FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERBILIRUBINEMIA DI RUANG NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT (NICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2013 Hafizah1, Imelda2 XII+ V Bab + 43 halaman : 5 daftar tabel, Daftar lampiran IX Latar Belakang : Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi, Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, menyebutkan terdapat 157.000 bayi meninggal dunia per tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut, yaitu prematuritas dan BBLR (34%), asfiksia (37%), sepsis (12%), hipotermi (7%), Ikterus/hiperbilirubinemia (6%), post matur (5%), dan kelainan kongenital (1%). Tujuan penelitian : Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Hiperbilirubinemia di ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2013. Metode Penelitian : Jenis penelitian bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Pengambilan data dilakukan dengan data sekunder di ambil pada tanggal 7 s/d 9 Januari 2014. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1180, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin yaitu sebanyak 92 sampel. Hasil Penelitian : Dari hasil uji statistik Chi-square didapatkan ada hubungan antara usia gestasi (p value = 0,040), berat badan lahir (p value = 0,011) dan proses persalinan (p value = 0,018) dengan kejadian Hiperbilirubinemia di ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2013. Kesimpulan dan Saran : Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan usia gestasi, berat badan lahir dan proses persalinan dengan kejadian hiperbilirubinemia. Diharapkan kepada petugas kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin Banda Aceh untuk dapat meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan bagi petugas kesehatan sehingga dapat memberikan pertolongan dengan cepat serta tepat kepada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia dan melakukan pengawasan neonatal secara baik. Kata kunci : Hiperbilirubinemia, Neonatus Sumber : 13 buah buku ( 2002 – 2011 ) + 8 data internet ( 2010- 2013 )
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2006 kematian bayi terjadi pada usia neonatus dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%, kelainan bawaan 10%, dan ikterus 5%. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai
kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Septiani, 2010).
Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi, Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) menyebutkan terdapat 157.000 bayi meninggal dunia per tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut, yaitu prematuritas dan BBLR (34%), asfiksia (37%), sepsis (12%), hipotermi (7%), Ikterus/hiperbilirubinemia (6%), post matur (5%), kelainan kongenital (1%) (Riskesdas, 2007).
ikterus baik patologis maupun fisiologis (Insufa, 2013).
Kejadian ikterus bayi di Indonesia sekitar 50% bayi cukup bulan yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami kekuningan (ikterus), dan pada bayi kurang bulan (premature) kejadiannya lebih sering yaitu 75%. Di Indonesia didapatkan data dari beberapa rumah sakit pendidikan. Insidensi RSCM menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%. RS. Dr. Sarditjo melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin diatas 5 mg/dl dan 23,8% memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dl. Data yang diperoleh dari RS.Dr.Kariadi Semarang agak berbeda di mana insidens ikterus fisiologi dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidensi ikterus neonatorum di RS.Dr.soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30% (Sriningsih, 2010).
