Pengaruh Psychological Traits terhadap Brand Attitude dan Purchase Intention pada Masstige Brand dengan Consumer Knowledge Sebagai Faktor Moderasi: Studi Kasus Nike Sportswear pada Generasi Y Farisa Zataliny Nasution, Karto Adiwijaya Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh psychological traits, yang terdiri dari dimensi value consciousness, susceptibility to normative influence, dan need for uniqueness, terhadap brand attitude dan purchase intention pada produk sportswear bermerk masstige pada generasi Y. Selain itu, penelitian ini juga menguji variabel moderasi consumer knowledge pada pengaruh need for uniqueness terhadap brand attitude. Penelitian ini menggunakan brand Nike sebagai studi kasus. Hasil studi dengan menggunakan metode Structural Equation Modelling menunjukkan bahwa value consciousness dan susceptibility to normative influence memiliki pengaruh signfikan terhadap brand attitude generasi Y pada produk sportswear bermerk masstige. Variabel brand attitude juga terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap purchase intention produk sportswear Nike. Di sisi lain, need for uniqueness tidak terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand attitude. Lebih lanjut, consumer knowledge juga tidak terbukti memoderasi pengaruh need for uniqueness terhadap brand attitude.
The Effect of Psychological Traits towards Brand Attitude and Purchase Intention on Masstige Brand : Case Study Nike Sportswear on Generation Y Abstract The purpose of this research is to analyze the effect of psychological traits on brand attitude and purchase intention towards masstige branded sportswear products in Generation Y. The dimensions of psychological traits analyzed in this study are value consciousness, susceptibility to normative influence, and need for uniqueness. In addition, this study also examines the moderating effect of consumer knowledge on the influence of need for uniqueness towards brand attitude. This study uses Nike sportswear as the case study and the Structural Equation Modeling method to analyze the data. Result of this study indicates that the value consciousness and susceptibility to normative influence have a significant effect on brand attitude of Generation Y towards masstige branded sportswear products. The result also shows that brand attitude does have a significant effect towards purchase intention of Nike sportswear products. On the other hand, the need for uniqueness is not proven to have a significant effect towards brand attitude. Furthermore, consumer knowledge is also not proven to moderate the influence of need for uniqueness towards brand attitude.
Keywords: Brand Attitude ; Masstige Brand ; Psychological traits ; Purchase Intention ; Sportswear ; Generasi Y
Pendahuluan Berdasarkan laporan Boston Consulting Group (BCG) di tahun 2013, perekonomian Indonesia tumbuh dengan cepat, dan sejumlah besar populasi memasuki kategori sosioekonomi Middle Class and Affluent Consumer (MAC). Saat ini terdapat sekitar 74 juta
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
masyarakat MAC di Indonesia, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat sebesar dua kali lipat di tahun 2020, mencapai 141 juta penduduk. Hal ini memiliki implikasi yang besar terhadap jalannya bisnis di Indonesia. Dalam laporan Asia’s Big Next Opportunity: Indonesia’s Rising Middle- Class and Affluent Consumers yang dikeluarkan oleh BCG, konsumen Indonesia mulai fokus pada peningkatan kualitas hidupnya, dan terjadi perubahan pada sikap, pola konsumsi, dan perilaku konsumsi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Boston Consulting Group Center for Consumer and Customer Insight (CCCI), ditemukan bahwa 91% masyarakat Indonesia sudah merasa aman secara finansial, dan hal ini memengaruhi perilaku konsumsi dari masyarakat di Indonesia. Konsumen Indonesia, mulai mengarahkan konsumsinya pada barang atau jasa yang memberikan high-emotional payoff (BCG Analysis, 2013). Menurut laporan Euromonitor International (2014) purchasing power dari middle class di Indonesia terus meningkat, dan masyarakatnya semakin tertarik mengkonsumsi barang atau jasa yang dapat meningkatkan prestis mereka. Dalam laporan Luxury Goods in Indonesia yang diterbitkan oleh Euromonitor International (2014), dikatakan bahwa dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan disposable income di indonesia, konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat juga semakin meningkat. Gaya hidup konsumen di Indonesia juga mengalami banyak perubahan. Didukung dengan banyaknya pusat perbelanjaan upscale, khususnya di Jakarta semakin mendorong bertambahnya berbagai label internasional di