1
KONSEP PENYIMPANGAN DAN KEJAHATAN DALAM PEMIKIRAN DAVID A. WARD, TIMOTHY J. CARTER DAN ROBIN D. PERRIN (Studi kasus unjuk rasa di jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta pada tanggal 29 Maret 2012) Fahriz Danalam Alim Muntoha dan M. Irvan Olii (Pembimbing) Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) adalah para peneliti yang menjabarkan konsep penyimpangan sosial dan juga kejahatan pada aspek interaksi sosial serta konsepsi subjektivis dan objektivis. Konsep Ward et.al di aplikasikan untuk mengkaji kasus unjuk rasa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kekerasan kolektif yang melibatkan sekelompok mahasiswa dengan pihak kepolisian dan berdampak korban luka serta kerusakan property pada tanggal 29 Maret 2012 di jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta. Kesimpulan dalam penulisan ini, peristiwa kasus unjuk rasa dan kekerasan kolektif itu dapat dikatakan sebagai kejahatan sekaligus penyimpangan (crime is deviance) dengan melihat unsur-unsur serta aspek dalam pemahaman Ward et.al tentang penyimpangan dan kejahatan yaitu Pelaku (actor) dan Tindakan (acts), norma dan reaksi. Kata kunci: Penyimpangan, Kejahatan, Unjuk Rasa. ABSTRACT David Ward, Timothy J. Carter and Robin D. Perrin (1994) are researchers who describe the concept of social deviance and crime in social interaction and conception of subjectivist and objectivist aspects. Ward et. al concept is applied to discourse a demonstration against the raise of fuel and collective violence which involved a group of university student and police officers resulting several wounded victims and damage of property on March 29 2012 at Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta. This writing concludes that the occurrence of demonstration and collective violence can be categorized as crime, as well as deviance (crime is deviance) by examining the elements and aspects according to the understanding of Ward et. al about deviance and crime which includes Actor, Acts, Norm, and Reaction. Keywords: Deviance, Crime, Demonstration
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
2
Pendahuluan Memahami beragam
masyarakat dan perilakunya adalah pendekatan yang banyak
dilakukan ahli sosiologi dalam memahami gejala sosial. Penyimpangan dan kejahatan adalah bagian perilaku dari
gejala sosial dimasyarakat. Menurut Chris Bader et.al, penyimpangan
merupakan bidang yang menarik serta menawarkan wawasan yang unik dalam memahami perilaku manusia (Bader et.al, 1996: 320). Gejala sosial ini adalah permasalahan dalam masyarakat yang kemudian menarik peneliti sosial untuk memahaminya. Konteks penyimpangan dan kejahatan adalah bagian yang menjadi perhatian para peneliti dalam melihat hal tersebut sebagai gelaja sosial. Salah satunya adalah David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) yang melihat kejahatan dan penyimpangan dalam perspektif interaksionisme. David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) menjabarkan bagaimana ilmu sosial menjelaskan konsepsi penyimpangan sosial dan juga kejahatan pada tulisan mereka yang berjudul Social deviance: Being, Behaving, and Branding. Topik pembahasan utama dalam tulisannya David Ward et.al adalah apa yang dimaksud dengan penyimpangan sosial. Aspek cara mengindentifikasi dan landasan berbagai pandangan tentang konsep penyimpangan adalah hal yang menjadi perhatian dalam tulisannya. Disamping itu Ward et.al (1994) juga menjelaskan konsep kejahatan dengan menggunakan beberapa aspek yang sama serta memberikan perbandingkan antara kejahatan dan penyimpangan. Dalam memperjelas identifikasi tentang konsepsi penyimpangan, David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) mengacu pada beberapa hal, diantaranya bagaimana konsep penyimpangan dilihat menggunakan aspek interaksi sosial serta konsep subjektivis dan objektivis. Perspektif ini yang menjadi peta berfikir dalam penulisan ini, yaitu Bagaimana konsep Ward et.al di aplikasikan pada gejala sosial seperti peristiwa unjuk rasa. Terkait hal ini, bagaimana pemahaman Ward et.al berkaitan dengan konsep kejahatan dan penyimpangan bila digunakan untuk membahas peristiwa unjuk rasa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga terjadi kekerasan kolektif yang terjadi pada tanggal 29 Maret 2012 di kawasan jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta Pusat yang melibatkan sekelompok mahasiswa dengan pihak kepolisian dan berdampak korban luka serta kerusakan property.
