FATWA PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU (Analisis Terhadap Ketetapan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Tahun 2009)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (1) Dalam Bidang Pidana dan Politik Islam
Oleh :
GUFRON NIM : 2102240
JURUSAN SIYASAH JINAYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009
i
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
Dr. Imam Yahya, M.Ag Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Nota Pembimbing
Semarang, 13 Juni 2009
Lamp Hal
Kepada : Yth. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo di Semarang
: :
4 (empat) eksemplar Naskah skripsi a.n. saudara Gufron
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya maka bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara : Nama
: Gufron
NIM
: 2102240
Jurusan
: Jinayah Siyasah
Judul Skripsi : FATWA PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU (Analisis Ketetapan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Tahun 2009) Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut segera dimunaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing
Dr. Imam Yahya, M.Ag NIP. 150 275 331
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
BERITA ACARA MUNAQASAH Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang pada : Hari Tanggal Jam
: : :
Rabu 24 Juni 2009 10.00 WIB s/d selesai
Telah mengadakan ujian munaqasah dengan judul :
FATWA PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU (Analisis Ketetapan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Tahun 2009) atas nama NIM Jurusan Keterangan
: : : :
Gufron 2102240 Siyasah Jinayah UTAMA / ULANG dari tanggal : LULUS / TIDAK LULUS Semarang, 24 Juni 2009
Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Maria Ana, SH, MH NIP. 150 263 484
Dr. Imam Yahya, M.Ag NIP. 150 275 331
Penguji I,
Penguji II,
Drs, H. Musahadi, MA NIP. 150 267 754
Drs. H. Nur Syamsuddin, M.Ag NIP. 150 274 614 Pembimbing,
Dr. Imam Yahya, M.Ag NIP. 150 275 331
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Skripsi saudara : NIM : Judul :
Gufron 2102240 FATWA PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU (Analisis Ketetapan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Tahun 2009)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/baik/cukup, pada tanggal : 24 Juni 2009 dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi program sarjana strata 1 (S.1) tahun akademik 2008/2009 guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu syariah. Semarang, 9 Juli 2009 Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Maria Ana, SH, MH NIP. 150 263 484
Dr. Imam Yahya, M.Ag NIP. 150 275 331
Penguji I,
Penguji II,
Drs, H. Musahadi, MA NIP. 150 267 754
Drs. H. Nur Syamsuddin, M.Ag NIP. 150 274 614 Pembimbing,
Dr. Imam Yahya, M.Ag NIP. 150 275 331
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Semaramg, Juni 2009 Penulis
Gufron
v
ABSTRAK Penggunaan hak pilih dalam pemilu merupakan sesuatu yang sangat urgen demi untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Penggunaan hak pilih atau partisipasi yang tinggi dalam pemilu meneguhkan bahwa produk pemerintahan yang dihasilkan merupakan pemerintahan yang legitimite karena mendapat dukungan yang besar dari rakyatnya. Tetapi setiap kali diselenggarakan pemilu banyak rakyat kurang begitu peduli dengan hak pilihnya dan cenderung banyak yang tidak menggunakan pilihnya atau golput (golongan putih). Golput, sebagaimana yang didefinisikan Halim HD dalam buku ”Mengapa Kami Memilih Golput” adalah orang-orang (warga negara) yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat diselenggarakan pemilu atau menggunakan hak pilihnya tetapi tidak menentukan pilihannya atau abstain hampir selalu mewarnai saat diselenggarakannya pemilu atau pilkada. Golput ini merupakan realitas politik yang biasa terjadi dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Adanya kelompok golput ini dipandang sebagai penghambat lajunya proses demokrasi bagi sebuah negara. Dimana salah satu katalisator untuk melihat dinamika demokratisasi adalah perlunya partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh komponen masyarakat. Partisipasi politik yang besar ini akan menjadi legitimasi bagi kepemimpinan yang dihasilkan dalam proses demokrasi. Tingginya angka golput yakni kelompok yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat diselenggarakan pemilu (pemilihan umum) atau pilkada (pemilihan kepala daerah) telah membuat banyak kalangan menjadi resah terutama pemerintah yang bertanggung jawab penuh atas pelaksaan pemilu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah ulama, zuama, dan cendekiwan yang keberadaannya sebagai pengayom dan pemberi jawaban (fatwa) atas segala permasalahan yang dihadapi umat Islam tidak bisa melepaskan persoalan golput terjadi di tengah-tengah umat Islam. Karena golput melekat dengan pemilu dimana pemilu dalam persektif Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin yang diwajibkan dalam agama. Sehingga golput dalam pandangan hukum Islam merupakan tindakan yang diharamkan sebagai konsekuensi kewajiban memilih pemimpin. Berangkat dari bacaan inilah kemudian MUI mengeluarkan fatwa penggunaan hak pilih dalam pemilu lewat forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III pada tanggal 23-26 Januari 2009 di Padangpanjang Padang Sumatera Barat. Fatwa ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi umat Islam dan mendorong adanya partisipasi yang tinggi dari rakyat untuk mengikuti pemilu sehingga permasalahan golput dapat diminimalisir. Penulis melihat fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu ini menarik untuk diteliti. Karena ternyata fatwa ini menuai banyak kontroversi ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Dalam penelitiannya, penulis menemukan bahwa istinbat hukumnya masih lemah, banyak dasar-dasar hukum fatwa kontradiksi antar satu dalil dengan dalil lainnya dan tidak ada korelasi dengan isi fatwanya. Selain itu, fatwa ini sangat kental dengan nuansa politik. Kepentingan politik sangat besar di balik munculnya fatwa tersebut. Fatwa ini tergolong bagian dari politisasi fatwa yang tentunya melemahkan keberadaan fatwa itu sendiri. Sehingga keberadaan fatwa tidak memberikan dampak yang positif. Buktinya setelah diputuskannya fatwa jumlah golput masih sangat tinggi, yaitu mencapai 29,01 % pada pemilu legislatif 9 April 2009 lalu.
vi
MOTTO
ِﺎﺕﻴﺎ ﹸﻝ ﺑِﺎﻟﻨﻋﻤ ﺎ ﺍﻷﻤﺍِﻧ ”setiap perbuatan bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
ﺎﻘﹶﺎﺻِﺪِﻫﺭ ﺑﻤ ﻮ ﻣ ﺍﹶﻷ ”Segala sesuatu sesuai dengan maksudnya”1
1
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), cetakan pertama, hal. 9
vii
PERSEMBAHAN Karya yang penuh mengurai kelelahan seraya menumbuhkan ketegaran, berpikir dan bertindak, kupersembahkan untuk : Ibunda dan Ayahanda tercinta yang senantiasa berdoa Guruguruku yang mengasihi yang senantiasa membimbing Sahabatsahabatku yang menemani yang senantiasa memberi dan kepada orangorang yang senantiasa mengasihiku
viii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan taufiq dan hidayahNya. Karena setelah susah payah dan usaha yang maksimal akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi. Walaupun disadari oleh penulis bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi bagi penulis karya ini merupakan karya yang paling berarti karena demi mewujudkan karya ini berbagai macam perjuangan harus dilalui oleh penulis, karena demi selesainya karya ini berbagai rintangan telah dihadapi oleh penulis. Akhirnya berkat pertolongan tuhan terbitlah karya ini. Selanjutnya, penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kesuksesan dan kelancaran penulisan karya ini khususnya dan studi di fakultas syariah IAIN Walisongo umumnya. Ucapan terima kasih terkhusus penulis haturkan kepada : 1. Ibunda dan ayahanda tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tiada henti kepada penulis 2. Rektor IAIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama berproses sebagai mahasiswa di IAIN Wallisongo 3. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama belajar di Fakultas Syariah IAIN Wallisongo 4. Pembantu Dekan I Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. H. Musahadi, MA yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan yang berkaitan dengan bidang akademik kepada penulis selama belajar di Fakultas Syariah IAIN Wallisongo 5. Pembantu Dekan II Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. Maksun, M.Ag yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan yang berkaitan dengan bidang akademik kepada penulis selama belajar di Fakultas Syariah IAIN Wallisongo
ix
6. Pembantu Dekan III Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. H. Noor Khoirin, M.Ag yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta membantu kepada penulis selama belajar di Fakultas Syariah IAIN Wallisongo 7. Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku pembimbing yang dengan sabar meluangkan waktu, pikiran dan tenaga telah memberikan bimbingan kepada penulis hingga selesai penulisan skripsi 8. Dewan Penguji yang telah membantu penyempurnaan karya ini. 9. Segenap civitas akademik Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tanpa terkecuali atas segala bimbingan dan bantuannya kepada penulis selama belajar di Fakultas Syariah IAIN Wallisongo 10. Sahabat-sahabat BEM J Siyasah Jinayah, BEM IAIN Walisongo, mahasiswa kelas SJ B2, Pengurus PMII Rayon Syariah, Pengurus PMII Komisariat Walisongo, Pengurus PC PMII Kota Semarang, Pengurus PKC PMII Jawa Tengah yang senantiasa menemani penulis dalam suka maupun duka. 11. Spesial sahabat karib Mad Sholeh (Shotek), Khadik (Kenyong), Nur Hasan (Gentho), Fauzun Nihayah (Yayah), Evy Lestari (Epi), Ritono (Oon), Shofiyulloh (Sope’), Shodikin, Jae, Fuad Takur, Irzal (Engkong), Zuyyina Laili, Muflihul Huda (Kipli), Asep Cuwantoro, Zie yang setia menemani dan membarikan inspirasi kepada penulis. 12. Para senior-senior yang senantiasa membantu dan membimbing Mas Ali Ansori, Mas Henri Wicaksono, Mas Ricadl, Mas Ali Maskur, Mas Aziz, Mas Shoib, Mas Yusro, Mas Adib, Mas Saifuddin, Mas Khotib, Mas Iman, Mas Tedi. 13. Sahabat-sahabat yang senantiasa membantu Sujiantoko (Ugul), Arif Mustofifin, Ikrom, Sutono, Rois, Najib. Kepada mereka, penulis tak mampu membalas apapun kecuali doa semoga dlimpahkan ganti yang melimpah dari-Nya, seraya berdoa ”jazakumullah khairal jaza’ jazaan katsiraa” semoga amal kebaikannya dibalas oleh Allah SWT. dengan balasan yang melimpah. Amin ya robbal’alamin.
Semaramg, Juni 2009 Penulis
x
FATWA PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU (Analisis Ketetapan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Tahun 2009)
JUDUL ........................................................................................................................... i NOTA PEMBIMBING ................................................................................................ ii BERITA ACARA MUNAQOSAH ............................................................................. iii PENGESAHAN ............................................................................................................ iv DEKLARASI ................................................................................................................ v ABSTRAK .................................................................................................................... vi MOTTO ........................................................................................................................ vii PERSEMBAHAN ........................................................................................................ viii KATA PENGANTAR ................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................................. xi BAB I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….10 C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………….. 10 D. Telaah Pustaka ………………………………………………………….. 10 E. Metode Penulisan ………………………………………………………. 13 F. Sistematika Penulisan …………………………………………………... 15
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA, HAK PILIH DALAM PEMILU DAN GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) A. Pengertian Fatwa ……………………………………………………….. 17 B. Relasi Fatwa Dengan Politik …………………………………………… 19 C. Hak Pilih Dalam Pemilu ………………………………………………... 21 D. Golput Dalam Pemilu …………………………………………………... 26 E. Golput Perspektif Fiqih Siyasah ………………………………………... 35
xi
BAB III. KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI III TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU A. Sejarah MUI ……………………………………………………………. 42 1. Latar Belakang Berdirinya MUI ……………………………………... 42 2. Peran MUI Dalam Kancah Politik di Indonesia ................................... 46 B. Fatwa MUI tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu .......................49 1. Latar Belakang Munculnya Fatwa MUI.................................................49 2. Isi Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu ............ 50 3. Dasar Hukum Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu ....................................................................................................51
BAB IV. ANALISIS FATWA MUI TENTANG PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU A. Analisis Istinbat Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu ....................................................................................................................61 B. Politik
Fatwa
Dalam
Fatwa
Penggunaan
Hak
Pilih
Dalam
Pemilu........................................................................................................ 76
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 80 B. Saran-saran ……………………………………………………………. 81 C. Penutup ………………………………………………………………… 82
Daftar Pustaka Lampiran
xii
Daftar Riwayat Hidup Nama NIM Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin Alamat Asal
: : : : :
No HP Alamat e-mail Nama Ayah Nama Ibu Alamat Orang Tua
: : : : :
Gufron 2102240 Demak, 03 Pebruari 1980 Laki-laki Rt. 05/III Dukuh Kedung Karangtengah Kabupaten Tengah 081 326 158765
[email protected] Suhardi Syafiatun Rt. 05/III Dukuh Kedung Karangtengah Kabupaten Tengah
Desa Grogol Kecamatan Demak Propinsi Jawa
Desa Grogol Kecamatan Demak Propinsi Jawa
Riwayat pendidikan formal : TK Mekar Sari Grogol (1986) SDN II Grogol (1993) MTs Miftahul Ulum (1997) MA Miftahul Ulum (2000) Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (2009) Pendidikan Non Formal : PP. Miftahul Ulum Jogoloyo Demak PP. Al Madinah Semarang Pengalaman Organisasi : 1. Ketua Umum PMII Rayon Syariah (2004-2005) 2. Ketua I PMII Komisariat Walisongo (2005-2006) 3. Koordinator Sosial dan Politik PC PMII Kota Semarang (2007-2008) 4. Divisi Hubungan Pemerintah dan Analisis Kebijakan Publik PKC PMII Jawa Tengah (2008-2010) 5. DPM Fakultas Syariah (2004-2005) 6. Koordinator Penerbitan BEM J Siyasah Jinayah Fakultas Syariah (2005-2006) 7. Menkosospol BEM IAIN Walisongo (2006) 8. Koordinator Departemen Kajian dan Penerbitan PC IPNU Demak (2002-2004) 9. PW IPNU Jawa Tengah (2004-2008) 10. Departemen Pendidikan dan Pelatihan PW IPS NU Pagar Nusa Jawa Tengah 11. Sekretaris Jendral Centre of Development for Demak Society (CDDS) Semaramg, Juni 2009 Penulis
Gufron
xiii
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penggunaan hak pilih dalam pemilu merupakan sesuatu yang sangat urgen demi untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Penggunaan hak pilih atau partisipasi yang tinggi dalam pemilu meneguhkan bahwa produk pemerintahan yang dihasilkan merupakan pemerintahan yang legitimite karena mendapat dukungan yang besar dari rakyatnya. Tetapi setiap kali diselenggarakan pemilu banyak rakyat tidak begitu peduli dengan hak pilihnya dan cenderung banyak yang tidak menggunakan pilihnya atau golput (golongan putih). Golput, sebagaimana yang didefinisikan Halim HD dalam buku ”Mengapa Kami Memilih Golput” adalah orang-orang (warga negara) yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat diselenggarakan pemilu atau menggunakan hak pilihnya tetapi tidak menentukan pilihannya atau abstain hampir selalu mewarnai saat diselenggarakannya pemilu atau pilkada. Golput ini merupakan realitas politik yang biasa terjadi dalam negara yang menganut sistem demokrasi.1 Adanya kelompok golput ini dipandang sebagai penghambat lajunya proses demokrasi bagi sebuah negara. Dimana salah satu katalisator untuk melihat dinamika demokratisasi adalah perlunya partisipasi politik yang luas dan otonom (baca: peran
1
KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk.”Mengapa Kami Memilih Golput”( SAGON, 2009), cet. I, hal. 34.
1
2 kontrol) dari seluruh komponen masyarakat. Partisipasi politik yang besar ini akan menjadi legitimasi bagi kepemimpinan yang dihasilkan dalam proses demokrasi.2 Kelompok golput ini bisa dipahami dalam dua kategori, pertama, yaitu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan tidak hadir dan memberikan hak pilihnya saat pemilu dan kedua, yaitu orang yang menggunakan hak pilihnya tetapi tidak menentukan pilihannya atau abstain, sehingga suara dinyatakan tidak sah.3 Golput pun, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, pertama, golput kritis, yakni golput yang menentukan karena pilihan pribadi, memahami konsekuensi dari pilihannya, berdasarkan kalkulasi yang matang, serta akan melakukan chek and balanceis setelah selesai pemilu. Disini diartikan sebagai golput yang tetap akan memberi masukan, kritik dan tidak membiarkan pemenang pemilu nantinya berjalan tanpa arah. Kedua, golput ikutan, golput yang hanya ikut-ikutan karena anjuran, dorongan, atau melihat tokoh tertentu yang memilih golput. Ketiga, golput akibat partainya tidak lolos dalam verifikasi KPU baik pusat maupun daerah sehingga partainya tidak bisa menjadi salah satu kontestan pemilu. Keempat, golput sakit hati, yakni golput yang didasarkan akibat tidak diloloskan oleh partainya sebagai calon misalnya. Kelima, golput apatis, mereka yang beranggapan bahwa memilih ataupun tidak, merasa tidak ada bedanya baik bagi dirinya maupun golongannya.4 Negara Indonesia yang didirikan oleh founding fathers kita, sudah menjadi konsensus nasional bahwa Negara ini terbentuk sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menggunakan sistem demokrasi yang berlandaskan asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagaimana termaktub 2
Robert A, Democracy and It’s Critics, (terj) Rahman A Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992), cet. I, Hal. 203 3 Ibid, Hal. 34. 4 Ibid, hal. 34.
