perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI: Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun oleh AGUS PRIYANTO C0205007
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini kupersembahkan untuk Ibu terhebat sebagai inspirasi saya, Bapak, tlah ku buktikan ku mampu penuhi maumu. Kakak-kakakku dan Mbak-Mbakku atas perhatiannya Risma Hasnawaty, S.Ikom. atas semangat yang diberikan Orang-orang baik di sekitarku
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Man Jadda Wajada (Sayiddinah Ali bin Abu Thalib)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah s.w.t yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini penulis masih diberikan kesempatan untuk berkarya dan mengisi kehidupan ini. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasul, Muhammad s.a.w, keluarga, dan para sahabatnya. Alhamdulillah, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik setelah sempat tertunda. Berbagai kendala dan rintangan mulai dari pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan skripsi ini telah berhasil dilalui. Semua itu tentunya berkat dukungan, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.
2.
Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
3.
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., pembimbing skripsi yang selalu memberikan pemikiran, arahan dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian berlangsung.
4.
Drs. FX. Sawardi, M. Hum., pembimbing akademik yang selalu memberikan semangat kepada penulis agar segera menyelesaikan kuliah. commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Ahmad Fuadi, penulis Novel Negeri Lima Menara atas informasi yang diberikan dan motivasi sehingga skripsi ini bisa selesai.
6.
Ibu dan Ayah yang senantiasa mendoakan penulis sehingga skripsi ini bisa selesai.
7.
Mahasiswa Sastra Indonesia khususnya angkatan 2005 yang telah memberikan kebersamaan, keceriaan, dan pengalaman yang sangat berharga kepada penulis.
8.
Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Agus Priyanto. C0205007. 2012. Pandangan Dunia Pengarang Dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi: Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, karena mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu, dari pengkajian novel ini dapat diketahui pandangan dunia pengarang. Pemilihan novel Negeri Lima Menara di samping berdasarkan faktor tersebut, juga didasarkan pada belum pernah dilakukannya pengkajian novel ini menggunakan teori Strukturalisme Genetik. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana struktur novel Negeri Lima Menara, (2) bagaimana lingkungan sosial pengarang, (3) bagaimana lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, (4) bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Berkaitan dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial pengarang, lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme genetik. Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara, Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan menggunakan model dialektik. Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang, dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara Adalah pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam usaha meraih impian dan citacita. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saran yang penulis sampaikan antara lain commit to user penelitian novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan teori Strukturalisme
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca, teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya, dan novel Negeri Lima Menara hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan dengan menggunakan teori yang lain.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................
v
HALAMAN MOTTO...................................................................................
vi
KATA PENGANTAR..................................................................................
vii
ABSTRAK....................................................................................................
ix
DAFTAR ISI................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL.........................................................................................
xiii
DAFTAR BAGAN........................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah.............................................................
1
B.
Pembatasan Masalah..................................................................
7
C.
Rumusan Masalah......................................................................
7
D.
Tujuan Penelitian.......................................................................
7
E.
Manfaat Penelitian.....................................................................
8
F.
Sistematika Penulisan.................................................................
9
10
BAB II LANDASAN TEORI A.
Struktur Intrinsik Novel..............................................................
10
1. Tokoh dan Penokohan................................................................
10
2. Latar atau Setting........................................................................
12
3. Alur atau Plot..............................................................................
15
4. Tema...........................................................................................
16
B.
Strukturalisme Genetik...............................................................
17
C.
Pandangan Dunia Pengarang......................................................
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................. commit to user
32
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A.
Metode Penelitian.......................................................................
32
B.
Pendekatan..................................................................................
32
C.
Objek Penelitian.........................................................................
33
D.
Sumber Data..............................................................................
33
E.
Metode Pengumpulan Data........................................................
34
F.
Metode Analisis.........................................................................
34
G.
Prosedur Penelitian.....................................................................
36
BAB IV ANALISIS.....................................................................................
38
A. Struktur Intrinsik Novel Negeri Lima Menara.................................
39
1.
Tokoh dan Penokohan................................................................
39
2.
Latar atau Setting........................................................................
44
a. Latar Tempat..........................................................................
46
b. Latar Sosial............................................................................
48
c. Latar Waktu...........................................................................
49
Alur.............................................................................................
49
a. Tahap Penyituasian................................................................
49
b. Tahap Pemunculan Konflik...................................................
52
c. Tahap Peningkatan Konflik...................................................
53
d. Tahap Klimaks.......................................................................
55
e. Tahap Penyelesaian................................................................
57
Tema..........................................................................................
58
B. Lingkungan Sosial Pengarang..........................................................
62
C. Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara...............................
64
D. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara....
73
BAB V PENUTUP......................................................................................
82
A. Kesimpulan.......................................................................................
82
B. Saran.................................................................................................
84
3.
4.
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… LAMPIRAN commit to user
xii
85 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel 1. Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan.................................
39
Tabel 2. Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar atau Setting.......................
44
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN Bagan1. Komponen-komponen analisis data ...............................................
commit to user
xiv
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Agus Priyanto. C0205007. 2012. Pandangan Dunia Pengarang Dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi: Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, karena mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu, dari pengkajian novel ini dapat diketahui pandangan dunia pengarang. Pemilihan novel Negeri Lima Menara di samping berdasarkan faktor tersebut, juga didasarkan pada belum pernah dilakukannya pengkajian novel ini menggunakan teori Strukturalisme Genetik. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana struktur novel Negeri Lima Menara, (2) bagaimana lingkungan sosial pengarang, (3) bagaimana lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, (4) bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Berkaitan dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial pengarang, lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme genetik. Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara, Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan menggunakan model dialektik. Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang, dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara Adalah pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam usaha meraih impian dan cita-cita. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusisolusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusisolusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang. Berdasarkan hasil analisis di atas, saran yang penulis sampaikan antara lain penelitian novel Negeri commit Lima to Menara user dengan menggunakan teori ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Strukturalisme Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca, teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya, dan novel Negeri Lima Menara hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan dengan menggunakan teori yang lain.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra muncul sebagai cermin kehidupan masyarakat yang mewakili situasi dan keadaan sekitarnya. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu karya yang mampu merefleksikan zamannya. Karya sastra dipandang sebagai refleksi zaman yang mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwaperistiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sebagai bagian dari masyarakat, pengarang dianggap mampu memberikan cerminan kepada pembaca dari pengalaman-pengalamannya dalam karya sastra. Pengarang menuangkan segala imajinasi yang dimilikinya untuk menghasilkan karya sastra. Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap kenyataan, tetapi sekaligus juga model kenyataan (Teeuw, 1988:228) . Lebih lanjut Goldmann mengemukakan (dalam Teeuw, 1988:153) bahwa struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya. Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar pengarang. Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampainya. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 1990: 57). Ditinjau dari segi pembacaannya karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Jadi dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya (Zulfahnur, dkk 1996: 254). Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berada dalam masyarakat dan zaman tertentu. Pandangan dunia pengarang terbentuk atas hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan latar sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena itu, pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur karya sastra (Goldmann dalam Endraswara, 2003:57). Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengetahui kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo, 1995: 99 – 100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Novel yang mampu menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada dasarnya, novel adalah pengetahuan realita nonilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu masyarakat (Wellek dan Warren, 1994:94). Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar pengarang. Sastra merupakan gambaran masyarakat. Hal ini berarti bahwa kejadian-kejadian atau problem kehidupan yang terjadi dalam masyarakat direkam oleh pengarang dan didasarkan daya imajinasi dan kreasi masalah-masalah tersebut dituangkan dalam karya sastra. Pengarang mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang dirasakan pengarang melalui karyanya. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa masih banyak lagi macamnya. Namun secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri. Unsur intrinsik dalam novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar bebagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah novel antara lain peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar tubuh karya sastra tetapi sangat berpengaruh terhadap isi karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik yang membangun sebuah novel misalnya kapan karya sastra itu dibuat, latar belakang kehidupan pengarang, latar belakang sosial pengarang, dan sebagainya. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, diciptakan pengarang untuk mengungkapkan kehidupan manusia dalam waktu yang lama. Di dalam suatu novel muncul peristiwa-peristiwa yang akan merubah jalan hidup para pelakunya. Dalam novel pengarang menggambarkan perubahan perilaku, watak tokoh, maupun alur cerita, serta sikap dalam menghadapi konflik kehidupan. Pengarang sebagai warga masyarakat, dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Sebagai warga masyarakat, ia tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah sosial, budaya, politik, serta mengikuti isu-isu sezamannya. Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya dari karya sastranya, tetapi juga dari dokumen biografinya. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1994:112)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Dengan demikian penilaian yang akan diberikan terhadap karya sastra jelas akan kurang lengkap tanpa sebelumnya memahami seluruh seluk-beluk dan latar belakang sosial maupun latar belakang kebudayaan pengarangnya, karena pemahaman terhadap latar belakang kehidupan pengarang akan mempermudah atau dapat membantu memahami karya sastra. Seperti novel yang akan dikaji oleh penulis, berjudul Negeri Lima Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata pengarang semasa menempuh pendidikan. Negeri Lima Menara adalah novel pertama karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2009. Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 (enam) santri dari 6 (enam) daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Mereka adalah: Alif Fikri Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa. Mereka sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 (satu) sampai kelas 6 (enam). Kian hari mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk di bawah menara Pondok Madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Penulis mengambil novel ini sebagai objek penelitian karena adanya fakta sosial tentang masalah-masalah dan latar belakang pengalaman yang pernah dihadapi oleh pengarang menjadi sumber inspirasi penciptaan novel Negeri Lima Menara. Selain daripada hal tersebut, latar belakang profesi pengarang turut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
mempengaruhi gaya penulisan novel ini yang sangat mengutamakan unsur otentik dan keaslian dalam penggambaran setting/latar belakang cerita. Novel ini telah mendapatkan penghargaan antara lain; Liputan6 Award Bidang Motivasi dan Edukasi SCTV tahun 2011, Long List-Khatulistiwa Literary Award tahun 2010, Anugerah Pembaca Indonesia sebagai Buku dan Penulis Terfavorit tahun 2010, Buku Fiksi Terbaik tahun 2011 diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI dan Penulis Terbaik tahun 2011 dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) selain pengahargaan tersebut, novel ini sudah difilmkan dan ditayangkan pada awal Maret 2012 di seluruh Indonesia. Selain cukup menghibur, keunggulan novel ini adalah menjadi National Best Seller yang sudah mencapai cetakan ke-9 (sembilan) pada November 2010 sejak pertama terbit pada bulan Juli 2009. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori strukturalisme genetik sebagai alat bantu untuk memahami pengaruh dunia pengarang dalam penciptaan novel Negeri Lima Menara. Analisis strukturalisme genetik dalam karya sastra berguna untuk menganalisis kehidupan-kehidupan sosial, interaksiinteraksi sosial tokoh-tokoh dalam novel Negeri Lima Menara. Penulis akan lebih mendeskripsikan pandangan dunia pengarang terhadap cerita dan tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita novel Negeri Lima Menara. Untuk itu, pada penulisan skripsi ini, penulis mengambil judul : ”Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi: Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
B. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi jelas dan terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Agar penelitian ini mencapai sasaran yang tepat, penelitian ini membatasi masalahnya pada analisis strukturalisme genetik. Analisis ini dikhususkan pada analisis tekstual guna mengetahui pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis sampaikan, maka dapat penulis sertakan rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah struktur intrinsik dalam novel Negeri Lima Menara ?
2.
Bagaimanakah konteks sosial dalam novel Negeri Lima Menara ?
3.
Bagaimanakah latar belakang kehidupan sosial pengarang novel Negeri Lima Menara ?
4.
Bagaimanakah pandangan dunia pengarang novel Negeri Lima Menara ? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan Rumusan Masalah yang telah penulis sampaikan diatas, maka
adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengungkap struktur intrinsik novel Negeri Lima Menara.
2.
Mengungkap konteks sosial yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
3.
