KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN PARAMETER JAMUR
NAILUL IZZAH
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN PARAMETER JAMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NAILUL IZZAH 1111095000008
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
i
KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN PARAMETER JAMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NAILUL IZZAH 1111095000008
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli NIP. 19720322 200212 2 002
Dr. Eko Pudjadi NIP. 19681107 199301 1 001
Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 19730923 199903 2 002
ii
PENGESAHAN UJIAN Skripsi yang berjudul “Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di Daerah Tangerang Selatan dengan Parameter Jamur” yang ditulis oleh Nailul Izzah, NIM 1111095000008 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Biologi.
Menyetujui, Penguji I
Penguji II
Priyanti, M.Si NIP. 19775056 200012 2 001
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli NIP. 19720322 200212 2 002
Dr. Eko Pudjadi NIP. 19681107 199301 1 001 Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi
Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 19730923 199903 2 002
iii
PENYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, April 2014
Nailul Izzah NIM. 1111095000008
iv
ABSTRAK NAILUL IZZAH. Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan di Daerah Tangerang Selatan dengan Parameter Jamur. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pencemaran udara di dalam ruang tunggu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Salah satu bioaerosol yang menyebabkan pencemaran udara adalah jamur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan jamur dan karakteristik jamur yang ditemukan di ruang tunggu Puskesmas, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi akibat jamur yang mungkin terjadi. Pencuplikan udara dilakukan di ruang tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan di Daerah Tangerang Selatan. Metode yang digunakan adalah pencuplikan udara menggunakan Single stage Multi-orifice Sampler Biostage Standard, kemudian sampel udara ditumbuhkan pada media Potato Dextose Agar. Terdapat 14 isolat jamur yang terisolasi, yaitu : Cladosporium sp., Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp.1, Fusarium sp., Paecilomyces sp., Rhizopus sp., Mucor sp., Neurospora sp., Saccharomyces sp., Cryptococcus sp., Candida sp1., Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. Hasil uji statistik Analisis Variansi dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang berpengaruh terhadap konsentrasi jamur sebesar 21,3%, sedangkan 78,8% dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sistem ventilasi, kondisi ventilasi, kondisi ruangan, kadar debu, material bangunan dan frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Hasil perbandingan konsentrasi jamur dengan standar World Health Organisation masih dibawah standar, yaitu kurang dari 500 CFU/m3 (432-495 CFU/m3). Ditemukan beberapa jamur udara yang diduga berpotensi pathogen berdasarkan jenis jamur udara patogenik, yaitu Aspergillus sp., Mucor sp. dan Candida sp. Kata kunci : Kualitas udara, Puskesmas, Bioaerosol, Jamur
v
ABSTRACT NAILUL IZZAH. Air Quality in the Waiting Room of Public Health Care Center with Inpatient Unit and without Inpatient Unit in the Region South of Tangerang with Fungi Parameter. Undergraduate Thesis. Department of Biology, Faculty of Science and Technology. Islamic State University Of Syarif Hidayatullah Jakarta. Air pollution in the public health care center may cause nosocomial infections. One of the bioaerosol air pollutants is fungi. The purposes of this research were to determine the presence of fungi and to analyze the characteristics of the fungi that found in the waiting room of public health care center, so the infections caused by fungi cloud be prevented and controlled. Air was sampled in the waiting room of public health care center with inpatient unit and without inpatient unit in the region South of Tangerang. The method used was Single Stage Multi Orifice Sampler Biostage Standard, and then fungi was cultured in Potato Dextose Agar. There were fourteen kinds of fungi which were: Cladosporium sp., Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp1., Fusarium sp., Paecilomyces sp., Rhizopus sp., Mucor sp., Neurospora sp., Saccharomyces sp., Cryptococcus sp., Candida sp1., Candida sp2. and Rhodoturula sp. The results of statistical analysis with 95 % level of significance showed there was no significant difference in the fungi concentration from waiting room of public health care center with inpatient unit and without inpatient unit in the region South of Tangerang. The temperature, humidity, light intensity and the quantity of people in waiting room of the effect on fungi concentration of 21,3%, while 78,8% are influenced by other factors, such as ventilation systems, ventilation conditions, the condition of the room, the amount of dust, material waking up and frequency of cleaning room. The result compared to World Health Organisation was still within standard level, specifically less than 500 CFU/m3 (432-495 CFU/m3). There were estimated potential pathogen fungi such as Aspergillus sp., Mucor sp. and Candida sp. Keyword : Air quality, Public Health Care Center, Bioaerosol, Fungi.
vi
KATA PENGANTAR Bismilaahirrohmanirrohiim
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah dan karunia-Nya, sehingga penulis telah menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul “Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di Daerah Tangerang Selatan dengan Parameter Jamur”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada
Nabi
Muhammad
SAW
yang
telah
memperjuangkan
kesempurnaan agama Islam. Terima kasih kepada keluarga saya, yaitu Ayah Sodikin, Bunda Warti, Lukman Nol Hakim, Muh Sahrul Hanif dan Ummi Ni’maun Nazza yang tidak henti-hentinya mengirimkan do’a dan motivasi hingga penulis tetap tegar dan tidak kenal putus asa. Dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini, tidak sedikit kendala yang penulis hadapi namun dengan keteguhan niat dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, diantaranya adalah : 1) Dr. Megga Ratnasari Pikoli dan Dr. Eko Pudjadi selaku pembimbing pertama dan kedua yang telah memberikan bimbingan pemikiran, saran, dan dorongan kepada penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga laporan hasil penelitian ini dapat terselesaikan.
vii
2) Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3) Dr. Dasumiati dan Ir. Etyn Yunita, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4) Mba Puji, Kak Bahri, Kak Amal dan Kak Festi yang telah memberikan nasihat dan arahan selama penulis penelitian. 5) Teman seperjuangan penelitian Shelfila, Rima dan Innes. Teman yang membantu pengambilan sampel Windi Prabowo, Udi, Iqbal dan Ichwan. Terima kasih atas kerja sama kalian. 6) Medina, Shelfi, Ai, Agil, Farhany, Putri dan Aldha yang selalu menemani dan memberikan semangat serta dukungan dalam penelitian dan penyelesaian laporan hasil penelitian ini. 7) Rekan-rekan Mahasiswa Biologi Fakultas Sains dan Teknologi angkatan 2011 yang selalu bahagia dan memberikan semangat kepada penulis. Semoga laporan hasil penelitian ini dapat bemanfaat bagi semua pihak dan semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan. Amin.
Jakarta, April 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ................................................................... iii PERNYATAAN ................................................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3. Hipotesis ............................................................................................... 5 1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 6 1.6. Kerangka Berfikir ................................................................................. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 8 2.1. Pengertian Pencemaran Udara .............................................................. 8 2.2. Pencemar Mikroba dalam Ruangan ...................................................... 9 2.3. Puskesmas Kota Tangerang Selatan ..................................................... 16 2.4. Peraturan Kualitas Udara dalam Ruangan ............................................ 17 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 21 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................ 21 3.2. Bahan dan Alat ..................................................................................... 21 3.3. Cara Kerja ............................................................................................. 21 3.3.1. Pembuatan Media PDA .............................................................. 22 3.1.2. Lokasi Sampling ........................................................................ 22 3.3.3. Protokol Sampling ...................................................................... 24
ix
3.3.4. Pengukuran Faktor Fisik dan Jumlah Orang dalam Ruangan .... 24 3.3.5. Perhitungan Koloni Jamur .......................................................... 25 3.3.6. Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur .......................... 25 3.4. Analisis Data ......................................................................................... 26 3.5. Bagan Alur Kerja .................................................................................. 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 30 4.1. Hasil Analisis Konsentrasi Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ............ 30 4.2. Isolat Jamur Udara Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ................................................ 32 4.3. Hasil Analisis Pengaruh Faktor Fisik Udara dan Jumlah Orang Terhadap Konsentrasi Jamur Udara dan Hasil Observasi pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan ............................. 49 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 59 5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 59 5.2. Saran ..................................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61 LAMPIRAN ......................................................................................................... 66
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Indeks Angka Kuman Menurut Fungsi Ruang atau Unit ........................ 17 Tabel 2. Standar Suhu, Kelembaban dan Tekanan Udara Menurut Fungsi Ruang atau Unit ................................................................................... 18 Tabel 3. Standar Intensitas Cahaya Menurut Fungsi Ruang atau Unit ................. 19 Tabel 4 Peraturan Bioaerosol pada Berbagai Negara ........................................... 20 Tabel 5. Fakor dan Parameter yang di Uji ............................................................ 27 Tabel 6. Hasil Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur ............................. 32 Tabel 7. Hasil Pengamatan Bentuk Hifa Aseksual ............................................... 38 Tabel 8. Kondisi Saat Sampling pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ................................................ 52
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Denah Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan ............................................................................ 23 Gambar 2. Denah Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan............................................................................ 23 Gambar 3. Persentase Keberadaan Isolat Jamur ................................................... 40
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil Analisis SPSS .......................................................................... 66 Lampiran 2. Foto Kondisi Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan ..................................... 72 Lampiran 3. Hasil Pengamatan Konsentrasi Jamur di Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat .................... 74 Lampiran 4. Hasil Pengukuran Faktor Fisik Udara Dan Jumlah Orang Pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan ........................ 74 Lampiran 5. Foto Koloni Jamur setelah di Inkubasi selama Tiga Hari ................ 75
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh keberadaan agen abiotik (partikel debu, kelembaban, suhu dan cahaya) dan agen biotik (jamur, bakteri, virus dan serbuk sari). Keberadaan agen biotik berupa mikroorganisme dalam ruangan terdapat pada tempat-tempat seperti sistem ventilasi, keset atau tempat lain. Agen biotik dalam udara disebut juga bioaerosol. Kehadiran bioaerosol dalam ruangan ini dapat menimbulkan kesakitan pada beberapa orang, yaitu menyebabkan alergi. Jamur merupakan salah satu dari bioaerosol. Jamur dalam udara umumnya dalam bentuk spora jamur. Kelembaban dan kehadiran jamur berhubungan erat dalam memicu timbulnya keluhan pernapasan pada penghuni ruangan tersebut. Selain itu, kelembaban juga berhubungan secara signifikan terhadap kejadian alergi pada anak-anak usia pra-sekolah (Sulistiowati, 2001). Rumah sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan pusat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medis dasar dan medis spesialistik, pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan, baik rawat jalan, rawat inap, maupun pelayanan instalasi. Output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan. Puskesmas merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial. Selain berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan, puskesmas juga tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, sehingga berpotensi menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan (Kepmenkes RI No. 1204, 2004).