Rumusan masalah
Angka Kematian Bayi di Provinsi Aceh hingga saat ini masih tinggi yakni mencapai 30/1.000 kelahiran hidup, Untuk itu upaya pengurangan terus dilakukan oleh Pemerintah Aceh sebagai salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bidang kesehatan. Tahun 2010 jumlah bayi yang lahir di provinsi Aceh sebanyak 105.565 bayi, 10 % dari kelahiran tersebut mengalami masalah yaitu 3% mengalami infeksi saat lahir, 2% hipotermi, 2% kelainan kongenital dan 3% dengan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record ruang NICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mulai Januari – Desember Tahun 2012, bayi yang mengalami hiperbilirubinemia 114 (9,7 %) bayi dari 1.180 bayi yang pernah dirawat di rawat di Ruang NICU di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Faktor – faktor yang Berhubungan dengan kejadian Hiperbilirubinemia di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2013?”. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk Mengetahui Bagaimana Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui hubungan usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia. b. Untuk mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian Hiperbilirubinemia. c. Untuk mengetahui hubungan proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Sebagai bahan masukan dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hiperbilirubinemia dan dapat menambah referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya. 2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan informasi ilmu kebidanan dan sebagai bahan pertimbangan ilmu neonatologi di masa yang akan datang dan dapat menambah referensi bagi peneliti yang lain yang ingin melakukan penelitian yang sama. 3. Bagi Lahan Penelitian Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi tenaga kesehatan dalam pemberian informasi dan penanganan lanjutan bayi baru lahir yang mengalami hiperbilirubinemia, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan pelayanan khususnya neonatus sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang terus meningkat di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. II. TINJAUAN TEORITIS Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal, persentasenya pada neonatus muncul dalam salah satu dari dua bentuk berikut ini yaitu: hiperbilirubinemia tidak terkonyugasi (indirek) atau hiperbilirubinemia terkonyugasi (direk). Gejala paling prevalen dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah ikterus, dan diidentifikasikan sebagai “kulit dan selaput lendir menjadi kuning”. Pada neonatus, ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl (Eriyati, 2008).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 % . Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5 - 6 mg/dl (Sholeh, 2010). Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi menjadi ( Rusepno, 2007 ) : a. Produksi yang berlebihan, lebih dari pada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya misalnya pada : hemolisis yang meningkat pada inkopatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis. b. Gangguan dalam proses uptake dan konyugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konyugasi bilirubin, ganguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Criggler Najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar. c. Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar. Kelainan di luar hepar biasanya di sebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. III. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Menurut Rusepno (2007) faktor penyebab terjadinya hiperbilirubinemia diantaranya adalah berat badan lahir, masa gestasi kurang dari 36 mgg, asfiksia, infeksi, troma lahir pada kepala. Sedangkan menurut WHO (2007) proses persalinan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus akibat dari komplikasi dari proses persalinan tersebut. Berdasarkan teori-teori tersebut maka dapat dirumuskan kerangka konsep sebagai berikut : Usia Gestasi Berat Badan Lahir
Hiperbilirubinemia
Proses Persalinan Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang diteliti, yaitu sebagai berikut : 1. Hiperbilirubinemia : Naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal, gejala paling mudah diidentifikasikan adalah ikterus pada kulit bayi dengan bilirubin total serum 5-7mg/dl. Variabel ini di ukur dengan lembaran checklis data yang diambil dari buku regitrasi.
Hasil ukur dikategorikan dalam dua kategori, yaitu: (1)Hiperbilirubinemia jika kadar bilirubin > 4mg/dl. (2)Tidak hiperbilirubinemia jika kadar bilirubin < 5 mg/dl. Hasil ukur tersebut bersekala ordinal. 2. Usia Gestasi : Kehamilan dalam hitungan minggu. Variabel ini di ukur dengan lembaran checklis data yang diambil dari buku regitrasi. Hasil ukur dikategorikan dalam dua kategori, yaitu: (1) Prematur jika usia kehamilan < 36 minggu. (2) Aterm jika usia kehamilan ≥ 36 minggu. Hasil ukur tersebut bersekala ordinal. 3. Berat Badan Lahir : Bobot badan bayi dalam Kg. Variabel ini di ukur dengan lembaran checklis data yang diambil dari buku regitrasi. Hasil ukur dikategorikan dalam dua kategori, yaitu: (1) BBLR jika < 2500 gr. (2) Normal jika 2500-4000gr. Hasil ukur tersebut bersekala ordinal. 4. Proses Persalinan : cara ibu melahirkan janin dalam kandungannya. Variabel ini di ukur dengan lembaran checklis data yang diambil dari buku regitrasi. Hasil ukur dikategorikan dalam dua kategori, yaitu: (1) Persalinan Normal jika janin keluar pervaginam. (2) Persalinan Tidak Normal jika janin keluar secara SC. Hasil ukur tersebut bersekala ordinal.
