1
Fenomena globalisasi telah menciptakan keberagaman di beberapa sektor organisasi yang berbeda meliputi sektor pendidikan, kesehatan, pemerintah, media termasuk di tempat kerja (Prasad, Pringle & Konrad, 2006). Kemunculan topik terkait keberagaman dalam organisasi berawal di Amerika pada tahun 1980, saat pengelolaan terhadap keberagaman di tempat kerja menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh organisasi (Ahonen & Tienari, 2009). Selama beberapa dekade yang lalu, para akademisi, praktisi dan peneliti telah mengakui bahwa keberagaman merupakan fenomena yang memiliki pengaruh yang luas di tempat kerja dan di lingkungan masyarakat pada umumnya (Koonce, 2001; Stark, 2001; Williams & O'Reilly, 1997). Dampak dari munculnya keberagaman tersebut menjadi isu penting bagi organisasi di banyak negara yang di satu sisi dapat memberikan keuntungan bagi organisasi, namun di sisi lain juga dapat menciptakan konflik antar karyawan yang berbeda latar belakang sosial-budaya. Berbagai kebijakan organisasi seperti equal opportunity employment (EEO) dan affirmative action (AA) muncul sebagai respon organisasi dalam mengatasi dampak dari keberagaman di tempat kerja (Tsui & Gutek, 1999). Keberagaman yang dimaksud merupakan perbedaan individu yang membuat setiap orang memiliki keunikan dan berbeda dari dan sama satu sama lain (Kreitner & Kinicki, 2010; De Beer 2011). Keberagaman terbagi menjadi dua jenis
yakni
pertama,
keberagaman
biodemografik,
merepresentasikan
karakteristik yang nampak dari diri individu meliputi usia, jenis kelamin, ras atau etnis. kedua, keberagaman task related merepresentasikan atribut yang melekat pada diri individu meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja,
2
kompetensi atau keahlian fungsional, dan masa kerja (Miliken & Martins, 1996; Harrison, Price, Horwitz & Bell, 1998; Horwitz & Horwitz, 2007). Keberagaman yang
secara sengaja diciptakan dalam
organisasi
bertujuan untuk memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi terutama dalam menghadapi era persaingan global (Patrick & Kumar, 2012; Sayers, 2012). Seperti yang dijelaskan Popescu dan Rusco (2012) bahwa dengan adanya pengelolaan yang aktif dari perusahaan terhadap isu keberagaman yang ada, maka dapat menciptakan perusahaan yang lebih efektif dan efisien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McLeod, Lobel dan Cox (1996) menunjukkan pengelolaan yang baik terhadap keberagaman sumber daya manusia dapat menciptakan perilaku yang lebih kooperatif, meningkatkan kualitas solusi dalam penyelesaian tugas, dan meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta profitabilitas perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya pengelolaan yang memadai dalam mendukung keberagaman di tempat kerja sehingga membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya. Seiring dengan perkembangan zaman, konsep dan implementasi pengelolaan keberagaman dalam organisasi terus berkembang hingga saat ini (Ahonen & Tienari, 2009). Shen, Chanda, D‟Netto, dan Monga (2009) menyatakan
perkembangan
konsep
dan
implementasi
pengelolaan
keberagaman di tiap-tiap negara maupun di tiap-tiap organisasi akan berbeda, hal ini dikarenakan isu keberagaman antara satu negara dengan negara yang lain maupun strategi bisnis yang dijalankan oleh masing-masing organisasi berbeda-beda. Prasad, dkk (2006) juga menjelaskan bahwa praktik pengelolaan keberagaman di organisasi memiliki kebijakan dan program yang spesifik serta strategi yang dijalankan bersifat customized sesuai dengan tujuan masingmasing organisasi.