1
2
Mikroorganisme dalam udara terdiri dari komposisi yang kompleks antara bioaerosol seperti jamur, bakteri dan partikel non biologi, seperti asap rokok, partikel pembakaran generator dan partikel debu. Lebih dari 80 genera jamur dihubungkan dengan kejadian gejala alergi. Beberapa genera jamur yang dihubungkan dengan kejadian gejala alergi, yaitu Cladosporium, Alternaria, Aspergillus dan Fusarium. Aktivitas manusia seperti berbicara, batuk, berjalan adalah sebagian aktivitas yang dapat menghasilkan partikel biologi di udara. Spora jamur dapat melekat pada pot tanaman, debu, tekstil, karpet dan material kayu yang berada diruangan (Maeir et al., 2002). Udara dalam ruangan atau indoor air menurut National Health Medical Research Council (NHMRC) (1989) adalah udara yang berada dalam ruang gedung (rumah, sekolah, restoran, hotel, rumah sakit dan perkantoran) yang ditempati sekelompok orang dengan tingkat kesehatan yang berbeda-beda selama minimal satu jam. Menurut Environmental Protection Agency of America (EPA) (2010), polusi udara dalam ruangan berisiko terhadap kesehatan manusia. Kualitas udara dalam ruangan 2-5 kali lebih buruk dibandingkan udara di luar ruangan (lingkungan bebas). Menurut Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit atau Puskesmas, perlu dilakukan pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran udara di Rumah Sakit atau Puskesmas termasuk salah satunya keberadaan mikroorganisme. Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang amat penting dengan fungsi, sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan
tingkat
pertama
yang
menyelenggarakan
kegiatannya
secara
3
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Kepmenkes RI, 2010). Puskesmas berbasis disetiap kelurahan. Puskesmas di daerah Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas yang terdiri dari 18 Puskesmas Perawatan dan 7 Puskesmas Non-Perawatan. Puskesmas Perawatan memiliki fasilitas ruang rawat inap dengan pelayanan jam buka 24 jam, serta dilengkapi dengan ruangan khusus, seperti ruang operasi, ruang laboratorium dan ruang roentgen, sedangkan Puskesmas Non-Perawatan hanya meliputi pelayanan rawat jalan tanpa adanya sarana rawat inap dan memiliki jam buka 8 jam. Menurut Badan Pusat Statistika (BPS) (2013), Kota Tangerang Selatan memiliki jumlah penduduk 1.443.403 jiwa dan Puskesmas memiliki nilai 63% sebagai tempat pelayanan kesehatan yang dikunjungi oleh penduduk Tangerang Selatan. Keberadaan Puskesmas yang dekat dan terjangkau menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk solusi masalah kesehatan. Hal ini yang menjadi dasar penelitian tentang kualitas udara dilakukan di Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, pada ruang tunggu Puskesmas Tangerang Selatan adalah tempat berkumpul yang dipadati oleh pengunjung Puskesmas, yang meliputi pasien dan keluarga pengantar pasien. Sekitar 300 orang/hari pasien dan keluarga pengantar pasien berada di ruang tunggu Puskesmas menunggu antrean periksa. Keadaan ini menyebabkan ruangan menjadi sesak, sedikitnya ruang gerak dan dapat berpotensi besar terjadinya penularan penyakit melalui udara dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya. Hal ini yang menjadi dasar penelitian tentang kualitas udara pada
4
ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan. Penelitian sebelumnya tentang kualitas udara dengan parameter jamur di Rumah Sakit telah dilakukan oleh Iq (2014) dan Merlin (2012), yang pada keduanya ditemukan jenis jamur Aspergillus sp., Mucor sp., dan Rhizopus sp. Penelitian tentang kualitas udara dengan parameter jamur pada Puskesmas belum pernah diteliti, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang kualitas udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan. Penelitian tentang kualitas udara di Puskesmas menjadi penting dilakukan karena udara merupakan salah satu media perpindahan bagi mikroba penyebab infeksi dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya. Partikel yang sangat kecil berpotensi mengandung spora jamur yang dapat menyebabkan infeksi jika memasuki sistem pernafasan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu pengambilan sampel jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas agar dapat diketahui keberadaan jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan.
5
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah ada perbedaan konsentrasi jamur di udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan? 2. Apakah konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dipengaruhi oleh kualitas fisik udara (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang? 1.3 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan konsentrasi jamur di udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. 2. Konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dipengaruhi oleh kualitas fisik udara (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kualitas udara melalui konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
6
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak Puskesmas tentang kualitas udara dengan parameter jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Selain itu, dapat memberikan informasi kepada pengunjung Puskesmas, pasien dan paramedis untuk meningkatkan kewaspadaan serta melakukan cara pencegahan agar terhindar dari terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya.
7
1.6 Kerangka Berfikir
Pencemaran udara ruang tunggu Puskesmas
Metode:
Kepmenkes RI No 1204 tahun 2004 Pengendalian kualitas udara mikrobiologis ruang tunggu
WHO: Mold and Dampness, Indoor a Air Quality 2009
Variabel Bebas:
Kepmenkes RI No. 1335 tahun 2002 NIOSH 0800 Bioaerosol Sampling SKC Biostage Standard
Variabel Terikat:
1. Suhu udara Konsentrasi Jamur
2. Kelembaban udara 3. Intensitas cahaya 4. Jumlah orang dalam ruangan
Analisa: • Karakteristik morfologi jamur • Analysis of variance (ANOVA) • Korelasi
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pencemaran Udara Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia. Bila keadaan seperti itu terjadi maka udara dikatakan telah tercemar (Achmadi, 2005). Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimaksukannya zat, energi atau komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya. Pencemaran udara menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2004) diartikan sebagai terjadinya kontaminasi atmosfir oleh gas, cairan maupun limbah padat serta produk samping dalam konsentrasi dan waktu yang sedemikian rupa, sehingga menciptakan gangguan, kerugian atau memiliki potensi merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda serta menciptakan ketidaknyamanan. Pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar baik dalam bentuk gas maupun partikel kecil atau aerosol kedalam udara. Masuknya zat pencemar kedalam udara dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat
8
9
gunung berapi, debu meteorit dan pancaran garam dari laut; juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat aktivitas transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran serta kegiatan rumah tangga (Setyaningsih¸ 2003). 2.2 Pencemar Mikroba dalam Ruangan Mikroorganisme yang berasal dari luar misalnya serbuk sari, jamur dan spora, yang bisa juga berada di dalam ruangan. Selain itu cemaran dalam ruangan yang berasal dari mikroorganisme dalam ruangan seperti serangga, jamur pada ruangan yang lembab, bakteri. Mikroorganisme yang tersebar di dalam ruangan dikenal dengan istilah bioaerosol (Pudjiastuti et al., 1998). Bioaerosol adalah mikroorganisme yang terdapat dalam udara. Contoh bioaerosol di udara bakteri (Legionella, Actinomycetes), jamur (Histoplasma, Alternaria,
Pencillium,
Aspergillus,
Stachybotrys),
protozoa
(Naegleria,
Acanthamoeba), virus (Bakteriofage). Pada jumlah terbatas, keberadaan bioaerosol tidak akan menimbulkan efek apapun, akan tetapi dalam jumlah tertentu dan terhirup akan menimbulkan infeksi pernapasan misalnya asma, alergi (Pollard et al., 2005). Bioaerosol terdapat pula di atmosfir, akan tetapi keberadaannya tidak dapat bertahan lama di atmosfir karena kurangnya nutrien dan adanya pengaruh radiasi ultraviolet cahaya matahari. Namun beberapa organisme dapat membentuk spora sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama. Spora ini umumnya dapat menyesuaikan diri dalam dispersi udara dan dapat ditemukan pada ketinggian diatas 2000m (Peavy, 1985).
10
Udara bukan tempat alamiah mikroba karena itu bentuknya vegetatif akan cepat musnah, terutama di udara bebas, yang lebih dapat bertahan adalah spora dan virus. Lamanya mikroba berada di udara tergantung dari kecepatan angin serta kelembaban udara, sedangkan banyaknya sangat ditentukan oleh aktivitas lingkungan setempat, misalnya diatas tanah yang subur akan didapat lebih banyak mikroba dibandingkan dengan udara diatas tanah yang tertutup tanaman. Atas dasar tersebut dapat dimengerti bahwa penularan penyakit lewat udara bebas sulit terlaksana, kecuali apabila penyakit yang disebabkan oleh mikroba berspora dan virus (Brooks et al., 2005). Unsur mikroba yang dapat mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan adalah jamur. Fungi atau jamur mempunyai peranan dalam kesehatan atau disebut mikosis baik bersifat patogen yang bisa menyebabkan sakit maupun sebagai penyebab alergi. Sebagai negara tropis dengan kelembaban 60-80%, Indonesia adalah surga bagi pertumbuhan berbagai jenis jamur. Secara alamiah mikroorganisme tidak ada di udara, karena udara bukan habitat mikroorganisme. Mikroorganisme berada di udara karena terbawa angin bersama partikel debu atau untuk sementara mengapung di udara (Brooks et al., 2005). Udara bukan habitat hidup asli dari mikroba, namun aktivitas manusia baik disengaja maupun tidak membantu terciptanya media hidup sementara di udara, misalnya kelembaban yang terjadi saat manusia bernapas atau bersin, lemari atau alas ruangan yang basah, tumpukan buku-buku, tanaman dalam ruangan dan lain lain (Brooks et al., 2005).
11
EPA (2010) mengilustrasikan bahwa kebocoran pipa air yang hanya berupa tetesan air dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan jamur. Permukaan furnitur, dinding atau lantai harus kering dan bebas dari genangan air atau kondisi basah. Karpet atau benda-benda dalam ruangan yang sudah berjamur harus segera dikeluarkan karena berakibat pada perubahan kualitas mikrobiologi udara. Konsentrasi mikroba dalam ruangan akan bertambah banyak pada ruangan yang kondusif untuk pertumbuhannya misalnya dari kelembaban, suhu dan aktifitas manusianya. Material biologi yang mengalir di udara dan bertumpuk di ruangan dan menutupi permukaan interior akan menyebabkan perubahan kualitas udara dalam ruangan. Sedikit saja sumber karbon dan air di ruangan akan menjadi media pertumbuhan mikroorganisme (Pudjiastuti et al., 1998). 2.2.1 Pencemar Mikrobiologi Jamur Mikroorganisme berikutnya yang dapat menimbulkan permasalahan dalam hubungannya dengan kesehatan udara dalam ruang adalah pertumbuhan jamur. Karena dalam pertumbuhannya jamur akan menghasilkan vegetasi, material organik, mampu menghasilkan mikotoksin, yaitu substansi yang toksik terhadap manusia apabila terhirup, tertelan dan bersentuhan dengan kulit (Elsberry, 2007). Pencemar udara mikrobiologis terdiri dari jamur dan bakteri. Jamur adalah polutan udara dalam ruangan yang paling penting dan sedikit dimengerti kebanyakan orang. Jamur ada dimana-mana pada lingkungan manusia. Sporanya melimpah-limpah di udara, pada permukaan, di dalam debu, dan dalam air. Jamur dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan sangat penting sebagai sumber
12
patogen. Jamur dikonsumsi dalam makanan dan metabolismenya digunakan untuk obat-obatan, antibiotik misalnya (Miller et al., 2005). Mikroba pencemar udara dapat berupa kapang dan khamir. Khamir: fungi (jamur) bersel satu; berbentuk bulat, oval, atau silindris; berdiameter 3-5 μm; sebagian berkembang biak dengan membelah diri, dan sebagian lain berkembang biak dengan membentuk tunas. Habitat umumnya pada makanan. Kapang: fungi (jamur) berfilamen. Satu filamen disebut hifa; kelompok hifa yang tumbuh pada suatu media disebut miselium. Hifa terbentuk dari spora jamur. Spora berdiameter 3-30 μm. Habitat umumnya pada kayu dan kertas (Haisley et al., 2002). Spora jamur diproduksi oleh jamur secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual yang membentuk sel tunggal. Spora seksual adalah hasil rekombinasi dari dua sel. Kebanyakan jamur yang mencemari udara dalam ruangan berasal dari reproduksi aseksual, dengan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah menjadi hifa yang menyatu. Tahap aseksual dengan cepat menghasilkan spora yang menjadi koloni jamur. Pada tahap seksual terjadi ketika kondisinya menguntungkan, dan menghasilkan spora yang lebih tahan lama dan dapat menyebar ke lingkungan dengan jarak yang sangat jauh (Haisley et al., 2002). 2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Jamur merupakan organisme heterotrof yang berarti membutuhkan sumber karbon organik dari luar. Untuk menunjang kelangsungan hidupnya, jamur seperti halnya organisme lain membutuhkan kondisi-kondisi fisiologis tertentu yang sesuai dengan keadaannya. Kondisi fisiologis tersebut meliputi kondisi nutrisi
13
yang harus tersedia dan keadaan fisik yang dapat menunjang kehidupannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur, yaitu kebutuhan air, suhu pertumbuhan, kebutuhan oksigen, pH, substrat (media), komponen penghambat (Srikandi, 1993). Kebanyakan jamur membutuhkan air lebih sedikit untuk pertumbuhannya dibandingkan khamir dan bakteri. Air berperan dalam reaksi metabolik didalam sel dan merupakan alat pengangkut zat gizi atau bahan buangan kedalam dan keluar sel, jika air mengalami kristalisasi dan membentuk es atau terikat secara kimia dalam gula atau garam maka air tersebut tidak dapat digunakan lagi. Jamur bersifat heterotrofik, memerlukan selapis air disekitar hifanya untuk tumbuh sehingga jika bersaing dengan mikroorganisme lain maka jamur akan kalah. Jumlah air dalam makanan disebut aktivitas air (aw) merupakan perbandingan tekanan uap pelarut (umumnya air), sebanding dengan kelembapan relative (RH) dari udara atmosfir (Srikandi, 1993). Kebanyakan jamur bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan jamur adalah sekitar 2530°C, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37ºC atau lebih tinggi, misalnya Aspergillus. Beberapa jamur bersifat psikrotropik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu almari es dan beberapa bahkan masih dapat tumbuh lambat pada suhu dibawah suhu pembekuan, misalkan pada suhu -5ºC sampai -10ºC. Beberapa jamur juga bersifat termofilik, yaitu dapat tumbuh pada suhu tinggi (Srikandi, 1993). Semua jamur bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan jamur dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas,
14
yaitu pH 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Srikandi, 1993). Pada umumnya jamur dapat menggunakan berbagai komponen makanan dari yang sederhana sampai komplek. Kebanyakan jamur memproduksi enzim hidrolitik misalnya amylase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, protein, pectin dan lipid (Srikandi, 1993). Beberapa jamur mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya. Komponen ini disebut antibiotik. Beberapa komponen lain bersifat mikostatik, yaitu penghambat pertumbuhan jamur atau fungisidal membunuh
jamur.
