FAKTOR-FAKYOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI TEMPE DI KOTA BOGOR
Oleh : INDRA SETIAWAN A 14105673
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN INDRA SETIAWAN. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Tempe Di Kota Bogor (di bawah bimbingan NETTI TINAPRILLA). Sumber pangan yang diharapkan oleh masyarakat adalah pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu sumber gizi yang tinggi terdapat pada kedelai yang mempunyai potensi sebagai sumber utama protein nabati dan merupakan pengganti sumber protein hewani yang harganya cukup mahal serta bahan pangan hewani umumnya banyak mengandung lemak dan zat-zat lain seperti kolesterol yang tinggi sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya. Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting setelah padi, karena selain mempunyai potensi yang besar sebagai sumber utama protein bagi masyarakat, kedelai juga telah lama dikenal dan dipakai sebagai bahan produksi tempe, tahu, kecap, tauco, dan susu. Selain itu kedelai juga memiliki ragam kegunaan yang cukup luas untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan pakan ternak (unggas dan ikan). Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi dan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai. Produksi dan produktivitas kedelai di Indonesia. produksi kedelai pada tahun sangat tinggi yaitu 1.017.634 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat itu, para petani kedelai dalam negeri melakukan panen dengan maksimal dengan lahan yang masih luas. Pada tahun 2001 produksi kedelai dalam negeri mengalami penurunan produksi sebesar 44.83 persen dari tahun 2000, hal ini dikarenakan dengan semakin sempitnya luas lahan untuk menanam kedelai selain iut hal ini dikarenakan oleh adanya persaingan penggunaan lahan dengan tanaman palawija lainnya. Pada tahun 2005 produksi kedelai dalam negeri kembali meningkat sebesar 28.1 persen dari tahun 2002, akan tetapi pada tahun 2006 sampai 2007 produksi kedelai dalam negeri kembali mengalami penurunan sebesar 27.58 persen, penurunan ini seiring dengan semakin sempitnya luas panen. Meningkatnya kebutuhan akan kedelai dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang menggunakan bahan baku dari kedelai. Dengan meningkatnya kebutuhan kedelai dan tidak terpenuhinya kedelai dalam negeri untuk memasoknya, maka pemerintah melakukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Impor ini merupakan jalan keluar untuk memasok kekurangan kedelai dalam negeri, karena harganya murah dan kualitasnya lebih baik. Tempe merupakan makanan yang bahan dasarnya dari kedelai banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai kalangan, baik itu kalangan dari golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif, mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengkonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik konsumen tempe di kota Bogor dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe di kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode Pengolahan dan analisis dilakukan secara deskriptif dan dengan menggunakan Regresi Linear Berganda. usia rata-rata responden untuk kelas ekonomi atas 45,5 tahun, kelas ekonomi menengah 43,3 tahun, dan kelas ekonomi bawah 42,8 tahun. Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah adalah perempuan yang umunya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu rumah tangga lebih memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga. Untuk responden rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan baik itu kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah peresntase terbesarnya adalah ibu rumah tangga. Persentase terbesar responden pada tingkat pendidikan kelas ekonomi atas dan menengah adalah tingkat SLTA, sedangkan kelas ekonomi bawah adalah SLTP. Persentase terbesar Jumlah anggota keluarga untuk kelas ekonomi atas, menengah dan bawah adalah yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-6 orang. Responden terbesar untuk pengeluaran konsumsi tempe keluarga kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah adalah diatas Rp 60.000. Lokasi pembelian tempe untuk kelas ekonomi atas sebesar 56 persen di pasar, kelas ekonomi menengah 38 persen di pedagang keliling, dan kelas ekonomi bawah sebesar 50 persen di pedagang sayur keliling. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe dapat ditarik kesimpulan bahwa harga tempe (X1), harga tahu (X2), harga telur (X3), jumlah anggota keluarga (X4), pendidikan terakhir (X5), kelas ekonomi bawah (D1), dan kelas ekonomi menengah (D2)secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe di Kota Bogor pada taraf nyata lima persen.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI TEMPE DI KOTA BOGOR
Oleh : INDRA SETIAWAN A14105673
SKRIPSI
Skripsi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NRP
: Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Konsumsi Tempe Di Kota Bogor. : Indra Setiawan : A14105673
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 132 133 965
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN UNTUK SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2011
Indra Setiawan A 14105673
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 13 Juli 1984 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Dayat Hidayat dan Ibu Hj. Iriani Cendrakasih. Pada Tahun 1990, masuk sekolah di SD Negeri Panaragan Kidul 3 Bogor. Kemudian pada Tahun 1996 melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 6 Bogor, dan pada Tahun 1999 kembali melanjutkan sekolah di SMU Rimba Madya Bogor. Pada tahun 2002 diterima di Program Diploma Komunikasi Pembangunan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 2005. Pada Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan S1 Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, inayah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Tempe di Kota Bogor”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Sarjana Manajemen Agribisnis Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan pada penelitian ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penelitian ini sangat penulis harapkan. Akhir kata terima kasih kepada semua pihak atas kerjasama dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan
Bogor, Januari 2011
Indra Setiawan A14105673
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur kembali dipanjatkan bagi Allah SWT, karena atas kehendak-Nyalah skripsi ini bisa diselesaikan pada tempat dan waktu yang direncanakan. Pada kesempatan
ini juga
penulis
ingin
menyampaikan
penghormatan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, yaitu kepada : 1. Kedua orang tua tercinta Bapak H. Dayat Hidayat dan Ibu Hj. Iriani Cendrakasih serta kakak dan adik-adik yang dengan tulus telah memberikan do’a dan motivasi. 2. Ir. Netti Tinaprilla, MM sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MSi sebagai dosen evaluator yang telah memberikan koreksi dan masukan untuk kesempurnaan penelitian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS sebagai dosen penguji pada saat sidang yang banyak memberikan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini 5. Ir. Rachmat Yanuar sebagai dosen komisi akademik yang telah memberikan koreksi dan masukan untuk kesempurnaan penelitian skripsi ini. 6. Teman-teman kantor Indra Karya : Ibu Tati, Tami, Mas Heru, dan Tomo yang telah banyak memberikan dukungan. 7. Teman-teman Ekstensi MAB-14 : Aputz, Harry, Arfan, Ojie, Saut, Habib, Boy, Hamid, Kang Dimas, Sandra, Nora, Teh Siti, dan Bu Leli, terima kasih atas kebersamaannya.
8. Semua staff sekretariat Ekstensi MAB terima kasih atas bantuannya. 9. Barudak Saung : Pank. Tomy, Apih, Mpie, Otan, Danu, Isan, Muri, Ikro, Ucup, Sangu, Kaka dan Januar yang telah memberikan semangat. 10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini. Semoga segala kebaikannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, Amin.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ................................................................................ DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
i iii iv v
I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian...................................................................
1 1 5 7 7
II
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1 Kedelai ....................................................................................... 2.2 Sejarah dan Perkembangan Tempe ............................................ 2.3 Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe ......................................... 2.4 Proses Pembuatan Tempe ......................................................... 2.5 Penelitian terdahulu ...................................................................
8 8 8 9 10 12
III
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................... 3.1.1 Permintaan ........................................................................ 3.1.2 Teori Konsumsi ................................................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasianal ...............................................
16 16 16 18 19
IV METODE PENELITIAN ................................................................. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 4.3 Teknik Pengambilan dan Pengelompokkan Contoh .................. 4.4 Metode Analisis Data ................................................................. 4.4.1 Analisis Deskriptif ............................................................ 4.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda..................................... 4.6 Definisi Operasional...................................................................
22 22 22 23 23 24 24 31
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN............................. 5.1 Letak Geografis Kota Bogor ..................................................... 5.2 Wilayah Administrasi Kota Bogor ............................................. 5.3 Kondisi Demografis Kota Bogor ...............................................
33 33 34 34
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 6.1 Karakteristik Responden ........................................................... 6.1.1 Usia .................................................................................. 6.1.2 Jenis Kelamin ................................................................... 6.1.3 Pekerjaan ..........................................................................
36 36 36 37 37
6.1.4 Tingkat Pendidikan .......................................................... 6.1.5 Jumlah Anggota Keluarga ................................................ 6.1.6 Pendapatan Keluarga ........................................................ 6.1.7 Pengeluaran ...................................................................... 6.1.8 Pengeluaran Untuk Pangan .............................................. 6.1.9 Pengeluaran Untuk Tempe ............................................... 6.1.10 Lokasi Pembelian Tempe ............................................... 6.1.11 Alasan Mengkonsumsi Tempe ....................................... 6.1.12 Kapan Pembelian Tempe ............................................... 6.2 Analisis Faktor Yang mempengaruhi Konsumsi Tempe ...........
39 40 41 41 42 43 45 45 46 47
VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 7.1 Kesimpulan .......................................................................... 7.2 Saran.....................................................................................
55 55 56
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
57
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Kurva Permintaan...................................................................
16
2.
Keseimbangan Rumah Tangga ..............................................
19
3.
Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................
21
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 2000-2009 ................................
2
Perkembangan Konsumsi dan Impor Kedelai Tahun 1997-2008 .................................................................
3
Kandungan Gizi Tempe dan Bahan Olahan Kedelai Per 100 gram Bahan ................................................
5
Konsumsi Makanan yang Berbahan Dasar dari Kedelai .................................................................
6
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Pada Masing-Masing Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2007 .................................
35
6.
Sebaran Responden Berdasarkan Usia .................................
37
7.
Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin .......................
37
8.
Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan ......................
38
9.
Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .........
