PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Rizkyasri Suminar Putri NIM. E 0005276
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
79
80
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Disusun oleh : RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM : E. 0005276
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I
Pembimbing II
SUNARNO DANUSASTRO, S.H., MH
DR. HARI PURWADI, S.H., MH
NIP. 130 516 359
NIP. 196 412 012
81
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM. E. 0005276
Telah diterima dan dipertahankan oleh di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari
: Senin
Tanggal
: 1 Februari 2010 DEWAN PENGUJI
1. Suranto, S.H, M.H Ketua
:
...........................................
2. Sunarno Danusastro, S.H., M.H Sekretaris
:
...........................................
3. DR. Hari Purwadi, S.H., M.Hum Anggota
:
...........................................
Mengetahui : Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
82
MOTTO
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kau selalu menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan hanya sebagai sarana, melainkan sekaligus sebagai tujuan. (Immanuel Kant)
Agama ini untuk Allah, namun tanah air ini adalah milik kita semua (pepatah Arab)
…maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan ¾ dunia!!! (R.A. Kartini via Pramoedya Ananta Toer)
Sukses sering datang kepada orang yang berani bertindak. Jarang kepada penakut yang tidak berani menerima konsekuensi. (Jawaharlal Nehru)
83
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk ayahku dengan ketegasan dan sikap keras sebagai dukungan luar biasa untuk mempersiapkan putrinya menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab, Untuk ibuku yang senantiasa menyebut namaku di setiap doa dan sholat malamnya serta kasih tulus dan cintanya yang tidak pernah bersyarat, Untuk mbak Annie, yang masih bisaselalu tersenyum di setiap kondisi, Untuk mbak Anna, atas lecutan semangat bahwa aku bisa, bahwa kita satu tak terpisahkan atas nama keluarga.
84
PERNYATAAN
Nama
: Rizkyasri Suminar Putri
NIM
: E0005276
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi ini).
Surakarta,
Januari 2010
Yang membuat pernyataan
Rizkyasri Suminar Putri NIM. E0005276
85
ABSTRAK RIZKYASRI SUMINAR PUTRI, 2010. PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau no vote decision atau golongan putih (golput) termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan bagaimanakah nilai hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dengan melakukan penelitian terhadap UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan jaminan HAM atas golput dan nilai hukum fawa haram MUI tentang Golput. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu UUD 1945, UU UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah studi kepustakaan dan cybermedia. Dalam melakukan analisis bahan hukum digunakan logika deduksi dan interpretasi atau penafsiran teleologis atau sosiologis, serta interpretasi sistematis untuk menjawab kedua permasalahan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu, penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25. Kedua, Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat.
Kata kunci : golput, fatwa, haram, HAM
86
ABSTRACT PUTRI, RIZKYASRI SUMINAR, 2010. THE USING OF THE UNDECIDED VOTERS RIGHT IN CORRELATION WITH MUI’S FATWA HARAM OF GOLPUT DECISION IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE. This research aimed to determine whether the option of a person use not the vote in general election or ‘no vote decision’ or golongan putih (golput) included in Human Rights and how the legal value of the MUI’s fatwa on golput unlawful by doing research on UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election spending. This research is a perscriptively normative legal research, finding Human Rights’s legal security of golput and legal value of MUI’s fatwa haram on golput, or fatwa ”undecided voters is forbidden”. The sources on legal materials that being used are of primary legal materials of UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election. Secondary law materials that should be applied as investigating material with the technique of collecting the law materials study documents or literary reviews both printed and electronic (internet) sources are used. The analysis of legal materials use deductive logic, the sociological or teleological interpretation and systematic interpretation to answer the both of research problems. Based on research results and discussion, conclussion is being generated. The first one, the using of right to not vote or ‘no vote decision’ or golput is the political rights of person that is a basic freedoms and included in Human Rights. Legal security of goput as a part of the political rights of each person set forth in UUD 1945 (the constitution) Article 28D paragraph (3), Article 28I paragraph (1), and Article 28J paragraph (2); Act No. 39/ 1999 on Human Rights Article 23 paragraph (1), Article 23 paragraph (2), and Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights Article 18, 19, and 25. Second, unlawful MUI’s fatwa haram of golput not conflict with Human Rights because of legal opinion and recommendations are suggestion, and MUI is not the State Institution so that MUI’s rulling, so does fatwa, is not binding.
Keywords: golput, fatwa, haram, Human Rights
87
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas
limpahan
rahmat
dan
karuniaNya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul : “PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”. Penulisan hukum ini mencoba untuk mengetahui apakah keputusan seseorang untuk tidak memilih atau no vote decision atau yang biasa disebut dengan golput merupakan HAM atau tidak. Selain itu penulisan hukum ini juga membahas mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM. Permasalahan golput, fatwa MUI, serta HAM merupakan hal yang menarik perhatian penulis.
Fenomena golput akhir-akhir ini semakin
merebak, dan hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka golput di berbagai pemilihan umum serta pemilihan umum daerah. Namun demikian, penulis merasa bahwa pengeluaran fatwa golput oleh MUI tersebut bukanlah sesuatu yang tepat. Oleh karenanya, dalam perspektif HAM, penulis kemudian mencoba untuk mengetahui nilai hukum dari fatwa golput haram MUI tersebut. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III dan atas segala bimbingan dan bantuan selama penulis menjadi mahasiswa. 3. Bapak Soenarno Danusastro, S.H., MH sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan
88
pengarahan secara bijak kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan hukum ini. 4. Bapak DR. Hari Purwadi, S.H., M. Hum sebagai pembimbing yang telah berhasil memacu motivasi penulis untuk terus belajar. 5. Ibu Erna Dyah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan masukan kepada penulis. 6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai bekal untuk menggapai masa depan, beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Ayahku tercinta, Ibunda terkasih, Kakakku tersayang. Karena kalian aku ada dan berjuang untuk selesaikan kewajiban ini.... 8. Untuk seseorang yang selalu sangat hidup dalam mimpiku. Guru terbaik atas semua yang terjadi, akan terjadi, dan telah tidak akan terjadi lagi. Menyerah bukan berarti kalah dan salah, sebab menyerah adalah karena banyak hal lain yang ternyata belum sempat dicintai. Selaksa rasa, berjuta pengalaman, dan akhirnya berakhir pada mengerti dan memaafkan.... Ternyata mencintai tidak cukup untuk saling memiliki. Namun mencintai memang untuk dapat saling memiliki, Kanda Rahmad Winarto S.H. 9. Keluarga besar HMI Cabang Surakarta Komisariat Fakultas Hukum UNS. Untuk Anung Razaini Firmansyah, sang Ketum yang memberikan banyak pengertian dan pemakluman, syukur tiada akhir milikimu sebagai sahabat terbaik. Aldian Andrew Wirawan, semoga selalu bersemangat dengan atau tanpa seseorang di sisimu, Al.... Didit Suryo Tri Puspito, adek lelakiku yang sangat baik dan memanjakan, sukses selalu buat kamu. Buyung Loding, M. Adzkar Arifian, Dedi Tri Yulianto, M. Ali Ridho, Zuhri mas Say, Teuku Marliansyah, Hidayat Dwi P, Bintang, Edi, Veni, Shinta, semoga akan dan selalu tetap menjadi generasi insan cita.... Untuk Ahmad Marthin Hadiwinata sosok kakak yang ’sadis’ sekaligus menyenangkan, Yasser Arafat, Arif Maulana S.H., Nurrahman Aji Utomo, Okky Meidia Fajar, Adilla Prasetyo, Mas Hudhan. Terimakasih atas penyadaran, pencerahan, semua tawa dan hujatan canda penuh makna.
89
10. Ucapan terimakasih secara khusus untuk Okky Meidia Fajar, Arif Maulana S.H, Nurrahman Aji Utomo, Rendy Harindraputra S.Ked, dan Wisnu Wicaksono, yang bersedia meluangkan waktu serta memaklumi untuk terus membantu proses ini, dari berdiskusi, mengantar ke pembimbing hingga mengisikan printer,,,, J 11. Sahabatku tersayang Windarizti Yuniastried Putri dan Cahya Dwi Wardhani, terima kasih atas persahabatan yang telah kita jalin dengan hangat selama ini. 12. Kawan-kawan Kos Kinasih 2 shift A: Mbak Dian, Mbak Nova, Mbak Pinta, Mbak Rina, Mbak Kristy, Mbak Harmy, Mbak Dinar, Te-Je.... dan Shift B: Achi, Mbak Niken, Rahma, Lita, Sari, Wury.... terimakasih, karena kalian terkadang aku tersadar bahwa aku perempuan juga... Senyum, dong? 13. Mayang Mayurantika S.H., semoga kita sudah sempat bersenang-senang karena kita memang akhirnya hanya menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan...terimakasih dan semoga kita masih bisa dipertemukan dengan kondisi yang jauh lebih baik. 14. Seluruh teman–teman program strata satu reguler Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2005 yang telah memberikan bantuan dan saran dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini. 15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis sendiri, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
90
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI................................................................iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........................................................................iv PERNYATAAN…………………………………………………………………. vi ABSTRAK .............................................................................................................vii KATA PENGANTAR ...........................................................................................ix DAFTAR ISI ..........................................................................................................xii DAFTAR BAGAN................................................................................................xiv BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Perumusan Masalah........................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 8 D. Manfaat Penelitian……………………………………………….. . 9 E. Metode Penelitian…………………...…………………………… 10 F. Sistematika Penelitian ..................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................17 A. Kerangka Teori ................................................................................ 17 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum……………………………… a. Hukum…………………………………….……………….. 17 b. Arti Hukum ……………………………………………….. 20 2. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia a. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia…………………….. 22 b. Tinjauan Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia……….. 23 3. Tinjauan Tentang Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih............. 24 a. Tinjauan Tentang Hak Pilih ................................................... 27 b. Tinjauan Tentang Golput ....................................................... 30 4. Tinjauan Tentang Hukum Islam……...……………………….. 32
91
a. Pengertian Hukum Islam …………………………………. 32 b. Jenis Sumber Hukum Islam ……………………...……….. 35 5. Tinjauan Tentang MUI dan Fatwa …………………………… 39 a. Tinjauan Tentang MUI ……………………………………. 39 b. Tinjauan Tentang Fatwa ………………………………….. 41 B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 44 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 47 A. Hasil Penelitian ............................................................................... 47 B. Pembahasan 1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ........................... .......59 2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ....................................... .......64 BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 77 A. Kesimpulan...................................................................................... 77 B. Saran ................................................................................................ 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79
92
DAFTAR BAGAN
Bagan : Kerangka Pemikiran ................................................................................ 44
93
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Golongan Putih (Golput) selalu menjadi fenomena di setiap perhelatan Pemilihan
Umum
(Pemilu).
Meningkatnya
angka
pemilih
yang
tidak
menggunakan hak pilihnya cukup menjadi sorotan dalam setiap Pemilu. Rendahnya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya tidak hanya terjadi dalam Pemilu Legislatif namun juga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam Kompas edisi Selasa, 17 Juni 2008 dinsebutkan bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 %. Pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 %. Adapun tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing-masing sebesar 78,23 % dan 77,44 %. (Kompas, 17/06/2008). Menurut catatan LBH Jakarta, persentase yang diperoleh golput pada Pemilu 2004 cukup signifikan yaitu 23,34%. Dalam Pilkada yang diselenggarakan menjelang Pemilu 2009, angka Golput juga cukup tinggi.
Di Jawa Timur, pada putaran pertama angka golputnya
mencapai 39,20 %. Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 % dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 % atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 %.
Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa
Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 % dan NTT 20 %. (http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/). Dengan begitu tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia maka hasil Pemilu tidak dapat dikatakan mutlak sebagai aspirasi
94
rakyat. Para anggota legislatif, Kepala Daerah maupun Presiden yeng terpilih pun akhirnya hanya mendapatkan legitimasi dari para pemilih aktif yang menggunakan hak pilihnya, bukan dari seluruh masyarakat. Pada akhirnya, ekses dari setiap kebijakan yang dikeluarkan Dewan Legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) masih sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Tidak maksimalnya
pemerintahan dan pembangunan diprediksi dapat menjadi akibat lanjutan dari tingginya angka golput tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan golput sebagai topik populer untuk menjadi bahan perbincangan maupun diskusi. Banyak tokoh politik menghendaki adanya aturan tegas untuk melarang golput di dalam Pemilu 2009. Lontaran pertama mengenai desakan untuk pengeluaran fatwa mengenai golput adalah dari Hidayat Nur Wahid, yang ketika itu menjabat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI digelar di Padang Panjang, pada bulan November 2008, Hidayat Nurwahid mengusulkan fatwa haram golput tersebut. Saat menjawab pertanyaan wartawan tentang pendapatnya atas usulan Dien Samsudin tentang poros tengah jilid II ia menjawab, Poros tengah jilid II berarti bicara tentang hasil pemilu. Sementara yang terjadi sekarang ini ada orang mengajak golput. Fenomena golput begitu meruyak di mana-mana. Golput pada Pilkada meninggi luar biasa (Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009).
MUI akhirnya mengeluarkan fatwa haram tentang golput. Fatwa tersebut dikeluarkan pada forum Ijtima’ Ulama III yang dihadiri para utusan pengurus MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Daerah di Padang Panjang Sumatera Barat. Dalam forum yang berlangsung pada tanggal 24-25 Januari 2009 tersebut, juga dibahas mengenai masalah kontemporer lain seperti yoga, pernikahan usia dini, dan rokok (http://www.mediaumat.com/content/view/). Dalam naskah fatwa golput haram tersebut antara lain disebutkan bahwa:
95
1.
Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa,
2.
Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama,
3.
Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat,
4.
Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib, dan
5.
Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Secara lebih lanjut, MUI juga memberikan rekomendasi dari fatwa tersebut.
Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas (amar makruf nahi munkar). Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi (http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi/). Pengeluaran fatwa tersebut disambut pro dan kontra dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebab, fatwa tersebut ditengarai sebagai salah satu upaya politik dari beberapa partai Politik Islam, bukan hanya untuk memaksimalkan kedaulatan rakyat di Indonesia. Hukum haram yang dikeluarkan MUI tersebut juga dianggap sebagai persoalan serius. Dalam buku ‘Islamic Environmental System Engineering’ karya Waqar A. Husainini sebagaimana dikutip Rohadi Abd. Fatah dinyatakan bahwa hukum haram atas suatu hal bukan merupakan hal yang sederhana bagi kalangan umat muslim. Haram ialah larangan keras. Dengan pengertian, jika dikerjakan akan berdosa dan jika tidak dikerjakan (ditinggalkan) maka akan mendapatkan pahala (Sulaiman Rasjid, 1992: 17).
96
Ketika seorang individu dihadapkan pada posisinya sebagai umat muslim yang wajib untuk berpartisipasi dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya maka haram baginya untuk menjadi Golput. Namun, sebagai Warga Negara Indonesia, setiap individu memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya. Termasuk dalam menyampaikan atau tidak menyampaikan pendapatnya. Bahkan, beberapa pelaku Golput menyatakan bahwa Golput pun merupakan cara untuk menyalurkan aspirasinya. Istilah golput sendiri pertama kali muncul menjelang pemilu orde baru tahun 1971. Pencetus gerakan golput antara lain Arief Budiman, Julius Usman, dan Almarhum Imam Malujo Sumali. Kemunculan Golput terutama setelah terjadi ketidakpuasan sejak lahirnya UU No. 16/ 1969 dan Peraturan Menteri No. 12/ 1969 yang dinilai tidak demokratis dan dipaksakan oleh Partai Politik. Pada intinya, peraturan perundang-undangan tersebut telah mematikan tampilnya kekuatan politik baru dalam pemilu selain parpol-parpol yang sudah ada dan Golongan Karya (Golkar). Golput ketika itu merupakan bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Golkar adalah pendukung terbesar dari kekuasaan orde baru. Suharto’s “New Order” regime created Golkar, a progovernment party based on bureaucratic and military interests. The government also embarked on a development program that helped the economy grow by an annual average of 7 percent for three decades. By the 1990s, Suharto’s children and cronies were the major beneficiaries of state privatization schemes and in many
cases
ran
business
monopolies
with
little
oversight
(http://www.freedomhouse.org/).
Dalam kondisi seperti itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
97
Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Di dalam wacana yang selama ini berkembang, Golput sesungguhnya tidak selalu murni kesengajaan. Apabila dicermati, terdapat tiga alasan yang menyebabkan munculnya golput. Pertama yaitu alasan administratif, misalnya yaitu nama pemilih yang bersangkutan tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Kedua adalah alasan teknis ketika pemilih tersebut tidak berada di
lingkungan tempatnya terdaftar dalam DPT sehingga tentu saja tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketiga adalah alasan ideologis. Pemilih tersebut memang sengaja untuk tidak mempergunakan hak pilihnya karena berbagai hal. Diantaranya yang paling menonjol adalah karena mereka menganggap pemilu yang akan berlangsung tersebut tidak akan memberikan perbaikan maupun pengaruh positif apapun terhadap masyarakat. Adalah sebuah realitas yang harus dihadapi, termasuk dalam Ketatanegaraan Indonesia, bahwa di Indonesia terdapat pluralitas agama yang tidak dapat dihindari. Indonesia officially recognizes Islam, Protestantism, Roman Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. Members of unrecognized religions have difficulty obtaining national identity cards. Atheism is not accepted. Concern remains regarding the national government’s failure to respond to intolerance in recent years (http://www.freedomhouse.org/).
Masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran sesuai sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Sedangkan mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim. Sedikit banyak, hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kehidupan bernegara di Indonesia.
Indonesia bukanlah
98
negara sekuler, yang secara tegas memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama. Hal tersebut ditunjukkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 3, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaanyang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Pluralitas agama maupun dianutnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tak jarang menjadi sebuah problematika bila berhadapan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia yang diterapkan.
Agama merupakan hak
pribadi setiap individu yang otonom. Namun, hak tersebut memiliki implikasi sosial dalam masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v). Islam sarat dan menjunjung tinggi HAM, antara lain dengan disusunnya piagam Madinah.
Sedangkan adanya anggapan adanya pengaruh HAM dari
budaya barat sesungguhnya merupakan bagian dari sifat universal HAM itu sendiri. Sehingga HAM perlu dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan muatan adat dan agama serta nilai-nilai universalnya. HAM merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, di negara maju pun HAM merupakan isu yang tak pernah berhenti dibicarakan.
Untuk dapat berbicara
tentang HAM dengan baik, seseorang memerlukan komitmen yang tulus. Komitmen yang tulus selalu berakar dalam kesadaran tentang makna dan tujuan hidup, yang umumnya diajarkan oleh agama. Tanpa akar keagamaan, pengertian tentang HAM dan komitmen kepada nilai-nilainya dapat terasa hambar dan dangkal (Nurcholis Madjid, 1997: 57). Oleh karena itu, terjadi perbincangan serius ketika MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa haram bagi seorang muslim jika dalam pemilihan umum tidak memberikan suaranya atau dikenal dengan istilah golput. Fatwa yang dinilai banyak kalangan sangat kontroversial ini muncul menjelang bangsa Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2009.
99
Berbagai persoalan kemudian dibenturkan terhadap fatwa tersebut, termasuk masalah HAM. Pascaperang Dunia II, terdapat banyak kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis sehingga muncul paham bahwa pemerintah dilarang campurtangan dalam bidang sosial ekonomi. Namun, paham staatsonthouding dan laissez faire tersebut lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada perkembangannya, negara tersebut dikenal sebagai Welfare State (Negara Kesejahteraan) maupun Social Service State (negara yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat). Oleh karena itu, isu hak asasi manusia kemudian muncul sebagai salah satu wujud penghargaan terhadap manusia dan mewujudkan Welfare State atau Social Service State. PBB, dalam salah satu rumusan yang dikemukakan pada tahun 1974 menekankan bahwa, bicara soal HAM, “don’t speak the biological need, we mean those condition of life which allow as fully to developed and use our human qualities of intelligence and conscience and to satisdy our spiritual need.” Dengan demikian, bicara HAM, selain terkait dengan kebutuhan biologis (terpenuhinya sandang, pangan, dan papan) juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (adanya kondisi yang kondusif terjaminnya perkembangan dan kebutuhan rohani manusia (Masyur Effendi, 2005: 11). Salah satu kebutuhan nonbiologis manusia yang tercakup sebagai bagian dari hak asasi manusia adalah kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapat. Dalam konteks kehidupan bernegara, hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Golput merupakan salah satu bentuk ungkapan pendapat individu.
Ketika
seseorang dilarang untuk golput, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut tidak lagi memiliki kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapatnya. Fatwa Haram MUI tentang golput menyebabkan setiap muslim yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu berdosa karena melakukan larangan keras yang dilarang oleh agama.
100
Berdasarkan pertimbangan dan berbagai latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan penelitian apakah pengeluaran fatwa golput haram oleh MUI tersebut bertentangan dengan HAM. Oleh karena itu, penulis memilih judul penulisan hukum ini adalah: “PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM
MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupakan hak asasi seseorang yang masuk di dalam Hak Asasi Manusia (HAM)? 2. Bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif Hak Asasi Manusia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupan hak asasi manusia (HAM). b. Untuk mengetahui nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif Hak Asasi Manusia.
101
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis melalui suatu penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum Tata Negara yang berhubungan dengan demokrasi dan hak asasi manusia serta dalam bidang Hukum dan Masyarakat khususnya Hukum Politik Islam dan perspektif Hukum Islam dalam penegakan demokrasi serta Hak Asasi Manusia (HAM). b. Untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan penulis dalam penyusunan skipsi untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Untuk memberikan pandangan lebih luas kepada penulis dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai Warga Negara Indonesia yang baik sekaligus umat Muslim yang taat.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu Hukum pada umumnya untuk kemudian memberikan kontribusi pada perkembangan Hukum Tata Negara pada khususnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia serta Hukum dan Masyarakat dalam hal ini Hukum Islam. b. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran terhadap adanya fenomena Golput yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai bagian dari hak asasi individu namun dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia yang dalam mengeluarkan fatwa tersebut menggunakan hukum Islam sebagai bahan pertimbangan utama.
102
c. Memberikan masukan dan membuka wacana dengan menambah referensi mengenai adanya keterkaitan antara Hukum Islam dengan hukum positif Negara Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Meningkatkan daya kritis dan pola pikir penulis sebagai implementasi pengetahuan hukum yang diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum UNS. b. Memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang terkait untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan Hukum Islam, sebab meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas Warga Negara Indonesia. c. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat agar tetap menjalankan syariat Islam secara benar disamping menjalankan fungsi dan peran sebagai Warga Negara Indonesia yang baik tanpa menafikan hak konstitusional yang dimiliki masing-masing individu tersebut.
E. Metode Penelitian Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Dimana metodologis itu berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Kemudian sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2005 : 42). Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian guna mendapatkan bahan yang sesuai dengan tujuan penelitian juga untuk mempermudah pengembangan data kelancaran penyusunan penulisan hukum. Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
103
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 2005 : 43). Metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenisnya, maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka atau data-data sekunder dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi menjadi suatu rangkaian hasil penelitian. Jenis penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar dalam hukum. 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengharapkan jawaban right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Dilihat dari jenisnya, penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian preskriptif,
karena
dalam
penelitian
ini
dilakukan
untuk
dapat
menghasilkan argumentasi bahwa golput merupakan HAM serta konsep baru mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum, dikenal adanya lima pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
104
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa pendekatan. Pertama, penulis menggunakan pendekatan undang-undang dengan menelaah UUD 1945 dan Undang-undang yang terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, serta UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum.
