1
Representasi Media Massa Tentang Perempuan dalam Budaya Patriarki (Analisis Isi Kolom Berita “Nah Ini Dia!” Pada Harian Pos Kota Periode 1 November – 30 November 2013) Arsendi Kasenda dan Herlina Permata Sari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk representasi perempuan kolom “Nah, Ini Dia!” pada Harian Pos Kota dengan menganalisis tanda yang terdapat dalam kolom berita tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi untuk mengkategorisasikan dan mengkaji dikotomi konotasi, denotasi, dan juga mitos semiotika Roland Barthes. Analisis Roland Barthes diaplikasikan untuk mengkaji tanda-tanda dari setiap kalimat dan kata yang terdapat pada kolom “Nah, Ini Dia!”. Adapun hasil penelitian ini peneliti memperoleh 122 makna konotasi dan denotasi sebagai salah satu proses representasi. Hasil 122 makna konotasi dan denotasi yang diperoleh dikategorisasikan menjadi tiga pembahasan utama yaitu penggambaran tubuh perempuan, penggambaran perempuan sebagai objek seksual laki-laki, dan penggambaran penindasan perempuan Selain itu peneliti juga memperoleh mitos representasi patriarki dalam bentuk objektifikasi tubuh perempuan secara seksual pada media massa dalam kolom “Nah, Ini Dia!”. Kata Kunci: Media Massa, Representasi, Roland Barthes, Objektifikasi Seksual Perempuan, Patriarki.
Mass Media Representation about Woman in Patriarchal Culture (Content Analysis towards Pos Kota’s “Nah, Ini Dia!” News Section on 1 November – 30 November 2013) Abstract The objective of this research is to find out the form of woman representation on Pos Kota‟s “Nah, Ini Dia!” news section by analyzing the sign on its section. This research used content analysis method to categorize and analyze the dichotomy of connotation, denotation, as well as Roland Barthes‟ semiotic myth. Roland Barthes‟ analysis were used to analyze every signs in every sentence and word on “Nah, Ini Dia!” news section. Regarding the research, researcher found 122 connotations and denotations meaning as part of the representation process. Those 122 findings were categorized into three main discussions, such as portrayal of women‟s body, portrayal of women as men‟s sexual object, and portrayal of women‟s suppression. Furthermore, researcher also acquired myth on this research which is about representation of patriarchy media in a form of sexual objectification over women on mass media, on “Nah, Ini Dia!” news section. In patriarchal culture myth, researcher understands that on “Nah, Ini Dia!” news section, there are patriarchal practices such as sexual objectification, exploitation, gender inequality, discrimination, and sexual harassment towards women. On feminist perspective, patriarchy provides an easy way to women‟s harassment. Patriarchal practices on Pos Kota Daily News reflected by their news content which bias and discriminative by making women as a sexual object on “Nah, Ini Dia!” news section. Key words: Mass Media, Representation, Roland Barthes, Women‟s Sexual Objectification, Patriarchy
Pendahuluan Peranan media massa sebagai media informasi dalam menyampaikan pesan pada masyarakat menjadi begitu sangat penting di masa kini. Bungin (2003) mengungkapkan yang
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
2
menjadi persoalan adalah yang dibawa oleh media massa, baik elektronik dan cetak tidak saja bersifat positif, namun juga bersifat negatif; bahkan justru pesan-pesan positif terkadang dimodifikasi menjadi negative. Hal positif ataupun negatif yang dibawa oleh media massa ini tentu akan berpengaruh kepada masyarakat sebagai konsumen media. Definisi media massa itu sendiri dapat dijelaskan dengan dua pandangan menurut Eriyanto yakni pandangan pluralis dan pandangan kritis. Media massa dalam pandangan pluralis adalah sarana bebas dan netral, tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi tanpa adanya dominasi. Sedangkan menurut pandangan kritis media massa hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokan kelompok tertentu. Pandangan kritis melihat media massa bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Dari definisi media terutama definisi pandangan kritis dimana media dikuasai oleh kelompok dominan dan melindungi kepentingannya maka media dapat melakukan apapun untuk mewujudkan kepentingan mereka, salah satunya kepentingan bisnis. Demi kepentingan bisnis banyak dari media massa di Indonesia yang saling bersaing untuk menarik perhatian khalayak dengan sajian pemberitaan mereka. Media massa dalam mengemas berita yang mereka sajikan tidak jarang bersifat sedikit kontroversial demi mendapatkan khalayak. Salah satu pemberitaan yang kontroversial adalah berita persoalan seks. Wright (1959), menjelaskan pemberitaan seks dikatakan kontroversial karena umumnya penggambarannya sensitif dan bertentangan dengan standar norma masyarakat sehingga menimbulkan kecemasan dan perhatian masyarakat. Meskipun begitu media massa tetap memberikan konten berunsur seks dalam pemberitaannya, dengan alasan banyaknya peminat. Bungin (2003) berpendapat bahwa peminat konten seks yang banyak menyebabkan para pembuat konten seks di dalam berita lepas kontrol, sehingga pemilihan terhadap masalah yang boleh dimuat atau tidak menjadi tidak selektif lagi. Dengan kata lain “bebas kontrol”. Tiadanya kontrol terhadap pemberitaan seks terlihat dari eksploitasi media terhadap konten-konten seksualitas yang diberitakan. Eksploitasi seksual oleh media massa terhadap konten-konten pemberitaan ini dapat menimbulkan pelecehan seksual terhadap subjek berita oleh media massa.