Hipotesa Ha : Ada hubungan usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonates yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Ha : Ada hubungan berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Ha : Ada hubungan proses persalinan dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Wilayah Generalisasi Hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk seluruh Badan Layanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang dirawat di Ruang NICU RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dari mulai Januari – Desember tahun 2012 sejumlah 1.180 bayi. 2. Sampel Sampel diambil dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Slovin dalam (Notoatmodjo, 2006) :
n=
N 1 = N (d ) 2
Dimana : n : Sampel N : Populasi d : Penyimpangan statistik dari sampel terhadap populasi, ditetapkan sebesar 10% atau 0,1 Berdasarkan rumus di atas diperoleh sampel sebanyak 92 bayi. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan metode analitik dengan pendekatan Cross Sectional (Bisri, 2008). Cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada waktu penelitian sedang berlangsung (Notoatmodjo, 2006). Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari tanggal 07 sampai dengan 09 Januari tahun 2014 di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari laporan atau catatan Ruang NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dan berbagai informasi yang ada kaitannya dengan penelitian ini, dengan cara mengisi lembaran chek list dari buku registrasi mengenai bayi yang mengalami hiperbilirubunemia di Ruang NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Analisa Data a. Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa hanya menghasilkan distribusi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2006).
Selanjutnya data dimasukkan dalam tabel data frekuensi, analisis ini menggunakan rumus sebagai berikut (Budiarto, 2002) : fi P = x100% n Keterangan : P = Persentasi fi = frekuensi yang diamati n = jumlah responden yang menjadi sampel b. Analisa Bivariat Analisa bivariat merupakan analisa hasil dari variable-variabel bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variable terkait. Analisa data yang digunakan adalah tabel silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji Khi Kuadrat (ChiSquare) pada tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05) sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik menggunakan program SPSS for windows very 16.00. Melalui perhitungan Khi Kuadrat (Chisquare) tes selanjutnya ditarik kesimpulan bila p lebih kecil dari alpha (p < 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen dan jika p lebih besar dari alpha (p > 0.05) maka Ho diterima dan Ha ditolak yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbilurubinemia, Usia Gestasi, BBL dan Proses Persalinan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh N o
Variabel
1
Hiperbilirubine mia
2
3
4
Usia Gestasi
Berat Badan Lahir Proses Persalinan
N
%
Ya
36
39,1
Tidak
56
60,9
Aterm
70
76,1
Premature
22
23,9
Normal
67
72,8
BBLR
25
27,2
Normal
63
68,5
Tidak normal
29
31,5
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2014 Berdasarkan table 1 dapat dilihat dari 92 responden mayoritas tidak mengalami hiperbilirubinemia sebanyak 56 responden (60,9%), dari 92 respoden dapat dilihat usia gestasi aterm sebanyak 70 responden (76,1%), dari 92 responden sebahagian besar berat badan lahir normal sebanyak 67 responden (72,8%) dan dari 92 responden yang mengalami proses persalinan normal sebanyak 63 responden (68,5%). Tabel 2 Hubungan Usia Gestasi Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh N o
Usia Gestasi
Hiperbilirubinemia Ya
IV. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 07 sampai dengan 09 Januari di ruang NICU RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan pengambilan data pada buku register maka didapatkan hasil sebagai berikut:
Kategori
P value
Total
Tidak
n
%
n
%
N
%
1
Aterm
32
45,7
38
54,3
70
100
2
Premature
4
18,2
18
81,8
22
100
Jumlah
36
56
92
0,040
Berdasarkan tabel 4.2 dari 70 responden usia gestasi Aterm yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (45,7%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 38 responden (54,3%) dan pada responden dengan usia gestasi premature yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (18,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 18 responden (81,8%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 040 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara usia gestasi dengan N kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi odi Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 1 Tabel 3 Hubungan Berat Badan Lahir Dengan2 Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh N o
Berat Badan Lahir
Hiperbilirubinemia Ya
Tabel 4 Hubungan Proses Persalinan Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Proses Persalin an
Hiperbilirubinemia
n
%
N
%
N
%
1
Normal
32
47,8
35
52,2
67
100
2
BBLR
4
16.0
21
84.0
25
100
Jumlah
36
92
Berdasarkan table 3 dari 67 responden berat badan lahir normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (47,8%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 35 responden (52,2%), sedangkan pada 25 responden berat badan lahir rendah (BBLR) yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (16,0%), yang tidak mengalami Hiperbilirubinemia 21 responden (84,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 011 (p < 0,05), ini
P value
Total Ya
Tidak
n
%
N
%
N
%
Normal
19
30,2
44
69,8
63
100
Tidak normal
17
58,6
12
41,4
29
100
Jumlah
36
P Sumber: value
Total
Tidak
56
mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
56
0,018
92
data sekunder (diolah 2014)
Berdasarkan table 4 dari 63 responden proses persalinan normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 19 0,011 responden (30,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 44 responden (69,8%) dan pada 29 responden dengan proses persalinan tidak normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 17 responden (58,6%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 12 responden (41,4%). Bersarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 018 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
V. PEMBAHASAN 1. Usia Gestasi Berdasarkan tabel 4.2 dari 70 responden usia gestasi Aterm yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (45,7%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 38 responden (54,3%) dan pada responden dengan usia gestasi premature yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (18,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 18 responden (81,8%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 040 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Dian Triana Sari (2009) yang menunjukkan ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo Surabaya dengan hasil p value 0,010 (p value < 0,05). Menurut Rusepno (2007) Neonatus yang dianggap hiperbilirubinemia bila mengalami ikterus yang disertai sebagai berikut : berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindroma gangguan pernafasan, infeksi, troma lahir pada kepala, hipoglikemia, hiperkarbia dan hiperosmolalitas darah. Menurut Wiknjosastro (2007), makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Berdasarkan atas timbulnya bermacam – macam problematik pada derajat prematuritas Borderline premature ( masa gestasi 37 – 38 minggu ), bayi ini mempunyai sifat – sifat prematur
dan matur, biasanya beratnya seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problemtik seperti: sindroma gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, daya hisap yang lemah dan sebagainya sehingga bayi ini harus diawasi dengan seksama. Menurut WHO (2007) Banyak bayi terutama bayi kecil (yang kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu), dapat mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. pada sebagian besar kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus yang tidak membahayakan dan tidak membutuhkan terapi. Akan tetapi, setiap ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan harus dianggap serius. Menurut Sholeh (2010) Hiperbilirubinemia yang disebabkan proses fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi pada bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Menurut asumsi peneliti usia gestasi aterm dapat mempengaruhi faktor terjadinya hiperbilirubinemia hal ini terlihat dari hasil analisa tabel silang dimana lebih banyak terdapat bayi yang usia gestasi aterm yang mengalami hiperbilirubinemia sedangkan yang bayi prematur lebih sedikit yang mengalami hiperbilirubinemia hal ini dapat diasumsikan bahwa usia gestasi aterm dan prematur dapat menjadi faktor timbulnya hiperbilirubinemia. Untuk peneliti yang akan datang dapat diteliti lebih lanjut tentang hiperbilirubinemia, ada faktor yang lain yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi usia gestasi baik aterm maupun prematur seperti pengawasan antenatal yang buruk,
penggunaan obat yang dapat meningkatkan kadar hiperbilirubinemia yaitu sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dll, terjadinya hipoksia pada janin dan neonatus, penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus, pemberian makanan yang terlambat dan terjadinya infeksi. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hiperbilirubinemia dapat dihindari dengan mencegah faktor-faktor yang meningkatkan kadar bilirubin. 2. Berat Badan Lahir Berdasarkan table 4.3 dari 67 responden berat badan lahir normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (47,8%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 35 responden (52,2%), sedangkan pada 25 responden berat badan lahir rendah (BBLR) yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (16,0%), yang tidak mengalami Hiperbilirubinemia 21 responden (84,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 011 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian dari Kusumawardani (2010) yang menunjukkan ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Hal ini dapat dilihat dari nilai p value sebesar 0,000 (p value <α 0,05). Menurut Manuaba (2005) Berat badan lahir sangat mempengaruhi terutama bayi yang mengalami BBLR, salah satu penyulit atau masalah yang dialami bayi dengan berat lahir rendah adalah gangguan metabolisme sehingga menimbulkan
asidosis, hipoglisemia, hiperbilirubinemia.