2
3 dalam pembukaan UUD 1945. Arti demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, baik secara langsung maupun wakil-wakilnya. Untuk membentuk pemerintahan dan memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, negara Indonesia menggunakan sistem pemilu (pemilihan umum).5 Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan warga negara, mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan (eksekutif) dan wakil-wakil rakyat (legislatif atau parlemen) dan alternatif kebijakan umum serta sarana memobilisasi atau menggalang dukungan rakyat kepada negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih kepala pemerintahan atau eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota) dan untuk membuat kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih. Selain itu juga bertujuan memilih lembaga perwakilan rakyat atau legislatif/parlemen (DPR, DPRD I, DPRD II, DPD) yang akan menetapkan perundang-udangan dan ketentuan-ketentuan lain serta mengawasi kinerja pemerintah demi kepentingan rakyat.6 Setidaknya ada lima fungsi pemilu dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan. Pertama, untuk mewujudkan legitimasi politik (pemerintah dan parlemen); kedua, terciptanya perwakilan/integrasi politik (integrasi para pemilih dengan para wakil rakyat yang dipilihnya); ketiga, sirkulasi elite politik (perputaran dan peralihan politik antar partai, antar generasi, dan antar orang/kader); keempat,
5
Lihat LP2KS DPW PKB Jawa Tengah, Partai Untuk Rakyat, (Semarang, CV. Aneka Ilmu, 2003), hal 41. 6 Lihat dalam Partai Untuk Rakyat, Op Cit, hal. 48.
3
4 pengawasan kepada pemerintah oleh parlemen; dan kelima melakukan pendidikan politik (civic education) langsung untuk rakyat.7 Di negara Indonesia, pemilu (pemilihan umum) merupakan satu-satunya instrumen politik untuk melakukan proses pemilihan pemimpin. Sebagaimana termaktub dalam UU nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu, pasal 1 ayat 2 hingga ayat 4 terdiri dari pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dan dalam konsideran UU nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Melihat dari sejarah penyelenggaraan pemilu yang diselenggarakan di Negara Indonesia dari waktu ke waktu (mulai tahun 1955 sampai 2009) jumlah golput (orang yang tidak memberikan hak suaranya) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Pada pemilu tahun 1955 yang dipandang pemilu paling demokratis tingkat golput mencapai 12,23 %. Sementara pada pemilu-pemilu di era orde baru, dimana rakyatnya dimobilisasi dalam pemilu, angka golput masih sangat tinggi. Dalam pemilu 1971 golput mencapai 6,67 %, kemudian meningkat menjadi 8,40 % dalam pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam pemilu 1982 menjadi 9,61 %. Dalam pemilu 1987 turun menjadi 8,39 % dan meningkat lagi dalam pemilu 1992 menjadi 9,05 % dan 9,05 % dalam pemilu 1997.8
7
Ibid, hal. 49. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, Dalam Kumpulan Makalah Materi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III dalam makalah “Golput Dalam Pemilihan Umum; Perspektif Hukum Islam”, Hal 44. 8
4
5 Sedangkan angka golput pasca jatuhnya rezim otoriter orde baru masih meningkat yakni mencapai 10,40 %. Sementara dalam pemilu legislatif 5 April 2004 angka golput menunjukkan peningkatan yang signifikan, yakni mencapai 23,34 % atau 34,5 juta rakyat. Golput juga dijumpai dalam pemilihan Kepada Daerah (pilkada). Rata-rata jumlah golput di berbagai propinsi menunjukkan angka yang sangat tinggi yakni mencapai 38-40 %.9 Bahkan ada beberapa pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2008 justru dimenangkan oleh golput. Gejala ini diperkirakan akan terus berlangsung bahkan meningkat pada pemilu 2009. Dan ternyata benar, jumlah golput pada pemilu legislatif 9 April 2009 menembus angka 67.166.287 atau 29,01 persen dari total DPT (Daftar Pemilih Tetap) berjumlah 171.265.442. Besarnya angka golput tersebut terdiri dari 49.677.706 yang tidak menggunakan hak pilihnya dan 17.488.581 suara yang tidak sah atau rusak. Sementara total suara yang sah berjumlah 104.099.785 dan suara yang ada berjumlah 121.588.366.10 Maraknya fenomena golput saat diselenggarakan pemilu baik pemilu legislatif (DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD) maupun pemilu eksekutif (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) dan pilkada (pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota) di beberapa daerah di Indonesia membuat banyak pihak terutama pemerintah kalang kabut. Pemerintah harus bekerja keras agar pemilu yang akan diselenggarakan bisa berjalan dengan sukses dengan angka golput yang sedikit. Karena kalau pemilu sukses dengan partisipasi politik masyarakat yang tinggi tentunya akan menghasilkan pemerintahan yang legitimate. 9
Ibid, hal 44. Harian Suara Merdeka, Minggu Pon, 10 Mei 2009
10
5
6 Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka golput, diantaranya; pertama, sudah lunturnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpinpemimpinnya. Mereka yang memberikan janji-janji manis pada saat akan dilangsungkan pemilu atau pilkada dipandang belum memenuhi janjinya. Sehingga bangsa ini tidak bisa keluar dari masalah yang dihadapinya dan masyarakat tidak menemukan perubahan yang berarti dari setiap proses pemilu atau pilkada. Komitmen para pemimpin yang dipilihnya untuk menjadi corong rakyat dalam menyejahterakan masyarakat hanyalah isapan jempol semata. Kedua, seseorang melakukan golput dikarenakan faktor teknis yakni tidak bisa memilih karena misalnya berada diperantauan (tidak di daerah pemilihan) atau tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga tidak ada kesempatan atau tidak diijinkan untuk menggunakan hak pilihnya. Ketiga, karena memang dengan sadar tidak berniat untuk menggunakan hak pilihnya karena tidak ada calon atau sosok wakilnya yang dipandang layak atau berkwalitas. Dan masih banyak lagi faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan golput (tidak memberikan hak pilihnya). Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim, mempunyai tujuan untuk ”mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridloi Allah dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila” (pasal 3 Pedoman Dasar MUI), yaitu yang terdapat dalam pasal 4 PD MUI: 1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridloi Allah SWT; 2) Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah
6
keagamaan
dan
kemasyarakatan
kepada
pemerintah
dan
masyarakat;
7 3)
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah-islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa; 4) Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional; 5) Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan muslim; 6) Mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama; 7) Usaha lainnya yang sesuai dengan tujuan organisasi.11 Melihat realitas fenomena golput sebagaimana tergambar di atas, muncul wacana publik mengenai hukum golput, baik dilihat dari aspek konstitusi maupun hukum keagamaan. Dalam hal ini MUI diminta oleh beberapa pihak untuk mengeluarkan fatwa mengenai hukum golput, karena MUI dipandang sebagai institusi umat Islam yang berkewenangan memberikan pendapat-pendapat hukum Islam atas realitas yang dihadapi umat Islam, diantaranya pemilu yang dipandang sebagai sarana untuk mendirikan pemimpin (nasb al imamah). Dalam perspektif Islam memilih pemimpin menurut al-Mawardi dalam kitab ”Al-Ahkam Al-Sulthaniyah” bahwa ’aqdl al imamah (penegakan kepemimpinan) hukumnya wajib berdasarkan konsensus. Hal ini mengingat imamah ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia. Dengan demikian, dalam perspektif ini, maka partisipasi dalam kekuasaan politik
adalah
wajib
untuk
ketertiban
11
dunia
dan
agama.
Kewajiban
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, (LKiS: Yogyakarta, 2000), hal. 89.
7
8 menyelenggarakan pemerintahan (yang merupakan urusan dunia) juga merupakan kewajiban agama.12 Berangkat dari tujuan dan usaha MUI yang termaktub di dalam peraturan dasarnya, akhirnya MUI mencetuskan fatwa tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan lewat Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Januari 2009 di Padangpanjang Padang Sumatera Barat. Keputusan tersebut sebagaimana tertuang pada Keputusan Ijtima’ Ulama’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III tentang masail asasiyyah wathaniyyah (masalah strategis bangsa) point IV : Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum yang isinya sebagai berikut: 1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. 2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. 4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
12
Al-Mawardy, Abi Al-Husain Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al Fikr, Hal. 5.
8
9 5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.13 Tak pelak keputusan (baca: fatwa) yang keluarkan MUI tersebut mendapat reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang pro dengan fatwa dan juga banyak yang kontra atau menolak adanya fatwa tersebut. Titik perdebatan dari fatwa tersebut karena fatwa tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut negara ini bahwa memberikan pilihan pada saat pemilu atau pilkada merupakan hak setiap warga Negara sementara fatwa tersebut mengatakan bahwa pemilu adalah wajib dan proses yang berkaitan dengan pemilu adalah bagian dari kewajiban termasuk didalamya adalah menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu ada hal yang bertentangan antara makna isi dari fatwa tersebut dengan prinsipprinsip konstitusi dalam sistem demokrasi Pancasila. Dari pembacaan di atas penulis akan melakukan penelitian terhadap keputusan MUI tersebut demi untuk penulisan skripsi. Fokus penelitiannya adalah bagaimana sebenarnya latar belakang kemunculan fatwa tersebut dan apa yang menjadi istinbath hukum yang mendasari kemunculan fatwa tersebut. Sehingga penelitian ini diharapkan akan bisa memberi pertimbangan lain atas fatwa MUI yang telah menimbulkan pro dan kontra ini sehingga fatwa ini bisa dipandang dan didudukkan secara proporsional.
13
Lihat Hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III materi I Masail Asasiyyah Wathaniyyah (masalah strategis kebangsaan) point 4 tentang tidak menggunakan hak pilih (golput) dalam pemilihan umum.
9
10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dan pembacaan di atas, maka yang menjadi pokok rumusan masalah dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang kemunculan fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu? 2. Bagaimana istinbat hukum Fatwa yang digunakan MUI (Majelis Ulama Indonesia)?
C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan pokok dari penulisan dan penyusunan karya skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang munculnya fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu? 2. Untuk mengetahui bagaimana istinbat hukum fatwa MUI?
D. Telaah Pustaka Mengingat fatwa tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu ini termasuk permasalahan yang baru (aktual) maka sulit untuk menemukan karya-karya ilmiah yang khusus membahas permasalahan ini. Tetapi berbicara mengenai fatwa MUI kiranya sudah tidak asing lagi di pendengaran kita. Sebelum muncul fatwa ini kita sudah sering mendengar fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
10
11 Penggunaan hak pilih dalam pemilu yang merupakan sesuatu yang berkaitan dengan pemilu dimana pemilu merupakan mekanisme pemilihan pemimpin maka terkait dengan permasalahan ini sudah banyak karya-karya ilmiah atau buku yang membahas tentang pentingnya keberadaan pemimpin. Terutama dalam pandangan Islam, bahwa dalam perspektif Islam keberadaan pemimpin sangat penting. Bukubuku atau karya ilmiah yang membahas ini sangat banyak misalnya buku karangan Dr. Munawir Sadzali, MA yang berjudul ”Islam dan Tata Negara” atau buku yang dikarang oleh ulama kuno, al-Mawardi yang berjudul ”al-Ahkam al-Sulthaniyyah”. Berhubungan dengan pijakan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui latar belakang kemunculan fatwa MUI dan istinbat hukumnya, maka penulis mengambil pijakan dari Keputusan Ijtima’ Ulama’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III Materi I tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah (masalah strategis kebangsaan) pada point 4 tentang penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Januari 2009 di Padangpanjang Padang Sumatera Barat.14 Selain daripada itu penulis menggunakan al-Qur’an dan hadis-hadis yang menjelaskan tentang fungsi-fungsi pentingnya pemimpin. Selanjutnya buku yang ditulis Khaled M. Abou el Fadl yang berjudul ”Atas Nama Tuhan, Dari Fiqih Otoriter Menuju Otoritatif”. Dalam buku tersebut diterangkan bagaimana sebuah fatwa sangat terkait dengan konstruksi kuasa. Khaled
14
Hasil-Hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, Padangpanjang Padang Sumatera Barat, 23-26 Januari 2009.
11
12 menegaskan sebuah fatwa bisa berlaku jika memenuhi beberapa kriteria: masuk akal, mendahulukan kepentingan umum, mementingkan aspek terkait dan kejujuran.15 Karena fokus pembahasan penelitian ini terkait dengan fenomena golput, yaitu buku yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk. yang berjudul ”Mengapa Kami Memilih Golput”. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana alasan-alasan
seseorang
melakukan
tindakan
golput,
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi atas tindakan golput dan solusi-solusi yang harus dilakukan terkait dengan sistem pemilu.16 Karena golput terkait dengan fenomena realitas politik yang terjadi pada saat dilaksanakannya pemilu maka penulis juga membaca buku-buku yang menulis tentang konsep pemilu di Indonesia. Buku-buku tersebut diantaranya buku yang ditulis oleh Joko J. Prihatmoko berjudul ”Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis”. Di dalam buku ini ia menulis mengenai sistem pemilu dalam negara demokrasi, sistem pilkada, ketentuan-ketentuan teknis dalam pemilu yang meliputi sistem penetapan caleg, daftar pemilih tetap, dll.17 Selanjtnya buku yang ditulis LP2KS DPW PKB Jawa Tengah berjudul ”Partai untuk Rakyat”. Di dalam buku ini dijelaskan tentang konsep negara demokrasi, pemilu, tujuan dan fungsi pemilu dalam sistem negara demokrasi, dan sebagainya.18 Dan buku ”Perihal Pemilu” yang ditulis oleh Sigit Pamungkas, dalam buku ini Sigit menuturkan sejarah pemilu di Indonesia bersama dengan sistem yang
15
Khaled M. Abou Elfadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqih Ototriter Menuju Otoritatif, (Jogja: Serambi, 2004). 16 KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk.”Mengapa Kami Memilih Golput”( SAGON, 2009) 17 Joko J. Prihatmoko,”Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). 18 LP2KS DPW PKB Jawa Tengah, Partai Untuk Rakyat, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003)
12
13 dipakai dalam setiap pemilu sampai hasil perolehan suara dalam pemilu di Indonesia. Mengenai pembahasan fatwa, sudah banyak pula karya-karya ilmiyah yang membahasnya, misalnya skripsi Imron Hamzah yang berjudul ”Terorisme Dalam Perspektif Islam; Studi Analisis Terhadap Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004” dan skripsi Hadi Wibowo yang berjudul ”Peran Negara Dalam Relasi Konflik AliranAliran Keagamaan; Studi Kasus Pelarangan Aliran Ahmadiyah di Indonesia oleh MUI” Dari karya-karya dan tulisan yang telah dimunculkan, penulis melihat belum ada tulisan atau hasil penelitian yang terkait dengan fatwa MUI tentang haram golput. Dengan demikian maka hal ini menjadi objek kajian yang sangat layak untuk dikaji. Atas dasar itu, kiranya layak apabila penelitian ini dilakukan karena ada aspek kebaruan yang terkandung di dalamnya.
E. Metode Penelitian 1. Metode dan Cara Penelitian Dalam penelitian ini, agar terarah dan dapat memperoleh hasil yang optimal maka penulis menggunakan sebuah metode penelitian. Dilihat dari jenis penelitian, penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research) atau jenis penelitian kualitatif dengan jalan membaca, menelaah bukubuku dan artikel yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Karena dalam penelitian kualitatif, data
13
14 bukan merupakan angka-angka berderet melainkan berupa kata-kata yang seringkali mempunyai beberapa arti dalam konteks lingkungannya.19 Dalam penyusunan skripsi ini penulis memakai metode dokumentasi yakni penulis mengumpulkan data-data dokumentasi yang bersumber dari bukubuku, karya-karya ilmiyah, makalah, artikel dan lainnya yang berhubungan dengan tema penelitian skripsi ini. Penelitian dokumen dimaksudkan untuk mendeskripsikan dokumen atau barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode penelitian dokumentasi, penulis menyelidiki data-data yang berupa benda-benda tertulis dan pendapat-pendapat ahli seperti buku-buku, karya-karya ilmiah, artikel, majalah, dokumen, wawancara dan sebagainya.20 2. Teknik Pengumpulan Data Dokumen yang dijadikan sebagai sumber data adalah sumber data primer dan sekuder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari MUI yang mengeluarkan fatwa tentang golput yaitu keputusan MUI tentang golput yang menjadi inti kajian dari penelitian ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah berupa data-data tertulis dan pendapat-pendapat ahli yang bersumber dari buku-buku, karya-karya ilmiah, artikel, dan lain sebagainya yang menjelaskan bahan-bahan kajian penelitian ini. Data sekunder lain juga bisa berupa berita dari media masa dan wawancara yang bertujuan untuk mendukung data-data pokok sesuai materi skripsi yang ditulis oleh penulis.
19
Hadari Nawawi, et el , Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada University, 1991), hlm.