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
3
Penyimpangan dan kejahatan menurut David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) Menurut David Ward et.al (1994) “Deviance is a personal attribute or a behavior that result in social disapproval from others”, artinya, penyimpangan adalah atribut seseorang atau suatu perilaku yang menghasilkan penolakan sosial dari orang lain (Ward et.al, 1994:3). Dalam penelitiannya, David Ward et.al (1994) menjelaskan tiga aspek interaksi sosial sebagai indikator konsep penyimpangan. Aspek-aspek interaksi sosial ini meliputi pelaku (actor) dan tindakannya (acts), norma (norms) dan reaksi sosial (social reactions). Dalam aspek pelaku (actor) dan tindakannya (acts) (Ward et.al, 1994:4). Penyimpangan merupakan penilaian dari berperilaku atau bertindak dan juga berdasarkan label pelaku (actor). Seperti tindakan kriminal atau jahat (seperti membunuh, memperkosa dll) merupakan label yang dinobatkan masyarakat sebagai penyimpangan, artinya tindakan (acts) menjadi justifikasi yang langsung menjelaskan bahwa tindakan tersebut adalah penyimpangan Pada aspek selanjutnya yaitu norma (norms), Menurut Ward et.al norma (norms) adalah suatu keadaan yang diingikan atau tidak diinginkan oleh masyarakat. Pedapat ini merupakan adopsi dari pendapat Meier (1981) yang menjelaskan norma merupakan harapan untuk berperilaku dan evaluasi dalam berperilaku. Harapan merujuk bagaimana orang-orang akan bertingkah laku atau berprilaku sedangkan evaluasi merujuk bagaimana orang-orang harus bertingkah laku ataupun berperilaku (Ward et.al, 1994: 5). Hal inilah yang juga dijelaskan lebih jauh dalam pemikiran Ward et.al (1994) bahwa Berkaitan hal tersebut, aspek reaksi sosial (social reactions) menjadi aspek selanjutnya dalam memahami konsep penyimpangan. Menurut pendapat David Ward et.al bahwa reaksi masyarakat dianggap penting dalam menentukan penyimpangan perilaku sebagai suatu gejala sosial. Ward et.al dalam tulisannya membedakan reaksi dalam dua bentuk yaitu reaksi formal dan reaksi informal. Reaksi formal merujuk pada hukuman atau sanksi yang diatur oleh negara atau lembaga resmi lainnya. Sedangkan reaksi informal merujuk kepada reaksi sekelompok masyarakat yang berasal dari sumber tidak resmi seperti anggota masyarakat (Ward et.al, 1994: 5-6). Disisi lain dalam penafsiran dan penilaian tentang konsep penyimpangan, Ward, Carter dan Perrin (1994) juga menggunakan dua sisi sudut pandang dalam mengindentifikasi dan
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
4
melakukan penilaian. Ada dua aliran konsep menurut David Ward et.al tentang penyimpangan sosial yaitu pandangan konsep objektivis dan konsep subjektivis. Secara garis besar Ward et.al mencoba memberikan pandangannya terhadap dua aliran tersebut yang dianggapnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Konsep objektivis menilai perilaku menyimpang adalah suatu “tindakan” sedangkan pada konsep subjektivis menilai perilaku menyimpang adalah suatu “label” (Ward et.al, 1994:16). Selanjutnya Ward et.al (1994), memberikan pandangannya dalam memahami dan membedakan antara kejahatan dan perilaku menyimpang. Berdasarkan kajian aspek interaksi sosial serta konsep objektivis dan subjektivis, Ward et.al memberikan batas penyimpangan dan/atau kejahatan dengan 4 aspek yaitu pelanggaran undang-undang (Violation of formal laws), pelanggaran norma informal/sosial
(Violation of informal norms), sanksi hukum formal
(Sanctions as formal legal punishments) dan sanksi sosial (Sanctions as infomal social disapproval). Dalam menjelaskan hubungan antara kejahatan dan perilaku
menyimpang
berdasarkan faktor unsur tersebut, David Ward et.al (1994) menjelaskannya kedalam tiga bentuk, yaitu kejahatan sekaligus penyimpangan (Crime is deviance), kejahatan bukan termasuk penyimpangan (Crime is not deviance) dan penyimpangan bukan termasuk kejahatan (Deviance is not crime) (Ward et.al, 1994:16). Tabel I.1 Konsep penyimpangan, kejahatan dan pelanggaran hukum Ward et.al
I II III
Crime is Deviance Crime is Not Deviance Deviance is Not Crime
Sanctions
Sanctions
As Formal
As Informal
Legal
Social
Violation of
Violation of
Formal
Informal
Laws
Norms
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Punishments Disapproval
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
5
Pertama Crime is deviance adalah tindakan ini lebih dikenal sebagai sebuah kejahatan yang umumnya ditandai dengan tindakan reaksi masyarakat (reaksi infomal) dan reaksi formal (negara). Seperti seseorang yang melakukan suatu tindakan memperkosa, membunuh dll. Ward et.al (1994) menjelaskan suatu kejahatan bisa dikatakan sebagai tindakan menyimpang jika tindakan tersebut melanggar norma-norma hukum, dikenakan sanksi hukum, dan tidak diterima secara sosial informal. Kedua Crime not is deviance adalah suatu tindakan dianggap kejahatan namun tidak dianggap sebagai perilaku menyimpang. Tindakan ini lebih dikenal sebagai bentuk pelanggaran hukum, Namun walaupun tindakan ini bukan sebagai kejahatan yang berat tetap saja tindakan ini dikatakan sebagai kejahatan. Dalam membedakannya Ward et.al (1994) menjelaskan bahwa tindakan ini tidak terdapat bentuk reaksi informal di dalamnya. ketiga Deviance is not crime adalah tindakan yang merupakan contoh perilaku menyimpang, namun bukan kejahatan (Deviance is Not Crime). Tindakan ini yang umunya banyak dikenal sebagai perilaku menyimpang yang karakteristiknya dilihat dari pelanggaran norma-norma informal yang ada di masyarakat dan penolakan sosial informal adalah satu-satunya sanksi yang dikenakan (David Ward et.al, 1994: 15-17). Kasus Unjuk Rasa Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta yang terjadi pada Tanggal 29 Maret 2012 Rencana kebijakan Pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April 2012 menuai banyak protes. Konsolidasi masyarakat dalam aksi unjuk rasa menjadi pilihan sejumlah pihak untuk mengekspresikan penolakan kebijakan ini. Hakekatnya unjuk rasa merupakan suatu bentuk ekspresi dalam