Mengungkap latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang novel Negeri Lima Menara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
4.
Mengungkap pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel Negeri Lima Menara.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoretis a.
Menambah khasanah pengkajian sastra khususnya teori strukturalisme genetik dan penggunaannya di dalam analisis sebuah karya sastra.
b.
Memberikan kajian mengenai pandangan dunia pengarang lewat karyanya sehingga dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sering terjadi pada diri seseorang maupun masalah yang muncul di masyarakat.
c.
Memberikan sumbangan terhadap perkembangan penelitian sastra pada khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2.
Manfaat Praktis a.
Membantu pembaca dalam memahami novel Negeri Lima Menara dari sudut pandang dunia pengarang.
b.
Menambah khazanah pengkajian sastra tentang strukturalisme genetik khususnya mengkaji pandangan dunia pengarang lewat karyanya sehingga dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sering terjadi pada diri seseorang maupun masalah yang muncul di masyarakat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II landasan teori terdiri dari struktur intrinsik novel, strukturalisme genetik, dan pandangan dunia pengarang. Bab III metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian, pendekatan, objek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis. Bab IV analisis berisi struktur novel, lingkungan sosial pengarang, lingkungan sosial novel, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Bab V penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Pada bagian akhir laporan akan dilengkapi dengan daftar pustaka, lampiran-lampiran, serta sinopsis novel Negeri Lima Menara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI A. Struktur Intrinsik Novel Menurut Fananie (2000: 83) unsur intrinsik adalah struktur formal karya sastra yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari; (1) tokoh dan penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema. Unsur intrinsik dalam novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. 1.
Tokoh dan Penokohan Menurut Sudjiman, penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam
karya sastra. Dalam kisah yang fiktif pengarang membentuk tokoh-tokoh yang fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca seolah-olah merasa berhadapan dengan manusia yang sebenarnya (Sudjiman, 1984:42). Tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh namun pada umumnya ada satu tokoh utama. Tokoh utama tersebut adalah tokoh yang sangat penting dalam pengambilan peranan sebuah karya sastra. Pegembangan penokohan meliputi dua aspek yaitu aspek penampilan dan aspek watak atau karakter. Adapun jenis tokoh ada dua yaitu tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character). Tokoh datar adalah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi saja, commit to user tokoh bulat adalah tokoh yang misalnya baik saja atau buruk saja. Sedangkan
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11 menunjukkan berbagai segi, misalnya segi kebaikan, keburukan, kelemahan, dan sebagainya. Jadi, ada perkembangan yang terjadi pada tokoh tersebut. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert adalah pribadi tokoh yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Sedangkan tokoh ekstrovert adalah pribadi tokoh yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal juga tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang disukai oleh pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Sedangkan tokoh ekstrovert adalah tokoh yang tidak disukai oleh pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Menurut Sayuti (1996: 47) ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni: a. Tokoh sentral atau tokoh utama Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh itu paling memerlukan waktu penceritaan. b. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan) Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil dalam peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan. Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12 dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya (Suharianto 1982: 31). Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita (Sayuti 1996: 57-59) antara lain: 1. Metode diskursif atau metode analitik Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya. 2. Metode dramatis atau metode tidak langsung Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat dilakukan dari beberapa teknik antara lain: (1) teknik pemberian nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik pikiran tokoh, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6) teknik perbuatan tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan dalam karya sastra adalah cara pengarang menggambarkan tokoh yang dapat menggerakkan cerita. Sedangkan tokoh-tokoh dalam cerita itu mempunyai watak atau karakter yang menghidupkan ketokohannya. 2.
Latar atau Setting Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Sudjiman, 1984:44).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13 Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator. Abrams (dalam Fananie, 2000:99) berpendapat, latar dibedakan menurut tiga indikator yang meliputi; pertama, general locale (tempat secara umum); kedua historical time (waktu historis); ketiga social circumstances (lingkungan sosial). Senada dengan Abrams, Nurgiyantoro (2002:227) juga membedakan latar menjadi tiga kategori : a.
Latar tempat, yaitu menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.
Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.
Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Fungsi setting/latar menurut Rene Wellek dan Austin Warren (dalam
Wellek dan Warren 1994:290-291). adalah sebagai berikut a.
Latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama interior rumah dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Rumah seseorang adalah perhiasan bagi dirinya sendiri. Kalau kita menggambarkan rumahnya berarti kita menggambarkan sang tokoh. Latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya dan berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, latar menjadi metafor dari keadaan emosional commit to user dan spiritual tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14 b.
Latar yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan mood: alur dan penokohan didominasi oleh nada dan kesan tertentu disebut latar noveltik, misalnya pada karya noveltik. Deskripsi naturalistik lebih bersifat dokumentasi, dengan tujuan menciptakan ilusi.
c.
Dalam drama, latar digambarkan secara verbal (seperti dalam drama Shakespeare)atau
ditunjukkan
oleh
petunjuk
pementasan
yang
menyangkut dekorasi dan peralatan panggung disebut latar realistis. d.
Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu. Latar tidak hanya menunjukkan di mana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih
dari itu, latar juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau logika ceritanya. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Fananie dalam bukunya Telaah Sastra. Fananie, (2000:99) berpendapat bahwa dalam telaah setting/latar sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat. hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga dari konteks diagesis-nya kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya tersebut diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika peristiwa, perkembangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15 3.
Alur atau Plot Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat
sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa. Peristiwa yang dirangkaikan tersebut adalah susunan peristiwa yang lebih kecil. Rangkaian kejadian itu tidak hanya disusun berdasarkan komposisi cerita melainkan bergerak berdasarkan hubungan sebab akibat. Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut alur, yakni cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh (Suharianto 1982: 28). Menurut Zulfahnur, dkk (1996: 27), berdasarkan fungsinya alur dibagi menjadi; a.
Alur utama Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok atau utama.
b. Alur bawahan (subplot) Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur utama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16 4.
Tema dan Amanat Fananie mengemukakan pendapatnya bahwa tema adalah ide, gagasan,
pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra (2000: 84). Senada dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro juga mengatakan bahwa tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel/novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan setia mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain dapat mencerminkan gagasan dasar umum (baca: tema) tersebut (2002:70). Analisis terhadap tema diusahakan untuk memahami cerita secara terpadu. Meskipun demikian, dalam sebuah karya sastra terkadang tidak hanya memuat satu tema. Karena itu, curahan perhatian sering tertuju pada bagian-bagian itu. Dengan kata lain, kemunculan motif yang berulang kali dapat dikatakan sebagai pengenalan terhadap tema utama dan tema bawahan atau tema-tema minor mempertegas tema mayor. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema dapat dibedakan menjadi dua yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor merupakan tema yang sangat menonjol dan tema minor adalah tema yang tidak menonjol. Amanat menurut Panuti Sudjiman (1984) adalah “gagasan yang mendasari to userpengarang kepada pembaca atau karya sastra, pesan yang ingin commit disampaikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17 pendengar. Di dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat dan di dalam karya sastra lama pada umumnya tersurat” (hal.5). Tema dan amanat sangat erat kaitannya. Amanat merupakan pemecahan persoalan yang terkandung dalam tema. Amanat juga merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam rangka menyelesaikan persoalan yang ada.
B. Strukturalisme Genetik Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Strukturalisme genetik ini merupakan penggabungan
antara
struktural
dengan
metode
penelitian
sebelumnya
(Endraswara 2003: 55). Semula, peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine. Bagi dia, karya sastra sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan. Strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas Stukturalisme murni yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang sastra yang lain. Hal ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw 1988: 173) bahwa penafsiran model strukturalisme murni atau strukturalisme klasik kurang berhasil (Endraswara 2003: 55-56). Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut to userini mempunyai segi-segi yang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. commit Pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18 bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi (Endraswara 2003: 56). Pendapat di atas sesuai dengan pendapat Endraswara (2003: 56) yang menyatakan bahwa studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama, dan kedua hubungan tersebut membentuk suatu jaringan yang saling mengikat. Strukturalisme genetik tidak begitu saja dari struktur dan pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang kehidupan pengarang. Hal itulah yang memberikan kekuatan hasil analisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra secara singkatnya adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Jelaslah
bahwa
pendekatan
sosiologi
sastra
terutama
dengan
metode
strukturalisme genetik sangat erat hubungannya dengan pengarang. Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000: 117).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19 Strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu yang statis dan lahir yang sendirinya melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategori pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu pemahaman mengenai strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan-pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor itulah yang memberikan kepaduan pada struktur karya sastra itu (Goldmann dalam Faruk 1999: 13). Ada dua kelompok karya sastra menurut Goldmann (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994: 61), yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama dan karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang kelas dua. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Sedangkan, karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang kelas dua adalah karya sastra yang isinya sekedar reproduksi segi permukaan realitas dan kesadaran kolektif. Untuk penelitian sastra yang mengungkapkan pendekatan strukturalisme genetik oleh Goldmann disarankan menggunakan karya sastra ciptaan pengarang utama, karena sastra yang dihasilkannya merupakan karya agung (master peace) yang di dalamnya mempunyai tokoh problematik (problematic hero) atau mempunyai wira yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (autthentic value). Menurut Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai commit to user struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat ditanyakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut sebagai strukturalisme genetik. Pada bagian lain, Goldmann mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta. Sebagai sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta kesejarahan pada suatu objek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorang pun akan mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat dari yang dipelajari (Goldmann dalam Fananie 2000: 120). Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra adalah abstraksi. Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena itu pandangan dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili kelas sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetik) dari latar belakang sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut bagi Goldmann merupakan hubungan genetik dan disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitannya ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara 2003: 57). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21 Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. Secara sederhana, kerja penelitian strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah antara lain: 1.
Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhan. Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai pada world view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan perjalanan mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu kemudian dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22 tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi sendiri (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58). Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan strukturalisme genetik terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan dimunculkan melalui tokoh problematik (problematic hero). Tokoh problematik (problematik hero) adalah tokoh yang mempunyai masalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value). Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. 2.
Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti
berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik, pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Kata kebudayaan
mengandung
pengertian yang commit to user
kompleks
yang
mencakup
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23 pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk sosial. Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk karya sastra yang diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999: 55) sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan. Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai oleh pandangan-pandangan pengarang. Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24 secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Hal tersebut menyebabkan secara sadar atau tidak sadar bahwa dalam menciptakan karya sastra baik sedikit ataupun banyak dipengaruhi oleh pemikiran perasaan dan pengalaman hidupnya, salah satunya yaitu bahwa latar belakang sosial budaya pengarang akan mempengaruhi penciptaan karya sastra yang ditulisnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang bukan hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang. 3.
Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994: 59). Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165) user dianggap sebagai fakta sosial daricommit subjektotran-individual karena merupakan alam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25 semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis. Johnson (dalam Faruk 1999: 45-46) menyimpulkan bahwa novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Bonald (dalam Wellek dan Warren 1994: 110) mengemukakan hubungan antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan menyeluruh. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994: 61). Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989:commit 73). to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26 Semi (1989: 53) menyatakan bahwa karya sastra merupakan suatu fenomena sosial yang terkait dengan penulis, pembaca, dan kehidupan manusia. Karya sastra sebagai fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptanya saja, tetapi juga pada hakikat karya sastra itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa reaksi sosial seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya mendorong ia menulis karya sastra. Oleh karena itu, mempelajari karya sastra berarti mempelajari kehidupan sosial. Hal itu bermakna bahwa kajian karya sastra terkait dengan kajian manusia, kajian tentang kehidupan. Untuk lebih jelasnya, dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode strukturalisme genetik dapat kita ikuti langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994: 62) sebagai berikut: a.
Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b.
Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c.
Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencapai premis general.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27 C. Pandangan Dunia Pengarang Pandangan dunia adalah istilah menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersamasama
anggota-anggota
suatu
kelornpok
sosial
tertentu
dan
yang
mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain (Goldmann dalam Faruk, 1999: 16). Pandangan dunia merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya sebab pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Dalam salah satu esainya, “Genetic Structuralism in The Sociology of Literature” Lucien Goldman (dalam Elizabeth & Burns 1973:118-119) menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang dalam menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas baru dalam karyanya. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individuindividu yang ada dalam masyarakat, kelompok sekerja, dan sebagainya ditambah dengan kompleksnya mengenai makna dan arah dan aspirasi makna dan arah keseluruhan dan aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku, dan emosi-emosi kolektifnya. Sebaliknya,
kesadaran
yang
mungkin
adalah
yang
menyatakan
suatu
kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. (Goldmann dalam Faruk 1999: 16-17). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28 Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003: 57) karya sastra sebagai struktur yang memiliki makna merupakan wakil pandangan dunia (vision du monde)
pengarang
tidak
sebagai
individu
melainkan
sebagai
anggota
masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur rnasyarakat bisa mengakibatkan penelitian sastra menjadi pincang. Pandangan dunia yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra yang agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif). Kemudian abstraksi itu akan mengalami bentuk konkret dalam karya sastra. Oleh identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan itulah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh sebab itu karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dan latar belakang sosial tertentu, yang bagi Goldmann merupakan hubungan genetik. (Goldmann dalam Endaswara, 2003: 57) Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia erat hubungannya dengan unsur struktur karya sastra dan struktur masyarakat. Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dan aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi, hubungan antara keduanya tersebut tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang Iangsung, melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya sebagai pandangan dunia (Goldmann dalam Faruk, 1999: 15-16).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29 Goldman beranggapan bahwa manusia (individu) tidak mungkin mempunyai pandangan dunianya (world view) sendiri (Junus 1986:25). Goldman mencoba mendapatkan pandangan dunia pengarangnya. Penulis itu sendiri bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari suatu ‘kelompok sosial’, sehingga pandangannya tadi adalah juga pandangan kelompok sosial, transindividual subject (Junus 1988:16). Proses panjang dan interaksi subjek kolektif dengan situasi sekitarnya dapat disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang tidak sernua orang dapat mernahaminya. Dalam hal ini, kesadaran yang mungkin terjadi dibedakan dan kesadaran nyata (Goldmann dalam Faruk, 1999: 16). Goldmann (dalam Faruk, 1999: 16) berpendapat bahwa pandangan dunia tidak dapat terlahir secara tiba-tiba karena pandangan dunia merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30 kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi: a.
Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan pengarang.
b.
Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan pengarang dalam ciptaannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia
terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkannya. Karya sastra yang besar menurut Goldmann (dalam Fananie, 2000:165) dianggap sebagai fakta sosial dari subjek trans-individual karena merupakan alam semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis. Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994:61). Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999:55) sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan. Pandangan dunia pengarang adalah keseluruhan gagasan, aspirasi dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompokkelompok sosial yang lain yang diwakili pengarang sebagai bagian dari masyarakat. Pandangan ini tidak mewakili pengarang sebagai individu tetapi pengarang sebagai subjek kolektif yang memiliki pandangan menyeluruh tentang dunia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yng bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong 2000: 6) Hal ini berarti data yang dikumpulkan berupa kata-kata yang diproses sebelum digunakan dan dianalisis tetap dengan kata-kata yang disusun ke dalam teks yang diperluas. Laporan ini disertai dengan kutipan-kutipan data (Moloeng, 2000: 6). Penelitian ini akan mendeskripsikan unsur-unsur pembangun Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang turut menginspirasi novel Negeri Lima Menara. B. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan suatu disiplin ilmu yang menaruh perhatian pada teks sastra dan latar belakang sosial budaya serta subjek yang menghasilkannya (Sangidu, 2004: 29). commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 Penelitian struktural genetik adalah menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel dan unsur ekstrinsik yang ada di luar novel. Pengkajian diawali dengan kajian unsur intrinsik sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. (Endraswara, 2003: 56). C. Objek Penelitian 1.
Struktur intrinsik yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
2.
Konteks sosial yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
3.
Latar belakang kehidupan sosial pengarang novel Negeri Lima Menara.
4.
Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. D. Sumber Data
1.
Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama Indonesia di Jakarta, tahun 2010 setebal 422 halaman. 2.
Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari
buku-buku, artikel-artikel, dan rekaman wawancara acara televisi dengan pengarang novel Negeri Lima Menara. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 E. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui teknik-teknik berikut. 1.
Teknik Pustaka Teknik pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan
sumber-sumber tertulis dan rekaman. 2.
Teknik Simak Catat Teknik simak catat adalah membaca, memahami, dan menafsirkan
sumber-sumber data dan dilanjutkan dengan mencatat data yang ditemukan. F. Metode Analisis Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis Miles dan Huberman. Analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung terjadilah tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan terakhir lengkap tersusun. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 menggolongkan,
mengarahkan,
membuang
yang
tidak
perlu,
dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulankesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Alur penting kedua yang dilakukan selanjutnya adalah menyajikan data. Dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasar atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut. Penyajian data yang baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian data ini merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Alur ketiga adalah penarikan kesimpulan/ verifikasi. Dari pengumpulan data, peneliti mencari arti dari benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Peneliti yang berkompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-makna dari data yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yang merupakan validitasnya. Ketiga alur penelitian ini (reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi) merupakan sesuatu yang jalin menjalin pada saat, sebelum dan sesudah pengumpulan data. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 Bagan 1. Komponen-komponen analisis data
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
K esimpulan-kesimpulan: Penarikkan/Verifikasi
Sumber: Miles dan Huberman, 1992: 18 Dalam pandangan ini tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti bergerak di antara empat sumbu kumparan itu sebelum pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antar kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan/ verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. G. Prosedur Penelitian Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Membaca novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi secara berulang-ulang dari awal sampai akhir cerita.
2.
Mengkaji struktur novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3.
Mengkaji lingkungan sosial Ahmad Fuadi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 4.
Mengkaji lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
5.
Menghubungkan antara struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, dan lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara. Dari proses tersebut diperoleh pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara melalui tokoh problematik yang ada dalam novel tersebut.
6.
Menarik simpulan dari permasalahan yang telah dikaji dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Kesimpulan tersebut dapat diketahui dengan beberapa metode/cara yaitu; a. Deduktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan dari data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. b. Induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS
Pada bab IV ini akan dijelaskan mengenai unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara, yang nantinya dari pengkajian unsurunsur intrinsik ini akan ditemukan tokoh problematik yang terdapat dalam novel. Setelah pengkajian unsur-unsur intrinsik akan diteruskan dengan penjelasan mengenai lingkungan sosial Ahmad Fuadi yang merupakan pengarang novel Negeri Lima Menara. Penjelasan ini dilakukan supaya dapat diketahui apakah lingkungan sosial Ahmad Fuadi dapat mempengaruhi dalam penulisan novel Negeri Lima Menara. Penelitian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai lingkungan sosial novel. Hal ini dilakukan supaya dapat diketahui mengenai isi cerita yang terdapat dalam novel. Setelah dilakukan penjelasan-penjelasan di atas, diteruskan dengan penjelasan mengenai pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Hal ini dilakukan dengan cara menghubung-hubungkan antara unsur intrinsik, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, dan lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara. Dari proses menghubunghubungkan ini akan ditemukan tokoh problematik yang terdapat dalam novel. Dengan adanya tokoh problematik ini, dapat dilihat pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel, yaitu dengan melihat solusi-solusi apa yang diberikan oleh pengarang pada waktu tokoh problematik mengalami suatu masalah dan berusaha untuk lepas dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu sebagai berikut. commit to user
38
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. 1.
Struktur Intrinsik Novel Negeri Lima Menara
Tokoh dan Penokohan Penokohan dalam suatu cerita berkaitan dengan para pelaku beserta
perwatakannya. Penokohan dalam novel Negeri 5 Menara dapat dideskripsikan sebagai berikut. Tabel 1 Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan No
Tokoh
Data
Sikap
(1)
(2)
(3)
(4)
a. “Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah sanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA.” (hal. 5) “Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang.” (hal. 12)
a. Berbakti pada orang tua
1
Alif Fikri
b. “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” “Tapi aku tidak mau.” (hal. 9) c. “Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan berharap.” (hal. 197) “Ya Allah telah aku sempurnakan semua usahaku dan doaku kepadaMu. Sekarang semuanya aku to userAku tawakal serahkancommit kepadaMu.
b. Berpendirian kuat
c. Religius
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan ikhlas.” (hal. 199)
2
Said
d. “Setiap aku membaca suratnya, aku hampir selalu merasa iri mendengar dia mendapatkan semua yang dia mau.” (hal. 205) e. “Tuhan, mungkinkah aku bisa menjejakkan kaki di benua hebat itu kelak?” (hal. 208) “Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaimana kalau aku keluar dari PM, sekarang juga? Agar aku bisa mengejar mimpi seperti Randai.” (hal. 313)
d. Iri
a. “Ya akhi, ngopi dulu supaya tidak ngantuk.” (hal. 198)
a. Bersahabat
b. “Kita langsung ke Surabaya.” (hal. 343) 3
Atang
a. “Said, ingat, jangan kita jadi jasus dua kali dalam dua bulam.” (hal. 129) b. “Aku punya ide. Jadi kawan-kawan, aku ingin kita membuat teater yang panggungnya tidak terbatas di panggung depan, tapi panggungnya juga adalah tempat duduk penonton.” (hal.340)
4
5
Raja Lubis
Baso
e. Beranganangan tinggi
b. Tanggap a. Patuh aturan
b. kreatif
a. “Dari sepuluh orang bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama.” (hal 44) b. “Jangan. Kita coba dulu. Aku saja yang maju duluan.” (hal.124)
a. Berbakti kepada orang tua
a. “Baso adalah anak paling rajin di antara kami dan paling bersegera kalau disuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk membaca buku favoritnya: commit user dibawa dari Al Quran bututtoyang
a. Rajin, disiplin
40
b. pemberani
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6
Dulmajid
kampung sendiri. Dia member usul.” (hal. 92) b. “Hanya hapalan …hanya hapalan Quran inilah yang bisa aku berikan untuk membalas kebaikan mereka.” (hal. 362) a. “Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura… Di kemudian hari, aku menyadari dia orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setia kawan yang aku kenal.” (hal.46) b. ”Siapa bilang kita tidak bisa menonton?” Lalu usulmu apa?” kata Atang “Kita dekati siapa yang berkuasa di sini.” (hal. 179)
7
Amak
b. Berbakti pada orang tua a. Jujur, keras, setia kawan
b. Optimis
c. “Ingat kawan, motto kita: man jadda wajada. Ditambah doa dari kalian dan prasangka baik kepada Tuhan, apa pun bisa terjadi.” (hal. 180)
c. tegar
a. Itu baru anak Amak dan umat nabi Muhammad.” (hal. 138)
a. Penyayang
b. Ambo tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidak-jujuran ini.” (hal. 139)
b. Jujur
c. “Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA.” (hal.9) d. “Kalau itu memang maumu, kami lepas waang dengan berat hati.” (hal. 13)
c. Keras hati
d. Bijaksana 8
Ayah
a. “Kami sudah daftarkan nama waang untuk ikut ujian persamaan delapan bulan lagi. Karena itu, tidak ada salahnya tetap bertahan di sini. Selesaikanlah apa yang sudah dimulai.” (hal.376)
a. Bijaksana
9
Kiai Rais
a. “Niatkan menuntut ilmu hanya karena Allah, lillahi taala.” (hal 50) commit to user
a. Bijaksana
perpustakaan.uns.ac.id
10
digilib.uns.ac.id
b. “Pasang niat kuat, berusaha keras dan berdoa khusuk, lambat laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sunnatullah-hukum Tuhan.” (hal. 136) c. “Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah.” (hal. 158) Ustad Salman a. “Jadi pilihlah suasana hati kalian, dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian.” (hal 108)
c. Motivator a. Motivator
11
Ustad Khalid
a.