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
3
Mengenai eksploitasi yang dilakukan oleh media massa terhadap objek pemberitaan begitu pula dengan pemberitaan kejahatan yang juga tidak jarang terdapat eksploitasi pemberitaan. Pada berita pelecehan seksual misalnya ada eksploitasi secara seksual terhadap perempuan (gambar, foto, dan tulisan/teks). Karena banyak dari pemberitaan pelecehan seksual berhubungan dengan pelaku dan korban perempuan, maka pelecehan seksual dalam pemberitaan media massa ini sering terjadi pada perempuan. Bungin (2003) menjelaskan, keberadaan perempuan dalam pemberitaan seksual dianggap lebih menarik dan dapat memikat khalayak. Pada pemberitaan pelecehan seksual terhadap perempuan, berita yang disajikan oleh media massa akan didramatisir dan dilebih-lebihkan. Zymanski, Moffit, dan Carr (2011) menyebutkan salah satu cara perempuan ditampilkan dan dijadikan objektifikasi seksual oleh media massa adalah dengan menghubungkan seksualitas perempuan dengan penampilannya secara substansif. Peneliti ingin mengungkapkan gagasan bahwa di Indonesia eksploitasi perempuan dalam media massa dapat timbul akibat masih adanya budaya patriarki dalam dunia jurnalisme Indonesia. Permasalahan Dominasi laki-laki dalam jurnalisme mangakibatkan jurnalisme itu sendiri bersifat patriarki karena pemberitaan didasarkan pada pemikiran laki-laki. Unsur patriarki dalam jurnalisme menyebabkan kepekaan media terhadap gender menjadi kurang. Perempuan lalu didiskriminasi dalam dunia kerja jurnalisme dan juga dalam pemberitaan. Diskriminasi media terhadap perempuan secara tidak langsung telah turut melakukan konstruksi sosial atas budaya patriarki di dalam masyarakat. Dominasi laki-lai ddalam jurnalisme di Indonesia terlhat dari hasil penelitian AJI yang mengungkapkan jumlah jurnalis perempuan yang merupakan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebanyak 347 orang, sementara jumlah laki-laki sebanyak 1521. Hanya sekitar 18,6% jumlah anggota jurnalis perempuan dari total keseluruhan anggota AJI se-Indonesia (Luviana, 2012). Menurut peneliti pada pemberitaan kejahatan pun tidak jarang juga terdapat eksploitasi pemberitaan. Pada berita pelecehan seksual misalnya ada eksploitasi secara seksual terhadap terhadap (gambar, foto, dan tulisan/teks). Karena banyak dari pemberitaan pelecehan seksual
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
4
berhubungan dengan pelaku dan korban perempuan, maka pelecehan seksual dalam pemberitaan media massa ini sering terjadi pada perempuan. Sadar & Van Loon (2008) menyebutkan perempuan dalam representasi media massa selalu digambarkan sebagai objek tatapan laki-laki. Perempuan yang baik, cantik, pintar didasari oleh sudut pandang laki-laki. Seksualitas perempuan pun dipengaruhi oleh pandangan laki-laki dalam melihat aspek tersebut. Tatapan dan pandangan laki-laki yang digunakan media merupakan sebuah representasi. Representasi tersebut jugalah yang digunakan oleh masyarakat. Mengenai ketertarikan media massa dalam menyajikan konten seksual salah satu media yang memiliki karakteristik khusus dalam membahas unsur seksual pada pemberitaannya adalah Harian Pos Kota dalam kolom “Nah, ini dia!”. Unsur seksualitas dalam tulisan kolom “Nah, Ini Dia!” dikemas dalam istilah-istilah yang menggelitik. Penyajian konten seks dalam kolom Nah, Ini Dia terbukti dengan ungkapan Gunarso selaku penulis kolom Nah, Ini Dia itu sendiri.
Tinjauan Teoritis Dalam skripsi ini peneliti menggunakan representasi untuk melihat teks-teks dalam menggambarkan perempuan. Stuart Hall (1997) mendefinisikan Representasi merupakan penggunaan bahasa (language) untuk menyampaikan sesuatu yang memiliki arti atau bermakna (meaningful) kepada orang lain. Representasi dihasilkan dari arti/makna (meaning) di dalam konsep yang ada di dalam pemikiran kita. Representasi dijadikan alat atau sarana untuk melihat ada atau tidaknya bentuk pelecehan seksual non fisik–yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan−oleh media terhadap perempuan dalam kolom “Nah, Ini Dia!”. Kata-kata dan simbol yang terdapat dalam kolom “Nah, Ini Dia!” merupakan sign (tanda) dalam bahasa yang akan dijadikan sumber dalam analisis objek dalam sistem representasi. Hall menjelaskan bahwa dalam representasi terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan reflectif, intentational, dan konstruksionis. Dalam skripsi ini pendekatan representasi yang digunakan adalah pendekatan konstruksionis. Pendekatan konstruksinis adalah pendekatan yang menggunakan sistem bahasa (language) atau sistem apapun untuk merepresentasikan konsep kita
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
5
(concept). Pendekatan ini tidak berarti bahwa kita mengkonstruksi arti (meaning) dengan menggunakan sistem representasi (concept dan signs), namun lebih pada pendekatan yang bertujuan mengartikan suatu bahasa (language). Terdapat tiga tokoh dalam pendekatan konstruksionis yaitu Saussure, Barthes, dan Foucault. Dalam skripsi ini peneliti dalam menjelaskan representasi perempuan menerapka teori Barthes. Dengan tiga dikotominya yaitu konotasi, denotasi dan mitos. Bagi Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaannya tidak cukup dengan mengaitkan signifier dan signified, namun juga harus dilakukan dengan memperhatikan construction dan content dari lambang (Pembayun, 2013). Dalam Pembayun (2013, h. 474) makna denotasi adalah yang menunjukkan arti harfiah atau yang eksplisit dari kata-kata dan suatu fenomena. Makna konotasi merupakan makna tingkat pertama (primary) yang bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam, atau sebuah produk sosial yang telah memiliki dominasi di masyarakat. Mitos-mitos masa ini contohnya pemahaman tentang feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Wibowo, 2013). Pembayun (2013, h. 475) menjelaskan mitos yakni rujukan bersifat kultural (berasal dari budaya yang ada) yang digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang, penjelasan mana yang notabene adalah makna konotatif dan lambang-lambang yang ada dengan mengacu pada sejarah. Barthes mengungkapkan mitos sebagai tanda baru yang bermakna yang muncul setelah terjadi proses pemaknaan terhadap penandaan dan pertandaan. Hall Dalam penjelasan dikotomi denotasi dan konotasi yaitu ketika suatu tanda (sign) memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi maka makna denotasi yang baru muncul tersebut disebut sebagai mitos. Mengingat subjek dalam penelitian ini adalah perempuan maka peneliti merasa perlu dalam melihat pandangan femiinisme terhadap perempuan dalam media massa. Studi tentang representasi feminis mengungkapkan bahwa laki-laki mendominasi isi media. Busby (1975) dalam „Sex Role on the Mass Media, Journal of Communication’ yang dikutip oleh Gamble (2004, h. 134) mengungkapkan bahwa „peranan laki-laki‟ dalam media massa ditampilkan
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
6
sebagai yang dominan, aktif, berwenang, sedangkan perempuan ditampilkan sebagai yang patuh, pasif dan sepenuhnya merasa puas dengan menundukkan keinginan-keinginan mereka mengikuti keinginan-keinginan laki-laki. Gamble (2004) merujuk pada Germaine Greer dalam karyanya The Female Eunuch (1970), membahas tentang sebuah pandangan yang “kocak” terhadap stereotipe perempuan dalam berbagai media kultural. Poin penting yang dibahas oleh Greer adalah tentang „kepasifan perempuan‟ dan „objektifikasi‟ mereka serta kritik-kritik feminis atas pendekatan „citra-citra perempuan‟ dalam sebuah karya terutama karya laki-laki (Gamble, 2004). Barthes juga menjadi salah satu tokoh yang cemerlang sebagai teoritikus strukturalis dan post-strukturalis yang mempengaruhi kritikus budaya feminis. Barthes berupaya mengeksplorasi bagaimana bahasa berfungsi dan keterkaitannya dengan ideologi. Barthes juga berupaya untuk membongkar perbedaan-perbedaan antara teks-teks literal yang beroperasi dengan dasar hubungan stabil antara penanda (signifier) dan pertanda (signified), dan bagi mereka yang menganggap bahwa tindakan pembentukan makna itu sendiri merupakan aspek terpenting. Barthes selain memberikan analisis-analisis yang tajam tentang teks-teks literal, juga memfokuskan dirinya pada analisis struktural pada seluruh representasi budaya, mencakup periklanan, film, teks, fotografis, dan musik (Gamble, 2004 h. 246). Pendekatan semiotika tertarik dengan permasalahan gender yang terdapat di dalam media massa berupa penggambaran laki-laki dan perempuan. Salah satu hal yang dikritisi (critical point) pada analisis semiotika terhadap gender adalah masalah objektifikasi media terhadap perempuan (tubuh perempuan) (Gill, 2006).
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif analisis isi. Penelitian ini menggunakan teknik analisis isi kualitatif untuk melihat fenomena diskriminasi gender yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi seksual (non fisik) dalam pemberitaan. Eksploitasi seksual non fisik tersebut dapat menimbulkan pelecehan seksual non fisik terhadap perempuan. Perempuan lebih sering menjadi objek eksploitasi dalam berita kejahatan seksual
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
7
karena penampilan unsur seksualitas dari perempuan lebih menarik bagi media (Zymanski, Moffitt, & Carr, 2011 p. 16). Dalam penelitian skripsi ini, analisis isi digunakan sebagai pengolahan data untuk mengkategorisasikan kata-kata pada setiap berita. Kata-kata yang telah dikategorisasikan inilah yang selanjutnya akan diinterpretasi oleh peneliti. Dari hasil interpretasi tersebut akan terlihat bagaimanakah bentuk representasi media massa. Penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif. Pembayun (2013) menjelaskan bahwa paradigma interpretatif dapat digunakan dalam penelitian yang menggunakan metode analisis isi untuk meneliti konten-konten dalam film, teks, gambar, dan lainnya. Pembayun menjelaskan paradigma interpretatif merupakan proses aktif yang memberikan makna pada apa yang orang-orang lihat seperti teks, tindakan atau situasi, dan pada pengalaman apapun yang terjadi. Objek penelittian dalam penelitian skripsi ini adalah tulisan kolom berita “Nah, Ini Dia!” pada harian Pos Kota. Penelitan ini mengambil satu bulan periode terbitan kolom “Nah, Ini Dia!”, yakni periode 1 November-30 November 2013. Teknik pengumpulan data yang diaplikasikan adalah dokumentasi. Peneliti megumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh adalah kolom “Nah, Ini Dia!” pada Harian Pos Kota yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti. Peneliti mengumpulkan tulisan kolom “Nah, Ini Dia!” selama satu tahun, yaitu tahun 2013. Data sekunder dalam skripsi ini adalah dokumen-dokumen penunjang untuk penelitian skripsi ini, seperti jurnal internasional dan nasional; artikel jurnal nasional dan internasional; buku-buku referensi; penelitian terdahulu; dan artikel-artikel online. Teknik analisis data dalam menganalisis isi kolom berita “Nah, Ini Dia!” peneliti menggunakan teknik analisis semioika Roland Barthes. Analisis isi semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat dalam suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang, baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Fokus analisis isi semiotika adalah melacak maknamakna yang diangkut oleh teks yang berupa lambang-lambang dalam teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik (Pembayun, 2013).
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
8
Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam proses analisis teks kolom “Nah, Ini Dia!” diperoleh tiga kategorisasi pembahasan utama dengan jumah 122 makna konotasi dan denotasi yang dilakukan oleh peneliti di dalam penelitian ini, yaitu penggambaran tubuh perempuan, penggambaran perempuan sebagai objek seksual laki-laki, dan penggambaran perendahan terhadap perempuan. Pengkategorisasian tersebut dilakukan untuk mempermudah dalam membaca hasil analisis teks. Peneliti melihat mitos dalam penelitian ini dengan menyimpulkannya secara umum, yakni dengan melihat pola representasi secara keseluruhan dari Harian Pos Kota di dalam kolom “Nah, Ini Dia!”. Mitos yang dapat peneliti ketahui dari keseluruhan makna denotasi dan konotasi dalam berita yang telah dianalisis adalah representasi media yang patriarkis dalam bentuk objektifikasi perempuan secara seksual. Hal ini mungkin terjadi karena pola pikir penulisan berita adalah pola pikir laki-laki. Representasi yang merujuk pada bagaimana seseorang, sekelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan, penelitian ini fokus terhadap bagaimana perempuan yang juga merupakan sebuah kelompok sosial itu di tampilkan. Terutama representasi perempuan yang ditampilkan di dalam media massa. Bagi peneliti media massa merupakan salah satu sarana representasi dan komunikasi di dalam masyarakat, sehingga media massa tidak hanya alat penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi (Cangara, 2014). Perempuan yang juga merupakan salah satu objek pemberitaan dalam media massa tentu bagi peneliti mereka juga mengalami proses representasi oleh media. Christandi (2013) mengutip Tamrin Tomagola (1998), mengungkapkan bahwa perempuan memiliki representasi dan citranya sendiri di dalam media massa; a. b. c. d. e.
Citra Pigura: perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal. Citra Pilar: perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga. Citra Peraduan: perempuan sebagai objek seksual. Citra Pinggan: perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur. Citra Pergaulan: perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan. Semua penentuan citra-citra terhadap perempuan tersebut adalah hasil dari pandangan
laki-laki terhadap perempuan yang merupakan bentuk contoh budaya patriarki. Citra-citra tersebut adalah salah satu bentuk hasil dari representasi media terhadap perempuan.