133-135 20
Suharsini Arikunto; Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, Cet ke 11, 1998, hal. 149
14
15 3. Teknik Analisis Data Dalam penyajian data, skripsi ini menggunakan metode narasi, yakni mengungkapkan data-data (baik primer maupun sekunder) yang diperoleh penulis peroleh kemudian disusun secara runtut dan sistematis. Sementara teknik analisis data, penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan apa adanya dan mendeskripsikan data-data yang diperoleh melalui sumber data primer dan sekunder tersebut. Kemudian data-data tersebut dilakukan analisis sehingga dapat diperoleh kejelasan arti atau maksud dari obyek kajian penelitian yakni fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu.21
F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami dan membahas penelitian skripsi ini, maka penulis menyusun skripsi ini secara sistematis dalam lima bab yaitu sebagai berikut: pada bab pertama yang merupakan bagian dari pendahuluan akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada bab kedua menjelaskan pandangan umum mengenai fatwa, relasi fatwa dengan politik, penggunaan hak pilih dalam pemilu, pengertian golput, sejarah golput dan latar belakang kemunculannya di Indonesia, tingkat golput dalam pemilu di Indonesia, serta golput dalam perspektif fiqih siyasah. Sebelum menjelaskan 21
Dr. Lexy J. Moleong, M.A,. Imetodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet. 12, 2002, hlm. 210
15
16 panjang lebar tentang fatwa penggunaan hak pilih dalam pemilu, perlu dipaparkan dulu penjelasan rinci tentang relasi fatwa dengan politik karena melihat fatwa ini sangat kental sekali nuansa politiknya. Selain itu juga perlu dipaparkan mengenai golput dan keseluruhan sejarah golput dalam pemilu di Indonesia disertai dengan batasan pengertian yang jelas dan data-data matematis yang dijadikan acuan dalam menganalisis fatwa. Selanjutnya pada bab ketiga menjelaskan tentang fatwa penggunaan hak pilih dalam pemilu yang berisi tentang sejarah MUI, latar belakang berdirinya MUI, peran MUI dalam kancah politik di Indonesia dan fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu yang meliputi latar belakang munculnya fatwa, isi fatwa serta dasar hukum fatwa. Hal ini sangat penting untuk mengetahui posisi MUI dalam merumuskan fatwa mengingat fatwa ini merupakan fatwa yang sangat berkaitan dengan kepentingan politik. Sementara dalam bab keempat menjelaskan tentang analisis fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu yang meliputi analisis istinbat hukum yang diguakan MUI untuk mengeluarkan fatwa. Pada point ini akan dianalisis secara kritis dasar-dasar normatif yang dipakai MUI dalam merumuskan fatwa dengan melihat posisi MUI dan kronologi yang melatarbelakangi di balik kemunculan fatwa ini. Analisis ini penting dijabarkan agar bisa mengetahui sejauh mana keberadaan MUI dan fatwanya dalam konteks ke-Indonesia-an sehingga fatwa ini kemudian dapat didudukkan secara proporsional. Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
16
17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA, HAK PILIH DALAM PEMILU DAN GOLONGAN PUTIH (GOLPUT)
A. Pengertian Fatwa Terminologi fatwa
( )ﺍﻟﻔﺘﻮﻯmenurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu
kejadian (peristiwa). sementara Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, mengartikan bahwa fatwa berasal dari kata ( ﺍﻟﻔﱴal-fataa) yang berarti pemuda, arti ini dimaknai sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah).22 Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ sebagaimana diungkapkan Yusuf al-Qardhawi ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.23 Fatwa merupakan salah satu metode dalam al-Qur’an al-Karim dan asSunnah al-Muthahharah dalam menerangkan hukum-hukum syara’, ajaranajarannya, dan arahan-arahannya. Terkadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat dalam alQur’an, baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran.24 Demikian pula tak jarang penjelasan fatwa itu datang setelah adanya pertanyaan dan permintaan fatwa terlebih dahulu, dengan menggunakan perkataan 22
Yusuf Qardhawi, DR, FATWA Antara Ketelitian dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997,
23
Ibid, hlm. 5
24
Ibid, hlm. 6
hlm. 5
18
ﻳﺴﺎﻟﻮﻧﻚ
(mereka bertanya kepadamu), atau
ﻳﺴﺘﻔﺘﻮﻧﻚ
(mereka meminta fatwa
kepadamu). Sementara itu, dalam as-Sunnah ada kalanya Rasulullah SAW. menerangkan hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal seperti ini beliau lakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang masih ragu, untuk mengkhususkan yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat). Fatwa juga sebagai penjelas Nabi SAW. terhadap al-Kitab al-Aziz (al-Qur’an), atau untuk tujuan lain dan atau sebagai jawaban bagi suatu pertanyan.25 Fatwa diambilkan dari sumber-sumber hukum syara’ dimana sumber hukum syara’
ialah
dalil-dalil
syara’
(al-adillah
al-syar’iyah)
yang
daripadanya
diistinbatkan hukum-hukum syara’. Yang dimaksud dengan istinbat ialah upayaupaya atau cara-cara untuk mencarikan hukum bagi sesuatu permasalahan dari suatu dalil.26 Kata al-adillah
()ﺍﻻﺩﻟﺔ
jama’ (plural) dari kata dalil, yang menurut bahasa
berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar’i yang ‘amali. Artinya dapat menunjuk dan mengatur kepada bagaimana melaksanakan suatu amalan yang syar’i dengan cara yang tepat dan benar.27
25
Ibid., hlm. 6-7 Muin Umar, Drs, Symuni A. Rahman, Drs. H, Tolchah Mansoer, Dr. SH, H, Kamal Muchtar, Drs. H, Zahri Hamid, Drs. Dahwan, Drs, Ushul Fiqh I, Jakarta: DEPAG RI, 1985, hlm. 62 27 Ibid., 26
19 Secara singkat al-adillah itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalil itu ada yang berupa wahyu dan ada pula yang bukan wahyu. Sedang yang berupa wahyu yaitu dalil yang bisa dibaca (matluwwun) dan yang tidak dibaca (ghairu matluwwin). Yang matluw ialah al-Qur’an, sedang yang ghairu matluw ialah as-Sunnah. Sementara dalil yang bukan wahyu, apabila itu merupakan pendapat (ar-ra’yu) para mujtahidin, dinamakan al-Ijma’, sedang apabila ia berupa kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain dinamakan al-Qiyas.28 Jadi semua dalil-dalil hukum syar’i tersebut berfungsi sebagai perangkat untuk menggali istinbat hukum syara’ yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kekinian, baik masalah akidah, ubudiyyah, muamalah maupun muasyaroh. Tentunya semua persoalan itu membutuhkan jawaban (fatwa). Membaca keterangan singkat mengenai fatwa diatas, dapat dipahami bahwa fatwa berfungsi sebagai penjawab atas persoalan-persoalan aqidah, ibadah, muamalah maupun muasyaroh dari seorang ulama (mufti) yang bersifat individual atau personal.
B. Relasi Fatwa Dengan Politik Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok ulama, zu’ama, dan cendekiawan difungikan sebagai lembaga atau institusi yang diberi kewenangan untuk memberi dan mengeluarkan fatwa. MUI diartikan sebagai pewaris nabi yang berhak mengemban misi-misi kenabian yakni memberikan fatwa atas setiap persoalan yang dihadapi umat Islam. Sebagaimana
28
Ibid.,
20 dikatakan oleh Imam asy-Syatibi bahwa ulama merupakan pelanjut tugas para Nabi. (Ulama adalah merupakan ahli waris para nabi).29 Dalam konteks pemfatwaan di Negara Indonesia ini terdapat relasi yang kuat antara fatwa dengan politik. Hal ini dengan melihat keberadaan MUI diberi kewenangan untuk mengeluarkan dan menetapkan fatwa. MUI sebagai institusi atau lembaga yang mempunyai badan hukum resmi dari Negara menjadikan keberadaan dan kewenangan MUI sebagai pengayom umat Islam dan pemberi fatwa ini semakin kuat dan legal. Seluruh permasalahan hukum yang dihadapi umat Islam seakan berada di bawah kewenangan MUI. Padahal sebenarnya MUI adalah hanya kelompok kecil yang tidak akan mampu menjadi representasi absolut dari seluruh kepentingan umat Islam. Selain daripada itu campur tangan kekuasaan politik atas terbentuknya MUI pada waktu itu semakin membuktikan adanya relasi tersebut. Bahwa terbentuknya MUI tidak bisa dilepaskan dari peran rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Lebih dari itu relasi fatwa dengan politik ini bisa dilihat dari produk-produk fatwa yang telah dikeluarkan MUI. Fatwa-fatwa tersebut cenderung memihak kepada kepentingan kekuasaan pemerintah bahkan diorientasikan untuk mendukung program-program pemerintah. Seperti fatwa dibolehkannya program keluarga berencana (KB) dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang mendapat reaksi keras dari kalangan umat Islam. Dengan demikian, membaca uraian singkat diatas jelas keberadaan fatwa tidak dapat dilepaskan relasinya dengan politik. Hal ini senada dengan yang
29
Ibid., hlm. 13
21 dijelaskan Khaled M. Abou el Fadl bahwa keberadaan fatwa itu memang mempunyai relasi kuat dengan kontruksi kuasa atau kepentingan politik.30
C. Hak Pilih Dalam Pemilu Yang dimaksud dengan hak pilih dalam pemilu adalah hak yang diberikan kepada setiap warga negara untuk menentukan pilihannya pada saat diselenggarakan pemilihan umum. Berbicara tentang hak warga negara dalam pemilu, undang-undang negara kita telah membahasnya yaitu dijelaskan dalam pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.31 Adapun warga negara bisa yang menentukan pilihannya pada saat diselenggarakan pemilu adalah warga negara yang sudah mencapai umur 17 tahun atau yang sudah kawin. Hal ini sudah ditetapkan lewat undang-undang pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.32 Karena hak pilih dalam pemilu mempunyai keterkaitan dengan pemilu, maka perlu kiranya dijelaskan bagaimana proses penyelenggaraan pemilu di Negara Indonesia ini. Dibawah ini pemaparan singkat mengenai penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
30
Lihat Khaled M. Abou Elfadl, dalam Atas Nama Tuhan, Dari Fiqih Ototriter Menuju
Otoritatif. 31
UUD 1945, Dahara Prize, Semarang, hal. 44 Hasil-Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III di Padang Panjang Padang Sumatera Barat, 24-26 Januari 2009, Looc cit, hal. 11-14. 32
22 1. Definisi Pemilu Arti dari pada pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan warga negara, mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan (eksekutif) dan wakil-wakil rakyat (legislatif atau parlemen) dan alternatif kebijakan umum serta sarana memobilisasi
atau
menggalang
dukungan
rakyat
kepada
negara
dan
pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.33 Di negara kita, Indonesia terdapat dua jenis pemilu; 1) pemilu legislatif/parlemen, yakni untuk memilih anggota DPR, DPRD tingkat I (propinsi), DPRD tingkat II (kabupaten/kota), dan DPD,34 2) pemilu eksekutif, adapun pemilu ini terbagi menjadi dua yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau pilpres dan pemilihan Kepala Daerah atau pilkada, yaitu untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota.35 Anggota legislatif/parlemen yang dipilih melalui pemilu legislatif mempunyai tugas untuk menetapkan perundang-undangan dan ketentuanketentuan lain serta mengawasi kinerja pemerintah demi kepentingan rakyat. Sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 BAB VII pasal 20A ayat 1 (A-2) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
33
Lihat dalam Partai Untuk Rakyat, Look Cit, hal. 47 Sesuai dengan ketentuan amandemen ke 4 UUD 1945 BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat pasal 19 (A-2) “Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”, BAB VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah dan pasal 22 C (A-3) “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap propinsi melalui pemilihan umum.” 35 Sesuai dengan ketentuan amandemen ke 4 UUD 1945 BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara pasal 6 A (A-3) “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, dan pasal BAB VI tentang Pemerintah Daerah pasal 18 ayat 4 (A-2) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” 34
23 pengawasan. Sementara Presiden dan Wakil Presiden dan kepala pemerintahan daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) yang dipilih melalui pilpres dan pilkada mempunyai tugas untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah dan merumuskan kebijakan-kebijakan umum, dan lain sebagainya.36 Setidaknya ada lima fungsi pemilu dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan. Pertama, untuk mewujudkan legitimasi politik (pemerintah dan parlemen); kedua, terciptanya perwakilan/integrasi politik (integrasi para pemilih dengan para wakil rakyat yang dipilihnya); ketiga, sirkulasi elite politik (perputaran dan peralihan politik antar partai, antar generasi, dan antar orang/kader); keempat, pengawasan kepada pemerintah oleh parlemen; dan kelima melakukan pendidikan politik (civic education) langsung untuk rakyat.37
2. Peserta Pemilu Pemilu diikuti dua elemen peserta pemilu; pertama, partai politik, untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota dan kedua, perseorangan, untuk memilih anggota DPD sebagaimana termaktub dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD bab III pasal 7 dan 11.38
36
Lihat dalam Partai Untuk Rakyat, Op Cit, hal. 48. Ibid, hal. 49. 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD bab III pasal 7 “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah partai politik” dan pasal 11 point 1 “Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan” 37
24 3. Hak Rakyat Dalam Pemilu Sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang bahwa rakyat mempunyai hak dalam pemilu hak-hak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Hak
untuk
memilih,
artinya
hak
untuk
memilih
calon
legislatif
(DPR/DPRD/DPD), eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) dan hak untuk memilih dan mengikuti partai politik. 2. Hak untuk dipilih, artinya hak untuk dipilih sebagai calon legislatif (DPR/DPRD/DPD)
dan
calon
eksekutif
(Presiden,
Gubernur,
Bupati/Walikota) 3. Selain hak untuk memilih dan dipilih, rakyat juga memiliki hak untuk mengawasi pelaksanaan pemilu agar dapat berjalan secara jujur dan adil dengan membuat lembaga-lembaga pengawasan pemilu indepeden dan lain sebagainya selain itu juga berhak untuk didaftar sebagai pemilih.
4. Penyelenggara Pemilu Adapun
yang
bertanggungjawab
atas
penyelenggaraan
pemilu
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang adalah Komisi Pemilihan Umum atau disingkat KPU. Penyelenggara pemilu tersebut terbagi menjadi beberapa tingkatan mulai dari pusat sampai desa/kelurahan, di dalam negeri dan di luar negeri. Dari tingkatan-tingakatan tersebut mempunyai hubungan hirarkis organisatoris dengan tugas dan kewenangan yang diatur sesuai undang-undang yang telah ditetapkan.
25 Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional. 2.
Komisi Pemilihan Umum Propinsi, selanjutnya disebut KPU Propinsi, adalah lembaga penyelenggara pemilu di tingkat propinsi.
3. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU Kabupaten/Kota,
adalah
lembaga
penyelenggara
pemilu
di
tingkat
kabupaten/kota. 4. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain. 5. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan pemilu di tingkat desa atau nama lain/kelurahan. 6. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya PPLN, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan pemilu di luar negeri. 7. Kelompok Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara. 8. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri.
26 5. Pelaksanaan Pemilu Pemilu baik pemilu legislatif (DPR, DPRD dan DPD) maupun eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) yang diselenggarakan di Negara Indonesia ini dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Bahwa pelaksanaan pemilu, sebagaimana yang diamanatkan oleh undangundang, diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Adapun mengenai ketentuan jadwal pelaksanaan pemilu baik pemilu di tingkat nasional maupun daerah (pilkada) dan hal-hal yang terkait dengan pemilu misalnya penetapan partai politik, penetapan calon-calon, masa kampanye, hari pemungutan suara, dsb. ditetapkan oleh KPU baik KPU Pusat, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota.
D. Golput Dalam Pemilu 1. Definisi Golput Istilah Golput (golongan putih) muncul sebagai sebuah terminologi politik sejak zaman orde baru. Pada zaman orde baru, istilah golput digunakan untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang dengan kesadarannya tidak memberikan hak pilihnya sebagai protes terhadap rezim. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, golput merupakan akronim dari golongan putih. Golongan putih merupakan istilah politik yang berarti warga Negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes.39 Yang dimaksud dengan golput adalah orang-orang (warga negara) yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat diselenggarakan pemilu atau menggunakan hak pilihnya tetapi tidak menentukan pilihannya atau abstain. Dari 39
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2007 Edisi ketiga, cetakan keempat, hal. 368.
27 maksud di atas golput dipahami dalam dua kategori, pertama, yaitu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan tidak hadir dan memberikan hak pilihnya pada saat pemilu dan kedua, yaitu orang yang menggunakan hak pilihnya tetapi tidak menentukan pilihannya atau abstain, sehingga suara dinyatakan tidak sah.40 Golput pun, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, pertama, golput kritis, yakni golput yang menentukan karena pilihan pribadi, memahami konsekuensi dari pilihannya, berdasarkan kalkulasi yang matang, serta akan melakukan chek and balanceis setelah selesai pemilu. Disini diartikan sebagai golput yang tetap akan memberi masukan, kritik dan tidak membiarkan pemenang pemilu nantinya berjalan tanpa arah. Kedua, golput ikutan, golput yang hanya ikut-ikutan karena anjuran, dorongan, atau melihat tokoh tertentu yang memilih golput. Ketiga, golput akibat partainya tidak lolos dalam verifikasi KPU baik pusat maupun daerah sehingga partainya tidak bisa menjadi salah satu kontestan pemilu. Keempat, golput sakit hati, yakni golput yang didasarkan akibat tidak diloloskan oleh partainya sebagai calon misalnya. Kelima, golput apatis, mereka yang beranggapan bahwa memilih ataupun tidak, merasa tidak ada bedanya baik bagi dirinya maupun golongannya.41
2. Faktor-Faktor Penyebab Golput Golput atau tindakan tidak memilih (non-voting behavior) merupakan reaksi terhadap situasi atau hal-hal tertentu dalam pemilu yang dinilai merugikan.
40
KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk.”Mengapa Kami Memilih Golput”( SAGON, 2009), cet. I, hal. 34. 41 Ibid, hal. 34.
28 Dengan kajian sederhana dapat dikaji penyebab umum dan khusus terjadinya golput. Penyebab umum meliputi, pertama, kejenuhan dan kebosanan pemilih terhadap pemilu yang terus-menerus. Kedua, kekecewaan pemilih terhadap perilaku politisi. Penumpukan kekecewaan menumbuhkan frustasi dan antipati. Ketiga, penurunan kesejahteraan masyarakat dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.42 Lebih jauh, golput juga disebabkan faktor-faktor khusus di antaranya adalah pertama, mencuatnya persoalan hukum, politik dan administratif di daerah yang menimbulkan situasi kurang kondusif. Kedua, rendahnya daya tarik calon akibat merosotnya kredibilitas dan akuntabilitas. Ketiga, kurangnya akseptabilitas dan popularitas calon. Keempat, kebingungan pemilih akibat banyaknya calon. Dan keenam, sosialisasi pemilu yang kurang. Dari berbagai penyebab itu, terlihat atmosfer yang menyelimuti perilaku pemilih dalam pemilu, yakni kurangnya kepercayaan (distrust) dan tiadanya harapan (hopeless).43 Selain faktor di atas golput juga dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama karena persoalan administratif. Banyak pemilih yang sesungguhnya memiliki niat baik dan kesungguhan ingin memilih, namun gagal memilih karena terbentur oleh persoalan administratif, misalnya pemilih yang divonis tidak bisa memilih karena tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap (DPT) atau terdaftar di DPT, tetapi tidak mendapat kartu pemilih maka seorang pemilih juga tidak bisa memilih atau sudah terdaftar di DPT dan sudah mendapat kartu pemilih, tetapi
42
Joko J. Prihatmoko,”Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal. 213. 43 Joko J. Prihatmoko, Ibid, hal. 214.