menyampaikan pendapat dimuka umum berkaitan
dengan tuntutan terhadap sesuatu. Pengertian ini merujuk pada Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang terdapat pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Unjuk rasa atau demostrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum”
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
6
Menurut Hasse, faktor pemicu timbulnya unjuk rasa merupakan faktor yang muncul berdasarkan kegelisahan mahasiswa menyaksikan berbagai penyimpangan dan penderitaan dikalangan masyarakat yang harus disuarakan (Hasse, 2012: 46). Berdasarkan pendapat ini, unjuk rasa merupakan manifestasi dari kegelisahan yang kemudian bergerak dalam sebuah aksi kolektif. Hal ini yang kemudian dijelaskan oleh Tilly (1978) tentang komponen-komponen dari terjadinya aksi kolektif yaitu adanya kepentingan, organisasi, mobilisasi, kesempatan dan aksi kolektif itu sendiri. Keseluruhan komponen ini bergerak secara akumulatif maka akan menghasilkan tingkah laku kolektif. (Tilly 1978: 7). Secara hukum, demokrasi Indonesia melegalkan hal tersebut sebagai bentuk hak konstitusi warga negara. Hal ini dijamin di dalan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum pada pasal 2, yaitu ayat : (1) Setiap warga negara secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai wujud dan rasa tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Demokrasi Pancasila. (2) Penyampaian pendapat di muka umum secara lisan dan atau tulisan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini. Namun, ada mekanisme yang secara hukum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara aksi unjuk rasa. Kebebasan bukan berarti pemahaman tanpa batas. Unjuk rasa dengan mekanisme yang benar serta masih dalam koridor hukum akan ditanggapi sebagai komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi sebagai hak rakyat. Terkait beberapa aksi unjuk rasa yang berlangsung, tanggal 29 Maret 2012 menjadi salah satu aksi unjuk rasa yang banyak menarik perhatian media masa, masyarakat dan pihak kepolisian. Aksi unjuk rasa ini adalah salah satu bentuk protes yang dilakukan oleh mahasiswa terkait isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diputuskan pada April 2012, dimana unjuk rasa berakhir bentrok terbuka antara pihak kepolisian dan mahasiswa di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta. Sebelumnya aksi ini merupakan unjuk rasa yang berlangsung damai hingga sore hari. Menjelang malam, aksi ini masih terus berlangsung namun dengan jumlah massa yang sedikit.
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
7
Mereka melakukan orasi di depan kampus UKI yang dalam orasinya menolak kenaikan harga BBM, aksi unjuk rasa ini melumpuhkan arus lalu lintas di jalan Diponegoro, Jakarta pusat (Merdeka.com[1]). Dalam pemberitaan di Merdeka.com yang ditulis oleh Eko Prasetya pada tanggal 29 maret 2012, disebutkan sekitar pukul 19.40 WIB aksi kemudian berlanjut dengan melakukan pembakaran Ban ditengah jalan yang juga menjadi aksi para mahasiswa melakukan pemblokiran jalan Diponegoro menuju salemba (Merdeka.com[1]). Aksi ini kemudian memicu reaksi polisi untuk membubarkannya karena dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Peristiwa ini mendorong polisi bersikap lebih reponsif dengan menangkap mahasiswa yang dianggap memprovokasi aparat polisi. Salah seorang pengunjuk rasa dari mahasiswa YAI diamankan pihak keamanan karena dianggap memprovokasi aparat kepolisian. Aksi penangkapan ini lalu memicu reaksi mahasiswa yang kemudian menyerang pihak polisi hingga terjadi bentrok fisik yang kemudian situasi menjadi “chaos” (Kompas.com[2]). Mahasiswa dan polisi mulai saling memberikan perlawanan hingga bentrok fisik tidak terhindarkan. Bahkan dalam artikel berita Merdeka.com yang ditulis Eko Prasetya pada tanggal 29 maret 2012, digambarkan mahasiswa terlihat lebih agresif dengan tindakan mahasiswa memukul kopaja yang melintas dan mengejar seseorang pria yang dianggap sebagai mata-mata polisi, namun beruntung pria tersebut dapat menyelamatkan diri (Merdeka.com[1]). Mahasiswa juga menunjukan aksi agresifnya terhadap aparat polisi dengan lontaran salah satu peserta unjuk rasa yang mengajak “duel” perwira polisi (Merdeka.com[1]). Disamping itu dalam proses pengamanan kemudian, Satu mobil Resmob Polda Metro Jaya yang terjebak dalam aksi blokade ini, diserang dan dibakar oleh mahasiswa. Terkait hal ini, menurut Adrianus Meliala secara kondisional telah mengalami deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis diluar rasionalitas individual dari pelaku (Adrianus Meliala, 2001:7). Hal ini mendorong setiap individu yang tanpa disadari mengikuti arus “crowd” yang membawa individu mengkuti tindakan kelompok termasuk reaksi dari setiap perilaku individunya. Menurut Hasse sikap mahasiswa yang menjurus pada tindakan kekerasan dinilai telah melenceng dari kapasitas mereka sebagai kaum terpelajar yang seharusnya menyampaikan aspirasi dengan bijak melalui cara-cara yang elegan, bukan dengan cara-cara yang terkesan memaksakan kehendak (Hasse, 2012: 47). Disamping itu seharusnya mahasiswa tahu cara
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
8