dan
Menurut Wiknjosastro (2007) Berat badan lahir besar umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami trauma lahir, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan pihak penolong. Menurut teori (Keay), hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Menurut asumsi peneliti berat badan lahir merupakan salah satu faktor yang mempengruhi kejadian hiperbilirubinemia ini dapat dilihat dari hasil tabulasi silang yang didapat lebih banyak berat badan lahir normal , hal ini bisa disebabkan oleh faktor lain yang dapat meningkatkan kadar bilirubin pada neonatus, seperti meningkatnya metabolisme produksi bilirubin dalam tubuh bayi, masalah ini dapat diatasi dengan mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan cara early feeding yaitu pemberian makanan dini (ASI) pada neonatus, dengan cara mengubah bilirubin menjadi bentuk tidak toksik yang dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus yaitu dengan photo terapy (light therapy), dan dengan cara mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah yaitu tranfusi tukar darah. Selain itu BBLR juga dapat mempengaruhi kejadian hiperbilirubinemia dapat dilihat bahwa ada bayi BBLR mengalami hiperbilirubinemia, hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain seperti belum matangnya fungsi organ tubuh bayi, mudah terjadi infeksi, terjadinya asfiksia, dan hipoglikemi yang menjadi pencetus meningkatnya kadar biliIrubin sehingga menjadi hiperbilirubinemia.
3. Proses Persalinan Berdasarkan table 4.4 dari 63 responden proses persalinan normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 19 responden (30,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 44 responden (69,8%) dan pada 29 responden dengan proses persalinan tidak normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 17 responden (58,6%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 12 responden (41,4%). Bersarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 018 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Dian Triana Sari (2009) yang menunjukkan ada hubungan antara pengaruh persalinan dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di RSU Dr. Sutomo Surabaya, ini dapat dilihat dengan hasil penelitiannya yaitu: p value 0,014 ( p < 0,05). Menurut WHO (2007) Persalinan dengan ekstraksi vakum menyebabkan komplikasi yaitu cephal hematoma, bayi yang mengalami cephal hematuma akan mengalami peningkatan kadar bilirubin sehingga kulit bayi tanpak ikterus. Menurut Wiknjosastro (2007) Persalinan dengan cara sectio caessarea mempunyai pengaruh anestesi umum yang dapat mempengaruhi depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang - kadang bayi lahir dalam keadaan apnoe, keadaan sindroma gangguan pernafasan ini dapat meningkatkan kadar bilirubin. Menurut Hutagalung (2012), jenis persalinan spontan cenderung lebih besar sebagai penyebab trauma lahir
dibandingkan dengan sectio caesarea. Pada kelahiran spontan angka kejadian bayi dengan hiperbilirubin 48,3% disusul kelahiran sectio caesarea 32,6% ekstraksi vakum 13,3% dan forcep 5,8%. Tetapi jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka sectio caessaria merupakan persentase terbesar karena sectio caessarea merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya. Umunya bayi dilahirkan secara sectio caessarea setelah mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang terjadi selama kehamilannya. Sedangkan vakum dan forcep mempunyai kecenderungan pendarahan intracranial dan cephal hematoma pada kepala bayi sehingga tindakan ini jarang dilakukan. Menurut asumsi peneliti berdasarkan uraian di atas maka penulis mengasumsikan bahwa jenis persalinan dapat mempengaruhi status kesehatan bayi yang akan lahir baik itu persalinan normal maupun persalinan dengan tindakan SC (sectio caessaria) , karena kedua jenis persalinan tersebut mempunyai peluang risiko terhadap kejadian Hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir, hal ini dapat dilihat dari hasil analisa tabel silang dimana terdapat bayi yang dilahirkan dengan proses persalinan normal lebih banyak mengalami hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh faktor lain yang perlu di teliti lebih lanjut lagi oleh peneliti selanjutnya seperti adanya kecendrungan terjadinya trauma pada bayi saat persalinan akibat proses persalinan yang mempunyai kendala seperti ibu dengan CPD (Cephalo Pelvic Disproportion), resiko ketuban pecah dini (KPD) yang dapat menyebabkan infeksi dan asfiksia pada bayi. Persalinan yang mempunyai resiko harus ditangani dengan tindakan yang tepat dan petugas medis yang ahli dibidangnya masingmasing seperti Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi, Dokter Spesialis Anak,