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
9
Dalam memahami proses representasi terdapat beberapa tokoh dunia yang mencoba menjelaskannya, salah satunya adalah filsuf Perancis Roland Barthes. Barthes memiliki tiga dikotomi utama dalam proses representasinya, yaitu konotasi, denotasi, dan mitos. Pembayun (2013) konotasi merupakan merupakan makna tingkat pertama (primary) yang bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk, dan denotasi adalah merupakan makna tingkat pertama (primary) yang bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambanglambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kedua dikotomi tersebut merupakan tahap awal dalam proses representasi Barthes. Dalam penelitian ini peneliti mengaplikasikan dikotomi Barthes tersebut dalam teks berita Harian Pos Kota, yaitu pada kolom “Nah, Ini Dia!”. Setiap kalimat yang merupakan kalimat konotasi tersebut peneliti istilahkan dengan bagian. Bagian konotasi yang ditulis oleh peneliti tersebut merupakan hasil temuan data dari kolom “Nah, Ini Dia!”−sebagai objek penelitian−yang telah dianalisis, sedangkan bagian denotasi merupakan definisi terhadap kontotasi yang didasari pada definisi KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) online dan argumen peneliti. Dikotomi konotasi dan denotasi ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana bentuk representasi Harian Pos Kota terhadap perempuan dalam kolom “Nah Ini Dia!”. Banyak istilah-istilah unik dan tema-tema besar dominan pada kolom “Nah, Ini Dia!” yang dapat mempermudah peneliti untuk mengetahui bentuk representasi yang dipilih oleh Harian Pos Kota. Setelah melakukan proses representasi denotasi dan konotasi Barthes, selanjutnya peneliti menganalisis dan menentukan mitos dari kolom “Nah, Ini Dia”!. Menurut Barthes mitos tidak didefinisikan dari objek dalam pesan itu sendiri namun mereka hadir atau muncul dari pesan itu sendiri, terdapat batas formal dari mitos namun tidak ada yang substansial (Barthes, 1991). Dari hasil analisis teks yang telah dilakukan maka pembentukan mitos pada kolom “Nah, Ini Dia!” adalah representasi media yang patriarkis dalam bentuk objektifikasi perempuan secara seksual. Madsen (2000) menjelaskan patriarki adalah sebuah istilah pengulangan dalam menjelaskan kepemimpinan laki-laki−the father−. Patriarki adalah sebuah sistem kebudayaan (ideologi) tentang keistimewaan laki-laki dan semua hal yang maskulin. Semua ketertarikan dan kekuasaan berada ditangan laki-laki dengan mengorbankan perempuan. Mitos tersebut diperoleh
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
10
dari hasil analisis makna konotasi dan denotasi yang mencerminkan adanya praktik patriarki dalam kata-kata dan kalimat kolom “Nah, Ini Dia!”. Perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan dalam budaya patriarki (Christandi, 2013). Perempuan dituliskan melalui pembentukan stereotipe dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan, begitulah akhirnya perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya dominan (Ibid). Seperti yang diungkapkan oleh Tamrin Tomagola mengenai citra perempuan yang direpresentasikan oleh media massa, dalam kolom “Nah, Ini Dia!” ini perempuan memiliki citra peraduan “perempuan sebagai objek seksual”. Representasi perempuan sebagai objek seksual dalam budaya patriarki diperlihatkan dari tubuh perempuan yang digambarkan sebagai objek yang menarik hasrat laki-laki. Bagi peneliti dalam budaya patriarki perempuan digambarkan sebagai kelompok yang disubordinasi. Penggambaran dan bagaimana perilaku perempuan itu ditentukan oleh mata laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Lowe (1996) mengutip Van Zonnen (1996) bahwa berita adalah produk dari laki-laki, pemikiran dan dasar berita adalah refleksi dari ketertarikan dan nilai laki-laki pula. Perempuan yang diobjektifikasi secara seksual melalui pendeskripsian tubuhnya dalam budaya patriarki pada media massa, dalam penelitian ini dibuktikan dengan terdapatnya beberapa bagian bahkan hampir mendominasi analisis konotasi yang mencerminkan hal tersebut. Objektifikasi tubuh perempuan secara seksual tersebut memang tidak dituliskan secara langsung di dalam teks, namun dituliskan dengan kata-kata atau ungkapan-ungkapan kiasan yang memiliki makna penggambaran tubuh perempuan secara seksual. Bentuk dari perempuan sebagai objek seksual dalam kolom “Nah, Ini Dia!” ini salah satunya adalah dengan mendeskripsikan tubuh perempuan yang didasari pada pandangan laki-laki. Dalam kolom “Nah, Ini Dia!” ini penggambaran tubuh perempuan dimaksudkan untuk membangkitkan hasrat seksual laki-laki dengan menuliskan konten-konten yang menggambarkan tubuh perempuan secara substantif. Menurut Zymanski, Moffit, dan Carr (2011) salah satu cara perempuan ditampilkan dan dijadikan objek seksual oleh media massa adalah dengan menghubungkan seksualitas perempuan dengan penampilannya yang substantif. Dalam periode satu bulan saja−periode yang digunakan oleh peneliti sebagai objek penelitian−peneliti menemukan beberapa kali kolom “Nah, Ini Dia!” menggunakan kata-kata yang mendeskripsikan tubuh perempuan secara substansial seperti tubuh seksi, aduhai, bodi
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
11
menjanjikan, bahenol, dan lain-lain yang merupakan istilah yang menggambarkan tubuh perempuan secara substansial. Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan tubuh perempuan tersebut adalah istilah-istilah yang sering digunakan dalam mendefnisikan bentuk tubuh idaman pada perempuan dan bentuk tubuh yang menarik di mata laki-laki. Selain itu menurut peneliti istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan tubuh perempuan tersebut merupakan istilah-istilah yang dapat membangkitkan hasrat seksual laki-laki. Hal tersebut karena penggambaran-penggambaran tubuh perempuan tersebut adalah penggambaran tubuh dari seorang perempuan yang menarik bagi laki-laki terutama secara seksual. Berikut beberapa kalimat dalam kolom “Nah, Ini Dia!” yang mendeskripsikan tubuh perempuan; Konotasi: “Istri Gusti Mayun sebenarya tidak cantik-cantik amat, cuma bodinya meck, ngegitar spanyol”. Denotasi: “ Istri Gusti Mayun memang tidak terlalu cantik, namun bentuk tubuh istrinya sangat seksi”. Konotasi: “Wajahnya cantik, bodinya seksi menggiurkan. Apalagi ketika dia menyaksikan bagaimana Siti beraksi di atas panggung, megal-megol pantatnya menjadikan otak Lilik semakin ngeres macam pasir urug”. Denotasi: “Wajah cantik dan tubuh seksi, serta ketika dia bernyanyi di atas panggung dengan berlenggak-lenggok menggerakkan pinggul ke kanan ke kiri semakin menimbulkan pikiran jahat terhadap penyanyi dangdut tersebut”. Konotasi: “Melihat bodi dan penampilan Risma yang cantik serta enak digoyang dan perlu, ukuran celana dari S menjadi XL”. Denotasi: “melihat tubuh dan penampilan Risma yang cantik membuat ia menjadi terangsang dan memunculkan niat untuk melakukan hubungan seksual”. Konotasi: “Setiap melihat barang bagus nan mulus, hasratnya langsung bangkit”. Denotasi: “Setiap melihat perempuan cantik ia langsung terangsang untuk melakukan hubungan seksual.” Objektifikasi tubuh perempuan secara seksual contohnya sangat terlihat pada kalimat Melihat bodi dan penampilan Risma yang cantik serta enak digoyang dan perlu, ukuran celana dari S menjadi XL. Kalimat tersebut memiliki makna bahwa perempuan yang memiliki wajah cantik dan tubuh seksi dapat membangkitkan hasrat birahi laki-laki yang melihatnya. Kolom “Nah, Ini Dia!” selalu memiliki pola penulisan seperti kalimat tersebut, di mana perempuan digambarkan juga memiliki peran dalam membangkitkan hasrat seksual laki-laki karena bentuk tubuhnya. Seharusnya dalam konteks objektifikasi tubuh perempuan, perempuan adalah korban yang mengalami objektifikasi secara seksual oleh kolom “Nah, Ini Dia!”.
