Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TIFUS ABDOMINALIS DI KOTA SIBOLGA TAHUN 2015 Oleh MANOTAR SINAGA, S.KEP, M.KES.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Nauli Husada Sibolga PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita bangsa jika diselenggarakan oleh manusia yang cerdas dan sehat. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid (Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003). Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit infeksi
masih memerlukan perhatian besar dan sementara itu telah terjadi peningkatan penyakit-penyakit tidak menular. Kemajuan transportasi dan komunikasi, membuat penyakit dapat berpindah dari satu daerah atau negara ke negara lain dalam waktu yang relatif singkat serta tidak mengenal batas wilayah administrasi. Selanjutnya berbagai penyakit baru (New emerging diseases) ditemukan, serta kecenderungan meningkatnya kembali beberapa penyakit yang selama ini sudah berhasil dikendalikan (Re-emerging diseases) (Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003). Di Negara Indonesia penyakit Tifus Abdominalis bersifat endemik. Berdasarkan data kasus di rumah sakit besar di Indonesia, penyakit Tifus Abdominalis menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR) antara 0,6-5% atau 3-25/100.000 (Kepmenkes RI No. 364, 2006). Pasien Tifus Abdominalis
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
sanagt dianjurkan dirawat di rumah sakit karena penyakit ini relatif mudah menular kepada anggota keluarga lain (Tambayong, 2000). Tifus Abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit Tifus Abdominalis sangat erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi (higiene perorangan dan higiene perjamah makanan yang rendah) dan sanitasi lingkungan (lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang) serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Kepmenkes RI No. 364, 2006). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI (2009) bahwa dari hasil Riset Kesehatan Daerah Sumatera Utara tahun 2007 dalam 12 bulan terakhir, Tifus Abdominalis dapat dideteksi di Provinsi Sumatera Utara dengan prevalensi 900/100.000, dan tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan rentang 200/100.000-3.300/100.000. Prevalensi Tifus Abdominalis tertinggi dilaporkan di Kabupaten Nias Selatan (3.300/100.000). Prevalensi Tifus Abdominalis di Kota Sibolga dilaporkan adalah 600/100.000. Kota Sibolga, merupakan salah satu Kota di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 4 Kecamatan, memiliki luas wilayah 10,77 km2 dengan jumlah
penduduk 85.981 orang dan tingkat kepadatan 7.983 orang/km2 (BPS Kota Sibolga, 2013). Data surveilens terpadu penyakit berbasis rumah sakit sentinel di RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga Tahun 2014, menunjukkan bahwa untuk kasus rawat inap, jumlah kasus tifus perut klinis sebanyak 149 kasus dan tifus perut widal/kultur sebanyak 193 kasus. Sementara itu, untuk kasus rawat jalan diperoleh jumlah kasus tifus perut klinis sebanyak 61 kasus dan tifus perut widal/kultur sebanyak 148 kasus (Rekam Medik RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga Tahun 2014). Sebagai upaya pencegahan penyakit Tifus Abdominalis di Kota Sibolga, maka perlu diketahui faktorfaktor yang paling signifikan mempengaruhi terjadinya penyakit tifus abdominalis tersebut sehingga diketahui rencana upaya yang paling efektif untuk mencegah penyakit tersebut. Penelitian epidemiologi dapat dilakukan untuk menjawab frekuensi, distribusi dan determinan penyakit tifus abdominalis secara deskriptif dan analitik. Untuk itulah maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor apakah yang paling signifikan mempengaruhi kejadian Tifus Abdominalis di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
2. Permasalahan Permasalahan sebagai berikut : “Faktor-faktor apakah yang paling signifikan berhubungan dengan kejadian Tifus Abdominalis di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara?”. 3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisa faktorfaktor yang paling signifikan berhubungan dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. 4. Manfaat Penelitian Bagi Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. F.L. Tobing Sibolga dapat dijadikan sebagai data dasar kasus Tifus Abdominalis di Kota Sibolga dan sebagai masukan dalam pencegahan penyakit Tifus Abdominalis di Kota Sibolga. 5. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha), yaitu : 1. Ada hubungan yang signifikan mencuci tangan terhadap kejadian Tifus Abdominalis 2. Ada hubungan yang signifikan higiene makanan dan minuman terhadap kejadian Tifus Abdominalis 3. Ada hubungan yang signifikan penyediaan air bersih terhadap kejadian Tifus Abdominalis
4. Ada hubungan yang signifikan penyediaan jamban kelurga terhadap kejadian Tifus Abdominalis. 5. Ada hubungan yang signifikan sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian Tifus Abdominalis 6. Ada hubungan yang signifikan sarana pembuangan sampah/tempat sampah terhadap kejadian Tifus Abdominalis 7. Ada hubungan yang signifikan kebiasaan makan di luar terhadap kejadian Tifus Abdominalis TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Epidemiologi Tifus Abdominalis Definisi epidemiologi dapat diartikan sesuai dengan komponen kata yang menyusun istilahnya yaitu epi yang artinya atas, demos artinya penduduk dan logos artinya ilmu. Dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang menimpa/terjadi pada penduduk (Lapau, 2013). 2. Basil Salmonella dan Reservoir Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi dari genus Salmonella.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