12
Ustad Torik
a. “Kali ini saya maafkan karena hujan, lain kali, tidak ada toleransi.” (hal. 131) b. “Itu bukan alasan. Menunggu sampai pagi pun masih bisa.” (hal. 351) a. “1 menit atau 1 jam, terlambat adalah terlambat. Ini pelanggaran.”
a. Bijaksana
a.
a. Suka mengejek
13
Tyson
14
Randai
“Saya pribadi telah memutuskan untuk berwakaf kepada PM. Dan barang yang saya wakafkan adalah diri saya sendiri.” (hal. 253)
b. Bijaksana
“Bagaimana rasanya jadi pasukan bersarung dan berkopiah? Apakah pekerjaan kamu setiap hari adalah shalat dan mengaji?” (hal. 101)
a. Ikhlas dalam beramal
b. Tegas a. Tegas
Tokoh utama dalam cerita ini adalah Alif Fikri. Alif Fikri adalah seorang tokoh yang berusaha untuk patuh pada orang tua. Ia berusaha untuk mengikuti keinginan kedua orang tuanya. Dengan tekad itu, ia mengikuti keinginan orang tuanya untuk masuk Madrasah Sanawiyah, sekolah lanjutan agama setara SMP. Hal itu terlihat dari jalan pikiran tokoh Alif.
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
“Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA.” (Negeri Lima Menara hal. 5)
Ia memiliki cita-cita yang tinggi ingin seperti Habibie tapi ibunya menginginkan dia seperti Buya Hamka, seorang ulama besar dari Sumatera Barat. Perbedaan pandangan inilah yang sempat menimbulkan perdebatan antara Alif dan ibunya. Sikap Alif ini terlihat dari dialog antara dirinya dengan Amak. “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” “Tapi aku tidak ingin…” (Negeri Lima Menara hal.9)
Tokoh lain dalam cerita ini adalah Said, Raja, Atang, Baso, dan Dulmajid. Mereka terkenal dengan sebutan Sahibul Menara bersama tokoh Aku. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi seperti tokoh Aku. Mereka sering memimpikan cita-cita mereka di bawah menara masjid. Penggambaran watak kelima tokoh tersebut banyak diungkapkan melalui tuturan langsung pengarang. Perhatikan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh Baso dan Dulmajid berikut ini. “Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura… Di kemudian hari, aku menyadari dia orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setia kawan yang aku kenal.” (Negeri Lima Menara hal. 46) “Baso adalah anak paling rajin di antara kami dan paling bersegera kalau disuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk membaca buku favoritnya: commit to user Al Quran butut yang dibawa dari kampung sendiri. Dia memberi usul.” (Negeri Lima Menara hal. 92)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Watak Amak terlihat dari pembicaraan dia dengan kepala sekolah dan guru-guru menyikapi ide untuk membantu siswa dalam menghadapi ujian nasional. Amak dengan tegas menolaknya. Hal itu terlihat dari dialog berikut ini. ”Ambo tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidakjujuran ini.” (Negeri Lima Menara hal. 139)
2.
Latar Latar/ setting berkaitan denga tempat, waktu, dan situasi sosial suatu
cerita. Latar dalam novel Negeri Lima Menara dapat dideskripsikan sebagai berikut. Tabel 2 Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar / Setting
1.
Indikator
Data
(1)
(2)
Latar Tempat
a. “Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibu kota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian commit to user banyak wartawan.” (hal. 2) 44
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
b. “Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam.” (hal. 5) c. “Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas lima belas hektar ini.” (hal. 30) d. “Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani kacang sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak.” “Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara.” (hal. 94)
2.
Latar Waktu
3.
Latar Sosial
e. “Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melintas onggokan salju tipis yang menutupi a. “Washington DC, Desember 2003, jam 16.00” (hal. 1) b. “Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP.” (hal. 5) c. “London, Desember 2003.” (hal. 400) a. “Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.” “Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerah kepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atau ujian adalah pesta merayakan candu itu.” (hal. 200)
a. Latar Tempat Cerita ini diawali dengan kisah ketika tokoh Alif berada di Washington DC, Amerika Serikat. Ia adalah salah sorang warga negara Indonesia yang sedang menjalankan tugas sebagai seorang wartawan VOA. Ia juga merupakan salah seorang saksi terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantahkan gedung World Trade Centre, di Amerika Serikat. “Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibu kota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan.” (Negeri Lima Menara, hal. 2)
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
Ranah Minang merupakan awal perjalanan tokoh Alif dalam meraih citacitanya. Di sinilah tempat masa-masa suka cita Alif di waktu kecil. Semasa SMP, Alif bercita-cita ingin seperti Habibie. Ia ingin melanjutkan sekolah ke SMA dan selanjutnya kuliah di ITB. Sayang, cita-citanya tidak sejalan dengan keinginan ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti keinginan ibunya untuk belajar di pondok. “Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam.” (Negeri Lima Menara, hal. 5)
Secara umum, latar dalam cerita ini sebagian besar mengisahkan kehidupan Sahibul Menara di Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo Jawa timur. Di pondok ini, para santri dididik untuk menjadi manusia-manusia yang mandiri, kreatif, memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab dan Inggris. Di sini para santri dibina dengan kedisiplinan yang sangat ketat. Siapa yang melanggar akan mendapat sanksi yang setimpal tanpa pandang bulu. Di sini pulalah para santri yang tergabung dalam Sahibul Menara yang terdiri atas Alif, Said, Atang, Baso, Raja, dan Dulmajid mulai memiliki cita-cita masingmasing. Di bawah menara masjid, mereka membayangkan dunia impian masingmasing. “Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat dating di Pondok Madani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas lima belas hektar ini.” (Negeri Lima Menara, hal. 30) “Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas commit to user pelajaran tadi siang, ditemani
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kacang sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak.” “Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara.” (Negeri Lima Menara, hal. 94)
London adalah tempat bertemu kembali para Sahibul Menara ketika mereka telah berhasil meraih cita-cita mereka. “Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melintas onggokan salju tipis yang menutupi permukaan trotoar. Tidak lama kemudian aku sampai di Trafalgar Square, sebuah lapangan beton yang amat luas. Dua air mancur besar memancarkan air tinggi ke udara dan mengirim tempias dinginnya ke wajahku. Square ini dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan kantor-kantor berdinding kelabu, tepat di tengah-tengah kesibukan London.” (Negeri Lima Menara, hal. 400)
b. Latar Sosial Latar sosial dalam novel ini menggambarkan bagaimana suasana kehidupan di Pondok Madani. Para santri begitu giat belajar. Setiap waktu mereka manfaatkan untuk belajar. Tidak ada waktu untuk berleha-leha. “Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.” “Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerah kepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atau ujian adalah pesta merayakan candu itu.” (Negeri Lima Menara, hal. 200)
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
c. Latar Waktu Peristiwa dalam novel Negeri Lima Menara terjadi antara tahun 2003 hingga tahun 1992 atau selama sebelas tahun. Hal ini dapat diketahui dari kutipan sebagai berikut “Washington DC, Desember 2003, jam 16.00. . . ” (Negeri Lima Menara hal. 1) “London, Desember 2003.. . .” (Negeri Lima Menara ,hal. 400) “... Dia tergesa gesa melepaskan sarung tangan kulitnya. “Khifa haluk ya akhi?”katanya sambil menggenggam tanganku keras. Kami lalu berpelukan erat melepas kangen 11 tahun perpisahan. (Negeri Lima Menara, hal: 401-402) 3.
Alur a.
Tahap Penyituasian (Situation) Tahap Situasi merupakan tahap pertama penceritaan. Tahap ini berisi
pengenalan situasi-situasi, latar, dan tokoh-tokoh dalam cerita. Sebagai tahap pembuka, penyituasian lebih berfungsi pemberi informasi awal. Tahap ini dimulai ketika Alif Fikri, tokoh dalam novel ini bekerja di Washinton DC Amerika Serikat, sebagai wartawan asal Indonesia. Ketika sedang bekerja di kantor, ia mendapatkan e-mail dari sahabat lama yang merupakan salah satu anggota Sahibul Menara yaitu menara keempat Atang kutipannya adalah sebagai berikut; Iseng saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk tangan kananku. Hawa dingin segera menjalari wajah dan lengan kananku dari balik kerai tipis di lantai empat itu, salju tampak turun menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit. Ketukan-ketukan halus terdengar setiap gumpal salju menyentuh kaca di depanku. Matahari sore menggantung condong ke barat membentuk piring commit to user putih susu.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon american elm yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilengkapi permadani putih. Jalan raya yang lebar-lebar mulai dipadati mobil karyawan yang berangsur-angsur pulang. Berbaris seperti semut. Lampu rem yang hidup-mati-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine polisi – atau ambulans – sekali-sekali menggertak disertai bunyi klakson. Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluar dari alat pemanas di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau begitu badan setelan melayuku tetap menggigil melawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujung ruang kantor menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu diluar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi. Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membebat diri dengan baju tebal yang besar. Yang lebih menyebalkan, kulit tropisku berubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku selalu terpesona melihat bangunan, pohon, taman dan kota diselimuti salju putih berkilat-kilat. Rasanya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda dengan alam kampungku di Danau Maninjau yang serba biru dan hijau. Setelah dipikir-pikir, aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter time seperti hari ini. Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di Ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powel di Departement of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan. Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa. Ini hari terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas sekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke London untuk wawancara dengan Tonny Blair perdana menteri Inggris, dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput , tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika , termasuk serangan 11 September 2001. Kamera, digital recorder dan tiket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicle-ku. Jaketcommit hitam to selutut user aku kenakan dan syal cashmer 50
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
cokelat tua, aku bebatkan di leher. Oke, semua beres. Tanganku segera bergerak melipat layar Apple Powerbook-ku yang berwarna perak. Ping... bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Layar berbahan titanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan monitor. Dari seorang bernama “Batutah”. Tapi aku tidak kenal seorang “Batutah” pun. “maaf ini alif dari pm” Jariku cepat menekan tuts “betul ini siapa ya?” Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi. “alif anggota pasukan sahibul menara?” Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard. “benar ini siapa sih?” balasku mulai tidak sabar. “menara keempat, ingat gak?” Sekali lagi aku eja lambat-lambat... me-na-ra- ke-em-pat... tidak salah baca. Jantungku seperti ditabuh cepat. Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali. Aku bergegas menghentak-hentakan jari. (Negeri Lima Menara hal. 1-3)
Alif teringat dengan masa lalunya, masa ketika ia lulus SMP dan ingin melanjutkan ke SMA di Bukittinggi. Namun, impiannya kandas karena orang tuanya lebih menginginkan Alif untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren. Alur cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Aku sebagai seorang anak SMP yang bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh Aku berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di ITB. “Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama— SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.” (Negeri Lima commit to user Menara hal. 5)
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumtance) Tahap ini merupakan tahap awal pemunculan konflik dan konflik ini yang
akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahapan berikutnya. Konflik mulai muncul ketika keinginan tokoh Alif itu tidak sejalan dengan keinginan ibunya. Ibunya menginginkan tokoh Alif menjadi ulama besar seperti Buya Hamka. Sementara tokoh Aku bercita-cita ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi, seperti Habibie. “Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.” “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkis Alif. “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” Kata Amak. “Tapi aku tidak ingin ... ” “Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” “Tapi aku tidak mau.” Kata Alif. (Negeri Lima Menara hal. 8-9)
Takut disebut sebagai anak durhaka, dengan setengah hati tokoh Aku mengikuti keinginan ibunya. Tokoh Aku selanjutnya melanjutkan pendidikan ke Pondok Madani, sebuah pesantren yang berada di pelosok Jawa Timur. Selanjutnya, pemunculan konflik terjadi saat Alif membaca surat dari sahabat lamanya Randai. “Aku baca suratnya sekali lagi. Senang mendapat surat dari kawan lama dan melihat kebahagiaannya masuk sekolah baru. Tapi aku juga iri dan commit to user 52
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bercampur sedih. Rencana masuk SMA-nya juga rencanaku dulu. Ketika Randai senang dengan maprasnya, aku malah kalut dijewer dan menjadi jasus. Dia bebas di luar jam sekolah, aku di sini didikte oleh bunyi lonceng. Dia akan mengejar mimpinya menjadi insinyur yang membangun pesawat atau proyek seperti PLTA Maninjau. Sementara aku di sini, mungkin menjadi ustad dan guru ngaji.” ( Negeri Lima Menara, hal. 102103)
Tokoh utama, Alif mulai mengalami kegalauan ketika semakin sering membaca surat yang dikirimkan Randai,
hal ini yang memunculkan konflik
dalam batin tokoh. Kegalauan tersebut seperti diceritakan dalam kutipan di bawah ini; “Bagaimana pun aku semakin menikmati pengalaman baru di PM, tetap saja ada yang masih sering hilang timbul dan kerap mengganggu pikiranku: kandasnya cita-cita masuk SMA. Surat-surat Randai yang terus dating dan bercerita tentang SMA-nya bagai meniup api dalam sekam.” (Negeri Lima Menara, hal.157) “Sementara potongan Koran Haluan yang dikirimnya berisi berita kemenangan Randai dalam lomba deklamasi antar SMA. Dia menyabet juara dua dan menerima trofi dari Walikota Bukittinggi. Bibirku tersenyum. Seberat hawa panas menjalar di dadaku.” “Aku tidak tahu bagaimana sebaiknya. Setiap aku membaca suratnya, aku hampir selalu merasa iri mendengar dia mendapatkan semua yang dia mau. Padahal ustadku jelas mengajarkan tidak boleh iri. Tapi kalau aku tidak membaca suratnya, aku tahu aku sangat penasaran mengetahui kabarnya. Mungkin jauh di lubuk hatiku, aku selalu berharap bisa mengungguli dia.” (Negeri Lima Menara, hal.205)
Selanjutnya dari konflik-konflik yang muncul tersebut berkembang menjadi konflik dengan intensitas baik tokoh yang terlibat maupun besaran dari konflik tersebut. c.