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
12
Meskipun tidak di setiap berita kolom “Nah, Ini Dia!” selalu mengandung unsur objektifikasi seksual terhadap perempuan, akan tetapi di setiap berita kolom “Nah, Ini Dia!” perempuan tetap menjadi objek berita yang selalu dihadirkan. Kehadiran perempuan yang selalu ditampilkan pada kolom “Nah, Ini Dia!” mengakibatkan perempuan mengalami eksploitasi dari Harian Pos Kota. Eksploitasi terhadap perempuan dalam kolom “Nah, Ini Dia!” penggambaran fisik, kehidupan pribadi perempuan−seperti status pernikahan−,dan lainnya yang dianggap menarik dalam mata laki-laki. Pengaruh dari budaya patriarki yang dianut oleh Harian Pos Kota inilah yang menyebabkan penyajian berita kolom “Nah, Ini Dia!” di dasari pada pandangan lakilaki. Menyajikan konten yang menarik bagi pandangan laki-laki dan penyajian yang di dasari pada pemikiran laki-laki. Salah satu hal yang menarik bagi laki-laki adalah perempuan dan seksualitas
perempuan,
sehingga
perempuan
mengalami
eksploitasi.
Walby
(1990)
mengungkapkan bahwa di dalam patriarki terdapat pengaruh lebih dan eksploitasi terhadap ranah kehidupan perempuan yang hal tersebut memberikan keuntungan konkret bagi laki-laki dari subordinasi perempuan. Menurut peneliti fakta bahwa perempuan mengalami objektifikasi secara seksual dalam budaya patriarki yang direpresentasikan oleh media massa ini menunjukkan bahwa Harian Pos Kota tidak sensitif terhadap persoalan gender. Media massa hanya mementingkan ideologi mereka yang menjadi landasan dalam penyajian berita. Wood (1994) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang dapat dipahami mengenai representasi media massa terhadap gender. Pertama, perempuan adalah underrepresented akibat laki-laki sebagai standar budaya. Kedua, laki-laki dan perempuan digambarkan secara stereotip yang merefleksikan kekuasaan sosial berdasarkan gender. Ketiga, penggambaran hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada peran tradisionalnya dalam budaya patriarki. Praktek bias gender yang dilakukan oleh media menjadikan kehadiran perempuan dalam media massa ini terpinggirkan dengan menjadikan perempuan hanya sebagai objek pemberitaan dari sudut pandang laki-laki. Bias gender atau yang bisa kita sebut dengan konsep ketidakadilan gender oleh media massa ini terjadi tidak hanya karena perempuan yang dijadikan objek seksual oleh media, tetapi juga dapat karena praktek eksploitasi yang dilakukan oleh media massa terhadap perempuan. Persoalan ketidakadilan gender media massa ini juga terdapat pada Harian Pos Kota sebagai objek penelitian ini dari hasil pengamatan peneliti. Peneliti berargumen ketidakadilan gender pada Harian Pos Kota ini
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
13
dibuktikan dengan mitos perempuan adalah objek seksual dalam kolom “Nah, Ini Dia!” yang merupakan sebuah representasi budaya patriarki dalam masyarakat. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa perempuan selalu mengalami objektifikasi. Kolom “Nah, Ini Dia!” dalam setiap terbitannya selalu mengeksplorasi perempuan dari setiap aspek yang melekat pada perempuan tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis data yang menemukan bahwa konten-konten yang merendahkan dan melekat pada perempuan itu selalu diulang-ulang penulisannya pada beberapa terbitan berita. Misalnya saja kata janda dijadikan salah satu konten yang menarik pada berita. Perempuan yang memiliki status janda, pada berita digambarkan sebagai perempuan yang mudah diajak berhubungan baik hubungan sebagai teman, pacar, hingga seksual. Selain itu penggambaran perempuan yang telah tidak bersuami ini karena meninggal atau bercerai (janda) mereka diibaratkan sebagai “barang bekas” misalnya “mobil bekas”. Pengibaratan perempuan janda sebagai “barang bekas” lebih didasari pemikiran bahwa mereka sudah tidak perawan lagi karena telah melakukan hubungan seksual dengan suami terdahulunya. Berikut beberapa kalimat konotasi yang menggambarkan perempuan yang sudah janda sebagai “barang bekas”; Konotasi: “Ibarat mobil janda Heru itu masih tangan pertama, surat masih lengkap dan body full kaleng”. Denotasi: “Mantan istri Heru baru pernah menikah sekali, dan baru pertama kali menjadi janda sehingga belum banyak orang yang menjalin hubungan dengannya”. Konotasi: “Mau menikahi janda harus siap terima barang bekas”. Denotasi: “Untuk menikah dengan seseorang yang pernah memiliki suami harus tahu bahwa dia sudah tidak perawan lagi”. Konotasi: “Tapi seperti mobil bekas itu pula, jika nasib baik juga dapat yang masih mulus karena jarang pakai, atau malah belum pernah dipakai sama sekali. Dalam budaya jawa janda yang demikian disebut: randha lanjar alias belum pernah disentuh suami pendahulunya”. Denotasi: “Menikahi janda diibaratkan seperti membeli mobil bekas yang memperhatikan bagaimana cara pemiliknya terdahulu dalam menggunakan mobil dilihat dari kondisi fisik dan mesin mobil”. Perendahan dan pelecehan terhadap perempuan dalam kolom “Nah, Ini Dia!” ini sangat terlihat dengan penulisan perempuan sebagai “barang bekas” bagi perempuan yang memiliki status janda. Penulisan perempuan sebagai barang bekas mengibaratkan perempuan hanya dinilai dan dilihat dari keperawanan mereka, bagi perempuan yang sudah janda seperti telah kehilangan
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
14