Pertumbuhan
jamur
biasanya
berjalan
lambat
bila
dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri dan khamir. Jika kondisi pertumbuha memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, jamur biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali jamur dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dapat berlangsung dengan cepat (Srikandi, 1993). 2.2.3 Penyakit Akibat Jamur Penyakit yang berhubungan dengan bioaerosol dapat berupa penyakit infeksi seperti flu, hipersensitivitas: asma, alergi, dan juga toxicoses, yaitu toksin dalam udara di ruangan yang terkontaminasi sebagai penyebab gejala SBS (Sick Building Syndrome).‘Sick building syndrome’ adalah sindrom penyakit yang diakibatkan oleh kondisi gedung. SBS merupakan kumpulan gejala-gejala dari suatu penyakit. Definisi SBS adalah gejala yang terjadi berdasarkan pengalaman para pemakai gedung selama mereka berada di dalam gedung tersebut. Gejala
15
SBS antara lain: sakit kepala, kehilangan konsentrasi, tenggorokan kering, iritasi mata dan kulit. Beberapa bentuk penyakit yang berhubungan dengan SBS: iritasi mata dan hidung, kulit dan lapisan lendir yang kering, kelelahan mental, sakit kepala, ISPA, batuk, bersin-bersin, dan reaksi hipersensitivitas (CIAR, 1996). Kontak antara manusia dan mikroorganisme tidak dengan sendirinya secara klinis mengakibatkan perkembangan penyakit. Terjadinya
infeksi
tergantung sebagian pada karakterstik mikroorganisme, termasuk ketahanan terhadap virulensi intrinsik, dan jumlah bahan infektif. Banyak jenis bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh dari orang lain di rumah sakit (infeksi silang) atau mungkin disebabkan oleh flora pasien sendiri. Beberapa organisme dapat diperoleh dari benda mati atau infeksi dari lingkungan (Fletcher et al., 2010). Beberapa jenis jamur yang biasa ditemui pada udara dalam ruang dan menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia adalah Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, Penicillium, dan Stachybotrys. Hanya sebagian kecil yang dapat menginfeksi manusia, namun banyak yang dapat tumbuh pada bangunan dan mempunyai potensi untuk mengurangi kualitas udara dalam ruangan (Fletcher et al., 2010). Efek kesehatan yang merugikan yang disebabkan jamur adalah reaksi alergi, efek beracun iritasi dan infeksi. Penyakit Pulmonary aspergillosis atau Aspergillosis paru disebabkan oleh terhirupnya spora dari Aspergillus sp di lingkungan yang diperkirakan memasuki gedung rumah sakit melalui saluran
16
ventilasi (Fletcher et al., 2010). Akan tetapi, adanya pertumbuhan jamur tidak selalu orang yang berada di daerah tersebut akan menunjukkan efek kesehatan yang negatif. Risiko paparan tertentu dapat signifikan dalam jangka panjang khususnya individu dengan kondisi kesehatan yang mendasarinya seperti asma, sistem imun, atau alergi (Eduard, 2009). 2.3 Puskesmas Kota Tangerang Selatan Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (Kepmenkes RI, 2010). Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008, tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang kesehatan.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan Memiliki 25 Puskesmas terdiri dari 18 Puskesmas Perawatan dan 7 Puskesmas Non Perawatan dan 1 Rumah sakit umum daerah yang saat ini sedang dalam proses pembangunan adalah RSUD Kota Tangerang Selatan. Puskesmas Perawatan memiliki fasilitas ruang rawat inap dengan pelayanan jam buka 24 jam, serta dilengkapi dengan peralatan medis canggih, sedangkan Puskesmas NonPerawatan hanya meliputi pelayanan rawat jalan tanpa adanya sarana rawat inap dan memiliki jam buka 8 jam (Dinkes Tangsel, 2012).
17
2.4 Peraturan Kualitas Udara dalam Ruangan Pengaturan lingkungan
perawatan harus
dilakukan dengan baik.
Lingkungan sebagai tempat berkumpul orang memungkinkan terjadinya peningkatan interaksi antara orang yang terinfeksi dan orang-orang beresiko terinfeksi. Pasien dengan infeksi dirawat di rumah sakit atau mikroorganisme patogen merupakan sumber potensial dari infeksi baik pada pasien maupun staf. Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1204/Menskes/SK/X/2004, persyaratan kualitas udara dengan indeks angka kuman pada ruangan rumah sakit atau Puskesmas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indeks Angka Kuman Menurut Fungsi Ruang atau Unit No. 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Ruang atau unit
Konsentrasi maksimum mikroorganisme per m3 udara (CFU/m3) 10 200 200-500 200 200 200 200 200-500 200 200-500 200-500 200 200-500 200
Operasi Bersalin Pemulihan/Perawatan Observasi bayi Perawatan bayi Perawatan prematur ICU Jenazah, autopsi Penginderaan medis Laboratorium Radiologi Sterilisasi Dapur Gawat darurat Administrasi, pertemuan, 15. 200-500 ruang tunggu 16. Ruang luka bakar 200 Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004
18
Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 mensyaratkan penghawaan, suhu dan kelembaban udara untuk masing-masing ruang rumah sakit atau Puskesmas. Ruang-ruang tertentu seperti ruang operasi, Perawatan bayi, laboratorium, perlu mendapat perhatian yang khusus karena sifat pekerjaan yang terjadi di ruangruang tersebut. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit/Puskesmas, persyaratan dengan indeks Persyaratan penghawaan yang meliputi standar suhu, kelembaban, dan tekanan udara untuk masing-masing ruang atau unit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Standar Suhu, Kelembaban dan Tekanan Udara Menurut Fungsi Ruang atau Unit No. Ruang atau Unit
Suhu (ºC)
Kelembaban (%)
Tekanan
1.
Operasi
19-24
45-60
Positif
2.
Bersalin
24-26
45-60
Positif
3.
Pemulihan/ perawatan
22-24
45-60
Seimbang
4.
Observasi bayi
21-24
45-60
Seimbang
5.
Perawatan bayi
22-26
35-60
Seimbang
6.
Perawatan premature
24-26
35-60
Positif
7.
ICU
22-23
35-60
Positif
8.
Jenazah, Autopsi
21-24
-
Negatif
9.
Penginderaan medis
19-24
45-60
Seimbang
10.
Laboratorium
22-26
35-60
Negatif
11.
Radiologi
22-26
45-60
Seimbang
12.
Sterilisasi
22-30
35-60
Negatif
13.
Dapur
22-30
35-60
Seimbang
14.
Gawat darurat
19-24
45-60
Positif
15.
Administrasi, 21-24 pertemuan, ruang tunggu
45-60
Seimbang
Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004
19
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/Menskes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit/Puskesmas, persyaratan standar intensitas cahaya pada ruangan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Intensitas Cahaya Menurut Fungsi Ruang atau Unit No. Ruangan atau Unit 1.
2. 3.
Ruang pasien - saat tidak tidur - saat tidur Ruang Operasi umum Meja operasi
Intensitas Cahaya (Lux)
Keterangan Warna cahaya sedang
100-200 maksimal 50 300-500 10.000- 20.000
Warna cahaya sejuk atau sedang tanpa bayangan
4. 5. 6. 7.
Anastesi, pemulihan 300-500 Endoscopy 75- 100 Sinar X Minimal 60 Koridor, ruang tunggu, Minimal 100 Pada malam hari administrasi kantor dan toilet 8. Ruang alat/ gudang, Minimal 200 farmasi dan dapur 9. Ruang isolasi khusus 0,1- 0,5 Warna cahaya biru penyakit tetanus 10. Ruang luka bakar 100-200 Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004 World Health Organisation (WHO) memperkirakan sekitar 400-500 juta orang khususnya di negara-negara
berkembang saat ini menghadapi masalah
polusi udara di dalam ruangan dan diperkirakan setiap tahunnya dari sekitar 3 juta kematian akibat polusi udara, 2,8 juta di antaranya akibat polusi udara dalam ruangan serta 0,2 juta lainnya akibat polusi udara luar ruangan. Studi Indoor Air yang dilakukan EPA menemukan bahwa udara dalam ruangan 100 kali lebih berbahaya dibandingkan udara luar. Peraturan tentang konsentrasi mikroba udara yang dibuat oleh beberapa negara dan organisasi dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Peraturan Bioaerosol pada Berbagai Negara (Sumber : Mandal dan Brandl 2011) Negara Bakteri Fungi Total bioaerosol Sumber 3 3 (CFU/m ) (CFU/m ) (bakteri+fungi) Brazil 750 de Aquino Nelo, 2004 Indonesia 500 Kepmenkes, 2004 Canada 150A KH,Barlett, 2003 B China 2500-7000 Gony, RL, 2004 Finlandia 4500 A.Nevalainen, 1989 Germany 10000 IFA, 2004 D Korea 800 Jo WK Seo YJ, 2005 C Portugal 500 Pegas PN, 2010 Belanda 10000E 10000 Heida, H, 1995 Rusia 2000EduwardW, 2009 10000B Swiss 1000 Opliger, A, 2005 USA 100 ACGIH, 2009 Uni Eropa 10000C 10000C OSHA, 2008 D D 2000 2000 A Catatan: untuk campuran spesies, B bergantung pada spesies fungi, C rumah tangga, D lokasi ruang Non-industrial, Earea komposting.
21
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Sampling udara dilakukan di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan dan di ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat, Tangerang Selatan. Pengamatan dan analisa jamur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Laboratorium Terpadu (PLT), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2 Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Single Stage Multi Orifice Sampler SKC Biostage Standard, pompa vakum dengan laju alir udara sebesar 28,3 L/menit, tripod, stopwatch, cawan petri, bunsen, sprayer, cool box, laminar air flow, Erlenmeyer, inkubator (Memmert), autoklaf (ALP), Hot plate (Thermoline), mikroskop (Merk Olympus dan Novel), plastik wrapping, kaca pr eparat, cover glass, Counter, Luxmeter dan Hygrometer. Bahan yang digunakan antara lain media Potato Dextose Agar (PDA Oxoid), alkohol 70% dan aquades. 3.3 Cara Kerja Cara kerja yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pembuatan media PDA, lokasi sampling, protokol sampling, pengukuran faktor fisik dan jumlah orang dalam ruangan, perhitungan koloni jamur, pengamatan morfologi jamur dan identifikasi jamur. Cara kerja tentang pengukuran kualitas udara ini dipandu dengan buku Indoor Air Quality (NIOSH, 1989).