Indonesia. Misalnya saja, seperti Galeries Lafayette yang merupakan induk dari berbagai luxury goods, sudah membuka cabangnya di Indonesia. Tidak hanya luxury, namun juga label yang tergolong affordable luxury atau produk mewah yang terjangkau semakin banyak di Indonesia. Misalnya seperti ZARA, Nike, Guess, Marc by Marc Jacobs, Fossil, dan Coach. Label – label affordable luxury ini merupakan sasaran bagi para middle class di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsumen middle class di Indonesia sudah dapat meningkatkan konsumsinya ke produk dengan kualitas yang lebih baik (affordable luxury), namun belum sampai pada kelas yang mengkonsumsi luxury goods (Euromonitor International, 2014). Fenomena ini sejalan dengan fenomena trading up pada konsumen Amerika yang dikemukakan oleh Silverstein dan Fiske di tahun 2003. Trading up to New Luxury menjelaskan bagaimana pasar konsumen kelas menengah melakukan trading up. Strategi trading up memungkinkan konsumen kelas menengah untuk menjangkau produk luxury-like. Mereka memiliki keinginan untuk membayar harga premium, untuk jenis produk yang disebut dengan new luxury (Silverstein & Fiske, 2003). Para peneliti
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
juga menggunakan istilah “mass affluence” (Nunes, Johnson, & Breene, 2004), “masstige” (Truong, 2008) “masstige brands” (Kapferer & Bastien, 2009) dan “masstige luxuries” (Silverstein & Fiske, 2003) untuk menggambarkan jenis produk ini. Fiske dan Silverstein (2003) menjelaskan bahwa new luxury dapat diartikan pula sebagai produk-produk yang menjadi populer dan dijual secara massal namun tetap dianggap luxury oleh konsumen kelas menengah. Ide dasarnya adalah menawarkan “prestige” kepada “mass” yang pada intinya adalah menawarkan nilai prestis yang dimiliki luxury brand, namun dengan harga yang lebih terjangkau sehingga nilai “prestis” tersebut dapat dinikmati oleh orang banyak (Kapferer & Bastien, 2009). Konsumen kelas menengah yang melakukan trading up ini juga sering disebut dengan fenomena democratization of luxury. Berkembangnya masstige brand di Indonesia juga didukung oleh pertumbuhan perekonomian Indonesia yang diharapkan akan membaik dan juga semakin besarnya jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia (Gibson, 2012). Meningkatnya konsumen kelas menengah tidak hanya berdampak pada konsumsi mereka, namun juga pada tren gaya hidup (Euromonitor Internasional, 2013). Salah satunya adalah kesadaran akan kesehatan dan gaya hidup sehat. Hal ini didukung dengan pertumbuhan fasilitas olahraga dan gym berkembang pesat di daerah urban, juga banyaknya event-event olahraga khususnya lari, yang diadakan di Indonesia (Euromonitor Internasional, 2013). Dalam laporan Sportswear in Indonesia yang diterbitkan oleh Euromonitor Internasional (2014) Dengan meningkatnya tren olahraga di Indonesia hal ini terus mendukung volume pertumbuhan akan sportswear di Indonesia. Penjualan sportswear menyumbang proporsi yang cukup tinggi terhadap pasar pakaian jadi di Indonesia. Pertumbuhannya terus menunjukkan kinerja yang kuat dengan ekskalasi nilai 10% dan mencapai Rp 9.012,6 miliar pada tahun 2012. Kecondongan ini disebabkan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat pada masyarakat urban yang banyak melakukan aktivitas olahraga. Salah satu merk sportswear yang terkenal di Indonesia adalah Nike. Nike merupakan top sportswear brand di dunia menurut Forbes, dan merupakan top global sportswear company menurut versi Catalyst Corporate Finance Analysis dan Euromonitor International. Nike merupakan perusahaan pakaian dan footwear terbesar di dunia di tahun 2013 dengan nilai saham global sebesar 2.2% menempati peringkat pertama di dunia, disusul dengan adidas group sebagai pemain terbesar kedua (Euromonitor Internasional, 2014). Produk sportswear Nike merupakan produk premium dan bersaing dengan brand yang ada di mass-market (Euromonitor Internasional, 2014). Nike merupakan produk premium yang
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