3. Gambaran Epidemiologis Tifus Abdominalis Di Indonesia, Kasus Tifus Abdominalis di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan sekitar 6005.000/100.000 sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan. 4. Cara Penularan Tifus Abdominalis dan Faktor-Faktor yang Berperan Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. 5. Pengertian Tifus Abdominalis Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh tubuh. 6. Etiologi Tifus Abdominalis Etiologi Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora.
Bakteri Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput) (Kunoli, 2013).
7. Patofisiologi Tifus Abdominalis Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa kuman/carrier. Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger, Files, Fomites, dan Fluids (Empat F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli, 2013). 8. Gejala Klinik Tifus Abdominalis Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom Tifus Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Demam b. Gangguan saluran pencernaan c. Gangguan kesadaran d. Hepatosplenomegali e. Bradikardia relatif dan gejala lain 9. Penularan Tifus Abdominalis Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan dengan Paratifoid (Kunoli, 2013). 10. Masa Inkubasi Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1-10 hari (Kunoli, 2013). 11. Komplikasi Tifus Abdominalis Komplikasi Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus Abdominalis yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati) b. Syok Septik
12. Gambaran Laboratorium Tifus Abdominalis Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Gambaran darah tepi b. Pemeriksaan bakteriologis 13. Pengobatan Tifus Abdominalis Pengobatan Tifus Abdominalis dilakukan dengan prinsip triologi penatalaksanaan (Widoyono, 2011) yaitu : 1. Pemberian antibiotik 2. Istirahat dan perawatan 3. Terapi penunjang 14. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis 1. Pencegahan a. Penyuluhan kepada masyarakat. b. Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat. c. Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. d. Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013). Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus Abdominalis
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) : a. Penyediaan sumber air minum yang baik b. Penyediaan jamban yang sehat c. Sosialisasi budaya cuci tangan d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum e. Pembersihan lalat f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman g. Sosialisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyusui h. Imunisasi Jenis vaksinasi yang tersedia adalah : a. Vaksin parenteral utuh b. Vaksin oral Ty21a c. Vaksin parenteral polisakarida 2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 3. Penanggulangan wabah 2. Landasan Teori Faktor Pejamu (Host = Tuan Rumah) Pejamu adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung dan arthropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor Agen Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infektif yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Faktor lingkungan Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis dan sosial. 2.4. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan faktor-faktor yang diduga berhubungan terhadap kejadian Tifus Abdominalis di Kota Sibolga (Gambar 2.2) METODE PENELITIAN 3. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah studi analitik dengan desain studi case control dengan memilih kasus yang menderita Tifus Abdominalis dan kontrol yang tidak menderita Tifus Abdominalis. Dalam penelitian ini dilihat paparan yang dialami subjek pada waktu yang lalu (retrospektif) dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner penelitian, lembar observasi, dan data rekam medik RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga tahun 2016. 1. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di Kota Sibolga. Pengambilan kasus Tifus Abdominalis dari RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
2. Populasi dan sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu : 1. Populasi Kasus Populasi kasus adalah seluruh pasien Tifus Abdominalis telah didiagnosis dokter di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga. 2. Populasi Kontrol Populasi kontrol adalah seluruh tetangga pasien terdekat yang tidak pernah didiagnosis tifus 2. Sampel a. sampel Maka berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel minimal kasus = 88 penderita Tifus Abdominalis dan kontrol 88 orang yang tidak menderita Tifus Abdominalis. Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 176 orang. b. Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria didiagnosis Tifus Abdominalis di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga mulai bulan Desember 2015-Januari 2016.
