar belakang keluarga informan dapat dilihat berdasarkan jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, penghasilan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Berikut data pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua informan: Tabel III.A.6 Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan Orang Tua dan Jumlah Anggota Keluarga. No
Nama
1
DR
Pendidikan Orang Tua Bapak Ibu SD SD
Pekerjaan Orang Tua
2
BHR
SMP
SD
3
AR
SD
4
RVL
-
Tidak Buruh Sekolah Bangunan SMP -
5
DK
SMP
SD
6
EG
SMP
SD
Buruh Bangunan Buruh
7
FRK
SMA
SMA
Penceramah
8
MP
SD
SD
9
AN
SD
SD
10
BP
D3
SMA
Tidak bekerja Tukang Ojek Montir
Bapak Pegawai Swasta -
Penghasilan Orang Tua Ibu Bapak Ibu Ibu Rumah 80.000 Tangga / hari Asisten Rumah 25.000 Tangga / hari Asisten Rumah 40.000 500.000 Tangga / hari / bulan Asisten Rumah 50.000 Tangga / hari
Jumlah Anggota Keluarga 4 Orang
Ibu Rumah Tangga Asisten Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga
-
6 orang
30.000 / hari -
5 Orang
50.000 /hari -
5 Orang
1.000.000 /bulan
6 Orang
60.000 / hari 70.000 / hari 120.000 / Tidak Tentu Asisten Rumah Tidak Ada Tangga Ibu Rumah 200.000 Tangga / hari Pegawai 200.000 Swasta / hari
51
2 Orang 4 Orang 3 Orang
6 Orang
4 Orang
Dari tabel tersebut menunjukan bahwa terdapat variasi jenjang pendidikan terakhir dari para orang tua informan. Mayoritas orang tua informan hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD), kemudian juga masih terdapat orang tua informan yang tidak bersekolah, hal ini menunjukan masih rendahnya kualitas pendidikan orang tua mereka. Selanjutnya, sebagian orang tua informan mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) dan hanya sebagian kecil dari orang tua informan yang menempuh pendidikan perguruan tinggi sampai D3. Bervariasinya pendidikan para orang tua informan ini juga berpengaruh terhadap jenis pekerjaan dan penghasilannya. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian Silalahi yang menjelaskan bahwa: Faktor pendidikan ini memengaruhi jenis pekerjaan dan penghasilan yang diterima…hal ini terlihat dari pendidikan orang tua di masa muda mereka. Pendidikan mereka yang tidak sampai perguruan tinggi membuat pekerjaan mereka pun hanya berkisar pada jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik seperti kuli, buruh dan sebagainya. Oleh karena itu penghasilan yang diperoleh pun rendah. Dalam hal ini, lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi jenis pekerjaan mereka (2010:304). Berdasarkan hasil temuan di lapangan, peneliti mengkategorikan status pekerjaan menjadi dua, yaitu bekerja dan tidak bekerja. Mayoritas Bapak informan ini masih bekerja, hanya sebagian kecil yang sudah tidak bekerja. Bapak informan yang sudah tidak bekerja disebabkan karena sudah meninggal dan juga karena usia yang sudah tua. Selanjutnya sebagian dari Ibu para informan juga bekerja (berpenghasilan). Sebagian dari mereka bekerja karena untuk menggantikan peran Bapak yang sudah meninggal ataupun yang tidak bekerja, sedangkan sebagian lain
52
Ibu informan yang bekerja (berpenghasilan) tujuannya untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Mayoritas orang tua informan bekerja di sektor informal seperti, penceramah, tukang ojek, pekerja bagunan, buruh, montir dan asisten rumah tangga. Hanya sebagian kecil orang tua informan bekerja dalam sektor formal seperti pegawai swasta. Bervariasinya jenis pekerjaan orang tua informan ini berpengaruh pada tingkat penghasilan orang tua. Dilihat dari penghasilan orang tua para informan dan jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung, menunjukan bahwa sebagian besar para informan ini tergolong dalam keluarga yang berada pada garis kemiskinan karena pengeluaran perkapita perhari dalam keluarga tersebut sesuai dengan standar kemiskinan yang ditetapkan oleh bank dunia yaitu pengeluaran perkapita perhari setara dengan US$ 2 PPP (Purchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli) atau jika di rupiahkan sekitar 25.000 rupiah (BPS, 2008:39). Hal ini membuktikan bahwa pekerjaan ―pak ogah‖ memang mayoritas digeluti oleh anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu atau miskin, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang mampu atau tidak miskin yang mengeluti pekerjaan ini, hal ini terlihat dari adanya sebagian kecil informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilan orang tuanya berada di atas garis kemiskinan.
53
B.
Sub-Budaya Kemiskinan “Pak Ogah” Anak Pendekatan Oscar Lewis Menurut Oscar lewis dalam Suparlan (1993:8) mengemukakan bahwa sub-
budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan kepadatan tinggi, terbatasnya akses-askes terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan, dan sarana pendidikan. Kemudian juga menurut Oscar Lewis sub-budaya kemiskinan memiliki karakteristik yang dapat dipelajari dari berbagai aspek kehidupan seperti: Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembagalembaga utama masyarakat…pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol…pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga…pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan Ibu…kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya…(1993:7-11). Dari penjelasan teori sub-budaya kemiskinan di atas, dapat dilihat dari beberapa aspek kehidupan yang peneliti jabarkan untuk menjelaskan para informan yang mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilannya rendah dan berada dalam garis kemiskinan atau tidak mampu. Berikut penjabaran dari hasil temuan di lapangan: a. Akses Terhadap Konsumsi Berikut adalah data tabel mengenai akses terhadap pemenuhan konsumsi atau makan sehari-hari para informan:
54
Tabel III.B.1. Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari Nama
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga
Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
√ √
√ √ √
Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari Informan Kebutuhan Makan Bantuan dari Pemerintah Cukup Tidak Ada Tidak ada Mencukupi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Dari tabel di atas menunjukan bahwa mayoritas informan yang berasal dari keluarga miskin mengatakan bahwa dalam kesehariannya penghasilan atau ekonomi orang tua dirasa tidak mencukupi untuk pemenuhan makan sehari-hari. Kemudian setengah dari informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini mengungkapkan bahwa tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun untuk memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini diungkapkan DK: Nggak cukup bang, kadang-kadang nggak cukup (untuk konsumsi seharihari)…nggak pernah bang (tidak adanya bantuan) (Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014). Selanjutnya, setengah dari informan yang tidak mampu ini juga mendapat bantuan dari pemerintah. Namun demikian, sebagian kecil yang mendapat bantuan
55