serta Bidan yang bertugas di pelayanan kesehatan, jika tidak ditangani dengan benar dapat mengalami resiko dan permasalahan dalam proses persalinan sehingga mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia. Permasalahan dalam proses persalinan ini dapat dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal care yang baik, peningkatan mutu pelayanan medis dengan memberikan pelayanan kesehatan yang prima dan bermutu kepada masyarakat serta memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat. VI. PENUTUP Kesimpulan 1. Ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0, 040). 2. Ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0,011). 3. Ada hubungan antara proses persalinan dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0,018). Saran 1. Bagi Peneliti Lain. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti mengharapkan penelitian dilakukan langsung pada individu, sehingga peneliti lebih mengetahui factor - faktor lain yang menjadi faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia. 2. Bagi Institusi Pendidikan.
3.
Lebih meningkatkan ilmu pengetahuan tentang kesehatan anak dengan membuat prongram pendidikan kesehatan anak serta yang lebih menggali lagi permasalahan yang dialami masyarakat luas tentang kesehatan anak. Bagi tempat penelitian/ tenaga kesehatan. Diharapkan kepada petugas kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk dapat meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan bagi petugas kesehatan sehingga dapat memberikan pertolongan dengan cepat serta tepat segera mungkin pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia dan melakukan pengawasan antenatal dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto S, 2004. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prektek. Jakarta: Rineka Cipta. Bisri. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta : EGC Budiarto, 2002. Biostatistika, Jakarta: EGC. Danish, 2011. Artikel hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian hiperbilirubinemia. Diakses 26 April 2013, http:// retdiastydanish. blogspot.com/ Dian
T, 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hiperbilirubinemia Pada Neonatus di
RSU Dr. Sutomo Surabaya.Surabaya : UNAIR Eriyati I, 2008. Pelayanan Obsetri dan Neonatal Emergensi Konprehensif (PONEK). Jakarta : Fitramaya Hutagalung, 2012. Hiperbilirubin. diakses pada tanggal 9 Maret 2013, http://takiya10.blogspot.com/
Insufa. 2013. Angka Kematian Bayi di Aceh Masih Tinggi. Diakses tanggal 29 Oktober 2013, http://dkinsufa.info/kesehatan/
Kusumawardani, 2010. Pengaruh Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD Prof.Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Diakses tanggal 18 januari 2014, http://jurnalpendidikanbidankesehatanana k.com
Mairinda, 2008, Landasan Teori Persalinan, Diakses pada tanggal 04 Maret 2013, http://landasan teori persalinan. wordpress.com/
Manuaba IBG, 2005. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC Notoatmodjo S, 2006. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Riskesdas. 2007. Artikel Hubungan Antara Bayi Berat Badan Lahir Rendah. diakses tanggal 29 Oktober 2013, http://retdiastydanish.blogspot.com/ Rusepno H, 2007. Ilmu Anak. Jakarta : Bina Pustaka Saifuddin AB, dkk, 2006 Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Fitramaya
Septiani N, 2010. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Hiperbilirubinemia pada Neonatus di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung. Diakses tanggal 28 Oktober 2013, http://jurnalpendidikanbidan.com Sholeh K, 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Sriningsih, 2010. Asuhan Kebidanan Bayi. Diakses tanggal 29 Oktober 2013, http://modulkesehatan.blogspot.com
Prawirohardjo S, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. WHO, 2007. Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC Wiknjosastro, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Balai Pustaka