3
Pengelolaan keberagaman merupakan upaya organisasi menciptakan lingkungan dimana memungkinkan para karyawan menampilkan potensi mereka secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Thomas, 1999). Pengelolaan keberagaman juga didefinisikan sebagai upaya menciptakan perubahan organisasi yang memungkinkan semua anggota dari berbagai latar belakang sosio-kultural dapat berkontribusi dan menampilkan potensi mereka secara maksimal (Cox, 1994; Kreitner & Kinicki, 2010). Shen dan kawan-kawan (2009) menyatakan prinsip pengelolaan keberagaman tidak hanya mengakui tetapi juga menghargai dan memanfaatkan keberagaman yang ada sehingga potensi masing-masing individu. Barak (2005) membagi jenis pengelolaan keberagaman menjadi dua, yakni intranational diversity management (mengelola keberagaman tenaga kerja yang berasal dari warga negara atau imigran dalam konteks organisasi nasional) yang dikenal sebagai perusahaan multikultur dan cross-national diversity management (mengelola keberagaman tenaga kerja yang berasal dari warga negara atau imigran dari negara yang berbeda) yang dikenal sebagai perusahaan multinasional. Menurut Choi dan Rainey (2013) kesuksesan pengelolaan keberagaman dalam organisasi terjadi ketika organisasi berhasil mencapai tujuan dari praktek pengelolaan keberagaman yang dijalankan sehingga dapat dikatakan efektif. Sayers (2012) mendefinisikan pengelolaan keberagaman dapat dikatakan efektif ketika
mampu
mendorong
produktivitas,
menciptakan
interaksi
saling
menguntungkan di antara karyawan dalam sebuah organisasi, dan menghargai karyawan dengan perbedaan latar belakang, kebutuhan, serta keterampilan agar menghasilkan manfaat yang optimal bagi karyawan, bagi organisasi tempat mereka bekerja, masyarakat, dan pelanggan yang mereka layani.
4
Beberapa
penelitian
empiris
telah
menunjukkan
bahwa
upaya
pengelolaan keberagaman yang efektif menunjukkan hasil positif pada peningkatan kepuasan kerja karyawan dan komitmen organisasi, serta peningkatan kinerja organisasi, dan mempengaruhi turnover (Choi, 2009; Pitts, 2009). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Patrick dan Kumar (2012) pada sebuah institusi di India yang menyatakan kesuksesan perusahaan dalam menerapkan praktik pengelolaan keberagaman dapat meningkatkan komitmen, kinerja individu, dan kepuasan kerja karyawan serta kinerja organisasi. Implementasi pengelolaan keberagaman di organisasi menjadi salah satu bagian dari praktik human resource. Kossek dan Lobel (dalam Barak, 2005) menjelaskan
empat
pendekatan
human
resources
dalam
pengelolaan
keberagaman, antara lain: (1) diversity enlargement, pendekatan ini berfokus pada peningkatan representasi dari individu yang berbeda etnis dan latar belakang budaya dalam organisasi. Tujuannya adalah untuk mengubah budaya organisasi dengan mengubah komposisi demografis tenaga kerja; (2) diversity sensitivity, pendekatan ini mengakui kesulitan dalam mengembangkan potensi dengan menyatukan individu dari beragam latar belakang dan budaya di tempat kerja. Tujuannya adalah melatih kepekaan karyawan terhadap stereotip dan diskriminasi serta mendorong kolaborasi komunikasi yang baik; (3) cultural audit, pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala yang membatasi kemajuan karyawan dari berbagai latar belakang dan blok kolaborasi antara kelompok dalam organisasi; (4) strategic business sense sebagai kerangka kerja yang komprehensif untuk manajemen keberagaman sumber daya manusia. Pendekatan ini berfokus pada pengelolaan keberagaman sebagai sarana untuk mencapai tujuan organisasi. Para manajer harus mengidentifikasi hubungan antara tujuan pengelolaan keberagaman, harapan individu dan hasil organisasi.
5
Sejak akhir tahun 1990 hingga saat ini, pengelolaan keberagaman lebih berfokus pada pendekatan strategic business sense yang juga dikenal dengan pendekatan learning-effectiveness. Pendekatan ini mendorong setiap individu untuk menghasilkan pemikiran baru pada strategi pasar, produk, strategi implementasi program dan budaya dalam menghadapi perubahan dan kompetisi ekonomi global melalui adanya proses learning. Pentingnya pengelolaan keberagaman yang efektif menjadikan perusahaan mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang. Hal tersebut juga menjadi tantangan besar bagi perusahaan nasional maupun multinasional di Indonesia yang akan segera menghadapi ASEAN Economic Community tahun 2015, dimana Indonesia dikenal sebagai negara yang lekat dengan keberagaman sosial-budaya. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji efektivitas pengelolaan keberagaman pada perusahaan yang ada di Indonesia. Salah satu perusahaan di Indonesia yang menyadari pentingnya pengelolaan keberagaman di tempat kerja dalam menghadapi kompetisi global yakni PT. XYZ distrik X, sebuah perusahaan berskala nasional yang bergerak di bidang
kontraktor
pertambangan,
berdiri
sejak
tahun
1993.
PT.