setengah harga diri mereka. Sedangkan pada laki-laki yang telah duda dalam kolom “Nah, Ini Dia!” tidak dibahas sama sekali berbeda sekali dengan perempuan. Seperti yang telah diuraikan pada penjelasan di atas bahwa tulisan penggambaran tubuh perempuan ini juga menjadi salah satu konten yang menarik pada kolom “Nah, Ini Dia!” sehingga selalu ditulis berulang-ulang. Dari hasil pengamatan peneliti objektifikasi berupa penggambaran tubuh perempuan selalu dihadirkan hampir di setiap terbitan kolom “Nah, Ini Dia!”, sedangkan untuk tulisan penggambaran tubuh laki-laki tidak ada satu kalimat maupun kata dalam kolom tersebut. Penjelasan dari analisis olahan data tersebut tentu sudah dapat memperkuat argumen peneliti bahwa Harian Pos Kota ini masih memiliki masalah ketidakadilan gender dan diskriminasi gender dengan merendahkan perempuan di dalam tulisannya. Seharusnya media massa sebagai sarana penyampaian pesan kepada masyarakat luas dapat memberikan tauladan kepada masyarakat untuk tidak melakukan praktek ketidakadilan gender di dalam masyarakat. Praktik ketidakadilan gender ini secara tidak langsung telah mengajarkan kepada masyarakat perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Mengapa dapat terjadi diskriminasi terhadap perempuan? Tentu hal tesebut dapat terjadi, menurut argumen peneliti karena telah adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam media massa. Media massa merepresentasikan perempuan hanya sebagai objektifikasi seksual dari kaum laki-laki telah menempatkan perempuan sebagai kelompok yang subordinat. Perempuan direpresentasikan berada di bawah kekuasaan laki-laki dan tidak memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri dalam media massa. Penyajian konten ataupun berita yang berhubungan dengan perempuan dikemas sesuai dengan pemikiran laki-laki. Penyajian tersebut didasari atau sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan laki-laki. Peranan perempuan terhadap permasalahan dirinya sendiri di dalam media massa kurang dihadirkan atau dilibatkan, mereka dipinggirkan dari kepentingan mereka sendiri. Kurangnya ruang bagi perempuan pada media massa sudah merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang juga sebagai salah satu bentuk praktik ketidakadilan gender. Kolom “Nah, Ini Dia!” yang memiliki representasi budaya patriarki secara tidak langsung sudah melanggengkan praktik diskriminasi terhadap perempuan dalam Harian Pos Kota. Bentuk diskriminasi yang dilakukan memang tidak terlihat secara langsung seperti halnya penindasan yang kasat mata, pengucilan, ataupun kekerasan terhadap perempuan. Bentuk diskriminasi
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
15
terhadap perempuan dalam Harian Pos Kota berupa representasi perempuan sebagai objek seksual laki-laki dalam kolom “Nah, Ini Dia!”. Praktik representasi perempuan sebagai objek seksual pada kolom “Nah, Ini Dia!”, bagi peneliti merendahkan atau melecehkan perempuan. Pelecehan yang dialami oleh perempuan dalam Harian Pos Kota ini jelas telah mendiskriminasi perempuan dalam pemberitaan. Perendahan atau pelecehan perempuan dengan merepresentasikan perempuan sebagai objek seksual menurut peneliti merupakan bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan. Pelecehan seksual yang dilakukan memang tidak secara langsung atau fisik tetapi non fisik dengan kata-kata dan kalimat yang Harian Pos Kota sajikan pada kolom “Nah, Ini Dia!”, namun tetap pelecehan tersebut tentu memiliki dampak yang negatif terhadap perempuan. Setelah memahami bahwa media massa yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual dalam pemberitaannya sama saja dengan melakukan pelecehan seksual non fisik terhadap perempuan, maka dalam masalah representasi perempuan sebagai objek seksual, dalam kolom “Nah, Ini Dia!” pada Harian Pos Kota dapat diungkapkan bahwa Harian Pos Kota juga telah melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan. Dalam beberapa bagian terdapat kalimat konotasi dari kolom “Nah, Ini Dia!” yang melecehkan perempuan secara seksual, dimana perempuan dijadikan objek seksual hasrat birahi laki-laki. Secara garis besar pelecehan yang dilakukan kolom berita “Nah, Ini Dia!” tidak hanya dengan mendeskripsikan atau menggambarkan tubuh seorang perempuan secara sensual yang mana pendeskripsian atau penggambaran tubuh perempuan tersebut ditujukan dengan maksud membangkitkan hasrat seksual seseorang. Namun kolom “Nah, Ini Dia!” juga melecehkan perempuan dengan menggambarkan perempuan sebagai objek seksual hasrat laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya beberapa kalimat konotasi yang menggambarkan bahwa perempuan tidak lebih hanya sebagai objek seksual laki-laki. Peneliti banyak menemukan beberapa kata kiasan yang bermakna perempuan sebagai objek tempat pemuas hasrat seksual dari laki-laki. Kata-kata tersebut seperti “berbuka paha”, “digoyang”, dan “sambungraga” yang memiliki makna dalam kolom “Nah, Ini Dia!” sebagai aktivitas hubungan seksual yang merepresentasikan perempuan sebagai objek seksual laki-laki. Berikut kalimat dalam kolom “Nah, Ini Dia!” yang memiliki kata-kata tersebut;
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
16