3. Metode pengumpulan data 1. Sumber data 1. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dan observasi oleh penulis kepada responden (kelompok kasus dan kontrol) dengan menggunakan kuesioner penelitian dan lembar observasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tifus Abdominalis. 2. Data sekunder diambil dari data rekam medik penderita Tifus Abdominalis di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga Tahun 2015. 3. Pengolahan data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut : a. Editing (pemeriksaan data) b. Coding (pemberian kode) c. Entry (pemasukan data ke komputer) d. Cleaning data HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden pada penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yaitu faktor determinan (mencuci tangan, higiene makanan dan minuman, penyediaan air bersih, penyediaan jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah/tempat sampah, dan kebiasaan makan diluar rumah) dengan variabel terikat (kejadian Tifus Adbominalis). Uji statistik yang dilakukan pada analisis bivariat ini adalah uji Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden yang mencuci tangan dengan baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang mencuci tangan dengan buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel mencuci tangan dengan kejadian Tifus Abdominalis. Responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (36,9%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang
buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (13,1%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,002 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel higiene makanan dan minuman dengan kejadian Tifus Abdominalis. Responden yang memiliki penyediaan air bersih yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan air bersih dengan kejadian Tifus Abdominalis. Responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (46,6%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (39,8%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (10,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,4%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,008 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan jamban keluarga dengan kejadian Tifus Abdominalis.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
Responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (36,4%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (13,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,014 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan air limbah dengan kejadian Tifus Abdominalis. Responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan sampah dengan kejadian Tifus Abdominalis. Responden yang tidak memiliki kebiasaan makan diluar rumah lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (28,4%). Sedangkan responden yang memiliki kebiasaan makan diluar rumah lebih banyak pada kelompok kasus (21,6%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,001 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel kebiasaan makan diluar rumah dengan kejadian Tifus Abdominalis. PEMBAHASAN 1.
Hubungan mencuci terhadap kejadian Adbominalis
tangan Tifus
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden yang mencuci tangan dengan buruk yaitu sebanyak 46 responden (32,5%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang mencuci tangan dengan baik sebanyak 69 orang (39,2%). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden yang mencuci tangan dengan baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang mencuci tangan dengan buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel mencuci tangan dengan kejadian Tifus Abdominalis.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
2.
Hubungan higiene makanan dan minuman terhadap kejadian Tifus Adbominalis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki higiene makanan dan minuman yang baik yaitu sebanyak 45 responden (25,6%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik yaitu sebanyak 65 responden (36,9%). Responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (36,9%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (13,1%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,002 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel higiene makanan dan minuman dengan kejadian Tifus Abdominalis. 3.
Hubungan penyediaan air bersih terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki penyediaan air bersih yang baik yaitu
sebanyak 45 responden (25,6%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk yaitu sebanyak 76 responden (43,2%). Responden yang memiliki penyediaan air bersih yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan air bersih dengan kejadian Tifus Abdominalis. 4.
Hubungan penyediaan jamban keluarga terhadap kejadian Tifus Adbominalis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik yaitu sebanyak 70 responden (39,8%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik yaitu sebanyak 82 responden (46,4%). Responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (46,6%) dibandingkan dengan pada
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
kelompok kasus (39,8%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (10,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,4%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,008 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan jamban keluarga dengan kejadian Tifus Abdominalis. 5.
Hubungan sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian Tifus Adbominalis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik yaitu sebanyak 64 responden (36,4%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik yaitu sebanyak 77 responden (70,5%). Responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (36,4%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (13,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,014 < 0,05, artinya ada pengaruh
antara variabel sarana pembuangan air limbah dengan kejadian Tifus Abdominalis. 6.
Hubungan sarana pembuangan sampah/tempat sampah terhadap kejadian Tifus Adbominalis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki sarana pembuangan sampah yang baik yaitu sebanyak 42 responden (23,9%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik yaitu sebanyak 70 responden (39,8%). Responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan sampah dengan kejadian Tifus Abdominalis.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
7.
Hubungan kebiasaan makan diluar rumah terhadap kejadian Tifus Adbominalis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden yang tidak memiliki kebiasaan makan di luar rumah yaitu sebanyak 50 responden (23,9%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki kebiasaan makan di luar rumah yaitu sebanyak 70 responden (39,8%). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1. Ada hubungan antara mencuci tangan dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 2. Ada hubungan antara higiene makanan dan minuman dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 3. Ada hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 4. Ada hubungan antara penyediaan jamban keluarga dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 5. Ada hubungan antara sarana pembuangan limbah keluarga dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 6. Ada hubungan antara sarana pembuangan sampah (tempat
7.
sampah) dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. Ada hubungan antara kebiasaan makan diluar rumah dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga.
2. Saran 1.Bagi Responden Responden hendakanya tetap memperhatikan mencuci tangan, higiene makanan dan minuman, penyediaan air bersih, penyediaan jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah/tempat sampah, dan kebiasaan makan diluar rumah agar terhindar dari penyakit tifus abdominalis. 2.Bagi RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing dan RS Metta Medika Sibolga Pihak rumah sakit hendakanya lebih lagi meningkatkan pelayanan tatalaksana pengobatan dan juga perawatan pasien dengan penyakit tifus abdominalis. 3.Bagi Penelitian Selanjutnya Diharapkan perlunya melakukan penelitian lanjutan mengenai faktor yang mempengaruhi kejadian tifus abdominalis melalui metode penelitian lain, seperti penelitian kualitatif.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Sumatera Utara Tahun 2007. Diakses dari terbitan.litbang.depkes.go.id Bustan, N. 2012. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta Depkes RI – Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Djauli, S. 2009. Raih Kembali Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Herawati, M. H dan Ghani, L. 2007. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Tifoid di Indonesia Tahun 2007 (Association of Determinant Factors with Prevalence of Typhoid in Indonesia). Artikel Media Penelitian dan Pengembang. Kesehatan. Volume XIX Nomor 4 Tahun 2009. Puslitbang Biomedis dan Farmasi. Kemenkes RI. Pembinaan
2011. dan
Panduan Penilaian
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga Melalui Tim Penggerak PKK. Kepmenkes RI Nomor 364, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 /Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Kepmenkes RI Nomor 1479, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Kunoli, F. J. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Trans Info Media. Lapau, B. 2012. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.2 No. 1 Maret 2016
Noor,
N. N. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Ochiai, R Leon., dkk. 2008. A Study Typhoid Fever In Five Asian Countries : Disease Burden And Implications For Controls. Bulletin of the World Health Organization. Rakhman, A., Humardewayanti, R., Pramono, D. 2009. FaktorFaktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Berita Kodokteran Masyarakat Vol. 25. No 4. Raflizar dan Herawati, M. H. 2010. Hubungan faktor determinan kejadian tifoid di Pulau Jawa. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.9 No.4 Desember 2010 : 13571365. Saraswati, N. A., AR Junaidi., dan Ulfa, M. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010. Jurnal Syifa’MEDIKA, Vol. 3 (No.1), September 2012. Sastroasmoro, S., Ismael, S. DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Sagung Seto. Slamet, J. S. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.
Simanjuntak, C H. 1990. Masalah Demam Tifoid di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No.60. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC