FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA SISWI SMA 112 JAKARTA TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: INDAH RATIKASARI 1111101000115
PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015 M
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMNINATAN GIZI Skripsi, Juli 2015 Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 xviii + 161 halaman, 22 tabel, 2 bagan, 11 grafik, 7 lampiran ABSTRAK Sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan kumpulan gejala psikis dan fisik yang dialami oleh wanita usia subur (WUS) antara 7 – 10 hari sebelum menstruasi. PMS merupakan gangguan yang umum terjadi pada WUS, namun akan berdampak buruk bila gejala dirasakan berat. Pada remaja, PMS dapat berdampak pada aktivitas sosial dan prestasi di sekolah. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan Juni 2015. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi cross sectional. Sampel dalam penelitian berjumlah 127 orang siswi kelas X dan XI dengan metode simple random sampling dan menggunakan uji statistik chi square. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswi yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat sebanyak 32%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa riwayat keluarga (pvalue = 0,001), asupan kalsium (pvalue = 0,011), dan pola tidur (pvalue = 0,013) berhubungan dengan kejadian PMS. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan kepada pihak sekolah SMA 112 Jakarta dapat memberikan promosi kesehatan baik secara langsung seperti penyuluhan, maupun tidak langsung melalui media kesehatan, yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi, pentingnya mengkonsumsi kalsium sesuai kebutuhan, serta pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, yang mudah dipahami dan menarik bagi siswi. Daftar Bacaan: 108 (1984 – 2015) Kata Kunci: Sindrom pramenstruasi, Remaja, SMA
ii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM SPECIALIZATION OF NUTRITION Undergraduate Thesis, July 2015 Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115 Factors Associated with Premenstrual Syndrom (PMS) in Female Students of 112 Senior High School Jakarta in 2015 xviii + 161 pages, 22 tables, 2 charts 11 graphs, 7 attachments ABSTRACT Premenstrual syndrome (PMS) is a collection of psychological and physical symptoms that usually happen at women of reproductive age (WUS) between 7 – 10 days before the menstruation. PMS is a common disorder on WUS, but it would be bad if the symptoms felt heavy. In adolescents PMS can impact on social activities and its perfomance at school. So, the main purpose of this study is to determine the factors associated with the PMS in female students of 112 Senior High School in Jakarta on 2015. The research was conducted on November 2014 up to June 2015. This study is an epidemiological study with cross sectional study design. The total of sample is for 127 female students of classes X and XI by simple random sampling technique. The statistical test used was chi square. The results were showed that the students who has experience moderate to severe PMS symptoms are 32%. Based on the analysis, it is known that family history (pvalue = 0.001), Calcium intake (pvalue = 0.011), and sleep patterns (pvalue = 0.013) associated with the PMS. Based on this research, we recommend to 112 State Senior High School Jakarta to provide health promotion, such as trough the education and health media related to premenstrual syndrome, the importance of taking calcium as needed, and the importance of good sleep patterns, that easy to understand and attractive to the female students. References: 108 (1984 – 2015) Keywords: Premenstrual Syndrome, Adolescent, Senior High School
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Syukurku kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan, dan karunia, sehingga akhirnya karya yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam tak lupa terlimpahkan kepada Rasul-Mu, Muhammad SAW.
Karya ini kupersembahkan untuk :
Bunda dan Ayah Tercinta Sebagai tanda bakti dan rasa terima kasih Indah yang tak terhingga, Indah persembahkan karya ini kepada bunda dan ayah yang telah memberikan kasih sayang, cinta, dukungan, dan sujudnya setiap malam untuk mendoakan Indah. Tak mungkin dapat Indah balaskan hanya dengan selembar kertas ini. Namun semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat bunda dan ayah bangga .
Kedua Adikku Tersayang Adik-adik kakak, Ibnu dan Iman terima kasih untuk kasih sayang, cinta, dukungan, dan nasehat yang tiada pernah berhenti kalian berikan kepada kakak. Maaf karena belum bisa menjadi panutan yang baik bagi kalian, tapi insyaallah kasih sayang kakak akan selalu ada untuk kalian berdua.
ْ ُ)مسلم رواه( اللَّ ْه ُِد إِلى ْالمحْ ُِد ِمنُ ْال ِع ْلمُ أ ُُطلُب “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat” (HR. Muslim)
Jakarta, 9 Juli 2015
Indah Ratikasari
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi / Personal Details Nama / Name
: Indah Ratikasari
Tempat & Tanggal Lahir / Place & Date of Birth : Jakarta, 9 Juli 1993 Jenis Kelamin / Sex
: Perempuan / Female
Status Marital / Marital Status
: Belum Menikah / Single
Kewarganegaraan / Nationality
: WNI
Agama / Religion
: Islam
No. HP / Mobile Phone Number
: 081298183008
E-mail
:
[email protected]
Jenjang Pendidikan / Education Information 1. 1996 – 1997
Karang Balita Komplek DKI Joglo
2. 1997 – 1999
TK Islam Al-Azhar 19 Pamulang
3. 1999 – 2005
SD Islam Al-Azhar 08 Kembangan
4. 2005 – 2008
SMP Islam Al-Azhar 10 Kembangan
5. 2008 – 2011
SMA Negeri 112 Jakarta (IPA)
6. 2011 – 2015
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Strata 1 Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor
yang
Berhubungan
dengan
Kejadian
Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015” ini. Shalawat dan salam tak lupa pula dihanturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga, kepada: 1.
Ibu Euis Sari Susanti, S.Ag dan Bapak Ir. Deslison, selaku kedua orang tua yang senantiasa memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing akademik.
3.
Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Febrianti, Sp., M.Si dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing
skripsi,
yang
senantiasa
memberikan
waktunya
untuk
membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini. 5.
Ibu Riastuti Kusumawardani, SKM, MKM, Ibu Dewi Utami, M.Kes, Ph.D, dan Ibu Laily Hanifah, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji skripsi, yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
6.
Bapak Dr. Saryono, M.Si, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Triyem, S.Pd, M.Si, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 112 Jakarta yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.
viii
ix
7.
Bapak Anang Burhan, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Gayatri, S.Pd, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 65 Jakarta yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.
8.
Seluruh guru, staf dan siswi SMA 112 Jakarta dan SMA 65 Jakarta yang telah berpartisipasi dalam proses pengambilan data.
9.
Donna Pertiwi, SKM dan Hasanah Putri, SKM, selaku sahabat tercinta, yang senantiasa memberikan bantuan, doa, nasihat, hiburan, dan semangat selama kita bersama.
10. Teman-teman gizi 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang senantiasa berbagi ilmu, canda, tawa, pengalaman, dan pelajaran hidup selama kita bersama. 11. Semua pihak lainnya yang senantiasa memberikan bantuan dan dukungan dari awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun skripsi ini, namun tentu masih ada berbagai kekurangan. Sesuai kata orang bijak, “tidak ada yang sempurna di dunia ini, kecuali hanya Allah SWT”. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian, untuk dapat menyempurnakan hasil akhir dari skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat, menambah wawasan dan ilmu bagi kita semua.
Jakarta, 9 Juli 2015
Indah Ratikasari
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................. ii ABSTRACT ........................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN...................................................................... iv PENGESAHAN PANITIA SIDANG .................................................................. v LEMBAR PERSEMBAHAN .............................................................................. vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... x DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR BAGAN.............................................................................................. xvi DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A.
Latar Belakang ......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................... 7
C.
Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 7
D.
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9 1. Tujuan Umum........................................................................................... 9 2. Tujuan Khusus .......................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 11 1. SMA 112 Jakarta .................................................................................... 11 2. Siswi SMA 112 Jakarta .......................................................................... 12 3. Peneliti Lainnya ...................................................................................... 12 F.
Ruang Lingkup ........................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ........................ 13 A.
Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS) ................................................. 13
B.
Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) ................................................... 14
C.
Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS) .................................................. 15 x
xi
D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) ......................................................................................... 16 1. Faktor Hormonal .................................................................................... 17 2. Faktor Kimiawi ....................................................................................... 19 3. Faktor Genetik ........................................................................................ 20 4. Faktor Psikologis .................................................................................... 21 5. Faktor Gaya Hidup ................................................................................. 22 6. Faktor Sosio-Demografi ......................................................................... 33 E. Kerangka Teori........................................................................................... 39 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS ......................................................................................................... 42 A.
Kerangka Konsep ................................................................................... 42
B.
Definisi Operasional ............................................................................... 45
C.
Hipotesis Penelitian ................................................................................ 47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 48 A.
Desain Penelitian .................................................................................... 48
B.
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 48
C.
Populasi dan Sampel .............................................................................. 48 1. Populasi .................................................................................................. 48 2. Sampel .................................................................................................... 49
D.
Pengumpulan dan Pengolahan Data ....................................................... 51
E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ........................................................ 57 1. Teknik Pengolahan Data ........................................................................ 57 2. Analisis data ........................................................................................... 59 BAB V HASIL ..................................................................................................... 61 A.
Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta...................... 61
B.
Analisis Univariat ................................................................................... 62 1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ...................................................................................... 62 2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .. 64 3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 66 4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 67
xii
5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............................................................................................................. 68 6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............................................................................................................. 69 7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .................................................................................................. 70 8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .......... 71 9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ......... 73 C.
Analisis Bivariat ..................................................................................... 74 1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 74 2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 74 3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 75 4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ........................... 76 5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 76 6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 77 7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ....................................... 78 8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ....................................... 79
BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................... 81 A.
Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 81
B.
Analisis Univariat dan Bivariat .............................................................. 82 1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ...................................................................................... 82 2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 87 3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............................................................................................................. 90 4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............................................................................................................. 92
xiii
5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .................................................................................................. 96 6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 98 7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ............. 101 8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 104 9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 106 10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 108 11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ......................... 110 12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ..................................... 112 13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ..................................... 117 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 119 A.
Simpulan ............................................................................................... 119
B.
Saran ..................................................................................................... 121 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia........................................ 121 2. SMA 112 Jakarta .................................................................................. 121 3. Siswi SMA 112 Jakarta ........................................................................ 122 4. Peneliti Lain ......................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 123 LAMPIRAN ....................................................................................................... 124
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
2.1
Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
25
2.2
Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
27
2.3
Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
29
2.4
Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umum
33
3.1
Definisi Operasional
45
4.1
Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya
50
5.1
Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
62
5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Gejala Sindrom Pramenstruasi yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
63
5.3
Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
65
5.4
Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
68
5.5
Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
69
5.6
Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
71
5.7
Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
72
5.8
Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
74
5.9
Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
75
5.10
Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
75
xiv
xv
Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
5.11
Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
76
5.12
Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
77
5.13
Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
77
5.14
Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
78
5.15
Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
79
5.16
Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
79
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan
Judul Bagan
Halaman
2.1
Kerangka Teori
41
3.1
Kerangka Konsep
44
xvi
DAFTAR GRAFIK
Nomor Grafik
Judul Grafik
Halaman
5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
63
5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
64
5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
65
5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
66
5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga yang Memiliki Riwayat Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
67
5.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
67
5.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
69
5.8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
70
5.9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
71
5.10
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
72
5.11
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
73
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Bagan
Halaman
1
Kuesioner Penelitian
133
2
Perhitungan Kuesioner PSQI
141
3
Perhitungan Recall Aktivitas Fisik
143
4
Surat Izin Studi Pendahuluan
144
5
Surat Izin Penelitian
146
6
Surat Bukti Penelitian
147
7
Hasil Analisis Data
148
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron (Benson dan Pernoll, 1994). Umumnya menstruasi akan terjadi secara normal setiap bulan pada wanita usia subur (WUS). Biasanya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, wanita akan mengalami beberapa gejala perubahan tertentu, dari segi fisik (nyeri payudara, sakit kepala, jerawat, nyeri panggul bahkan edema (Andrews, 2001, NIH, 2014) maupun emosional (perubahan mood, penurunan fungsi sosial, penurunan konsentrasi, bahkan depresi (Andrews, 2001, Souza dkk., 2012, Freeman, 2007, Delara dkk., 2012) yang akan mereda ketika siklus menstruasi dimulai (NIH, 2014). Namun pada beberapa wanita juga dapat terjadi gejala yang terus berlanjut hingga 24-48 jam pertama siklus menstruasi dan akan mereda selama beberapa hari ke depan (O'Brien dkk., 2007). Gejala-gejala tersebut biasa dikenal dengan sindrom pramenstruasi (PMS). Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu masalah yang umum terjadi pada wanita, dengan demikian maka sindrom pramenstruasi 1
2
merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010). Pada dasarnya sindrom ini pernah dialami hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90% wanita mengalami setidaknya satu gejala dalam beberapa siklus menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan Mahmood, 2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala yang bersifat sedang sampai berat (Freeman, 2007). Dari hasil meta analisis pertama yang pernah dilakukan, diketahui bahwa prevalensi sindrom pramenstruasi dari seluruh dunia adalah 47,8% (Moghadam dkk., 2014). Dari hasil tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke tahun kejadian sindrom pramenstruasi berbeda di setiap negara. Sebagai contoh, di negara Pakistan, kejadian sindrom pramenstruasi pada tahun 1996 sebanyak 41% dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 53%. Sedangkan di Brazil, kejadian sindrom pramenstruasi stabil dari tahun 2003 hingga 2009 yaitu sebesar 60% (Moghadam dkk., 2014). Selanjutnya pada remaja putri (usia 14-19 tahun) di Iran, ditemukan bahwa dari 602 orang, 100% dilaporkan setidaknya pernah mengalami satu gejala sindrom pramenstruasi (Delara dkk., 2012). Penelitian lainnya pada remaja putri di Turki, ditemukan sebanyak 61,4% mengalami sindrom pramenstruasi (49,5% sindrom pramenstruasi ringan dan 50,5% sedang hingga berat) dengan gejala yang paling umum seperti stres (87,6%) dan kegelisahan (87,6%) (Derman dkk., 2004). Di Indonesia dari 260 orang wanita usia subur, ditemukan sebanyak 95% memiliki setidaknya satu gejala sindrom pramenstruasi, dengan tingkat sindrom pramenstruasi sedang hingga berat sebesar 3,9%
3
(Emilia, 2008). Penelitian yang dilakukan di kota Padang menunjukkan bahwa 51,8% siswi SMA mengalami sindrom pramenstruasi (Siantina, 2010). Sedangkan penelitian yang dilakukan di kota Purworejo pada siswi SMA, prevalensi sindrom pramenstruasi sebanyak 24,6% (Nurmiaty dkk., 2011). Penelitian lainnya juga dilakukan pada siswi SMA di kota Bogor, ditemukan bahwa seluruh responden mengalami sindrom pramenstruasi, dengan jenis keluhan ringan sebanyak 32,2% dan keluhan sedang sampai berat sebanyak 67,8% (Aldira, 2014). Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap siswi SMK Jakarta Selatan didapatkan sebanyak 45% siswi mengalami sindrom pramenstruasi (Devi, 2009). Penelitian selanjutnya di SMA “X” di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur didapatkan bahwa sebanyak 43,9% siswi mengalami sindrom pramenstruasi (Sianipar dkk., 2009). Kemudian penelitian yang dilakukan di MAN 4 Jakarta Selatan menemukan sebanyak 28,66% siswi yang mengalami sindrom pramenstruasi. Diketahui bahwa berdasarkan berbagai penelitian tersebut, kejadian sindrom pramenstruasi cukup banyak dan bervariasi jenis gejalanya pada setiap individu. Bagi beberapa wanita, gejala ini ada yang masuk dalam kategori berat, sehingga dapat mengganggu aktivitas mereka (NIH, 2014). Khusus bagi para remaja putri yang bersekolah, dapat menganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental,
4
peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu sindrom pramenstruasi juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri, tingkat kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Oleh karena itu, perlu diketahuinya penyebab dari kejadian sindrom ini, agar masalah yang terjadi dapat dikurangi atau bahkan dicegah. Namun sampai saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi belum diketahui secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Walaupun dari beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor penyebab utamanya adalah akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid (Saryono dan Sejati, 2009). Selain faktor hormonal, ada beberapa faktor lain yang berhubungan dengan timbul dan parahnya gejala sindrom pramenstruasi. Salah satu faktor tersebut adalah riwayat keluarga (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014) dan gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Riwayat keluarga memainkan peran yang penting. Dimana faktor ini erat kaitannya dengan insidens sindrom pramenstruasi, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010).
5
Untuk faktor gaya hidup, terbagi menjadi beberapa faktor lainnya seperti status gizi berdasarkan IMT (Masho dkk., 2005); dan aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009). Faktor status gizi memiliki peranan yang cukup penting pada tingkat keparahan kejadian sindrom pramenstruasi. Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki keterkaitan yang dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa setiap kenaikan 1 kg/m2 pada IMT dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap risiko sindrom pramenstruasi sebesar 3% (Johnson dkk., 2010). Sedangkan faktor aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi rasa sakit akibat sindrom pramenstruasi, dimana dengan rendahnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan keparahan gejala, seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat menurunkan resiko gejala sindrom pramenstruasi, seperti perubahan nafsu makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009, Kroll, 2010). Berdasarkan berbagai ulasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang hubungan kejadian sindrom pramenstruasi dengan faktor-faktornya pada siswi di SMA 112 Jakarta. Dasar dari pemilihan SMA untuk penelitian ini karena peneliti menganggap bahwa hampir seluruh remaja putri di SMA sudah mengalami menstruasi, berbeda halnya dengan remaja putri yang masih
6
duduk di bangku SMP. Sindrom pramenstruasi umumnya mulai terjadi sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, remaja di SMA merupakan remaja yang memiliki rentang umur 16-17 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delara, dkk. (2012), didapatkan bahwa usia 16-17 tahun paling banyak (52%) mengalami sindrom pramenstruasi, disusul oleh remaja berusia 14-15 tahun sebesar 44%, dan remaja berusia 18-19 tahun sebesar (3,8%). Selanjutnya dipilihnya SMA 112 Jakarta didasarkan karena SMA ini merupakan salah satu sekolah peringkat kelima terbesar yang memiliki jumlah siswi terbanyak di Jakarta Barat (Kemdikbud, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan di SMA 112, ditemukan bahwa dari 30 orang siswi, seluruh siswi mengalami gejala sindrom pramenstruasi (sedikitnya mengalami nyeri payudara dan perut), dimana 36,7% mengalami sindrom pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Berbeda dengan di SMA 112, di SMA
65
ditemukan
sebesar
19,0%
siswi
mengalami
sindrom
pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Di samping itu, di SMA 112 ini juga belum ada peneliti yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS), bahkan di Jakarta Barat. Melihat kondisi tersebut, maka peneliti tertantang untuk memilih SMA 112 Jakarta sebagai lokasi penelitian tentang kejadian sindrom pramenstruasi dan faktor-faktornya.
7
B. Rumusan Masalah Diketahui berdasarkan hasil studi pendahuluan, kejadian PMS merupakan masalah yang banyak terjadi di SMA 112 Jakarta. Dari paparan latar belakang diketahui bahwa pada remaja kejadian PMS dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi belajar, keaktifan kegiatan belajar, dan prestasi di sekolah. Dampak terparah dari kejadian PMS adalah dapat meningkatkan risiko tingkat kecelakan, masalah kejiwaan akut, bahkan kasus bunuh diri. Faktor utama dari kejadian PMS adalah ketidakseimbangan hormon dan kadar serotonin. Namun terdapat beberapa faktor lainnya yang memiliki asosiasi dengan kejadian PMS, yaitu riwayat keluarga dan gaya hidup.
C. Pertanyaan Penelitian Sebagai
landasan
awal
untuk
memulai
penelitian
dan
merangkumnya dalam skripsi ini, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015? 2. Bagaimana gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 3. Bagaimana gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
8
4. Bagaimana gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 5. Bagaimana gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 6. Bagaimana gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 7. Bagaimana gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 8. Bagaimana gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 9. Bagaimana gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 10. Apakah ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 11. Apakah ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 12. Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 13. Apakah ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
9
14. Apakah ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 15. Apakah ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 16. Apakah ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015? 17. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. b. Diketahuinya gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
10
c. Diketahuinya gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. d. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. e. Diketahuinya gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. f. Diketahuinya gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. g. Diketahuinya gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. h. Diketahuinya gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. i. Diketahuinya gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. j. Diketahuinya hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. k. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. l. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
11
m. Diketahuinya hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. n. Diketahuinya hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi di SMA 112 Jakarta tahun 2015. o. Diketahuinya hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. p. Diketahuinya hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. q. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
E. Manfaat Penelitian Peneliti berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa pihak: 1. SMA 112 Jakarta a. Memberikan tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). b. Menjadi bahan dalam pemberian promosi kesehatan reproduksi kepada siswi terkait sindrom pramenstruasi (PMS).
12
2. Siswi SMA 112 Jakarta a. Memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). b. Menjadi
bahan
pembelajaran
tentang
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). 3. Peneliti Lainnya a. Memberi informasi pada peneliti lainnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). b. Sebagai pengalaman dan pembelajaran untuk peneliti lainnya dalam melakukan penelitian lanjutan.
F. Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi cross sectional tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta yang dimulai pada November 2014 sampai Juni 2015. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kejadian PMS yang masih banyak terjadi di kalangan siswi SMA 112 Jakarta dan dapat berdampak buruk. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS) Menstruasi adalah peristiwa paling penting pada masa pubertas remaja putri dan merupakan penanda biologis terjadinya kematangan seksual (Almatsier dkk., 2011). Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron, dengan interval siklus normal antara 24-32 hari dan pengeluaran darah sekitar 35-90 ml (Benson dan Pernoll, 1994). Pada beberapa wanita, sebelum siklus menstruasi berlangsung akan mengalami beberapa perubahan hormonal dan fisiologis menstruasi, seperti nyeri payudara, kembung, dan perubahan psikologis yang biasa disebut dengan sindrom pramenstruasi (Nelson, 2012). Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita, terjadi selama fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium) dan menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). PMS ini biasanya akan terjadi pada rentang 1-2 minggu, atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi dan akan berhenti saat dimulainya siklus menstruasi (NIH, 2014). Akan tetapi, pada beberapa wanita juga bisa terjadi gejala PMS
14
yang terus berlanjut hingga 1-2 hari atau 24-48 jam pertama siklus menstruasi dan akan segera mereda selama beberapa hari ke depan siklus menstruasi (O'Brien dkk., 2007). Pada remaja umumnya PMS mulai dialami sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan berlanjut sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012).
B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) Terdapat macam-macam gejala PMS yang terjadi pada wanita. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi hampir seluruh sistem tubuh. Namun setiap individu mungkin akan mengalami gejala yang berbeda. Berikut merupakan beberapa gejala yang umum terjadi (Saryono dan Sejati, 2009): 1. Perubahan fisik a. Gejala gastrointestinal: sakit punggung, perut kembung, perubahan nafsu makan, daerah panggul terasa berat tertekan, mual, muntah, penambahan berat badan, kram abdominal. b. Gejala-gejala pada payudara: payudara terasa penuh, bengkak, mengeras, nyeri. c. Permasalahan pada kulit: kulit wajah, leher, dada, tampak merah dan terasa terbakar, kelainan kulit(misalya jerawat). d. Gejala vaskuler dan neurologi: pusing, pingsan, sakit kepala, tidak bertenaga, kelelahan, nyeri sendi,dan kejang otot. e. Keluhan mata: gangguan pengelihatan.
15
f. Permasalahan pernapasan: alergi, peradangan. 2. Perubahan suasana hati: mudah marah, cemas, depresi, mudah tersinggung, gelisah, agresif, tertekan, gugup, hipersensitivitas secara emosional, kemurungan. 3. Perubahan mental: kalut, bingung, sulit berkonsentrasi, dan pelupa. 4. Perubahan tingkah laku: perubahan pada libido, pola tidur, dan nafsu makan.
C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS) Bagi beberapa wanita gejala PMS dapat terjadi cukup parah, sehingga dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Umumnya dampak dari PMS tersebut adalah gangguan aktivitas harian (NIH, 2014), seperti penurunan produktivitas kerja, sekolah, dan hubungan interpersonal penderita (Suparman, 2010). Di samping itu PMS yang berat juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Dari segi aktivitas harian, penelitian membuktikan bahwa sebanyak 17% dari penderita PMS merasakan dampak klinis yang signifikan pada ADL (activities daily life) dan 9% yang terkena dampak serius terhadap ADL (Dennerstein dkk., 2010). Sedangkan dari segi produktivitas, penelitian yang dilakukan Borenstein (2004) menemukan bahwa penurunan produktivitas lebih banyak dialami oleh penderita PMS dibandingkan dengan bukan penderita PMS, yang dikaitkan dengan
16
keluhan sulit berkonsentrasi, menurunnya entusiasme, menjadi pelupa, mudah tersinggung, dan labilitas emosi (Borenstein dkk., 2004). Di samping itu penderita PMS juga lebih banyak mengalami gangguan hobi, peningkatan frekuensi kunjungan ke dokter rawat jalan dan peningkatan hari tidak bekerja dengan alasan kesehatan. Kemudian khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, PMS dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental, vitalitas, peran fisik, fungsi sosial, dan kesehatan secara keseluruhan.
D. Faktor-Faktor yang Pramenstruasi (PMS)
Berhubungan
dengan
Kejadian
Sindrom
Sampai saat ini penyebab PMS belum dapat dijelaskan secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Beberapa teori menyebutkan PMS terjadi karena ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003, Saryono dan Sejati, 2009, Zaka dan Mahmood, 2012) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Sedangkan beberapa penelitian lainnya menemukan bahwa PMS berhubungan dengan faktor riwayat keluarga (Abdillah, 2010, Amjad dkk., 2014), status gizi (Johnson dkk., 2010, Masho dkk., 2005), dan aktivitas fisik (Kroll, 2010).
17
Namun secara umum diketahui bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan dengan PMS, yaitu faktor hormonal, faktor kimiawi, faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Kemudian terdapat faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian PMS, yaitu faktor sosio-demografi (Saryono dan Sejati, Amjad dkk., 2014). Di bawah ini merupakan penjelasan masing-masing faktor dari kejadian PMS, antara lain: 1. Faktor Hormonal Hormon berasal dari kata Yunani, hormein, yang berarti memacu atau menggalakan (Wijaya, 2006). Hormon merupakan senyawa khas yang dihasilkan oleh organ tubuh, yang bekerja dalam memacu fungsi organ tubuh tertentu sehingga akan terlihat hasilnya (Wijaya, 2006). Pengertian lain menyebutkan bahwa hormon adalah zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, yang disekresikan ke dalam darah untuk sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh tempat hormon tersebut menimbulkan efek fisiologis (William dan Wilkins, 2000). Hormon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk dari kejadian PMS yang dialami oleh para wanita. Dalam beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor hormon adalah faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan PMS, yaitu akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain menunjukkan bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron
18
dalam fase luteal dari siklus menstruasi akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk vitamin B6 (piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Di samping itu, pada sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid (Saryono dan Sejati, 2009). Untuk mengetahui kadar estrogen dan progesteron di dalam tubuh, diperlukan pengukuran metabolit urin. Pengukuran ini telah lama dilakukan dan masih dilakukan sampai saat ini untuk memperkirakan fungsi hormonal secara keseluruhan, walaupun sudah tersedia pemeriksaan-periksaan spesifik untuk mengukur kadar hormon serum (Sacher dan McPherson, 2004). Ekskresi di urin merupakan 70-95% dari estrogen total yang diproduksi, dimana hasil yang disajikan akan terlihat estrogen total atau sebagai proporsi Estriol (E1), Estradiol (E2), dan Estron (E3) yang ada (Sacher dan McPherson, 2004). Sedangkan aktivitas progesteron tercemin dari pregnanediol (produk ekskretorik progesteron) urin (Sacher dan McPherson, 2004).
19
2. Faktor Kimiawi Faktor kimiawi juga berhubungan dengan kejadian PMS. Zat kimia tertentu seperti serotonin dan endorfin dapat mengalami perubahan selama siklus menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). Menurut Saryono dan Sejati (2009), perubahan senyawa kimia serotonin merupakan salah satu penyebab dari PMS. Serotonin merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan
dengan
gejala
depresi,
kecemasan,
ketertarikan,
kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, agresif dan peningkatan selera (Saryono dan Sejati, 2009). Sedangkan endorfin merupakan senyawa kimia mirip opium yang dibuat di dalam tubuh yang terlibat dalam sensasi euphoria dan persepsi nyeri (Saryono dan Sejati, 2009). Namun, dikarenakan kadar endorfin di dalam darah berfluktuasi, tetapi tidak mencerminkan aktivitas di dalam otak, penjelasan keterkaitan endorfin dengan kejadian PMS ini belum memiliki cukup teori yang mendukung (Saryono dan Sejati, 2009). Pernyataan terkait serotonin di atas diperkuat dengan hasil dari sebuah penelitian, yang menemukan bahwa SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) efektif dalam mengurangi gejala PMS, khususnya mual (Marjoribanks dkk., 2013). SSRI itu sendiri merupakan zat kimia yang mengandung serotonin, yang digunakan untuk terapi para
20
penderita PMS. SSRI dapat dikonsumsi baik pada fase luteal (pasca ovulasi) atau terus menerus (setiap hari). SSRI umumnya dianggap efektif untuk
mengurangi
gejala
pramenstruasi
namun
dapat
menyebabkan efek samping bila dikonsumsi secara berkelanjutan. Untuk mengukur kadar serotonin di dalam tubuh, terdapat dua metode utama, yaitu metode konvensional dan metode positron emission tomography (PET) (Visser dkk., 2011). Metode konvensional merupakan metode yang invasif dan tidak langsung mengukur tingkat sintesis dari serotonin itu sendiri, namun metode ini dapat memberikan hasil pada tingkat turnover, seperti pengukuran melalui sampel darah. Sedangkan pengukuran PET adalah teknik non-invasif yang dapat melacak proses metabolisme dari serotonin tersebut, seperti dengan cara autoradiography. 3. Faktor Genetik Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada kejadian PMS. Dimana, gen sangat erat kaitannya dengan insidens (kasus baru) PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009). Hal ini dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Penelitian terbaru pada perilaku manusia, telah meneliti peran genetik dalam etiologi dari PMS, dimana terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang dapat menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007). Di
21
samping itu, varian di promotor untuk gen serotonin transporter juga memiliki efek pada ekspresi serotonin 5-HT transporter molekul (Praschak-Rieder dkk., 2002). Varian promotor ini berhubungan dengan depresi dan gangguan afektif. Faktor genetik dapat dilihat dari riwayat keluarga. Sebuah penelitian menemukan bahwa ada hubungan secara signifikan antara riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010). Di samping itu, hasil penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan kejadian PMS. Dimana seseorang yang memiliki ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS lebih banyak yang menderita PMS, dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS (Amjad dkk., 2014). Namun, hal tersebut bertentangan pada penelitian lain yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan terhadap faktor gen pembawa PMS dengan kejadian PMS itu sendiri (Magnay dkk., 2006). 4. Faktor Psikologis Faktor psikologis yang dimaksud adalah stres (Saryono dan Sejati, 2009). Stres inilah yang akan memperberat gangguan PMS (Saryono dan Sejati, 2009). Menurut sebuah teori, dikatakan bahwa seorang wanita akan lebih mudah menderita PMS apabila wanita tersebut lebih peka terhadap perubahan psikologis, khususnya stres (UMM, 2013).
22
Stres ini sebenarnya memiliki hubungan dengan hormon progesteron. Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Michel dan Bonnet (2014) pada marmut, ditemukan bahwa konsentrasi progesteron dapat menurun sebesar 50,9% setelah terjadinya stres (Michel dan Bonnet, 2014). Penelitian lainnya ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan PMS. Hubungan ini membentuk kecenderungan semakin tinggi
tingkat
kecemasan
seseorang maka sindrom yang dialami seseorang juga akan semakin berat (Siyamti dan Pertiwi, 2011) Hasil yang sejalan juga dihasilkan oleh penelitian lainnya yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif dengan korelasi yang sedang antara tingkat stres dengan kejadian PMS (Mayyane, 2011). 5. Faktor Gaya Hidup Faktor gaya hidup yang berhubungan dengan PMS terdiri atas aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009, Lustyk dan Gerrish, 2010, Zaka dan Mahmood, 2012), pola tidur (Saryono dan Sejati, 2009, Shechter dan Boivin, 2010), asupan zat gizi mikro (Saryono dan Sejati, 2009), dan status gizi (Masho dkk., 2005). Berikut penjelasan dari masing-masing dari faktor tersebut: a. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi
23
(WHO, 2014b). Aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi rasa sakit akibat PMS, sehingga apabila aktivitas fisik rendah dapat meningkatkan keparahan dari PMS, seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Sebuah teori menyebutkan, dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon
steroid
lainnya,
memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol, dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984). Hal ini juga diperkuat sebuah review, yang menyatakan bahwa melakukan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya serotonin ini sangat erat kaitannya dengan depresi dan perubahan mood yang berujung pada masalah kesehatan. Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan
bahwa
aktivitas
fisik
secara
signifikan
dapat
menurunkan resiko gejala PMS, seperti perubahan nafsu makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009, Kroll, 2010). Namun terdapat penelitian lain, yang mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat keluhan sindrom pramenstruasi (Aldira, 2014, Pujihastuti, 2012). Menurut WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004), terdapat 3 (tiga) kategori aktivitas fisik, yaitu (Dinkes, 2014):
24
1) Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 2) Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 3) Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya. b. Asupan Zat Mikro Asupan zat mikro memiliki keterkaitan sendiri terhadap PMS. Menurut Saryono dan Sejati (2009), salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan piridoksin (B6), kalisum (Ca), dan magnesium (Mg). Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing zat mikro 1) Asupan Piridoksin (B6) Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut air, yang wujudnya seperti kristal putih dan tidak berbau; memiliki sifat yang tahan terhadap panas; serta tidak tahan terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier, 2010). Piridoksin memiliki keterkaitan sendiri dengan kejadian sindrom pramenstruasi. Menurut Saryono dan Sejati (2009)
salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan piridoksin.
25
Hal ini dikarenakan piridoksin sangat penting dalam pembentukan serotonin yang berkaitan dengan kejadian sindrom pramenstruasi
(Almatsier,
2010).
Sehingga
apabila
tubuh
mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi gejala-gejala yang berhubungan dengan metabolisme protein, seperti lemah, mudah tersinggung, dan sukar tidur yang. merupakan gejala dari sindrom pramenstruasi (Almatsier, 2010). Piridoksin juga diketahui dapat
memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan perilaku yang berlangsung selama PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,depresi, dan mual (Lustyk dan Gerrish, 2010). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi suplemen 50-100 mg/hari piridoksin dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Berikut merupakan angka kecukupan piridoksin untuk perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014): Tabel 2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013 Usia
Asupan B6 (mg)
13-15 tahun
1,2
16-18 tahun
1,3
Rata-rata
1,25
Sumber: Kemenkes (2014)
Untuk memenuhi asupan piridoksin di atas, dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan piridoksin tinggi.
26
Bahan makanan tersebut adalah kecambah gandum, hati, ginjal, serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier, 2010). 2) Asupan Kalsium (Ca) Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam mengatur fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan penggumpulan darah), mengatur kerja hormon, dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kalsium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab kalsium berperan dalam meringankan dan menekan resiko terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi suplemen 1200-1600 mg/hari kalsium dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh ThysJacobs (2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu mineral yang terbukti secara signifikan menghasilkan 50% pengurangan dari gejala sindrom pramenstruasi, seperti gangguan mood
dan
perilaku
yang
berlangsung
selama
sindrom
pramenstruasi, kegelisahan, hidrasi, depresi, dan mual. Kalisum
27
juga
memiliki keterkaitan dengan hormon, karena pada
dasarnya
hormon
estrogen
mempengaruhi
metabolisme
kalsium, penyerapan kalsium dalam usus, dan memicu fluktuasi
siklus menstruasi (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan kalsium di dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) telah lama dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek terhadap metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000). Berikut merupakan angka kecukupan kalsium untuk perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014): Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013 Usia
Asupan Ca (mg)
13-15 tahun
1200
16-18 tahun
1100
Rata-rata
1150
Sumber: Kemenkes (2014)
Untuk memenuhi asupan kalsium di atas, dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan kalsium tinggi. Bahan makanan tersebut adalah susu dan hasil produksi susu, seperti keju dan yoghurt (Almatsier, 2010).
28
3) Asupan Magnesium (Mg) Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling banyak setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak terlibat pada berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010). Magnesium memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem enzim di dalam tubuh, karena magnesium bertindak di dalam semua
sel
jaringan
lunak
sebagai
katalisator,
termasuk
metabolisme zat gizi makro (Almatsier, 2010). Sehingga magnesium sangat penting baik tubuh, seperti mengendorkan otot, melemaskan saraf, dan mencegah kerusakan gigi (Almatsier, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa magnesium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab magnesium berperan dalam meringankan dan menekan resiko
terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi 400-800 mg/hari magnesium dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Magnesium juga memiliki keterkaitan dengan hormon.
Karena
pada
dasarnya
hormon
estrogen
mempengaruhi metabolisme magnesium (Thys-Jacobs, 2000). Magnesium juga berfungsi dalam membantu relaksasi otot,
transmisi sinyal syaraf, mengurangi migren, dan sebagai
29
penenang ilmiah yang dibutuhkan oleh perempuan saat mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Berikut merupakan angka kecukupan magnesium untuk perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014): Tabel 2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013 Usia
Asupan Mg (mg)
13-15 tahun
220
16-18 tahun
310
Rata-rata
265
Sumber: Kemenkes (2014)
Untuk dibutuhkan
memenuhi bahan
asupan
makanan
yang
magnesium memiliki
di
atas,
kandungan
magnesium tinggi. Bahan makanan tersebut adalah sayuran
hijau,
serealia
tumbuk,biji-bijian,
dan
kacang-kacangan
(Almatsier, 2010). 4) Metode Pengukuran Asupan Zat Mikro Dalam mengukur asupan zat mikro digunakan food recall 3x24 jam., sebab food recall yang dilakukan selama 3 hari dapat melihat kebiasaan asupan zat gizi seseorang (Gibson, 2005). Dalam metode food Recall, responden diwawancarai oleh enumerator yang telah terlatih dalam melakukan wawancara terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi responden selama 24 jam yang lalu (Gibson,
30
2005). Untuk meningkatkan keakuratan hasil dari food recall ini, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan (Gibson, 2005): a) Memberikan pelatihan kepada enumerator terkait estimasi ukuran porsi sebelum recall dilakukan b) Menyediakan alat makan, seperti mangkuk, piring dan gelas untuk membantu responden membayangkan jumlah makanan yang dikonsumsi c) Menimbang ukuran porsi dari makanan yang dikonsumsi oleh responden. Kemudian untuk memvalidasi food recall, digunakan food record 3x24 jam. Dalam penggunaan food record, responden melakukan pencatatan sendiri terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsinya selama periode yang ditentukan (Gibson, 2005). c. Pola Tidur Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan dapat diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Hal ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletak di otak akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).
31
Tidur tidur merupakan salah satu faktor yang memiliki keterkaitan dengan PMS. Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa gangguan) ternyata dapat memperingan gejala PMS. Hal ini dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi sekresi berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan Boivin, 2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007), meskipun pola tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari PMS yang parah, namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala PMS yang dirasakan (Baker dkk., 2007). Menurut penelitian yang dilakukan di Surabaya, diketahui bahwa prevalensi kejadian insomnia pada wanita yang sedang mengalami sindroma pramenstruasi lebih tinggi, yaitu sebesar 66,67% dari jumlah responden yang mengalami insomnia (Hapsari, 2010). Kemudian, dari hasil analisis data yang dilakukan ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan insomnia antara wanita yang mengalami sindroma pramenstruasi dan wanita yang tidak mengalami sindroma pramenstruasi. Di samping itu, penelitian yang serupa dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan bahwa PMS memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur (Cheng dkk., 2013, Karaman dkk., 2012). d. Status Gizi Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh adanya keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah
32
yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes, 2006). Status gizi ini memiliki peranan yang cukup penting pada tingkat keparahan kejadian PMS. Hal ini dikarenakan seseorang yang mengalami kegemukan atau obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada meningkatnya risiko mengalami gejala PMS (Bussell, 2014). Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa teradapat hubungan yang kuat antara IMT pada awal dan risiko kejadian PMS, dengan setiap kenaikan 1 kg / m2 pada IMT , yang dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap risiko PMS sebesar 3% (Johnson dkk., 2010). Sedangkan menurut Dickerson, dkk. (2003), pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin, yang berujung pada terjadinya gejala PMS. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Aminah, dkk. (2011) yang juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara status gizi menurut IMT dengan PMS, dimana siswi dengan status gizi tidak normal (obesitas, overweight iatau under weight) memiliki kemungkinan mengalami PMS 3,3 kali lebih besar dibandingkan dengan siswi yang memiliki status gizi normal. Namun, ada juga
33
penelitian lain yang menemukan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada remaja puteri (Munthe, 2013). Pada remaja status gizi dilihat berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dengan 5 (lima) kategori, yaitu (Kemenkes, 2011): Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umur Kategori Sangat kurus
Standar Deviasi < -3 SD
Kurus
-3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal
-2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk
> 1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas
> 2 SD
Sumber: Kemenkes (2014)
6. Faktor Sosio-Demografi Faktor sosio-demografi yang berhubungan dengan kejadian PMS adalah umur (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), status perkawinan (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), pernah atau tidak melahirkan (Saryono dan Sejati, 2009), pendidikan (Amjad dkk., 2014), pendapatan (Amjad dkk., 2014), usia menarche (Amjad dkk., 2014), dan tempat tinggal (Amjad dkk., 2014). Berikut penjelasan masing-masing faktor: a. Umur Umur menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan kejadian PMS. Dimana PMS akan terjadi pada saat wanita berada pada usia subur hingga saat wanita mengalami menoupause.
34
Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi berhenti (North American Menopause Society, 2010). Menurut Saryono dan Sejati (2009), seiring bertambahnya usia tingkat risiko kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40 tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh UMM (2013), yang menyatakan bahwa kejadian PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada di akhir 20-an dan di awal 40-an. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada wanita setengah baya (Brahmbhatt dkk., 2013). Meskipun hal ini tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut (Brahmbahtt dkk., 2013). Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan terdapat hubungan (P value < 0,05) antara usia wanita dengan PMS. Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia 15-24 tahun lebih banyak (64,67%) menderita PMS dibandingkan dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun (22,75%)
35
dan 35-45 tahun (12,57%). Namun terkait hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti. b. Status perkawinan Saryono dan Sejati (2009) menjelaskan bahwa status perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS. Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada wanita tersebut. Sejalan dengan Saryono dan Sejati (2009), hasil penelitian Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa status perkawinan memiliki hubungan (P value < 0,05) dengan kejadian PMS. Dari hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih banyak yang mengalami PMS (59,88%) dibandingan dengan wanita yang sudah menikah
(39,52%) dan wanita yang sudah
menjanda (0,6%). c. Pernah atau tidak melahirkan Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima (pre-eklampsia) (Saryono, 2009). d. Pendidikan Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional (Notoatmodjo, 2007). Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan
36
kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan, khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS dapat disikapi dengan lebih baik (Dewi, 2010). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa sebanyak 52,6% responden yang memiliki pengetahuan baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS, sedangkan 92,9% responden yang memiliki pengetahuan kurang baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS (Dewi, 2010). Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antar pengetahuan dengan sikap remaja dalam menghadapi PMS. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan (Amjad dkk., 2014). e. Pendapatan Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup (Lustyk dan
37
Gerrish, 2010). Sehingga, apabila seseorang memiliki pendapatan yang cukup, tentunya risiko seseorang mengalami stres akan menurun. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kejadian PMS dengan pendapatan seseorang. f. Usia menarche Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk., 2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Sedangkan kategori usia menarche dibagi menjadi 3, yaitu (Bagga dan Kulkarni, 2000): 1) Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun. 2) Normal, jika usia menarche 12-13 tahun. 3) Lambat, jika usia menarche >13 tahun Usia menarche juga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aminah, dkk. (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara usia menarche siswi dengan PMS. Menurut penelitian tersebut, siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan hal yang serupa. Sebenarnya mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS masih belum jelas (Amjad dkk., 2014).
38
Namun ada kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas hubungan tersebut (Aminah dkk., 2011, Amjad dkk., 2014). Namun terdapat juga penelitian lain yang menemukan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara usia menarche dengan gejala pra menstruasi dan gejala PMS (Padmavathi dkk., 2013, Silvia dkk., 2008), meskipun terlihat bahwa tingkat prevalensi gejala dan sindrom pramenstruasi lebih tinggi pada wanita usia yang pada menarche kurang dari 11 tahun (Silvia dkk, 2008). g. Tempat Tinggal Tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan dengan PMS. Tempat tinggal yang dimaksud adalah daerah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) (Amjad dkk., 2014). Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara tempat tinggal dan PMS. Dimana menurut hasil peneitian tersebut, wanita yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak (85,62%) yang mengalami PMS, dibandingankan dengan wanita yang tinggal di daerah pedesaan (12,57). Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya, yang menemukan bahwa remaja putri yang mengalami PMS lebih banyak ditemukan pada remaja putri yang tinggal di kota (70,3%), dibandingkan dengan remaja putri yang tinggal di desa (56,6%) (Emilia dkk., 2013, Ray dkk., 2010).
39
Kejadian PMS tersebut disebabkan karena adanya faktor stres pada siswi, dimana siswi yang tinggal di kota lebih banyak mengalami stres (Emilia dkk., 2013). Kehidupan yang penuh stres akan mempengaruhi dan memperparah gejala-gejala fisik maupun psikologis dari PMS (Emilia dkk., 2013).
E. Kerangka Teori Saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi (PMS) belum diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa literatur
yang
menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbul dan parahnya gejala PMS. Menurut Saryono (2009), terdapat empat faktor umum yang menyebabkan PMS, yang meliputi, faktor genetik (riwayat keluarga (Amjad dkk., 2014)), faktor psikologis (stres), faktor gaya hidup (aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, dan asupan magnesium, dan aktivitas fisik), faktor hormonal (kadar estrogen dan progestreron), dan faktor kimiawi (kadar serotonin dan endorfin). Selanjutnya menurut Amjad, dkk. (2014), diketahui bahwa terdapat faktor lain, yaitu sosio-demografi yang dapat menyebabkan PMS, seperti umur, status perkawinan, pendidikan, pendapatan, usia menarche, dan tempat tinggal. Faktor sosio-demografi ditambah lagi dengan faktor pernah atau tidaknya melahirkan yang dikemukakan oleh Saryono dan Sejati (2009).
40
Kemudian Shecter dan Boivin (2010), menyatakan bahwa pola tidur dapat mempengaruhi sekresi hormon, yang berkaitan dengan kejadian PMS. Sedangkan penelitian Masho (2005) menyatakan bahwa status gizi yang dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) juga dapat menjadi salah faktor yang menyebabkan PMS. Adapun kerangka teori dari kelima literatur tersebut dapat terlihat pada bagan 2.1:
41
Faktor Genetik
ba Faktor Hormonal
Faktor Sosio-Demografi Riwayat keluarga1,4
Penurunan kadar hormon progesteron1
Umur1,4 Faktor Psikologis Peningkatan kadar hormon estrogen1
Status perkawinan1,4 Stres1 Pernah/ tidak melahirkan1
Gejala sindrom pramenstruasi
Kejadian sindrom pramenstruasi
Pendidikan4 Pendapatan4 Faktor Gaya Hidup Usia menarche4 Tempat tinggal4
Aktifitas fisik1 Asupan piridoksin (B6)1
Asupan kalsium (Ca)1
Faktor Kimiawi Perubahan kadar serotonin1
Sumber: 1. Saryono dan Asupan magnesium (Mg)1
Keterangan: Perbedaan garis hanya untuk memudahkan dalam membaca.
Defisiensi endorfin1
Sejati (2009), 2. Masho, dkk (2005),
Pola tidur3
3.
Shecter
dan
Boivini (2010), 4. Amjad,
dkk. (2014)
Status gizi2
Bagan 2.1 Kerangka Teori
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep Pada penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, yaitu variabel dependen yang meliputi kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) dan variabel independen yang meliputi usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik, asupan sumber piridoksin, asupan sumber kalsium, asupan magnesium, pola tidur, dan status gizi. Peneliti tidak meneliti semua faktor yang ada. Beberapa faktor yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik wanita (kecuali usia menarche), faktor psikologis, dan faktor kimiawi. Faktor karakteristik wanita yang meliputi umur, pendapatan, pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal, dan pernah atau tidaknya melahirkan tidak diteliti karena apabila faktor ini diteliti kemungkinan akan terjadinya kehomogenan data. Hal ini disebabkan objek penelitian ini adalah anak sekolah yang secara umum memiliki karakteristik yang sama. Kemudian faktor lainnya yang tidak diteliti meliputi faktor psikologis, faktor hormonal, dan kimiawi karena sudah banyak penelitian yang meneliti ketiga hal tersebut dan mendapatkan hasil yang sama, yaitu memiliki hubungan dengan kejadian PMS.
42
43
Sedangkan variabel independen akan dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini: 1. Usia menarche memiliki hubungan dengan PMS karena dengan terjadinya usia menarche yang cepat, perkembangan remaja putri dari segi fisiologis dan psikologis belum maksimal, sehingga dapat menyebabkan risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala PMS. 2. Riwayat keluarga memiliki hubungan dengan PMS karena adanya gen yang dapat membawa gejala PMS kepada keturunan. Sehingga apabila ada seorang ibu yang mengalami PMS berat, dapat menurunkan PMS tersebut kepada anak-anaknya. 3. Asupan zat mikro, khususnya piridoksin, kalsium, dan magnesium dapat berhubungan dengan PMS karena ketiga zat tersebut merupakan zat-zat yang dapat menurunkan keparahan dari PMS. Dimana metabolisme ketiga zat tersebut berhubungan dengan kadar estrogen, progesteron dan serotonin di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan PMS. 4. Pola tidur dan aktivitas fisik memiliki hubungan dengan faktor kimia, yaitu perubahan kadar serotonin di dalam tubuh. Kadar serotonin ini merupakan faktor langsung yang dapat menyebabkan timbulnya gejala PMS. 5. Status gizi juga berhubungan dengan PMS, khususnya bagi status gizi lebih (overweight dan obesitas). Dimana seseorang dengan status gizi lebih akan mengalami peningkatan jaringan adipositas yang dapat
44
menyebabkan inflamasi pada jaringan, termasuk jaringan pada organ reproduksi. Sehingga berdasarkan kerangka teori yang ada, maka peneliti menyusun kerangka konsep yang terlihat pada bagan 3.1 berikut: Variabel Independen
Variabel Dependen
1. Usia menarche
2. Riwayat keluarga
3. Aktivitas fisik
4. Asupan piridoksin (B6) Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Remaja
5. Asupan kalsium (Ca)
6. Asupan magnesium (Mg)
7. Pola tidur
8. Status gizi
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Variabel Dependen 1.
Kejadian sindrom pramenstruasi (PMS)
Kumpulan gejala fisik dan psikis yang dialami oleh wanita pada 7 hari sebelum menstruasi (keluarnya darah normal) dimulai, dalam siklus menstruasi terakhir.
Pengisian kuesioner
Shortened premenstrual assessment form (sPAF) (Allen dkk., 1991)
1. Tidak ada gejala hingga gejala ringan, jika skor total < 30.
Ordinal
2. Gejala sedang hingga berat, jika skor total ≥ 30. (Allen dkk., 2010, Anggrajani dan Muhdi, 2011, Lustyk dan Gerrish, 2010)
Variable Independen 1.
Usia menarche
Umur responden pada saat pertama kali mendapatkan menstruasi (keluarnya darah normal).
Pengisian kuesioner
Kuesioner usia menarche
1. Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun. 2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun. 3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun
Ordinal
(Bagga dan Kulkarni, 2000) 2,
Riwayat keluarga
Ada atau tidaknya anggota keluarga (ibu dan/atau saudara kandung perempuan) yang memiliki riwayat mengalami PMS yang sampai mengganggu aktivitas harian, yang diketahui berdasarkan pengakuan ibu dan/atau saudara kandung perempuan.
Pengisian kuesioner
Kuesioner riwayat keluarga
1. Ada, jika terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat mengalami PMS. 2. Tidak ada, jika tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat mengalami PMS.
Nominal
3.
Aktivitas fisik
Setiap gerakan tubuh yang membutuhkan pengeluaran energi (pembakaran kalori), seperti duduk, berjalan, berlari, dsb.
Wawancara
Recall aktivitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004)
1. Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya. 2. Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja
Ordinal
45
46
No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
khusus dalam bidang pekerjaannya. 3. Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya. (Dinkes, 2014) 4.
5.
6.
7.
8.
Asupan magnesium (Mg)
Rata-rata magnesium yang biasa dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
Asupan kalsium (Ca)
Rata-rata kalsium yang biasa dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
Asupan piridoksin (B6) Pola tidur
Status gizi
Wawancara dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam 3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG (< 212 mg) 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 212 mg)
Wawancara dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam 3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG ( <1150 mg) 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1150 mg)
Wawancara dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam 3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG (< 1 mg) 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1 mg)
Kebiasaan tidur yang biasa dilakukan oleh responden selama satu bulan terakhir, yang dinilai berdasarkan tujuh komponen utama yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan memulai tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari
Pengisian kuesioner
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang diukur dengan indeks antropometri IMT/U dan disesuaikan dengan standar z-score berdasarkan Kepmenkes RI No: 1995/MENKES/SK/ XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Pengukuran antropometri
Rata-rata piridoksin yang biasa dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
(Buysse dkk., 1989)
Timbangan berat badan dan microtoise
Ordinal
(Kemenkes, 2010) Ordinal
(Kemenkes, 2010) Ordinal
(Kemenkes, 2010) 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5
Ordinal
2. Buruk, jika skor PSQI > 5 (Buysse dkk., 1989)
1. Sangat kurus, jika IMT/U < -3 SD 2. Kurus, jika IMT/U -3 SD s/d < -2 SD 3. Normal, jika IMT/U -2 SD s/d 1 SD 4. Gemuk, jika IMT/U > 1 SD s/d 2 SD 5. Obesitas, jika IMT/U > 2 SD (Kemenkes, 2011)
Ordinal
47
C. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 2. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 3. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 4. Ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 5. Ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 6. Ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 7. Ada
hubungan
antara
pola
tidur
dengan
kejadian
sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. 8. Ada
hubungan
antara
status
gizi
dengan
kejadian
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
sindrom
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi cross-sectional. Studi ini dilakukan untuk melihat gambaran dan hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi (PMS).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA 112 Jakarta. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada November 2014 sampai Juni 2015.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Berikut merupakan kriteria populasi pada penelitian ini, antara lain: a. Populasi target adalah seluruh siswi di SMA 112 Jakarta yang telah mengalami menstruasi sebanyak 445 orang.
48
49
b. Populasi terjangkau adalah siswi kelas X dan XI di SMA 112 Jakarta yang telah mengalami menstruasi sebanyak 295 orang. 2. Sampel Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau, yang meliputi siswi kelas X dan XI di SMA 112 Jakarta. a. Besar Sampel Besar sampel ditentukan dengan rumus uji beda dua proporsi untuk two tail. Hal ini dikarenakan penelitian ini ingin menguji hipotesis yang memiliki sifat two tail, yaitu ingin melihat adanya atau tidaknya hubungan antara variabel dependen dan variabel
independen.
Berikut
perhitungan
besar
sampel
berdasarkan rumus, yaitu: {
⁄
√ ̅(
̅)
√ ( (
)
(
)}
)
Keterangan: n
= Besar sampel minimum
Z1-α/2 = 1,96 (derajat kemaknaan 95% CI dengan α = 5%) Z1-β
= 0,84 (kekuatan uji pada 1-β = 80%)
P1
= 74,5 % = 0,583 (proporsi kejadian sindrom pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur baik (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P2
= 61,9 % = 0,399 (proporsi kejadian sindrom pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur buruk (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P
=
(P1 P2) 2
= 0,682
50
Tabel 4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya P1
P2
Ʃ Sampel
Usia menarche (Aminah dkk., 2011)
0,198
0,471
46
Status gizi (Aminah dkk., 2011)
0,562
0,172
23
Riwayat keluarga (Abdillah, 2010)
0,882
0,434
17
Asupan
(Mg)
0,758
0,468
44
Asupan kalsium (Ca) (Nurmalasari,
0,860
0,270
10
0,100
0,000
9
Pola tidur (Kusumawardhani dkk., 2014)
0,583
0,399
115
Aktivitas fisik (Sianipar, dkk., 2009)
0,670
0,330
44
Variabel
magnesium (Nurmalasari, 2013)
Kejadian PMS
2013)
Asupan piridoksin (B6) (Pujihastuti, 2012)
Berdasarkan perhitungan besar sampel pada setiap variabel dengan menggunakan nilai P1 dan P2 hasil penelitian sebelumnya maka jumlah sampel minimal terbanyak yaitu 115 orang siswi. Namun peneliti mempertimbangkan faktor non respon sebesar 10%, sehingga jumlah sampel menjadi
11,5 =
, dan
dibulatkan menjadi 127 orang. b. Teknik Pengambilan Sampel Pada penelitian ini, sampel diambil dengan teknik simple random sampling (SRS), yaitu suatu metode pengambilan sampel yang didasarkan bahwa setiap anggota atau unit pada populasi memiliki kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Groves dkk., 2009). SRS ini dapat dilaksanakan hanya jika populasi tidak begitu banyak variasinya dan secara geografis tidak terlalu menyebar, di samping itu harus tersedianya daftar populasi
51
(sampling frame) (Hastono dan Sabri, 2008). Dalam penelitian ini, SRS dilakukan dengan melakukan pengundian nama siswi yang sebelumnya didapatkan dari absen (frame sampling) yang diberikan oleh pihak sekolah.
D. Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Sumber Data Jenis sumber data yang dikumpulkan pada penelitian ini, adalah data primer. Data primer tersebut digunakan untuk seluruh data variabel penelitian, yang terdiri dari variabel dependen (kejadian PMS) dan variabel independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan Magnesium, pola tidur, dan status gizi). 2. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan instumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, yang digunakan untuk mengumpulkan seluruh data variabel yang diteliti, kecuali variabel status gizi yang didapatkan dengan pengukuran antropometri. Terdapat dua jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat tertutup (variabel kejadian PMS, usia menarche, riwayat keluarga dan pola tidur) dan jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat terbuka
52
(variabel asupan zat gizi mikro dan aktvitas fisik). Pertanyaan yang bersifat tertutup maksudnya adalah pertanyaan yang sudah memiliki pilihan jawaban tersendiri, sehingga mempunyai keuntungan mudah dalam mengarahkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2010). Sedangkan untuk kuesioner yang bersifat terbuka adalah pertanyaan yang belum memiliki jawaban. Dalam penelitian ini, penggunaan kuesioner terbuka recall akan dilakukan dengan cara wawancara oleh peneliti. 3. Instrumen Pengumpulan Data a. Sindrom pramenstruasi (PMS) Data sindom pramenstruasi (PMS) diperoleh dari hasil pengisian shortened premenstrual assessment form (sPAF) oleh responden. Kuesioner ini merupakan ringkasan dari premenstrual assessment form (PAF) yang terdiri dari 95 pertanyaan(Allen dkk., 1991). SPAF merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat tetap, dan sudah teruji validitas dan reabilitasnya (Allen, dkk., 1991). Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan di Korea, diketahui bahwa keandalan dari kuesioner ini adalah 0,80, konsistensi internal (Cronbach alpha) adalah 0,91, dan korelasi antara coeffeciecy score adalah 0,92 (Lee dkk., 2002). Di samping itu instrumen ini juga sudah banyak digunakan oleh berbagai penelitian PMS di luar maupun di dalam negeri dan masih dipergunakan hingga sekarang.
53
Kuesioner ini berisi 10 (sepuluh) pertanyaan terkait gejala PMS yang diderita responden, yang terdiri atas tiga sub skala (nyeri (pertanyaan #1, #6, dan #8), emosi (pertanyaan #2 sampai #5) dan retensi air (pertanyaan #7, #9, #10)), dengan setiap pertanyaan memiliki bobot nilai 1-6 poin(1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 = ektrim) tergantung jawaban yang dipilih oleh responden (Allen dkk., 1991). Hasil dari kuesioner ini dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Tidak ada gejala hingga gejala ringan, jika skor total < 30; dan 2. Gejala sedang hingga berat, jika jika skor total ≥ 30 (Allen dkk., 2010, Anggrajani dan Muhdi, 2011, Lustyk dan Gerrish, 2010) b. Usia menarche Data usia
menarche
juga didapatkan dengan cara
menyebarkan kuesioner kepada responden dengan mengisi kolom usia menarche pada kuesioner identitas diri. Hasil dari data ini dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun; 2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun; dan 3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun (Bagga dan Kulkarni, 2000). c. Riwayat Keluarga Data riwayat keluarga juga didapatkan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden. Kuesioner terdiri dari tiga pertanyaan terkait ada atau tidaknya riwayat kejadian PMS pada anggota keluarga. Hasil dari data ini dikelompokkan ke dalam
54
dua kategori, yaitu: 1. Ada, jika ada riwayat kejadian PMS dalam keluarga; 2. Tidak, jika tidak ada riwayat kejadian PMS dalam keluarga. d. Aktivitas Fisik Data aktivitas fisik didapatkan dengan cara melakukan penyebaran recall aktivitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004) kepada responden. Kuesioner ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka, dimana peneliti melakukan wawancara kepada responden untuk mengisi kuesioner ini sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya selama 24 jam sebelumnya. Kemudian peneliti akan menghitung persentase kegiatan yang dilakukan oleh responden (cara hitung terdapat pada lampiran 3). Hasil ukur dari variabel ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 2. Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 3. Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya (Dinkes, 2014).
55
e. Asupan Zat Mikro (Piridoksin, Kalsium, dan Magnesium) Data untuk variabel asupan zat mikro didapatkan dari pengisian kuesioner food record 24 jam selama tiga hari oleh responden dan food recall 24 jam selama tiga hari oleh peneliti. Dalam penggunaannya, setelah kuesioner tersebut diisi, kemudian peneliti melakukan input data bahan makanan yang dikonsumsi responden ke dalam software khusus untuk menghitung asupan zat gizi. Kemudian software tersebut akan menghasilkan zat-zat gizi total dari makanan yang dikonsumsi oleh responden. Hasil ukur dari variabel ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Kurang, jika <80% AKG; 2. Cukup, jika ≥80% AKG (Kemenkes, 2010). f. Pola Tidur Data pola tidur didapatkan dari kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang secara subjektif diisi oleh responden dengan penilaian terhadap 7 komponen utama yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari (Buysse dkk., 1989). Kuesioner PSQI merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat tetap, dan sudah teruji menghasilkan sensitivitas diagnostik 89,6% dan spesifisitas 86,5% (kappa = 0,75, p kurang dari 0,001) dalam membedakan yang pola tidur baik dan yang buruk (Buysse dkk., 1989). Di samping itu validitas instrumen PSQI juga sudah teruji, yaitu sebesar 0,89 (Cunha dkk., 2008) dan 0,84 (Fauziah, 2013),
56
sedangkan reliabilitasnya sebesar 0,88 (Cueller dan Ratcliffe, 2008) dan 0,766 (Agustin, 2012). Kuesioner ini berisi sembilan pertanyaan utama tentang kuantitas dan kualitas tidur responden. Cara perhitungan untuk kuesioner ini dijelaskan pada lampiran 2. Sedangkan hasil ukur variabel aktivitas ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5; 2. Buruk, jika skor PSQI > 5 (Buysse, dkk., 1989). g. Status Gizi Data untuk variabel status gizi dilihat dari indeks IMT/U. Data ini didapatkan dari pengukuran antropometri, yang dilakukan dengan penimbangan berat badan (dalam kg) menggunakan timbangan (ketelitian 0.1 kg) dan pengukuran tinggi badan (dalam cm) menggunakan microtoise (ketelitian 0.1 cm). Dalam melakukan penimbangan berat badan, responden diukur tanpa menggunakan alas kaki. sweater, kaca mata, jam tangan juga dilepaskan. Sedangkan dalam melakukan pengukuran tinggi badan, responden berdiri tegak dengan posisi membelakangi dinding (kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel pada dinding), microtoise harus berada tepat di tengah kepala serta arah pandang responden harus tepat lurus ke depan.
57
Kemudian, hasil dari kedua pengukuran tersebut dihitung dengan menggunakan rumus IMT dan dibandingkan dengan standar Kemenkes (2011). Berikut rumus IMT: IMT =
Berat badan (kg) (Tinggi badan)² (m²)
Hasil dari pengukuran tersebut dikelompok menjadi 5 (lima) kategori berdasarkan Kemenkes (2011), yaitu: 1. Sangat kurus, jika IMT/U < -3 SD; 2. Kurus, jika IMT/U -3 SD s/d < -2 SD; 3. Normal, jika IMT/U -2 SD s/d 1 SD; 4. Gemuk, jika IMT/U > 1 SD s/d 2 SD; 5. Obesitas, jika IMT/U > 2 SD (Kemenkes, 2011).
E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data 1.
Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data merupakan tahapan yang dilakukan sebelum data dianalisis. Terdapat empat langkah dalam teknik pengolahan data, yaitu: a. Editing Editing
adalah
langkah
dimana
peneliti
melakukan
pengecekan ulang terhadap kelengkapan pengisian jawaban pada kuesioner yang telah diisi oleh responden pada setiap saat kuesioner selesai diisi oleh responden. Apabila ada kuesioner yang
58
tidak diisi dengan lengkap, maka peneliti akan mengembalikan kuesioner dan meminta responden mengisi kuesioner kembali dengan lengkap. Sehingga dapat dipastikan bahwa kuesioner diisi dengan lengkap, dan tidak akan mempengaruhi analisis data dan ke-valid-an hasil penelitian. b. Coding Coding adalah langkah pemberian kode pada setiap pertanyaan dan jawaban pada kuesioner agar siap di-entry ke dalam software statistik. Pada penelitian ini, coding di mulai dari angka 1 untuk setiap hasil ukur variabel, seperti yang telah disebutkan pada definisi operasional dan pengumpulan data. c. Entry Entry atau pemasukan data adalah langkah dimana peneliti memasukan data ke dalam software statistik agar siap dianalisis. Pada tahap ini dilakukan editing atau pengecekan ulang kembali terhadap setiap data yang telah dimasukan, untuk mencegah terjadinya pengisian cell yang tidak lengkap. d. Cleaning Cleaning adalah langkah dimana peneliti melakukan pengecekan ulang terakhir kalinya pada data yang sudah di-entry untuk mencegah adanya error dan missing dalam menganalisis data. Sehingga data yang sudah di-entry dapat dipastikan sudah benar-benar lengkap sebelum dianalisis.
59
2.
Analisis data Terdapat dua analisis data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu analisis univariat dan bivariat. Dalam menganalisis keduanya peneliti menggunakan program komputer, yaitu software uji statistik. Berikut penjelasan masing-masing analisis data, antara lain: a. Analisis Univariat Analisis univariat adalah sebuah analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan karakteristik (distribusi frekuensi) setiap variabel penelitian, yang mencakup variabel dependen (kejadian sndrom pramenstruasi (PMS)) dan variabel independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan magnesium, pola tidur, dan status gizi). Analisis ini ditampilkan dalam bentuk persentase yang disajikan dalam grafik dan tabel. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji statistik untuk menguji hipotesis penelitian. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah chi square test karena variabel dependen dan independen yang ada dalam penelitian ini bersifat kategorik. Ada pun rumus chi-square adalah sebagai berikut: X2 = Σ (O – E)2 Df = (b-1) (k-1) E
60
Keterangan: X2 = Nilai chi-square O = Nilai observasi (nilai yang diamati) E = Nilai ekspektasi (nilai yang diharapkan) b
= Jumlah baris
k
= Jumlah kolom Namun dalam penggunaan uji tersebut perlu diperhatikan
syarat uji chi square, yaitu tidak boleh lebih dari 20% jumlah sel (dalam tabulasi) yang mempunyai nilai harapan (expected count) < 5 (Dahlan, 2009). Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji alternatif chi-square, yaitu uji Fisher’s Exact Test (Dahlan, 2009). Interpretasi hasil dari chi square adalah dengan melihat pvalue. Jika pvalue > 0,05, maka keputusannya adalah Ho gagal ditolak, artinya Ho diterima atau tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya jika pvalue < 0,05, maka keputusannya adalah Ho ditolak atau hipotesis penelitian diterima, artinya ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
BAB V HASIL
A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta SMA 112 Jakarta terletak di Jalan Sanggrahan No. 2 Meruya Utara Kembangan Jakarta Barat. Jumlah seluruh siswa SMA 112 Jakarta sebanyak 790 orang, dengan jumlah siswi sebanyak 445 orang. Sedangkan jumlah kelas yang terdapat di SMA 112 Jakarta sebanyak 22 kelas, yang terdiri dari kelas X sebanyak 8 kelas, kelas XI sebanyak 7 kelas, dan kelas XII sebanyak 7 kelas. Namun pada penelitian ini, yang menjadi responden penelitian hanya siswi kelas X (6 kelas) sampai dengan XI sebanyak (7 kelas). Berdasarkan hasil sampling menggunakan teknik simple random sampling, didapatkan sampel sebesar 127 orang, dengan distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas sebesar 44,1% (56 orang) siswi kelas X dan 55,9% (71 orang) siswi kelas XI. Sedangkan distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur sebagian besar responden berusia 16 tahun, yakni sebesar 47,2% (60 orang), yang diikuti dengan usia 15 tahun sebesar 27,6% (35 orang), usia 17 tahun 23,6% (30 orang), dan usia 14 tahun sebesar 1,6% (2 orang).
61
62
B. Analisis Univariat 1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Kejadian PMS dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu tidak ada gejala hingga ringan apabila skor total < 30 dan gejala sedang hingga berat apabila skor total ≥ 30. Kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Skor Kejadian PMS (poin) Median
27
Nilai Minimum
11
Nilai Maksimum
49
Dari tabel di atas diketahui bahwa skor kejadian PMS memiliki nilai tengah sebesar 27 poin. Nilai tengah digunakan karena hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal. Arti dari nilai tengah pada tabel 5.1 adalah umur pertengahan kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta, berada pada kelompok tidak ada gejala hingga gejala ringan. Kemudian bila dilihat dari nilai terendah sebesar 11 poin, dapat diartikan bahwa tidak ada siswi yang tidak mengalami gejala PMS (skor < 10). Kemudian untuk lebih jelasnya, berikut ini distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian PMS yang dapat dilihat pada grafik 5.1.
63
Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
32.3% 67.7%
Tidak ada gejala hingga ringan
Gejala sedang hingga berat
Dari grafik 5.1 dapat disimpulkan bahwa kejadian PMS gejala sedang hingga berat sebesar 32,3% (41 orang). Adapun jenis gejala yang dialami digambarkan pada tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Jenis Gejala PMS yang Dialami
Tidak mengalami (skor 1) %
Sangat ringan hingga ringan (skor 2-3) %
Sedang (skor 4) %
Berat hingga ekstrim (skor 5-6) %
Mudah tersinggung
8,7
38,6
20,5
32,3
Nyeri perut
8,7
45,7
19,7
25,9
Sedih, tidak bersemangat
10,2
44,1
23,6
22,1
Sakit panggul, nyeri sendi
12,6
44,1
18,1
25,2
Kewalahan atas persoalan
22,0
44,1
25,2
8,7
Nyeri payudara
26,0
50,4
21,3
10,3
Tertekan
26,8
39,4
16,5
17,3
Peningkatan berat badan
37,8
39,4
18,9
3,9
Perut kembung
44,1
40,9
10,2
4,7
Adanya edema
85,8
12,6
1,6
0
64
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa gejala PMS yang paling banyak dialami adalah mudah tersinggung dan nyeri perut, yang keduanya memiliki persentase yang sama, yakni 91% (116 orang). Sedangkan tiga gejala PMS yang paling berat dialami adalah mudah tersinggung 32,3% (49 orang), nyeri perut 25,9% (33 orang), dan nyeri panggul 25,2% (33 orang). Kemudian untuk banyaknya gejala PMS yang dialami oleh siswi dapat dilihat pada grafik 5.2 berikut. Grafik 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 13.4%
86.6%
≤ 5 gejala
> 5 gejala
Dari grafik 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami gejala PMS > 5 gejala, yakni sebesar 86,6% (110 orang). 2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Usia menarche pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu cepat, jika usia menarche ≤ 11 tahun; normal, jika usia menarche 12-13 tahun; dan lambat, jika usia menarche > 13 tahun. Hasil uji
65
normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang digunakan adalah median. Berikut median usia menarche pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Usia Menarche (tahun) Median
13
Nilai Minimum
10
Nilai Maksimum
16
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa usia menarche memiliki nilai tengah 13 tahun. Yang artinya usia pertengahan menarche pada siswi SMA 112 Jakarta berada pada usia menarche normal. Untuk lebih jelasnya, berikut grafik 5.3 yang menyajikan data distribusi frekuensi responden berdasarkan usia menarche. Grafik 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
67.7% 18.9%
13.4% Cepat
Ideal
Lambat
Grafik 5.3 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami menstruasi pertama di usia 12-13 tahun, yakni sebesar 68% (86 orang).
66
3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Riwayat keluarga pada penelitian ini terbagi atas dua kategori, yaitu ada riwayat keluarga dan tidak ada riwayat keluarga. Berikut distribusi frekuensi
responden berdasarkan riwayat keluarga pada
siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada grafik 5.4. Grafik 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
48.0%
52.0%
Ada
Tidak ada
Grafik 5.4 menggambarkan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta, yakni 52% (66 orang) memiliki riwayat keluarga yang mengalami sindrom pramenstruasi. Ada pun untuk lebih jelasnya, di bawah ini grafik 5.5 menggambarkan distribusi frekuensi anggota keluarga yang memiliki riwayat sindrom pramenstruasi:
67
Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga yang Memiliki Riwayat Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 100% 80% 60% 40% 20%
74%
63% 37%
26%
0% Riwayat saudara kandung Ada
Riwayat ibu
Tidak ada
Grafik 5.5 menunjukan bahwa riwayat pada ibu lebih banyak dimiliki oleh siswi SMA 112 Jakarta, yakni sebesar 37% (47 orang). 4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Aktivitas fisik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni ringan, sedang, dan berat. Berikut distribusi frekuensi responden berdasarkan aktivitas fisik yang terlihat pada grafik 5.6. Grafik 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 100.0% 80.0% 60.0% 40.0%
75.6%
20.0%
24.4%
0%
Sedang
Berat
0.0% Ringan
Grafik 5.6 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan, yakni sebesar 75,6% (96 orang). Selanjutnya untuk memudahkan dalam melakukan uji statistik,
68
peneliti menggabungkan kelompok aktivitas sedang dengan aktivitas berat. Sehingga variabel aktivitas dikelompokkan kembali menjadi dua kelompok, yakni aktivitas ringan dan aktivitas sedang. 5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan piridoksin pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG). Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang digunakan adalah median. Berikut median asupan piridoksin pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan B6 (mg) Median
0,7
Nilai Minimum
0,2
Nilai Maksimum
1,8
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa nilai tengah asupan piridoksin adalah 0,7 mg, yang berarti nilai pertengahan asupan piridoksin siswi SMA 112 Jakarta berada pada asupan yang kurang (< 1 mg). Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden berdasarkan asupan piridoksin yang terlihat pada grafik 5.7.
69
Grafik 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
31.5% 68.5%
Kurang
Cukup
Grafik 5.7 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta yang memiliki asupan piridoksin kurang, yakni sebesar 68,5% (87 orang). 6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan kalsium pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG). Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang digunakan adalah median. Berikut median asupan kalsium pada siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan Ca (mg) Median
297
Nilai Minimum
38
Nilai Maksimum
1198
70
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa nilai tengah asupan kalsium sebesar 297 mg, yang artinya nilai pertengahan asupan kalsium pada siswi SMA 112 Jakarta berada pada asupan kurang (< 920 mg). Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden berdasarkan asupan kalsium yang terlihat pada grafik 5.8. Grafik 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
17%
83%
Kurang
Cukup
Grafik 5.8 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang, yakni sebesar 82,7% (105 orang). 7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan magnesium pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG). Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang digunakan adalah median. Berikut median asupan magnesium pada siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.6 berikut.
71
Tabel 5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan Mg (mg) Median
146
Nilai Minimum
44
Nilai Maksimum
426
Dari tabel 5.6 diketahui bahwa nilai tengah asupan magnesium sebesar 146 mg, yang artinya nilai pertengahan asupan kalsium siswi SMA 112 Jakarta berada pada asupan kurang (< 212 mg) Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden berdasarkan asupan magnesium yang terlihat pada grafik 5.9. Grafik 5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015)
19.0%
81.1%
Kurang
Cukup
Grafik 5.9 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan magnesium kurang, yakni sebesar 81,1% (103 orang). 8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Pola tidur pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok yakni baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan buruk, jika skor PSQI >
72
5. Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang digunakan adalah median. Berikut median skor pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 terlihat pada tabel 5.7 berikut: Tabel 5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Skor Pola Tidur (poin) Median
7
Nilai Minimum
1
Nilai Maksimum
17
Dari tabel 5.7 diketahui bahwa nilai tengah skor pola tidur sebesar 7, yang artinya nilai pertengahan pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta berada pada pola tidur buruk. Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden berdasarkan pola tidur yang terlihat pada grafik 5.10. Grafik 5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
34.6% 65.4%
Baik
Buruk
Grafik 5.10 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki pola tidur yang buruk, yakni sebesar 65,4% (83 orang).
73
9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Status gizi dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yakni sangat kurus dengan ambang batas <-3 SD, kurus dengan ambang batas -3 SD sampai dengan <-2 SD, normal dengan ambang batas -2 SD sampai dengan 1 SD, gemuk dengan ambang batas > 1 SD sampai dengan 2 SD, dan obesitas dengan ambang batas > 2 SD. Berikut grafik 5.11 yang menyajikan data distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi. Grafik 5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 100.0% 80.0% 60.0% 40.0%
81.1%
20.0% 0.0%
7.1%
Sangat kurus
Kurus
11.8%
0.0%
Gemuk
Obesitas
0.0% Normal
Dari grafik 5.11 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki status gizi normal, yakni sebesar 81.1% (103 orang). Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada siswi yang memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas, sehingga peneliti mengelompokan kembali status gizi tersebut ke dalam tiga kelompok menjadi kurus, normal, dan gemuk.
74
C. Analisis Bivariat 1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara usia menarche dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Usia menarche
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Cepat (<12 tahun)
9
52,9
8
47,1
17
100
Normal (12-13 tahun)
59
68,6
27
31,4
86
100
Lambat (>13 tahun)
18
75,0
6
25,0
24
100
P value
0,315
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa dari hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,315, artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS. 2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.9.
75
Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Riwayat Keluarga
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Ada
36
54,5
30
45,5
66
100
Tidak ada
50
82,0
11
18,0
61
100
P value
0,001
Tabel 5.9 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,001, artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS. 3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.10. Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Aktivitas fisik
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Ringan
63
65,6
33
34,4
96
100
Sedang
23
74,2
8
25,8
31
100
P value
0,375
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,375 artinya pada ɑ = 5% dapat
76
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS. 4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.11. Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan Piridoksin
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Kurang
56
64,4
31
35,6
87
100
Cukup
30
75,0
10
25,0
40
100
P value
0,234
Tabel 5.11 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,234 artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada hubungan antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS. 5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara asupan kalsium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut.
77
Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan Kalsium
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Kurang
66
62,9
39
37,1
105
100
Cukup
20
90,9
2
9,1
22
100
P value
0,011
Tabel 5.12 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,011 artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian PMS. 6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara asupan magnesium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut. Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Asupan Magnesium
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Kurang
67
65,0
36
35,0
103
100
Cukup
19
79,2
5
20,8
24
100
P value
0,183
Tabel 5.13 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,183 artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
78
hubungan yang signifikan antara asupan magnesium dengan kejadian PMS. 7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut. Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Pola Tidur
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Baik
36
81,8
8
18,2
44
100
Buruk
50
60,2
33
39,8
83
100
P value
0,013
Tabel 5.14 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,013 artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan yang signifikan antara pola tidur dengan kejadian PMS. Untuk itu peneliti mencoba analisis lebih lanjut untuk mengetahui komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS. Berikut Tabel 5.15 yang menunjukan hubungan pada setiap komponen.
79
Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Komponen Pola Tidur
Pvalue
Durasi tidur
0,715
Gangguan tidur
0,089
Latensi tidur
0,034
Gangguan aktivitas di siang hari
0,050
Efisiensi tidur
0,825
Kualitas tidur
0,004
Penggunaan obat tidur
0,354
Tabel 5.15 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square didapatkan bahwa komponen latensi tidur, gangguan aktivitas di siang hari, dan kualitas tidur memiliki hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS (pvalue ≤ 0,05). 8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square antara status gizi dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.16. Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Status Gizi
Kejadian PMS Tidak ada gejala hingga ringan
Total
Gejala sedang hingga berat
n
%
n
%
n
%
Kurus
5
55,6
4
44,4
9
100
Normal
74
71,8
29
28,2
103
100
Gemuk
7
46,7
8
53,3
15
100
P value
0,108
80
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa dari hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue = 0,108 artinya pada ɑ = 5% dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Peneliti telah melakukan penelitian ini secara maksimal dengan cara atau metode yang sesuai dengan kaidah yang berlaku secara umum, namun ada beberapa keterbatasan yang dikategorikan sebagai random error dan berusaha agar random error tersebut dapat di minimalisir. Keterbatasan tersebut meliputi: 1. Dalam mengambil data asupan zat mikro responden, peneliti menggunakan food record 24 jam dan food recall 24 jam. Kedua metode tersebut dapat memungkinkan terjadinya bias, karena food record bergantung pada kepatuhan responden dalam mencatat makanan yang dikonsumsi, sedangkan recall bergantung pada daya ingat responden. Sehingga pada record peneliti berusaha untuk sesering mungkin mengingatkan responden untuk mencatat makanan yang dikonsumsi melalui penanggung jawab kelas. Sedangkan pada recall, peneliti menggunakan food model. 2. Keterbatasan
lainnya
yang
mungkin
terjadi
adalah
adanya
kecenderungan pada responden untuk menambah atau mengurangi makanan yang dikonsumsi (flat slope syndrome), yang berakibat pada
81
82
terjadinya data pola konsumsi yang tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. 3. Penggunaan recall untuk aktivitas fisik juga memiliki keterbatasan yang sama dengan recall pada asupan zat mikro. Hanya saja untuk mengurangi keterbatasan tersebut, peneliti melakukan probing yang berguna agar responden dapat lebih mengingat dan merincikan kegiatan yang dilakukannya selama 24 jam. 4. Pengolahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software memiliki kelemahan, karena tidak semua jenis bahan makanan yang dikonsumsi responden tersedia dan dapat dianalisis oleh program tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya bias, peneliti melakukan perhitungan kandungan zat gizi yang hampir sama dengan makanan yang sejenis atau mencari sendiri nilai zat gizi pada sumber lain (seperti daftar kandungan bahan makanan (DKBM) dan situs web), sehingga hasil yang diperoleh dapat mendekati nilai gizi yang sebenarnya.
B. Analisis Univariat dan Bivariat 1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan gangguan siklik umum dari wanita muda dan setengah baya yang ditandai dengan gejala emosional dan fisik yang konsisten terjadi selama fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi (Dickerson dkk., 2003).
83
Biasanya gejala ini terjadi pada rentang 1-2 minggu atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, dan akan berhenti saat dimulainya siklus menstruasi (NIH, 2014). Sindrom ini merupakan salah satu masalah yang sangat umum terjadi pada wanita, sehingga PMS merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010). Hal ini disebabkan karena pada dasarnya PMS pernah dialami hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90% wanita mengalami setidaknya satu gejala PMS dalam beberapa siklus menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan Mahmood, 2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang sampai berat (Freeman, 2007). Sedangkan di Indonesia dari 260 orang WUS, ditemukan sebanyak 95% wanita mengalami setidaknya satu gejala PMS dan 3,9% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang sampai berat (Emilia, 2008). Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik 5.1 diketahui bahwa jumlah siswi yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat sebesar 32,2% (41 orang). Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian di Turki menemukan sebesar 31% remaja putri mengalami PMS tingkat sedang hingga berat (Derman dkk, 2004). Hal ini berarti prevalensi kejadian PMS tingkat sedang hingga berat pada penelitian ini, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian di Turki. Namun juga terdapat penelitian lain pada siswi SMA di Tasikmalaya dan Bogor, yang
84
menemukan prevalensi yang jauh lebih besar, yaitu sebesar 58,7% dan 67,8% (Nurmalasari dkk., 2013, Aldira, 2014). Sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode sama (sPAF) dalam menilai kejadian PMS, diketahui bahwa prevalensi pada penelitian ini lebih besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan di Purworejo dan Semarang yang masing-masing hanya menemukan sebesar 24,6% dan 3,2% remaja putri yang mengalami PMS tingkat sedang hingga berat (Tambing, 2012, Putri, 2013). Kemudian penelitian lainnya yang dilakukan oleh Prabowo juga hanya menemukan sebesar 5,91% remaja putri yang mengalami PMS tingkat sedang hingga berat (Prabowo dkk., 2013). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif juga diketahui bahwa nilai tengah skor PMS sebesar 27 poin (tabel 5.1). Hal ini menunjukan bahwa kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta juga lebih parah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan angka pemusatan skor PMS sebesar 24,7 poin dengan angka penyebaran 10-49 poin (Nurmiaty dkk., 2011). Tingginya kejadian PMS ini disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dimana masa remaja adalah masa dimana seseorang berada pada rentang usia antara 10-19 tahun (Depkes, 2006, WHO, 2014a). Pada masa inilah
85
terjadi perubahan yang sangat signifikan, tidak hanya dari fisik, namun dari fisiologis dan psikologis pula. Selanjutnya
berdasarkan
hasil
analisis
deskriptif
pada
penelitian ini juga diketahui bahwa jenis gejala PMS yang paling sering dialami adalah mudah tersinggung (91,3%) dan nyeri pada perut (91,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana ditemukan bahwa gejala yang paling banyak dialami adalah masalah pada psikologis (87,6%) (Derman dkk, 2004) dan nyeri perut (75,3%) (Tambing, 2012). Sedangkan tiga jenis gejala PMS yang paling berat dialami pada penelitian ini adalah mudah tersinggung (32,3%), nyeri perut (25,9%), dan nyeri panggul (25,2%). Ketiga gejala tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa gejala yang paling berat dirasakan oleh responden adalah nyeri perut (17,6%), mudah tersinggung (10,8%), dan nyeri panggul (9,1%) (Nurmiaty dkk, 2011). Namun gejala dari PMS dapat terjadi tidak murni hanya akibat dari PMS itu sendiri. Seperti halnya nyeri perut, dapat juga disebabkan oleh suatu gangguan organ reproduksi yang disebut endometriosis. Endometriosis adalah suatu keadaan yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal, dimana jaringan yang menyerupai dan beraksi seperti lapisan rahim, berada diluar rahim di dalam tulang panggul (Saryono dan Sejati, 2009). Kemudian bila jaringan ini mengalami pendaharan ringan (seperti saat menstruasi), darah ini akan mengiritasi jaringan terdekat yang dapat menimbulkan rasa sakit
86
(Saryono dan Sejati, 2009). Untuk itu perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut terkait masalah ini bila dirasakan sangat menggaggu, karena akan berdampak buruk bagi yang mengalami. Sejauh ini berdasarkan hasil pencarian literatur yang peneliti lakukan, dampak dari PMS hanya sebatas masalah sosial (Saryono dan Sejati, 2009, Suparman, 2010). Hal ini dikarenakan gejala utama dari PMS adalah pada masalah psikologis (Saryono dan Sejati, 2009). Dampak dari PMS bagi remaja putri yang bersekolah dapat menganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Apalagi berdasarkan analisis deskriptif diketahui bahwa sebagian besar (86,6%) siswi SMA 112 Jakarta dengan mengalami > 5 gejala PMS yang kemungkinan besar dapat menganggu aktivitas sosial di sekolah. Hal ini dikarenakan bila merasakan 5 gejala PMS yang dirasakan sangat berat dapat merujuk kepada premenstrual dhysphoric disorder (PMDD) (Saryono dan Sejati, 2009). Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti kondisi mental, peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu, PMS juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Oleh karena itu siswi SMA 112 Jakarta perlu memperhatikan faktor-
87
faktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada penelitian ini, yaitu riwayat keluarga, asupan kalsium, dan pola tidur. 2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Aktivitas fisik merupakan kegiatan harian yang mengeluarkan energy yang mencakup kegiatan pekerjaan, olah raga, pekerjaan rumah tangga, dan kegitaan lainnya (Caspersen dkk., 1985). Pada penelitian ini, aktivitas fisik terbagi atas tiga kategori yang meliputi aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik 5.6, diketahui bahwa prevalensi siswi SMA 112 Jakarta yang memiliki aktivitas fisik ringan sebesar 75,6% (96 orang), sedangkan hanya sebesar 24,4% (31 orang) yang memiliki aktivitas sedang, dan tidak ada yang memiliki aktivitas fisik berat. Prevalensi
aktifitas
fisik
ringan
tersebut
lebih
besar
dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 yang menemukan hanya sebesar 66,9 % pada usia 10-14 tahun dan 52% pada usia 15-24 tahun, walaupun hasil riskesdas ini tidak membedakan menurut jenis kelamin. Sedangkan bila dibandingkan dari jenis kelamin, sebanyak 54,4% perempuan di Indonesia memiliki aktivitas fisik kurang yang artinya prevalensi pada penelitian ini tetap lebih tinggi. Kemudian bila dibandingkan kembali dengan penelitian pada remaja putri, ditemukan bahwa prevalensi aktivitas fisik ringan pada penelitian ini juga lebih tinggi. Dimana berdasarkan penelitian
88
sebelumnya menemukan bahwa dari 59 orang sebesar 69,5% memiliki aktivitas fisik ringan (Aldira, 2014). Kemudian bila dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan metode penilaian aktivitas fisik yang sama dengan penelitian ini, menemukan bahwa hanya sebanyak 18% (Setianingsih, 2012) dan 33,3% (Putri, 2013) yang memiliki aktivitas fisik ringan. Berdasarkan hasil recall aktivitas fisik, tingginya prevalensi aktivitas fisik ringan pada penelitian ini disebabkan karena sebagian besar aktivitas responden pada hari Senin sampai Jumat adalah belajar (sekolah dan tempat les), mereka hanya melakukan duduk sambil menulis atau membaca. Sedangkan pada hari libur, sebagian besar responden menghabiskan waktu dengan beristirahat, seperti tidur dan bermain gadget. Di samping itu sebagian besar responden pergi dan pulang sekolah menggunakan kendaraan pribadi (motor dan mobil), hanya sebagian kecil yang menggunakan angkutan umum dan perlu sedikit berjalan untuk sampai ke tempat tujuan. Hal ini diperkuat dengan penelitian Aldira (2014), yang juga menemukan bahwa alasan tingginya aktivitas fisik ringan yang terjadi pada remaja putri dikarenakan hal tersebut. Rendahnya aktivitas fisik juga dapat dikarenakan oleh status ekonomi. Dimana status ekonomi dapat terlihat dari kepemilikan kendaraan, karena seseorang yang memiliki kendaraan cenderung memiliki status ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki kendaraan. Sebagian besar siswi di
89
SMA 112 Jakarta, memiliki status ekonomi menengah ke atas. Hal ini yang juga mungkin menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat aktivitas fisik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Medan dan Jakarta
Selatan,
diketahui
bahwa
terdapat
hubungan
antara
kepemilikan kendaraan dengan kejadian kegemukan (Adiningrum, 2008). Dimana menurut Adiningrum (2008) kepemilikan kendaraan ini berkaitan dengan rendahnya aktivitas fisik seseorang. Dalam jangka panjang, kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko utama keempat kematian di dunia (6% dari kematian di dunia) (WHO, 2015b). Selain itu aktivitas fisik diperkirakan menjadi penyebab utama untuk sekitar 21-25% dari kanker payudara dan usus, 27% dari diabetes, dan sekitar 30% dari beban penyakit jantung iskemik(WHO, 2015a). Bagi remaja aktivitas fisik telah dikaitkan dengan manfaat psikologis, seperti peningkatan kontrol terhadap gejala kecemasan dan depresi; mengembangkan jaringan muskuloskeletal yang sehat (yaitu tulang, otot dan sendi); mengembangkan sistem kardiovaskular yang sehat (yaitu jantung dan paru-paru); mengembangkan kesadaran neuromuskuler (yaitu koordinasi dan gerakan kontrol) (WHO, 2015b). Oleh karena itu, aktivitas fisik sangat penting untuk dilakukan. Khusus untuk remaja setidaknya perlu melakukan aktivitas fisik sedang hingga berat selama 60 menit dalam sehari, seperti jalan cepat, berlari, menari, berkebun, bersepeda, dan berenang (WHO, 2015b). Kemudian untuk tambahan, remaja juga perlu setidaknya melakukan
90
kegiatan yang dapat memperkuat otot dan tulang minimal 3 kali seminggu, seperti push-up, sit-up, dan angkat beban (WHO, 2015b). 3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Vitamin B6 merupakan salah satu jenis vitamin larut air yang memiliki tiga bentuk; piridoksin, piridoksal, dan piridoksiamin (Almatsier, 2010). Namun bentuk yang paling umum dari vitamin ini adalah piridoksin, sedangkan piridoksiamin dan piridoksal merupakan bentuk lain dari piridoksin (Almatsier, 2010). Dalam keaddan tertentu piridoksin berperan sebagai koenzim dalam berbagai reaksi di dalam tubuh (Almatsier, 2010). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin kurang (asupan < 1 mg/hari), yakni sebesar 68,5% (87 orang) (grafik 5,7), dengan nilai tengah 0,7 mg (tabel 5.4). Prevalensi ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni 60,3% (Septiani, 2009), 49,4% (Siantina, 2010), 12% (Pujihastuti, 2012), 46% (Setianingsih, 2012), dan 3,2% (Kusumatutik, 2013). Rendahnya asupan piridoksin ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan sumber piridoksin pada siswi SMA 112 Jakarta. Dimana berdasarkan hasil record dan recall, sebagian besar asupan responden adalah makanan yang kurang bergizi, seperti makanan ringan (snack), fast food, dan junk food.