40
10.
Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ....................................................
40
Sebaran Responden Menurut Jumlah Pendapatan Keluarga .............................................................
41
Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Keluarga............................................................
42
Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Untuk Pangan ...................................................
43
Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Untuk Tempe ....................................................
44
Sebaran Responden Menurut Lokasi Pembelian Tempe .................................................................
45
Sebaran Responden Menurut Alasan Mengkonsumsi Tempe .........................................................
46
Sebaran Responden Menurut Waktu Pembelian Tempe .................................................................
47
18.
Hasil Analisis Ragam ..........................................................
48
19.
Analisis Variabel Pada Model Regresi Linear Berganda ....
48
2. 3. 4. 5.
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2.
Halaman Hasil Pengolahan Regresi Berganda ...................................... Kuesioner ..............................................................................
60 62
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan populasi penduduk di negara-negara berkembang membawa dampak pada peningkatan kemakmuran, dimana konsekuensinya adalah semakin bertambah cepatnya permintaan pangan serta perubahan bentuk dan kualitas pangan dari penghasil energi kepada produkproduk penghasil protein. Kebutuhan akan protein ini akan semakin meningkat dengan peningkatan kebutuhan energi, jumlah penduduk dan pendapatan. Sumber pangan yang diharapkan oleh masyarakat adalah pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu sumber gizi yang tinggi terdapat pada kedelai yang mempunyai potensi sebagai sumber utama protein nabati dan merupakan pengganti sumber protein hewani yang harganya cukup mahal serta bahan pangan hewani umumnya banyak mengandung lemak dan zat-zat lain seperti kolesterol yang tinggi sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya. Kedelai merupakan salah satu bahan pangan nabati yang sangat penting sebagai sumber protein. Masyarakat mulai mengonsumsi makanan olahan kedelai seperti tempe, tahu, kecap, tahu, dan susu kedelai dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi protein nabati. Selain itu, kedelai juga memiliki ragam kegunaan yang cukup luas untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan pakan ternak (unggas dan ikan). Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita,
meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi dan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai. Produksi dan produktivitas kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 2000 - 2009 Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (ku/ha) 2000 824.484 1.017.634 12,34 2001 678.848 826.932 12,18 2002 544.522 673.056 12,36 2003 526.796 671.600 12,75 2004 565.155 723.483 12,80 2005 621.541 808.353 13,01 2006 580.534 747.611 12,88 2007 459.116 592.534 12,91 2008 590.956 775.710 13,10 2009 782.200 966.469 13,30 Sumber: bps.go.id/index (27 Januari 2010) Keterangan: * angka sementara
Pada Tabel 1 memperlihatkan produksi kedelai pada tahun 2000 sangat tinggi yaitu 1.017.634 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat itu, para petani kedelai dalam negeri melakukan panen dengan maksimal dengan lahan yang masih luas. Pada tahun 2001 produksi kedelai dalam negeri mengalami penurunan produksi sebesar 44.83 persen dari tahun 2000, hal ini dikarenakan dengan semakin sempitnya luas lahan untuk menanam kedelai, selain itu hal ini dikarenakan oleh adanya persaingan penggunaan lahan dengan tanaman palawija lainnya. Pada tahun 2005 produksi kedelai dalam negeri kembali meningkat sebesar 28.1 persen dari tahun 2002, akan tetapi pada tahun 2006 sampai 2007 produksi kedelai dalam negeri kembali mengalami penurunan sebesar 27.58 persen, namun pada tahun 2008 produktivitas kedelai mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya areal lahan dan produksi. Produktivitas kedelai erat kaitannya dengan tingkat dan kualitas teknologi
Comment [IP1]: Di ganti datanya
yang digunakan, serta manajemen petani yang masih tergolong sederhana dan terbatas. Pemerintah sendiri berusaha mendorong untuk peningkatan produksi kedelai dalam negeri dengan melakukan perluasan lahan penanaman yang didukung dengan kebijakan harga, namun penanganan oleh pemerintah relatif kurang intesif. Meningkatnya kebutuhan akan kedelai dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang menggunakan bahan baku dari kedelai. Dengan meningkatnya kebutuhan kedelai dan tidak terpenuhinya kedelai dalam negeri untuk memasoknya, maka pemerintah melakukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Impor ini merupakan jalan keluar untuk memasok kekurangan kedelai dalam negeri, karena harganya murah dan kualitasnya lebih baik. Impor kedelai yang dilakukan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 2, dimana pada tahun 19972008 jumlah impor kedelai Indonesia cenderung meningkat. Tabel 2. Perkembangan Konsumsi dan Impor Kedelai Tahun 1997 – 2008 Tahun Konsumsi Impor (ton)* (ton)** 1997 1.973.000 616.109 1998 1.649.000 344.050 1999 2.684.000 1.301.152 2000 2.294.000 1.276.366 2001 1.960.000 1.133.068 2002 2.017.000 1.343.944 2003 2.016.000 1.344.400 2004 2.015.000 1.291.517 2005 1.987.469 1.086.177 2006 2.022.516 1.078.420 2007 2.059.998 1.199.839 2008 2.095.000 1.371.465 Sumber : *) Badan Litbang Pertanian, Deptan, 2008 (diolah) **) Ditjen P2HP, Deptan, 2008 (diolah)
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Indonesia mengimpor kedelai terkecil yaitu pada tahun 1998 dengan jumlah impor sebesar 344.050 ton dengan konsumsi kedelai sebesar 1.649.000 ton,. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah impor kedelai Indonesia cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah konsumsi kedelai di dalam negeri. Indonesia paling banyak mengimpor kedelai pada tahum 2003 yaitu sebesar 1.344.400 ton. Pada tahun-tahun selanjutnya sampai tahun 2006 jumlah impor kedelai Indonesia mengalami penurunan menjadi 1.078.420 ton dan pada tahun 2007 impor kedelai Indonesia kembali meningkat menjadi 1.199.839 ton seiring dengan meningkatnya konsumsi kedelai, hal ini dikarenakan rendahnya produksi kedelai dalam negeri dan murahnya harga kedelai impor dibandingkan harga kedelai dalam negeri. Pada tahun 1998 sampai 2003, sesuai dengan Keputusan Menteri No.44/KMK.01/1998, tarif yang berlaku untuk impor kedelai adalah 0 persen. Akan tetapi hal ini sangat merugikan petani, maka pada tahun 2004 pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif impor kedelai menjadi sepuluh persen. Direncanakan tarif tersebut akan berlaku sampai dengan tahun 2010 (Deptan, 2005).) Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor yang terus meningkat karena produksi kedelai dalam negeri masih rendah dan terbatas sehingga tidak mencukupi permintaan kedelai dalam negeri setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhan industri makanan dan minuman berbahan baku kedelai menggunakan kedelai impor, seperti produsen tempe, tahu, dan lain sebagainya. Tempe adalah salah satu makanan olahan dari kedelai yang sudah dikenal lama oleh masyarakat luas sebagai sumber protein nabati. Dibandingkan hasil olahan kedelai lainnya seperti tahu, kecap, dan tauco, tempe memiliki harga yang
murah serta nilai kandungan protein dalam tempe lebih baik. Perbandingan kandungan gizi tempe dengan bahan olahan kedelai lainnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Kandungan Gizi Tempe dan Bahan Olahan Kedelai per 100 gram Bahan Protein Lemak Karbohidrat Air Bahan Kalori (gr) (gr) (gr) (gr) Tempe 149 18,3 4,0 12,7 64,0 Tahu 68 7,8 4,6 16,0 70,0 Kecap 46 5,7 1,3 9,0 83,0 Tauco 166 10,4 4,9 24,1 64,4 Sumber: Santoso dalam Purba, 2006
Tempe merupakan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan, baik itu kalangan kelas ekonomi atas, menengah dan bawah. Alasan konsumen untuk mengonsumsi tempe itu berbeda-beda dari tiap kalangan, untuk kelas ekonomi atas alasan mengonsumsi tempe karena kandungan gizi yang terdapat dalam tempe, sedangkan untuk kelas ekonomi menengah dan bawah alasan mengonsumsi tempe karena harganya yang murah serta terjangkau. Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor, baik bagi konsumen dari golongan ekonomi bawah, menengah, dan atas. Sehingga, dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap konsumsi tempe dan bagaimana karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor. 1.2 Perumusan Masalah Konsumsi makanan masyarakat sehari-hari hendaknya memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu kecukupan energi dan protein. Kecukupan energi biasanya diperoleh dari mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung
karbohidrat, sedangkan kebutuhan protein diperoleh dari mengonsumsi makanan yang berasal dari nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani seperti daging, telur, dan lain sebagainya. Meningkatnya
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
kesehatan
mengakibatkan masyarakat mulai mengonsumsi makanan dari olahan kedelai seperti tempe, tahu, oncom, tauco, dan susu kedelai dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi protein nabati. Berikut adalah tabel konsumsi makanan yang bahan dasarnya dari kedelai. Tabel 4. Konsumsi Makanan yang Berbahan Dasar dari Kedelai (per kapita/tahun) Tahun
Jenis Tempe Tahu Tauco Oncom
2004 7.28 6.71 0.04 0.07
2005 7.54 6.86 0.05 0.11
2006 8.68 7.18 0.05 0.08
Sumber: Statistik Pertanian, 2008
Pada Tabel 4, diketahui bahwa konsumsi tempe per kapita dari tahun ke tahun meningkat jika dibandingkan dengan makanan dari bahan dasar kedelai lainnya seperti tahu, tauco, dan oncom. Hal ini dikarenakan karena tempe sebagai salah satu produk olahan dari kedelai yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Tempe sebagai salah satu produk olahan kedelai merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai kalangan, baik itu kalangan dari golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif, mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Bagi kalangan vegetarian tempe merupakan makanan pengganti daging yang banyak mengandung lemak dan zat-zat lainnya seperti kolesterol yang tinggi sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Menganalisis karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk melatih diri dalam mengobservasi atau menganalisis kejadian yang terjadi di masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan Timur jauh seperti kecap, tahu dan tempe. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies Glycine max (disebut kedelai putih, biji dapat berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. 2.2 Sejarah dan Perkembangan Tempe Tempe adalah makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang rhizopus ("ragi tempe"). Tempe kaya akan serat, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksi dan pencegah penyakit degeneratif. Tempe merupakan makanan tradisional yang sudah dikenal sejak berabadabad yang lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Kata tempe diduga berasal dari bahasa jawa kuno. Pada zaman jawa kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali pada era tanam paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat jawa terpaksa menggunakan hasil
Comment [IP2]: Perbaiki kalimat
pekarangan sebagai sumber pangan, seperti singkong, ubi dan kedelai. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orangorang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air. Perhatian yang begitu besar terhadap tempe sebenarnya telah dimulai sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Pada saat itu, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Dengan adanya tempe dan kandungan gizi yang dimilikinya, serta harga yang sangat terjangkau, menyelamatkan masyarakat miskin dari malgizi (malnutrition)1. 2.3 Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe Menurut Sarwono (2002), tempe memiliki beberapa khasiat terhadap kelangsungan kesehatan tubuh, yaitu untuk menghindari diare akibat dari bakteri enteropatogenik, dapat melangsingkan tubuh karena dapat menghindari terjadinya timbunan lemak dalam rongga perut, ginjal, dan dibawah kulit perut. Selain itu, tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu, tempe juga mengandung zat penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain2. Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim 1 2
http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur. 2.4 Proses Pembuatan Tempe Membuat tempe pada dasarnya menyebar benih kapang agar tumbuh subur sehingga biji kedelai tertutup lapuk halus yang berwarna putih seperti kapas. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya akan protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi salah satunya tempe, berikut adalah proses pembuatan tempe. 1. Biji kedelai yang telah dipilih lalu dibersihkan dari kotoran, setelah itu dicuci dengan air yang bersih selama satu jam. 2. Setelah bersih, kedelai direbus dalam air selama dua jam. 3. Kedelai kemudian direndam 12 jam dalam air panas atau hangat bekas air perebusan supaya kedelai mengembang. 4. Berikutnya, kedelai direndam dalam air dingin selama 12 jam. 5. Setelah 24 jam direndam seperti pada butir tiga dan butir empat di atas, kedelai dicuci dan dikuliti (dikupas). 6. Setelah dikupas, kedelai direbus untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman.