Penulis melakukan pendekatan
kasus dengan menelaah mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa golput haram termasuk landasan fatwa tersebut dikeluarkan.
Penulis
melakukan pendekatan konseptual mengenai posisi ideal MUI di Indonesia termasuk kewenangan dan kedudukannya dalam negara Republik Indonesia. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya.
Yang termasuk bahan
hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hukum.
Bahan
hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum.
Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis antara lain yaitu:
105
1. Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right 4. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah buku teks, jurnal, koran, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, makalah, dan koran. Selain melalui dokumen-dokumen maupun data-data tertulis, penulis juga menggunakan cyber media, yaitu pengumpulan bahan melalui internet untuk mendapatkan perkembangan berita yang up to date. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis menggunakan interpretasi dan logika deduksi sebagai teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Adapun berdasarkan dasar penemuan hukum oleh hakim terdapat beberapa jenis interpretasi, diantaranya adalah interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, dan interpretasi futuristik. Interpretasi gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan atau peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru, penafsiran sistematis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai
106
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah, diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu interpretasi
yang
hendak
memperoleh
penjelasan
dengan
jalan
memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan dari ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada undangundang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno Mertokusumo, 2003: 170-173). Berkenaan dengan pengkajian masalah penelitian dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknis analisis interpretasi teleologis atau sosiologis dan penafsiran sistematis. Melalui interpretasi teleologis, penulis berupaya untuk menafsirkan golput maupun fatwa haram MUI tentang golput berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Selanjutnya penulis menggunakan interpretasi sistematis dengan menafsirkan Undang-undang Dasar 1945 serta Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum sebagai undang-undang yang mengatur mengenai masalah hak politik warga negara dalam hal ini golput. Adapun logika deduksi adalah pola berfikir dari yang umum kepada yang khusus (Sudikno Mertokusumo, 2003:176).
Penulis mencoba
berfikir mengenai HAM secara umum untuk mengetahui apakah golput merupakan HAM dan bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput tersebut.
107
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diketengahkan mengenai latar belakang pengambilan judul penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Sedangkan pada bab kedua, penulis menguraikan teoriteori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran, antara lain meliputi tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hak Pilih, Hukum Islam, serta MUI dan Fatwa. Selain itu, untuk memaparkan mengenai ide dilakukannya penelitian, permasalahan, serta hasil penulisan serta guna memberikan gambaran terkait logika berfikir penulis dalam memecahkan problematika isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, maka dalam bab ini juga disertakan kerangka pemikiran dalam bentuk bagan.
Adapun dalam bab ketiga, penulis akan
menguraikan serta memaparkan hasil penelitian.
Bab ini akan mencoba
menguraikan bagaimana posisi MUI di Indonesia terkait dengan pengaruh fatwa yang dikeluarkannya terhadap masyarakat Indonesia. Akan diketahui apakah terjadi perbenturan antara hak konstitusional yang dimiliki setiap individu sebagai Warga Negara Indonesia dengan posisi individu sebagai umat Muslim, dan bagaimana konsekuensi yuridis terkait pilihan individu tersebut untuk tidak memilih (Golput).
Sanksi apakah yang diterimanya,
sehingga dapat diketahui sesungguhnya posisi MUI dalam negara Indonesia, apakah berhak untuk masuk terlalu dalam pada wilayah privat individu serta hak asasi manusia tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab ketiga
akan diuraikan dalam bab empat
sebagai jawaban singkat atas permasalahan yang diteliti dan saran terhadap hasil penelitian.
108
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Hukum a. Hukum Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hukum dapat didefinisikan secara memuaskan.
Menurut pendapat Immanuel Kant,
Lemaire, Gustav Radbruch, dan Walter Burkhardt, hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan luas cakrawalanya. Oleh karena itu, hukum tidak dapat didefinisikan secara memuaskan. Pandangan berbeda dinyatakan oleh Aristoteles, Hugo de Groot (Grotius), Thomas Hobbes, van Vollen Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen, dan Utrecht. Menurut mereka, meski tidak memuaskan, definisi hukum tetap harus diberikan karena memberikan manfaat minimal sebagai pegangan sementara bagi pemula yang mempelajari hukum (http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/). Arnold (Achmad Ali, 1996 : 27) salah seorang sosiolog, mengakui bahwa dalam kenyataan hukum memang tidak akan pernah dapat didefinisikan secara lengkap, jelas dan tegas. Sehingga sampai sekarang ini tidaka da kesepakatan bersama tentang definisi hukum. Namun Arnold juga menyadari bahwa bagaimanapun para juris tetap akan terus berjuang mencari bagaimana hukum didefinisikan sebab definisi hukum merupakan bagian yang substansial dalam meberi arti keberadaan hukum sebagai ilmu. Hukum juga merupakan sesuatu yang rasional dan dimungkinkan untuk dibuatkan definisi sebagai penghormatan para juris terhadap eksistensi hukum/).
hukum
(http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-
109
Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan ”Recht” yang berasal dari bahasa Latin “Rectum” yang berarti kebaikan, kebajikan. Selanjutnya kata latin lainnya tentang hukum adalah “Ius” yang berarti hukum, berasal dari kata “lubere” artinya mengatur, memerintah. Kata “Ius” bertalian erat dengan “lustitia” atau keadilan. Pengertian hukum (law) dalam Black’s Law Dictionary yaitu: “That which is laid down, ordained, or established. A rule or method according to which phenomena or actions co-exist or fallow each other. Law, in its generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal force”. (Henry Campbell Black, 1979:795). Paul Scholten dalam “Algemeen Deel” dijelaskan bahwa untuk mengerti tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang kedudukan manusia di dalam masyarakat, dengan memperhitungkan keduanya secara bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan tentang hukum harus mengandung unsur-unsur : a) Hukum adalah perintah Yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang berasal dari negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya diberlakukan di bidang publik, dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan. Contoh hukum pidana, dimana negara dengan perantara perlengkapannya mengambil inisiatif untuk menahan, menangkap dan selanjutnya diajukan ke muka pengadilan. b)
Hukum adalah suatu ijin Maksudnya adalah ijin yang diberikan oleh negara kepada setiap individu agar setiap individu dapat melaksanakan tugasnya dengan semestinya. Misalnya untuk mendirikan rumah, dipersyaratkan ijin dari pemerintah setempat.
110
c)
Hukum adalah suatu janji Maksudnya yaitu janji yang diucapkan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, adalah merupakan hukum atau undang-undang bagi pihakpihak yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas “pacta sunt servanda”, yang artinya setiap janji harus ditepati.
d)
Hukum yang disediakan Maksud dari hukum yang disediakan adalah peraturan undangundang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada setiap warga negara, seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh para pihak belum lengkap syarat-syaratnya (Soeroso, 1993: 31-34). Mochtar Kusumaatmadja mengatakan: Pengertian hukum yang
memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:15). Menurut Wiryono Kusumo, Hukum merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki beberapa unsur yaitu : a) Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa b) Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis c) Mengatur kehidupan masyarakat d) Mempunyai sanksi.
111
b. Arti Hukum Hukum memiliki arti sebagai berikut : 1) Hukum dalam Arti Ketentuan Penguasa Hukum adalah perangkat-peraturan peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan-badan yang berwenang. 2) Hukum dalam Arti Para Penguasa Hukum adalah dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakantindakan yang membahayakan warga masyarakat, seperti petugas Polisi patroli, Jaksa dan hakim dengan toganya. Disini hukum dilihat dalam arti wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas menegakkan hukum. 3) Hukum dalam arti sikap tindak Yaitu hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Hukum ini tidak nampak seperti dalam arti petugas yang patroli, yang memeriksa orang yang mencuri atau hakim yang mengadili, melainkan hidup bersama dengan perilaku individu terhadap yang lain secara terbiasa dan senantiasa terasa wajar serta rasional. Dalam hal ini sering disebut hukum sebagai suatu kebiasaan (hukum kebiasaan). 4) Hukum dalam arti sistem kaidah a) Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-kaidah secara hirarkis b) Susunan kaidah-kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah ke atas meliputi :
112
- Kaidah-kaidah individual dari badan2 pelaksana hukum terutama pengadilan - Kaidah-kaidah umum didalam UU hukum atau hukum kebiasaan - Kaidah-kaidah konstitusi c) Sahnya kaidah2 hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah2 yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi. 5) Hukum dalam arti jalinan nilai Hukum dalam artian ini bertujuan mewujudkan keserasian dan kesinambungan antar faktor nilai obyektif dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya. Nilai objektif tersebut misalnya tentang baik buruk, patut dan tidak patut (umum), sedangkan nilai subjektif memberikan keputusan bagi keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat , waktu dan budaya masyarakat (khusus). Inilah yang perlu diserasikan antara kepentingan publik, kepentingan privat dan dengan kepentingan individu. 6) Hukum dalam arti tata hukum Hukum disini adalah tata hukum atau kerapkali disebut sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat tertentu (sekarang misalnya di Indonesia). Hukum positif tersebut misalnya hukum publik (HTN, HAN, Pidana, internasional publik), hukum privat (perdata, dagang). 7) Hukum dalam ilmu hukum Hukum berarti ilmu tentang kaidah atau normwissenschaft atau sallenwissenschaft yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
113
kaidah atau sistem kaidah-kaidah, dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum. Dalam arti ini hukum dilihatnya sebagai ilmu pengetahuan atau science yang merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran tentang sesuatu yang memiliki ciriciri, sistimatis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif. Normwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah/norma, sedangkan Sollenwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang seharusnya. 8) Hukum dalam arti disiplin hukum atau gejala sosial Dalam hal ini hukum sebagai gejala dan kenyataan yang ada ditengah masyarakat. Secara umum disiplin hukum menyangkut ilmu hukum ((ilmu pengertian, ilmu kaidah dan ilmu kenyataan), politik
hukum
dan
filsafat
hukum
(http://arifnurahmanblog.blogspot.com). Adapun nilai-nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu: 1. Keadilan 2. Kemanfaatan, dan 3. Kepastian hukum (http://arifnurahmanblog.blogspot.com).
4. Hukum dan Hak Asasi Manusia a. Hak Asasi Manusia Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya (Miriam Budiardjo, 1996: 120).
114
Dalam berbagai versi sejarah munculnya Hak Asasi Manusia, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa HAM memang berasal dari barat. Pendapatnya tersebut serupa dengan pendapat Baehr yang menyatakan bahwa “tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama dirumuskan di Barat.” Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of The Rights of Man and of The Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika, 1791) (Muladi_edt, 2005: 217). Pengakuan dunia Internasional atas Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam Universal Declaration of Human Right, deklarasi yang kemudian menjadi dasar didirikannya PBB. Universal Declaration of Human Right tersebut mengandung dua makna, makna ke dalam dan makna ke luar yang berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masingmasing.
Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka kemanusiaan.
peperangan
yang
dapat
menghancurkan
nilai-nilai
Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian
bahwa Deklarasi HAM sedunia tersebut harus senantiasa menjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya (Peter Baehr dkk, 2001: xx). b. Hukum dan Hak Asasi Manusia Hukum (rechts, bahasa Jerman Kuno, menurut asal kata berarti prajurit yang bermakna ‘lurus’) disebut juga aturan, norma, kaidah sebagai kata benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan (Masyur Effendi, 2005: 32).