21
22
3.3.1 Pembuatan Media PDA Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan medium untuk menunjang pertumbuhan fungi yang dilengkapi dengan asam atau antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Pembuatan medium, yaitu dengan cara melarutkan PDA Oxoid sebanyak 39 gram ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan aquades sebanyak 1000 ml, setelah itu dipanaskan diatas hot plate diikuti oleh pangadukan dengan menggunakan magnetic stirrer. Setelah dipanaskan hingga larutan homogen dan menjadi bening kekuning-kuningan larutan PDA kemudian didinginkan. Kemudian dimasukan ke dalam autoklaf untuk proses sterilisasi dilakukan selama 15 menit dengan suhu 121oC. Kemudian dibuat agar plate pada cawan petri steril. 3.3.2 Lokasi Sampling Lokasi sampling dilakukan di dua jenis Puskesmas, yaitu di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan dan di ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Teknik sampling dilakukan secara acak, kemudian pencuplikan dilakukan 2 kali pada setiap ulangan. Sampling dilakukan 3 kali ulangan, yaitu pada hari senin tanggal 8, 15, 22 Desember 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada jam kunjung teramai, yaitu pukul 08.00-11.00 WIB. Jam kunjung teramai sama dengan jumlah orang terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas. Pembuatan batas ruangan tunggu seperti di denah, dapat mempermudah dalam perhitungan luas area pada ruang tunggu Puskesmas. Denah ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan ditunjukan pada Gambar 1 sebagai berikut :
23
Keterangan : A : Ruang pendaftaran B : Ruang periksa gigi C : Ruang periksa anak D : Ruang UGD E : Ruang periksa dewasa F : Apotek : Kursi : Ruang tunggu periksa 1 : Ruang tunggu periksa 2
Gambar 1 Denah Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan Denah ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan ditunjukan pada Gambar 2 sebagai berikut :
Gambar 2 Denah Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Keterangan : A : Ruang radioterapi G : Ruang loket : Kursi B : Ruang vaksin pendaftaran : Ruang tunggu periksa 1 C : Apotek H : Ruang KB : Ruang tunggu periksa 2 D : Ruang periksa anak I : Ruang Gizi : Ruang tunggu Apotek E : Ruang UGD : Ruang tunggu Pendaftaran F : Ruang periksa dewasa
24
3.3.3 Protokol Sampling Protokol sampling metode Air Sampler NIOSH 0800 mengenai Bioaerosol Indoor Air dan panduan manual Single stage Multi-orifice Sampler SKC Biostage Standard. Media PDA pada cawan petri yang telah disterilkan, serta alat dan bahan lainnya dipersiapkan dan dibawa ke lokasi sampling ruang tunggu Puskesmas. Sampler dihubungkan ke tripod dengan ketinggian 1,2 -1,5m di atas lantai. Pompa vakum dikalibrasi dan diatur laju aliran udara menjadi 28,3 Liter/menit. Semua permukaan sampler disterilkan terlebih dahulu dengan menyemprotkan alkohol 70%. Sampling udara dimulai dan penghitungan waktu bersamaan dengan penyalaan pompa. Waktu pengambilan sampel sesuai dengan metode Natioanal Institute of Accupational Safety and Health (NIOSH) tentang Manual Analytic Method yang telah ditentukan, yaitu selama 5 menit. Setelah selesai periode sampling, pompa dimatikan, lalu cawan petri dilepaskan dari alat, ditutup kembali dan dibungkus dengan menggunakan plastik wrapping. Sampel pada cawan diinkubasi selama 3-5 hari dengan suhu 27ºC. 3.3.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Jumlah Orang dalam Ruangan Prosedur pengukuran kualitas fisik udara sesuai dengan Kepmenkes No. 1335 tahun 2002. Alat pengukuran faktor fisik dihindarkan dari panas sinar matahari langsung. Pengukuran dilakukan sampai menunjukkan angka yang stabil lalu dilakukan pencatatan. Faktor fisik yang diukur adalah suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Pengukuran faktor fisik dilakukan pada setiap pencuplikan pada ruang tunggu. Suhu dan kelembaban udara diukur
25
menggunakan alat Weathermeter. Intensitas cahaya diukur menggunakan alat Luxmeter. Perhitungan jumlah orang dalam ruang tunggu dihitung dengan menggunakan alat Counter, perhitungan dimulai saat pencuplikan hingga selesai pencuplikan dengan durasi sekitar 20 menit. 3.3.5 Perhitungan Koloni Jamur Setelah dilakukan pengambilan sampel dan pembiakan selama ±72 jam, dilakukan perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media agar dan kemudian dilakukan perhitungan koloni jamur per volume udara (CFU/m3) (NIOSH, 1989). Konsentrasi koloni jamur pada ruang tunggu dengan rumus sebagai berikut: CFU Jumlah koloni pada media agar (CFU) = m3 Volume udara m3 volume udara (m3 ) = lama pengambilan sampel (menit) x 0.082
m3 menit
3.3.6 Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur Setelah koloni jamur tumbuh, kemudian dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis meliputi bentuk morfologi dan warna koloni bagian atas (top side) dan bawah cawan petri (reverse side), warna hifa, miselium dan jumlah koloni (Gandjar et al., 1999). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan cara kaca objek dan kaca penutup dibersihkan dengan alkohol 70%. Miselium yang telah berporulasi diambil dan diurai dengan ose. Setelah itu kaca penutup diletakkan diatas permukaan preparat lalu diamati morfologi selnya di bawah mikroskop, dan difoto. Identifikasi jamur berdasarkan pengamatan morfologi koloni dan hifa jamur berdasarkan Gandjar et al., (1999), John dan Roland (2007) dan jurnal-jurnal identifikasi jamur.
26
3.4 Analisis Data Pengambilan keputusan untuk melihat data berdistribusi normal, yaitu data konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas diuji dengan uji normalitas. Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak. H0 = Data konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan berdistribusi normal. H1 = Data konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan tidak berdistribusi normal. Data yang didapatkan, yaitu hasil perhitungan konsentrasi jamur dianalisis dengan menggunakan uji Analisi Variasi (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dengan signifikansi =0,05. Pengambilan keputusan untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh faktor Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat terhadap konsentrasi jamur dianalisis menggunakan ANOVA. Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak. H0 = Tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
27
H1 = Ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Tabel 5. Fakor dan Parameter yang di Uji Faktor
Y = (Parameter Variabel Terikat)
Kelembaban
1. Puskesmas Perawatan Konsentrasi Jamur 2. Puskesmas Non-Perawatan
X = (Parameter Variabel Bebas) Suhu
Intensitas cahaya Jumlah orang dalam ruang tunggu
Pengambilan keputusan untuk melihat data berdistribusi normal, yaitu data faktor fisik (kelembaban udara, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang dengan konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas diuji dengan uji normalitas. Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak. H0 = Data faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan berdistribusi normal. H1 = Data faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan tidak berdistribusi normal. Pengambilan keputusan untuk melihat persamaan antara veriabel bebas (faktor fisik dan jumlah orang) dan variable terikat (konsentrasi jamur), dilakukan uji korelasi Pearson dengan variabel terikat Y adalah konsentrasi jamur, variable
28
terikat bebas X1 adalah suhu udara, X2 adalah kelembaban udara, X3 adalah intensitas cahaya dan X4 adalah variebel jumlah orang. Untuk mengetahui pengaruh faktor fisik dan jumlah orang terhadap konsentrasi jamur dan dianalisis dengan uji regresi linear berganda. Pengambilan keputusan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan faktor fisik (kelembaban udara, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang dengan konsentrasi jamur pada ruang tunggu diuji dengan uji regresi linear berganda atau uji korelasi. Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak. H0 = Tidak ada hubungan yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. H1 = Ada hubungan yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Kriteria R dalam tabel korelasi sebagai berikut (Sudarmanto, 2005): 1. 0-0,20= Korelasi Sangat rendah 2. 0,21-0,40= Korelasi Rendah 3. 0,41-0,60= Korelasi Sedang 4. 0,61-0,80= Korelasi Tinggi 5. 0,81-1= Korelasi sangat tinggi
29
3.5 Bagan Alur Kerja
Survey Penelitian
Persiapan Alat dan Bahan
Pembuatan Medium PDA
Pengujian Kualitas Udara Mikrobiologis
Pengambilan Data Pendukung
Sampling Jamur Udara
Inkubasi Sampel selama 35 hari ± 27 0C
Pemeriksaan Mikrobiologi: 1. Perhitungan Jumlah Koloni 2. Pengamatan Morfologi Koloni Jamur
Pengukuran Faktor Fisik: 1. Suhu 2. Kelembaban Udara 3. Intensitas cahaya
Analisis Data
Pencatatan Keadaan saat Sampling: 1. Jumlah Orang dalam Ruang Tunggu 2. Kondisi Ruang Tunggu
30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Konsentrasi Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Penelitian sebelumnya tentang kualitas udara dengan parameter jamur pada ruang tunggu Puskesmas belum pernah diteliti, namun penelitian tentang kualitas udara dengan parameter jamur di ruang rawat inap suatu rumah sakit telah diteliti oleh Iq (2014) dan Merlin (2012). Pengambilan sampel dilakukan pada jam kunjung teramai, yaitu pukul 08.00-11.00 WIB. Penelitian sebelumnya tentang pengambilan sampel kualitas udara dengan parameter jamur dilakukan pada jam kunjung teramai telah dilakukan oleh Iq (2014) dan Merlin (2012). Jam kunjung teramai sama dengan jumlah orang terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas. Waktu tersebut berpotensi terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya. Aktivitas manusia dalam ruang tunggu Puskesmas seperti berbicara, batuk, berjalan adalah sebagian aktivitas yang dapat menghasilkan partikel biologi di udara (Maeir et al., 2002). Berdasarkan hasil analisis uji normalitas diketahui bahwa nilai signifikansi konsentrasi jamur adalah 0,694, suhu 0,729, kelembaban udara 0,329, intensitas cahaya 0,580 dan jumlah orang 0,431 yang seluruhnya melebihi 0,05, sehingga dapat dikatakan H0 diterima, yaitu data yang diolah merupakan data berdistribusi normal. Kurva uji normalitas diketahui bahwa data menyebar disekitar kurva dengan mengikuti model regresi, sehingga dapat dikatakan data yang diolah merupakan data berdistribusi normal.
30
31
Standar yang tercantum di Kepmenkes RI No. 1204 tahun 2004 merupakan standar untuk angka kuman atau angka mikroorganisme (bakteri dan jamur). Tidak terdapat acuan standar untuk spesifik konsentrasi jamur maksimum yang diperbolehkan pada ruang tunggu Puskesmas. Oleh karena itu, konsentrasi jamur hasil pengukuran di dalam ruang tunggu Puskesmas yang diukur, dibandingkan dengan menggunakan acuan World Health Organisation (WHO) tahun 2009 tentang Mold and Dampness Indoor Air dengan nilai maksimum 500 CFU/m3. Hasil pengukuran konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan memiliki rentang 177-594 CFU/m3 dan memiliki rata-rata 432 CFU/m3. Hasil pengukuran konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan memiliki rentang 297-989 CFU/m3 dan memiliki rata-rata 495 CFU/m3. Rata-rata hasil pengukuran konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan masih dibawah standar kualitas jamur di udara yang ditentukan oleh WHO tahun 2009, yaitu 500 CFU/m3. Konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas dianalisis dan dibedakan berdasarkan faktor Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan. Hasil perhitungan statistik dengan pengujian ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan hasil tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan, dengan nilai signifikansi 0,619 yang melebihi 0,05, (H0 diterima). Penelitian sebelumnya Iq
32
(2014) dan Merlin (2012) menunjukan hasil yang sama, yaitu tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada jam kunjung dan bukan jam kunjung. 4.2 Isolat Jamur Udara Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Berdasarkan pengamatan jamur secara makroskopik dan mikroskopik dapat dideskripsikan dengan panduan buku kapang tropik umum Gandjar et al., (1999), John dan Roland (2007) dan jurnal identifikasi jamur, sehingga didapatkan identikasi jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Hasil pengamatan morfologi dan identifikasi Jamur dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut : Tabel 6. Hasil Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur No. isolat
Pengamatan Keterangan Makroskopik
Mikroskopik
1.
a b
Cladosporium sp.
c
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 196 Warna koloni : hijau Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : bundar Diameter : 0,4-2,3 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (Ari dan Shanti, 2001). a. Konidia : bulat dan semibulat b. Konidiofor : tunggal c. Hifa septum
33
2.
a b
c
Aspergillus niger
Jumlah koloni total : 50 Warna koloni : hitam Warna tepi : putih Bentuk koloni : irreguler Diameter : 0,7-3,8 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Wuryanti, 2008). a. Konidia : bulat dan semibulat b. Konidiofor : tunggal c. Hifa septum
Perbesaran 200x 3.
a b
Aspergillus fumigatus
c Perbesaran 200x
4.
a b
c Aspergillus sp.1
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 73 Warna: hijau lumut Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irregular Diameter : 0,6-2,2 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Eni, 2007). a. Konidia : bulat dan semibulat b. Konidiofor : tunggal c. Hifa septum Jumlah koloni total : 3 Warna koloni : hitam Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irreguler Diameter : 3 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Ari dan Shanti, 2001). a. Konidia : bulat dan semibulat b. Konidiofor : tunggal c. Hifa septum
34
5.
a b Fusarium sp.