29 tidak mendapatkan undangan juga bisa menyebabkan seorang pemilih enggan untuk datang ke TPS. Kedua, pemilih tidak datang ke TPS karena kuatnya persoalan individual yang dihadapi ketika hari H, misalnya, seorang petani yang mesti menanam bibit di hari H pemilihan, atau sedang merantau kerja di daerah lain yang mengalami kesulitan untuk pulang karena lemahnya ekonomi atau lainnya, atau sedang sakit parah yang tidak mungkin bisa datang ke TPS, dan penyebab-penyebab teknis lain. Ketiga,
yang melatarbelakangi pemilih tidak datang ke TPS adalah
karena faktor kesadaran politik. Yakni, pemilih sudah cukup sadar dan dewasa ketika menentukan sikap untuk tidak memilih, misalnya, karena mereka menilai bahwa para calon yang tampil tidak layak untuk dipilih dan tidak bisa memberi harapan untuk perubahan atau lainnya sehingga amanat yang akan diemban yakni
memperjuangkan
kepentingan-kepentingan
rakyatnya
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.44
3. Sejarah Golput dan Latar Belakang Kemunculannya di Indonesia Tindakan tidak memilih dalam proses pemilihan pemimpin (golput) merupakan fenomena yang nyata dalam sejarah pemilu atau pemilihan pemimpin. Karena golput adalah persoalan yang melekat pada saat diselenggarakan pemilu. Di Indonesia term golput ini muncul pertama kali pada tahun 1971, tepat sebulan sebelum dilangsungkan pemilu. Di balai budaya, Jakarta, tiga puluh empat eksponen yang dipimpin Arif Budiman, seorang aktivis 44
Totok Sarsito dalam artikel yang bertajuk “Jadi Ancaman?” yang dimuat di Harian Suara Merdeka, Senin Legi, 13 April 2009
30 mahasiswa, didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan golput. Pendeklarasian kelompok golput tersebut dimaksudkan untuk memprotes terhadap rezim pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Soeharto yang dianggap memelencengkan sistem pemerintahan dan pemilu. Pemilu hanya dijadikan alat untuk legitimasi kekuasaan orde baru.45 Menjelang pelaksanaan pemilihan umum 1971, Pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia. Dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo, penasihat khusus Soeharto dalam bidang intelejen, mengepalai unit Operasi Khusus (Opsus) selama beberapa tahun, memegang posisi sebagai Ajudan Pribadi Presiden selama hampir 10 tahun dan kemudian menjadi Menteri Penerangan pada masa pemerintahan Soeharto. Di dalam bukunyalah, 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan, terdapat gagasangagasan kontra-revolusi. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep bahwa rakyat akan menyibukan dirinya dalam usahausaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam masyarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahun 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki peran lagi dalam politik. Bahkan, gagasan ”massa mengambang” lebih diilhami oleh persepsi kepasifan politik massa dalam sistem 2 partai demokrasi parlementer Barat pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.46
45 46
http://www.wawasandigital.com. Harian Kompas, Minggu, 1 Pebruari 2009
31 Tak senang pada cara pemerintah campurtangan dalam urusan internal partai politik, dan menentang penggunaan kekerasan di pedesaaan untuk mendapatkan dukungan bagi partai pemerintah, maka kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar pemilihan umum resmi, pemberian suara informal. Kelompok ini, yang sekali lagi dipimpin oleh Arief Budiman, dinamakan Golongan Putih (GOLPUT). Nama tersebut, menurut Arief Budiman, mengacu pada rekomendasi kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Tak bisa tidak, hal ini memberikan kesan pada orang bahwa tekanan moralistik tersirat dalam namanya. Putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Kelompok GOLPUT aktif terutama di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.47 Sejak saat itulah golput menjadi istilah politik untuk memberikan definisi bagi
seseorang
yang
tidak
menggunakan
hak
pilihnya
pada
saat
dilangsungkannya pemilu. Tetapi fenomena golput (tidak memberikan hak pilihnya) itu sudah terjadi pada saat dilaksanakannya pemilu pertama di negara ini yakni pada pemilu tahun 1955. Selain di Negara Indonesia, fenomena golput ternyata menjadi sebuah realitas sejarah politik di dunia setiap dilaksanakan proses pemilu (pemilihan kepemimpinan). Misalnya di Negara Amerika Serikat (AS) yang dipandang Negara paling demokratis. Di Amerika, dalam setiap kali penyelenggaraan pemilu jumlah pemilih yang memilih (partai) tidak pernah lebih dari 50 persen jumlah pemilih. Justru lebih banyak masyarakat yang menjadi golput.48
47 48
Ibid. KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk., Op Cit, hal. 35.
32 Terkait tidak memberikan pilihan pada saat dilangsungkannya pemilihan pemimpin, di dalam sejarah perpolitikan Islam pun sering terjadi. Misalnya saat pemilihan terhadap Khalifah Abu Bakar RA. di Tsaqifah Bani Sa’idah banyak umat Islam pada waktu itu tidak mengikuti proses pemilihan, seperti sahabat Ali bin Abi Thalib RA. Atau pada pemilihan sahabat Ali bin Abi Tholib RA yang hanya diikuti beberapa sahabat saja di Madinah di tengah-tengah konflik yang sedang berkecamuk49
4. Tingkat Golput dalam Pemilu di Indonesia Melihat dari sejarah penyelenggaraan pemilu di Negara Indonesia dari waktu ke waktu (mulai tahun 1955 sampai 2009) ternyata pelaksanaan pemilu tersebut tidak lepas dari adanya golput. Jumlah golput (orang yang tidak memberikan hak suaranya dengan tidak hadir ke TPS atau suara tidak sah) menunjukkan angka yang variatif misalnya pada pemilu pertama tahun 1955 jumlah golput lebih tinggi dibanding pada saat pemilu orde baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Akan tetapi pasca runtuhnya kepemimpinan orde baru yaitu pada era reformasi (pemilu 1999, 2004 dan 2009) jumlah golput mengalami peningkatan yang terus-menerus. Selanjutnya akan penulis paparkan secara singkat tingkat golput dari pemilu tahun 1955 sampai 2009. Pada pemilu tahun 1955, penyelenggaraan pemilu pertama kali di Negara Indonesia, yang dipandang pemilu paling demokratis tingkat golput menunjukkan angka yang besar yaitu mencapai 12,34
49
Islam.
Lihat artikel yang ditulis H. Fachrurrozy Pulungan, SE yang berjudul Golput dalam Perspektif
33 persen atau 5.319.165 dari jumlah pemilih 43.104.464 dengan suara sah 37.785.299.50 Sementara pada pemilu yang diselenggarakan pada era orde baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997) di mana rakyatnya dimobilisasi dengan sangat luar biasa oleh rezim pada waktu itu, angka golput masih sangat tinggi. Terbukti dalam pemilu 1971, golput mencapai 6,67 persen atau 3.907.006 dari jumlah pemilih 58.558.776 dengan jumlah suara sah 54.651.770. Kemudian meningkat menjadi 8,40 persen dalam pemilu 1977 atau 5.870.907 dari jumlah pemilih 69.871.092 dengan jumlah suara sah 64.000.185. Jumlah golput meningkat lagi dalam pemilu 1982 menjadi 9,61 persen atau 7.889.749 dari jumlah pemilih 82.134.195 dengan jumlah suara sah 74.244.446. Dalam pemilu 1987 jumlah golput mengalami penurunan sedikit turun menjadi 8,39 persen atau 7.867.767 dari jumlah pemilih 93.737.633 dengan suara sah 85.869.866. Namun angka golput meningkat lagi dalam pemilu 1992 menjadi 9,05 persen atau 9.739.879 dari jumlah pemilih 107.565.413 dengan jumlah suara sah 97.825.534 dan 9,05 persen dalam pemilu 1997 atau 12.649.837 dari jumlah pemilih 125.640.987 dengan suara sah 112.991.150.51 Sedangkan angka golput pasca jatuhnya rezim otoriter orde baru masih meningkat yakni mencapai 10,40 persen pada pemilu 1999 atau 11.952.021 dari jumlah pemilih tetap 117.738.682. Jumlah golput ini memang lebih kecil dibandingkan perolehan suara parpol pemenang pemilu seperti PDI P 35.689.073
50 51
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: JIP UGM, 2009), Cetakan pertama, Hal. 63. Ibid, Hal. 79.
34 (33,7 persen), partai Golkar 23.741.749 (22,4 persen), PKB 13.336.982 (12,6 persen), dan PPP 11.329.905 (10,7 persen).52 Sementara dalam pemilu legislatif 5 April 2004 angka golput menunjukkan peningkatan yang signifikan, yakni mencapai 23,34 persen atau 34.509.246 juta pemilih yang terdiri dari 23.551.321 pemilih terdaftar yang tidak hadir di TPS ditambah suara tidak sah 10.957.925. Jumlah persentase 23,34 persen ini terhadap jumlah total pemilih terdaftar sebanyak 148.000.369. Jumlah angka golput ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang seperti partai Golkar 24.480.757 (16,54 persen), PDI P 21.026.629 (14,21 persen), dan PKB 11.989.564 (8,10 persen).53 Jumlah golput pada pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2004, yang merupakan pemilihan presiden dan wakil presiden pertama kali yang dilipih secara langsung oleh rakyat, juga sangat tinggi yaitu mencapai 40.791.749 atau 26,03 persen dari jumlah pemilih tetap 155.048.803 hampir sebanding dengan perolehan dua calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi pada putaran kedua yakni pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Muhammad Yusuf Kalla atau SBY-JK 69.266.350 (60,62 persen) dan pasangan Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi atau Mega-Hasyim 44.990.704 (39,38 persen).54 Demikian halnya pada pemilu legislatif 9 April 2009, jumlah golput juga menunjukkan angka yang sangat tinggi yaitu menembus angka 67.166.287 atau 29,01 persen dari total jumlah pemilih tetap yang berjumlah 171.265.442. Besarnya angka golput tersebut terdiri dari 49.677.706 yang tidak menggunakan
52
Ibid, hal. 96. Ibid, hal. 110. 54 Ibid, hal. 124. 53
35 hak pilihnya dan 17.488.581 suara yang tidak sah atau rusak. Sementara total suara yang sah berjumlah 104.099.155. Jumlah angka golput ini juga lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu seperti partai Demokrat 21.703.137 (20,85 persen), partai Golkar 15.037.757 (14,45 persen), PDI P 14.600.091 (14,03 persen).55 Dengan membaca rincian singkat di atas dapat dilihat bahwa golput selalu terjadi setiap diselenggarakannya pemilu. Golput juga selalu ada saat diselenggarakannya pilkada baik pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota. Bahkan di beberapa Propinsi dan Kabupaten/Kota pelaksaan pilkada justru dimenangkan oleh golput. Sehingga dapat dikatakan bahwa golput merupakan realitas politik yang mempunyai kesejarahan panjang dengan berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya.
E. Golput Perspektif Fiqih Siyasah Sebagaimana diterangkan di atas, memilih dalam pemilu merupakan hak warga negara. Sebagai hak, maka hukum dasar penggunaannya adalah mubah. Hal ini sejalan dengan kaedah umum dalam fiqih muamalah : 56
ﺍﻷﺻﻞ ﰱ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﱴ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ
”Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
55
Harian Suara Merdeka, Minggu Pon, 10 Mei 2009 yang dilansir dari penetapan rapat pleno KPU 9 Mei 2009 56 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), Cetakan pertama, hal. 51
36 Hukum asal menggunakan hak pilih adalah mubah, dalam arti boleh digunakan dan boleh juga tidak digunakan. Dengan demikian, golput dalam pengertian tidak menggunakan hak memilih dalam pemilu hukum asalnya adalah boleh. Sebagaimana halnya hukum asal makan adalah mubah, namun hukumnya bergeser menjadi wajib, haram, sunah, atau makruh tergantung konteks yang melingkupinya. Makan bisa menjadi wajib jika tanpa makan seseorang akan mengalami sakit yang mengancam jiwanya. Makan diharamkan bagi seseorang yang berpuasa. Dalam hal ini berlaku kaedah :
ﺍﳊﻜﻢ ﻳﺪﻭﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ
57
”Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya ’illat”
Seiring dengan definisi dan jenis serta motivasi tindakan golput, maka hukum golput bersifat situasional, sesuai dengan motivasi yang melatarbelakangi tindakan golput tersebut. Dalam kajian fiqih, sangat dimungkinkan berubahnya hukum sebagai akibat dari perubahan kondisi dan situasi. 58
ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﲑ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﲑ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻭ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ
”Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat”
Di tengah pemerintahan yang otoriter dan despotik, dimana pelaksanaan pemilu hanya bersifat artifisial serta simbolik semata, maka pelaksanaan golput sebagai protes dan pengingkaran atas perilaku penguasa yang despotik bisa dihukumi sunnah dan dianjurkan. Hal ini jika upaya perbaikan sistem tidak
57 58
Ibid, A. Djazuli Ibid, hal. 15
37 dilakukan kecuali dengan jalan golput. Bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan yang korup melalui jalan golput adalah kategori minimal, sebagaimana sabda Nabi SAW :
ﻣﻦ ﺭﺍﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻓﻠﻴﻐﲑ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻠﺴﺎﻧﻪ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻘﻠﺒﻪ ﻭ ﺫﻟﻚ 59 (ﺍﺿﻌﻒ ﺍﻹﳝﺎﻥ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ ”Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu (juga) maka dengan hati, yang demikian adalah iman yang paling lemah”
Dengan demikian, jika dimungkinkan perubahan kekuasaan despotik melalui pemilu, maka partisipasi dalam pemilu sebagai ikhtiar untuk taghyir almunkar hukumnya wajib. Berbicara tentang golput, tidak lepas berbicara tentang pemilu. Bahwa pemilu merupakan proses mekanisme untuk memilih pemimpin. Dalam perspektif fiqih siyasah dijelaskan bahwa keberadaan negara dan pengangkatan atau pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting yang termasuk kewajiban agama demi menjaga keberlangsungan kehidupan manusia. Apalagi dalam realitas kehidupan sekarang keberadaan negara merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan. Hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia di dunia ini tidak lepas dari campur tangan ”negara”. Semua telah direncanakan dan diatur oleh sistem tersebut. Keberadaan negara menjadi sebuah keniscayaan. Islam mensyaratkan pentingnya sebuah negara atau kekuasaan dan keberadaan seorang pemimpin. Meskipun tidak ada nash atau dalil yang jelas memerintahkan untuk mendirikan sebuah negara dan mekanisme pemilihan 59
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim: Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Araby, juz 1, hal. 69
38 pemimpin. Tetapi kewajiban tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, sunnah atau hadis nabi, ijma’, qiyas dan lain sebagainya. Menurut Jumhur ulama bahwa membentuk negara, menyelenggarakan pemerintahan, dan mengangkat kepala negara adalah wajib, dengan kategori wajib kifayah. Sebagaimama pendapat al-Mawardi, yang menyebutkan bahwa imamah diwujudkan untuk mengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pendapat ini jelas-jelas menunjukkan bahwa institusi imamah (negara dalam istilah sekarang) merupakan kewajiban agama.60 Begitu pula pendapat al-Ghazali, yang menganggap bahwa kedudukan politik setingkat di bawah kenabian dan menyatakan bahwa agama adalah dasar, dan pemerintah adalah penjaganya, atau pendapat Taimiyyah, yang menegaskan bahwa kekuasaan politik (negara) bagi kehidupan masyarakat merupakan salah satu kewajiban penting agama, bahkan agama tidak akan tegak tanpa topangan negara, atau dalam ungkapan lain, memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan iqamatuddin tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan adanya kepemimpinan. Maka wajib untuk membentuk sebuah imamah dalam rangka realisasi spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah. Yusuf Musa menegaskan bahwa pengangkatan imam bagi kaum muslimin merupakan tujuan terpenting dalam Islam, sehingga secara syariat adalah merupakan kewajiban keagamaan.61
60
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII Press, 2007), Cet. Pertama, Hal. 235 61 Ridwan HR, Op Cit, Hal. 236
39 Di kalangan ulama, kewajiban membentuk negara dan mengangkat imam ini didasarkan pada beberapa alasan yaitu; pertama, khilafah atau imamah adalah sunnah fi’liyyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika tinggal di Madinah dan menjadi kepala negara. Kaum muslimin wajib menegakkan dan mengamalkan sunnah sejalan dengan perintah Allah untuk mentaati Rasulullah sebagaimama termaktub dalam QS;4;59 dan 64, QS;59;7, QS;33,36. Kedua, ijma’ atau kesepakatan, sebagaimama ditunjukkan para sahabat sepeninggal Muhammad. Mereka bermusyawarah di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk memilih siapa pengganti Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat Islam. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis, jabatan imam wajib hukumnya, dimama hukum wajibnya dalam syara’ ditetapkan melalui ijma’ para sahabat dan tabi’in, sebab seiring dengan wafatnya Rasulullah para sahabat segera membaiat Abu Bakar Shiddik lalu menyerahkan persoalan mereka kepadanya. Demikian pula halnya yang terjadi pada masa-masa sesudahnya; tidak pernah barang sedetikpun umat dibiarkan kacau tanpa pemimpin. Ketetapan yang diambil melalui ijma’ ini membuktikan wajibnya fungsi seorang imam. Ketiga, menghindari bahaya anarki atau mencegah mudharat kekacauan. Menurut Abu Ya’la, akan muncul bencana bila tidak ada pemimpin yang melaksanakan urusan umat. Al-Anshari menampilkan sillogisme dengan alur apodiktik atau deduksi dalam mendukung argumen ini, yakni (a) tidak ada pemimpin yang mengarah kepada terjadinya anarki (muqaddimah ula), (b) menolak anarki, wajib menurut syara’ (muqaddimah tsaniyah), (c) anarki tidak bisa ditolak kecuali dengan adanya pemimpin (muqaddimah tsalitsah); dan
40 natijah atau konklusinya adalah (d) mengangkat pemimpin adalah wajib. Yusuf Musa mengatakan, pengangkatan imam adalah untuk menghindarkan bahaya yang diperkirakan akan terjadi, sedangkan menghilangkan bahaya ini menurut agama wajib. Keempat, melaksanakan berbagai kewajiban dan mewujudkan keadilan yang sempurna. Muhammad Mubarak menyebutkan, dalam al-Qur’an terdapat kewajiban yang tidak terbayangkan pelaksanaannya tanpa kehadiran pemerintah seperti hukumkan had bagi pembunuh (qishas), potong tangan bagi pencuri, hukuman bagi pembuat onar di muka umum dan lain-lain.62 Menilik pada tujuan dilaksanakannya pemilu adalah untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan masyarakat, maka pemilu menjadi hal yang sangat urgen. Karena pelaksanaan pemilu terkait dengan sangkut paut penegakan kekuasaan (’aqd al-imamah), maka hukumnya menjadi wajib. Tanpa melalui jalan pemilu, kekuasaan tidak bisa ditegakkan. Akhirya negara tanpa kekuasaan (pemerintahan) akan menimbulkan anarkisme. pemilu adalah suatu proses untuk menegakkan kekuasaan negara. Maka wajib hukumnya bagi warga negara untuk terlibat didalamnya. Dengan demikian maka pemilu menjadi wajib karena ia menjadi sarana untuk menegakkan hal yang wajib, yakni pemilihan pemimpin. Sebagaimana kaedah fiqih : ”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan
62
Hal. 102.
Dhiauddin Rois, Teori Politik Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), Cetakan Pertama,
41 secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib”63 Dengan demikian, apabila penegakan kekuasaan tergantung dengan pelaksanaan pemilu maka partisipasi dalam pemilu hukumnya wajib. Secara mafhum mukhalafah, golput dalam pemilu dengan kesadaran untuk memboikot pemilihan pemimpin negara dalam rangka penegakan kekuasaan hukumnya haram.
63
Anshori Thayib, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1983), Cetakan pertama, Hal. 147.
42 BAB III KETETAPAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI III TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU
A. Sejarah MUI 1. Latar Belakang Berdirinya MUI Majelis Ulama Indonesia disingkat MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.64 Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA
64
Baca PD/PRT MUI
43 MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu, kehadiran MUI makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
44 mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam. Dalam perjalanannya, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.65 Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-tugas Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, Majelis Ulama Indonesia menjalankan fungsi profetik yakni memperjuangkan perubahan kehidupan
65
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Depag RI, 2003), hal. 10
45 agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia. 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya. 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah) Majelis Ulama Indoneia berperan sebagai pelayan umat (khadim alummah), yaitu melayani umat islam dan masyarakat luas dalam memenuhi harapan,aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat Isalam,baik langsung,akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia
berusaha
memperjuangkan
selalu
aspirasi
tampil umat
di
islam
depan
dalam
membela
dan
masyrakat
luas
dan dalam
hubungannya pemerintahan. 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor islah yaitu gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama Indonesia dapat menempuh jalan tajdid yaitu gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama Indonesia
46 dapat menempuh jalan taufiq (kompromi) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpeliharanya semangat persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia. 5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar ma’ruf nahyi mungkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqomah. Dalam menjalankan fungsi ini Majelis Ulama Indonesia tampil di barisan terdepan sebagai kekuatan moral (moral fress) bersama berbagai potensi
bangsa
lainnya untuk melakuka rehabilitasi sosial. Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.66
2. Peran MUI Dalam Kancah Politik di Indonesia Dalam perjalanannya sebagai organisasi yang menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim, MUI juga tidak lepas dari pasang surut dalam menjalankan program-program yang menjadi visi misinya. Selain dipandang sebagai pemberi solusi alternatif atas problem-problem ke-umat-an terutama 66
http://ms.wikipedia.org/wiki/Majlis_Ulama_Indonesia, 21 Oktober 2007
47 persoalan yang dihadapi umat Islam, tak jarang MUI menelan pil pahit dan buah silamakama atas fatwa yang dikeluarkannya. Banyak fatwa-fatwa MUI yang menimbulkan kontroversi, menuai protes dari banyak kalangan karena dianggap fatwanya banyak yang merugikan. Terutama fatwa-fatwa yang berkaitan dengan politik kebangsaan. Jika dilihat dari sejarah perjalanan MUI dari waktu ke waktu, peran MUI sebagai institusi yang menghimpun kepentingan umat Islam di Indonesia dari berbagai golongan dalam kancah politik kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia ini sangat besar. Fatwa MUI telah banyak memberikan kontribusi bagi perjalanan politik di negara ini. Akan tetapi dari serentetan fatwa yang dikeluarkan MUI justeru banyak yang menguntungkan kepentingan pemerintah. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat sejarah berdirinya MUI tidak lepas dari campur tangan kekuasaan kala itu, yakni pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.67 Fatwa MUI dijadikan alat legitimasi bagi pensuksesan program-program pemerintah. Seperti fatwa MUI tentang KB, SDSB, dsb. Menurut mantan Menteri Agama, Munawir Syadzali, fungsi utama MUI adalah untuk menjelaskan kebijakan pemerintah dalam bahasa yang dapat dipahami umat. “Dulu, MUI berfungsi memberi fatwa halal pada proyek Keluarga Berencana (KB), membenarkan SDSB, dan beberapa kebijakan pemerintah lainnya. Artinya, MUI hanya mengikuti dan memberi cap halal atau Islam bagi kebijakan pemerintah yang dinilai memerlukannya,” jelas Sadzali.68
67
Ahmad Suaedy, DKK, Politisasi Agama dan Konflik Komunal, (Jakarta; The Wahid Institut, 2007), cetakan I, Hal. 12 68 Ibid, hlm. 15
48 Selain fatwa-fatwa yang terkesan memihak kepada kekuasaan, banyak fatwa-fatwa MUI yang menimbulkan kontroversi dan bermuara pada kepentingan politik. Lihat saja fatwa penyesatan terhadap kelompok Ahmadiyah yang secara organisatoris keberadaan Ahmadiyah telah tumbuh lama di negara ini dan mendapat ijin dari pemerintah dan sederetan fatwa penyesatan terhadap aliran-aliran yang dipandang nyeleneh yang berlainan dengan faham mayoritas seperti penyesatan ajaran Yusman Roy, Lia Eden, Dekstro, dll. Dan yang terakhir yang tidak lepas dari kepentingan politik juga adalah fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu. Fatwa yang dikeluarkan MUI lewat forum Ijtima’ Ulama’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III di Padangpanjang Padang Sumatera Barat pada tanggal 23 – 26 Januari 2009 dipandang sangat bernuansa politis. Karena fatwa tersebut muncul pada saat pemerintah akan menyelenggarakan pemilu dan diharapkan bisa menekan angka golput. Di mana munculnya golput yang tinggi pada saat pemilu akan berpengaruh pada gagalnya pemerintah dalam menyukseskan pemilu. Pemilu akan dipandang sukses dan berhasil jika diikuti oleh partisipasi aktif rakyat dalam mengikuti pemilu dengan memberikan suaranya dalam pemilu. Sementara fatwa MUI dimunculkan untuk bisa mendorong rakyat mengikuti proses pemilu dan menekan munculnya golput yang terus mengalami peningkatan setiap dilaksanakannya pemilu dari waktu ke waktu.
49 B. Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu 1. Latar Belakang Munculnya Fatwa MUI Fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu yang ditetapkan dalam forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III pada tanggal 23-26 Januari 2009 di Padangpanjang Padang Sumatera Barat tidak muncul tiba-tiba dan berdiri sendiri, akan tetapi ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor tersebut diantaranya; pertama, maraknya wacana golput yang disuarakan beberapa politisi seperti mantan Presiden RI keempat, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain. Kedua, fenomena golput yang terjadi setiap diselenggarakannya pemilu baik pemilu legislatif, eksekutif dan pilkada bahkan cenderung angka golput yang semakin meningkat dan bahkan terdapat banyak pilkada yang dimenangkan golput. Ketiga, permintaan dari beberapa tokoh Islam seperti Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid dan sebagian besar kalangan masyarakat untuk dimunculkannya fatwa oleh MUI mengenai hukum golput. Atas kemunculan fatwa ini KH. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI menuturkan bahwa MUI tidak ujug-ujug mengeluarkan fatwa. Tapi ada pertanyaan masyarakat tentang wacana hukum golput yang berkembang. Karena masalah pemilu sangat krusial, maka putusannya tidak diambil di komisi fatwa. Maka kita agendakan ijtima’ ulama’ dengan melibatkan 700 ulama seluruh Indonesia dari semua kelompok. Semua partai politik, bahkan bukan partai Islam semua sepakat. ”Fatwa ini muncul karena ada permintaan dari masyarakat. Fatwa MUI untuk menghadapi pro-kontra golongan putih. Namun, kami tidak masuk dalam
50 istilah golput, tapi masuk pada istilah memilih pemimpin dan tidak memilih pemimpin. Ini lebih memiliki landansan kuat. Dalam rangka akhdzul imamah, dengan fatwa ini kita kasih tuntutan memilih pemimpin muslim,” tegas KH Ma’ruf Amin.69 Dalam rangka memberikan kontribusi politik guna mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban, dengan berpijak dari beberapa faktor di atas itulah, MUI memandang perlu ada sumbangan agama dalam mendorong peningkatan kesadaran publik dalam partisipasi politik. Partisipasi politik rakyat sangat menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Sumbangan MUI tersebut yaitu dengan menetapkan hukum golput dalam pemilu lewat forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III di Padangpanjang Padang Sumatera Barat 23-26 Januari 2009. Sehingga dengan adanya fatwa tersebut diharapkan fenomena munculnya golput dalam pemilu akan dapat diminimalisir.
2. Isi Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu Adapun keputusan fatwa MUI mengenai penggunaan hak pilih dalam pemilu adalah sebagaimana tertera dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III
tentang masail asasiyyah
wathaniyyah (masalah strategis bangsa) point IV : Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum yang isinya sebagai berikut:
69
Inilah COM, dalam petikan wawancara dengan KH. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, http://www.inilah.com/berita/wawancara/2009/01/28/79211/tidak-ada-parpol-suap-mui/
51 1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. 2. Memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. 4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib 5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram70.
3. Dasar Hukum Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu 1. Q.S. An-Nisa [4]: 58
ﺍﻥ ﺍﷲ ﻳﺎﹾﻣﺮﻛﻢ ﺍﻥ ﺗﺆﺩﻭﺍ ﺍﻻﹾﻣﺎﻧﺎﺕ ﺍﱃ ﺍﻫﻠﻬﺎ ﻭ ﺍﺩﺍ ﺣﻜﻤﺘﻢ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻥ ﲢﻜﻤﻮﺍ ﺑﺎﻟﻌﺪﻝ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻧﻌﻤﺎ ﻳﻌﻈﻜﻢ ﺑﻪ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻛﺎﻥ ﲰﻴﻌﺎ ﺑﺼﲑﺍ ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara menusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
70
Lihat hasil-hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III di Padang Panjang Padang Sumatera Barat, 24-26 Januari 2009, hal 11.
52 memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”71 2. Q.S. An-Nisa [4]: 59
ﻳﺄﻳﻬﺎ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻣﻨﻮﺍ ﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﷲ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭ ﺃﻭﱃ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”.72
3. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﳌﺰﱐ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺇﻻ ﺻﻠﺤﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﻭ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ﺇﻻ ﺷﺮﻃﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺪﻱ (ﻭ ﻫﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ 73
”Dari Abdullah bin Amr bin ’Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda: ”perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syaratsyarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Al-Tirmidzi, hadis hasan shahih) 3. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺳﻴﻠﻴﻜﻢ ﺑﻌﺪﻱ ﻭﻻﺓ ﻭ, ﻓﺎﲰﻌﻮﺍ ﳍﻢ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﰲ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﳊﻖ,ﻓﻴﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﱪ ﺑﱪﻩ ﻭ ﺍﻟﻔﺎﺟﺮ ﺑﻔﺠﻮﺭﻩ 71
128.