Konotasi: “Melihat bodi dan penampilan Risma yang cantik serta enak digoyang dan perlu, ukuran celana dari S menjadi XL”. Denotasi: “Melihat tubuh dan penampilan Risma yang cantik membuat ia menjadi terangsang dan memunculkan niat untuk berhubungan seksual dengannya”. Konotasi: “Sutan yang terus merayu, dan Yuniar yang kesepian lama-lama dia juga bertekuk lutut dan berbuka paha”. Denotasi: “Karena Sutan terus merayu Yuniar akhirnya Yuniar pun bersedia untuk melakukan hubungan seksual dengan Sutan”. Konotasi: “Tentu saja perempuan itu menolak diajak hubungan suami istri, namun Norman mengancam dengan senjata tajam. Wasilah tak berkutik, akhirnya ia berbuka paha untuk Norman pengemban setan”. Denotasi: “Perempuan tersebut menolak untuk diajak hubungan seksual namun Norman tetap memaksa dengan mengancam menggunakan senjata tajam. Wasilah akhirnya pun menuruti keinginan Norman untuk berhubungan seksual karena karena merasa terancam”. “Si perempuan akhirnya pun berbuka paha” kalimat yang memiliki makna bahwa akhirnya si perempuan bersedia melakukan hubungan seksual baik secara paksaan ataupun tidak. Dari sekian kata-kata yang bermakna hubungan seksual lebih banyak yang ditujukan pada perempuan, sehingga perempuan seperti tidak lebih halnya sebagai pemuas kebutuhan seksual laki-laki. Selain itu dalam kolom “Nah, Ini Dia!” terdapat beberapa kalimat pula yang mengandung kata-kata konotasi (kiasan) yang memiliki makna jelas bahwa perempuan merupakan objek seksual dari laki-laki. Kata-kata tersebut seperti “kendaraan pribadi”, “menu tambahan”, dan “menantu tergoyang”. Berikut kalimat konotasi yang memiliki kata-kata yang menunjukkan perempuan sebagai objek seksual dari laki-laki; Konotasi: “Selama suaminya merantau Sutan menganggap Yuniar sebagai menantu kesayangan sekaligus menantu tergoyang”. Denotasi: “Selama suaminya merantau, Sutan (sang ayah) memperlakukan Yuniar sebagai menantu yang paling disayanginya dengan menjadikannya sebagai pasangan dalam berhubungan seksual”. Konotasi: “Belakangan Norman matanya suka jelalatan kemana-mana, khususnya setiap melihat perempuan cantik padahal di rumah juga ada kendaraan sendiri”. Denotasi: “Saat-saat ini Norman matanya suka melihat ke mana-mana dengan liar saat ada perempuan, terutama ketika melihat perempuan cantik meskipun dia sudah memiliki istri”.
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
17
Konotasi: “Padahal sesuai usianya di rumah Achyar juga sudah punya “kendaraan” pribadi yang bisa dipakai kapan saja”. Denotasi: “Melihat usianya Achyar sudah memiliki istri yang dapat menjadi pasangannya untuk berhubungan seksual”. Namun kata kendaraan pribadi adalah kata yang paling banyak digunakan oleh penulis kolom “Nah, Ini Dia!” dari pada “perempuan tergoyang”. Dari pengamatan peneliti istilah kendaraan pribadi itu sendiri memiliki makna sebagai istri sah yang dimiliki oleh seorang lakilaki yang secara norma sosial adalah pasangan yang sah untuk dapat diajak berhubungan seksual. Makna seorang perempuan (istri) sebagai kendaraan pribadi dari laki-laki adalah perempuan tidak lebih hanya sebagai objek seksual laki-laki−pemuas kebutuhan seksual laki-laki−. Untuk membahas permasalahan budaya patriarki pada media massa yang mengakibatkan pelecehan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan ini, maka kita juga perlu melihat dari pandangan feminis yang menentang praktik-praktik tersebut. Patriarki didefinisikan sebagai dominasi laki-laki dalam mempengaruhi lingkungan publik dan pribadi. Sultana (2011) mengungkapkan para feminis menggunakan istilah patriarki untuk menjelaskan atau mendeskripsikan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Patriarki lebih dari sekedar istilah, para feminis menggunakannya sebagai sebuah konsep, dan seperti konsep lainnya patriarki merupakan sebuah alat dalam memahami realitas perempuan. Walby (1990) menjelaskan patriarki sebagai sistem struktur sosial dan praktik dominasi laki-laki yang menindas dan memanfaatkan/mengeksploitasi perempuan. Dalam feminisme masyarakat dituntut untuk mengupayakan penyadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang dialami oleh perempuan (Gamble, 2004). Para feminis ini menentang adanya bentuk diskriminasi atas perbedaan jenis kelamin, ketidakadilan gender. Budaya patriarki dalam media massa oleh feminisme dijelaskan terjadi karena adanya dominasi laki-laki di dalam media massa. Gamble (2004) mengutip Busby (1975) menjelaskan bahwa peranan laki-laki dalam media massa
ditampilkan sebagai yang dominan, aktif,
berwenang, sedangkan perempuan ditampilkan sebagai yang patuh, pasif dan sepenuhnya merasa puas dengan menundukkan keinginan-keinginan laki-laki. Maka dalam penulisan berita yang juga menyangkut perempuan, media massa dilandasi oleh kepentingan dan kepuasan laki-laki terhadap apa yang disajikan. Perempuan kurang memiliki kewenangan dalam persoalan sistem kerja media massa di sini, mereka diposisikan sebagai individu yang menerima dan mematuhi segala apa
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
18
yang ditentukan oleh laki-laki dalam media massa. Di sini para feminis berupaya menjelaskan bahwa perempuan telah mengalami ketidakadilan dan diskriminasi dalam ranah sosial−media massa sebagai media sosial−maka hal tersebut harus dilawan karena perempuan juga manusia yang ingin diperlakukan sama. Kritik feminis yang dapat diberikan dalam tulisan “Nah, Ini Dia!” yaitu kritik terhadap teks kolom “Nah, Ini Dia!” yang di dasari pada pemikiran laki-laki. Dalam tulisan ini, salah satu contoh penggambaran tulisan “Nah, Ini Dia!” didasari pada pemikiran laki-laki adalah bagaimana Pos Kota dalam kolom berita “Nah Ini Dia!” menggambarkan perempuan sebagai sosok yang juga turut menikmati di dalam tulisan konten-konten seksual, padahal perempuan justru adalah korban dalam tulisan konten seksual tersebut. Perempuan juga merupakan korban represi atas bagaimana pemikiran laki-laki digunakan untuk menulis kolom berita tersebut. Tidak hanya itu, dalam hampir setiap kolom berita “Nah, Ini Dia!” yang dianalisis oleh peneliti, perempuan Indonesia divisualisasikan sebagai sosok perempuan yang seronok. Begitulah Harian Pos Kota melihat dan memvisualisasikan perempuan. Mitos itulah yang seolah-olah ingin disampaikan oleh Pos Kota kepada audiens penikmat media massa Pos Kota. Isyarat bahwa perempuan juga turut menikmati konten seksual di dalam tulisan digambarkan dengan istilahistilah simbolik yang terdapat di dalam tulisan. Cixous dan Irigaray menyebut penulisan teks tersebut sebagai bagian dalam struktur simbolik patriarkal. Gamble (2004) menjelaskan bahwa representasi tentang perempuan secara akurat oleh media adalah penyederhanaan yang berlebihan. Media massa memiliki caranya sendiri dalam merepresentasikan perempuan salah satunya dengan proses simbolik. Proses simbolik ini maksudnya