berada diatas produk sportswear biasa, namun tidak dapat digolongkan sebagai merk mewah baik secara harga maupun dari segi kualitas. Boston Consulting Group (2003) juga mengelompokkan Nike sebagai merk masstige dalam kategori sporting goods. Berdasarkan hal ini, maka Nike dapat digolongkan sebagai masstige brand. Nike menjadi merk favorit dunia dengan berbagai kalangan konsumen. Salah satunya yang menonjol adalah millenials atau yang biasa disebut dengan Generasi Y. Berdasarkan Unity Marketing (2014) kelompok konsumen generasi Y ini mengambil pasar segmen new luxury atau masstige. Karakteristik yang menonjol dari generasi Y ini adalah mereka tidak hanya mencari produk yang menunjukkan status mereka, namun juga memberi pengalaman dan kesenangan emosional dari konsumsi tersebut. Nike merupakan salah satu merk yang disenangi oleh mayoritas generasi Y (millenialmarketing.com, 2014) Generasi Y atau yang juga biasa disebut dengan Millenials merupakan konsumen dewasa muda yang dikategorisasikan berdasarkan tahun kelahiran 1980-1994 (Chung et. al,2009) atau orang-orang yang berusia 20-30 tahun. Generasi Y menjadi segmen yang sangat penting dalam pasar saat ini dikarenakan spending power yang mereka miliki (Wolburg & Pokrywczynski, 2001). Konsumen dari produk luxury saat ini, atau masstige brand tidak lagi terbatas pada masyarakat tradisional elite, namun juga basis baru yang lebih muda, berpenghasilan baik, modern, atau orang-orang yang biasa disebut dengan Generasi Y (Twitchell,2002) Untuk memahami motivasi yang mendasari purchase decisions dan persepsi generasi Y terhadap suatu brand, pendekatan pemasaran yang sesuai untuk menjangkau konsumen generasi Y adalah dengan pendekatan timbal balik atau reciprocity principle (Barton et al., 2014). Melalui pendekatan timbal balik, perusahaan memahami konsumen dengan mempelajari traits, values, dan personality dari konsumen tersebut. Lysonski, Durvasula, dan Zotos (1996) menggagaskan pendekatan consumer characteristics approach untuk memahami motif dasar dari konsumsi individu. Consumer characteristics approach, atau yang akan disebut sebagai psychological traits (Zhan & He, 2011) dalam penelitian ini, merupakan pendekatan yang fokus pada karakteristik indvidu dan sifat – sifat psikologis yang mendasari konsumsi. Menuju kepada studi yang dilakukan oleh Zhan dan He (2011) yang menjadi dasar dari penelitian ini, terdapat tiga psychological traits atau sifat psikologis yang dapat digunakan untuk mengetahui motif dasar dari konsumsi seseorang. Dengan menganalisis psychological traits dapat digunakan untuk menginvestigasi motif dasar dari sikap Generasi Y terhadap intensi membeli suatu brand. Yang pertama adalah Value Consciousness, yang
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
mengacu pada definisi Lichtenstein, Netemeyer & Burton (1990), dimana konsumen lebih sensitif terhadap rasio benefit dan cost dalam suatu produk dan mengacu pada nilai utilitas suatu produk. Sifat yang kedua adalah Susceptibility to Normative Influence yang diambil dari gagasan Bearden,Netemeyer, & Tee (1989) yang mengacu pada perbedaan sikap individu dalam kecenderungan untuk menyesuaikan dengan norma sosial dan reference group. Sifat yang ketiga adalah Need For Uniqueness, yang merefleksikan tendensi individu untuk membedakan dirinya dengan orang lain (Tian, Bearden & Hunter , 2001). Ketiga variabel ini akan memengaruhi brand attitude atau sikap terhadap merk, yang merupakan variabel mediasi. Variabel brand attitude sebagai mediasi nantinya akan mengarah pada variabel dependen utama, yakni purchase intention. Berdasarkan teori tindakan beralasan (Fishbein & Ajzen, 1975) intensi perilaku seorang individu bergantung pada attitude terhadap suatu perilaku dan norma subjektif yang berkaitan dengan perilaku tersebut. Studi terdahulu menunjukkan bahwa ada kaitan yang kuat dan positif antara attitude dan intention dalam berbagai situasi (Dabholkar & Bagozzo, 2002 ; Sheppard, Hartwick, & Warshaw, 1988) dalam Zhan dan He (2011). Selain itu juga terdapat variabel consumer knowledge atau pengetahuan konsumen mengenai produk/merk yang memoderasi hubungan antara need for uniqueness terhadap brand attitude. Pengaruh dari need for uniqueness terhadap brand attitude itu sendiri dapat bersifat positif atau negatif. Need for uniqueness dapat berpengaruh positif terhadap brand attitude apabila konsumen kurang aware atau memiliki pengetahuan akan brand yang rendah. Namun need for uniqueness juga dapat berpengaruh negatif pada brand yang terkenal dikarenakan pengetahuan konsumen yang tinggi mengenai brand lain akan memberi pilihan lain bagi mereka dalam memilih untuk menonjolkan keunikannya. Peneliti memilih sportswear dengan Nike yang tergolong masstige brand sebagai contoh studi kasus yang mendukung penelitian ini. Maraknya tren aktifitas olahraga di Indonesia yang semakin meningkat sejak 2012, menyebabkan naiknya angka penjualan sportswear di Indonesia (Euromonitor, 2014). Selain itu, Nike juga tergolong dalam kategori masstige brand yang sesuai dengan objek penelitian ini. Nike termasuk dalam Top 100 Global Brands dengan peringkat ke 24 di tahun 2013 dan mengalahkan Adidas sebagai kompetitor utamanya (Interbrand, 2014) walaupun lebih unggul dibandingkan Adidas di tingkat global, namun penjualan Nike masih kalah dibandingkan dengan Adidas di Indonesia.
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Tinjauan Teoritis a. Demokratisasi Luxury Fenomena terbaru dari luxury brand adalah perkembangan strategi positioning yang menargetkan konsumen yang lebih luas (Truong et al., 2008). Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang ada sejauh ini, dengan menggunakan strategi pemasaran masal dan sekaligus menonjolkan dimensi eksklusivitas dari kemewahan tampaknya telah menjadi paradoks (Okonkwo, 2009). Strategi “mass luxury” telah menjadi umum dalam praktek marketing terkini (Truong et al., 2008). Fenomena dari “more and more consumer” ini dapat pula disebut sebagai “democratization of luxury” atau sering juga disebut “luxurification of society”(Atwal/Williams,2009 ; Tsai,2005) Dalam Harvard Business Review tahun 2003, Silverstein dan Fiske menjelaskan mengenai fenomena dari munculnya new luxury, yang berbeda dengan konsep luxury yang biasa kita kenal selama ini atau juga disebut dengan old luxury. Silverstein dan Fiske (2008) menjelaskan bahwa old luxury merupakan produk mewah yang unik, asing dan aneh yang dibuat khusus untuk memenuhi selera kalangan atas. Produk ini juga biasanya diproduksi menggunakan tangan manusia sehingga memiliki kualitas yang sangat baik dan tidak diproduksi dalam jumlah banyak untuk menjaga eksklusifitas. Kemunculan dari kategori ini salah satunya didorong oleh pertumbuhan dari kalangan menengah pada masyarakat. Kalangan menengah ini merupakan kalangan yang dikatakan well educated dan well travelled dibandingkan sebelumnya. Kalangan ini memiliki keinginan untuk membayar lebih 20% hingga 200% untuk produk yang dirancang, dibuat, diproses dan dengan keahlian yang baik, dan dengan sentuhan artisanal. Munculnya fenomena ini didasari dari iklim ekonomi, konsumen khusunya kelas menengah mengganti produknya yang biasa menjadi barang yang tergolong “luxury” bagi mereka (Darlington, 2004). Konsumen yang tadinya tidak mampu membeli produk mahal ataupun eksklusif, sekarang telah memiliki kesempatan untuk membeli. Produk semacam ini sama halnya dengan produk luxury tradisional yang dulunya tidak bisa ditemui di kelas pasar menengah. Produk inilah yang disebut dengan new-luxury (Silverstein & Fiske, 2003) atau masstige (Truong et al., 2008) yang menjadi bukti meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya image dan luxury di pandangan orang lain (Truong et al., 2008 ; Darlington, 2004 ; Parment, 2006)
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
b. Masstige Brand Truong (2008) menggunakan denotasi “masstige” untuk menggambarkan munculnya jenis baru dari luxury brand atau yang juga biasa disebut dengan new luxury yang dapat diakses oleh kelompok konsumen yang lebih luas. Istilah new luxury brand ataupun masstige brand merupakan suatu istilah yang muncul untuk mengkategorikan merek yang memiliki prestis namun masih berada dibawah luxury brand. Dapat dikatakan bahwa masstige merupakan suatu upaya untuk menawarkan merek-merek yang prestisius dengan harga yang relatif rendah. Tujuan dari merek-merek pada kategori ini adalah untuk menawarkan nilai prestis yang dimiliki luxury brand, namun lebih terjangkau sehingga dapat dinikmati oleh orang banyak. Pada dasarnya, konsep ini mengacu pada konsumen kelas menengah yang cenderung menjadi lebih aspiratif dan menuntut dalam hal merek premium yang dikarenakan naiknya disposable income sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan (Yeoman, McMahon, Beattrie, 2005) (Mandhachitara dan Lockshin, 2004) Masstige
Brand
fokus
secara
khusus
untuk
menciptakan
produk
yang
mensimbolisasikan benefit dan prestis merek tersebut. Produk-produk masstige brand sangat mempedulikan desain dan tampilan produknya untuk menunjukkan prestis bagi pemakainya (Heine, 2011) Gambar berikut menunjukkan perbedaan dari Luxury Brand , Premium Brand, dan Masstige Brand dari dimensi – dimensi tertentu menurut Klaus Heine (2012). Dari gambar berikut dapat dilihat bahwa masstige brands memiliki harga, kualitas, kelangkaan, dan extraordinariness dibawah luxury brands. Selain itu masstige brands memiliki nilai estetika, nilai simbolis, dan prestis yang tidak jauh berbeda dengan luxury brands.
Gambar 1. Perbandingan Karakteristik Luxury Brands vs. Premium vs. Masstige Brands Sumber: Klaus Heine, Concept of Luxury Brands (2011)
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
c. Generasi Y Motivasi konsumen dalam melakukan pembelian sering dipengaruhi oleh usia. Dengan mempertimbangkan generational cohorts, pemasar dapat memahami lebih dalam karakteristik dan kebutuhan konsumennya. Generational cohorts adalah sekelompok individu yang lahir pada periode tertentu, dan hidupnya berkoresponden antar satu sama lain. Memasarkan barang/jasa menjadi tool yang berguna dalam melakukan segmentasi pasar dikarenakan anggota cohort memiliki value yang sama (Meredith et al., 2002 ; Lyons et al., 2005 ; Schewe & Noble., 2000). Generasi Y merupakan konsumen muda dewasa yang dikategorisasikan berdasarkan orang-orang yang lahir dari tahun 1980-hingga 1999 (Crampton dan Hodge, 2009). Generasi Y akan menjadi konsumen yang menguntungkan dikarenakan kelompok konsumen ini memiliki orientasi konsumsi yang tinggi dan sophisticated terkait dengan selera dan preferensi belanja mereka (Holszhausen & Sardom, 2006 ; Wolburg & Pokrywczynski, 2001). Terlebih, generasi Y memiliki sikap yang positif terhadap berbelanja (Zeithaml, 1985). Lehtonen dan Maenpaa (1997) mengindikasikan bahwa generasi Y hidup di era dimana berbelanja tidak dianggap sebagai sebuah pembelian biasa. Studi lain menemukan bahwa generasi Y kebal terhadap berbagai upaya pemasaran, dikarenakan karakteristik mereka yang individualis dan anti-korporat (Kapner, 1997 ; Wolburg & Pokrywczynski, 2001). d. Value Consciousness (VC) Definisi dari Value Consciousness menurut Lichtenstein et al., (1990) merupakan tendensi untuk mencari fitur terbaik dan performa dari suatu produk atau jasa dengan suatu harga tertentu. Penelitian sebelumnya mendukung teori bahwa value dari sebuah brand memiliki hubungan pada perilaku pembelian konsumen (Kim et al,2010). Value dari sebuah brand berdampak positif keinginan konsumen untuk membayar dengan harga premium (Keller, 1993). Kualitas dari sebuah produk secara signifikan meningkatkan sikap dan motivasi pembelian konsumen, dan nantinya berdampak pada keputusan pembelian konsumen (Park & Park, 2003). Para peneliti juga mengasosiakan kualitas yang dirasakan dengan keinginan untuk membayar, memilih brand, hingga intensi membeli sebuah brand. Konsumen seringkali bergantung pada barang material untuk menunjukkan status sosial mereka (Belk,1988; Han et al., 2010). Barang mewah akan bekerja sebagai label
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
sosial yang efektif dikarenakan harganya yang premium dan makna simbolis yang diasosiasikan (Batra et al., 2000; Bearden & Etzel, 1982; Steenkamp, Batra & Alden, 2003) Dimensi sosial dari persepsi akan barang mewah akan memengaruhi brand attitude ataupun sikap dari konsumen terhadap brand tersebut untuk melakukan pembelian (Wiedman et al., 2007) Berdasarkan studi terdahulu, maka penelitian ini memiliki hipotesis bahwa terdapat adanya pengaruh positif antara Value Consciousness dan brand attitude konsumen. H1. Value Consciousness memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand
e. Susceptibility to Normative Influence (SNI) Susceptibility to Normative influence (SNI) mengacu kepada perbedaan individual dalam tendensi untuk menyesuaikan dengan norma- norma sosial. Dalam konsumsi, Susceptibility to Normative influence (SNI) tercermin dari kecenderungan konsumen agar sesuai dengan harapan orang lain mengenai purchase intention untuk diidentifikasi dengan orang lain, untuk mendapatkan imbalan, atau untuk menghindari hukuman dari orang lain (Bearden, Netemeyer, & Teel 1989). Batra, Homer, dan Kahle (2001) menemukan bahwa konsumen dengan SNI yang tinggi lebih menganggap penting atribut yang memberikan socially visible benefit, dibandingkan brand yang memberikan manfaat. Oleh karena itu, sebagai tanda prestise dan status sosial, merek-merek yang terkenal akan menarik bagi konsumen dengan SNI tinggi, khususnya barang-barang yang dapat terlihat oleh publik. Menurut penelitian terdahulu, konsumen seringkali memerhatikan makna sosial dari suatu produk, dan menggunakan material yang dimiliki untuk mengembangkan hubungan sosial(Wang & Lin, 2009; Wong & Ahuvia, 1998). Dengan berhasilnya barangbarang material meningkatkan performa dalam mencapai status sosial (Cavender & Rein, 2009) konsumen menengah akan termotivasi untuk memaksimalkan barang mewah untuk mengkomunikasikan status sosial dan respek dari orang di sekitarnya. Dengan demikian, keinginan untuk menyesuaikan dengan social norms diduga akan berdampak pada sikap konsumen terhadap suatu brand. maka dari itu pengaruhnya akan dihipotesiskan sebagai berikut
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
H2. Susceptibility to normative influence memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand
f. Need for Uniqueness (NFU) Menurut Synder, (1992) salah satu cara untuk membedakan diri dari orang lain adalah dengan memperoleh dan memiliki produk yang unik. Produk yang unik biasanya masih baru, relatif tidak populer, atau langka, dan digunakan oleh sejumlah konsumen (Tian et al., 2001). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa konsumen yang menginginkan keunikan lebih memilih produk lebih karena sebagai kenaikan harga (Amaldoss & Jain, 2005). Oleh karena itu, sebagai konsumen yang memiliki NFU tinggi memiliki tendensi untuk mencari perbedaan dari diri mereka dengan orang lain (Belk,1988) salah satu cara membedakan diri mereka dengan yang lainnya adalah dengan memiliki produk yang unik (Snyder, 1992). Barang terkenal seringkali dijadikan simbol untuk menunjukkan keunikan, dikarenakan sulit dan langkanya untuk didapatkan (Zhan & He, 2011). Semakin konsumen memiliki NFU yang tinggi, maka mereka akan memiliki preferensi lebih yang tinggi pada merek terkenal. Maka, pengaruh antara NFU dan sikap konsumen dihipotesiskan sebagai berikut H3a. Need for uniqueness memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand Namun, merek-merek terkenal juga dapat diasosiasikan secara negatif dengan keunikan, karena merek yang terkenal adalah merek yang paling populer (TIME Magazine, 2007). Hal ini diakibatkan merek yang paling populer biasanya memiliki banyak pengikut. Hanya produk langka dapat menunjukkan keunikan, dan produk yang populer tidak mungkin dapat membedakan penggunanya dari orang lain. Maka, meskipun kategori barang mewah umumnya langka dan unik, merek-merek paling terkenal kurang eksklusif karena mereka adalah merek yang paling banyak dimiliki dalam kelompok. Oleh karena itu, konsumen kelas menengah yang ingin berdiri keluar dari rekan-rekan mereka cenderung tidak memilih untuk menggunakan merek yang terkenal untuk memenuhi keunikannya (Zhan & He, 2011) Berdasarkan hal tersebut, maka NFU diduga juga dapat berhubungan negatif dengan attitude konsumen terhadap brand tersebut dan dapat dibuat hipotesis sebagai berikut
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
H3b. Need for uniqueness memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand g. Consumer Knowledge Pengaruh antara NFU dan brand attitude diduga bergantung pada consumer knowledge atau pengetahuan konsumen mengenai merek terkenal. Consumer knowledge mengacu pada pengetahuan umum konsumen tentang brand yang berbeda dalam kategori produk tertentu (Klaiser&Mantel, 1994). Konsumen yang lebih berpengetahuan adalah konsumen yang lebih aware terhadap berbagai nama brand. Consumer Knowledge digunakan untuk memoderasi pengaruh antara NFU dan attitude terhadap intensi membeli dari masstige brand. Zhan dan He (2011) menggagaskan bahwa apabila pengaruh antara NFU dan attitude positif (H3a), pengaruh tersebut akan melemah ketika consumer knowledge meningkat karena, konsumen yang more- knowledgeable memiliki pilihan lain yang lebih luas untuk membangun keunikan mereka. Sedangkan jika pengaruhnya adalah negatif (H3b), pengaruh ini akan memperkuat peningkatan pengetahuan untuk alasan yang sama. Maka berdasarkan hal ini, pengaruh dari consumer knowledge sebagai variabel moderasi terhadap pengaruh need for uniqueness dan brand attitude dapat dihipotesiskan sebagai berikut H4a. Consumer knowledge memperkuat pengaruh antara need for uniqueness terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand. H4b. Consumer knowledge memperlemah pengaruh antara need for uniqueness terhadap brand attitude generasi Y pada masstige brand. h. Brand Attitude dan Purchase Intention Brand attitude didefinisikan sebagai apresiasi umum konsumen terhadap suatu brand (Mitchell dan Olson, 1988). Berdasarkan teori mengenai tindakan beralasan (Fishbein & Ajzen, 1975), Munculnya intention dari perilaku individu bergantung pada attitude terhadap perilaku dan norma subyektif yang terkait dengan perilaku. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan positif antara attitude dan intention dalam berbagai pengaturan (Dabholkar & Bagozzi, 2002) ; (Sheppard et al., 1988). Dalam berbagai studi empiris, hubungan positif antara attitude terhadap purchase intention telah didukung dalam berbagai produk dan jasa yang berbeda (Fitzmaurice, 2005
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
; Pavlou dan Fygenson, 2006 ; Smith et al., 2008). Apabila sikap konsumen terhadap suatu merk adalah positif, maka intensi membeli mereka juga akan positif (Yoo & Lee, 2009 ; Bian, 2010) Maka berdasarkan hal ini, pengaruh brand attitude terhadap purchase intention dapat dihipotesiskan sebagai berikut: H5. Brand attitude generasi Y berpengaruh positif dan signifikan terhadap purchase intention dari masstige brand Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian konklusif deskriptif dengan metode survey single cross-sectional design. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian ini yang berjumlah 218 responden. Desain kuesioner adalah terstuktur dengan menggunakan likert scale dengan skala 6. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik Structural Equation Modelling (SEM) dengan program Lisrel 8.51. Sampel dalam penelitian ini adalah pria dan wanita berusia 20 – 30 tahun atau yang disebut generasi Y, yang mengetahui produk Nike. Penelitian ini akan menguji pengaruh variabel value consciousness, susceptibility to normative influence, dan need for uniqueness terhadap brand attitude dan purchase intention dari generasi Y. Berikut adalah model konseptual yang mereplikasi model penelitian dalam jurnal ilmiah Zhan dan He (2011) yang berjudul Understanding Luxury Consumption in China: Consumer Perception of Best Known Brands
Gambar 2. Model Konseptual Sumber: Lingjing Zhan dan Yanqun He (2011). Understanding Luxury Consumption in China: Consumer Perceptions of Best-Known Brands
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Hasil Penelitian Pada tahap awal, pretest dilakukan kepada 30 responden yang sesuai dengan kriteria sampel yakni pria dan wanita berusia 20 – 30 tahun. Pretest dilakukan secara online dengan menggunakan Google Docs. a.
Model Pengukuran Pada tahap ini, dilakukan analisis validitas dari model pengukuran dengan
memeriksa nilai standardized loading factor (SLF) serta t-value dari setiap variabelvariabel teramati. Kriteria validitas yang baik adalah apabila nilai t-value ≥ 1.645 untuk hipotesis one-tailed dan nilai SLF ≥ 0.50. Secara keseluruhan, nilai SLF dari model pengukuran memiliki nilai ≥ 0.50. namun terdapat satu variabel teramati yakni SNI1 (Membeli produk/brand yang akan diakui oleh orang lain) yang bernilai ≤ 0.50.
Namun Igbaria, et.al. (1997)
menambahkan, jika ada nilai muatan faktor standar < 0.5, tetapi masih ≥ 0.3, maka variabel terkait bisa dipertimbangkan untuk tidak dihapus. RMSEA dari model pengukuran bernilai 0.052 yang mengindikasikan good fit yaitu data memiliki kecocokan yang baik dengan model. Berdasarkan hasil model pengukuran yang menunjukkan goodness–of-fit yang baik, maka peneliti melanjutkan pengolahan ke model struktural. Dari hasil pengolahan model struktural didapat nilai RMSEA 0.053 (good fit) dan goodness–of-fit menunjukkan nilai ≥ 0.90
yang mengindikasikan bahwa
keseluruhan model memiliki kecocokan yang baik dengan data.
b.
Analisis Hubungan Kausal
Berdasarkan gambar 4.12. dibawah, dibuatlah tabel yang menunjukkan pengaruh antara variabel laten yang satu dengan yang lainnya dengan melihat t-value. Ketika tvalue bernilai ≥ 1.645 (untuk hipotesis one tail pengaruh positif) atau ≤-1.645 (untuk hipotesis one tail pengaruh negatif) maka variabel laten tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel laten lainnya. Sebaliknya ketika t-value ≤ 1.645 atau ≥-1.645 maka variabel laten tersebut tidak memberikan pengaruh yang signfikan terhadap variabel laten lainnya.
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Gambar 3. Path Diagram Model Struktural dan T-Value Sumber: Output LISREL 8.51 Hasil Olahan Peneliti
Dari tabel dibawah dapat dilihat bahwa terdapat 3 hubungan pengaruh yang signifikan sementara 2 hubungan lainnya tidak signifikan. Value Consciousness secara signifikan berpengaruh positif terhadap Brand Attitude, karena memiliki nilai t sebesar 3.63, yang lebih besar dari batas 1.645. Variabel Susceptivility to Normative Influence secara positif dan signifikan berpengaruh positif terhadap Brand Attitude dengan nilait sebesar 2.60. Pengaruh yang positif dan signifikan juga terlihat pada variabel Brand Attitude dan Purchase Intention dengan nilai-t sebesar 7.29. Namun, variabel Need for Uniqueness terhadap Brand Attitude terbukti tidak memiliki pengaruh yang signifikan baik secara positif maupun negatif dengan nilai-t sebesar -1.19. Dengan adanya variabel moderasi Consumer Knowledge sekalipun dalam uji pengaruh Need for Uniqueness dan Brand Attitude, tetap tidak terdapat adanya pengaruh yang signifikan, dan ditunjukkan dengan nilai-t variabel moderasi Consumer Knowledge yang hanya sebesar 0.52. Kesimpulan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Path Value Consciousness è Brand Attitude Susceptibility to Normative Influence è Brand Attitude Need for Uniqueness è Brand Attitude Brand Attitude è Purchase Intention Consumer Knowledge memoderasi Need for Uniqueness è Brand Attitude
T-Value
Kesimpulan
3.63
Signifikan
2.60
Signifikan
-1.19
Tidak Signifikan
7.29
Signifikan
0.52
Tidak Signifikan
Sumber: Output LISREL 8.5. hasil olahan peneliti
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Berdasarkan tabel diatas, dilihat bahwa value consciousness, dan susceptibility to normative influence memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand attitude generasi Y dalam sikap dan intensi membeli sportswear bermerk masstige. Namun sifat psikologis lainnya yakni need for uniqueness terbukti tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand attitude generasi Y hal ini mengindikasikan generasi Y tidak memiliki keinginan yang siginfikan untuk menunjukkan keunikannya melalui sportswear bermerk masstige. Brand attitude memiliki pengaruh yang signifikan terhadap purchase intention yang sejalan dengan studi – studi terdahulu. Variabel moderasi consumer knowledge terbukti tidak memiliki pengaruh moderasi yang signifikan pada pengaruh need for uniqueness terhadap brand attitude. Saran 1.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan dari value consciousness terhadap
brand attitude, Hal ini menandakan generasi Y memiliki kecenderungan price sensitive yang tinggi dan memastikan bahwa produk yang dibeli adalah bermanfaat serta value for money. Maka saran yang dapat diberikan adalah Nike sebaiknya melakukan bundling produknya dengan suatu seri tertentu. Dengan tingginya tren olahraga saat ini, Nike dapat melakukan bundling produk sportswear apparel nya. Tidak hanya itu, produk ini kemungkinan juga akan dinilai praktis dikarenakan konsumen generasi Y hanya perlu membeli satu produk yang sudah memberikan banyak manfaat. 2.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan dari susceptibility to normative
influence terhadap brand attitude, hal ini menandakan reference group memiliki pengaruh besar pada sikap konsumen generasi Y terhadap merk sportswear. Maka hal yang dapat Nike coba lakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan memperkuat buzz di media sosial, mengadakan event-event yang dapat memicu menjadi tren di kalangan generasi Y dan menggunakan brand ambassador yang memiliki pengaruh di kalangan generasi Y di untuk semakin memperkuat sikap dan intensi membeli mereka terhadap Nike. 3.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan dari need for
uniqueness terhadap brand attitude, hal ini menunjukkan generasi Y memiliki keinginan yang rendah untuk menonjolkan keunikannya. Maka dari itu Nike sebaiknya fokus untuk memperbanyak produk massal yang menjadi tren saat itu dan mengurangi pasokan produk limited edition. Rendahnya keinginan generasi Y untuk menonjolkan keunikannya sehingga produk yang unik atau jarang seperti limited edition diduga tidak menjadi sasaran bagi kelompok konsumen ini.