7. Kedelai diambil dari dandang lalu diletakkan di atas tampah dan diratakan tipis-tipis. Selanjutnya, kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping kedelai kering dan airnya menetes habis. 8. Sesudah itu, kedelai dicampur dengan laru (ragi dua persen) guna mempercepat atau merangsang pertumbuhan jamur. Proses mencampur kedelai dengan ragi memakan waktu sekitar 20 menit. Tahap peragian (fermentasi) adalah tahap penentu keberhasilan dalam membuat tempe kedelai. 9. Bila campuran bahan fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut dicetak pada loyang atau cetakan kayu dengan lapisan plastik atau daun yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Sebelumnya, plastik dilubangi atau ditusuk-tusuk. Maksudnya adalah untuk memberi udara supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan dan pembungkusan memakan waktu tiga jam. Daun yang biasanya buat pembungkus adalah daun pisang atau daun jati. Ada yang berpendapat bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi "aneh" dan tempe lebih mudah busuk (dibandingkan dengan tempe yang dibungkus daun). 10. Campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaannya lalu diletakan di atas rak dan kemudian ditutup selama 24 jam. 11. Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran kedelai didinginkan/dianginanginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu, campuran kedelai telah menjadi tempe siap jual. 12. Supaya tahan lama, tempe yang misalnya akan menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan dikirim ke luar negeri di dalam peti kemas pendingin.
Proses membekukan tempe untuk ekspor adalah sebagai berikut, mulamula tempe diiris-iris setebal 2-3 cm dan di-blanching, yaitu direndam dalam air mendidih selama lima menit untuk mengaktifkan kapang dan enzim. Kemudian, tempe dibungkus dengan plastik selofan dan dibekukan pada suhu 40 °C sekitar enam jam. Setelah beku, tempe dapat disimpan pada suhu beku sekitar 20 °C selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifat penampak warna, bau, maupun rasa. (Sarwono, 2002). 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Widari (2006) mengenai dampak sosialisasi flu burung terhadap pola konsumsi daging dan telur ayam konsumen rumah tangga di Kota Bogor dengan menggunakan regresi linear berganda menjelaskan bahwa sosialisai flu burung berdampak positif terhadap pola konsumsi daging dan telur ayam konsumen rumah tangga. Sesudah sosialisasi, tidak ada konsumen rumah tangga yang berhenti mengonsumsi daging dan telur ayam. Pola konsumsi mengalami perubahan yang meliputi frekuensi pembelian, jumlah pembelian dan tempat pembelian. Besarnya permintaan daging ayam dan telur untuk konsumen kelas atas dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota keluarga, etnis responden, pendidikan terakhir, pekerjaan kepala keluarga, dan pekerjaan responden. Untuk konsumen kelas menengah permintaan daging ayam dan telur dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pengaruh anggota keluarga, dan pekerjaan responden. Sedangkan untuk konsumen kelas bawah dipengaruhi oleh pendapatan, pertimbangan harga, dan pengaruh anggota keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen membeli stick tahu poo (studi kasus di Kabupaten Kediri) dengan menggunakan analisis deskriptif, fishbean, dan linear berganda. Hasil penelitian yang diperoleh adalah mayoritas konsumen stick tahu poo di Kabupaten Kediri adalah laki-laki yang berusia antara 17-27 tahun dengan tingkat pendidikan terakhir SMU dan bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta yang memiliki penghasilan berkisar antara Rp 500.000- 1.500.000. Konsumen stick tahu poo memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak empat orang. Besarnya jumlah pembeliaan stick tahu poo dipengaruhi nyata oleh besarnya tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, pengaruh penjual, harga, dan promosi. Media promosi yang mempengaruhi konsumen dalam membeli stick tahu poo adalah melalui iklan. Penelitian yang dilakukan oleh Hadipurnomo (2000) mengenai dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai di Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar kepada perubahan luas areal lahan panen, produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Sedangkan, kebijakan perdagangan berdampak perubahan volume impor, harga impor, dan permintaan kedelai. Penelitian yang dilakukan oleh Susetyanto (1994) mengenai analisis dampak alternatif kebijaksanaan terhadap produksi, pendapatan, dan konsumsi rumah tangga petani kedelai di Kabupaten Subang dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku rumah tangga
petani kedelai dalam luas areal panen kedelai, produktivitas kedelai, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan tenaga kerja upahan, dan konsumsi kedelai benih tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelas, kecuali konsumsi kedelai pangan responsif terhadap perubahan harga kedelai. Hasil evaluasi alternatif kebijaksaan menunjukkan bahwa prioritas peningkatan penggunaan tenaga kerja, produksi kedelai, dan pendapatan rumah tangga petani kedelai adalah dengan menaikkan harga kedelai, harga kedelai dan pupuk, atau harga kedelai dan saprotan (benih, pupuk, pestisida). Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan penggunaan tenaga kerja, produksi kedelai, dan pendapatan rumah tangga petani kedelai sesuai dengan arah dan tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam penentuan harga dasar padi dan palawija, serta penghapusan subsidi pupuk. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2010) mengenai Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta barat dengan menggunakan analisis Linear Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah memperkecil ukuran tempe sedangkan untuk pengrajin skala besar cenderung mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarganya. Pengrajin tempe skala kecil paling sensitif terhadap kenaikan harga kedelai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah bahan dasar yang di gunakan untuk penelitian sama yaitu kedelai dan untuk penelitian terdahulu ada yang sama alat analisisnya yaitu menggunakan linear berganda dan analisis deskripsi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah lokasi penelitiannya yang berbeda, alat analisis yang digunakan ada yang berbeda untuk penelitian terdahulu dan variabel-variabel yang digunakan untuk penelitian berbeda.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1Permintaan Jumlah total komoditas yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditas tersebut. Jumlah komoditi yang akan dibeli semua rumah tangga pada periode waktu tertentu, dipengaruhi oleh beberapa variabel, yaitu: harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, selera, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan. Suatu hipotesis ekonomi dasar menyatakan bahwa harga suatu komoditas dan kuantitas yang akan diminta berhubungan negatif (ceteris paribus). Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu komoditas maka jumlah yang akan diminta untuk komoditas itu akan semakin besar, dan semakin tinggi harga semakin rendah jumlah yang diminta.
Harga (P)
Kuantitas (Q) Gambar 1. Kurva Permintaan Sumber : Soekartawi, 2002 Hubungan antara jumlah komoditas yang diminta dengan beberapa variabel penting secara matematis dapat dirumuskan secara umum sebagai berikut:
Qd = f (Pi, Pj, S, PD, Y) Dimana: Qd
: Permintaan Komoditas
Pi
: Harga Komoditas itu sendiri
Pj
: Harga Komoditas lain
S
: Selera
PD
: Jumlah penduduk
Y
: Tingkat Pendapatan
Pi : Harga Komoditas itu sendiri Dengan asumsi cateris paribus, semakin tinggi harga suatu barang maka akan menurunkan jumlah permintaan akan barang tersebut, dan sebaliknya makin rendah harga suatu barang maka semakin tinggi jumlah permintaan. Permintaan dan harga komoditas memiliki hubungan yang negatif. Pj : Harga Komoditas lain Perubahan harga komoditas substitusi akan mempengaruhi permintaan atas komoditas yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditas substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditas yang bersangkutan, dan sebaliknya. Sedangkan, perubahan harga barang komplemen dapat mengubah permintaan barang yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas barang yang bersangkutan. S : Selera Selera dan juga pilihan terhadap sesuatu barang merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan. Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan menigkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
PD : Jumlah Penduduk Semakin tinggi jumlah penduduk, maka makin besar pula barang yang diminta oleh masyarakat. Y : Tingkat Pendapatan Kenaikan
pendapatan
cenderung
meningkatkan
permintaan
untuk
mengonsumsi suatu barang, bahkan bertambah juga kualitas barang yang dikonsumsi. 3.1.2 Teori Konsumsi Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang berupa memakai atau menggunakan barang atau jasa konsumsi dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan hidup mereka. Garis anggaran (Isocost) adalah garis yang memperlihatkan semua kombinasi yg tersedia bagi RT sesuai dengan pendapatannya dan harga barang yang dibelinya, jika ia membelanjakan semua uangnya untuk itu. Sifat- sifat garis anggaran antara lain: 1. Titik-titik di sepanjang garis anggaran merupakan kombinasi barang yang menghabiskan seluruh anggaran konsumen 2. Titik-titik di luar garis anggaran merupakan kombinasi barang yang tidak bisa dicapai oleh konsumen, dengan anggaran yang ada 3. Titik-titik di dalam garis anggaran merupakan kombinasi barang yang tidak menghabiskan anggaran konsumen Kurva Indiferen adalah Garis yang menghubungkan titik-titik kombinasi barang yang memberikan kepuasan yang sama.
Keseimbangan rumah tangga akan tercapai pada saat kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran, dimana pada saat itu rasio harga relatif sama dengan tingkat substitusi marginal (MRS). Hal itu dapat dilihat pada Gambar 2
Barang Y
A: tidak efisien karena tidak Menghabiskan anggaran A
C: tidak dapat dicapai karena Anggaran tidak cukup
C B U3
B: Utilitas maksimum
U2 U1
Barang X Gambar 2. Keseimbangan Rumah Tangga Sumber: Iswardono, 1994 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Konsumsi makanan masyarakat sehari-hari hendaknya memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu kecukupan energi dan protein. Kecukupan energi biasanya diperoleh dari mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung karbohidrat, sedangkan kebutuhan protein diperoleh dari mengonsumsi makanan yang berasal dari nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani seperti daging, telur, dan lain sebagainya. Meningkatnya
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
kesehatan
mengakibatkan masyarakat mulai mengonsumsi makanan dari olahan kedelai seperti tempe, tahu, susu kedelai dan lain sebagainya dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi protein nabati.
Tempe merupakan makanan berbahan dasar dari kedelai yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan, baik itu kalangan dari golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif, mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Alasan konsumen untuk mengonsumsi tempe berbeda-beda dari tiap kalangan, untuk kelas ekonomi atas alasan mengonsumsi tempe karena kandungan gizi yang terdapat dalam tempe, sedangkan untuk kelas ekonomi menengah dan bawah alasan mengonsumsi tempe karena harganya yang murah serta terjangkau. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen untuk mengonsumsi tempe, antara lain oleh harga tempe itu sendiri, harga tahu, harga telur, pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan terakhir responden. Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelas ekonomi berdasarkan tingkat pendapatan yaitu konsumen rumah tangga kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah. Adapun alur kerangka pemikiran penelitian ini secara lebih jelas telah tersusun secara sistematis pada Gambar 3.
Kecukupan energi dan protein Meningkatnya konsumsi terhadap tempe
Tempe
Konsumen Tempe
Kelas Ekonomi Atas
Kelas Ekonomi Menengah
Faktor- faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Tempe: Harga Tempe Harga Tahu Harga Telur Jumlah Anggota Keluarga Pendidikan Terakhir Responden Kelas Ekonomi Bawah Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi atas
Khasiat Tempe : Mengandung zat antioksidan Mengandung zat antibakteri Pencegah penyakit jantung Penurun kolesterol darah
Kelas Ekonomi Bawah
Analisis Regresi Linear Berganda
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor,karena untuk memudahkan penulis melakukan penelitian. Lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive), Pengumpulan data untuk penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus - November 2009. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun sebelumnya. Kuesioner didesain bersifat semi terbuka yaitu selain responden menjawab pertanyaan yang ada di kuesioner tapi ada pertanyaan yang ditanyakan langsung dalam wawancara yang tidak ada di dalam kuesioner. Responden dalam hal ini adalah mereka yang bersedia untuk diwawancarai dan dapat mengambil keputusan dalam kegiatan rumah tangga. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan data-data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data primer digunakan untuk menjawab dari tujuan satu, yaitu untuk menganalisis karakteristik konsumen tempe di kota Bogor. Sedangkan data sekunder digunakan untuk menjawab tujuan dua, yaitu untuk menganalisis faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe.
4.3 Teknik Pengambilan dan Pengelompokan Contoh Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah konsumen rumah tangga. Lebih spesifik lagi, responden yang termasuk ke dalam kriteria ini adalah ibu rumah tangga, seorang ayah dengan keputusan sendiri, anggota keluarga yang telah memiliki penghasilan dan mempunyai wewenang dalam membelanjakan pendapatannya. Untuk memudahkan pengambilan sampel di lapangan, maka teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pendapatan atau penghasilan per bulan. Penentuan sampel dilakukan pada responden yang bersedia untuk di wawancarai (convinience) dan berdasarkan pengkelasan tingkat pendapatan dengan membagi 150 rumah tangga menjadi tiga bagian, yaitu 50 rumah tangga kelas ekonomi atas, 50 rumah tangga kelas ekonomi menengah, dan 50 rumah tangga kelas ekonomi bawah. Untuk daerah Bogor Barat responden yang diambil adalah sebanyak 50 responden, Bogor Tengah sebanyak 30 responden, Bogor Timur sebanyak 30 responden, Bogor Selatan 20 responden, Bogor Utara sebanyak 20 responden. Penentuan sampel dengan membagi tiga kelas ekonomi yaitu kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah karena dalam penelitian ini ingin membandingkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe pada konsumen tempe dari kelas ekonomi atas, menengah, dan bawah. 4.4 Metode Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk mengetahui dan menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian, digunakan metode analisis regresi linear
berganda beserta ujinya dengan menggunakan program minitab 13. Sedangkan data yang tidak dianalisis menggunakan alat tersebut diolah dengan menggunakan analisis deskriptif dengan cara memproses data yang diperoleh. 4.4.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif (pemaparan) digunakan untuk mengetahui gambaran umum konsumen tempe yang terjadi di wilayah yang diamati. Data yang diperoleh merupakan hasil perhitungan rata-rata dari karakteristik usia dan jumlah anggota keluarga. Data mengenai jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya diperoleh dari perhitungan persentase terbesar. Metode analisis deskriptif dengan tabulasi sederhana ditujukan untuk mendapatkan karakteristik responden menurut tingkat pendapatan per bulan. 4.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda Regresi linear berganda digunakan untuk menjawab suatu permasalahan sosial ekonomi yang secara teoritis menyangkut satu variabel dependen yang dipengaruhi oleh dua atau lebih variabel independen. Regresi linear berganda diharapakan dapat menghasilkan model yang akurat untuk memprediksi nilai variabel independen (asumsi analisis terpenuhi). Model yang baik dan akurat dapat dimanfaatkan, 1) untuk memprediksi besar dan arah perubahan variabel dependen sebagai respons karena perubahan variabel independen, sehingga dapat diuji variabel independen apa saja yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. 2) Untuk memprediksi nilai variabel dependen berdasarkan variabel independen yang diketahui nilainya.
Pada penelitian ini, regresi linear berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe, berikut adalah model persamaannya: Model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe C = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + +D1X1 + D2X2 + D3X3 + e Dimana: C
: Konsumsi Tempe (Rupiah per bulan)
b0
: Konstanta
X1
: Harga Tempe (Rupiah per pcs)
X2
: Harga Tahu (Rupiah per pcs)
X3
: Harga Telur (Rupiah per Kg)
X4
: Jumlah Anggota Keluarga (orang)
X5
: Pendidikan Terakhir Responden (tahun)
D1
: Kelas Ekonomi Bawah 1 = 50 Kelas Ekonomi Bawah 0 = Bukan Kelas Ekonomi Bawah
D2
: Kelas Ekonomi Menengah 1 = 50 Kelas ekonomi Menengah 0 = Bukan Kelas Ekonomi Menengah
D3
: Kelas Ekonomi Atas 1 = 50 Kelas Ekonomi Atas 0 = Bukan Kelas ekonomi Atas
e
: Error
Hipotesis: X1 (Harga tempe) : Semakin tinggi harga tempe maka konsumsi tempe akan turun, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara konsumsi tempe dengan harga tempe adalah negatif.
X2 (Harga tahu) : Semakin tinggi harga tahu maka konsumsi tempe akan naik, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara harga tahu dengan konsumsi tempe adalah positif. X3 (Harga telur) : semakin tinggi harga telur maka konsumsi tempe akan naik, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara harga telur dengan konsumsi tempe adalah positif. X4 (Jumlah anggota keluarga) : Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka konsumsi tempe akan naik, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan konsumsi tempe adalah positif. X5 (Pendidikan terakhir responden) : semakin tinggi tingkat pendidikan maka pengetahuan tentang konsumsi pangan yang bergizi semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Jadi, hubungan pendidikan terakhir responden dengan konsumsi tempe adalah positif. D1 (Kelas ekonomi bawah) : semakin banyak kelas ekonomi bawah, maka konsumsi tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi bawah dengan konsumsi tempe positif. D2 (Kelas ekonomi menengah) : semakin banyak kelas ekonomi menengah, maka konsumsi tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi menengah dengan konsumsi tempe positif. D3 (Kelas ekonomi atas) : semakin banyak kelas ekonomi atas, maka konsumsi tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi atas dengan konsumsi tempe positif.
Pengujian Model Regresi Setelah model dianalisis maka model harus di uji agar mendapatkan model terbaik yang dapat merepresentasikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor. Beberapa uji yang akan dilakukan adalah : Uji Normalitas Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah residual dalam model menyebar normal. Untuk mengetahuinya dilakukan uji Komogorov-Smirnov dengan menggunakan α sebesar 0,05. Hipotesis H0
= residual tidak berdistribusi normal
H1
= residual berdistribusi normal
Jika nilai KS < KS1-α maka tolak H0, atau jika nilai statistik KomogorovSmirnov dikonversi ke dalam p-value maka daerah penolakannya adalah p-valuehitung > p-value1-α Uji Signifikansi Uji t digunakan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dengan langkah-langkah sebagai berikut: Ho : bi = 0, Variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen H1 : bi ≠ 0, Variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen bi t-hitung = S(bi)
: (n-k, ttabel)
Dimana : bi
: Koefisien Peubah ke-i
S(bi) : Standar Error Peubah ke-i n
: Jumlah Pengamatan
k
: Jumlah Variabel dalam Model
Kriteria uji: 1. Jika –ttabel < thitung < ttabel maka terima Ho, artinya variabel-variabel independen yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. 2. Jika thitung < -ttabel atau thitung > ttabel maka tolak Ho, artinya variabel-variabel independen yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas (Xi) terhadap variabel tidak bebas (Y). R2 = JKR JKT Dimana : JKR
:
Jumlah Kuadrat Regresi
JKT
:
Jumlah Kuadrat Total
Uji F Uji F digunakan untuk menunjukan kemampuan variabel-variabel independen secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel dependen. Langkah-langkah dalam pengujian hipotesis sebagai berikut:
Ho : b1 = b2 . . .= bi = 0, Variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen H1 : b1 ≠ b2 . . . bi ≠ 0, Variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen JKR / (k – 1) Fhitung = JKS / (n – k) Dimana: JKR
: Jumlah kuadrat regresi
JKS
: Jumlah kuadrat sisa
n
: Jumlah sampel
k
: Jumlah Peubah (Variabel)
Kriteria uji: 1. Jika Fhitung > Ftabel maka tolak H0, artinya semua variabel independen mampu
secara
bersama-sama
menjelaskan
variasi
dari
variabel
independen. 2. Jika Fhitung < Ftabel maka terima H0, artinya semua variabel independen tidak mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel independen. Uji Multikolinearitas Multikolinear adalah hubungan linear antara dua atau beberapa variabel independen. Untuk melihat apakah terdapat multikolinear atau tidak dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF lebih besar dari lima maka model dugaan ada masalah multikolinearitas, dengan nilai α sebesar 0,05.
1 VIF = 1 – Rj2
j = 1,2,3….k
Ket : Rj2 = koefisien determinasi untuk variabel atau peubah bebas ke – j Uji autokorelasi Autokorelasi adalah hubungan linear yang terjadi pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode. Untuk mengetahui autokorelasi dari model ini digunakan variabel residual atau error (e). Uji autokorelasi dapat dihitung menggunakan statistik uji Durbin-Watson dengan α sebesar 0,05.
Σ(e – e ) Σ ei i
d=
i-1
dimana dtabel α (n,k)
Jika d < dlow maka tolak H0
Jika d > (4- dlow) maka tolak H0
Jika dlow < d < dup atau (4-dup) < d < (4-dlow) maka tidak dapat disimpulkan
Jika dup < d < (4-dup) maka terima H0
4.5 Definisi Operasional Ada beberapa istilah atau definisi dalam penelitian ini, antara lain: 1. Responden adalah ibu rumah tangga, seorang ayah dengan keputusan sendiri, anggota keluarga yang telah memiliki penghasilan dan wewenang dalam membelanjakan pendapatannya. 2. Rumah tangga adalah semua orang yang bertempat tinggal di bawah satu atap dan yang membuat keputusan keuangan bersama.
3. Tingkat pengeluaran rumah tangga adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota keluarga selama sebulan. 4. Tingkat pendidikan terakhir responden adalah tingkat pendidikan formal yang diikuti responden sampai selesai (SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi). 5. Kelas ekonomi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah yang didasarkan pada pendapatannya. Untuk kelas ekonomi atas pendapatannya dari Rp 5.000.000,- keatas, kelas ekonomi menengah pendapatannya antara Rp 2.000.000,- sampai dengan kurang dari Rp 5.000.000,-, sedangkan untuk kelas ekonomi bawah pendapatannya kurang dari Rp 2.000.000,-. Pengkelasan ini berdasarkan pada buku pedoman pencacah skor dari BPS untuk melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). 6. Pendapatan rumah tangga dalam hal ini adalah pendapatan total rumah tangga konsumen dari berbagai sumber yang merupakan pendapatan per bulan dinyatakan dalam rupiah per bulan. 7. pola konsumsi adalah kebiasaan mengkonsumsi bahan pangan sumber protein antara lain tempe, tahu, dan telur. 8. Frekuensi konsumsi adalah jumlah berapa kali konsumen mengkonsumsi tempe dalam sebulan. 9. Alasan mengkonsumsi adalah hal-hal yang mendasari konsumen mengkonsumsi tempe.
10. Tempat pembelian adalah tempat asal konsumen membeli produk tempe dan produk-produk lainnya seperti tahu, telur, dan lain sebagainya yang meliputi pasar tradisional, supermarket, tukang sayur atau pedagang keliling, dan warung.
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Letak Geografis Kota Bogor Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43’30” BT, 106 derajat 51’00” BT, dan 30’30” LS – 6 derajat 41’00” LS. Kedudukan geografis Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya dekat
dengan
Ibukota Negara,
merupakan
posisi
yang strategis
bagi
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, serta pariwisata. Kota Bogor mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter diatas permukaan laut dengan topografi bergelombang. Kemiringan lereng antara 0-3 persen, 4-15 persen, 16-30 persen dan diatas 40 persen dengan jarak dari Ibu Kota Negara kurang lebih 60 kilometer yang dikelilingi oleh Gunung Salak, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede. Kota Bogor mempunyai keadaan cuaca dan udara yang sejuk dengan suhu udara rata-rata 26 derajat celcius dan kelembaman udaranya kurang dari 70 persen. Suhu terendah di Kota Bogor adalah 21,8 derajat celcius. Sedangkan curah hujan yang cukup besar setiap tahunnya adalah berkisar antara 3500-4000 mm dengan luas 4992.3 ha, antara 4000-5000 mm dengan luas 6424.65 ha, dan antara 4500-5000 mm dengan luas 433.05 ha dan paling sering terjadi hujan pada bulan Desember dan Januari. Arah mata angin waktu ini dipengaruhi oleh angin Muson. Bulam Mei sampai Maret dipengaruhi oleh angin muson barat dengan arah mata angin 6 persen terhadap arah barat.
5.2 Wilayah Administrasi Kota Bogor Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,50 km2 dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dari permukaan, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Oleh karena adanya kondisi sedemikian rupa, maka Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir. Secara administratif Kota Bogor terdiri dari enam wilayah kecamatan, 31 Kelurahan dan 37 Desa (lima diantaranya merupakan desa tertinggal, yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi, dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor dengan batas-batas sebagai berikut: Selatan : Berbatasan dengan kecamatan Cijeruk dan kecamatan Caringin Kabupaten Bogor Timur
: Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja dan kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
Utara
: Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja, kecamatan Bojong Gede, dan kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.
Barat
: Berbatasan dengan kecamatan Kemang dan kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
5.3 Kondisi Demografis Kota Bogor Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2007 mencapai 905.132 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 457.717 jiwa dan perempuan 447.415 jiwa. Kota Bogor memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,02 persen.
Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah pada Masing-Masing Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2007 Jumlah Penduduk Luas Wilayah Nama Kecamatan (jiwa) (jiwa/km2) Bogor Tengah 109.039 8,11 Bogor Timur
91.609
10,15
Bogor Barat
198.296
31,33
Bogor Selatan
176.094
29,26
Bogor Utara
161.562
17,69
Tanah Sareal
168.532
20,31
Sumber: BPS Kota Bogor, 2008 Pada tabel diatas jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Barat lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 198.296 jiwa dengan luas wilayahnya 31,33 km2, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil ada di Kecamatan Bogor Timur dengan jumlah penduduk sebesar 91.609 jiwa dengan luas wilayah 10,15 km2.
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteritik Responden Karakteristik responden merupakan sifat atau ciri konsumen yang sudah diberikan pertanyaan melalui kuesioner yang disajikan dari hasil survei. Karakteristik responden dibagi menjadi tiga kelompok rumah tangga berdasarkan tingkat pendapatannya, yaitu kelas ekonomi bawah, menengah, dan atas, dimana pada penelitian ini yang menjadi reponden mayoritas adalah ibu rumah tangga. Karakteristik responden yang dijelaskan dan dibahas dalam penelitian ini meliputi variabel usia, jenis kelamin, pekerjaan, pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, pengeluaran untuk pangan, pengeluaran untuk tempe, lokasi pembelian tempe, alasan mengonsumsi tempe dan kapan pembelian tempe. 6.1.1 Usia Usia sebagai karakteristik demografi yang dapat mempengaruhi preferensi seseorang dalam melakukan keputusan pembelian Rata-rata usia responden pada kelas ekonomi atas adalah 45.5 tahun, untuk kelas ekonomi menengah rata-rata usia responden adalah 43.3 tahun, dan kelas ekonomi bawah adalah 42.8 tahun. Sebagian besar reponden pada kelas ekonomi atas, menengah, dan bawah yang umurnya di atas antara 36-50 tahun tahun sebesar 76 persen, 72 persen, dan 68 persen. Sebaran reponden menurut usia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Usia Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Umur Atas Menengah (Tahun) n % n % 21-35 6 12 6 12
Kelas Ekonomi Bawah n % 12 24
36-50
38
76
36
72
34
68
>50
6
12
8
16
4
8
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.2 Jenis Kelamin Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah adalah perempuan yang umumnya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu rumah tangga sebagai pengambil keputusan dalam keluarga untuk hal yang berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga. Selain itu, jenis kelamin telah menjadi dasar segmentasi pasar yang digunakan dalam menentukan produk yang khusus dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut. Untuk sebaran reponden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Jenis Atas Menengah Kelamin n % n % Laki-laki 6 12 8 16
Kelas Ekonomi Bawah n % 0 0
Perempuan
44
88
42
84
50
100
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.3 Pekerjaan Bekerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menghasilkan atau mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa,
maupun ide. Secara umum jenis pekerjaan akan membedakan tingkat pendapatan. Dalam penelitian ini pekerjaan yang diamati adalah pekerjaan dari responden, sementara tingkat pendapatan yang diamati adalah tingkat pendapatan dari rumah tangga. Responden rumah tangga kelas ekonomi atas persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 70 persen, pegawai negeri sebesar 14 persen, pegawai swasta sebesar 10 persen, dan sisanya enam persen adalah wiraswasta. Untuk reponden kelas ekonomi menengah persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 66 persen, pegawai negeri sebesar 22 persen, pegawai swasta sebesar 12 persen. Sedangkan untuk responden untuk kelas ekonomi bawah persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 90 persen dan wiraswasta sebesar 10 persen. Besarnya proporsi responden yang bekerja untuk semua kelas sosial, baik pegawai negeri, pegawai swasta maupun berwiraswasta merupakan salah satu upaya untuk menambah pendapatan keluarga. Sebaran responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut. Tabel 8. Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Atas Menengah Jenis Pekerjaan n % n % Ibu Rumah Tangga 35 70 33 66
Kelas Ekonomi Bawah n % 45 90
Pegawai Negeri
7
14
11
22
0
0
Pegawai Swasta
5
10
6
12
0
0
Wiraswasta
3
6
0
0
5
10
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dari responden rumah tangga berbeda satu dengan lainnya dari tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sampai dengan Sarjana. Selain itu pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang saling berhubungan, dimana pendidikan akan mampu menentukan jenis pekerjaan konsumen, dan akan berimplikasi pada pendapatan yang akan diterimanya. Persentase terbesar responden rumah tangga kelas ekonomi atas adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTA yaitu sebanyak 34 responden atau 68 persen dari total responden kelas atas. Kelas ekonomi menengah persentase terbesar responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 33 responden atau 66 persen dari total responden kelas menengah. Sedangkan untuk kelas ekomoni bawah persentase terbesar responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTP yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 58 persen dari total responden kelas ekonomi bawah. Sebaran responden menurut tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan SD
Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Atas Menengah n % n % 0 0 0 0
Kelas Ekonomi Bawah n % 0 0
SLTP
0
0
0
0
29
58
SLTA
34
68
33
66
21
42
Diploma 3
9
18
17
34
0
0
Sarjana
7
14
0
0
0
0
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.5 Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga kelas ekonomi atas, menengah dan bawah antara 5-6 orang merupakan persentase terbesar dari responden yaitu 68 persen, 60 persen dan 66 persen. Jumlah anggota keluarga akan menentukan distribusi pangan antar anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih kecil tentunya akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan pangannya, terutama bagi keluarga yang termasuk kedalam kelas ekonomi menengah ke bawah, karena kesenjangan distribusi pangan dapat berakibat buruk pada anggota keluarga yang rawan gizi meskipun ketersediaan pangan tercukupi. Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Jumlah Anggota Atas Menengah Bawah Keluarga n % n % n % Kecil (≤ 4 Orang) 11 22 20 40 17 34 Sedang (5-6 Orang)
34
68
30
60
33
66
Besar (> 6Orang)
5
10
0
0
0
0
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.6 Pendapatan Keluarga Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota keluarga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai dengan kemampuan seseorang. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan mempengaruhi individu untuk meningkatkan konsumsinya. Sebaran responden menurut jumlah pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan) Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Jumlah Total Pendapatan Atas Menengah Bawah Keluarga (Rp/bulan) n % n % n % < Rp 2.000.000
0
0
0
0
50
100
Rp 2.000.000-Rp 4.900.000
0
0
50
100
0
0
≥ Rp 5.000.000
50
100
0
0
0
0
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.7 Pengeluaran Dalam penelitian ini pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran total yang dikeluarkan suatu rumah tangga selama satu bulan. Pengeluaran total rumah tangga dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu runmah tangga selama sebulan, baik itu untuk keperluan sehari-hari maupun untuk keperluan rumah tangga lainnya. Responden memiliki jumlah pengeluaran per bulan yang berbeda dengan kisaran berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran total memiliki kisaran antara Rp 1.000.000- 3.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 2.760.000. Untuk kelas ekonomi menengah
variasi pengeluaran total
perbulan berkisar antara
Rp 1.000.000- 2.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.782.000. untuk kelas ekonomi bawah variasi pengeluaran total perbulan berkisar antara Rp 500.0001.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.035.000. Sebaran responden menurut total pengeluaran keluarga per bulan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Keluarga (Rp/bulan) Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Jumlah Total Pengeluaran Atas Menengah Bawah Keluarga (Rp/bulan) n % n % n % < Rp 1.000.000 0 0 0 0 6 12 Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000
5
10
31
62
44
88
> Rp 2.000.000
45
90
19
38
0
0
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.8 Pengeluaran untuk Pangan Pengeluaran keluarga khusus untuk konsumsi pangan dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk membeli produk pangan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Responden memiliki pengeluaran khusus untuk pangan per bulan yang berbeda satu dengan lainnya dengan kisaran yang berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 1.000.000- 2.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.562.000. Untuk kelas ekonomi menengah, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 500.000- 2.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.042.000. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 400.000- 1.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 600.000.
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak lima responden rumah tangga kelas ekonomi atas memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 1.100.000-2.000.000, sedangkan 45 rumah tangga responden memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan lebih dari 2.000.000. Responden kelas menengah memiliki 25 rumah tangga yang jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 500.000- 1.000.000, sisanya sebanyak 25 responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar >Rp 1.000.000- 2.000.000. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, 13 rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan sebesar kurang dari Rp 500.000 dan 37 rumah tangga lainnya memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 500.000- 1.000.000. Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran untuk Pangan (Rp/bulan) Kelas Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Ekonomi Jumlah Total Pengeluaran Atas Menengah Bawah Untuk Pangan (Rp/bulan) n % n % n % < Rp 500.000 0 0 0 0 13 26 Rp 500.000 - Rp 1.000.000
0
0
25
50
37
74
>Rp1.000.000 – Rp 2.000.000
5
10
25
50
0
0
>Rp 2.000.000
45
90
0
0
0
0
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.9 Pengeluaran untuk Tempe Pengeluaran keluarga khusus untuk tempe dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk membeli produk tempe tersebut guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Responden memiliki pengeluaran khusus untuk tempe per bulan yang berbeda satu dengan lainnya dengan kisaran yang berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Tabel 14. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran untuk Tempe (Rp/bulan) Jumlah Total Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Pengeluaran Atas Menengah Bawah Untuk Tempe n % n % n % (Rp/bulan) < Rp 40.000 0 0 9 18 6 12 40.000 – Rp 60.000
12
24
17
34
20
40
>Rp 60.000
38
76
24
48
24
48
Jumlah
50
100
50
100
50
100
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebanyak 12 responden rumah tangga kelas ekonomi atas memiliki jumlah pengeluaran sebesar Rp 40.000- 60.000, 38 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan lebih dari Rp 60.000. Untuk kelas ekonomi menengah sebanyak sembilan responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk tempe per bulan kyrang dari Rp. 40.000, sebanyak 17 responden memiliki jumlah pengeluaran Rp 40.00060.000, dan 24 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan lebih dari Rp 60.000. Untuk kelas ekonomi bawah, sebanyak enam responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk tempe per bulan kurang dari Rp 40.000, sebanyak 20 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan berkisar antara Rp 40.000- 60.000, sedangkan 24 responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan lebih dari Rp 60.000.
6.1.10 Lokasi Pembelian Tempe Lokasi pemebelian tempe merupakan tempat dimana konsumen dapat membeli tempe. Untuk ekonomi kelas atas lokasi pembelian tempe yang terbesar adalah di pasar yaitu sebesar 56 persen, pembelian di pedagang sayur keliling sebesar 38 persen dan sisanya 3 persen lokasi pembeliannya di warung. Untuk kelas ekonomi menengah lokasi pembelian tempe tebesar adalah di pedagang sayur keliling (38 persen), warung (34 persen), dan pasar (28 persen). Sedangkan kelas ekonomi bawah, lokasi pembelian tempe terbesar adalah di pedagang sayur keliling yaitu sebesar 50 persen, warung (38 persen), dan sisanya 12 persen di pasar. Sebaran lokasi pembelian tempe dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Sebaran Responden Menurut Lokasi Pembelian Tempe Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Atas Menengah Bawah Lokasi Pembelian n % n % n % Pasar 28 56 14 28 6 12 Warung
3
6
17
34
19
38
Supermarket
0
0
0
0
0
0
19
38
19
38
25
50
50
100
50
100
50
100
Pedagang Sayur Keliling Jumlah
6.1.11 Alasan Mengonsumsi Tempe Alasan untuk mengonsumsi tempe adalah hal-hal yang mendasari seseorang untuk mengonsumsi tempe. Alasan seseorang untuk mengonsumsi tempe itu berbeda-beda untuk setiap kalangan, baik itu kalangan ekonomi atas, menengah, dan bawah. Untuk Kelas ekonomi atas, alasan mengonsumsi tempe terbesar yaitu karena tempe sudah menjadi kebutuhan yaitu sebesar 44 persen,
variasi menu sebesar 28 persen, sisanya katena harganya murah dan untuk pemenuhan gizi yaitu sebesar 16 persen dan 12 persen. Alasan kelas ekonomi menengah mengonsumsi tempe terbesar karena sudah menjadi kebutuhan (46 persen), variasi menu (20 persen), pemenuhan gizi (18 persen) dan harganya murah (16 persen). Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, alasan mengonsumsi tempe sebagian besar karena harganya yang murah (50 persen), dan sudah menjadi kebutuhan (44 persen) serta untuk pemenuhan gizi (6 persen). Tabel 16. Sebaran Responden Menurut Alasan MengonsumsiTempe Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Alasan Mengonsumsi Atas Menengah Bawah Tempe n % n % n % Harganya Murah 8 16 8 16 25 50 Variasi Menu
14
28
10
20
0
0
Pemenuhan Gizi
6
12
9
18
3
6
Sudah Menjadi Kebutuhan
22
44
23
46
22
44
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.1.12 Kapan Pembelian Tempe Kelas ekonomi atas biasanya melakukan pembelian tempe secara mendadak, hal ini dapat dilihat pada tabel 16 yaitu sebesar 62 persen, jika pesediaan habis sebesar 22 persen, dan sisanya 16 persen secara terencana. Untuk kelas ekonomi menengah waktu pemebelian tempe adalah secara mendadak yaitu sebesar 50 persen, secara terencana 32 persen, dan jika persediaan habis sebesar 18 persen. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, waktu pembelian tempe terbesar adalah secara mendadak yaitu 80 persen, secara terencana sebesar 14 persen dan sisanya 6 persen ketika pesediaan tempe telah habis.
Tabel 17. Sebaran Responden Menurut Waktu Pembelian Tempe Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kelas Ekonomi Kapan Pembelian Atas Menengah Bawah Tempe n % n % n % Mendadak 31 62 25 50 40 80 Terencana
8
16
16
32
7
14
Jika Persedian Habis
11
22
9
18
3
6
Jumlah
50
100
50
100
50
100
6.2 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konsumi Tempe Model atau bentuk persamaan yang digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi tempe adalah dengan menggunakan model persamaan regresi berganda. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap konsumsi tempe adalah harga tempe (X1), harga tahu (X2), harga telur (X3), jumlah anggota keluarga (X4), pendidikan terakhir (X5), dan kelas ekonomi atas (D1), kelas ekonomi menengah (D2), dan kelas ekonomi atas (D3) Hasil pendugaan yang diperoleh dengan menggunakan regresi linear berganda adalah sebagai berikut :
C = - 32094 + 11.4 X1 + 10.2 X2 + 2.06 X3 + 1732 X4 + 726 X5 + 3892 D1 + 6864 D2
Keterangan : C X1 X2 X3 X4 X5 D1 D2 D3
= Konsumsi Tempe = Harga Tempe = Harga Tahu = Harga Telur = Jumlah anggota Keluarga = Pendidikan Terakhir = Kelas Ekonomi Bawah = Kelas Ekonomi Menengah = Kelas Ekonomi Atas
Tabel 18. Hasil Analisis Ragam Source DF SS 27205949362 Regression 7 5067785638 Residual Error 142 32273735000 Total 149
MS 3886564195 35688631
Fhit 108.90
P 0.000
Dari hasil pendugaan diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 84.3 persen. Hal ini mengartikan bahwa model regresi yang digunakan dapat menerangkan variasi keragaman dari nilai konsumsi tempe beserta variabel independennya sebesar 84.3 persen, kemudian sisanya sebesar 15.7 persen diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Dari tabel diketahui nilai F-hitung sebesar 108.90 yang lebih besar dari nilai F-tabel sebesar 2,01 pada selang kepercayaan 95 persen, sehingga dapat dihipotesiskan bahwa variabel independen yaitu harga tempe, harga tahu, harga telur, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan terakhir secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan linear pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode dilakukan uji autokorelasi. Statistik uji Durbin-Watson digunakan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi atau tidak. Nilai Durbin-Watson (d) yang didapatkan pada model ini adalah 0.43. Nilai ini menandakan bahwa terdapat autokorelasi pada model regresi. Untuk mengetahui apakah residual atau error sudah menyebar normal dilakukan uji normalitas dengan uji Komogorov-Smirnov. Nilai dengan uji uji KomogorovSmirnov kurang dari 0,01, ini berarti residual atau error dalam model regresi linear berganda sudah tidak menyebar normal. Untuk melihat signifikansi dan koefisien masing-masing variabel independent yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Analisis Variabel Pada Model Regresi Linear Berganda Konsumsi Tempe Predictor Constant Harga Tempe (X1) Harga Tahu (X2) Harga Telur (X3) Jumlah Anggota Keluarga (X4) Pendidikan Terakhir (X5) Kelas Ekonomi Bawah (D1) Kelas Ekonomi Menengah (D2) Ttabel(0,05;142) = 1,645
Coef -32094 11.4281 10.194 2.0633 1732.4 726.3 3892 6864
SE Thitung Phitung 13940 -2.30 0.023 0.5555 20.57 0.000 1.857 5.49 0.000 0.9035 2.28 0.024 696.4 2.49 0.014 316.0 2.30 0.023 1730 2.25 0.026 1308 5.25 0.000
VIF 1.7 1.4 1.7 1.2 2.1 2.8 1.6
Interpretasi koefisien dan signifikansi setiap variabel independen dari hasil analisis secara detail dapat dilihat sebagai berikut : Harga Tempe (X1) Koefisien harga tempe bernilai positif yaitu sebesar 11.4281 Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga tempe sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 11.4281. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga tempe maka konsumsi tempe akan turun, dimana harga tempe mempunyai hubungan negatif dengan konsumsi tempe. Ketidaksesuaian ini mungkin terjadi karena konsumen sudah mengetahui kandungan gizi yang terdapat dalam tempe, sehingga walaupun harga tempe naik mereka tetap tidak mengurangi untuk mengonsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga tempe secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel harga tempe nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata
lima persen.
Hal ini mengartikan bahwa variabel
tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel harga tempe
lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,7. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga tempe dengan variabel independen lainnya. Harga Tahu (X2) Koefisien harga tahu bernilai positif yaitu sebesar 10.194. Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga tahu sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 10.194. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga tahu maka konsumsi tempe akan naik, dimana harga tahu mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga tahu secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel harga tahu nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel harga tahu lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,4. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga tahu deng an variabel independen lainnya Harga Telur (X3) Koefisien harga telur bernilai positif yaitu sebesar 2.0633. Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga telur sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 2.0633. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga telur maka konsumsi tempe akan naik, dimana harga telur mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe Untuk mengetahui apakah variabel harga telur secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel
harga telur nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata
lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut
berpengaruh nyata secara parsial dan dapat menjelaskan konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel harga telur lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,7. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga telur dengan variabel independent lainnya. Jumlah Anggota Keluarga (X4) Koefisien pendapatan bernilai positif yaitu sebesar 1732.4. Angka ini mengartikan bahwa jika jumlah anggota betambah sebesar satu orang, maka ratarata konsumsi tempe akan meningkat 1732.4. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi tempe akan naik, dimana jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel jumlah anggota keluarga secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel jumlah anggota keluarga nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata
lima persen. Hal ini
mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel pendapatan lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,2. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel jumlah anggota keluarga dengan variabel independent lainnya.
Pendidikan Terakhir (X5) Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 726.3. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 726.3. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi tempe akan naik, dimana tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel tingkat pendidikan secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel tingkat pendidikan nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel pendapatan lebih kecil dari lima yaitu sebesar 2.1. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel tingkat pendidikan dengan variabel independent lainnya. Kelas Ekonomi Bawah (D1) Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 3892. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi kelas ekonomi bawah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 3892. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi tempe akan naik, dimana kelas ekonomi bawah mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe.
Kemudian untuk mengetahui apakah variabel kelas ekonomi bawah secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel kelas ekonomi bawah nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata
lima persen. Hal ini
mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel kelas ekonomi bawah lebih kecil dari lima yaitu sebesar 2.8. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel tingkat pendidikan dengan variabel independent lainnya Kelas Ekonomi Menengah (D2) Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 6864. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi kelas ekonomi menengah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 6864. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi kelas ekonomi menengah maka konsumsi tempe akan naik, dimana kelas ekonomi menengah mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel kelas ekonomi menengah secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel kelas ekonomi menengah nilai Thitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan Ttabel (1,645) pada taraf nyata
lima persen. Hal ini
mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang didapatkan untuk variabel kelas ekonomi menengah lebih kecil dari lima yaitu
sebesar 1.6. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel kelas ekonomi menengah dengan variabel independent lainnya Faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam mengonsumsi tempe adalah harga tempe itu sendiri, harga tahu, harga telur, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir dari responden, kelas ekonomi bawah, dan kelas ekonomi menengah. Harga tempe berpengaruh nyata karena konsumen melihat harga dari barang yang akan dibelinya atau dikonsumsinya. Harga tahu berpengaruh nyata karena, apabila harga tahu naik maka konsumen akan beralih pada makanan yang bahan dasarnya sama dari kedelai dan salah satunya tempe. Harga telur berpengaruh nyata karena apabila harga telur naik, maka konsumen akan mengurangi untuk mengonsumsi telur dan beralih pada makanan lain yang harganya lebih murah. Jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata karena, semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi suatu barangpun akan semakin meningkat. Sedangkan pendidikan terakhir berpengaruh nyata karena konsumen akan mempertimbangkan produk mana yang lebih bermanfaat atau berguna sebelum membelinya. Kelas ekonomi bawah dan menengah berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe karena harganya yang murah dan bergizi, selain itu karena sudah menjadi kebiasaan untuk mengonsumsi tempe. Harga tempe merupakan variabel yang paling responsif diantara variabelvariabel lainnya, hal ini di karenakan konsumen akan mengonsumsi suatu barang dilihat dari harga barang itu sendiri Apabila harga barang itu murah maka konsumen akan mengonsumsinya, apabila harganya tinggi, maka konsumen akan mempertimbangkan untuk mengonsumsi barang tersebut.
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa, usia rata-rata responden untuk kelas ekonomi atas 45,5 tahun, kelas ekonomi menengah 43,3 tahun, dan kelas ekonomi bawah 42,8 tahun. Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah adalah perempuan yang umunya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu rumah tangga lebih memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga. Untuk responden rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan baik itu kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah peresntase terbesarnya adalah ibu rumah tangga. Persentase terbesar responden pada tingkat pendidikan kelas ekonomi atas dan menengah adalah tingkat SLTA, sedangkan kelas ekonomi bawah adalah SLTP. Persentase terbesar Jumlah anggota keluarga untuk kelas ekonomi atas, menengah dan bawah adalah yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-6 orang. Responden terbesar untuk pengeluaran konsumsi tempe keluarga kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah adalah diatas Rp 60.000. Lokasi pembelian tempe untuk kelas ekonomi atas sebesar 56 persen di pasar, kelas ekonomi menengah 38 persen di pedagang keliling, dan kelas ekonomi bawah sebesar 50 persen di pedagang sayur keliling. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe dapat ditarik kesimpulan bahwa harga tempe (X1), harga tahu (X2), harga telur (X3), jumlah anggota keluarga(X4), pendidikan terakhir(X5),kelas ekonomi bawah(D1), dan
kelas ekonomi menengah (D2) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe di Kota Bogor pada taraf nyata lima persen.
7.2 Saran Hendaknya penawaran tempe yang ada di Kota Bogor lebih di tingkatkan lagi baik dari segi jumlah maupun kemudahan mendapatkan produk. Sampai saat ini belum terdapat sentra tempe di Kota Bogor sehingga rumah tangga dapat dengan mudah memperoleh produk tersebut. Baiknya semua kalangan dari usia kecil sampai dewasa dan dari berbagai kelas sosial mengonsumsi tempe karena baik untuk kesehatan tubuh karena banyak mengadung vitamin.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Staistik Harga Perdagangan Besar Beberapa Propinsi di Indonesia 1999-2003. BPS Kota Bogor. 2008. Kota Bogor Dalam Angka. Deptan, 2005. Data Base Pemasaran Internasional Kedelai. Departemen Pertanian, 2008. Data Base Kedelai. Engel, J.F, Blackwell, R.D, dan Winiard, P.W. 1994. Peilaku Konsumen, Edisi Keenam. Binarupa Aksara. Jakarta. Hadipurnomo, Tidar. 2000. Dampak Kebijakan Produksi dan Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Gunadarma. Jakarta. Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol. Jilid 2. Edisi Bahasa Indonesia. PT Prenhallindo. Jakarta. Kurniasari, E. 2010. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomni dan Manajemen. IPB. Bogor. Mankiw, N. Gregory. 1998. Pengantar Ekonomi Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Nazir, N. 1998. Metode Penelitian. Ghalia. Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1992. Agribisnis Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1993. Penelitian Agribisnis (Buku I: Kedelai). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi 2. Ghalia. Indonesia. Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sulaiman, W. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS Contoh Kasus & Pemecahannya. ANDI. Yogyakarta.
Susetyanto. 1994. Analisis Dampak Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Produksi, Pendapatan, dan Konsumsi Rumah Tangga Petani Kedelai di Kabupaten Subang. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Widari, S. 2006. Dampak Sosialisasi Flu Burung Terhadap Pola Konsumsi Daging Dan Telur Ayam Konsumen Rumah Tangga Di Kota Bogor. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Widodo, A. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumen Membeli Stick Tahu Poo (Studi Kasus Di Kabupaten Kediri). Skripsi. Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Regression Analysis: C versus X1, X2, X3, X4, X5, D1, D2, D3 * D3 is highly correlated with other X variables * D3 has been removed from the equation The regression equation is C = - 32094 + 11.4 X1 + 10.2 X2 + 2.06 X3 + 1732 X4 + 726 X5 + 3892 D1 + 6864 D2 Predictor Constant X1 X2 X3 X4 X5 D1 D2
Coef -32094 11.4281 10.194 2.0633 1732.4 726.3 3892 6864
S = 5974
SE Coef 13940 0.5555 1.857 0.9035 696.4 316.0 1730 1308
R-Sq = 84.3%
T -2.30 20.57 5.49 2.28 2.49 2.30 2.25 5.25
P 0.023 0.000 0.000 0.024 0.014 0.023 0.026 0.000
VIF 1.7 1.4 1.7 1.2 2.1 2.8 1.6
R-Sq(adj) = 83.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source X1 X2 X3 X4 X5 D1 D2
DF SS 7 27205949362 142 5067785638 149 32273735000
MS 3886564195 35688631
F 108.90
P 0.000
DF Seq SS 1 23917212137 1 1467034653 1 408884410 1 93445146 1 332726079 1 3355082 1 983291855
Unusual Observations Obs X1 C 41 2000 40000 2.27R 147 4000 80000 2.01R 148 4000 80000 2.01R 149 4000 80000 2.01R
Fit 53011
SE Fit 1664
Residual -13011
68432
1601
11568
68432
1601
11568
68432
1601
11568
R denotes an observation with a large standardized residual Durbin-Watson statistic = 0.43
Normplot of Residuals for C Macro is running ... please wait
Normal Prob Plot: RESI1
St Resid -
KUESIONER PENELITIAN Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penyusunan skripsi “FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI TEMPE DI KOTA BOGOR” oleh Indra Setiawan (A 14105673), mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
1. Nama
:
2. Usia
:
3. Alamat
:
4. Pekerjaan
:
5. Pendidikan Terakhir
:
6. Status Pernikahan
:
7. Jumlah Anggota Keluarga
:
8. Yang Sudah Bekerja
:
9. Berapa rata-rata pendapatan keluarga anda dalam sebulan ?
10. Berapa rata-rata pengeluaran anda (keluarga) dalam sebulan ?
11. Berapa rata-rata pengeluaran anda (keluarga) untuk pangan dalam sebulan ?
12. Apakah anda mengkonsumsi produk berikut ini ? a. Tempe
(Ya / Tidak)
b. Tahu
(Ya / Tidak)
c. Telur
(Ya / Tidak)
13. Isilah tabel berikut Jenis produk Tempe Tahu Telur
Jumlah pembelian/ konsumsi dalam sebulan
Harga pembelian
14. Alasan membeli dan mengkonsumsi produk-produk tersebut diatas ? a. Sudah menjadi kebutuhan
d. Variasi Menu
b. Ingin mencoba
e. Lainnya (sebutkan)
c. Pemenuhan gizi 15. Dimana biasanya anda membeli produk-produk tersebut ? a. Pasar
d. Pedagang sayur keliling
b. Warung
e. Lainnya (Sebutkan)
c. Supermarket 16. Berapa jumlah rata-rata pengeluaran anda khusus untuk konsumsi tempe ?
17. Alasan anda mengkonsumsi tempe ? a. Sudah menjadi kebutuhan
d. Variasi Menu
b. Harganya Murah
e. Lainnya (sebutkan)
c. Pemenuhan gizi 18. Dimana biasanya anda membeli tempe ? a. Pasar
d. Pedagang sayur keliling
b. Warung
e. Lainnya (Sebutkan)
c. Supermarket 19. Kapan anda melakukan pembelian tempe? a. Mendadak
c. Jika persediaan habis
b. Terencana
d. Lainnya (Sebutkan)