Hak asasi manusia dengan Negara hukum tidak dapat
dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujunnya melindungi hak asasi
115
manusia, berarti hak dan sekaligus perseorangan diakui,dihormati dan dijunjung tinggi (Masyur Effendi, 1994: 27). Kaitan antara hukum dan hak asasi manusia sangatlah erat, seperti yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, “negara hukum (allgemeine staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat identieit der Staatsordnung mit der
rechtsordnung,
semakin
bertambah
keinsafan
hukum
dalam
masyarakat, berarti semakin dekat kita dalam pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Oleh karenanya, negara hukum hanya dapat disebut sebagai negara hukum apabila dalam praktik kenegaraannya mengakui dan menghormati sendi-sendi hak asasi manusia. Dalam pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jimly Ashidiqie membagi ketentuan Hak Asasi Manusia UUD 1945 ke dalam beberapa kelompok.
Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang
menyangkut hak-hak sipil yang meliputi: 1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya; 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan; 3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; 4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; 5. Setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; 6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; 7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan; 8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
116
9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan; 11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya; 12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik; 13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi: 1. setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai; 2. setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat; 3. setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik; 4. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; 5. setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; 6. setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi; 7. setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat; 8. setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
117
9. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran; 10. setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia; 11. negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa; 12. negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional; 13. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
kepercayaannya itu. Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi: 1. setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama; 2. hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional; 3. hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum; 4. setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
118
5. setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam; 6. setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; 7. kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksud untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi. Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi: 1. setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetpkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam msyarakat yang demokratis; 3. negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia; 4. untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
2. Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih
119
a. Hak Pilih Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, yaitu
orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28D ayat (3) ). Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2005. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan PasalPasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal dan berisikan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Ratifikasi ini menjadikan kovenan tersebut mengikat secara hukum di Indonesia. Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik.
Hal tersebut
diwujudkan dengan adanya hak pilih dalam pemilu yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” Hak pilih sendiri terbagi atas hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Hak pilih aktif adalah hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia untuk memilih dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden maupun dalam
120
Pemilihan Kepala Daerah.
Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum menyatakan bahwa yang memiliki hak memilih adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin serta terdaftar dalam daftar pemilih oleh penyelenggara Pemilu. Hak pilih pasif merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada apabila memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota harus memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e.
berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani;
121
i.
terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia
untuk
tidak
berpraktik
sebagai
akuntan
publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan; m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan. b. Golongan Putih (Golput) Golongan Putih (golput) adalah fenomena dalam demokrasi. Golput atau disebut juga ‘No Vote Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No Vote Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari
122
kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara.
Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos
logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku (http://leo4kusuma.blogspot.com). Dengan kata lain, “golput” dapat digolongkan dalam beberapa bentuk dan cara, berupa: (a) merusak kartu suara, misalnya dengan sengaja mencoblos lebih dari satu gambar atau pilihan; (b) membiarkan kartu suara tidak dicoblos sehingga tidak terdefi nisi pilihannya, dan (c) tidak menggunakan haknya dengan cara absen dari tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan spiritnya, “golput” dapat dilakukan dengan: Pertama, cara tidak sengaja (kecelakaan semata) yang bisa terjadi karena alasan teknis administratif, misalnya lupa, tidak/belum terdaftar, atau karena kendala dan halangan darurat yang tidak dikehendaki; Kedua, ketidakpedulian politik (apatisme) yang biasanya terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan dirinya secara langsung; dan Ketiga, semangat kesengajaan
yang
biasanya
dilandasi
oleh
prinsip
perlawanan
(pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu, tidak sesuai dengan partai kontestan, atau karena melihat adanya faktafakta manipulasi (Muntoha, 2009: 59). Hal tersebut muncul dikarenakan sistem kepartaian yang tercipta saat itu bersigat hegemonik. Terciptanya sistem kepartaian yang hegemonik itu karena dukungan beberapa faktor sebagai berikut :
123
1. Dibentuknya aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas negara. Stabilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan pemerintah dan militer selama masa Orde Baru itu, maka dibentuklah berbagai lembaga untuk mendukungnya, seperti BKIN, Kopkamtib, dan Opsus; 2. Proses depolitisasi massa agar negara dapat memutuskan perhatian pada pembangunan ekonomi. Depolitisasi massa dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan ekonomi. Aktivitas mobilisasi massa dalam proses politik biasanya dilakukan oleh Parpol pada massa Orde Baru itu; 3. Emaskulasi dan restrukturisasi partai-partai politik yang dominan selain Golkar, terutama sebelum pemilu; dan 4. Dikeluarkannya hukum-hukum pemilu dan aturan pemerintahan sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung oleh pemerintah/militer (Golkar) selalu menang dalam pemilu, seperti dalam proses seleksi calon, kampanye, dan intervensi pemerintah dalam kehidupan parpol (Muntoha, 2009: 61). Golput sesungguhnya merupakan fenomena politik ‘mata pedang demokrasi’. Dari perspektif pelakunya Golput bertujuan mendelegitimasi pemilu yang diselenggarakan pemerintah, sedangkan dari perspektif demokrasi justru memberikan legitimasi terhadap demokrasi yang berlangsung
dimana
itu
membuktikan
bahwa
pemerintah
telah
memberikan ruang aspirasi bagi kepentingan kelompok ekstra parlementer. Pendeknya, golput adalah barometer kualitas demokrasi. Arief Budiman menyatakan bahwa golput bukan organisasi, tanpa pengurus dan hanya pertemuan solidaritas (Arbi Sanit, 1992: 178).
3. Hukum Islam
124
a. Pengertian Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2005: 42). Berkaitan dengan halhal tersebut, maka sebelum melangkah lebih lanjut perlu adanya sedikit pembahasan mengenai beberapa istilah yang berhubungan dengan penggunaan istilah hukum Islam tersebut.
Beberapa istilah tersebut
yaitu: 1) Hukm dan Ahkam Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia lain, dirinya sendiri, mupun dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm. Adapun ahkam adalah bentuk jamak dari hukm tersebut (Mohammad Daud Ali, 2005:43). Hukm menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali adalah norma atau kaidah, yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Istilah ini memang hampir sama dengan hukum, sebab perkataan hukum yang dipergunakan di Indonesia berasal dari kata hukm tersebut. Dalam hukm inilah kemudian dikenal adanya hukum taklifi menurut Masyfuk Zuhdi, yaitu norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu perbuatan. Disebut juga sebagai al-ahkam al-khamsah menurut Sajuti Thalib, yaitu ja’iz atau mubah atau ibahah, sunnat, makruh, wajib, dan haram (Mohammad Daud Ali, 2005: 44). Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian karena hukum takllifi menghendaki permintaan suatu pekerjaan. Jika tuntutannya itu terdiri atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah hukum
125
wajib, pengaruhnya adalah kewajiban, yang dituntut pelaksanaannya adalah wajib. Dan jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu ialah sunnat, pengaruhnya adalah kesunatan, yang dituntuk pelaksanaannya adalah yang disunnatkan (almandub). Dan apabila menghendaki larangan suatu pekerjaan, maka jika tuntutan itu atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman, yang dituntut berupa larangan suatu pekerjaan itu adalah yang diharamkan (al-muharram). Dan jika tuntutannya itu tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah makruh, pengaruhnya adalah kemakruhan, yang dituntut berupa meninggalkan pekerjaan itu adalah makruh. Dan apabila menghendaki
memerintah
memilih
kepada
mukallaf
di
antara
mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah. Pengaruhnya adalah kebolehan dan pekerjaan yang disuruh memilih di antara melaksanakan dan meninggalkan adalah mubah (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 162). 2) Syariat Syariat secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Mohammad Daud Ali, 2005: 46). 3) Fiqih Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkan dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk
126
diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.
Hasil
pemahaman tentang hukum Islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqih dan disebut hukum fiqih (Mohammad Daud Ali, 2005:48).
Yang dimaksud dengan hukum fiqih adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam (Mohammad Daud Ali, 2005:51). b. Jenis Sumber Hukum Islam 1) Alquran Al-Quran adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah dengan lafazh (kata-kata) Bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul SAW dalam penakuannya sebagai Rasulullah. Juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 22). Sayyid Hussein Nasr menyatakan bahwa Alquran adalah intisari semua pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam Alquran
hanyalah
benih-benih
atau
prinsip-prinsipnya
saja
(Mohammad Daud Ali, 2005: 79). Di dalamnya terdapat ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makluk termasuk manusia serta benda di jagad raya, petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka.
Selain itu, dalam Alquran berisi
sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa karena berasal dari firman Tuhan (Mohammad Daul Ali, 2005: 81). Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran adalah (Mohammad Daud Ali, 2005: 84):
127
a) hukum-hukum i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya,
rasul-rasulNya,
hari
pembalasan, kada dan kadar; b) hukum-hukum
akhlak,
yaitu
hukum-hukum
Allah
yang
berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk ‘menghiasi’ dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela; c) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-huum yang bersangkutan dengan perkataan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerjasama antarsesama manusia. Terbagi atas: 1. hukum ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan salat, melakasanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji; 2. hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur hubugnan
manusia
dengan
manusia,
baik
hubungan
antarpribadi maupun hubungan antarorang perorangan dalam masyarakat. 2) As-Sunnah (Al Hadist) As-Sunnah atau Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fo’liyah), dan sikap diam (sunnah taqriyah atau sunah sukutiyah) Rasulullah yang sekarang tercatat dalam kitab-kitab hadist. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Alquran (Mohammad Daud Ali, 2005: 97). Menurut istilah syara, As-sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, maupun pengakuan (taqrir).
Sedangkan As-sunnah menurut Qauliah (ucapan) adalah
hadist-hadist Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai
128
tujuan dan persesuaian atau situasi (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 47).
3) Akal Pikiran (al-Ra’yu atau ijtihad) Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang diterapkan pada kasus tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:112). ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan.
Secara harfiah Seseorang yang
memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra’yu atau dzu’l ra’y (Mohammad Daud Ali, 2005:115). Menurut Othman Ishak sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya bersungguhsungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang yang
sungguh-sungguh
dengan
mempergunakan
segenap
kemampuan yang ada serta dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi syarat yang ada untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran atau Sunah Rasul (Mohammad Daud Ali, 2005:116). Adapun metode dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut. 1. Ijma’ Ijma’ ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas
129
hukum syar’i mengenai suatu kejadian/ kasus (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 64). 2. Qiyas Al Qiyas menurut bahasa ialah mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya. Dapat juga dikatakan Qiyas ialah menyamakan, karena mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan di antara dua benda tersebut.
Sedangkan menurut Ulama Ushul, Qiyas ialah
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian tersebut dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 76). 3. Istidal Menurut A. Siddik (A.Siddik, 1982: 225) sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam. 4. Al-masalih al-mursalah Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum (Mohammad Daud Ali, 2005:121). Pendekatan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali untuk merealisir kemaslahatan umat manusia.
Artinya mendatangkan
130
keuntungan
bagi
mereka
dan
menolak
mudharat
serta
menghilangkan kesulitan daripadanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 127). 5. Istihsan Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 120). 6. Istishab Istishab menurut bahasa Arab adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, Istishab yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 137). 7. ‘urf. ‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 134). 4. MUI dan Fatwa 1. MUI Majlis Ulama Indonesia adalah wadah atau majlis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majlis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
131
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari pelbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 07 Rajab 1395 H, bertepatan
dengan
tanggal
26
Juli
1975
M
di
Jakarta.
(http://id.wikipedia.org/wiki/MUI) Musyawarah tersebut kemudian dinamakan Musyawarah Nasional Ulama I yang dihadiri oleh diantaranya dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari organisasi Islam tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah ‘Piagam Berdirinya MUI’ yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang perduli
terhadap
masalah
kesejahteraan
rohani
umat
(http://id.wikipedia.org/wiki/MUI/). Dalam khittah pengabdian Majlis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
132
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah). 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid. 5. Sebagai penegak (amar ma'ruf nahi munkar) (http://id.wikipedia.org /wiki/MUI). 2. Fatwa Fatwa merupakan salah satu bentuk dari hasil ijtihad para ahli atau ulama (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41).
Dengan kata lain, fatwa
merupakan penetapan suatu hukum setelah melalui proses ijtihad (Rohadi Abd. Fatah, 1991:123). Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah maka maksudnya adalah menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undangundang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/29/kedudukanfatwa-dalam-syariat-islam/). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Al-fatwa secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminta fatwa disebut al-mustafti.
133
Adapun syarat-syarat mengeluarkan fatwa bagi seorang mufti (pemberi fatwa) adalah (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 26) : 1. memiliki niat, bila belum memiliki niat maka tidak ada pada dirinya nur cahaya yang akan menranginya. 2. hendaknya memiliki ilmu pengetahan, kesantunan, keagungan, dan ketenangan hati. 3. hendaknya memiliki kekuatan untuk menguasai apa yang ada dalam dirinya dan menguasai ilmu pengetahuan. 4. memiliki kecukupan dalam hidupnya, kalau tidak maka ia akan dikuasai (ditunggangi) oleh manusia. 5. hendaknya ia mengetahui prinsip-prinsip hidup kemsyarakatan (hal ihwal manusia dikaitkan dengan alam sekitarnya/ environmental) Fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas/ terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingn yakni kepentingan pribadi atau kepentingan rakyat banyak (Rohadi Abd. Fatah, 1991:7). Fatwa memberi jawaban hukum atas pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum yang tidak diketemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan kedudukan suatu persoalan dalam kaca mata ajaran hukum Islam. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar, melainkan seorang yang memberi Fatwa (Mufti) harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil yang menopangnya dan otoritas keilmuannya diakui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat datang kepadanya untuk meminta pertimbangan hukum. Dalam hal ini, dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan fatwa, dalam konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam sebuah
134
organisasi, misalnya Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU, dan Majelis
Tarjih
Muhammadiyah
2009/10/05/kedudukan-fatwa-mui).
(http://elkhalil.wordpress.com/ Fatwa dihasilkan dari sumber-
sumber yang terpercaya, yakni Hadist Rasulullah SAW, yang sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat, dan fatwa tersebut sangat jauh dari nilai kehormatan. Fatwa dimaksudkan hanya untuk memberikan arah dan kejelasan terhadap masalah-masalah yang muncul dan timbul di kalangan masyarakat (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 17). Oleh karena itu, menurut Rohadi Abd fatah, fatwa mengandung beberapa unsur pokok. Beberapa unsur pokok tersebut meliputi fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syar’iyah yang sedang diperselisihkan (terjadi perbedaan pendapat), fatwa sebagai jalan keluar dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama/ para ahli, fatwa harus mempunyai konotasi kuat baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan, dan mengarahkan pada perdamaian umat. Sebab ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat (Rohadi Abd. Fatah, 1991:35).
135
B. Kerangka Pemikiran
Negara Republik Indonesia
UUD 1945
Negara Hukum
Kedudukan?
Kebebasan berserikat
Pengakuan atas Hak Asasi Manusia
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Bertentangan?
Hak Pilih Aktif
Dasar pertimbangan? Digunakan
Tidak Digunakan (Golput)
Fatwa Golput Haram
Nilai Hukum dalam Hak Asasi Manusia? Bagan 1 Kerangka Pemikiran
136
Penjabaran: Negara Republik Indonesia adalah negara Hukum.
Hal tersebut
ditegaskan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 1 ayat (3).
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
konsep yang tidak dapat
dipisahkan dalam negara hukum, baik dalam konsep Rule of Law maupun Rechstaat.
Dua diantara penghargaan atas HAM adalah pengakuan atas
kebebasan berserikat serta hak pilih. Kebebasan berserikat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, sedangkan hak pilih warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1). Salah satu wujud dari kebebasan berserikat di Indonesia adalah adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Majelis Ulama Indonesia adalah LSM di Indonesia yang merupakan perkumpulan para ulama di Indonesia. Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim, maka MUI kemudian memiliki pengaruh yang cukup kuat di Indonesia serta menjadi sumber acuan atas hukum agama suatu hal. Salah satu fungsi dari MUI adalah memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat muslim dengan berdasar pada ijtihad. Jawaban tersebut disebut sebagai fatwa, oleh karenanya MUI juga disebut sebagai lembaga mufti atau lembaga pemberi fatwa. Sejak berdiri pada tanggal 26 Juli 1975, MUI telah mengeluarkan berbagai fatwa di berbagai bidang, termasuk sosial kemasyarakatan. Permasalahan muncul ketika MUI mengeluarkan fatwa haram mengenai golongan putih (golput). Golput adalah suatu keputusan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilih aktifnya. Dengan kata lain, karena satu atau lain hal, seseorang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Tidak semua peristiwa golput
adalah kesengajaan. Terkadang seseorang golput karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau sedang berhalangan sehingga tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu, fatwa yang dikeluarkan MUI justru menimbulkan permasalahan sendiri.
Sebab, fatwa tersebut telah memberikan justifikasi
hukum secara Islam bahwa golput adalah haram. Golput yang akan diteliti
137
dalam penelitian ini adalah golput yang terjadi karena kesengajaan. Karena sesungguhnya yang diatur dalam UUD 1945 adalah hak pilih, bukan kewajiban untuk memilih. Hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara yang termasuk dalam HAM.
Oleh karena itu, penulis mencoba
mengetahui apakah golput adalah bagian dari HAM.
Selain itu, penulis
mencoba untuk meneliti bagaimana kedudukan MUI di Indonesia sehingga dapat diketahui apakah fatwa haram MUI tentang golput tersebut bertentangan dengan HAM atau tidak. Dengan demikian, penulis dapat mengetahui nilai hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dalam perspektif HAM.
138
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1.
Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Untuk mengetaui bagaimana penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), maka perlu untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak pilih tersebut dalam UUD 1945, UU yang berkaitan dengan HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU yang mengatur mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) yaitu UU No. 10 Tahun 2008. a. Pengaturan Hak Pilih dalam UUD 1945 UUD 1945 mengatur mengenai hak pilih tidak secara tersirat, namun masuk dalam poin beberapa pasalnya. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan mengenai
kesetaraan
kedudukan warga negara
dalam
hukum
dan
pemerintahan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hak pilih merupakan hak politik setiap warga negara sebab dengan hak tersebut, setiap warga negara memiliki kedudukan di dalam pemerintahan sebab warga negara lah yang menentukan siapa yang dapat duduk di dalam pemerintahan itu. Perubahan
kedua
Undang-Undang
Dasar
1945
menyempurnakan
komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM
139
dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumeninstrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam bab yang terdiri dari 37 pasal tersebut, pengaturan mengenai penggunaan hak pilih dapat ditemukan dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2). Setiap orang tetap memiliki batasan berupa kewajiban yang ditetapkan dengan undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasannya, termasuk dalam penggunaan hak pilihnya. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
b. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak asasi manusia dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Universal Declaration of Human Right, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain.
Dalam UU tersebut, rincian pengaturan
mengenai hak asasi manusia terbagi atas: 1. Hak untuk hidup (Pasal 4, Pasal 9)
140
2. Hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/ atau tidak dihilangkan nyawa (Pasal 9) 3. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturuan (Pasal 10) 4. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-Pasal 16) 5. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-Pasal 19) 6. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-Pasal 27) 7. Hak atas rasa aman (Pasal 28-Pasal 35) 8. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36- Pasal 42) 9. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43, Pasal 44) 10. Hak Wanita (Pasal 45-Pasal 51) 11. Hak Anak (Pasal 52-Pasal 66) 12. Hak atas kebebasan beragama (Pasal 22) HAM menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal tersebut, pengaturan mengenai hak pilih terletak dalam Bagian Kedelapan mengenai Hak Turut Serta dalam Pemerintahan Pasal 43 ayat (1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil seseuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa, “Setiap warga
negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau denga perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”
141
UU No. 39 Tahun 1999 telah mengatur penggunaan hak pilih sebagai bagian dari hak politik seseorang dalam Pasal 23.
Pasal 23 ayat (1)
menyatakan bahwa, “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.” Sedangkan Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/ atau tulisan melalui media cetak
maupun
elektronik
dengan
memperhatikan
nilai-nilai
agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Dengan demikian, UU No. 39 Tahun 1999 telah secara tegas mengatur mengenai hak pilih berikut penggunaan hak pilih tersebut.
Setiap orang
memiliki hak atas kebebasan pribadinya termasuk untuk menggunakan hak yang dimilikinya tersebut. Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur mengenai hak untuk memilih, bukan kewajiban untuk memilih, dan bahwa hak tersebut telah dijamin serta dilindungi oleh undang-undang. Sehingga, karena setiap individu memiliki kebebasan pribadi dalam memilih serta mempunyai keyakinan politiknya maupun bebas dalam berpendapat sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999, maka tidak ada larangan bagi seseorang ketika akhirnya dia memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau no vote decision yang lebih dikenal dengan istilah golput.
c. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Dengan demikian, Negara yakni pemerintah terikat untuk menjalankan kewajibankewajibannya di bawah kovenan tersebut. Pada sisi yang lain, setiap orang
142
yang tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan dan perlindungan hak-hak asasinya. Penghormatan dan perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya. ICCPR memuat 24 hak dasar, yaitu : 1. Pasal 1 Hak untuk menentukan nasib sendiri. 2. Pasal 3 Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 3. Pasal 6 Hak untuk hidup. 4. Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. 5. Pasal 8 Hak untuk bebas dari perbudakan, perhambaan dan pekerjaan paksa. 6. Pasal 9 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi. 7. Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi. 8. Pasal
11
Hak
atas
kebebasan
dari
pemenjaraan
atas
dasar
ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual. 9. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan pilihan tempat tinggal. 10. Pasal 13 Kebebasan orang asing dari pengusiran semena-mena. 11. Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya. 12. Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut. 13. Pasal 16 Hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. 14. Pasal 17 Hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi (privacy). 15. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. 16. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. 17. Pasal 20 Larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian.
143
18. Pasal 21 Hak atas perkumpulan damai. 19. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat. 20. Pasal 23 Hak atas pernikahan dan membentuk keluarga. 21. Pasal 24 Hak-hak anak. 22. Pasal 25 Hak-hak politik. 23. Pasal 26 Hak atas kedudukan yang sama di depan hukum. 24. Pasal 27 Hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa. Hak-hak politik sebagai salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh ICCPR diwujudkan dalam bentuk hak warga negara untuk turut serta memilih atau dipilih dalam pengisian jabatan-jabatan publik, baik di pemerintah atau eksekutif maupun badan perwakilan rakyat (badan legislatif). Lebih lanjut ICCPR menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18), hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19). Hak politik sebagaimana tercantum dalam pasal 25 memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Maka, sejalan dengan UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ICCPR yang telah disahkan dalam UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak pilih sebagai hak asasi manusia, demikian pula dengan penggunaan hak pilih tersebut.
d. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
144
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum disahkan pada tanggal 31 Maret 2008 sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631) sebagaimana tercantum dalam Pasal 319 UU No. 10 Tahun 2008. Hak memilih dalam UU No. 10 Tahun 2008 tercantum dalam Pasal 19 dan Pasal 20. Pasal 19 menyatakan bahwa yang memiliki hak untuk memilih adalah: 1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin 2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. Sedangkan Pasal 20 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”. Undang-undang ini tidak menjelaskan bahwa hak pilih dan penggunaannya merupakan bagian dari HAM, tetapi undang-undang ini adalah pelaksanaan jaminan Pemerintah Republik Indonesia atas hak politik setiap orang. Melalui undang-undang ini, maka UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah dijabarkan dalam
145
pelaksanaan demokrasi prosedural berupa Pemilihan Umum yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
2.
Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang golput dalam Perspektif HAM MUI didirikan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama,
zu’ama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Ide terbentuknya suatu organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lain dimaksudkan agar organisasi ini mampu melakukan ijtihad untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam dari sumber hukum asalnya. Terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang timbul di alam Indonesia (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41). Sejak didirikan pada 26 Juli 1975, MUI telah menjadi lembaga yang mengeluarkan
banyak
fatwa
dalam
berbagai
bidang
termasuk
sosial
kemasyarakatan. Berikut data beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI. No. Tanggal
Tentang
Ketentuan Hukum
Fatwa 1
21 Mei 2005
Aborsi
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). 2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat 3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
146
2
25 Oktober 1997
3
27 Januari 2009 Merokok
Makruh,
(Forum
Ijtima
anak-anak, remaja, perempuan
Komisi
Fatwa
hamil dan merokok di tempat
Majlis
Ulama
umum.
Indonesia 2009)
Nikah Mut’ah
Penggunaan
Haram diharamkan
bagi
Golput haram hukumnya bila
hak
pilih masih ada pemimpin yang
untuk
tidak layak pilih. Bila tidak ada
memilih
pemimpin yang layak dipilih,
(Golput)
maka tetap harus memilih calon yang baik dari yang terburuk.
Senam Yoga
Yoga yang murni mengandung ritual dan spiritual agama lain, hukumnya bagi orang Islam adalah haram. Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya haram, sebagai langkah preventif. Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk kesehatan hukumnya mubah (boleh).
Pernikahan
Pernikahan dini hukumnya sah
Dini
sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika diduga mengakibatkan mudharat.
147
Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang berdampak pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan, pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Vasektomi
Haram
Bank mata
Masalah donor, transplantasi,
dan organ
dan bank mata merupakan fikih
tubuh lain
yang bersifat kemasyarakatan. Oleh karena itu untuk menghindarkan hal-hal yang bersifat negatif yang tidak kita inginkan aplikasinya, pemerintah diminta mengeluarkan pengaturan lewat undang-undang kesehatan, untuk menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan diri dari penyimpangan.
Konsumsi
Produsen yang telah
makanan halal memperoleh sertifikat Halal wajib menjaga status kehalalan produknya melalui penerapan Sistem Jaminan Halal sebagaimana yang telah
148
ditetapkan oleh LP-POM MUI. Pemerintah wajib mengawasi kehalalan produk. Pemerintah dan DPR-RI diminta untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tentang Jaminan Halal. Zakat
Wajib
Perusahaan 4
Maret 1984
Adopsi
1. Islam mengakui keturunan
(pengangkatan
(nasab) yang sah, ialah
anak)
anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). 2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari'ah Islam. 3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang
149
terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam. 4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.
Sumber: www.republika.com, www.mui.co.id Indonesia adalah negara hukum yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan untuk berserikat. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengeluarkan pikirannya, baik dengan lisan maupun tulisan. Dinyatakan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Pasal 22
International Covenant for Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak setiap orang atas kebebasan berserikat.
Diratifikasinya pasal tersebut tersebut semakin menegaskan
penghormatan negara Republik Indonesia atas kebebasan berserikat. MUI adalah salah satu wujud dari kebebasan berserikat tersebut.
150
B. PEMBAHASAN 1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perpektif Hak Asasi Manusia Dalam praktik kehidupan demokrasi, konstitusi merupakan perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam sebuah negara, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan hukum (Majda el Muhtaj, 2008: 60). Menurut Jimly Asshidiqie sebagaimana dikutip oleh Majda el Muhtaj, kehadiran Konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak rasional dan kedudukan hak serta kewajiban warga negara. Konstitusi merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa, pemerintah) (Majda el Muhtaj, 2008: 61). Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Setelah mengalami empat kali amandemen, UUD 1945 merupakan sebuah Konstitusi yang memadai sebagai dasar hukum bagi bekerjanya Sistem politik,
151
hukum dan pemerintahan yang demokratis, di mana perlindungan hak sipil dan politik memperoleh tempat yang semestinya. Negara Hukum Demokratis (NHD) Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam UUD 1945 mensyaratkan hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat mampu melakukan kontrol terhadap perilaku Negara. Masyarakat sipil sering dinilai sebagai kunci untuk mencapai NHD, dimana demokrasi dan kedaulatan hukum berjalan (Abdul Hakim G. Nusantara, 1998:9). Melalui Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UUD 1945 memberikan pengakuan serta jaminan atas hak pilih berikut penggunaaan hak pilih tersebut yang harus sesuai dengan pikiran serta hati nurani masing-masing warga negara. Pasal 28D ayat (3) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pasal 28I ayat (1) menyatakan bahwa, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun.”
Oleh karena itu, sesungguhnya hak pilih
merupakan hak konstitusional warga negara yang termasuk dalam hak asasi manusia, namun penggunaan hak pilih tersebut juga merupakan hak asasi manusia. Setiap warga negara memiliki kemerdekaan penuh untuk menggunakan hak pilihnya sebab dalam Pasal 28I ayat (1) dinyatakan bahwa kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Penggunaan hak pilih tersebut merupakan hak pribadi menurut pikiran dan hati nurani masing-masing warga negara. Setiap warga negara berhak untuk menentukan siapa yang akan dipilih dalam Pemilu, bahkan bebas untuk tidak memilih apabila hal tersebut sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya. UU No. 39 Tahun 1999 merupakan payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Setiap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dan
152
harus merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia oleh karenanya akan dikenakan sanksi pidana, perdata, dan/ atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam UU payung tersebut, hak pilih yang menjadi bahan penelitian dari penulis dapat digolongkan menjadi hak asasi manusia. Ia adalah hak politik, dan kebebasan dasar yang melekat pada setiap individu.
Penggunaan hak pilih
bergantung sepenuhnya pada individu itu sendiri. Tidak ada satu alasan pun yang dapat dijadikan alasan intervensi atas hak tersebut. Namun demikian, sama seperti UUD 1945, dalam UU No. 39 Tahun 1999 ini juga dikenal adanya kewajiban dasar yang tentunya membatasi hak serta kebebasan dasar setiap individu.
Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 1999
menjelaskan bahwa, “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.”
Dalam UU tersebut, rincian kewajiban dasar
manusia adalah sebagai berikut: 1. Pasal 67 Setiap orang yang berada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. 2. Pasal 68 Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 69 ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4. Pasal 69 ayat (2)
153
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
5. Pasal 70 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dalam kaitannya dengan hak pilih sebagai kebebasan dasar manusia, maka diperlukan batasan dari peraturan perundang-undangan lain yang menentukan kewajiban dasar yang melekat pada hak pilih setiap orang. Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right melalui UU No. 12 Tahun 2005 semakin menegaskan pengakuan dan jaminan Negara Republik Indonesia terhadap hak sipil dan politik warga negara. Baik UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 memberikan jaminan atas hak pilih sebagai bagian dari hak politik warga negara. Selain jaminan atas hak pilih, ketiga peraturan perundang-undangan tersebut juga mengakui kemerdekaan berpikir maupun berpendapat sehingga penggunaan hak pilih tersebut menjadi hak penuh warga negara. Pada akhirnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang melarang adanya penggunaan hak pilih untuk tidak memilih, golput, maupun no vote decision sebab sesungguhnya hal tersebut sepenuhnya menjadi hak setiap warga negara. Terkait dengan kewajiban dasar yang mengikuti kebebasan dasar manusia dalam hal ini adalah hak pilih dan penggunaan hak pilih, maka dalam UU No. 10
154
Tahun 2008 ini diberikan batasan pada kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, serta keyakinan politik seseorang. Hal tersebut ditunjukkan dengan tercantumnya larangan dan ketentuan pidana bagi seseorang yang mengajak, membujuk, atau menganjurkan orang lain untuk golput.
Ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 87 untuk larangan mengajak atau menganjurkan golput dan Pasal 274, 286, dan 287 untuk ketentuan pidananya. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan batasan larangan bagi pelaksana kampanye untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain agar peserta kampanye tidak menggunakan hak pilihnya atau membuat orang lain menggunakan hak pilihnya agar hak pilih tersebut tidak sah. Hal tersebut disebutkan dalan UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 87, “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau e. memilih calon anggota DPD tertentu, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang untuk golput ini, berlaku ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 274 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 274 menyatakan bahwa, “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
155
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”. Selain ancaman pidana bagi pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya agar hak pilihnya tersebut tidak sah, UU No. 10 Tahun 2008 juga memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang bukan hanya pelaksana kampanye, yang menganjurkan seseorang untuk golput, baik dengan tidak menggunakan hak pilihnya maupun menggunakan hak pilihnya namun sengaja untuk membuat hak pilihnya tersebut tidak sah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 286 dan 287 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 286 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana pada seseorang yang menganjurkan golput dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan. Pasal ini menyatakan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).” Adapun Pasal 287 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang menggunakan kekerasan atau ancaman agar orang lain golput. Dinyatakan dalam pasal ini bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
156
2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Indonesia adalah negara hukum. HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk Indonesia modern (Majda el Muhtaj, 2008: 59). Hal tersebut telah dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum menurut Djokosutono adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtstaat (badan hukum publik). Oleh sebab itu, menurut Sudargo Gautama, dalam negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perseorangan sebab Negara tidaklah Maha Kuasa sehingga tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Batasan itulah yang mencirikan apakah suatu negara merupakan negara hukum. Para ahli Eropa Kontinental menyebut negara hukum sebagai rechstaat, sedangkan ahli hukum Anglo Saxon memakai istilah rule of law (Masyur Effendi, 2005: 42). Stahl menyebutkan empat unsur rechtstaat, yaitu pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM), pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan unsur rule of law, menurut A.V. Dicey adalah HAM dijamin lewat undang-undang, persamaan kedudukan di muka hukum (equalitiy before the law), dan supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) serta tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas. Dalam konferensi Internasional di Bangkok pada tahun 1965, International Commission of Jurists memperluas konsep Rule of Law dari A.V. Dicey dan Immanuel Kant. Dalam menerapkan ‘the dynamics of The Rule of Law’, terdapat syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. perlindungan konstitusionil
157
2. perlindungan atas hak-hak individu serta penentuan cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin 3. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 4. pemilihan umum yang bebas 5. kebebasan untuk menyatakan pendapat 6. kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi 7. pendidikan kewarganegaraan (civic education) Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum, yaitu: 1. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan pernundang-undangan; 2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle). Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggungjawab atas tegaknya supremasi hukum (Majda el Muhtaj, 2005: 93).
Jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat,
kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia (Majda el Muhtaj, 2005: 94). Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan HAM. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya (Rusi Patria Medhawati, 2009:31).