dari pemerintah tersebut tidak banyak membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari karena bantuan tersebut bersifat insidental. Hal ini disampaikan informan BHR: Ya kagalah (Penghasilan orang tua untuk kebutuhan makan seharihari)…pernah, waktu lagi lebaran sembako (Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Ketidakmampuan mereka dalam hal pemenuhan konsumsi ini sesuai dengan karakteristik teori sub-budaya kemiskinan dan juga dapat dikagetorikan berada dalam keluarga miskin karena hal ini sesuai dengan BPS yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (Sardjunani, 2010:12). Kemudian juga anak-anak ini dapat disebut berada pada keluarga pra sejahtera yang menurut BKKBN dalam Sardjunani menjelaskan: Keluarga prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan pokok (pangan), sandang, papan, kesehatan, dan pengajaran agama (2010:10). Sementara itu, minoritas informan yang berasal dari keluarga yang berada dalam garis kemiskinan atau tidak mampu ternyata mengatakan bahwa dalam kesehariannya mereka tercukupi dalam hal pemenuhan kebutuhan makan. Kemampuan para informan yang dapat memenuhi kebutuhan makan ini salah satunya juga disebabkan karena adanya bantuan dari Pemerintah. Seperti yang
56
diungkapkan AR ―Kalo buat makan, jajan mah ada…beras raskin, kayaknya setiap bulan ada‖(Wawancara dengan, Ciputat, 1 September 2014). Selanjutnya, bagi informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang mampu, mereka merasa bahwa penghasilan orang tua mencukupi untuk kebutuhan makan sehari-hari. Hal ini seperti yang diungkapkan BP ―Ya cukuplah (untuk makan sehari-hari)‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014). b. Akses Terhadap Kesehatan Para informan yang kebanyakan berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu ini, selain dapat dilihat dari akses pemenuhan konsumsi makan sehari-hari yang mayoritas tidak mencukupi, juga dapat dilihat dari jangkauan mereka dalam mengakses fasilitas kesehatan. Berikut adalah tabel matrik akses kesehatan informan: Tabel III.B.2. Matrik Akses Kesehatan Informan Nama
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
Akses Kesehatan Informan Membeli obat Puskesmas Rumah sakit/ Warung Dokter √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
57
√ √
Para informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu ini sebagian besar hanya mampu menjangkau akses kesehatan pada tingkat membeli obat di warung dan mengakses ke Puskesmas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian besar para informan ini hanya bisa membeli obat warung dan menjangkau Puskesmas saja, yaitu ketidakmampuan ekonomi orang tua untuk berobat ke Rumah Sakit. Selain itu, tidak adanya bantuan dari Pemerintah dan juga fasilitas kesehatan yang jaraknya jauh dari tempat tinggal. Keterbatasan informan dalam mengakses kesehatan ini dialami informan BHR yang mengungkapkan: Kalo sakit paling beli obat doang di warung…duitnya kaga ada, iya biayanya kurang (untuk ke dokter)…waktu itu emak kita kan sakit nih, kita lagi nggak punya duit buat ngobatin, kita bingung duit dari mana, rasanya putus asa dah, akhirnya kan ke rumah keponakan tuh ya minjem duit niatnya…sakit kelenjar getah bening…nggak pernah, iya bayar sendiri (tidak pernah mendapat bantuan dalam hal kesehatan dari Pemerintah)(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dari wawancara tersebut membuktikan bahwa informan yang berasal dari latar belakang tidak mampu ini, pada kenyataannya dalam mengakses kesehatan tidak pernah mendapat bantuan. Hal ini juga membuktikan bahwa program-program perlindungan bagi masyarakat miskin seperti Jamkesmas maupun Askeskin tidak dapat diketahui dan dijangkau oleh informan. Dari wawancara tersebut juga menunjukan bahwa informan merasakan tidak berdaya dan putus asa ketika orang tua sakit karena keterbatasan biaya untuk berobat ke Rumah Sakit. Kemudian para informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini dapat menjangkau Puskesmas sebagai sarana untuk berobat, selain memang karena biaya yang masih bisa
58
dijangkau, sebagian informan ini juga mendapat bantuan dari Pemerintah seperti berobat gratis ke Puskesmas maupun keringanan biaya. Hal ini diungkapkan oleh salah satu informan RVL ―Ke Puskesmas…iya, gratis‖ (Wawancara dengan RVL, Ciputat, 1 September 2014). Namun demikian, terdapat sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu yang bisa menjangkau dokter atau Rumah sakit sebagai sarana untuk berobat. Hal ini juga salah satunya disebabkan karena adanya bantuan dari Pemerintah setempat seperti keringanan biaya dalam berobat ke dokter atau rumah sakit. Seperti yang diungkapkan oleh informan FRK: Biasanya kalo sakit ya diusahain aja ke rumah sakit...kalo kesehatan sih pernah, dapet kayak diskon gitu suratnya, iya potongan harga di dokter (Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Dari wawancara tersebut menunjukan bahwa informan yang berasal dari keluarga miskin juga menjadikan rumah sakit sebagai sarana untuk berobat, walaupun pengobatan di rumah sakit itu menjadi pilihan yang sulit karena keterbatasan ekonomi mereka. Sementara itu bagi informan yang berasal dari keluarga ekonomi yang mampu, mereka merasa mampu untuk menjangkau atau mengakses pengobatan ke rumah sakit ataupun dokter. Hal ini disebabkan penghasilan orang tua yang mencukupi untuk berobat ke rumah sakit atau dokter. Selain itu juga sebagian informan ini ternyata mendapat bantuan dari pemerintah seperti ada yang memiliki Jamsostek untuk berobat. Hal ini diungkapkan informan AN ―Kesehatan kalo sakit pake itu
59
Bapak saya, itu jamsostek pake bantuan itu‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014). c. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial Partisipasi informan di lingkungan sosial adalah lebih kepada kegiatankegiatan yang diadakan oleh RT atau RW di lingkungan sekitar informan tinggal, seperti kegiatan pengajian maupun acara tiap tahunan seperti tujuh belas agustusan. Berikut adalah tabel matrik partisipasi informan di lembaga masyarakat: Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan di Lembaga Masyarakat Nama
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga
Partisipasi Informan di Lembaga Masyarakat Berpartisipasi Tidak Berpartisipasi
Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Dari seluruh informan yang berasal dari keluarga tidak mampu, hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian ataupun acara-acara lainnya yang diadakan oleh RT atau RW karena merasa rendah
60
diri atau malu untuk mengikuti atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh informan BHR: Nggak pernah…ya sebenernya sih kalo ada yang ngajak mah mau bae, nggak ada yang ngajak, ya malu (Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Sementara itu sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu ternyata ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan sekitar seperti pengajian ataupun acara tujuh belas agustusan. Seperti yang diungkapkan oleh informan EG ―Ngikut bang, ikut-ikutan aja kalo ada acara kayak tujuh belasan mah‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Hal ini menunjukan bahwa walaupun mereka berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu dalam hal ekonomi, namun mereka masih tetap mampu bersosialisasi dengan ikut berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan sosial mereka dan tidak terisolasi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini juga ditunjukan pada saat peneliti melakukan observasi ke rumah para informan ternyata ada informan yang sedang mengikuti pengajian rutin di lingkungan tersebut. Sementara itu, bagi informan yang berasal dari keluarga yang mampu ikut berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan mereka. Seperti diungkapkan informan AN: Pengajian ikut, tujuh belasan ikut, tapi nggak yang gede-gede, yang kecil-kecil aja buat ngehibur-hibur doang‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014).