media
massa
meggunakan
simbol-simbol
tertentu
dalam
menyampaikan
maksud−representasi−yang ingin disampaikannya, jadi media massa tidak menyampaikannya secara langsung. Feminisme mencoba mengungkapkan bahwa penggambaran atau representasi tentang media massa tidak selalu dilakukan secara terang-terangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari media massa itu sendiri. Burgess (2006) menjelaskan baahwa dalam feminisme kita juga mempelajari tentang efek dari sebuah wacana dan representasi simbolik dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial terhadap perempuan. Seperti yang telah diungkapkan oleh Gamble sebelumnya mengenai proses simbolik, media massa menggunakan simbol-simbol tertentu untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
19
tampilkan kepada masyarakat. Pada kolom “Nah, Ini Dia!” proses simbolik media massa yang diungkapkan oleh pemikir feminis ini dapat kita pahami dan pelajari. Dari yang telah diungkapkan oleh peneliti sebelumnya, penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes dengan mencari makna konotasi dalam kolom “Nah, Ini Dia!” berupa ungkapan simbolik. Penggunaan kata simbolik dalam kolom “Nah, Ini Dia!” ini digunakan untuk menggantikan kata-kata tertentu−konten yang berhubungan dengan unsur seksualitas−hal yang telah menjadi ciri khas “Nah, Ini Dia!”. Dari pengamatan peneliti penggunaan kata-kata kiasan yang bermakna seksual yang melecehkan perempuan secara seksual dalam kolom “Nah, Ini Dia!” mencerminkan bentuk, penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi media terhadap perempuan. Para feminis menjelaskan bahwa patriarki adalah sebuah sistem yang memberikan jalan untuk perempuan tetap disubordinasi dengan beberapa cara. Subordinasi yang dapat kita saksikan setiap harinya seperti diskriminasi, penindasan, eksploitasi, kontrol, penghinaan, dan kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, tempat kerja, tempat publik dan terutama di setiap aspek yang berhubungan dengan kemasyarakatan (Sultana, 2011). Oleh karena itu salah satu gagasan feminisme selalu menentang adanya dominasi laki-laki yaitu karena para feminis tidak sependapat dengan gagasan bahwa perempuan terlahir alami sebagai individu yang pasif dan tersuborniasi (Wykes, 2001). Walby (1990) menambahkan bahwa dalam patriarki seluruh agenagen proses sosialisasi seperti keluarga, agama, sistem ekonomi dan politik, pendidikan dan media menjadi pilar dari sistem dan struktur patriarki. Dari pengalaman peneliti objektifikasi perempuan secara seksual oleh laki-laki dalam pemberitaan media massa timbul dari perilaku media massa yang mengeksploitasi konten-konten seksual dari perempuan, tentu yang dimaksud adalah medi massa Harian Pos Kota. Tindakan tersebut mencerminkan praktik ketidakadilan gender dalam sebuah institusi sosial masyarakat. Flavin (2001) menjelaskan bahwa para feminis umumnya saling bertukar pandangan bahwa ketdakadilan gender itu terdapat di dalam masyarakat, dan ketidakadilan ini seharusnya ditunjukkan, meskipun mereka berada ditempat/wilayah yang berbeda dan
permasalahan
ketidakadilan yang berbeda pula, hal terssebut dilakukan supaya dapat menjadi suatu ukuran dalam memahami permasalahan ketidakadilan gender.
Daftar Referensi
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
20
Barthes, R. (1991). Mythologies. New York: The Noonday Press. Bungin, B. (2003). Pornomedia (Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa). Jaakarta: Prenada Media. Burgess, A. (2006). Intersections Race, Class, Gender, and Crime. Feminis Criminology Journal, Vol. 1. No. 1. 27-41. Christandi, D. B. A (2013). Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes). Universitas Kristen Satya Wacana: Skripsi. Cangara, M. (2014). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Eriyanto. (2005). Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS. Gamble, S. (2004). Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra. Gill, R. (2007). Media and The Gender. Cambridge: Polity Press. Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signyfing Practices. SAGE. Lowe, M. R. (2007). Research into the Representation of Gender and Body Image in the Press. Communication Studies Journal. Luviana. (2012). Jejak Jurnalis Perempuan (Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan). Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen. Pembayun, E. L. (2013). Qualitative Research Methodology in Communication. Jakarta: LenteraIlmu Cendikia. Sardar, Z., & Van Loon, B. (2008). Membongkar Kuasa Media. Resist Book: Yogyakarta. Sultana, A. (2011). Ptriarchy and Women‟s Subordination: A Theoritical Analysis. The Arts Faculty Journal. 1-18. Szymanski, D. M., Moffit, L. B., & Carr, E. R. (2011). Sexual Objectification of Women : Advances to Theory and Research. The Counseling Psychologist, Vol 39. 6-7. Walby, S. (1990). Theorizing Patriarchy. Cambridge: Basil Blackwell. Walby, S. (1990). Theorizing Patriarchy. Cambridge: Basil Blackwell. Wood, J. T. (1994). Gendered Media: The Influence of Media on Views of Gender. Carollina University Journal, Chapter 9. 34-40. Wright, C. R. (1985). Mass Comunication: A Sociological Perspective (Second Bandung: Remadja Karya.
Representasi media..., Arsendi Kasenda, FISIP, 2014
Edition).