158
Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty). Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut. Pertama, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, hak atas pekerjaan. Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, peluang karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok kerja bagi buruh. Kelima, hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan keluarga termasuk ibu dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak, yakni sandang, pangan dan perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat. Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan. Dengan adanya pengakuan HAM dalam konstitusi Indonesia serta peraturan perundang-undangan lain, maka baik MUI maupun pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput mendapatkan tempatnya masing-masing. Namun demikian, sebagai negara hukum yang mendasarkan setiap aktivitas kenegaraan pada hukum, maka fatwa yang dikeluarkan MUI itu sendiri belum mendapatkan kepastian hukum mengenai nilai hukumnya. MUI adalah organisasi yang berusaha semaksimal mungkin menangani, menyelesaikan, dan mengeluarkan fatwa keagamaan hukum Islam dengan model dan ala Indonesia, yang tentunya tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum Islam yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sebab dalam majelis ini berkumpul
159
para ahli/ pakar, sehingga persoalan yang timbul dapat diecahkan dengan pelbagai disiplin ilmu (interdisipliner) yang diarahkan agar hukum Islam dapat diterapkan dan diaplikasikan secara proporsional (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41). Fatwa memiliki interdependensi dengan ijtihad sebab hasil ijtihad para ahli atau ulama dilahirkan dalam bentuk fatwa (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41). Dilihat dari jumlah pelakunya, ijtihad terbagi atas ijtihad individual dan ijtihad kolektif. Ijtihad individual adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Sedangkan ijtihad kolektif adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persolan hukum tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:117). Oleh karena itu, fatwa sebagai hasil ijtihad juga terbagi atas dua bentuk yaitu fatwa perorangan dan fawa kolektif. Fatwa perorangan merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama, sebagai contoh adalah fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, dan fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal. Fatwa kolektif merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau komisi yang bersifat kolektif. Fatwa MUI termasuk dalam Fatwa Kolektif karena dikaji dan ditetapkan melalui komisi fatwa. Fatwa MUI ada tiga macam. Pertama adalah fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika. Kedua adalah fatwa tentang perekonomian Islam, dan ketiga adalah fatwa tentang masalah sosial seperti masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan.
Penetapan fatwa tentang kehalalan
produk makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI bekerjasama dengan LP. POM MUI. Komisi Fatwa menetapkan kehalalannya berdasarkan hasil penelitian dan auditing LP POM MUI. Sedangkan fatwa tentang masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya dikaji dan ditetapkan Komisi Fatwa MUI. Penetapan fatwa oleh MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif (Wajidi Sayadi, 2009: http://pontianakpost.com). Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Ijtihad merupakan usaha maksimal para ahli untuk mengambil/ mengistimbatkan hukum-hukum tertentu, sedangkan fatwa adalah hasil dari ijtihad itu sendiri. Hukum Islam yang berlandaskan Al
160
Quran dan al Hadist sebagian besar bentuknya ditentukan berdasar hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk fawa keagamaan oleh para mufti. Karena fatwa merupakan hasil usaha para mujtahid/ mufti maka posisi fatwa sangat memperkuat tindakan berijtihad. Sebab, fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama. Sehingga, apabila tidak ada ijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau lahit fatwa keagamaan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 43). Menurut R. William Liddle dan Saiful Munjani sebagaimana dikutip Kamaruzzaman, hubungan antara Islam dan demokrasi dibagi kedalam tiga kelompok pemikiran. Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinasikan ke dalam demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang delf-suffent. Islam dan demokrasi bersifat mutual exclusive.
Kedua,
Islam
berbeda
dengan
demokrasi,
kalau
demokrasi
didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negaranegara demokrasi maju (Seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat). Tapi Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara substantif yakni kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan
dan
mendukung sistem
politik
demokratis
seperti
yang
diprektekkan negara-negara maju. Pandangan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan yang diterjemahkan ke dalam politik elektoral dan politik kepartaian hidup diantara pemikir Islam, walaupun barangkali bukan mainstream (Kamaruzzaman, 2001:97-98). Oleh sebab itu, MUI yang menerima demokrasi sebagai suatu sistem politik yang mengusung kedaulatan rakyat pada akhirnya lebih menyoroti tujuan kemaslahatan dari pelaksanaan pemilu sebagai bagian dari demokrasi prosedural. Golput merupakan permasalahan pemilu yang terkait dengan politik. Sebagai suatu permasalahan dalam politik, maka apakah layak apabila masalah ini mendapatkan justifikasi hukum secara Islam, mengingat politik masih merupakan perdebatan apakah masuk dalam syariat Islam atau bukan.
161
Terdapat dua madzhab yang berbeda pendapat dalam menyoroti masalah politik ini. Madzhab pertama, mereka yang beranggapan bahwa politik bukan masalah syariat sebab tugas Nabi Muhammad saw tidak lebih sebagai Nabi dan Rasul, bukan sebagai kepala pemerintahan.
Kelompok ini mendasarkan
pendapatnya dalam Alquran surat Ali Imran ayat 144, dengan mengambil dalil "wama Muhammadun illa rasul", Muhammad hanyalah seorang Rasul" (QS AliImran: 144), begitu juga hadits Nabi: "innaha nubuwwatun la mulkun". Tugas risalah itu adalah tugas kenabian, bukan sebagai raja. Kemudian madzhab yang lain berpendapat bahwa ayat dan hadits di atas, bukan berarti membatasi tugas kerasulan Muhammad untuk memasuki wilayah politik, sebab berdasarkan sejarah, peran yang dimainkan oleh Nabi Muhammad tidak bisa dilepaskan dari posisi Beliau, di samping sebagai rasul, juga sebagai kepala pemerintah (Muhammad is prophet and leader of state), sehingga Rasulullah tidak pernah melepaskan diri dari sisi-sisi kehidupan manusia yang penting, termasuk masalah pemerintahan dan politik. Bagi pengikut mazhab pertama, karena politik bukan masalah syariat Islam, maka golput itu sah-sah saja. Namun bagi pengikut mazhab kedua, karena politik merupakan sesuatu yang penting dan strategis bagi kehidupan umat, maka golput sebaiknya dihindari (Kaswad Sartono, 2009:
http://www.fajar.co.id/). Dalil menurut arti etimologis bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang khissi (material), ma’nawi (spiritual), dan yang baik ataupun yang buruk. Dalil menurut ahli ushul (terminologi) yaitu bahwa yang dijadikan dalil menurut atas hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, secara pasti (qath’i) atau dugaan (dzhanny). Sebagian ulama berpendapat bahwa dalil hanyalah sesuatu yang yang berasal dari perbuatan manusia dengan jalan qath’i. sedangkan hukum yang diperoleh dengan jalan yang dzanny bukanlah dalil, melainkan amaroh. Namun demikian, makna yang sering digunakan adalah sesuatu, yang diambil daripadanya adalah hukum syara’ secara amali, mutlak, baik dengan jalan qath’i atau dzanny. Karena itu para ahli ushul membagi dalil dalam dua bagian yaitu dalil yang qath’i dalalahnya dan dalil yang dzanny dalalahnya.
162
Lapangan Ijtihad/ fatwa yang dapat dijadikan sasaran analisis fatwa adalah (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 42): 1) Nash-nash yang dzanny kedudukannya tetapi qath’i dalam pengertiannya (dalalahnya). mutawatir.
Nash tersebut hanya terdapat dalam Alquran dan hadist Maka obyek Ijtihad/ fatwa ini hanya dilihat dari aspek
pengertiannya saja yakni dilihat dari segi kedudukan hukum yang dikandungnya; 2) Nash-nash yang dzanny kedudukannya, namun qath’i dalam pengertiannya. Nash ini juga dapat ditemukan dalam hadist. Oleh karena itu, sasaran yang dikaji/ diteliti adalah dari segi sahihnya sanad serta seberapa jauh pertalian sanad dan matanya; 3) Nash-nash yang dzanny baik dari segi kedudukan ataupun pengertiannya. Dalam hak pembahasan secara mendetail harus menggunakan perangkat Mustlahul hadist serta dengan mencari titik sentral tentang hukum yang sedang diteliti; 4) Lapangan hukum yang tidak ada nashnya sama sekali. Dalam hal ini seorang mujtahid/ mufti bebas dan tidak terikat oleh kode etik yang kaku. Fatwa mengenai golput merupakan lapangan hukum yang tidak ada nashnya sama sekali, sehingga MUI sebagai mujtahid bebas dan tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan yang ada. Metode yang digunakan dalam penetapan fatwa ada tiga pendekatan. Pertama, pendekatan nash qath'i, kedua pendekatan qauli, dan ketiga pendekatan manhaji. Pendekatan nash qath'i dilakukan dengan berpegang pada nash Al Qur'an atau hadis apabila masalah tersebut ada dalam Al Quran atau hadis. Apabila tidak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis, maka dilakukan pendekatan qauli atau manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila jawaban dianggap cukup dengan adanya pendapat dalam al-kutub al-mu'tabarah, kecuali pendapat yang ada itu dianggap tidak sesuai lagi. Apabila jawaban tidak dapat dicukupi oleh nash qath'i dan pendapat dalam al-kutub al-mu'tabarah, maka penetapan dilakukan
163
dengan pendekatan manhaji. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad kolektif dengan menggunakan metode al-jam'u wa at-taufiq, tarjihi, ilhaqi, dan istimbathi. Metode al-jam'u wa at-taufiq adalah mengkompromikan berbagai pendapat yang ada untuk satu kesimpulan. Kalau hal ini tidak berhasil, maka metode at-tarjih yang dilakukan, yaitu muqaran al-madzahib dengan memilah dan memilih pendapat yang paling unggul. Ketika suatu masalah belum ada pendapat yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu'tabarah, namun ada padanannya dari masalah tersebut, maka penetapan fatwanya menggunakan metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus yang padanannya
dalam
al-kutub
al-mu'tabarah
(Wajidi
Sayadi,
2009:
http://pontianakpost.com). JIka metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka metode istimbathi yang dilakukan melalui qiyasi, istishlahi, dan sadd adz-dzari'ah. Secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum dan maqashid asy-syariah (tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan hukum syariat). Dengan penjelasan seperti ini, menunjukan bahwa fatwa MUI tidak dapat muncul begitu saja dan spontanitas, tapi harus melalui proses panjang dan pertimbangan matang dengan menggunakan metodologi dan kaedah yang sudah dirumuskan oleh para ulama (Wajidi Sayadi, 2009: http://pontianakpost.com). MUI sebagai sumber rujukan hukum Islam di Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa golput haram. Namun, tujuan pengeluaran fatwa tersebut untuk mendapatkan kemaslahatan tertutupi oleh kontroversi yang ditimbulkan. Hukum ini pun akhirnya lebih cenderung untuk terlihat politis, bukan lagi dilihat dari sisi hukumya.
Pemerintah juga cenderung tidak memberikan klarifikasi terhadap
setiap fatwa yang dikeluarkan MUI. Pemerintah tidak memberikan penegasan terhadap fatwa MUI baik dalam hal sosialisasi maupun kedudukan hukumnya di negara Republik Indonesia. Mufti atau pemberi fatwa merupakan bagian dari khittah pengabdian MUI di Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/MUI). Fungsi dan peran tersebut serupa
164
dengan fungsi dan peran dari seorang hakim karena keduanya sama-sama mengeluarkan suatu putusan. Oleh karena itu, antara hakim dan mufti diantara keduanya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan keduanya adalah sebagai berikut: 1. Baik
hakim
maupun
mufti
adalah
seorang
mujtahid
yang
dapat
mengistinbathkan hukum dari dalil yang tafshili; 2. Hakim dan mufti harus mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh persoalan atau peristiwa yang akan diselesaikan; dan 3. Hakim dan mufti harus mengetahui keadaan masyarakat tempat mereka berada. Adapun perbedaan di antara keduanya adalah sebagai berikut: 1. Persoalan atau peristiwa yang perlu diselesaikan oleh seorang mufti lebih luas bidangnya dibandingkan tugas hakim. Bidang tugas hakim terbatas pada yang telah ditentukan atau ditetapkan undang-undang atau peraturan pemerintah suatu negara, sedang bidang tugas mufti tidak terbatas, bahkan dapat berlaku untuk seluruh kaum muslimin yang menjadi penduduk beberapa negara; 2. Keputusan hakim berlaku penuh terhadap penggugat dan tergugat atau terdakwa dan pendakwa, sedang fatwa boleh dilaksanakan atau tidak, tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa; dan 3. Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa yang dikemukakan di wilayah yurisdiksi hakim itu, sedang fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim. Dalam pembedaan hakim dengan mufti di atas,
hakim melalui putusan
pengadilan dan mufti melalui fatwanya sebenarnya mempunyai kesimpulan yang sama sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda dalam pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar putusan, sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syari’ah) tanpa mengikat”, sebagaimana
165
dinyatakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: “alikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam”. Berbeda dengan fatwa mufti, maka putusan peradilan bersifat mengikat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI bukanlah sesuatu yang mengikat.