XYZ
mencanangkan visi menjadi kontraktor pertambangan terkemuka di dunia. PT. XYZ distrik X menerapkan jenis pengelolaan keberagaman yakni intranational diversity management yang mana manajemen mengelola keberagaman sumber daya manusia asli Indonesia. Berangkat dari penelitian awal melalui studi dokumen di kantor pusat Jakarta pada tanggal 17 Juni 2014, peneliti menemukan bahwa presiden direktur PT. XYZ dalam president letters menyatakan perusahaan mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi yang tepat atas perubahan situasi yang ada serta
6
akan terus berkembang mencapai yang terbaik, salah satunya dengan menumbuhkan kreativitas melalui keberagaman yang dipelihara. “Dengan semangat “make it happen” yang sudah dimiliki oleh seluruh komponen organisasi, kreativitas yang tumbuh dari diversity yang dipelihara, kepemimpinan yang kuat, built in PDCA cycle, serta kerjasama yang erat dengan seluruh stakeholders, kita percaya bahwa perusahaan bisa mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi yang tepat atas perubahan situasi yang ada, dan akan terus berkembang mencapai yang terbaik” (Viewpoint, 2014). Peneliti
kemudian
melakukan
wawancara
dengan
organizational
development department head PT. XYZ menunjukkan bahwa sasaran dari penerapan pengelolaan keberagaman yakni seluruh karyawan PT. XYZ yang diawali dari proses rekrutmen dan seleksi serta berlaku secara nasional. “Enggak.. ke karyawan karyawan. Dalam arti kata pada saat itu adalah kalo mau rekrut itu jangan primordial, gitu. Misalnya mentang mentang bosnya dari ITB ngambilnya dari ITB. Bosnya dari Jawa Barat ngambilnya dari Jawa Barat” (R1, W1, 9-11). PT. XYZ juga memiliki kebijakan rekrutmen dan seleksi yang mendukung adanya keberagaman yang didasarkan atas kualifikasi karyawan tanpa membeda-bedakan ras, etnis, gender, agama, dan golongan. “Perusahaan hanya merekrut pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan, dengan memberikan kesempatan yang sama tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, antar golongan” (PHRMS No. PRS/F-045, 2010). Peneliti lebih lanjut melakukan wawancara lebih mendalam dengan HCGS (Human Capital & General Services) depatment head PT. XYZ di distrik X yang menunjukkan bahwa upaya manajemen PT. XYZ dalam mengelola keberagaman yang ada yakni dengan penguatan budaya perusahaan yakni nilai inti meliputi tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus. Budaya nilai inti tersebut menjadi pemersatu keberagaman yang ada. Tujuan dari penerapan pengelolaan keberagaman di PT.XYZ lebih berfokus pada prinsip continuous improvement untuk mendorong kreativitas melalui kerja sama tim yang solid
7
maupun pengoptimalan potensi individu dengan memanfaatkan keberagaman yang ada dan tercermin melalui nilai inti yakni tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus. Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PT.
XYZ
melakukan
pengelolaan
keberagaman
dengan
menggunakan
paradigma human resource melalui pendekatan strategic business sense yakni menumbuhkan kreativitas baik dalam kinerja tim maupun individual yang bertujuan untuk menghadapi perubahan lingkungan maupun pertumbuhan bisnis perusahaan melalui penguatan nilai inti sebagai budaya perusahaan. Budaya
organisasi
memiliki
fungsi
yang
sangat
penting
dalam
mengembangkan persyaratan untuk mengelola keberagaman (Clarke & Iles, 2000). Prasad, dkk (2006) juga menyatakan budaya menjadi fokus utama dalam mengelola keberagaman di tempat kerja. Budaya organisasi yang didasarkan atas nilai-nilai integrasi memungkinkan organisasi menerapkan pengelolaan keberagaman yang efektif dan efisien. Budaya organisasi mempunyai tugas untuk
meningkatkan
nilai
keberagaman
anggota
kelompok
kerja
dan
menciptakan budaya integrasi yang melibatkan semua orang dalam kegiatan kerja (Cox & Blake, 1991). Jones (2007) mendefinisikan budaya organisasi adalah seperangkat nilainilai dan norma-norma bersama yang mengontrol anggota organisasi dalam berinteraksi satu sama lain antar anggota organisasi maupun dengan orangorang yang berada di luar organisasi yang mempengaruhi suatu situasi dan menginterpretasikan lingkungan di sekitar organisasi. Nilai adalah kriterium umum, standar, atau prinsip yang digunakan orang untuk menentukan jenis perilaku, peristiwa, situasi, dan hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Nilai terbagi menjadi dua, yakni terminal value sebagai sebagai keadaan atau hasil
8
akhir yang ingin dicapai seperti tanggung jawab, kreatif, inovasi, moralitas, dan berkualitas) dan instrumental value (sebagai landasan atau tata cara dalam berperilaku yang harus dijalankan demi mencapai suatu terminal value). Perilaku organisasi cenderung fokus pada instrumental value, karena dapat membentuk perilaku individu dan erat kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi.