Perbesaran 400x
6.
a b
c Paecilomyces sp.
Jumlah koloni total : 6 Warna koloni : merah muda Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irreguler Diameter : 0,3-0,9 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Ilyas, 2007). a. Konidia : bulan sabit b. Konidiofor : bercabang Jumlah koloni total : 29 Warna koloni : hijau muda Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irreguler Diameter : 1,2-2,9 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). a. Konidia : bulat dan semibulat b. Vesikel c. Konidiofor : tunggal d. Hifa septum
Perbesaran 400x 7.
Rhizopus sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 46 Warna koloni : putih Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irreguler Diameter : 1-5 cm Sporangiofor : tunggal Sporangium : bulat Hifa tidak berseptum Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Ari dan Shanti, 2001).
35
Jumlah koloni total : 78 Warna koloni : putih Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : bulat Diameter : 0,7-1,8 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). (Ilyas, 2007). a. Spora b. Sporangiofor : tunggal c. Sporangium : bulat d. Hifa tidak berseptum
8.
a
c
b
d Mucor sp. Perbesaran 200x 9.
b a
c
Jumlah koloni total : 24 Warna koloni : orange Warna tepi : putih Warna miselium : putih Bentuk koloni : irregular Diameter : 1-5 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (John dan Roland, 2007). a. Konidia : bulat b. Konidiofor : tunggal c. Hifa septum
Neurospora sp. Perbesaran 200x 10.
a
Saccharomyces sp.
b
Perbesaran 1000x
Jumlah koloni total : 238 Warna : putih mengkilap Bentuk koloni : bulat Diameter : 0,2-0,8 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (Ari dan Shanti, 2001). a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Pembelahan sel khamir
36
11.
Cryptococcus sp.
Perbesaran 1000x
12.
Candida sp.1
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 11 Warna koloni : kuning mengkilap Bentuk koloni : bulat Diameter : 0.5-1.3 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Pembelahan sel khamir Jumlah koloni total : 4 Warna koloni : krem mengkilap Bentuk koloni : bulat Diameter : 0.2-0.6 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (Merlin, 2012). a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Pembelahan sel khamir
13.
Candida sp.2
Perbesaran 200x
14.
Rhodoturula sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 21 Warna koloni : krem mengkilap Bentuk koloni : irreguler Diameter : 0.5-1.2 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (Merlin, 2012). a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Pembelahan sel khamir Jumlah koloni total : 8 Warna koloni : merah muda mengkilap Bentuk koloni : bundar Diameter : 0.3-0.7 cm Referensi identifikasi : (Gandjar et al., 1999). (Iq, 2014). a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Hifa khamir
37
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni dan identifikasi jamur (Tabel 6), dapat diketahui warna koloni jamur berbeda-beda akan tetapi warna dasar miselium koloni jamur yang hampir sama, yaitu berwarna putih. Hasil pengamatan jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan diperoleh 14 isolat jamur dengan ciri morfologi yang berbeda. Jamur jenis kapang didapatkan pada isolat nomor 1-9 dan jamur jenis khamir didapatkan pada isolat nomor 10-14. Isolat jamur memiliki bentuk koloni bundar dan sebagian yang berbentuk irregular. Bentuk koloni jamur yang irreguler dapat tumbuh diseluruh permukaan agar cawan seperti isolat Rhizopus sp. Diameter koloni terbesar Neurospora sp., yaitu mencapai 5 cm, sedangkan diameter koloni terbesar Candida sp.1, yaitu 0,2 cm. Perbedaan ciri morfologi pada isolat jamur merupakan suatu identitas dari masing-masing jenis jamur sehingga dapat diidentifikasi jenis jamur. Jumlah total koloni dari masingmasing jenis jamur yang ditemukan, dapat menunjukkan dominansi penyebaran jenis jamur di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopik jamur dapat dibedakan dan identifikasi dari bentuk hifa aseksual. Bentuk hifa aseksual pada jamur merupakan ciri khas suatu jamur. Hifa aseksual pada jamur berfungsi untuk menghasilkan spora-spora dalam jumlah yang banyak. Spora aseksual yang berukuran kecil dapat tertiup angin dan dapat tumbuh membentuk koloni jamur pada tempat-tempat yang mendukung kelangsungan hidup bagi jamur tersebut. Bentuk hifa aseksual jamur pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7.
38
Tabel 7. Hasil Pengamatan Bentuk Hifa Aseksual Konidiofor
Sporangiofor
Blastospora
Aspergillus niger
Mucor sp.
Cryptococcus sp.
Ket : a. Konidia b. Vesikel c. Konidiofor d. Kepala konidia
Ket : a. Spora b. Sporangiofor c. Sporangium
Ket : a. Sel khamir semibulat (blastospora) b. Pembelahan sel khamir
Bentuk hifa aseksual yang didapatkan pada penelitian, yaitu konidiafor, sporangiofor dan blastospora. Bentuk hifa aseksual konidiofor memiliki struktur konidia yang berbentuk oval, semibulat, atau bulat dan ada yang membentuk rantai. Konidia melekat pada fialid (sel konidiogenus) dan fialid melekat pada bagian ujung konidiofor yang mengalami pembengkakan yang disebut vesikel. Fialid dapat melekat langsung pada vesikel (tipe sterigmata uniseriat) atau dapat melekat pada struktur metula (tipe sterigmata biseriat). Jenis jamur yang hifa aseksualnya berbentuk konidiofor dalam penelitian ini adalah Cladosporium sp., Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp.1, Fusarium sp., Paecilomyces sp. dan Neurospora sp. Bentuk hifa aseksual sporangiofor memiliki spora yang berbentuk bulat. Hifa yang panjang tumbuh menjulang yang berfungsi mendukung pertumbuhan sporangium. Spora bersel satu yang terbentuk di dalam sporangium. Jenis jamur yang hifa aseksualnya berbentuk sporangiofor dalam
39
penelitian ini adalah Rhizopus sp. dan Mucor sp. Bentuk hifa aseksual blastospora hanya terdapat pada jenis jamur khamir. Spora pada khamir berada pada kuncup atau tunas sel-sel khamir. Hal ini menjadikan bentuk sel khamir bulat atau semibulat. Jenis jamur yang hifa aseksualnya berbentuk blastospora dalam penelitian ini adalah Saccharomyces sp., Cryptococcus sp., Candida sp.1, Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. (Pelczar et al., 2008). Nomor isolat 1 sampai dengan 9 merupakan jamur jenis kapang. Kapang merupakan jenis fungi multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Di bawah mikroskop dapat dilihat bahwa kapang terdiri dari benang yang disebut hifa, kumpulan hifa ini dikenal sebagai miselium. Kapang tersebut mudah dijumpai pada bagian-bagian ruangan yang lembab, seperti langit-langit bekas bocor, dinding yang dirembesi air, atau pada perabotan lembab yang jarang terkena sinar matahari (Lampiran 2). Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual. Spora aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1-10 μm) dan ringan, sehingga penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan aliran udara, apabila spora tersebut terhirup oleh manusia dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan gangguan kesehatan (Pelczar et al., 2008). Nomor isolat 10 sampai dengan 14 merupakan jamur jenis khamir. Khamir merupakan jenis fungi uniseluler. Istilah khamir umumnya digunakan untuk bentuk-bentuk yang menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak
40
berfilamen tetapi uniseluler berbentuk semibulat dan bulat. Bentuk khamir dapat bulat cembung sampai semibulat, kadang dapat membentuk miselium semu. Ukuran juga bervariasi. Struktur yang dapat diamati meliputi dinding sel, sitoplasma, vakuol air, globula lemak dan granula. Kebanyakan khamir melakukan reproduksi secara aseksual melalui pembentukan tunas secara multilateral ataupun polar. Reproduksi secara seksual menghasilkan askospora melalui konjugasi dua sel atau konjugasi dua askospora yang menghasilkan sel anakan kecil (Pelczar et al., 2008). Berdasarkan jumlah koloni setiap jamur yang ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan, dapat diketahui persentase setiap jamur yang tumbuh dan memiliki tingkat kehadiran yang dominan. Hal tersebut dapat menunjukkan jamur yang dominan keberadaannya di ruang tunggu Puskesmas, sehingga dapat diwaspadai dan dicegah terkait infeksi yang mungkin terjadi. Persentase keberadaan jamur yang mendominasi dari hasil pengukuran di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dapat dilihat pada Gambar 4.2 sebagai berikut:
Gambar 3 Persentase Keberadaan Isolat Jamur
41
Berdasarkan Gambar 3, persentase keberadaan jamur dominan yang tumbuh pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan. Total jenis isolat jamur yang ditemukan pada kedua ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan adalah 14 jenis isolat jamur. Jenis jamur Neurospora sp. hanya ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur, sedangkan jenis jamur Aspergillus sp.1, Cryptococcus sp., Candida sp.1, Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. hanya ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat. Jenis jamur yang memiliki persentase keberadaan tertinggi adalah Saccharomyces sp. Persentase Saccharomyces sp. pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 23,6% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 36%. Jenis jamur ini memiliki spora aseksual yang diproduksi dalam jumlah banyak, berukuran kecil dan ringan, serta tahan terhadap keadaan kering. Spora ini mudah beterbangan di udara (Sjamsuridzal, 2006). Hal ini yang dapat membuat Saccharomyces sp. memiliki persentase keberadaan tertinggi pada udara ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Jenis jamur dominan selanjutnya adalah isolat 1, yaitu Cladosporium sp. Persentase Cladosporium sp. pada Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 29,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 21,2%.
Koloni
Cladosporium sp. memiliki warna hijau kehitaman dan memiliki konidia gelap berpigmen yang terbentuk dalam rantai sederhana atau bercabang. Cladosporium sp. hidup sebagai parasit dan sebagai saprofit pada tanaman mati. Spora jamur ini
42
yang tersebar oleh angin membuat penyebarannya sangat berlimpah di udara bebas (Jeffrey, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni dan identifikasi jamur (Tabel 6), isolat Aspergillus sp. ditemukan dengan ciri-ciri yang berbeda, yaitu pada isloat 2 (Aspergillus niger), isolat 3 (Aspergillus fumigatus) dan isolat 4 (Aspergillus sp.1). Jenis jamur Aspergillus yang paling dominan adalah Aspergillus fumigatus dengan nilai presentase pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 10,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 8,6%. Jenis jamur Aspergillus sp.1 hanya ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat dengan persentase sebesar 0,7%. Aspergillus sp. merupakan jenis jamur yang sering menimbulkan infeksi penyakit. Berbagai penyakit berkaitan dengan jamur jenis ini. Aspergilosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus. Jamur ini terdapat di alam bebas, sehingga sporanya sering diisolasi dari udara. Aspergillus termasuk jamur kontaminan. Spesies yang sering dianggap penyebab penyakit adalah A. fumigatus, A. niger dan A. flavus. Cara infeksi tergantung lokasi yang diinfeksi ada beberapa bentuk, yaitu Aspergilosis kulit, Aspergilosis sinus, Aspergilosis paru dan Aspergilosis sistemik (Jeffrey, 1996). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2013), menunjukkan jenis jamur dari genus Aspergillus yang dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) adalah Aspergillus fumigatus. ABPA ditemukan pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10% penderita fibrosis kistik. Spora Aspergillus fumigatus sangat kecil berukuran 3-5 μm sehingga akan dapat mencapai saluran napas distal jika spora atau miselia ataupun antigen Aspergillus tersebut terhirup.
43
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mangunnegoro (2008), menunjukkan Aspergillus fumigatus dapat menyebabkan infeksi paru hingga 90%. Gambaran klinis bisa berupa pneumoni (radang paru-paru), dalam parenkim paru-paru terjadi bulatan granulomatosa yang dapat sembuh dan terjadi klasifikasi membentuk coin lesion. Sputum biasanya mukopurulen dan kadang-kadang terdapat bercak darah. Penyebaran secara hematogen biasanya ke ginjal dan organ-organ lain. Aspergillus
fumigatus
terbukti
menghasilkan
endotoksin
yang
mampu
menghemolisis eritrosit manusia dan hewan. Jamur A. fumigatus ternyata memang merupakan yang paling sering menimbulkan aspergilosis pada manusia. Jamur Aspergillus lain yang menyebabkan Aspergilosis pada manusia ialah Aspergillus niger, Aspergillus flavus dan Aspergillus nidulans. Hal ini menunjukkan bahwa Aspergillus sp. merupakan salah satu jenis jamur yang paling sering ditemukan dan penyebab kontaminasi udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Jenis jamur dominan selanjutnya adalah isolat Mucor sp. dan Rhizopus sp. Persentase Mucor sp. pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 14.4% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 6%. Persentase Rhizopus sp. pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 5,4% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 6,2%. Mucor sp. dan Rhizopus sp. masuk ke dalam golongan Zygomycetes. Infeksi yang disebabkan oleh berbagai jamur kontaminan, yaitu Aspergillus, Candida, Mucor, Rhizopus dan Penicillium disebut otomikosis. Jamur penyebab otomikosis merupakan jamur kontaminan yang terdapat di udara bebas. Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Jamur
44
dapat masuk ke dalam liang telinga melalui alat-alat yang dipakai untuk mengorek-ngorek
telinga
yang
terkontaminasi,
melalui
udara
atau
air
(Gandahusada et al., 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Edward dan Irfandy (2012), kasus otomikosis pada seorang wanita umur 41 tahun ditemukan jenis-jenis jamur Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Aspergillus terreus, Candida albicans dan Candida parapsilosis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2005), dari kultur biakan yang diambil dari penderita otomikosis didapatkan isolate-isolat jamur Aspergillus niger (52,43%), Aspergillus fumigatus (34,14%), C.albicans (11%), C.pseudotropicalis (1,21%) dan Mucor sp. (1,21%). Hal ini perlu diwaspadai oleh pasien, keluarga pengantar pasien dan paramedis Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan karena ditemukan genera jamur penyebab penyakit otomikosis. Hasil penelitian ini menemukan jamur Fusarium sp., persentase keberadaannya terendah, yaitu pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 1,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 0,5%. Fusarium adalah salah satu genus jamur berfilamen yang hidup dan berkembangbiak di batang tanaman dan di permukaan tanah. Keadaan ruang tunggu pada kedua Puskesmas berjarak cukup jauh dari tanaman dan tanah hal ini memungkinkan Fusarium sp. ditemukan dalam jumlah yang sedikit dan menjadi presentase keberadaannya terendah. Golongan Fusarium dicirikan dengan struktur tubuh berupa miselium bercabang, hialin, dan bersekat (septat) dengan diameter 2-4 µm. Jamur ini juga memiliki struktur fialid yang berupa monofialid ataupun polifialid dan berbentuk soliter atau merupakan bagian dari sistem percabangan yang kompleks. Reproduksi aseksual jamur ini menggunakan mikrokonidia yang
45
terletak pada konidiospora yang tidak bercabang dan makrokonidia yang terletak pada konidiospora bercabang dan tak bercabang. Makrokonidia dibentuk dari fialid, memiliki struktur halus serta bentuk silindris, dan terdiri dari 2 atau lebih sel yang memiliki dinding sel tebal. Mikrokonidia yang dihasilkan umumnya terdiri dari 1-3 sel, berbentuk bulat atau silinder, dan tersusun menjadi rantai atau gumpalan (Gandjar et al., 1999). Hasil penelitian ini menemukan jenis jamur Candida sp., keberadaannya sering ditemukan pada setiap cawan petri sampel jamur udara pada kedua ruang tunggu Puskesmas. Jamur dari genus Candida dapat berpotensi menimbulkan penyakit pada manusia. Menurut Crofton et al., (2001), menunjukkan 50% penderita Tuberkulosis (TB) paru bisa dijumpai Candida albicans dalam dahak mereka, sehingga untuk menetapkan bahwa seseorang menderita Kandidiasis bronkial harus diperiksa dan dijumpai kepositifan organisme ini di dahak secara berulang-ulang. Gambaran radiologik foto dada biasanya normal atau dijumpai pengaburan berupa garis di lapangan tengah dan bawah paru. Pasien yang menderita kandidiasis paru biasanya tampak lebih sakit, mengeluh demam dengan pernapasan dan nadi yang cepat. Selain itu muncul batuk, hemaptoe, sesak dan nyeri dada. Pada foto dada biasa tampak pengaburan dengan batas tidak jelas terutama di lapangan bawah paru. Bayangan lebih padat atau efusi pleura bisa juga dijumpai pada foto dada. Diagnosis dengan menemukan jamur Candida di sputum serta kultur yang positif dengan medium Agar Sabouraud. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (2010), dari 131 bahan dahak penderita TB yang diteliti, didapatkan jamur Candida spp. dengan frekuensi terbanyak (40,45%), diikuti berturut-turut oleh Aspergillus spp., (19,84),
46
Zygomycetes (6,87%), Norcardi spp., (2,29%), Geotrichum (1,52) dan lain-lain (1,55%). Penularan TB paru terjadi melalui batuk, bersin, berbicara atau meludah. Data penderita TB di Puskesmas Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan sekitar 23%. Hal ini perlu diwaspadai pada para pengunjung Puskesmas Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dikarenakan ditemukan jenis-jenis jamur dari penyakit TB ini. Hasil penelitian ini menemukan jenis jamur Cryptococcus sp., presentase keberadaan jamur ini tidak begitu dominan karena hanya ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat dengan presentase sebesar 2,6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Efida dan Desiekawati (2010), jenis jamur dari genus Cryptococcus yang dapat menyebabkan kriptokokosis adalah Cryptococcus neoformans. Jamur Cryptococcus neoformans dapat tumbuh di permukaan tanah. Transmisi penyakit ini terjadi secara inhalasi melalui basidiospora yang terhirup bersama udara dan debu lingkungan yang terkontaminasi, kemudian masuk ke paru. Penyakit ini dapat mengenai penderita dengan sistem imun rendah umumnya penderita HIV/AIDS. Tes aglutinasi tabung mendeteksi hanya 30% pasien dengan Cryptococcus, immunofluorescence assay (IFA) mendeteksi 38% kasus dengan Cryptococcus. Fluktuasi konsentrasi partikel bioaerosol yang signifikan di ruangan rumah sakit atau Puskesmas dapat berhubungan dengan variasi penghuni ruangan seperti pasien (dengan berbagai macam penyakit), paramedis, dan pengunjung serta kegiatan yang dilakukan (Li dan Hou, 2003). Pengambilan sampel udara harus secara teratur dilakukan untuk beberapa tujuan, seperti epidemiologi,
47
pengawasan, penelitian, keselamatan atau tujuan kontrol kualitas udara (Joseph dan Anjali, 2006).
4.3 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Fisik Udara dan Jumlah Orang Terhadap Konsentrasi Jamur Udara dan Hasil Observasi pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Berdasarkan analisis uji regresi linier berganda atau uji korelasi diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang, dengan nilai signifikansi suhu adalah 0,329, kelembaban udara 0,323, intensitas cahaya 0,527 dan jumlah orang 0,827 yang seluruhnya melebihi 0,05 (H0 diterima) (Lampiran 1). Hasil angka R sebesar 0,461, menunjukkan korelasi (keeratan hubungan) antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang adalah korelasi sedang. Hasil uji regresi menunjukkan angka R Square sebesar 0,213, hal ini berarti 21,3% konsentrasi jamur dapat dijelaskan oleh variasi keempat variabel bebas yang meliputi suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang, sedangkan 78,8% dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sistem ventilasi, kondisi ventilasi, kondisi ruangan, kadar debu, material bangunan dan frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Sistem ventilasi mempengaruhi sirkulasi udara dan laju aliran udara yang berpotensi membawa mikroorganisme di udara dan mempengaruhi konsentrasi jamur di udara. Sistem ventilasi pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan menggunakan sistem
48
ventilasi pasif. Sistem ventilasi pasif adalah sistem aliran udara yang didapat dari alam atau lingkungan bebas, yaitu lubang angin atau jendela pada sisi dinding yang berhadapan serta sejajar dengan arah angin lokal. Hal ini dapat berpotensi masuknya mikroorganisme dan spora jamur dari lingkungan bebas ke dalam ruang tunggu Puskesmas. Kondisi ventilasi yang berdebu dapat mempengaruhi kualitas udara. Sistem ventilasi dan kondisi ventilasi dapat memberi dampak kepada penghuni ruangan tersebut (Sulistiowati, 2001). Konsentrasi mikroba dalam ruangan
akan
bertambah banyak pada ruangan
yang kondusif
untuk
pertumbuhannya. Material biologi yang mengalir di udara dan bertumpuk di ruangan dan menutupi permukaan interior akan menyebabkan perubahan kualitas udara dalam ruangan. Sedikit saja sumber karbon dan air di ruangan akan menjadi media pertumbuhan mikroorganisme (Pudjiastuti et al., 1998). Kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan yang berbatasan langsung dengan lahan parkir dapat mempengaruhi kualitas udara dan konsentasi jamur udara dalam ruang tunggu Puskesmas. Masuknya asap kendaraan ke dalam ruangan meningkatkan kadar debu dalam ruangan. Partikulat Respirable Suspended Particulate (RSP) atau partikulat debu dapat mengandung mikroorganisme dan spora jamur yang dapat terhirup oleh manusia. Partikulat RSP dapat terakumulasi di dalam paru-paru, oleh karenanya efek yang disebabkan oleh partikulat ini bisa sangat berbahaya walaupun konsentrasinya di udara sangat kecil. Di dalam paruparu, partikulat RSP dapat menetap lama dan mampu mempengaruhi jaringanjaringan disekitarnya (Spengler et al., 2001).
49
Jamur merupakan organisme saprofit, yaitu dapat memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Jamur juga merupakan organisme heterotrof yang berarti membutuhkan sumber karbon organik dari luar (Pelczar et al., 2008). Material bangunan dan benda pada ruang tunggu Puskesmas yang mengandung karbon organik dapat dijadikan tempat pertumbuhan jamur dan dapat mempengaruhi konsentrasi jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas. Material bangunan dan benda yang mengandung karbon organik yang dapat dijadikan tempat pertumbuhan jamur, yaitu bangku kayu ruang tunggu Puskesmas, lemari kayu, langit-langit ruangan, filter udara, keset kain, tumpukan kertas dan lain-lain (Lampiran 2). Kondisi tersebut memiliki potensi sebagai sumber kontaminasi jamur di dalam ruang tunggu Puskesmas. Frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan juga dapat mempengaruhi konsentrasi jamur di udara. Tempat-tempat yang dijadikan pertumbuhan jamur harus segera dibersihkan. Pembersihan lantai, ventilasi dan tempat sampah pada ruang tunggu Puskesmas harus dibersihkan dengan frekuensi 3 kali dalam sehari. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pertumbuhan jamur yang dapat menjadi sumber kontaminasi dalam ruangan (Kepmenkes RI No. 1204, 2004). Hasil observasi dilakukan pada saat sampling ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan, yaitu saat jam kunjung teramai pada pukul 08-00 – 12.00 WIB. Jam kunjung teramai sama dengan jumlah orang terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas. Waktu tersebut berpotensis besar terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya dan berpengaruh terhadap konsentrasi jamur.
50
Keadaan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan dicatat, untuk diketahui potensi tersebarnya jamur di ruang tunggu tersebut. Hal ini dapat dijadikan gambaran kondisi awal untuk perbaikan dan pengendalian infeksi akibat jamur yang mungkin terjadi di ruang tunggu Puskesmas. Kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan saat dilakukan sampling dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kondisi Saat Sampling pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan Puskesmas
Perawatan
NonPerawatan
Pintu Masuk
Ruang Tunggu
Luas Ruangan (m2)
Jendela dan kondisi
Kipas Angin
Tempat sampah
RTP 1
52
Tidak ada
3
RTP 2 RTA
12 14
Tidak ada Tidak ada
1 2
RTLP
16
Tidak ada
2
RTP 1
21
8 tertutup, 4 terbuka 2 tertutup 2 tertutup, 1 terbuka 2 tertutup, 1 terbuka 12 tertutup, 1 terbuka
2
1 nyala, 2 2 tidak menyala RTP 2 21 4 tertutup, 1 1 nyala, 3 terbuka 2 tidak menyala Keterangan : RTP (Ruang Tunggu Periksa), RTA (Ruang Tunggu Apotek) dan RTLP (Ruang Tunggu Loket Pendaftaran). 3
Tabel 8. menunjukkan kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan saat sampling. Kondisi jendela tertutup pada ruang tunggu kedua Puskesmas ini merupakan jendela yang membatasi antara ruang tunggu dengan ruang periksa. Ruang periksa yang dilengkapi dengan Air Conditioner (AC) kondisi jendela selalu tertutup. Kondisi jendela terbuka pada kedua ruang tunggu Puskesmas ini merupakan jendela yang membatasi antara ruang tunggu dengan lingkungan luar. Jendela dan pintu masuk
51
yang terbuka dapat menyebabkan masuknya bioaerosol lain dari lingkungan luar ke dalam ruang tunggu. Berdasarkan hasil observasi pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dapat diketahui kondisi ruangan saat sampling yang meliputi kondisi jendela, kipas angin dan pintu. Selain itu dinding ruangan dan langit-langit ruangan dapat diperhatikan dengan kasat mata terdapat pertumbuhan jamur yang dapat menjadi sumber tersebarnya spora jamur yang tersebar ke udara (Lampiran 2). Keberadaan tempat sampah yang berada di ruang tunggu dapat dijadikan tempat perkembangbiakan jamur yang baik dan koloni jamur dapat melepaskan sporanya ke udara, sehingga menjadi sumber kontaminan jamur udara. Kondisi komponen tersebut menjadi penting diperhatikan terkait dengan keberadaan jamur udara. Selain kondisi tersebut, jamur dapat disebarkan ke udara oleh kegiatan penghuni yang berada di dalam ruang tunggu Puskesmas. Kondisi tidak adanya kipas angin atau tidak menyalanya kipas angin menyebabkan tingginya suhu dan kelembaban pada ruang tunggu. Pasien maupun keluarga pengantar pasien yang menunggu di ruang tunggu mengeluhkan tidak adanya kipas angin atau tidak menyalanya kipas angin menyebabkan panasnya kondisi di dalam ruang tunggu. Penggunaan alas kaki yang tidak dilepas oleh para pengunjung Puskesmas saat masuk ke dalam ruang tunggu dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme ke dalam ruang tunggu. Proliferasi jamur sering ditemukan ditempat yang tinggi kelembabannya, dapat terlihat dari area ruangan yang memiliki kelembaban dan substrat yang mendukung adanya pertumbuhan jamur seperti langit-langit ruangan (Karuppasamy et al., 2013).
52
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata suhu pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4) memiliki nilai rentang suhu 28-320C. Standar suhu ruangan pada Rumah Sakit atau Puskesmas berdasarkan Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit Sistem Instalasi Tata Udara adalah 20-23ºC. Hal ini menunjukkan suhu pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat berada diatas batas standar yang ditentukan. Berdasarkan hasil pengamatan, kipas angin yang tidak menyala maupun tidak tersedianya kipas angin dapat meningkatkan suhu. Selain itu tingginya suhu ruang tunggu kedua puskesmas tersebut dapat berasal dari panas yang dihasilkan dari banyaknya aktivitas maupun jumlah manusia di dalam ruangan tersebut. Temperatur atau suhu adalah faktor fisik yang cukup penting dan mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu di dalam ruangan rentang 18-24ºC adalah suhu optimal bagi pertumbuhan kebanyak jamur, meskipun beberapa jenis jamur dapat hidup juga di rentang suhu yang luas. Sedikit jamur yang mempunyai optimal diatas 30ºC, yaitu Aspergillus fumigatus. Jamur di dalam lingkungan tidak tumbuh jika suhu di atas 30ºC, namun spora jamur lebih tahan panas dari pada miseliumnya dan memiliki rentang suhu yang luas (Spengler et al., 2001). Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata kelembaban udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4) memiliki nilai rentang kelembaban udara 72-93%. Standar kelembaban udara ruangan pada Rumah Sakit atau Puskesmas berdasarkan Kepmenkes RI No. 1204 tahun 2004, yaitu 45-60%. Hal ini menunjukkan kelembaban udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
53
Non-Perawatan Ciputat berada diatas batas yang ditentukan. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah orang yang berada pada ruang tunggu yang padat dan ukuran ruang tunggu yang kecil menyebabkan tingginya kelembaban udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Kelembaban ruangan yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga tubuh rentan terhadap penyakit terutama penyakit Sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam ruangan menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah ruangan yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya hewan pembawa penyakit dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan. Ruangan yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi orang-orang yang berada diruang tersebut.Ruangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain jamur, bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroroganisme (Sulistiowati, 2001). Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata intensitas cahaya pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4) memiliki nilai rentang intensitas cahaya 300-1300 lux. Berdasarkan hasil pengamatan, cahaya pada ruang tunggu tersebut berasal dari cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan dan lampu ruangan yang dinyalakan. Jumlah lampu
54
yang dinyalakan sedikit karena hanya dinyalakan pada sudut-sudut tempat yang kekurangan cahaya. Salah satu syarat ruangan sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu ruangan yang tidak mempunyai cahaya selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan jamur dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan ruangan, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan jamur patogen (Sulistiowati, 2001). Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata jumlah orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4) memiliki nilai rentang 112-325 orang dan total luas ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar 52 m2 sedangkan pada Puskesmas NonPerawatan Ciputat sebesar 72 m2. Standar kepadatan hunian pada ruangan berdasarkan Kepmenkes RI No. 829 (1999), yaitu luas ruangan atau kamar minimal 8 m2 dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang atau 4 m2/orang. Kepadatan hunian pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan mencapai sekitar 0,4 m2/orang. Hal ini menunjukan jumlah orang yang berada pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat melebihi kapasitas ruang tunggu dan banyak orang-orang yang tidak mendapatkan tempat duduk, sehingga berdiri (Lampiran 2). Jumlah orang pada ruang tunggu terlihat padat dan dengan ukuran ruang tunggu yang kecil menyebabkan tingginya suhu dan kelembaban udara. Rasa panas, rasa tidak nyaman serta menahan rasa sakit, hal ini yang para pasien keluhkan menunggu periksa pada Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan.
55
Aktivitas manusia dalam ruang tunggu Puskesmas seperti berbicara, batuk, berjalan adalah sebagian aktivitas yang dapat menghasilkan partikel biologi di udara dan dapat menambah konsentrasi jamur (Maeir et al., 2002). Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana banyak terdapat manusia didalamnya lebih tinggi dibanding di luar ruangan (Setyaningsih, 2003). Kepadatan penghuni ruangan juga dapat mempengaruhi kesehatan, karena jika suatu ruangan yang penghuninya padat dapat memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia lainnya. Kepadatan penghuni di dalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh, hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan. Kepadatan penghuni dalam ruangan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan insiden penyakit Tuberkulosis Paru dan penyakit-penyakit lainnya yang dapat menular. Oleh sebab itu jumlah penghuni di dalam ruangan harus disesuaikan dengan luas ruangan agar tidak terjadi kepadatan yang berlebihan (Kepmenkes RI No. 829, 1999). Luas ruangan atau kamar minimal 8 m2 dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang. Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan
dan
lingkungan pemukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan dan pemilik (Kepmenkes RI No. 829, 1999).
56
Kesehatan Lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan
lingkungan
adalah
suatu
usaha
untuk
memperbaiki
atau
mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya. Sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau setidak-tidaknya
mengurangi
faktor-faktor
pada
lingkungan
yang
dapat
menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengendalikan sanitasi air, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia (Chandra, 2007).
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Rata-rata konsentrasi jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan sebesar 432 CFU/m3 dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan sebesar 495 CFU/m3. Nilai konsentrasi tersebut masih dibawah standar yang ditentukan oleh WHO tahun 2009 tentang Mold and Dampness Indoor Air, yaitu kurang dari 500 CFU/m3. 2. Faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang berpengaruh terhadap konsentrasi jamur sebesar 21,3%, sedangkan 78,8% dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sistem ventilasi, kondisi ventilasi, kondisi ruangan, kadar debu, material bangunan dan frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan. 5.2 Saran 1. Pihak Puskesmas disarankan untuk melakukan pengoptimalan ventilasi dan alat elektronik seperti kipas angin pada ruang tunggu Puskesmas agar mengurangi tingginya suhu dan kelembaban udara. Material dan bendabenda dalam ruang tunggu Puskesmas juga perlu diperhatikan untuk dibersihkan secara berkala dan dengan teknik yang benar.
57
58
2. Pencegahan atau antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk terhindar dari penularan penyakit dari orang sakit maupun sebaliknya yang dapat dilakukan oleh pasien, keluarga pengantar pasien dan para medis dengan cara menggunakan masker. 3. Penelitian lebih lanjut tentang kualitas udara dalam ruangan dengan parameter jamur udara disarankan untuk pengambilan sampel lebih banyak dan menambahkan lebih banyak variabel bebas selain suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang dalam ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2005. Pencemaran Udara dan Gangguan Penyakit Pernapasan Non Infeksi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Penerbit Buku Kompas. Ari Susilowati, Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. Jurnal Biodiversitas. 2(1) : 110-114. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2004. Pencemaran Udara. Jakarta. Badan Pusat Statistika. 2013. Jumlah Penduduk Kota Tangerang Selatan. Tangerang Selatan. Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan tim FKUI. Salemba Medika Utama. Jakarta. John Webster dan Roland Weber. 2007. Introduction to Fungi. Cambridge University Press. Cambridge. Chandra, F. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, cetakan 1. EGC. Jakarta. Carol, Y., Roa, A. Harret, Burge. 2012. Quantitative Standards and Guidelines for Fungi in Indoor Air. Journal of the Air and Waste Management Assosiation. 46(9): 899-908. CIAR. 1996. Sick Building Syndrome, Biological Aerosols and System Control of Indoor Air Quality. Published by CIAR. Maryland. Cox, C.S., Wathes, C.M. 1995. Bioaerosols Handbook. Lewis Publisher. New York. Crofton J, Douglas A,Wattles.2001. Fungi Infection of the Lung. In: Respiratory Diseases. Blackwell Scientific Publications. p: 329-45. David, E., D. Stephen, R. Handke, R. Bartley. 2007. Descriptions of Medical Fungi. Molecular & Biomedical Science University of Adelaide. Adelaide. Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan. 2012. Profile beserta Visi dan Misi. http://dinkes-tangsel.com/p/tentang-dinkes.html Diakses pada 21 Oktober 1014 pukul 19.08 WIB. Djuanda, A., Hamzah, M. Aisah, S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
59
60
Eduard, W.R. 2009. Fungal Spores: a Critical Review of the Toxicological and Epidemiological Evidence as a Basis for Occupational Exposure Limit Setting. Crit Rev Toxicol. 39: 799-864. Edward, Y dan Irfandy, D. 2012. Otomycosis. Jurnal Kesehatan Andalas. 1: 2. Efida dan Desiekawati. 2012. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 1: 1. Elsberry, RB. 2007 Indoor Air Pollution Can Sicken Office Workers. Electrical Apparatus. August. 18: 34-44. Eni, K. 2007. Viabilitas dan Morfologi Aspergillus fumigatus pada Penyimpanan dengan Kertas Saring dan Agar Dalam Air Suling. Jurnal Besar Penelitian Veteriner. Bogor. EPA
(Environmental Protection Agency). 2010. SOP Sampling and Characterization of Bioaerosols in Indoor Air. Enviromental health and Engineering. U.S.
Fletcher, L.A., C.J. Noakes, C.B. Begg, P.A. Sleigh. 2010. The Importance of Bioaerosols in Hospital Infections and the Potential for Control using Germicidal Ultraviolet Irradiation. Journal University of Leeds. 26: 142158. Gandahusada, S., Wita, P., Herry, D. 1988. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Gandjar, I., R.A. Samson, K. Vanden, A. Oetari, I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Haisley, P. dan G. Wong. 2002. Fungal Colonization of Building Material and Impact on Occupant Health. Manoa: Departement of Botany.University of Hawai. Hawai. Ilyas, M. 2007. Isolasi dan Identifikasi Kapang pada Relung Rizosfir Tanaman di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Biodiversitas. 7(3): 216-220. Iq, S.F. 2014. Kualitas Udara Ruang Rawat Inap Rumah Sakit dengan Parameter Jamur (Studi Kasus: Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Selatan). Skripsi FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
61
Jeffrey C, Edman. 1996. Mikrobiologi Kedokteran edisi ke-20. EGC. Jakarta. Joseph dan Anjali. 2006. The Impact of the Environment Infections in Healtcare Facilities. Gateway Boulevard. USA. Karuppasamy, C., R. Lalsanglura, R. Kannan, Saravanakumar. 2013. A Preliminary Assesment of Aerofungal Allergens from the Wards of Civil Hospital Aizawl. International Jounal of Enviroment Science. 4(3): 274283. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 132. 2010. Pedoman Kerja Puskesmas III Tahun 2010/2011. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 829. 1999. Persyaratan Kesehatan Perumahan. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1204. 2004. Tentang Persyaratan Lingkungan Rumah Sakit. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1335. 2002. Standar Operasional Pengambilan dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah Sakit. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Kumar, A. 2005. Fungal Spectrum in Otomycosis Patiens. JK Science. 3: 152155. Li, C.S. dan P.A. Hou. 2003. Bioaerosol Characteristic in Hospitals Clean Rooms. Journal Science Total Environment. 305: 169-176. Maeir, R.M., Pepper, J.L., Gerba, P.C. 2002. Environmental Microbiology. Academic Press. Canada. Mandal, J. dan H. Brandl. 2011. Bioaerosols in Indoor Environment : A Review with Special Reference to Residential and Occupational Locations. The Open Environmental and Biological Monitoring Journal. 4: 83-96. Mangunnegoro, H. 2008. Pulmonologi klinik FKUI. Berbagai Permasalahan Dalam Penyakit Tuberkulosis Paru.. 8: 73 -79. Merlin. 2012. Studi Kualitas Udara Mikrobiologi dengan Parameter Jamur pada Ruangan Pasien Rumah Sakit (Studi Kasus: Ruang Rawat Inap Gedung A
62
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Ciptomangunkusumo). Skripsi FTUI. Depok. Miller, Hung. F, Dillon. 2005. Field Guide for the Determination of Biological Contaminants in Environmental Samples 2nd edition. AIHA. NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health). 1989. Indoor Air Quality. Selected References. Ohio. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Peavy, Howard S., Donald R. Rowe, Tchobanoglous G.1985. Environmental Engineering. McGraw-Hill Inc. New York. Pelczar, J. Michael, E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1. Penerjemah Ratna Siri Hadioetomo. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999. Mengenai Pengendalian Pencemaran Udara. Pollard, S.J.T., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M. 2006. Bioaerosol releases from compost facilities: evaluating passive and active source terms at green waste facility for improved risk assesment. Atmospheric Environment. 40: 1159-1169. Pudjiastuti, L., Rendra, S., Santosa, H.R. 1998. Kualitas Udara dalam Ruang. Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Setyaningsih, Y. Soebijanto, Soedirman. 2003. Hubungan antara kualitas udara dalam ruangan berpendingin sentral dan Sick Building Syndrome. Sains Kesehatan, 16(3): 373-388. Sjamsuridzal, W. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Spengler, J., Samet, J.M., McCarthy, F. 2001. Indoor Air Quality. McGraw-Hill. New York. Srikandi, F. 1993. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
63
Sudarmanto, R. 2005. Analisis Linier Ganda dengan SPSS. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sukamto, T. 2010. Pemeriksaan Jamur Bilasan Bronkus pada Penderita Tuberkulosis Paru. Skripsi FKUSU. Sumatra Utara. Sulistiowati. 2001. Hubungan antara Kualitas Fisik dan Mikrobiologi Udara dalam Ruang dengan Kejadian SBS. Depok. Tavora, L.G., W. Gambale, E.M. Heins, G.L. Arriagada, A. Levin. 2003.Compara tive Performance of Two Air Sampler for Monitoring Airborne Fungal. Brazillian Journal of Medical and Biological Research. 36: 613-616. Trinanda, N.G. 2011. Analisis Kualitas Udara Mikrobiologi di Fasilitas Pengomposan dan Wilayah Sekitarnya. (Studi Kasus : UPS Jalan Jawa, Depok. Skrpsi FTUI. Depok. Wuryanti. 2008. Pengaruh Penambahan Biotin Pada Media Pertumbuhan Terhadap Produksi Sel Aspergillus niger. Jurnal Kimia FMIPA UNDIP. 10(2) : 46-50. WHO (World Health Organization). 2009. Guidelines for Indoor Air Quality: Dampness and Mould. Europa. Zaini, J. 2013. Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis. J Respir Indo. 33: 3.
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis SPSS 1. Perbandingan Konsentrasi Jamur terhadap Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tangerang Selatan Deskripsi Konsentrasi N
Puskesmas Perawatan Puskesmas NonPerawatan Total
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Min
Max
6 432,33
149,755
61,137
275,17
589,49
177
594
6 494,67
257,217 105,008
224,73
764,60
297
989
203,290
334,34
592,66
177
989
12 463,50
58,685
ANOVA Konsentrasi Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 11656,333 442936,667 454593,000
df 1 10 11
Mean Square 11656,333 44293,667
F 0,263
Sig, 0,619
H0 = Tidak ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. H1 = Ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Sig (0,619) > 0,05 maka H0 diterima F hitung = 0,263 ; F tabel = df1, df2 : 1, 10 = 4,96 Fhitung < Ftabel : 0,263 < 4,96 maka H0 diterima
64
65
2. Perbandingan Konsentrasi Jamur terhadap Faktor Fisik (Suhu, Kelembaban Dan Intensitas Cahaya) dan Jumlah Orang
Model 1
Regression Residual Total
ANOVAa Sum of Squares Df 96687,233 357905,767 454593,000
Mean Square F Sig, 4 24171,808 0,473 0,755b 7 51129,395 11
a, Dependent Variable: Konsentrasi b, Predictors: (Constant), Jumlah_Orang, Suhu, Kelembaban, Intensitas_Cahaya H0 = Tidak ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap faktor fisik (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang. H1 = Ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap faktor fisik (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang. Sig (0, 755) > 0,05 maka H0 diterima F hitung = 0,473 ; F tabel = df1, df2 : 4, 7 = 4,12 Fhitung < Ftabel : 0,473 < 4,12 maka H0 diterima 3. Nilai Pengaruh Faktor Fisik (Suhu, Kelembaban Dan Intensitas Cahaya) dan Jumlah Orang terhadap Konsentrasi Jamur Model Summaryb Model R R Adjuste Std, Error Change Statistics Square dR of the R Square F df1 df2 Sig, F Square Estimate Change Change Change 1 0,461a 0,213 -0,237 226,118 0,213 0,473 4 7 0,755 a, Predictors: (Constant), Jumlah_Orang, Suhu, Kelembaban, Intensitas_Cahaya b, Dependent Variable: Konsentrasi R Square 0,213 x 100% = 21,3 %, Berarti = 21,3 % dipengaruhi faktor fisik, 78,7% dipengaruhi faktor lain R = 0,461 yang berarti korelasi sedang.
66
4. Analisis Regresi Linear Berganda
Model
1
(Constant) Suhu Kelembaban
Koefisiena Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std, Error Beta -335,511 2866,947 7,959 69,562 0,060 10,848 15,805 0,381
Intensitas_Cahaya -16,148 Jumlah_Orang 1,347 a, Dependent Variable: Konsentrasi
24,938 1,668
-0,365 0,543
t
Sig,
-0,117 0,114 0,686
0,910 0,912 0,515
-0,648 -0,807
0,538 0,446
Persamaan regresi Y = -335,511 + 7,959 X1 + 10,848 X2 – 16,148 X3 + 1,347 X4 5. Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Faktor Fisik (Suhu, Kelembaban Dan Intensitas Cahaya) dan Jumlah Orang Korelasi Konsentrasi Pearson Correlation Konsentrasi Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Suhu Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Kelembaban Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Intensitas_Cahaya Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Jumlah_Orang Sig. (2-tailed) N
Suhu
1 -0,309 0,329 12 12 -0,309 1 0,329 12 12 0,312 -0,423 0,323 0,170 12 12 -0,203 0,087 0,527 0,788 12 12 -0,071 0,325 0,827 0,303 12 12
Kelembaban Intensitas Jumlah _Cahaya _Orang 0,312 -0,203 0,071 0,323 0,527 0,827 12 12 12 -0,423 0,087 0,325 0,170 0,788 0,303 12 12 12 1 -0,620 0,496 0,032 0,101 12 12 12 * -0,620 1 0,723 0,032 0,008 12 12 12 0,496 -0,723 1 0,101 0,008 12 12 12
67
5.1 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Suhu H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan suhu, H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan suhu, Sig 2 tailed 0,329 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima) Besarnya hubungan -0,309 (tidak mendekati 1),
5.2 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Kelembaban H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan kelembaban, H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan kelembaban, Sig 2 tailed 0,323 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima) Besarnya hubungan 0,312 (tidak mendekati 1),
5.3 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Intensitas Cahaya H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan intensitas cahaya, H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan intensitas cahaya, Sig 2 tailed 0,527 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima) Besarnya hubungan -0,203 (tidak mendekati 1),
68
5.4 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Jumlah Orang H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan jumlah orang H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan jumlah orang Sig 2 tailed 0,827 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima) Besarnya hubungan 0,071 (tidak mendekati 1)
6. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Konsentrasi Suhu Kelembaban Intensitas _Cahaya N 12 12 12 12 Normal Mean 463,50 30,025 81,983 4,394 a,b Parameters Std. Deviation 203,290 1,5398 7,1366 4,5891 Absolute 0,205 0,199 0,260 0,225 Most Extreme Positive 0,205 0,199 0,260 0,225 Differences Negative -0,123 -0,195 -0,160 -0,186 Kolmogorov-Smirnov Z 0,711 0,689 0,900 0,778 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,694 0,729 0,392 0,580 a. Distribusi data normal
Sig > 0,05 = Distribusi data normal. Nilai sig konsentrasi (0,694), suhu (0,729), Intensitas cahaya (0,580) dan jumlah orang (0,430) > 0,05, sehingga dapat dikatakan data yang diolah merupakan data berdistribusi normal.
Jumlah _Orang 12 191,83 81,894 0,252 0,252 -0,165 0,874 0,430
69
Berdasarkan kurva di atas dapat dilihat bahwa data menyebar disekitar kurva dengan mengikuti model regresi, sehingga dapat dikatakan data yang diolah merupakan data berdistribusi normal.
70
Lampiran 2. Foto Kondisi Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan NonPerawatan Ciputat Tangerang Selatan
Kondisi pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Kondisi penuh dan sesak pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Titik sampling pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Titik sampling pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Tempat sampah pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Kipas angin yang menyala pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
71
Pengukuran faktor fisik (suhu dan kelembaban)
Kipas angin yang tidak menyala pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Pengukuran laju udara pada pompa vakum
Cahaya dari lampu yang menyala pada ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Keset dapat menjadi tempat pertumbuhan jamur
Pertumbuhan jamur pada langit-langit ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
72
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Konsentrasi Jamur di Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Puskesmas
Titik Sampel
Konsentrasi (CFU/m3)
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
594 459 530 346 177 488 466 516 396 989 297 304
Perawatan
Non-Perawatan
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Faktor Fisik Udara Dan Jumlah Orang Pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Jumlah Intensitas Titik Konsentrasi Suhu Kelembaban Orang Puskesmas cahaya Sampel (CFU/m3) (0C) (%) Dalam (KLx) Ruangan 1.1 594 29,4 78,1 11,3 136 1.2 459 29,2 77,8 4,23 136 1.3 530 28,1 76,8 7,3 112 Perawatan 1.4 346 28,5 78,6 4 112 1.5 177 31,7 75,7 13,8 115
Non-Perawatan
1.6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
488 466 516 396 989 297 304
32,3 28,7 29,9 28,7 29,9 31,8 32,1
72,8 93,5 88,7 93,5 88,7 80,3 79,3
6,5 0,4 3,9 0,4 0,3 0,3 0,3
115 249 249 214 214 325 325
73
Lampiran 5. Foto Koloni Jamur setelah di Inkubasi selama Tiga Hari 5.1 Koloni Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
1.1 : Titik sampel 1
1.3 : Titik sampel 3
1.5 : Titik sampel 5
1.2 : Titik sampel 2
1.4 : Titik sampel 4
1.6 : Titik sampel 6
74
5.2 Koloni Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan
2.1 : Titik sampel 1
2.3: Titik sampel 3
2.5 : Titik sampel 5
2.2 : Titik sampel 2
2.4 : Titik sampel 4
2.6 : Titik sampel 6