Hal ini sejalan dengan
91
pernyataan Almatsier (2011) yang mengemukakan bahwa umumnya remaja lebih banyak mengonsumsi junk food. Tingginya konsumsi terhadap makanan rendah zat gizi dapat disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis makanan tersebut, khususnya di kota besar seperti Jakarta ini. Padahal sumber utama piridoksin terdapat pada kecambah, gandum, hati, ginjal, serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier, 2010), yang tentunya harus dikonsumsi dalam keadaan segar (tidak dibekukan), karena kandungkan piridoksin akan hilang sebesar 3655% pada suhu beku (Almatsier, 2010). Di samping itu, dari hasil record dan recall asupan makanan, diketahui bahwa sebagian besar responden juga memiliki waktu dan frekuensi makan yang tidak teratur. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Almatsier (2011), yang mengemukakan bahwa sebagian besar remaja memiliki kecenderungan untuk mengabaikan dan melewatkan makan pagi dan/atau makan siang, khususnya pada remaja putri yang sedang berusaha untuk diet. Sehingga hal ini juga dapat menjadi salah satu yang mempengaruhi kurangnya asupan piridoksin. Piridoksin ini sangat penting untuk metabolism protein, pembentukan precursor hem dalam hemoglobin, dan pembentukan serotonin yang berkaitan dengan kejadian PMS (Almatsier, 2010). Sehingga apabilatubuh mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi gejala-gejala yang berhubungan dengan metabolism protein, seperti lemah, mudah tersinggung, dan sukar tidur yang merupakan gejala dari
92
PMS (Almatsier, 2010). Dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gangguan fungsi motorik, anemia, peradangan lidah, penurunan antibodi, bahkan kerusakan otak (Almatsier, 2010). Sebenarnya kekurangan piridoksin di dalam tubuh jarang terjadi dan biasanya terjadi bersamaan dengan kekurangan beberapa jenis vitamin B-kompleks lainnya (Almatsier, 2010). Hal ini dikarenakan
vitamin
B-kompleks
memiliki
keterkaitan
dalam
fungsinya di dalam tubuh, sehingga saling membantu dalam penggunaannya (Almatsier, 2010). Kekurangan piridoksin di dalam tubuh
umumnya terjadi
kecanduan
alkohol,
dikarenakan konsumsi
penyakit
kronik,
dan
obat
tertentu,
gangguan
absorbsi
(Almatsier, 2010). Walaupun kekurangan piridoksin jarang terjadi, tetapi asupan piridoksin tetap harus diperhatikan, khususnya pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan. Karena pada hakikatnya remaja membutuhkan konsumsi zat gizi yang cukup, untuk memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, perlu adanya semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112 Jakarta terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi. 4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Kalsium merupakan mineral yang tersebar luas di dalam tubuh (Almatsier, 2010). Dalam keadaan seimbang, kalsium memiliki
93
konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l (9-10,4 mg/100 ml) di dalam tulang (Almatsier, 2010). Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memiliki peranan penting dalam mengatur fungsi sel (Almatsier, 2010). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang (< 920 mg/hari), yakni sebesar 82,7% (105 orang) (grafik 5.8). Prevalensi asupan kalsium yang kurang tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu sebesar 82,2% (Septiani, 2009), 52,4%(Siantina, 2010), 54% (Pujihastuti, 2012), dan 21% (Kusumatutik, 2013). Bila dibandingkan dengan angka pemusatan, diketahui bahwa asupan kalsium pada penelitian ini sebesar 297 mg, dengan angka penyebaran antara 38-1198 mg (grafik 5.5). Sedangkan berdasarkan penelitian sebelumnya angka pemusatan asupan kalsium sebesar 276,3 mg, dengan angka penyebaran 59,3-870,7 mg (Nurmiaty dkk., 2011). Sehingga dapat disimpulkan peneltian ini memiliki asupan kalsium yang lebih baik. Sama halnya dengan piridoksin, rendahnya asupan kalsium ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium pada siswi SMA 112 Jakarta. Dimana berdasarkan hasil record dan recall, sebagian besar asupan responden adalah makanan yang kurang bergizi, seperti makanan ringan (snack), soft drink, fast food, dan junk food. Padahal konsumsi soft drink yang biasa dikonsumsi oleh remaja dapat
94
menurunkan asupan kalsium, karena anak remaja cenderung lebih sering meminum soft drink dibandingkan susu yang kaya kalsium. Tingginya
konsumsi
terhadap
makanan
tersebut
dapat
disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis makanan dan minuman tersebut, khususnya di kota besar seperti Jakarta ini. Padahal sumber utama kalsium terdapat pada
bahan
makanan yang bergizi, seperti susu (khususnya susu non fat) dan hasil produksi susu, seperti keju dan yoghurt; dan ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering (Almatsier, 2010). Serealia, kacang-kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau juga merupakan sumber kalsium yang baik, namun bahan makanan ini mengandung asam oksalat dan asam fitat yang dapat menghambat absorpsi kalsium (Almatsier, 2010). Sehingga untuk mengurangi risiko terhambatnya absorpsi kalsium akibat oksalat dan fitat dapat dengan melakukan pengolahan tradisional pada bahan makanan yang mengandung kedua zat tersebut, yang meliputi perendaman, fermentasi, atau pun merebus (Hotz dan Gibson, 2007). Cara lain untuk mengurangi risiko tersebut adalah dengan memberikan jeda antara konsumsi bahan makanan sumber kalsium tinggi dengan sumber fitat dan oksalat sekitar dua jam (Chandra, 2014). Sedangkan untuk meningkatkan absorpsi kalsium dapat dengan cara meningkatkan aktivitas fisik, konsumsi vitamin D, konsumsi laktosa yang diiringi dengan ketersediaan enzim laktase, dan konsumis lemak (Almatsier, 2010).
95
Dijelaskan sebelumnya bahwa kalsium sangat penting bagi remaja. Kekurangan kalsium di dalam darah pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Hal ini diperparah dengan lebih rendahnya absorpsi kalsium pada perempuan (Almatsier, 2010), walaupun memang hal tersebut dapat diminalisir dengan menghindari hal-hal yang dapat menghambat absorpsi kalsium. Di samping itu kadar kalsium yang sangat rendah di dalam darah dapat menyebabkan kejang dan kejang otot (Almatsier, 2010). Namun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang terjadi, karena adanya cadangan yang relatif stabil dan tidak dapat digunakan untuk pengaturan keseimbangan jangka pendek (Almatsier, 2010). Hanya 1% kalsium tulang yang merupakan cadangan yang dapat berubah cepat untuk kegiatan metabolisme (Almatsier, 2010). Cadangan ini dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier, 2010). Di samping itu semakin tinggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium, tubuh akan otomatis meningkatkan absorpsi kalsium (Almatsier, 2010). Hal ini juga berlaku pada semakin rendah asupan, akan semakin tinggi absorpsi dari kalsium (Almatsier, 2010). Walaupun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang ditemukan, namun kekurangan konsumsi kalsium dalam jangka panjang dapat menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Oleh karena itu tetap sangat perlu diperhatikannya asupan kalsium, sehingga
96
perlu adanya semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112 Jakarta terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi. 5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Magnesium merupakan salah satu mineral yang dapat disimpan dan utamanya diabsorbsi di dalam usus halus dengan bantuan alat angkut aktif dan secara difusi pasif (Almatsier, 2010). Jumlah magnesium terbesar (60%) terdapat di dalam tulang dan gigi, 26% di dalam otot dan selebihnya di dalam jaringan lunak lainnya serta cairan tubuh (Almatsier, 2010). Sedangkan konsentrasi magnesium di dalam plasma sebanyak 0,75- 1,0 mmol/l (Almatsier, 2010). Berdasarkan hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta asupan magnesium kurang (asupan < 212 mg/hari) yakni sebesar 81,1% (103 orang) (Tabel 5.9). Prevalensi
asupan
magnesium
kurang
ini
jauh
lebih
besar
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni sebesar 46,6% (Septiani, 2009), 49,4% (Siantina, 2010), 20% (Pujihastuti, 2012), dan 54% (Setianingsih, 2012) . Selanjutnya bila dibandingkan dengan angka pemusatan, diketahui bahwa angka pemusatan asupan magnesium pada penelitian ini sebesar 144 mg, dengan angka penyebaran 44-426 mg. Sedangkan berdasarkan penelitian sebelumnyasebesar 186,2, dengan angka
97
penyebaran 52,4-778 mg (Nurmiaty dkk., 2011), yang artinya asupan magnesium pada penelitian ini lebih buruk. Tingginya
prevalensi
asupan
magnesium
kurang
pada
penelitian ini disebabkan karena sebagian besar responden cenderung mengonsumsi makanan yang kurang bergizi, seperti snack, soft drink, fast food, dan junk food. Hal ini dikarenakan di zaman ini makanan seperti junk food dan fast food sangat mudah didapatkan, khususnya di kota besar seperti Jakarta ini. Hal ini diperkuat dengan Berdasarkan Riskesdas (2007) diketahui bahwa sebesar 93,6% remaja usia 10-14 tahun dan 93,8% usia 15-24 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur. Sehingga tentu saja hal ini juga dapat menjadi penyebab kurangnya asupan vitamin dan mineral pada remaja. Padahal sumber utama magnesium terdapat pada bahan makanan bergizi, seperti sayuran hijau, serealia tumbuk,biji-bijian, kacang-kacangan, daging, susu dan hasilnya (Almatsier, 2010). Kekurangan magnesium di dalam tubuh memang jarang terjadi akibat makanan, karena tubuh memiliki cadangan di tulang, gigi, otot, jaringan lunak, dan cairan tubuh (Almatsier, 2010). Konsentrasi magnesium di dalam darah dipertahankan tubuh pada nilai yang konstan, dengan cara mengeluarkan cadangan magnesium (khususnya cadangan pada tulang) untuk bagian tubuh yang membutuhkan (Almatsier, 2010). Di samping itu pada konsumsi magnesium yang rendah tubuh akan mengabsorpsi sebanyak 60% dari asupan
98
magnesium, sedangkan pada konsumsi tinggi tubuh hanya akan mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier, 2010). Kekurangan magnesium di tubuh umumnya terjadi akibat kekurangan protein, gangguan absorpsi akibat komplikasi penyakit, penurunan fungsi ginjal, dan terlalu lama mendapat makanan tidak melalui mulut (Almatsier, 2010). Kekurangan magnesium yang berat dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan, gangguan pertumbuhan, mudah tersinggung, gugup, kejang, gangguan sistem saraf pusat, halusinasi, koma, dan gagal jantung (Almatsier, 2010). Walaupun kurangnya kadar magnesium di dalam tubuh sangat jarang terjadi akibat konsumsi makanan, namun asupan magnesium tetap perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan bila cadangan magnesium terus digunakan, tentunya lama kelamaan cadangan tersebut akan habis.
Sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan
magnesium, khususnya bagi remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan. Perhatian khusus tersebut dapat dituangkan dengan cara meningkatkan asupan makanan sumber magnesium sesuai kebutuhan. 6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk., 2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Menarche merupakan penanda utama seorang wanita telah memasuki ciri maturitas seksual. Hal ini dikarenakan menarche merupakan salah satu indikator tahap pubertas
99
pada remaja (Almatsier dkk., 2011). Bila remaja telah mendapatkan mentruasi untuk pertama kalinya, maka dapat disimpulkan remaja tersebut telah memasuki masa pubertas. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,315 (> 0.05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Silvia (2008), Nurmiaty (2011), Tambing (2012), dan Padmavathi (2013) yang juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia menarche dengan PMS. Walaupun hasil penelitian ini menunjukan secara statistik tidak ada hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.8), terlihat bahwa cenderung responden yang memiliki usia menarche cepat, lebih banyak yang mengalami PMS tingkat sedang hingga berat (47,1%), dibandingkan dengan usia menarche normal dan lambat. Sejalan dengan penelitian ini, Silvia (2008) juga menemukan bahwa tingkat prevalensi gejala PMS cenderung lebih tinggi pada wanita usia yang mengalami menarche cepat (< 11 tahun). Mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS sebenarnya masih belum jelas (Amjad dkk., 2014). Hal ini menyebabkan tidak adanya alasan yang jelas pada keempat penelitian sebelumnya terkait tidak adanya hubungan antara usia menarche dengan PMS. Namun menurut Silvia (2008), kemungkinan asosiasi antara usia menarche dan gejala-gejala PMS dapat diselidiki dengan
100
mengendalikan beberapa faktor pembaur potensial (yang tidak disebutkan). Sedangkan menurut Nurmiaty (2011), hal tersebut terjadi disebabkan angka pemusatan usia menarche responden adalah 12,9 tahun yaitu berada pada rentang usia yang tidak berisiko, yang sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu 12,6 tahun. Di samping itu alasan lain yang mungkin menjadi penyebab tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS adalah dikarenakan adanya faktor lain yang lebih dominan seperti faktor riwayat keluarga dan faktor psikologis. Dimana faktor genetik memainkan peranan penting terhadap hormon estogen dan serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007), sedangkan faktor psikologis berhubungan dengan hormon progesterone (Michel dan Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab utama dari kejadian PMS. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Aminah (2011) dan Amjad (2014) yang menemukan adanya hubungan antara usia menarche dengan PMS. Menurut Aminah (2011) siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan usia menarche <12 tahun cenderung mengalami PMS. Usia menarche cepat dikaitkan dengan ovulasi dini (ACOG, 2006). Ketika usia menarche lebih muda dari 12 tahun, maka 50% dari siklus ovulasi terjadi saat satu tahun setelah menarche (ACOG, 2006).
101
Di samping itu umumnya pada remaja, PMS mulai dialami pada usia sekitar 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan berlanjut sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012). Sehingga ketika menarche lebih cepat/ dini, maka akan mengalami PMS lebih cepat pula. Menarche ditandai dengan siklus anovulasi (siklus tanpa ovulasi dan fase luteal), sementara PMS terjadi pada saat fase luteal (ACOG, 2006). Kecenderungan ini terjadi karena ketidakteraturan pola menstruasi yang umum terjadi selama 2 tahun pertama saat menarche terjadi (Dangal, 2004), yang diakibatkan oleh adanya penyesuaian keseimbangan hormon yang dilepaskan pada saat pubertas (ACOG, 2006). Sedangkan Aminah (2011) dan Amjad (2014) berpendapat bahwa adanya kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal fungsi
ovariumlah
yang
mungkin
bertanggung
jawab
atas
kecenderungan tersebut. 7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada kejadian PMS (Saryono dan Sejati, 2009). Peran genetik ini dapat dilihat dari riwayat keluarga (Abdillah, 2010). Keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anggota keluarga kandung, yaitu ibu dan saudara kandung perempuan. Jika riwayat PMS ada pada salah satu anggota keluarga tersebut, maka seseorang dikatakan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami PMS.
102
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,001 (< 0.05), yang menunjukkan bahwa Ho ditolak atau hipotesisi penelitian diterima yaitu ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS. Artinya siswi yang memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami gejala PMS berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdillah (2010) yang menemukan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan PMS. Di samping itu, hasil penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan kejadian PMS. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.9), terlihat bahwa dari 66 orang yang memiliki riwayat keluarga, sebesar 45,5% mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan dari 61 orang yang tidak memiliki riwayat keluarga, hanya sebesar 18,0% (11 orang) mengalami PMS sedang hingga berat. Artinya cenderung responden yang memiliki riwayat keluarga lebih banyak yang mengalami PMS tingkat sedang hingga berat dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga. Adanya hubungan riwayat keluarga dikarenakan adanya faktor psikologis dan biologis yang diturunkan dari keluarga (Amjad dkk., 2014). Dari segi biologis, adanya hubungan tersebut karena adanya peran genetik yang diturunkan. Sebab genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada kejadian PMS. Gen sangat erat
103
kaitannya dengan insiden PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009). Hal ini dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Dimana terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang dapat menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007). Ketidakseimbangan esterogen merupakan salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan PMS (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Adanya kelebihan estrogen dalam fase luteal (pasca ovulasi) akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk piridoksin yang dikenal sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Di samping itu genetik juga dapat mempengaruhi kadar serotonin karena varian di promotor untuk gen serotonin transporter juga memiliki efek pada ekspresi serotonin molekul 5-HT transporter (Praschak-Rieder dkk., 2002). Serotonin merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan
104
gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan tidur, agresif dan peningkatan selera (Saryono dan Sejati, 2009). Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa riwayat keluarga merupakan faktor yang memiliki keterkaitan dengan kejadian PMS. Sayangnya faktor ini merupakan faktor yang tidak dapat diubah, sehingga tidak dapat diintervensi. Sehingga hal yang perlu diperhatikan bagi siswi yang memiliki riwayat keluarga adalah dengan lebih memberikan perhatian terhadap faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian PMS. 8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi (WHO, 2014b). Aktivitas fisik tersebut meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan setiap hari (Caspersen dkk., 1985). Berdasarkan hasil uji chi square, diperoleh nilai p = 0,375 (> 0,05) , yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS (tabel 5.10). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujihastuti (2012) dan Aldira (2014) yang juga menemukan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS. Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukan adanya hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.10)
105
diketahui bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan, sebanyak 34,4% mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan responden dengan aktivitas fisik sedang hingga berat, sebanyak 74,2% tidak mengalami hingga mengalami gejala ringan PMS. Hal ini bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan cenderung lebih banyak yang mengalami PMS sedang hingga berat dibandingkan dengan aktivitas fisik sedang. Tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS, dapat dikarenakan aktivitas fisik bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi PMS (Aldira, 2014). Sepertinya halnya faktor riwayat keluarga yang memainkan peranan penting pula terhadap perubahan serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002) atau pun faktor psikologis yang berhubungan dengan hormon progesteron (Michel dan Bonnet, 2014). Sehingga apabila faktor yang lain terpenuhi, risiko PMS tetap dapat diturunkan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sianipar (2009), Kroll (2010), dan Teixeira (2011) yang menemukan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS. Perbedaan ini mungkin disebabkan adanya perbedaan dari metodologi yang digunakan antara penelitian ini dengan ketiga penelitian lainnya. Penelitian Sianipar (2009) memiliki kriteria khusus dalam pengambilan sampel, seperti tidak boleh mengalami penyakit berat. Sehingga dapat mempengaruhi hasil dari data aktivitas fisik, dimana seseorang yang memiliki penyakit berat akan cenderung memiliki
106
aktivitas fisik yang rendah. Penelitian Teixeira (2011) memiliki perbedaan dalam metode pengumpulan data aktivitas fisik, yaitu menggunakan tiga bagian kuesioner (aktivitas harian, latihan fisik/olahraga, dan mobilitas), yang ketiganya dilihat berdasarkan kebiasaan responden pada 12 bulan terakhir. Sedangkan penelitian Kroll (2010) menghitung aktivitas fisik berdasarkan recreational physical activity. Sementara adanya kecenderungan yang terjadi, dikarenakan aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi gejala PMS. Karena dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya, memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol, dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian, yang menemukan bahwa melakukan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya serotonin ini sangat erat kaitannya dengan depresi dan perubahan mood yang berujung pada masalah kesehatan. 9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut air (Almatsier, 2010). Piridoksin memiliki sifat fisik seperti kristal putih dan tidak berbau (Almatsier, 2010). Bila dilihat dari sifat kimianya,
107
piridokin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, namun tidak tahan terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier, 2010). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,234 (> 0,05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Septiani (2009), Pujihatuti (2012), dan Kusumatutik (2013). Meskipun asupan piridoksin tidak berhubungan dengan PMS, tetapi berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.11), dari 87 orang yang memiliki asupan piridoksin kurang terdapat 35,6 % yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 40 orang yang memiliki asupan piridoksin cukup, terdapat 25,0% yang mengalami gejala sedang hingga berat. Hal ini terlihat bahwa cenderung siswi dengan asupan piridoksin kurang lebih banyak mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan dengan siswi dengan asupan piridoksin cukup. Hal ini dikarenakan piridoksin dapat memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan perilaku pada PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,dan depresi (Lustyk dan Gerrish, 2010). Penyebab
tidak
berhubungannya
variabel
ini
mungkin
disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan, yaitu keseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Kusumatutik,
108
2013). Hal ini dikarenakan hormon adalah faktor utama penyebab dari PMS, yaitu adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain menunjukkan bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses metabolisme piridoksin. Padahal piridoksin merupakan vitamin anti depresi karena berfungsi dalam mengontrol produksi serotonin, yang juga berkaitan dengan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Siantina (2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara asupan piridoksin dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lokasi penelitian dan metode dalam pengumpulan data, dimana Siantina menggunakan kuesioner FFQ (Siantina, 2010). 10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam mengatur
109
fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan penggumpulan darah), mengatur kerja hormon, dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2010). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,011 (< 0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian diterima yaitu ada hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian PMS. Artinya siswi yang memiliki konsumsi kalsium kurang berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurmalasari (2013), Nurmiaty (2011), dan Kusumatutik (2013) yang menemukan bahwa kalsium berhubungan dengan PMS. Sebab kalsium memiliki peran dalam meringankan dan menekan resiko terjadinya gejala PMS. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.12) pun ditemukan bahwa dari 105 orang yang memiliki asupan kalsium kurang, terdapat 37,1% yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 22 orang yang memiliki asupan kalsium cukup, hanya 9,1% yang mengalami gejala sedang hingga berat. Hal ini menunjukan bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan kalsium kurang lebih banyak yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat dibandingkan dengan siswi yang memiliki asupan kalsium cukup. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys-Jacobs (2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu mineral yang terbukti secara signifikan menghasilkan 50% pengurangan dari gejala PMS, seperti gangguan mood dan perilaku, kegelisahan, hidrasi, depresi, dan mual. Namun kalsium sangat bergantung pada hormon
110
estrogen, karena estrogen mempengaruhi metabolisme kalsium dan penyerapan kalsium di dalam usus (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan kalsium di dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) juga telah lama dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek terhadap metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan kalsium pada siswi di SMA 112 Jakarta. Perhatian tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan asupan sumber kalsium, seperti susu dan hasilnya, minimal 1 gelas/hari. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil recall diketahui konsumsi susu dan hasilnya pada sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta masih jarang, karena lebih cenderung mengonsumsi minuman ringan. Sehingga diperlukan pula pengurangan konsumsi minuman ringan, yang digantikan dengan konsumsi susu. 11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling banyak setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak terlibat pada berbagai
proses
metabolisme
(Almatsier,
2010).
magnesium
memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem enzim di dalam tubuh, karena magnesium bertindak di dalam semua sel jaringan lunak sebagai katalisator , termasuk metabolisme zat gizi makro (Almatsier, 2010).
111
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,183 (> 0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan magnesium dengan kejadian PMS. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurmiaty (2011), Pujihastuti (2012), Septiani (2009), dan Kusumatutik (2013). Meskipun asupan magnesium tidak berhubungan dengan PMS, namun terlihat bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan magnesium kurang, lebih banyak yang mengalami PMS. Hal ini terlihat dari tabel distribusi frekuensi (tabel 5.13), dari 103 orang yang memiliki asupan magnesium kurang, terdapat 35,0% yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 24 orang yang memiliki asupan magnesium cukup, terdapat 20,8%
yang
mengalami gejala sedang hingga berat. Tidak adanya hubungan antara asupan magnesium dengan PMS dapat disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan, yaitu estrogen, karena hormon estrogen dapat mempengaruhi metabolisme dari magnesium (Thys-Jacobs, 2000). Hal tersebut juga mungkin dapat dikarenakan siswi SMA 112 Jakarta masih memiliki cadangan magnesium yang cukup di dalam tubuh. Sehingga apabila asupan kurang, tubuh akan secara otomatis mengeluarkan cadangan tersebut, sehingga kadar di dalam darah tetap stabil. Di samping itu pada konsumsi magnesium yang rendah tubuh akan mengabsorpsi sebanyak 60% dari asupan magnesium, sedangkan pada konsumsi
112
tinggi tubuh hanya akan mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier, 2010), sehingga kadar di dalam tubuh akan tetap stabil. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Christiany (2007) dan Siantina (2010), yang menemukan adanya hubungan antara magnesium dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan metode pengumpulan data (FFQ)
dan hasil ukur (rasio) yang
digunakan (Siantina, 2010). Perbedaan jenis uji pun dapat menjadi salah satu penyebab dari bedanya hasil penelitian, dimana Christiany (2007) menggunakan regresi dan Siantina (2010) menggunakan uji spearman. Sementara kecenderungan yang terjadi pada penelitian ini dikarenakan magnesium merupakan mineral yang dapat menurunkan risiko terjadi dan keparahan dari gejala PMS. Dimana magnesium berfungsi dalam membantu relaksasi otot, transmisi sinyal syaraf, mengurangi migren, dan sebagai penenang ilmiah yang dibutuhkan oleh perempuan saat mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Selain itu, magnesium juga dapat mengurangi gejala-gejala seperti kecemasan,banyak makan, depresi, hidrasi dan gejala total hanya hidrasi (kembung) (Nurmalasari dkk., 2013). 12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan dapat diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi
113
tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Hal ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletahk di otak akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008). Tidur merupakan kebutuhan bagi manusia. Hal ini dikarenakan pada kondisi tidur tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal dan terjadinya regenerasi untuk mengembalikan stamina tubuh sehingga kembali dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat memberikan kesempatan tubuh untuk beristirahat dan memulihkan kondisi fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Sebab pusat saraf tidur yang terletak di otak akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008). Untuk menilai baik buruknya tidur responden dalam penelitian ini dilihat dari pola tidur. Pola tidur yang dimaksud adalah kebiasaan tidur responden dalam satu bulan terakhir yang diukur melalui tujuh komponen utama, yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan memulai tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,013 (< 0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian diterima yaitu ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS. Artinya siswi yang memiliki pola tidur buruk berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat.
114
Sementara berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.14), menunjukkan bahwa dari 44 orang yang memiliki pola tidur baik, terdapat 18,2% (8 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan dari 83orang yang memiliki pola tidur buruk, terdapat 39,3% (33 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat. Hal ini menunjukkan bahwa cenderung responden yang memiliki pola tidur buruk lebih banyak yang mengalami PMS sedang hingga berat, dibandingkan dengan responden yang memiliki pola tidur baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang serupa dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan bahwa PMS memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur (Cheng dkk., 2013, Karaman dkk., 2012). Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa gangguan) ternyata dapat meringankan gejala PMS. Hal ini dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi sekresi berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan Boivin, 2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007), meskipun pola tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari PMS yang parah, namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala PMS yang dirasakan (Baker dkk., 2007). Di samping itu berdasarkan hasil uji chi square diketahui pula bahwa komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS adalah latensi tidur, kualitas tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari. Hasil tersebut menunjukan bahwa, siswi yang mengalami latensi tidur
115
> 60 menit memiliki berpeluang mengalami PMS gejala sedang hingga berat, siswi yang memiliki kualitas tidur buruk berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat, dan siswi yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat berpeluang mengalami gangguan aktivitas di siang hari ≥ 3 kali dalam seminggu. Menurut Buysse, dkk. (1988) untuk melihat kesulitan tidur dilihat berdasarkan latensi tidur. Latensi tidur merupakan periode waktu antara persiapan untuk tidur dan awal tidur yang sebenarnya (terlelap) buruk (Buysse dkk., 1989). Dalam hal ini latensi tidur dibagi menjadi empat skor, yaitu 0 jika ≤ 15 menit; 1 jika 15-30 menit; 2 jika 30-60 menit; dan 3 jika > 60 menit, dengan 0 = sangat baik dan 3 = sangat buruk (Buysse dkk., 1989). Kemudian kualitas tidur yang dihasilkan dari kuesioner PSQI merupakan kualitas tidur yang dinilai berdasarkan subjektivitas responden. Komponen ini memiliki skor antara 0 (sangat baik) sampai dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989). Sedangkan gangguan aktivitas di siang hari merupakan komponen yang melihat dampak dari komponen lainnya, seperti latensi tidur dan kualitas tidur (Buysse dkk., 1989). Komponen ini dihitung berdasarkan gangguan mengantuk saat menjalani aktivitas dan jumlah masalah yang sedang dihadapi. Skor komponen ini meliputi 0 (sangat baik) sampai dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989). Buruknya latensi tidur dan kualitas tidur pada siswi di SMA 112 Jakarta mungkin dapat disebabkan oleh penggunaan media
116
elektronik (gadget), seperti handphone mau pun tablet. Sebab telah kita ketahui bahwa di zaman sekarang ini penggunaan gadget sangat umum di masyarakat, khususnya para remaja yang cenderung mengikuti tren. Berdasarkan penelitian di SMA Santo Thomas 1 Medan yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penggunaan handphone dan durasi penggunaan handphone terhadap kualitas tidur (Meliani, 2014). Dengan demikian maka siswi SMA 112 Jakarta perlu memperhatikan pola tidur, karena berdasarkan hasil pengumpulan data diketahui bahwa pola tidur siswi SMA 112 Jakarta sebagian besar kurang memenuhi syarat. Hal ini dibuktikan dari hasil pengumpulan data, diketahui banyak siswi yang mengalami gangguan aktivitas pada siang hari, seperti mengantuk, yang mungkin disebabkan adanya latensi tidur dan kualitas tidur yang buruk. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan upaya untuk memperbaiki latensi dan kualitas tidur, yang mungkin dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan gadget. Di samping itu buruknya pola tidur juga mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya asupan kalsium pada siswi SMA 112 Jakarta. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kalsium memiliki efek terhadap metabolism dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000). Sedangkan serotonin merupakan zat kimia yang berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Dikarenakan zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan
117
gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, dan kesulitan tidur (Saryono dan Sejati, 2009). Sehingga cara lain yang dapat dilakukan dalam memperbaiki pola tidur adalah dengan meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil produksinya. 13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh seimbang atau tidaknya jumlah asupan (intake) dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes, 2006). Dalam Kemenkes (2011) disebutkan bahwa terdapat lima jenis status gizi, yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas. Berdasarkan hasil uji chi square,diperoleh nilai p = 0,108 (> 0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Munthe (2013) bahwa tidak ada hubungan antara tatus gizi dengan kejadian PMS. Meskipun hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan, namun cenderung responden yang memiliki status gizi gemuk lebih banyak yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan dengan status gizi kurus dan normal. Hal ini dibuktikan
118
berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.16), ditemukan 44,4% dari 9 orang yang memiliki status gizi kurus, 28,2% dari 103 orang yang memiliki status gizi normal, dan 53,5% dari 15 orang yang memiliki status gizi gemuk PMS dengan gejala sedang hingga berat. Hal ini mungkin dapat disebabkan adanya faktor lain yang lebih dominan seperti faktor riwayat keluarga dan faktor psikologis. Dimana faktor genetik memainkan peranan penting terhadap hormon estogen dan serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007), sedangkan
faktor
psikologis
berhubungan
dengan
hormon
progesterone (Michel dan Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab utama dari kejadian PMS. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Masho (2005), Aminah (2011), dan Seedhom (2013)
yang
menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan PMS. Hasil penelitian ini yang menemukan tidak berhubungan mungkin dapat dikarenakan tidak adanya siswi yang memiliki status gizi obesitas. Karena menurut penelitian Masho (2005), PMS berkaitan dengan obesitas. Karena pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin (Dickerson, dkk., 2003) dan dapat meningkatkan risiko terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada tingginya risiko mengalami gejala PMS (Bussell, 2014). Sedangkan berbedanya hasil penelitian ini dengan penelitian Aminah (2011) dapat disebabkan dengan hasil ukur yang berbeda, dimana Aminah (2011) menggunakan dua hasil ukur, yaitu normal dan tidak normal.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami PMS gejala ringan sebesar 68% (86 orang) dan sebesar 32% (41 orang) yang mengalami gejala sedang hingga berat. Gejala yang paling banyak dialami antara lain mudah tersinggung dan nyeri perut, yang keduanya masingmasing sebesar 91% (116 orang). 2. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami usia menarche normal yakni 68% (86 orang), sebesar 13% (17 orang) mengalami usia menarche cepat, dan sebesar 19% (24 orang) mengalami usia menarche lambat. 3. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki riwayat keluarga yang mengalami sindrom pramenstruasi yakni sebesar 52% (66 orang), dan sebesar 48% (61 orang) tidak memiliki riwayat keluarga yang mengalami sindrom pramenstruasi 4. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan yakni sebesar 75% (96 orang), sebesar 25% (31 orang) memiliki aktivitas sedang, dan tidak ada yang memiliki aktivitas fisik berat. 5. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin kurang yakni sebesar 68% (87 orang) dan sebesar 32% (40 orang) memiliki asupan piridoksin cukup. 119
120
6. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang yakini sebesar 83% (105 orang) dan sebesar 17% (22 orang) memiliki asupan kalsium cukup. 7. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan magnesium kurang yakni sebesar 81% (103 orang) dan sebesar 19% (24 orang) memiliki asupan magnesium cukup. 8. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki pola tidur yang buruk yakni sebesar 70% (89 orang) dan sebesar 30% (38 orang) memiliki kualitas tidur baik. 9. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki status gizi sangat gizi normal yakni sebesar 81% (103 orang), sebesar 7% (9 orang) memiliki status gizi kurus, sebesar memiliki status gizi gemuk 12% (15 orang), dan tidak ada yang memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas. 10. Tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 11. Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 12. Tidak terdapat ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 13. Tidak terdapat hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 14. Terdapat hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.
121
15. Tidak terdapat hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 16. Terdapat hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 17. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.
B. Saran 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia a. Diharapkan dapat melakukan promosi kesehatan berupa pembuatan pedoman atau media kesehatan yang mudah dipahami dan menarik, yang berkaitan dengan PMS, pola tidur yang baik dan konsumsi zat kalsium sesuai kebutuhan remaja. 2. SMA 112 Jakarta a. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan promosi kesehatan berupa penyuluhan atau pembuatan media kesehatan yang mudah dipahami dan menarik, yang berkaitan dengan PMS, pola tidur yang baik dan konsumsi zat kalsium sesuai kebutuhan siswi. b. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan yang dapat mengajak siswi SMA 112 Jakarta untuk mengonsumsi susu, seperti “hari minum susu bersama”.
122
3. Siswi SMA 112 Jakarta a. Diharapkan dapat memperbaiki pola tidur dengan meningkatkan upaya untuk memperbaiki kualitas tidur dan mengurangi latensi tidur, dengan cara mengurangi penggunaan gadget sebelum tidur dan meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil produksinya. b. Diharapkan dapat memperbaiki pola makan, terkait konsumsi kalsium
dengan meningkatkan konsumsi
susu
minimal 1
gelas/sehari dan tetap mengonsumsi bahan makanan yang mengandung fitat dan oksalat seperti serealia, kacang-kacangan, dan sayuran hijau, namun dengan melakukan pengolahan tertentu sebelum dikonsumsi dan tidak dikonsumsi secara bersamaan dengan konsumsi susu (minimal jedal 2 jam). 4. Peneliti Lain a. Diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan dengan melakukan penelitian lanjutan tentang pola tidur, untuk mengetahui latar belakang buruknya pola tidur pada remaja. b. Diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan desain penelitian lain, seperti case control study yang dapat menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel penyebab kejadian PMS.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, T. J. 2010. Kadar Serum Magnesium terhadap Gambaran Sindrom Premenstruasi yang Dinilai dengan Premenstrual Syndrome Scale Skripsi, Universitas Sumatera Utara. ACOG. 2006. Menstruation in Girls and Adolescents: Using the Menstrual Cycle as a Vital Sign [Online]. Washington The American College of Obstetricians and Gynecologists Available: http://www.acog.org/Resources-And-Publications/CommitteeOpinions/Committee-on-Adolescent-Health-Care/Menstruation-in-Girlsand-Adolescents-Using-the-Menstrual-Cycle-as-a-Vital-Sign [Accessed 10 Juli 2015]. Adiningrum, R. D. 2008. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan Remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Agustin, D. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada Pekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon. Skripsi, Universitas Indonesia. Aldira, C. F. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dan Stres dengan Sindrom Pramenstruasi pada Remaja Putri di SMA Bina Insani Bogor. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Allen, S. S., Allen, A. M., Lunos, S. dan Pomerleau, C. S. 2010. Severity of Withdrawal Symptomatology in Follicular versus Luteal Quitters: The Combined Effects of Menstrual Phase and Withdrawal on Smoking Cessation Outcome. Addict Behav, 35, 549-52. Allen, S. S., Mc Bride, C. M. dan Pirie, P. L. 1991. The Shortened Premenstrual Assessment Form. J Reprod Med, 36, 769-72. Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier, S., Soetrdjo, S. dan Soekarti, M. 2011. Gizi seimbang dalam Daur Kehidupan., Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Amaliah, N., Sari, K. dan Rosha, B. C. 2012. Status Tinggi Badan Pendek Beresiko terhadap Keterlambatan Usia Menarche pada Perempuan Remaja Usia 10-15 Tahun. Penel Gizi Makan, 35, 8. Aminah, S., Rahmadani, S. dan Munadhiroh 2011. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual Syndrome di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jakarta Tahun 2011. Health Quality Jurnal Kesehatan, 2. 123
124
Amjad, A., Kumar, R. dan Mazher, S. B. 2014. Socio-demographic Factors and Premenstrual Syndrome among Women attending a Teaching Hospital in Islamabad, Pakistan. J Pioneer Med Sci, 4, 4. Andrews, G. 2001. Sindrom Pramenstruasi. In: ANDREWS, G. (ed.) Buku Ajar: kesehatan Reproduksi Wanita. 2 ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Anggrajani, F. dan Muhdi, N. 2011. Korelasi Faktor Risiko dengan Derajat Keparahan Premenstrual Syndrome pada Dokter Perempuan. Jurnal Universitas Airlangga. Bagga, A. dan Kulkarni, S. 2000. Age at Menarche and Secular Trend in Maharashtrian (Indian) Girls. Acta Biologica Szegediensis, 44, 5. Baker, F. C., Kahan, T. L., Trinder, J. dan Colrain, I. M. 2007. Sleep Quality and the Sleep Electroencephalogram in Women with Severe Premenstrual Syndrome. Sleep, 30, 1283-1291. Balaha, M. H., Abd El Monem Amr, M., Saleh Al Moghannum, M. dan Saab Al Muhaidab, N. 2010. The Phenomenology of Premenstrual Syndrome in Female Medical Students: a Cross Sectional Study. The Pan African Medical Journal, 5, 4. Benson, R. C. dan Pernoll, M. L. 1994. Buku Saku Obsertri dan Ginekologi, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Borenstein, J. E., Dean, B. B., Endicott, J., Wong, J., Brown, C., Dickerson, V. dan Yonkers, K. A. 2004. Health and economic impact of the premenstrual syndrome. J Reprod Med, 48, 515-24. Brahmbhatt, S., Sattigeri, B. M., Shah, H., Kumar, A. dan Parikh, D. 2013. A Prospective Survey Study on Premenstrual Syndrome in Young and Middle Aged Women with an Emphasis on Its Management. Int J Res Med Sci, 1, 69-72. Brunner dan Suddarth 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bussell, G. 2014. Fact Sheet: Premenstrual Syndrome (PMS) [Online]. UK: British Dietetic Association. Available: https://www.bda.uk.com/foodfacts/pms [Accessed 30 November 2014]. Buysse, D. J., Reynolds, C. F., 3rd, Monk, T. H., Berman, S. R. dan Kupfer, D. J. 1989. The Pittsburgh Sleep Quality Index: a New Instrument for Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Res, 28, 193-213. Caspersen, C. J., Powell, K. E. dan Christenson, G. M. 1985. Physical activity, exercise, and physical fitness: definitions and distinctions for healthrelated research. Public Health Reports, 100, 126-131.
