FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAJUAN TERAPIANAK AUTIS DI KOTA PADANG TAHUN 2013.
Aida Minropa*
ABSTRAK Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang ditandai dengan gangguan intereksi sosial, komunikasi dan bahasa serta perilaku. Jumlah kasus autis mengalami peningkatan di Indonesia, tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, tahun 2012 menjadi 1 dari 88 orang anak yang mengalami autis Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut derajat autis, usia mulai terapi, kecerdasan, kemampuan anak bicara, intensitas terapi, lama terapi serta dukungan orang tua. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat faktor dominan yang mempengaruhi kemajuan terapi anak autis di kota Padang tahun 2013. Penelitian dilaksanakan di Kota Padang pada bulan April 2013 sampai dengan Januari 2014 dengan desain crossectional studi, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua dan anak menjalani terapi yang sudah didiagnosa autis saja 109 orang dan sampel diambil dengan proporsional stratified random sampling yang berjumlah 51 orang. Teknik pengolahan data bivariat dengan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan α ═ 0,05 dan multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara derajat autis, intensitas terapi, dukungan orang tua dengan kemajuan terapi anak autis di Kota Padang tahun 2013. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia mulai terapi, lama terapi dengan kemajuan terapi anak autis di Kota Padang tahun 2013. Variabel yang paling dominan pada penelitian ini adalah variabel dukungan orang tua dengan OR 27, 03 dan nilai ρ 0,000. Saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini antara lain kepada orang tua diharapkan mengikuti kelompok orang tua dengan anak autis serta mengikuti seminar tentang anak autis. Kepada pemerintah diharapkan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Kata kunci : Faktor Kemajuan terapi, anak autis
Alamat Korespondensi : *Aida Minropa Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang Jln. Jamal Jamil Pondok Kopi - Siteba
1
PENDAHULUAN Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek dalam kehidupan yang panjang. Gangguan tersebut meliputi aspek intereksi sosial, komunikasi dan dan bahasa serta perilaku. Penatalaksanaan anak autis ditawarkan berbagai metode di seluruh dunia. Metode yang sering dipkai antara lainApplied Behavior Analisis (ABA), biomedical intervention, speech therapy, occupation therapy, dolphin therapy, picture Exchange Communikation System (PECS), son rice, music therapy, hyperbaric oxygen therapy. Terapi yang dipakai di Indonesia adalah terapi wicara, terapi okupasi, terapi sensori dan terapi prilaku. Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan, tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, tahun 2012 menjadi 1 dari 88 orang anak yang mengalami autisme. Provinsi Sumatera Barat dan kota Padang belum ada angka yang pasti untuk anak penderita autis. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut : derajat autis, usia mulai terapi, kecerdasan, kemampuan anak bicara, intensitas terapi, lama terapi (Handojo, 2004). Dukungan orang tua juga memegang peranan penting dalam kemajuan terapi anak autis. Karena orang tua adalah orang yang terdekat dengan anak dan kebersamaan orang tua lebih banyak dengan anak di bandingkan dengan kebersamaan terapis. Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel yang diteliti yaitu derajat autis, usia mulai terapi, intensitas terapi, lama terapi, dukungan orang tua dan kemajuan. Pada penelitian ini juga dilihat hubungan derajat autis, usia mulai terapi, intensitas terapi, lama terapi, dukungan orang tua dengan kemajuan terapi. Sekaligus melihat faktor dominan yang mempengaruhi kemajuan terapi anak autis di kota Padang tahun 2013. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Mitra Ananda, Hati Ibu, Yayasan Pengembangan Potensi (YPPA), Yayasan Bina Mandiri (Bima) Harapan Bunda yang ada di Kota Padang bulan April sampai dengan Desember
Buah Anak dan pada 2013
dengan desain crossectional study, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua dan anak menjalani terapi yang sudah didiagnosis autis oleh dokter Psikiater yang berjumlah 109 orang dan sampel diambil dengan proportional stratified random sampling yang berjulah 51 orang. Teknik pengolahan data bivariat dengan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan α ═ 0,05 dan multivariat dengan uji regresi logistik. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden Responden rata-rata berusia 10 tahun, usia minimal 5 tahun dan usia maksimal 16 tahun, 74.6 % laki-laki, 56,9 % ibu responden bekerja. 2. Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Terapi Anak Autis Hasil menunjukan lebih separuh responden yaitu 57 % mengalami kemajuan terapi autis. Kurang separuh responden yaitu 27 % berada pada derajat autis berat. Kurang separuh responden yaitu 26 % memulai terapi pada usia yang tidak baik (> 5 tahun). Lebih separuh responden yaitu 63 % menjalani terapi tidak intens. Hampir seporuh responden yaitu 45 % menjalani terapi pada waktu yang maksimal. Kurang separuh responden yaitu 31 % menjalani terapi dengan adanya dukungan orang tua. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kurang separuh responden yaitu 43 % tidak mengalami kemajuan terapi. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Jannifer dan Brenda (2008) yang menyatakan bahwa kurang separuh yaitu 47 % reponden tidak mengalami kemajuan terapi dan penelitian Doveriyanti (2009) yang menyatakan bahwa kurang separuh yaitu 39 % responden yang tidak mengalami kemajuan setelah mendapatkan terapi. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dari Ginanjar (2003) yaitu anak autis yang diberikan terapi akan mengalami kemajuan. Sebelum terapi setiap anak mendapat evaluasi yang lengkap. Hasil analisis evaluasi dibuatkan kurikulum yang bersifat individual disesuaikan dengan keadaan anak.
2
Kenyataan pada tempat penelitian, masingmasing orang tuaresponden mengisi format yang sudah disediakan oleh tempat terapi diawal mulai terapi. Hasil dari pengisian format tersebut disepakati sebagai dasar menetapkan program terapi kepada anak yang bersifat individual. Program yang sudah ditetapkan ini dipakai setiap responden untuk menjalankan terapi, tetapi masih ada juga responden yang belum mengalami kemajuan terapi. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian kecil responden yaitu 27 % berada pada derajat berat. Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian Asti (2008) yang mendapatkan lebih separuh yaitu 53 % anak yang menjalani terapi dengan derajat autis berat. Permasalahan atau gangguan yang komplek terjadi pada neurobiologi otak anak autis. Gangguan pada otak pada anak terjadi pada lobus frontalis sebagai pusat pengendali fungsi eksekutif (paning judment), hippocampus sebagai fungsi memori dan belajar, lobus temporalis sebagai pengendali fungsi auditori, bicara dan memori, Amigdala sebagai pusat pengendali fungsi emosi dan serebelum sebagai pusat pengendali fungsi skill motorik dan pengalihan perhatian (APA, 1999). Gangguan yang terjadi pada lobus otak anak autis menyebabkan anak tersebut menunjukan gejala gangguan perkembangan. Gejala yang muncul sesuai dengan lobus yang mengalami kerusakan tersebut seperti adanya gangguan bicara, emosi, motorik dan perhatian. Jika banyak lobus yang mengalami kerusakan maka gejala yang akan muncul juga lebih banyak. Hal ini yang akan mempengaruhi derajat autis.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian kecil responden yaitu 26 % memulai usia terapi pada usia tidak yang baik (> 5 tahun). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Asti (2009) dengan hasil sebagian kecil yaitu 32 % responden melaksanakan terapi pada usia yang tidak baik. Awalnya anak mereka berkembang dengan normal tetapi akhirnya menampakan gejala yang tidak wajar. Gejala yang tidak wajar terjadi pada anak seperti awalnya anak sudah mampu
mengucapkan satu atau dua kata tetapi tiba-tiba hilang. Sebagian anak belum bisa megucapkan satu suku kata pada usia 2 tahun dan anak tidak mau melihat atau berespon kalau di panggil. Keterlambatan perkembangan diikuti dengan munculnya perilaku yang tidak sesuai seperti menggigit jari sendiri, sering memukul kepala dan marah atau menangis tanpa sebab. Gejala ini lah yang menyebabkan orang tua mencari tempat untuk mengatasi gejala yang muncul pada anaknya seperti datang ke dokter dan akhirnya mengantarkan anaknya ke tempat terapi. Disamping itu ketelambatan terapa juga disebabkan orang tua tidak tahu tentang pengobatan dan tempat terapi anak autis. Keterlambatan menyadari kejadian autis pada anak dapat dikurangi dengan dilakukannya pemantauan tumbuh kembang anak. Program ini sudah ditetapkan pemerintah yang dikenal dengan program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Kegiatan SDIDTK dapat menemukan secara dini penyimpangan pertumbuhan, penyimpangan perkembangan dan penyimpangan mental emosional pada anak. Hasil pemantauan ini dapat dilakukan intervensi dan stimulasi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya penyimpangan pertumbuhan, penyimpangan perkembangan dan penyimpangan mental emosional yang menetap (Depkes RI, 2009).
Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih separuh yaitu 63 % responden menjalani terapi tidak intens atau kurang dari 40 jam perminggu. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Roseann, 1983 yaitu lebih separuh responden menjalankan terapi dengan intensitas yang tidak baik Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Lovaas dalam Davidson (2009) yang menjelaskan bahwa intensitas terapi anak autis yang baik dilaksanakan 40 jam dalam satu minggu. Anak autis harus mendapatkan terapi yang intensif. Semakin intensif anak autis mendapat terapi, maka semakin besar kemungkinan mengalami kemajuan terapi. Terapi formal dilakukan 4-8 jam sehari di tempat terapi. Keluarga melanjutkan terapi di rumah minimal 2 jam sehari dan keluarga harus sering
3
berkomunikasi dengan anak mulai pagi hingga tidur malam hari. Perbedaan teori dengan hasil penelitian ini terjadi karena pada tempat terapi anak hanya menjalankan terapi selama 2-4 jam sehari. Sedikitnya jam terapi disebabkan oleh biaya terapi yang cukup mahal. Terapi dilakukan memakai alat dan fasilitas yang sudah ada di tempat terapi. Satu orang anak autis diterapi oleh satu orang terapi. Tempat terapi anak autis ini adalah yayasan swasta sehingga pembelian fasiltas dan alat terapis serta jasa terapis ini di bebankan kepada orang tua anak yang menjalankan terapi. Hal ini yang menyebabkan biaya terapi anak menjadi mahal. Terapi dilanjutkan oleh keluarga di rumah hanya 2 jam dalam seharinya. Keadaan inilah yang menyebabkan jumlah terapi anak dalam seminggu tidak mencapai 40 jam perminggunya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa banyak responden menjalani terapi pada waktu yang maksimal ( ≥ 5 tahun) yaitu 45 %. Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek/berat dalam kehidupan yang panjang. Gangguan tersebut meliputi gangguan pada aspek interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, dan perilaku serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya (Yuwono, 2009). Autis ini merupakan gangguan perkembangan yang terjadi pada anak. Gejala yang muncul masing-masing anak berbeda, mulai dari gejala dengan derajat ringan sampai gejala derajat berat. Perbedaan derajat ini memberikan dampak pada lama waktu terapi yang dijalaani oleh anak autis. Gejala pada autis derajat berat tidak dapat dikurangi pada waktu yang singkat. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kurang separuh responden yaitu 31 % menjalankan terapi dengan orang tua tidak mendukung pelaksanaan terapi. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Roseann (1983) yaitu kurang separuh responden menjalankan terapi tanpa dukungan orang tua yaitu 46 %. Hasil ini tidak sama dengan penelitian Doveriyanti ( 2009) yang mendapatkan hasil sebagian kecil yaitu 13
% orang tua memberikan dukungan yang negatif terhadap pelaksanaan terapi. Bentuk dukungan orang tua yang memiliki anak autis adalah memastikan diagnosa, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Orang yang kompeten menegakkan diagnosa autis adalah dokter, psikiater dan psikolog. Orang tua harus memperkaya pengetahuannya tentang autisme, terutama pengetahuan tentang terapi yang tepat dan sesuai untuk anak. Hal ini dapat dilakukan orang tua dengan mengikuti kegiatan seminar atau event-event tentang autis. Orang tua sebaiknya sering berdiskusi dengan terapis tentang terapi yang dijalankan anak. Hal lain yang juga sangat membantu orang tua dalam menghadapi anak autis adalah dengan mengikuti parentsuport group. Pada wadah ini orang tua dapat berbagi rasa, pengalaman, informasi dan pengetahuan (Priyatna, 2010).
3. Hubungan Derajat Autis dengan Kemajuan Terapi Persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan paling tinggi pada responden yang mengalami autis derajat berat yaitu 76,8 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,005 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara derajat autis dengan kemajuan terapi.Penelitian Asti (2008) menyatakan bahwa persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada autis dengan berat yaitu 84 % dibandingkan persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan pada derajat ringan yaitu 16 %. Hasil penelitian ini sesuai teori Maulana (2007) yang menyatakan bahwa semakin ringan gangguan autis maka kemajuan terapi akan cepat tercapai.
4. Hubungan Usia Mulai Terapi dengan Kemajuan Terapi Persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada responden yang mulai terapi pada usia yang tidak baik yaitu 69,2 % dibandingkan dengan mulai terapi pada usia yang baik yaitu 69,2 %. Hasil uji statistik menunjukkan nilai ρ = 0,061 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan
4
antara usia mulai terapi dengan kemajuan terapi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Asti (2008) menyatakan bahwa persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan terapi lebih tinggi pada responden yang mulai terapi berusia lebih dari 3 tahun yaitu 67,8 % dibandingkan dengan persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan terapi pada responden yang mulai terapi berusia kurang dari 3 tahun yaitu 32,2 %. Penelitian lain yang memperkuat hasil penelitian ini adalah penelitian Grandgoerge (2009) menyatakan bahwa persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan terapi lebih tinggi pada responden yang mulai terapi berusia lebih dari 3 tahun yaitu 91,4 % dibandingkan dengan persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan terapi pada responden yang mulai terapi berusia kurang dari 3 tahun yaitu 8,6 %. %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara usia mulai terapi dengan kemajuan terapi. Perbedaan hasil uji statistik penelitian ini dengan penelitian Grandgoerge dapat disebabkan karena perbedaan faktor yang jumlah faktor yang diteliti dan jumlah responden. Pada penelitian Grandgoerge faktor yang di teliti hanya faktor usia mulai terapi, dukungan orang tua dengan kemajuan terapi sementara pada penelitian ini faktor yang diteliti adalah faktor derajat autis, intensitas terapi, lamanya terapi dan dukungan orang tua dengan kemajuan terapi. Masing-masing faktor saling mempengaruhi. Pada penelitian ini responden berjumlah 51 orang sedangkan pada penelitian Grandgoerge respondennya lebih banyak yaitu 152 orang. Sementara kesamaan penelitian ini dengan penelitian orang lain adalah respondennya sama menjalankan terapi selama 3 tahun. Anak usia 3 tahun masih mengalami perkembangan otak. Rangsangan yang dlakukan dari luar berupa program terapi akan memberikan peluang anak dapat berkembang dengan baik. Perkembangan yang diharapkan mendekati perkembangan anak yang normal Usia antara 2-5 tahun adalah usia yang sangat ideal untuk memulai menangani anak dengan auits. Prinsip penanganan sedini mungkin lebih
baik dari pada intervensi yang terlambat. Penanganan secara dini terhadap perkembangan anak yang mengalami gangguan sangat menguntungkan. Anatomi otak usia 3 tahun masih bersifat plastik sehingga masih dapat dikembangakan (Hadis, 2006). Sebaliknya penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat. Jika sudah terdeteksi sejak dini tentunya akan semakin cepat proses penanganannya. Banyak metode dan cara untuk mendidik anak autis (Maulana, 2007). Usia lebih dari 5 tahun otak anak tidak mengalami perkembangan lagi. Pada usia ini jika dilakukan rangsangan dari luar berupa program terapi maka akan sulit menampakan kemajuan. Selain itu pada usia ini anak sudah terbiasa dengan keadaannya yang terbatas. Anak autis sulit untuk dilakukan perubahan. 5. Hubungan Intensitas Terapi dengan Kemajuan Terapi Persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada pelaksanaan terapi yang tidak intens yaitu 56,3 % dibandingkan pelaksanaan terapi yang intens yaitu 21,1 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,031 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas terapi dengan kemajuan terapi.Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Roseann (1983) yang menjelaskan bahwa persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada pelaksanaan terapi yang tidak intens yaitu 69 % dibandingkan pelaksanaan terapi yang intens yaitu 31 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,003 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas terapi dengan kemajuan terapi. Teori Lovaas dalam Davidson (2009) menjelaskan bahwa terapi anak autis dilaksanakan 40 jam dalam satu minggu. Terapi autis yang dilakukan kepada anak harus dilakukan sangat intensif. Semakin intensif anak autis mendapat terapi, maka semakin besar mengalami kemajuan. Terapi formal dilakukan 4-8 jam sehari. Keluarga melanjutkan terapi di rumah selama 2 jam dalam sehari. Anak autis mempunyai kecenderungan asik dengan dirinya sendiri. Pemberian rangsangan
5
dalam bentuk terapi pada waktu yang cukup lama yaitu 40 jam atau lebih dalam seminggu akan dapat menarik anak tersebut ke dunia nyata. Intensitas yang baik ini akan dapat tercapai jika waktu terapi yang dilaksanakan di tempat terapi hanya 2-4 jam dalam sehari dilanjutkan oleh orang tua di rumah minimal 4 jam dalam sehari. 6. Hubungan Lama Terapi dengan Kemajuan Terapi Persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan paling tinggi pada responden yang menjalani terapi dalam waktu yang maksimal 52,23 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,105 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama terapi dengan kemajuan terapi. Hasil penelitian ini terjadi karena panjang atau lamanya terapi yang dijalani oleh anak bukan merupakan faktor satu-satunya yang mempengaruhi kemajuan terapi. Ada faktor lain yang mempengaruhi kemajuan terapi seperti intensitas waktu terapi yang baik yaitu 40 jam dalam seminggu. Jadi walaupun anak sudah melaksanakan terapi yang cukup lama yaitu lebih dari 5 tahun tetapi jika intensitasnya tidak baik maka kemajuan akan lama tercapai. Disamping itu faktor derajat autis juga mempengaruhi kemajuan terapi. Derajat autis ini dapat memberikan kita gambaran sejauh mana anak mengalami gangguan pada otak anak autis. Derajat berat berarti mengalami gangguan yang cukup berat pula pada otaknya. Sebaliknya anak autis yang menjalani terapi dalam waktu yang tidak lama yaitu kurang dari 5 tahun dan melaksanakan terapi dengan waktu yang intensif yaitu lebih dari 40 jam seminggu dan berada pada derajat yang tidak berat akan menampakan kemajuan terapi yang baik. 7. Hubungan Dukungan Orang Tua dengan Kemajuan Terapi Persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada responden yang menjalani terapi dengan orang tua yang tidak mendukung pelaksanaan terapi yaitu 87,5 % dibandingkan dengan orang tua yang mendukung pelaksanaan terapi yaitu 22.9 %.
Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dengan kemajuan terapi. Sama dengan hasil penelitian Doveriyanti (2009) yaitu persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada orang tua yang memberikan dukungan negatif yaitu 61 % di bandingkan dengan dukungan orang tua yang positif yaitu 39 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dengan kemajuan terapi. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Grandgeorge (2009) yang menyatakan bahwa persentase terapi yang tidak mengalami kemajuan lebih tinggi pada orang tua memberikan dukungan negatif yaitu 54 % di bandingkan dengan dukungan orang tua yang positif yaitu 46 %. Hasil uji statistik menunjukan nilai ρ = 0,01 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dengan kemajuan terapi. Dukungan orang tua juga memegang peranan penting dalam kemajuan terapi anak autis. Karena orang tua adalah orang yang paling kenal dan terdekat dengan anak. Kebersamaan orang tua lebih banyak dengan anak di bandingkan dengan kebersamaan terapis. Waktu anak di tempat terapi hanya selama 2- 4 jam sehari. Pengalaman ahli menyatakan bahwa orang tua yang melaksanakan terapi secara intensif kepada anaknya akan memperoleh hasil yang sangat memuaskan karena anak menunjukkan kemajuan terapi yang sangat pesat (Priyatna,2010). Bentuk dukungan orang tua terhadap kemajuan terapi anak salah satunya adalah bekerjasama dengan terapis dengan cara melanjutkan program terapi di rumah. Orang tua juga dituntut bijak dan sabar menghadapi anak autis (Milza,2007). Anak autis membutuhkan bimbingan dan dukungan yang lebih dari orang tua dan lingkungan untuk tumbuh dan berkembang agar dapat hidup mandiri, mampu berkomunikasi, bersosialisasi dan pengelolaan perilaku yang positif (Ginanjar, 2001).
6
Hasil penelitian ini terjadi karena waktu anak dengan orang tua lebih kenal, lebih memahami dan lebih dekat dengan anak. Kebersamaan orang tua lebih banyak dibandingkan kebersamaan anak dengan dengan terapisnya. Sehingga program terapi yang sudah ditetapkan untuk anak perlu dilanjutkan di rumah. Orang tua yang disiplin dan tegas dalam melaksanakan program terapi di rumah dapat mempengaruhi kemajuan terapi anak.
memahami juga, maka orang tua harus sabar dan tetap mengulanginya sampai anak autis tersebut memahami apa yang disampaikan.
8. Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Kemajuan Terapi Anak Autis Untuk mengetahui variabel yang dominan pada faktor-faktor yang mempegaruhi kemajuan terapi anak autis dilakukan analisis multivariat, dengan mempergunakan uji statistik regresi logistik. Analisis pemodelan multivariat pada penelitian ini menggunakan metoda Back ward LR, dimana dapat dilihat pada tabel 1di bawah ini :
Penerimaan orang tua akan keadaan anaknya juga mempengaruhi kemajuan terapi. Maksudnya orang tua yang mempunyai anak dengan autis harus merawat anak autis tersebut dengan penuh perhatian, kesabaran dan kasih sayang yang lebih di bandingkan anak normal, termasuk saat melanjutkan terapi di rumah. Jika pada anak normal menyampaikan sesuatu satu kali anak dapat memahami tetapi pada anak autis sudah di sampaikan berkali-kali belum Step 1 Step 2 Sig. OR Sig. OR Derajat autis 0,277 1,988 0,294 1,912
Sig. -
Step 3 OR -
-
Step 4 OR -
Sig.
Usia mulai terapi
0,135
4,682
1,136
4,131
0,133
4,134
-
-
Intensitas
0,076
5,610
0,073
5,687
0,033
7,303
0,044
5,948
Lama terapi
0,749
0,855
-
-
-
-
-
-
Dukungan
0,040
18,948
0,004
19,032
0,001
22,908
0,000
27,030
Tabel 1. Uji Regresi Logistik Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemajuan Terapi Anak Autis
Hasil analisis pemodelan terakhir dengan menggunakan regresi logistik pada tabel 1 menjelaskan bahwa variabel yang paling dominan pada penelitian ini adalah variabel dukungan orang tua dengan nilai ρ 0,000 dan OR yaitu 27, 03. Variabel yang paling dominan pada penelitian ini adalah variabel dukungan orang tua. Setelah dilakukan pemodelan ke 5 variabel yaitu variabel derajat autis, usia mulai terapi, intensitas terapi, lama terapi dan dukungan orang tua hasilnya adalah variabel dukungan orang tua
mendapatkan nilai ρ = 0,000 dengan OR tertinggi yaitu 27, 03. Artinya responden yang menjalankan terapi dengan dukungan tua mempunyai peluang mengalami kemajuan terapi 27,03 kali dibandingkan responden yang menjalankan terapi tanpa dukungan orang tua. Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian
Asti (2008) variabel yang dominan adalah derajat autis. Perbedaan hasil penelitian terjadi karena responden pada peneltian ini sebagian besar berada pada derajat sedang sehingga hasil kemajuan terapi juga lebih tinggi pada derajat sedang. Penelitian Asti perponden sebagian besar berada pada derajat berat.
7
KESIMPULAN DAN SARAN Setelah dilakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan terapi anak autis di kota Padang tahun 2013 kepada 51orang responden, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : kurang separuh responden tidak mengalami kemajuan terapi autis, sebagian kecil responden berada pada derajat autis berat, sebagian kecil responden memulai terapi pada usia yang tidak baik, lebih separuh responden menjalani terapi tidak intens, hampir separuh responden menjalani terapi pada waktu yang maksimal, kurang separuh responden menjalani terapi dengan tidak adanya dukungan orang tua. Terdapat hubungan yang signifikan antara derajat autis, intensitas terapi, dukungan orang tua dengan kemajuan terapi anak autis di Kota Padang tahun 2013. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia mulai terapi, lama terapi dengan kemajuan terapi anak autis di Kota Padang tahun 2013. Variabel yang paling dominan pada penelitian ini adalah variabel DAFTAR PUSTAKA Adnil Edwin Nurdin. 2009. Tumbuh Kembang Perilaku Manusia.Jakarta: EGC -------------------------. 2002.Metode Cepat Assessment intensitas letupan Emosi ( AI LE ): Universitas Airlangga. American Psychiatric Association ( APA ). 1994. Diagnosis and Statiscal Manual of Mental Disorder (DSM) IV,Four Edition.APA Publ. Washington DC.
dukungan orang tua dengan OR tertinggi yaitu 27, 03 dengan nilai ρ 0,000. Saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini antara lain kepada orang tua yang belum memberikan dukungan diharapkan memberikan dukungan penuh dalam pemberian terapi dengan cara sering diskusi dengan terapis dan melanjutkan program terapi dirumah dan mengikuti kelompok orang tua dengan anak autis serta mengikuti seminar atau event-event yang berkaitan dengan kejadian autis pada anak. Kepada pemerintah diharapkan memberikan bantuan tempat pelaksanaan terapi anak autis berupa fasilitas atau alat-alat pelaksanaan terapi dan diharapkan dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Kepada peneliti selanjutnya agar data dalam penelitian dapat dijadikan data untuk penelitian selanjutnya dan dilanjutkan penelitian pada faktor-faktor yang belum diteliti pada penelitian. Cherian MG , Jayasurya A, Bay BH. 2003. Metallothioneins in Human Tumors and Potential roles in Carcinogenesis. Mutation Research 533. Davidson, Geralt. C. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. Doveriyanti.2009. Hubungan Dukungan Orang Tua dengan Tingkat Kemajuan Terapi Tingkah Laku pada Anak Autis di Rumah sakit Jiwa Ketergantungan Obat Soeprapto Bengkulu.
American Psychiatric Association ( APA ). 1999. Special Report on Autism. Seattle.
Grandgoerge,2009.Environment Factors Influence Development In Children with Autism Spectrum Disorder. San Francicco.
Asti. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Keberhasilan terapi Anak Autis di Harapan Bunda Surabaya.
Hadis. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung : Alfabeta
Barry, 2010. Terapist and Parent Rating of Change in Adaptif Social Skill Following a Summer Treatment Camp for Children with Autis Spectrum disorder.
Hendry Guntur Tarigan. 2008. Bicara Sebagai Satu Keterampilan Berbahasa. Bandung. Angkasa Hidayah Alimul Aziz. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta : Salemba Medika
8
Isabelle.2010, The Integration of Prosodic in High Functioning Autism. San Francisco. Jannifer and Brenda. 2008. Behavioral and Developmental Intervension For Autis Disorder. San Francisco. Kaplan and Shaddock. 2010. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis jilid Dua. Jakarta : Bina Rupa Aksara Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Pengembangan SSarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi ( LPSP3 )
Notoadmodjo, Soekidjo.(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Peters,Ph. 2004. Panduan Autisme Lengkap. Jakarta : Dian Rakyat Prasetyono. 2008. Serba – Serbi Anak Autis. Yogyakarta : Diva Press Priyatna. 2010. Amazing Autism. Jakarta: Gramedia Rahmachandra VS and Oberman LM. Broken mirror. 2006. A theory of Autism. Scientific American. Rizzolati G and Craighero L. 2004.The Mirror Neuron System. Annu.Rev. Neurosci
Safaria, Triantoro.2005. Autisme: Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua. Yogyakarta : Graha Ilmu Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Suhaidi. 2005. Terapi Untuk Anak Autis.Jakarta : Alfabeta
Suharsimi Arikunto, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
Sutadi. 2003. Pencegah Autis Pada Anak. Jakarta : Salemba Medika Sneyder AW.et al. 2003. Savant Like Skill Exposed in Normal Peopleby Suppresing The Left Fronto-Temporal Lobe. J Integrative Neuroscience. Videbeck, Seila.2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC WHO.2004. International Clasifikation of Menthal and behavioral Disorder ( ICD-10 ). Churchill Livengston. New York Yuwono, Joko. 2009. Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik Dan Empirik). Bandung : Alfabeta
Depkes
RI.
2009.
Pedoman
Pelaksanaan
Stimuasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta
Roseann, 1983. An Intervention for Sensory Difficulties in Children with Autism. San Francisco.
9
10