72
Depag RI. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Terjemah. hal
Ibib. Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim: Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Araby, juz 1, hal. 43 73
53
)ﺭﻭﺍﻩ. ﻭ ﺇﻥ ﺃﺳﺎﺀﻭﺍ ﻓﻠﻜﻢ ﻭ ﻋﻠﻴﻬﻢ, ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺴﻨﻮﺍ ﻓﻠﻜﻢ ﻭ ﳍﻢ,ﺻﻠﻮﺍ ﻭﺭﺍﺀﻫﻢ (ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ ﻭ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲏ 74
”Dari Abu Hurairah RA., sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda: ”akan memimpin kalian setelahku para pemimpin yang baik karena kebaikannya, dan ada pula yang buruk karena keburukannya, maka dengarkanlah dan taatilah mereka terhadap setiap perkara yang sesuai dengan kebenaran, dan shalatlah kalian di belakangnya, jika mereka baik maka (pahala) bagi kalian dan bagi mereka, sedangkan jika mereka buruk maka (pahala) bagi kalian dan tidak bagi mereka” (HR. At-Thabrani dan Ad-Daruquthni)
4. Hadis Nabi SAW: 75
(ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭ ﻟﻴﺲ ﰲ ﻋﻨﻘﻪ ﺑﻴﻌﺔ ﻣﺎﺕ ﻣﻴﺘﺔ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
”Barangsiapa mati dan belum melakukan baiat maka matinya dalam keadaan jahiliyyah” (HR. Bukhari) 5. Hadis Nabi SAW: 76
(ﻗﺎﻝ ﺍﺩﺍ ﻭﺳﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ ﺍﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
”Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya” (HR. Bukhari) 6. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﺩﺍ ﺿﻴﻌﺖ ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺇﺿﺎﻋﺘﻪ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺍﺩﺍ ﺍﻧﺴﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ (ﺍﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 77
”Abu Hurairah RA. berkata: rasulullah SAW. bersabda: ”jika kepercayaan dilalaikan maka tunggulah waktunya. Sahabat bertanya: bagaimana melalaikan kepercayaan tersebut?. Rasulullah SAW. menjawab: jika suatu 74
Ibid, hal. 56 Shahih Bukhari: Beirut: Dar al-Fikr al-Turats al-Araby, juz 1, hal. 45 76 Ibid, juz 1, hal. 65 77 Ibid, juz 1, hal. 67 75
54 perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktunya” (HR. Bukhari) 7. Hadis Nabi SAW:
ﻭﻣﻦ ﺗﻮﱃ ﻣﻦ ﺍﻣﺮ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺷﻴﺄ ﻓﺎﺳﺘﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﺟﻼ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻥ ﻓﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺍﻭﱃ ﺑﺪﻟﻚ ﻭ ﺃﻋﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﻥ ﺍﷲ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﲨﻴﻊ (ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ 78
”Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih paham terhadap kitab Allah dan sunnah rasulNya, maka ia telah mengkhianati Allah, rasulNya, dan semua orang beriman” (HR. At-Thabrani) 8. Hadis Nabi SAW:
ﻣﻦ ﺭﺍﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻓﻠﻴﻐﲑ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻠﺴﺎﻧﻪ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻘﻠﺒﻪ ﻭ (ﺫﻟﻚ ﺍﺿﻌﻒ ﺍﻹﳝﺎﻥ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ 79
”Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu (juga) maka dengan hati, yang demikian adalah iman yang paling lemah” (HR. AtThabrani) 9. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﻧﺎﺱ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﲰﻌﻮﺍ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﻭ ﺍﻥ (ﺍﺳﺘﻌﻤﻞ ﺣﺒﺸﻲ ﻛﺄﻥ ﺭﺃﺳﻪ ﺯﺑﻴﻨﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 80
”Dari Anas bin Malik RA. dari Nabi SAW. ia bersabda: ”dengarkanlah dan taatlah kalian walaupun kepada seorang habasy yang di kepalanya terdapat zabinah” (HR. Bukhari) 10. Hadis Nabi SAW: 78
At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, Maktabah Syamilah, juz 9, hal. 323
79
Shahih Muslim, Ibid, juz 1, hal. 69 Shahih Bukhari, Ibid, juz 1, hal. 53
80
55
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺮﺀ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺍﺣﺐ ﻭ ﻛﺮﻩ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺆﻣﺮ ﲟﻌﺼﻴﺔ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮ ﲟﻌﺼﻴﺔ ﻓﻼ ﲰﻊ ﻭ (ﻃﺎﻋﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 81
”Dari Abdullah RA, Nabi SAW. bersabda: ”seorang muslim akan mendengar dan patuh terhadap (perintah) yang dia suka atau benci selagi ia tidak diperintah terhadap kemaksiatan, jika diperintah (untuk melakukan) maksiat maka tidak (harus) mendengar dan menaati (perintah tersebut)” (HR. Bukhari) 11. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻻ ﳛﻞ ﻟﺜﻼﺛﺔ ﻳﻜﻮﻧﻮﻥ (ﺑﻔﻼﺓ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﺇﻻ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﻋﺎﻳﻬﻢ ﺍﺣﺪﻫﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ 82
”Dari Abdulah bin ’Amr RA, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: ”tidak halal bagi tiga orang yang bepergian kecuali mereka mengangkat di antara mereka seorang pemimpin” (HR. Ahmad) 12. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﺫﺍ ﻛﻨﺘﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﰲ ﺳﻔﺮ ﻓﻠﻴﺆﻣﻜﻢ ﺍﺣﺪﻛﻢ 83
”Dari Abu Said Al-Khudry RA, rasulullah SAW. bersabda: ”jika kalian bertiga dalam bepergian, maka angkatlah pemimpin di antara kalian.” 13. Pernyataan Abu Bakar RA. ketika pidato pertama setelah ditetapkan sebagai khalifah:
ﺃﻃﻴﻌﻮﱐ ﻣﺎ ﺍﻃﻌﺖ.... "ﻳﺄﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺃﺣﺴﻨﺖ ﻓﺄﻋﻴﻨﻮﱐ ﻭ ﺇﻥ ﺃﺳﺄﺕ ﻓﻘﻮﻣﻮﱐ "ﺍﷲ ﻓﻴﻜﻢ ﻓﺈﻥ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﻓﻼ ﻃﺎﻋﺔ ﱄ ﻋﻠﻴﻜﻢ 84
81
Shahih Bukhari, Ibid, juz 1, hal. 78 At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, Maktabah Syamilah, juz 9, hal. 323 83 Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban, Beirut: Muassasah alRisalah, 1993, cetakan kedua, juz 5, hal.504 82
56 ”Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku ... taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat kepada Allah, dan jika aku memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku” 14. Pernyataan Umar RA. ketika dikukuhkan sebagai khalifah, beliau berpidato: 85
" ...... "ﻣﻦ ﺭﺃﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﰲ ﺃﻋﻮﺍﺟﺎ ﻓﻠﻴﻘﻮﻣﻮﱐ
”Barangsiapa di antara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan maka luruskanlah aku...” 15. Kaidah Fiqhiyyah: 86
ﻣﺎ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ
”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib” 16. Kaidah Fiqhiyyah: 87
ﻟﻠﻮﺳﺎﺋﻞ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ
”Sesuatu yang menjadi perantara (terwujudnya tujuan) hukumnya sama dengan tujuan itu sendiri” 17. Kaidah Fiqhiyyah: 88
ﺍﻷﺻﻞ ﰱ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﱴ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ
”Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya” 18. Kaidah Fiqhiyyah: 89
84
ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﲑ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﲑ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻭ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ
Sebagaimana dikutib oleh Yusuf al-Qardlawi dalam Fatawa Mu’ashirah, Beirut: al-Maktab alIslamy, 2000, cetakan pertama, juz 2, hal. 724 85 Ibib., 86 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), Cetakan pertama, hal. 32 87 Ibid, hal. 31 88 Ibid, hal. 51
57 ”Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat” 19. Kaidah Fiqhiyyah: 90
ﺍﳊﻜﻢ ﻳﺪﻭﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ
”Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya ’illat” 20. Kaidah Fiqhiyyah: 91
""ﺍﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎﻥ ﺭﻭﻋﻲ ﺃﻋﻈﻤﻬﻤﺎ ﺿﺮﺭﺍ ﺑﺎﺭﺗﻜﺎﺏ ﺃﺧﻔﻬﻤﺎ
”Jika ada dua mafsadah saling bertentangan maka dijaga yang paling besar bahayanya dengan menjalankan yang paling ringan bahayanya di antara keduanya” 21. Kaidah Fiqhiyyah: 92
ﻣﺎ ﻻ ﻳﺪﺭﻙ ﻛﻠﻪ ﻻ ﻳﺘﺮﻙ ﻛﻠﻪ
”Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan kehendak kita), seyogyanya tidak ditinggalkan semuanya” 22. Pendapat Al-Mawardi dalam ”Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.3”
اﻹﻣﺎﻣﺔ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ ﳋﻼﻓﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﰲ ﺣﺮﺍﺳﺔ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭ ﺳﻴﺎﺳﺔ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﳌﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺎ ﰲ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﺍﺟﺐ ﺑﺎﻹﲨﺎﻉ 93
”Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalammenjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijma’”
89
Ibid, hal. 42 Ibid, hal. 23 91 Ibid, hal. 74 92 Ibid, hal. 172 93 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Juz 1, hal. 3 90
58 23. Pendapat Al-Mawardi dalam ”Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.4”
ﺎ ﻓﺈﺫﺍ ﺛﺒﺖ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﻔﺮﺿﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻛﺎﳉﻬﺎﺩ ﻭ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﺎ ﺍﺣﺪ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻫﻠﻬﺎ ﺳﻘﻂ ﻓﺮﺿﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻭ ﺇﻥ ﱂ ﻳﻘﻢ ﻓﺮﻳﻘﺎﻥ ﺍﺣﺪﳘﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻹﺧﺘﻴﺎﺭ ﺣﱴ ﳜﺘﺎﺭﻭﺍ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻟﻸﻣﺔ ﻭ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﺍﻫﻞ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﺣﱴ ﻳﻨﺘﺼﺐ ﺍﺣﺪﻫﻢ ﻟﻺﻣﺎﻣﺔ 94
”Jika menetapkan imamah adalah wajib, maka (tingkatan) kewajibannya adalah fardlu kifayah seperti jihad dan menuntut ilmu, di mana jika ada orang yang ahli (pantas dan layak) menegakkan imamah, maka gugurlah kewajiban terhadap yang lainnya. Jika tidak ada seorangpun yang menegakkannya, maka dipilih di antara manusia dua golongan; yakni golongan legislatif hingga mereka memilih untuk umat seorang pemimpin, dan golongan (calon) pemimpin hingga di antara mereka dipilih untuk menjadi pemimpin” 24. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam ”As-Siyasah As-Syar’iyah”
ﳚﺐ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻥ ﻭﻻﻳﺔ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻋﻈﻢ ﻭﺍﺟﺒﺎﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻞ ﻻ ﻗﻴﺎﻡ ﻟﻠﺪﻳﻦ ﻭ ﻻ ﻟﻠﺪﻧﻴﺎ ﻓﺈﻥ ﺑﲏ ﺃﺩﻡ ﻻ ﺗﺘﻢ ﻣﺼﻠﺤﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺎﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﳊﺎﺟﺔ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﻭﻻ ﺑﺪ ﳍﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺭﺃﺱ 95
”Penting untuk diketahui bahwa adanya kekuasaan untuk mengatur urusan manusia adalah termasuk kewajiban besar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama ataupun dunia tanpa adanya kekuasaan. Maka sesungguhnya anak adam tidak akan sempurna kemaslahatannya tanpa berkumpul karena di antara mereka saling membutuhkan, dan tidak bisa dihindari ketika mereka berkumpul adanya seorang pemimpin” 25. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam ”As-Siyasah As-Syar’iyah, juz 1, h. 168” 96
""ﺳﺘﻮﻥ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﺍﻣﺎﻡ ﺟﺎﺋﺮ ﺃﺻﻠﺢ ﻣﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺑﻼ ﺳﻠﻄﺎﻥ
”Enam puluh tahun (di bawah) pemimpin yang sewenang-wenang lebih baik daripada satu malam tanpa (adanya) pemimpin”
94
Ibid, Juz 1, hal. 4 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Maktabah Syamilah, Juz 1, hal. 160 96 Ibnu Taimiyah, Ibid, juz 1, hal. 168 95
59 26. Pendapat dalam ”Mawahib As-Shomad, h 8”
ﻭﱂ ﳚﺰ ﰲ ﻏﲑ ﳏﺾ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺧﺮﻭﺟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﱄ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﺩﻻ ﻭ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﺢ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﺋﺮﺍ ﺇﺫ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﰲ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻌﺼﻮﻣﺎ ﻭ ﱂ ﻳﺰﻝ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻳﻨﻘﺎﺩﻭﻥ ﳍﻢ ﻻ ﻳﺮﻭﻥ ﺍﳋﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﻊ ﻇﻬﻮﺭ ﺫﻟﻚ ﻭ ﺍﻧﺘﺸﺎﺭﻩ ﻣﻨﻬﻢ ﻭ ﻷﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﲞﻼﻑ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ "ﺃﻃﻴﻌﻮﺍﷲ ﻭ ﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭ ﺃﻭﱄ ﻭﰲ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺬﻳﻔﺔ "ﻣﻦ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﻗﺪﺭ ﺷﱪ ﻓﻘﺪ ﺧﻠﻊ ﺭﻳﻘﺔ."ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻦ ﻋﻨﻘﻪ" ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺷﺮﻋﺎ ﺍﻣﺎﻡ ﻳﻨﺼﺐ ﻹﲨﺎﻉ ﺻﺤﺎﺑﺔ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﺒﻪ ﺣﱴ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺃﻫﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ ﻭ ﻗﺪﻣﻮﻩ ﻋﻠﻰ .ﺩﻓﻨﻪ ﻭ ﱂ ﺗﺰﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﻛﻞ ﻋﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ”Selain dengan alasan karena kekufuran yang jelas, kita tidak boleh keluar dari waliyul amri (pemimpin), jika pemimpin tersebut adil (ulama sepakat dalam hal ini) atau (menurut pendapat yang lebih benar) ketika pemimpin sewenang-wenang, karena tidak disyaratkan terhadap pemimpin seorang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan salah). Para ulama terdahulu (salaf) sering melakukan kritik kepada para penguasa, tetapi para ulama salaf tetap tidak keluar dari kepemimpinan para penguasa tersebut, walaupun terlihat jelas dan sangat terkenal kesewenang-wenang pemimpin tersebut, karena seorang imam (pemimpin) tidak boleh dikucilkan disebabkan kefasikannya, berbeda dengan hakim (qadhi), sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya: ”taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan para pemimpin (ulil amri) di antara kalian”, dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Khudzaefah RA.: ”Barangsiapa memisahkan diri dari komunitas (al-jama’ah) walaupun satu jengkal maka ia telah melepaskan ikatan agama Islam dari lehernya”. Menurut ajaran Islam (syara’) setiap manusia diwajibkan untuk mengangkat pemimpin (imam), sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat setelah wafatnya nabi SAW. yang segera mengangkat seorang pemimpin, sehingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dan mendahulukannya daripada mengubur Nabi SAW. Dan hal tersebut (mengangkat pemimpin sebagai kewajiban yang paling penting) senantiasa dipegang oleh manusia di setiap zaman”97
97
Hasil-Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III di Padang Panjang Padang Sumatera Barat, 24-26 Januari 2009, Looc cit, hal. 14.
60 27. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.98 28. Konsideran UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk menegakkan kemaslahatan yang merupakan inti dari tujuan syariah (maqasid al-syari’ah).99 29. UU No. 10 tahun 2008 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.100
98
UUD 1945, hal 44
99
UU Pemilu Tahun 2008, hal. 3
100
UU Pemilu Tahun 2008, hal. 5
61 BAB IV ANALISIS FATWA MUI TENTANG PENGGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU
A. Analisis Istinbat Hukum Fatwa MUI Tentang Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu Fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi fatwa ini hasil dari musyawarah bersama para ulama dan cendekiawan muslim lewat Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se Indonesia III yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Januari 2009 di Padangpanjang Padang Sumatera Barat. Tepatnya pada pembahasan komisi A yang membidangi masa’il asasiyah wathaniyyah (masalah strategis kebangsaan) yang kemudian disidangplenokan oleh seluruh peserta pada forum tersebut. Maksud dari fatwa ini adalah sebagai jawaban dari pertanyaan bagaimana hukum golput (tidak menggunakan hak pilih dari pemilu) dan ditujukan sebagai upaya untuk menekan angka golput sebagaimana dijelaskan dalam bab III. Sebelum disidangplenokan tepatnya dalam pembahasan sidang komisi A fatwa ini berisi tentang hukum tidak meggunakan hak pilih dalam pemilu (golput) tetapi setelah disidangplenokan diktumnya berubah menjadi penggunaan hak pilih dalam pemilu. Tetapi perubahan diktum ini tidak merubah orientasi awal yang diharapkan MUI yaitu memberikan fatwa tentang fenomena golput. Dalam merumuskan fatwa ini, MUI telah menggunakan istinbat hukum dengan didasarkan pada kaedah-kaedah normatif sebagaimana yang tercantum pada bab III yaitu kaedah-kaedah atau dalil-dalil yang diambilkan dari al-Qur’an, hadis,
62 pendapat sahabat, kaedah-kaedah fiqhiyyah, pendapat-pendapat ulama, dan undangundang. Tetapi setelah penulis telaah dengan seksama dasar-dasar hukum tersebut tidak terdapat korelasi yang jelas dengan diktum fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Sehingga fatwa tersebut tergolong fatwa yang lemah atau cacat hukum karena fatwa tersebut tidak didorong dengan istinbath hukum yang jelas. Hal ini bisa dilihat dari dalil-dalil yang digunakan MUI. Dalil yang pertama adalah dalil yang diambil dari ayat al-Qur’an yaitu : 1. Q.S. An-Nisa [4]: 58
ﺍﻥ ﺍﷲ ﻳﺎﹾﻣﺮﻛﻢ ﺍﻥ ﺗﺆﺩﻭﺍ ﺍﻻﹾﻣﺎﻧﺎﺕ ﺍﱃ ﺍﻫﻠﻬﺎ ﻭ ﺍﺩﺍ ﺣﻜﻤﺘﻢ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻥ ﲢﻜﻤﻮﺍ ﺑﺎﻟﻌﺪﻝ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻧﻌﻤﺎ ﻳﻌﻈﻜﻢ ﺑﻪ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻛﺎﻥ ﲰﻴﻌﺎ ﺑﺼﲑﺍ ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara menusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”101 2. Q.S. An-Nisa [4]: 59
ﻳﺄﻳﻬﺎ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻣﻨﻮﺍ ﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﷲ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭ ﺃﻭﱃ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”.102 Kedua ayat tersebut diatas sebenarnya menjelaskan pentingnya memberikan amanat kepada orang yang sesuai dengan ahlinya dan berlaku adil saat kita memberikan sebuah putusan hukum kepada manusia serta memerintahkan ketaatan kepada seorang pemimpin. Sebagaimana Munawir Sadzali dalam buku ”Islam dan
101 102
Depag RI. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Ibid, hal 128. Ibib.
63 Tata Negara” menuliskan bahwa QS. an-Nisa [4] ayat 58 dan QS. an-Nisa [4] ayat 59 ini menjelaskan tentang ketaatan kepada pemimpin dan berlaku adil.103 Melihat dari literatur ayat tersebut sebenarnya belum terdapat penjelasan yang jelas mengenai kewajiban memilih pemimpin sebagaimana yang dimaksudkan oleh MUI. Jadi ayat tersebut masih bersifat umum, dengan arti ayat tersebut tidak ada perintah khusus kewajiban memilih pemimpin. Selain al-Qur’an MUI mendasarkan fatwanya kepada hadis Nabi SAW. yang diantaranya adalah hadis-hadis di bawah ini : 1. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﳌﺰﱐ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺇﻻ ﺻﻠﺤﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﻭ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ﺇﻻ ﺷﺮﻃﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺪﻱ ﻭ ﻫﻮ (ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ 104
”Dari Abdullah bin Amr bin ’Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda: ”perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Al-Tirmidzi, hadis hasan shahih) Dilihat dari matannya, hadis ini menjelaskan tentang bagaimana sebuah perjanjian boleh dilakukan. Bahwa dalam melakukan perjanjian Nabi memberikan ketentuan-ketentuan secara garis besar antara perjanjian yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Maka hadis ini tidak tepat jika dijadikan dalil atas fatwa MUI ini.
103 104
Munawir Sadzali, Op Cit, hal. 6 Shahih Muslim, Ibid, hal. 43
64 2. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺳﻴﻠﻴﻜﻢ ﺑﻌﺪﻱ ﻭﻻﺓ ﻭ, ﻓﺎﲰﻌﻮﺍ ﳍﻢ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﰲ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﳊﻖ,ﻓﻴﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﱪ ﺑﱪﻩ ﻭ ﺍﻟﻔﺎﺟﺮ ﺑﻔﺠﻮﺭﻩ )ﺭﻭﺍﻩ. ﻭ ﺇﻥ ﺃﺳﺎﺀﻭﺍ ﻓﻠﻜﻢ ﻭ ﻋﻠﻴﻬﻢ, ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺴﻨﻮﺍ ﻓﻠﻜﻢ ﻭ ﳍﻢ,ﺻﻠﻮﺍ ﻭﺭﺍﺀﻫﻢ (ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ ﻭ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲏ 105
”Dari Abu Hurairah RA., sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda: ”akan memimpin kalian setelahku para pemimpin yang baik karena kebaikannya, dan ada pula yang buruk karena keburukannya, maka dengarkanlah dan taatilah mereka terhadap setiap perkara yang sesuai dengan kebenaran, dan shalatlah kalian di belakangnya, jika mereka baik maka (pahala) bagi kalian dan bagi mereka, sedangkan jika mereka buruk maka (pahala) bagi kalian dan tidak bagi mereka” (HR. At-Thabrani dan Ad-Daruquthni) Hadis ini hanya merupakan penjelasan Nabi atas keadaan yang akan dialami oleh umatnya kelak bahwa mereka akan dipimpin oleh para pemimpin yang baik dan yang buruk. Dalam hadis ini Nabi memerintahkan kepada para umatnya untuk mengikuti para pemimpinnya yang baik. 3. Hadis Nabi SAW: 106
(ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭ ﻟﻴﺲ ﰲ ﻋﻨﻘﻪ ﺑﻴﻌﺔ ﻣﺎﺕ ﻣﻴﺘﺔ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
”Barangsiapa mati dan belum melakukan baiat maka matinya dalam keadaan jahiliyyah” (HR. Bukhari) Hadis ini hanya menegaskan tentang pentingnya baiat dan ancaman bagi orang yang tidak mau melakukan baiat. Bahwa baiat dalam tradisi Islam merupakan sesuatu yang penting sebagai bukti ketaatannya kepada pemimpin. Dilihat dari maksudnya hadis ini tidak mengandung prinsip yang relevan terhadap fatwa penggunaan hak pilih dalam pemilu.