Gambar 1. Implementasi Pengelolaan Keberagaman melalui Budaya Organisasi (Olsen & Martins, 2012). Olsen dan Martins (2012) menyatakan pengelolaan yang berfokus pada peningkatan keberagaman di tempat kerja untuk mencapai kesuksesan bisnis tidak hanya melihat keberagaman sebagai instrumental value, tetapi juga melihat keberagaman sebagai terminal value. Menurut Kellough dan Naff (2004) fokus organisasi pada keberagaman sebagai terminal value maupun instrumental value akan mempengaruhi tingkat keberagaman tenaga kerjanya dan memungkinkan organisasi untuk menerapkan praktik human resources yang secara khusus ditujukan untuk merekrut serta mempertahankan individu dari berbagai latar
9
belakang. Berdasarkan hasil wawancara dengan HCGS Department Head distrik X menunjukkan bahwa pengelolaan kebergaman PT. XYZ masih berfokus pada penginternalisasian
instrumental
value
berupa
key
behavior
yang
merepresentasikan tujuan dari pengelolaan kebergaman itu sendiri yakni tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus. Merujuk pada pernyataan dari beberapa ahli dan hasil penelitian awal di atas, maka definisi efektivitas pengelolaan kebergaman yang digunakan dalam penelitian ini yakni tercapainya tujuan pengelolaan kebergaman berupa terinternalisasinya nilai inti tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus sebagai instrumental value dalam diri karyawan. Menurut Danulis, Dehling, dan Pralica (2004) elemen utama yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan keberagaman yakni kepemimpinan. Gaya kepemimpinan
yang
mendukung
pencapaian
dari
tujuan
pengelolaan
keberagaman yakni untuk membangun kreativitas berupa tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus melalui internalisasi budaya perusahaan yakni nilai inti, maka diperlukan perilaku pemimpin yang terus memotivasi bawahannya untuk dapat bekerja secara maksimal, penuh perhatian, dan mendorong munculnya ide-ide baru dari seluruh karyawan. Perilaku pemimpin tersebut merupakan ciriciri kepemimpinan transformasional. Definisi kepemimpinan transformasional yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Ancok (2012) yakni sikap kepemimpinan yang memanusiakan bawahannya (ngewongke), memperlakukan bawahan sebagai manusia cerdas dan terhormat, dan mampu memotivasi bawahan agar memunculkan potensi insaninya secara maksimal. Menurut Jung dan Virgin Group (dalam Robbins, 2010) pemimpin transformasional memperhatikan hal-hal kebutuhan pengembangan dari masing-
10
masing para bawahan dan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan,
membangkitkan,
dan
mengilhami
para
pengikut
untuk
mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok. Kesediaan para bawahan untuk berupaya ekstra dalam mencapai tujuan bersama bahkan dapat melebihi harapan sebelumnya, dikarenakan munculnya rasa percaya dan hormat terhadap sang pemimpin. Kesediaan bawahan untuk terlibat secara optimal dalam kegiatan organisasi, tentunya akan berdampak pada peningkatan produktivitas kerja sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Efektivitas pengelolaan keberagaman selain dipengaruhi oleh pemimpin, juga harus mempertimbangkan faktor keadilan organisasi. Definisi keadilan prosedural yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Lind dan Early (dalam Niehoff & Moorman, 1993) persepsi karyawan mereka diperlakukan adil jika mereka dihargai sebagai anggota kelompok kerja, dengan konsekuensi mereka dapat mengemukakan pendapat tentang penyusunan peraturan maupun sistem evaluasi kerja, merasa dihargai oleh organisasi, dan bukan sekedar distribusi pendapat saja. Menurut Choi dan Rainey (2013) situasi lingkungan kerja terkait dengan bagaimana organisasi mengelola keberagaman di dalamnya. Implementasi keberagaman yang ideal seharusnya mampu menciptakan lingkungan kerja yang adil, baik dari sisi distributif, interaksional, dan prosedural. Terciptanya keadilan dalam organisasi akan memberikan situasi psikososial lingkungan kerja yang positif. keadilan yang dirasakan oleh karyawan terhadap aturan dan prosedur formal akan membantu organisasi dalam mengelola keberagaman dan memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
11
Hasil penelitian Tjahjono (2013) dalam konteks Indonesia, keadilan prosedural akan menjadi prediktor yang lebih kuat pada evaluasi sistem dan otoritas yang lebih umum. Keadilan prosedural akan menjadi prediktor yang lebih baik daripada tipe keadilan lainnya terhadap outcomes yang berhubungan dengan perusahaan, seperti komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap manajemen termasuk efektivitas program dibandingkan outcomes personal. Hal tersebut sejalan dengan Ayub (2013) yang menyatakan keadilan prosedural merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan efektivitas pengelolaan keberagaman.
Kebijakan
maupun
prosedural
formal
yang
tidak
hanya
dikomunikasikan dengan baik, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh karyawan untuk terlibat akan menimbulkan kepercayaan dalam diri karyawan terhadap organisasi sehingga mendorong karyawan untuk lebih proaktif dalam mencapai tujuan organisasi. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menguji
peran
kepemimpinan
transformasional dan keadilan prosedural sebagai variabel independen terhadap efektivitas pengelolaan keberagaman sebagai variabel dependen. Konteks pada penelitian ini yakni di PT. XYZ distrik X, pengelolaan keberagaman yang diterapkan oleh manajemen diharapkan dapat dijalankan dengan efektif dan melibatkan seluruh anggota organisasi melalui internalisasi budaya perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Menurut Moldy (dalam Moeljono, 2003) budaya perusahaan sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan
bersama
yang
berinteraksi
dengan
struktur
formal
untuk
menghasilkan norma dalam berperilaku. Merujuk pada teori learning organization yang dikemukakan oleh Heli, Parker, dan Tate (1994) bahwa pembangunan organisasi pembelajaran bukan menjadi tugas individu, tetapi pendekatan sistem yang membawa individu secara
12
bersama-sama menciptakan alternatif cara kerja dan hidup berdampingan. keberagaman tenaga kerja dipandang sebagai hal yang wajar bagi sebuah organisasi pembelajaran. Capra dan Fritjof (1994) menyatakan keberagaman berarti banyak hubungan yang berbeda, banyak pendekatan yang berbeda untuk menangani masalah yang sama. Sebuah komunitas yang beragam adalah sebuah komunitas yang tangguh, mudah beradaptasi dalam menghadapi perubahan situasi melalui proses creating, retaining, dan transferring knowledge sehingga penting melibatkan seluruh karyawan yang memiliki latar belakang sosial-budaya yang berbeda dalam proses refleksi dan pengambilan keputusan sehingga semua sistem yang dibangun dalam organisasi dapat hidup berkembang. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa heterogenitas dalam organisasi mampu meningkatkan performance dengan menumbuhkan kreativitas dan cara berpikir yang baru melalui proses belajar (Mcleod, Lobel & Cox, 1991). Oleh karena itu, organisasi yang mampu bertahan dan tumbuh selalu memiliki komunitas yang terus belajar, komunitas yang terus berubah, dan berkembang dengan memanfaatkan keberagaman yang ada di organisasi, baik dari segi individu maupun tim. Peran pimpinan sebagai penggerak utama jalannya organisasi menjadi hal yang sangat penting. Pemimpin perlu memiliki sikap terbuka, berani mengambil resiko, mampu mengkomunikasikan visi organisasi secara jelas, menunjukkan empati, dukungan, dan perhatian personal terhadap anak buah serta didukung adanya kebijakan maupun aturan yang adil bagi seluruh karyawan tentunya mempengaruhi produktivitas kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang pada akhirnya berdampak pada tercapainya tujuan perusahan.
13
Berdasarkan beberapa teori dan hasil penelitian yang terkait, maka hipotesis
yang
diajukan
pada
penelitian
ini
adalah
kepemimpinan
transformasional dan keadilan prosedural secara bersama-sama merupakan prediktor terhadap efektivitas pengelolaan keberagaman PT. XYZ distrik X.
Implikasi Studi Manfaat penelitian ini bagi implikasi teoritis yakni memberikan sumbangan referensi mengenai studi efektivitas pengelolaan keberagaman khususnya pada industri batu bara di Indonesia. Sedangkan, implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan praktis berupa gap antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi aktual di lapangan untuk kemudian berdasarkan gap yang ada dapat dijadikan dasar bagi pihak manajemen untuk melakukan intervensi lebih lanjut dalam rangka meningkatkan efektivitas pengelolaan keberagaman di PT. XYZ distrik X melalui penguatan budaya perusahaan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
METODE Desain Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kuantitatif
dengan
jenis
penelitian deskriptif korelasional yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti. Menurut Azwar (2010) penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada pengolahan data-data numerikal dengan metode statistika yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan menyandarkan
kesimpulan
hasilnya
pada
suatu
probabilitas
kesalahan
penolakan hipotesis nihil. Data-data deskriptif dalam penelitian ini tidak dimaksudkan
untuk
menguji
hipotesis
tertentu,
melainkan
hanya