125
Chandra, D. N. 2014. Mengapa Tidak Boleh Minum Teh Langsung Setelah Makan? Intisari. Jakarta: Kompas Gramedia. Cheng, S. H., Shih, C. C., Yang, Y. K., Chen, K. T., Chang, Y. H. dan Yang, Y. C. 2013. Factors Associated with Premenstrual Syndromed A Survey of New Female University Students. Kaohsiung Journal of Medical Sciences, 29, 6. Cueller, G. dan Ratcliffe, J. 2008. A Comparison Of Glycemic Control , Sleep, Fatique, and Depression, in Type 2 Diabetes with and without Restless Leg Syndrome. J clin sleep med, 4, 7. Cunha, d. B., Zanetti, L. dan Hass, J. 2008. Sleep Quality in Type 2 Diabetics. Rev Latino-am Enfermagem, 16, 6. Dahlan, M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan, Jakarta, Salemba Medika. Dangal, G. 2004. Menstrual Disorders in Adolescents. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics, 4. Delara, M., Ghofranipour, F., Azadfallah, P., Tavafian, S. S., Kazemnejad, A. dan Montazeri, A. 2012. Health Related Quality of Life Among Adolescents With Premenstrual Disorders: a Cross Sectional Study. Health and Quality of Life Oucomes, 10. Dennerstein, L., Lehert, P., Keung, L. S., Pal, S. A. dan Choi, D. 2010. Asian Study of Effects of Premenstrual Symptoms on Activities of Daily Life. Menopause Int, 16, 146-51. Depkes 2006. Glosarium: Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta, Pusat Data dan Informasi Depkes RI. Derman, O., Kanbur, Tokur dan Kutluk 2004. Premenstrual Syndrome and Associated Symptoms in Adolescent Girls. Eur. J. Obstet Gynecol Reprod Biol., 116, 5. Devi, M. 2009. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Remaja Putri. Teknologi dan Kejuruan, 32, 11. Dewi, A. S. 2010. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Remaja dalam Menghadapi Sindrom Premenstruasi di SMP Al-Azhar Medan Tahun 2010. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. Dickerson, L. M., J, P., Mazyck dan Hubter, M. 2003. Premenstrual Syndrome. Am Fam Physician, 67, 9. Dinkes. 2014. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi: Kategori Tingkat Aktivitas [Online]. Available: http://dinkes.jogjaprov.go.id/gizi/index.php/home/halpenting [Accessed 25 November 2014].
126
Emilia, O. 2008. Premenstrual Syndrome (PMS) and Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) in Indonesian Women. Journal of The Medical Sciences, 40. Emilia, S. L., Salmah, A. U. dan Rahma 2013. Perbandingan Usia Menars dan Pola Siklus Menstruasi antara Remaja Putri di Kota dan Desa (SMP Negeri 6 Makassar dan SMP Negeri 11 Bulukumba) di Sulawesi Selatan Tahun 2013. Jurnal Unhas. Fauziah, R. R. N. 2013. Gambaran Kualitas Tidur pada Wanita Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung. Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia. Freeman, E. W. 2007. Epidemiology and Etiology of Premenstrual Syndromes. Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment, New York, Oxford University Press. Groves, R. M., Fowler, F. J., Couper, M. P., Lepkowski, J. M., Singer, E. dan Tourangeau, R. 2009. Survey Methodology, Canada, Wiley Series. Hapsari, N. D. 2010. Hubungan Sindroma Pramenstruasi dan Insomnia pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Harber, V. J. dan Sutton, J. R. 1984. Endorphins and Exercise. Sports Med., 1, 154-71. Hastono, S. P. dan Sabri, L. 2008. Statistik Kesehatan, Jakarta, PT. RahaGrafindo Persada. Hotz, C. dan Gibson, R. S. 2007. Traditional food-processing and preparation practices to enhance the bioavailability of micronutrients in plant-based diets. J Nutr, 137, 1097-100. Huo, L., Straub, R. E., Roca, C., Schmidt, P. J., Shi, K., Vakkalanka, R., Weinberger, D. R. dan Rubinow, D. R. 2007. Risk for Premenstrual Dysphoric Disorder Is Associated with Genetic Variation in ESR1, the Estrogen Receptor Alpha Gene. Biological Psychiatry, 62, 925-933. Johnson, E. R. B., Hankinson, S. E., Willett, W. C., Johnson, S. R. dan Manson, J. E. 2010. Adiposity and the Development of Premenstrual Syndrome. J Womens Health (Larchmt). 19, 7. Karaman, H. I. O., Tanriverdi, G. dan Degimenci, Y. 2012. Subjective Sleep Quality in Premenstural Syndrome. Jurnal Gynecological Endocrinology, 28, 5. Kemdikbud. 2014. Jumlah Siswi SMA menurut Tingkat Berdasarkan Data Tahun 2013/2014 [Online]. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jederal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan
127
dan Kebudayaan. Available: http://psma.kemdikbud.go.id/home/statistik/data03.php?kota=KOTA%20J AKARTA%20BARAT&stat=NEGERI [Accessed 27 Maret 2015]. Kemenkes 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Kemenkes 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Jakarta, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI. Kemenkes 2014. Pedoman Gizi Seimbang, Jakarta, Direkrorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI. Kroll, A. R. 2010. Recreational Physical Activity and Premenstrual Syndrome in College-Aged Women. S2, University of Massachusetts Amherst. Kusumatutik, W. 2013. Hubungan antara Asupan Gizi Vitamin B6 dan kalsium terhadap Kejadian Pra Menstruasi Sindrom pada Siswi Kelas X SMA Bhinneka Karya 2 Boyolali. Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta. Kusumawardhani, D. A., Husein, A. N. dan Bakhriansyah, M. 2014. Hubungan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) dengan Kejadian Insomnia pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran ULAM Banjarmasin. Berkala Kedokteran, 10, 9. Lanywati, E. 2008. Insomnia Gangguan Sulit Tidur, Yogyakarta, Kanisius. Lau, E. 2011. Super Sehat dalam 2 Minggu, Penerbit, Gramedia Pustaka Utama. Lee, M., Kim, J., Lee, J. dan Kim, D. 2002. The Standardization of the Shortened Premenstrual Assessment Form and Applicability on the Internet. . J Korean Neuropsychiatr Assoc, 41, 8. Lustyk, M. K. B. dan Gerrish, W. G. 2010. Issues of Quality of Life, Stress and Exercise. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. Jerman: Springer Science. Magnay, KM, I., G, C., L, C., PW, J. dan S, O. B. 2006. Serotonin Transporter, Tryptophan Hydroxylase, and Monoamine Oxidase a Gene Polymorphisms in Premenstrual Dysphoric Disorder. Am J Obstet Gynecol., 195, 5. Marjoribanks, J., Brown, J., O'Brien, P. M. dan Wyatt, K. 2013. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors for Premenstrual Syndrome. Cochrane Database Syst Rev, 6, Cd001396. Masho, S., Adera, T. dan South Paul, J. 2005. Obesity as a Risk Factor for Premenstrual Syndrome. J Psychosom Obstet Gynaecol., 26, 6. Mayyane. 2011. Hubungan antara Tingkat Stres dengan Kejadian Sindrom Pra Menstruasi pada Siswi SMA Negeri 1 Padang Panjang Tahun 2011. Skripsi, Universitas Andalas.
128
Meliani. 2014. Pengaruh Penggunaan Media Elektronik terhadap Kualitas Tidur Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Skripsi, Universitas Sumatera Utara. Michel, C. L. dan Bonnet, X. 2014. Effect of a brief stress on progesterone plasma levels in pregnant and non-pregnant guinea pigs. Animal Biology, 64, 19-29. Moghadam, A. D., Sayehmiri, K., Delpisheh, A. dan Kaikhavandi, S. 2014. Epidemiology of Premenstrual Syndrome (PMS)-A Systematic Review and Meta-Analysis Study. Journal of Clinical and Diagnostic Research : JCDR, 8, 106-109. Munthe, N. B. G. 2013. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. Nelson, L. M. 2012. Fact Sheet: Menstruation [Online]. Available: Http://Www.Womenshealth.Gov/Publications/Our-Publications/FactSheet/Menstruation.Html [Accessed 20 Oktober 2014]. NIH. 2014. Premenstrual Syndrome [Online]. United states: National Institute of Health. Available: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/premenstrualsyndrome.html [Accessed 17 November 2014]. North American Menopause Society 2010. Estrogen and Progestogen Use in Postmenopausal Women: 2010 Position Statement of The North American Menopause Society. Menopause., 17, 12. Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Rineka Cipta. Nurmalasari, Y., Hidayanti, L. dan Setiyon, A. 2013. Kebiasaan Konsumsi Pangan Sumber Kalsium dan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri di SMA Negeri 5 Tasik Malaya Tahun 2013. Skripsi, Universitas Siliwangi. Nurmiaty, Wilopo, S. A. dan Sudargo, T. 2011. Perilaku Makan dengan Kejadian Sindrom Premenstruasi pada Remaja. Berita Kedokteran Masyarakat, 27, 7. O'Brien, P. S., Rapkin, A. J. dan Schmidt, P. J. 2007. The Premenstrual Syndromes: PMS and PMDD, London, Informa Healthcare. Padmavathi, P., Sankar, S. R. dan Kokilavani, N. 2013. A Correlation Study on Premenstrual Symptomps among Adolescents Girls. Asian J Health Sci, 1, 4.
129
Prabowo, A. E., M., R. M. dan Sholehudin, M. 2013. Hubungan Tingkat Stres Dengan Derajat Keparahan Sindrom Pramenstruasi. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 1. Praschak-Rieder, N., Willeit, M., Winkler, D., Neumeister, A., Hilger, E., Zill, P., Hornik, K., Stastny, J., Thierry, N., Ackenheil, M., Bondy, B. dan Kasper, S. 2002. Role of Family History and 5-HTTLPR Polymorphism in Female Seasonal Affective Disorder Patients with and without Premenstrual Dysphoric Disorder. Eur Neuropsychopharmacol, 12, 129-34. Pujihastuti, E. K. 2012. Hubungan antara Rasio Lingkar Pinggang Panggul, Asupan zat Gizi dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Syndrome Pramenstruasi pada Siswi MTs N Mlinjon Filial Trucuk Klaten Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1, 5. Putri, R. P. D. P. 2013. Hubungan antara Derajat Sindrom Pramenstruasi dan Aktivitas Fisik dengan Perilaku Makan pada Remaja Putri. Skripsi, Universitas Diponegoro. Ray, S., Mishra, S., Roy, A. G. dan Das, B. M. 2010. Menstrual Characteristics: A Study of The Adolescent of Rulan and Urban West Bengal, India. Annals Human Biology, 37, 14. Sacher, R. A. dan McPherson, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Saryono dan Sejati, W. 2009. Sindrom Pramenstruasi, Yogyakarta, Nuha Medika. Septiani, T. A. 2009. Hubungan Asupan Vitamin B6, Kalsium, dan Magnesium dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS). Skripsi. Setianingsih, A. 2012. Hubungan Status Vegetarian dengan Derajat Sindrom Pramenstruasi pada Remaja. Skripsi, Universitas Diponegoro. Shechter, A. dan Boivin, D. B. 2010. Sleep, Hormones, and Circadian Rhythms throughout the Menstrual Cycle in Healthy Women and Women with Premenstrual Dysphoric Disorder. International Journal of Endocrinology, 2010, 17. Sianipar, O., Bunawan, N. C., Almazini, P., Calista, N., Wulandari, P., Rovenska, N., Djuanda, R. E., Irene, Seno, A. dan Suarthana, E. 2009. Prevalensi Gangguan Menstruasi danFaktor-faktor yang Berhubungan padaSiswi SMU di Kecamatan Pulo GadungJakarta Timur. Artikel Penelitian Maj Kedokt Indon, 59. Siantina, R. 2010. Hubungan antara Asupan Zat Gizi dan Aktivitas Olahraga dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri di SMAN 1 Padang Tahun 2010. Skripsi, Universitas Andalas.
130
Silvia, C. M. L. d., Gigante, D. P. dan Minten, G. C. 2008. Premenstrual Symptoms and Syndrome According to Age at Menarche in a 1982 Birth Cohort in Southern Brazil. Cad. Saude Publica, Rio de Janeiro, 24, 10. Siyamti, S. dan Pertiwi, H. W. 2011. Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi Tingkat II Akademi Kebidanan Estu Utomo Boyolali. Jurnal Kebidanana, 3. Souza, E. G. V., Ramos, M. G., Hara, C., Stumpf, B. P. dan Rocha, F. L. 2012. Neuropsychological Performance and Menstrual Cycle: a Literature Review. Trends Psychiatry Psychother, 34, 7. Suparman, E. 2010. Premenstrual Syndrome, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tambing, Y. 2012. Physical Activity and Premenstrual Syndrome in Teenagers. Thesis, Universitas Gajah Mada. Thys-Jacobs, S. 2000. Review: Micronutrients and the Premenstrual Syndrome: the Case for Calcium. J Am Coll Nutr, 19, 220-7. Tolossa, F. W. dan Bekele, M. L. 2014. Prevalence, Impacts and Medical Managements of Premenstrual Syndrome among Female Students: CrossSectional Study in College of Health Sciences, Mekelle University, Mekelle, Northern Ethiopia. BMC Women's Health, 14. UMM.
2013. Premenstrual syndrome [Online]. Available: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/premenstrual-syndrome [Accessed 18 November 2014].
Visser, A. K. D., van Waarde, A., Willemsen, A. T. M., Bosker, F. J., Luiten, P. G. M., den Boer, J. A., Kema, I. P. dan Dierckx, R. 2011. Measuring Serotonin Synthesis: from Conventional Methods to PET Tracers and Their (Pre)Clinical Implications. Eur J Nucl Med Mol Imaging, 38, 57691. WHO. 2014a. Adolescent Health [Online]. Switzerland: World Health Organization. Available: http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/ [Accessed 17 November 2014]. WHO.
2014b. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health Organization. Available: http://www.who.int/topics/physical_activity/en/ [Accessed 18 November 2014].
WHO.
2015a. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health Organization. Available: http://www.who.int/dietphysicalactivity/pa/en/ 16 Juni 2015].
WHO. 2015b. Physical Activity and Young People [Online]. Switzerland: World Health Organization. Available:
131
http://www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet_young_people/en/ [Accessed 16 Juni 2015]. Wijaya, A. 2006. Biologi IX, Jakarta, Penerbit Grasindo. Wiley, J. dan Sons 2012. Premenstrual Syndrome. In: EDMOND, K. (ed.) Dewhurst's Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 8 ed. UK: WileyBlackwell. William dan Wilkins 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis, Jakarta, Penerbit EGC. Young, S. N. 2007. How to Increase Serotonin in The Human Brain without Drugs. J Psychiatry Neorpsci, 32, 5. Zaka, M. dan Mahmood, K. T. 2012. Premenstrual Syndrome - a Review J. Pharm. Sci. & Res., 4, 7.
LAMPIRAN
132
133
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
No. Responden (diisi peneliti)
KUESIONER PENELITIAN Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi di SMA 112Jakarta Tahun 2014 (Indah Ratikasari | 1111101000115)
Salam Sejahtera, Perkenalkan, saya Indah Ratikasari mahasiswi Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehubungan dengan penyelesaian tugas akhir saya, maka saya melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi di SMA 112 Jakarta Tahun 2014”. Adapun salah satu cara untuk mendapatkan data adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Untuk itu, saya mengharapkan kesediaan adik-adik sekalian untuk membantu saya dalam mengisi kuesioner ini sebagai data yang akan dipergunakan dalam penelitian. Kuesioner ini semata-mata hanya digunakan untuk keperluan akademis dan akan dirahasiakan, untuk itu dimohon untuk menjawab setiap pertanyaan dengan jujur sesuai dengan apa yang adik-adik alami. Atas kesediaan dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.
Peneliti
(Indah Ratikasari)
134
Petunjuk Umum: 1. Baca setiap poin pertanyaan dengan seksama 2. Isi jawaban pada pertanyaan tanpa pilihan atau berilah tanda silang (X) untuk pertanyaan pilihan, yang paling sesuai dengan apa yang kamu alami. 3. Periksa kembali lembar kuesioner, dan pastikan tidak ada poin pertanyaan yang terlewat. 4. Kembalikan lembar kuesioner ini pada petugas yang menjaga. A. Identitas Responden No. 1. 2. 3. 4.
Pertanyaan Nama lengkap Tanggal lahir (dd/mm/yy) No. HP Umur pertama kali mengalami menstruasi
Jawaban Contoh pengisian: 09 - Juli – 1993
Contoh pengisian: 1 SMP - 13 tahun
B. Status Gizi (diisi peneliti) No.
Pertanyaan
1. 2. 3.
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) IMT (kg/m2)
4.
IMT/U
Jawaban
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat kurus (< -3 SD) Kurus (-3 SD sampai dengan < -2 SD) Normal (-2 SD sampai dengan 1 SD) Gemuk (> 1 SD sampai dengan 2 SD) Obesitas (> 2 SD)
Koding (diisi peneliti)
[
]
135
C. Kejadian Sindrom Pramenstruasi (Shortened Premenstrual Assessment Form (sPAF)) Petunjuk: Untuk setiap gejala di bawah ini, beri tanda silang (X) pada angka yang paling sesuai menggambarkan intensitas gejala pramenstruasi pada siklus menstruasi terakhir. Gejala-gejala dibawah ini, merupakan gelaja yang mungkin terjadi selama fase pramenstruasi. Fase ini dimulai sekitar 7 hari sebelum siklus menstruasi dimulai dan berakhir saat waktu menstruasi dimulai. Isilah dengan: 1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 = ektrim). No. Pertanyaan Jawaban 1. Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi 1 2 3 4 5 6 pembesaran atau pembengkakan. 2. Merasa kamu tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh 1 2 3 4 5 6 tuntutan atau persoalan yang biasanya dijalani 3. Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan) 1 2 3 4 5 6 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak atau berlebihan Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitive terhadap penolakan meningkat, mudah menangis Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau kekakuan sendi Peningkatan berat badan Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air pada kaki atau pergelangan kaki Perut terasa kembung
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
1
2
3
4
5
6
Jumlah Skor (diisi peneliti) __________ [
]
D. Riwayat Keluarga No.
Pertanyaan
1.
Apakah ada anggota keluarga kamu yang mengalami gejala sindrom pramenstruasi yang sampai mengganggu aktivitas harian? Jika ada, siapa anggota keluarga tersebut? 2.1 Saudara kandung perempuan 2.2 Ibu
2.
Jawaban Ya Tidak 1 2
1 1
2 2
Koding (diisi peneliti) [ ]
[ [
] ]
136
E. Pola Tidur (Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)) I. Bagian I Petunjuk: Pertanyaan dibawah ini berhubungan dengan kebiasaan tidur yang biasa kamu lakukan selama 1 (satu) bulan terakhir. Jawabanmu harus menunjukkan jawaban yang paling tepat yang kamu alami. Dimohon untuk mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap. No. 1. 2.
3. 4.
Pertanyaan Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya pergi ke tempat tidur? Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa lama (dalam menit) biasanya waktu yang dibutuhkan untuk terlelap di setiap malam? Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya bangun pagi? Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa jam biasanya kamu benar-benar tidur (terlelap) di malam hari? (hal ini berbeda dengan lamanya kamu menghabiskan waktu di tempat tidur (seperti: tidur-tiduran)
Jawaban
II. Bagian II Petunjuk: Untuk setiap pertanyaan di bawah ini, pilihlah 1 (satu) jawaban yang paling tepat sesuai dengan apa yang kamu alami. Dimohon untuk mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap. Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo dalam seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu No. Pertanyaan Jawaban 5. Selama 1 (satu) bulan terakhir, berapa banyak gangguan tidur yang kamu alami karena… 5.1 Tidak bisa tidur selama 30 menit 0 1 2 3 5.2 Terbangun ditengah malam 0 1 2 3 5.3 Terbangun karena ingin ke toilet 0 1 2 3 5.4 Batuk atau mendengkur dengan keras 0 1 2 3 5.5 Merasa kedinginan 0 1 2 3 5.6 Merasa kepanasan 0 1 2 3 5.7 Mengalami mimpi buruk 0 1 2 3 5.8 Merasa kesakitan 0 1 2 3 5.9 Alasan lain, bila ada mohon disebutkan 5.10 Seberapa sering kamu mengalami masalah tidur di atas selama 1 (satu) bulan teakhir?
No. 6.
0
1
2
3
Isilah dengan: 0 = sangat baik; 1 = cukup baik; 2 = cukup buruk; 3 = sangat buruk Pertanyaan Jawaban Selama 1 (satu) bulan terakhir, bagaimana tingkat kualitas tidur kamu 0 1 2 3 secara keseluruhan?
137
Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo dalam seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu No. Pertanyaan Jawaban 7. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengonsumsi 0 1 2 3 obat (resep dari dokter, obat dari apotik, atau pun obat warung) untuk membantu kamu tidur? 8. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengalami 0 1 2 3 masalah mengantuk ketika menjalani aktivitas di siang hari (seperti: menyetir, makan, belajar, atau dalam kegiatan aktivitas sosial)? Isilah dengan: 0 = tidak ada masalah; 1 = hanya sangat sedikit masalah; 2 = sedikit masalah; 3 = 1(satu) masalah yang sangat besar No. Pertanyaan Jawaban 9. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa banyak masalah yang kamu 0 1 2 3 alami yang secara antusias ingin kamu selesaikan?