Tahap Peningkatan Konflik (Resing Action) Konflik
yang
telah
muncul
pada
tahap
sebelumnya
semakin
commit to user dikembangkan kadar intensitas pemunculannya. Setiap tokoh kejadian mampu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menumbuhkan masalah-masalah baru yang muncul dari situasiorisinil yang disajikan dalam cerita. Selama di pondok, sebenarnya banyak hal yang dapat diraih oleh tokoh Alif mulai dari kemampuan berbahasa Inggris dan Arab hingga kemampuan dalam bidang jurnalsitik. Namun selama di pondok ini pula, Alif sering mengalami konflik batin. Ia masih sering membayangkan cita-citanya dulu yang ingin melanjutkan ke SMA. Apalagi ketika Randai, temannya dulu sering mengirim surat dan menceritakan bagaimana suka hatinya masuk SMA. “Dan sekam yang tidak pernah pudar dalam 3 tahun ini akhirnya meletikletik dan menyala menjadi api. Ada iri yang meronta-ronta di dadaku. Semua yang didapat Randai adalah mimpiku juga. Mahasiswa ITB dan bercita-cita jadi Habibie. Kini kawanku mendapatkan semuanya kontan. Sedangkan aku masih harus mengangsur 1 tahun lagi sebagai murid kelas 6 di PM.” “Batinku perang. Dari sepucuk surat, kegelisahan di pedalaman hati ini menjalar ke permukaan dan cepat mempengaruhi semesta pikiranku.” (Negeri Lima Menara , hal.311) “Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaimana kalau aku keluar dari PM, sekarang juga? Agar aku bisa mengejar mimpi seperti Randai. Menjadi mahasiswa dan bukan di jalur pelajaran agama. Tapi artinya aku akan jadi orang yang kalah, karena pulang ketika perang belum selesai.” (Negeri Lima Menara , hal.313) Selanjutnya konflik batin semakin meruncing ketika Alif semakin sering membaca surat yang dikirimkan oleh Randai. “Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaimana kalau aku keluar dari PM, sekarang juga? Agar aku bisa mengejar mimpi seperti Randai. Menjadi mahasiswa dan bukan di jalur pelajaran agama. Tapi artinya aku akan jadi orang yang kalah, karena pulang ketika perang belum selesai.” (Negeri Lima Menara, hal.313)
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
d.
55 digilib.uns.ac.id
Tahap Klimaks Konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi diperlihatkan tokoh
dalam cerita mencapai intensitas puncak. Tahap ini merupakan pertemuan dari kekuatan dan penentu yang saling bertentangan dan diimbangi dengan menemukan jalan keluar, kemudian dilanjutkan oleh puncak peranan dari tokoh yang melanjutkan cerita. Klimaks dalam cerita ini adalah ketika tokoh Aku dihadapkan pada pertentangan antara tetap di pondok atau keluar dari pondok. Surat-surat dari Randai, temannya yang mengabarkan bahwa dia sudah bisa kuliah di ITB rupanya telah berhasil mempengaruhi tokoh Aku untuk keluar dari pondok. Motivasi tokoh Aku untuk keluar dari pondok adalah keinginannya untuk bisa kuliah di ITB pada tahun itu juga. Lama ia berada dalam kebingungan antara menyelesaikan pendidikan di pondok yang tinggal sebentar lagi atau keluar dari pondok untuk meraih cita-citanya yang tertunda. Klimaks dalam Negeri Lima Menara dapat ditemukan dalam kutipan berikut; “Aku menarik napas panjang dan berat setelah membaca surat ini. Aku bisa merasakan kalau Amak menulis surat ini dengan air mata. Aku tergugah, tapi sekaligus bingung.” “Semangatku masuk kelas tiba-tiba hilang. Dengan suara yang diserakserakkan aku menghadap ke wali kelasku Ustad Mubarak untuk minta tashrih, surat sakit. Sesungguhnya tidak ada yang sakit dengan badan fisikku. Selama tiga hari aku hanya bergolek-golek saja di kamar. Tamarrad. Pura-pura sakit.” “Begitu bel masuk kelas berdentang, tinggallah aku sendiri terbaring malas di kamar. Sunyi. Sambil menatap langit-langit kamar yang dikapur putih, mereka-reka apa yang akan disampaikan Ayah. Posisiku semakin jelas, aku ingin keluar secepatnya, mengikuti ujian persamaan, dan segera mendaftar tes perguruan tinggi. Kalau Ayah memaksaku menyelesaikan PM, artinya aku tidak bisa kuliahto tahun commit user ini, dan harus sabar menunggu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
setahun lagi. Tapi aku tidak mau bersabar setahun lagi. Aku akan tertinggal dua tahun dari Randai. Mungkin aku bisa memberontak kepada Ayah dan bilang bahwa anaknya juga punya keinginan sendiri.” ( Negeri Lima Menara, hal. 372) Dorongan untuk keluar dari pondok semakin memuncak ketika temannya, Baso memutuskan untuk keluar dari Pondok Madani dengan alasan mau merawat neneknya yang sedang sakit dan ingin menyelesaikan wasiat orang tuanya supaya bisa tamat Al-Quran. Itulah yang kami rasakan saat Baso Ruju’ ala dawam. Pulang untuk selamanya. Duduk di bawah menara, kami lebih banyak diam dan termenung. Hanya helaan-helaan napas berat yang dikeluarkan lewat mulut yang terdengar. Aku merasa kami semua baru sadar betapa sakitnya kehilangan teman. Kami bagai rahang yang kehilangan sebuah gigi geraham. Rasanya Baso masih ada di sini, tapi dia tak ada. Hanya ada sebuah sudut berlubang di bawah menara ini dan di pedalaman hati kami. (Negeri Lima Menara, hal. 368). Klimaks juga terdapat pada cerita mengenai pendidikan yang didapatkan tokoh utama akan berakhir setelah empat tahun belajar di Pondok Madani. Selanjutnya semua siswa Pondok Madani akan menempuh ujian akhir yang akan menentukan lulus tidaknya mereka. Untuk menghadapi ujian akhir tersebut, mereka belajar dengan tekun, semua anggota Sahibul Menara juga belajar dengan giat. Hal tersebut tercermin dalam kutipan di bawah ini; Sejak malam itu, kami bolak balik membawa berbagai barang mulai buku sampai kasur ke rumah baru kami yang luas; aula. Gedung ini telah memainkan peran penting dalam kehidupan kami. Mulai dari menjadi tempat acara pekan perkenalan PM tiga tahun lalu, panggung lomba pidato, saksi kekalahan Icuk Sugiarto, tempat kami menerima tamu-tamu penting sampai menjadi saksi sejarah kehebatan aksi panggung kami di Class Six Show. Kali ini, aula mendapat julukan baru; Kamp Konsentrasi. Aku mendapat kelompok belajar dengan lima orang teman dari kelas lain. Kami diberi kavling tempat di sudut barat aula. Di kavling inilah kami akan menghabiskan waktu sebulan kedepan. Buku-buku sampai kasur lipat kami boyong ke kavling yang ditandai dengan meja-meja belajar yang disusun membentuk commit segi empat. Lantai kosong ditengah segi empat to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
itu menjadi ruang tidur kami. Setiap kelompok didampingi oleh seorang ustad pembimbing yang selalu menyediakan waktu jika kami betanya tentang pelajaran apa saja yang belum kami mengerti. Dan ustad ini juga memastikan kami hadir di kamp inidan memberikan motivasi kalau diperlukan. Pembimbing kelompok kami ternyata Ustad Nawawi, sang tukang setrum. (Negeri Lima Menara, hal. :379-380)
e.
Tahap Penyelesaian Akhirnya, setelah mendapat dorongan dari ayahnya, tokoh Aku memilih
untuk menyelesaikan dulu sekolahnya di Pondok Madani. ”Aku tidak tahu apa yang membuat perlawananku runtuh dengan mudah. Apakah karena hatiku perang dan tidak ada pemenang yang sesungguhnya antara tetap tinggal di PM atau keluar? Toh di tengah segala galau aku juga menemukan dunia yang menyenangkan di PM? Ataukah kekuatan diplomasi durian Ayah yang membuatku lemah? Atau pengorbanan beliau melintas Sumatera dan Jawa, hanya untuk memastikan aku tetap tingggal di PM. Atau karena mendengar akan ada ujian persamaan dalam 8 bulan? Atau semuanya? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, mulai detik itu, di meja kantin itu, di depan Ayah, aku berjanji: aku harus menamatkan PM.” (hal. 376)
Akhir dari cerita ini adalah kebahagiaan yang diraih oleh para Sahibul Menara, keenam tokoh dalam cerita ini yang telah dapat meraih cita-cita yang dulu mereka angan-angankan. “Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang tidak yakin dengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk benua Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kun commit to user fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (hal. 405) Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui bahwa alur dalam novel ini adalah campuran. Awal cerita dimulai ketika tokoh Aku berada di Washington DC, Amerika Serikat sebagai seorang wartawan. Selanjutnya, cerita berbalik ke masa kecil tokoh Aku, masa ketika tokoh Aku mulai memimpikan cita-citanya. Alur cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Aku sebagai seorang anak SMP yang bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh Aku berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di ITB. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam novel tersebut, yaitu menceritakan masa sekarang kemudian kembali ke masa lalu dan kembali lagi ke masa sekarang. 4.
Tema Dalam cerita ini, gagasan dasarnya adalah mengenai kesungguhan dalam
meraih cita-cita. Keenam tokoh dalam cerita ini, yaitu Alif Fikri, Radja, Baso, Atang, Said, dan Dulmajid adalah para tokoh yang memiliki cita-cita tinggi. Alif Fikri sebagai tokoh utama dalam cerita ini bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Berbagai hambatan dan rintangan ia jalani. Bermula ketika dia lulus dari SMP, dia ingin melanjutkan pendidikannya ke SMA.
“Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri.” commit (Negeri to Lima userMenara hal. 8) 58
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun apa mau dikata, keinginannya tidak sejalan dengan kemauan ibunya. Ibunya menginginkan dia seperti Buya Hamka, seorang ulama besar yang terkenal. Dengan setengah hati, ia mengikuti kemauan ibunya. Ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Madani, sebuah pondok yang terletak di pelosok Jawa Timur. Walaupun awalnya dengan setengah hati, tapi pada akhirnya dia dapat mengikuti pendidikan di pondok ini dengan senang hati. Di pondok ini, ia terpesona dengan pepatah Arab man jadda wajada, siapa yang sungguh-sungguh pasti akan berhasil. Di pondok ini pula ia menggantungkan cita-citanya.
“Aku sendiri sangat penasaran dengan negara yang bernama Amerika Serikat itu. Katanya penuh orang Yahudi dan orang tidak beriman, tapi kok bisa ada masjid dan muslim di sana. Suatu ketika, kalau Tuhan berkehendak, aku akan melihatnya langsung. Duh, Tuhan Yang Maha Mendengar, aku yakin Engkau mendengar suara hatiku. Bolehkah aku ke sana?” (Negeri Lima Menara, hal. 177)
“Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan ini menjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika. Mungkin aku terpengaruh Ustad Salman yang bercerita panjang lebar bagaimana orang kulit putih Amerika sebagai sebuah tokoh remaja berhasil meloloskan diri dari kekhilafan sejarah Eropa dan membuat dunia yang baru. Yang lebih baik dari tokoh remaja asal mereka sendiri.” (Negeri Lima Menara, hal. 207)
Di pondok ini pulalah, ia berkenalan dengan lima orang sahabatnya yang kemudian mereka sebut sebagai Sahibul Menara. Ternyata mereka sama-sama memiliki cita-cita yang tinggi. Di bawah menara Pondok Madani, mereka memimpikan cita-cita mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Aku sama sekali tidak melihat Amerika. Malah menurutku lebih mirip benua Eropa. Tuh, kan…” tukas Raja. (Negeri Lima Menara, hal. 208)
“Atang dan Baso merasa awan-awan itu bergerumbul membentuk kontinen Asia dan Afrika. Sejak membaca buku tentang peradaban Mesir dan Timur Tengah, keduanya tergila-gila kepada budaya wilayah ini.” (Negeri Lima Menara, hal. 209)
Sahibul Menara akhirnya dapat meraih cita-cita mereka yang tersebar di lima negara dengan beragam benua.
”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang tidak yakin dengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk benua Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (Negeri Lima Menara, hal. 405)
Berdasarkan uraian di atas, tema novel Negeri Lima Menara berada pada tingkat egoik dan sosial. Sejalan dengan pendapat Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2002: 80) bahwa tema tingkat sosial bermakna tentang manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
objek pencarian tema. Penulis mendeskripsikan interaksi antartokoh dengan segala permasalahan dan konflik yang melingkupinya. Tema yang mendasari novel Negeri Lima Menara berada pada dimensi tingkat egoik dan tingkat sosial. Tema tingkat sosial menguraikan kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Alif dan Sahibul Menara berinteraksi dalam kehidupan pesantren dengan segala masalah dan konflik yang muncul. Hal tersebut menjadi dasar pencarian tema novel Negeri Lima Menara. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa ”menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Itulah yang disebut dengan tema egoik. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Tema tingkat egoik memposisikan manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa ”menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Tokoh Alif dan yang lainnya harus menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ditemukannya dalam kehidupan pesantren. Dalam usia yang relatif muda atau dikategorikan remaja, Sahibul Menara mampu membentuk pola pikir, pola sikap, commit to user dan pola tindak dengan kematangan psikologis berbasis Al-Quran dan As-Sunah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.
Lingkungan Sosial Pengarang
Menjadi hebat dengan popularitas sebagai pengarang, bukanlah hal yang secara tiba-tiba diperoleh Ahmad Fuadi, penulis novel best seller Negeri Lima Menara dan juga sudah di filmkan. Tanpa disadari, dunia kepenulisan itu sudah tertanam secara perlahan sejak kanak-kanak melalui kebiasaan ibunya. Fuadi terlahir di Maninjau, 30 Desember 1972. Dari tiga orang bersaudara, ia tertua laki-laki, sementara dua adiknya perempuan, tentulah Fuadi yang sangat diharapkan ibunya masuk sekolah agama. Ibunya sangat ingin anak laki satusatunya itu menjadi seorang ustadz. Masa kecilnya, hingga usia 4 tahun, banyak dihabiskan di Salingka Danau Maninjau. Setelah itu, ibunya pindah ke Manggopoh karena diangkat menjadi guru di SD Manggopoh. Fuadi mengikuti ibunya, sekolah disana hanya sampai kelas I SD. Kemudian ia berpindah beberapa kali karena mengikuti ibunya yang juga pindah mengajar. Setelah SD I Manggopoh, Fuadi masuk di SD Koto Baru, kemudian Maninjau Balai Akad, sampai kelas 6. Belum sempat ujian akhir, ibunya pindah lagi ke Padang Lua, iapun turut pindah, mengenyam bangku sekolah SD I Padang Lua. Tamat SD, Fuadi melanjutkan ke MTs Padangpanjang. Fuadi beruntung, meski berasal dari keluarga sederhana, dimana ibunya Suhasni, adalah guru SD, ayahnya M.Faried Sulthani mengajar di Madrasah, tetapi keluarga besar mereka sangat gemar membaca. Ayah dan ibunya terbiasa memberi hadiah buku. Sementara kakeknya Buya Sutan Mansur memiliki pesantren kecil dengan ruangan khusus berisi buku-buku. Fuadi diberi kebebasan membaca buku di sana. Dalam perjalanannya , ia kemudian menyukai buku-buku commit to user
62
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karya Karl May, Enid Blyton, serta serial album ceita ternama. Semuanya menanamkan banyak latar belakang cerita yang ia kembangkan hingga sekarang. Ketika SD, setiap hari Fuadi kecil menyaksikan Amak (panggilan untuk ibunya) menulis buku harian, lengkap dengan daftar belanjaan dan hutang piutang. Melihat itu, ia berpikir, mungkin menarik juga kalau dilakukan. Makanya kemudian ia mulai menulis diari, mengikuti kebiasaan sang Amak. Ternyata ketika di perguruan tinggi, Hubungan Internasional Universitas Pajajaran bandung, kegemaran itu terus berlanjut, bergabung dengan majalah kampus, Saat yang bersamaan, ia juga harus menulis untuk biaya kuliah karena ayahnya meninggal. Dalam semester dua kuliah, tahun 1993 itulah ia menulis untuk mencari uang supaya bisa membiayai kuliah, membayar uang kos dan membelanjai kebutuhan sehari-hari. Mulailah ia menulis opini di berbagai koran, diantaranya Republika, Pikiran Rakyat, bahkan menulis di harian Singgalang. Tamat kuliah, iapun bergabung dengan Tempo menjadi wartawan, tahun 1998. Sayangnya, tengah asyiknya menikmati dunia kewartawanan itu, hanya setahun, Fuadi memperoleh beasiswa Fulbright ke Amerika untuk kuliah S2 di School of Media and Publik Affairs, George Washington University. Iapun mengambil cuti dari Tempo, tapi tetap bertugas sebagai koresponden di Amerika selama 3 tahun. Dari sana ia tetap membuat reportase khusus dan melaporkan sejumlah peristiwa penting untuk Tempo. Paling fenomenal adalah peristiwa 11 September 2001, runtuhnya gedung WTC dari Pentagon, White House dan Capitol Hill . commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor.
C.
Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara
Latar sosial dalam novel Negeri Lima Menara ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan belajar yang kondusif, dan keikhlasan yang selalu dipertontonkan di setiap sudut Pondok Madani. Para murid bukan hanya mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam berjuang mewujudkan cita-cita. Secara tidak langsung kolaborasi latar ini mewujudkan suatu gambaran yang indah tentang Pondok Madani yang selama ini digambarkan ekstrem dan kuno, serta jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan. Pengarang memilih latar tersebut didasari kepentingan atas tema, alur, dan penokohan. Latar atau setting pada karya sasta Novel Negeri Lima Menara ini termasuk realitas objektif yaitu benar – benar dialami oleh pengarang dan pembaca mengetahui latar tempatnya. Di samping itu dengan mengetahui latar, pembaca mempunyai persepsi tentang peristiwa, walaupun pada akhirnya persepsi itu akan dibuyarkan oleh tindakan tokoh. Novel ini diawali dengan latar sosial, yang membuat tokoh utama “Alif” terpaksa menerima tawaran amaknya untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah commit to user pondok pesantren modern yang berada di pulau Jawa. Alif langsung dihadapkan 64
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
oleh pilihan Amak-nya yang sejak dahulu memimpikan bahwa jika anaknya lakilaki maka ia berniat akan menjadikan anaknya sebagai pemimpin agama. “Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata amak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8)
Harapan Amak ini juga dapat dilihat dalam kutipan novel berikut, Setiap orang selalu dipengauhi oleh lingkungan, baik bacaan, keadaan sosial masyarakat, tokoh idola, dan teman. Kali ini mimpi ibunya adalah hal yang wajar karena mengingat daerah padang yang cukup kental dengan agama. Apalagi didukung oleh tokoh idola masyarakat indonesia yang menguasai hingga 6 bahasa asing dan mendapat gelar dari Universitas AlAzhar tanpa mengikuti kelas reguler, ia adalah sang pembelajar yaitu Buya Hamka.( Negeri Lima Menara hal: 371)
Pembaca langsung dihadapkan dengan konflik batin antara Alif dan amaknya dalam mewujudkan sebuah impian. Antara kepatuhan terhadap orang tua atau bersikeras dalam mewujudkan impian. Hal ini tentu dapat terjadi dalam kehidupan anak-anak lainnya. Di satu sisi, pendidikan modern menganjurkan agar orang tua sebaiknya hanya menggiring anaknya untuk memaksimalkan potensi mereka, yang akhirnya anaklah yang memutuskan ingin masuk ke jurusan apa ia nanti. Akan tetapi, di satu sisi, seorang anak harus mendapatkan ridho dari Allah dan orang tuanya agar selamat dan diberi kemudahan dalam meraih cita-citanya. Suasana batin Alif ini digambarkan dalam kutipan dibawah ini, “ bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang paling tepat? Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing? Bagaimana kalu pondok itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaran commit user itu salah? Pertanyaan demi pondok madani dari Pak Etekto Gindo
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat kepalaku.” (Negeri Lima Menara, hal:16-17) Perasaan Alif ini adalah hal yang wajar untuk ukuran seusianya. Digambarkan bahwa dari kecil ia sama sekali tidak pernah keluar dari kampung bahkan bersalaman dengan orang selain orang padang pun belum pernah. Latar sosial inilah menggiring alur cerita bergerak, dari Maninjau ke pulau Jawa Timur tepatnya di Pondok Madani. Konflik yang selama ini terjadi antara amak dan alif diselesaikan dengan bergeraknya alur cerita novel ini. Alur merupakan pola pengembangan cerita
yang terbentuk oleh hubungan sebab