61
d. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman Informan Akses selanjutnya yang dapat dianalisis adalah akses terhadap perumahan dan kondisi lingkungan informan tinggal. Berikut adalah tabel matrik kondisi perumahan dan tempat tinggal informan: Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman Informan
Nama DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
Kondisi Pemukiman Tempat Tinggal Informan Kumuh Padat Iya Tidak Iya Tidak √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu ini mengatakan bahwa kondisi lingkungan rumah mereka padat penduduknya, selain itu juga sebagian kecil informan ini mengungkapkan bahwa mereka juga tinggal di lokasi pemukiman yang kumuh. Hal ini diungkapkan oleh informan AR:
62
―Kalo dibilang kumuh sih iya kumuh, itu bang jadi satu sama kandang ayam rumahnya, sampah-sampah ada… lumayan padet dah bang, iya dempetdempetan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014). Selain itu juga sebagian kecil informan yang tidak mampu ini ternyata masih tinggal di kontrakan yang ukurannya terbatas dan kumuh. Ini diungkapkan oleh informan FRK: Ngontrak…kecil, gak ada kamar-kamarnya, adanya dapur sama ruang tamu digabung jadi kamar…ya lumayan kumuh sih tempatnya, lumayan banyak sih sampah…(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Keterbatasan sebagian informan dalam hal tempat tinggal, kemudian lingkungan yang kumuh dan juga padat ini sesuai dengan karakteristik teori subbudaya kemiskinan. Kondisi ini juga sesuai dengan kondisi di perkotaan pada umumnya yang sebagian daerahnya kumuh dan juga padat yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan juga lahan untuk tempat tinggal yang semakin terbatas, sehingga tak jarang penduduk di suatu kota tinggal di pemukimanpemukiman yang lingkungannya padat dan kumuh. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nurhayati: Jumlah penduduk di perkotaan terus mengalami peningkatan karena angka fertilitas atau masuknya migrant yang datang ke perkotaan. Semakin bertambahnya penduduk perkotaan dan keterbatasan lahan pemukiman menjadi permasalahan dalam tata ruang kota….bagi masyarakat bawah dan kalangan masyarakat miskin perkotaan kebutuhan akan perumahan ini hanya sekedar tempat tinggal sederhana bahkan di bawah standar perumahan yang layak huni (2013:107). Sementara itu bagi informan dari latar belakang keluarga yang mampu, mereka memiliki tempat tinggal sendiri yang kondisinya tidak kumuh dan juga sebagian dari
63
mereka tinggal di pemukiman yang tidak padat penduduknya. Seperti yang diungkapkan oleh informan BP: Rumah udah sendiri…kagalah kaga kumuh, jalanannya kayak komplek bang plesteran…kagalah (tidak padat pemukimanya) (Wawancara pribadi dengan BP, Ciputat, 22 september 2014). Kemudian juga dari observasi di lapangan menunjukan bahwa sebagian informan ini memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti rumah yang sudah di tembok, alas lantai yang sudah berkeramik, lingkungan yang layak karena akses seperti jalanan yang sudah aspal dan plesteran, dekat dengan jalan raya sehingga tidak terisolasi oleh lingkungan luar. e. Kondisi Internal Keluarga Informan Kemudian, selain melihat kemampuan informan dalam menjangkau aksesakses kehidupan di atas peneliti juga melihat kondisi internal keluarga informan dalam hal ini adalah keharmonisan keluarga yang meliputi ada tidaknya pernikahan dini dan juga perceraian dalam keluarga. Berikut adalah tabel matrik kondisi keluarga informan: Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga Informan
Nama DR BHR AR RVL DK
Latar Belakang Ekonomi Keluarga Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu
Kondisi Keluarga Informan Adanya Adanya Pernikahan perceraian Usia Dini √ -
64
√ -
EG FRK MP AN BP
Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
√ -
√
Dari tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mengatakan bahwa dalam keluarga mereka tidak terdapat perceraian dan juga pernikahan di usia dini. Namun demikian, ada anggota keluarga dari sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini melakukan pernikahan dini, yang dalam undang-undang perkawinan dijelaskan bahwa masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh undang-undang yaitu laki-laki berumur 18 tahun, perempuan berumur 15 tahun (Tutik, 2006:118). Dan juga terdapat sebagian kecil keluarga informan yang di dalamnya melakukan perceraian. Hal ini seperti yang diungkapkan BHR ―Ada sih sodara, keponakan umur enam belas tahun, cewek‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan MP yang mengungkapkan ―Ada, Abang saya, cuma udah nikah lagi, cerai berantem mulu‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September 2014). Sementara itu ternyata ada juga informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang mampu atau tidak miskin, yang anggota keluarganya melakukan pernikahan dini. Seperti yang diungkapkan informan BP ―Ada bang, Kaka saya,
65
kelas tiga SMA tujuh belas tahun‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014). Namun demikian, mayoritas informan yang berasal baik dari latar belakang keluarga yang tidak mampu dan yang mampu, berada dalam kondisi keluarga yang harmonis karena tidak ditemukan adanya perceraian dan pernikahan di usia dini dalam keluarga. Hal ini diungkapkan oleh informan AN: Nikah di usia dini di keluarga kayanya gak ada, udah di atas usia dua lima lah…bercerai gak ada, hampir mungkin gak ada (Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014). Dan informan EG yang mengungkapkan ―Setau saya mah kaga ada bang di keluarga yang nikah muda….cerei juga kaga ada bang”(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Dari hasil temuan dilapangan ini dapat disimpulkan bahwa pekerja ―pak ogah‖ anak ini tidak identik dengan latar belakang keluarga yang broken home. Hal ini berbeda dengan temuan Rochatun (2012:29) yang mengungkapkan bahwa penyebab anak bekerja salah satunya berasal dari hubungan orang tua yang tidak harmonis dan adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga yang menyebabkan anak-anak turun ke jalan. Selain melihat kondisi internal keluarga informan dalam hal ini keharmonisan keluarga, peneliti juga melihat kondisi internal keluarga berdasarkan perhatian dari orang tua informan terhadap para informan yang bekerja ini. Kurangnya perhatian orang tua terhadap para informan dalam hal ini pengawasan orang tua yang
66
ditunjukkan dengan keseharian informan ini lebih banyak di luar rumah atau lebih banyak di rumah. Berikut adalah tabel matrik kurangnya pengasuhan orang tua terhadap informan Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua terhadap Informan Nama
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
Kurangnya Pengasuhan Orang Tua √ √ √ √ √ √ √ √
Dari data di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam keseharianya mengatakan lebih banyak berada di luar rumah, kebanyakan mereka berada di luar rumah untuk bermain bersama teman-teman mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan informan EG: Ya kebanyakan maen bang, biasanya maen PS kalo abis markirin gini. Jarang di rumah, maen ama kerja kebanyakan…di rumah paling makan, tidur doang‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014).