memposisikan keberadaannya ketika melakukan aksi unjuk rasa. Terkait hal ini mahasiswa diposisikan dalam dua kondisi yaitu mahasiswa sebagai individu dan mahasiswa sebagai kelompok. Mahasiswa sebagai individu adalah orang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan mahasiswa sebagai kelompok merupakan bagian dari civil society (Hasse, 2012). Disamping itu tindakan mahasiswa ini telah memasuki ranah hukum bahwa tindakan pengerusakan dan kekerasan lainnya menurut hukum di Indonesia merupakan pelanggaran hukum yang tertulis dalam KUHP pasal 170 dan pasal 406, berbunyi : Pasal 170 (1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama Pasal 460 (2) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kasus ini memperlihatkan bahwa mahasiswa sangat rentan berani melawan institusi polisi dengan melakukan aksi yang memiliki resiko ditahan dan ditangkap akibat melakukan perbuatan penyerangan, perusakan, pembakaran dll. Kondisi ini juga menggambarkan mahasiswa yang secara agresif memberikan perlawanan tanpa mempertimbangkan resiko luka, cedera, ditangkap bahkan kematian. Terkait hal ini menurut pendapat Rule bahwa tingkah laku massa ini seolah merupakan kelompok irasionalitas yang melihat bahwa tindakan massa tidak dilandasi oleh pertimbangan rasionalitas (Rule, 1988: 92). Sikap mereka nampak begitu terlihat militan dengan mempertahankan eksistensinya hingga kemudian peristiwa ini mendorong aksi solidaritas mahasiswa lain untuk bergabung. Hal ini di gambarkan dalam berita Merdeka.com yang terbit pada tanggal 29 Maret 2012, yaitu aksi yang awalnya berlangsung hanya berupa orasi dari beberapa mahasiswa yang kemudian terjadi bentrok, memicu aksi mahasiswa lain untuk bergabung melawan aparat polisi. Selain itu aksi ini memperlihatkan bagaimana mahasiswa bersifat brutal yang sudah lepas dalam tujuan awal melakukan unjuk rasa sebagai bentuk dari protes kenaikan harga BBM. Aksi perlawanan ini ditunjukan dengan melakukan penyerangan ke arah aparat polisi, pos polisi hingga merusak dan membakar salah satu motor milik dari anggota polisi (Merdeka.com[2]). Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
9
Bergabungnnya mahasiswa lain yang kemudian situasi ini menjadi lebih luas lagi, menunjukan identitas kolektif mahasiswa kuat. Indentitas kolektif (Collective identification) adalah gambaran yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok tertentu tentang diri mereka sendiri, bahwa mereka merupakan bagian atau anggota atau bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok itu. Dengan terbentuknya identitas kolektif, tumbuh kepatuhan dan konformitas terhadap massa dan muncul pula perbedaan yang tegas antara ingroup (para partisipan dalam massa) dan outgroup (anggota kelompok lain) (Abidin, 2005:54). Kondisi ini pula yang menegaskan pendapat De La Roche (2001) tentang Why is collective violence collective? bahwa kolektivitas dari kekerasan kolektif karena adannya keberpihakan (partisanship) yang kuat. Roche menjelaskan keberpihakan (partisanship) muncul karena adannya pihak ketiga serta adannya dukungan terhadap satu pihak, lalu adannya rasa solidaritas diantara mereka
dan adannya
kesenjangan terhadap pihak lain (De La Roche, 2001: 126). Dalam artikel berita yang ditulis Yulistyo Pramono pada tanggal 29 Maret 2012, Terkait peritiwa ini setidaknya data korban yang artikel berita menyebutkan bahwa 8 orang menjadi korban bentrok antara aparat polisi dan mahasiswa. Korban diantaranya 6 orang merupakan mahasiswa, satu korban adalah satpam kampus YAI yang terkena tembakan dibagian paha dan satu korban adalah Kapolsek senen. Jatuhnya korban dari pihak polisi yaitu Iman Zebua yang merupakan Kapolsek Senen serta dibakarnya satu mobil Resmob milik Polda Metro Jaya, mendorong reaksi keras dari institusi polisi dengan menangkap dan mengejar pelakunya. Dalam arikel berita Kompas.com yang ditulis oleh Sabrina Asril pada tanggal 29 maret 2012, Kepala Polsek Metro Senen, Komisaris Iman Zebua mengalami luka patah rusuk dibagian dada saat terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian (Kompas [3]). Dalam artikel Kompas.com lainnya yang terbit pada tanggal 29 maret 2012, dibakarnya mobil Resmob Polda Metro Jaya, jatuhnya korban baik dari pihak polisi dan mahasiswa kemudian melandasi polisi menggerebek kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang diduga menjadi markas para demonstran. Dalam penggerebekannya, polisi menyita bom molotov, poster, kain, batu, dan bendera berlambang Nazi dari para mahasiswa (Kompas.com [5]). Penemuan barang bukti serta melihat dampak dari aksi unjuk mahasiswa tersebut menyebabkan reaksi tegas polisi dengan menangkap para mahasiswa yang bersembuyi di kantor
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
10
YLBHI yang serta menetapkan mereka sebagai tersangka dengan dijerat Pasal 170 KUHP tentang Perusakan (Kompas.com [4]). Penggerebekan YLBHI nyatanya menuai kecaman dari beberapa tim advokasi mahasiswa dan rakyat dengan mendatangi Polda Metro Jaya untuk menuntut dibebaskannya para mahasiswa yang ditahan aparat kepolisian pascabentrok di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta Pusat (Kompas.com[5]). Diberitakan sebelumnya, aparat kepolisian menangkap 53 mahasiswa yang diduga terlibat dalam bentrokan antara aparat kepolisian di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat (Kompas.com,[5]). Aksi protes dari lembaga YLBHI kemudian direspon oleh polisi dengan melakukan penyelidikan lebih dalam yang akhirnya dalam proses tersebut membebaskan sejumlah mahasiswa, disamping itu menetapkan dua mahasiswa yang dianggap bertanggung jawab dalam aksi. Dalam pemeriksaan lebih lanjut polisi menemukan bukti bahwa ada dua orang yang secara hukum bertanggung jawab terkait aksi kerusakan mobil Resmob Polda Metro Jaya. Keduanya ditahan karena terbukti merusak dan membakar mobil Resmob Polda Metro Jaya. Dua mahasiswa itu yakni Ahmad Suliana, mahasiswa semester II Universitas Satyanegara yang ditengarai membakar mobil Resmob Polda Metro Jaya, serta Syahril, mahasiswa Universitas Tadulako, Palu, yang diduga menggulingkan mobil (Kompas.com[4]). Pembahasan Di Indonesia, unjuk rasa merupakan wujud
hak individu atau kelompok dalam
menyampaikan aspirasinya dimuka umum sebagai masyarakat demokrasi. Fungsinya sebagai ruang kontrol pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Dengan kata lain unjuk rasa merupakan salah satu bentuk pengawasan langsung oleh rakyat terhadap kinerja pemerintah. Ekspektasi bahwa dengan unjuk rasa, apa yang menjadi aspirasi akan dapat diketahui dan didengar, yang kemudian diharapkan pemerintah akan mengubah kebijakannya. Kasus unjuk rasa hingga anarkis yang terjadi di jalan Diponegoro, Jakarta pada tanggal 29 Maret 2012 merupakan contoh Proses berlangsungnya unjuk rasa yang melenceng dari dari mekanisme hukum dan tujuan mahasiswa hingga berdampak pada sikap protes yang keras dengan hal-hal yang mengganggu ketertiban. Selain itu kekerasan
menjadi pilihan hingga
melupakan tujuan sesungguhnya melakukan unjuk rasa. Kesenjangan ini mendorong aksi yang “tidak seharusnya” dilakukan oleh mahasiswa. Apalagi situsi mengarah pada kekerasan kolektif
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
11
yang menjadikan keadaan chaos dan anarki hingga menimbulkan korban jiwa yang mengarahkan tindakan mereka sebagai kejahatan. Aspek Interaksi Sosial Aksi unjuk rasa yang berakhir anarkis adalah pilihan mahasiswa yang membawa hal ini dalam permasalahan baru. Dalam pespektif interaksi sosial, aksi anarkis merupakan situasi yang terbentuk akibat kesenjangan interaksi diantara kelompok. David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) melihat aspek interaksi sosial dalam tigal hal, yaitu pelaku (actor) dan tindakannya (acts), norma (norms) dan reaksi sosial (social reactions). Secara individu mahasiswa merupakan pelajar atau orang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Status ini menunjukan bagaimana mereka harusnya berperilaku. ketika hal ini dikaitkan kepada bentuk unjuk rasa maka secara individu, tindakan mereka yang berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa merupakan penyimpangan. Norma mereka secara individu yang seharusnya bagaimana menjadi orang memiliki intelektual dan berpendidikan, ketika mereka berpartisipasi dalam unjuk rasa maka hal ini secara “norma” tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Secara kelompok , mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat sosial memiliki pandangan bahwa mereka adalah masyarakat. Artinya ketika kondisi mereka membaur dalam komunitas masyarakat maka status mereka adalah masyarakat. Dalam kontek ini, mereka sementara melepas atribut simbol mereka sebagai mahasiswa. Ketika mereka melakukan unjuk rasa, maka kacamata yang digunakan berbeda. Hakekatnya unjuk rasa merupakan penyimpangan, maka situasi ini menurut ward dinilai apakah penyimpangan itu berdampak positif atau negatif . Dalam konteks di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi serta menilai bahwa menyampaikan pendapat umum (unjuk rasa) dijamin secara kontitusional, maka tindakan mereka secara hukum bukanlah penyimpangan. Dalam pandangan objektivis yang melihat konsep penyimpangan pada perspektif “tindakan” (acts), artinya perspektif ini terkait bagaimana melihat penyimpangan dalam konteks hukum formal dan norma sosial. Dalam konteks hukum formal, perilaku mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa, secara hukum bukan merupakan pelanggaran hukum. Sedangkan dalam konteks norma sosial, pada hakekatnya unjuk rasa merupakan perilaku menyimpang Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
12
karena disadari atau tidak, perilaku kolektif ini secara langsung atau tidak langsung mengganggu ketertiban dan kenyamanan serta hak orang lain. Dalam pandangan subjektivis yang melihat konsep penyimpangan pada perspektif “label”, artinya perspektif ini melihat penyimpangan dalam konteks pandangan seseorang terhadap orang lain atau tindakannya. Manusia secara kutural memiliki konsepsi tersendiri terhadap bentuk-bentuk tindakan dan pelaku yang dianggap menyimpang. Dalam hal ini, konsep subjektivis menilai penyimpangan berdasarkan reaksi yang muncul. Penekanan konsep subjektivis terkait hal ini melihat penyimpangan dari reaksi yang ditandai dengan bentuk sanksi, baik itu sanksi hukum formal dan sanksi sosial. Proses berfikir ini berkaitan dengan mahasiswa sebagai individu dan mahasiswa sebagai kelompok. Namun, ketika mengacu kepada “tindakan” mahasiswa yang menjurus kepada kekerasan dalam kontek melukai orang lain dan hal-hal yang bersifat destruktif tentunya dalam “kacamata” masyarakat secara umum, tindakan tersebut memiliki “label” sebagai bentuk penyimpangan. Penyimpangan, Pelanggaran Hukum dan Kejahatan Kasus demostrasi kenaikan harga BBM di Jalan Diponegoro pada tanggal 29 Maret 2012 merupakan bentuk kebebasan berpendapat, namun proses unjuk rasa berujung pada bentrokan antara mahasiswa dengan aparat polisi. Aksi unjuk rasa hingga bentrok fisik menjadikan hal ini sebagai gejala sosial. Disadari atau tidak, kekerasan ini mengarah sebagai bentuk kejahatan. Hal ini berdasarkan pada pendapat awal yang penulis adopsi dari Ward el.al (1994) bahwa kejahatan adalah perilaku yang bersifat melanggar hukum dan juga melanggar norma serta menimbulkan reaksi atas pelanggaran tersebut. Melihat kasus ini dalam persepktif hukum di Indonesia, kasus unjuk rasa yang terjadi di jalan Diponegoro pada tanggal 29 Maret 2012, menunjukan sebagai tindakan pelanggaran hukum. Pendapat ini dinilai berdasarkan konten dalam uraian kasus bahwa bentuk penyerangan yang menimbulkan kerusakan, ditambah aksi unjuk rasa yang berlangsung hingga malam hari, menurut undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pada pasal 8 (c) yang menyebutkan penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilaksanakan pada “malam hari”. Artinya sejauh ini perilaku kolektif mahasiswa dalam
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
13
melakukan unjuk rasa hingga malam hari adalah perilaku yang menyimpang dan melanggar hukum. Disamping itu kasus ini juga menunjukan bagaimana unjuk rasa yang dilakukan menggangu ketertiban umum. Aksi mahasiswa pada kasus ini yang melakukan untuk rasa dengan membakar ban serta perilaku mereka yang mencoba memblokir jalan umum menunjukan ketidakdewasaan mereka untuk patuh pada mekanisme hukum dan menghargai hak orang lain. Perilaku ini menambahkan bentuk dari perilaku menyimpang bahkan pelanggaran hukum. Respon polisi dengan mengamankan para mahasiswa serta membubarkan aksi mahasiswa merupakan hal yang “normal” karena menunjukan bahwa ada reaksi terkait tindakan penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam aksi unjuk rasa ini. Jika melihat pendapat ward et.al (1994), Sikap keras mahasiswa yang dianggap memprovokasi aparat polisi dengan perilakunya yang terlihat tidak terkontrol dan seolah bertindak “tanpa aturan” yang kemudian aksi ini direspon oleh aparat polisi dengan tindakan represif bahkan pengangkapan adalah bentuk interaksi yang terjadi. Perspektif polisi melihat tindakan mahasiswa sudah diluar batas, kondisinya juga (malam hari) bukan kondisi yang tepat untuk melakukan orasi unjuk rasa. Disamping itu, perilaku mahasiswa yang seolah bertindak tanpa melihat hukum dan norma terlihat dalam proses unjuk rasa yang bersifat agresif seperti menyerang kopaja serta mengajak duel aparat polisi. Perilaku individu yang terbungkus dalam suasana kolektif dalam satu identitas memproyeksikan kelompok tersebut. Seperti pemberitaan pada Merdeka.com yang ditulis oleh Eko Prasetya pada tanggal 29 maret 2012 yang menyebutkan “seorang mahasiswa mengajak duel perwira polisi” (Merdeka.com[1]). Secara kontektual aksi ini merupakan perilaku individu terlihat penggunaan kata “seseorang”, namun karena situasi ini dalam sebuah perilaku kolektif maka tindakan tersebut merepresentasikan kelompok tersebut. Hal ini juga memperlihatkan pudarnya nilai norma dalam diri setiap individu yang tanpa disadari arus “crowd” membawa individu mengkuti tindakan kelompok termasuk reaksi dari setiap perilaku individunya. Menurut hemat penulis, hal ini sesuai dengan apa yang menjadi konsep penyimpangan dari Ward et.al (1994) bahwa emosi yang dikeluarkan mahasiswa pada kasus unjuk rasa ini dalam koridor norma masyarakat telah keluar dan menyimpang. Perilaku
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
14
kekerasan yang mahasiswa tampilan merupakan suatu bentuk hilangnnya sikap irasional sehingga perilaku beringas menjadi bentuk sikap agresif yang destruktif. Kasus ini juga memperlihatkan bahwa mahasiswa sangat rentan berani melawan institusi polisi dengan melakukan aksi yang memiliki resiko ditahan dan ditangkap akibat melakukan perbuatan penyerangan, perusakan, pembakaran. Hal ini menunjukan bagaimana perilaku (acts) mahasiswa telah keluar dari koridor sebagai mahasiswa serta menjadi landasan penegasan bahwa aksi ini adalah pelanggaran hukum yang mengarahkan sebagai kejahatan. Pihak kepolisian yang terpaksa mengeluarkan tembakan peringatan merupakan bentuk respon yang lagi-lagi sebagai reaksi dari tindakan mahasiswa yang dianggap penembakan menjadi sanksi yang “pantas” dilakukan. Tentu koridornya harus jelas dengan mekanisme aturan yang ada di dalam internal polisi. Namun jika melihat hal ini dalam interaksi sosial, maka tindakan polisi mengeluarkan tembakan peringatan merupakan situasi yang mendukung tugasnya. Artinya penggunakan senjata api oleh anggota polisi merupakan tindakan yang legal, disamping ada batas-batas penggunaannya (aturan). Melihat pula situasi ini bukan lagi sebagai bentuk unjuk rasa dan demonstrasi, namun merupakan aksi kolektif yang anarkis yang dapat mengarahkan pada bentuk kerusuhan. Ditambah lagi dalam kasus ini, korban bukan hanya dari kerusakan yang menimbulkan kerugian namun juga korban luka fisik. Dalam artikel berita Merdeka.com pada tanggal 29 maret 2012, tercatat korban dalam kasus ini secara luka fisik 8 orang, dimana 1 orang merupakan warga sipil (satpam YAI), 1 orang dari anggota polisi (Kapolsek senen) dan 6 orang merupakan mahasiswa (Merdeka.com [3]). Reaksi keras yang “represif” dalam menanggapi aksi unjuk rasa ini adalah sebuah respon yang secara korelatif menunjukan bahwa polisi memiliki ketegasan untuk mencegah aksi ini tidak lebih banyak menimbulkan korban. Asumsi ini juga menggambarkan bahwa aksi mahasiswa dengan segala tindakannya telah merepresentasikan diri mereka pelanggar hukum. Disamping itu, timbulkan korban baik fisik dan juga kerugian yang berasal dari aparat polisi dan juga masyarakat, mendukung pula respon polisi yang kemudian melakukan penggerebekan ke dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indoensia (YLBHI). Jika menggunakan pemahaman Ward et.al, melihat perilaku mahasiswa selama proses unjuk rasa, menurut konsep objektivis maka posisi mahasiswa adalah “pelaku” (actor) yang dianggap sebagai
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
15
menyimpang dan melanggar hukum. Oleh karena itu tindakan polisi melakukan penggerebekan sebagai reaksi terhadap tindakan menyimpang dan melanggar yang dilakukan
mahasiswa.
Penangkapan yang polisi lakukan terhadap 53 mahasiswa dalam penggerebekan di YLBHI juga merupakan reaksi tegas polisi melihat aksi ini telah memasuki pada ranah hukum dan butuh pula penindakan atau respon berupa sanksi hukum. Namun reaksi YLBHI juga memiliki alasan yang “normal” jika di lihat dalam perspektif interaksionisme dari pemikiran ward et.al (1994) bahwa penangkang 53 mahasiswa yang dilakukan polisi tidak menunjukan bukti bahwa semua mahasiswa yang ditangkap melakukan “pelanggaran hukum”. Artinya Kecaman dari YLBHI (beberapa tim advokasi mahasiswa dan rakyat) dengan mendatangi Polda Metro Jaya untuk menuntut dibebaskannya 53 mahasiswa yang ditahan aparat kepolisian pascabentrok di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakara adalah bentuk reaksi dari penyimpangan yang polisi lakukan, artinya ada unsur menyimpang terkait penangkapan tersebut. Menurut penulis dalam kacamata interaksi sosial Ward el.al, polisi secara prosedural tidak melakukan penyimpangan, namun secara subjek hukum, tidak semua mahasiswa yang ditangkap melakukan pengerusakan dan pembakaran, tidak semua dari 53 mahasiswa menyerang kalposek, artinya jerat hukum dengan pasal UU 170 KUHP kepada 53 mahasiswa adalah tindakan yang dianggap menyimpang. Kondisi ini yang kemudian ditanggapi secara positif oleh polisi dengan melakukan pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap 53 mahasiswa yang ditangkap. Hal ini yang kemudian direspon oleh polisi dengan membebaskan sejumlah mahasiswa yang ditahan, namun dalam pemeriksaan lebih lanjut polisi menemukan bukti bahwa ada dua orang yang secara hukum bertanggung jawab terkait aksi kerusakan mobil Resmob Polda Metro Jaya. Keduanya ditahan karena terbukti merusak dan membakar mobil Resmob Polda Metro Jaya. Hal inilah yang menggambarkan situasi yang benar dalam menjelaskan respon polisi terkait kasus tersebut. Bagaimana unsur tindakan adalah bentuk pelanggaran hukum seperti pengerusakan dan pembakaran. Tindakan ini berkolerasi juga kepada bentuk yang menyimpang. Terkait hal ini keputusan pihak polisi menahan 2 orang yang terbukti melakukan pengrusakan dan pembakaran merupakan sanksi terhadap tindakan yang mahasiswa lakukan. Hal ini yang kemudian merepresentasikan secara kolektif bahwa kelompok mahasiswa yang melakukan unjuk rasa di jalan Diponegoro pada tanggal 29 maret 2012 sebagai kelompok yang menyimpang serta melanggar hukum. Disamping itu tindakan “pengeroyokan” hingga korban mengalami luka
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
16
(patah tulang) yang mahasiswa lakukan terhadap seorang anggota polisi yang notabene adalah Kapolsek Senen menunjukan hal ini sebagai bentuk kekerasan yang dapat di interpretasikan sebagai “kekerasan kolektif”. Kesimpulan Unjuk rasa bahan bakar minyak (BBM) hingga terjadi kekerasan kolektif yang terjadi pada tanggal 29 maret 2012 di kawasan jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta pusat yang melibatkan sekelompok mahasiswa dengan pihak kepolisian dan berdampak korban luka serta kerusakan property, Berdasarkan David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) dalam kasus unjuk rasa itu, menunjukan bahwa peristiwa ini mengandung unsur penyimpangan, pelanggaran hukum, dan kejahatan. Dalam penulisan ini menunjukan bahwa aspek Pelaku (actor) yaitu mahasiswa secara konsep subjektivis, perilaku mahasiswa tidak sesuai dengan harapan atau atribut yang melekat kepadanya. Tindakan unjuk rasa menurut pandangan ini tidak pantas dilakukan mahasiswa dengan menggunakan atribut sebagai mahasiswa dan hal ini adalah menyimpang. Tindakan penyerangan dan pengerusakan (acts) yang mahasiswa lakukan, menunjukan bahwa perilaku ini telah menjadi bagian yang melanggar norma serta kontitusi hukum undangudang yaitu Kitab undang-undang hukum pidana serta undang-undang tentang penyampaian pendapat diruang publik. Tindakan ini menunjukan bahwa tindakan (acts) yang mahasiswa lakukan merupakan bentuk yang menyimpang dan menunjukan pelanggaran hukum. Penangkapan (reaction) yang dilakukan aparat polisi menunjukan reaksi dari interaksi antara polisi dan mahasiswa karena perilaku mahasiswa telah mengarah sebagai pelanggaran hukum. Berdasarkan hal ini dalam peristiwa unjuk rasa tersebut, berdasarkan pemikiran David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) tentang 4 aspek yang menjelaskan konsep penyimpangan dan kejahatan, maka peristiwa unjuk rasa dalam kasus ini terdapat unsur yang memiliki dan mewakili masing-masing aspek dari pelanggaran undang-undang (Violation of formal laws), pelanggaran norma informal/sosial (Violation of informal norms), sanksi hukum formal (Sanctions as formal legal punishments) dan sanksi sosial (Sanctions as infomal social disapproval).
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
17
Kasus unjuk rasa mahasiswa di jalan
Violation of
Violation of
Diponegoro,
Formal
Informal
Salemba tanggal
Laws
Norms
v
v
29 maret 2012 I
Crime is Deviance
Sanctions
Sanctions
As Formal
As Informal
Legal
Social
Punishments Disapproval v
v
Kesimpulan dalam penulisan ini bahwa unjuk rasa bahan bakar minyak (BBM) hingga terjadi kekerasan kolektif yang terjadi di kawasan jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta pada tanggal 29 Maret 2012 bila dipahami dalam pemikiran David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) tentang tiga kemungkinan dalam menjelaskan konsep penyimpangan dan kejahatan maka terlihat pada tabel diatas bahwa peritiwa ini dapat dikatakan sebagai kejahatan sekaligus penyimpangan (Crime is deviance).
Daftar Pustaka Abidin, Zainal, (2005). Penghakiman massa : Kajian Atas Kasus dan Pelaku, Jakarta: Accompli Publishing. Adrianus Meliala, (2001) Perilaku Kolektif dan Tindakan Anakis: perspektif kepolisian, Jurnal kriminologi Indonesia Vol 1 No. III Juni 2001: 7-13 Chris Bader, Paul J. Becker and Scott Desmond, (1996) Reclaiming deviance as a unique course from criminology, Teaching sociology, vol. 24 No. 3 (Jul 1996), pp 316-320, Published by: American Sociological Association , URL: http://www.jstor.org/stable/1318747. De La Roche, (2001), Why is collective violence collective? Sociological theory, vil.19, No.2 (pp 126-144), Published by American Sociological Association, URL: http://www.jstor/stable/3108628 Hasse J. (2012) Anarkisme Demostrasi Mahasiswa: Studi Kasus Pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar: Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari 2012 Rul e james, B. (1988) .Theories of Civil Violence, California : university of California Press. Tilly, Charles. (1978) From Mobilization to Revolution. USA : Newbry Award Record. Ward, Carter and Robin, (1994). Social Deviance : Being, Behaving, and Branding, Allyn and Bacon. Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014
18
Artikel Berita Merdeka.com [1], Mahasiswa demo sampai malam, Jl Diponegoro lumpuh,Kamis, 29 Maret 2012. http://www.merdeka.com/peristiwa/mahasiswa-demo-sampai-malam-jl-diponegorolumpuh.html, diakses pada 2 januari 2012 Merdeka.com [2], Mahasiswa bakar motor polisi di jalan Diponegoro, Kamis, 29 Maret 2012. http://www.merdeka.com/peristiwa/mahasiswa-bakar-motor-polisi-di-jl-diponegoro.html diakses pada tanggal 2 januari 2012 Merdeka.com [3], 8 Terluka saat bentrok di YAI, 1 luka tempak, Kamis, 29 maret 2012. http://www.merdeka.com/peristiwa/8-terluka-saat-bentrok-di-yai-1-luka-tembak.html diakses pada tanggal 2 januari 2012 Kompas.com [2], Bentrokan di Jalan Diponegoro, Pos Polisi Dirusak, Kamis, 29 Maret 2012.http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/29/20365847/Bentrokan.di.Jalan.Dipon egoro..Pos.Polisi.Dirusak diakses pada tanggal 1 januari 2014 Kompas.com [3],Dikeroyok Massa, Tulang Rusuk Kapolsek Senen Patah, Kamis, 29 Maret 2012.http://nasional.kompas.com/read/2012/03/29/23284858/Dikeroyok.Massa.Tulang.Rus uk.Kapolsek.Senen.Patah Kompas.com[4], Mahasiswa Terbukti Rusak Mobil Polisi, Senin, 2 April 2012, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/02/15352481/Dua.Mahasiswa.TerbuktiRusak .Mobil.Polisi Kompas.com [5], Aktivis Tuntut Pembebasan 53 Demonstran di Salemba, Senin, 2 April 2012 http://internasional.kompas.com/read/2012/04/02/12241584/Aktivis.Tuntut.Pembebasan.53 .Demonstran.di.Salemba Undang-undang Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Universitas Indonesia
Konsep penyimpangan..., Fahriz Danalam Alim Muntoha, FISIP UI, 2014