Jumlah Skor (diisi peneliti) __________ [
]
138
F. Asupan Zat Mikro (Food Record dan Food Recall) I. Food Record 3 x 24 jam Petunjuk: Isilah tabel di bawah ini secara lengkap setiap kali kamu mengonsumsi makanan dan minuman. Waktu makan
Makanan
Bahan Makanan
Hari 1 Pagi
Siang
Malam
Hari 2 Pagi
Siang
Malam
Hari 3 Pagi
Siang
Malam
Banyak yang dikonsumsi URT Berat (g)
Keterangan Tempat membeli, merk)
139
II. Food Recall 3 x 24 jam (diisi peneliti) Waktu makan
Makanan
Bahan Makanan
Hari 1 Pagi
Siang
Malam
Hari 2 Pagi
Siang
Malam
Hari 3 Pagi
Siang
Malam
Banyak yang dikonsumsi URT Berat (g)
Keterangan Tempat membeli, merk)
140
G. Aktivitas Fisik (Recall aktvitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004)) Petunjuk: Tuliskan kegiatan kamu pada 24 jam yang lalu dari bangun tidur hingga tidur kembali secara lengkap. Kemudian, periksa kembali apakah kegiatan yang kamu tuliskan sudah sesuai dengan apa yang telah kamu lakukan. Contoh pengisian: Waktu (jam) 5.00 – 5.10 5.10 – 5.40 5.40 – 5.55 5.55 – 6.10 6.10 – 6.30 6.30 – 9.50 9.50 – 10.05 10.05 – 12.25 12.25 – 12.55 12.55 – 14.50 14.50 – 16.55 16.55 – 17.35 17.15 – 17.45 17.45 – 19.55 19.55 – 20.00 20.00 – 20.20 20.20 – 5.00
Waktu (jam)
Kegiatan Bangun tidur (merapikan tempat tidur) Mandi pagi + pakai seragam Menyiapkan bekal Sarapan Berangkat ke sekolah (diantar naik motor) Masuk sekolah (belajar) Istirahat I (jajan cemilan) Belajar Istirahat II (Makan bekal) Belajar Ekskul saman Pulang ke rumah (naik angkot, harus jalan dulu 3 menit) Mandi sore + pakai baju Istirahat (nonton tv) Belajar dan membereskan buku Persiapan tidur (gosok gigi, cuci muka) Tidur
Kegiatan
Durasi (…jam …menit) 10 menit 40 menit 15 menit 10 menit 20 menit 3 jam 20 menit 15 menit 2 jam 20 menit 30 menit 1 jam 55 menit 2 jam 5 menit 40 menit 30 menit 2 jam 10 menit 1 jam 5 menit 20 menit 7 jam 40 menit
Durasi (…jam …menit)
141
Lampiran 2 Perhitungan Kuesioner PSQI The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) memiliki 18 pertanyaan. 18 pertanyaan tersebut tergabung dalam 7 komponen skor. Dimana setiap komponen memiliki nilai antara 0-3 poin, dengan 0 = baik dan 3 = sangat buruk. Sedangkan hasil dari setiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan skor total, yang memiliki nilai antara 0-21 poin, dengan 0 = baik dan 21 = sangat buruk. Dari jarak nilai tersebut dikategorikan kembali menjadi, 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan 2. Buruk, jika skor PSQI > 5. A. Komponen 1: Kualitas tidur subyektif Periksa pertanyaan #6, dan tetapkan nilai: Respon Sangat baik Cukup baik Cukup buruk Sangat buruk
Skor Komponen 1 0 1 2 3
Skor komponen 1: _____ B. Komponen 2: Latensi tidur (kesulitan memulai tidur) 1. Periksa pertanyaan #2, dan tetapkan nilai Respon ≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit
Skor 0 1 2 3
Skor pertanyaan #2: _____ 2. Periksa pertanyaan #5a, dan tetapkan nilai Respon Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu
Skor 0 1 2 3
Skor pertanyaan #5a: _____ 3. Jumlahkan skor pertanyaan #2 dan skor #5a Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5a: _____ 4. Tetapkan kedua skor Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5a 0 1-2 3-4 5-6
Skor 0 1 2 3
Skor komponen 2: _____ C. Komponen 3: Durasi tidur Periksa Periksa pertanyaan #4, dan tetapkan nilai: Respon > 7 jam 6-7 jam 5-6 jam < 5 jam
Skor Komponen 3 0 1 2 3
Skor komponen 3: _____ D. Komponen 4:Efisiensi tidur 1. Tuliskan jawaban pertanyaan nomor 4: _____ 2. Hitung jumlah jawaban pertanyaan 3 dan 1: _____ 3. Hitung Efisiensi tidur (jawaban #4 / (jawaban #3 + #1)) x 100% = _____ %
142
4. Tetapkan skor komponen 4 % Efisiesi Tidur > 85 75-84 65-74 < 65
Skor Komponen 4 0 1 2 3
Skor komponen 4: _____ E. Komponen 5: Gangguan tidur 1. Periksa pertanyaan #5b-#5j dan tetapkan skor setiap pertanyaan Respon Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu
Skor 0 1 2 3
2. Jumlahkan skor pertanyaan #5b-#5j Jumlah skor pertanyaan #5b-#5j: _____ 3. Tetapkan skor komponen 5: Jumlah skor pertanyaan #5b- #5j 0 1-9 10-18 19-27
Skor Komponen 5 0 1 2 3
Skor komponen 5: _____ F. Komponen 6: Penggunaan obat tidur Periksa pertanyaan #7 dan tetapkan nilai Respon Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu
Skor 0 1 2 3
Skor komponen 6: _____ G. Komponen 7: Gangguan aktifitas di siang hari 1. Periksa pertanyaan #8 dan tetapkan nilai Respon Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu
Skor 0 1 2 3
2. Periksa pertanyaan #9 dan tetapkan nilai Respon Tidak ada masalah Hanya sangat sedikit masalah Sedikit masalah 1 (satu) masalah yang sangat besar
Skor 0 1 2 3
3. Jumlahkan skor pertanyaan #8 dan #9 Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9: _____ 4. Tetapkan skor komponen 7 Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9 0 1-2 3-4 5-6
Skor komponen 7: _____ H. Skor global Jumlah skor komponen 1-7: _____
Skor Komponen 7 0 1 2 3
143
Lampiran 3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik Pengelompokan aktivitas fisik berdasarkan proporsi waktu kerja mengacu pada FAO/WHO (1985) yang dimodifikasi (WNPG VIII, 2004) dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Kelompok Aktivitas Ringan
Sedang
Berat
Jenis Kegiatan 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan khusus dalam bidang pekerjaannya. 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya. 25% waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 75% adalah untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya.
Contoh: Dibagi menjadi dua kategori: Waktu untuk duduk atau berdiri
: 10” 20” 200” 30” 115” 40” 460” = 1225” Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu : 10” 40” 15” 30” 20” = 243” Kemudian, kategori tersebut diubah menjadi persen: Waktu untuk duduk atau berdiri : Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu : Dari hasil di atas, maka termasuk kategori aktivitas fisik ringan.
15” 140” 130” 65” 125”
3”
148
Lampiran 7 Hasil Analisis Data Uji Normalitas Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Df Sig. Usia awal menstruasi Skor PMS Pola tidur Asupan kalsium Asupan magnesium Kategori asupan b6
Statistic
Shapiro-Wilk df
Sig.
.185
127
.000
.925
127
.000
.096
127
.006
.979
127
.046
.101
127
.003
.962
127
.001
.154
127
.000
.858
127
.000
.105
127
.001
.927
127
.000
.435
127
.000
.585
127
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis Univariat Kelas responden
Valid
10 11 Total
Frequency 56 71 127
Percent 44.1 55.9 100.0
Cumulative Percent 44.1 100.0
Valid Percent 44.1 55.9 100.0
Umur responden Frequency Valid
14 15 16 17 Total
2 35 60 30 127
Percent 1.6 27.6 47.2 23.6 100.0
Cumulative Percent
Valid Percent 1.6 27.6 47.2 23.6 100.0
1.6 29.1 76.4 100.0
Statistics
Usia awal menstruasi N
Valid Missing
127
Skor PMS
Pola tidur
127
127
Asupan kalsium
Asupan magnesium
127
Asupan vitamin B6
127
127
0
0
0
0
0
0
Mean
12.64
27.36
6.87
417.373
159.561
.814
Median
13.00
27.00
7.00
297.000
145.600
.700
Std. Deviation
1.125
7.479
2.840
330.4910
69.1451
.3631
10
11
1
38.2
43.9
.2
16
49
17
1198.3
426.3
1.8
Minimum Maximum
149
Kategori PMS
Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Tidak ada gejala hingga ringan
Gejala sedang hingga berat Total
86
67.7
67.7
67.7
41 127
32.3 100.0
32.3 100.0
100.0
Payudara teras nyeri, terjadi pembesaran atau pembengkakan
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 33 35 29 17 10 3 127
Percent 26.0 27.6 22.8 13.4 7.9 2.4 100.0
Valid Percent 26.0 27.6 22.8 13.4 7.9 2.4 100.0
Cumulative Percent 26.0 53.5 76.4 89.8 97.6 100.0
Tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan yang dijalani
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 28 25 31 32 9 2 127
Percent 22.0 19.7 24.4 25.2 7.1 1.6 100.0
Valid Percent 22.0 19.7 24.4 25.2 7.1 1.6 100.0
Cumulative Percent 22.0 41.7 66.1 91.3 98.4 100.0
Merasa di bawah tekanan
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 34 27 23 21 10 12 127
Percent 26.8 21.3 18.1 16.5 7.9 9.4 100.0
Valid Percent 26.8 21.3 18.1 16.5 7.9 9.4 100.0
Cumulative Percent 26.8 48.0 66.1 82.7 90.6 100.0
Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 11 24 25 26 26 15 127
Percent 8.7 18.9 19.7 20.5 20.5 11.8 100.0
Valid Percent 8.7 18.9 19.7 20.5 20.5 11.8 100.0
Cumulative Percent 8.7 27.6 47.2 67.7 88.2 100.0
150
Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif, mudah menangis
Valid
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 13 27 29 30 18 10 127
Percent 10.2 21.3 22.8 23.6 14.2 7.9 100.0
Valid Percent 10.2 21.3 22.8 23.6 14.2 7.9 100.0
Cumulative Percent 10.2 31.5 54.3 78.0 92.1 100.0
Sakit punggung dan panggul, nyeri sendiri dan otor, atau kekakuan sendi Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Tidak mengalami 16 12.6 12.6 12.6 Sangat ringan 31 24.4 24.4 37.0 Ringan 25 19.7 19.7 56.7 Sedang 23 18.1 18.1 74.8 Berat 21 16.5 16.5 91.3 Ekstrim 11 8.7 8.7 100.0 Total 127 100.0 100.0 Peningkatan berat badan
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 48 32 18 24 4 1 127
Percent 37.8 25.2 14.2 18.9 3.1 .8 100.0
Valid Percent 37.8 25.2 14.2 18.9 3.1 .8 100.0
Cumulative Percent 37.8 63.0 77.2 96.1 99.2 100.0
Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Frequency 11 31 27 25 20 13 127
Percent 8.7 24.4 21.3 19.7 15.7 10.2 100.0
Valid Percent 8.7 24.4 21.3 19.7 15.7 10.2 100.0
Cumulative Percent 8.7 33.1 54.3 74.0 89.8 100.0
Adanya edema atau retensi air pada kaki atau pergelangan kaki
Valid
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Total
Frequency 109 11 5 2 127
Percent 85.8 8.7 3.9 1.6 100.0
Valid Percent 85.8 8.7 3.9 1.6 100.0
Cumulative Percent 85.8 94.5 98.4 100.0
151
Perut terasa kembung
Valid
Frequency 56 37 15 13 5 1 127
Tidak mengalami Sangat ringan Ringan Sedang Berat Ekstrim Total
Percent 44.1 29.1 11.8 10.2 3.9 .8 100.0
Cumulative Percent 44.1 73.2 85.0 95.3 99.2 100.0
Valid Percent 44.1 29.1 11.8 10.2 3.9 .8 100.0
Jumlah gejala Frequency Valid
1 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
Percent
1 4 3 9 19 28 42 13 8 127
Valid Percent
.8 3.1 2.4 7.1 15.0 22.0 33.1 10.2 6.3 100.0
.8 3.1 2.4 7.1 15.0 22.0 33.1 10.2 6.3 100.0
Cumulative Percent .8 3.9 6.3 13.4 28.3 50.4 83.5 93.7 100.0
Kategori usia awal menstruasi
Valid
Cepat Normal Lambat Total
Frequency 17 86 24 127
Percent 13.4 67.7 18.9 100.0
Valid Percent 13.4 67.7 18.9 100.0
Cumulative Percent 13.4 81.1 100.0
Riwayat keluarga
Valid
Ada Tidak ada Total
Frequency 66 61 127
Percent 52.0 48.0 100.0
Valid Percent 52.0 48.0 100.0
Cumulative Percent 52.0 100.0
Riwayat keluarga dari saudara kandung perempuan
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 33 94 127
Percent 26.0 74.0 100.0
Valid Percent 26.0 74.0 100.0
Cumulative Percent 26.0 100.0
Riwayat keluarga dari ibu
Valid
Ya Tidak Total
Frequency 47 80 127
Percent 37.0 63.0 100.0
Valid Percent 37.0 63.0 100.0
Cumulative Percent 37.0 100.0
Aktifitas fisik
Valid
Ringan Sedang Total
Frequency 96 31 127
Percent 75.6 24.4 100.0
Valid Percent 75.6 24.4 100.0
Cumulative Percent 75.6 100.0
152
Kategori asupan kalsium
Valid
Frequency 105 22 127
Kurang Cukup Total
Percent 82.7 17.3 100.0
Valid Percent 82.7 17.3 100.0
Cumulative Percent 82.7 100.0
Kategori asupan magnesium
Valid
Frequency 103 24 127
Kurang Cukup Total
Percent 81.1 18.9 100.0
Valid Percent 81.1 18.9 100.0
Cumulative Percent 81.1 100.0
Kategori asupan b6
Valid
Frequency 87 40 127
Kurang Cukup Total
Percent 68.5 31.5 100.0
Valid Percent 68.5 31.5 100.0
Cumulative Percent 68.5 100.0
Kategori pola tidur
Valid
Frequency 44 83 127
Baik Buruk Total
Percent 34.6 65.4 100.0
Valid Percent 34.6 65.4 100.0
Cumulative Percent 34.6 100.0
Indeks massa tubuh berdasarkan umum Frequency Valid
Kurus Normal Gemuk Total
9 103 15 127
Percent 7.1 81.1 11.8 100.0
Valid Percent 7.1 81.1 11.8 100.0
Cumulative Percent 7.1 88.2 100.0
Analisis Bivariat Kategori usia awal menstruasi * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Kategori usia awal menstruasi
Cepat
Normal
Lambat
Total
Count % within Kategori usia awal menstruasi Count % within Kategori usia awal menstruasi Count % within Kategori usia awal menstruasi Count % within Kategori usia awal menstruasi
Total
9
8
17
52.9%
47.1%
100.0%
59
27
86
68.6%
31.4%
100.0%
18
6
24
75.0%
25.0%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
153
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 2.311a 2 .315 Likelihood Ratio 2.240 2 .326 Linear-by-Linear Association 2.028 1 .154 N of Valid Cases 127 a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.49. Riwayat keluarga * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Riwayat keluarga
Ada
Count
Tidak ada Total
Total
36
30
66
% within Riwayat keluarga Count % within Riwayat keluarga Count
54.5% 50 82.0%
45.5% 11 18.0%
100.0% 61 100.0%
86
41
127
% within Riwayat keluarga
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
10.904a
1
.001
9.686
1
.002
11.243
1
.001
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
.001
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
10.818
1
.001
.001
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.69. b. Computed only for a 2x2 table
New Aktivitas fisik * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada Gejala gejala hingga sedang ringan hingga berat New Aktivitas fisik
Ringan
Sedang
Total
Count % within New Aktivitas fisik Count % within New Aktivitas fisik Count % within New Aktivitas fisik
Total
63
32
95
66.3%
33.7%
100.0%
23
9
32
71.9%
28.1%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
154
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2sided)
df
.338a
1
.561
.132
1
.716
.344
1
.558
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
.664
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.336
1
.363
.562
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.33. b. Computed only for a 2x2 table
Kategori asupan b6 * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Kategori asupan b6
Kurang
Cukup
Total
Count % within Kategori asupan b6 Count % within Kategori asupan b6 Count % within Kategori asupan b6
Total
56
31
87
64.4%
35.6%
100.0%
30
10
40
75.0%
25.0%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.417a
1
.234
.972
1
.324
1.455
1
.228
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.308 1.406
1
.236
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.91. b. Computed only for a 2x2 table
.162
155
Kategori asupan kalsium * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Kategori asupan kalsium
Kurang
Cukup
Total
Count % within Kategori asupan kalsium Count % within Kategori asupan kalsium Count % within Kategori asupan kalsium
Total
66
39
105
62.9%
37.1%
100.0%
20
2
22
90.9%
9.1%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
6.547a
1
.011
Continuity Correction
5.327
1
.021
Likelihood Ratio
7.819
1
.005
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
b
Fisher's Exact Test
.011
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
6.496
1
.007
.011
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.10. b. Computed only for a 2x2 table
Kategori asupan magnesium * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Kategori asupan magnesium
Kurang
Cukup
Total
Count % within Kategori asupan magnesium Count % within Kategori asupan magnesium Count % within Kategori asupan magnesium
Total
67
36
103
65.0%
35.0%
100.0%
19
5
24
79.2%
20.8%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
156
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2sided)
df
Exact Sig. (2sided)
1.775a
1
.183
1.188
1
.276
1.887
1
.170
Exact Sig. (1sided)
b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
.230
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.761
1
.137
.185
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.75. b. Computed only for a 2x2 table
Kategori pola tidur * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Kategori pola tidur
Baik Buruk
Total
Count
Total
36
8
44
% within Kategori pola tidur Count % within Kategori pola tidur Count
81.8% 50 60.2%
18.2% 33 39.8%
100.0% 83 100.0%
86
41
127
% within Kategori pola tidur
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2sided)
df
6.124a
1
.013
5.177
1
.023
6.483
1
.011
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.017 6.076
1
.014
127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.20. b. Computed only for a 2x2 table
.010
157
Status Gizi New * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada Gejala gejala hingga sedang ringan hingga berat Status Gizi New
Kurus
Count % within Status Gizi New Count % within Status Gizi New Count % within Status Gizi New Count
Normal
Gemuk
Total
% within Status Gizi New
Total
5
4
9
55.6%
44.4%
100.0%
74
29
103
71.8%
28.2%
100.0%
7
8
15
46.7%
53.3%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 4.452a 2 .108 Likelihood Ratio 4.220 2 .121 Linear-by-Linear Association .814 1 .367 N of Valid Cases 127 a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.91. Duration of sleep * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Duration of sleep
> 7 jam
6-7 jam 5-6 jam < 5 jam Total
Count
Total
38
14
52
% within Duration of sleep Count % within Duration of sleep Count % within Duration of sleep Count % within Duration of sleep Count
73.1% 20 62.5% 19 63.3% 9 69.2%
26.9% 12 37.5% 11 36.7% 4 30.8%
100.0% 32 100.0% 30 100.0% 13 100.0%
86
41
127
% within Duration of sleep
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 1.359a 3 .715 Likelihood Ratio 1.366 3 .714 Linear-by-Linear Association .466 1 .495 N of Valid Cases 127 a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20.
158
Sleep disturbance * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala Gejala hingga sedang ringan hingga berat Sleep disturbance
Tdk pernah slm 1 bln terakhir
< 1 kali dlm seminggu
1-2 kali dlm seminggu
>= 3 kali dlm seminggu
Total
Count % within Sleep disturbance Count % within Sleep disturbance Count % within Sleep disturbance Count % within Sleep disturbance Count % within Sleep disturbance
Total
5
2
7
71.4%
28.6%
100.0%
72
29
101
71.3%
28.7%
100.0%
9
8
17
52.9%
47.1%
100.0%
0
2
2
0.0%
100.0%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 6.526a 3 .089 Likelihood Ratio 6.768 3 .080 Linear-by-Linear Association 4.475 1 .034 N of Valid Cases 127 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65. Sleep latency * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala Gejala sedang hingga ringan hingga berat Sleep latency
<= 15 menit
16-30 menit 31-60 menit > 60 menit Total
Count
Total
20
5
25
% within Sleep latency Count % within Sleep latency Count % within Sleep latency Count % within Sleep latency Count
80.0% 38 62.3% 26 76.5% 2 28.6%
20.0% 23 37.7% 8 23.5% 5 71.4%
100.0% 61 100.0% 34 100.0% 7 100.0%
86
41
127
% within Sleep latency
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 8.644a 3 .034 Likelihood Ratio 8.429 3 .038 Linear-by-Linear Association 1.703 1 .192 N of Valid Cases 127 a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.
159
Day disfunction due to sleep * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala Gejala hingga sedang ringan hingga berat Day disfunction due to Skor 0 sleep
Count
6
% within Day disfunction due to sleep Count % within Day disfunction due to sleep Count % within Day disfunction due to sleep Count % within Day disfunction due to sleep Count
Skor 1-2
Skor 3-4
Skor 5-6
Total
85.7%
8
21
11
67.7%
23
47.8% 100.0%
86
% within Day disfunction due to sleep
55
38.2% 100.0%
12 52.2%
42
19.0% 100.0%
34 61.8%
7
14.3% 100.0%
34 81.0%
Total
1
41
127
32.3% 100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 7.820a 3 .050 Likelihood Ratio 8.135 3 .043 Linear-by-Linear Association 7.300 1 .007 N of Valid Cases 127 a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26. Sleep efficiency * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala Gejala sedang hingga ringan hingga berat Sleep efficiency
> 85
75-84 65-74 < 65 Total
Count
Total
68
30
98
% within Sleep efficiency Count % within Sleep efficiency Count % within Sleep efficiency Count % within Sleep efficiency Count
69.4% 13 65.0% 3 60.0% 2 50.0%
30.6% 7 35.0% 2 40.0% 2 50.0%
100.0% 20 100.0% 5 100.0% 4 100.0%
86
41
127
% within Sleep efficiency
67.7%
32.3%
100.0%
160
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square .903a 3 .825 Likelihood Ratio .861 3 .835 Linear-by-Linear Association .865 1 .352 N of Valid Cases 127 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.29. Overall sleep quality * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala hingga Gejala sedang ringan hingga berat Overall sleep quality Sangat baik
Cukup Baik
Cukup baik
Sangat buruk
Total
Count % within Overall sleep quality Count % within Overall sleep quality Count % within Overall sleep quality Count % within Overall sleep quality Count % within Overall sleep quality
Total
11
6
17
64.7%
35.3%
100.0%
57
14
71
80.3%
19.7%
100.0%
17
20
37
45.9%
54.1%
100.0%
1
1
2
50.0%
50.0%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 13.507a 3 .004 Likelihood Ratio 13.367 3 .004 Linear-by-Linear Association 5.378 1 .020 N of Valid Cases 127 a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65.
161
Need meds to sleep * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS Tidak ada gejala Gejala hingga sedang ringan hingga berat Need meds to sleep
Total
Tdk pernah slm 1 bln terakhir
Count
% within Need meds to sleep < 1 kali dlm seminggu Count % within Need meds to sleep 1-2 kali dlm seminggu Count % within Need meds to sleep >= 3 kali dlm seminggu Count % within Need meds to sleep Count % within Need meds to sleep
Total
70
29
99
70.7%
29.3%
100.0%
10
5
15
66.7%
33.3%
100.0%
3
3
6
50.0%
50.0%
100.0%
3
4
7
42.9%
57.1%
100.0%
86
41
127
67.7%
32.3%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value df sided) Pearson Chi-Square 3.253a 3 .354 Likelihood Ratio 3.048 3 .384 Linear-by-Linear Association 3.047 1 .081 N of Valid Cases 127 a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.94.