akibat. Sebabnya berasal dari impian amak untuk menjadikan Alif sebagai pemimpin agama dan akibatnya Alif sekarang tiba di Pondok Madani. Ini adalah salah satu bukti bahwa latar sangat penting dan mampu mempengaruhi unsurunsur intinsik sebuah karya sastra. Terbukti dengan bergeraknya alur dari maninjau ke Pondok Madani. Penulis sangat ahli menggiring alur ke luar dengan mengawali latar sosial berupa konflik antar tokoh. Antara harapan dan cita-cita. Setelah mengawali cerita dengan latar sosial, maka novel ini mulai menggambarkan latar tempat, alam sekitar PM dengan sedikit kolaborasi yang proporsional dengan latar waktu dan latar sosial. “Jalan desa yang berdebu tiba-tiba melebar dan membentangkan pemandangan lapangan rumput hijau yang luas. Disekitarnya tampak pohon-pohon hijau yang luas. Disekitarnya tampak pohon-pohon hijau rindang dan pucuk-pucuk kelapa yang mencuat dan menari-nari dihembus angin. Di sebelah lapangan tampak sebuah komplek gedung bertingkat yang megah. Sebuah kubah besar bewarna gading mendominasi langit, didampingi sebuah menara yang tinggi menjulang. Di tengah kabut pagi, komplek ini seperti mengapung di udara” (Negeri Lima Menara, hal: 29) commit to user
66
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pondok Madani memiliki luas 15 hektar (Negeri Lima Menara, hal.:30) Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia yang mandiri yang tangguh. Kegiatan pembelajaran diadakan di kelas, lapangan, masjid, dan tempat lainnya. Lalu Burhan salah satu tokoh dalam novel ini menunjukkan gedung utama, pertama Masjid Jami’ dua tingkat yang berkapasitas empat ribu orang dan kedua aula serba guna, tempat kegiatan penting berlangsung. Mulai dari pargelaran teater, musik, diskusi ilmiah, ucapan selamat datang pada siswa baru dan penyambutan tamu kehormatan. Latar tempat itulah yang akan berinteraksi dengan para tokoh sehingga membentuk karakter tokoh. Pemaparan latar tempat ini menunjukkan betapa modernnya sebuah pondok. Bahkan mengalahkan sekolah umum. Hal ini tentu sangat menakjubkan. Dan ini bisa menjadi kelebihan Pondok Madani dibanding dengan sekolah umum lainnya. Latar tempat berupa fasilitas yang lengkap inilah salah satu pemicu berkembangnya kreativitas para santri. Bukan hanya latar tempat yang mempengaruhi karakter para tokoh, akan tetapi latar sosiallah yang berperan penting dalam pembentukan mental para tokoh. Novel ini juga menggambarkan penerapan pendidikan yang holistik. Tidak ada pemisahan antara teori dan praktek. “Pendidikan Pondok Madani tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana,” jelas Burhan lancar. (Negeri Lima Menara, hal:35)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Novel ini secara tidak langsung menyinggung pola penerapan pendidikan bangsa ini yang cendeung memisahkan antara pelajaran agama dan non agama. Sehingga ada dikotomi yang cukup serius. Terbukti ketika guru biologi mengajarkan sebuah teori hanya sedikit yang mengkaitkannya dengan kebesaran Allah dan menjadikan Al-qur’an sebagai referensi. Sehingga wajar, jika cahaya agama tidak merasuk ke dalam generasi muda saat ini. Karena sekolah-sekolah bahkan universitas hanya membicarakan teori atau baru sebatas transfer knowleadge. Bukan pemindahan budaya dan pemahaman tentang kesadaran beragama. Hari pertama masuk sekolah setiap murid di Pondok Madani hanya diberi satu kalimat motivasi yang di ambil dari pepatah arab yaitu “man jadda wajada” yang
artinya
barang
siapa
yang
besungguh-sungguh
maka
ia
akan
mendapatkannya. “MAN JADDA WAJADA” Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus terancung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilatkilat menerkam kami satu-persatu. (Negeri Lima Menara hal. : 40)
Pelajaran yang dapat dipetik adalah pendidikan harus memberikan ruh kepada siswa agar mereka dapat melakukan akselerasi dalam menempuh pendidikannya. Menanamkan motivasi dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan impian. Di Pondok Madani, mereka tidak hanya diajarkan dengan kata-kata belaka, tetapi mereka selalu dipertotonkan dengan aksi nyata oleh para ustadz yang mengajar di sana. commit to user
68
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Latar di dalam novel Negeri Lima Menara ini merupakan kolaborasi antara latar waktu, latar sosial dan latar tempat karena para tokoh dominan berada di lingkungan pondok pesantren. Latar tempat inilah yang kemudian menimbulkan latar psikologis, yaitu berupa budaya disiplin, keseriusan dan kesungguhan inilah yang membentuk karakter para tokoh. . Kekuatan latar dalam sebuah peristiwa fiksi, juga dapat memperkuat karakter tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang hidup dalam kultur Melayu, berbeda ke-khasannya dengan budaya Minang, Batak, Jawa, dll. “Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangat menikmati belajar dan selalu ingin belajar berbagai macam ilmu. Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi aneh. Belajar keras adalah gaya hidup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itu cukup sulit menjadi pemalas di PM. (Negeri Lima Menara, hal:264)“ Kutipan latar sosial di atas adalah bukti, bahwa suatu latar mampu menciptakan seseorang yang awalnya malas menjadi rajin, itu semua karena hukum benar-benar di tegakkan. Mereka selalu dipertontonkan dengan keikhlasan, keteladan, dan semangat dalam meraih cita-cita. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan dibawah ini “Belum pernah dalam hidupku melihat oang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di suatu tempat. di PM orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang lebih tinggi.” (Negeri Lima Menara hal:200) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ini adalah bukti bahwa latar sosial memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi unsur-unsur intrinsik yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penulis sangat mahir dalam menceitakan dan mengatur tata letak latar sehingga mampu membangkitkan semangat para tokoh. Jika ada yang berbicara bahwa, tema novel ini adalah pendidikan. Ini dapat dibenarkan karena latar yang ada di dalam novel ini adalah pondok pesantren, yang di dalamnya terjadi kegiatan belajar mengajar. Setelah mengamati secara mendalam ternyata Negeri Lima Menara membicarakan tentang semangat tokoh, meraih impian dalam keterbatasan. Dalam novel Negeri Lima Menara keterbatasan itu digambarkan.dalam kutipan novel sebagai berikut “PM memang tidak dalam jalur PLN karena terisolir dari keramaian......karena itu, kalau mau sahirul lail yang terang, perlu membeli lampu semprong.”(Negeri Lima Menara, hal:198)
Novel Negeri Lima Menara. lebih banyak bercerita tentang latar sosial Pondok Madani, berupa aturan yang sangat ketat, disiplin, dan konsep belajar yang sedikit dipaksakan. Akhirnya mampu menciptakan tokoh yang kompeten di bidangnya. Di satu sisi ini bukanlah kekurangan karena penulis saat ini mempunyai cara pandang yang beda terhadap realitas yang ada. Saat ini, ada kecendrungan bahwa santri kebingungan dalam mencari pilihan hidupnya, sehingga banyak yang harus diarahkan orang tuanya. Dapat disimpulkan, Novel ini sedikit menyiratkan bagaimana sikap yang harus diambil oleh seorang anak ketika mendapatkan situasi dan kondisi seperti Alif. Pada akhirnya, novel ini commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
akhirnya dapat memberikan cara pandang yang luas kepada para pembaca, menambah kazanah pengetahuan dalam bersikap. Latar sosial ini juga menciptakan karakter tokoh yang tangguh dan berani bermimpi, contoh: latar tempat yang terbatas membuat mereka terbiasa mendengar berita dari VOA (Voice of America), artinya latar atau suasana belajar, keadaan di dalam novel itu secara langsung mempengaruhi dan membentuk karakter Alif misalnya suka bermimpi. Jika kita berlanjut, untuk memahami amanat di dalam novel ini, pembaca juga akan menemukan ternyata latar belakang seseorang yang notabene lulusan lulusan pesantren ternyata mampu meraih mimpinya ke benua Amerika. Amanat novel ini juga memecahkan persepsi masyarakat terhadap anak-anak yang sekolah di lingkungan Pesantren. Latar tempat berupa pesantren berhubungan dengan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang bahwa pendidikan di pondok bukanlah tempat yang dapat menghambat generasi muda dalam meraih mimpinya. Latar dalam novel ini mampu menyampaikan amanat kepada pembaca bahwa sebuah pesantren bukanlah sarang teroris, pesantren bukanlah tempat yang memberikan doktrin-doktrin ilmu, tanpa membuat /membentuk anak untuk berpikir kritis dan imajinatif. Hal itu dapat terlihat dalam “pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehingga bisa mengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus.” (Negeri Lima Menara, hal:161)
Pernyataan ini merupakan bukti bahwa pesantren memberikan kebebasan kepada santrinya berkreasi. Selain itu, penulis commit to userjuga ingin menyampaikan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekolah di Pondok bukanlah suatu halangan untuk meraih cita-cita. Dan Pondok Madani terbukti mampu menciptakan pribadi-pribadi yang tangguh. Lingkungan ini hanya ada di pondok. Kemandirian dan kreativitas adalah modal awal dalam menghadapi tantangan zaman ke depan. Latar sosial di dalam Negeri Lima Menara mampu memenuhi harapan itu semua. Latar sosial berupa aturan yang super ketat dan disiplin ternyata terbukti mampu menciptakan keyakian pada setiap santri bahwa hidup harus di hadapi dengan sungguh-sungguh. Suasana disiplin itu dapat dilihat dari cerita pada surat yang Alif kirimkan kepada ibunya yang diceritakan pada halaman 144 hingga 146, mulai dari pukul 04.00 – 22.00, mereka melakukan hal-hal yang positif walaupun awalnya suasana ini menggusarkan perasaan para tokoh-tokoh di Pondok Madani “Hei, nanti dulu, kalian tetap dihukum. Di PM tidak ada kesalahan yang berlangsung tanpa dapat ganjaran?” hardik si Tyson” (Negeri Lima Menara hal.:67).
Kedisplinan tercermin dari cerita Alif dan teman-temannya yang terlambat menuju masjid dan mendapatkan hukuman walaupun baru dua hari mereka menjadi siswa Pondok Madani. “kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit 1 menit, atau 1 jam, terlambat adalah terlambat ini pelanggaran”. (Negeri Lima Menara hal.:66).
Baru dua hari mereka berada di Pondok Madani, hukum langsung diberlakukan. Artinya pendidikan di pondok tidak bertoleransi terhadap commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
kecenderungan, kelalaian santri. Sangat berbeda dengan pendidikan konvensional di sekolah-sekolah umum yang serba memperbolehkan bahkan memarahi anak murid. Kondisi sosial inilah yang kemudian menciptakan karakter tokoh yang pantang menyerah. Membentuk pribadi yang mandiri. Salah satu bukti yang menunjukkan pendidikan di pondok adalah berdasarkan pernyataan Kiai Rais “pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehingga mengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus (Negeri Lima Menara hal:161,). Ini menunjukkan latar sosial yang sangat toleran dan demokratis. Budaya inilah yang menciptakan pribadi-pribadi yang berani untuk berkreativitas bermimpi tidak ada paksaan ketika lulus harus menjadi ustadz. Yang tepatnya harus dilakukan adalah menyebarkan kebaikan dan memanfaatkan ilmu untuk kemasyarakatan orang banyak. D.
Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara Dari pengkajian unsur intrinsik ini akan dapat menemukan tokoh
problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang. Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Tokoh problematik dalam novel Negeri Lima Menara adalah tokoh yang bernama Alif Fikri. Alif ditentukan sebagai tokoh problematik karena Alif merupakan tokoh yang mempunyai commit masalah to user paling banyak dalam cerita
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah inilah pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya. Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi: a.
Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan pengarang.
b.
Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan pengarang dalam ciptaannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia
terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkannya. commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Dalam kisah ini tokoh utama yaitu Alif Fikri, adalah seorang anak lakilaki yang bercita-cita setelah lulus dari Madrasah Sanawiyah (setingkat SMP) ingin melanjutkan sekolahnya ke SMA guna menggapai cita-cita menjadi seperti Habibie. Keinginan tersebut terhalang oleh keinginan orang tua (dalam hal ini diwakili Amak) yang menginginkan anaknya memiliki bekal agama yang kuat dan ingin menyekolahkan Alif Fikri ke Pondok Pesantren Madani di Jawa. Problematika tersebut digambarkan dalam kutipan berikut; ”Bagiku , tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama.Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8) “Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata amak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8) Berdasarkan kutipan novel diatas, pengarang menciptakan problematika dalam novel sesuai dengan apa yang pengarang alami sendiri, hal ini dibuktikan dengan jawaban pengarang ketika ditanya oleh Andi F Noya dalam sebuah acara bincang-bincang. Pengarang menerangkan alasannya masuk pondok pesantren dan ihwal penulisan novel Negeri Lima Menara ini. Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara tersebut; Andy F Noya : “Fuadi bisa cerita? Ini buku tentang apa sih?” Ahmad Fuadi : “Ini adalah sebuah kenangan, bang. Bahwa saya itu awalnya masuk pesantren itu dipaksa sama ibu saya, kemudian setelah berjalan bertahun-tahun dan setelah tamat malah berpikir, betapa beruntungnya saya dikirim ke pesantren, sangat inspiratif, membuat saya punya pegangan dalam hidup, dan saya pikir kalau ini hanya saya simpan sendiri kayaknya mubadzir, kenapa tidak dituliskan? mudah-mudahan orang lain terinspirasi.” (Kick Andy, lampiran) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini menandakan bahwa cerita Negeri Lima Menara awalnya berdasarkan atau terinspirasi dari pengalaman pengarang sendiri, pengalamanpengalaman pribadi tersebut diceritakan kembali dalam bentuk novel atau fiksi yang sudah mengalami pengembangan dalam proses penciptaannya. Hal ini dapat diketahui dari struktur sosial yang ada di dalam novel tersebut ternyata mirip dengan struktur sosial asli yang dimiliki penulis atau pengarang Negeri Lima Menara. Struktur tersebut salah satunya adalah lingkungan sosial pondok pesantren dalam novel adalah gambaran lingkungan pondok pesantren modern Gontor Ponorogo tempat di mana pengarang mengeyam pendidikannya. Selain lingkungan, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita tersebut juga terinspirasi dari tokoh dalam kehidupan nyata pengarang, tokoh tersebut diwakili oleh Amak, Sahibul Menara yaitu Baso, Dulmajid, Atang, Raja Said dan Alif. Beberapa tokoh-tokoh tersebut sempat dihadirkan oleh Andy F Noya dalam acara Kick Andy, hal ini membuktikan bahwa pengarang memiliki inspirasi berdasarkan kenyataan yang penulis alami sendiri dalam penciptaan karyanya. Masing-masing tokoh dalam cerita tersebut menceritakan kembali pengalaman mereka masuk pondok pesantren. Novel Negeri Lima Menara, merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel tersebut merupakan bagian dari diri Alif Fikri yang tiada lain adalah si pengarang itu sendiri. Di samping itu, penggambaran budaya lokal (Minang) sangat begitu kental dan detail dijelaskan. Selanjutnya budaya pesantren yang merupakan bagian dari masa kecil tokoh aku juga menjadi salah satu setting utama dalam menggambarkan dan memperkaya ceritanya.
commit to user
76
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam kisah, Alif Fikri yang pada mulanya bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie, terpaksa menuruti keinginan Amak/ibunya yaitu sekolah di pesantren. Sikap untuk menuruti kehendak orang tua khususnya keinginan Ibu merupakan sikap yang menggambarkan latar belakang budaya Minangkabau yang merupakan latar belakang budaya penulis (Ahmad Fuadi). Hal tersebut dapat diketahui dari biografi pengarang yang terlahir di Maninjau Sumatera Barat. Pengaruh tersebut terlihat dari struktur cerita yang banyak menyebutkan tokoh Amak inspirasi dibanding dengan tokoh Ayah. Hal ini disebut Matrelinial dimana Ibu merupakan pemegang kuasa atas keputusan keluarga, hal ini berlaku di adat istiadat Minangkabau, hal ini pulalah yang tergambar dari tokoh Alif Fikri yang sangat patuh kepada orang tua khususnya keinginan Amak-nya. Hal ini dapat diketahui dari kutipan sebagai berikut. “Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8) “Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.” “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkis Alif. “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” Kata Amak. “Tapi aku tidak ingin ... ” “Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” “Tapi aku tidak mau.” Kata Alif. (Negeri Lima Menara hal. 8-9)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, dalam biografi pengarang diceritakan pula kisah pengarang yang terpaksa masuk pondok pesantren. Biografi tersebut diketahui dari narasi yang dibacakan dalam acara kick Andy dan pengakuan pengarang sendiri, berikut kutipannya; NAR : “pada awalnya Ahmad Fuadi tidak mau sekolah di pesantren, terlebih lagi yang letaknya jauh dari tanah kelahirannya, namun dorongan sang ibulah yang membuatnya masuk sekolah agama ini, maka merantaulah ia menuntut ilmu, dari Maninjau Sumatera, menuju Pondok Modern Gontor, Jawa Timur”. AF : “awalnya itu saya masuk pesantren itu terpaksa, tapi lama-lama kemudian setelah lulus, saya merasa sangat banyak mendapat pelajaran hidup dan waktu lulus itulah saya bilang mudah-mudahan nanti ada kesempatan saya menulis novel, bukan novel waktu itu malahan, buku tentang pesantren”. (Kick Andy, lampiran) Selanjutnya, dalam Negeri Lima Menara banyak menceritakan unsur pendidikan pesantren yang tidak banyak diketahui orang, hal ini merupakan misi dari pengarang yang ingin mengangkat bahwa sekolah/mengenyam pendidikan pesantren bukanlah sesuatu yang dianggap salah. Kegelisahan tersebut dituangkan dalam kisah sukses meraih impian dari tokoh Alif Fikri yang mengenyam pendidikan pesantren. Ahmad Fuadi sendiri sebagai penulis mengenyam pendidikan di pesantren modern Gontor sejak 1988 hingga 1992, berbekal ijazah pondok, Fuadi mendaftar kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung. Melalui serangkaian tes, akhirnya Fuadi berhasil masuk perguruan tinggi.
Bahkan berbekal kemampuan berbahasa, disiplin menulis,
membawa Fuadi melanglang berbagai negara dengan beasiswa yang dia dapatkan hingga 8 (delapan) kali. Hal ini diutarakan dalam artikel dari majalah Nova Ironinya, meski mengantongi restu bunda dan jago berbahasa asing, langkah Fuadi menuju bangku kuliah tidaklah mudah. “Saat itu, ijazah commit to user kami belum diakui pemerintah. Yang lebih masalah lagi, kurikulum kami 78
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
sangat berbeda dengan SMU. Padahal, bahan-bahan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), kan, berdasarkan kurikulum SMA.” Meski masih ingin anaknya seperti ‘Buya’, sang Ibu akhirnya merestui anaknya itu masuk universitas umum selulus dari pesantren (1992). Dengan bekal yang dimilikinya, Fuadi memilih kuliah jurusan Hubungan Internasional. “Dari Gontor saya sudah punya bekal bahasa asing yang aktif, Inggris dan Arab, juga cara berpikir yang sangat global. Soalnya di Gontor teman-teman sekolah saya banyak yang dari luar negeri. Dari Australia, Thailand, Singapura, bahkan dari Amerika dan Afrika.” (lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi Ingin Berbagi Mimpi 2 oleh Anastasia Sibarani) Selanjutnya, dalam kutipan novel dijelaskan bagaimana gambaran umum siswa yang membuat tokoh utama terkagum-kagum dengan sistem pendidikan di pesantren. Hal ini yang ingin diungkapkan penulis, dalam menggambarkan bagaimana suasana kehidupan di Pondok Madani. Para santri begitu giat belajar. Setiap waktu mereka manfaatkan untuk belajar. Tidak ada waktu untuk berlehaleha. “Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.” “Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerah kepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atau ujian adalah pesta merayakan candu itu.” (Negeri Lima Menara, hal. 200)
Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa menyekolahkan anaknya di pesantren hanyalah jalan terakhir dan menciptakan pemuka-pemuka commit to user agama. Hal ini yang coba dibenarkan oleh penulis, berdasarkan sebuah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wawancara dalam sebuah blog, penulis menceritakan pandangannya terhadap pendidikan di Indonesia, Penanya : Bagaimana seorang Ahmad Fuadi melihat pendidikan di Indonesia? Ahmad Fuadi : Menurut saya konten sudah beragam dengan bermacam mutu. Tapi, kita mendeteksi antara sinkronisasi otak dan hati, maka akhirnya korupsi. Padahal seharusnya, pendidikan adalah pemberdayaan karakter manusia, manusia yang berdaya dan bermanfaat. Jadi, menurut saya kita harus memperbaiki dari usia dini dan pembekalan karakter sejak awal. Untungnya, pembekalan karakter kini telah masuk dalam kurikulum. Itu yang menurut saya paling penting. (Lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi: Man Jadda Wa Jadda & Kepercayaan Pada Tekad adalah Kunci Utama!)
“Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa Timur. Mereka pintar-pintar, bahasa Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama dan diajar disiplin untuk bisa bahasa asing setiap hari. Kalau tertarik mungkin sekolah ke sana bisa jadi pertimbangan…” (Negeri Lima Menara, hal. 12).
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang mempunyai kegelisahan mengenai dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Lebih dari itu pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali
commit to user santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam
80
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usaha meraih cita-cita. Pesantren yang selama ini dikenal tertutup coba dijelaskan oleh pengarang sebagai sebuah tempat belajar yang menyenangkan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian pada bab IV dapat diambil simpulan bahwa novel Negeri Lima Menara melukiskan pandangan yang dilematis mengenai kehidupan. Pandangan dunia itu merupakan produk berbagai tingkatan hubungan konteks sosial novel, latar belakang sosial pengarang, dan pandangan dunia pengarang itu sendiri. A. 1.
Kesimpulan
Stuktur novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ini terdiri atas tokoh dan penokohan yakni dengan tokoh utama Alif Fikri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur novel Negeri Lima Menara terdiri atas tokoh dan penokohan, yakni dengan tokoh utama Alif Fikri. Alif digambarkan sebagai tokoh yang religius, semangat tinggi serta memiliki impian besar. Awal cerita dimulai ketika tokoh utama (Alif Fikri) berada di Washington DC, Amerika Serikat sebagai seorang wartawan. Selanjutnya, cerita berbalik ke masa kecil tokoh utama, masa ketika tokoh utama mulai memimpikan cita-citanya. Alur cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh utama sebagai seorang anak SMP yang bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh utama berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di ITB. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam novel tersebut, yaitu menceritakan masa sekarang kemudian kembali ke masa lalu dan kembali lagi ke masa sekarang menandakan bahwa alur yang digunakan adalah commit to user
82
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
alur campuran. Adapun tema dalam novel Negeri Lima Menara adalah usaha keras meraih impian dengan bingkai pendidikan pesantren. 2.
Dilihat dari lingkungan sosial pengarangnya, Ahmad Fuadi adalah novelis, pekerja sosial dan mantan wartawan. Fuadi dilahirkan di di Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972, keluarganya adalah guru pengajar di madrasah serta guru mengaji. Fuadi memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan lulus pada tahun 1992. Masa kecil Fuadi sering berpindah sekolah karena mengikuti Ibunya yang seorang guru. Fuadi memulai karir penulisannya sebagai wartawan dan disamping itu dia juga sempat melanjutkan pendidikan ke berbagai negara dengan beasiswa.
3.
Dilihat dari lingkungan sosial novel, Latar sosial dalam novel Negeri Lima Menara ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan
belajar
yang kondusif,
dan
keikhlasan
yang selalu
dipertontonkan di setiap sudut Pondok Madani. Para murid bukan hanya mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam berjuang mewujudkan cita-cita. Secara tidak langsung kolaborasi latar ini mewujudkan suatu gambaran yang indah tentang Pondok Madani yang selama ini digambarkan ekstrem dan kuno, serta jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan. 4.
Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara ini terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik Berdasarkan analisis commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusisolusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam usaha meraih impian dan cita-cita. Pesantren yang selama ini dikenal tertutup coba dijelaskan
oleh
pengarang
sebagai
sebuah
tempat
belajar
yang
menyenangkan. Lebih dari itu pengarang mempunyai kegelisahan mengenai dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
B. 1.
Saran
Penelitian novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi menggunakan teori Strukturalisme Genetik
dengan
ini hendaknya dapat
bermanfaat bagi pembaca. 2.
Teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya.
3.
Novel Negeri Lima Menara hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan dengan menggunakan teori yang lain. commit to user