Fatwa tersebut jika
merujuk pada makna fatwa dikeluarkan merupakan suatu anjuran. pelaksanaannya dikembalikan kepada masing-masing individu.
Sehingga MUI pun
bukanlah suatu lembaga negara yang setiap putusannya bisa mengikat masyarakat. Namun, golput tersebut dinyatakan haram dalam fatwa MUI. Penggunaan istilah ‘haram’ sendiri adalah sesuatu yang sedikit mengganjal. Seperti telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, dalam hukum taklifi, hukum haram bukanlah hukum yang sederhana sebab menimbulkan konsekuensi yang serius.
Apabila fatwa
adalah bersifat suatu anjuran, haram bukanlah anjuran melainkan kewajiban yang mengikat setiap umat muslim untuk ditinggalkan.
Apabila memang MUI
membuat pengecualian atau penjelasan atas permasalahan ini sayangnya hal tersebut tidak tersosialisasikan kepada masyarakat luas. MUI telah melakukan justifikasi hukum kepada umat muslim di Indonesia yang melakukan golput. masih bisa dipertanyakan.
Namun demikian, sesungguhnya justifikasi tersebut Pertama, dalam hukum Islam, terdapat dua jenis
hukum wajib. Definisi wajib menurut syara ialah sesuatu yang diperintah oleh syar’i agar dikerjakan oleh mukallaf dengan perintah secara wajib dengan ketentuan perintah itu dilakukan sesuai dengan yang ditunjukkan atas kewajiban melakukannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 163).
Dari segi perintah
melaksanakan, wajib terbagi atas Wajib ‘Aini (wajib ain) dan Wajib Kifa’i (wajib kifayah).
Wajib ‘aini adalah kewajiban yang diperintahkan syara’ untuk
dikerjakan oleh masing-masing orang mukallaf, dan tidak mencukupi perbuatan mukallaf tentang hal itu dari lainnya.
Yang termasuk dari Wajib ‘aini ini
misalnya adalah sholat, zakat, haji, memenuhi akad dan menghindari khomar serta judi. Sedangkan Wajib kifa’i ialah kewajiban yang diperintahkan syar’i untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan dari masing-masing perorangan di
166
antara mereka, sekira apabila sebagian mukallaf melaksanakan hal itu, berarti telah dilaksanakan kewajiban tersebut, dan gugurlah dosa serta beban orang-orang lainnya. Apabila tiap-tiap perorangan di antara perorangan-perorangan mukallaf tidak mengerjakan hal itu, maka semua berdosa, sebab mengabaikan kewajiban ini. Contoh dari Wajib kifa’i ini adalah menyolatkan jenazah, membangun rumah sakit, termasuk menjawab salam serta memberi fatwa (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 167). Pada kriteria fardlu yang mana MUI mewajibkan umatnya untuk memilih. Bila dikatakan memilih itu fardlu a’ini, apakah ini berarti bagi yang golput akan berdosa dan masuk neraka? Bila kewajiban memilih fardlu kifayah, berarti adanya keterwakilan akan menggugurkan kewajiban bagi yang lain. Sementara itu peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa memilih adalah hak.
Kedua, pemilu pertama yang akan dilaksanakan di 2009 ini bertujuan
memilih anggota legislatif. Apakah para anggota dewan ini termasuk dalam pengertian pemimpin (imamah) yang wajib dipilih? Dalam sistem demokrasi, posisi anggota dewan hanya sebagai wakil rakyat yang bertugas menyampaikan aspirasi atau suara rakyat. Pemimpin berada di tangan kepala pemerintahan. Maka jika secara kenegaraan MUI adalah rujukan dalam pengambilan kesimpulan hukum Islam, seperti Mahkamah Agung dalam hukum nasional, maka semua resolusi hukum Islam produksi MUI (fatwa-fatwa MUI) mengikat semua masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Tapi jika MUI bukanlah institusi kenegaraan, fatwanya kemudian hanya bersifat sebuah opini yang dilemparkan ke dalam negara Indonesia. Artinya, secara formal fatwa MUI itu tidak mengikat warga negara dan tidak memiliki konsekwensi hukum bagi pelanggar. Demikian pula, jika MUI adalah institusi keummatan. Dengan kata lain, MUI memang merupakan formal yang mengikat semua umat Muslim, maka secara syar’i resolusi fatwa MUI mengikat seluruh anggota umat Islam di Indonesia. Artinya, melanggar fatwa tersebut dapat difatwakan sebagai palanggaran terhadap syari’at Islam yang punya konsekwensi hukum. Jika tidak, maka pelanggaran terhadap fatwa tersebut tidak dinilai sebagai pelanggaran syari’ah secara institusi. Fatwa tidak mengikat umat secara kolektif.
167
Meski demikian, kedudukan MUI sebagai salah satu LSM di Indonesia tidak kemudian ternafikan begitu saja dengan kontroversi yang sering dilakukuan organisasi tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang sebenarnya kurang sesuai untuk kondisi sosial dan kemasyarakatan di Indonesia.
Menurut Schiller
sebagaimana dikutip Abdul Hakim G. Nusantara, masyarakat sipil merupakan konsep yang bermakna ganda. Konsep masyarakat sipil sedikitnya mengacu pada situasi dan kondisi yang berbeda. Pertama, kehadiran masyarakat sipil mewujud dalam bentuk lembaga-lembaga sosial yang kuat dan mempunyai akar yang mendalam dalam masyarakat sehingga mampu melawan kontrol rezim-rezim otoriter. Kedua, masyarakat sipil itu hadir dalam wujud suatu jaringan organisasiorganisasi sosial yang rapat yang memberikan model sivilitas, kerjasama dan toleransi serta menciptakan hubungan-hubungan antara bagian-bagian masyarakat yang mendorong partisipasi, civic trust, dan kerjasama. Baik masyarakat sipil pada situasi yang pertama, maupun masyarakat sipil pada situasi yang kedua tidak dapat dijumpai di Indonesia. Namun, agar tidak menjadi pesimis, layak untuk dicatat adanya usaha-usaha di Indonesia untuk membangun masyarakat sipil yang kuat, baik seperti pada situasi pertama, ataupun seperti situasi kedua, yang diupayakan oleh organisasi non-pemerintah seperti LSM, organisasi-organisasi Keagamaan,
organisasi-organisasi
Kemasyarakatan,
organisasi
Profesi,
organisasi-organisasi Buruh, bahkan unsur-unsur dalam partai-partai politik, dan unsur-unsur dalam dunia usaha (Abdul Hakim G. Nusantara, 2008:10).
168
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN 1. Penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25. 2. Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat.
MUI bukanlah
lembaga negara sehingga produk hukum yang dikeluarkannya tidak dapat mengikat umat Muslim di Indonesia secara kolektif.
B. SARAN
169
1. Pemerintah harus menegaskan posisi MUI serta fatwa MUI dalam Negara Indonesia. Fatwa MUI hanya bersifat anjuran sehingga tidak mengganggu hak pilih setiap warga Negara Indonesia. 2. MUI sebaiknya lebih bijak dengan melihat kondisi sosial kemasyarakatan serta kultur yang terbangun dalam masyarakat Indonesia dan tidak mengeluarkan
fatwa
yang
bersifat
politis.
Pengeluaran
fatwa
sesungguhnya menyangkut kredibilitas MUI sebagai lembaga para ulama. Sebuah fatwa yang tak memberikan efek terhadap umat, menunjukan bahwa umat sudah tidak menghormati para ulama dalam MUI sehingga berbahaya bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia. 3. MUI merupakan lembaga fatwa nasional yang seharusnya mampu mengakomodasi
dan
menjawab
pertanyaan
sosial
kemasyarakatan
masyarakat secara bijak. Fatwa yang dikeluarkan harus menjadi jawaban ideal bagi permasalahan bangsa, menjadi problem solver bukan sebagai problem maker. 4. Pengeluaran fatwa oleh MUI merupakan hak yang sepenuhnya dimiliki oleh organisasi tersebut sebagai lembaga fatwa.
Pengeluaran fatwa,
meskipun dinilai kontroversial tidak memiliki implikasi yuridis apa pun terhadap setiap warga Negara ataupun pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu, masyrakat hendaknya tidak terlalu reaksioner terhadap fatwa haram tentang golput sebab fatwa tersebut tidak mengikat masyarakat secara kolektif.
170
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada. A. Masyur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusuan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham). Bogor: Ghalia Indonesia. ________________.
1994.
Dimensi/ Dinamika Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Nasional dan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Anshari Thayib dkk (edt). 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan. Arbi Sanit. 1992. GOLPUT: Aneka Pandangan Fenomena Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Henry Campbell Black. 1979. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations), Fifth Edition. St.Paul Minn: West Publishing Company Jimly Asshidiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1. Jakarta: Konstitusi Press. _______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi Press.
171
Kamaruzzaman.
2001.
Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. Magelang: Yayasan IndonesiaTera. Majda El-Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana. ______________. 2008. Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers/ Miriam Budiardjo. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Mochtar Kusumaatmadja. 1976. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta. Moh. Daud Ali. 2005. Hukum Islam: Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Muladi (edt). 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat.
Bandung: PT. Refika
Aditama Peter Baehr dkk (edt). 2001. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Soeroso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Sudikno Mertokusumo.
2003.
Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty. Sulaiman Rasjid. 1992. Fiqh Islam. Bandung: P.T. Sinar Baru.
172
Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Jurnal: Muntoha.
2009.
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Haram
“Golput” Dalam “Timbangan” Hukum Islam Dan Hukum Tata Negara (HTN) Positif”. Jurnal Konstitusi. Vol. II. No. 1. Freedom
House.
2007.
“Freedom
in
the
World-Indonesia”.
the
World-Indonesia”.
http://freedomhouse.org.>. [5 Januari 2010] Freedom
House.
2009.
“Freedom
in
http://freedomhouse.org.>. [5 Januari 2010]
Internet: Abdul Hakim G. Nusantara. Keadaan Hak-hak Sipil dan Politik Indonesia Satu Dasa Warsa Reformasi. http: //www.komnasham.go.id> [1 Desember 2009]. Kaswad Sartono. Kontroversi Fatwa MUI: Hukum Merokok dan Golput. http://www.fajar.co.id>. [1 Desember 2009].
173
Wajidi Sayadi. Apa Itu Fatwa MUI?. http: //www .pontianakpost.com> [1 Desember 2009]. http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/Sorotan/sorot01.htm>
[10
November 2009]. http://www.detiknews.com/quickcount> [12 November 2009]. http://id.wikipedia.org/wiki/MUI> [12 November 2009]. http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi>/ [12November 2009] http://leo4kusuma.blogspot.com> [20 November 2009]. http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/29/kedudukan-fatwa-dalam-syariat-islam> [20 November 2009]. http://elkhalil.wordpress.com/ 2009/10/05/kedudukan-fatwa-mui>/ [20 November 2009]. http: //www.republika.com> [20 November 2009]. http: //www.mui.co.id.> [20 November 2009]. http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/). [20 Maret 2010] Tiar
Ramon.
Pengantar
Ilmu
http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/>
Hukum [20
Maret
http://arifnurahmanblog.blogspot.com/2010/03/pengertian-hukum.html)>
[20
2010]
Maret 2010] Skripsi: Rusi Patria Medhawati. 2009. Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Permohonan Kasasi Kejaksaan Agung RI terhadap Putusan Bebas Perkara
Pelanggaran HAM di
Abepura Papua dengan Terdakwa Brigjen pol. drs. johny wainal usman. Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
174
79