67
Sementara itu hanya terdapat sebagian kecil infroman yang berasal dari keluarga tidak mampu yang masih cukup diperhatikan oleh orang tua mereka karena mereka lebih banyak di rumah daripada di luar rumah. Hal ini seperti yang diungkapkan informan DR: Nggak ngapa-ngapain, di rumah aja…kebanyak di rumah aja, kalo keluar kerja doang.…nggak nongkrong...‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan FRK yang mengungkapkan ―Kalo dibilang sih kebanyakan di rumah…kalo makan sih kebanyakan di rumah‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat perhatian dan juga pengasuhan dari keluarga terhadap keseharian sebagian kecil para informan, dan ini juga menegaskan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bukanlah anak jalanan melainkan anak-anak yang hanya mencari uang di jalanan kemudian setelah itu kembali ke rumah atau keluarga. Selain itu, bagi para informan yang berasal dari keluarga yang mampu ternyata dalam hal perhatian dari orang tua mereka kurang mendapatkannya. Hal ini terlihat dari keseharian mereka yang lebih sering nongkrong bermain di luar rumah dibandingkan berada di rumah. Seperti yang diungkapkan informan BP: Lebih banyak di luar…abis balik sekolah nongkrong di Ciputat maen sampe jam tujuh balik, pulang, markir lagi sampe jam sembilan‖(Wawancara dengan informan BP, Ciputat, 22 September 2014). Meskipun informan BP berasal dari latar belakang keluarga yang secara ekomoni berada di atas garis kemiskinan, namun demikian karakteristik sub-budaya
68
kemiskinan juga dialami oleh informan dari segi kurangnya perhatian dari orang tua terhadap informan. Dari keseluruhan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata konsep karakteristik sub budaya kemiskinan Oscar lewis cenderung sesuai dengan gambaran kehidupan keseharian pekerja anak sebagai ―pak ogah‖. Hal ini dapat ditunjukan dari terbatasnya akses para informan dalam hal konsumsi atau makan sehari-hari, kesehatan, tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan tidak berharga dan tidak berdaya, dan kurangnya pengasuhan oleh orang tua. Hanya sebagian kecil karakteristik sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan gambaran kehidupan keseharian para ―pak ogah‖ anak di Ciputat, seperti rendahnya partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam keluarga. C.
Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai “Pak Ogah” Dalam temuan di lapangan terdapat dua faktor penyebab para informan
bekerja, yaitu adanya faktor yang mendorong dan juga adanya daya tarik pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Berikut adalah penjelasannya: 1) Faktor Pendorong Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini didorong oleh beberapa faktor yang pada intinya adalah karena keinginan mereka mencari uang sendiri dan bukan dari paksaan dari orang tua. Hal ini Seperti yang diungkapkan informan AR:
69
Ya daripada diem di rumahlah bang, nggak ada penghasilan…enggak disuruh sama orang tua, kita kemauan sendiri‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014). Dorongan dari kemauan sendiri untuk mencari uang yang dilakukan informan ini disebabkan oleh tiga alasan, sebagai berikut: Tabel III.C.I. Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja Nama
DR BHR AR RVL DK EG FRK MP AN BP
Latar Belakang Ekonomi Keluarga Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Tidak Mampu Mampu Mampu
Faktor-Faktor Yang Mendorong Anak Bekerja Membantu Pemenuhan Pemenuhan Ekonomi Konsumsi Kebutuhan Keluarga (jajan) Sendiri Sekolah √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
a. Membantu Ekonomi Keluarga Dari hasil wawancara di lapangan, alasan sebagian besar para informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja sebagai ―pak ogah‖ untuk mencari uang karena alasan membantu ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk membantu ekonomi keluarga ini lebih kepada yang sifatnya primer seperti membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, membeli beras, dan membeli makan, namun demikian ada juga yang sifatnya sekunder seperti
70
memberikan uang jajan untuk Adik. Hal ini seperti yang diungkapkan informan DR ―Buat bantu Ibu aja, kasian kadang-kadang nggak punya duit buat makan, buat jajanjajan Ade‖(Wawancara dengan informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Tidak jauh berbeda seperti apa yang disampaikan informan DK: Pengen ngebantu orang tua aja bang, daripada saya diem di rumah, kan lumayan juga duitnya bang…buat bantu-bantu orang tua…‖(Wawancara dengan informan DK, Ciputat, 1 September 2014). Besarnya kasih sayang seseorang terhadap keluarga terkadang membuat mereka melakukan suatu pengorbanan, hal ini sering kali didasari oleh pengalaman hidup melihat orang yang dikasihi menanggung beban penderitaan yang berat, keadaan ini juga dialami oleh sebagian informan yang melakukan pengorbanan kepada keluarga terutama Ibunya untuk mencari uang dengan bekerja sebagai ―pak ogah‖ dalam usia dini agar dapat membantu mengurangi beban hidup keluarga. Hal ini juga sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan yang menjelaskan bahwa kebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan yang salah satunya adalah tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan Ibu (Suparlan, 1993:11). Besarnya penderitaan yang dialami sebagian para Ibu informan ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti meninggalnya tulang punggung keluarga (Bapak) dan ketidakmampuan Bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang diungkapkan informan BHR ―Ya niatnya sih buat bantuin orang tua…iya lagi Bapak meninggal kita kerja di sini, iya mau nggak mau‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat,
71
12 Agustus 2014). Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan informan RVL ―Iya ngeliat Ibu sendirian kasian nyari duit dewek, iya terdorong buat kerja jadinya‖(Wawancara dengan informan RVL, Ciputat, 1 September 2014). Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dengan alasan membantu ekonomi keluarga ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan Effendi (1992) dalam Suyanto (2013) yang mengungkapkan: Dalam masyarakat yang mengalami transisi pada golongan miskin di kota, mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan atau memburuk. Salah satu upaya yang acap kali dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita—terutama ibu rumah tangga—belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menompang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan yang ditekuni anak-anak ini tidak terbatas pada pekerjaan rumah tangga, tetapi juga pekerjaan upahan dalam lingkungan sekitar tempat tinggal (126-127). b. Pemenuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri Dari hasil temuan di lapangan, alasan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri (jajan) menjadi salah satu alasan informan untuk bekerja mencari uang. Pemenuhan kebutuhan konsumsi ini lebih kepada yang sifatnya sekunder, seperti jajan, bermain di Warnet, Playstation, membeli baju, membeli handphone dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara dan pengamatan menunjukan bahwa sebagian informan biasanya menggunakan pendapatanya untuk membeli rokok, tentu ini bukanlah hal yang baik untuk kesehatan anak-anak. Alasan untuk pemenuhan konsumsi sendiri bukan hanya menjadi alasan para informan yang berlatarbelakang dari keluarga ekonomi mampu saja yang secara
72
kebutuhan pokoknya tercukupi, tetapi ada juga sebagian para informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja mencari uang selain untuk membantu kebutuhan keluarga juga digunakan untuk kebutuhan konsumsi jajan mereka sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan FRK: Ya biar dapet uang jajan tambahan aja sama buat ngasih orang tua…ya kalo lebih bisa buat tambahan orang tua, ya kalo kurang ya buat sendiri…buat jajanjajan biasa aja…iya, buat ngerokok. Nggak ada sebungkus sehari, paling maksimal dua batang tiga batang(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Alasan para informan ini kurang sesuai dengan asumsi awal peneliti yang menganggap pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini merupakan pekerjaan yang digeluti oleh sebagian masyarakat yang tujuannya untuk mencari uang hanya sebatas untuk bertahan hidup, namun ternyata fakta di lapangan menunjukan bahwa terdapat informan baik dari sebagian informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dan seluruh informan yang berasal dari keluarga yang mampu, mereka bekerja dengan alasan mencari uang yang tujuanya untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif yang sifatnya sekunder saja. Seperti yang diungkapkan oleh AN: Alesanya, kemaun sendiri aja, biar mandiri juga. Lumayan juga kan duitnya buat jajan sehari-hari…ya buat makan, buat sekolah, buat acara-acara kebutuhan lainnyalah…mabok mah enggak, beli rokok doang paling, karena Bapak saya ngerokok saya jadi pengen, rokok minum makan buat ini-ini aja kalo markir mah...ditabung juga, misalkan nih lagi nabung pengen beli HP, pengen beli HP baru iya dari hasil ini(Wawancara pribadi dengan AN, Ciputat, 8 September 2014).
73
c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah Pemenuhan kebutuhan sekolah menjadi alasan para informan yang masih bersekolah baik yang berasal dari keluarga yang mampu maupun yang tidak mampu untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖. Bagi informan yang masih bersekolah dan berasal dari latar belakang tidak mampu bekerja sebagai ―pak ogah‖ merupakan salah satu cara mereka untuk tetap melanjutkan pendidikannya dan juga cara mereka untuk membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Bagi sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mereka bekerja dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan sekolah ini karena disebabkan oleh keterbatasan orang tua untuk mendanai pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Seperti yang diungkapkan informan MP ―Kemauan sendiri aja, ya supaya nambah-nambahin duit sekolah…kadang-kadang nggak cukup (penghasilan orang tua untuk biaya sekolah)‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September 2014). Meskipun para informan ini bekerja bukan berdasarkan keterpaksaan tetapi karena keinginan mereka sendiri, pada kenyataanya mereka juga harus menghadapi beban ganda antara bersekolah dan bekerja. Hal ini sesuai seperti yang dijelaskan dalam studi Suyanto: Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih putus sekolah di tengah (2010: 355). Para informan ini harus mengatur waktu antara bersekolah dan bekerja, serta bekerjanya mereka juga berdampak terhadap keseriusan mereka dalam menempuh
74
pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh informan AN ―Keganggu sih iya keganggu… waktu belajar berkurang, iya ngantuk di sekolah, kadang agak capek juga dirumah gitu, iya disekolah juga‖(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September 2014). Dan tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan informan MP ―Keganggu…tidur di kelas gara-gara cape markirin‖(Wawancara dengan informan MP, Ciputat, 8 September 2014). 2) Daya tarik pekerjaan ―Pak Ogah‖ Dalam temuan di lapangan menunjukan bahwa selain adanya faktor yang mendorong bekerja, peneliti juga menemukan bahwa adanya daya tarik yang mempengaruhi para informan ini untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga tetap mempertahankan pekerja ini sebagai pekerjaan keseharian mereka. Daya tarik yang dimaksud peneliti adalah kemampuan pekerjaan ―pak ogah‖ yang membuat para informan ini tertarik untuk menggelutinya. Adapun daya tarik dari pekerjaan ini antara lain: a. Kenyamanan Bekerja Faktor awal yang menarik informan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini adalah berasal dari lingkungan pertemanan atau lingkungan sosial sekitar mereka, semua informan mengatakan bahwa pada awalnya mereka terjun menjadi ―pak ogah‖ karena mereka melihat dan kemudian mengikuti ataupun diajak teman-teman sebayanya di lingkungan mereka yang sudah lebih dahulu bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini seperti yang disampaikan informan DK ―Diajakin temen bang, diajak
75
ke sini. Ngeliatin dulu dari temen-temen bang belajarnya‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar sosial juga dialami sebagaian besar para informan yang mempelajari pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ dari teman pergaulan di lingkungan mereka, karena di usia para informan ini dalam kesehariannya lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya, sehingga teman-teman para informan yang sudah bekerja lebih dulu akan menjadi contoh bagi para informan untuk mengeluti pekerjaan ini. Kemudian juga terdapatnya sebagaian kecil dari anggota keluarga informan yang ternyata juga bekerja sebagai ―pak ogah‖, hal ini juga menjadi salah satu pembelajaran para informan untuk mengenal dan belajar mencoba bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini juga sesuai dengan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa perilaku manusia dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi, elemen inti dari observasi adalah modeling (Feist, 2010: 203-206). Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi para informan bekerja ini juga sesuai dengan temuan peneliti sebelumnya yang dilakukan Rochatun (2012:29) yang mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja salah satunya adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang menyebabkan anak bekerja. Adanya teman sepermainan dan juga anggota keluarga yang juga bekerja inilah yang membuat mereka nyaman pada saat bekerja karena suasana lingkungan pekerjaan yang merupakan teman-teman di lingkungan sosial mereka yang sekaligus
76
teman bermain mereka dalam sehari-hari. Mayoritas informan juga mengungkapkan bahwa kenyamanan pada saat bekerja adalah faktor yang membuat mereka memilih pekerjaan ini dan tetap bertahan sebagai ―pak ogah‖. Seperti yang disampaikan informan AR: Enak bang, kerjanya sambil nongkrong, ngumpul-ngumpul. Ya enaknya nongkrong sama ngumpul sama temen-temen aja bang”(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014). Bagi para informan yang masih bersekolah mereka lebih menyukai dan lebih dekat dengan teman-teman yang juga bekerja sebagai ―pak ogah‖ dibandingkan dengan teman-teman sekolah, mereka biasanya lebih banyak menghabiskan waktu bermain dengan teman lingkungan pekerjaannya ini dibanding dengan teman sekolah. Begitupun dengan para informan yang sudah tidak bersekolah semua informan mengatakan bahwa mereka dalam kesehariaannya hanya bermain dengan teman-teman sebaya yang juga menggeluti pekerjaan ini saja. Selain karena faktor teman di lingkungan pekerjaan, faktor lainnya yang membuat mereka nyaman dengan pekerjaan ini adalah karena waktu dari pekerjaan ini tidak ada yang mengaturnya, sehingga mereka bekerja hanya berdasarkan kemauan dan kebutuhan diri mereka saja, alasan inilah yang juga membuat mereka tetap bertahan menggeluti ini. Hal ini disampaikan oleh informan DR ―Ya nyaman aja, nggak ada yang ngatur, banyak temen-temen‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan tidak jauh berbeda yang diungkapkan informan EG ―…enak
77
kerjanya nyantai, semau kita aja, mau dateng ya dateng, mau kaga ya kaga‖(Wawancara dengan EG, 1 September 2014). b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang dianggap sebagian orang merupakan pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat yang kurang mampu bersaing dalam pekerjaan formal dan hanya menghasilkan pendapatan yang hanya cukup untuk mempertahankan hidup, nyatanya di lapangan menunjukan bahwa mayoritas informan mengatakan mereka tertarik bekerja dan tetap bertahan bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini adalah karena faktor pendapatan yang diperoleh cukup untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan bersifat rutin. Hal ini diungkapkan informan AN: Awalnya di sini pertama ngeliat kaka, Abang-abangan, ngeliat ini markinin kayaknya enak, pengen nyoba sekali maksain modal nekat turun, ahkirnya bisa yaudah kalo bisa terusin aja…ya enak juga, enaknya dapet duit, duit harian jadi nambah gitu uang jajan nambah, jadi uang ada buat nabung ada buat jajan(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September 2014). Mereka yang awalnya melihat teman-teman mereka dan mengetahui pendapatan yang didapat cukup besar menyebabkan mereka tertarik bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini. Dengan pendapatan yang dapat dikatakan cukup besar bagi anakanak dan sifatnya rutin (Lihat Tabel III.A.6) membuat mereka tertarik untuk mencoba dan menggeluti pekerjaan ini.
78
c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar untuk Bekerja Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ bukanlah pekerjaan yang membutuhkan modal besar, mereka yang bekerja tidak memerlukan ijazah, keuangan yang cukup dan memiliki keahlian apapun seperti pada saat masuk ke dalam pekerjaan sektor formal pada umumnya. Pekerjaan ini adalah pekerjaan informal yang siapa saja bisa masuk kedalamnya dengan modal kepercayaan diri dan berani mereka bisa menggeluti pekerjaan ini. Mayoritas informan mengatakan bahwa yang membuat mereka tertarik untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini adalah karena pekerjaan ini tidak memerlukan modal dan keahlian. Hal ini disampaikan oleh informan EG ―Kaga punya bang (keahlian mengatur lalu lintas), modalnya mah percaya diri bae, kaga pake alat-alat, cuma pake priwitan, itu juga kadang-kadang kaga dibawa‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Selain itu, keterbatasan modal seperti pendidikan yang rendah dan keahlian yang dimiliki informan terbatas, mengakibatkan pilihan jenis pekerjaan mereka terbatas sehingga mereka masih tetap menggeluti pekerjaan ini. Para informan mengatakan bahwa keterbatasan untuk bekerja di tempat lain, utamanya pekerjaan formal mengakibatkan mereka masih tetap menggeluti pekerjaan tersebut, hal ini karena mereka yang usianya masih di bawah delapan belas tahun tentunya sulit mendapatkan pekerjaan formal dan terlebih lagi mereka yang hanya mengenyam pendidikan SD ataupun SMP. Hal ini diungkapkan oleh informan FRK ―Ya kalo misalkan ada kerjaan yang ijazahnya misalkan lulusan SD, SMP ya mau
79
aja‖(Wawancara pribadi dengan FRK, Ciputat, 8 september 2014). Keterbatasanketerbatasan yang dialami oleh informan ini sesuai dengan penjelasan Nurhayati bahwa: Bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian dan hanya memiliki sedikit modal memilih sektor informal sebagai alternative pekerjaan yang dijalaninya. Meskipun sektor informal sering dinilai sebagai pengambat dan harus ditertibkan, tapi beberapa riset menunjukan bahwa sektor ini menjadi pilihan bagi masyarakat miskin kota atau masyarakat migrant yang memiliki keterampilan dan modal rendah (2013:99) Penjelasan di atas juga menegaskan temuan di lapangan bahwa para ―pak ogah‖ anak ini mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mampu atau berada di garis kemiskinan. Selanjutnya, menurut Effendi (1995:34) Meskipun di satu sisi pekerjaan informal ini dapat mengurangi angka pengangguran, namun di sisi lain mereka yang bekerja di sektor informal juga dapat terbelenggu kemiskinan. Hal ini juga dapat dialami oleh para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖, ini disebabkan karena di usia mereka yang masih anak-anak kebanyakan mereka memilih untuk bekerja dan meninggalkan pendidikan mereka, sehingga hal ini menjadi salah satu yang menyebabkan mereka tetap berada dalam garis kemiskinan, karena disebabkan rendahnya tingkat pendidikan mereka.
80
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Gambaran ―pak ogah‖ anak di Ciputat memiliki beberapa karakteristik, antara
lain adalah semua merupakan anak laki-laki berusia antara 13 sampai 17 tahun yang berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Kebanyakan informan sudah putus sekolah di jenjang SMP, namun demikian terdapat sebagian atau minoritas informan yang masih bersekolah pada jejang SD, SMP dan SMA. Para informan sudah bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu sampai dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu. Penghasilan para informan ini beragam antara 5000 sampai 80.000 dalam sehari. Pekerjaan yang dilakukan para informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan berbahaya bagi anak, karena dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta berdampak pada keseriusan mereka dalam menempuh pendidikan. Dari segi latar belakang keluarga, mayoritas informan berasal dari latar belakang keluarga miskin atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya cenderung memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, terbatasnya konsumsi atau makan sehari-hari, terbatasnya akses terhadap kesehatan, terbatasnya tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, kurangnya pengasuhan oleh orang tua,
81
adanya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, serta tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Hanya sebagian kecil karakteristik sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan gambaran kehidupan keseharian para informan ini, seperti rendahnya partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam keluarga. Faktor pendorong yang menyebabkan para informan bekerja adalah berasal dari kemauan diri mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini disebabkan oleh tiga alasan: Pertama, karena untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga, alasan ini menjadi alasan mayoritas informan yang berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu, bentuk-bentuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga lebih kepada yang sifatnya primer seperti untuk makan sehari-hari. Kedua, karena untuk pemenuhan konsumsi (jajan) sendiri, alasan ini menjadi alasan bagi para informan yang berasal dari latar belakang keluarga mampu dan juga sebagian informan yang berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu, kebutuhan konsumsi jajan sendiri ini lebih kepada yang sifatnya sekunder seperti untuk jajan membeli rokok, bermain di warnet, dan membeli hadnpohe. Ketiga, untuk pemenuhan kebutuhan sekolah, alasan ini menjadi salah satu alasan baik informan yang berasal dari latar belakang keluarga mampu maupun tidak mampu yang masih bersekolah. Bagi sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu dan masih bersekolah, bekerja mencari uang adalah cara mereka untuk tetap
82
bersekolah dan membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Pemenuhan kebutuhan sekolah ini antara lain untuk membeli buku dan bayaran sekolah. Faktor yang menjadi daya tarik pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Pertama, kenyamanan bekerja, hal ini disebabkan karena lingkungan pekerjaan yang merupakan teman-teman sebayanya dan juga adanya beberapa
anggota
keluarga
informan
yang
juga
bekerja.
Para
informan
mengungkapkan bahwa mereka bekerja sebagai ―pak ogah‖ karena pada awalnya mereka melihat dan kemudian diajak ataupun ikut teman-teman sebayanya yang sudah terlebih dahulu menggeluti pekerjaan ini. Dalam hal ini teori belajar sosial menjelaskan bahwa perilaku manusia dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi, elemen inti dari observasi adalah modeling, dalam hal ini teman sebaya berpengaruh besar dan menjadi contoh bagi para informan untuk terjun mengeluti pekerjaan ini. Kemudian kenyamanan lainnya karena waktu bekerjanya tidak ada yang mengatur dan atas dasar kemauan dan kebutuhan mereka sendiri. Kedua, adanya penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ketiga, tidak membutuhkan keahlian dan juga modal besar, para informan hanya membutuhkan rasa percaya diri dan keberanian dalam menjalankan pekerjaan ini.
83
B.
Rekomendasi 1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggali lebih dalam dan memfokuskan pada aspek yang berbeda dari penelitian ini, seperti dari aspek hukum terkait fenomena pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ ini. 2. Bagi orang tua, hendaknya lebih memperhatikan dan melindungi hak-hak anak yang meliputi aspek pendidikan, bermain serta beristirahat bukan memperbolehkan anak bekerja pada sektor berbahaya di usia dini. 3. Bagi Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan, seharusnya dapat membuat kebijakan dan juga mengontrol ataupun mengawasi penerapan peraturan yang sudah ada terkait pekerja anak, sehingga dapat menjamin hak-hak anak baik dari segi sosial maupun pendidikan.
84
DAFTAR PUSTAKA Azis, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Badan Pusat Statistik. 2008. Data Strategis Badan Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia: Badan Pusat Statistik. Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Emzir. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. 2011. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Faisal, Sanapiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Feits, Jess. Dan Gregory J. Feits. 2010. Teori Kepribadian Theories of Personality. Terjemahan Shelvy Dwi Cahya. Jakarta: Salemba Humanika. Halim, Deddy Kurniawan. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta: Bumi Aksara. Lendriyono, Fauzik. 2000. ―Pekerja Anak Perempuan dan Pelecahan Seksual: Studi Kasus Tentang Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai Pelayan Minuman di Taman Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur.‖ Depok: Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Univeristas Indonesia. Montero, Darrel. 1986. Social Problem. New York: Macmillan Publishing Company. Nurhayati, Cucu. 2013. Sosiologi Perkotaan. Jakarta: UIN Jakarta Press. Silalahi, Karlinawati. 2010. Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Siswoyo, Murkanto. 1998. ―Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil: Studi Kasus Pada Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.‖ Depok: Tesis Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Progam Studi Sosiologi Universitas Indonesia.
vi
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soestrisno. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan. Yogyakarta: Philosophy Press. Suparlan, Pasurdi. 1993. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. ------. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. ------. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Suyono. dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori Dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Todaro, P. Michael dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Indonesia: Erlangga. Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka. Pemerintahan Kota Tangerang Selatan. 2014. Laporan Kependudukan Bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan: Pemerintahan Kota Tangerang Selatan. Sumber dari Internet: Azmi, Zul Ghozi. 2013. “Relasi Mutualisme ―Pak Ogah‖ dengan Polisi dalam Menjaga Keamanan Jalan Mayor Suryotomo, Kota Yogyakarta.‖ Diunduh 28 Februari 2014 (http://jakarta.kompasiana.com/layananpublik/2013/04/08/relasi-mutualisme-pak-ogah-dengan-polisi-dalam-menjagakeamanan-jalan-mayor-suryotomo-kota-yogyakarta-548977.html). Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. 2013.“Tangerang Selatan Dalam Angka.‖ Tangerang Selatan: Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. Diunduh 9 Juli 2014. (http://bappeda.bantenprov.go.id/upload/DALAM%20ANGKA%20KABKOTA/KOTA%20TANGERANG%20SELATAN%20DALAM%20ANGKA %202013.pdf).
vii
Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan Internasional. 2009. ―Pekerja Anak Di Indonesia 2009.‖ Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan Internasional. Diunduh 18 februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf). Endarwati, Netty. 2012. ―Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Di Sektor Informal.‖ Jurnal Dinamika Hukum. Vol 12 No. 2 Mei 2012. Universitas Islam Kediri. Diunduh 18 Maret 2014 (http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHMei201 2/7.pdf). International Labour Organization. 2010 ―ILO– BPS Keluarkan Data Nasional Mengenai Pekerja Anak di Indonesia.‖ Jakarta: International Labour 2014 Organization. Diunduh 18 Februari (http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm). ------. 2009. ―Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Pekerja Anak.‖ Jakarta: International Labour Organization. Diunduh 18 februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilojakarta/documents/publication/wcms_144313.pdf). ------. 2008. ―Lembar Fakta tentang Pekerja Anak Perempuan.‖ Jakarta: International Labour Organization. Diunduh 18 Februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_160832.pdf). ------. 2008. ―Panduan Tentang Pelaksanaan Pemantauan dan Pelaporan Penerima Manfaat Langsung.‖ Jakarta: International Labour Organization. Diunduh 18 Februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---robangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_124008.pdf Wcms_ 124008). Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan. 2014―Kabupaten Kota Tangerang Selatan.‖. Tangerang Selatan: Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan. Diunduh 11 Juli 2014(http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/36/name/banten/detail/3674/kota-tangerang-selatan). Rochatun, Isti, Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging. 2012. ―Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang.‖ Unnes Civic Education Journal 1, 2012. Diunduh 28 Februari 2014 (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ucej/article/view/226/256).
viii
Sardjunani, Nina. Subhandi, Ani Pudyastuti, dan Aini Harisani. 2010. ―Evaluasi Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga PraSejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-I/KS-I.‖ Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Bappenas. Diunduh 23 Desember 2014 (http://www.bappenas.go.id/files/3513/4986/1937/laporan-akhir-evaluasi-28jan-1__20110512124617__1.pdf). Subhan. 2009. ―Hak Anak dalam Islam.‖ Al-Arham Edisi 16. Diunduh Pada Tanggal 10 Desember 2014 (http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4 25:hak-anak-dalam-islam--al-arham-edisi-16-a&catid=19:alarham&Itemid=328). Tjahjanto, Eka. 2008. ―Implementasi Peraturan Perundang-udangan Ketenagakerjaan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak.‖ Tesis Univeristas Dipenogoro Semarang. Diunduh 28 Februari 2014 (http://eprints.undip.ac.id/17312/1/EKA_TJAHJANTO.pdf). Warsini, Sudarsono, dan Yuli Adiratna. 2005. ―Modul Penanganan Pekerja Anak.‖ Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Diunduh 18 Februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilojakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf). Wulan, Nawang Sri Dewi. 2007. ―Hubungan antara peranan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) dan Interaksi Siswa Dalam Keluarga Dengan Kedisiplinan Belajar Kelas XI MAN 1 Sragen.‖ Diunduh 30 Maret 2014 (http://eprints.uns.ac.id/8312/1/68492206200904181.pdf). Sumber dari Wawancara: Wawancara Pribadi dengan Informan AN, Ciputat, 8 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan AR, Ciputat, 1 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan BP, Ciputat, 22 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan DK, Ciputat, 1 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan EG, Ciputat, 1 September 2014.
ix
Wawancara Pribadi dengan Informan FRK, Ciputat, 8 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan MP, Ciputat, 8 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Informan RVL, Ciputat, 1 September 2014. Wawancara Pribadi dengan Pegawai Kecamatan Bagian Kesejahteraan Sosial, Ciputat, 30 Juni 2014.
x
Pedoman Wawancara I.
Identitas Responden 1. Nama 2. Jenis Kelamin 3. Usia 4. Agama 5. Suku 6. Anak ke 7. Jumlah Anggota Keluarga 8. Pendidikan Ayah 9. Pendidikan Ibu 10. Pekerjaan dan Penghasilan Ayah 11. Pekerjaan dan Penghasilan Ibu 12. Alamat 13. No Telpon/ HP
: : : : : : : : : : : : :
II. Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian 1. Apakah anda masih bersekolah? 2. Sudah berapa lama anda bekerja sebagai ―pak ogah‖? 3. Apa alasan yang mendorong anda bekerja sebagai ―pak ogah‖? 4. Apakah orang tua anda tahu jika anda bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana tanggapan orang tua anda? 5. Bagaimana awalnya bisa bekerja sebagai pak ogah, belajar dari siapa? 6. Apakah banyak anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di lingkungan tempat tinggal anda? 7. Selain anda, apakah ada anggota keluarga yang bekerja sebagai ―pak ogah‖? 8. Mengapa memilih bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana rasanya bekerja sebagai ―pak ogah‖? 9. Apakah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini pekerjaan tetap atau ada pekerjaan lain juga? 10. Apakah anda pernah bekerja di tempat lain selain menjadi ―pak ogah‖? 11. Apakah anda punya keahlian khusus untuk mengatur lalu lintas, apa saja modal yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖? 12. Dalam seminggu berapa hari bekerjanya? 13. Dalam sehari berapa jam bekerjanya? 14. Berapa pendapatan dalam sehari bekerja?
15. Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk apa? 16. Apakah anda menyetor pendapatan anda ke orang lain? 17. Di sini yang bekerja anak-anaknya banyak, bagaimana jadwal pergantian kerjanya? 18. Apakah anda bekerjanya pindah-pindah lokasi? 19. Biasanya bekerjanya pagi, siang, sore, atau malem? 20. Apa saja resiko yang dihadapi bekerja sebagai ―pak ogah‖? 21. Apakah penghasilan orang tua anda cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti untuk makan, pendidikan, dan kesehatan? 22. Apakah anda pernah mendapat bantuan seperti bantuan ekonomi, pendidikan dan kesehatan dari pemerintahan setempat seperti RT, RW atau Kelurahan? 23. Apakah di lingkungan tempat tinggal anda terdapat fasilitas umum seperti sarana pendidikan dan kesehatan? 24. Apakah anda mengikuti atau berpartisipasi ketika di lingkungan tempat tinggal anda mengadakan acara seperti pengajian, tujuh-belas agustusan dan sebagainya? 25. Bagaimana kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumah anda apakah kumuh dan padat penduduknya? 26. Dalam keluarga siapa yang berperan menafkahi keluarga dan yang mengatur keuangan rumah tangga? 27. Dalam keluarga anda apakah ada yang menikah di usia dini, bercerai atau berpisah, dan kurangnya pengasuhan dari orang tua? 28. Kegiatan apa yang biasanya dilakukan ketika habis bekerja sebagai ―pak ogah‖, apakah anda lebih banyak di rumah atau di luar rumah? 29. Apakah anda pernah mengalami atau merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan anda pada saat bekerja ataupun di rumah dan di lingkungan sosial anda sehingga anda merasakan menjadi tidak berdaya atau tidak berguna, pasrah, dan rendah diri? 30. Dalam pergaulan sehari-hari, apakah anda bergaul dengan teman yang sama dengan anda yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ atau bergaul dengan siapa saja termasuk dengan orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dari pada anda?
Foto Dokumentasi
1. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk tol BSD pada siang hari.
2. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di pertigaan antara jalan Merpati Raya dan Arya Putra pada sore dan malam hari.
Foto Dokumentasi
3. Dokumentasi pada saat wawancara dengan para informan di pertigaan jalan Cendrawasih Raya dan di pertigaan jalan Merpati Raya.
4. Dokumentasi kegiatan para informan dan teman-teman informan yang sedang menunggu bergantian bekerja dan dokumentasi pada saat melakukan observasi di rumah salah satu informan.