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Keterbatasan Penelitian
2
1. Dalam penelitian ini ditemukan rendahnya nilai r , yakni hanya sebesar 5.4% rendahnya 2
nilai r ini diduga disebabkan oleh adanya variabel lain seperti value consciousness, need for uniqueness, dan brand attitude. Sehingga saran untuk penelitian berikutnya menambahkan variabel antecedent dari purchase intention lainnya, seperti dalam Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 1981) yakni Subjective Norms, dan Perceived Behavioral Control. 2. Pada penelitian ini peneliti tidak menanyakan sumber pendapatan responden. Sehingga peneliti tidak mengetahui penyebab spending power dari responden. Maka saran peneliti adalah membuat pertanyaan terkait responden generasi Y yang sudah memiliki pendapatan sendiri dan responden yang masih menggantungkan pendapatannya dari orang tua atau orang lain. 3. Dalam penelitian ini mayoritas generasi Y didominasi oleh responden mahasiswa yang kebanyakan masih berusia 20 – 23 tahun, maka saran peneliti adalah menyebarkan kuesioner dengan cakupan yang lebih luas agar batas umur generasi Y yang berkisar 20 – 30 dapat lebih merata. Daftar Referensi Bearden, W.O., Etzel, M.J. (1982). Reference group influence on product and brand purchase decisions. Journal of Consumer Research, 9(2):183–94. Bearden WO, Netemeyer RG, Teel JE. (1989). Measurement of consumer susceptibility to interpersonal influence. Journal of Consumer Research, 15(4):473–81. Bian, Q., & Forsythe, S. (2012). Purchase intention for luxury brands: A cross cultural comparison.
Journal
of
Business
Research,
65(10),
1443–1451.
doi:10.1016/j.jbusres.2011.10.010 Bray, J., & Bray, J. (n.d.). Consumer Behaviour Theory$: Approaches and Models, 1–33. Boston Consulting Group (2013, March). Asia Next Big Opportunity: Indonesia’s Rising Middle Class and Affluent Consumers. August 26, 2014. Boston Consulting Group (2010). Caught Between Growing Momentum and Lasting Change. November 21, 2014.
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Boston Consulting Group (2012, June). Luxe Redux: Raising the Bar for the Selling of Luxuries. August 26, 2014. Boston Consulting Group (2010, December). The New World of Luxury: Caught Between Growing Momentum and Lasting Change. August 26, 2014. Boston Consulting Group (2014, January). The Reciprocity Principle: How Millennials Are Changing the Face of Marketing Forever. August 26, 2014. Boston Consulting Group. (2003). Trading Up to New Luxury. November 21, 2014. Boston Consulting Group. (2003). Trading Up": The New Luxury and Why We Need It. November 21, 2014. Choo, H. J., Moon, H., Kim, H., & Yoon, N. (2012). Luxury customer value. Journal of Fashion Marketing and Management, 16(1), 81–101. doi:10.1108/13612021211203041 Euromonitor International. (2012, December). Consumer Lifestyles in Indonesia. September 19, 2014. Euromonitor International. (2014, June). Sportswear in Indonesia. September 19, 2014.https://www.portal.euromonitor.com/Portal/Handlers/accessPDF.ashx/Sport swear_in_Indonesia.pdf Euromonitor International. (2014,February). Luxury goods in indonesia. September 19, 2014. https://www.portal.euromonitor.com/Portal/Handlers/accessPDF.ashx/Luxury_Go ods_in_Indonesia.pdf Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2009). Multivariate Data Analysis. New Jersey. Heine, K. (2010). Identification and Motivation of Participants for Luxury Consumer Surveys Through Viral Participant Acquisition, 8(2), 132–145. Heine, K. (2012). The Concept of Luxury Brands. Heine, K., & Phan, M. (2011). Trading-up mass-market goods to luxury products. Australasian Marketing Journal (AMJ), 19(2), 108–114. doi:10.1016/j.ausmj.2011.03.001
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014
Kim, D., & Jang, S. S. (2014). International Journal of Hospitality Management Motivational drivers for status consumption$: A study of Generation Y consumers. International Journal of Hospitality Management, 38, 39–47. doi:10.1016/j.ijhm.2013.12.003 Lichtenstein, D.R., Netemeyer, R.G., Burton, Scot. (1990) Distinguishing Coupon From Value Proneness Consciousness$: An Acquisition-Transaction Utility Theory Perspective. (2014), 54(3), 54–67. Truong, Y., & McColl, R. (2011). Intrinsic motivations, self-esteem, and luxury goods consumption.
Journal
of
Retailing
and
Consumer
Services,
18(6),
555–561.
doi:10.1016/j.jretconser.2011.08.004 Zhang, B., & Kim, J. (2013). Journal of Retailing and Consumer Services Luxury fashion consumption in China$: Factors affecting attitude and purchase intent. Journal of Retailing and Consumer Services, 20(1), 68–79. doi:10.1016/j.jretconser.2012.10.007 Zhan, L., & He, Y. (2012). Understanding luxury consumption in China$: Consumer perceptions of best-known brands . Journal of Business Research, 65(10), 1452–1460. doi:10.1016/j.jbusres.2011.10.011
Pengaruh psychological traits terhadap..., Farisa Zataliny Nasution, FE UI, 2014