105 106
Ibid, hal. 56 Shahih Bukhari,Ibid, juz 1, hal. 45
65 2. Hadis Nabi SAW: 107
(ﻗﺎﻝ ﺍﺩﺍ ﻭﺳﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ ﺍﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
”Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya” (HR. Bukhari) 3. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﺩﺍ ﺿﻴﻌﺖ ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺇﺿﺎﻋﺘﻪ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺍﺩﺍ ﺍﻧﺴﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ ﺍﻫﻠﻪ (ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 108
”Abu Hurairah RA. berkata: rasulullah SAW. bersabda: ”jika kepercayaan dilalaikan maka tunggulah waktunya. Sahabat bertanya: bagaimana melalaikan kepercayaan tersebut?. Rasulullah SAW. menjawab: jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktunya” (HR. Bukhari) Kedua hadis di atas menunjukkan maksud yang sama yakni pesan Nabi kepada kita bahwa kita harus menyerahkan segala urusan kepada ahlinya, jangan sampai diserahkan kepada selain ahlinya kalau sampai terjadi maka niscaya akan terjadi kehancuran. 4. Hadis Nabi SAW:
ﻭﻣﻦ ﺗﻮﱃ ﻣﻦ ﺍﻣﺮ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺷﻴﺄ ﻓﺎﺳﺘﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﺟﻼ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻥ ﻓﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺍﻭﱃ ﺑﺪﻟﻚ ﻭ ﺃﻋﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﻥ ﺍﷲ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﲨﻴﻊ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ 109
”Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih paham terhadap kitab Allah dan sunnah rasulNya, maka ia telah mengkhianati Allah, rasulNya, dan semua orang beriman” (HR. At-Thabrani) 107
Ibid, juz 1, hal. 65 Ibid, juz 1, hal. 67 109 At-Tabrani, Ibid, juz 9, hal. 323 108
66 5. Hadis Nabi SAW:
ﻣﻦ ﺭﺍﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻓﻠﻴﻐﲑ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻠﺴﺎﻧﻪ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻘﻠﺒﻪ ﻭ ﺫﻟﻚ (ﺍﺿﻌﻒ ﺍﻹﳝﺎﻥ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ 110
”Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu (juga) maka dengan hati, yang demikian adalah iman yang paling lemah” (HR. At-Thabrani) Hadis ini memerintahkan kepada seseorang untuk senantiasa menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Hadis ini juga belum sesuai dengan orientasi yang dimaksudkan dari fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu. 6. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﻧﺎﺱ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﲰﻌﻮﺍ ﻭ ﺍﻃﻴﻌﻮﺍ ﻭ ﺍﻥ ﺍﺳﺘﻌﻤﻞ (ﺣﺒﺸﻲ ﻛﺄﻥ ﺭﺃﺳﻪ ﺯﺑﻴﻨﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 111
”Dari Anas bin Malik RA. dari Nabi SAW. ia bersabda: ”dengarkanlah dan taatlah kalian walaupun kepada seorang habasy yang di kepalanya terdapat zabinah” (HR. Bukhari) Hadis di atas menunjukkan untuk taat kepada seorang pemimpin tanpa melihat status dari pemimpin tersebut. Hadis ini justeru sangat bertentangan dengan prinsip fatwa yang mengisyaratkan untuk memilih pemimpin yang sesuai kriteria sebagaimana yang dijelaskan lewat fatwa ini. 7. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺮﺀ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺍﺣﺐ ﻭ ﻛﺮﻩ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺆﻣﺮ ﲟﻌﺼﻴﺔ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮ ﲟﻌﺼﻴﺔ ﻓﻼ ﲰﻊ ﻭ ﻃﺎﻋﺔ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 112
110
Shahih Muslim, Ibid, juz 1, hal. 69 Shahih Bukhari, Ibid, juz 1, hal. 53 112 Shahih Bukhari, Ibid, juz 1, hal. 78 111
67 ”Dari Abdullah RA, Nabi SAW. bersabda: ”seorang muslim akan mendengar dan patuh terhadap (perintah) yang dia suka atau benci selagi ia tidak diperintah terhadap kemaksiatan, jika diperintah (untuk melakukan) maksiat maka tidak (harus) mendengar dan menaati (perintah tersebut)” (HR. Bukhari) Hadis
ini
menjelaskan
tentang
ketaatan
kepada
seseorang
yang
memerintahkan atau mengajak pada kebaikan dan melarang untuk taat kepada seseorang yang memerintahkan kepada kemaksiatan. 8. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻻ ﳛﻞ ﻟﺜﻼﺛﺔ ﻳﻜﻮﻧﻮﻥ ﺑﻔﻼﺓ (ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﺇﻻ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﻋﺎﻳﻬﻢ ﺍﺣﺪﻫﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ 113
”Dari Abdulah bin ’Amr RA, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: ”tidak halal bagi tiga orang yang bepergian kecuali mereka mengangkat di antara mereka seorang pemimpin” (HR. Ahmad) 9. Hadis Nabi SAW:
ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﺫﺍ ﻛﻨﺘﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﰲ ﺳﻔﺮ ﻓﻠﻴﺆﻣﻜﻢ ﺍﺣﺪﻛﻢ 114
”Dari Abu Said Al-Khudry RA, rasulullah SAW. bersabda: ”jika kalian bertiga dalam bepergian, maka angkatlah pemimpin di antara kalian.” Kedua hadis di atas mengisyaratkan akan pentingnya keberadaan pemimpin dalam sebuah komunitas atau kelompok dan ketaatan kepada pemimpin tersebut. Nabi menjelaskan pentingnya pemimpin walau hanya dalam komunitas yang sangat kecil sebagaimana digambarkan Nabi jika ada orang bertiga bepergian maka hendaklah dipilih satu orang di antara tiga orang tersebut untuk menjadi pemimpin untuk memimpin perjalanan tersebut.
113 114
At-Tabrani, Ibid, juz 9, hal. 323 Shahih Ibnu Hibban, Ibid, juz 5, hal.504
68 Dari hadis-hadis yang diuraikan di atas tidak terdapat nash yang jelas mengenai hak pilih dalam pemilu, hadis-hadis diatas hanya menjelaskan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan tanggung jawab kita sebagai mahluk di muka bumi untuk senantiasa menjalankan tugas-tugas kekhalifahan. Jadi, jika hadis-hadis ini dijadikan dalil atas fatwa yang dikeluarkan MUI kiranya masih belum cukup. Selanjutnya MUI juga menggunakan dasar fatwanya dengan dilandaskan pada pernyataan sahabat dalam hal ini ada dua pendapat sahabat yaitu Abu Bakar RA. dan Umar bin Khattab RA. saat dilantik menjadi khalifah. Pernyataan ini dijadikan dalil atas fatwa yang dikeluaran oleh MUI tersebut: 1. Pernyataan Abu Bakar RA. ketika pidato pertama setelah ditetapkan sebagai khalifah:
ﺃﻃﻴﻌﻮﱐ ﻣﺎ ﺍﻃﻌﺖ.... "ﻳﺄﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺃﺣﺴﻨﺖ ﻓﺄﻋﻴﻨﻮﱐ ﻭ ﺇﻥ ﺃﺳﺄﺕ ﻓﻘﻮﻣﻮﱐ "ﺍﷲ ﻓﻴﻜﻢ ﻓﺈﻥ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﻓﻼ ﻃﺎﻋﺔ ﱄ ﻋﻠﻴﻜﻢ 115
”Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku ... taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat kepada Allah, dan jika aku memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku” 2. Pernyataan Umar RA. ketika dikukuhkan sebagai khalifah, beliau berpidato: 116
" ...... "ﻣﻦ ﺭﺃﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﰲ ﺃﻋﻮﺍﺟﺎ ﻓﻠﻴﻘﻮﻣﻮﱐ
”Barangsiapa di antara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan maka luruskanlah aku...” Pernyataan kedua sahabat ini lebih menjelaskan tanggung jawab dan perilaku sebagai seorang pemimpin. Sebagaimana Abu Bakar RA memerintahkan seseorang untuk taat kepada pemimpin semenjak pemimpin tersebut masih berbuat kebaikan
115 116
Yusuf al-Qardlawi dalam Fatawa Mu’ashirah, Ibid, juz 2, hal. 724 Ibib.,
69 dan memerintahkan untuk tidak taat kepada pemimpin tersebut jika ia melakukan penyelewengan. Begitu pula sahabat Umar Bin Khattab RA, beliau juga memerintahkan kepada rakyatnya untuk senantiasa memberikan kritikan kepada pemimpin di saat pemimpin tersebut melakukan penyelewengan. Pendapat kedua sahabat inilah belum sesuai dengan rumusan yang fatwa yang dikeluarkan MUI karena adanya maksud yang berbeda. Selanjutnya dasar hukum yang digunakan MUI adalah kaedah-kaedah fiqih : 1. Kaidah Fiqhiyyah: 117
ﻣﺎ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ
”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib” Dilihat dari maksud dalil ini kiranya bisa dipahami jika fatwa ini mengatakan bahwa pemilu merupakan bagian dari kewajiban karena pemilu merupakan bagian yang tidak terpisah dengan adanya proses penegakan pemimpin
yang juga
merupakan kewajiban. 2. Kaidah Fiqhiyyah: 118
ﻟﻠﻮﺳﺎﺋﻞ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ
”Sesuatu yang menjadi perantara (terwujudnya tujuan) hukumnya sama dengan tujuan itu sendiri” Kaedah ini dipandang MUI sebagai penyempurna kaedah di atasnya, bahwa pemilu merupakan kewajiban karena pemilu menjadi perantara atas tercapainya penegakan pemimpin. 117 118
A. Djazuli, Ibid, hal. 32 Ibid, hal. 31
70 3. Kaidah Fiqhiyyah: 119
ﺍﻷﺻﻞ ﰱ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﱴ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ
”Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya” 4. Kaidah Fiqhiyyah: 120
ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﲑ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﲑ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻭ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ
”Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat” Dengan kedua kaedah ini mui ingin menjelaskan bahwa sebuah hukum itu dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi waktu dan tempat dan hukum asal pemilu yang mubah bisa menjadi wajib karena adanya dalil yang mewajibkan nya. 5. Kaidah Fiqhiyyah: 121
ﺍﳊﻜﻢ ﻳﺪﻭﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ
”Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya ’illat” Kaedah ini dimaksudkan oleh bahwa setiap hukum atas sesuatu itu tergantung ada dan tidaknya illat. Jika illat hukum pemilu itu wajib maka hukumnya menjadi wajib dan sebaliknya. 6. Kaidah Fiqhiyyah: 122
""ﺍﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎﻥ ﺭﻭﻋﻲ ﺃﻋﻈﻤﻬﻤﺎ ﺿﺮﺭﺍ ﺑﺎﺭﺗﻜﺎﺏ ﺃﺧﻔﻬﻤﺎ
”Jika ada dua mafsadah saling bertentangan maka dijaga yang paling besar bahayanya dengan menjalankan yang paling ringan bahayanya di antara keduanya” 119
Ibid, hal. 51 Ibid, hal. 42 121 Ibid, hal. 23 122 Ibid, hal. 74 120
71 Jika kaedah ini dimaksudkan oleh MUI untuk mengatakan bahwa memilih pemimpin itu wajib dengan pertimbangan memilih yang lebih ringan madharatnya jika kita dihadapkan kepada sebuah pilihan maka kaedah ini bertentangan dengan diktum fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih. 7. Kaidah Fiqhiyyah: 123
ﻣﺎ ﻻ ﻳﺪﺭﻙ ﻛﻠﻪ ﻻ ﻳﺘﺮﻙ ﻛﻠﻪ
”Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan kehendak kita), seyogyanya tidak ditinggalkan semuanya” Membaca kaedah-kaedah fiqhiyyah yang digunakan MUI ini ternyata banyak kaedah-kaedah yang bertentangan maksud dan tujuan dari kaedah tersebut. Akibat dari pertentangan prinsip kaedah tersebut maka fatwa yang didasarkannya menjadi blunder. Hal inilah yang menjadikan fatwa tentang hak pilih dalam pemilu ini menjadi tidak jelas. Selanjutnya MUI juga mendasarkan fatwanya dengan pendapat-pendapat ulama, setidaknya ada tiga pendapat ulama yang dijadikan rujukan oleh MUI : 1. Pendapat Al-Mawardi dalam ”Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.3”
ﺎ اﻹﻣﺎﻣﺔ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ ﳋﻼﻓﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﰲ ﺣﺮﺍﺳﺔ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭ ﺳﻴﺎﺳﺔ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﳌﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﰲ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﺍﺟﺐ ﺑﺎﻹﲨﺎﻉ 124
”Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalammenjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijma’”
123 124
Ibid, hal. 172 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Ibid, Juz 1, hal. 3
72 2. Pendapat Al-Mawardi dalam ”Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.4”
ﺎ ﻣﻦ ﻓﺈﺫﺍ ﺛﺒﺖ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﻔﺮﺿﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻛﺎﳉﻬﺎﺩ ﻭ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﺎ ﺍﺣﺪ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺮﻳﻘﺎﻥ ﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻫﻠﻬﺎ ﺳﻘﻂ ﻓﺮﺿﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻭ ﺇﻥ ﱂ ﻳﻘﻢ ﺍﺣﺪﳘﺎ ﺍﻫﻞ ﺍﻹﺧﺘﻴﺎﺭ ﺣﱴ ﳜﺘﺎﺭﻭﺍ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻟﻸﻣﺔ ﻭ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﺍﻫﻞ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﺣﱴ ﻳﻨﺘﺼﺐ ﺍﺣﺪﻫﻢ ﻟﻺﻣﺎﻣﺔ 125
”Jika menetapkan imamah adalah wajib, maka (tingkatan) kewajibannya adalah fardlu kifayah seperti jihad dan menuntut ilmu, di mana jika ada orang yang ahli (pantas dan layak) menegakkan imamah, maka gugurlah kewajiban terhadap yang lainnya. Jika tidak ada seorangpun yang menegakkannya, maka dipilih di antara manusia dua golongan; yakni golongan legislatif hingga mereka memilih untuk umat seorang pemimpin, dan golongan (calon) pemimpin hingga di antara mereka dipilih untuk menjadi pemimpin” 3. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam ”As-Siyasah As-Syar’iyah”
ﳚﺐ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻥ ﻭﻻﻳﺔ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻋﻈﻢ ﻭﺍﺟﺒﺎﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻞ ﻻ ﻗﻴﺎﻡ ﻟﻠﺪﻳﻦ ﻭ ﻻ ﻟﻠﺪﻧﻴﺎ ﻓﺈﻥ ﺑﲏ ﺃﺩﻡ ﻻ ﺗﺘﻢ ﻣﺼﻠﺤﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺎﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﳊﺎﺟﺔ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﻭﻻ ﺑﺪ ﳍﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺭﺃﺱ 126
”Penting untuk diketahui bahwa adanya kekuasaan untuk mengatur urusan manusia adalah termasuk kewajiban besar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama ataupun dunia tanpa adanya kekuasaan. Maka sesungguhnya anak adam tidak akan sempurna kemaslahatannya tanpa berkumpul karena di antara mereka saling membutuhkan, dan tidak bisa dihindari ketika mereka berkumpul adanya seorang pemimpin” 4. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam ”As-Siyasah As-Syar’iyah, juz 1, h. 168” 127
""ﺳﺘﻮﻥ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﺍﻣﺎﻡ ﺟﺎﺋﺮ ﺃﺻﻠﺢ ﻣﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺑﻼ ﺳﻠﻄﺎﻥ
”Enam puluh tahun (di bawah) pemimpin yang sewenang-wenang lebih baik daripada satu malam tanpa (adanya) pemimpin”
125
Ibid, Juz 1, hal. 4 Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz 1, hal. 160 127 Ibnu Taimiyah, Ibid, juz 1, hal. 168 126
73 5. Pendapat dalam ”Mawahib As-Shomad, h 8”
ﻭﱂ ﳚﺰ ﰲ ﻏﲑ ﳏﺾ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺧﺮﻭﺟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﱄ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﺩﻻ ﻭ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﺢ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﺋﺮﺍ ﺇﺫ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﰲ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻌﺼﻮﻣﺎ ﻭ ﱂ ﻳﺰﻝ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻳﻨﻘﺎﺩﻭﻥ ﳍﻢ ﻻ ﻳﺮﻭﻥ ﺍﳋﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﻊ ﻇﻬﻮﺭ ﺫﻟﻚ ﻭ ﺍﻧﺘﺸﺎﺭﻩ ﻣﻨﻬﻢ ﻭ ﻷﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﲞﻼﻑ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ "ﺃﻃﻴﻌﻮﺍﷲ ﻭ ﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭ ﺃﻭﱄ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﰲ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺬﻳﻔﺔ "ﻣﻦ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﻗﺪﺭ ﺷﱪ ﻓﻘﺪ ﺧﻠﻊ ﺭﻳﻘﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻦ."ﻣﻨﻜﻢ ﻋﻨﻘﻪ" ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺷﺮﻋﺎ ﺍﻣﺎﻡ ﻳﻨﺼﺐ ﻹﲨﺎﻉ ﺻﺤﺎﺑﺔ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﺒﻪ ﺣﱴ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺃﻫﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ ﻭ ﻗﺪﻣﻮﻩ ﻋﻠﻰ ﺩﻓﻨﻪ ﻭ ﱂ ﺗﺰﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ .ﰲ ﻛﻞ ﻋﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ 128
”Selain dengan alasan karena kekufuran yang jelas, kita tidak boleh keluar dari waliyul amri (pemimpin), jika pemimpin tersebut adil (ulama sepakat dalam hal ini) atau (menurut pendapat yang lebih benar) ketika pemimpin sewenangwenang, karena tidak disyaratkan terhadap pemimpin seorang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan salah). Para ulama terdahulu (salaf) sering melakukan kritik kepada para penguasa, tetapi para ulama salaf tetap tidak keluar dari kepemimpinan para penguasa tersebut, walaupun terlihat jelas dan sangat terkenal kesewenang-wenang pemimpin tersebut, karena seorang imam (pemimpin) tidak boleh dikucilkan disebabkan kefasikannya, berbeda dengan hakim (qadhi), sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya: ”taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan para pemimpin (ulil amri) di antara kalian”, dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Khudzaefah RA.: ”Barangsiapa memisahkan diri dari komunitas (al-jama’ah) walaupun satu jengkal maka ia telah melepaskan ikatan agama Islam dari lehernya”. Menurut ajaran Islam (syara’) setiap manusia diwajibkan untuk mengangkat pemimpin (imam), sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat setelah wafatnya nabi SAW. yang segera mengangkat seorang pemimpin, sehingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dan mendahulukannya daripada mengubur Nabi SAW. Dan hal tersebut (mengangkat pemimpin sebagai kewajiban yang paling penting) senantiasa dipegang oleh manusia di setiap zaman” Pendapat-pendapat ulama di atas yang digunakan dalil MUI ini sangat kontradiksi dengan materi fatwa itu sendiri. Misalnya al-Mawardi mengatakan
128
Mawahib As-Shomad, hal. 8
74 bahwa memilih pemimpin wajib yang juga diamini Ibnu Taimiyyah dan bahkan Ibnu Taimiyyah menekankan kewajiannya tanpa memandang kwalitas dari pemimpin itu sendiri dengan dibuktikan pernyataannya yang mengatakan bahwa lebih baik di bawah pemimpin yang dhalim daripada kita tidak punya pemimpin. Dalil ini sangat bertentangan isi fatwa yang mengatakan bahwa kita harus memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, amanah, sidik, tabligh, fathonah. Kemudian MUI juga mengambil dasar undang-undang negara digunakan untuk merumuskan fatwanya : 1. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.129 2. Konsideran UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk menegakkan kemaslahatan yang merupakan inti dari tujuan syariah (maqasid al-syari’ah).130 3. UU No. 10 tahun 2008 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.131 Ketiga undang-undang tersebut menjelaskan keberadaan hak warga negara dalam pemerintahan, fungsi pemilu dan syarat-syarat seseorang bisa menggunakan
129
UUD 1945, hal 44 UU Pemilu Tahun 2008, hal. 3 131 UU Pemilu Tahun 2008, hal. 5 130
75 hak pilihnya. Satu sisi makna undang-undang tersebut selaras dengan fatwa MUI yang mengatakan bahwa pemilu mempunyai fungsi yang penting untuk perwujudan kedaulatan rakyat. Tetapi disisi yang lain undang-undang tersebut memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih dalam proses pemilu atau tidak. Hal ini tentunya belum selaras dengan fatwa MUI yang mewajibkan untuk memilih pemimpin yang memenuhi syarat ideal. Melihat dari dasar-dasar istinbat hukum di atas menurut hemat penulis MUI belum cukup kuat dijadikan dasar atas fatwa yang dikeluarkan MUI. Karena tidak adanya kesesuaian antar dalil yang digunakan dan bahkan banyak kontradiksi antar dalil yang digunakan dan materi fatwa itu sendiri. Sehingga fatwa tersebut menjadi tidak kuat karena tidak didasari istinbat dan dasar hukum yang tepat. Setelah membaca dengan seksama istinbat hukum yang digunakan MUI penulis melihat bahwa istinbath hukum yang digunakan MUI dalam merumuskan fatwa ini sangat dipaksakan dan sangat lemah sehingga fatwa yang dikeluarkan ini menjadi tidak berarti. Hal ini dikarenakan tidak terdapat korelasi yang jelas antara istinbath dengan isi fatwa dan antar point dari isi fatwa itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa keberadaan fatwa ini bertujuan untuk mendorong orang untuk tidak melakukan golput dan mau berpartisipasi dalam pemilu dengan menggunakan hak pilihnya. Hal ini ternyata bertentangan dengan materi fatwa. Seperti diktum fatwa point 4 dan 5. Pada point ini dijelaskan bahwa memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib dan memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-
76 syarat sebagaimana disebutkan atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Point ini mengandung makna yang bias, artinya jika seseorang melihat dari calon-calon pemimpin yang akan dipilih dalam pemilu tidak memenuhi syarat maka tindakan golput justeru diwajibkan kalau memang ini yang dimaksudkan maka fatwa ini bukan untuk mengurangi golput malah mendorong orang untuk melakukan golput. Hal ini menjadi bertentangan dengan orientasi dasar fatwa ini. Mengapa demikian, karena dorongan untuk memilih pemimpin yang digariskan MUI lewat fatwa ini sangat subyektif. Sebagaimana diuraikan di bab sebelumnya bahwa orang melakukan golput itu lebih cenderung disebabkan oleh ketidakpercayaan rakyat kepada calon-calon pemimpinnya. Kalau demikian maka fatwa ini justeru mendorong orang untuk melakukan golput.
B. Politik Fatwa Dalam Fatwa Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu Menilik tujuan adanya fatwa penggunaan hak pilih dalam pemilu adalah untuk menekan angka golput dan mendorong seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, tetapi pertanyaannya mengapa angka golput tetap tinggi? Buktinya jumlah golput pada saat pemilu legislatif 9 April 2009 lalu mencapai 29,01 %. Naik sekitar 6 % dari pemilu sebelumnya yakni pemilu 2004 dengan jumlah golput 23,29 %. Hal ini wajar karena fatwa MUI ini terdapat banyak kerancuan dari sisi istinbath hukum yang digunakannya sebagaimana tertera di atas. Selain dari pada itu fatwa MUI ini dinilai fatwa yang sangat politis. Banyaknya kepentingan di balik kemunculannya menjadikan fatwa ini tidak netral. Penulis melihat fatwa MUI ini sebagai bentuk dari politisasi fatwa. Politisasi fatwa inilah yang menambah
77 lemahnya keberadaan fatwa itu sendiri karena cenderung fatwa hanya dijadikan alat kepentingan semata. Lebih jelasnya yang dimaksud dengan politisasi fatwa sebagaimana yang diungkapkan Suwardono dalam artikelnya yang bertajuk “Politik Fatwa dan Fatwa Politik“ adalah fatwa tersebut dipahami sebagai serangkaian statemen agama yang merujuk pada penggunaan instrumen politik. Atau lebih mudah dipahami bahwa politik fatwa adalah upaya-upaya agar fatwa yang dikeluarkan itu bisa mencapai kepentingan-kepentingan politik (Harian Tempo, Jum’at 9 Januari 2009). Politik fatwa dalam fatwa MUI ini dapat diukur pertama, dari isi atau materi fatwa tersebut. Dimana isi fatwa sangat erat terkait dengan politik yaitu mengenai pemilu, ketentuan-ketentuan pemilih dalam pemilu dan kriteria-kreteria calon yang harus dipilih dalam pemilu. Kedua, dari latar belakang kemunculan fatwa. Dimana melihat latar belakang kemunculan fatwa menjelang pelaksaan pemilu 2009. Kemunculannya ini ditengarai besar kemungkinan adanya intervensi dari pemerintah. Asumsinya adalah bahwa pemilu merupakan tanggungjawab dari pemerintah, sukses dan tidaknya pemilu sangat mempengaruhi kinerja pemerintah, jika pemilu sukses maka kinerja pemerintah akan dianggap sukses. Begitu juga sebaliknya, jika pemilu gagal maka kinerja pemerintah akan dipandang gagal pula. Sementara fatwa MUI ini mengisyaratkan agar masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu yang dengan jelas diungkapkan lewat fatwa bahwa pemilu adalah kewajiban. Hal ini sejalan dengan harapan pemerintah yakni rakyat didorong untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu agar pemilu dianggap sukses dengan tingkat partisipasi yang tinggi.
78 Selain daripada itu, kemunculan fatwa juga didorong atas permintaan dari Hidayat Nur Wahid, yang berkedudukan sebagai Ketua MPR RI dan juga mantan Presiden PKS. Sebagaimana kita tahu bahwa Hidayat Nur Wahid selain Ketua MPR adalah sebagai representasi dari partai politik yang berbasis ideologi agama, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan kekuatan fatwa ini nantinya akan bisa mendorong umat Islam untuk menggunakan pilihannya sehingga partai tersebut akan bisa mendulang suara yang besar dan bisa memenangkan pemilu. Dari bacaan inilah kiranya fatwa MUI ini terkesan sarat dengan kepentingan politik.. Lebih daripada itu melihat posisi MUI yang juga sarat dengan muatan politik sejak awal didirikannya menjelaskan bahwa fatwa-fatwanya juga bagian dari politisasi fatwa. Fatwa yang dipahami sebagai pendapat seorang ulama atas sebuah persoalan agama, sebagaimana yang diuraikan oleh al-Syathibi bahwa fatwa adalah jawaban yang diberikan seorang pakar hukum (mufti) melalui kalimat, tindakan atau persetujuan terhadap suatu pertanyaan legal, merupakan pendapat pribadi yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Akan tetapi melihat keberadaan MUI sebagai sebuah lembaga atau institusi ternyata telah menggeser makna awal dari sebuah fatwa. Fatwa kini dipahami sebagai sebuah produk hukum fiqih yang mempunyai kekuatan mengikat, pelembagaan fatwa inilah yang dipahami sebagai politik fatwa. Artinya bagaimana kemudian sebuah fatwa saat diputuskan itu mempunyai legitimasi atau kekuatan untuk mengikat. Jelas bahwa fatwa MUI ini kemudian dijustifikasi sebagai keputusan ijma’ ulama. mempunyai akibat hukum yang sangat luar biasa karena fatwa ini telah berubah menjadi produk hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bukan seperti
79 yang dimaksudkan dengan definisi fatwa. Yaitu sebuah pendapat hukum dari seorang ulama yang tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dari pembacaan singkat di atas maklum jika fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak begitu berpengaruh dan berdampak positif sesuai dengan harapan yakni bisa menekan angka golput dan mendorong seseorang untuk menggunakan hak pilihnya. Karena dianggap fatwa tersebut tidak jelas dari sisi istibath hukum dan materinya dan sarat dengan muatan kepentingan politik.
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah membaca uraian panjang di atas mengenai fatwa MUI tentang penggunaan hak pilih dalam pemilu, dapat ditarik kesimpulan : 1. Fatwa MUI ini masih sangat rancu karena terdapat banyak ketidaksesuaian antara isi diktum fatwa dan dalil-dalil yang digunakan dasar hukum fatwa sehingga istinbath hukumnya menjadi lemah. 2. Politisasi fatwa dalam fatwa MUI ini sangat besar dengan melihat keberadaan lembaga MUI dan latar belakang di balik kemunculan fatwa ini. . Hal inilah yang menyebabkan keberadaan fatwa tidak berdampak besar. 3. Penggunaan hak pilih dalam pemilu sudah diatur secara rinci dalam tata aturan hukum negara kita. Bahwa menggunakan pilihan dalam pemilu merupakan hak bukan kewajiban. 4. Fatwa MUI ini belum mampu menyelesaikan persoalan golput karena fatwa ini tidak jelas berbicara tentang golput. Justeru sebaliknya fatwa ini bisa memicu tingginya golput dengan melihat isyarat fatwa yang mengatakan bahwa wajib memilih pemimpin yang amanah, jujur dan aspiratif dan haram memilih pemimpin yang tidak memenuhi kriteria persyaratan tersebut, sementara kenyataan sekarang menunjukkan banyaknya calon-calon pemimpin yang tidak memenuhi persyaratan.
81
5. Munculnya golput tidak hanya disebabkan satu faktor saja akan tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan golput. Dari kompleksitas faktor-faktor
tersebut
tentunya
membutuhkan
alternatif-alternatif
hukum
terhadapnya. Oleh karena itu fatwa MUI ini belum cukup menjawab persoalan golput dan masih dibutuhkan cara-cara penyelesaian sesuai dengan faktor yang melatarbelakanginya. 6. Golput merupakan sebuah realitas politik yang telah mempunyai kesejarahan panjang dalam setiap pelaksaan pemilu di Negara Indonesia. Atas realitas tersebut, golput tidak bisa disikapi secara sepenggal saja namun harus secara komperehensif karena persoalan golput adalah persoalan yang kompleks yang saling mengikat antara satu dengan yang lain.
B. Saran Uraian pembahasan yang dikupas dalam penelitian ini, penulis berharap karya ini bisa menambah kontribusi dalam diskursus politik kebangsaan kita. Terutama dalam melihat fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Selain dari pada itu bahwa fenomena golput yang selalu terjadi pada saat diselenggarakannya pemilu maupun pilkada di negara ini harus dibaca secara komprehensif mulai dari sejarahnya, faktor yang melatarbelakanginya sampai pada mekanisme cara penyelesaianya sehingga dengan komprehensitas pembacaan tersebut kita bisa mendudukkan golput ini secara proporsional.
82
Begitu pula dengan fatwa MUI, walaupun keberadaannya tidak mengikat lewat penelitian ini penulis berharap agar fatwa ini juga dilihat dengan kacamata yang kritis. Berbagai perspektif harus digunakan dalam membaca fatwa ini, sehingga kita tidak terjebak dalam memaknai dan menempatkan fatwa ini di tengah realitas yang kita hadapi.
C. Penutup Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan karya ini. Dengan usaha yang maksimal, berdiskusi kesana kemari, mondar mandir mencari buku, data, mengurung diri di kamar merangkai tulisan, dan sebagainya harus dilakukan demi mewujudkan karya ini. Hal tersebut sangat disadari oleh penulis karena tanpa usaha yang maksimal sebuah cita-cita niscaya tidak akan tercapai. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang penulis paparkan dalam goresan singkat ini dapat memberikan wacana baru dan menambah wawasan serta menjadikan diskursus dalam pemikiran hukum politik Islam menjadi lebih dinamis. Penulis sadar bahwa tentunya penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran, kritik, masukan yang inspiratif senantiasa penulis harapkan demi sebuah hasil yang maksimal. Dan paling akhir penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya penulisan karya ini. Dari segala bantuannya penulis tidak bisa membalas apa-apa hanya berdoa semoga diberikan imbalan yang sepantasnya oleh Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardy, Abi Al-Husain Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam alSulthaniyyah, Beirut: Dar al Fikr. Ahmad, Qodri A. Azizy, Dr, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta, LKiS, 2000 Arif, Saiful, Ilusi Demokrasi, Jakarta: Desantara bekerjasama dengan Averroes, 2003 A Robert, Democracy and It’s Critics, (terj) Rahman A Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992), Cetakan Pertama At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, Maktabah Syamilah A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), Cetakan pertama Depag RI. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Terjemah. Fachrurrozy Pulungan, ”Golput dalam Perspektif Islam” //malangraya.web.id/2009/02/24/ golput-dalam-perspektif-Islam/
http:
HR Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII Press, 2007), Cetakan Pertama Harian Suara Merdeka, 10 Mei 2009 Hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III http://ms.wikipedia.org/wiki/Majlis_Ulama_Indonesia, 21 oktober 2007 Inilah COM, dalam petikan wawancara dengan KH. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, http://www.inilah.com/berita/wawancara/2009/01/28/79211/tidak-adaparpol-suap-mui/ Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah, Maktabah Syamilah Joko, J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Kumpulan Makalah Materi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III
KH. Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk.Mengapa Kami Memilih Golput, SAGON, 2009 LP2KS DPW PKB Jawa Tengah, Partai Untuk Rakyat, Semarang, CV. Aneka Ilmu, 2003, Cetakan Pertama Meli Anelgi Dianti, ”Golput Hambat Demokrasi”, http://www.wawasandigital.com/ index.php?option=com_content&task=view&id=24268&Itemid=62. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, 2007 Edisi ketiga, Cetakan Keempat PD/PRT MUI Qardlawi, Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, Beirut: al-Maktab al-Islamy, 2000, cetakan pertama Qardlawi, Yusuf, DR, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insanin Press, 1997 Rois, Dhiauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), Cetakan Pertama Shahih Muslim: Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Araby Shahih Bukhari: Beirut: Dar al-Fikr al-Turats al-Araby Shahih Ibnu Hibban, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993, Cetakan Kedua Sigit, Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP UGM, 2009, Cetakan Pertama Suaedy, Ahmad, DKK, Politisasi Agama dan Konflik Komunal, Jakarta, The Wahid Institut, 2007, Cetakan Pertama Sadzali, Munawir, H, MA, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UII Perss, 1991, Cetakan Ketiga Sarsito, Totok, “Jadi Ancaman?”, Suara Merdeka, Semarang, 13 April 2009 Thayib, Anshori, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1983), Cetakan Pertama Umar, Muin, Drs, Symuni A. Rahman, Drs. H, Tolchah Mansoer, Dr. SH, H, Kamal Muchtar, Drs. H, Zahri Hamid, Drs. Dahwan, Drs, Ushul Fiqh I, Jakarta: DEPAG RI, 1985
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu